Pendahuluan
Dunia perbankan merupakan sektor ekonomi yang menjadi salah satu industri
keuangan yang mendorong pertumbuhan perekonomian Indonesia. Baik bagi masyarakat
kelas menengah ke bawah maupun masyarakat kelas menengah ke atas. Sektor perbankan
merupakan lembaga intermediari antara yang melakukan saving dan pembiayaan. Sepak
terjang perbankan syariah di Indonesia dimulai dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia
pada tahun 1992. Setelah berdirinya Bank Muamalat, pemerintah mulai mengakui sistem
perbankan syariah, terbukti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
BUS UUS
23 24 24 23 22
27 25
26
19 20
15
6 8 11 11 11 11 12
3 3 5 6
2 2 2 2 3 3 3 3
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
Grafik 1. Perkembangan Lembaga Perbankan Syariah
Sumber: Statistik Perbankan Syariah 2003 - 2014
Landasan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia
Dalam menjalankan operasionalnya, bank syariah berpedoman pada prinsipprinsip
yang sesuai syariah. Landasan syariah meliputi Al-Quran, Sunnah, dan Ijtihad.
Berdasarkan UU No. 7 tahun 1992 tersebut, dimungkinkan bagi bank untuk melakukan
kegiatan usahanya bukan berdasarkan bunga tetapi berdasarkan bagi hasil.
Kemudian dalam UU No. 10 tahun 1998 tentang perubahan UU No. 7 tahun 1992
disebutkan bahwa bank syariah adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha
berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
Dalam UU No. 10 tahun 1998 itu, secara tegas disebutkan kemungkinan untuk
pendirian bank berdasarkan prinsip syariah dan diperbolehkannya bank konvensional untuk
memiliki Islamic windows, dengan mendirikan unit usaha syariah.
Selanjutnya bank syariah baru diakui secara nyata dan tegas melalui UndangUndang
No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah yang menjelaskan dan menerangkan mengenai
perihal perbankan syariah secara spesifik. Hingga saat ini seluruh akad dan transaksi yang
berlangsung di bank syariah diatur oleh Undang-Undang No. 21 tahun 2008 dengan didukung
oleh fatwa DSN-MUI.
Pemikiran awal tentang syariah, khususnya dalam perbankan syariah, tidak bisa luput
dari bunga bank. Terdapat dua aliran pemikiran sehubungan dengan bunga bank yang ada
dalam lembaga keuangan di Indonesia. Aliran pertama berpendapat bahwa bunga bank tidak
tergolong riba, karena yang disebut riba adalah pembuangan uang oleh lintah darat
(mindering) yang bunganya sangat tinggi. Aliran ini antara lain diwakili oleh ulama
terkemuka dari PERSIS, A. Hassan, Muhammad Hatta, Kasman Singodimedjo
(Muhammadiyah) dan Sjafrudidin Prawiranegara.
Sedangkan aliran kedua berpendapat bahwa bunga bank sama dengan riba. Aliran
kedua ini menghendaki adanya lembaga keuangan yang berbasis sistem bagi hasil.
Istilah bunga bank sendiri masuk ke Indonesia sejak tahun 1934. Tokoh besar
Muhammadiyah pada tahun 1937, KH. Mas Mansur juga mengeluarkan pendapatnya
mengenai penggunaan jasa bank konvensional yang tidak dapat dihindari praktek
pelaksaanaan bunga banknya dengan menerapkan prinsip darurat, karena umat Islam belum
mempunyai lembaga keuangan sendiri yang bebas riba.
Kemudian pada tahun 1970-an bunga bank ini muncul kembali di kalangan umat
Islam Indonesia. Keputusan Majelis Tarjih Muhammadiyah tahun 1968 di Sidoarjo,
menghasilkan fatwa tentang bunga bank bahwa bank dengan sistem riba hukumnya haram
dan bank tanpa riba hukumnya halal dan bunga bank sendiri bersifat syubhat. Kemudian
Nahdhatul Ulama (NU) dalam Bahsul Masail pada tahun 1982 juga memutuskan tentang
bunga bank yang menghasilkan tiga pendapat mengenai bunga bank. Pertama, bunga bank
berstatus haram, karena disamakan dengan riba. Kedua, bunga bank tersebut hukumnya
syubhat. Pendapat ketiga menyatakan bahwa bunga bank halal hukumnya, karena tidak sama
dengan riba.
Sistem bank tanpa bunga sebenarnya telah tewujud sejak tahun 1983, sejak
dilakukannya deregulasi perbankan yang diatur dalam paket kebijakan Juni 1983 berkaitan
dengan pemberian keleluasaan penentuan tingkat suku bunga, termasuk bunga nol persen
(zero interest). Pada tahun 1983 ini, Bank Indonesia tidak lagi mengatur penentuan tingkat
suku bunga pada bankbank yang ada saat itu. Di Bandung misalnya, berdiri beberapa Bank
Perkreditan Rakyat yang memiliki tingkat suku bunga nol persen (zero interest). Kemudian
pada tahun 1980an juga Bank Susila Bakti (yang sekarang bernama Bank Mandiri)
mendirikan Islamic Counter dengan tingkat suku bunga nol persen.
Setelah melalui lika liku dalam rangka merealisasikan ide pendirian bank syariah di
Indonesia, akhirnya pada tanggal 1 November 1991 diumumkan akta pendirian bank syariah
pertama yaitu Bank Muamalat Indonesia di Hotel Sahid Jaya. Penandatanganan akta tersebut
agar keberadaanya diakui secara formal oleh pemerintah. Pada kesempatan ini pula
ditetapkan bahwa modal dasar pendirian bank syariah pertama tersebut adalah sebesar Rp
500 miliar. Penyelenggaraan acara silaturahim antara Presiden Soeharto dengan masyarakat
Jawa Barat di Istana sebagaimana yang telah direncanakan berlangsung pada tanggal 3
November 1991. Dalam acara ini, jumlah modal dasar berhasil ditingkatkan dari Rp. 85
miliar menjadi Rp 110 miliar yang dicapai dengan dukungan empat ribu masyarakat Jawa
Barat. Adapun pengoperasian Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank syariah pertama
di Indonesia dimulai pada 1 Mei 1992. Pendirian BMI ini tak luput dari usaha Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). ICMI merupakan alat penggerak yang kuat
pengaruhnya bagi umat Islam Indonesia, karena diketuai oleh Habibie yang pada saat itu
menjabat sebagai Menteri Ilmu Pengetahuan dan Tekonologi. Habibie pada saat itu juga
dianggap sebagai orang kepercayaan Soeharto sejak akhir 1980-an. Habibie sendiri
menetapkan pendirian bank syariah sebagai salah satu agenda ICMI.
Awalnya tim yang mendatangi Presiden Soeharto mengajukan dua nama untuk bank
syariah pertama, yaitu Bank Muamalat Islam Indonesia Dan Bank Muamalat Indonesia.
Kemudian Presiden Soeharto bertanya, “Muamalat itu artinya Islam juga bukan?” Kalau
memang sudah Islam, ya sudah Bank Muamalat Indonesia saja.” Akhirnya terpilihnya nama
Bank Muamalat Indonesia.
Keterlibatan Bank Indonesia terhadap pendirian bank syariah pertama (Bank Mamalat
Indonesia) pada awalnya relatif sedikit. Dimulai dari tahun 1990-an, ketika MUI mengadakan
seminar tentang bank dan bunga di Cisarua, beberapa pejabat di Bank Indonesia diundang.
Tidak ada keputusan resmi dari Bank Indonesia setelah seminar tersebut, mengenai tentang
pendirian Bank Islam di Indonesia. BI tidak menyetujui maupun tidak menolak gagasan
tersebut. Situasi ini kemudian berubah ketika Soeharto menyuarakan dukungannya terhadap
pendirian bank Islam secara terbuka, walaupun Soeharto tidak menyetujui penggunaan nama
Islam di bank Islam. Terdapat dua faktor yang menjadi penopang dalam pembentukan
perbankan syariah, antara lain :
a. Ideologi
b. Agama
c. Politik kekuasaan
d. Ekonomi
e. Sosial
f. Budaya
2. Faktor Eksternal yang meliputi :
a. Politik
b. Ekonomi
Dalam hal pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI), tidak luput dari masalah-masalah
yang menghambat perkembangannya. Berikut merupakan beberapa kendala dalam pendirian
dan perkembangan Bank Muamalat Indonesia (BMI) :
1. Pemahaman masyarakat
2. Sumber daya manusia
3. Dukungan operasional (dana)
4. Hukum yang mendasari
5. Dukungan pemerintah
6. Accountability
1. PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum. Mengenai peraturan untuk modal,
“Modal disetor untuk mendirikan Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
ayat (2) huruf a dan/atau huruf b ditetapkan sekurang-kurangnya Rp.50.000.000.000,-
(lima puluh milyar rupiah).” Mengenai anggaran dasar dan rencana kegiatan usaha
bank, “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil, dalam rancangan
anggaran dasar dan rencana kerja harus secara tegas mencantumkan kegiatan usaha
bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.”
2. Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat.
Disebutkan dalam pasal 6 ayat 2, “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil, harus secara tegas mencantumkan
kegiatan usaha bank yang semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil dalam
rancangan anggaran dasar dan rencana kerjanya.”
3. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi
Hasil. Inti dari PP ini adalah bahwa bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil harus
memperhatikan prinsip-prinsip syariah dan penetapan besarnya bagi hasil sesuai
dengan kesepakatan tertulis, selain itu bank yang melaksanakan prinsip bagi hasil
harus memiliki dewan pengawas syariah.