Disusun oleh :
Sholeh Hadian 19086050017
CIREBON
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Bank Bagi Hasil sering disebut Bank Syariah (Bank Islam) merupakan lembaga perbankan
yang menggunakan sistem dan operasi berdasarkan prinsip‐prinsip hukum atau syariah Islam,
seperti diatur dalam Al Qurʹan dan Al Hadist. Perbankan Syariah merupakan suatu sistem
perbankan yang dikembangkan berdasarkan sistem syariah (hukum islam).Usaha pembentukkan
sistem ini berangkat dari larangan islam untuk memungut dan meminjam bedasarkan bunga yang
termasuk dalam riba dan investasi untuk usaha yang dikategorikan haram,misalnya dalam
makanan,minuman,dan usaha-usaha lain yang tidak islami,yang hal tersebut tidak diatur dalam
Bank Konvensional.
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun
1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan
dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini
sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa
sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada
periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. Saat ini keberadaan bank syariah di
Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan
UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.
Adanya Perbankan syariah di Indonesia bertujuan untuk mewadahi penduduk di Negara
Indonesia yang hampir seluruh penduduknya beragama Islam. Dengan adanya bank tersebut
diharapkan tidak adanya kerancuan dalam proses muamalah bagi para pemeluk agama islam,
sehingga mereka terjaga dari keharaman akibat tidak adanya suatu wadah yang melayani mereka
dalam bidang muamalah yang bersifat islami. Namun realitas yang ada,dari 80% penduduk
Indonesia yang beragama Islam tidak lebih dari 10% di antara mereka yang bertransaksi secara
syar’I lebih-lebih dalam hal perbankan. Sampai saat ini perbankan syariah di Indonesia belum
mampu menunjukan eksistensinya, banyak masyarakat yang tidak menaruh kepercayaan
terhadap perbankan syariah.
Bahkan para ulama-ulama di negeri ini pun sebagian besar masih menyimpan uangnya di
bank konvensional. Hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai sistem operasi
perbankan syariah Sistem dalam bank syariah di anggap sama dengan sistem operasi yang ada
dalam bank konvensional.
Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap bank syariah dan berakibat
kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank syariah. Hal tersebut menjadi landasan untuk
menyadarkan masyarakat akan keurgenan perbankkan islam di Negara ini. Khusunya bagi
mereka yang beragama islam. Upaya-upaya pensosialisasian mekanisme dan syariah di rasa
perlu, sehingga masyarakat tidak lagi terjebak dalam transaksi-transaksi yang tidak islami dan
masyarakat kembali menaruh kepercayaan terhadap transaksi syariah.
Sistem Ekonomi syariah sekarang ini banyak diperbincangkan di Indonesia. Banyak
kalangan masyarakat yang mendesak agar pemerintah Indonesia segera mengimplementasikan
sistem ekonomi islam dalam sistem perekonomian Indonesia seiring dengan hancurnya sistem
ekonomi kapitalis.
Islam memandang masalah ekonomi tidak dari sudut pandang kapitalis, tidak dari sudut
pandang sosialis, dan juga tidak pula gabungan dari keduanya. Islam memberikan perlindungan
hak kepemilikan individu, sedngkan untuk kepentingan masyarakat didukung dan diperkuat,
dengan tetap menjaga keseimbangan kepentingan publik dan individu serta menjaga moral. Di
dalam bermuamalah, islam menganjurkan untuk mengatur muamalah diantara manusia atas dasar
amanah, jujur, adil, dan memberikan kemerdekaan bermuamalah serta jelas-jelas bebas dari
unsur riba.
Seiring dengan kesadaran masyarakat Indonesia–yang mayoritas penduduknya muslim—
terhadap keharusan menggunakan dan memanfaatkan produk (barang maupun jasa) yang halal
dan barokah, maka peran produsen atau perusahaan-perusahaan berbasis syariah menjadi sebuah
alternative masa depan yang sangat menjanjikan. Barangkali ini dianggap terlalu optimis. Tapi
itulah trend yang sekarang sedang menuju ke arah sana.
BAB II
PEMBAHASAN MATERI
Bank syariah merupakan bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip
syariah yang terdiri atas Bank Umum Syariah (BUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
(BPRS). Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk
memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan
investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram, dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh
sistem perbankan konvensional. Persaingan usaha antar bank yang semakin tajam dewasa ini
telah mendorong munculnya berbagai jenis produk dan sistem usaha dalam berbagai keunggulan
kompetitif. Dalam situasi seperti ini Bank Umum (konvensional) akan menghadapi persaingan
baru dengan kehadiran lembaga keuangan ataupun bank non-konvensional. Fenomena ini
ditandai dengan pertumbuhan lembaga keuangan dan bank dengan sistem syariah.
Abdul Gani Abdullah mengemukakan dalam analisis dan evaluasi hukum yang dilakukannya
terhadap perbankan syariah, menemukan sedikitnya empat hal yang menjadi tujuan
pengembangan perbankan berdasarkan prinsip syariah, yaitu :
a) Untuk memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat menerima
konsep bunga.
b) Terciptanya dual banking sistem di Indonesia yang mengakomodasi terlaksananya sistem
perbankan konvensional dan perbankan syariah dengan baik dalam proses kompetisi yang sehat,
dimana didukung oleh pola perilaku bisnis yang bernilai dan bermoral.
c) Mengurangi risiko kegagalan sistem keuangan Indonesia.
d) Mendorong peran perbankan dalam menggerakkan sector riil dan membatasi segala bentuk
eksploitasi yang tidak produktif serta mengabaikan nilai-nilai moral.
Sebagai langkah awal perkembangan bank syariah di Indonesia, pada pertengahan tahun
1970-an diadakan pembicaraan mengenai bank syariah pada seminar Hubungan Indonesia-
Timur Tengah yang diadakan pada tahun 1974 dan pada tahun 1976 dalam seminar yang
diadakan Lembaga Studi Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhineka Tunggal Ika.
Perkembangan pemikiran secara luas mengenai perlunya umat Islam Indonesia memiliki
perbankan Islam sendiri mulai berhembus sejak saat itu. Namun, usaha untuk merealisasikan ide
perbankan syariah tersebut terhambat oleh beberapa alasan, yaitu :
a) Operasi Bank Syariah yang berdasarkan prinsip bagi hasil belum diatur, oleh karena itu tidak
sejalan dengan Undang-undang Pokok Perbankan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1967.
b) Konsep banksyariah dari segi politis dinilai bermuatan ideologis, merupakan bagian atau
berkaitan dengan pembentukan negara Islam, oleh karena itu tidak dikehendaki pemerintah.
c) Belum ada yang bersedia menaruh modal pada ventura semacam itu, sementara pendirian
bank baru dari negara Timur Tengah masih dicegah,antara lain oleh kebijakan pembatasan bank
asing untuk membuka cabangnya di Indonesia.
Pada awal periode 1980-an, diskusi mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam
mulai dilakukan dengan pihak yang terlibat dalam pengkajiannya adalah Karnaen A.
Perwaatmadja, M. Dawam Rahardjo, A.M Saefudin, M. Amien Azis, dan lain-lain. Uji coba
padsa skala yang relative terbatas telah diwujudkan pada masa itu yaitu dengan pembentukan
Baitut Tamwil-Salman di Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta, yang kedua lembaga
keuangan syariah tersebut berbadan hukum koperasi. Pembentukan ini juga didorong oleh
keluarnya Deregulasi Perbankan Paket 1 Juni Tahun 1983, yang telah membuka belenggu
penetapan bunga perbankan oleh pemerintah. Dengan dibebaskannya penetapan besar bunga
kepada masing-masing bank, maka suatu bank dapat menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen)
yang memungkinkan beroperasinya bank tanpa bunga yang berdasarkan bagi hasil keuntungan.
Namun, karena belum dimungkinkannya pendirian bank baru pada masa itu, sedangkan bank-
bank yang telah ada belum tertarik untuk mengaplikasikan sistem bank tanpa bunga yang dinilai
kurang mengntungkan, maka bank syariah belum dapat berdiri di Indonesia, sehingga
dibentuklah badan hukum koperasi sebagai bentuk badan hukumnya.
Pada tahun 1988, gagasan mengenai bank syariah kembali muncul yang dilatarbelakangi
dengan dikeluarkannya Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi liberalisasi perbankan.
Liberalisasi perbankan tersebut memungkinkan didirikannya bank-bank baru selain yang telah
ada. Maka dari itu didirikanlah Bank Perkreditan Rakyat Syariah dibeberapa daerah di Indonesia,
yaitu Badan Perkreditan Syariah (BPRS) Berkah Amal Sejahtera, BPRS Dana Mardhatillah, dan
BPRS Amanah Rabaniah, yang beroperasi di Bandung, dan BPRS Hareukat di Aceh.
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut lahirlah Bank Muamalat Indonesia pada
1 November 1991. Pada saat penandatanganan Akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia
terkumpul komitmen pembelian saham sebesar Rp 84 Miliar. Kemudian pada tanggal 3
November 1991 dalam acara silaturahmi presiden di Istana Bogor dapat dipenuhi dengan total
komitmen awal sebesar Rp. Sebelumnya, pada 18-20 Agustus 1990 diadakan lokakarya Bunga
Bank dan Perbankan yang diadakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Cisarua, Bogor,
Jawa barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam dalam Musyawarah Nasional IV
MUI pada 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan Amanat Munas IV MUI tersebut dibentuklah
kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia kelompok kerja yang disebut Tim
Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak terkait.
Dalam menjalankan operasinya sebagai bank yang berdasarkan prinsip syariah, Bank
Muamalat Indonesia mengalami banyak hambatan. Selain karena peraturan hukum tentang bank
syariah belum spesifik mengatur dan memberi ruang dalam pengembangan perbankan syariah,
juga ketidakmampuan BMI untuk bersaing dengan bank konvensional yang telah memiliki
jaringan yang kuat hingga ke pelosok-pelosok daerah. Selain itu, untuk menjaga likuiditas bank
dan mempertahankan eksistensinya, yaitu melalui usaha-usaha mendapatkan keuntungan yang
sewajarnya melalui bagi hasil, maka BMI tidak bisa mengelak untuk tidak menggarap kalangan
menengah keatas sebagai nasabah dan debitur yang paling potensial. Hal ini yang kemudian
menyebabkan banyak umat Islam masih belum merasakan kehadiran BMI memberikan sentuhan
yang berarti pada mereka sebagai bank yang mengusung nilai-nilai Islam.
Era reformasi kemudian juga memberikan perkembangan baru dalam perbankan syariah
di Indonesia. Para pelaku perbankan dan pemerintah telah mendapatkan paradigma baru dalam
memandang perbankan Islam di Indonesia. Krisis moneter yang dialami sebelumnya ternyata
memberikan implikasi positif dalam sejarah perkembangan bank syariah di Indonesia. Bentuk
perkembangan paling besar bank syariah pada masa itu ditandai dengan disetujuinya Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengenai perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan, yang merupakan regulasi mengenai perbankanuntuk bangkit dari krisis
ekonomi yang melanda pada waktu itu.
Dalam Undang-undang tersebut memberi arahan bagi bank-bank konvensional untuk
membuka cabang syariah atau mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah. Hal tersebut
disambut antusias oleh kalangan perbankan konvensional yang ingin mulai memasuki usaha
bisnis perbankan syariah, untuk itu Bank Indonesia mengadakan “Pelatihan Perbankan Syariah”
bagi para pejabat Bank Indonesia dari segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung
dengan DPNP (Direktorat Penelitian dan Pengembangan Perbankan), kredit , pengawasan,
akuntansi, riset dan moneter. Beberapa lembaga perbankan konvensional yang membuka cabang
syariah pada masa-masa awal reformasi adalah Bank IFI cabang syariah, Bank Syariah Mandiri,
dan Bank BNI Divisi Syariah.
Pada masa ini, ada beberapa permasalahan yang belum terselesaikan dari sistem hukum
maupun dari sistem ekonomi mengenai perbankan syariah. Hal ini sebagaimana digambarkan
Umar Chappra dan ditidaklanjuti oleh Muhammad Syafi’i Antonio dalam kajian Tazkia Institute.
Persoalan-persoalan itu adalah sebagai berikut:
a) Pada umumnya produk produk perbankan syariah, belum memiliki standar peraturan yang
baku dan seragam. Ketika MUI/ DSN bersama Bank Indonesia tengah mempersiapkan
pembakuan Akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah, tetapi untuk akad-akad lainnya
belum disiapkan.
b) Perbankan syariah dalam perkembangannya cukup pesat, tetapi memiliki asset dan akses
pasar yang masih kecil. Baru mencapai lebih dari satu persen dari total asset perbankan nasional
sehingga mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan ekspansi dan diverifikasi usaha.
c) Dalam kondisi demikian, tentunya tingkat persaingan dengan sistem ekonomi konvensional
belum berimbang karena terbatasnya jaringan kantor dan lembaga penunjang lainnya. Juga
belum memadai untuk keperluan likuiditas dan pengelolaan risiko.
d) Belum ada keseragaman dalam praktek akuntansi dan sistem audit perbankan syariah,
termasuk didalamnya keseragaman laporan keungan sehingga otoritas pengatur maupun investor
mengalami kesulitan untuk melakukan perbandingan dalam menilai kinerja perbankan syariah.
Peran Accounting Organization for Islamic Institution di Bahrain belum sepenuhnya dapat
mengantisipasi kekurangan ini. Perkembangan terakhir menunjukkan semakin membaiknya
kinerja lembaga ini dalam memjalankan tugas-tugasnya.
e) Pada umumnya produk produk perbankan syariah, belum memiliki standar peraturan yang
baku dan seragam. Ketika MUI/ DSN bersama Bank Indonesia tengah mempersiapkan
pembakuan Akad mudharabah, musyarakah, dan murabahah, tetapi untuk akad-akad lainnya
belum disiapkan.
f) Perlakuan oleh pihak perbankan syariah di satu sisi dengan nasabah pada sisi lainnya belum
berlangsung sesuai prinsip kesetaraan. Masih seperti yang diperaktikkan dalam perbankan
konvensional, dimana posisi pihak perbankan masih jauh lebih kuat dibanding nasabahnya.
Idealnya, perbankan syariah memperlakukan nasabah sebagai mitranya yang sejajar sehigga
tidak terkesan sebagai hubungan kemitraan yang berdasarkan hubungan keyakinan semata,
melainkan juga harus rasional dan objektif.
Pada perkembangan selanjutnya hingga saat ini, dengan dikeluarkannya peraturan
perundang-undangan khusus yang mengatur mengenai bank syariah, serta dibentuknya badan-
badan khusus yang bertugas membenahi sistem perbankan syariah di Indonesia. Sepanjang tahun
2010 perbankan syariah tumbuh dengan volume usaha yang tinggi yaitu sebesar 43,99%
meningkat dari tahun sebelumnya sebesar 26,55% dengan pertumbuhan dana yang dihimpun
maupun pembiayaan yang relative tinggi, serta penyediaan penyediaan akses jaringan yang
meningkat dan menjangkau kebutuhan masyarakat secara luas sehingga masih cukup kuat untuk
memanfaatkan potensi membaiknya perekonomian nasional.
Berdasarkan Pasal 4 UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah, bank syariah di
wajibkan untuk menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana dari masyarakat. Di
samping itu, bank syariah juga dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitulmal
dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat. Bank syariah juga dapat menghimpun
dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir)
sesuai dengan kehendak pemberi wakaf.
Bank syariah dalam skema non-riba memiliki empat fungsi sebagai berikut :
1. Fungsi Manajer Investasi
Fungsi ini dapat dilihat dari segi penghimpunan dana oleh bank syariah, khususnya dana
mudharabah. Bank syariah bertindak sebagai manajer investasi dari pemilik dana (shahibul
maal) dalam hal dana tersebut harus dapat disalurkan pada penyalur yang produktif, sehingga
dana yang dihimpun dapat menghasilkan keuntungan yang akan dibagihasilkan antara bank
syariah dan pemilik dana.
Dalam melaksanakan fungsi jasa keuangan perbankan syariah menggunakan beberapa prinsip
yang perlu diperhatikan, diantaranya :
a. Prinsip Wakalah
Wakalah berarti penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandat.
b. Prinsip Kafalah
Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafiil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul anhu ashil)
c. Prinsip Hawalah
Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang (muhil) kepada orang lain yang
menanggungnya (munhal’ alaih)
d. Prinsip Sharf
Prinsip Sharf adalah prinsip yang digunakan dalam transaksi jual beli mata uang, baik antar mata
uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis.
e. Prinsip Ijarah
Objek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan jasa, apabila dikaitkan dengan
penggunaan barang maka diistilahkan dengan sewa – menyewa sedangkan apabila dikaitkan
dengan penggunaan jasa maka diistilahkan dengan upah – mengupah.
Penghimpunan dana di Bank Syariah dapat berbentuk giro, tabungan, dan deposito. Prinsip
operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip
wadi’ah dan mudharabah.
Jenis-Jenis Mudharabah
• Mudharabah Mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua
jenis penghimpunan dana, yaitu tabungan mudharaba dan deposito mudharabah. Berdasarkan
prinsip ini, tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
• Mudharabah Muqayyadah
Adalah jenis mudharabah yang pada akadnya dicantumkan persyaratan-persyaratan tertentu
misalnya hanya boleh digunakan untuk usaha tertentu, di kota tertentu, dan dalam waktu tertentu.
Ikatan-ikatan ini membuat akad mudharabah menjadi terikat dan sempit sehingga disebut
mudharabah muqayyadah (restricted mudharabah).
Mudharabah Muqayyah terbagi 2 yaitu :
Mudharabah Muqayyadah on Balance sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) di mana pemilik dana
dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus dipenuhi bank. Misalnya disyaratkan
digunakan untuk bisnis tertentu, disyaratkan digunakan deangan akad tertentu, atau disyaratkan
digunakan untuk nasabah tertentu.
Mudharabah Muqayyadah off Balance sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada usahanya, di
mana bank bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana
dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat – syarat tertentu yang harus
dipenuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksanaan usahanya.
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan pada prinsip bagi hasil adalah:
Musyarakah
Musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana secara
bersama – sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak
berwujud. Bentuk kontribusi dari pihaki yang bekerja sama dapat berupa dana, barang
perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), keahlian (skill), kepemilikan
(property), peralatan (equipment), atau intangible asset( seperti hak paten atau goodwill),
kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang – barang lainnya yang dapat dinilai dengan
uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentu kontribusi masing – masing pihak
dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.
Mudharabah
Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal
mempercayakan seju7mlah modal kepada pengelola dengan suatu perjanjian pembagian
keuntungan.Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari pemilik
modal dan keahlian dari pengelola. Beberapa ketentuan umum mudharabah adalah :
Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harusd iserahkan
tunai;
Hasil dari pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara:
perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) dan perhitungan dari keuntungan proyek
(profit loss sharing).
Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad pada setiap bulan atau waktu yang
disepakati.
Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan, namun tidak berhak mencampuri
urusan pekerjaan/usaha nasabah.
Jauh sebelum pemerintah memberikan dukungan pada wisata syariah dengan wujud
menyelenggarakan Konferensi Wisata Syariah Negara-negara Anggota Organisasi Konferensi
Islam, Dewan Syariah Nasional MUI Sejak beberapa tahun terakhir ini, turut aktif mendukung
pemerintah, khususnya dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, guna mengembangkan
wisata syariah di Indonesia.
Menurut DSN MUI, Wisata Syariah merupakan satu ruang yang sangat luas dan sangat
strategis, karena ddalamnya banyak unsur-unsur yang terkait dengan upaya membangun
peradaban Islam yang kaffah, dan rahmatan lil alamin. Karena faktor lingkungan, SDM, budaya,
seni, dan berbagai derivatif lainnya, pasti akan menjadi komponen-komponen yang menyatu,
yang tidak bisa dipisahkan. Dan semua ini sebetulnya adalah sebuah peradaban yang sejak lama
didirikan oleh manusia. Ini juga tak terlepas dari upaya meningkatkan ekonomi kreatif, sehingga
akan meningkatkan nilai-nilai ekonomis dari obyek-obyek wisata yang kita miliki, yang nantinya
juga akan berdampak pada peningkatan nilai-nilai ekonomi, baik secara mikro maupun makro.
Karena itulah, DSN MUI merasa terpanggil untuk men-support Pemerintah dalam
mengembangkan wisata syariah ini.
Peran DSN MUI sangatlah vital dalam pengembangan wisata syariah ini, untuk itu DSN
MUI melakukan beberapa langkah-langkah diantaranya; DSN MUI mengambil peran yang
dituangkan didalam MOU bersama Kemenparekraf yang isinya :
1. DSN MUI menyusun Pedoman Umum yang menyangkut wisata syariah, dan juga pedoman-
pedoman khusus yang terkait dengan elemen-elemen dari wisata syariah yang diperlukan, seperti
misalnya, menyangkut perrhotelan syariah, restoran, atau rumah makan, atau hal-hal yang terkait
dengan produk-produk konsumen wisata syariah.
2. DSN MUI menyiapkan sertifikasi bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang jasa
wisata syariah. DSN juga akan memberikan pelathan dan sertifikasi pula bagi para tour guide,
karena posisi-posisi ini memang sangat penting.
3. DSN MUI juga akan menempatkan Dewan Pengawas Syariah (DPS) pada biro-biro perjalanan
wisata, guna memberikan arahan, bimbingan, dan juga memberikan opini-opini syariah yang
terkait dengan pengembangan wisata syariah yang berkelanjutan.
4. DSN MUI juga akan memberikan fatwa-fatwa yang menjadi pedoman dasar dari wisata syariah
ini. Dan tentu saja, DSN MUI juga ikut mensosialisasikan pengembagan wisata syariah di tanah
air ini, bersama-sama dengan pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya.
Dari catatan yang ada, spending muslim travel pada 2013 mencapai US$ 137 miliar.
Dalam laporan berjudul State of The Global Islamic Economy 2013 Report, disebutkan jumlah
ini sama dengan 12,5 persen dari keseluruhan nilai belanja pariwisata dunia.
Angka itu belum termasuk belanja untuk umrah dan haji. Menurut perkiraan mereka,
pada 2018 belanja muslim untuk keperluan wisata menembus US$ 181 miliar. Tingkat
pertumbuhan muslim travel di dunia jauh di atas tingkat pertumbuhan wisatawan mancanegara
yang lain. Sebagai catatan, wisatawan mancanegara yang masuk ke Indonesia mencapai 8,8 juta
turis, dengan total US$ 1,66 miliar.
Namun, para ahli mengamati industri perjalanan dan pariwisata halal di negara-negara
nonmuslim jauh lebih baik daripada di negara-negara muslim. Dewan Crescent Tours di Inggris,
Elnur Seyidli berpendapat pertumbuhan pariwisata halal seperti yang terlihat di Selandia Baru
dan Australia menunjukkan, negara-negara nonmuslim lebih disukai turis negara-negara muslim.
Menurutnya, dunia nonmuslim mampu menggarap potensi tersebut lebih maksimal. Contohnya,
Jepang yang memiliki ruang salat di bandara dan sebagian besar hotel di sana menyediakan
makanan halal. Thomson Reuters baru-baru ini melaporkan, Eropa menjadi tujuan wisata
terpopuler secara global pada 2012. Di bagian daftar teratas adalah Prancis dengan 83 juta
kedatangan. Amerika Serikat menduduki posisi kedua dengan 67 juta kedatangan, diikuti China
dan Spanyol dengan 58 juta kunjungan. Turki dan Malaysia menduduki peringkat ke-6 dan ke-
10.
Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan wisata syariah mengingat
sebagian besar penduduknya adalah Muslim dan adanya faktor pendukung seperti ketersediaan
produk halal. Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, secara alami budayanya
telah menjalankan kehidupan bermasyarakat yang Islami, sehingga di sebagian besar wilayahnya
yang merupakan destinasi wisata telah ramah terhadap Muslim Traveller. Terkait kebutuhan
umat muslim dunia, dari 6,8 milyar lebih penduduk dunia, tercatat tidak kurang dari 1,57 milyar
atau sekitar 23% adalah muslim. Bahkan di Indonesia, penganut Islam diperkirakan mencapai
angka 203 juta jiwa atau sekitar 88,2% dari jumlah penduduk. Hal ini merupakan potensi bagi
pengembangan wisata syariah, misalnya dengan menciptakan paket-paket wisata syariah di
destinasi pariwisata Indonesia.
Menurut penelitian dari Crescentrating, pengeluaran wisatawan muslim dalam suatu
perjalanan wisata sangat tinggi, dapat dibayangkan uang yang dihabiskan wisatawan muslim di
dunia pada tahun 2011 mencapai 126 milyar dolar AS atau setara Rp 1.222,1 Triliun. Angka ini
dua kali lebih besar dari seluruh uang yang dikeluarkan oleh wisatawan Cina yang mencapai 65
miliar dolar AS atau setara Rp 630 Triliun. Target kita wisatawan dari Timur Tengah, Afrika
Selatan, Asia, China, India, dan Eropa.
Menurut Dirjen Pemasaran Pariwisata, Esthy Reko Astuti, untuk memenuhi kebutuhan
tersebut pemerintah mencoba mengembangkan dan mempromosikan usaha jasa di bidang
perhotelan, restoran, biro perjalanan wisata, dan SPA di 12 destinasi wisata syariah di Indonesia
antara lain Aceh, Sumatera Barat, Riau, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Yogyakarta, Jawa Timur, NTB serta Sulawesi Selatan. Kedua belas destinasi tersebut merupakan
proyek percontohan dan tidak menutup kemungkinan diperluas ke destinasi lainnya di Indonesia.
Produk baru dari Kemeparekraf ini tentunya membutuhkan tenaga professional di bidang
pariwisata khususnya wisata syariah. Untuk Mendukung program pemerintah tersebut,
Universitas yang membuka fakultas pariwisata perlu mempersiapkan hingga melahirkan tenaga
kerja profesional di bidang kepariwisataan yang berkualitas dan bersertifikat taraf internasional.
Program wisata syariah yang digalakkan oleh Kemenparekraf harus sejalan dengan visi & misi
fakultas pariwisata yang berdasarkan nilai-nilai Islam dalam menngembangkan dan memajukan
Pariwisata Sumatera Barat khususnya dan Indonesia umumnya.
Dengan nilai-nilai keislaman yang ada pada pariwisata syariah bukan hanya bermanfaat
bagi industri pariwisata tapi juga bermanfaat bagi masyarakat dalam meningkatkan keimanan &
menjadi manusia yang lebih baik dan mencegah terjadinya hal hal yang bersifat mudharat bagi
manusia dan lingkungan. Bahkan ketua MUI sendiri menyampaikan bahwa Wisata Syariah
adalah bagian dari Dakwah, Subhanallah. Selaras Sumbar sendiri wisata syariah yang
menghilangkan hal hal yang tidak sesuai dengan syariah islam sangat sesuai dengan.
Dengan adanya wisata Syariah ini mungkin bisa menjawab pertanyaan dari kalangan
masyarakat yang insha Allah bisa mengubah stigma masyarakat tentang pariwisata di Indonesia.
Produk baru Kemenparekraf ini bisa menjadi Jati Diri Pariwisata Indonesia yang bersinergi
dengan seluruh lapisan masyarakat dan dapat menjadi insan pariwisata yang agamis dan
profesional. insyaallah, wisata syari’ah yang paling barokah.
Meski terkesan terlambat, namun pengembangkan sektor “sharia tourism” ini akan
memberikan nilai tambah ekonomi sekaligus khazanah budaya bagi Indonesia sendiri, sehingga
dikenal di manca Negara, utamanya di kalangan dunia Islam. Dewasa ini konsep priwisata Islam
(Islamic tourism) – berkaitan pula dengan konsep wisata halal – sebuah paket wisata yang
sekaligus mengandung nilai-nilai dakwah, manfaat serta pengenalan tentang kebudayaan Islam
(Islamic culture).
Negara-negara di Timur Tengah, sudah lebih dulu mengawalinya secara professional,
contoh seperti Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA) , yang mengemas paket wisata mereka dengan
basis syariah dari hulu ke hilir, semua unsure yang terkait dengan pariwisata dibungkus dengan
nili-nilai Islami, dari bentuk pelayanan, hotel, area destinasi hingga makanan yang disajikan.
Sehingga para wisatawan memandang pejalanan yang dialkukannya adalah penuh manfaat,
bernilai tadabur alam serta rekreasi yang tidak sia-sia. Saat ini “Sharia Tourism” atau Wisata
berbasis syariah sangat menarik untuk dikembangkan, setelah berbagai bisnis berbasis syariah
mengemuka, yakni perbankan syariah, asuransi syariah dan lain-lain, kini bergulir ide Wisata
Syariah. Melihat pada kenyataan yang dipaparkan diatas, bisnis wisata syariah akan menjadi
primadona baru bagi dunia pariwisata nasional bahkan internasional.
Dengan adanya dukungan dari MUI dan pemerintah, serta kebutuhan masyarakat
indonesia akan wisata halal, maka wisata syariah di indonesia akan semakin mudah berkembang.
penyusun melihat di Indonesia belum banyak Jasa Tour yang memiliki konsep syariah. Kalaupun
ada, baru beberapa jenis wisata yang memang dari asalnya sudah syar’i, seperti ziarah wali 9,
atau juga Umrah. Dengan kenyataan ini tentunya wisata syariah akan menjadi lapangan bisnis
yang menjanjikan. Akses untuk membuka bisnis wisata syariah di Indonesia akan lebih mudah
mengingat sekarang ini belum banyak kompetitor yang dalam persaingan bisnis wisata syariah.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian kita sepakati bersama bahwa perbankan islam adalah lembaga keuangan yang
menjalankan aktivitas perbankan konvensional murni yang tidak sama sekali ada kaitannya
dengan kegiatan keagamaan yang akan menimbulkan kontradiksi apabila terjadi sebuah
kesalahan, maka agama islam termasuk di dalamnya umat islam itu akan tersalahkan.
Namun dalam kegiatannnya perbankan islam tidak boleh menyimpang dari landasan dan
prinsip-prinsip islam itu sendiri, karena timbulnya perbankan islam adalah untuk
menyempurnakan dari sistem sosialis dan konvensional. Yang bukan saja berorientasi pada
profitabilitas tapi juga bagaimana perbankan islam itu sendiri mengedepankan etika dan moral
dalam berbisnis di dunia perbankan yang dapat menciptakan sebuah kegiatan perbankan yang
efisien dan efektip (bebas dari Riba, Gharar, Maysir, dll) sehingga dapat berimplikasi pada
pembangunan ekonomi, kesejahteraan rakyat, menciptakan pasar ekonomi yang sehat dan
menghilangkan paradigma dzalim.
Dan bisa difahami pula bahwa bisnis syariah adalah segala jenis bisnis yang berasakan
syariat Islam. Sehingga pada praktiknya semua pelaku usaha akan benar-benar hati-hati dalam
bertransaksi atau merancang sebuah aturan bisnis. Tentunya hal ini sangat meneteramkan bagi
kaum muslimin dan ternyata diminati juga oleh kaum non muslim. Sehingga bisnis syariah
memiliki prospek yang cemerlang di masa mendatang.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Andri Soemitra. 2009. Bank dan lembaga keuangan syariah. Jakarta : Kencana.
Kautsar Riza Salman. 2012. Akuntansi Perbankan Syariah Berbasis PSAK Syariah. Jakarta :
Indeks.
Syakir Sula, Muhammad, dan kertajaya, Hermawan, syariah marketing, Mizan, Bandung, 2006
Sofyan, Riyanto. Bisnis syariah, mengapa tidak?, jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.
Sumber lain :
http://www. Makalahegi.blogspot.com Diakses pada tanggal 04 Desember 2020
http://www. Eramoeslem.com”ekonomi syariah
https://adzaniahdinda.wordpress.com/2013/04/07/ruang-lingkup-bisnis-syariah/ diakses pada 04
Desember 2020,
http://reza-rahmat.blogspot.com/2012/06/ruang-lingkup-bisnis-syariah.html diakses pada 04
Desember 2020,
http://mugipanji.wordpress.com/2014/08/19/indonesia-serius-kembangkan-wisata-syariah/
diakses pada 02 januari 2015
wawancara mysharing.com dengan DSN MUI. http://mysharing.co/wisata-syariah/ .diakses
pada 04 Desember 2020