Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

TENTANG
DASAR HUKUM OPERASIONAL BANK SYARIAH
BERDASARKAN FATWA MUI
DAN KAITANNYA DENGAN RIBA

DISUSUN
O
L
E
H

BELMAN JUNAIDI
NIM : 1210071531008
MAHASISWA TRANSFER
I. LATAR BELAKANG
Keinginan Umat Islam di Indonesia untuk menghindari riba dan melaksanakan transaksi
perbankan sesuai syariah terasa mendapat tempat dan dukungan dari sisi perundang-
undangan. Pernyataan ini didasarkan atas fakta bahwa pada tahun 1998 telah diundangkannya
undang-undang yang diperlukan sebagai landasan hukum beroperasinya perbankan syariah,
yaitu Undang-undang No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7
tahun 1992 Tentang Perbankan (Selanjutnya disebut UU. No. 10 Tahun 1998)  
Berbagai ketentuan yang bersifat peraturan pelaksanaan untuk mendukung operasional Bank
Syariah, terutama Peraturan Bank Indonesia No 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Selanjutnya disebut PBI No.
6/24/PBI/2004), telah menguraikan secara ringkas tentang kegiatan usaha yang sesuai dengan
Prinsip Syariah. Didalam Peraturan ini termasuk pula suatu yang spesifik bagi Perbankan
Syariah, yaitu terdapatnya Dewan Syariah yang berfungsi mengawasi pelaksanaan
operasional Bank Syariah

Usaha yang keras dari anak-anak bangsa untuk mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) atau
memeperjuangkan Ius Constituandum menjadi Ius Constitutum, yang salah satunya adalah
keinginan mengaplikasikan nilai-nilai ekonomi yang Islami melalui legislasi kedalam sistem
hukum nasional telah memberi harapan yang menggembirakan. Dengan demikian hukum
Islam telah menjadi bahan baku bagi hukum nasional, sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Muhammad Daud Ali dan Qadri Azizy.
Melalui makalah dengan judul “HUKUM ISLAM PADA UNDANG-UNDANG
PERBANKAN INDONESIA” ini akan diuraikan sejarah berdirinya Bank Syariah di
Indonesia, Landasan hukum operasional Bank Syariah, serta Unsur-unsur hukum Islam yang
dikandung di dalam Hukum Perbankan Indonesia, sebagai wujud dari positifisasi hukum
Islam kedalam hukum nasional.

II. SEJARAH RINGKAS BERDIRINYA BANK SYARIAH DI INDONESIA

Pada awal tahun 1980, wacana pendirian Bank Syariah sebagai pilar ekonomi mulai bergulir.
Para tokoh yang aktif dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam
Rahardjo, A.M. Saefuddin, M. Amin Azis dan lain-lain. Uji coba sistem syariah pada sekala
kecil dilakukan dengan pendirian BMT (Bait al-mal wa at-tamwil), yaitu BMT Salman di
ITB Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta.
Langkah yang lebih strategis untuk mendirikan Bank Syariah diprakarsai oleh MUI (Majlis
Ulama Indonesia melalui Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor Jawa
Barat pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Hasil Lokakarya itu selanjutnya dibahas pada
Musyawarah Nasional IV MUI yang diadakan di Hotel Syahid Jakarta tanggal 22-25 Agsutus
1990. Munas ini mengamanatkan dibentuknya kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam
di Indonesia, yang bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan berbagai pihak
terkait.
Tindakan MUI semakin nyata, dengan membentuk suatu Tim Steering Commite yang
diketuai oleh Dr. Ir Amin Aziz, yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan berdirinya Bank Syariah di Indonesia (Bank Muamalat Indonesia).
Untuk kelancaran tugas Tim ini, dibentuk pula Tim hukum ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia) yang diketuai Drs. Karnaen Perwataatmadja, MPA. Dari sisi persiapan
sumber daya manusia,diselenggarakan training calon Staff Bank Muamalat Indonesia (BMI)
di LPPI (Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia) pada tanggal 29 Maret 1991 yang
dibuka oleh Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura.
Untuk menghimpun dana, Tim MUI melobi pengusaha-pengusaha Muslim untuk menjadi
pemegang saham pendiri. Dalam waktu 1 tahun dapatlah terpenuhi berbagai persyaratan
pendirian, sehingga pada tanggal 1 November 1991 dapat dilaksanakan penandatanganan
Akte Pendirian BMI di Sahid Jaya Hotel dengan akte notaries Yudo Paripurno, SH dengan
izin menteri kehakiman No. C. 2.2413.HT.01.01. Komitmen pembelian saham Rp
106.126.382.000,- sebagai modal awal pendirian BMI diperoleh pada acara silaturrahmi
Presiden di Istana Bogor tanggal 3 November 1991.

Izin Prinsip Pendirian BMI diperoleh dari Menteri Keuangan RI No. 1223/MK.013/1991
tanggal 5 November 1991 dan disusul dengan izin usaha berdasarkan keputusan menteri
keuangan RI No. 430/KMK.013/1992, tanggal 24 April 1992. Dan akhirnya pada tanggal 1
Mei 1992, BMI secara resmi memulai operasionalnya. Dengan mulai beroperasinya Bank
Syariah pertama ini, maka dimulailah genderang perjuangan mewujudkan Das Sollen (yang
seharusnya) menjadi Das Sein (Kenyataan) dalam muamalah ekonomi Islam di Indonesia.

III. LANDASAN HUKUM/OPERASIONAL, PERAN DEWAN SYARIAH DAN UNSUR-


UNSUR SYARIAH DALAM UNDANG-UNDANG PERBANKAN
Landasan Hukum / Operasional Bank Syariah

Tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya UU. No. 10 tahun 1998 yang diundangkan pada
tanggal 10 November 1998 sebagai perubahan dari UU. No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
adalah sebagai respon atas kebutuhan landasan hukum yang lebih memadai bagi Bank
Syariah yang pertama berdiri (BMI), yang telah memulai operasinya di Indonesia sejak
tanggal 1 Mei 1992.
Ketika Bank Muamalat Indonesia (BMI) didirikan, landasan hukum bagi berdirinya Bank
Syariah adalah UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang diundangkan pada tanggal 25
Maret 1992. [5] Celah landasan hukum yang digunakan adalah Pasal 1 ayat 12, yang
menyinggung bahwa Bank dapat memberikan pinjaman dengan dengan sistim bagi hasil.
Selengkapnya UU. No. 7 Tahun 1992 pasal 1 ayat (12), berbunyi sbb:
Kredit adalah penyediaan Uang atau Tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Friedman, membedakan antara hukum Inggris (Anglo-American Law / Common Law)
dengan Roman Law. Bagi negara Indonesia yang menganut Sistem Roman Law, maka
kodifikasi hukum secara formal (positive) yang menegaskan kedudukan Bank Syariah
didalam tata hukum nasional adalah suatu keniscayaan.[6] Sangat disyukuri bahwa ternyata
tujuh bulan setelah diundangkannya UU. No. 7 tentang perbankan, atau 6 bulan setelah
beroperasinya BMI, landasan operasional Bank Syariah lebih dipertegas dengan terbitnya
peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No. 7 tahun 1992, yaitu PP No. 72 tahun 1992
tanggal 30 Oktober 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi hasil (pada makalah ini
selanjutnya disebut PP No. 72 tahun 1992). Pasal 1 ayat (1) PP ini menyebutkan bahwa:
Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank umum atau bank perkreditan rakyat yang
melakukan kegiatan usaka semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
Lebih rinci lagi pada pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No. 72 sbb :
(1) Prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil
berdasarkan syariah yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam :
a. menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan
penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya;
b. menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada
masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja;
c. menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh
bank dengan prinsip bagi hasil.
(2) Pengertian prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, termasuk pula kegiatan usaha
jual beli.
Kedudukan Bank Syariah semakin mendapat tempat dengan diundangkannya UU. No. 10
tahun 1998 tanggal 10 November 1998 yang merupakan perubahan dari Undang-undang No
7 tahun 1992 tentang Perbankan. Kehadiran Undang-undang ini adalah lompatan yang sangat
strategis dari sisi politik hukum, karena tidak hanya lebih mempertegas kedudukan Perbankan
Syariah, tetapi telah memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi pengembangan
jaringan Perbankan Syariah. Peluang ini terbuka lebar dengan mulai diperkenankannnya
Bank Umum untuk beroperasi secara dual system, yakni dapat beroperasi secara
konvensional sekaligus beroperasi sesuai prinsip syariah. Kebolehan ini secara tegas didapati
pada pada Pasal 1 ayat (3) yang mendefinisikan Bank Umum sebagai berikut:
Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau
berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran
Berbeda dengan ketentuan pada Bank Umum, terrhadap Bank Perkreditan Rakyat tidak
dibenarkan beroperasi secara dual system. Pada pasal 1 ayat (4) diatur sebagai berikut:
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalulintas pembayaran.

Sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No. 10 tahun 1998 ini, khususnya untuk
kepentingan Perbankan Syariah, Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan No.
32/34/KEP/DIR tahun 1999 Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan ini
kemudian dicabut dan disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia No 6/24/PBI/2004
tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Peraturan pelaksanaan ini memuat antara lain ketentuan tentang Pendirian Bank, Perizinan,
Kepemilikan, Kedudukan Dewan Pengawas Syariah, Dewan Komisaris, Direksi dan
Peminpin Kantor Cabang dan Kegiatan Usaha.
Sejalan dengan bunyi pasal 1 ayat 3 UU No. 10 tahun 1998 yang memberi peluang kepada
Bank Umum untuk melaksanakan kegiatan Konvensional sekaligus juga melaksanakan
kegiatan operasional secara syariah, Bank Indonesia menerbitkan pula Peraturan Bank
Indonesia No. 4/1/PBI/2002 Tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional
Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional.

IV. Fatwa MUI tentang Perbankan Syariah

01/DSN-MUI/IV/2000 GIRO
Pengertian giro adalah simpanan yang dapat diambil kapan saja dengan menggunakan cek,
bilyet giro, pemindahbukuan atau alat perintah pembayaran lain. 
02/DSN-MUI/IV/2000 TABUNGAN
Tabungan adalah simpanan dari nasabah dengan tingkat keleluasaan penarikan dana tertentu
berdasarkan syarat-syarat yang disepakati.
03/DSN-MUI/IV/2000 DEPOSITO
Pengertian dari deposito dengan akad mudharabah mutlaqah sendiri adalah investasi tidak
terikat pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan pada waktu
tertentu dengan pembagian hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dimuka antara
nasabah dengan bank syariah yang bersangkutan.
04/DSN-MUI/IV/2000 MURABAHAH
Murabahah adalah transaksi jual beli dimana bank bertindak sebagai penjual sementara
nasabah sebagai pembeli.

05/DSN-MUI/IV/2000 JUAL BELI SALAM


Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada namun
kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti
06/DSN-MUI/IV/2000 JUAL BELI ISTISHNA'
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat
dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skema istishna dalam bank
syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
07/DSN-MUI/IV/2000 PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)
Mudhrabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana salah satu pihak
mempercayakan sejumlah modal kepada pihak lain yang bertindak sebagai pengelola
(mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.
08/DSN-MUI/IV/2000 PEMBIAYAAN MUSYARAKAH
Transaksi musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih
dimana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud.
09/DSN-MUI/IV/2000 PEMBIAYAAN  IJARAH
Transaksi ijarah adalah transaksi dimana bank menyewakan suatu obyek sewa kepada
nasabah, dan atas manfaat yang diterima oleh nasabah atas penggunaan obyek sewa yang
disewakan tersebut, bank memperoleh ongkos sewa
10/DSN-MUI/IV/2000 WAKALAH
Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan (pekerjaan) dari nasabah kepada bank dan atas
jasanya tersebut bank berhak meminta imbalan tertentu.
11/DSN-MUI/IV/2000 KAFALAH
Dalam kafalah, terdapat pengalihan tanggung jawab nasabah kepada bank dan atas jasanya
bank berhak meminta imbalan.
12/DSN-MUI/IV/2000 HAWALAH
Hiwalah adalah transaksi pengalihan utang piutang. Bank mendapat ganti biaya atas jasa
pemindahan utang piutang.
13/DSN-MUI/IX/2000 UANG MUKA DALAM MURABAHAH
Dalam akad pembiayaan murabahah, Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) dibolehkan untuk
meminta uang muka apabila kedua belah pihak bersepakat.

14/DSN-MUI/IX/2000 SISTEM DISTRIBUSI HASIL USAHA DALAM


LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH
Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), dalam pencatatan sebaiknya digunakan sistem
Accrual Basis; akan tetapi, dalam distribusi hasil usaha hendaknya ditentukan atas dasar
penerimaan yang benar-benar terjadi (Cash Basis).

15/DSN-MUI/IX/2000 PRINSIP DISTRIBUSI HASIL USAHA DALAM


LEMBAGA KEUANGAN SYARI'AH
Dilihat dari segi kemaslahatan (al-ashlah), saat ini, pembagian hasil usaha sebaiknya
digunakan prinsip Bagi Hasil (Net Revenue Sharing).
16/DSN-MUI/IX/2000 DISKON DALAM MURABAHAH
Jika dalam jual beli murabahah LKS mendapat diskon dari supplier, harga sebenarnya adalah
harga setelah diskon; karena itu, diskon adalah hak nasabah.
SANKSI ATAS NASABAH MAMPU YANG
17/DSN-MUI/IX/2000
MENUNDA-NUNDA PEMBAYARAN
Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau tidak mempunyai kemauan dan
itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi.
PENCADANGAN PENGHAPUSAN AKTIVA
18/DSN-MUI/IX/2000 PRODUKTIF DALAM LEMBAGA KEUANGAN
SYARI'AH
Dana yang digunakan untuk pencadangan diambil dari bagian keuntungan yang menjadi hak
LKS sehingga tidak merugikan nasabah.
19/DSN-MUI/IV/2001 AL-QARDH
Al-Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan.
PEDOMAN PELAKSANAAN INVESTASI
20/DSN-MUI/IV/2001
UNTUK REKSA DANA SYARI'AH
Reksa Dana Syari'ah adalah Reksa Dana yang beroperasi menurut ketentuan dan prinsip
Syari'ah Islam, baik dalam bentuk akad antara pemodal sebagai pemilik harta (sahib almal/
Rabb alMal) dengan Manajer Investasi sebagai wakil shahib al-mal, maupun antara Manajer
Investasi sebagai wakil shahib al-mal dengan pengguna investasi.
21/DSN-MUI/X/2001 PEDOMAN UMUM ASURANSI SYARI’AH
Asuransi Syariah (Ta’min, Takaful atau Tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan
tolong-menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan
/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui
akad (perikatan) yang
sesuai dengan syariah.
22/DSN-MUI/III/2002 JUAL BELI ISTISHNA' PARALEL
Jika LKS melakukan transaksi Istishna’, untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah ia
dapat melakukan istishna’ lagi dengan pihak lain pada obyek yang sama, dengan syarat
istishna’ pertama tidak bergantung (mu’allaq) pada istishna’ kedua
POTONGAN PELUNASAN DALAM
23/DSN-MUI/III/2002
MURABAHAH

nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih
cepat dari waktu yang telah disepakati, LKS boleh memberikan potongan dari kewajiban
pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad
24/DSN-MUI/III/2002 SAFE DEPOSIT BOX
Berdasarkan sifat dan karakternya, Safe Deposit Box (SDB) dilakukan dengan menggunakan
akad Ijarah (sewa).
25/DSN-MUI/III/2002 RAHN
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn
dibolehkan.
26/DSN-MUI/III/2002 RAHN EMAS
Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn. Ongkos dan biaya penyimpanan barang
(marhun)
ditanggung oleh penggadai (rahin).
AL-IJARAH AL-MUNTAHIYAH BI AL-
27/DSN-MUI/III/2002
TAMLIK
Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah
terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya
dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
28/DSN-MUI/III/2002 JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF)
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
b. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
c. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan
secara tunai (attaqabudh).
d. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada
saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
PEMBIAYAAN PENGURUSAN HAJI
29/DSN-MUI/VI/2002
LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan
menggunakan prinsip al-Ijarah
30/DSN-MUI/VI/2002 PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARI’AH
Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) adalah suatu bentuk pembiayaan rekening
koran yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah.
31/DSN-MUI/VI/2002 PENGALIHAN UTANG
Pengalihan utang adalah pemindahan utang nasabah dari bank/lembaga keuangan
konvensional ke bank/lembaga keuangan syariah.
32/DSN-MUI/IX/2002 OBLIGASI SYARI’AH
Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah
yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk
membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta
membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
33/DSN-MUI/IX/2002 OBLIGASI SYARI’AH MUDHARABAH
Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Mudharabah adalah akad Mudharabah.
34/DSN-MUI/IX/2002 LETTER OF CREDIT (L/C) IMPOR SYARI’AH
Letter of Credit (L/C) Impor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada
Eksportir yang
diterbitkan oleh Bank untuk kepentingan Importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu
sesuai dengan
prinsip syariah. L/C Impor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad: Wakalah
bil Ujrah, Qardh, Murabahah, Salam/Istishna’, Mudharabah, Musyarakah, dan Hawalah.
35/DSN-MUI/IX/2002 LETTER OF CREDIT (L/C) EKSPOR SYARI’AH
Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada
Eksportir yang
diterbitkan oleh Bank untuk memfasilitasi perdagangan ekspor dengan pemenuhan
persyaratan tertentu sesuai
dengan prinsip syariah. L/C Ekspor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan
akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh, Mudharabah, Musyarakah dan Al-Bai’.
36 /DSN-MUI/X/2002 SERTIFIKAT WADI’AH BANK INDONESIA
Bank Indonesia selaku bank sentral boleh menerbitkan instrumen moneter berdasarkan
prinsip syariah yang dinamakan Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI), yang dapat
dimanfaatkan oleh bank syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditasnya.
PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN
37/DSN-MUI/X/2002
PRINSIP SYARI’AH
Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah adalah kegiatan transaksi keuangan
jangka pendek antarpeserta pasar berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
SERTIFIKAT INVESTASI MUDHARABAH
38/DSN-MUI/X/2002
ANTARBANK (SERTIFIKAT  IMA)
Sertifikat investasi yang berdasarkan pada akad Mudharabah, yang disebut dengan Sertifikat
Investasi Mudharabah Antarbank (IMA), dibenarkan menurut syariah.  Sertifikat IMA dapat
dipindahtangankan hanya satu kali setelah
dibeli pertama kali.
39/DSN-MUI/X/2002 ASURANSI HAJI
Asuransi Haji yang berdasarkan prinsip syariah bersifat ta’awuni (tolong menolong) antar
sesama jama’ah haji. Akad asuransi haji adalah akad Tabarru’ (hibah) yang bertujuan untuk
menolong sesama jama’ah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jama’ah haji
sebagai pemberi tabarru’ dengan Asuransi Syariah yang bertindak sebagai pengelola dana
hibah.
PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM 
40/DSN-MUI/X/2003 PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI BIDANG
PASAR MODAL
Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan
Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan
profesi yang berkaitan dengan Efek.

41/DSN-MUI/III/2004 OBLIGASI SYARI’AH IJARAH


Obligasi Syariah Ijarah adalah Obligasi Syariah berdasarkan akad Ijarah dengan
memperhatikan substansi Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000
tentang Pembiayaan Ijarah.
42/DSN-MUI/V/2004 SYARI’AH CHARGE CARD
Syariah Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang kartu
(hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat tempat
tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir al-
bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan.
43/DSN-MUI/VIII/2004 GANTI RUGI (TA’WIDH)
Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena
kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan
kerugian pada pihak lain.
44/DSN-MUI/VIII/2004 PEMBIAYAAN MULTIJASA
Pembiayaan Multijasa hukumnya boleh (jaiz) dengan menggunakan akad Ijarah atau Kafalah.

45/DSN-MUI/II/2005 LINE FACILITY 


(AT-TASHILAT AS-SAQFIYAH)
Line Facility adalah suatu bentuk fasilitas plafon pembiayaan bergulir dalam jangka waktu
tertentu yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah.
POTONGAN TAGIHAN MURABAHAH
46/DSN-MUI/II/2005
(KHASHM FI AL-MURABAHAH)
LKS boleh memberikan potongan dari total kewajiban pembayaran kepada nasabah dalam
transaksi (akad)
murabahah yang telah melakukan kewajiban pembayaran cicilannya dengan tepat waktu dan
nasabah yang mengalami penurunan kemampuan pembayaran.
PENYELESAIAN PIUTANG MURABAHAH
47/DSN-MUI/II/2005 BAGI NASABAH TIDAK MAMPU
MEMBAYAR
LKS boleh melakukan penyelesaian (settlement) murabahah bagi nasabah yang tidak bisa
menyelesaikan/melunasi
pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:
a. Obyek murabahah atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah kepada atau melalui LKS
dengan harga pasar yang disepakati;
b. Nasabah melunasi sisa utangnya kepada LKS dari hasil penjualan;
c. Apabila hasil penjualan melebihi sisa utang maka LKS mengembalikan sisanya kepada
nasabah;
d. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang maka sisa utang tetap menjadi utang
nasabah;
e. Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa utangnya, maka LKS dapat
membebaskannya.
PENJADWALAN KEMBALI  TAGIHAN
48/DSN-MUI/II/2005
MURABAHAH
LKS boleh melakukan penjadwalan kembali (rescheduling) tagihan murabahah bagi nasabah
yang tidak bisa
menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati,
dengan ketentuan:
1. Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa;
2. Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil;
3. Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
49/DSN-MUI/II/2005 KONVERSI AKAD MURABAHAH
LKS boleh melakukan konversi dengan membuat akad (membuat akad baru) bagi nasabah
yang tidak bisa menyelesaikan/ melunasi pembiayaan murabahahnya sesuai jumlah dan
waktu yang telah
disepakati, tetapi ia masih prospektif, dengan ketentuan:
a. Akad murabahah dihentikan dengan cara:
i. Obyek murabahah dijual oleh nasabah kepada LKS dengan harga pasar;
ii. Nasabah melunasi sisa hutangnya kepada LKS dari hasil penjualan;
iii. Apabila hasil penjualan melebihi sisa hutang makakelebihan itu dapat dijadikan uang
muka untuk akad ijarah atau bagian modal dari mudharabah dan musyarakah;
iv. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa hutang maka sisa hutang tetap menjadi hutang
nasabah yang cara pelunasannya disepakati antara LKS dan nasabah.
50/DSN-MUI/III/2006 AKAD MUDHARABAH MUSYTARAKAH
Mudharabah Musytarakah adalah bentuk akad Mudharabah di mana pengelola (mudharib)
menyertakan modalnya dalam kerjasama investasi tersebut.
AKAD MUDHARABAH MUSYTARAKAH
51/DSN-MUI/III/2006
PADA ASURANSI SYARI’AH
asuransi adalah asuransi jiwa, asuransi kerugian dan reasuransisyariah;
b. peserta adalah peserta asuransi atau perusahaan asuransi dalam reasuransi.
1. Mudharabah Musytarakah boleh dilakukan oleh perusahaan asuransi, karena merupakan
bagian dari hukum Mudharabah.
2. Mudharabah Musytarakah dapat diterapkan pada produk asuransi syariah yang
mengandung unsur tabungan (saving) maupun non tabungan.
AKAD WAKALAH BIL UJRAH PADA
52/DSN-MUI/III/2006 ASURANSI SYARI’AH DAN REASURANSI
SYARI’AH
Wakalah bil Ujrah adalah pemberian kuasa dari peserta kepada perusahaan asuransi untuk
mengelola dana peserta dengan imbalan pemberian ujrah (fee).
AKAD TABARRU’ PADA ASURANSI
53/DSN-MUI/III/2006
SYARI’AH
Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan
kebajikan dan tolong menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial.
54/DSN-MUI/X/2006 SYARIAH CARD
Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang hubungan hukum
(berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah
sebagaimana diatur dalam fatwa ini.
PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARI’AH
55/DSN-MUI/V/2007
MUSYARAKAH
Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) adalah suatu bentuk pembiayaan rekening
koran yang dijalankan
berdasarkan prinsip syari’ah;
b. Wa’d ( ‫ ) الوعد‬adalah kesepakatan atau janji dari satu pihak (LKS) kepada pihak lain
(nasabah) untuk melaksanakan sesuatu;
Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) Musyarakah dilakukan berdasarkan akad
musyarakah dan boleh disertai dengan wa’d.
KETENTUAN REVIEW UJRAH PADA
56/DSN-MUI/V/2007
LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH
Review Ujrah adalah peninjauan kembali terhadap besarnya ujrah dalam akad Ijarah antara
LKS dengan nasabah setelah periode tertentu.
Review Ujrah boleh dilakukan antara para pihak yang melakukan akad Ijarah apabila
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Terjadi perubahan periode akad Ijarah;
b. Ada indikasi sangat kuat bahwa bila tidak dilakukan review,
maka akan timbul kerugian bagi salah satu pihak;
c. Disepakati oleh kedua belah pihak.
2. Review atas besaran ujrah setelah periode tertentu :
a. Ujrah yang telah disepakati untuk suatu periode akad Ijarah
tidak boleh dinaikkan;
b. Besaran ujrah boleh ditinjau ulang untuk periode berikutnya dengan cara yang diketahui
dengan jelas (formula tertentu) oleh kedua belah pihak;
c. Peninjauan kembali besaran ujrah setelah jangka waktu tertentu harus disepakati kedua
pihak sebelumnya dan
disebutkan dalam akad.
d. Dalam keadaan sewa yang berubah-ubah, sewa untuk periode akad pertama harus
dijelaskan jumlahnya. Untuk periode akad berikutnya boleh berdasarkan rumusan yang jelas
dengan ketentuan tidak menimbulkan perselisihan.
LETTER OF CREDIT (L/C) DENGAN AKAD
57/DSN-MUI/V/2007
KAFALAH BIL UJRAH
Kafalah adalah akad penjaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga
untuk memenuhi
kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu, ashil);
b. L/C Akad Kafalah Bil Ujrah adalah transaksi perdagangan ekspor impor yang
menggunakan jasa LKS berdasarkan akad Kafalah, dan atas jasa tersebut LKS memperoleh
fee (ujrah).
58/DSN-MUI/V/2007 HAWALAH  BIL UJRAH
Hawalah adalah pengalihan utang dari satu pihak ke pihak lain, terdiri atas hawalah
muqayyadah dan hawalah muthlaqah.
b. Hawalah muqayyadah adalah hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang
sekaligus berpiutang kepada muhal ’alaih sebagaimana dimaksud dalam Fatwa No.12/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Hawalah.
c. Hawalah muthlaqah adalah hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang tetapi tidak
berpiutang kepada muhal ’alaih;
d. Hawalah bil ujrah adalah hawalah dengan pengenaan ujrah/fee;

59/DSN-MUI/V/2007 OBLIGASI SYARIAH MUDHARABAH


KONVERSI
Obligasi Syariah Mudharabah Konversi (Convertible Mudaraba Bonds) adalah obligasi
syariah yang diterbitkan oleh Emiten berdasarkan prinsip Mudharabah dalam rangka
menambah kebutuhan modal kerja, dengan opsi investor dapat mengkonversi obligasi
menjadi saham Emiten pada saat jatuh tempo (maturity).
c. Saham Syariah adalah sertifikat yang menunjukkan bukti kepemilikan suatu perusahaan
yang diterbitkan oleh Emiten yang kegiatan usaha maupun cara pengelolaannya tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
60/DSN-MUI/V/2007 PENYELESAIAN PIUTANG DALAM EKSPOR
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Penyelesaian Piutang dalam Ekspor adalah
pengalihan penyelesaian piutang dari pihak yang berpiutang kepada LKS, kemudian LKS
menagih piutang tersebut kepada pihak yang berutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh
pihak yang berutang.
61/DSN-MUI/V/2007 PENYELESAIAN UTANG DALAM IMPOR
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan Penyelesaian Utang Impor adalah pengalihan utang
dari pihak yang berutang kepada LKS, kemudian LKS membayar utang tersebut kepada
pihak yang berpiutang atau pihak lain yang ditunjuk oleh pihak yang berpiutang.
62/DSN-MUI/XII/2007 AKAD JU’ALAH
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :
1. Ju’alah adalah janji atau komitmen (iltizam) untuk memberikan imbalan
(reward/’iwadh//ju’l) tertentu atas pencapaian hasil (natijah) yang ditentukan dari suatu
pekerjaan.
2. Ja’il adalah pihak yang berjanji akan memberikan imbalan tertentu atas pencapaian hasil
pekerjaan (natijah) yang ditentukan.
3. Maj’ul lah adalah pihak yang melaksanakan Ju’alah.
63/DSN-MUI/XII/2007 SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH
Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia berjangka waktu pendek berdasarkan prinsip syariah.
SERTIFIKAT BANK INDONESIA SYARIAH
64/DSN-MUI/XII/2007 JU’ALAH
(SBIS  JU’ALAH )
Sertifikat Bank Indonesia Syariah Ju’alah (SBIS Ju’alah) adalah SBIS yang menggunakan
Akad Ju’alah, dengan
memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI no. 62/DSNMUI/ XII/2007 tentang Akad Ju’alah.
HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU
65/DSN-MUI/III/2008
(HMETD) SYARIAH
SBIS Ju’alah sebagai instrumen moneter boleh diterbitkan untuk pengendalian moneter dan
pengelolaan likuiditas
perbankan syariah.
2 Dalam SBIS Ju’alah, Bank Indonesia bertindak sebagai ja’il (pemberi pekerjaan); Bank
Syariah bertindak sebagai maj’ul lah (penerima pekerjaan); dan objek/underlying Ju’alah
(mahall al-‘aqd) adalah partisipasi Bank Syariah untuk membantu tugas Bank Indonesia
dalam pengendalian moneter melalui penyerapan likuiditas dari masyarakat dan
menempatkannya di Bank Indonesia dalam jumlah dan jangka waktu tertentu.
3. Bank Indonesia dalam operasi moneternya melalui penerbitan SBIS mengumumkan target
penyerapan likuiditas kepada bank-bank syariah sebagai upaya pengendalian moneter dan
menjanjikan imbalan (reward/‘iwadh/ju’l) tertentu bagi yang turut berpartisipasi dalam
pelaksanaannya.

HAK MEMESAN EFEK TERLEBIH DAHULU


65/DSN-MUI/III/2008
(HMETD) SYARIAH
Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) Syariah adalah hak yang melekat pada
saham yang termasuk dalam
Daftar Efek Syariah (DES) yang memungkinkan para pemegang saham yang ada untuk
membeli Efek baru; termasuk saham, efek yang dapat dikonversikan menjadi saham dan
waran, sebelum ditawarkan kepada Pihak lain. Hak tersebut wajib dapat dialihkan.
67/DSN-MUI/III/2008 ANJAK PIUTANG SYARIAH
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan Anjak Piutang Secara Syariah adalah pengalihan
penyelesaian piutang atau tagihan jangka pendek dari pihak yang berpiutang kepada pihak
lain yang kemudian menagih piutang tersebut kepada pihak yang berutang atau pihak yang
ditunjuk oleh pihak yang berutang sesuai prinsip syariah.
68/DSN-MUI/III2008 RAHN TASJILY
Rahn Tasjily adalah jaminan dalam bentuk barang atas utang tetapi barang jaminan tersebut
(marhun) tetap berada dalam penguasaan (pemanfaatan) Rahin dan bukti kepemilikannya
diserahkan kepada murtahin;
69/DSN-MUI/VI/2008 SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
Surat Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah Surat Berharga
Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian ( ‫) حصة‬
kepemilikan asset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
2. Aset SBSN adalah obyek pembiayaan SBSN dan/atau Barang Milik Negara (BMN) yang
memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan, maupun selain tanah dan/atau
bangunan yang dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan dasar penerbitan SBSN.
3. Imbalan adalah semua pembayaran yang diberikan kepada Pemegang SBSN yang dapat
berupa ujrah (uang sewa), bagi hasil, atau bentuk pembayaran lain sesuai dengan akad yang
digunakan sampai dengan jatuh tempo SBSN.
4. Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan untuk melaksanakan
kegiatan penerbitan SBSN.
METODE PENERBITAN SURAT BERHARGA
70/DSN-MUI/VI/2008
SYARIAH NEGARA
Lelang SBSN adalah penjualan SBSN yang dilakukan melalui Agen Lelang yang mana
investor menyampaikan penawaran pembelian baik secara kompetitif maupun non kompetitif
melalui Peserta Lelang.
2. Bookbuilding adalah kegiatan penjualan SBSN kepada investor melalui Agen Penjual
dimana Agen Penjual mengumpulkan pemesanan pembelian dalam periode penawaran yang
telah ditentukan.
3. Peserta Lelang adalah lembaga keuangan yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk ikut
serta dalam pelaksanaan lelang SBSN di pasar perdana.
4. Penawaran Pembelian Kompetitif adalah pengajuan penawaran pembelian dengan
mencantumkan volume dan tingkat imbal hasil (yield) yang diinginkan penawar.
5. Penawaran Pembelian Non Kompetitif adalah pengajuan penawaran pembelian dengan
mencantumkan volume tanpa tingkat imbal hasil (yield).
71/DSN-MUI/VI/2008 SALE AND LEASE BACK
Sale and Lease Back adalah jual beli suatu aset yang kemudian pembeli menyewakan aset
tersebut kepada penjual.
Sale and Lease Back hukumnya boleh.
1. Akad yang digunakan adalah Bai' dan Ijarah yang dilaksana-kan secara terpisah.
2. Dalam akad Bai', pembeli boleh berjanji kepada penjual untuk menjual kembali kepadanya
aset yang dibelinya sesuai dengan kesepakatan.
3. Akad Ijarah baru dapat dilakukan setelah terjadi jual beli atas asset yang akan dijadikan
sebagai obyek Ijarah.
4. Obyek Ijarah adalah barang yang memiliki manfaat dan nilai ekonomis.
SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
72/DSN-MUI/VI/2008
IJARAH SALE AND LEASE BACK
Pemerintah boleh melakukan transaksi dengan Perusahaan Penerbit SBSN yang didirikan
oleh Pemerintah atau dengan pihak lain yang ditunjuk oleh Pemerintah.
2. Pemerintah menjual aset yang akan dijadikan Obyek Ijarah kepada Perusahaan Penerbit
SBSN atau pihak lain melalui wakilnya yang ditunjuk dan pembeli berjanji untuk menjual
kembali aset yang dibelinya sesuai dengan kesepakatan.
3. Pemerintah atau Perusahaan Penerbit SBSN menerbitkan SBSN sebagai bukti atas bagian (
‫ ) حصة‬kepemilikan Obyek Ijarah, yang dibeli oleh investor pada tingkat harga tertentu sesuai
kesepakatan.
4. Pemerintah menyewa Obyek Ijarah dengan memberikan imbalan (ujrah) kepada Pemegang
SBSN selama jangka waktu SBSN.
5. Pemerintah sebagai Penyewa wajib memelihara dan menjaga Obyek Ijarah sampai dengan
berakhirnya masa sewa.
6. Pemerintah dapat membeli sebagian atau seluruh Aset SBSN sebelum jatuh tempo SBSN
dan/atau sebelum berakhirnya masa sewa Aset SBSN, dengan mebayar sesuai dengan
kesepakatan.
7. Untuk pembelian Aset SBSN sebelum jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada angka 6,
para pihak melakukan perubahan atau pengakhiran terhadap akad SBSN.
8. Pemegang SBSN dapat mengalihkan kepemilikan SBSN Ijarahkepada pihak lain dengan
harga yang disepakati.
73/DSN-MUI/XI/2008 MUSYARAKAH MUTANAQISAH
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :
a. Musyarakah Mutanaqisah adalah Musyarakah atau Syirkah yang kepemilikan asset
(barang) atau modal salah satu pihak  (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara
bertahap oleh pihak lainnya;
b. Syarik adalah mitra, yakni pihak yang melakukan akad syirkah (musyarakah).
c. Hishshah adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah yang bersifat
musya’.
d. Musya’ ( ‫ )___ع‬adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah (milik
bersama) secara nilai dan tidak dapat ditentukan batas-batasnya secara fisik.
74/DSN-MUI/I/2009 PENJAMINAN SYARIAH
Penjaminan Syariah adalah penjaminan antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah
sebagaimana diatur dalam
fatwa ini.
b. Imbal Jasa Kafalah adalah fee atas penggunaan fasilitas penjaminan untuk penjaminan
pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah (kafalah bil ujrah).
c. Ta’widh adalah ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pihak penerima
jaminan akibat
keterlambatan pihak terjamin dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
d. Denda keterlambatan (late charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran
kewajiban yang akan diakui
seluruhnya sebagai dana sosial.
PEDOMAN PENJUALAN LANGSUNG
75/DSN MUI/VII/2009
BERJENJANG SYARIAH (PLBS)
Penjualan Langsung Berjenjang adalah cara penjualan barang atau jasa melalui jaringan
pemasaran yang dilakukan oleh perorangan atau badan usaha kepada sejumlah perorangan
atau badan usaha lainnya secara berturut-turut.
76/DSN-MUI/ VI/2010 SBSN IJARAH ASSET TO BE LEASED
Ijarah Asset To Be Leased (Ijarah al Maujudat al-Mau‟ud Bisti‟jariha) adalah akad ijarah
yang obyek ijarahnya sudah ditentukan spesifikasinya, dan sebagian obyek ijarah sudah ada
pada saat akad dilakukan, tetapi penyerahan keseluruhan obyek ijarah dilakukan pada masa
yang akan datang sesuai kesepakatan.
77/DSN-MUI/V/2010 JUAL-BELI EMAS SECARA TIDAK TUNAI
Jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah,
hukumnya boleh (mubah, ja’iz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang).
1. Harga jual (tsaman) tidak boleh bertambah selama jangka waktu perjanjian meskipun ada
perpanjangan waktu setelah jatuh tempo.
2. Emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn).
3. Emas yang dijadikan jaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 tidak boleh
dijualbelikan
atau dijadikan obyek akad lain yang menyebabkan perpindahan kepemilikan.
78/DSN-MUI/IX/2010 MEKANISME DAN INSTRUMEN PASAR UANG
ANTARBANK BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH

Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas --selanjutnya disingkat Perdagangan Efek-- di Pasar


Reguler Bursa Efek adalah kontrak jual beli efek yang dibuat oleh Anggota Bursa Efek sesuai
dengan persyaratan yang ditentukan oleh Bursa Efek. Perdagangan ini termasuk perdagangan
online yang dilakukan dalam satu majelis dengan mekanisme dan peraturan yang menjamin
terpenuhinya hak dan kewajiban para pihak;
2. Efek Bersifat Ekuitas adalah saham atau efek yang dapat ditukar dengan saham atau efek
yang mengandung hak untuk memperoleh saham sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Bapepam dan LK
Nomor IX.J.1 tentang Pokok-Pokok Anggaran Dasar Perseroan yang Melakukan Penawaran
Umum Efek Bersifat Ekuitas dan Perusahaan Publik;
QARDH DENGAN MENGGUNAKAN DANA
79/DSN-MUI/III/2011
NASABAH
Dalam Fatwa ini, yang dimaksud dengan:
1.   Qardh adalah suatu akad penyaluran dana oleh LKS kepada nasabah sebagai utang piutang
dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana tersebut kepada Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) pada waktu yang telah disepakati.
2.   Dana Nasabah adalah dana yang diserahkan oleh nasabah kepada LKS dalam produk giro,
tabungan atau deposito dengan menggunakan akad wadi’ah atau mudharabah sebagaimana
dimaksud dalam Fatwa DSN-MUI nomor 1,2, dan 3
PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DALAM
MEKANISME PERDAGANGAN EFEK
80/DSN-MUI/III/2011
BERSIFAT EKUITAS DI PASAR REGULER
BURSA EFEK
Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS) adalah kegiatan transaksi
keuangan jangka pendek antarpeserta pasar berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
2.     Peserta PUAS dalam pasar primer adalah:
a.     bank syariah sebagai penerima dana dalam kapasitasnya sebagai penerbit instrumen
PUAS, atau pemilik dana, dan
b.     bank konvensional hanya sebagai pemilik dana.
3.     Peserta PUAS dalam pasar sekunder adalah:
a.     bank syariah sebagai penjual atau pembeli instrumen PUAS.
b.     bank konvensional sebagai penjual atau pembeli instumen PUAS.
4.     Sertifikat PUAS adalah instrumen bukti kepemilikan investasi yang ditransaksikan
dalam PUAS.
5.     Pialang adalah perantara perdagangan sertifikat PUAS, yang mendapatkan izin dari
Bank Indonesia

V. LARANGAN UNTUK BBERBUAT RIBA

Hukum Riba
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-
Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Juga dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)
Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah z:
“Jauhilah tujuh perkara yang menghan-curkan –di antaranya– memakan riba.”
(Muttafaqun ‘alaih)
b. Hadits Abu Juhaifah z riwayat Al-Bukhari:
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits Jabir z yang diriwayatkan Al-Imam Muslim, yang dilaknat adalah pemakan
riba, pemberi makan orang lain dengan riba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi n
menyatakan:
“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaan-nya seperti
yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah t sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman
atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”
Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi t dan An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (9/294,
cetakan
Setelah dilihat dari dalil-dalil yang mengharamkan riba dapat kita simpulkan ada beberapa
sebab yang menyebabkan haramnya riba, antara lain:

1. Riba itu merupakan perbuatan dzalim, dan Allah mengharamkan kedzaliman.


2. Di dalam riba ada ketidakadilan.
3. Riba bertentangan dengan petunjuk Allah.

Tidak diragukan lagi bahwasanya riba itu memiliki pengaruh buruk yang sangat fatal. Dan
agama Islam tidak memerintahkan manusia untuk memiliki sesuatu kecuali dengan
mendapatkannya dengan cara yang halal. Mereka yang mendapatkannya dengan cara yang
bathil akan mendapatkan kerugian di dunia maupun di akhirat. Dan pengaruh buruk riba
lainnya antara lain adalah pengaruh buruk terhadap segi akhlak dan ruhaniah, karena tidak
kita temukan seorangpun yang melakukan riba kecuali ia adalah orang yang kikir, berdada
sempit, berhati layaknya batu, dan segala perbuatannya hanya dilakukan hanya untuk harta.
Riba juga berpengaruh buruk bagi masyarakat, karena masyarakat yang melakukan riba
mereka adalah masyarakat yang disintregator, kacau, dan mereka tidak saling menolong satu
sama lain, dan tidak akan menolong seseorang kecuali ia berharap akan pamrih atau balasan
dibelakan‫غ‬nya. Dan riba pun berpengaruh buruk di sisi perekonomian karena riba
berhubungan langsung dengan aktivitas masyarakat yang mana di dalamnya terdapat utang-
piutang antara mereka. Yang pada intinya riba tidak memiliki pengaruh dan keuntungan yang
positif, dan hanya memberikan pengaruh negatif dari segala sisi.

 Riba memberikan dampak negatif bagi akhlak dan jiwa pelakunya. Jika diperhatikan,
maka kita akan menemukan bahwa mereka yang berinteraksi dengan riba adalah
individu yang secara alami memiliki sifat kikir, dada yang sempit, berhati keras,
menyembah harta, tamak akan kemewahan dunia dan sifat-sifat hina lainnya.
 Riba merupakan akhlaq dan perbuatan musuh Allah, Yahudi. Allah ta’ala berfirman:

‫اس بِ ْالبَا ِط ِل َوَأ ْعتَ ْدنَا لِ ْل َكافِ ِرينَ ِم ْنهُ ْم َع َذابًا َألِي ًما‬
ِ َّ‫َوَأ ْخ ِذ ِه ُم ال ِّربَا َوقَ ْد نُهُوا َع ْنهُ َوَأ ْكلِ ِه ْم َأ ْم َوا َل الن‬

“Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal Sesungguhnya mereka Telah


dilarang daripadanya, dan Karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan
yang batil. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka
itu siksa yang pedih.” (QS. An Nisaa’: 161)
 Riba merupakan akhlak kaum jahiliyah. Barang siapa yang melakukannya, maka
sungguh dia telah menyamakan dirinya dengan mereka.
 Pelaku (baca: pemakan) riba akan dibangkitkan pada hari kiamat kelak dalam keadaan
seperti orang gila. Allah ta’ala berfirman:

‫الَّ ِذينَ يَْأ ُكلُونَ ال ِّربَا ال يَقُو ُمونَ ِإال َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَخَ بَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ْال َمسِّ َذلِكَ بَِأنَّهُ ْم قَالُوا ِإنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ِّربَا‬
ُ‫ك َأصْ َحاب‬ َ ‫َوَأ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا فَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ِه فَا ْنتَهَى فَلَهُ َما َسلَفَ َوَأ ْم ُرهُ ِإلَى هَّللا ِ َو َم ْن عَا َد فَُأولَِئ‬
َ‫ار هُ ْم فِيهَا خَالِ ُدون‬ ِ َّ‫الن‬

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)

 Seseorang yang bergelut dan berinteraksi dengan riba berarti secara terang-terangan
mengumumkan dirinya sebagai penentang Allah dan rasul-Nya dan dirinya layak
diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman:

ٍ ْ‫ فَِإ ْن لَ ْم تَ ْف َعلُوا فَْأ َذنُوا بِ َحر‬. َ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو َذرُوا َما بَقِ َي ِمنَ ال ِّربَا ِإ ْن ُك ْنتُ ْم ُمْؤ ِمنِين‬
‫ب ِمنَ هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه َوِإ ْن تُ ْبتُ ْم‬
ْ ُ‫َظلِ ُمونَ َوال ت‬
َ‫ظلَ ُمون‬ ْ ‫فَلَ ُك ْم ُر ُءوسُ َأ ْم َوالِ ُك ْم ال ت‬

 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya
akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-
Baqarah: 278-279). Maka keuntungan apakah yang akan diraih bagi mereka yang
telah mengikrarkan dirinya sebagai musuh Allah dan akankah mereka meraih
kemenangan jika yang mereka hadapi adalah Allah dan rasul-Nya?
 Memakan riba menunjukkan kelemahan dan lenyapnya takwa dalam diri pelakunya. Hal ini
menyebabkan kerugian di dunia dan akhirat. Allah ta’ala berfirman:
ْ ‫ار الَّتِي ُأ ِع َّد‬
َ ‫ َوَأ ِطيعُوا هَّللا‬. َ‫ت لِ ْل َكافِ ِرين‬ َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ال تَْأ ُكلُوا الرِّ بَا َأضْ َعافًا ُم‬
َ َّ‫ َواتَّقُوا الن‬. َ‫ضا َعفَةً َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون‬
َ‫َوال َّرسُو َل لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُمون‬
 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah
dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah da

Disadari dengan sepenuhnya bahwa Makalah ini jauh dari harapan yang diinginkan, untuk itu kami
mengharapkan saran dan pengertian dari bapak selaku dosen pengajar agar kami dapat memberikan
yang lebih baik dimasa mendatang.
Duri, Maret 2013

Belman Junaidi
1210071531008
Mhs transfer

Anda mungkin juga menyukai