PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Terdapat dua lembaga keuangan, yaitu lembaga keuangan bank dan lembaga
keuangan non bank. Bank syariah merupakan lembaga keuangan bank dimana kegiatan
operasionalnya berlandaskan prinsip syariah yaitu Al-Quran dan Hadits. Adanya bank
syariah tidak lain merupakan kebutuhan yang mendasar bagi umat islam, dikarenakan
bank syariah terlepas dari praktik ribawi. Menurut Aziz dan Sedjati (2015: 1) Aktifitas
ribawi merupakan aktivitas dari kegiatan yang mengeksploitasi kebutuhan orang lemah,
penimbunan kekayaan berlebih atas modal ekonomi lemah. Di dalam bank syariah tidak
terdapat bunga, melainkan bagi hasil, dimana jelas keduanya sangat berbeda melihat akad-
akad yang ada dalam perbankan syariah.
B. TUJUAN
1. Memahami pengertian dari sejarah perbankan syari’ah
2. Mengetahui pengklasifikasian dari teori akuntansi
3. Memahami bagaimana aspek sasaran teori dari teori akuntansi
4. Mengetahui fungsi dari teori akuntansi
5. Mengetahui apa yang menjadi tujuan teori akuntansi
1
BAB II
PENGERTIAN SEJARAH PERBANKAN SYARIAH
Di Iprus tahun 1983 berdiri Faisal Islamic Bank of Kibris. Kemudian di Malaysia
bank syariah lahir tahun 1983 dengan berdirinya Bank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dan
pada tahun 1999 lahir pula Bank Putera Muamalah.
Di Iran sistem perbankan syariah mulai berlaku secara nasional pada tahun 1983
sejak dikeluarkannya Undang-Undang perbankan islam. Kemudian di Turki negara yang
beridiologi sekuler bank syariah lahir tahun 1984 dengan hadirnya Daar al-Maal al-Islami
serta Faisal Finance Institution dan mulai beroperasi tahun 1985.
2
Salah satu negara yang menjadi pelopor utama dalam melaksanakan sistem
perbankan syariah secara nasional adalah Pakistan. Pemerintah Pakistan mengkonversi
seluruh sistem perbankan di negaranya pada tahun 1985 menjadi sistem perbankan
syariah. Sebelumnya pada tahun 1979 beberapa institusi keuangan terbesar di Pakistan
telah menghapus sistem bunga dan mulai dari tahun itu juga pemerintah Pakistan
mensosialisasikan pinjaman tanpa bungan. Terutama pada petani dan pelayan. (Kasmir,
2008 : 188)
Kehadiran bank yang berdasarkan syariah di Indonesia masih relatif baru yaitu
“pada 18-20 agustus 1990, yang kemudian di lanjutkan dengan musyawarah nasional
(MUNAS) IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) di hotel Sahid Jakarta pada 22-25 pada
tahun yang sama. Atas dukungan pemerintah dan masyarakat, bank syariah pertama
dengan nama PT bank muamalat indonesia (BMI) berdiri pada 1 November 1991 di
jakarta berdasarkan akta pendirian oleh notaris Yudo Paripurno, S.H. Atas surat izin
menteri kehakiman NO.C2.2413 HT.01.01. Berdirinya BMI tidak langsung diikuti
pendrian bank syariah lainnya sehingga perkembangan perbankan syariah setabil sampai
tahun 1998.
Di latar belakangi oleh krisis ekonomi dan moneter tahun 1998 dan keluarnya
undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomer 7
tahun 1992 tentang perbankan, yang isinya mengatur peluang usaha syariah bagi bank
konvensional, perbankan syariah mulai mengalami perkembangan dengan berdirinya bank
syariah mandiri pada tahun 1999 dan unit usaha syariah (UUS) bank bni pada tahun 2000
serta bank-bank syariah dan uus lain pada tahun-tahun berikutnya. Sepuluh tahun setelah
UU Nomer 10 tersebut terbit, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia
mengeluarkan UU Nomer 20 tentang sukuk dan UU Nomer 21 tentang perbankan Syariah
pada Tahun 2008. Kedua UU tersebut telah ikut mendorong perkembangan perbankan
syariah.Sampai akhir Desember 2013, terdapat 11 bank syariah dan 24 UUS dengan
perkembangannya yang baik. (Ikatan Bankir Indonesia, 2014 : 5)
Pada dasarnya, entitas bank syariah di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1983
dengan keluarnya Paket Desember 1983 (Pakdes 83) yang berisi sejumlah regulasi di
bidang perbankan, dimana salah satunya ada peraturan yang memperbolehkan bank
3
memberikan kredit dengan bunga 0% (zero interest). Perkembagan dimaksud diikuti oleh
serangkaian kebijakan di bidang perbankan oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro yang
tertuang dalam Paket Oktober 1988 (Pakto 88). Pakto 88 intinya merupakan deregulasi
perbankan yang memberikan kemudahan bagi pendirian bank-bank baru, sehingga industri
perbankan pada waktu itu mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Baru pada tahun
1991 berdirilah Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank umum satu-satunya yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Namun, eksistensi bank
syariah di Indonesia secara formal telah dimulai sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya
UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Namun, harus diakui bahwa UU tersebut belum
memberikan landasan hukum yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah
karena masih belum secara tegas mencantumkan kata-kata “prinsip syariah” dalam
kegiatan usahanya hanya menggunakan istilah bank bagi hasil. Pengertian Bank Bagi
Hasil yang dimaksudkan dalam UU tersebut belum sesuai dengan cakupan pengertian
bank syariah yang relatif lebih luas dari bank bagi hasil. Dengan tidak adanya pasal-pasal
dalam UU tersebut yang mengatur bank syariah, maka hingga tahun 1998 belum terdapat
ketentuan operasional yang secara khusus mengatur kegiatan usaha bank syariah.
Diamandemennya UU No. 7 tahun 1992 yang kemudian melahirkan UU No. 10 tahun
1998 secara eksplisit menetapkan bahwa bank dapat beroperasi berdasarkan prinsip-
prinsip syariah. Era Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kebijakan hukum perbankan
di Indonesia menganut sistem perbankan ganda (dual banking system). Kebijakan ini
intinya memberikan kesempatan bagi bank-bank umum konvensional untuk memberikan
layanan syariah melalui mekanisme islamic window dengan terlebih dahulu membentuk
Unit Usaha Syariah (UUS). Akibatnya pasca undang-undang ini memunculkan banyak
bank konvensional yang ikut andil dalam memberikan layanan syariah kepada
nasabahnya. Kemudian, pada tahun 1999 disahkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia. Dalam UU ini menetapkan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan
pengendalian moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Keberadaan kedua UU tersebut
telah mengamanahkan Bank Indonesia untuk menyiapkan perangkat ketentuan dan
fasilitas penunjang lainnya yang mendukung operasional bank syariah sehingga
memberikan landasan hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi
pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Kedua UU tersebut selanjutnya menjadi
dasar hukum bagi keberadaan dual banking sistem di Indonesia, yaitu adanya dua sistem
perbankan (konvensional dan syariah) secara berdampingan dalam memberikan pelayanan
4
jasa perbankan bagi masyarakat. Upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia
tidak semata hanya merupakan konsekuensi dari UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999
tetapi juga merupakan bagian dari upaya penyehatan sistem perbankan yang bertujuan
meningkatkan daya tahan perekonomian nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada
pertengahan 1997 membuktikan bahwa bank yang beroperasi dengan prinsip syariah dapat
bertahan di tengah gejolak nilai tukar dan tingkat suku bunga yang tinggi. Kenyataan
tersebut ditopang oleh karakteristik operasi bank syariah yang melarang bunga (riba),
transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar) dan spekulatif (maysir). Dengan
kenyataan tersebut, pengembangan perbankan syariah diharapkan dapat meningkatkan
ketahanan sistem perbankan nasional yang pada gilirannya juga diharapkan dapat
meningkatkan ketahanan ekonomi nasional di masa mendatang. Ketahanan ekonomi
nasional yang sedemikian rupa dapat menciptakan perekonomian yang tangguh, yaitu
perekonomian yang pertumbuhan sektor keuangannya sejalan dengan pertumbuhan sektor
riil. Dalam upaya pengembangan perbankan syariah tersebut, Bank Indonesia sebagai
otoritas perbankan nasional mulai bergerak maju dengan memperkenalkan instrumen
moneter syariah pertama yaitu Sertifikat Wadiah BI (SWBI) di tahun 1999 dan Pasar Uang
Antar-bank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS) pada tahun 2000. Kemudian, pada tahun
2006 pemberian layanan syariah semakin dipermudah oleh Bank Indonesia dengan
diperkenalkannya office channeling dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor
8/3/PBI/2006. Office chaneling intinya adalah bahwa untuk memberikan layanan syariah
Bank Umum Konvensional yang sudah memiliki UUS di kantor pusatnya, tidak perlu lagi
membuka Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu baru melainkan cukup membuka
counter syariah dalam Kantor Cabang/Kantor Cabang Pembantu konvensional. Hal ini
tentu saja akan menghemat keuangan bank, karena tidak lagi memerlukan infrastruktur
baru seperti gedung, alat-alat kantor, karyawan, dan teknologi informasi. Selanjutnya,
industri perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang pesat semakin memiliki
landasan hukum yang memadai yakni dengan diterbitkannya Undang-Undang No.21
Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dukungan regulasi ini tentunya akan mendorong
pertumbuhan industti perbankan syariah secara lebih cepat lagi dan diharapkan peran
industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin
signifikan. (Syukron, 2013: 28-30).
5
Dalam statistik perbankan Indonesia per Desember 2014 terdapat tidak kurang 12 Bank
Umum Syariah dan 22 Unit Usaha Syariah dari suatu bank konvensional dengan total
keseluruhan jaringan kantor 2.151 unit. Selain itu, Total aset bank umum syariah mencapai
272.343 (dalam miliar rupiah). Jumlah ini masih relatif kecil jika dibandingkan dengan
total aset perbankan nasional secara umum yang mencapai 5.615.150 (dalam miliar
rupiah). Artinya pangsa pasar perbankan syariah masih sangat kecil hanya 4,85%, padahal
target pangsa pasar perbankan syariah adalah sebesar 15% pada akhir tahun 2015. Hal ini
tentunya mendorong bagi praktisi perbankan syariah agar sesegera mungkin mencari
strategi pengembangan perbankan syariah secara lebih massif.
Tujuan perbankan syariah menurut Chapra (1985) dalam Jazil (2013) adalah
pelarangan riba, fokus pada kepentingan publik atau masyarakat luas, mempercepat
pertumbuhan, mencapai ekonomi yang sejahtera,pembentukan keadilan sosial dan
ekonomi, serta distribusi pendapatan yang seimbang. (Imansari & Harto: 2015).
6
D. Landasan Hukum Perbankan Syariah
Menurut Kasmir (2010: 11) Bank secara sederhana dapat diartikan sebagai lembaga
keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali ke masyarakat serta memberikan jasa bank lainnya.
Untuk membahas landasan hukum perbankan syariah tidak lepas dari sejarah
perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Perbankan syariah perkembangan di
Indonesia melalui beberapa tahap periode yaitu:
Sebelum tahun 1992 di Indonesia telah diberdiri bank syariah dalam bentuk BPR-
Syariah, yaitu BPRS Mardhatillah, BPRS Berkah Amal Sejahtera, Al Mukaromah
dimana sebagai pendiri adalah alumi ITB atau masjid Salman (masjid dalam
lingkungan kampus ITB Bandung). Pada periode ini BPRS didirikan sesuai dengan
perundang-undang perbankan yang berlaku saat itu (bank konvensional), dan tidak
ada ketentuan yang mengatur tentang bank syariah disamping masyarakat yang
belum memungkinkan untuk diajak untuk bertransaksi syariah, sehingga BPR-
Syariah tersebut mati secara pelan-pelan.
Dalam periode ini lahir puluhan BPR Syariah dan satu Bank Umum Syariah, yaitu
Bank Muamalat Indonesia. Pada periode ini Bank Syariah didirikan berdasarkan
Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam undang-undang
nomor 7 tahun 1992 ini tidak dibahas secara jelas atau secara langsung tentang
bank syariah, hanya dalam pasal 6 huruf m dan pasal 13 huruf c mengatur tentang
usaha bank syariah yaitu:
7
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang
perbankan tersebut pemerintah mengeluarkan dua ketentuan perbankan syarian yaitu:
Pada periode ini tidak ada ketentuan lain kecuali ketentuan tersebut diatas, seperti
Peraturan Bank Indonesia, ketentuan tentang akuntansi dan sebagainya. Pada periode ini
masing-masing Dewan Pengawas Syariah mengeluarkan fatwa masing-masing sehingga
ketentuan syariah BPR Syariah yang satu berbeda dengan lain dan berbeda pula dengan
fatwa yang dikeluarkan oleh DPS Bank Muamalat Indonesia. Pada periode ini Bank
syariah dalam menjalankan kegiatan usaha dibidang syariah sesuai kemampuan masing-
masing, berdasarkan Fatwa masing-masing Dewan Pengawas Syariah Bank yang
bersangkutan.
Dari pengalaman dan kajian yang dilakukan ternyata bank syariah memiliki
karakteristik yang berdeda dengan bank konvensional, maka Undang-undang
nomor 7 tentang perbankan disempurnakan dengan undang-undang nomor 10
tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tentang Perbankan.
Dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tersebut telah dibahas ketentuan-
ketentuan bank syariah misalnya:
8
(musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan
(murabahah), atau pembiayaan marang modal berdasarkan prinsip sewa murni
tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan
atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).
Oleh karena dalam undang-undang nomor 10 tahun 1998 telah dibahas bank syariah,
pemerintah mencabut dua peraturan pemerintah tersebut diatas dengan peraturan
pemerintah nomor 30 tahun 1998. Sebagai peraturan pelaksanaannya Bank Indonesia
mulai tahun 1999 banyak mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur bank
syariah. Ketentuan-ketentuan ini yang merupakan landasan hukum berdirinya Bank
Perkreditan Rakyat Syariah dan Bank Umum Syariah seperti Bank Syariah Mandiri, Bank
Mega Syariah dan beberapa caban syariah dari bank konvensional, seperti BRI Syariah,
BNI Syariah, BTN Syariah Bank Jabar Syariah dsb.
9
undang nomor 10 tahun 1998 dan peraturan pelaksanaannya tetap berlaku
sepanjang tidak bertentang dengan ketentuan Undang-undang nomor 21 tahun
2008. Hal ini sesuai ketentuan dalam pasal 69 undang-undang tersebut yaitu:
”Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, segala ketentuan mengenai
Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun1992 Nomor 31,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3790) beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini”. (Harahap,
Wiroso dan Yusuf, 2010: 6-9).
10
Beberapa Peraturan Bank Indonesia Mengenai Perbankan Syariah:
Dalam paradigma akuntansi Islam, bank syariah memiliki fungsi sebagai berikut:
11
c) Jasa-jasa keuangan, bank Islam dapat juga menawarkan berbagai jasa
keuangan lainnya berdasarkan upah (fee based) dalam sebuah kontrak
perwakilan atau penyewaan. (Maradita, 2016: 198).
Sedangkan prinsip utama yang dianut oleh perbankan syariah adalah : (1) larangan
riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi; (2) menjalankan bisnis dan aktivitas
perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah; dan
(3) menumbuhkembangkan zakat. (Wirdyaningsih, Dewi, & Barlinti, 2005 : 39)
Perbankan syariah juga telah mengadopsi prosedur dan sistem dari perbankan
konvensional selama sistem dan prosedur tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-
prinsip Islam. Kemudian untuk menghindari adanya penyimpangan dalam pelaksanaan
sistem dan prosedur dalam perbankan syariah, maka bank syariah memiliki dewan
pengawas syariah yang bertugas untuk memberikan masukan kepada perbankan syariah
untuk memastikan bahwa bank syariah tidak melakukan aktivitas yang bertentangan
dengan betentangan dengan prinsip Islam.
12
Tabel 5.1 Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional
Perbedaan pokok antara sistem bank konvensional dengan bank syariah secara
ringkas dapat dilihat dari empat aspek berikut : (Machmud, & Rukmana, 2010 : 11)
a. Falsafah : Pada bank syariah tidak berdasarkan atas bunga, spekulasi, dan
ketidakjelasan, sedangkan pada bank konvensional berdasarkan atas bunga.
b. Operasional : Pada bank syariah, dana masyarakat berupa titipan dan investasi
baru akan mendapatkan hasil jika diusahakan terlebih dahulu, sedangkan pada
bank konvensional, dana masyarakat merupakan simpanan yang harus dibayar
bunga pada saat jatuh tempo. Pada sisi penyaluran, bank syariah menyalurkan
dananya pada sektor usaha yang halal dan menguntungkan, sedangkan pada
bank konvensional, aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama.
c. Sosial : Pada bank syariah, aspek sosial dinyarakan secara eksplisit dan tegas
yang tertuang dalam visi dan misi perusahaan, sedangkan pada bank
konvensional tidak tersirat secara tegas.
d. Organisasi : Bank syariah harus memiliki DPS. Sementara itu bank
konvensional tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah.
Pembeda yang sangat signifikan antara bank syariah dan bank konvesnional ialah
sistem bagi hasil pada bank syariah sedangan bank konvensional menggunakan sistem
bunga. Namun tidak sedikit masyarakat beranggapan bahwa antara bagi hasil dengan
13
pemberian/pengambilan bunga tidak ada bedanya sehingga mereka beropini bahwa bank
syariah dan bank konvensional ialah sama haya istilah yang membedakan. Untuk
meluruskan hal tersebut, perbedaan bagi hasi dan bung akan dijelaskan dalam tabel berikut
:
BAB III
PENUTUP
G. Kesimpulan
14
Perbankan Syariah pertama kali muncul di Mesir. Islamic Development Bank (IDB)
kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam
organisasi konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar
pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di
negara-negara anggotanya.
Pembeda yang sangat signifikan antara bank syariah dan bank konvesnional ialah
sistem bagi hasil pada bank syariah sedangan bank konvensional menggunakan sistem
bunga. Namun tidak sedikit masyarakat beranggapan bahwa antara bagi hasil dengan
pemberian/pengambilan bunga tidak ada bedanya sehingga mereka beropini bahwa bank
syariah dan bank konvensional ialah sama haya istilah yang membedakan.
H. Saran
Di dalam perguruan tinggi, hal yang dikaji berkaitan dengan akuntansi tidak cukup
mencakup kajian akuntansi secara praktik namun juga secara teori, perguruan tinggi
memiliki peranan yang sangat penting dalam pengembangan akuntansi secara teori.
Sebagai agen pengembangan dan perubahan, perguruan tinggi harus mampu untuk
mengembangkan teori-teori yang telah ada agar akuntansi agar dapat berkembang menjadi
lebihbaik.
15
DAFTAR PUSTAKA
Albadri, A. A. M., dan Sedjati, R. S. 2015. Riba dalam Perspektif Fiqih Muamalah dan Teori
Bunga atas Produk Lembaga Keuangan Konvensional.
Ashori, Abdul Ghofur. 2018. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Harahap, Sofyan S, Wiroso, dan Yusuf Muhammad. 2010. Akuntansi Perbankan Syariah.
Jakarta: Penerbit LPFE Usakti.
Ikatan Bankir Indonesia dan Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan. Cet. Pertama 2014. Cet.
kedua 2018. Mengelola Bank Syariah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Kasmir. (2008). Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Edisi Revisi 2008. Jakarta: PT.
RAJAGRAFINDO PERSADA.
Machmud, A., Rukmana, Hayati, Y. S., Sallama, N. I., & Hardani, W. (2010). Bank syariah:
teori, kebijakan, dan studi empiris di Indonesia. Erlangga.
Maradita, Aldira. 2016. “Karakteristik Good Corporate Governance pada Bank Syariah dan
Bank Konvensional.” https://e-journal.unair.ac.id/YDK/article/view/366 (akses 9 April 2019).
iv
Sayekti, Nidya Waras dan Mauleny, Ariesy Tri. “Analisis Kinerja Perbankan Syariah di
Indonesia: Pra dan Pasca Undang-undang no 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah,”
Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, Vol. 4 No. 1, Juni 2013.
Wirdyaningsih, K. P., Dewi, G., & Barlinti, D. Y. (2005). Bank dan Asuransi Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.
Yupitri, Evi dan Sari, Raina Linda. “Analisis yang Mempengaruhi faktor-faktor Non Muslim
menjadi Nasabah Bank Syariah Mandiri di Medan”, Jurnal Ekonomi dan Keuangan, Vol. 1
No. 1, Desember 2012.