Disusun Oleh :
1
BAB II
PEMBAHASAN
Secara filosofis bank syariah adalah bank yang aktifitasnya meninggalkan masalah riba.
Dengan demikian, penghindaran bunga yang dianggap riba merupakan salah satu tantangan
yang dihadapi dunia Islam dewasa ini. Suatu hal yang sangan menggembirakan bahwa
belakangan ini para ekonomi muslim telah mencurahkan perhatian besar, guna menemukan
cara untuk menggantikan system bunga dalam transaksi perbankan dan keuangan yang lebih
sesuai dengan etika Islam. Upaya ini dilakukan dalam upaya untuk membangun model teori
ekonomi yang bebas bunga dan pengujiannya terhadap pertumbuhan ekonomi, alokasi dan
distribusi pendapatan.
Oleh karena itulah, maka mekanisme perbankan bebas bunga (yang biasa disebut bank
syariah) didirikan. Perbankan syariah didirikan didasarkan pada alasan filosofis maupun
praktik. Secara filosofis, karena dilarangnya pengambilan riba dalam transaksi keuangan
maupun non keuangan. Secara praktis, karena system perbankan berbasis bunga
(konvensional) mengandung kelemahan sebagai berikut:
1. Transaksi yang berbasis bunga melanggar keadilan atau kewajaran bisnis.
2. Tidak fleksibelnya system transaksi berbasis bunga menyebabkan kebangkrutan.
3. Komitmen bank untuk menjaga keamanan uang deposan berikut bunganya
4. membuat bank cemas untuk mengembalikan pokok dan buanganya.
5. System transaksi berbasis bunga menghalangi munculnya inovasi oleh usaha kecil.
Dalam system bunga, bank tidak akan tertarik dalam kemitraan usaha kecuali bilaada
jaminan kepastian pengembalian modal dan pendapatan bunga mereka.
5
Transaksi berbasis bunga melanggar keadilan/ kewajaran bisnis.Dalam bisnis, hasil yang
diperoleh selau tidak pasti. Peminjam sudah berkewajiban untuk membayar tingkat bunga
yang disetujui, walaupun bisnis yang ia jalankan rugi. Meskipun bisnisnya untung maka ia
juga harus membayar bunga yang melebihi keuntungannya. Hal itu jelas sekali bertentang
dengan norma keadilan dan kewajaran dalam Islam Tidak fleksibelnya sistem transaksi
berbasis bunga yang menyebabkan kebangkrutan.1
Hal itu menyebabkan hilangnya potensi produktif masyarakat secara keseluruhan, selain
dengan pengangguran sebagian besar orang. Lebih dari itu, beban utang semakin menyulitkan
upaya pemulihan ekonomi dan memperparah penderitaan seluruh rakyat. Komitmen bank
untuk keamanan deposan berikut bunga membuat bank cemas untuk
mengembalikan pokok dan bunganya.
Demi keamanan, bank hanya mau meminjamkan dana pada para bisnisman yang sudah benar-
benar mapan/ pada orang yang sanggup menjamin keamanan pinjamannya. Sisa uangnya
disimpan dalam bentuk surat berharga pemerintah. Jadi, semakin banyak pinjaman yang
diberikan kepada pengusaha yang usahanya sudah mapan dan sukses, sementara orang yang
punya potensi bertahan untuk memulai usahanya memiliki peluang kecil untuk menerima
dana pinjaman. Ini menyebabkna tidak seimbangnya pendapatan kesejahteraan dan juga
bertentangna dengan semngat Islam.Sistem transaksi berbasis bunga menghalangi adanya
inovasi dari pengusaha kecil.
1
Albadri, A. A. M., dan Sedjati, R. S. 2015. Riba dalam Perspektif Fiqih Muamalah dan Teori
Bunga atas Produk Lembaga Keuangan Konvensional
6
sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan
rujukan kepada agama mau pun syariat Islam. Islamic Development Bank (IDB) kemudian
berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam organisasi
konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang
bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara
anggotanya.IDB menyediakan jasa pinjaman berbasis fee dan profit sharing untuk negara-
negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah Islam. Dibelahan
negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis Islam kemudia munjul di uni emirat
arab, baru tahun 1975 dengan berdiri Dubai Islamic Bank. Kemudian di kuwait pada tahun
1977 berdiri kuwait finance house yang beroperasi tanpa bunga. Selanjutnya kembali di mesir
pada tahun 1978 berdiri Bank syariah yang di beri nama Faisal Islamic Bank. Langkah ini
kemudian di ikuti oleh islamic international bank for Invesment and Developmen
bank.(Harahap, 2014).
Di Iprus tahun 1983 berdiri Faisal Islamic Bank of Kibris. Kemudian di Malaysia bank
syariah lahir tahun 1983 dengan berdirinyaBank Islam Malaysia Berhad (BIMB) dan pada
tahun 1999 lahir pula Bank Putera Muamalah.
Di Iran sistem perbankan syariah mulai berlaku secara nasional pada tahun 1983 sejak
dikeluarkannya Undang-Undang perbankan islam. Kemudian di Turki negara yang beridiologi
sekuler bank syariah lahir tahun 1984 dengan hadirnya Daar al-Maal al-Islami serta Faisal
Finance Institution dan mulai beroperasi tahun 1985.
Salah satu negara yang menjadi pelopor utama dalam melaksanakan sistem perbankan
syariah secara nasional adalah Pakistan. Pemerintah Pakistan mengkonversi seluruh sistem
perbankan di negaranya pada tahun 1985 menjadi sistem perbankan syariah. Sebelumnya pada
tahun 1979 beberapa institusi keuangan terbesar di Pakistan telah menghapus sistem bunga
dan mulai dari tahun itu juga pemerintah Pakistan mensosialisasikan pinjaman tanpa bungan.
Terutama pada petani dan pelayan. 2
Kehadiran bank yang berdasarkan syariah di Indonesia masih relatif baru yaitu “pada
18-20 agustus 1990, yang kemudian di lanjutkan dengan musyawarah nasional (MUNAS) IV
Majelis Ulama Indonesia (MUI) di hotel Sahid Jakarta pada 22-25 pada tahun yang sama.
Atas dukungan pemerintah dan masyarakat, bank syariah pertama dengan nama PT bank
muamalat indonesia (BMI) berdiri pada 1 November 1991 di jakarta berdasarkan akta
2
Kasmir, 2008 : 188
7
pendirian oleh notaris Yudo Paripurno, S.H.Atas surat izin menteri kehakiman NO.C2.2413
HT.01.01.Berdirinya BMI tidak langsung diikuti pendrian bank syariahlainnya sehingga
perkembangan perbankan syariah setabil sampai tahun 1998.
Di latar belakangi oleh krisis ekonomi dan moneter tahun 1998 dan keluarnya undang-
undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomer 7 tahun 1992
tentang perbankan, yang isinya mengatur peluang usaha syariah bagi bank konvensional,
perbankan syariah mulai mengalami perkembangan dengan berdirinya bank syariah mandiri
pada tahun 1999 dan unit usaha syariah (UUS) bank bni pada tahun 2000 serta bank-bank
syariah dan uus lain pada tahun-tahun berikutnya. Sepuluh tahun setelah UU Nomer 10
tersebut terbit, pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mengeluarkan UU
Nomer 20 tentang sukuk dan UU Nomer 21 tentang perbankan Syariah pada Tahun 2008.
Kedua UU tersebut telah ikut mendorong perkembangan perbankan syariah.Sampai akhir
Desember 2013, terdapat 11 bank syariah dan 24 UUS dengan perkembangannya yang baik. 3
Pada dasarnya, entitas bank syariah di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1983
dengan keluarnya Paket Desember 1983 (Pakdes 83) yang berisi sejumlah regulasi di bidang
perbankan, dimana salah satunya ada peraturan yang memperbolehkan bank memberikan
kredit dengan bunga 0% (zero interest). Perkembagan dimaksud diikuti oleh serangkaian
kebijakan di bidang perbankan oleh Menteri Keuangan Radius Prawiro yang tertuang dalam
Paket Oktober 1988 (Pakto 88). Pakto 88 intinya merupakan deregulasi perbankan yang
memberikan kemudahan bagi pendirian bank-bank baru, sehingga industri perbankan pada
waktu itu mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Baru pada tahun 1991 berdirilah Bank
Muamalat Indonesia (BMI) sebagai bank umum satu-satunya yang melaksanakan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip bagi hasil. Namun, eksistensi bank syariah di Indonesia secara
formal telah dimulai sejak tahun 1992 dengan diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Namun, harus diakui bahwa UU tersebut belum memberikan landasan hukum
yang cukup kuat terhadap pengembangan bank syariah karena masih belum secara tegas
mencantumkan kata-kata “prinsip syariah” dalam kegiatan usahanya hanya menggunakan
istilah bank bagi hasil. Pengertian Bank Bagi Hasil yang dimaksudkan dalam UU tersebut
belum sesuai dengan cakupan pengertian bank syariah yang relatif lebih luas dari bank bagi
hasil. Dengan tidak adanya pasal-pasal dalam UU tersebut yang mengatur bank syariah, maka
hingga tahun 1998 belum terdapat ketentuan operasional yang secara khusus mengatur
3
Ikatan Bankir Indonesia, 2014 : 5
8
kegiatan usaha bank syariah. Diamandemennya UU No. 7 tahun 1992 yang kemudian
melahirkan UU No. 10 tahun 1998 secara eksplisit menetapkan bahwa bank dapat beroperasi
berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Era Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kebijakan
hukum perbankan di Indonesia menganut sistem perbankan ganda (dual banking system).
Kebijakan ini intinya memberikan kesempatan bagi bank-bank umum konvensional untuk
memberikan layanan syariah melalui mekanisme islamic window dengan terlebih dahulu
membentuk Unit Usaha Syariah (UUS). Akibatnya pasca undang-undang ini memunculkan
banyak bank konvensional yang ikut andil dalam memberikan layanan syariah kepada
nasabahnya. Kemudian, pada tahun 1999 disahkan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia. Dalam UU ini menetapkan bahwa Bank Indonesia dapat melakukan pengendalian
moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Keberadaan kedua UU tersebut telah
mengamanahkan Bank Indonesia untuk menyiapkan perangkat ketentuan dan fasilitas
penunjang lainnya yang mendukung operasional bank syariah sehingga memberikan landasan
hukum yang lebih kuat dan kesempatan yang lebih luas bagi pengembangan perbankan
syariah di Indonesia. Kedua UU tersebut selanjutnya menjadi dasar hukum bagi keberadaan
dual banking sistem di Indonesia, yaitu adanya dua sistem perbankan (konvensional dan
syariah) secara berdampingan dalam memberikan pelayanan jasa perbankan bagi masyarakat.
Upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia tidak semata hanya merupakan
konsekuensi dari UU No. 10/1998 dan UU No. 23/1999 tetapi juga merupakan bagian dari
upaya penyehatan sistem perbankan yang bertujuan meningkatkan daya tahan perekonomian
nasional. Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan 1997 membuktikan bahwa bank yang
beroperasi dengan prinsip syariah dapat bertahan di tengah gejolak nilai tukar dan tingkat
suku bunga yang tinggi. Kenyataan tersebut ditopang oleh karakteristik operasi bank syariah
yang melarang bunga (riba), transaksi yang bersifat tidak transparan (gharar) dan spekulatif
(maysir). Dengan kenyataan tersebut, pengembangan perbankan syariah diharapkan dapat
meningkatkan ketahanan sistem perbankan nasional yang pada gilirannya juga diharapkan
dapat meningkatkan ketahanan ekonomi nasional di masa mendatang. Ketahanan ekonomi
nasional yang sedemikian rupa dapat menciptakan perekonomian yang tangguh, yaitu
perekonomian yang pertumbuhan sektor keuangannya sejalan dengan pertumbuhan sektor riil.
Dalam upaya pengembangan perbankan syariah tersebut, Bank Indonesia sebagai otoritas
perbankan nasional mulai bergerak maju dengan memperkenalkan instrumen moneter syariah
pertama yaitu Sertifikat Wadiah BI (SWBI) di tahun 1999 dan Pasar Uang Antar-bank
berdasarkan prinsip Syariah (PUAS) pada tahun 2000. Kemudian, pada tahun 2006 pemberian
layanan syariah semakin dipermudah oleh Bank Indonesia dengan diperkenalkannya office
channeling dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 8/3/PBI/2006. Office chaneling
9
intinya adalah bahwa untuk memberikan layanan syariah Bank Umum Konvensional yang
sudah memiliki UUS di kantor pusatnya, tidak perlu lagi membuka Kantor Cabang/Kantor
Cabang Pembantu baru melainkan cukup membuka counter syariah dalam Kantor
Cabang/Kantor Cabang Pembantu konvensional. Hal ini tentu saja akan menghemat keuangan
bank, karena tidak lagi memerlukan infrastruktur baru seperti gedung, alat-alat kantor,
karyawan, dan teknologi informasi. Selanjutnya, industri perbankan syariah telah mengalami
perkembangan yang pesat semakin memiliki landasan hukum yang memadai yakni dengan
diterbitkannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Dukungan
regulasi ini tentunya akan mendorong pertumbuhan industti perbankan syariah secara lebih
cepat lagi dan diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian
nasional akan semakin signifikan. 4
4
Syukron, 2013: 28-30
5
Syukron (2013 : 35)
6
Imansari & Harto: 2015).
10
Adapun Peran bank syariah antara lain
1. Menjadi perekat Nasionalisme artinya, menjadi fasilitator aktif bagi terbentuknya
jaringan usaha ekonomi kerakyatan. Di samping itu bank Syariah perlu memberikan
contoh keberhasilan sarekat dagang Islam, kemudian ditarik keberhasilannya untuk
masa kini (nasionalis, emokratis, religius, ekonomis).
2. Memberdayakan ekonomi umat dan beroperasi secara transparan. Artinya, mengelola
bank Syariah di dasarkan pada visi ekonomi syariah dan upaya ini terwujud jika ada
mekanisme operasi yang transparan.
3. Memberikan return tidak memberikan janji yang pasti mengenai return (keuntungan)
yang memberikan kepada investor.Oleh karena itu bank Syariah harus mampu
memberikan return yang lebih baik dibandingkan dengan bank konvensional. Di
samping itu, nasabah pembiayaan akan memberikan bagi hasil sesuai dengan
keuntungan yang diperolehnya. Oleh karena itu, pengusaha harus bersedia
memberikan keuntungan yang tinggi kepada bank Syariah.
4. Mendorong penurunan spekulasi di pasar keuangan. Artinya, bank Mendorong
terjadinya produktif dari dana masyarakatDengan demikian spekulasi dapat ditekan.
5. mendorong pemeran pendapatan artinya bank Syariah bukan hanyamengumpulkan
dana pihak ketiga, namun dapat mengumpulkan dana Zakat,Infaq dan Shadaqah (ZIS).
Dana ZIS dapat disalurkan melalui pembiayaan Qardul Hasan, sehingga dapat
mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya terjadi pemerataan ekonomi.
6. Peningkatan efisiensi mobilisasi dana. Artinya, adanya produk almudharabah
almuqayyadah berarti terjadi kebebasan bank untuk melakukan investasi atas dana
yang diserahkan oleh investor, maka bank syariah sebagai finacial arrangge bank
memperoleh komisi Bagi hasil, bukan karena spread bunga.
1. SDM yang kompeten dan profesinal yang masih terbatas akan menghambat kemajuan
perbankan syariah nasional. Keterbatasan pada SDM ini akan mempengaruhi besarnya
resiko perbankan syariah pada oprasionalnya. Ketidak mampuan SDM dikhawatirkan
akan meneken bukan hanya resiko oprasional bank, namun juga resiko reputasi yang
secara khas dimiliki oleh perbankansyariah. Seperti diketahui resiko reputasi bukan
11
hanya akan mempengaruhi bank secara individu, tetapi juga akan mempengaruhi
industry perbankan syariah. Tidak seperti bank konvensional, bank syariah juga
memiliki tanggung jawab moral yang relative lebih besar, ketika perbankan syariah
memang secara alami memiliki kewajiban memperhatikan manfaat (maslahat) yang
dapat dibrikan kepada seluruh masyarakat (umat).
2. Pemahaman masyarakat sebagai pemakai yang kurang tentang perbankan syariah
selain menjadi factor yang memperlambat perkembangan industry juga dikhawatirkan
akan mengurangi proses check & balance berkaitan dengan kepatuhan terhadap
syariah dalam oprasional bank atau aplikasi produk-produk syariah. Pada akhirnya hal
ini akan mempengaruhi persepsi masyarakat yang negative tentang oprasional bank
syariah.
3. Belum terdapat standar baku dalam aplikasi produk-produk syariah berikut
ketentuannya, membuat aplikasinya di lapangan masih berpotensi untuk menyimpang
dari apa yang telah ditetapkan secara syariah.
4. Sinkronisasi kebijakan dari institusi pemerintah lainnya berkaitan dengan transaksi
keuangan, seperti kebijakan pajak dan aspek legal.
5. Belum tersedia uniform regulatiry, meskipun saat ini hal tersebut diharapkan dapat
dilakukan oleh IFSB dan AAOIFI. Jika masalah ini dapa diselesaikan, diharapakan
intergrasi pasar perbankan syariah di dunia internasional dapat segeran terwujud. Hal
itu pada akhirnya tentu akan mendorong pertumbuhan perbankan syariah di masing
masing Negara muslim.
6. Inovasi pada produk perbankan syariah yang masih lambat
7. Masih ada perbedaan pada aplikasi prinsip-prinsip Islam dalam perbankan syariah di
beberapa Negara muslim. Beberapa instrument tidak dapat diterima oleh Negara
muslim.
1. Penetrasi pasar
Penetrasi pasar dilakukan dengan memperluas pasar yang ada baik pasar dalam
penghimpunan dana maupun pasar penyaluran dana. Penetrasi pasar dapat dilakukan ke
12
segmen-segmen yang belum tersentuh oleh bank syariah yaitu kepada kelompok kelompok
yang peduli pada halal-haram, tetapi belum tahu atau belum terjamah oleh bank syariah,
kelompok yang ragu-ragu pada bank syariah dan kelompok yang tidak peduli
pada halal-haram (lebih peduli pada pelayanan dan return, baik itu pasar muslim maupun
non muslim), tetapi belum terjamah oleh bank syariah.
4. Peningkatan promosi dan sosialisasi terhadap produk-produk bank syariah secara efektif
Promosi dilakukan dengan memanfaatkan potensi daerah yang ada secara efektif, baik
secara perorangan, kelompok maupun instansi yang meliputi unsur alim ulama, penguasa
negara/pemerintahan, cendekiawan dan lain-lain, yang memiliki kemampuan dan akses yang
besar dalam penyebarluasan informasi terhadap masyarakat luas. Hasil survei BI yang
dilakukan di Jawa Barat mengungkapkan bahwa masyarakat yang belum menjadi nasabah
bank syarih, kemudian diberi penjelasan tentang produk/jasa bank syariah mempunyai
kecenderungan yang kuat untuk memilih bank syariah.
14
bidang teknologi informasi) sehingga lebih dapat meningkatkan fleksibilitas penerapan jasa
keuangan syariah bagi masyarakat, dan sebagainya
15
C. Tujuan di dirikannya Bank Syariah
Keberadaan Perbankan Syariah sebagai bagian dari sistem Ekonomi Islam diharapkan
dapat mendorong perkembangan perekonomian suatu negara. Tujuan dan fungsi Perbankan
Syariah dalam perekonomian adalah kemakmuran ekonomi yang meluas, tingkat kerja penuh
dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum, keadilan sosial-ekonomi dan distribusi
pendapatan serta kekayaan yang merata, stabilitas nilai uang, mobilisasi dan investasi
tabungan yang menjamin adanya pengembalian yang adil dan pelayanan yang efektif.
(Husaeni, 2017).
Tujuan perbankan syariah menurut Chapra (1985) dalam Jazil (2013) adalah
pelarangan riba, fokus pada kepentingan publik atau masyarakat luas, mempercepat
pertumbuhan, mencapai ekonomi yang sejahtera,pembentukan keadilan sosial dan ekonomi,
serta distribusi pendapatan yang seimbang.
Menurut Kasmir (2010: 11) Bank secara sederhana dapat diartikan sebagai lembaga
keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan
menyalurkannya kembali ke masyarakat serta memberikan jasa bank lainnya.
Untuk membahas landasan hukum perbankan syariah tidak lepas dari sejarah
perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Perbankan syariah perkembangan di Indonesia
melalui beberapa tahap periode yaitu:
7
(Wirdyaningsih, Dewi, & Barlinti, 2005 : 38)
15
Sebelum tahun 1992 di Indonesia telah diberdiri bank syariah dalam bentuk BPR-
Syariah, yaitu BPRS Mardhatillah, BPRS Berkah Amal Sejahtera, Al Mukaromah
dimana sebagai pendiri adalah alumi ITB atau masjid Salman (masjid dalam
lingkungan kampus ITB Bandung). Pada periode ini BPRS didirikan sesuai dengan
perundang-undang perbankan yang berlaku saat itu (bank konvensional), dan tidak ada
ketentuan yang mengatur tentang bank syariah disamping masyarakat yang belum
memungkinkan untuk diajak untuk bertransaksi syariah, sehingga BPR-Syariah
tersebut mati secara pelan-pelan.
Dalam periode ini lahir puluhan BPR Syariah dan satu Bank Umum Syariah, yaitu
Bank Muamalat Indonesia. Pada periode ini Bank Syariah didirikan berdasarkan
Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. Dalam undang-undang
nomor 7 tahun 1992 ini tidak dibahas secara jelas atau secara langsung tentang bank
syariah, hanya dalam pasal 6 huruf m dan pasal 13 huruf c mengatur tentang usaha
bank syariah yaitu:
a. Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Bagi Hasil.
Sehingga undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan dan Peraturan
Pemerintah tersebut sebagai landasan hukum berdirinya Bank Umum Syariah.
16
Pada periode ini tidak ada ketentuan lain kecuali ketentuan tersebut diatas, seperti
Peraturan Bank Indonesia, ketentuan tentang akuntansi dan sebagainya. Pada periode
ini masing-masing Dewan Pengawas Syariah mengeluarkan fatwa masing-masing
sehingga ketentuan syariah BPR Syariah yang satu berbeda dengan lain dan berbeda
pula dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DPS Bank Muamalat Indonesia. Pada
periode ini Bank syariah dalam menjalankan kegiatan usaha dibidang syariah sesuai
kemampuan masing-masing, berdasarkan Fatwa masing-masing Dewan Pengawas
Syariah Bank yang bersangkutan.
Dari pengalaman dan kajian yang dilakukan ternyata bank syariah memiliki
karakteristik yang berdeda dengan bank konvensional, maka Undang-undang nomor 7
tentang perbankan disempurnakan dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998
tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tentang Perbankan. Dalam Undang-
undang nomor 10 tahun 1998 tersebut telah dibahas ketentuan-ketentuan bank syariah
misalnya:
17
(3) persyaratan bai pembukaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha
secara konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsi
syariah
c. Masih banyak pasal pasal lain yang mengatur tentang perbankan syariah
Oleh karena dalam undang-undang nomor 10 tahun 1998 telah dibahas bank syariah,
pemerintah mencabut dua peraturan pemerintah tersebut diatas dengan peraturan
pemerintah nomor 30 tahun 1998. Sebagai peraturan pelaksanaannya Bank Indonesia
mulai tahun 1999 banyak mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia yang mengatur
bank syariah. Ketentuan-ketentuan ini yang merupakan landasan hukum berdirinya
Bank Perkreditan Rakyat Syariah dan Bank Umum Syariah seperti Bank Syariah
Mandiri, Bank Mega Syariah dan beberapa caban syariah dari bank konvensional,
seperti BRI Syariah, BNI Syariah, BTN Syariah Bank Jabar Syariah dsb.
18
Menurut Anshori (2018 : 6) Apabila merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
eksistensi dari Perbankan Syariah di Indonesia telah diakui secara tegas. Hal ini tampak pada
kata-kata bank berdasarkan prinsipsyariah.
8
Sayekti dan Mauleny, 2013: 29)
9
Redaksi Berita Transparansi, 2016
19
1. Prinsip Titipan atau Simpanan (Al-Wadiah)Al-Wadiah dapat diartikan sebagai
titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum,
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.
2. Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi
tatacara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. 10
Dalam paradigma akuntansi Islam, bank syariah memiliki fungsi sebagai berikut:
Sedangkan prinsip utama yang dianut oleh perbankan syariah adalah : (1) larangan
riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi; (2) menjalankan bisnis dan aktivitas
10
(Yupitri dan Sari, 2012: 49).10
20
perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syariah; dan (3)
menumbuhkembangkan zakat.11
Perbankan syariah juga telah mengadopsi prosedur dan sistem dari perbankan
konvensional selama sistem dan prosedur tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam. Kemudian untuk menghindari adanya penyimpangan dalam pelaksanaan sistem dan
prosedur dalam perbankan syariah, maka bank syariah memiliki dewan pengawas syariah
yang bertugas untuk memberikan masukan kepada perbankan syariah untuk memastikan
bahwa bank syariah tidak melakukan aktivitas yang bertentangan dengan betentangan dengan
prinsip Islam.
Perbedaan pokok antara sistem bank konvensional dengan bank syariah secara ringkas
dapat dilihat dari empat aspek berikut : (Machmud, & Rukmana, 2010 : 11)
a. Falsafah : Pada bank syariah tidak berdasarkan atas bunga, spekulasi, dan
ketidakjelasan, sedangkan pada bank konvensional berdasarkan atas bunga.
b. Operasional : Pada bank syariah, dana masyarakat berupa titipan dan investasi
baru akan mendapatkan hasil jika diusahakan terlebih dahulu, sedangkan pada
11
Wirdyaningsih, Dewi, & Barlinti, 2005 : 39
21
bank konvensional, dana masyarakat merupakan simpanan yang harus dibayar
bunga pada saat jatuh tempo. Pada sisi penyaluran, bank syariah menyalurkan
dananya pada sektor usaha yang halal dan menguntungkan, sedangkan pada bank
konvensional, aspek halal tidak menjadi pertimbangan utama.
c. Sosial : Pada bank syariah, aspek sosial dinyarakan secara eksplisit dan tegas yang
tertuang dalam visi dan misi perusahaan, sedangkan pada bank konvensional tidak
tersirat secara tegas.
d. Organisasi : Bank syariah harus memiliki DPS. Sementara itu bank konvensional
tidak memiliki Dewan Pengawas Syariah.
Pembeda yang sangat signifikan antara bank syariah dan bank konvesnional ialah
sistem bagi hasil pada bank syariah sedangan bank konvensional menggunakan sistem bunga.
Namun tidak sedikit masyarakat beranggapan bahwa antara bagi hasil dengan
pemberian/pengambilan bunga tidak ada bedanya sehingga mereka beropini bahwa bank
syariah dan bank konvensional ialah sama haya istilah yang membedakan. Untuk meluruskan
hal tersebut, perbedaan bagi hasi dan bung akan dijelaskan dalam tabel berikut :
22
DAFTAR PUSTAKA
Albadri, A. A. M., dan Sedjati, R. S. 2015. Riba dalam Perspektif Fiqih Muamalah dan Teori
Bunga atas Produk Lembaga Keuangan Konvensional.
Ashori, Abdul Ghofur. 2018. Perbankan Syariah di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Harahap, D. (2014). Analisis Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Pembiayaan Kpr Di Bank
Muamalat Medan (Doctoral dissertation, Pascasarjana IAIN-su).
Harahap, Sofyan S, Wiroso, dan Yusuf Muhammad. 2010. Akuntansi Perbankan Syariah.
Jakarta: Penerbit LPFE Usakti.
Ikatan Bankir Indonesia dan Lembaga Sertifikasi Profesi Perbankan. Cet. Pertama 2014. Cet.
kedua 2018. Mengelola Bank Syariah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Imansari, A. D., & HARTO, P. (2015). Analisis Perbandingan Kinerja Perbankan Syariah
berdasarkan Konsep Al-Maqashid Al-Syariah di Indonesia dan Malaysia (Doctoral
dissertation, Fakultas Ekonomika dan Bisnis).
Kasmir. (2008). Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Edisi Revisi 2008. Jakarta: PT.
RAJAGRAFINDO PERSADA.
Machmud, A., Rukmana, Hayati, Y. S., Sallama, N. I., & Hardani, W. (2010). Bank syariah:
teori, kebijakan, dan studi empiris di Indonesia. Erlangga.
Maradita, Aldira. 2016. “Karakteristik Good Corporate Governance pada Bank Syariah dan
Bank Konvensional.” https://e-journal.unair.ac.id/YDK/article/view/366 (akses 9 April
2019).
24
Sayekti, Nidya Waras dan Mauleny, Ariesy Tri. “Analisis Kinerja Perbankan Syariah di
Indonesia: Pra dan Pasca Undang-undang no 21 tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah,” Jurnal Ekonomi dan Kebijakan Publik, Vol. 4 No. 1, Juni 2013.
Wirdyaningsih, K. P., Dewi, G., & Barlinti, D. Y. (2005). Bank dan Asuransi Islam di
Indonesia. Jakarta: Kencana.
Yupitri, Evi dan Sari, Raina Linda. “Analisis yang Mempengaruhi faktor-faktor Non Muslim
menjadi Nasabah Bank Syariah Mandiri di Medan”, Jurnal Ekonomi dan Keuangan,
Vol. 1 No. 1, Desember 2012.
25