TENTANG
DASAR HUKUM OPERASIONAL BANK SYARIAH
BERDASARKAN FATWA MUI
DAN KAITANNYA DENGAN RIBA
DISUSUN
O
L
E
H
BELMAN JUNAIDI
NIM : 1210071531008
MAHASISWA TRANSFER
I. LATAR BELAKANG
Keinginan Umat Islam di Indonesia untuk menghindari riba dan melaksanakan transaksi
perbankan sesuai syariah terasa mendapat tempat dan dukungan dari sisi perundang-
undangan. Pernyataan ini didasarkan atas fakta bahwa pada tahun 1998 telah diundangkannya
undang-undang yang diperlukan sebagai landasan hukum beroperasinya perbankan syariah,
yaitu Undang-undang No. 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7
tahun 1992 Tentang Perbankan (Selanjutnya disebut UU. No. 10 Tahun 1998)
Berbagai ketentuan yang bersifat peraturan pelaksanaan untuk mendukung operasional Bank
Syariah, terutama Peraturan Bank Indonesia No 6/24/PBI/2004 Tentang Bank Umum Yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah (Selanjutnya disebut PBI No.
6/24/PBI/2004), telah menguraikan secara ringkas tentang kegiatan usaha yang sesuai dengan
Prinsip Syariah. Didalam Peraturan ini termasuk pula suatu yang spesifik bagi Perbankan
Syariah, yaitu terdapatnya Dewan Syariah yang berfungsi mengawasi pelaksanaan
operasional Bank Syariah
Usaha yang keras dari anak-anak bangsa untuk mewujudkan cita-cita hukum (rechtsidee) atau
memeperjuangkan Ius Constituandum menjadi Ius Constitutum, yang salah satunya adalah
keinginan mengaplikasikan nilai-nilai ekonomi yang Islami melalui legislasi kedalam sistem
hukum nasional telah memberi harapan yang menggembirakan. Dengan demikian hukum
Islam telah menjadi bahan baku bagi hukum nasional, sejalan dengan yang dikemukakan oleh
Muhammad Daud Ali dan Qadri Azizy.
Melalui makalah dengan judul “HUKUM ISLAM PADA UNDANG-UNDANG
PERBANKAN INDONESIA” ini akan diuraikan sejarah berdirinya Bank Syariah di
Indonesia, Landasan hukum operasional Bank Syariah, serta Unsur-unsur hukum Islam yang
dikandung di dalam Hukum Perbankan Indonesia, sebagai wujud dari positifisasi hukum
Islam kedalam hukum nasional.
Pada awal tahun 1980, wacana pendirian Bank Syariah sebagai pilar ekonomi mulai bergulir.
Para tokoh yang aktif dalam kajian tersebut adalah Karnaen A. Perwataatmadja, M. Dawam
Rahardjo, A.M. Saefuddin, M. Amin Azis dan lain-lain. Uji coba sistem syariah pada sekala
kecil dilakukan dengan pendirian BMT (Bait al-mal wa at-tamwil), yaitu BMT Salman di
ITB Bandung dan Koperasi Ridho Gusti di Jakarta.
Langkah yang lebih strategis untuk mendirikan Bank Syariah diprakarsai oleh MUI (Majlis
Ulama Indonesia melalui Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, Bogor Jawa
Barat pada tanggal 18-20 Agustus 1990. Hasil Lokakarya itu selanjutnya dibahas pada
Musyawarah Nasional IV MUI yang diadakan di Hotel Syahid Jakarta tanggal 22-25 Agsutus
1990. Munas ini mengamanatkan dibentuknya kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam
di Indonesia, yang bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan berbagai pihak
terkait.
Tindakan MUI semakin nyata, dengan membentuk suatu Tim Steering Commite yang
diketuai oleh Dr. Ir Amin Aziz, yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang
berhubungan dengan berdirinya Bank Syariah di Indonesia (Bank Muamalat Indonesia).
Untuk kelancaran tugas Tim ini, dibentuk pula Tim hukum ICMI (Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia) yang diketuai Drs. Karnaen Perwataatmadja, MPA. Dari sisi persiapan
sumber daya manusia,diselenggarakan training calon Staff Bank Muamalat Indonesia (BMI)
di LPPI (Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia) pada tanggal 29 Maret 1991 yang
dibuka oleh Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura.
Untuk menghimpun dana, Tim MUI melobi pengusaha-pengusaha Muslim untuk menjadi
pemegang saham pendiri. Dalam waktu 1 tahun dapatlah terpenuhi berbagai persyaratan
pendirian, sehingga pada tanggal 1 November 1991 dapat dilaksanakan penandatanganan
Akte Pendirian BMI di Sahid Jaya Hotel dengan akte notaries Yudo Paripurno, SH dengan
izin menteri kehakiman No. C. 2.2413.HT.01.01. Komitmen pembelian saham Rp
106.126.382.000,- sebagai modal awal pendirian BMI diperoleh pada acara silaturrahmi
Presiden di Istana Bogor tanggal 3 November 1991.
Izin Prinsip Pendirian BMI diperoleh dari Menteri Keuangan RI No. 1223/MK.013/1991
tanggal 5 November 1991 dan disusul dengan izin usaha berdasarkan keputusan menteri
keuangan RI No. 430/KMK.013/1992, tanggal 24 April 1992. Dan akhirnya pada tanggal 1
Mei 1992, BMI secara resmi memulai operasionalnya. Dengan mulai beroperasinya Bank
Syariah pertama ini, maka dimulailah genderang perjuangan mewujudkan Das Sollen (yang
seharusnya) menjadi Das Sein (Kenyataan) dalam muamalah ekonomi Islam di Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya UU. No. 10 tahun 1998 yang diundangkan pada
tanggal 10 November 1998 sebagai perubahan dari UU. No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
adalah sebagai respon atas kebutuhan landasan hukum yang lebih memadai bagi Bank
Syariah yang pertama berdiri (BMI), yang telah memulai operasinya di Indonesia sejak
tanggal 1 Mei 1992.
Ketika Bank Muamalat Indonesia (BMI) didirikan, landasan hukum bagi berdirinya Bank
Syariah adalah UU. No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang diundangkan pada tanggal 25
Maret 1992. [5] Celah landasan hukum yang digunakan adalah Pasal 1 ayat 12, yang
menyinggung bahwa Bank dapat memberikan pinjaman dengan dengan sistim bagi hasil.
Selengkapnya UU. No. 7 Tahun 1992 pasal 1 ayat (12), berbunyi sbb:
Kredit adalah penyediaan Uang atau Tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dan pihak lain yang
mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Friedman, membedakan antara hukum Inggris (Anglo-American Law / Common Law)
dengan Roman Law. Bagi negara Indonesia yang menganut Sistem Roman Law, maka
kodifikasi hukum secara formal (positive) yang menegaskan kedudukan Bank Syariah
didalam tata hukum nasional adalah suatu keniscayaan.[6] Sangat disyukuri bahwa ternyata
tujuh bulan setelah diundangkannya UU. No. 7 tentang perbankan, atau 6 bulan setelah
beroperasinya BMI, landasan operasional Bank Syariah lebih dipertegas dengan terbitnya
peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No. 7 tahun 1992, yaitu PP No. 72 tahun 1992
tanggal 30 Oktober 1992 Tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi hasil (pada makalah ini
selanjutnya disebut PP No. 72 tahun 1992). Pasal 1 ayat (1) PP ini menyebutkan bahwa:
Bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah bank umum atau bank perkreditan rakyat yang
melakukan kegiatan usaka semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil.
Lebih rinci lagi pada pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No. 72 sbb :
(1) Prinsip bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil
berdasarkan syariah yang digunakan oleh bank berdasarkan prinsip bagi hasil dalam :
a. menetapkan imbalan yang akan diberikan kepada masyarakat sehubungan dengan
penggunaan/pemanfaatan dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya;
b. menetapkan imbalan yang akan diterima sehubungan dengan penyediaan dana kepada
masyarakat dalam bentuk pembiayaan baik untuk keperluan investasi maupun modal kerja;
c. menetapkan imbalan sehubungan dengan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh
bank dengan prinsip bagi hasil.
(2) Pengertian prinsip bagi hasil dalam penyediaan dana kepada masyarakat dalam bentuk
pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, termasuk pula kegiatan usaha
jual beli.
Kedudukan Bank Syariah semakin mendapat tempat dengan diundangkannya UU. No. 10
tahun 1998 tanggal 10 November 1998 yang merupakan perubahan dari Undang-undang No
7 tahun 1992 tentang Perbankan. Kehadiran Undang-undang ini adalah lompatan yang sangat
strategis dari sisi politik hukum, karena tidak hanya lebih mempertegas kedudukan Perbankan
Syariah, tetapi telah memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi pengembangan
jaringan Perbankan Syariah. Peluang ini terbuka lebar dengan mulai diperkenankannnya
Bank Umum untuk beroperasi secara dual system, yakni dapat beroperasi secara
konvensional sekaligus beroperasi sesuai prinsip syariah. Kebolehan ini secara tegas didapati
pada pada Pasal 1 ayat (3) yang mendefinisikan Bank Umum sebagai berikut:
Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau
berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran
Berbeda dengan ketentuan pada Bank Umum, terrhadap Bank Perkreditan Rakyat tidak
dibenarkan beroperasi secara dual system. Pada pasal 1 ayat (4) diatur sebagai berikut:
Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan
jasa dalam lalulintas pembayaran.
Sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No. 10 tahun 1998 ini, khususnya untuk
kepentingan Perbankan Syariah, Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Keputusan No.
32/34/KEP/DIR tahun 1999 Tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Peraturan ini
kemudian dicabut dan disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia No 6/24/PBI/2004
tentang Bank Umum yang melaksanakan kegiatan usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.
Peraturan pelaksanaan ini memuat antara lain ketentuan tentang Pendirian Bank, Perizinan,
Kepemilikan, Kedudukan Dewan Pengawas Syariah, Dewan Komisaris, Direksi dan
Peminpin Kantor Cabang dan Kegiatan Usaha.
Sejalan dengan bunyi pasal 1 ayat 3 UU No. 10 tahun 1998 yang memberi peluang kepada
Bank Umum untuk melaksanakan kegiatan Konvensional sekaligus juga melaksanakan
kegiatan operasional secara syariah, Bank Indonesia menerbitkan pula Peraturan Bank
Indonesia No. 4/1/PBI/2002 Tentang Perubahan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional
Menjadi Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah dan Pembukaan Kantor Bank Berdasarkan
Prinsip Syariah Oleh Bank Umum Konvensional.
01/DSN-MUI/IV/2000 GIRO
Pengertian giro adalah simpanan yang dapat diambil kapan saja dengan menggunakan cek,
bilyet giro, pemindahbukuan atau alat perintah pembayaran lain.
02/DSN-MUI/IV/2000 TABUNGAN
Tabungan adalah simpanan dari nasabah dengan tingkat keleluasaan penarikan dana tertentu
berdasarkan syarat-syarat yang disepakati.
03/DSN-MUI/IV/2000 DEPOSITO
Pengertian dari deposito dengan akad mudharabah mutlaqah sendiri adalah investasi tidak
terikat pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan pada waktu
tertentu dengan pembagian hasil sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dimuka antara
nasabah dengan bank syariah yang bersangkutan.
04/DSN-MUI/IV/2000 MURABAHAH
Murabahah adalah transaksi jual beli dimana bank bertindak sebagai penjual sementara
nasabah sebagai pembeli.
nasabah dalam transaksi murabahah melakukan pelunasan pembayaran tepat waktu atau lebih
cepat dari waktu yang telah disepakati, LKS boleh memberikan potongan dari kewajiban
pembayaran tersebut, dengan syarat tidak diperjanjikan dalam akad
24/DSN-MUI/III/2002 SAFE DEPOSIT BOX
Berdasarkan sifat dan karakternya, Safe Deposit Box (SDB) dilakukan dengan menggunakan
akad Ijarah (sewa).
25/DSN-MUI/III/2002 RAHN
Bahwa pinjaman dengan menggadaikan barang sebagai jaminan utang dalam bentuk Rahn
dibolehkan.
26/DSN-MUI/III/2002 RAHN EMAS
Rahn Emas dibolehkan berdasarkan prinsip Rahn. Ongkos dan biaya penyimpanan barang
(marhun)
ditanggung oleh penggadai (rahin).
AL-IJARAH AL-MUNTAHIYAH BI AL-
27/DSN-MUI/III/2002
TAMLIK
Pihak yang melakukan al-Ijarah al-Muntahiah bi al-Tamlik harus melaksanakan akad Ijarah
terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya
dapat dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
28/DSN-MUI/III/2002 JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF)
Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
b. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
c. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan
secara tunai (attaqabudh).
d. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada
saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
PEMBIAYAAN PENGURUSAN HAJI
29/DSN-MUI/VI/2002
LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa (ujrah) dengan
menggunakan prinsip al-Ijarah
30/DSN-MUI/VI/2002 PEMBIAYAAN REKENING KORAN SYARI’AH
Pembiayaan Rekening Koran Syariah (PRKS) adalah suatu bentuk pembiayaan rekening
koran yang dijalankan berdasarkan prinsip syari’ah.
31/DSN-MUI/VI/2002 PENGALIHAN UTANG
Pengalihan utang adalah pemindahan utang nasabah dari bank/lembaga keuangan
konvensional ke bank/lembaga keuangan syariah.
32/DSN-MUI/IX/2002 OBLIGASI SYARI’AH
Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah
yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syariah yang mewajibkan Emiten untuk
membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syariah berupa bagi hasil/margin/fee serta
membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.
33/DSN-MUI/IX/2002 OBLIGASI SYARI’AH MUDHARABAH
Akad yang digunakan dalam Obligasi Syariah Mudharabah adalah akad Mudharabah.
34/DSN-MUI/IX/2002 LETTER OF CREDIT (L/C) IMPOR SYARI’AH
Letter of Credit (L/C) Impor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada
Eksportir yang
diterbitkan oleh Bank untuk kepentingan Importir dengan pemenuhan persyaratan tertentu
sesuai dengan
prinsip syariah. L/C Impor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan akad-akad: Wakalah
bil Ujrah, Qardh, Murabahah, Salam/Istishna’, Mudharabah, Musyarakah, dan Hawalah.
35/DSN-MUI/IX/2002 LETTER OF CREDIT (L/C) EKSPOR SYARI’AH
Letter of Credit (L/C) Ekspor Syariah adalah surat pernyataan akan membayar kepada
Eksportir yang
diterbitkan oleh Bank untuk memfasilitasi perdagangan ekspor dengan pemenuhan
persyaratan tertentu sesuai
dengan prinsip syariah. L/C Ekspor Syariah dalam pelaksanaannya menggunakan
akad-akad: Wakalah bil Ujrah, Qardh, Mudharabah, Musyarakah dan Al-Bai’.
36 /DSN-MUI/X/2002 SERTIFIKAT WADI’AH BANK INDONESIA
Bank Indonesia selaku bank sentral boleh menerbitkan instrumen moneter berdasarkan
prinsip syariah yang dinamakan Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI), yang dapat
dimanfaatkan oleh bank syariah untuk mengatasi kelebihan likuiditasnya.
PASAR UANG ANTARBANK BERDASARKAN
37/DSN-MUI/X/2002
PRINSIP SYARI’AH
Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah adalah kegiatan transaksi keuangan
jangka pendek antarpeserta pasar berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
SERTIFIKAT INVESTASI MUDHARABAH
38/DSN-MUI/X/2002
ANTARBANK (SERTIFIKAT IMA)
Sertifikat investasi yang berdasarkan pada akad Mudharabah, yang disebut dengan Sertifikat
Investasi Mudharabah Antarbank (IMA), dibenarkan menurut syariah. Sertifikat IMA dapat
dipindahtangankan hanya satu kali setelah
dibeli pertama kali.
39/DSN-MUI/X/2002 ASURANSI HAJI
Asuransi Haji yang berdasarkan prinsip syariah bersifat ta’awuni (tolong menolong) antar
sesama jama’ah haji. Akad asuransi haji adalah akad Tabarru’ (hibah) yang bertujuan untuk
menolong sesama jama’ah haji yang terkena musibah. Akad dilakukan antara jama’ah haji
sebagai pemberi tabarru’ dengan Asuransi Syariah yang bertindak sebagai pengelola dana
hibah.
PASAR MODAL DAN PEDOMAN UMUM
40/DSN-MUI/X/2003 PENERAPAN PRINSIP SYARIAH DI BIDANG
PASAR MODAL
Pasar Modal adalah kegiatan yang bersangkutan dengan Penawaran Umum dan perdagangan
Efek, Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan
profesi yang berkaitan dengan Efek.
Hukum Riba
Riba dengan segala bentuknya adalah haram dan termasuk dosa besar, dengan dasar Al-
Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ ulama.
Dalil dari Al-Qur`an di antaranya adalah:
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Al-Baqarah: 275)
Juga dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang
belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu.” (Al-Baqarah: 278-279)
Dalil dari As-Sunnah di antaranya:
a. Hadits Abu Hurairah z:
“Jauhilah tujuh perkara yang menghan-curkan –di antaranya– memakan riba.”
(Muttafaqun ‘alaih)
b. Hadits Abu Juhaifah z riwayat Al-Bukhari:
“Semoga Allah melaknat pemakan riba.”(HR. Al-Bukhari)
Dalam hadits Jabir z yang diriwayatkan Al-Imam Muslim, yang dilaknat adalah pemakan
riba, pemberi makan orang lain dengan riba, penulis dan dua saksinya, lalu Nabi n
menyatakan:
“Mereka itu sama.”
Para ulama sepakat bahwa riba adalah haram dan termasuk dosa besar. Keadaan-nya seperti
yang digambarkan oleh Ibnu Taimiyah t sebagai berikut: “Tidak ada suatu ancaman hukuman
atas dosa besar selain syirik yang disebut dalam Al-Qur`an yang lebih dahsyat daripada riba.”
Kesepakatan ini dinukil oleh Al-Mawardi t dan An-Nawawi t dalam Al-Majmu’ (9/294,
cetakan
Setelah dilihat dari dalil-dalil yang mengharamkan riba dapat kita simpulkan ada beberapa
sebab yang menyebabkan haramnya riba, antara lain:
Tidak diragukan lagi bahwasanya riba itu memiliki pengaruh buruk yang sangat fatal. Dan
agama Islam tidak memerintahkan manusia untuk memiliki sesuatu kecuali dengan
mendapatkannya dengan cara yang halal. Mereka yang mendapatkannya dengan cara yang
bathil akan mendapatkan kerugian di dunia maupun di akhirat. Dan pengaruh buruk riba
lainnya antara lain adalah pengaruh buruk terhadap segi akhlak dan ruhaniah, karena tidak
kita temukan seorangpun yang melakukan riba kecuali ia adalah orang yang kikir, berdada
sempit, berhati layaknya batu, dan segala perbuatannya hanya dilakukan hanya untuk harta.
Riba juga berpengaruh buruk bagi masyarakat, karena masyarakat yang melakukan riba
mereka adalah masyarakat yang disintregator, kacau, dan mereka tidak saling menolong satu
sama lain, dan tidak akan menolong seseorang kecuali ia berharap akan pamrih atau balasan
dibelakanغnya. Dan riba pun berpengaruh buruk di sisi perekonomian karena riba
berhubungan langsung dengan aktivitas masyarakat yang mana di dalamnya terdapat utang-
piutang antara mereka. Yang pada intinya riba tidak memiliki pengaruh dan keuntungan yang
positif, dan hanya memberikan pengaruh negatif dari segala sisi.
Riba memberikan dampak negatif bagi akhlak dan jiwa pelakunya. Jika diperhatikan,
maka kita akan menemukan bahwa mereka yang berinteraksi dengan riba adalah
individu yang secara alami memiliki sifat kikir, dada yang sempit, berhati keras,
menyembah harta, tamak akan kemewahan dunia dan sifat-sifat hina lainnya.
Riba merupakan akhlaq dan perbuatan musuh Allah, Yahudi. Allah ta’ala berfirman:
اس بِ ْالبَا ِط ِل َوَأ ْعتَ ْدنَا لِ ْل َكافِ ِرينَ ِم ْنهُ ْم َع َذابًا َألِي ًما
ِ ََّوَأ ْخ ِذ ِه ُم ال ِّربَا َوقَ ْد نُهُوا َع ْنهُ َوَأ ْكلِ ِه ْم َأ ْم َوا َل الن
الَّ ِذينَ يَْأ ُكلُونَ ال ِّربَا ال يَقُو ُمونَ ِإال َك َما يَقُو ُم الَّ ِذي يَتَخَ بَّطُهُ ال َّش ْيطَانُ ِمنَ ْال َمسِّ َذلِكَ بَِأنَّهُ ْم قَالُوا ِإنَّ َما ْالبَ ْي ُع ِم ْث ُل ال ِّربَا
ُك َأصْ َحاب َ َوَأ َح َّل هَّللا ُ ْالبَ ْي َع َو َح َّر َم ال ِّربَا فَ َم ْن َجا َءهُ َموْ ِعظَةٌ ِم ْن َربِّ ِه فَا ْنتَهَى فَلَهُ َما َسلَفَ َوَأ ْم ُرهُ ِإلَى هَّللا ِ َو َم ْن عَا َد فَُأولَِئ
َار هُ ْم فِيهَا خَالِ ُدون ِ َّالن
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan
mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan
dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang
telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah)
kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 275)
Seseorang yang bergelut dan berinteraksi dengan riba berarti secara terang-terangan
mengumumkan dirinya sebagai penentang Allah dan rasul-Nya dan dirinya layak
diperangi oleh Allah dan rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman:
ٍ ْ فَِإ ْن لَ ْم تَ ْف َعلُوا فَْأ َذنُوا بِ َحر. َيَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا هَّللا َ َو َذرُوا َما بَقِ َي ِمنَ ال ِّربَا ِإ ْن ُك ْنتُ ْم ُمْؤ ِمنِين
ب ِمنَ هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه َوِإ ْن تُ ْبتُ ْم
ْ َُظلِ ُمونَ َوال ت
َظلَ ُمون ْ فَلَ ُك ْم ُر ُءوسُ َأ ْم َوالِ ُك ْم ال ت
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka Ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya
akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu
pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS. Al-
Baqarah: 278-279). Maka keuntungan apakah yang akan diraih bagi mereka yang
telah mengikrarkan dirinya sebagai musuh Allah dan akankah mereka meraih
kemenangan jika yang mereka hadapi adalah Allah dan rasul-Nya?
Memakan riba menunjukkan kelemahan dan lenyapnya takwa dalam diri pelakunya. Hal ini
menyebabkan kerugian di dunia dan akhirat. Allah ta’ala berfirman:
ْ ار الَّتِي ُأ ِع َّد
َ َوَأ ِطيعُوا هَّللا. َت لِ ْل َكافِ ِرين َ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ال تَْأ ُكلُوا الرِّ بَا َأضْ َعافًا ُم
َ َّ َواتَّقُوا الن. َضا َعفَةً َواتَّقُوا هَّللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون
ََوال َّرسُو َل لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُمون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah
dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah da
Disadari dengan sepenuhnya bahwa Makalah ini jauh dari harapan yang diinginkan, untuk itu kami
mengharapkan saran dan pengertian dari bapak selaku dosen pengajar agar kami dapat memberikan
yang lebih baik dimasa mendatang.
Duri, Maret 2013
Belman Junaidi
1210071531008
Mhs transfer