Anda di halaman 1dari 10

BENTUK BADAN HUKUM SYARIAH

Pengertian Perbankan Syariah

Berdasarkan Undang- undang Nomor. 21 tahun 2008 Pasal 1 dimaksud dengan


Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan
Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.

1. Pendirian Bank Syari’ah

Pendirian Bank Syariah menurut Undang- undang Nomor. 21 Tahun 2008 Pasal 5 bahwa:

Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih
dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Bank Indonesia.

2. Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi persyaratan sekurang-
kurangnya tentang:

a. susunan organisasi dan kepengurusan

b. permodalan;

c. kepemilikan;

d. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan e. kelayakan


usaha.

3. Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank
Indonesia.
4. Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan dengan jelas kata “syariah” pada penulisan nama banknya.
5. Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase “Unit Usaha Syariah” setelah
nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan.
6. Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip
Syariah dengan izin Bank Indonesia.
7. Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum
Konvensional.
8. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Perkreditan
Rakyat.
9. Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip
Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia

Bentuk Hukum Bank Syariah adalah Perseroan terbatas.

Perbandingan antara Aspek Hukum Perbankan Dalam Syariah dan Perbankan


Konvensional.

Dalam perbandingan ini dibahas adanya persamaan dan perbedaan yang membedakan
antara syariah dan perbankan konvensional. Dimana perbankan pada umumnya pada umumnya
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan
menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Dengan adanya perkembangan perbankan yang timbul
dalam masyarakat luas pada saat ini ada banyaknya bermunculan bank- bank yang dapat
memberikan keuntungan bagi para nasabahnya dalam menghimpun dana dari masyarakat.

Lahirnya bank berdasarkan syariah di Indonesia telah menambah semarak kasanah


hukum dan mempertegas visi tentang kehidupan perbankan di Indonesia. Betapa tidak,
sebagian besar bangsa Indonesia beragama islam sehingga kehadiran bank berdasarkan syariah
Islam tersebut benar- benar seperti gayung bersambut. Apalagi karena sitem perbankan
Konvensional yang mengandalkan pada simpanan atau kredit berdasarkan kepada bunga,
dimana dalam hal teresbut oleh kelompok tertentu dalam islam masih dipersamakan dengan
bunga uang yang dilarang dalam hukum islam. Sehingga lembaga alternatif berupa bunga
tanpa bunga yang memang benar benar berdasarkan hukum syriah tertentu disambut
hangat oleh masyarakat. Oleh karena itu terdapat adanya persamaan dan perbedaan aspek
hukum yang menyangkut perbankan syariah dan perbankan konvensional.

Menurut ajaran islam, syariat itu bersal dari allah, sebab itu maka sumber syariat,
sumber hukum dan sumber undang- undang datang dari allah sendiri, yang disampaikan kepada
manusia dengan perantaraan rasul dan termaktub dalam kitab- kitab suci. Namun demikian,
tidak seperti kaidah yang sifatnya konstan, syariah mengalami perkembangan sesuai dengan
kemajuan peradaban manusia, oleh karena itu syariat yang berlaku di zaman Nabi Nuh a.s.,
berbeda dengan syariat pada zaman nabi Musa dan nabi Muhammad
SAW(Ir.Adiwarman:2004)

Sebabnya ialah karena setiap umat tentunya menghadapi situasi dan kondisi yang khas
dan unik, sesuai dengan keadaan mereka sendiri, hal ikwal jalan pikirannya serta
perkembangan kerohaniannya. Jadi penerapan syariat ini mengikuti evolusi peradaban manusia,
seorang dengan diutusnya rasul- rasul kepada umat tertentu dan pada zaman tertentu.
Pelarangan riba ini tidak hanya agama islam saja yang melarang praktek riba . Riba
juga diharamkan oleh seluruh agama samawi, yang dianggap membahayakan oleh agama
yahudi, nasrani.

Secara garis besar riba terbagi kedalam dua bagian, yaitu : Riba Hutang Piutang dan
Riba jual beli. Bank Syariah merupakan salah satu bentuk institusi perekonomian islam. Islam
sebagai ajaran yang comprehensif dan universal, mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

Sikap umat terhadap larangan riba pada waktu itu sangatlah patuh. Ternyata
kepatuhan umat terhadap larangan riba ini diarahkan kepada kegiatan- kegiatan ekonomi yang
tidak terlarang dan terbukti dapat mengantarkan umat Islam pada masa kejayaannya dimulai
sekitar tahun 633 Masehi hingga ratusan tahun kemudian.

“Bank Syariah merupakan salah satu bentuk institusi perekonomian islam.”

Islam sebagai ajaran yang comprehensif dan unversal, mengatur seluruh aspek
kehidupan manusia, baik ritual (ibadah mahdoh) maupun sosial (muamalah) yang dapat
diterapkan setiap waktu dan tempat.(Neni Sri Imaniyati: 2012)

Dalam bidang muamalah, khususnya dibidang ekonomi, Syariat Islam memberikan


prinsip- prinsip dan etika yang dapat menjadi penuntun kerangka- kerangka ekonomi islam.
Prinsip ekonomi islam itu antara lain:

a. manusia adalah makhluk pengemban amanah allah untuk memakmurkan


kehidupan dibumi dan diberi kedudukan sebagai khalifah yang wajib melaksanakan
petunjuknya

b. Manusia wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan hidupnya.

c. Kerja yang sesungguhnya adalah menghasilkan

d. Hak milik manusia dibebani kewajiban- kewajiban yang ditujukan untuk kepentingan
masyarakat

e. Campur tangan Negara dibenarkan dalam rangka penertiban kegiatan ekonomi menuju
tercapainya tujuan dan terwujudnya keadilan sosial.

Dari prinsip inilah Bank Syariah menawarkan jasa- jasa perbankan dengan berbagai
keunggulan. Para pengamat perbankan mengakui keunggulan jasa – jasa yang ditawarkan oleh
Bank Syariah sebagai suatu konsep tansaksi keuangan yang sangat modern dan maju.

Dengan demikian bank syariah dapat pula memberikan bagi hasil yang maksimal dan
juga dengan bank konvensional yang memberikan bunga dalam pembagian imbalannyayang
maksimal kepada dana pihak ketiga karena semakin tinggi keuntungan yang diperoleh bank,
semakin tinggi pula bagi hasil atau bunga yang diberikan bank kepada dana pihak ketiga, dan
begitu sebaliknya.

Untuk merealisasikan konsep ideal tersebut, Bank Syariah harus dikelolah secara
optimal berlandaskan prinsip- prinsip amanah, siddiq,fatonah, dan tabligh, termasuk dalam
kebijakan penetapan marjin keuntungan dan nisbah bagi hasil pembiayaan begitu juga dengan
pemberlakuan bunga yang dilakukan oleh bank Konvensional.

Seiring dengan terjadinya perubahan sosial politik di Indonesia, juga telah dan sedang   
berlangsung   perubahan   di bidang sosial ekonomi dan bisnis, serta kegiatan usaha lainnya
dengan diperkenalkannya sistem ekonomi dan perbankan bedasarkan   prinsip   syariah.
Kegiatan ekonomi dan perbankan, bisnis dan usaha lainnya  berdasarkan  prinsip  syariah  telah 
dijalankan  dan  berkembang  dalam masyarakat  internasional  dan  juga  oleh  masyarakat 
Indonesia.  Pembentuk undang-undang telah  memberikan  respon  positif  terhadap 
perkembangan ekonomi  dan  perbankan,  bisnis  dan  kegiatan  usaha  lainnya  itu  dengan
memasukkan  pengaturannya  ke  dalam  Pasal  109  Undang-undang  Nomor  40 Tahun 2007
Tentang Perseroan Terbatas.

       Sebelumnya  pada  tahun  2006  pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 3


Tahun 2006  tentang Perubahan atas   Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989  tentang 
Peradilan  Agama  yang memberikan  kewenangan    kepada  Badan Peradilan Agama    untuk
menyelesaikan  sengketa  ekonomi  syariah.  Pada  tahun 2008 dikeluarkan Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Nasional  (SBSN),  dan Undang-undang
Nomor  21  Tahun  2008  tentang Perbankan  Syariah    yang  di  dalam  Pasal  7  menyatakan 
bahwa  bentuk  badan hukum

Bank Syariah adalah Perseroan Terbatas. Perseroan  terbatas  berasal  dari  sistem 
hukum  Barat  yang  sekuler, sedangkan  hukum  perjanjian  syariah  bersumber  dari  hukum 
Islam  yang  tidak dapat  terpisahkan  dari  ajaran  agama  Islam.

Istilah perjanjian dalam hukum Indonesia disebut akad dalam hukum Islam. Kata akad
berasal dari kata al-aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt).
[2] Akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan  kehendak dua pihak atau lebih
untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.

       Perjanjian dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah mu’ahadah ittifa’ atau akad. Akad
merupakan cara yang diridhai Allah dan harus ditegakkan isinya, dan di dalam Al Quran
setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian yaitu kata akad (al-aqadu) yang
berarti perikatan atau perjanjian, dan kata ‘ahd (al-ahdu) yang berarti masa, pesan,
penyempurnaan dan janji atau perjanjian.

       Akad merupakan perjanjian antara kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling
mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal, yang diwujudkan
dalam ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) yang menunjukkan adanya kerelaan secara
timbal balik antara kedua belah pihak dan harus sesuai dengan kehendak syariat. Ini berarti
Hukum Perikatan Islam pada prinsipnya juga menganut asas kebebasan berkontrak yang
dituangkan dalam antaradhin sebagaimana diatur dalam QS. An-Nissa ayat 29 dan Hadits Nabi
Muhammad SAW, yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat para pihak
apabila ada kesepakatan (antaradhin) yang terwujud dalam dua pilar yaitu ijab (penawaran)
dan qabul (penerimaan)

       Syarat sahnya perjanjian secara syariah adalah sebagai berikut :

tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, syarat ini mengandung pengertian
setiap orang pada prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi kebebasan itu ada batasannya
yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun
Hadist. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis
perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata
mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan
kausa halal.

harus sama ridha dan ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian perjanjian harus didasari
pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, tidak boleh mengandung unsur
paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi dan belum dilakukan
tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat tetap dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian
ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320
KUHPerdata disebut dengan kesepakatan (konsensualisme).

harus jelas dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, hak dan
kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka
perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridisnya.
Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang
diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan adanya obyek tertentu.

Apabila salah satu syarat tidak dapat terpenuhi mempunyai konsekuensi yuridis
terhadap perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, sedangkan bagi perjanjian
yang sah akan mengikat bagi para pihak sebagai undang-undang dan para pihak wajib
melaksanakan perjanjian secara sukarela dengan itikad baik serta tidak bisa memutuskan
perjanjian tersebut secara sepihak. Apabila salah satu pihak mengabaikan perjanjian maka akan
mendapat sanksi dari Allah di akhirat nanti.
       Perbandingan antara prinsip perjanjian dalam KUH Perdata (Hukum Barat) dengan
prinsip perjanjian syariah (Hukum Islam) antara lain:

1. Konsep Perikatan

       Konsep perikatan dalam KUH Perdata ialah apabila dua orang atau dua pihak saling
berjanji untuk misalnya melakukan atau memberikan sesuatu bearti masing-masing orang atau
pihak itu mengikatkan diri kepada yang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang
mereka perjanjikan. Dengan kata lain, antara keduanya tercipta suatu ikatan yang timbul dari
tindakan mereka membuat janji. Ikatan tersebut berwujud adanya hak dan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Perikatan lazimnya didefinisikan sebagai hubungan
hukum menyangkut harta kekayaan antara dua pihak berdasarkan mana salah satu pihak dapat
menuntut kepada pihak lain untuk memberikan, melakukan, atau tidak melakukan sesuatu.

       Konsep perikatan dalam hukum Islam digunakan istilah iltizam untuk menyebut perikatan
dan istilah akad untuk menyebut perjanjian. Para fukaha apabila berbicara tentang hubungan
antara dua pihak atau lebih sering menggunakan ungkapan terisinya dzimmah dengan suatu hak
atau suatu kewajiban. Dzimmah secara harfiah berarti tanggungan, sedangkan secara
terminologis berarti suatu wadah dalam diri setiap orang tempat menampung hak dan
kewajiban. Apabila pada seseorang terdapat hak orang lain yang wajib ditunaikannya kepada
orang tersebut, maka dikatakan bahwa dzimmahnya berisi suatu hak atau suatu kewajiban.
Artinya ada kewajiban baginya yang menjadi hak orang lain dan harus dilaksaanakannya untuk
orang lain itu. Apabila ia telah melaksanakan kewajibannya yang menjadi hak orang lain
tersebut dikatakan bahwa dzimmahnya telah kosong atau bebas.

       Dalam hukum Islam terdapat sebuah kaidah fikih (asas hukum Islam) yang berbunyi  al-
ashlu bara’atudz-dimmah. (asanya adalah bebasnya dzimmah). Maksudnya bahwa asas
pokoknya adalah bahwa bagi seseorang tidak terdapat hak apa pun atas milik orang lain, atau
pada asanya seseorang tidak memikul kewajiban apa pun terhadap orang lain sampai ada bukti
yang menyatakan sebaliknya. Dengan begitu kita dapat mengatakan bahwa seseorang atau
suatu pihak dengan suatu hak yang wajib ditunaikannya kepada orang atau pihak lain.

2. Sumber Perikatan

        Sumber perikatan dalam hukum Indonesia ada dua, yaitu : perjanjian dan undang-undang.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1233 KUH Perdata, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena
persetujuan (perjanjian), maupun karena undang-undang.” Perjanjian adalah sumber perikatan
paling penting.[11] Undang-undang sebagai sumber perikatan dibedakan lagi menjadi undang-
undang semata dan undang-undang dalam kaitannya dengan perbuatan orang.

       Sumber perikatan dalam hukum Islam meliputi lima macam yaitu:

 Akad (al-aqd);
 Kehendak sepihak (al-iradah al-munfaridah);
 Perbuatan merugikan (al-fil’l adh-dharr);
 Perbuatan bermanfaat (al-fi’l an-nafi’);
 Syarak

Penerapan Prinsip  Perjanjian  Syariah  dalam  Pendirian  Perseroan Terbatas Menurut Undang-
undang Nomor 40 Tahun 2007.

 Penerapan prinsip perjanjian syariah dalam pendirian perseroan terbatas dapat dilihat
dari :
1. Pendirian Perseroan Terbatas Berdasarkan Perjanjian.

       Ketentuan  Pasal  1  Undang-undang  Nomor  40  Tahun  2007  bahwa perseroan  terbatas 
adalah  badan  hukum  persekutuan modal  yang  didirikan berdasarkan  perjanjian.  Dengan 
demikian  perseroan  terbatas  adalah  juga merupakan persekutuan perdata bagian dari
matrieel privaatrecht yaitu suatu perjanjian yang dilakukan antara dua orang atau  lebih yang
masing-masing memasukkan  inbreng  dengan  tujuan  untuk  membagi  keuntungan  yang
diperoleh. Istilah   “perjanjian” dalam hukum  Islam adalah “al-aqdu” secara terminologi berarti
pertalian antara ijab dan qobul sesuai  dengan kehendak syariah. Kata “pertalian antara ijab dan
qobul” menunjukkan aqad dilakukan oleh  dua  orang  atau  lebih.  Kata  “sesuai  kehendak 
syariah”  dimaksudkan bahwa seluruh perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih itu
tidak dipandang  sah  apabila  tidak  sejalan  dengan  kehendak  syariah. 

Pasal 49 Undang-udang Nomor  3  Tahun  2006 yang mengatur  kompetensi  absolut


Pengadilan Agama. Pasal  ini menentukan bagian dari  tugas dan wewenang Pengadilan
Agama  adalah menyelasaikan  sengketa  ekonomi  syariah,  yaitu perbuatan  atau  kegiatan 
usaha  yang  dilaksanakan menurut  prinsip  syariah, antara lain meliputi :

 bank syariah,
 lembaga keuangan mikro syariah,
 asuransi syariah,
 reasuransi syariah,
 reksadana syariah,
 obligasi syariah dan surat beharga berjangka menengah syariah,
 sekuritas syariah,
 pembiayaan syariah,
 pegadaian syariah,
 dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan
 bisnis syariah.
Apabila  ketentuan  pasal  ini  dihubungkan  dengan    Pasal  1  angka  1 Undang-undang
Nomor  21 Tahun  2008 Tentang   Perbankan Syariah  yang menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut Bank Syariah dan Unit
Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,  kegiatan  usaha,  serta  cara  dan  proses  dalam 
melaksanakan kegiatan  usahanya.

Pasal  7 yang  menyatakan    bahwa  bentuk  badan hukum Bank  Syariah  adalah 
perseroan  terbatas,  serta  ketentuan    Pasal  55 ayat (1) yang menyatakan bahwa penyelesaian
sengketa Perbankan Syariah dilakukan  oleh  pengadilan  dalam  lingkungan  Peradilan 
Agama,  maka menjadi  jelas  kewengan  yang  disebutkan  dalam  Pasal  7  ayat    (6)  adalah
menjadi  kewenangan  badan  Peradilan  Agama,  bukan  menjadi  kewengan Pengadilan
Negeri. Dengan berpegang pada asas lex posteriori derogate lex  periori,  aturan  hukum  yang 
baru menggantikan  aturan  hukum  yang  lama, karena  kelahiran  Undang-undang  Perbankan 
Syariah  lebih  kemudian  dari pada Undang-undang Perseroan terbatas, sehingga Pasal 7 ayat
(6) Undang-undang  Nomor  40  Tahun  2007  itu  harus  dibaca  sesuai  Pasal  5  ayat  (1)
Undang-undang  Perbankan  Syariah  sehingga  menjadi:  “…,  dan  atas permohonan  pihak 
yang  berkepentingan  Pengadilan  Agama  dapat membubarkan  perseroan  terbatas  syariah 
tersebut”. 

Khususnya  Pasal  1 angka  1  mengenai  ketentuan  kelembagaan  Perbankan  Syariah,  jika


dihubungkan  dengan  Pasal  7  yang  menyatakan  bentuk  badan  hukum Perbangkan 
Syaraiah  adalah  perseroan  terbatas,  padahal  mengenai kelembagaan  Perbangkan  Syariah, 
artinya  pendirian  Bank  Syariah  yang dilakukan  dengan  perjanjian  syariah  belum  masuk 
dalam  pengaturan Undang-undang  Nomor  40  Tahun  2007  tentang  Perseroan  Terbatas,
Undang-undang Perseroan Terbatas  ini  baru  hanya mengatur  tentang  bank melakukan
kegiatan berdasarkan prinsip syariah sesuai ketentuan Pasal 109, hal ini disebabkan oleh karena
pada waktu diundangkannya undang-undang Perseroan Terbatas  ini,  undang-undang  tentang
Perbankkan Syariah belum lahir,  untuk  itu  di masa  yang  akan  datang  undang-undang  yang
mengatur tentang  perseroan  terbatas  yaitu  Undang-undang  Nomor  40  Tahun  2007
dipandang  perlu  untuk  disempurnakan  agar  dapat  menampung  tentang pengaturan
kelembagaan Perbangkan Syariah  sebagaimana diatur oleh Pasal 1 Undang-undang Nomor 21
Tahun 2008 tentang Perbangkan Syariah.

2. Anggaran Dasar dan Badan Hukum Perseroan.

       Oleh karena perjanjian untuk mendirikan perseroan terbatas itu di buat dihadapan   notaris, 
maka  bentuknya  adalah  akta  otentik.  Akta  otentik mengenai pendirian perseroan  ini
memuat anggaran dasar perseroan  secara keseluruhan dan keterangan lain yang diperlukan
antara lain :
identitas para pendiri,  identitas  para  direksi  (pengurus),  identitas  komisaris  (pengawas),
dan  identitas  pengawas  syariah  bagi  perseroan  terbatas  syariah.-,  serta keterangan 
mengenai  para  pemegang  saham. 

Selain  itu  anggaran  dasar perseroan  juga  memuat:  nama  dan  tempat  kedudukan 
perseroan,  maksud dan  tujuan  serta kegiatan usaha,  jangka waktu berdirinya, besarnya 
jumlah modal  dasar,  jumlah  saham,  susunan  dan  nama  anggota  direksi  dan komisaris,
dan ketentuan lain sesuai peraturan perundangan.

       Anggaran  dasar  perseroan  merupakan  perjanjian  yang  dibuat  para pendiri merupakan
aturan yang mengikat para pihak dan  juga pihak ketiga yang  berhubungan  dengan  perseroan 
dan  untuk  itu  harus  dipatuhi. Dalam kaitan  ini dalam  terminology hukum Islam dikenal
azas  : al-muslimuna ala syuruutihim,  maksudnya  adalah  bahwa  orang  muslim  itu  terikat 
untuk mentaati  perjanjian  yang  telah  dibuat  baik  perjanjian  itu  antara  sesama muslim
atau antara orang muslim dengan bukan muslim.

        Mengenai  badan  hukum  perseroan  terbatas  seperti  pendapat Abdul Manan bahwa 
hukum  Islam  tidak mengatur  secara  khusus  dalam  sistem hukum ekonomi Islam, tetapi ada
beberapa dalil hukum yang membolehkan membentuk  badan  hukum  yang  disebut 
dengan  “al-syirkah”.  Nabi  tidak pernah  melarang  kerjasama  dalam  bentuk  syirkah  itu 
asalkan  dapat mendatangkan  kemaslahatan  dan  kemakmuran  bagi  seluruh  masyarakat.
Pembentukan  badan  hukum  itu  merupakan  salah  satu  bentuk  kerjasama untuk
mengembangkan usaha dan harta dalam mencari kehidupan di dunia. Dalam  kaitan  ini  Nabi 
bersabda  :  „antum  a‟lamu  biumuri  dunyaakum” (kamu  lebih mengetahui dengan urusan
duniamu).

        Didalam  ilmu ushul fiqh dikenal  azas  : “al-ashlu  fil muamalaati al-ibaahah hatta yadullu
al-daliilu „alattahrimi”  maksudnya  :  pada  azasnya  dalam  persoalan  yang  berkaitan dengan 
muamalat  hukumnya  adalah  boleh,  sampai  ada  dalil  yang menyatakan hal itu dilarang.

       Dalam Kompilasi Hukum  Ekonomi  Syariah yang  dikeluarkan  oleh Mahkamah Agung RI
dinyatakan bahwa al-syirkah adalah kerjasama antar dua orang atau lebih dalam hal
permodalan, keterampilan atau kepercayaan dalam  usaha  tertentu  dengan  pembagian 
keuntungan  berdasarkan  nisbah yang  disepakati  oleh  pihak-pihak  yang  berserikat.[14] 
Atas  dasar  pengertian tersebut    al-syirkah  dibagi  menjadi  syirkah  amwal,  syirkah  abdan 
dan syirkah wujuh.

      Pasal 136 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dinyatakan bahwa  syirkah  amwal  dapat 
berupa  kerjasama  antara  dua  pemilik  modal atau lebih untuk melakukan usaha bersama
dengan jumlah modal yang tidak sama  dan  keuntungan  atau  kerugian  dibagi  sama  atau 
atas  dasar  proporsi modal, dan dapat pula dilakukan kerjasama antara dua pemilik modal atau
lebih untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang sama  dan keuntungan dan
kerugian dibagi sama.  Dalam  syirkah  amwal  setiap  anggota  syirkah  harus  menyertakan
modal  berupa  uang  tunai  atau  barang  berharga.  Jika  barang  berharga  atau kekayaan  lain 
dari  anggota  dijadikan  sebagai modal  syirkah, maka  barang berharga  atau  kekayaan 
tersebut  harus  dijual  atau  ditentukan  dinilainya terlebih  dahulu  sebelum  melakukan  akad 
kerjasama.  Dengan  demikian perseroan terbatas yang merupakan persekutuan modal adalah
sama dengan al-syikar amwal  ini.

Dalam Pasal 139 ayat  (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dinyatakan bahwa
syirkah abdan dapat berupa kerjasama dilakukan antara  pemilik modal  dengan  pihak  yang
mempunyai  keterampilan  untuk menjalankan  usaha.  Sedangkan  syirkah  wujuh  yaitu 
kerjasama yang dilakukan  antara pemilik benda dengan pihak pedagang karena  saling
mempercayai.

Anda mungkin juga menyukai