Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbankan yang berasaskan demokrasi ekonomi dengan fungsi utamanya sebagai


penghimpun dan penyalur dana masyarakat, memiliki peranan yang strategis untuk
menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, dalam rangka meningkatkan
pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi, dan stabilitas
nasional, ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. Kedudukan strategis lainnya
yang dimiliki perbankan ialah perbankan sebagai penunjang kelancaran sistem
pembayaran, pelaksanaan kebijakan moneter dan pencapaian stabilitas sistem keuangan.
Oleh karena itu, Indonesia perlu mengembangkan pertumbuhan sektor perbankan, salah
satunya ialah melalui aturan atau hukum yang mengatur kegiatan di sektor tersebut,
serta dengan membentuk Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sebagai
pengawas, pengatur, dan pengontrol perbankan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka didapatkan rumusan masalah yakni


“Bagaimana sistem hukum perbankan dan kebanksentralan di Indonesia?”

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan makalah ini ialah
untuk menganalisis sistem hukum perbankan dan kebanksentralan di Indonesia.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 1


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perbankan

Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. Bank
adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan
usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintah
menyimpan dana-dana yang dimilikinya di lembaga perbankan. Melalui kegiatan
perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan
serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.1
Mengenai bagaimana sistem perbankan Indonesia, tentu segala sesuatunya dapat
dicermati dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Berikut ialah definisi atau pengertian
dari beberapa istilah penting yang terkait dengan hukum perbankan berdasarkan
Undang-undang Perbankan dan Undang-undang Perbankan Syariah tersebut:2

1. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank, mencakup


kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan
kegiatan usahanya;
2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau
bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak;
3. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran;

1
Hermansyah, S.H., S.Hum., Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cetakan ke-6 (Jakarta:
Kencana, 2011), hlm. 7
2
Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 2


4. Bank Syariah (BS) adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum
Syariah (BUS), Unit Usaha Syariah (UUS) dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah (BPRS);3
5. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor
pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari
kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah,
atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar
negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi
sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit
syariah.4
6. Kantor Cabang adalah kantor cabang Bank Syariah yang bertanggung jawab
kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang
jelas sesuai dengan lokasi kantor cabang tersebut melakukan usahanya;5
7. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan
berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan fatwa di bidang syariah;6
8. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara
konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak
memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

B. Dasar Hukum

Sebagaimana yang diuangkapkan pemakalah dalam latar belakang di atas bahwa agar
sektor perbankan dapat berkembang dan bertumbuh dengan baik, maka diperlukan
aturan hukum yang mengikat dan mengatur perbankan, sehingga dengan hukum
tersebut, perbankan dapat menjalankan fungsinya secara sehat dan maju. Berikut ialah
dasar hukum perbankan di Indonesia:
3
Otoritas Jasa Keuangan, Booklet Perbankan Indonesia 2016, diakses tanggal 20 April 2017
http://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/data-dan-statistik/booklet-perbankan indonesia/Pages/Booklet-
Perbankan-Indonesia-2016.aspx, hlm. 13
4
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
5
Ibid.
6
Ibid.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 3


1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia.
7. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.
8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar.
9. Peraturan Bank Indonesia.
10. Surat Edaran Bank Indonesia.
11. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
12. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
13. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
14. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.
16. Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), terutama
ketentuan Buku II dan Buku III mengenai Hukum Jaminan dan Perjanjian.
17. Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), terutama
ketentuan Buku I mengenai surat-surat berharga.
18. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.
19. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.
20. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah.
21. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan peraturan perundang-
undangan lain yang berhubungan dengan perbankan dan kegiatan usahanya.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 4


C. Asas Perbankan

Untuk terciptanya sistem perbankan Indonesia yang sehat dalam kegiatan perbankan,
maka berikut akan diuraikan asas hukum perbankan:7

1. Asas Kepercayaan (Fiduciary Principle)


Asas kepercayaan adalah suatu asas yang menyatakan bahwa usaha bank
dilandasi oleh hubungan kepercayaan antara bank dan nasabahnya. Bank
berusaha dari dana masyarakat yang disimpan berdasarkan kepercayaan,
sehingga setiap bank perlu menjaga kesehatan banknya dengan tetap memelihara
dan mempertahankan kepercayaan masyarakat. Prinsip kepercayaan diatur
dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yakni yang
bunyinya “dalam memberikan kredit dan melakukan kegiatan usaha lainnya,
bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan
nasabah yang mempercayakan dananya kepada bank”.
2. Asas Kerahasiaan (Confidential Principle)
Asas Kerahasiaan adalah asas yang mengharuskan atau mewajibkan bank
merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan lain-lain
dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan (wajib)
dirahasiakan. Prinsip kerahasian bank diatur dalam Pasal 40 sampai dengan
Pasal 47 A Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998. Menurut Pasal 40 bank
wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
Namun dalam ketentuan tersebut kewajiban merahasiakan itu bukan tanpa
pengecualian. Kewajiban merahasiakan dikecualikan dalam hal-hal kepentingan
perpajakan, penyelesaian utang piutang bank yang sudah diserahkan kepada
badan Urusan Piutang dan Lelang/Panitia Urusan Piutang Negara
(UPLN/PUPN), kepentingan pengadilan perkara pidana, dalam hal perkara
perdata antara bank dengan nasabah, dan dalam rangka tukar menukar informasi
bank.

7
Dr. Abdul Hakim Siagian, S.H., M.H., Hukum Perbankan, https://abdul-hakim-
siagian.com/tag/hukum-perbankan/ diakses pada hari Jumat tanggal 21 April 2017.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 5


3. Asas Kehati-hatian (Prudential Principle)
Asas Kehati-hatian adalah suatu asas yang menyatakan bahwa bank dalam
menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-
hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya.
Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian ini agar bank selalu dalam keadaan
sehat menjalankan usahanya dan mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-
norma hukum yang berlaku di dunia perbankan. Prinsip kehati-hatian tertera
dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.
Lebih lanjut Hermansyah dalam bukunya Hukum Perbankan Nasional Indonesia
mengemukakan bahwa bank dan orang-orang yang terlibat di dalamnya,
terutama dalam membuat kebijaksanaan dan menjalankan kegiatan usahanya
wajib menjalankan tugas dan wewenangnya masing-masing secara cermat, teliti,
dan profesional, sehingga memperoleh kepercayaan masyarakat. Bank dalam
membuat kebijaksanaan dan menjalankan kegiatan usahanya harus selalu
mematuhi seluruh peraturan perundang-undangan yang berlaku secara konsisten
dengan didasari oleh iktikad baik.

D. Legal Administratif Perbankan

Berdasarkan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana


telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 diketahui bahwa Bank
Umum maupun Bank Perkreditan Rakyat dapat berbentuk Perseroan Terbatas,
Koperasi, atau Perusahaan Daerah. Apabila berbentuk Perseroan Terbatas maka
sahamnya hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama. Apabila berbentuk
Koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan peraturan mengenai perkoperasian yang
berlaku. Bank Umum dapat melakukan emisi saham melalui bursa efek. Bentuk badan
hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar
negeri ialah mengikuti bentuk badan hukum kantor pusatnya sebagaimana ditentukan
oleh Pasal 21 Ayat (3).

Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia dan atau badan
hukum asing dapat membeli saham Bank Umum, baik secara langsung dan atau melalui

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 6


bursa efek. Akan tetapi, Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat didirikan dan dimiliki
oleh warga negara Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia,
pemerintah daerah, atau dapat dimiliki bersama di antara ketiganya. 8 Meski badan
hukum perbankan dapat berupa Perseroan Terbatas, koperasi, dan perusahaan daerah,
namun kebanyakan perbankan di Indonesia berbadan hukum perseroan terbatas. Pasal 7
Undang-undang Perbankan Syariah mengatur bahwa badan hukum perbankan syariah
hanya perseroan terbatas. Lebih lanjut, pemakalah akan menjelaskan pengaturan atau
ketentuan-ketentuan pokok perbankan sebagai berikut:

Pendirian Perbankan

Pertama perlu dicatat bahwa bank hanya dapat didirikan dan melakukan kegiatan usaha
dengan izin Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sehingga setiap perbankan harus izin
terlebih dahulu ke OJK sebelum perbankan tersebut berdiri dan menjalankan kegiatan
usaha. Sebelum OJK didirikan, perbankan mesti memperoleh izin pendirian dari Bank
Indonesia. Mengenai tata cara perizinan perbankan, diatur lebih lanjut oleh Peraturan
Pemerintah. Beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan untuk memperoleh izin ialah
sebagai berikut:9

1. Persyaratan untuk menjadi pengurus bank antara lain menyangkut keahlian di


bidang perbankan dan berintegritas baik.
2. Larangan adanya hubungan keluarga antara pengurus bank.
3. Modal disetor minimum untuk pendirian Bank Umum, Bank Umum Syariah,
Unit Usaha Syariah, Bank Perkreditan Rakyat, dan Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah.
4. Batas maksimum kepemilikan saham dan kepengurusan.
5. Kelayakan rencana kerja.
6. Batas waktu pemberian izin pendirian bank.

8
Brian A Prastyo, SH., MLI, Peran Dewan Pengawas Syariah Dalam Bank Syariah, Buletin
Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 3, Nomor 1, April 2005, hlm. 45.
9
Hermansyah, S.H., S.Hum., Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Cetakan ke-6 (Jakarta:
Kencana, 2011), hlm. 26

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 7


Mengenai prosedur pendirian bank telah ada beberapa peraturan pelaksanaan10 dari
Undang-undang Perbankan dan Undang-undang Perbankan Syariah, serta telah ada
peraturan dari OJK mengenai hal ini.

1. Bank Umum Konvensional

Modal disetor paling kurang sebesar Rp 3 triliun, dan hanya dapat didirikan dan/atau
dimiliki oleh:

a. WNI dan/atau badan hukum Indonesia; atau


b. WNI dan/atau badan hukum Indonesia dengan warga negara asing (WNA)
dan/atau badan hukum asing secara kemitraan.

Untuk memperoleh izin usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat dari OJK,
maka berdasarkan Pasal 16 ayat (2) Undang-undang Perbankan, Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat wajib memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:

a. susunan organisasi dan kepengurusan;


b. permodalan;
c. kepemilikan;
d. keahlian di bidang Perbankan; dan
e. Kelayakan rencana kerja.

Selanjutnya menurut Pasal 9 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33
KEP/DIR tentang Bank Umum, ditentukan bahwa permohonan untuk memperoleh izin
usaha wajib memenuhi persyaratan tertentu, serta melampirkan hal-hal berikut:

a. Akta pendirian badan hukum, termasuk anggaran dasar badan hukum yang
telah disahkan oleh instansi yang berwenang.
b. Data kepemilikan berupa: daftar calon pemegang saham berikut rincian
besarnya masing-masing kepemilikan saham bagi bank yang berbentuk
hukum Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah, dan daftar calon anggota
berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, sera daftar
hibah bagi bank yang berbentuk hukum koperasi.
10
Di antaranya ialah Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33/KEP/DIR tentang
Bank Umum dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/35/KEP/DIR tentang Bank
Perkreditan Rakyat.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 8


c. Daftar susunan Dewan Komisaris dan Direksi.
d. Susunan organisasi serta sistem dan prosedur kerja termasuk susunan
personalia.
e. Bukti pelunasan modal disetor dalam bentuk fotokopi bilyet deposito.
f. Bukti kesiapan operasional antara lain berupa: daftar aktiva tetap dan
inventaris, bukti penguasaan gedung berupa bukti kepemilikan atau
perjanjian sewa-menyewa gedung kantor, foto gedung kantor dan tata
ruangan, contoh formulir/warkat yang akan digunakan untuk operasional
bank, NPWP Tanda Daftar Perusahaan.
g. Surat pernyataan dari pemegang saham bagi bank yang berbentuk hukum
Perseroan Terbatas/Perusahaan Daerah atau dari calon anggota bagi bank
yang berbentuk hukum koperasi, bahwa pelunasaan modal tersebut tidak
berasal dari pinjaman atau fasilitaspembiayaan dalam bentuk apapun dari
atau pihak lain di Indonesia, juga tidak berasal dari dan untuk tujuan
pencucian uang.
h. Surat pernyataan tidak merangkap jabatan dari anggota Dewan Komisaris
sebagai anggota Dewan Komisaris pada lebih dari 1 bank lain atau sebagai
Dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat eksekutif lainnya pada perusahaan
lain lebih dari 2 perusahaan.
i. Surat pernyataan tidak merangkap jabatan dari anggota Direksi sebagai
anggota Komisaris, Direksi, atau Pejabat eksekutif lainnya pada lembag
perbankan, perusahaan, atau lembaga lain.
j. Surat pernyataan dari anggota Dewan Komisaris dan anggota Direksi bahwa
yang bersangkutan tidak mempunyai hubungan keluarga sampai derajat
kedua termasuk suami istri, menantu, dan ipar dengan anggota Direksi, dan
anggota Dewan Komisaris lainnya.

Surat pernyataan dari anggota Direksi berisi bahwa yang bersangkutan baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama tidak mempunyai saham melebihi 25% dari
modal disetor pada perusahaan lain.

Setelah diajukannya permohonan izin usaha, maka OJK selambat-lambatnya 60 hari


setelah dokumen permohonan diterimanya secara lengkap dituntut memberikan

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 9


pernyataan disetujui atau ditolak. Dalam memberikan persetujuan atau penolakan, OJK
terlebih dahulu akan melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen.
Dalam hal terdapat pergantian atas calon yang diajukan, maka dilakukan wawancara
dengan pemilik, anggota dewan komisaris dan direksi, namun bila tidak ada pergantian,
maka tidak diperlukan wawancara kedua kali.

2. Bank Umum Syariah

Modal disetor paling kurang sebesar Rp 1 triliun, dan hanya dapat didirikan dan/atau
dimiliki oleh:

a. WNI dan/atau badan hukum Indonesia; atau


b. WNI dan/atau badan hukum Indonesia dengan WNA dan/atau badan hukum
asing secara kemitraan.

Berdasarkan Pasal 5 Undang-undang Perbankan Syariah, usaha Bank Syariah harus


memenuhi beberapa persyaratan untuk memperoleh izin dari OJK, berikut ialah
persyaratannya:

a. susunan organisasi dan kepengurusan;


b. permodalan;
c. kepemilikan;
d. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
e. kelayakan usaha.

3. Bank Perkreditan Rakyat

Berdasarkan Undang-undang Perbankan, Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat


didirikan di ibukota kabupaten atau kotamadya, sepanjang di ibukota kabupaten atau
kotamadya dimaksud belum terdapat Bank Perkreditan Rakyat. Sementara Modal
disetor paling kurang sebesar:

a. Zona 1 sebesar Rp 14 miliar;


b. Zona 2 sebesar Rp 8 miliar;
c. Zona 3 sebesar Rp 6 miliar; dan
d. Zona 4 sebesar Rp 4 miliar.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 10


Lebih lanjut aturan mengenai zona wilayah di atas dapat dilihat dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 16/SEOJK.03/2015 tentang Bank Perkreditan
Rakyat dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 20/POJK.03/2014 tentang
Bank Perkreditan Rakyat. Bank Perkreditan Rakyat ini hanya dapat didirikan dan/atau
dimiliki oleh:

a. WNI;
b. Badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya WNI;
c. Pemerintah Daerah; atau
d. Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam angka 1), 2) dan 3).

4. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)

Modal disetor paling kurang sebesar:

a. Rp 2 miliar untuk BPRS yang didirikan di wilayah DKI Jakarta Raya dan
Kabupaten/Kota Tangerang, Bogor, Depok dan Bekasi;
b. Rp 1 miliar untuk BPRS yang didirikan di wilayah ibukota provinsi di luar
wilayah sebagaimana disebut dalam angka 1);
c. Rp 500 juta untuk BPRS yang didirikan di luar wilayah angka 1) dan 2).

BPRS hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:

a. WNI dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya WNI;


b. Pemerintah Daerah; atau
c. Dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam angka 1) dan 2).

E. Kepemilikan Saham Perbankan

Dalam rangka penatausahaan struktur kepemilikan, OJK menetapkan batas maksimum


kepemilikan saham pada bank berdasarkan kategori pemegang saham dan keterkaitan
antar pemegang saham sebagai berikut:

1. Badan hukum lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan bank
sebesar 40% dari modal bank;

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 11


2. Badan hukum bukan lembaga keuangan sebesar 30% dari modal bank; dan
3. Pemegang saham perorangan sebesar 20% dari modal bank. Batas maksimum
kepemilikan saham oleh perorangan di BUS adalah sebesar 25% dari modal
bank.

F. Kegiatan Usaha Perbankan


1. Bank Umum Konvensional

Usaha Bank Umum yang dijabarkan dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang- Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perbankan ialah sebagai berikut:

a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro,


deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu;
b. memberikan kredit;
c. menerbitkan surat pengakuan hutang;
d. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya:
1) surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa
berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan
surat-surat dimaksud;
2) surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya
tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
3) kertas perbendaharaaa negara dan surat jaminan pemerintah;
4) Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
5) obligasi;
6) surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
7) instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1
(satu) tahun;
e. memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah;

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 12


f. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana
kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi
maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
g. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
h. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
i. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan
suatu kontrak; melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah
lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
j. membeli melalui pelelangan agunan baik semua maupun sebagian dalam hal
debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada bank, dengan ketentuan
agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya;
k. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali
amanat;
l. menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai
dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah;
m. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Bank Umum
dapat pula melakukan kegiatan usaha berdasarkan Pasal 7 Undang-undang Perbankan
berikut ini:

a. melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang


ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain di
bidang keuangan, seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek,
asuransi, serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan, dengan
memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat
kegagalan kredit, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya,
dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 13


d. bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai
dengan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang
berlaku.

2. Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah


a. Menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau
bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah
atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. Menghimpun dana dalam bentuk investasi berupa Deposito, Tabungan, atau
bentuk lainnya yang (dipersamakan dengan itu berdasarkan akad
mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
c. Menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad
musyarakah, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad murabahah, akad salam, akad
istishna’, atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
e. Menyalurkan pembiayaan berdasarkan akad qardh atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan Prinsip Syariah;
f. Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak
kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk
Ijarah Muntahiya bit Tamlik (IMBT) atau akad lain yang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah;
g. Melakukan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
h. Melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah;
i. Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak
ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip
Syariah, antara lain, seperti akad ijarah, musyarakah, mudharabah,
murabahah, kafalah, atau hawalah;
j. Membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh
pemerintah dan/atau BI;

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 14


k. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
perhitungan dengan pihak ketiga atau antar pihak ketiga berdasarkan Prinsip
Syariah;
l. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga
berdasarkan Prinsip Syariah;
m. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk
kepentingan nasabah berdasarkan Prinsip Syariah;
n. Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip
Syariah;
o. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di
bidang sosial sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
p. Melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
q. Melakukan kegiatan PMS untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali
penyertaannya;
r. Melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak bertentangan
dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundangundangan di
bidang pasar modal;
s. Menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan Prinsip
Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
t. Menerbitkan, menawarkan dan memperdagangkan surat berharga jangka
pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui pasar uang; dan
u. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha BUS lainnya yang
berdasarkan Prinsip Syariah.

Kegiatan di bawah ini hanya dapat dilakukan oleh Bank Umum Syariah:

a. Membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri surat berharga pihak
ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip
Syariah, antara lain, seperti akad ijarah, musyarakah, mudharabah,
murabahah, kafalah, atau hawalah;

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 15


b. Melakukan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu akad
yang berdasarkan Prinsip Syariah;
c. Melakukan fungsi sebagai wali amanat berdasarkan akad wakalah;
d. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada BUS atau lembaga keuangan
yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
e. Bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip
Syariah; dan
f. Menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka
panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui pasar modal.

3. Bank Perkreditan Rakyat

Usaha Bank Perkreditan Rakyat dijabarkan dalam Pasal 13 Undang- Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perbankan, yaitu:

a. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito


berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
b. Memberikan kredit;
c. Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan prinsip syariah,
jika itu bank syariah dan/atau unit usaha syariah, sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan;
d. Menempatkan dananya dalam bentuk sertifikat Bank Indonesia (SBI),
deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.

4. Kegiatan Pendukung Usaha

Kegiatan Pendukung usaha adalah kegiatan lain yang dilakukan bank di luar kegiatan
usaha bank. Kegiatan pendukung usaha tersebut antara lain terkait dengan sumber daya
manusia (SDM), manajemen risiko, kepatuhan, internal audit, akunting dan keuangan,
Teknologi Informasi (TI), logistik dan pengamanan.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 16


G. Dewan Pengawas Syariah

Dalam rangka menjaga kegiatan usaha bank syariah agar senantiasa berjalan sesuai
dengan nilai-nilai syariah, maka diperlukan suatu badan independen yang terdiri dari
para pakar syariah muamalah yang juga memilki pengetahuan umum di bidang
perbankan. Dewan Pengawas Syariah (DPS) adalah suatu fungsi dalam organisasi bank
syariah yang secara internal merupakan badan pengawas syariah, dan secara eksternal
dapat menjaga serta meningkatkan kepercayaan masyarakat.

Penjelasan Pasal 6 huruf m UU Perbankan No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU


No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menjelaskan bahwa dalam suatu lembaga
Perbankan Islam harus dibentuk Dewan Pengawas Syariah (DPS).

Menurut Pasal 21 Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 6/24/PBI/2004 anggota DPS
wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1. Integritas, yaitu:
a. Memiliki akhlak dan moral yang baik.
b. Memiliki komitmen untuk memenuhi peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. Memiliki komitmen yang tinggi terhadap pengembangan operasional bank
yang sehat.
d. Tidak termasuk dalam daftar tidak lulus sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan oleh bank Indonesia.
2. Kompetensi, yaitu memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang syariah
muamalah dan pengetahuan di bidang perbankan dan/atau keuangan secara
umum.
3. Reputasi keuangan, yaitu pihak-pihak yang:
a. Tidak termasuk dalam kredit/pembiayaan macet.
b. Tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi direksi atau komisaris yang
dinyatakan bersalah menyebabkan suatu perseroan dinyatakan pailit, dalam
waktu 5 (lima) tahun terakhir dicalonkan.

Jumlah anggota Dewan Pengawas Syariah (DPS) sekurang-kurangnya dua orang dan
sebanyak-banyaknya lima orang. Sedangkan di BPRS berjumlah sekurang-kurangnya

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 17


satu orang dan sebanyak-banyaknya tiga orang. Anggota DPS hanya bisa merangkap
jabatan sebagai anggota DPS sebanyak-banyaknya pada 2 (dua) bank lain dan 2 (dua)
lembaga keuangan syariah bukan bank. Sebanyak-banyaknya dua anggota DPS dapat
merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Syariah Nasional (DSN).

Pasal 27 PBI No. 6/24/PBI/2004 menguraikan tugas, wewenang, dan tanggung jawab
DPS, yaitu antara lain meliputi:

1. Memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional bank terhadap


fatwa yang dikeluarkan oleh DSN.
2. Menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional, dan produk yang
dikeluarkan bank.
3. Memberikan opini dari aspek syariah terhadap pelaksanaan operasional bank
secara keseluruhan dalam laporan publikasi bank.
4. Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa untuk untuk dimintakan
fatwa kepada DSN.
5. Menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap 6
(enam) bulan kepada direksi, komisaris, Dewan Syariah Nasional, dan Bank
Indonesia.

Pasal 31, 32, 33, PBI, No. 6/24/PBI/2004 mengatur mengenai tata cara penetapan DPS.
Bank wajib mengajukan calon anggota DPS untuk memperoleh persetujuan Bank
Indonesia dan penetapan DSN sebelum diangkat dan menduduki jabatannya.
Permohonan untuk memperoleh persetujuan tersebut diajukan oleh Bank kepada
Gubernur Bank Indonesia, dan wajib disertai dengan dokumen-dokumen yang diminta.
Persetujuan atau penolakan atas pengajuan calon anggota DPS diberikan selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak dokumen permohonan diterima secara lengkap.
Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan tersebut, OJK
melakukan penelitian atas kelengkapan dan kebenaran dokumen, dan wawancara
terhadap calon anggota DPS.

Penetapan calon anggota Dewan Pengawas Syariah oleh Dewan Syariah Nasional
dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Bank Indonesia. Permohonan untuk
memperoleh penetapan tersebut wajib disampaikan oleh bank kepada Dewan Syariah

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 18


Nasional dengan tembusan ke Bank Indonesia selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari
sejak diterbitkannya surat persetujuan Bank Indonesia. Selanjutnya, Dewan Syariah
Nasional menetapkan calon Dewan Pengawas Syariah selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sejak diterbitkannya surat persetujuan Bank Indonesia. Apabila dalam
jangka waktu tersebut Dewan Syariah Nasional belum mengeluarkan penetapan calon
Dewan Pengawas Syariah, maka calon Dewan Pengawas Syariah dianggap efektif
sebagai Dewan Pengawas Syariah. Kemudian, pengangkatan tersebut wajib dilaporkan
oleh bank kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari sejak tanggal
pengangkatan efektif.

Menurut keputusan DSN No. 3 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan
Anggaran DPS dan Lembaga Keuangan Syariah, tugas utama DPS adalah mengawasi
kegiatan usaha Lembaga Keuangan Syariah agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip
syariah yang telah difatwakan oleh DSN. Adapun fungsi utama DPS adalah:

1. Sebagai penasihat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha
syariah, dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal ynag terkait
dengan aspek syariah.
2. Sebagai mediator antara Lembaga Keuangan Syariah dengan DSN dalam
mengomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari
Lembaga Keuangan Syariah yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN.

Sedangkan kewajiban DPS adalah:

1. Mengikuti fatwa-fatwa DSN


2. Mengawasi kegiatan usaha Lembaga Keuangan Syariah agar tidak menyimpang
dari ketentuan prinsip Syariah yang telah difatwakan oleh DSN.
3. Melaporkan kegiatan usaha dan perkembangan lembaga keuangan yang
diawasinya secara rutin kepada DSN, sekurang-kurangnya dua kali dalam satu
tahun.

Untuk mencapai keberhasilan tugas DPS, maka diperlukan langkah pemberdayaan, baik
dari sisi kopetensi, integritas maupun independensi. Langkah pemberdayaan yang harus
dilakukan memerlukan perencanaan dan pengembangan secara bertahap dengan
memerhatikan kondisi kesiapan bank dan sumber daya insani DPS.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 19


Dalam pelaksanaan fatwa di tingkat DPS, ketentuan yang dijelaskan oleh fatwa DSN
bersifat umum. Oleh karena itu, seharusnya fatwa tersebut harus jelas dan dibuat
petunjuk pelaksanaannya, agar tidak terjadi perbedaan dalam penafsiran dan
pelaksanaan produk tersebut.

Keberadaan Komite Ahli Pengembangan Syariah di Bank Indonesia yang


beranggotakan ahli syariah, ahli ekonomi, ahli hukum, ahli perbankan dan ahli
akuntansi dapat didayagunakan semaksimal mungkin untuk membuat petunjuk
pelaksanaan yang jelas. Mereka dapat bekerja sama dengan DSN sebagai otoritas
tertinggi regulasi sekaligus pengawasan syariah terhadap lembaga keuangan dan
perbankan yang berdasarkan syariah.

Pelaksanaan produk perbankan Islam dituangkan dalam bentuk akad. Semua akad harus
diperiksa oleh DPS terlebih dahulu, agar tidak menyimpang dari ketentuan syariah.
Apabila ada akad yang belum difatwakan, DPS harus meminta fatwa terlebih dahulu
kepada DSN. Sebelum ada persetujuan darai DSN, akad tersebut belum dapat
dikeluarkan. Oleh karena itu harus ada batasan waktu bagi DSN untuk memutuskan
produk tersebut sesuai atau tidak menurut syariah demi kelancaran dan perbankan islam
yang pesan.

Fungsi pengawasan DPS berlangsung sejak produk tersebut akan berjalan hingga akad
tersebut selesai. Ini berguna untuk menghindari penyimpangan yang sering terjadi pada
saat akad tersebut dibuat, baik dari pihak maupun dari pelaksanaan isi akad.

Pemberdayaan dan pengembangan sistem pengawasan dan audit kepatuhan


syariahdipelopori oleh accounting and auditing organization for islamic finacial
institution (AAOIFI). Dalam standar DPS yang diterbitkan oleh AAOIFI ditentukan
sebagai berikut:

1. Setiap pelaporan bank islam harus mencantumkan pendapat DPS bank yang
menjelasakn kegiatan usaha bank sesuai dengan prinsip-prinsip syariah (opini
syariah).
2. Adanya proses pengawasan dan audit yang aktif dari pihak DPS terhadap suatu
kegiatan usaha bank.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 20


Menurut Setiawan Budi Utomo, standar AAOIFI sangat ideal bagi perbankan Islam saat
ini namun harus dijalankan demi perbaikkan kinerja pengwasan audit DPS dan bank
Islam yang dapat berkiprah secara internasional. Karna itu sudah sepatuhnya DPS diberi
wewenang audit internal aspek syariah dan DSN diberi wewenang audit eksternal aspek
syariah. Apabila SDM belum memenuhi standar ini maka bank dapat menggunakan
audit syariah eksternal atau kantor akuntan publik yang komit dan paham terhadap
prinsip syariah.

Posisi DPS adalah sejajar dengan dewan komisaris, karena harus mendapat persetujuan
RUPS dan mewakili kepentingan RUPS dari segi pengawasan kesyariahan. Jadi kedua
sama-sama bertanggungjawab kepada RUPS. Selian itu perlu dipertimnbangkan
honorarium para anggota DPS bila dianggap sejajar dengan anggota dewan komisaris,
berarti imbalan yang diberikan seharusnya juga sama.

DSN tidak dapat membubarkan DPS tapi hanya mengajukan kepada RUPS untuk
membubarkan DPS karena tidak melakukan tugasnya dengan baik. Apabila ada
penyimpangan di DPS, BI-dalam hal ini direktur keptuhan-melaporkan kepada DSN
dan kemudian DSN akan merekomendasikan kepada RUPS agar memberhentikan DPS.
Berarti, direktur keptuhan juga harus menguasai prinsip-prinsip syariah dlam
perbankan. BI dengan mekanisme pemeriksaannya secara periodik pasti dapat
menemukan adanya penyimpangan syariah. Selain itu RUPS juga bisa memutusklan
tanpa melalui sidang, yang penting ada tanda tangan dari pemegang saham utama,
terutama terhadap bank-bank pemerintah.

Bagi bank Islam maupun BPRS yang berada di pelosok daerah dan DSN kurang
mempunyai informasi calon anggota DPS, maka DSN harus meminta rekomendasi dari
MUI setempat dan bisa menerima masukan dari Majelis Ulama Provinsi, Majelis Ulama
Kabupaten/Kota, bank Islam atau BPR syariah yang bersangkutan. Ada baiknya
mengambil ulama setempat sebagai anggota DSN, karena ulama tersebut. Selain itu,
keberadaan bank Islam di wilayah tersebut di mata masyarakat. Adapun mekanisme
pemilihannya tetap mengikuti peraturan yang berlaku.

H. Kebanksentralan (Bank Indonesia)


1. Sejarah Bank Indonesia

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 21


Sejarah Bank Indonesia diawali pada 1828 De Javasche Bank yang didirikan oleh
Pemerintah Hindia Belanda sebagai Bank sirkulasi yang bertugas mencetak dan
mengedarkan uang. Kemudian pada tahun 1953 Bank Indonesia mengalami perubahan
nama dari De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia yang memiliki tiga tugas penting
di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran juga melanjutkan tugas bank
secara komersil dari De Javasche Bank terdahulu.

Kemudian pada tahun 1968 Bank Indonesia mengalami perubahan legi dengan
mengeluarkan Undang-undang Bank Sentral yang berfungsi mengatur semua bank di
Indonesia, melayani semua masyarakat dan memperlancar produksi.

Pada tahun 2004, Undang-undang Bank Indonesia (UU-BI) diamandemen kembali


dengan fokus pada aspek penting yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan wewenang
Bank Indonesia, termasuk penguat pemerintah.

Pada tahun 2008 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-


undang No. 2 tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang nomor. 23
tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas sistem
keuangan. Amandemen dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan perbankan
nasional dalam menghadapi krisis global.

2. Pengertian Bank Sentral dan Bank Indonesia

Bank Sentral adalah suatu institusi yang bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas
harga atau nilai suatu mata uang yang berlaku di negara tersebut, yang dalam hal ini
dikenal dengan istilah inflasi atau naiknya harga-harga yang dalam arti lain turunnya
suatu nilai uang.

Berdasarkan Pasal 4 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,


dinyatakan bahwa Bank Indonesia adalah bank sentral Republik Indonesia. Bank
Indonesia merupakan lembaga negara yang independen, bebas dari campur tangan
Pemerintah dan/atau pihak-pihak lainnya, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
dalam undang-undang ini yang berkedudukan di Ibukota Negara.

3. Tujuan dan Tugas

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 22


Dalam Undang-undang Bank Indonesia diatur bahwa tujuan Bank Indonesia adalah
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, artinya Bank Indonesia harus
menjaga agar nilai mata uang atas barang dan jasa tetap stabil. Adapun maksud dari
kestabilan rupiah yang diinginkan oleh Bank Indonesia adalah:

a. Kestabilan nilai rupiah terhadap barang dan jasa yag dapat diukur dengan
atau tercermin dari perkembangan laju inflasi.
b. Kestabilan nilai rupiah terhadap mata uang negara lain. Hal ini dapat diukur
dengan perkembangan nulai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.

Dalam rangka mencapai tujuan Bank Indonesia di atas, maka Bank Indonesia didukung
oleh tiga pilar yang merupakan 3 bidang utama tugas Bank Indonesia yaitu:11

a. menetapkan dan melaksanakan kebiijakan moneter;

b. mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran; dan

c. mengatur dan mengawasi Bank.

Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, maka berdasarkan Pasal 10 Undang-undang Bank
Indonesia, Bank Indonesia berwenang:

a. menetapkan sasaran-sasaran moneter dengan memperhatikan sasaran laju


inflasi yang ditetapkannya;
b. melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara-cara yang
termasuk tetapi tidak terbatas pada :
1) operasi pasar terbuka di pasar uang baik rupiah maupun valuta asing;
1) penetapan tingkat diskonto;
2) penetapan cadangan wajib minimum;
3) pengaturan kredit atau pembiayaan.

Dalam mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia diberikan
wewenang untuk memberikan perizinan dan persetujuan atas penyelenggaraan jasa
sistem pembayaran, mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk

11
Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 23


menyampaikan laporan kegiatannya, serta menetapkan penggunaan alat pembayaran.
Kewajiban menyampaikan laporan berlaku bagi setiap penyelenggara jasa sistem
pembayaran, agar Bank Indonesia dapat memantau penyelenggaraan sistem
pembayaran.12

Dalam mengatur dan mengawasi Bank, Bank Indonesia menetepkan peraturan,


memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan atau kegiatan usaha tertentu dari
Bank, melaksanakan pengawasan atas Bank, dan memberikan sanksi terhadap bank
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.13

Dalam melaksanakan tugas tersebut di atas, Bank Indonesia memiliki wewenang


menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan dengan menjunjung tinggi prinsip kehati-
hatian. Berkaitan dengan kewenangan di bidang perizinan, selain memberikan dan
mencabut izin usaha bank, Bank Indonesia juga dapat memberikan izin pembukaan,
penutupan, dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas kepemilikan dan
kepengurusan bank, serta memberikan izin kepada bank untuk menjalankan kegiatan-
kegitan usaha tertentu. Pengawasan oleh Bank dilakukan secara langsung, maupun tidak
langsung. Adapun pengawasan yang dilakukan secara langsung berupa pemeriksaaan
yang dilakukan secara berkala maupun sewaktu-waktu bila diperlukan. Sedangkan
pengawasan yang dilakukan secara tidak langsung dilakukan melalui penelitian,
analisis, dan evaluasi terhadap laporan yang disampaikan oleh bank.

4. Hubungan Bank Indonesia dengan Pemerintah

Hubungan Bank Indonesia dengan Pemerintah sebagaimana yang diatur dalam Undang-
undang Bank Indonesia No. 23 Tahun 1999 adalah sebagai berikut:

a. Bertindak sebagai pemegang kas pemerintah dengan memberikan bunga atas


saldo kas pemerintah sesuai peraturan perundangan.
b. Bank Indonesia untuk dan atas nama pemerintah dapat menerima pinjaman
luar negeri, menatausahakan, serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban
keuangan pemerintah terhadap pihak luar negeri.

12
Bab V Tugas Mengatur dan Menjaga Kelancaran Sistem Pembayaran Undang-undang Nomor
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
13
Bab VI Tugas Mengatur dan Mengawasi Bank Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 24


c. Pemerintah wajib meminta pendapat Bank Indonesia atau mengundang Bank
Indonesia dalam sidang kabinet yang membahas tentang masalah ekonomi,
perbankan dan keuangan yang berkaitan dengan tugas Bank Indonesia atau
masalah lain yang menjadi kewenangannya.
d. Bank Indonesia wajib memberikan pendapat dan pertimbangan kepada
pemerintah mengenai rancanagan anggaran pendapatan dan belanja Negara
serta kebijakan lain yang berkaitan dengan tugas dan wewenang Bank
Indonesia.
e. Dalam hal pemerintah akan menerbitkan surat-surat utang negara,
pemerintah wajib terlebih dahulu berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat kemudian dengan Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat membantu
penerbitan surat-surat utang negara tersebut.
f. Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada pemerintah. Jika Bank
Indonesia melanggar ketentuan tersebut, maka perjanjian pemberian kredit
kepada pemerintah tersebut batal demi hukum.
a. Bank Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan bank sentral lainnya,
organisasi, dan lembaga internasional. Apabila anggota internasional atau
lembaga multilateral adalah Negara maka Bank Indonesia dapat bertindak
untuk dan atas nama Negara Republik Indonesia sebagai anggota.
Bank Indonesia menjalin hubungan kerjasama dengan lembaga internasional
diperlukan dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaaan tugas Bank
Indonesia maupun Pemerintah yang berhubungan dengan ekonomi, moneter,
maupun perbankan. Bank Indonesia menjalin kerjasama internasional dalam
bidang-bidang sebagai berikut:
1) Investasi bersama untuk kestabilan pasar valuta asing.
2) Penyelesaian transaksi lintas negara.
3) Hubungan koresponden.
4) Tukar menukar informasi mengenai hal-hal yang terkait dengan tugas-
tugas selaku bank sentral.
5) Pelatihan/penelitian di bidang moneter dan sistem pembayaran.

Hubungan utama antara pemerintah dan Bank Indonesia adalah Bank Indonesia
berperan atau bertindak sebagai kas pemerintah. Di samping itu, Bank Indonesia untuk

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 25


dan atas nama pemerintah dapat menerima pinjaman dari luar negeri, menatausahakan,
serta menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan Pemerintah terhadap pihak luar
negeri.

Bank Indonesia dipimpin oleh seorang Dewan Gubernur, seorang Deputi Gubernur
Senior dan sekurang-kurangnya 4 orang atau sebanyak-banyaknya 7 orang Deputi
Gubernur. Gubernur dan Deputi Gubernur Senior diusulkan dan diangkat oleh Presiden
dengan persetujuan DPR. Deputi Gubernur diusulkan oleh Gubernur dan diangkat oleh
Presiden dengan persetujuan DPR. Rapat Dewan Gubernur merupakan forum
pengambilan keputusan tertinggi.14

5. Hubungan Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam Bidang Keuangan

Dalam hal hubungan keuangan dengan Pemerintah, Bank Indonesia membantu


menerbitkan dan menetapkan surat-surat utang negara guna membiayai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tanpa diperbolehkan membeli sendiri surat-
surat utang negara tersebut. Bank Indonesia juga bertindak sebagai kasir Pemerintah
yang menatausahakan rekening Pemerintah di Bank Indonesia, dan atas permintaan
Pemerintah, Bank Indonesia dapat menerima pinjaman dari luar negeri untuk dan atas
nama Pemerintah Indonesia. Namun demikian, agar pelaksanaan tugas Bank Indonesia
benar-benat terfokus serta agar efektivitas pengendalian moneter tidak terganggu,
pemeberian kredit kepada Pemerintah guna mengatasi defisit spending-yang selama ini
dilakukan oleh Bank Indonesia berdasarkan Undang-undang yang lama, saat ini tidak
dapat dilakukan lagi oleh Bank Indonesia.

6. Akuntabilitas dan Anggaran

Menurut Undang-undang Bank Indonesia Pasal 58, akuntabilitas dan anggaran Bank
Indonesia adalah sebagai berikut:

a. Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara


terbuka melalui media massa pada setiap awal tahun yang memuat:

14
http://www.bi.go.id/id/tentang-bi/dewan-gubernur/Contents/Default.aspx diakses pada hari
Jumat, tanggal 21 April 2017

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 26


1) Evaluasi terhadap pelaksanann kebijakan moneter pada tahun
sebelumnya.
2) Rencana kebijakan moneter dan pemetaan sasaran-sasaran moneter untuk
tahun yang akan datang dengan mempertimbangkan sasaran laju inflasi
serta perkembangan ekonomi dan keuangan.
b. Informasi kepada media massa disampaikan juga tertulis kepada Presiden
dan Dewan Perwakilan Rakyat.
c. Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan
tugas dan wewenangnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat setiap 3 bulan.
d. Bank Indonesia wajib menyampaikan penjelasan mengenai pelaksanaan
tugas dan wewenangnya apabila diminta oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

I. Otoritas Jasa Keuangan

Seperti halnya Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga merupakan lembaga
independen dan bebas dari campur tangan pihak lain. OJK mempunyai fungsi, tugas,
dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan di sektor jasa
keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2011 tentang OJK.

Bank Indonesia yang sebelumnya diatur dalam Pasal 8 Undang-undang Bank Indonesia
berfungsi untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta mengatur
dan mengawasi Bank, kini Bank Indonesia hanya memiliki fungsi menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter. Fungsi mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran, serta mengatur dan mengawasi Bank kini beralih ke Otoritas Jasa
Keuangan.

OJK berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi


terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, antara lain sektor
Perbankan, Pasar Modal, dan Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan
Lembaga Jasa Keuangan lainnya.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 27


Dalam hal melaksanakan tugas pengaturan, OJK berwenang menerapkan peraturan
perundang-undangan di sektor jasa keuangan. Sementara untuk melakukan pengawasan,
OJK berwenang melakukan pemeriksaan, penyidikan, perlindungan Konsumen, dan
tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan
jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor
jasa keuangan.15 Wewenang OJK yang lain meliputi pengaturan dan pengawasan
terhadap kelembagaan bank, kesehatan bank, aspek kehati-hatian bank, serta melakukan
pemeriksaan bank.

Meski terdapat pembagian tugas dan fungsi antara Bank Indonesia dan OJK tersebut,
namun kedua Lembaga Negara ini dituntut untuk selalu melakukan kordinasi dan
kerjasama. Guna memperlancar dan mengoptimalkan kerjasama dan koordinasi dalam
rangka pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenang Bank Indonesia dan OJK tersebut,
maka telah dibentuk beberapa hal sebagai acuan koordinasi yaitu Keputusan Bersama
BI dan OJK, Forum Koordinasi Makroprudensial dan Mikroprudensial (FKMM),
Petunjuk Pelaksanaan Bersama Mekanisme Kerjasama dan Koordinasi BI dan OJK
(Juklak Mekor), dan Forum Koordinasi Pertukaran Informasi dan Sistem Pelaporan
(FKPISP).

1. Keputusan Bersama BI dan OJK Koordinasi BI-OJK secara khusus telah


tertuang dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan Pasal
39, yaitu terkait koordinasi antara BI dan OJK dalam membuat peraturan
pengawasan perbankan. Sebagai pelaksanaan UU tersebut, telah disepakati
Kerjasama dan Koordinasi Dalam Rangka Pelaksanaan Tugas BI dan OJK
dalam bentuk Keputusan Bersama BI dan OJK Nomor 15/1/KEP. GBI/2013 dan
Nomor PRJ-11/D.01/2013 tanggal 18 Oktober 2013. Dalam Keputusan Bersama
tersebut, pelaksanaan koordinasi didasarkan pada beberapa prinsip dasar, yaitu:
a. Bersifat kolaboratif;
b. Meningkatkan efisiensi dan efektifitas;
c. Menghindari duplikasi;
d. Melengkapi pengaturan sektor keuangan; dan
e. Memastikan kelancaran pelaksanaan tugas BI dan OJK;
15
BAB III Tujuan, Fungsi, Tugas, dan Wewenang Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 28


Adapun ruang lingkup Mekanisme Kerjasama dan Koordinasi BI dan OJK,
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Keputusan Bersama BI dan OJK
tanggal 18 Oktober 2013 meliputi 4 (empat) aspek, yaitu:
a. Kerjasama dan koordinasi dalam pelaksanaan tugas sesuai kewenangan
masing-masing;
b. Pertukaran informasi LJK serta pengelolaan sistem pelaporan bank dan
perusahaan pembiayaan oleh BI dan OJK;
c. Penggunaan kekayaan dan dokumen yang dimiliki atau digunakan BI dan
OJK; dan
d. Pengelolaan pejabat dan pegawai BI yang dialihkan atau dipekerjakan pada
OJK.
2. Forum Koordinasi Makroprudensial dan Mikroprudensial FKMM adalah forum
yang dibentuk untuk memperlancar dan mengoptimalkan kerjasama dan
koordinasi dalam rangka melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang BI dan
OJK. Forum ini membahas isu-isu koordinasi BI dan OJK yang bersifat prinsipil
dan strategis yang memerlukan kesepakatan dan tindak lanjut bersama dari
kedua lembaga atau oleh salah satu lembaga sesuai kewenangan masing-masing.
Kebijakan prinsipil dan strategis (strategic policy) adalah kebijakan lembaga,
baik dalam bentuk pernyataan kebijakan (policy statement) maupun dalam
bentuk pengaturan atau penetapan, yang menyangkut pelaksanaan tugas lembaga
dan mempunyai dampak luas baik ke dalam maupun ke luar lembaga.
3. Penyusunan Petunjuk Pelaksanaan Bersama Mekanisme Kerjasama dan
Koordinasi BI dan OJK Juklak Mekor mencakup 8 (delapan) area yaitu:
a. Koordinasi dan Kerjasama serta Pertukaran Informasi Hasil Pengawasan
LJK dan Macro-Surveillance;
b. Koordinasi dan Kerjasama Pelaksanaan Pemeriksaan Bank;
c. Koordinasi dan Kerjasama dibidang Sistem Pembayaran;
d. Koordinasi dan Kerjasama serta Pertukaran Informasi Dalam Rangka
Penyusunan Kajian dan/atau Penelitian Bersama;
e. Koordinasi dan Kerjasama serta Pertukaran Informasi Dalam Rangka Stance
Indonesia atas isu-isu Fora Internasional;

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 29


f. Koordinasi dan Kerjasama serta Pertukaran Informasi Dalam Rangka
Sosialisasi dan Edukasi Kepada Masyarakat,
g. Koordinasi Dalam Pengelolaan Rekening OJK di BI; dan
h. Koordinasi Kantor Perwakilan Dalam Negeri BI dengan Kantor
Regional/Kantor OJK.
4. Forum Koordinasi Pertukaran Informasi dan Sistem Pelaporan, dilakukan dalam
rangka mendukung peralihan fungsi pengawasan perbankan dari BI ke OJK.
Kedua lembaga ini membentuk FKPISP sebagai sarana harmonisasi, kolaborasi
dan komunikasi dalam melaksanakan pertukaran informasi serta pengelolaan
sistem pelaporan bank dan perusahaan pembiayaan.

Adapun struktur OJK ialah sebagai berikut:

Gambar 1. Struktur Organisasi OJK

J. Arsitektur Perbankan Indonesia

Berpijak dari adanya kebutuhan blue print perbankan nasional dan sebagai kelanjutan
dari program restrukturisasi perbankan yang sudah berjalan sejak tahun 1998, maka
Bank Indonesia pada tanggal 9 Januari 2004 telah meluncurkan Arsitektur Perbankan
Indonesia (API) sebagai suatu kerangka menyeluruh arah kebijakan pengembangan

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 30


industri perbankan Indonesia ke depan. Peluncuran API tersebut tidak terlepas dari
upaya Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membangun kembali perekonomian
Indonesia. API diharapkan memiliki program kegiatan yang lebih lengkap dan
komprehensif yang mencakup sistem perbankan secara menyeluruh terkait Bank umum
dan BPR, baik konvensional maupun syariah, serta pengembangan UMKM.16 Berikut

ialah bagan arah kebijakan API:17

Kemudian, di bawah ini merupakan tahapan Program Penguatan Struktur Perbankan


Nasional atau API khusus untuk Pilar I:18

Periode
No Kegiatan (Pilar I)
Pelaksanaan

1 Memperkuat permodalan Bank

a. Meningkatkan persyaratan modal inti minimum bagi bank


2007
umum konvensional maupun syariah (termasuk BPD)

16
http://www.bi.go.id/id/perbankan/arsitektur/Contents/Default.aspx Diakses pada hari Selasa
tanggal 11 April 2017.
17
Ibid.
18
http://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/arsitektur-perbankan-indonesia/Pages/Struktur-
Perbankan.aspx diakses pada hari Selasa tanggal 11 April 2017.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 31


menjadi Rp 80 miliar

b. Meningkatkan persyaratan modal inti minimum bagi bank


umum konvensional maupun syariah (termasuk BPD) 2010
menjadi Rp100 miliar

c. Mempertahankan persyaratan modal disetor minimum Rp


3 triliun untuk pendirian bank umum konvensional sampai 2004 - 2010
dengan 1 Januari 2011

d. Menetapkan persyaratan modal disetor minimum Rp 1


2005
triliun untuk pendirian bank umum syariah

e. Menetapkan persyaratan modal sebesar Rp 500 miliar bagi


bank umum syariah yang berasal dari spin off Unit Usaha 2006
Syariah.

f. Mempercepat batas waktu pemenuhan persyaratan


minimum modal disetor BPR yang semula tahun 2010 2008
menjadi tahun 2008

2 Memperkuat daya saing dan kelembagaan BPR dan BPRS.

a. Meningkatkan linkage program antara bank umum dengan


2007
BPR

b. Implementasi program aliansi strategis lembaga keuangan


syariah dengan BPRS melalui kemitraan strategis dalam 2007
rangka pengembangan UMKM

c. Mendorong pendirian BPR dan BPRS di luar Pulau Jawa


2006 - 2007
dan Bali

d. Mempermudah pembukaan kantor cabang BPR dan BPRS


2004 - 2006
bagi yang telah memenuhi persyaratan

e. Memfasilitasi pembentukan fasilitas jasa bersama untuk


2006 - 2007
BPR dan BPRS.

3 Meningkatkan akses kredit dan pembiayaan UMKM

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 32


a. Memfasilitasi pembentukan dan monitoring skim
2004 - 2007
penjaminan kredit dan pembiayaan

b. Mendorong perbankan untuk meningkatkan pembiayaan


kepada UMKM khususnya bagi masyarakat yang 2004 - 2009
berpenghasilan rendah dan di daerah perdesaan

c. Meningkatkan akses pembiayaan syariah bagi UMKM


dengan pengembangan skema jaminan bagi pembiayaan 2010
syariah

d. Mendorong bank-bank syariah untuk meningkatkan porsi


2010
pembiayaan berbasis bagi hasil

Informasi mengenai API antara lain dapat diakses selengkapnya di buku Hukum
Perbankan Nasional Indonesia yang dibuat oleh Hermansyah (2011) dan di website
Otoritas Jasa Keuangan.

BAB III

PENUTUP

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 33


Simpulan

Perbankan, baik bank umum, bank umum syariah, bank perkreditan rakyat, maupun
bank pembiayaan rakyat syariah, diatur dalam dasar hukum di bawah ini:

1. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang


Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
2. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
4. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.
5. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank Indonesia.
7. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana.
8. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem
Nilai Tukar.
9. Peraturan Bank Indonesia.
10. Surat Edaran Bank Indonesia.
11. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
12. Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan.
13. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
14. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.
16. Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), terutama
ketentuan Buku II dan Buku III mengenai Hukum Jaminan dan Perjanjian.
17. Wetboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Hukum Dagang), terutama
ketentuan Buku I mengenai surat-surat berharga.
18. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah.
19. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 34


20. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah.
21. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan peraturan perundang-
undangan lain yang berhubungan dengan perbankan dan kegiatan usahanya.

Aturan mengenai hal-hal yang sifatnya umum, seperti definisi perbankan, bentuk badan
hukum perbankan, kegiatan perbankan, asas-asas perbankan, dan aturan yang sifatnya
umum diatur dalam Undang-undang Perbankan dan Undang-undang Perbankan Syariah.
Sementara aturan yang sifatnya teknis, seperti aturan teknis pendirian bank, diatur
dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33 KEP/DIR tentang Bank
Umum, dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/35/KEP/DIR tentang
Bank Perkreditan Rakyat, aturan tentang bank perkreditan rakyat dalam Surat Edaran
Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 16/SEOJK.03/2015 tentang Bank Perkreditan
Rakyat dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 20/POJK.03/2014 tentang
Bank Perkreditan Rakyat, aturan mengenai teknis pengangkatan Dewan Pengawas
Syariah di perbankan syariah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah, dan lain sebagainya.

Fungsi pengawasan dan pengaturan perbankan yang dulunya dijalankan oleh Bank
Indonesia, kini berpindah ke Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Undang-undang
Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia sekarang ini hanya bertugas mengontrol dan
menjaga stabilitas moneter Indonesia. Meski demikian, kedua Lembaga Negara tersebut
tetap menjalankan koordinasi dan kerjasama.

Daftar Pustaka

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 35


Hermansyah. 2011. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Cetakan ke-6. Jakarta:
Kencana.

Wirdianingsih, et al. 2005. Bank dan Asuransi Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Republik


Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor


7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Dr. Abdul Hakim Siagian, S.H., M.H., Hukum Perbankan, https://abdul-hakim-


siagian.com/tag/hukum-perbankan/ diakses pada hari Jumat tanggal 21 April
2017.

Otoritas Jasa Keuangan, Booklet Perbankan Indonesia 2016,


http://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/data-dan-statistik/booklet-perbankan
indonesia/Pages/Booklet-Perbankan-Indonesia-2016.aspx diakses pada hari
Jumat, tanggal 21 April 2017.

Prastyo, Brian A, “Peran Dewan Pengawas Syariah Dalam Bank Syariah”, Buletin
Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, Volume 3, Nomor 1, April 2005.

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/33 KEP/DIR tentang Bank Umum.

Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/35/KEP/DIR tentang Bank


Perkreditan Rakyat.

Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 16/SEOJK.03/2015 tentang


Bank Perkreditan Rakyat.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 20/POJK.03/2014 tentang Bank


Perkreditan Rakyat.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 36


Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

http://www.bi.go.id/id/tentang-bi/dewan-gubernur/Contents/Default.aspx diakses pada


hari Jumat, tanggal 21 April 2017

http://www.bi.go.id/id/perbankan/arsitektur/Contents/Default.aspx Diakses pada hari


Selasa tanggal 11 April 2017.

http://www.ojk.go.id/id/kanal/perbankan/arsitektur-perbankan indonesia/Pages/Struktur-
Perbankan.aspx diakses pada hari Selasa tanggal 11 April 2017.

Hukum Perusahaan: Hukum Perbankan dan Kebanksentralan | 37

Anda mungkin juga menyukai