Anda di halaman 1dari 15

BAB IX

BANK SYARIAH

Deskripsi Awal

Pada Bab ini dibahas tentang Bank Syariah. Dimana Bank Syariah
merupakan bank yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah atau prinsip hukum islam dengan tujuan untuk menunjang
pelaksanaan pembangunan Nasional dalam rangka meningkatkan keadilan,
kebersamaan. Dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Pada Bagian ini dibahas tentang Bank Syariah, dengan dasar


pemahaman ini akan menjadi landasan bagi mahasiswa untuk memahami
Sejarah singkat, Alasan adanya Bank Syariah, Peranan Perbankan Syariah,
Perkembangan dan pertumbuhan Syariah di Indonesia dan Produk Bank
Syariah.

Mahasisiwa mampu menjelaskan tentang bank syariah seperti


Sejarah singkat Bank syariah, Alasan adanya Bank Syariah, Peranan dari
Bank syariah, dan perkembangan Bank Syariah yang ada di Indonesia.

A. Sejarah Singkat
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat muslim terbesar di
dunia, namun diskusi tentang bank syariah sebagai basis ekonomi islam
sudah mulai dilakukan pada awal tahun 1980. Sedangkan prakarsa untuk
mendirikan Bank Syariah di indonesia dilakukan oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990.

Lahirnya Bank Syariah pertama di indonesia yang merupakan hasil


kerja tim perbankan MUI adalah dengan dibentuknya PT. Bank Muamalat
Indonesia (BMI) yang akte pendiriannya ditandatangani tanggal 1
November 1991 dan memiliki puluhan cabang di kota-kota besar yang ada
di indonesia.
Disamping BMI, telah lahir juga Bank Syariah milik pemerintah
seperti Bank Syariah Mandiri (BSM). Kemudian berikutnya berdiri Bank
Syariah sebagai cabang dari Bank konvensional yang sudah ada, seperti
Bank BNI, Bank BNI, Bank IFI, Bank BPD Jabar. Bank-bank syariah lain
yang direncanakan akan membuka cabang adalah BRI, Bank Niaga dan
Bank Bukopin.

Awal mula kegiatan Bank Syariah yang pertama sekali dilakukan


adalah di Pakistan dan Malaysia pada tahun 1940-an. Pakistan merupakan
negara pelopor utama dalam melaksanakan sistem perbankan syariah
secara nasional. Pemerintah Pakistan mengkonversi seluruh sistem
perbankan di negaranya pada tahun 1985 menjadi sistem perbankan
syariah.

Perkembangan selanjutnya adalah tahun 1083 berdiri Faisal


Islamic Bank of Kibris di siprus. Sedangkan di Malaysia Bank Syariah
lahir tahun 1983 dengan berdirinya Bank Islam Malaysia (BIMB) dan
pada tahun 1999 lahir pula Bank Bumi Putera Muamalah.

Pada sidang Menteri Keuangan Organisasi Konferensi Islam (OKI)


di jeddah tahun 1975 telah disetujui rancangan pendirian Bank
Pembangunan Islam (Islamic Development Bank) dan semua anggota OKI
menjadi anggota Islamic Development Bank (IDB). Pendirian IDB ini
merupakan jalan panjang yanh sudah dirintis sejak sidang Menteri Luar
Negeri OKI di Karachi Pakistan tahun 1970. Saat ini Bank Islam sudah
tersebar di berbagai negara-negara muslim dan non muslim bahkan banyak
perusahaan keuangan dunia seperti ANZ, Chase Chemical Bank dan
Citibank telah membuka cabang yang berdasarkan syariah.

B. Alasan Adanya Bank Syariah


Secara Filosofi, Bank Syariah adalah Bank yang aktivitasnya
meninggalkan masalah riba. Dengan demikian, penghindaran bunga yang
dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dunia islam
dewasa ini. Belakangan ini para ekonomi muslim telah mencurahkan
perhatian besar guna menemukan cara untuk menggantikan sistem bunga
dalam transaksi perbankan dan keuangan yang lebih sesuai dengan etika
Islam. Upaya ini dilakukan dalam upaya membangun model teori
ekonomi yang bebas bunga dan pengujiannya terhadap pertumbuhan
ekonomi, alokasi, dan distribusi pendapatan.

Oleh karena itu, mekanisme perbankan bebas bunga yang biasa


disebut dengan Bank Syariah didirikan. Perbankan Syariah didirikan
didasarkan pada alasan filosofis maupun praktik. Alasan Filosofisnya
adalah dilarangnya riba dalam transaksi keuangan maupun non-keuangan |
Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba….. (QS. Al-
Baqarah(2): 275)| dan alasan praktisnya adalah sistem perbankan berbasis
bunga atau konvensional mengandung beberapa kelemahan (Zainul
Arifin, 2002: 39-40), yaitu sebagai berikut.

1. Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan atau kewajaran dalam


bisnis. Dalam bisnis, hasil yang diperoleh setiap perusahaan selalu
tidak pasti. Peminjam sudah berkewajiban untuk membayar tingkat
bunga yang disetujui, walaupun perusahaannya mungkin rugi.
Meskipun perusahaan untung, namun bisa jadi bunga yang harus
dibayarkan melebihi keuntungannya. Hal ini jelas bertentangan
dengan norma keadilan dalam islam.
2. Tidak fleksibelnya sistem transaksi berbasis bunga menyebabkan
kebangkrutan. Hal ini menyebabkan hilangnya potensi produktif
masyarakat secara keseluruhan, selain dengan pengangguran sebagian
besar orang. Lebih dari itu, beban utang lebih menyulitkan upaya
pemulihan ekonomi dan memperparah penderitaan seluruh
masyarakat.
3. Komitmen bank untuk keamanan uang deposan berikut bunganya
membuat bank cemas untuk mengembalikan pokok dan bunganya.
Oleh sebab itu, demi keamanan, bank hanya mau meminjamkan dana
bagi bisnis yang sudah benar-benar mapan atau kepada orang yang
sanggup menjamim keamanan pinjamannya. Sisa uangnya disimpan
dalam bentuk surat berharga pemerintah. Jadi, semakin banyak
pinjaman yang hanya diberikan kepada usaha yang sudah mapan dan
sukses, sementara orang yang punya potensi tertahan untuk memulai
usahanya. Ini menyebabkan selain tidak seimbangnya pemdapatan dan
kesejahteraan, juga bertentangan dengan semangat Islam.
4. Sistem transaksi berbasis bunga menghalangi munculnya munculnya
inovasi oleh usaha kecil. Usaha besar dapat mengambil resiko untuk
mencoba teknik dan produk baru karena mereka mempunyai cadangan
dana sebagai sandaran bila ternyata ide barunya itu tidak berhasil.
Sebaliknya, usaha kecil tidak dapat mencoba ide baru karena untuk itu
mereka harus membutuhkan pinjaman dana berbunga dari bank. Bila
gagal, tidak ada jalan lain bagi mereka kecuali harus membayar
kembali pinjaman berikut bunganya sehingga bisa saja mereka
menjadi bangkrut. Hal ini terjadi terutama pada para petani. Jadi
bunga merupakan rintangan bagi pertumbuhan dan juga memperburuk
keseimbangan pendapatan.
5. Dalam sistem bunga, bank tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha
kecuali bila ada jaminan kepastian pengembalian modal dan
pendapatan bunga mereka. Setiap rencana bisnis yang diajukan
kepada mereka selalu di ukur dengan kriteria ini. Jadi, bank yang
bekerja dengan sistem ini tidak mempunyai intensif untuk membantu
suatu usaha yang berguna bagi masyarakat dan para pekerja. Sistem
ini menyebabkan misallocation sumber daya dalam masyarakat islam.

C. Peranan Perbankan Syariah


UU No. 7 Tahun 1992 akhirnya tergerus akan kemajuan bank
syariah yang semakin pesat. Oleh karena itu, pemerintah merevisinya
sehingga menjadi UU No. 10 tahun 1998. Dalam UU tersebut tertulis
kedudukan bank syariah di indonesia secara hukum mulai menjadi kuat,
bahkan bukan hanya itu saja, disitu tertulis bahwa bank konvensional
diperbolehkan membuka unit yang berbasis syariah. Sejak saat itu
mulailah bermunculan bank konvensional yang membuka unit-unit bank
syariah.

Bank Syariah memang mempunyai banyak keunggulan karena


tidak hanya bersandarkan pada syariah saja sehingga transaksi dan
aktivitasnya menjadi halal, tetapi sifatnya yang terbuka sehingga tidak
mengkhusukan diri bagi nasabah muslim saja, tetapu juga bagi
nonmuslim. Ini membuktikan bahwa bank syariah membuka peluang yang
sama terhadap semua nasabah dan tidak membedakan nasabah. Akan
tetapi, perbankan syariah masih mempunyai banyak kendala, diantaranya
masih banyak masyarakat yang masih takut untuk menabung di bank
syariah. Hal ini dikarenakan oleh minimnya pemahaman masyarakat soal
prinsip-prinsip sistem ekonomi islam di dunia perbankan. Ini merupakan
tantangan yang harus diselesaikan bagi kita umat islam yang mengerti hal
ini.

Dalam sistem perbankan konvensional, bank selain berperan


sebagai jembatan antara pemilik dana dan dunia usaha, juga masih menjadi
penyekat antara keduanya karena tidak adanya transferability risk dan
return. Tidak demikian halnya dengan sistem perbankan syariah. Pada
perbankan syariah, bank menjadi manajer investasi, wakil, atau pemegang
amanat (custodian) dari pemilik dana atas investasi di sektor riil. Dengan
demikian, seluruh keberhasilan dan resiko dunia usaha atas pertumbuhan
ekonomi secara langsung didistribusikan kepada pemilik dana sehingga
menciptakan suasana harmoni. Skema produk perbankan syariah secara
alami merujuk kepada dua kategori kegiatan ekonomi, yakni produksi dan
distribusi. Kategori pertama di fasilitasi melalui skema profit sharing
(Mudharahah) dan partnership (musyarakah), sedangkan kegiatan
distribusi manfaat hasil-hasil produk dilakukan melalui skema jual-beli
dan sewa menyewa.
D. Perkembangan dan pertumbuhan Syariah di Indonesia
Pendirian Bnak Syariah diawali dengan berdirinya tiga Bank
Pengkreditan Rakyat Syariah (BPRS) di bandung pada tahun 1991 dan PT
BPRS Heraukat di Nangroe Aceh Darussalam. Pendirian Bank Syariah di
indonesia di prakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui
lokakarya “Bunga Bnak dan Perbankan” di Cisarua, Bogor,18-20 Agustus
1990. Hasil ini dibahas dalam Munas IV MUI yang kemudian dibentuklah
tim kerja untuk mendirikan bank syariah di indonesia sehingga berdirilah
PT Bank Muamalat Indonesia (BMI) Pada tahun 1991 dan beroperasi
tahun 1992.

BMI merupakan bank syariah yang pertama didirikan di indonesia,


walaupun perkembangannya agak lambat bila dibandingkan dengan
negara-negara lainnya. Bila pada periode tahun 1992-1998 hanya ada satu
unit bank syariah, pada tahun 2005, jumlah bank syariah di indonesia telah
bertambah menjadi dua puluh unit, yaitu bank umum syariah dan 17 unit
syariah. Sementara itu, jumlah BPRS hingga akhir tahun 2004 bertambah
menjadi 88 buah.

a. Tahapan Pengembangan Perbankan Syariah indonesia


1) 1990: Rekomendasi lokakarya MUI untuk mendirikan lembaga
perbankan syariah
2) 1992: Masuknya era dual banking system di indonesia dengan
dimungkinkannya suatu bank beroperasi dengan prinsip bagi
hasil (UU No.7 Tahun 1992)
3) 1992: Beroperasinya BPRS dan Bank Umum Syariah (BUS)
untuk pertama kali
4) 1998: Dimulainya era dual banking system, dengan
memungkinkan bank konvensional membuka Unit Usaha
Syariah (UU No. 10 Tahun 1998)
5) 1998: Penegasan peranan bank indonesia sebagai otoritas
pengawasan perbankan syariah dan dapat melaksanakan
kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah (UU No. 23
Tahun 1999)
6) 1999: diberlakukannya, ketentuan kelembagaan bank syariah
yang pertama sesuai dengan karakteristik operasional bank
syariah
7) 1999: Beroperasinya Bank Syariah Mandiri (BSM)
8) 2000: diterapkannya instrumen keuangan syariah yang pertama
kali dan menandai dimulainya kegiatan di pasar keuangan
antarbank dan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah
9) 2001: dibentuknya satuan kerja khusus (Biro Perbankan
Syariah) di bank indonesia yang menangani pengembangan
perbankan syariah secara komprehensif
10) 2002: Disusunnya blue print pengembangan perbankan syariah
11) 2003: Disusunnyanaskah akademis rancangan Undang-Undang
(RUU) Perbankan syariah.
12) 2003: Diberlakukannya ketentuan kehati-hatian yang pertama
sesuai dengan karakteristik operasional bank syariah, yaitu
Kualitas Aktiva Produktif (KAP) dan penyisihan penghapusan
Aktiva Produktif (PPAP) bagi Bank Syariah
13) 2003: Dikeluarkannya fatwa bunga Bank haram oleh MUI
14) 2004: Disusunnya ketentuan persyaratan, tugas, dan wewenang
DPS
15) 2005: Diberlakukannya ketentuan permodalan yang khusus
bagi perbankan syariah yang telah sesuai dengan standar
internasional atau IFSB
16) 2005: Penjagan ketentuan jaringan secara lebih efisien dan
berhati-hati
17) 2005: Inisiatif penyusunan linkage program sebagai dasar
peran bank syariah dalam optimalisasi voluntary sector.
E. Produk Bank Syariah
Dalam rangka melayani masyarakat, Bank Syariah menyediakan
berbagai macam produk perbankan yang ditawarkan sudah tentu sangat
islami, termasuk dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya.
Berikut ini jenis-jenis produk Bank Syariah yang ditawarkan adalah
sebagai berikut:

1. Al-wadi’ah (Simpanan)
Al-wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan atau simpanan.
Prinsip Al- wadi’ah merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak
yang lain, baik perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga
dan dikembalikan kapan saja bila si penitip mengkehendaki. Penerima
simpanan disebut yad al-amanah yang artinya tangan amanah. Si
penyimpan tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan dan
kerusakan yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari
kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara
barang titipan.

Konsekuensi dari diterapkannya prinsip yad adh-dhamanah


pihak bank akan menerima seluruh keuntungan dari penggunaan uang,
namun sebaliknya bila mengalami kerugian juga harus ditanggung
oleh bank. Sebagai imbalan kepada pemilik dana disamping jaminan
keamanan uangnya juga akan memperoleh fasilitas lainnya seperti
insentif atau bonus giro Wadiah. Artinya bank tidak dilarang untuk
memberikan jasa atas pemakaian uangnya berupa intensif atau bonus,
dengan catatan tanpa perjanjian terlebih dahulu baik nominal maupun
persentase dan ini murni merupakan kebijakan bank sebagai pengguna
uang. Pemberian jasa berupa intensif atau bonus biasanya digunakan
istilah nisbah atau bagi hasil antara bank dengan nasabah. Bonus
biasanya diberikan kepada nasabah yang memiliki dana rata-rata
minimal yang telah ditetapkan.
Dalam praktinya nisbah antara bank (shahibul maal) dengan
deposan (mudharib) biasanya bonus untuk giro wadiah sebesar 30%,
nisbah 40% : 60% untuk simpanan tabungan dan nisbah 45% : 55%
untuk simpanan deposito.

2. Pembiayaan dengan bagi hasil


Dalam bank konvensional untuk penyaluran dananya kita
mengenal istilah kredit atau pinjaman. Sedangkan dalam bank syariah
untuk penyaluran dananya kita kenal dengan istilah pembiayaan. Jika
dalam bank konvensional keuntungan bank diperoleh dari bunga yang
dibebankan, maka dalam bank syariah tidak ada istilah bunga akan
tetapi bank syariah menerapkan sistem bagi hasil.

Prinsi bagi hasil dalam bank syariah yang diterapkan dalam


pembiayaan dapat dilakukan dalam 4 akad utama yaitu:

a. Al-musyarakah

Al-Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak


atau lebih untuk melakukan usaha tertentu. Masing-masing pihak
memberikan dana atau amal dengan kesepakatan bahwa
keuntungan atau resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan
kesepakatan. Al-Musyarakah dalam praktik perbankan
diaplikasikan dalam hal pembiayaan proyek. Dalam hal ini
nasabah yang dibiayai dengan bank sama-sama menyediakan
dana untuk melaksanakan proyek tersebut.

Contoh kasus untuk prinsip Al-Musyarakah adalah sebagai


berikut.

Tn. Ray Ibrahim hendak melakukan suatu usaha tetapi


kekurangan modal. Modal yang dibutuhkan sebesar Rp
40.000.000,- sedangkan modal yang dimilikinya hanya tersedia
Rp 20.000.000,- ini berarti Tn ray Ibrahim kekurangan dana
sebesar Rp 20.000.000,- untuk menutupi kekurangan dana
tersebut Tn Ray Ibrahim meminta bantuan Bank Syariah
Baturusa dan disetujui. Dengan demikian modal untuk usaha atau
proyek sebesar Rp 40.000.000,- dipenuhi oleh Tn Ray Ibrahim
50% dan Bank Syariah Baturusa 50% . jika pada akhirnya proyek
tersebut memberikan keuntungan sebesar Rp 15.000.000,- maka
pembagian hasil keuntungan adalah 50:50, artinya 50% untuk
Bank Syariah Baturusa (7.500.000,-) 50% untuk Tn Ray Ibrahim
(7.500.000,-). Dengan catatan pada akhir suatu usaha Tn. Ray
Ibrahim tetap akan mengembalikan uang Rp 20.000.000,-
ditambah 7.500.000,- untuk keuntungan Bank Syariah Baturusa
dari bagi hasil

b. Al-mudharabah
PengertianAl-mudharabah adalah akad kerja sama antara
dua pihak , dimana pihak pertama menyediakan seluruh modal
dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi maka
akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat
dari kelalaian si pengelola. Apabila kerugian diakibatkan
kelalaian pengelola, maka si pengelolahlah yang bertanggung
jawab.

Dalam dunia perbankan Al-mudharabah biasanya


diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan seperti,
pembiayaan modal kerja. Dana untuk kegiatan Mudharabah
diambil dari simpanan tabungan berjangka seperti tabungan haji
atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito
biasa dan deposito spesial yang dititipkan nasabah untuk usaha
tertentu.
Contoh untuk kasus ini misalnya Ny. Solawati hendak
melakukan usaha dengan modal Rp 50.000.000,-. Diperkirakan
dari usaha tersebut akan memperoleh pendapatan Rp 10.000.000,-
per bulan dan modal disediakan seluruhnya oleh Bank Syariah
Jebus. Dari keuntungan ini disisihkan dulu untuk mengembalikan
modal, misalnya Rp 4.000.000.000,-. Selebihnya dibagikan antara
Bank Syariah Jebus dengan kesepakatan sebelumnya, yaitu 60% :
40% sehingga diperoleh (60% x Rp 6.000.000,- = Rp 3.600.000,-)
untuk Bank Syariah Jebus dan 40% (40% x Rp 6.000.000,- = Rp
2.400.000,-) untuk Ny. Solawati.

c. Al-muzara’ah
Pengertian Al-muzara’ah adalah kerja sama pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan
dalam hal ini menyediakan lahan, benih, dan pupuk. Sedangkan
penggarap menyediakan keahlian, tenaga, dan waktu. Keuntungan
yang diperoleh dari hasil panen dengan imbalan yang telah
disepakati. Dalam dunia perbankan kasus ini diaplikasikan untuk
pembiayaan bidang plantation atas dasar bagi hasil panen.
d. Al-musaqah
Pengertian Al-musaqah merupakan bagian dari al-
muzara’ah yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas
penyiraman dan pemeliharaan denan menggunakan dana dan
peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari persentase
hasil panen pertanian. Jadi tetap dalam kontek kerja sama
pengolahan pertanian antara pemilik lahan dan penggarap.
3. Bai’ al –Murabahah
Pengertian Bai’al-Murabahah merupakan kegiatan jual beli pada
harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal
ini penjual harus terlebih dahulu memberitahukan harga pokok yang
ia beli ditambah keuntungan yang diinginkannya. Sebagai contoh
harga pokok barang “X” Rp 100.000,-. Keuntungan yang diharapkan
adalah sebesar Rp 5.000,-. Sehingga harga jualnya Rp 105.000,-.
Kegiatan bai’al-Murabahah ini baru dilakukan setelah ada
kesepakatan dengan pembeli, baru kemudian dilakukan pemesanan.
Dalam dunia perbankan kegiatan Bai’al-Murabahah pada pembiayaan
produk barang-barang investasi baik dalam negeri maupun luar negeri
seperti letter of credit atau lebih dikenal dengan nama L/C.
4. Bai’as-salam
Bai’as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemudian
hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus
dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah
barang dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
5. Bai’ A l istishma
Bai’ A l istishma merupakan bentuk khusus dari akad Bai’as-
salam, oleh karena itu ketentuan dalam Bai’ Al istishma’ adalah
kontrak penjualan antara pembeli dengan produsen (pembuat barang).
Kedua belah pihak harus saling menyetujui atau sepakat lebih dulu
tentang harga dan sistem pembayaran. Kesepakatan harga dapat
dilakukan tawar-menawar dan sistem pembayaran dapat dilakukan di
muka atau secara angsuran per bulan atau di belakang.
6. Al-Ijarah (Leasing)
Pengertian Al-Ijarah adalah akad pemindah hak guna atas barang
atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa di ikuti dengan
pemindah kepemilikan atas barang itu sendiri. Dalam Praktiknya
kegiatan ini dilakukan oleh perusahaan leasing, baik untuk kegiatan
operating lease maupun financial lease.
7. Al-Wakalah (Amanat)
Wakalah atau Wakilah artinya penyerahan atau pendelegasian atau
pemberian mandat dari satu pihak kepada pihak lain. Mandat ini harus
diilakukan sesuai dengan yang telah disepakati oleh si pemberi
mandat.
8. Al-Kafalah (Garansi)
Al-kafalah merupakan jaminan yang diberikan penanggung kepada
pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang
ditanggung. Dapat pula diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab
dari satu pihak ke pihak lain. Dalam dunia perbankan dapat dilakukan
dalam hal pembiayaan dengan jaminan seseorang.
9. Al-Hawalah
Al-Hawalah merupakan pengalihan utang dari orang yang berutang
kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Atau dengan kata lain
pemindahan beban utang dari satu pihak ke lain pihak. Dalam dunia
keuangan atau perbankan dikenal denhan kegiatan anjak piutang atau
factoring.
10. Ar- Rahn
Ar –Rahn merupakan kegiatan menahan salah satu harta milik si
peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Kegiatan
seperti ini dilakukan seperti jaminan utang atau gadai.

F. Rangkuman
 Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat muslim terbesar di
dunia, namun diskusi tentang bank syariah sebagai basis ekonomi
islam sudah mulai dilakukan pada awal tahun 1980. Sedangkan
prakarsa untuk mendirikan Bank Syariah di indonesia dilakukan
oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus
1990.
 Secara Filosofi, Bank Syariah adalah Bank yang aktivitasnya
meninggalkan masalah riba. Dengan demikian, penghindaran
bunga yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan yang
dihadapi dunia islam dewasa ini. Perbankan Syariah didirikan
didasarkan pada alasan filosofis maupun praktik. Alasan
Filosofisnya adalah dilarangnya riba dalam transaksi keuangan
maupun non-keuangan |Allah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba….. (QS. Al-Baqarah(2): 275)| dan alasan
praktisnya adalah sistem perbankan berbasis bunga atau
konvensional.
 Dalam sistem perbankan konvensional, bank selain berperan
sebagai jembatan antara pemilik dana dan dunia usaha, juga masih
menjadi penyekat antara keduanya karena tidak adanya
transferability risk dan return. Tidak demikian halnya dengan
sistem perbankan syariah. Pada perbankan syariah, bank menjadi
manajer investasi, wakil, atau pemegang amanat (custodian) dari
pemilik dana atas investasi di sektor riil
 Produk Bank Syariah diantaranya:
 Al-wadi’ah (Simpanan)
 Pembiayaan dengan bagi hasil
 Bai’ Al-murabahah
 Bai’ As-salam
 Bai’ Al-ishtisma
 Al-ijarah (Leasing)
 Al-wakalah (Amanat)
 Al-kafalah (Garansi)
 Al-hawalah
 Ar-Rahn

Anda mungkin juga menyukai