Anda di halaman 1dari 16

BANK SYARIAH

DISUSUN

Kelompok 6

Nama : Jery Anggit


Londri
Suryani
Muhammad Irfan
Nadiyah Na’ilatu Marufah
Mata Pelajaran : Pendidikan Agama Islam
Kelas : X.3
Guru Pembimbing : Siti Saropah, S.Pd

SMA NEGERI 2 TUNGKAL JAYA


TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan
Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman bagi pembaca.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik. Makalah ini kami
akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki sangat
kurang. Oleh kerena itu kami harapkan kepada para pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Berlian Jaya, 2022


Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbankan Syariah merupakan suatu sistem perbankan yang
dikembangkan berdasarkan sistem syariah (hukum islam).Usaha
pembentukkan sistem ini berangkat dari larangan islam untuk memungut dan
meminjam bedasarkan bunga yang termasuk dalam riba dan investasi untuk
usaha yang dikategorikan haram,misalnya dalam makanan,minuman,dan
usaha-usaha lain yang tidak islami,yang hal tersebut tidak diatur dalam Bank
Konvensional. 
Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat
Indonesia. Berdiri tahun1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat
terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya
hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan
dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan
menghasilkan laba.
Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam
Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7
tahun 1992 tentang Perbankan. Adanya Perbankan syariah di Indonesia
bertujuan untuk mewadahi penduduk di Negara Indonesia yang hampir
seluruh penduduknya beragama Islam.
Dengan adanya bank tersebut diharapkan tidak adanya kerancuan
dalam proses muamalah bagi para pemeluk agama islam,sehingga mereka
terjaga dari keharaman akibat tidak adanya suatu wadah yang melayani
mereka dalam bidang muamalah yang bersifat islami. Namun realitas yang
ada,dari 80% penduduk Indonesia yang beragama Islam tidak lebih dari 10%
di antara mereka yang bertransaksi secara syar’I lebih-lebih dalam hal
perbankan.Sampai saat ini perbankan syariah di Indonesia belum mampu
menunjukan eksistensinya,banyak masyarakat yang tidak menaruh
kepercayaan terhadap perbankkan syariah.Bahkan para ulama-ulama di negeri
ini pun sebagian besar masih menyimpan uangnya di bank konvensional.Hal
tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman mengenai sisitem operasi
perbankan syariah Sistem dalam bank syariah di anggap sama dengan sistem
operasi yang ada dalam bank konvensional.
Hal ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap
bank syariah dan berakibat kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap bank
syariah. Hal tersebut menjadi landasan untuk menyadarkan masyarakat akan
keurgenan perbankkan islam di Negara ini.khusunya bagi mereka yang
beragama islam.Upaya-upaya pensosialisaian mekanisme dan syariah di rasa
perlu,sehingga masyarakat tidak lagi terjebak dalam transaksi-transaksi yang
tidak islami dan masyarakat kembali manaruh kepercayaan terhadap transaksi
syariah seperti pada zaman Rosulullah dan para sahabat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Bank Syariah?
2. Bagaimana Sejarah Bank Syariah?
3. Apa saja dasar hukum Bank Syariah?
4. Apa saja kegiatan dan usaha Bank Syariah?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Bank Syariah.
2. Untuk mengetahui sejarah Bank Syariah.
3. Untuk mengetahui daar hukum Bank Syariah.
4. Untuk mengetahui kegiatan dan usaha Bank Syariah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bank Syariah


Bank syariah adalah suatu bank yang dalam aktivitasnya; baik dalam
penghimpunan dana maupun dalam rangka penyaluran dananya memberikan
dan mengenakan imbalan atas dasar prinsip syariah.
Pada dasarnya ketiga fungsi utama perbankan (menerima titipan dana,
meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang) adalah boleh dilakukan,
kecuali bila dalam melaksanakan fungsi perbankan melakukan hal – hal yang
dilarang syariah. Dalam praktik perbankan konvesional yang dikenal saat ini,
fungsi tersebut dilakukan berdasarkan prinsip bunga. Bank konvensional
memang tidak serta merta identik dengan riba, namun kebanyakan praktik
bank konvnsionaldapat digolonglan sebagai transaksi ribawi.
Pengertian Bank Syariah Menurut Para Ahli
Pengertian bank adalah suatu badan atau lembaga yang
kegiatannya menghimpun dana dari pihak ketiga (masyarakat) dalam bentuk
simpanan dan kemudian disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan jasa lainnya dalam rangka upaya meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak
Pengertian bank syariah adalah bank yang aktivitas atau kegiatan
keuangannya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah islam, khususnya yang
menyangkut tat acara bermuamalah secara islam. Bank syariah berdiri atas
prakarsa oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sekitar tahun 18-20 Agustus
1990.
Bank syariah adalah lembaga keuangan (bank) yang menjalankan
kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah islam dan menurut jenisnya,
bank syariah terdiri dari Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Syariah.
(UU 21/2008)
B. Sejarah Bank Syariah
Bank syariah adalah perbankan yang dijalankan berdasarkan syariat
Islam, sehingga tidak memberlakukan penerapan bunga. Bank syariah
menekankan pada sistem bagi hasil dan mendapat sejumlah keuntungan dari
sistem tersebut. Keuntungan inilah yang nantinya digunakan oleh pihak bank
untuk membiayai semua kegiatan operasional perbankan yang tengah
dijalankan.
Sejarah Bank Syariah Di Indonesia
Sejarah munculnya bank syariah di Indonesia dimulai pada 1980.
Sebagai proses uji coba, didirikan lebih dulu perbankan Islam di Bandung
bernama Bait At-Tamwil Salman ITB dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta.
Sepuluh tahun kemudian, atau pada 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
membentuk suatu kelompok kerja guna mendirikan Bank Islam di Indonesia.
Selanjutnya, antara 18-20 Agustus 1990, MUI menyelenggarakan lokakarya
bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasilnya adalah
pembahasan lebih lanjut pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22-25
Agustus 1990. Pembahasan ini menghasilkan amanat bagi para kelompok
kerja pembentukan bank Islam di Indonesia yang bernama Tim Perbankan
MUI. Tugas mereka adalah melakukan pendekatan serta konsultasi bersama
semua pihak terkait. Pada akhirnya, Tim Perbankan MUI berhasil
membangun bank syariah pertama di Indonesia, yaitu PT Bank Muamalat
Indonesia (BMI) pada 1 November 1991.
Lalu, pada 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal
sebesar Rp 106.126.382.000. Sejak saat itu, bank syariah di Indonesia terus
mengalami perkembangan. Perkembangan bank syariah di Indonesia
Lahirnya BMI mendorong munculnya bank-bank Islam lain di Indonesia,
seperti Bank Syariah Mandiri, BRI Syariah, BNI Syariah, dan sebagainya.
Produk-produk bank syariah semuanya berada di bawah aturan hukum, di
antaranya UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan UU No 19
Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Dengan diberlakukannya
UU No 21 Tahun 2008 pada 16 Juli 2008, maka pengembangan perbankan
syariah nasional semakin berlandaskan hukum yang memadai dan mendorong
tumbuh kembang bank secara lebih pesat. Dalam lima tahun, bank syariah di
Indonesia mencapai rata-rata pertumbuhan aset melebihi 65 persen per
tahunnya.
Pada 2021, Indonesia memiliki bank syariah terbesar bernama Bank
Syariah Indonesia (BSI) yang mulai beroperasi sejak 1 Februari 2021. BSI
merupakan hasil penggabungan tiga bank syariah BUMN, yaitu PT Bank BRI
Syariah, PT Bank BNI Syariah, dan PT Bank Syariah Mandiri. Menurut
catatan terakhir, BSI memiliki aset sejumlah Rp 245, 7 triliun.
Proses Berdirinya Perbankan Syariah
Mengutip laman Otoritas Jasa Keuangan (OJK), inisiatif pendirian
bank Islam Indonesia dimulai pada tahun 1980 melalui diskusi-diskusi
bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Sebagai uji coba,
gagasan perbankan Islam dipraktikkan dalam skala yang relatif terbatas, di
antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta
(Koperasi Ridho Gusti). Tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI)
membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada
tanggal 18-20 Agustus 1990, MUI menyelenggarakan lokakarya bunga bank
dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada
Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22-25 Agustus 1990, yang
menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank
Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI
dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan
semua pihak yang terkait.
Bank Muamalat, Bank Syariah Pertama di RI
Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirilah
bank syariah pertama di Indonesia, yaitu PT Bank Muamalat Indonesia
(BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember
1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat resmi beroperasi dengan
modal awal sebesar Rp 106.126.382.000. Pada awal masa operasinya,
keberadaan bank syariah belum mendapat perhatian optimal dalam tatanan
sektor perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan
sistem syariah saat itu hanya diakomodir dalam salah satu ayat tentang “bank
dengan sistem bagi hasil” pada UU No. 7 Tahun 1992. Sayangnya tanpa
rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan.
Pada tahun 1998, pemerintah dan DPR melakukan penyempurnaan
UU No. 7/1992 tersebut menjadi UU No. 10 Tahun 1998. Di mana secara
tegas menjelaskan bahwa ada dua sistem dalam perbankan di Tanah Air (dual
banking system), yaitu sistem perbankan konvensional dan sistem perbankan
syariah. Peluang ini disambut hangat masyarakat perbankan. Ditandai dengan
berdirinya beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI, Bank Syariah Mandiri,
Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar
dan BPD Aceh dll.
Pengesahan beberapa produk perundangan yang memberikan
kepastian hukum dan meningkatkan aktivitas pasar keuangan syariah, seperti
 UU No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
 UU No. 19 tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (sukuk);
dan
 UU No. 42 tahun 2009 tentang Amandemen Ketiga UU No.8 tahun 1983
tentang PPN Barang dan Jasa.
Dengan telah diberlakukannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah pada 16 Juli 2008, maka pengembangan industri
perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai
dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan
progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata
pertumbuhan aset lebih dari 65% per tahun dalam lima tahun terakhir, maka
diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung
perekonomian nasional akan semakin signifikan.
Bank Syariah Kian Menjamur
Lahirnya UU Perbankan Syariah mendorong peningkatan jumlah BUS
dari sebanyak 5 BUS menjadi 11 BUS dalam kurun waktu kurang dari dua
tahun (2009-2010). Sejak mulai dikembangkannya sistem perbankan syariah
di Indonesia, semakin banyak kemajuan dalam dua dekade. Baik dari aspek
lembagaan dan infrastruktur penunjang, perangkat regulasi dan sistem
pengawasan, kesadaran serta literasi masyarakat terhadap layanan jasa
keuangan syariah.
Sistem keuangan syariah menjadi salah satu sistem terbaik dan
terlengkap yang diakui secara internasional. Per Juni 2015, industri perbankan
syariah terdiri dari 12 Bank Umum Syariah, 22 Unit Usaha Syariah yang
dimiliki oleh Bank Umum Konvensional dan 162 BPRS. Total asetnya
mencapai Rp 273,49 triliun dengan pangsa pasar 4,61%. Khusus untuk
wilayah Provinsi DKI Jakarta, total aset gross, pembiayaan, dan Dana Pihak
Ketiga (BUS dan UUS) masing-masing sebesar Rp 201,39 triliun, Rp 85,41
triliun, dan Rp 110,50 triliun Pada akhir tahun 2013, fungsi pengaturan dan
pengawasan perbankan berpindah dari Bank Indonesia (BI) ke OJK. Maka
pengawasan dan pengaturan perbankan syariah juga beralih ke OJK.

C. Dasar Hukum Bank Syariah


Meski memiliki hukum syariah, tapi bank ini tetap mengikuti
perundang-undangan di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari prinsip yang
digunakan dalam menjalankan peran bank. Sebab selain berasaskan syariah,
bank ini juga berasaskan demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian.
Pengertian dari demokras ekonomi sendiri adalah kegiatan perekonomian
yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan
kemanfaatan. Sedangkan prinsip kehati-hatian dalam dasar hukum bank
syariah memiliki pengertian pengelolaan yang sehat, kuat, dan efisien. Intinya
harus berdasarkan aturan dalam perundang-undangan.
Pada dasarnya, hukum antara bank syariah dan konvensional berbeda.
Sehingga, langkah hukum jika bank syariah tak sesuai prinsip juga berbeda
dari bank konvensional. Paling tidak, ada langkah yang berbedanya.
Landasan hukum pada perbankan syariah sudah mengalami beberapa
kali perubahan. Hal ini sangat wajar terjadi, sebab dalam hukum selalu ada
pembaharuan. Sehingga, aturan di dalamnya relevan dengan keadaan saat
berlaku. Sama halnya dengan dasar hukum bank syariah yang sudah
mengalami tiga kali perubahan. Agar Anda memahaminya dengan lebih jelas,
maka simak dasar hukum dari bank dengan prinsip syariah di bawah berikut:
1. Landasan Hukum Pertama UU No.7 Tahun 1992
Dasar hukum ini adalah yang pertama kali muncul dalam sejarah
perbankan syariah di Indonesia. Saat ditetapkan undang-undang tersebut,
bank yang mengusung hukum islam ini masih berbentuk pengkreditan
rakyat. Bentuk pengkreditan rakyat ini mengadopsi asas bagi hasil sesuai
yang sudah ditentukan pemerintah pada dasar hukum bank syariah
tersebut. Sebab, prinsip bagi hasilnya dianggap masih sesuai dengan
prinsip ekonomi islam. Pengertian bagi hasil sendiri adalah membagikan
keuntungan bersih dari bank tersebut kepada nasabah. Besarnya
pembagian hasil, sudah ditentukan sebelumnya pada saat akad. Tapi
semakin berjalannya waktu, kegiatan ekonomi semakin kompleks.
2. Landasan Hukum Kedua UU No. 10 Tahun 1998
Kegiatan perekonomian yang kompleks tersebut membuat pemerintah
harus membuat pembaharuan terhadap undang-undang. Khususnya dasar
hukum bank syariah. Sebab, semakin hari semakin banyak peminatnya.
Sehingga, undang-undang sebelumnya disempurnakan lagi menjadi UU
No. 10 Tahun 1998. Pada landasan hukum ini, penjelasan tentang
pengertian, serta prinsip lebih terelaborasi. Bisa dibilang, undang-undang
ini cukup kuat. Sebab, sudah mulai banyak aspek yang dibahas dan lebih
detail dari UU sebelumnya.
3. Landasan Hukum ketiga UU No. 21 Tahun 2008
Dasar hukum bank syariah berikutnya yang masih digunakan saat ini
adalah UU No. 21 Tahun 2008. Peraturan dalam perundang-undangan
satu ini jauh lebih detail dan mendalam membahas mengenai perbankan
satu ini. Beberapa aspek yang menjadi poin utama dalam undang-undang
satu ini adalah jenis usaha, penyaluran dana, kelayakan dalam berusaha,
hingga hal yang harus dihindari. Semuanya di bahas secara lebih jelas.
Terdapat dasar hukum bank syariah lainnya yaitu Peraturan Bank
Indonesia 10/16/PBI/2008 Tahun 2008. Dasar hukum ini cukup kuat dan
digunakan secara menyeluruh oleh perbankan yang mengusung prinsip
islam. Salah satu pembahasan penting dalam PBI 10/2008 adalah
mengenai aturan hukum prinsip bagi hasil dalam bank syariah.
Pembahasannya lebih jelas, sehingga Anda akan memahami batasan-
batasan dan aturan dalam bagi hasil.Tidak dapat dipungkiri asas
perekonomian berdasarkan hukum islam memang semakin diminati
hingga saat ini. Hal ini yang menjadi alasan perlunya dasar hukum bank
syariah di Indonesia.
Sementara itu, Prinsip Syariah menurut UU 21/2008 adalah prinsip
hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan
fatwa di bidang syariah. Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah,
antara lain adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:
1. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain
dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas,
kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam
meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas
mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena
berjalannya waktu (nasi’ah);
2. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang
tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
3. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak
diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat
transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
4. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
5. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak
lainnya.
Pada Penjelasan Umum UU 21/2008 juga dikatakan bahwa Prinsip
Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan,
dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan
dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang
disebut Perbankan Syariah. Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian
dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam
ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan
menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil (mudharabah). Mengenai
penekanan prinsip syariah dalam perbankan syariah juga dapat dilihat
dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan
Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah (“PBI
9/2007”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 10/16/PBI/2008 Tahun 2008 (“PBI 10/2008”).
Dalam PBI 10/2008, bagi hasil termasuk salah satu bentuk
pembiayaan. Yang dimaksud dengan pembiayaan adalah penyediaan dana
atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa (Pasal 1 angka 8 PBI
10/2008):
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam
bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan
istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi
multijasa,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah
dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang
dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau
bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam UU 21/2008.
Mudharabah (Bagi Hasil) dan Wadi’ah (Penitipan)
Menurut Agus Triyanta dalam bukunya Hukum Perbankan Syariah:
Regulasi, Implementasi dan Formulasi Kepatuhannya Terhadap Prinsip-
prinsip Islam (hal. 51), Mudharabah dan Wadi’ah adalah merupakan jenis
kontrak atau akad muamalah dalam bisnis perbankan syariah.
Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha
Syariah (“UUS”) dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban
bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah. Lebih lanjut Agus
Triyanta (hal. 51) menjelaskan bahwa Wadi’ah atau ida’ secara harfiah
berarti titipan. Hal ini telah didefinisikan oleh para ahli hukum sebagai
sebuah kontrak dimana seseorang memberikan properti kepada pihak lain
untuk dijaga/dipelihara. Kemudian yang dimaksud dengan “akad wadi’ah”
adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai
barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk
menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.
Mudharabah adalah perjanjian perkongsian yang samar. Artinya, meski
tidak bernama perkongsian, namun hakikatnya juga perkongsian. Definisi
dari mudharabah adalah sebuah kontrak dimana sang pemilik modal
memberikan modal kepada seorang pengelola untuk menjalankan
perniagaan atas nama mereka berdua dan keuntungan dibagi berdasarkan
kepada sebuah formula tertentu yang disepakati.[10]
D. Kegiatan dan Usaha Bank Syariah
Kegiatan usaha bank umum syariah meliputi:
1. Menghimpun dana dalam bentuk simpanan berupa giro, tabungan, atau
bentuk lain yang disamakan berdasarkan akad wadiah atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
2. Menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa deposito, tabungan, atau
bentuk lain yang disamakan berdasarkan akad mudharabah atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
3. menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah,
musyarakah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah.
4. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, salam, istishna,
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
5. Menyalurkan pembiyaan berdasarkan akad qardh atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
6. Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak
kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk
ijarah muntahiya bittamlik (IMBT) atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
7. Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hiwalah atau akad
lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
8. Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah.
9. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak
ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan prinsip
syariah, seperti akad ijarah, musyawarah, mudharabah, murabahah,
kafalah, atau hiwalah.
10. Membeli surat berharga prinsip syariah yang diterbitkan oleh pemerintah
dan/atau Bank Indonesia.
11. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharaga dan melakukan
perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan
prinsip syariah.
12. Melakukan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu
akad yang berdasarkan prinsip syariah
13. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
berdasarkan prinsip syariah.
14. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah berdasarkan prinsip syariah.
15. Memberikan fasilitas Letter of Credit atau bank garansi berdasarkan
prinsip syariah.
16. Melakukan fungsi sebagai wali amanat berdasarkan akad wakalah.
17. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh perbankan dan
bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian kita sepakati bersama bahwa perbankan islam adalah
lembaga keuangan yang menjalankan aktivitas perbankan konvensional
murni yang tidak sama sekali ada kaitannya dengan kegiatan keagamaan
yang akan menimbulkan kontradiksi apabila terjadi sebuah kesalahan, maka
agama islam termasuk di dalamnya umat islam itu akan tersalahkan.
Namun dalam kegiatannnya perbankan islam tidak boleh menyimpang
dari landasan dan prinsip-prinsip islam itu sendiri, karena timbulnya
perbankan islam adalah untuk menyempurnakan dari sistem sosialis dan
konvensional. Yang bukan saja berorientasi pada profitabilitas tapi juga
bagaimana perbankan islam itu sendiri mengedepankan etika dan moral
dalam berbisnis di dunia perbankan yang dapat menciptakan sebuah
kegiatan perbankan yang efisien dan efektip (bebas dari Riba, Gharar,
Maysir, dll) sehingga dapat berimplikasi pada pembangunan ekonomi,
kesejahteraan rakyat, menciptakan pasar ekonomi yang sehat dan
menghilangkan paradigma dzalim.
B. Saran
Maka tugas kita selaku akademisi adalah bagaimana kita
mengembangkan dan menerapkan kegiatan perbankan islam pada
masyarakat dunia, sehingga tidak ada kata alergi ketika masyarakat
mendengar istilah – istilah kegiatan perbankan islam. Harapan kita bahwa
sudah cukup sampai disini saja kegiatan dunia bisnis baik yang basis
finansial, Investasi, perbankan, real, pasar modal, pasar barang dll. Yang
hanya menguntungkan sebagian pihak dan dipihak lain tertidas.
Mari kita jadikan Perbankan islam sebagai sarana untuk menciptakan
dunia bisnis baru yang bernafaskan positif yang dapat memberikan
kesejahteraan bagi semua.

Anda mungkin juga menyukai