Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Terdapat dua lembaga keuangan, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan non bank. Bank syariah merupakan lembaga keuangan bank dimana kegiatan
operasionalnya berlandaskan prinsip syariah yaitu Al-Quran dan Hadits. Adanya bank
syariah tidak lain merupakan kebutuhan yang mendasar bagi umat islam, dikarenakan
bank syariah terlepas dari praktik ribawi. Menurut Aziz dan Sedjati (2015: 1) Aktifitas
ribawi merupakan aktivitas dari kegiatan yang mengeksploitasi kebutuhan orang lemah,
penimbunan kekayaan berlebih atas modal ekonomi lemah. Di dalam bank syariah tidak
terdapat bunga, melainkan bagi hasil, dimana jelas keduanya sangat berbeda melihat akad-
akad yang ada dalam perbankan syariah.

Perkembangan perbankan syariah di Indonesia merupakan suatu perwujudan dari


permintaan masyarakat yang membutuhkan suatu sistem perbankan alternatif yang selain
menyediakan jasa perbankan/keuangan yang sehat, juga memenuhi prinsip-prinsip syariah.
(Syukron, 2013: 28).

B. TUJUAN
1. Memahami pengertian dari sejarah perbankan syari’ah
2. Mengetahui pengklasifikasian dari teori akuntansi
3. Memahami bagaimana aspek sasaran teori dari teori akuntansi
4. Mengetahui fungsi dari teori akuntansi
5. Mengetahui apa yang menjadi tujuan teori akuntansi

1
BAB II
PENGERTIAN SEJARAH PERBANKAN SYARIAH

A. Sejarah Perbankan Syariah Secara Umum

Perbankan Syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel


Islam, karena adanya kekwatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai
gerakan fundamentalis. bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di
kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat
itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak
memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha - usaha
perdagangan masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan
dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta
pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama mau pun syariat Islam. Islamic
Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-
negara yang tergabung dalam organisasi konferensi Islam, walaupun utamanya bank
tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk
proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa pinjaman
berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit
menyatakan diri berdasar pada syariah Islam. Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an,
sejumlah bank berbasis Islam kemudia munjul di uni emirat arab, baru tahun 1975 dengan
berdiri Dubai Islamic Bank. Kemudian di kuwait pada tahun 1977 berdiri kuwait finance
house yang beroperasi tanpa bunga. Selanjutnya kembali di mesir pada tahun 1978 berdiri
Bank syariah yang di beri nama Faisal Islamic Bank. Langkah ini kemudian di ikuti oleh
islamic international bank for Invesment and Developmen bank. (Harahap, 2014).

Di Iprus tahun 1983 berdiri Faisal Islamic Bank of Kibris. Kemudian di Malaysia
bank syariah lahir tahun 1983 dengan berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dan
pada tahun 1999 lahir pula Bank Putera Muamalah.

Di Iran sistem perbankan syariah mulai berlaku secara nasional pada tahun 1983
sejak dikeluarkannya Undang-Undang perbankan islam. Kemudian di Turki negara yang
beridiologi sekuler bank syariah lahir tahun 1984 dengan hadirnya Daar al-Maal al-Islami
serta Faisal Finance Institution dan mulai beroperasi tahun 1985.

2
Salah satu negara yang menjadi pelopor utama dalam melaksanakan sistem
perbankan syariah secara nasional adalah Pakistan. Pemerintah Pakistan mengkonversi
seluruh sistem perbankan di negaranya pada tahun 1985 menjadi sistem perbankan
syariah. Sebelumnya pada tahun 1979 beberapa institusi keuangan terbesar di Pakistan
telah menghapus sistem bunga dan mulai dari tahun itu juga pemerintah Pakistan
mensosialisasikan pinjaman tanpa bungan. Terutama pada petani dan pelayan. (Kasmir,
2008 : 188)

Kehadiran bank yang berdasarkan syariah di Indonesia masih relatif baru yaitu
“pada 18-20 agustus 1990, yang kemudian di lanjutkan dengan musyawarah nasional
(MUNAS) IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) di hotel Sahid Jakarta pada 22-25 pada
tahun yang sama. Atas dukungan pemerintah dan masyarakat, bank syariah pertama
dengan nama PT bank muamalat indonesia (BMI) berdiri pada 1 November 1991 di
jakarta berdasarkan akta pendirian oleh notaris Yudo Paripurno, S.H. Atas surat izin
menteri kehakiman NO.C2.2413 HT.01.01. Berdirinya BMI tidak langsung diikuti
pendrian bank syariah lainnya sehingga perkembangan perbankan syariah setabil sampai
tahun 1998.

Di latar belakangi oleh krisis ekonomi dan moneter tahun 1998 dan keluarnya
undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomer 7
tahun 1992 tentang perbankan, yang isinya mengatur peluang usaha syariah bagi bank
konvensional, perbankan syariah mulai mengalami perkembangan dengan berdirinya bank
syariah mandiri pada tahun 1999 dan unit usaha syariah (UUS) bank bni pada tahun 2000
serta bank-bank syariah dan uus lain pada tahun-tahun berikutnya. Sepuluh tahun setelah
UU Nomer 10 tersebut terbit, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia
mengeluarkan UU Nomer 20 tentang sukuk dan UU Nomer 21 tentang perbankan Syariah
pada Tahun 2008. Kedua UU tersebut telah ikut mendorong perkembangan perbankan
syariah.Sampai akhir Desember 2013, terdapat 11 bank syariah dan 24 UUS dengan
perkembangannya yang baik. (Ikatan Bankir Indonesia, 2014 : 5)

B. Perkembangan Bank Syariah di Indonesia

Pada dasarnya, entitas bank syariah di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1983
dengan keluarnya Paket Desember 1983 (Pakdes 83) yang berisi sejumlah regulasi di
bidang perbankan, dimana salah satunya ada peraturan yang memperbolehkan bank

3
memberikan kredit dengan bunga 0% (zero interest). Perkembagan dimaksud diikuti oleh
serangkaian kebijakan di bidang perbankan oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro yang
tertuang dalam Paket Oktober 1988 (Pakto 88). Pakto 88 intinya merupakan deregulasi
perbankan yang memberikan kemudahan bagi pendirian bank-bank baru, sehingga industri
perbankan pada waktu itu mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Baru pada tahun
1991 berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank umum satu-satunya yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Namun, eksistensi bank
syariah di Indonesia secara formal telah dimulai sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya
UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun, harus diakui bahwa UU tersebut belum
memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah
karena masih belum secara tegas mencantumkan kata-kata “prinsip syariah” dalam
kegiatan usahanya hanya menggunakan istilah bank bagi hasil. Pengertian Bank Bagi
Hasil yang dimaksudkan dalam UU tersebut belum sesuai dengan cakupan pengertian
bank syariah yang relatif lebih luas dari bank bagi hasil. Dengan tidak adanya pasal-pasal
dalam UU tersebut yang mengatur bank syariah, maka hingga tahun 1998 belum terdapat
ketentuan operasional yang secara khusus mengatur kegiatan usaha bank syariah.
Diamandemennya UU No. 7 tahun 1992 yang kemudian melahirkan UU No. 10 tahun
1998 secara eksplisit menetapkan bahwa bank dapat beroperasi berdasarkan prinsip-
prinsip syariah. Era Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kebijakan hukum perbankan
di Indonesia menganut sistem perbankan ganda (dual banking system). Kebijakan ini
intinya memberikan kesempatan bagi bank-bank umum konvensional untuk memberikan
layanan syariah melalui mekanisme islamic window dengan terlebih dahulu membentuk
Unit Usaha Syariah (UUS). Akibatnya pasca undang-undang ini memunculkan banyak
bank konvensional yang ikut andil dalam memberikan layanan syariah kepada
nasabahnya. Kemudian, pada tahun 1999 disahkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia. Dalam UU ini menetapkan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan
pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Keberadaan kedua UU tersebut
telah mengamanahkan Bank Indonesia untuk menyiapkan perangkat ketentuan dan
fasilitas penunjang lainnya yang mendukung operasional bank syariah sehingga
memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi
pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Kedua UU tersebut selanjutnya menjadi
dasar hukum bagi keberadaan dual banking sistem di Indonesia, yaitu adanya dua sistem
perbankan (konvensional dan syariah) secara berdampingan dalam memberikan pelayanan

4
jasa perbankan bagi masyarakat. Upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia
tidak semata hanya merupakan konsekuensi dari UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999
tetapi juga merupakan bagian dari upaya penyehatan sistem perbankan yang bertujuan
meningkatkan daya tahan perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada
pertengahan 1997 membuktikan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah dapat
bertahan di tengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan
tersebut ditopang oleh karakteristik operasi bank syariah yang melarang bunga (riba),
transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar) dan spekulatif (maysir). Dengan
kenyataan tersebut, pengembangan perbankan syariah diharapkan dapat meningkatkan
ketahanan sistem perbankan nasional yang pada gilirannya juga diharapkan dapat
meningkatkan ketahanan ekonomi nasional di masa mendatang. Ketahanan ekonomi
nasional yang sedemikian rupa dapat menciptakan perekonomian yang tangguh, yaitu
perekonomian yang pertumbuhan sektor keuangannya sejalan dengan pertumbuhan sektor
riil. Dalam upaya pengembangan perbankan syariah tersebut, Bank Indonesia sebagai
otoritas perbankan nasional mulai bergerak maju dengan memperkenalkan instrumen
moneter syariah pertama yaitu Sertifikat Wadiah BI (SWBI) di tahun 1999 dan Pasar Uang
Antar-bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS) pada tahun 2000. Kemudian, pada tahun
2006 pemberian layanan syariah semakin dipermudah oleh Bank Indonesia dengan
diperkenalkannya office channeling dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor
8/3/PBI/2006. Office chaneling intinya adalah bahwa untuk memberikan layanan syariah
Bank Umum Konvensional yang sudah memiliki UUS di kantor pusatnya, tidak perlu lagi
membuka Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu baru melainkan cukup membuka
counter syariah dalam Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu konvensional. Hal ini
tentu saja akan menghemat keuangan bank, karena tidak lagi memerlukan infrastruktur
baru seperti gedung, alat-alat kantor, karyawan, dan teknologi informasi. Selanjutnya,
industri perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang pesat semakin memiliki
landasan hukum yang memadai yakni dengan diterbitkannya Undang-Undang No.21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dukungan regulasi ini tentunya akan mendorong
pertumbuhan industti perbankan syariah secara lebih cepat lagi dan diharapkan peran
industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin
signifikan. (Syukron, 2013: 28-30).

Namun menurut Syukron (2013 : 35) juga dalam perkembangannya perbankan


syariah di Indonesia menunjukkan hasil yang tidak sesuai dengan target yang diinginkan.

5
Dalam statistik perbankan Indonesia per Desember 2014 terdapat tidak kurang 12 Bank
Umum Syariah dan 22 Unit Usaha Syariah dari suatu bank konvensional dengan total
keseluruhan jaringan kantor 2.151 unit. Selain itu, Total aset bank umum syariah mencapai
272.343 (dalam miliar rupiah). Jumlah ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan
total aset perbankan nasional secara umum yang mencapai 5.615.150 (dalam miliar
rupiah). Artinya pangsa pasar perbankan syariah masih sangat kecil hanya 4,85%, padahal
target pangsa pasar perbankan syariah adalah sebesar 15% pada akhir tahun 2015. Hal ini
tentunya mendorong bagi praktisi perbankan syariah agar sesegera mungkin mencari
strategi pengembangan perbankan syariah secara lebih massif.

C. Tujuan di dirikannya Bank Syariah

Keberadaan Perbankan Syariah sebagai bagian dari sistem Ekonomi Islam


diharapkan dapat mendorong perkembangan perekonomian suatu negara. Tujuan dan
fungsi Perbankan Syariah dalam perekonomian adalah kemakmuran ekonomi yang
meluas, tingkat kerja penuh dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum, keadilan
sosial-ekonomi dan distribusi pendapatan serta kekayaan yang merata, stabilitas nilai
uang, mobilisasi dan investasi tabungan yang menjamin adanya pengembalian yang adil
dan pelayanan yang efektif. (Husaeni, 2017).

Tujuan dari didirikannya perbankan syariah adalah untuk mengenalkan dan


mengembangkan penerapan prinsip-prinsip Islam, syariah, dan tradisinya ke dalam
transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait agar umat terhindar dari
hal-hal yang melanggar syariat Islam. (Wirdyaningsih, Dewi, & Barlinti, 2005 : 38)

Menurut UU Republik Indonesia Tahun 2008, Perbankan Syariah bertujuan


menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan,
kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Tujuan perbankan syariah menurut Chapra (1985) dalam Jazil (2013) adalah
pelarangan riba, fokus pada kepentingan publik atau masyarakat luas, mempercepat
pertumbuhan, mencapai ekonomi yang sejahtera,pembentukan keadilan sosial dan
ekonomi, serta distribusi pendapatan yang seimbang. (Imansari & Harto: 2015).

6
D. Landasan Hukum Perbankan Syariah

Menurut Kasmir (2010: 11) Bank secara sederhana dapat diartikan sebagai lembaga
keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali ke masyarakat serta memberikan jasa bank lainnya.

Untuk membahas landasan hukum perbankan syariah tidak lepas dari sejarah
perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Perbankan syariah perkembangan di
Indonesia melalui beberapa tahap periode yaitu:

1. Periode sebelum tahun 1992

Sebelum tahun 1992 di Indonesia telah diberdiri bank syariah dalam bentuk BPR-
Syariah, yaitu BPRS Mardhatillah, BPRS Berkah Amal Sejahtera, Al Mukaromah
dimana sebagai pendiri adalah alumi ITB atau masjid Salman (masjid dalam
lingkungan kampus ITB Bandung). Pada periode ini BPRS didirikan sesuai dengan
perundang-undang perbankan yang berlaku saat itu (bank konvensional), dan tidak
ada ketentuan yang mengatur tentang bank syariah disamping masyarakat yang
belum memungkinkan untuk diajak untuk bertransaksi syariah, sehingga BPR-
Syariah tersebut mati secara pelan-pelan.

2. Periode tahun 1992 sampai dengan tahun 1998

Dalam periode ini lahir puluhan BPR Syariah dan satu Bank Umum Syariah, yaitu
Bank Muamalat Indonesia. Pada periode ini Bank Syariah didirikan berdasarkan
Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam undang-undang
nomor 7 tahun 1992 ini tidak dibahas secara jelas atau secara langsung tentang
bank syariah, hanya dalam pasal 6 huruf m dan pasal 13 huruf c mengatur tentang
usaha bank syariah yaitu:

Usaha Bank Umum : ”Menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan


prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan
Pemerintah” (pasal 6 huruf m).

Usaha Bank Perkreditan Rakyat : ” menyediakan pembiayaan bagi nasabah


berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
dalam Peraturan Pemerintah” (pasal 13 huruf c).

7
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang
perbankan tersebut pemerintah mengeluarkan dua ketentuan perbankan syarian yaitu:

a. Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Bagi


Hasil. Sehingga undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan
Peraturan Pemerintah tersebut sebagai landasan hukum berdirinya Bank
Umum Syariah.

b. Peraturan Pemerintah nomor 73 tahun 1992 tentang Bank Perkreditan rakyat


Berdasarkan Bagi Hasil. Sehingga undang-undang nomor 7 tahun 1992
tentang perbankan dan Peraturan Pemerintah tersebut sbg landasan hukum
berdirinya Bank Perkreditan Rakyat dalam periode ini.

Pada periode ini tidak ada ketentuan lain kecuali ketentuan tersebut diatas, seperti
Peraturan Bank Indonesia, ketentuan tentang akuntansi dan sebagainya. Pada periode ini
masing-masing Dewan Pengawas Syariah mengeluarkan fatwa masing-masing sehingga
ketentuan syariah BPR Syariah yang satu berbeda dengan lain dan berbeda pula dengan
fatwa yang dikeluarkan oleh DPS Bank Muamalat Indonesia. Pada periode ini Bank
syariah dalam menjalankan kegiatan usaha dibidang syariah sesuai kemampuan masing-
masing, berdasarkan Fatwa masing-masing Dewan Pengawas Syariah Bank yang
bersangkutan.

3. Periode tahun 1998 sampai dengan tahun 2008

Dari pengalaman dan kajian yang dilakukan ternyata bank syariah memiliki
karakteristik yang berdeda dengan bank konvensional, maka Undang-undang
nomor 7 tentang perbankan disempurnakan dengan undang-undang nomor 10
tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tentang Perbankan.
Dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tersebut telah dibahas ketentuan-
ketentuan bank syariah misalnya:

a. Dalam pasal 1 angka 13 disebutkan prinsip syariah adalah aturan perjanjian


berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana
dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan usaha lainnya yang
dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip
bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal

8
(musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan marang modal berdasarkan prinsip sewa murni
tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan
atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

b. Pasal 6 huruf m menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain


berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia”
Dalam penjelasan pasal ini disebutkan ”pokok-pokok ketentuan yang
ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain:

(1) kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan prinsip syariah

(2) pembentukan dan tugas Dewan Pengawas Syariah

c. persyaratan bai pembukaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha


secara konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsi
syariah
Masih banyak pasal pasal lain yang mengatur tentang perbankan syariah

Oleh karena dalam undang-undang nomor 10 tahun 1998 telah dibahas bank syariah,
pemerintah mencabut dua peraturan pemerintah tersebut diatas dengan peraturan
pemerintah nomor 30 tahun 1998. Sebagai peraturan pelaksanaannya Bank Indonesia
mulai tahun 1999 banyak mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur bank
syariah. Ketentuan-ketentuan ini yang merupakan landasan hukum berdirinya Bank
Perkreditan Rakyat Syariah dan Bank Umum Syariah seperti Bank Syariah Mandiri, Bank
Mega Syariah dan beberapa caban syariah dari bank konvensional, seperti BRI Syariah,
BNI Syariah, BTN Syariah Bank Jabar Syariah dsb.

4. Periode setelah tahun 2008

Mulai tahun 2008 perbankan syariah di Indonesia memiliki Undang-undang


tersendiri, yaitu Undang-undang nomo 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Undang-undang ini secara lengkap sebagaimana tercantum dalam lampiran buku
ini. Bank Syariah yang didirikan dan/atau menjalankan kegiatan usahanya mulai
tahun 2008, sudah tentu berdasarkan Undang-Undang nomor 21 dan seluruh
peraturan pelaksanaannya. Ketentuan-ketentuan yang diatur berdasarkan Undang-

9
undang nomor 10 tahun 1998 dan peraturan pelaksanaannya tetap berlaku
sepanjang tidak bertentang dengan ketentuan Undang-undang nomor 21 tahun
2008. Hal ini sesuai ketentuan dalam pasal 69 undang-undang tersebut yaitu:
”Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, segala ketentuan mengenai
Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790) beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini”. (Harahap,
Wiroso dan Yusuf, 2010: 6-9).

Menurut Anshori (2018 : 6) Apabila merujuk pada Undang-Undang Nomor 10


Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan eksistensi dari Perbankan Syariah di Indonesia telah diakui secara tegas. Hal ini
tampak pada kata-kata bank berdasarkan prinsip syariah.

UU No. 10 Tahun 1998 belum mengatur secara spesifik tentang operasional


perbankan syariah, maka pemerintah mengesahkan UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah pada tanggal 16 Juli 2008. UU tersebut diharapkan dapat menjamin
kepastian para pihak yang berkepentingan. (Sayekti dan Mauleny, 2013: 29).

Jadi secara ringkas landasan hukum perbankan syariah yaitu :

1. UU No. 7 Tahun 1992


2. UU No. 10 Tahun 1998
3. UU No. 23 Tahun 2003
4. UU No. 21 Tahun 2008

10
Beberapa Peraturan Bank Indonesia Mengenai Perbankan Syariah:

1. PBI No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan


penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.

2. PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas peraturan bank Indonesia No.


6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah.

3. PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksnakan kegiatan usaha


berdasarkan prinsip syariah. (Redaksi Berita Transparansi, 2016).

E. Prinsip dan Fungsi Bank Syariah


Batasan-batasan bank syariah yang harus menjalankan kegiatannya berdasar pada
syariat Islam, menyebabkan bank syariah harus menerapkan prinsip-prinsip yang sejalan
dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Adapun prinsip-prinsip bank syariah adalah
sebagai berikut :
1. Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-Wadiah)Al-Wadiah dapat diartikan sebagai
titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan
hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendaki.
2. Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)Sistem ini adalah suatu sistem yang
meliputi tatacara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan
pengelola dana. (Yupitri dan Sari, 2012: 49).

Dalam paradigma akuntansi Islam, bank syariah memiliki fungsi sebagai berikut:

a) Manajemen Investasi, bank-bank Islam dapat melaksanakan fungsi ini


berdasarkan kontrak mudharabah atau kontrak perwakilan.
b) Investasi, bank-bank Islam menginvestasikan dana yang ditempatkan pada
dunia usaha (baik dana modal maupun dana rekening investasi) dengan
menggunakan alat-alat investasi yang konsisten dengan syariah. Misalnya
adalah kontrak almurabahah, al-mudharabah, al-musyarakah, bai’ as-salam,
bai’ al-ishtisna’, al-ijarah, dan lain-lain

11
c) Jasa-jasa keuangan, bank Islam dapat juga menawarkan berbagai jasa
keuangan lainnya berdasarkan upah (fee based) dalam sebuah kontrak
perwakilan atau penyewaan. (Maradita, 2016: 198).

F. Perbedaan Antara Bank Syariah Dan Bank Konvensional

Perbankan syariah dan perbankan konvensional memiliki perbedaan dalam sistem


yang digunakan. Dalam siastem perbankan syariah tidak hanya semata-mata bertujuan
untuk menghasilkan profit sebanyak-banyaknya, melainkan dituntut untuk
mengimplementasikan nilai-nilai syariah secara nyata. Sebab sistem keuangan dan
perbankan syariah merupakan subsistem dari suatu sistem ekonomi Islam yang memiliki
cakupan yang luas.

Di dalam perbankan konvensional terdapat kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh


syariat Islam, seperti menerima dan membayar bunga (riba), membayai kegiatan produksi
dan perdagangan barang-barang yang diharamakan (haram), kegiatan yang sangat dekat
dengan gambling (maisir), untuk transaksi-transaksi tertentu dalam transaksi valuta asing,
serta memasukan transaksi sangat spekulatif (gharar) dalam investment banking.

Sedangkan prinsip utama yang dianut oleh perbankan syariah adalah : (1) larangan
riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi; (2) menjalankan bisnis dan aktivitas
perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah; dan
(3) menumbuhkembangkan zakat. (Wirdyaningsih, Dewi, & Barlinti, 2005 : 39)

Perbankan syariah juga telah mengadopsi prosedur dan sistem dari perbankan
konvensional selama sistem dan prosedur tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip Islam. Kemudian untuk menghindari adanya penyimpangan dalam pelaksanaan
sistem dan prosedur dalam perbankan syariah, maka bank syariah memiliki dewan
pengawas syariah yang bertugas untuk memberikan masukan kepada perbankan syariah
untuk memastikan bahwa bank syariah tidak melakukan aktivitas yang bertentangan
dengan betentangan dengan prinsip Islam.

12
Tabel 5.1 Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional

KETERANGAN BANK SYARIAH BANK KONVENSIONAL


Akad dan Aspek Legalitas Hukum Islam dan Hukum Positif
Hukum Positif
Lembaga Penyelesaian BASYARNAS BANI
Sengketa
Struktur Organisasi Ada Dewan Syariah Tidak ada DSN dan DPS
Nasional (DSN) dan
Dewan Pengawas Syariah
(DPS)
Investasi Halal Halal dan Haram
Prinsip Operasional Bagi hasil, jual beli, sewa Perangkat bunga
Tujuan Profit and falah oriented Profit oriented
Hubungan Nasabah Kemitraan Debitor dan Kreditor

Perbedaan pokok antara sistem bank konvensional dengan bank syariah secara
ringkas dapat dilihat dari empat aspek berikut : (Machmud, & Rukmana, 2010 : 11)

a. Falsafah : Pada bank syariah tidak berdasarkan atas bunga, spekulasi, dan
ketidakjelasan, sedangkan pada bank konvensional berdasarkan atas bunga.
b. Operasional : Pada bank syariah, dana masyarakat berupa titipan dan investasi
baru akan mendapatkan hasil jika diusahakan terlebih dahulu, sedangkan pada
bank konvensional, dana masyarakat merupakan simpanan yang harus dibayar
bunga pada saat jatuh tempo. Pada sisi penyaluran, bank syariah menyalurkan
dananya pada sektor usaha yang halal dan menguntungkan, sedangkan pada
bank konvensional, aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama.
c. Sosial : Pada bank syariah, aspek sosial dinyarakan secara eksplisit dan tegas
yang tertuang dalam visi dan misi perusahaan, sedangkan pada bank
konvensional tidak tersirat secara tegas.
d. Organisasi : Bank syariah harus memiliki DPS. Sementara itu bank
konvensional tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah.

Pembeda yang sangat signifikan antara bank syariah dan bank konvesnional ialah
sistem bagi hasil pada bank syariah sedangan bank konvensional menggunakan sistem
bunga. Namun tidak sedikit masyarakat beranggapan bahwa antara bagi hasil dengan

13
pemberian/pengambilan bunga tidak ada bedanya sehingga mereka beropini bahwa bank
syariah dan bank konvensional ialah sama haya istilah yang membedakan. Untuk
meluruskan hal tersebut, perbedaan bagi hasi dan bung akan dijelaskan dalam tabel berikut
:

Tabel 5.2. Perbandingan Bagi Hasil dan Bunga

Bagi Hasil Bunga


Penentuan bagi hasil dibuat sewaktu Penentuan bunga dibuat sewaktu perjanjian
perjanjian dengan berdasarkan kepada tanpa berdasarkan kepada untung/rugi.
untung/rugi.
Jumlah nisbah bagi hasil berdasarkan Jumlah persenan bunga berdasarkan jumlah
jumlah keuntungan yang telah dicapai. uang (modal) yang ada.
Bagi hasil tergantung pada hasil proyek. Pembayaran bunga tetap seperti perjanjian
Jika proyek mendpat keuntungan atau tanpa diambil pertimbangan apakah proyek
mengalami kerugian, risikonya ditanggung yang dilaksanakan pihak kedua untung atau
kedua belah pihak. rugi.
Jumlah pemberian hasil keuntungan Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat
meningkat sesuai dengan peningkatan walaupun jumlah keuntungan berlipat
keuntungan yang didapat. ganda.
Penerimaan/pembagian keuntungan adalah Pengembalian/pembayaran bunga adalah
halal haram.
(Machmud, & Rukmana, 2010 : 12).

BAB III
PENUTUP

G. Kesimpulan

14
Perbankan Syariah pertama kali muncul di Mesir. Islamic Development Bank (IDB)
kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam
organisasi konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar
pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di
negara-negara anggotanya.

Tujuan dari didirikannya perbankan syariah adalah untuk mengenalkan dan


mengembangkan penerapan prinsip-prinsip Islam, syariah, dan tradisinya ke dalam
transaksi keuangan dan perbankan serta bisnis lain yang terkait.

Apabila merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan


atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan eksistensi dari Perbankan
Syariah di Indonesia telah diakui secara tegas. Hal ini tampak pada kata-kata bank
berdasarkan prinsip syariah.

Pembeda yang sangat signifikan antara bank syariah dan bank konvesnional ialah
sistem bagi hasil pada bank syariah sedangan bank konvensional menggunakan sistem
bunga. Namun tidak sedikit masyarakat beranggapan bahwa antara bagi hasil dengan
pemberian/pengambilan bunga tidak ada bedanya sehingga mereka beropini bahwa bank
syariah dan bank konvensional ialah sama haya istilah yang membedakan.

H. Saran

Di dalam perguruan tinggi, hal yang dikaji berkaitan dengan akuntansi tidak cukup
mencakup kajian akuntansi secara praktik namun juga secara teori, perguruan tinggi
memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan akuntansi secara teori.
Sebagai agen pengembangan dan perubahan, perguruan tinggi harus mampu untuk
mengembangkan teori-teori yang telah ada agar akuntansi agar dapat berkembang menjadi
lebihbaik.

15
DAFTAR PUSTAKA

Albadri, A. A. M., dan Sedjati, R. S. 2015. Riba dalam Perspektif Fiqih Muamalah dan Teori
Bunga atas Produk Lembaga Keuangan Konvensional.

Ashori, Abdul Ghofur. 2018. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Harahap, D. (2014). Analisis Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Pembiayaan Kpr Di Bank


Muamalat Medan (Doctoral dissertation, Pascasarjana IAIN-su).

Harahap, Sofyan S, Wiroso, dan Yusuf Muhammad. 2010. Akuntansi Perbankan Syariah.
Jakarta: Penerbit LPFE Usakti.

Husaeni, U. A. (2017). Determinan Pembiayaan Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah di


Indonesia. Esensi: Jurnal Bisnis dan Manajemen, 7(1), 49-62.

Ikatan Bankir Indonesia dan Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan. Cet. Pertama 2014. Cet.
kedua 2018. Mengelola Bank Syariah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Imansari, A. D., & HARTO, P. (2015). Analisis Perbandingan Kinerja Perbankan Syariah


berdasarkan Konsep Al-Maqashid Al-Syariah di Indonesia dan Malaysia (Doctoral
dissertation, Fakultas Ekonomika dan Bisnis).

Kasmir. (2008). Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Edisi Revisi 2008. Jakarta: PT.
RAJAGRAFINDO PERSADA.

Kasmir. 2010. Manajemen Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo

Machmud, A., Rukmana, Hayati, Y. S., Sallama, N. I., & Hardani, W. (2010). Bank syariah:
teori, kebijakan, dan studi empiris di Indonesia. Erlangga.

Maradita, Aldira. 2016. “Karakteristik Good Corporate Governance pada Bank Syariah dan
Bank Konvensional.” https://e-journal.unair.ac.id/YDK/article/view/366 (akses 9 April 2019).

Redaksi Berita Transparansi. 2016. “Peraturan Mengenai Perbankan Syariah di Indonesia”.


https://www.beritatransparansi.com/peraturan-mengenai-perbankan-syariah-di-indonesia/
(akses 9 April 2019).

iv
Sayekti, Nidya Waras dan Mauleny, Ariesy Tri. “Analisis Kinerja Perbankan Syariah di
Indonesia: Pra dan Pasca Undang-undang no 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,”
Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, Vol. 4 No. 1, Juni 2013.

Syukron, Ali. 2013. “Dinamika Perkembangan Perbankan Syariah di Indonesia”, Jurnal


Ekonomi dan Hukum Islam, Vol. 3 No. 2.

Wirdyaningsih, K. P., Dewi, G., & Barlinti, D. Y. (2005). Bank dan Asuransi Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.

Yupitri, Evi dan Sari, Raina Linda. “Analisis yang Mempengaruhi faktor-faktor Non Muslim
menjadi Nasabah Bank Syariah Mandiri di Medan”, Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol. 1
No. 1, Desember 2012.

Anda mungkin juga menyukai