Anda di halaman 1dari 12

Milik Pribadi Kiki Novita Sari, ME

BAB II
PERBANKAN SYARIAH
A. Pengertian Perbankan Syariah
Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank Syariah adalah bank yang
beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut
dengan Bank Tanpa Bunga adalah lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan
produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadist Nabi SAW. Atau
dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.
Antonio dan Perwataadmadja membedakan menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam
dan Bank yang beroperasi dengan prinsip syariah Islam1. Bank Islam adalah (1) bank
yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, (2) bank yang tata cara
beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadist, dikatakan lebih
lanjut dalam tata cara bermuamalah itu dijauhi praktik-praktik yang dikhawatirkan
mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar
bagi hasil dan pembiayaan perdagangan2.
Untuk menghindari pengoperasian bank dengan sistem bunga, Islam
memperkenalkan prinsip-prinsip muamalah Islam. Dengan kata lain, Bank Syariah lahir
sebagai salah satu alternatif terhadap persoalan pertentangan antara bunga bank dan riba.
Dengan demikian, kerinduan umat Islam Indonesia yang ingin melepaskan diri dari
persoalan riba telah mendapatkan jawaban lewat lahirnya bank Islam. Bank Islam lahir

1
Karnaen Perwataadmadja & M. Syafi'i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam (Yogyakarta:
PT Dana Bhakti Wakaf 1997), h. 20
2
Muhammad, Lembaga Keuangan Umat Kontemporer (Yogyakarta: UII Press, 2000), h. 52
Perbankan Syariah 11

dengan gencarnya , pada sekitar tahun 90-an atau tepatnya setelah ada Undang-Undang
No. 07 tahun 1992, yang direvisi dengan Undang-undang Perbankan No. 10 tahun 1998,
dalam bentuk sebuah bank yang beroperasi dengan sistem bagi hasil.
B. Fungsi dan Peranan Bank Syariah
Sistem operasional Perbankan Syariah mengacu kepada prinsip-prinsip ekonomi
Islam yakni tidak mengenal konsep bunga uang dan yang tidak kalah pentingnya adalah
untuk tujuan komersial, Islam tidak mengenal peminjaman uang tetapi
kemitraan/kerjasama (mudharabah dan musyarakah) dengan prinsip bagi hasil, sedang
peminjaman uang hanya dimungkinkan untuk tujuan sosial tanpa adanya imbalan
apapun.
Di dalam menjalankan operasinya fungsi Bank Islam akan terdiri dari:
1. Sebagai penerima amanah untuk melakukan investasi atas dana-dana yang
dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atas dasar prinsip
bagi hasil sesuai dengan kebijakan investasi bank.
2. Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki oleh pemilik
dana/shahibul maal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh
pemilik dana (dalam hal ini bank bertindak sebagai manajer investasi)
3. Sebagai penyedia lalu lintas jasa pembayaran dan jasa-jasa lainnya sepanjang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah
4. Sebagai pengelola fungsi social seperti pengelolaan dana zakat dan
penerimaan serta penyaluran dana kebajikan (fungsi optional)3.
Adanya Bank Islam diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayaan-pembiayaan yang dikeluarkan
oleh Bank Islam. Melalui pembiyaan ini Bank Islam dapat menjadi mitra dengan
nasabah, sehingga hubungan Bank dan nasabah tidak lagi sebagai kreditur dan debitur
tetapi menjadi hubungan kemitraan.
Secara khusus peranan Bank Syariah secara nyata dapat terwujud dalam aspek-
aspek berikut ini4:

3
Achmad Barabba, Prinsip Dasar Operasional Perbankan Syariah, Buletin Ekonomi Moneter
dan Perbankan (BMEB) 2003, h. 1-8
4
Muhamad, Manajemen Bank Syari'ah (Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah
Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2011), h. 39
Perbankan Syariah 12

1. Menjadi perekat nasionalisme baru, artinya bank syariah dapat menjadi


fasilitator aktif bagi terbentuknya jaringan usaha ekonomi kerakyatan.
Disamping itu, Bank Syariah perlu mencontoh keberhasilan Sarekat Dagang
Islam, kemudian ditarik keberhasilannya untuk masa kini (nasionalis,
demokratis, religious dan ekonomis)
2. Mmberdayakan ekonomi umat dan beroperasi secara transparan. Artinya,
pengelolaan Bank Syariah harus di dasarkan pada visi ekonomi kerakyatan,
dan upaya ini terwujud jika ada mekanisme operasi yang transaparan.
3. Memberikan return yang lebih baik. Artinya investasi di Bank Syariah tidak
memberikan janji yang pasti mengenai return (keuntungan) yang diberikan
kepada investor. Oleh karena itu, Bank Syariah harus mampu memberikan
return yang lebih baik dibandingkan dengan bank konvensional. Disamping
itu, nasabah pembiayaan akan memberikan bagi hasil sesuai dengan
keuntungan yang diperolehnya. Oleh karena itu pengusaha harus bersedia
memberikan keuntungan yang tinggi kepada Bank Syari’ah.
4. Mendorong penurunan spekulasi di pasar keuangan. Artinya Bank Syariah
mendorong terjadinya transaksi produktif dari dana masyarakat. Dengan
demikian spekulasi dapat ditekan.
5. Mendorong pemerataan pendapatan. Artinya, Bank Syariah bukan hanya
mengumpulkan dana pihak ketiga, namun dapat mengumpulkan dana Zakat,
Infaq dan Sedekah (ZIS). Dana ZIS dapat disalurkan melalui pembiayaan
Qardhul Hasan, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan pada
akhirnya terjadi pemerataan ekonomi.
6. Peningkatan efisiensi mobilisasi dana. Artinya, adanya produk al-mudharabah
al-muqayyadah, berarti terjadi kebebasan Bank untuk melakukan investasi
atas dana yang diserahkan investor, maka Bank syariah sebagai finance
arranger, bank memperoleh komisi atau bagi hasil, bukan karena spread
bunga.
7. Uswah hasanah implementasi moral dalam penyelenggaraan usaha bank.
C. Pekembangan Bank Syariah di Tanah Air
Pelopor berdirinya Bank Syariah adalah Bank Muamalah Indonesia (BMI) pada
tahun 1991. Bank ini dilahirkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikatan
Perbankan Syariah 13

Cendikiawan Muslim (ICMI), pengusaha muslim dan juga pemerintah. Sayangnya bank
tersebut kurang familiar di mata masyarakat dan barulah ketika krisis ekonomi pada
tahun 1998 bank ini baru dilirik oleh nasabah5.
Secara intensif, berbagai upaya pendirian Bank Islam di Indonesia dimulai sejak
1988, yaitu pada saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO),
yang mengatur tentang deregulasi industri perbankan di Indonesia. Para ulama saat itu
telah berusaha untuk mendirikan bank yang bebas bunga, tetapi tidak ada satu pun
perangkat hukum yang dapat dirujuk, kecuali adanya penafsiran dari peraturan
perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar
0% (nol persen).
Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan
Perbankan di Cisarua, Bogor pada 19–22 Agustus 1990, yang kemudian diikuti dengan
diundangkannya UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, di mana perbankan bagi
hasil diakomodasikan, Bank Muamalat Indonesia didirikan sebagai Bank Umum Islam
pertama yang beroperasi di Indonesia. Pendirian Bank Muamalat ini diikuti oleh
pendirian bank-bank pembiayaan rakyat syariah (BPRS). Namun, karena lembaga ini
masih dirasakan kurang mencukupi dan belum sanggup menjangkau masyarakat Islam
lapisan bawah, lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut sebagai Baitul Maal wat
Tamwil (BMT) dibentuk.
Adanya Undang-undang No. 10 tahun 1998 ini dapat membawa kesegaran baru
bagi dunia perbankan kita. Terutama bagi dunia perbankan syariah di tanah air,
berdirinya bank-bank baru yang bekerja berdasarkan prinsip syariah akan menambah
semarak lembaga keuangan syariah yang telah ada di sini seperti: Bank Umum Syariah,
BPR Syariah, dan Baitul Maal wa Tamwil (BMT)6.
Menurut Mudradjad dan Suharjono (2002) mengatakan bahwa deregulasi
financial yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini agaknya sejalan dengan
deregulasi financial yang terjadi di sekitar Negara-negara Asia. Persamaannya yaitu
terlihat pada tiga dimensi deregulasi yang terpisah namun kaitannya erat, yaitu:
deregulasi harga (terutama deregulasi suku bunga), deregulasi product (ragam jasa yang

5
Agus Marimin, Abdul Haris Romdhoni, Tira Nur Fitria, Perkembangan Bank Syariah di
Indonesia, Jurnal Ilmiah Ekonomi Islam, Vol I No. 2, 2015, h. 75-87
6
M. Syafe'i Antonio, Bank Islam: Teori dan Praktek (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), h. 87
Perbankan Syariah 14

ditawarkan), dan deregulasi spasial (kelonggaran pembukaan cabang atau hambatan


memasuki pasar).
Diakui atau tidak bahwa deregulasi financial di Indonesia telah memberikan iklim
bagi tumbuh dan kembangnya bank syari’ah di Indonesia. Pada tahun 1991 telah berdiri
dua bank syariah yaitu: BPR Syariah Dana Mardhotillah, BPR Syariah Amal Sejahtera,
keduanya berada di Bandung.
Kalau dilihat secara makro ekonomi, perkembangan bank syariah di Indonesia
memiliki peluang besar karena peluang pasarnya yang luas sejurus dengan mayoritas
peenduduk Indonesia. UU No. 10 tidak menutup kemungkinan bagi pemilik Bank
Negara, swasta nasional bahkan pihak asing sekalipun untuk membuka cabang
syariahnya di Indonesia. Dengan terbukanya kesempatan ini, jelas akan memeperbesar
peluang transaksi keuangan di dunia perbankan kita, terutama jika terjalin hubungan
kerjasama diantara bank-bank syariah.
Hal ini guna menampung aspirasi dan kebutuhan yang berkembang di
masyarakat. Masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk mendirikan bank
berdasarkan prinsip syariah termasuk juga kesempatan konversi dari bank umum yang
kegiatan usahanya berdasarkan pada pola konvensional menjadi pola syariah. Selain itu
diperbolehkan juga bagi pengelola bank umum konvensional untuk membuka kantor
cabang yang sudah ada menjadi kantor cabang khusus syariah dengan persyaratan yang
tentunya melarang pada percampuran modal kerja dan akuntansinya.
Melihat proses pembentukan bank syariah di Indonesia, ada tiga cara untuk
menjadi bank syariah, sebagai berikut:
1. Mendirikan bank syariah secara langsung dengan full system (sistem penuh)
syariah seperti halnya Bank Muamalat.
2. Melakukan konversi, dari bank konvensional ke bank syariah. Ini pun biasanya
menggunakan full system syariah, seperti halnya Bank Syariah Mandiri yang
pada awalnya adalah bank konvensional.
3. Membuka divisi syariah, biasanya adalah bank konvensional yang berniat
melakukan transaksi syariah. Hal itu dilakukan dengan cara membuka divisi
syariah dengan menggunakan dual banking system.
Perbankan Syariah 15

D. Keuntungan dan Resiko Perbankan Syariah


Bank Syariah seperti halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga
mempunyai peran sebagai lembaga perantara (intermediary) antara pihak-pihak yang
mengalami kelebihan dana (surplus unit) dan pihak lain yang mengalami kekurangan
dana (deficit unit). Melalui bank, kelebihan dana tersebut dapat disalurkan kepada pihak-
pihak yang memerlukan dan memberikan manfaat kepada kedua belah pihak.
Bank konvensional melaksanakan peran tersebut melalui kegiatannya sebagai
peminjam dan pemberi pinjaman. Para pemilik dana tertarik untuk menyimpan dana di
bank berdasarkan tingkat bunga yang dijanjikan. Demikian pula, bank memberikan
pinjaman kepada pihak-pihak yang memerlukan dana berdasarkan kemampuan mereka
membayar tingkat bunga tertentu. Hubungan antara bank dan nasabahnya adalah
hubungan antara kreditor dan debitur.
Berbeda dengan bank konvensional dan dalam konsep ideal, hubungan antara
bank syariah dan nasabahnya bukanlah hubungan antara debitur dan kreditor, melainkan
hubungan kemitraan antara penyandang dana (shahib al-maal atau shahibul maal) dan
pengelola dana (mudharib). Oleh karena itu, tingkat laba bank syariah bukan saja
berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang saham, tetapi juga
berpengaruh terhadap bagi hasil yang dapat diberikan kepada nasabah menyimpan dana.
Dengan demikian, kemampuan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai
penyimpan harta, pengusaha, dan manajer investasi profesional (professional investment
manager) akan sangat menentukan kualitas usahanya sebagai lembaga perantara dan
kemampuannya menghasilkan laba.
Dana adalah uang tunai yang dimiliki atau dikuasai oleh bank dalam bentuk tunai,
atau aset lain, yang dapat segera diubah menjadi uang tunai. Uang tunai yang dimiliki
atau dikuasai oleh bank tidak hanya berasal dari para pemilik bank itu sendiri, tetapi juga
berasal dari titipan atau penyertaan dana orang lain/pihak lain yang sewaktu-waktu atau
pada suatu saat tertentu akan ditarik kembali, baik secara sekaligus maupun secara
berangsur-angsur. Berdasarkan data empiris selama ini, dana yang berasal dari para
pemilik bank itu sendiri, ditambah cadangan modal yang berasal dari akumulasi
keuntungan yang ditanam kembali pada bank, hanya sebesar 7–8 % dari total aset bank.
Bahkan di Indonesia, rata-rata jumlah modal dan cadangan yang dimiliki oleh bank-bank
belum pernah melebihi 4% dari total aset. Hal ini berarti bahwa sebagian besar modal
Perbankan Syariah 16

kerja bank berasal dari masyarakat, lembaga keuangan lain, dan pinjaman likuiditas dari
bank sentral.
Uang dalam pandangan syariat bukanlah merupakan suatu komoditas, melainkan
hanya sebagai alat untuk mencapai pertambahan nilai ekonomis (economic added value).
Hal ini bertentangan dengan perbankan yang berbasis bunga, di mana “uang
mengembangbiakkan uang”, tidak peduli apakah uang itu dipakai dalam kegiatan yang
produktif atau tidak.
Untuk menghasilkan keuntungan, uang harus dikaitkan dengan kegiatan ekonomi
dasar (primary economic activities), baik secara langsung (melalui transaksi, seperti
perdagangan, industri manufaktur, sewa-menyewa, dan lain-lain) maupun secara tidak
langsung (melalui penyertaan modal guna melakukan salah satu atau seluruh kegiatan
usaha tersebut).
Berdasarkan prinsip tersebut, bank syariah dapat menarik dana pihak ketiga atau
masyarakat dalam bentuk, sebagai berikut:
1. Titipan (wadi’ah), yaitu simpanan yang dijamin keamanan dan pengembaliannya
(guaranteed deposit), tetapi tanpa memperoleh imbalan atau keuntungan.
2. Partisipasi modal berbagi hasil dan berbagi risiko (non-guaranteed account)
untuk investasi umum (general investment account/mudharabah mutlaqah), di
mana bank akan membayar bagian keuntungan secara proporsional dengan
portofolio yang didanai dengan modal tersebut.
3. Investasi khusus (special investment account/mudharabah muqayyadah), di mana
bank bertindak sebagai manajer investasi untuk memperoleh fee. Jadi, bank tidak
ikut berinvestasi, sedangkan investor sepenuhnya mengambil risiko atas investasi
tersebut.
Tantangan dan peluang perbankan syariah di Indonesia bisa kita lihat dari tabel yang
telah disediakan di bawah ini7:
Tabel 2.1.
Tantangan dan peluang Bank Syariah di Indonesia
No Tantangan Peluang
1 Sedikitnya jaringan kantor - Konversi beberapa Bank Umum di daerah

7
Aprianti, Hani Werdi, Perkembangan Industri Perbankan Syariah di Indonesia: Analisis
peluang dan tantangan, MAKSIMUM, Vol 1 No. 1, 2017, h. 16-23
Perbankan Syariah 17

perbankan syariah di Indonesia menjadi full syariah


- Pengembangan kelembagaan dan infrastruktur
pendukung
- Pengembangan program sinergi antar
kelembagaan (termasuk dengan bank
konvensional)
- Peningkatan dengan Working Group
perbankan syariah (WGPR)
2 Kualitas dan kuantitas SDM yang - Demografi ekonomi: peningkatan ketersediaan
belum memadai SDM
- Edukasi dan komunikasi
3 Rendahnya pemahaman dan - Edukasi Perbankan Syariah yang dilakukan
kesadaran masyarakat terhadap oleh OJK
konsep syariah - Inovasi Produk yang dapat merubah perilaku
masyarakat sesuai konsep syariah (dimensi
social)
4 Belum optimalnya sistem - Dorongan OJK terhadap kualitas Good
kelembagaan perbankan syariah Governance
5 Belum optimalnya pelayanan - Kebijakan kualitas layanan perbankan
perbankan syariah syariah
- Peningkatan Service Excellene
6 Produk yang tidak variatif - Kebijakan pengembangan perbankan syariah
tentang inovasi produk perbankan syariah
- Kustomisasi produk sesuai preferensi
masyarakat sejalan dengan prinsip syariah
- Inovasi Produk berbasis ICT
7 Modal yang belum memadai - Kemudahan perizinan oleh OJK
- Adanya POJK No 20 tahun 2015 tentang
penerbitan Efek Beragunan Asset (EBA)
syariah
- Pertumbuhan ekonomi dan Bonus
Demografi: pemanfaatan peningkatan
Perbankan Syariah 18

simpanan individu
- Rencana Penambahan modal beberapa
Perbankan Syariah, contoh Bank Muamalah
Indonesia.
Sumber: Roadmap Perbankan Syariah Indonesia, diolah pada tahun 2016
E. Manajemen Perbankan Syariah
Manajemen adalah sebuah kata bebas nilai, bergantung pada fungsi dan kegunaan
yang akan diharapkan. Manajemen berarti seni dan ilmu pengelolaan yang berisi atau
berfungsi untuk melakukan perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan
pengawasan. Manajemen perbankan syariah berarti seni dan ilmu mengelola usaha jasa
perbankan syariah. Dikatakan seni karena sering terjadi hal khusus dan unik berdasarkan
karakteristik masing-masing lembaga. Di sisi lain, dikatakan ilmu karena dapat dipelajari,
dapat ditiru, dan dapat didokumentasikan. Implementasi manajemen sangat diperlukan
untuk kemajuan organisasi perbankan syariah.
Manajemen perbankan syariah paling tidak membahas tentang manajemen umum,
manajemen pemasaran, manajemen sumber daya manusia (MSDM), manajemen
operasional, manajemen keuangan, dan manajemen risiko dari perbankan syariah.
Manajemen umum menyangkut aspek-aspek makro dan aspek umum, seperti studi
kelayakan pendirian usaha, pengelolaan lingkungan usaha, perizinan, dampak
lingkungan, dan tata kelola korporasi.
F. Perbedaan Bank Syariah Dan Bank Konvensional
Masih banyak di kalangan pengguna jasa perbankan mengalami kesulitan untuk
membedakan antara bank syariah dan bank konvensional. Pada prinsipnya, bank syariah
tidak benar benar berbeda dengan bank konvensional. Bahkan, ada beberapa persamaan
yang terutama dilihat dari manajemen perbankan. Akan tetapi, terdapat sedikit perbedaan
yang merupakan substansi dari hakikat kesyariahan dari lembaga keuangan perbankan.

Tabel 2.2. Perbedaan Bank Syariah dan Bank Konvensional


No Variabel Bank Syariah Bank Konvensional
1. Proses Pengelolaan Uang Harus memenuhi unsur Tidak harus
syariah, yaitu kegiatan usaha memenuhi prinsip
yang bebas dari: dan unsur syariah
Perbankan Syariah 19

a. Riba
b. Maisir
c. Gharar
d. Haram
e. Zalim
2. Fungsi Uang Fungsi uang tidak sebagai Fungsi uang sebagai
komoditas yang komoditas yang
diperdagangkan, penggunaan diperdagangkan,
uang harus ada transaksi yang penggunaan tidak
mendasarinya (underlaying harus ada transaksi
transaction). Uang di bank yang mendasarinya
syariah:
a. Barang
 Akad murabahah (ready
stock)
 Akad salam (pesanan)
 Akad istishna’ (pesanan)
mendapatkan margin
b. Usaha produktif
 Akad mudharabah
 Akad musyarakah
(pendapatan bagi hasil)
c. Barang/ paket jasa
 Akad ijarah
 Akad IMBT (pendapatan
ijarah/fee)
d. Kebutuhan mendasar
 Akad qardh (tidak ada
fee)
3. Sumber pendapatan Nonriba: Riba : pendaapatan
a. Pendapatan jual beli bunga bank
(margin)
Perbankan Syariah 20

b. Pendapatan bagi hasil (bagi


hasil)
c. Pendapatan sewa (ijarah)
4. Jenis usaha penyaluran Hanya jenis usaha yang halal Jenis usaha dapat
dana saja halal dan haram, dan
bermanfaat dan tidak
bermanfaat
(mudharat)
5. Dasar ketentuan usaha a. Fatwa Dewan Syariah Bank Indonesia (BI)
(DSN)
b. Peraturan Bank Indonesia
(PBI)
c. Opini Dewan Pengawas
Syariah (DPS)
6. Pengawas Usaha a. Bank Indonesia (BI) BI
b. Dewan Pengawas Syariah
(DPS)
7. Dasar Hukum yang a. Hukum Syariah Hukum Positif
digunakan b. Hukum Positif
8. Akad antara nasabah dan a. Akad antara nasabah dan a. Akad antara
bank bank disepakati di awal nasabah dan bank
perjanjian, konsisten disepakati di awal
b. Perubahan tidak dapat perjanjian, dapat
dilakukan secara sepihak tidak konsisten
b. Perubahan dapat
dilakukan secara
sepihak
9. Peran di sektor riil Meningkatkan peran di sektor Jumlah pembiayaan
riil karena jumlah yang disalurkan
pembiayaan yang disalurkan dibandingkan dengan
dibandingkan dengan dana dana dihimpun tidak
dihimpun minimum 80% ditetapkan minimum
Perbankan Syariah 21

(FDR minimal 80%) 80% (FDR tidak


ditetapkan 80%)
10. Peran di bidang sosial a. Dapat menjalankan fungsi Tidak dapat
sosial yang menerima dana menerima wakaf
216, hibah, atau dana uang
social lainnya untuk
disalurkan ke organisasi
pengelola zakat
b. Dapat menerima wakaf
uang dan menyalurkannya
kepada pengelola wakaf
(nazhir) yang ditunjuk
(Sumber: UU No. 21 Tahun
2008)
11. Pembagian pendapatan Menggunakan konsep Tidak menggunakan
usaha kemitraan. Bagi hasil sangat konsep kemitraan
terpengaruh pada bagi bagi hasil tidak
pendapatan (revenue sharing) terpengaruh pada
bank. Tidak mengacu pada pendapatan bank, di
SBI (Sertifikat Bank mana hanya
Indonesia). Semakin besar mengacu kepada
pendapatan bank, semakin ketentuan suku
besar bagi hasil yang bunga SBI.
diterima nasabah. Demikian
pula, sebaliknya.

Anda mungkin juga menyukai