Pendirian Bank Syariah menurut Undang- undang Nomor. 21 Tahun 2008 Pasal 5 bahwa:
Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih
dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Bank Indonesia.
2. Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-
kurangnya tentang:
b. permodalan;
c. kepemilikan;
3. Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank
Indonesia.
4. Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan dengan jelas kata “syariah” pada penulisan nama banknya.
5. Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase “Unit Usaha Syariah” setelah
nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan.
6. Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip
Syariah dengan izin Bank Indonesia.
7. Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum
Konvensional.
8. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Perkreditan
Rakyat.
9. Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia
Dalam perbandingan ini dibahas adanya persamaan dan perbedaan yang membedakan
antara syariah dan perbankan konvensional. Dimana perbankan pada umumnya pada umumnya
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan adanya perkembangan perbankan yang timbul
dalam masyarakat luas pada saat ini ada banyaknya bermunculan bank- bank yang dapat
memberikan keuntungan bagi para nasabahnya dalam menghimpun dana dari masyarakat.
Menurut ajaran islam, syariat itu bersal dari allah, sebab itu maka sumber syariat,
sumber hukum dan sumber undang- undang datang dari allah sendiri, yang disampaikan kepada
manusia dengan perantaraan rasul dan termaktub dalam kitab- kitab suci. Namun demikian,
tidak seperti kaidah yang sifatnya konstan, syariah mengalami perkembangan sesuai dengan
kemajuan peradaban manusia, oleh karena itu syariat yang berlaku di zaman Nabi Nuh a.s.,
berbeda dengan syariat pada zaman nabi Musa dan nabi Muhammad
SAW(Ir.Adiwarman:2004)
Sebabnya ialah karena setiap umat tentunya menghadapi situasi dan kondisi yang khas
dan unik, sesuai dengan keadaan mereka sendiri, hal ikwal jalan pikirannya serta
perkembangan kerohaniannya. Jadi penerapan syariat ini mengikuti evolusi peradaban manusia,
seorang dengan diutusnya rasul- rasul kepada umat tertentu dan pada zaman tertentu.
Pelarangan riba ini tidak hanya agama islam saja yang melarang praktek riba . Riba
juga diharamkan oleh seluruh agama samawi, yang dianggap membahayakan oleh agama
yahudi, nasrani.
Secara garis besar riba terbagi kedalam dua bagian, yaitu : Riba Hutang Piutang dan
Riba jual beli. Bank Syariah merupakan salah satu bentuk institusi perekonomian islam. Islam
sebagai ajaran yang comprehensif dan universal, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
Sikap umat terhadap larangan riba pada waktu itu sangatlah patuh. Ternyata
kepatuhan umat terhadap larangan riba ini diarahkan kepada kegiatan- kegiatan ekonomi yang
tidak terlarang dan terbukti dapat mengantarkan umat Islam pada masa kejayaannya dimulai
sekitar tahun 633 Masehi hingga ratusan tahun kemudian.
Islam sebagai ajaran yang comprehensif dan unversal, mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia, baik ritual (ibadah mahdoh) maupun sosial (muamalah) yang dapat
diterapkan setiap waktu dan tempat.(Neni Sri Imaniyati: 2012)
d. Hak milik manusia dibebani kewajiban- kewajiban yang ditujukan untuk kepentingan
masyarakat
e. Campur tangan Negara dibenarkan dalam rangka penertiban kegiatan ekonomi menuju
tercapainya tujuan dan terwujudnya keadilan sosial.
Dari prinsip inilah Bank Syariah menawarkan jasa- jasa perbankan dengan berbagai
keunggulan. Para pengamat perbankan mengakui keunggulan jasa – jasa yang ditawarkan oleh
Bank Syariah sebagai suatu konsep tansaksi keuangan yang sangat modern dan maju.
Dengan demikian bank syariah dapat pula memberikan bagi hasil yang maksimal dan
juga dengan bank konvensional yang memberikan bunga dalam pembagian imbalannyayang
maksimal kepada dana pihak ketiga karena semakin tinggi keuntungan yang diperoleh bank,
semakin tinggi pula bagi hasil atau bunga yang diberikan bank kepada dana pihak ketiga, dan
begitu sebaliknya.
Untuk merealisasikan konsep ideal tersebut, Bank Syariah harus dikelolah secara
optimal berlandaskan prinsip- prinsip amanah, siddiq,fatonah, dan tabligh, termasuk dalam
kebijakan penetapan marjin keuntungan dan nisbah bagi hasil pembiayaan begitu juga dengan
pemberlakuan bunga yang dilakukan oleh bank Konvensional.
Seiring dengan terjadinya perubahan sosial politik di Indonesia, juga telah dan sedang
berlangsung perubahan di bidang sosial ekonomi dan bisnis, serta kegiatan usaha lainnya
dengan diperkenalkannya sistem ekonomi dan perbankan bedasarkan prinsip syariah.
Kegiatan ekonomi dan perbankan, bisnis dan usaha lainnya berdasarkan prinsip syariah telah
dijalankan dan berkembang dalam masyarakat internasional dan juga oleh masyarakat
Indonesia. Pembentuk undang-undang telah memberikan respon positif terhadap
perkembangan ekonomi dan perbankan, bisnis dan kegiatan usaha lainnya itu dengan
memasukkan pengaturannya ke dalam Pasal 109 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas.
Bank Syariah adalah Perseroan Terbatas. Perseroan terbatas berasal dari sistem
hukum Barat yang sekuler, sedangkan hukum perjanjian syariah bersumber dari hukum
Islam yang tidak dapat terpisahkan dari ajaran agama Islam.
Istilah perjanjian dalam hukum Indonesia disebut akad dalam hukum Islam. Kata akad
berasal dari kata al-aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt).
[2] Akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih
untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.
Perjanjian dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah mu’ahadah ittifa’ atau akad. Akad
merupakan cara yang diridhai Allah dan harus ditegakkan isinya, dan di dalam Al Quran
setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian yaitu kata akad (al-aqadu) yang
berarti perikatan atau perjanjian, dan kata ‘ahd (al-ahdu) yang berarti masa, pesan,
penyempurnaan dan janji atau perjanjian.
Akad merupakan perjanjian antara kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling
mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal, yang diwujudkan
dalam ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) yang menunjukkan adanya kerelaan secara
timbal balik antara kedua belah pihak dan harus sesuai dengan kehendak syariat. Ini berarti
Hukum Perikatan Islam pada prinsipnya juga menganut asas kebebasan berkontrak yang
dituangkan dalam antaradhin sebagaimana diatur dalam QS. An-Nissa ayat 29 dan Hadits Nabi
Muhammad SAW, yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat para pihak
apabila ada kesepakatan (antaradhin) yang terwujud dalam dua pilar yaitu ijab (penawaran)
dan qabul (penerimaan)
tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, syarat ini mengandung pengertian
setiap orang pada prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi kebebasan itu ada batasannya
yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun
Hadist. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis
perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata
mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan
kausa halal.
harus sama ridha dan ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian perjanjian harus didasari
pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, tidak boleh mengandung unsur
paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi dan belum dilakukan
tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat tetap dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian
ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata disebut dengan kesepakatan (konsensualisme).
harus jelas dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, hak dan
kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka
perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridisnya.
Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan adanya obyek tertentu.
Apabila salah satu syarat tidak dapat terpenuhi mempunyai konsekuensi yuridis
terhadap perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, sedangkan bagi perjanjian
yang sah akan mengikat bagi para pihak sebagai undang-undang dan para pihak wajib
melaksanakan perjanjian secara sukarela dengan itikad baik serta tidak bisa memutuskan
perjanjian tersebut secara sepihak. Apabila salah satu pihak mengabaikan perjanjian maka akan
mendapat sanksi dari Allah di akhirat nanti.
Perbandingan antara prinsip perjanjian dalam KUH Perdata (Hukum Barat) dengan
prinsip perjanjian syariah (Hukum Islam) antara lain:
1. Konsep Perikatan
Konsep perikatan dalam KUH Perdata ialah apabila dua orang atau dua pihak saling
berjanji untuk misalnya melakukan atau memberikan sesuatu bearti masing-masing orang atau
pihak itu mengikatkan diri kepada yang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang
mereka perjanjikan. Dengan kata lain, antara keduanya tercipta suatu ikatan yang timbul dari
tindakan mereka membuat janji. Ikatan tersebut berwujud adanya hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Perikatan lazimnya didefinisikan sebagai hubungan
hukum menyangkut harta kekayaan antara dua pihak berdasarkan mana salah satu pihak dapat
menuntut kepada pihak lain untuk memberikan, melakukan, atau tidak melakukan sesuatu.
Konsep perikatan dalam hukum Islam digunakan istilah iltizam untuk menyebut perikatan
dan istilah akad untuk menyebut perjanjian. Para fukaha apabila berbicara tentang hubungan
antara dua pihak atau lebih sering menggunakan ungkapan terisinya dzimmah dengan suatu hak
atau suatu kewajiban. Dzimmah secara harfiah berarti tanggungan, sedangkan secara
terminologis berarti suatu wadah dalam diri setiap orang tempat menampung hak dan
kewajiban. Apabila pada seseorang terdapat hak orang lain yang wajib ditunaikannya kepada
orang tersebut, maka dikatakan bahwa dzimmahnya berisi suatu hak atau suatu kewajiban.
Artinya ada kewajiban baginya yang menjadi hak orang lain dan harus dilaksaanakannya untuk
orang lain itu. Apabila ia telah melaksanakan kewajibannya yang menjadi hak orang lain
tersebut dikatakan bahwa dzimmahnya telah kosong atau bebas.
Dalam hukum Islam terdapat sebuah kaidah fikih (asas hukum Islam) yang berbunyi al-
ashlu bara’atudz-dimmah. (asanya adalah bebasnya dzimmah). Maksudnya bahwa asas
pokoknya adalah bahwa bagi seseorang tidak terdapat hak apa pun atas milik orang lain, atau
pada asanya seseorang tidak memikul kewajiban apa pun terhadap orang lain sampai ada bukti
yang menyatakan sebaliknya. Dengan begitu kita dapat mengatakan bahwa seseorang atau
suatu pihak dengan suatu hak yang wajib ditunaikannya kepada orang atau pihak lain.
2. Sumber Perikatan
Sumber perikatan dalam hukum Indonesia ada dua, yaitu : perjanjian dan undang-undang.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1233 KUH Perdata, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan (perjanjian), maupun karena undang-undang.” Perjanjian adalah sumber perikatan
paling penting.[11] Undang-undang sebagai sumber perikatan dibedakan lagi menjadi undang-
undang semata dan undang-undang dalam kaitannya dengan perbuatan orang.
Sumber perikatan dalam hukum Islam meliputi lima macam yaitu:
Akad (al-aqd);
Kehendak sepihak (al-iradah al-munfaridah);
Perbuatan merugikan (al-fil’l adh-dharr);
Perbuatan bermanfaat (al-fi’l an-nafi’);
Syarak
Penerapan Prinsip Perjanjian Syariah dalam Pendirian Perseroan Terbatas Menurut Undang-
undang Nomor 40 Tahun 2007.
Penerapan prinsip perjanjian syariah dalam pendirian perseroan terbatas dapat dilihat
dari :
1. Pendirian Perseroan Terbatas Berdasarkan Perjanjian.
Ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 bahwa perseroan terbatas
adalah badan hukum persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian. Dengan
demikian perseroan terbatas adalah juga merupakan persekutuan perdata bagian dari
matrieel privaatrecht yaitu suatu perjanjian yang dilakukan antara dua orang atau lebih yang
masing-masing memasukkan inbreng dengan tujuan untuk membagi keuntungan yang
diperoleh. Istilah “perjanjian” dalam hukum Islam adalah “al-aqdu” secara terminologi berarti
pertalian antara ijab dan qobul sesuai dengan kehendak syariah. Kata “pertalian antara ijab dan
qobul” menunjukkan aqad dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kata “sesuai kehendak
syariah” dimaksudkan bahwa seluruh perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih itu
tidak dipandang sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syariah.
bank syariah,
lembaga keuangan mikro syariah,
asuransi syariah,
reasuransi syariah,
reksadana syariah,
obligasi syariah dan surat beharga berjangka menengah syariah,
sekuritas syariah,
pembiayaan syariah,
pegadaian syariah,
dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan
bisnis syariah.
Apabila ketentuan pasal ini dihubungkan dengan Pasal 1 angka 1 Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.
Pasal 7 yang menyatakan bahwa bentuk badan hukum Bank Syariah adalah
perseroan terbatas, serta ketentuan Pasal 55 ayat (1) yang menyatakan bahwa penyelesaian
sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama, maka menjadi jelas kewengan yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (6) adalah
menjadi kewenangan badan Peradilan Agama, bukan menjadi kewengan Pengadilan
Negeri. Dengan berpegang pada asas lex posteriori derogate lex periori, aturan hukum yang
baru menggantikan aturan hukum yang lama, karena kelahiran Undang-undang Perbankan
Syariah lebih kemudian dari pada Undang-undang Perseroan terbatas, sehingga Pasal 7 ayat
(6) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 itu harus dibaca sesuai Pasal 5 ayat (1)
Undang-undang Perbankan Syariah sehingga menjadi: “…, dan atas permohonan pihak
yang berkepentingan Pengadilan Agama dapat membubarkan perseroan terbatas syariah
tersebut”.
Oleh karena perjanjian untuk mendirikan perseroan terbatas itu di buat dihadapan notaris,
maka bentuknya adalah akta otentik. Akta otentik mengenai pendirian perseroan ini
memuat anggaran dasar perseroan secara keseluruhan dan keterangan lain yang diperlukan
antara lain :
identitas para pendiri, identitas para direksi (pengurus), identitas komisaris (pengawas),
dan identitas pengawas syariah bagi perseroan terbatas syariah.-, serta keterangan
mengenai para pemegang saham.
Selain itu anggaran dasar perseroan juga memuat: nama dan tempat kedudukan
perseroan, maksud dan tujuan serta kegiatan usaha, jangka waktu berdirinya, besarnya
jumlah modal dasar, jumlah saham, susunan dan nama anggota direksi dan komisaris,
dan ketentuan lain sesuai peraturan perundangan.
Anggaran dasar perseroan merupakan perjanjian yang dibuat para pendiri merupakan
aturan yang mengikat para pihak dan juga pihak ketiga yang berhubungan dengan perseroan
dan untuk itu harus dipatuhi. Dalam kaitan ini dalam terminology hukum Islam dikenal
azas : al-muslimuna ala syuruutihim, maksudnya adalah bahwa orang muslim itu terikat
untuk mentaati perjanjian yang telah dibuat baik perjanjian itu antara sesama muslim
atau antara orang muslim dengan bukan muslim.
Mengenai badan hukum perseroan terbatas seperti pendapat Abdul Manan bahwa
hukum Islam tidak mengatur secara khusus dalam sistem hukum ekonomi Islam, tetapi ada
beberapa dalil hukum yang membolehkan membentuk badan hukum yang disebut
dengan “al-syirkah”. Nabi tidak pernah melarang kerjasama dalam bentuk syirkah itu
asalkan dapat mendatangkan kemaslahatan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat.
Pembentukan badan hukum itu merupakan salah satu bentuk kerjasama untuk
mengembangkan usaha dan harta dalam mencari kehidupan di dunia. Dalam kaitan ini Nabi
bersabda : „antum a‟lamu biumuri dunyaakum” (kamu lebih mengetahui dengan urusan
duniamu).
Didalam ilmu ushul fiqh dikenal azas : “al-ashlu fil muamalaati al-ibaahah hatta yadullu
al-daliilu „alattahrimi” maksudnya : pada azasnya dalam persoalan yang berkaitan dengan
muamalat hukumnya adalah boleh, sampai ada dalil yang menyatakan hal itu dilarang.
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI
dinyatakan bahwa al-syirkah adalah kerjasama antar dua orang atau lebih dalam hal
permodalan, keterampilan atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian
keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.[14]
Atas dasar pengertian tersebut al-syirkah dibagi menjadi syirkah amwal, syirkah abdan
dan syirkah wujuh.
Pasal 136 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dinyatakan bahwa syirkah amwal dapat
berupa kerjasama antara dua pemilik modal atau lebih untuk melakukan usaha bersama
dengan jumlah modal yang tidak sama dan keuntungan atau kerugian dibagi sama atau
atas dasar proporsi modal, dan dapat pula dilakukan kerjasama antara dua pemilik modal atau
lebih untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang sama dan keuntungan dan
kerugian dibagi sama. Dalam syirkah amwal setiap anggota syirkah harus menyertakan
modal berupa uang tunai atau barang berharga. Jika barang berharga atau kekayaan lain
dari anggota dijadikan sebagai modal syirkah, maka barang berharga atau kekayaan
tersebut harus dijual atau ditentukan dinilainya terlebih dahulu sebelum melakukan akad
kerjasama. Dengan demikian perseroan terbatas yang merupakan persekutuan modal adalah
sama dengan al-syikar amwal ini.
Dalam Pasal 139 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dinyatakan bahwa
syirkah abdan dapat berupa kerjasama dilakukan antara pemilik modal dengan pihak yang
mempunyai keterampilan untuk menjalankan usaha. Sedangkan syirkah wujuh yaitu
kerjasama yang dilakukan antara pemilik benda dengan pihak pedagang karena saling
mempercayai.