Anda di halaman 1dari 24

Tugas Kelompok

BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN LAIN

Oleh:

ANDI JULIA NURRACHMA M (A1A118013)


FACHRI ALI (A1A117063)
KURNIA HASANAH (A1A118028)
HALISA (A1A118021)
ASHAR SAPUTRA (A1A117056)
SULINDRA (A1A118042)
RICKY HERMAWAN (A1A117083)

JURUSAN PENDIDIKAN EKONOMI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bank Bagi Hasil sering disebut Bank Syariah (Bank Islam) merupakan lembaga
perbankan yang menggunakan sistem dan operasi berdasarkan prinsip‐prinsip hukum atau
syariah Islam, seperti diatur dalam Al Qurʹan dan Al Hadist. Perbankan Syariah merupakan suatu
sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan sistem syariah (hukum islam).Usaha
pembentukkan sistem ini berangkat dari larangan islam untuk memungut dan meminjam
bedasarkan bunga yang termasuk dalam riba dan investasi untuk usaha yang dikategorikan
haram,misalnya dalam makanan, minuman, dan usaha-usaha lain yang tidak islami, yang hal
tersebut tidak diatur dalam Bank Konvensional.
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun
1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan
dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini
sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa
sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada
periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di
Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan
UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Adanya Perbankan syariah di Indonesia bertujuan untuk mewadahi penduduk di Negara
Indonesia yang hampir seluruh penduduknya beragama Islam. Dengan adanya bank tersebut
diharapkan tidak adanya kerancuan dalam proses muamalah bagi para pemeluk agama islam,
sehingga mereka terjaga dari keharaman akibat tidak adanya suatu wadah yang melayani mereka
dalam bidang muamalah yang bersifat islami. Namun realitas yang ada, dari 80% penduduk
Indonesia yang beragama Islam tidak lebih dari 10% di antara mereka yang bertransaksi secara
syar’i lebih-lebih dalam hal perbankan. Sampai saat ini perbankan syariah di Indonesia belum
mampu menunjukan eksistensinya, banyak masyarakat yang tidak menaruh kepercayaan
terhadap perbankkan syariah.
Bahkan para ulama-ulama di negeri ini pun sebagian besar masih menyimpan uangnya di
bank konvensional. Hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai sisitem operasi
perbankan syariah Sistem dalam bank syariah di anggap sama dengan sistem operasi yang ada
dalam bank konvensional.
Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap bank syariah dan berakibat
kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah. Hal tersebut menjadi landasan untuk
menyadarkan masyarakat akan keurgenan perbankkan islam di Negara ini. Khusunya bagi
mereka yang beragama islam. Upaya-upaya pensosialisaian mekanisme dan syariah di rasa perlu,
sehingga masyarakat tidak lagi terjebak dalam transaksi-transaksi yang tidak islami dan
masyarakat kembali menaruh kepercayaan terhadap transaksi syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perbankan Syariah
Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, BI memberikan
keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga. Pemerintah berharap dengan
kebijakan deregulasi perbankan maka akan tercipta kondisi dunia perbankan yang lebih efisien
dan kuat dalam menopang perekonomian.  Pada tahun 1983 tersebut pemerintah Indonesia
pernah berencana menerapkan "sistem bagi hasil" dalam perkreditan yang merupakan konsep
dari perbankan syariah.
Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988
(Pakto 88) yang membuka kesempatan seluas-luasnya kepada bisnis perbankan harus dibuka
seluas-luasnya untuk menunjang pembangunan (liberalisasi sistem perbankan).  Meskipun lebih
banyak bank konvensional yang berdiri, beberapa usaha-usah perbankan yang bersifat daerah
yang berasaskan syariah juga mulai bermunculan.
Inisiatif pendirian bank Islam Indoensia dimulai pada tahun 1980 melalui diskusi-diskusi
bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam.  Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam
dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman
ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). 
Tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk
mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor,
Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah
Nasional IV MUI di Jakarta 22–25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan
kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim
Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua
pihak yang terkait.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirilah bank syariah pertama
di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri
pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal
awal sebesar Rp 106.126.382.000,-.
Pada awal masa operasinya, keberadaan bank syariah belumlah memperoleh perhatian
yang optimal dalam tatanan sektor perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang
menggunakan sistem syariah, saat itu hanya diakomodir dalam salah satu ayat tentang "bank
dengan sistem bagi hasil" pada UU No. 7 Tahun 1992; tanpa rincian landasan hukum syariah
serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.
Pada tahun 1998, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat melakukan penyempurnaan
UU No. 7/1992 tersebutmenjadi UU No. 10 Tahun 1998, yang secara tegas menjelaskan
bahwaterdapat dua sistem dalam perbankan di tanah air (dual banking system), yaitu sistem
perbankan konvensional dan sistem perbankan syariah. Peluang ini disambut hangat masyarakat
perbankan, yang ditandai dengan berdirinya beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI, Bank
Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar
dan BPD Aceh dll.
Pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan kepastian hukum dan
meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti: (i) UU No. 21 tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah; (ii) UU No.19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk);
dan (iii) UU No.42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983 tentang PPN
Barang dan Jasa.  Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan
syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong
pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang
mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka
diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan
semakin signifikan.Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong peningkatan jumlah BUS dari
sebanyak 5 BUS menjadi 11 BUS dalam kurun waktu kurang dari dua tahun (2009-2010).
Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah di Indonesia, dalam dua dekade
pengembangan keuangan syariah nasional, sudah banyak pencapaian kemajuan, baik dari aspek
lembagaan dan infrastruktur penunjang, perangkat regulasi dan sistem pengawasan,
maupun awareness dan literasi masyarakat terhadap layanan jasa keuangan syariah. Sistem
keuangan syariah kita menjadi salah satu sistem terbaik dan terlengkap yang diakui secara
internasional.  Per Juni 2015, industri perbankan syariah terdiri dari 12 Bank Umum Syariah, 22
Unit Usaha Syariah yang dimiliki oleh Bank Umum Konvensional dan 162 BPRS dengan total
aset sebesar Rp. 273,494 Triliun dengan pangsa pasar 4,61%. Khusus untuk wilayah Provinsi
DKI Jakarta, total aset gross, pembiayaan, dan Dana Pihak Ketiga(BUS dan UUS) masing-
masing sebesar Rp. 201,397 Triliun, Rp. 85,410 Triliun dan Rp. 110,509 Triliun.
Pada akhir tahun 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan berpindah dari
Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan. Maka pengawasan dan pengaturan perbankan syariah
juga beralih ke OJK. OJK selaku otoritas sektor jasa keuangan terus menyempurnakan visi dan
strategi kebijakan pengembangan sektor keuangan syariah yang telah tertuang dalam Roadmap
Perbankan Syariah Indonesia 2015-2019 yang dilaunching pada Pasar Rakyat Syariah 2014. 
Roadmap ini diharapkan menjadi  panduan arah pengembangan yang berisi insiatif-inisiatif
strategis untuk mencapai sasaran pengembangan yang ditetapkan.

B. Pengertian Bank Syariah


Bank syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah yang terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS). Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk
memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan
investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh
sistem perbankan konvensional. Persaingan usaha antar bank yang semakin tajam dewasa ini
telah mendorong munculnya berbagai jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan
kompetitif. Dalam situasi seperti ini Bank Umum (konvensional) akan menghadapi persaingan
baru dengan kehadiran lembaga keuangan ataupun bank non-konvensional. Fenomena ini
ditandai dengan pertumbuhan lembaga keuangan dan bank dengan sistem syariah.

C. Perkembangan Bank Syariah di Indonesia


Abdul Gani Abdullah mengemukakan dalam analisis dan evaluasi hukum yang
dilakukannya terhadap perbankan syariah, menemukan sedikitnya empat hal yang menjadi tujuan
pengembangan perbankan berdasarkan prinsip syariah, yaitu :
a. Untuk memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima
konsep bunga.
b. Terciptanya dual banking sistem di Indonesia yang mengakomodasi terlaksananya sistem
perbankan konvensional dan perbankan syariah dengan baik dalam proses kompetisi yang
sehat, dimana didukung oleh pola perilaku bisnis yang bernilai dan bermoral.
c. Mengurangi risiko kegagalan sistem keuangan Indonesia.
d. Mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sector riil dan membatasi segala bentuk
eksploitasi yang tidak produktif serta mengabaikan nilai-nilai moral.
Sebagai langkah awal perkembangan bank syariah di Indonesia, pada pertengahan tahun
1970-an diadakan pembicaraan mengenai bank syariah pada seminar Hubungan Indonesia-
Timur Tengah yang diadakan pada tahun 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar yang
diadakan Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika.
Perkembangan pemikiran secara luas mengenai perlunya umat Islam Indonesia memiliki
perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak saat itu. Namun, usaha untuk merealisasikan ide
perbankan syariah tersebut terhambat oleh beberapa alasan, yaitu :
a. Operasi Bank Syariah yang berdasarkan prinsip bagi hasil belum diatur, oleh karena itu tidak
sejalan dengan Undang-undang Pokok Perbankan yang berlaku, yaitu Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1967.
b. Konsep bank syariah dari segi politis dinilai bermuatan ideologis, merupakan bagian atau
berkaitan dengan pembentukan negara Islam, oleh karena itu tidak dikehendaki pemerintah.
c. Belum ada yang bersedia menaruh modal pada ventura semacam itu, sementara pendirian
bank baru dari negara Timur Tengah masih dicegah,antara lain oleh kebijakan pembatasan
bank asing untuk membuka cabangnya di Indonesia.
Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam
mulai dilakukan dengan pihak yang terlibat dalam pengkajiannya adalah Karnaen A.
Perwaatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M Saefudin, M. Amien Azis, dan lain-lain. Uji coba
padsa skala yang relative terbatas telah diwujudkan pada masa itu yaitu dengan pembentukan
Baitut Tamwil-Salman di Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta, yang kedua lembaga
keuangan syariah tersebut berbadan hukum koperasi. Pembentukan ini juga didorong oleh
keluarnya Deregulasi Perbankan Paket 1 Juni Tahun 1983, yang telah membuka belenggu
penetapan bunga perbankan oleh pemerintah. Dengan dibebaskannya penetapan besar bunga
kepada masing-masing bank, maka suatu bank dapat menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen)
yang memungkinkan beroperasinya bank tanpa bunga yang berdasarkan bagi hasil keuntungan.
Namun, karena belum dimungkinkannya pendirian bank baru pada masa itu, sedangkan bank-
bank yang telah ada belum tertarik untuk mengaplikasikan sistem bank tanpa bunga yang dinilai
kurang mengntungkan, maka bank syariah belum dapat berdiri di Indonesia, sehingga
dibentuklah badan hukum koperasi sebagai bentuk badan hukumnya.
Pada tahun 1988, gagasan mengenai bank syariah kembali muncul yang dilatarbelakangi
dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi liberalisasi perbankan.
Liberalisasi perbankan tersebut memungkinkan didirikannya bank-bank baru selain yang telah
ada. Maka dari itu didirikanlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah dibeberapa daerah di Indonesia,
yaitu Badan Perkreditan Syariah (BPRS) Berkah Amal Sejahtera, BPRS Dana Mardhatillah, dan
BPRS Amanah Rabaniah, yang beroperasi di Bandung, dan BPRS Hareukat di Aceh.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut lahirlah Bank Muamalat Indonesia pada
1 November 1991. Pada saat penandatanganan Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia
terkumpul komitmen pembelian saham sebesar Rp 84 Miliar. Kemudian pada tanggal 3
November 1991 dalam acara silaturahmi presiden di Istana Bogor dapat dipenuhi dengan total
komitmen awal sebesar Rp. Sebelumnya, pada 18-20 Agustus 1990 diadakan lokakarya Bunga
Bank dan Perbankan yang diadakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Cisarua, Bogor,
Jawa barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam dalam Musyawarah Nasional IV
MUI pada 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan Amanat Munas IV MUI tersebut dibentuklah
kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia kelompok kerja yang disebut Tim
Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
Dalam menjalankan operasinya sebagai bank yang berdasarkan prinsip syariah, Bank
Muamalat Indonesia mengalami banyak hambatan. Selain karena peraturan hukum tentang bank
syariah belum spesifik mengatur dan memberi ruang dalam pengembangan perbankan syariah,
juga ketidakmampuan BMI untuk bersaing dengan bank konvensional yang telah memiliki
jaringan yang kuat hingga ke pelosok-pelosok daerah. Selain itu, untuk menjaga likuiditas bank
dan mempertahankan eksistensinya, yaitu melalui usaha-usaha mendapatkan keuntungan yang
sewajarnya melalui bagi hasil, maka BMI tidak bisa mengelak untuk tidak menggarap kalangan
menengah keatas sebagai nasabah dan debitur yang paling potensial. Hal ini yang kemudian
menyebabkan banyak umat Islam masih belum merasakan kehadiran BMI memberikan sentuhan
yang berarti pada mereka sebagai bank yang mengusung nilai-nilai Islam.
Era reformasi kemudian juga memberikan perkembangan baru dalam perbankan syariah
di Indonesia. Para pelaku perbankan dan pemerintah telah mendapatkan paradigma baru dalam
memandang perbankan Islam di Indonesia. Krisis moneter yang dialami sebelumnya ternyata
memberikan implikasi positif dalam sejarah perkembangan bank syariah di Indonesia. Bentuk
perkembangan paling besar bank syariah pada masa itu ditandai dengan disetujuinya Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan, yang merupakan regulasi mengenai perbankanuntuk bangkit dari krisis
ekonomi yang melanda pada waktu itu.
Dalam Undang-undang tersebut memberi arahan bagi bank-bank konvensional untuk
membuka cabang syariah atau mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Hal tersebut
disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional yang ingin mulai memasuki usaha
bisnis perbankan syariah, untuk itu Bank Indonesia mengadakan “Pelatihan Perbankan Syariah”
bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung
dengan DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengembangan Perbankan), kredit , pengawasan,
akuntansi, riset dan moneter. Beberapa lembaga perbankan konvensional yang membuka cabang
syariah pada masa-masa awal reformasi adalah Bank IFI cabang syariah, Bank Syariah Mandiri,
dan Bank BNI Divisi Syariah.
Pada masa ini, ada beberapa permasalahan yang belum terselesaikan dari sistem hukum
maupun dari sistem ekonomi mengenai perbankan syariah. Hal ini sebagaimana digambarkan
Umar Chappra dan ditidaklanjuti oleh Muhammad Syafi’i Antonio dalam kajian Tazkia Institute.
Persoalan-persoalan itu adalah sebagai berikut:
a. Pada umumnya produk produk perbankan syariah, belum memiliki standar peraturan yang
baku dan seragam. Ketika MUI/DSN bersama Bank Indonesia tengah mempersiapkan
pembakuan Akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah, tetapi untuk akad-akad lainnya
belum disiapkan.
b. Perbankan syariah dalam perkembangannya cukup pesat, tetapi memiliki asset dan akses
pasar yang masih kecil. Baru mencapai lebih dari satu persen dari total asset perbankan
nasional sehingga mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan ekspansi dan diverifikasi
usaha.
c. Dalam kondisi demikian, tentunya tingkat persaingan dengan sistem ekonomi konvensional
belum berimbang karena terbatasnya jaringan kantor dan lembaga penunjang lainnya. Juga
belum memadai untuk keperluan likuiditas dan pengelolaan risiko.
d. Belum ada keseragaman dalam praktek akuntansi dan sistem audit perbankan syariah,
termasuk didalamnya keseragaman laporan keungan sehingga otoritas pengatur maupun
investor mengalami kesulitan untuk melakukan perbandingan dalam menilai kinerja
perbankan syariah. Peran Accounting Organization for Islamic Institution di Bahrain belum
sepenuhnya dapat mengantisipasi kekurangan ini. Perkembangan terakhir menunjukkan
semakin membaiknya kinerja lembaga ini dalam memjalankan tugas-tugasnya.
e. Pada umumnya produk produk perbankan syariah, belum memiliki standar peraturan yang
baku dan seragam. Ketika MUI/ DSN bersama Bank Indonesia tengah mempersiapkan
pembakuan Akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah, tetapi untuk akad-akad lainnya
belum disiapkan.
f. Perlakuan oleh pihak perbankan syariah disatu sisi dengan nasabah pada sisi lainnya belum
berlangsung sesuai prinsip kesetaraan. Masih seperti yang diperaktikkan dalam perbankan
konvensional, dimana posisi pihak perbankan masih jauh lebih kuat dibanding nasabahnya.
Idealnya, perbankan syariah memperlakukan nasabah sebagai mitranya yang sejajar sehigga
tidak terkesan sebagai hubungan kemitraan yang berdasarkan hubungan keyakinan semata,
melainkan juga harus rasional dan objektif.
Pada perkembangan selanjutnya hingga saat ini, dengan dikeluarkannya peraturan
perundang-undangan khusus yang mengatur mengenai bank syariah, serta dibentuknya badan-
badan khusus yang bertugas membenahi sistem perbankan syariah di Indonesia. Sepanjang tahun
2010 perbankan syariah tumbuh dengan volume usaha yang tinggi yaitu sebesar 43,99%
meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 26,55% dengan pertumbuhan dana yang dihimpun
maupun pembiayaan yang relative tinggi, serta penyediaan penyediaan akses jaringan yang
meningkat dan menjangkau kebutuhan masyarakat secara luas sehingga masih cukup kuat untuk
memanfaatkan potensi membaiknya perekonomian nasional.

D. Dasar Hukum Bank Syariah


Berdasarkan Pasal 4 UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, bank syariah di
wajibkan untuk menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat. Di
samping itu, bank syariah juga dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitulmal
dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Bank syariah juga dapat menghimpun
dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir)
sesuai dengan kehendak pemberi wakaf.

E. Karakteristik Bank Syariah


Karakteristik Bank Syariah diantaranya :
a. Berdasarkan prinsip syariah
b. Implementasi prinsip ekonomi Islam dengan ciri:
 pelarangan riba dalam berbagai bentuknya
 Tidak mengenal konsep “time-value of money”
 Uang sebagai alat tukar bukan komoditi yg diperdagangkan.
c. Beroperasi atas dasar bagi hasil
d. Kegiatan usaha untuk memperoleh imbalan atas jasa
e. Tidak menggunakan “bunga” sebagai alat untuk memperoleh pendapatan
f. Azas utama => kemitraan, keadilan, transparansi dan universal
g. Tidak membedakan secara tegas sector moneter dan sector riil (dapat melakukan transaksi 2
sektor riil.

F. Fungsi Bank Syariah


Bank syariah dalam skema non-riba memiliki empat fungsi sebagai berikut :
a. Fungsi Manajer Investasi
Fungsi ini dapat dilihat dari segi penghimpunan dana oleh bank syariah, khususnya
dana mudharabah. Bank syariah bertindak sebagai manajer investasi dari pemilik dana
(shahibul maal) dalam hal dana tersebut harus dapat disalurkan pada penyalur yang
produktif, sehingga dana yang dihimpun dapat menghasilkan keuntungan yang akan
dibagihasilkan antara bank syariah dan pemilik dana.
b. Fungsi Investor
Dalam penyaluran dana bank syariah berfungsi sebagai investor (pemilik dana). Penanaman
dana yang dilakukan oleh bank syariah harus dilakukan pada sektor – sektor yang produktif
dengan risiko minim dan tidak melanggar ketentuan syariah. Produk investasi yang sesuai
dengan syariah diantaranya akad jual beli (murabahah, salam, dan istishna), akad investasi
(mudharabah dan musyarakah), akad sewa menyewa (ijarah dan ijarah muntahiya bittamlik)
dan beberapa akad lainnya yang dibolehkan oleh syariah.
c. Fungsi Sosial
Fungsi ini merupakan sesuatu yang melekat pada bank syariah. Ada dua instrumen yang
digunakan oleh bank syariah dalam menjalankan fungsi sosialnya, yaitu instrumen zakat,
infak, sedekah, dan wakaf (Ziswaf) dan instrumen qardhul hasan. InstrumenZiswafberfungsi
untuk menghimpun ziswaf dari masyarakat, pegawai bank, serta bank sendiri sebagai
lembaga milik para investor. Instrumen qardhul hasan berfungsi menghimpun dana dari
penerimaan yang tidak memenuhi kriteria halal serta dana infak dan sadaqah yang tidak
ditentukan peruntukannya secara spesifik oleh yang memberi.
d. Fungsi jasa keuangan
Fungsi jasa keuangan yang dijalankan oleh bank syariah tidaklah berbeda dengan bank
konvensional, seperti memberikan layanan kliring, transfer, inkaso, pembayaran gaji, letter of
guarantee, letter of credit, dan lain-lain. Namun mekanisme untuk mendapatkan keuntungan
dari transaksi tersebut, bank syariah tetap menggunakan skema yang sesuai dengan prinsip
syariah.

G. Prinsip Bank Syariah


Dalam melaksanakan fungsi jasa keuangan perbankan syariah menggunakan beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan, diantaranya :
a. Prinsip Wakalah
Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
b. Prinsip Kafalah
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul anhu ashil).
c. Prinsip Hawalah
Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang (muhil) kepada orang lain yang
menanggungnya (munhal’ alaih).
d. Prinsip Sharf
Prinsip Sharf adalah prinsip yang digunakan dalam transaksi jual beli mata uang, baik antar
mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis.
e. Prinsip Ijarah
Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan jasa, apabila dikaitkan dengan
penggunaan barang maka diistilahkan dengan sewa-menyewa sedangkan apabila dikaitkan
dengan penggunaan jasa maka diistilahkan dengan upah-mengupah.

H. Kegiatan Usaha Bank Syariah


a. Penghimpun Dana;
b. Penyaluran dana;
c. Jasa pelayanan;
d. Berkaitan dengan surat berharga;
e. Lalu lintas keuangan dan pembayaran;
f. Berkaitan dengan pasar modal;
g. Investasi;
h. Dana pensiun;
i. Sosial.

I. Prinsip-Prinsip Dalam Menghimpun Dana Bank Syariah


Penghimpunan dana di Bank Syariah dapat berbentuk giro, tabungan, dan deposito.
Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah
prinsip wadi’ah dan mudharabah.
a. Prinsip Wadi’ah (Simpanan)
Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari
satu pihak ke pihak lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja bila si penitip menghendaki.
Ketentuan umum dari produk ini adalah :
 Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank,
sedang pemilik dana tidak dijanjikan imabalan dan tidak menanggung kerugian. Bank
dimungkinkan memberi bonus kapada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik
dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
 Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran
dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku
cek, bilyet giro, dan debit card.
 Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi
untuk sekadar menutupi biaya yang benar – benar terjadi.
 Ketentuan – ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan berlaku
selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Yang termasuk dalam produk Bank Syariah dalam menghimpun dana yaitu :
 Giro Syariah
Giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan
menggunakan  cek/ bilyet giro, atau dengan cara pemindahbukuan.
 Tabungan Syariah
Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat
tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek/bilyet giro.
 Deposito Syariah
Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu
berdasarkan perjanjian antara nasabah dengan bank.
b. Prinsip Mudharabah
Mudharabah adalah akad kerja sama antara dua pihak, di mana pihak pertama menyediakan
seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan
yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi maka akan ditanggung pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Apabila kerugian diakibatkan kelalaian
pengelola, maka si pengelolalah yang bertanggung jawab.
Jenis-Jenis Mudharabah
 Mudharabah Mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat
dua jenis penghimpunan dana, yaitu tabungan mudharaba dan deposito mudharabah.
Berdasarkan prinsip ini, tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang
dihimpun.
 Mudharabah Muqayyadah
Adalah jenis mudharabah yang pada akadnya dicantumkan persyaratan-persyaratan
tertentu misalnya hanya boleh digunakan untuk usaha tertentu, di kota tertentu, dan dalam
waktu tertentu. Ikatan-ikatan ini membuat akad mudharabah menjadi terikat dan sempit
sehingga disebut mudharabah muqayyadah (restricted mudharabah).
Mudharabah Muqayyah terbagi 2 yaitu :
 Mudharabah Muqayyadah on Balance sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) di mana
pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi bank.
Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, disyaratkan digunakan
deangan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.
 Mudharabah Muqayyadah off Balance sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada 
usahanya, di mana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan
antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat –
syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang
akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya.

J. Prinsip-Prinsip Penyaluran Dana Bank Syariah


a. Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Dalam melakukan jual beli digunakan 3 skema yang meliputi :
 Jual beli dengan skema Murabahah
Jual beli dengan skema ini menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang disepakati
oleh penjual dan pembeli. Skema ini digunakan oleh bank untuk nasabah yang hendak
memiliki suatu barang, sedangkan nasabah yang bersangkutan tidak memiliki uang pada
saat pembelian. Dalam hal ini bank syariah bertindak sebagai penjual sedangkan nasabah
yang membutuhkan barang bertindak sebagai pembeli.
 Jual beli dengan skema Salam
Jual beli dengan skema ini merupakan jual beli yang pelunasannya dilakukan terlebih
dahulu oleh pembeli sebelum barang pesanan diterima.
 Jual beli dengan skema Istishna
Jual beli dengan skema ini adalah jual beli yang didasarkan atas penugasan oleh pembeli
kepada penjual yang juga produsen untuk menyediakan barang atau suatu produk sesuai
dengan spesifikasi yang disyaratkan pembeli dan menjualnya dengan harga yang
disepakati.
b. Prinsip Investasi
Dalam melakukan investasi, dapat dilakukan dengan skema mudharabah dan skema
musyarakah.
 Investasi dengan skema Mudharabah
Akad investasi dengan skema mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak
dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan
dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan. Dalam
skema ini bank bertindak sebagai shahibul maal (pemilik dana), sedangkan nasabah yang
menerima pembiayaan bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), seluruh modal
berasal dari pihak bank syariah sebagai pemilik dana.
 Investasi dengan skema Musyarakah
Investasi dengan skema ini adalah kerja sama investasi para pemilik modal yang
mencampurkan modal mereka pada suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya, sedangkan apabila terjadi kerugian
ditanggung semua pemilik modal berdasarkan porsi pemilik modal masing-masing.
c. Prinsip Sewa
 Sewa dengan skema Ijarah
Sewa dengan skema ijarah adalah transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa
dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan. Dalam
transaksi ini bank syariah bertindak sebagai pemberi sewa atau pemilik objek sewa,
sedangkan nasabah bertindak sebagai penyewa.
 Sewa dengan skema Ijarah Muntahiya Bittamlik
Sewa dengan skema ini adalah transaksi sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan
penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disediakannya dengan opsi
perpindahan hak milik pada saat tertentu sesuai dengan akad sewa. Berbeda dengan
transaksi Ijarah, pada transaksi ini memberi hak pilih pada penyewa untuk memiliki
barang yang disewa.
d. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Transaksi yang penanaman dana dari pemilik modal dengan pengelola untuk melakukan
usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil antara kedua belah pihak
berdasarkan perjanjian yang telah disepakati.
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan pada prinsip bagi hasil adalah:
 Musyarakah
Musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana
secara bersama – sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud
maupun tidak berwujud. Bentuk kontribusi dari pihaki yang bekerja sama dapat berupa
dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), keahlian
(skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment), atau intangible asset( seperti hak
paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang – barang
lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari
bentu kontribusi masing – masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan
produk ini sangat fleksibel.
 Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal
mempercayakan seju7mlah modal kepada pengelola dengan suatu perjanjian pembagian
keuntungan.Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari
pemilik modal dan keahlian dari pengelola. Beberapa ketentuan umum mudharabah
adalah :
 Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harusd
iserahkan tunai;
 Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan
dua cara: perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) dan perhitungan dari
keuntungan proyek (profit loss sharing).
 Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad pada setiap bulan atau
waktu yang disepakati.
 Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan, namun tidak berhak
mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah.
e. Akad pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap.
Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk
mempermudah pelaksanaan pembayaran. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari
keuntungan, dalam akad pelengkap ini diperbolehkan untuk meminta pengganti biaya – biaya
yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekadar untuk
menutupi biaya yang benar – benar timbul.
 Hiwalah ( Alih Utang Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktik perbankan syariah,
fasilitas hiwalah lazimnya untuk melanjutkan suplier mendapatkan modal tunai agar
dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapatkan ganti biaya atas jasa pemindahan
piutang.
 Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam
memberikan pembiayaan. Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria sebagai
berikut :
 Milik nasabah sendiri,
 Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,
 Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank,
 Atas izin bank, nasabah dapat menggnakan barang tertentu yang digadaikan dengan
tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang
digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
 Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal
yaitu:
 Sebagai pinjaman talangan haji, diman nasabah calon haji diberikan pinjaman
talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji.
 Sebagai pinjaman tunai (cash advance) dari produk kartu kredit syariah, dimana
nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai melalui8 bank (ATM). Nasabah
akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
 Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, di mana menurut perhitungan bank akan
memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah,
atau bagi hasil.
 Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini
untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan
mengembalikannya secara angsur melalui potongan gajinya.
 Wakalah (Perwakilan )
Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa pada bank
untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C
(Letter of Credit), inkaso dan transfer uang. Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam
akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukuan L/C, apabila dana
nasabah tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan
pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyarakah.
 Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk mrnjamin suatu kewajiban
pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana
untuk fasilitas ini sebagai rahnb. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip
wadi’ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
f. Pembiayaan dengan bagi basil
 Al-musyarakah
Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan
usaha tertentu. Masing-masing pihak memberikan dana atau amal dengan kesepakatan
bahwa keuntungan atau resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. AI-
musyarakah dalam praktik perbankan diaplikasikan dalam hal pembiayaan proyek.Dalam
hal ini nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama menyediakan dana untuk
melaksanakan proyek tersebut. Keuntungan dari proyek dibagi sesuai dengan
kesepakatan untuk bank setelah terlebih dulu mengembalikan dana yang dipakai nasabah.
Al-musyarakah dapat pula dilakukan untuk kegiatan investasi seperti pada lembaga
keuangan modal ventura.
 AI-mudharabah
Pengertian AI-mudharabahadalah akad kerja sama antara dua pihak, di mana pihak
pertama menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan
dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi maka akan
ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola.
Apabila kerugian diakibatkan kelalaian pengelola, maka si pengelolalah yang
bertanggung jawab.
mudharabah muthlaqah merupakan kerja sama antara pihak pertama dan pihak lain yang
cakupannya lebih luas. Maksudnya tidak dibatasi oleh waktu, spesifikasi usaha dan
daerah bisnis.
mudharabah muqayyadah merupakan kebalikan dari mudharabah muthlaqah di mana
pihak lain dibatasi oleh waktu spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
Dalam dunia perbankan biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan
seperti, pembiayaan modal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah diambil dari simpanan
tabungan berjangka seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari
deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan nasabah untuk usaha tertentu.

K. Keunggulan dan Kelemahan Bank Syariah


a. Keunggulan Bank Syariah
1) Bank syariah relatif lebih mudah merespons kebijaksanaan pemerintah;
2) Terhindar dari praktik money laundring;
3) Bank syariah lebih mandiri dalam penentuan kebijakan bagi hasilnya;
4) Tidak mudah dipengaruhi gejolak moneter;
5) Mekanisme bank syariah didasarkan pada prinsip efisiensi, keadilan dan kebersamaan.
b. Kelemahan Bank Syariah
1) Jaringan kantor bank syariah belum luas;
2) SDM bank syariah masih sedikit;
3) Pemahaman masyarakat tentang bank syariah masih kurang;
4) Kekeliruan penilaian proyek berakibat lebih besar daripada bank konvensional.

L. Bagaimana Bank Syariah Dilihat Dari Sudut Pandangan Syariah


Dalam keuangan Islam, bunga uang secara fiqih dikategorikan sebagai riba yang berarti
haram.  Di sejumlah Negara Islam dan berpenduduk mayoritas Muslim mulai timbul usaha-usaha
untuk mendirikan lembaga Bank Alternatif non-ribawi. Melihat gagasannya yang ingin
membebaskan diri dari mekanisme bunga, pembentukan Bank Islam mula-mula banyak
menimbulkan keraguan. Hal tersebut muncul karena anggapan bahwa sistem perbankan bebas
bunga adalah sesuatu yang mustahil dan tidak lazim, sehingga timbul pula pertanyaan tentang
bagaimana nantinya Bank  Islam tersebut akan membiayai operasinya.
Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an, dengan
gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil.  Berkenaan dengan ini dapat
disebutkan pemikiran-pemikiran dari penulis antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi
(1948) dan Mahmud Ahmad (1952). Uraian yang lebih terperinci mengenai gagasan
pendahuluan mengenai perbankan Islam ditulis oleh ulama besar Pakistan, yakni Abul A'la Al-
Mawdudi (1961) serta Muhammad Hamidullah (1944-1962).  
Usaha modern pertama untuk mendirikan Bank tanpa bunga dimulai di Pakistan yang
mengelola dana haji pada pertengahan tahun 1940-an, tetapi usaha ini tidak sukses.
Perkembangan berikutnya usaha pendirian bank syariah yang paling sukses dan inovatif di masa
modern ini  dilakukan di Mesir pada tahun 1963, dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving
Bank. Bank ini diterima dengan baik oleh kalangan petani dan masyarakat pedesaan. Namun
sayang, karena terjadi kekacauan politik di Mesir, Mit Ghamr mulai mengalami kemunduran,
sehingga operasionalnya diambil alih olehNational Bank of Egypt dan Bank Sentral Mesir pada
tahun 1967. Pengambilalihan ini menyebabkan prinsip nir-bunga pada Mit Ghamr mulai
ditinggalkan, sehingga bank ini kembali beroperasi berdasarkan bunga. Pada 1971, akhirnya
konsep nir-bunga kembali dibankitkan pada masa rezim Sadat melalui pendirian Naseer Social
Bank. Tujuan Bank ini adalah untuk menjalankan kembali bisnis yang berdasarkan konsep yang
telah dipraktikan oleh Mit Ghamr.
Jumhur (mayoritas/kebanyakan) Ulama' sepakat bahwa bunga bank adalah riba, oleh
karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama' terkemuka dalam konferensi Penelitian
Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi
bahwa segala keuntungan atas berbagai macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang
diharamkan termasuk bunga bank. Berbagai forum ulama internasional yang juga mengeluarkan
fatwa pengharaman bunga bank.
Abu zahrah, Abu 'ala al-Maududi Abdullah al-'Arabi dan Yusuf Qardhawi mengatakan
bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang oleh Islam. Karena itu umat Islam
tidak boleh bermuamalah dengan bank yang memakai system bunga, kecuali dalam keadaan
darurat atau terpaksa. Bahkan menurut Yusuf Qardhawi tidak mengenal istilah darurat atau
terpaksa, tetapi secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-
Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang menyimpan uang di
bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak. Namun yang terpaksa, maka agama itu
membolehkan meminjam uang di bank itu dengan bunga.
Kesuksesan Mit Ghamr ini memberikan inspirasi bagi umat Muslim di seluruh penjuru
dunia, sehingga timbullah kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam ternyata masih dapat
diaplikasikan dalam bisnis modern.
Ketika OKI akhirnya terbentuk, serangkaian konferensi Internasional mulai
dilangsungkan, di mana salah satu agenda ekonominya adalah pendirian Bank Islam.
Bank Islam pertama yang bersifat swasta adalah Dubai Islamic Bank, yang didirikan
tahun 1975 oleh sekelompok usahawan muslim dari berbagai negara. Pada tahun 1977 berdiri
dua bank Islam dengan nama Faysal Islamic Bank di Mesir dan Sudan. Dan pada tahun itu pula
pemerintah Kuwait mendirikan Kuwait Finance House.
Secara internasional, perkembangan perbankan Islam pertama kali diprakarsai oleh
Mesir. Pada Sidang Menteri Luar Negeri Negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di
Karachi Pakistan bulan Desember 1970, Mesir mengajukan proposal berupa studi tentang
pendirian Bank Islam Internasional untuk Perdagangan dan Pembangunan (International Islamic
Bank for Trade and Development) dan proposal pendirian Federasi Bank Islam (Federation of
Islamic Banks). Inti usulan yang diajukan dalam proposal tersebut adalah bahwa sistem
keuangan bedasarkan bunga harus digantikan dengan suatu sistem kerjasama dengan skema bagi
hasil keuntungan maupun kerugian.Akhirnya terbentuklah Islamic Development Bank (IDB)
pada bulan Oktober 1975 yang beranggotakan 22 negera Islam pendiri.  Bank ini menyediakan
bantuan financial untuk pembangunan Negara-negara anggotanya, membantu mereka untuk
mendirikan bank Islam di negaranya masing-masing, dan memainkan peranan penting dalam
penelitian ilmu ekonomi, perbankan dan keuangan Islam. Kini, bank yang berpusat di Jeddah-
Arab Saudi itu telah memiliki lebih dari 56 negara anggota.
Pada perkembangan selanjutnya di era 1970-an, usaha-usaha untuk mendirikan bank
Islam mulai menyebar ke banyak negara. Beberapa Negara seperti di Pakistan, Iran dan Sudan
bahkan mengubah seluruh sistem keuangan di Negara itu menjadi sistem nir-bunga, sehingga
semua lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi tanpa menggunakan bunga. Di Negara
Islam lainnya seperti Malaysia dan Indonesia, bank nir-bunga beroperasi berdampingan dengan
bank-bank konvensional.
Kini, perbankan syariah telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menyebar
ke banyak negara, bahkan ke negara-negara Barat,  seperti Denmark, Inggris, Australia  yang
berlomba-lomba menjadi Pusat keuangan Islam Dunia(Islamic Financial hub) untuk membuka
bank Islam dan Islamic window agar dapat memberikan jasa-jasa perbankan yang sesuai dengan
prinsip-prinsip syariat Islam.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian kita sepakati bersama bahwa perbankan islam adalah lembaga keuangan yang
menjalankan aktivitas perbankan konvensional murni yang tidak sama sekali ada kaitannya
dengan kegiatan keagamaan yang akan menimbulkan kontradiksi apabila terjadi sebuah
kesalahan, maka agama islam termasuk di dalamnya umat islam itu akan tersalahkan.
Namun dalam kegiatannnya perbankan islam tidak boleh menyimpang dari landasan dan
prinsip-prinsip islam itu sendiri, karena timbulnya perbankan islam adalah untuk
menyempurnakan dari sistem sosialis dan konvensional. Yang bukan saja berorientasi pada
profitabilitas tapi juga bagaimana perbankan islam itu sendiri mengedepankan etika dan moral
dalam berbisnis di dunia perbankan yang dapat menciptakan sebuah kegiatan perbankan yang
efisien dan efektip (bebas dari Riba, Gharar, Maysir, dll) sehingga dapat berimplikasi pada
pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat, menciptakan pasar ekonomi yang sehat dan
menghilangkan paradigma dzalim.

Anda mungkin juga menyukai