Nim: 3422019 Kelas: AK-4A Materi 3 Bank dan Lembaga Keuangan Syariah
BANK SYARIAH
1. Pengertian dan dasar hukum Bank Syariah
a. Pengertian Bank Syariah Bank secara bahasa diambil dari bahasa Itali, yakni banco yang mempunyai arti meja. Penggunaan istilah ini disebabkan dalam realita kesehariannya bahwa setiap proses dan transaksi sejak dahulu dan mungkin di masa yang datang dilaksanakan di atas meja. Dalam bahasa arab, bank biasa disebut dengan mashrof yang berarti tempat berlangsung saling menukar harta, baik dengan cara mengambil ataupun menyimpan atau selain untuk melakukan muamalat. Menurut Undang- Undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, pengertian perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Pada dasarnya fungsi utama bank syariah ada dua yaitu fungsi menghimpun dana dari masyarakat dan fungsi menyalurkan dana kepada masyarakat. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, pengertian bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan berdasar prinsip syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah. b. Dasar Hukum Bank Syariah Bank syariah adalah bank yang operasionalnya berdasarkan prinsip syariah Islam, maka dasar hukum bank syariah yang utama adalah Al-Qur’an dan Al-Hadist. Berikut beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menjadi dasar operasional bank syariah, adalah: 1) Q.S. An-Nisa’ : 29 yang artinya : “Hai, orang-orang yang beriman janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil”. 2) Q.S. Al-Baqarah : 275 yang artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. 3) Q.S. Al-Imron : 130 yang artinya: “Hai, orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. Menurut Perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dasar hukum bagi beroperasinya bank syariah dijelaskan sebagai berikut: 1) Undang-undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana diubah Undang-undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Undang-Undang No.7 Tahun 1992 sebagaimana diubah Undang-undang No.10 Tahun 1998 memberikan kesempatan meningkatkan peranan bank syariah untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Arah kebijakan regulasi ini dimaksudkan agar ada peningkatan peranan bank nasional sesuai fungsinya dalam menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Dalam UU No.10 Tahun 1998, memberi kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada Bank Umum Konvensional untuk membuka kantor cabangnya yang khusus menyelenggarakan kegiatan berdasarkan Prinsip Syariah. 2) Undang-undang No. 23 Tahun 1999 sebagaimana diubah Undang-undang No. 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia UU No.23 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia menugaskan kepada Bank Indonesia untuk mempersiapkan perangkat aturan dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya yang mendukung kelancaran operasional bank berbasis Syariah serta penerapan dual banking system. 3) Undang-undang No. 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan UU No. 21 Tahun 2011 memberikan kesempatan perbankan melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah. 4) Undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Beberapa aspek penting dalam UU No. 21 Tahun 2008 adalah adanya kewajiban mencantumkan kata “syariah” bagi bank syariah, kecuali bagi bankbank syariah yang telah beroperasi sebelum berlakunya UU No.21 Tahun 2008 (Pasal 5 angka 4). Bagi bank umum konvensional (BUK) yang memiliki unit usaha syariah (UUS) diwajibkan mencantumkan nama syariah setelah nama bank (Pasal 5 angka 5).
2. Sejarah Bank Syariah di Indonesia
Bank Syariah merupakan salah satu institusi keuangan yang memperhatikan prinsip- prinsip syariah dalam operasinya. Di Indonesia, bank syariah mulai muncul pada tahun 1990-an. Sebelum itu, Indonesia hanya memiliki bank konvensional yang tidak memperhatikan prinsip syariah dalam operasinya. Pada awalnya, bank syariah di Indonesia berdiri sebagai unit usaha dari bank konvensional yang kemudian memperoleh izin dari Bank Indonesia untuk mengoperasikan produk-produk keuangan syariah. Namun, pada tahun 2008, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang secara resmi mengakui bank syariah sebagai lembaga keuangan yang mandiri dan terpisah dari bank konvensional. Sejarah berdirinya bank syariah di Indonesia dapat ditelusuri kembali pada awal tahun 1990-an ketika pemerintah Indonesia mulai memperkenalkan sistem keuangan syariah sebagai bagian dari reformasi perbankan yang dilakukan pada saat itu. Pada tahun 1991, Bank Muamalat Indonesia didirikan sebagai bank syariah pertama di Indonesia. Bank Muamalat Indonesia didirikan oleh sekelompok pengusaha Muslim Indonesia yang melihat adanya peluang bisnis dalam pasar keuangan yang mengikuti prinsip-prinsip syariah. Setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia, bank syariah lainnya mulai bermunculan di Indonesia. Pada tahun 1992, Bank Syariah Mandiri didirikan sebagai bank syariah kedua di Indonesia, diikuti oleh Bank Syariah BRI pada tahun 1995. Pada tahun 1999, terdapat 7 bank syariah yang beroperasi di Indonesia. Namun, perkembangan bank syariah di Indonesia pada awalnya cukup lambat karena terkendala oleh regulasi yang masih belum jelas dan dukungan infrastruktur yang kurang memadai. Selain itu, sebagian masyarakat Indonesia masih belum sepenuhnya memahami prinsip-prinsip keuangan syariah dan masih lebih memilih bank konvensional. Pada tahun 2000-an, pemerintah Indonesia mulai memperhatikan potensi bank syariah sebagai instrumen pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Pada tahun 2003, pemerintah Indonesia membentuk Badan Pengawas Perbankan Syariah (Bapepam-LK), yang bertanggung jawab untuk mengawasi kegiatan perbankan syariah di Indonesia. Selain itu, pada tahun 2008, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang memberikan dasar hukum bagi bank syariah sebagai lembaga keuangan mandiri dan terpisah dari bank konvensional. Setelah keluarnya undang-undang tersebut, perkembangan bank syariah di Indonesia semakin pesat. Pada tahun 2015, terdapat 13 bank syariah yang beroperasi di Indonesia dengan total aset mencapai lebih dari Rp 200 triliun. Selain itu, pada tahun yang sama, pemerintPada tahun 1991, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam undang-undang tersebut, disebutkan bahwa bank syariah dapat didirikan sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai penghimpun dana dan penyalur dana dengan prinsip syariah. Namun, baru pada tahun 1998, Bank Muamalat Indonesia didirikan sebagai bank syariah pertama di Indonesia. Bank ini didirikan atas inisiatif dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan beberapa tokoh masyarakat yang peduli terhadap pengembangan ekonomi berbasis syariah. Selain Bank Muamalat, beberapa bank syariah lainnya juga mulai bermunculan di Indonesia setelahnya, seperti Bank Syariah Mandiri (2000), Bank Negara Indonesia Syariah (2000), Bank Danamon Syariah (2003), dan masih banyak lagi. Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang secara khusus mengatur tentang bank-bank syariah di Indonesia. Undang-undang ini mengatur tentang pendirian, pengawasan, dan pengelolaan bank syariah, serta menegaskan bahwa bank syariah harus beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang telah ditetapkan. Dalam perkembangannya, bank syariah di Indonesia semakin berkembang pesat dan semakin diminati oleh masyarakat. Hal ini terbukti dari meningkatnya jumlah nasabah bank syariah dan aset yang dimiliki oleh bank-bank syariah di Indonesia. Pemerintah Indonesia juga terus mendorong perkembangan perbankan syariah dengan memberikan berbagai insentif, seperti tax holiday dan pembebasan pajak bagi bank-bank syariah. Saat ini, bank syariah di Indonesia juga telah memperluas jangkauannya dengan menyediakan berbagai produk dan layanan, seperti kartu kredit syariah, produk investasi syariah, dan layanan perbankan digital berbasis syariah. Bank syariah juga telah memperkuat kerjasamanya dengan bank-bank asing dan meningkatkan keterlibatan dalam pembiayaan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. Dengan perkembangan yang semakin pesat ini, bank syariah di Indonesia diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Dalam jangka panjang, diharapkan bank syariah dapat menjadi salah satu pilar utama dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif di Indonesia. Setelah itu, pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang menegaskan bahwa bank syariah adalah bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan mengedepankan keadilan, kemanfaatan, transparansi, dan akuntabilitas. Undang-undang tersebut kemudian memperkuat peran bank syariah dalam industri perbankan nasional dan memberikan dasar hukum yang jelas bagi pendirian dan operasional bank syariah di Indonesia. Pada tahun 2015, total aset bank syariah di Indonesia mencapai sekitar Rp 295 triliun atau sekitar 5,6% dari total aset perbankan nasional. Bank syariah di Indonesia terus berkembang seiring dengan meningkatnya minat masyarakat untuk menggunakan layanan keuangan berbasis syariah. Banyak bank konvensional di Indonesia yang juga membuka unit bisnis syariah sebagai alternatif bagi nasabah yang menginginkan layanan perbankan berdasarkan prinsip syariah. Meskipun demikian, bank syariah di Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan, seperti kurangnya kesadaran masyarakat akan produk dan layanan perbankan syariah, kurangnya dukungan regulasi yang jelas, serta kekurangan tenaga ahli di bidang perbankan syariah. Namun, dengan adanya dukungan dari pemerintah dan semakin berkembangnya industri perbankan syariah di Indonesia, diharapkan bank syariah dapat terus tumbuh dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian Indonesia.
3. Prinsip Bank Syariah
Prinsip-prinsip dasar operasional pada bank syariah terdapat lima prinsip, antara lain sebagai berikut: a. Prinsip titipan atau simpanan (Wadiah) Dalam tradisi fiqih Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip Al-Wadiah. Al-Wadiah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki. b. Prinsip Bagi Hasil (Profit-Sharing) Bagi hasil adalah konsep yang paling lazim dan tidak ada keraguan di dalamnya, dan hampir seluruh ulama sepakat dengan sistem bagi hasil. Prinsip bagi hasil yang dapat diterapkan dalam perbankan syariah pada umumnya dibagi dalam 2 jenis yaitu Mudharabah dan Musyarakah. Lebih jauh prinsip mudharabah dapat dipergunakan sebagai dasar baik untuk produk pendanaan (tabungan dan deposito) maupun pembiayaan, sedangkan musyarakah banyak untuk pembiayaan. c. Prinsip Jual Beli (Sale and Purchase) Bentuk-bentuk akad jual beli yang telah dibahas para ulama dalam fiqih muamalah islamiah terbilang sangat banyak. Jumlahnya bisa mencapai belasan jika tidak puluhan. Sungguhpun demikian, dari sekian banyak itu, ada tiga jenis jual beli yang telah banyak dikembangkan sebagai sandaran pokok dalam pembiayaan modal kerja dan investasi dalam perbankan syariah, yaitu bai’ al-murabahah, bai’ assalam, dan bai’ al-istishna.
d. Prinsip Sewa (Operational Lease and Financial Lease)
Pada dasarnya prinsip sewa dibagi menjadi dua bagian yaitu: 1) Al-Ijarah (Operational Lease) Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu sendiri. 2) Al-Ijarah Al-Muntahiya Bit-Tamlik (Financial Lease With Purchase Option) Transaksi yang disebut dengan al-ijarah al-muntahiya bit-tamlik (IMB) merupakan kombinasi antara sewa menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa. Dalam ijarah muntahiya bittamlik, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara berikut: (1) pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. (2) pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa. e. Prinsip Jasa (Fee-Based Services) Prinsip ini meliputi layanan non pembiayaan yang diberikan bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain bank garansi, kliring, inkaso, jasa, transfer, dll. Secara syariah prinsip ini didasarkan pada konsep jasa atau al ajr wal umulah.
4. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
a. Perbedaan Falsafah Perbedaan pokok antara bank konvesional dengan bank syariah terletak pada landasan falsafah yang dianutnya. Bank syariah tidak melaksanakan sistem bunga melainkan sistem bagi hasil dalam aktivitasnya sedangkan bank konvesional justru kebalikannya yaitu merapkan sistem bunga. b. Konsep Pengelolaan Dana Nasabah Dalam sistem bank syariah dana dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Berbeda halnya dengan deposito bank Konvensional dimana deposito adalah usaha membungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja nasabah membutuhkanya, bank syariah harus dapat memenuhinya. Akibatnya dana titipan tersebut menjadi sangat likuid. Dana nasabah yang terkumpul dengan cara titipan atau investasi tadi kemudian dimanfaatkan atau disalurkan ke dalam traksasksi perniagaan yang digunakan dalam sistem bank syariah. Keuntungan dari pemanfaatan dana nasabah yang disalurkan ke dalam berbagai usaha itulah yang akan dibagikan kepada nasabah. Jika keuntungan usaha semakin tinggi maka semakin besar pula keuntungan yang diberikan bank kepada nasabah. Namun jika hasil yang diperoleh kecil otomatis semakin kecil pula keuntungan yang diberikan kepada nasabah. c. Kewajiban Mengelola Zakat Kewajiban mengelola zakat merupakan fungsi dan peran yang melekat pada bank syariah untuk memobilisasikan dana-dana sosial seperti zakat, infak, dan zedekah. Artinya bank syariah wajib mengelola zakat dalam arti wajib membayar zakat, menghimpun, mengadministrasikannya dan mendistribusikannya. d. Struktur Organisasi Di dalam struktur organisasi bank syariah adanya badan pengawasan yang disebut sebagai lembaga Dewan Pengawasan Syariah (DPS). Dimana DPS bertugas untuk mengawasi segala aktivitas/kegiatan bank agar bank tersebut beroprasi atau bekerja selalu sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. DPS ini dibawah oleh Dewan Syariah Nasional (DSN). Berdasarkan laporan dari DPS pada masing-masing lembaga keungan syariah. DSN dapat memberikan teguran jika lembaga tersebut yang bersangkutan melenceng dari prinsip-prinsip syariah. DSN juga dapat mengajukan rekomendasi kepada lembaga yang memiliki otoritas seperti Bank Indonesia dan Daparteman Keuangan untuk memberikan hukuman berupa sanksi. Secara ringkas perbedaan anatara bank syariah dengan bank konvesional dapat dilihat pada table berikut: No Bank Syariah Bank Konvensional Bebas Nilai (investasi yang 1 Berinvestasi pada usaha yang halal halal dan haram). Atas dasar bagi hasil, margin 2 Sistem bunga keuntungan dan fee Besaran bagi hasil berubah-ubah sesuai 3 Besarannya tetap dengan kinerja usaha 4 Profit dan falah oriented Profit oriented
5 Pola hubungan kemitraan Hubungan debitur-kreditur
6 Ada Dewan Pengawas Syariah Tidak ada lembaga sejenis