A. BANK
Beberapa pengertian tentang bank yang perlu dikemukakan antara lain adalah:
a) Menurut “Dictionary of Banking and Financial Services (Jerry Rosenberg)”, Bank adalah :
suatu lembaga yang mempunyai fungsi pokok antara lain (a) menerima simpanan giro,
deposito dan membayar atas dasar dokumen yang ditarik pada orang/lembaga tertentu dan
(b) mendiskonto surat berharga, memberi pinjaman dan menanamkan dana dalam bentuk
surat berharga.
b) Menurut G.M Verryn Stuart, Bank adalah : suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan
kebutuhan kredit baik dengan alat – alat pembayarannya sendiri atau uang yang diperolehnya
dari orang lain, maupun dengan jalan memperedarkan alat – alat penukar baru berupa uang
giral.
c) Menurut O.P. Simorangkir, Bank merupakan salah satu badan usaha lembaga keuangan
yang bertujuan memberikan kredit dan jasa – jasa. Adapun pemberian kredit itu dilakukan
baik dengan modal sendiri atau dengan dana- dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga
maupun dengan jalan memperedarkan alat- alat pembayaran berupa uang giral.
d) Menurut ketentuan Pasal 1 angka (2) UU No. 10 Tahun 1998, Bank adalah : badan usaha
yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya
kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk – bentuk lainnya dalam rangka
Berpijak pada pengertian – pengertian tersebut di atas,hukum perbankan pada dasarnya merupakan
serangkaian kaidah – kaidah (hukum) yang mengatur tentang badan usaha dan kegiatan usaha perbankan.
Adapun kaidah yang dimaksud dalam konteks ini adalah baik yang terdapat dalam hukum positif atau
peraturan perundang – undangan, maupun yang terdapat dalam praktik peerbankan. Demikian pula
dengan suatu badan usaha yang bernama Bank, pada dasarnya merupakan suatu subjek hukum yang di
dalamnya melekat hak – hak dan kewajiban pihak – pihak yang terkait dengan bank tersebut.
Kaidah – kaidah hukum perbankan tersebut sangat diperlukan dalam upaya untuk menciptakan
dunia perbankan yang sehat, dan meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat yang sejak pertengahan
Tahun 1997 lalu semakin menurun berkaitan dengan banyaknya bank – bank bermasalah di Indonesia dan
mengakibatkan adanya tindakan likuidasi, kemudian dibekukannya kegiatan usaha/operasional dari bank
Suatu kenyataan di berbagai negara bahwa lembaga perbankan merupakan suatu kegiatan usaha
yang paling banyak diatur oleh pemerintah, dibandingkan dengan cabang – cabang kegiatan usaha
lainnya., karena kegiatan usaha perbankan lebih banyak tergantung kepada masyarakat yang memerlukan
kepastian keamana dana yang dipeercayakan masyarakat kepada bank. Di samping itu, penyaluran dana
perbankan, antara lain, dalam bentuk pemberian kredit dan pembelian surat – surat berharga, merupakan
suatu kegiatan usaha yang berisiko tinggi. Oleh karena ituapabila kegiatan usaha tersebut tidak dikelola
secara baik dan benar, maka dapat menganggu kelangsungan usaha bank itu sendiri, yang pada akhirnya
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum perbankan adalah
serangkaian ketentuan hukum positif yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,
mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses pelaksanaan kegiatan usahanya. Dengan
1. Serangkaian ketentuan hukum positif (perbankan). Adanya ketentuan hukum perbankan dengan
Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Bank Indonesia, dan Surat Edaran Bank
Indonesia serta peraturan pelaksana lainnya. Semua Peraturan Perundang – undangan dibidang
perbankan tersebut terangkai sebagai suatu sistem dengan diikat oleh asas hukum tertentu
2. Hukum positif (perbankan) tersebut bersumberkan pada ketentuan yang tertulis dan tidak tertulis.
4. Ketentuan hukum perbankan tersebut juga mengatur aspek – aspek kegiatan usaha lembaga
perbankan.
Sifat hukum Perbankan Indonesia merupakan hukum yang memaksa, artinya bank dalm
menjalankan usahanya harus tunduk dan dan patuh terhadap rambu – rambu yang telah ditetapkan dalam
Undang – Undang. Apabila rambu – rambu perbankan tersebut dilanggar, maka Bank Indonesia
berwenang menindak bank yang bersangkutan dengan menjatuhkan sanksi administrative, seperti
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang – Undang Perbankan bahwa : Perbankan Indonesia dalam
melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati – hatian.
Maksud demokrasi ekonomi sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 Undang – Undang
Perbankan, adalah demokrasi yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945.
Fungsi utama perbankan Indonesia menurut Pasal 3 Undang – Undang Perbankan adalah : sebagai
penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Hal tersebut berarti lembaga perbankan dituntut peran yang
lebih aktif dalam menggali dana dari masyarakat dalam rangka pembangunan nasional.
Tujuan perbankan Indonesia sebaagaimana diatur dalam pasal 4 Undang – Undang Perbankan
pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kea rah peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan
memperhatikan pada prinsip kehati-hatian, diharapkan lembaga perbankan I ndonesia dalam melakukan
usahanya dapat melindungi kepentingan masyarakat penyimpan dana khususnya, serta menunjang
kegiatan ekonomi pada umumnya, terutama dalam lingkup dunia usaha dapat menunjang perkembangan
sektor riil yang lebih baik dan dapat berperan dalam mengembangkan prekonomian nasional. Lembaga
perbankan dituntut mampu menciptakan stabilitas nasional dalam arti yang seluas – luasnya.
Peranan penting dan strategis dari lembaga perbankan merupakan bukti bahwa lembaga perbankan
adalah salah satu pilar utama bagi pembangunan ekonomi dalam menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional. Untuk itu dalam peranannya yangdemikian, jelas bahwa lembaga perbankan nasional dituntut
dan mempunyai kewajiban untuk mewujudkan tujuan perbankan nasional sebagaimana yang telah diatur
Pengaturan perbankan di Indonesia juga memiliki beberapa fungsi utama. Adapun fungsi
a. Fungsi untuk tujuan moneter, ditujukan untuk mendorong stabilitas moneter di Indonesia.
Oleh karena masih dominannya perbankan di Indonesia sebagai salah satu sumber
pembiayaan investasi.
b. Fungsi untuk tujuan pengawasan terhadap kegiatan usaha perbankan. Pengaturan ini
ditujukan dalam rangka menjaga keamanan dan kesehatan bank maupun kesehatan sistem
praktik perbankan yang sehat serta menjaga persaingan yang sehat di antra pelaku
perbankan.
No. 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia No. 12
2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
tentang Perbankan;
4. KUH Perdata;
5. KUH Dagang;
6. Peraturan Pemerintah;
Sejak Indonesia merdeka kita telah menyusun tiga undang-undang yang mengatur tentang
Perbankan, yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, Undang-Undang
No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain peraturan dalam bentuk undang-undang,
juga telah dikeluarkan berbagai Paket Kebijaksanaan. Pengaturan perbankan di Indonesia memiliki
Pertama, untuk tujuan moneter. Pengaturan perbankan diarahkan untuk tujuan moneter dan
ditujukan untuk mendorong stabilitas moneter di Indonesia. Hal ini mengingat masih dominannya
1
Neni Sri Imaniyati, Panji Alam Agus Putra, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2016. Hlm 21
2
Ibid, hlm 23
Kedua, untuk tujuan pengawasan terhadap industri perbankan. Pengaturan perbankan untuk
tujuan pengawasan adalah dalam rangka menjaga keamanan dan kesehatan bank ataupun kesehatan
sistem keuangan secara keseluruhan, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas pasar uang, serta
Ketiga, untuk tujuan pembangunan. Pengaturan perbankan untuk tujuan pencapaian program
pembangunan diarahkan agar perbankan nasional dapat mengatasi masalah-masalah ekonomi pada masa
pembangunan.
Sejak Indonesia merdeka, kita telah menyusun 3 undang-undang yang mengatur tentang
Pernbankan, yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, Undang-
Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain peraturan dalam bentuk
tersebut membawa pengaruh terhadap perkembangan perbankan di Indonesia. Selanjutnya akan diuraikan
undangan perbankan.
Pengaturan tentang perbankan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Untuk
menertibkan praktik lembaga melepas uang yang banyak terjadi waktu itu dikeluarkanlah pengaturan,
baik dalam bentuk undang-uandang (wet) maupun berupa surat-surat keputusan resmi dari pihak
pemerintah. Di antara lembaga keua ngan yang telah berdiri sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De
Javashe Bank N. V, tanggal 10 Oktober 1827 yang kemudian dikeluarkan undang-undang De Javashe
Bank Wet 1992. Bank inilah yang kemudian menjadi Bank Indonesia, setelah melalui proses nasionalisasi
pada tahun 1951, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal
6 Desember 1951.
Regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya
Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Undang-undang ini mengatur
Pada awal tahun 1980-an, sistem tingkat bunga oleh pemerintah mengalami kesulitan. Bank-bank
yang telah didirikan sangat bergantung pada likuiditas Bank Indonesia. Demikian juga karena pemerintah
menentukan tingkat bunga, maka tidak ada persaingan antar bank. Hal ini menyebabkan tabungan
menjadi tidak menarik dan alokasi dana tidak efisien. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan
deregulasi dibidang perbankan tanggl 1 Juni tahun 1983 yang membuka belenggu penetapan tingkat
bunga tersebut.
Pada tahun 1988, Pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang binis perbankan seluas-
luasnya guna memobilisasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan. Oleh karena itu,
dikeluarkanlah Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober (PAKTO) pada tanggal 27 Oktober tahun
1988, yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank yang telah
ada.
Syariah (BPRS), Berkah Amal Sejahtera, dan BPRS Dana Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991
kemudian, disusul oleh BPRS Amanah Rabaniah pada tanggal 24 Oktober di tahun yang sama. Ketiga
BPRS tersebut beroperasi di Bandung, kemudian berdirilah BPRS Hareukat pada tanggal 10 November
1991 di Aceh.
d. Periode Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
Dalam rangka penyempurnaan tata perbankan nasional, melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
1. Penyederhanaan jenis bank, menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), serta
2. Persyaratan pokok untuk mendirikan suatu bankn diataur secara rinci sehingga ketentuan
pelaksanaan yang berkaiatan dengan kehiatan perbankan yang lebih jelas dan lebih terarah;
3. Peningkatan perlundungan dana masyarakat yang dipercayakan pada lembaga perbankan melalui
5. Perluasan kesempatan untuk menyelenggarakan kegiatan bidang perbankan secara sehat dan
masyarakat luas.
Perbankan, memperkenalkan Sistem Perbankan Bagi Hasil. Dalam undang-uandang tersebut, pada Pasal
6 (m) dan Pasal 13 ayat (c) dinyatakan bahwa salah satu usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun1992 tentang Bank berdasarkan
Prinsip Bagi Hasil dan diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam Lembaran Negara Republik
Pada intinya kedua pasal tersebut menerangkan bahwa baik Bank Umum maupun BPR dapat
menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang
ditetapkan dalam PP tersebut. Arah yang akan ditempuh harus jelas dalam undang-undang, bahwa mereka
1) Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan
prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip
bagi hasil.
2) Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan pri nsip
bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.
Ketentuan tentang bank bagi hasil dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 ini dijelaskan lebih
lanjut oleh PP No 72 Tahun 1992 mengenai hal-hal penting yang diatur, diantaranya adalah pertimbangan
didirikannya bank dengan prinsip bagi hasil ini merupakan pelayanan jasa perbankan yang dibutuhkan
masyarakat. Ketentuan terpenting yang berkaitan dengan sistem syariah ini adalah penegasan pada Pasal
2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa: “Prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariat”
Dalam menjalankan perannya, Bank Islam berlandaskan pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Surat Edaran
a. Bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat
b. Prinsip bagi hasil yang dimaksud adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariah;
c. Berdasarkan prinsip bagiu hasil, bank wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS); dan
d. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan
prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.
Sebaliknya, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha tidak dengan
prinsip bagi hsil (konvensional), tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan
Pada tanggal 10 November 1998, telah diundangkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun
1998 terdapat beberapa berubahan dan penyempurnaan yang bersifat substansial. Pokok-pokok
1. Peralihan kewenangan dan pemberian izin kepada Bank Indonesia yang sebelumnya menjadi
2. Perlunya konsultasi dengan Dewan Perwakitan Rakyat dalam rangka pembentukan badan khusus;
4. Peningkatan peranan bank umum dalam melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah;
5. Ketentuan mengenai kemungkinan kepemilikan bank asing sebagai mitra strstegis dan pemegang
9. Pencantuman persyarakan analisis mengenai dampak lingkungan dalam perjanjian kredit atau
Untuk perbankan syariah mulai tahun 2008, terdapat pengaturan khusus setelah diundangkannya
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Disusunnya Undang-Undang Perbankan
Syariah dilatarbelakangi oleh pemikiran, bahwa perbankan syariah sebagai salah satu sistem perbankan
nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum
bagi perekonomian nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai
3
Ibid, hlm 26
dan sesuai dengan karakteristiknya. Undang-undang perbankan yang telah ada dirasakan masih kurang
Untuk menjamin kepastian hukum bagi stakeholder, memberikan keyakinan kepada masyarakat
dalam menggunakan produk dan jasa bank syariah, menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip syariah,
prinsip-prinsip kesehatan bank syariah, terutama untuk memobilisasi dana dari negara lain yang
mensyaratkan pengaturan terhadap bank syariah dalam undang-undang tersendiri, sangat mendesak
Setelah melalui proses yang cukup panjang, tanggal 7 Mei 2008 DPR telah mengesahkan Undang-
Undang No. 21 Tahun 2008 tentan Perbankan Syariah. Undang-undang ini terdiri dari 13 Bab dan 70
3. Kelayakan usaha;
6. Kepatuhan syariah.
Perbankan. Hal ini dikarenakan UU Perbankan Syariah merupakan undang-undang yang khusus mengatur
perbankan syariah maupun perbankan konvensional. Salah satu asas perundang-undangan adalah lex
specialis derogat lex generalis,yaitu undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-
undang yang bersifat umum. Jika di dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ada pengaturan yang
berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan,maka undang-undang yang digunakan
Bentuk hukum suatu bank di Indonesia ditentukan oleh jenis bank. Menurut Undang-Undang No.
10 Tahun 1998, jenis bank terdiri atas dua, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank
syariah pun terdiri atas dua jenis bank tersebut, yaitu Bank Umum Syariah dan BPR Syariah (BPRS).
Ketentuan mengenai bentuk hukum bank umum diatur pada Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang
a. Perseroan Terbatas;
b. Koperasi; atau
c. Perusahaan Daerah.
Bentuk hukum BPR dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tidak terdapat perubahan sehingga
tetap mengacu pada Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992.
a. Perusahaan Daerah;
b. Koperasi;
Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar
negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (3)
Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992, bentuk hukum yang lainnya tidak diperkenankan
beroperasi dalam kegiatan perbankan. Konsekuensi bentuk hukum lainnya harus menyesuaikan dengan
ketentuan yang ada, misalnya bentuk hukum perusahaan negara seperti bank milik pemerintah harus
berubah menyesuaikan diri menjadi perusahaan perseroan. Bentuk hukum bank syariah menurut
Undangp-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah berupa Perseroan Terbaras (PT).
Perusahaan Daerah dapat mendirikan bank berbentuk Bank Umum ataupun Bank Perkreditan
Rakyat. Pada masa berlakunya Undang-Undang Perbankan Tahun 1967, banyak bank milik Pemerintah
Daerah (Pemda) hanya didirikan dengan Peraturan Daerah atas kuasa Undang-Undang No. 13 Tahun
1962, sebagai alat kelengkapan otonomi daerah, yaitu untuk mengembangkan perekonomian daerah,
sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan sebagai sumber kas Pemerintah Daerah. Setelah
Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 berlaku, maka bentuk hukum Bank Pembangunan Daerah
tersebut harus menyesuaikan diri dengan ketentuan bentuk hukum yang berlaku dalam Undang-Undang
Masa transisi guna penyesuaian bentuk hukum seperti yang dikehendaki oleh Undang-Undang
Perbankan No. 10 Tahun 1998, maka bentuk hukum yang sesuai dan tepat bagi Bank Pembagunan
Daerah adalah menjadi perusahaan daerah. Sesuai dengan tugas penyesuaian bentuk hukum tersebut maka
Ketentuan Pasal 2 Permendagri No. 8 Tahun 1992 menyebutkan, bahwa pelaksanaan penyesuaian
peraturan pendirian Bank Pembangunan Daerah serta perubahan bentuk hukum bank tersebut menjadi
perusahaan daerah harus ditetapkan melalui peraturan daerah dengan mengacu pada ketentuan Undang-
Undang No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dan Undang-Undang Perbankan No. 7 1992.
Rakyat. Koperasi merupakan badan usaha yang memiliki status sebagai badan hukum, sesuai dengan
Koperasi sebagai badan usaha mempunyai kekhususan, yaitu menjalankan kegiatan usahanya
berdasarkan prinsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasarkan atas kekeluargaan.
Dengan demikian, anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi. Usaha yang
dilakukan koperasi dikaitkan langsung dengan anggota untuk meningkatkan usaha dan berperan utama di
segala bidang kehidupan ekonomi, termasuk kegiatan perbankan. Dalam hal kegiatan perbankan yang
berbentuk hukum koperasi, kegiatan tersebut adalah usaha untuk mensejahterakan masyarakat.
Pengelolaan atas kegiatan usaha perbankan tersebut menjadi tanggung jawab pengurus yang
dipertanggungjawabkan pada rapat anggota luar biasa (Pasal 31 Undangp-Undang Perkoperasian Tahun
1992). Pengurus secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, mananggung kerugian diderita koperasi karena
Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,
Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian dan melakukan kegiatan
usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi ke dalam saham dan memenuhi persyaratan yang
ditetapkan dalam undang-undang ini seryta peraturan pelaksanaan lainnya. Kegiatan perseroan harus
Sesuai dengan Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, bentuk hukum Perseroan Terbatas
ini dapat menjalankan kegiatan bank, berupa Bank Umum ataupun Bank Perkreditan Rakyat.
Perseroan Terbatas yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat seperti PT yang berusaha
di bidang perbankan menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas wajib mempunyai paling sedikit dua
Kelengkapan organisasi (organ) Perseroan Terbatas merupakan kesatuan dan pengertian yang
1. Rapat Umum Pemegang Saham, yaitu organisasi perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi
dalam perseroan memegang segala wewenang yang tidak dapat diserahkan kepada direksi atau
komisaris.
2. Direksi, yaitu organisasi perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan
untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar
3. Komisaris, yaitu organisasi yang bertugas melakukan pengawasan secara umum, atau khusus
b. Pendirian Bank
Ketentuan mengenai pendirian bank dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 diatur
secara terpisah, dan berbeda antara pendirian jenis Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.
Mennyangkut ketentuan pendirian ini termasuk juga pembukaan kantor cabang pembantu dan kantor kas.
Bank Umum dapat didirikan dan menjalankan usaha dengan izin Bank Indonesia. Bank tersebut
dapat didirikan oleh warga negara Indonesia, dan badan hukum Indonesia, atau atas kerja sama
antarwarga negara Indonesia, atau badan hukum Indonesia dengan bank yang berkedudukan di luar
negeri.
Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Bank Umum, pemberian izin mengenai Bank
Umum dilakukan dalam dua tahap. Pertama, tahap persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk
melakukan persiapan pendirian bank yang bersangkutan. Kedua, pemberian izin usaha yang diberikan
untuk melakukan usaha setelah persiapan selesai dilakukan. Selama belum mendapatkan izin usaha, pihak
yang mendapat persetujuan prinsip tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha apapun di bidang
perbankan.
b. Daftar calon pemegang saham, berikut pernyataan masing-masing dan simpanan wajib, serta
daftar pihak yang akan melakukan penyertaan, berikut jumlah penyertaannya bagi bank Umum
Dalam permohonan izin prinsip izin usaha ini terdapat ketentuan khusus bagi Bank Campuran dan
Bank Umum berdasarkan prinsip yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Permohonan persetujuan prinsip
a. Suatu kesepakatan tertulis dari para pemegang saham untuk mendirikan Bank Campuran, serta
b. Laporan tahunan untuk dua tahun terakhir berturut-turut dari bank yang berkedudukan di luar
negeri;
c. Surat rekomendasi dari otoritas negara asal bagi bank yang berkedudukan di luar negeri.
a. Anggaran dasar/akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang;
d. Susunan organisasi berikut sistem dan prosedur kerja termasuk susunan personaliannya;
g. Surat pernyataan tidak merangkap jabatan sebagai anggota direksi atau jabatan eksekutif lainnya
h. Surat pernyataan dari anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris bahwa yang bersangkutan
mempunyai atau tidak mempunyai hubungan keluarga sampai sederajat kedua dengan anggota
i. Surat pernyataan dari anggota Direksi, bahwa yang bersangkutan baik secara sendiri-sendiri
maupun bersama-sama tidak memiliki saham melebihi 25% pada perusahaan lain.
Kedudukan kantor pusat dan cabang ada beberapa ketentuan khusus untuk jenis bank tersentu,
seperti bank campuran dan bank yang berbentuk perusahaan daerah. Bank yang berbentuk perusahaan
daerah harus berkedudukan dan berkantor pusat di ibu kota provinsi, sedangkan kantor-kantor cabang dan
unit-unit usaha lainnya bisa disesuikan dengan kebutuhan, dan ditetapkan oleh direksi dengan persetujuan
Dewan Pengawas (Pasal 4 Permendagri No. 8 Tahun 1992). Bank Umum yang berbentuk Bank
Campuran hanya dapat membuka kantor cabang di kota Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan,
Ujung Pandang, Denpasar, dan daerah otoritas Pulau Batam masing-masing satu kantor.
Perihal pembukaan kantor cabang di dalam negeri dari Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan
izin Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan dari Bank Indonesia. Izin pembukaan kantor
cabang hanya dapat diberikan apabila tingkat kesehatan dan permodalan bank yang bersangkutan selama
24 bulan terakhir, atau sekurang-kurangnya dalam 20 bulan terakhir tergolong sehat dan selebihnya cukup
sehat. Ketentuan tersebut berlaku pula untuk pembukaan kantor cabang pembantu dan kantor cabang
bank yang berkedudukan di luar negeri (Pasal 19 Keputusan Menteri Keuangan No. 220 Tahun 1993).
Bank umum dapat melakukan pembukaan kantor cabang di dalam negeri, juga dapat membuka
kantor cabang di luar negeri persiapannya pun diperlukan suatu izin Bank Indonesia. Izin sebagaimana
tersebut hanya dapat dilakukan apabila bank yang bersangkutan memenuhi persyarakatan:
Untuk memperoleh izin tersebut, Direksi Bank Umum yang bersangkutan kepada Bank Indonesia.
Permohonan tersebut disampaikan ke alamat Direktorat Perbankan dan Usaha Jasa Pembiayaan.
Direktorat Jendral Lembaga Keuangan, JL. Dr. Wahiddin No. 1, Gedung A, Jakarta 10710, sedangkan
tembusanya disampaikan pada tanggal yang sama ke alamat kantor pusat Bank Indonesia, Jl. M.H,
2. Penilaian tingkat kesehatan bank dua bulan terakhir sebelum tanggal surat permohonan;
3. Rincian kolektibilitas aktiva produktif dari dua bulan terakhir sebelum tanggal surat
permohonan;
5. Hasil studi kelayakan dan rencana kerja kantor yang bersangkutan sekurang-kurangnya selama
lambatnya 30 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. Pertimbangan Bank Indonesia atau
permohonan persetujuan prinsip atau izin usaha tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan dalam
jangka wakti selambat-lambatnya 15 hari kerja setekah tembusan permohonan diterima secara lengkap.
Pelaksanaa pembukaan kantor cabang di dalam negeri harus dilakukan dalam jangka waktu
selambat-lambatnya dua bulan sejak tanggal dikeluarkannya izin. Pelaksanaan pembukaan kantor tersebut
wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah
tanggal pembukaan. Apabila dalam jangka waktu dua bulan, bank yang bersangkutan tidak melaksanakan
pembukaan kantor tersebut, Bank Indonesia dapat membatalkan izin pembukaan kantor tersebut.
Pembukaan kantor di luar negeri hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari otoritas
setempat yang berwenang. Pelaksanaan pembukaan kantor tersebut wajib dilaporkan kepada Bank
Indonesia dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 hari kerja setelah tanggal pembukaan.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat didirikan dan menjalankan usaha dengan izin Bank
Indonesia. Bank tersebut dapat didirikan oleh warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia yang
seluruh pemiliknya warga negara Indonesia. Pemerintah Daerah, dan kerja sama di antara mereka.
Pemberian izin untuk mendirikan BPR melalui dua tahap. Pertama, tahap persetujuan prinsip, yaitu
persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian bank yang bersangkutan. Kedua, izin usaha, yakni izin
yang diberikan untuk melakukan usaha setelah persiapan selesai dilakukan. Selama belum mendapat izin
usaha, pihak yang, mendapat persetujuan prinsip tidak diperkenakan melakukan kegiatan usaha apapun di
bidang perbankan.
Rakyat yang berbentuk hukum Perusahaan Daerah, Perseroan Terbatas, atau daftar calon anggota
berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar pihak yang akan
melakukan pernyataan berikut jumlah pernyataan bagi Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk
hukum koperasi.
Ketentuan khusus Bank Prekreditan Rakyat yang akan beroperasi dengan sistem bagi hasil yang
telah ditetapkan Bank Indonesia, permohonan prinsip harus melampirkan rancangan anggaran dasar dan
rencana kerja yang secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank semata-mata berdasarkan prinsip
bagi hasil yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan berdasarkan syariah. Sementara itu untuk
mendapatkan izin usaha, permohonan yang telah melampirkan anggaran dasar yang telah disahkan oleh
instansi yang berwenang, daftar pemegang saham, sususnan Direksi dan Dewan Komisaris, susunan
organisasi berikut sistem, dan prosedur kerja, bukti pelunasan keuangan, modal disektor, dan bukti
diterima secara lengkap. Bank Perkreditan Rakyat rakyat didirikan di ibu kota, kabupaten, atau
mengenai pendirian kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat, dapat diajukan kepada Bank
Indonesia dengan memenuhi syarat tingkat kesehatan dan permodalan selama 24 bulan terakhur, atau
dalam 20 bulan terakhir sekurang-kurangnya tergolong sehat dan selebihnya cukup sehat. Dalam
mendirikan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat, yakni sebesar Rp 10 miliar jika kantor cabang di
buka di ibu kota negara, Rp3 miliar jika kantor cabang dibuka di ibu kota provinsi, dan Rp1 miliar jika
Izin atau penolakan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat harus diberikan selambat-lambatnya
30 hari setelah permohonan diterima jika izin telah diberikan, maka pelaksanaan pembukaan kantor
cabang itu dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sejak izin pendirian kantor cabang diberikan. Jika
Bank Perkreditan Rakyat yang memiliki kantor di ibu kota negara dan ibu kota provinsi, tidak
diperkenankan membuka kantor cabang atau kantor dibawah kantor cabang. Pembukaan kantor dengan
status di bawah kantor cabang, dapat dilakukan apabila tingkat kesehatan dan permodalan selama 12
bulan terakhir atau sekurangnya 10 bulan terakhir tergolong sehat dan selebihnya cukup sehat.
Pada masa Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1967, dikenal banyak lembaga yang
melakukan kegiatan usaha perkreditan, seperti Bank Pasar, Lumbung Desa, Bank Desa, dan sebaginya.
Lembaga-lembaga seperti itu tumbuh dan berkembang dari linkungan masyarakat Indonesia. Lembaga-
lembaga tersebut mempunyai dua ciri, yaitu kebersamaan dengan sifat koorperatif dan ciri ekonomi
berupa lembaga usaha keuangan sederhana legal dengan administrasi yang jelas. Beribahnya peraturan
Jika Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 merasakan bentuk lembaga yang demikian
banyak membantu dan masih diperlukan masyarakat. Dengan demikian, lembaga tersebut perlu terus
diakui keberadaannya. Oleh karena itu, Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 memberi
kejelasan status dari lembaga-lembaga tersebut. Selanjutnya untuk menjamin kesatuan dan keseragaman
dalam pembinaan dan pengawasan, dengan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 1992 tentang Bank
Perkreditan Rakyat, ditetapkan persyaratan dan tata cara pemberian status lembaga-lembaga perkreditan
Ketentuan yang mengatur pengukuhan lembaga perkreditan desa adalah sebagai berikut. 4
1. Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Negara, Lembaga
Perkreditan Desa, Badan Kredit Desa, dan lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan
itu yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dinyatakan menjadi Bank
Perkreditan Rakyat.
2. Lembaga atau badan tersebut telah berdiri sebelum berlakunya Undang-Undang Perbankan Tahun
1998 tentang Perbankan dan belum mendapat izin usaha sebagai Bank Perkreditan Rakyat, wajib
mengajukan permohonan izin usaha sebagai Bank Perkreditan Rakyat kepada Menteri Keuangan
Lembaga yang tidak mengajukan permohonan sampai batas waktu tanggal 30 Oktober 1997,
tidak dapat dilakukan menjadi Bank Perkreditan Rakyat dan dilarang menghimpun dana dari
3. Untuk dapat memperoleh izin usaha sebagai Bank Perkreditan Rakyat, lembaga atau badan usaha
a. Perusahaan Daerah
b. Koperasi; atau
c. Perseroan Terbatas
Permohonan untuk mendapat izin usaha tersebut diajukan oleh pengurus lembaga yang
bersangkutan kepada Bank Indonesia. Permohonan dapat disampaikan ke alamat Direktorat Perbankan,
Usaha, dan Pemberian Jasa Pembiayaan, dan Direktorat Jendral tanggal yang sama ke alamat kantor pusat
Bank Indonesia. Permohonan tersebut harus diajukan selambat-lambatnya tanggal 30 Oktober 1997.
4
Ibid, hlm 99
Permohonan untuk mendapat izin usaha tersebut wajib dilampiri dengan:
b. Anggaran dasar/akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang sesuai
c. Susunan organisasi;
d. Neraca perhitungan laba/rugi per tanggal sebelum 25 Maret 1992 dan per tanggal terdekat
4. Pengurus Bank Perkreditan Rakyat, hasil pengukuhan tersebut wajib memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 1992, yaitu anggota Direksi dan Dewan
Komisaris harus warga negara Indonesia dan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang
perbankan dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindakan pidana di bidang perbankan dan
Bank Perkreditan Rakyat dapat ditingkatkan statusnya menjadi Bank Umum. Persyaratannya, Bank
Perkreditan Rakyat harus memiliki tingkat kesehatan dan permodalan selama 12 bulan terakhir atau 10
bulan terakhir tergolong sehat dan selebihnya cukup sehat. Bank Prekreditan Rakyat juga harus
memenuhi persyaratan modal disektor untuk menjadi Bank Umum dan memenuhi ketentuan Direksi dan
2. Kepemilikan Bank
Menurut ketentuan pokok Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, kepemilikan suatu
bank sitentukan pula dari jenis bank tersebut. Kepemilikan Bank Umum sedikitnya akan berada dengan
5
Ibid, hlm 110
kepemilikan Bank Perkreditan Rakyat. Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 Pasal 22 ayat (1)
Menurut Pasal 22 Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, Bank Umum dapat dimiliki
oleh:
b. Badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia, atau hasil kerja
Suatu badan hukum dapat memiliki saham Bank Umum sebanyak-banyaknya sebesar modal
sendiri bersih dalam hukum yang bersangkutan. Adapun yang dimaksud dengan modal sendiri
bersih adalah modal si penyetor ditambah cadangan ditambah laba atau dikurangi kerugian.
Ketentuan dalam pasal ini juga berlaku bagi yayasan. Dengan demikian, upaya kepemilikan saham
Bank Umum oleh badan hukum tidak boleh menggunakan dana pinjaman.
c. Warga negara asing atau badan hukum asing dengan kemitraan. Adapun kepemilikan Bank Umum
Perkoperasian. Dalam ketentuan perkoperasian sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang
No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang menjadi pemilik bank yang berbentuk badan
hukum koperasi adalah seluruh anggota koperasi tersebut. Mengenai keanggotaan kopersi ini, pada
Adapun kepemilikan Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya
diatur berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Perkoperasian sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) No.
25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Dengan demikian, yang menjadi pemilik bank yang berbentuk
Sebagaimana kita ketahui bahwa lembaga perbankan adalah lembaga keuanagan yang menjadi
perantara antara pihak yang mempunyai kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan atau
kekurangan dana, tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit dalam menjalankan kegiatan usaha atau
operasionalnya.
Sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai usaha pokok berupa menghimpun dana dari
masyarakat untuk kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dana
dalam bentuk kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Fungsi untuk mencari dan
menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan memegang peranan penting terhadap pertumbuhan
suatu bank, sebab jumlah dana yang berhasil dihimpun atau disimpan tentunya akan menentukan pula
jumlah dana yang dapat dikembangkan oleh bank tersebut dalam bentuk penanaman dana yang
menghasilkan, misalnya dalam bentuk pemberian kredit, pembelian efek-efek, atau surat-surat berharga
di pasar uang.
Dari apa yang dikemukakan dia atas, berarti bahwa dana yang dibutuhkan dalam pengelolaan bank
tidak semata-mata hanya mengandalkan modal yang dimiliki oleh bank saja, tetapi harus sedemikian rupa
dapat memobilisasi dan memotivasi masyarakat untuk menyimpan dana yang dimilikinya di bank, baik
berupa simpanan maupun dalam bentuk lain, dan melalui kerja sama denhan lembaga-lembaga keuangan.
Namun demikian, dana yang bersumber dari masyarakat tersebut adalah sumber dana terpenting bagi
Dalam rangka memobilisasi dan menghimpun dana dari masyarakat tersebut sudah tentu bank
harus sedemikian rupa mengenal sumber-sumber dana yang terdapat di dalam berbagai lapisan
Secara garis besar sumber dana bagi sebuah bank dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 6
c. Dana yang berasal dari lembaga keuangan, baik berbentuk bank maupun nonbank.
Berdasarkan pendapat diatas penulis berpendapat bahwa pada prinsipnya sumberdana dari suatu
d. Dana yang bersumber dari Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank
Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai sumber dana perbankan baik yang bersumber dari bank
sendiri, masyarakat, Bank Sentral maupun bersumber dari lembaga keunagan lain tersebut akan diuraikan
berikut ini.
Dana yang bersumber dari bank itu sendiri adalah dana berbentuk modal setor yang berasal dari
para pemegang saham dan cabang-cabang serta keuntungan bank yang belum dibagikan kepada
6
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm 42-43
pemegang saham. Dana ini adalah murni dimiliki oleh bank yang telah ada sejak bank tersebut memulai
kegiatan usahanya, bahkan sejak bank tersebut memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia.
Modal setor yang berasal dari pemegang saham dapat dikatakan bersifat tetap, dalam arti
selamanya akan tetap mengendap dalam bank dan tidak akan mudah ditarik begitu saja oleh penyetornya.
Dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) jo. Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan
Terbatas ditentukan bahwa untuk pengurangan modal setor suatu perseroan terbatas haruslah melalui
Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham tersebut harus
memenuhi ketentuan dan persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas,bahwa dana bank yang berasal dari masyarakat
mempunyai peranan yang sangat penting bagi kegiatan perbankan. Dana yang berasal dari masyarakat
luas adalah dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang diwujudkan dalam
Dana yang berasal dari masyarakat tersebut pada prinsipnya merupakan dana yang harus diolah
atau dikelola oleh bank dengan sebaik-baiknya agar memperoleh keuntungan (profit). Sedangkan yang
dimaksud dengan simpanan dari masyarakat itu adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada
bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito,
Berdasarkan pengertian di atas, maka dalam dunia perbankan dana yang berasal dari masyarakat
setiap saat dengan mempergunakan cek, surat perintah pembayaran lainnya, atau dengan cara
pemindahbukuan.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang dimaksud
dengan giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek,
Dari pengertian di atas ada 2 (2) hal yang perlu kita perhatikan tentang giro, yaitu:
a. Penarikan dapat dilaksanakan setiap saat, yang berarti bahwa penarikan simpanan dalam bentuk
giro dapat dilakukan oleh si penyimpan, pemilik girant tersebut setiap saat selama kantor kas
bank buka.
b. Cara penarikan. Dalam hal ini paling banyak dipergunakan adalah penarikan dengan cek dan
bilyet giro. Namun dengan batas-batas tertentu penarikan dalam bentuk lain seperti sarana
Selanjutnya dapat juga dikemukakan bahwa simpanan dalam bentuk giro ini mempunyai banyak
1. Dapat membayar transaksi jual-beli dengan mempergunakan cek, bilyet giro, atau sarana perintah
pembayaran lainnya.
2. Dapat mengirim transfer (kiriman uang atau delegasi kredit dengan jaminan rekening giro).
hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara pihak ketiga dan bank yang
bersangkutan.
Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 butir 7 ditentukan bahwa deposito adalah simpanan yang
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan
dengan bank.
Dari pengertian di atas kita melihat ada 2 (dua) unsur yang terkandung dalam deposito, yaitu:
a. Penarikan hanya dapat dilakukan dalam waktu tertentu, yang berarti bahwa penarikan simpanan
dalam bentuk deposito hanya dapat dilakukan oleh si penyimpan pasar waktu tertentu
b. Cara penarikan. Dalam hal ini apabila batas waktu yang terutang dalam perjanjian deposito
tersebut telah jatuh tempo, maka si penyimpan dapat menarik deposito tersebut atau
Mengenai jangka waktu deposito terdapat beberapa alternatif yang dapat dipilih oleh nasabah
penyimpan, yaitu:
1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 12 (dua belas) bulan, 24 ( dua puluh empat) bulan.
3. Sertifikat Deposito
Menurut ketentuan Pasal 1 butir 8 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan
dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan sertifikat deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito
yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindah tagankan. Sedangkan dalam pengertian lain
dikatakan bahwa sertifikat deposito adalah simpanan berjangka atas pembawa atau atas tunjuk, yang
dengan izin Bank Indonesia dikeluarkan oleh bank sebagai bukti simpanan yang dapat diperjual belikan
a. Berbentuk deposito bersertifikat, yang berarti bahwa bentuknya berbeda dengan deposito
berjangka dikeluarkan atas nama, sedangkan sertifikat deposito dikeluarkan atas tunjuk.
b. Dapat dipindah tangankan, yang berarti bahwa dengan dikeluarkannya sertifikat deposito dalam
bentuk atas tunjuk, maka bukti penyimpanannya dapat dipindah tangankan kepada pihak lain.
4. Tabungan
Tabungan dapat diartikan sebagai simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya dapat
Ketentuan Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 mengemukakan bahwa tabungan
adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati,
bilyet, giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
Dari pengertian di atas, dapat dikemukakan bahwa tabungan mempunyai 2 (dua) unsur, yaitu:
a. Penarikannya dengan syarat tertentu, yang berarti bahwa simpanan dalam bentuk tabungan hanya
dapat ditarik sesuai dengan persyaratan tertuntu yang telah disepakati oleh nasabah penyimpan
dan bank. Misalnya, ada persyaratan bahwa nasabah penyimpanan dapat melakukan penarikan
simpanan setiap waktu baik dalam jumlah yang dilakukan dalam suatu jangka waktu tertentu.
b. Cara penarikannya. Dalam hal ini penarikan simpanan dalam bentuk tabungan dapat dilakukan
secara langsung oleh si nasabah penyimpanan atau orang lain yang dikuasakan olehnya dengan
mengisi slip penarikan yang berlaku di bank yang bersangkutan. Naman demikian, penarikannya
tidak dapat dilakukan dengan mempergunakan cek, bilyet, giro, dan atau alat lainnya yang
melalui fasilitas kredit kepada bank-bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek yang
dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Pemberian fasilitas kredit oleh Bank
Indonesia tersebut merupakan implementasi dari fungsi Bank Indonesia sebagai the lender of the last
resort (LoLR). Berkaitan dengan itu menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, fungsi the lender of the
resort itu memungkinkan Bank Indonesia memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya
menjadi beban pemerintah, dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keungan yang berdampak
sistematis dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan. Mekanisme ini
merupakan bagian dari konsep jaring pengaman sektor keuangan (Indonesia Financial Safety Net).
Adapun dana yang bersumber dari Bank Indonesia yang dikucurkan kepada bank-bank yang
Kredit Likuiditas Bank Indonesia ini adalah kredit yang diberikan oleh Bank Indonesia untuk
membiayai kredit program pemerintah yang disalurkan melalui Bank Umum. Dengan perkataan lain,
KLBI diberikan oleh Bank Indonesia sebagai pinjaman kepada bank-bank yang membutuhkan dana untuk
Pinjaman serta KLBI tersebut diberikan oleh Bank Indonesia dengan persyaratan tertentu. Cara
c. Menerima aksep.
7
Ibid, hlm 47
Dalam arti, bahwa jika bank-bank mengalami kesulitan likuiditas, maka mereka bisa meminta
bantuan Bank Indonesia untuk mendapatkan KLBI. Sebelum dikeluarkannya kebijaksanaan 1 Juni 1983
(PAKJUN) memang KLBI mempunyai peranan yang sangat penting bagi perbankan nasional, karena
Pada saat ini kredit likuiditas Bank Indonesia sudah tidak dipergunakan lagi oleh Bank Indonesia,
yaitu sejak dikeluarkannya fasilitas diskonto rupiah dan diberlakukannya surat berharga pasar (SBPU).
BLBI adalah dana yang dikucurkan oleh Bank Indonesia ke bank-bank yang mengalami kesulitan
likuiditas dalam operasinya sehari-hari. Kesulitan likuiditas ini bisa terjadi antara lain karena penarikan
dana secara tiba-tiba dan besar-besaran oleh nasabah, sementara bank tersebut tidak siap melayani
kejadian tersebut.
Dalam pengertian lain dikatakan bahwa BLBI adalah fasilitas yang diberikan Bank Indonesia
kepada perbankan, untuk menjaga kestabilan sisitem pembayaran dan sektor perbankan, agar tidak
terganggu oleh adanya ketidakseimbangan (mismatch) likuiditas, antara penerimaan dana pasar bank-
bank.
Oleh karena itu terdapat berbagai jenis fasilitas lukuiditas, dalam arti luas, BLBI diartikan sebagai
semua fasilitas likuiditas Bank Indonesia yang disalurkan atau diberikan kepada bank-bank, di luar Kredit
Dalam hasil riset yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang termuat dalam Studi Ekonomi Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia dikemukakan bahwa BLBI diberikan dalam berbagai bentuk, yaitu saldo debet,
fasilitas diskonto (fasdis I), fasilitas diskonto I repo, fasilitas diskonto II, Surat Berharga Pasar Uang
Khusus (SBPUK), fasilitas dana talangan untuk pembayaran kewajiban luar negeri bank dalam rangka
pembiayaan dagang dan tunggakan antarbank (trade finance dan interdebtarrears), fasilitas dana talangan
Sedangkan menurut hasil riset Bank Indonesia yang termuat dalam Srudi Hukum Bantuan
Likuiditas Bank Indonesia, dikatakan bahwa secara garis besar fasilitas likuiditas Bank Indonesia kepada
gangguan dari timbulnya kesenjangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana
perbankan. Fasilitas ini terjadi dari fasilitas diskonto (fasdis I) yang berjangka pendek dan fasdis
b. Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka sesui dengan program moneter, yakni dalam bentuk
pembelian Bank Indonesia atas Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), atau surat utang dari bank-
bank.
c. Fasilitas dalam rangka penyehatan perbankan (rescue) dalam bentuk Kredit Likuiditas Darurat
d. Fasilitas untuk menjaga kestabilan sistem perbankan dan pembayaran guna menanggulangi
dampak penarikan dana pada bank secara besar-besaran, di mana Bank Indonesia berfungsi
sebgai lender of last resort. Fasilitas ini berupa pemberian izin penarikan dana giro cadangan
wajib atau Giro Wajib Minumum (GWM), saldo negatif, atau saldo debet, atau men- draft
e. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat kepada perbankan dalam bentuk dana
talangan untuk membayar kembali dana nasabah yang banknya dicabut izin usahanya atau Bank
guaranteed) dan pembayaran kewajiban luar negeri bank nasional (trade finance dan interbank
Indonesia
Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah jangka pendek dari Bank Indonesia ini adalah
kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan kepada bank untuk mengatasi
kesulitan pendanaan jangka pendek dari bank yang bersangkutan. Kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah in I hanya diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank yang mengalami kesulitan dana
Adapun dasar hukum pemberian kredit atas pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank
Indonesia ini adalah ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan
Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Selengkapnya
Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Bank Syariah
untuk jangka waktu yang paling lama 90 (Sembilan puluh) hari kepada bank untuk mengatasi
Dalam penjelasan dikemukakan bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah kepada bank yang dimaksudkan dalam pasal ini hanya dilakukan untuk mengatasi kesulutan bank
karena adanya ketidak sesuaian antara arus dana masuk yang lebih kecil dengan arus dana keluar. Jangka
waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari yang dimaksudkan pada ayat ini merupakan jangka waktu
Apabila kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah tidak dapat dilunasi pada saat jatuh
tempo, Bank Insonesia sepenuhnya berhak mencairkan agunan yang dikuasainya sesui dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Bank yang dapat memperoleh bantuan likuiditas adalah bank yang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, misalnya secara nyata berdasarkan
informasi yang diperoleh Bank Indonesia bahwa bank yang bersangkutan mengalami kesulitan likuiditas
jangka pendek,akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi bank tersebut.
Berkaitan dengan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah tersebut menurut
dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi
dan mudah dicairkan yang nilainnya minimal sebesal jumlah redit atau pembiayaan yang
diterimanya.
Yang dimaksud dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan meliputi surat
berharga dan atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai
peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu
d. Dana yang bersumber dari lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan
bank
Dana yang berasal dari lembaga-lembaga keuangan pada umumnya diperoleh bank dalam bentuk
pinjaman baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang sesui dengan kebutuhan dari bank
Adapun dana yang termasuk berasal dari lembaga keuangan tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:8
8
Ibid, hlm 52
1. Pinjaman Antarbank
Dalam dunia perbankan adanya kerja sama dengan pihak lain adalah suatu kelaziman. Kerja sama
tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk antara lain pemberian bantuan dalam bentuk bantuan tenaga
ahli ataupun dalam bentuk modal kerja. Bantuan modal biasanya diberikan sebagai pinjaman, tentunya
dalam jangka pendek maupun janka menengah. Untuk jangka waktu maksimal 7 (tujuh) hari disebut call
money, sedangkan yang tanpa batas waktu tatapi setiap saat dapat diambil dengan pemberitahuan dahulu
disebut deposit on call. Mengenai pinjam-meminjam uang antarbank yang lazim terjadi adalah pemberian
pinjaman dari bank yang kuat ke bank yang relative lemah, misalnya pemberian pinjaman oleh bank
pemerintah kepada Bank Swasta Nasional, atau pemberian pinjaman dari Bank Asing kepada Bank
Swasta Nasional.
2. Call Money
Call money adalah dana talangan atau tambahan yang bersumber dari lembaga keuangan bank. Call
money diartikan sebagai dana dalam rupiah yang dipinjamkan oleh bank dari bank lainnya paling lama 7
(tujuh) hari yang setiap waktu dapat ditarik kembali oleh bank yang meminjamkan tanpa dikenakan suatu
pembebanan. Ini adalah instrumen atau sarana yang paling mudah digunakan oleh bank-bank yang
membutuhkan tambahan dana dalam kegiatan operasionalnya, baik dalam keadaan darurat atau mendesak
Pinjaman dana luar negeri adalah keseluruhan dana yang diperoleh dari pinjaman luar negeri baik
yang berasal dari lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank yang menimbulkan
kewajiban bagi bank penerima pinjaman untuk mengembalikan dana pinjaman tersebut kepada pihak
Perdagangan melalui pertukaran sudah lama dikenal umat manusia. Sebelum sistem moneter yang
berlaku sekarang ini, sudah ada pertukaran melalui sestem barter. Perbedaan kedua sistem ini sudah jelas
sangat tampak dari instrumen yang digunakan. Dalam pertukaran sistem moneter yang menjadi alat
pembayaran adalah uang yang terdiri dari uang logam dan uang kertas. Pada awal dikenalnya sistem
moneter, saat itu uang dibuat dari kepingan logam mulia seperti emas dan perak. Sebagai jaminannya
adalah emas dan perak yang terdapat di dalam logam mulia tersebut. Demikian pula dengan nilai uang
terletak dari beratnya logam mulia. Dalam perkembangan selanjutnya uang tidak lagi hanya dibuat dari
kepingan logam, tetapi sudah menggunakan kertas. Jaminan yang diberikan bukan kepada nilai kertas,
akan tetapi terletak pada kepercayaan kepada negara yang menerbitkannya. Sedangkan nilai nominal uang
Dalam sistem barter yang menjadi instrumen pembayarannya adalah barang atau jasa. Sistem
pertukaran dilakukan antara barang dengan barang atau jasa dengan barang atau jasa dengan jasa. Dalam
praktiknya sistem barter sudah lebih dulu dikenal sebelum moneter dewasa ini. Hanya saja dalam sistem
barter terdapat beberapa kendala, seperti sulit menemukan orang yang mau menukarkan barang atau jasa
yang sesuai dengan selera kita. Kemudian sulit untuk menentukan nilai dari masing-masing barang yang
hendak ditukarkan. Sesuai dengan perkembangan zaman dan beberapa kelemahan yang ada dalam sistem
barter, maka secara perlahan, sistem barter mulai ditinggalkan dan masuk sistem moneter. Namun dalam
hal ini bukan berarti sistem barter sudah tidak terpakai lagi. Dalam transaksi tertentu di pedalaman atau
Kehadiran sistem moneter dalam dunia perdanganan juga merupakan cikal bakal lahirnya lembaga
keuangan. Sistem moneter yang menggunakan uang sebagai alat pembayaran membutuhkan bank sebagai
tempat untuk mencetak, mengatur dan mengawasi peredaran keuangan suatu negara. Kehadiran bank
9
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, PT RajaGrafindo Persada, Depok, 2014, hlm11
dalam sistem moneter merupakan darah dan tulang punggung suatu negara dalam rangka memperlancar
Dalam perkembangan perbankan sejarah mencatat asal mula dikenalnya kegiatan perbankan terjadi
pada zaman kerajaan di daratan Eropa. Usaha ini kemudian berkembang ke Asia Barat yang dibawa oleh
para pedagang. Selanjutnya perkembangan perbankan begitu cepat merambah ke benua Asia, Afrika dan
Amerika yang dibawa oleh bangsa Eropa pada saat melakukan penjajahan ke negara jajahannya.
Kegiatan perbankan yang pertama adalah jasa penukaran uang. Oleh karena itu, dalam sejarah
perbankan, bank dikenal sebagai meja tempat menukarkan uang. Penukaran uang dilakukan pedagang
antar kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain. Kegiatan penukaran uang sampai sekarang masih
dilakukan. Kegiatan penukaran uang saat ini dikenal dengan nama pedagang valuta asing ( money
changer).
Kegiatan operasional perbankan kemudian berkembang lebih lengkap menjadi tempat penitipan
uang atau yang disebut sekarang ini kegiatan simpanan. Berikutnya kegiatan perbankan bertambah lagi
dengan kegiatan peminjaman uang (memberikan kredit). Uang yang dititipkan masyarakat ke bank dalam
bentuk simpanan oleh perbankan dipinjamkan kembali ke masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk
Dalam perkembangan selanjutnya jasa-jasa bank berkembang sesuai dengan perkembangan zaman
dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam. Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan
jasa keuangan, maka peranan dunia perbankan semakin dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat, baik
yang berada di negara maju maupun negara berkembang, misalnya jasa pengiriman uang, jasa penagihan
surat-surat berharga, jasa letter of credit, jasa bank garansi sampai dengan jasa kartu kredit. Bahkan jasa
kartu kredit sudah mampu menggantikan sebagian dari fungsi uang sebagai alat pembayaran. Pendek kata
dewasa ini perkembangan dunia perbankan semakin pesat dan modern. Perbankan semakin mendominasi
kehidupan manusia terutama dalam kaitannya dengan ekonomi dan bisnis suatu negara. Bahkan aktivitas
Sebelumnya menurut Undang-Undang Nor 14 Tahun 1967, jenis kelembanggaan bank menurut
1. Bank Sentral, yaitu Bank Indonesia sebagaiman dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945
2. Bank Umum, yaitu bank yang dalam penghimpunan dana dari masyarakat terutama menerima
simpanan dalam bentuk giro dan deposito dan dalam usahanya terutama memberikan kredit
jangka pendek;
3. Bank Tabungan, yaitu bank yang dalam penghimpunan dana dari masyarakat terutama
menerima simpanan dalam bentuk tabungan dan dalam usahanya terutama memperbungakan
4. Bank Pembangunan, yaitu bank yang dalam penghimpunan dana dari masyarakat terutama
menerima simpanan dalam bentuk deposito dan/atau mengeluarkan kertas berharga jangka
menengah dan panjang dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka menengah dan
5. Bank lainnya, yang ditetapkan dengan undang-undang, menurut kebutuhan dan perkembangan
ekonomi
Kemudian dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kembali jenis kelembagaan bank ditata dalam struktur yang
lebih sederhana, yaitu bank Bank Umum dan Bnak Perkreditan Rakyat (BPR). Pembedaan jenis
10
Ibid, hlm 14
kelembagaan bank ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
1. Bank Umum
Bank Umum adalah bank melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau
berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran. Dari pengertian ini, maka dengan sendirinya bank Umum adalah bank pencipta
uang giral.
BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan
Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Dari pengertian ini, maka dengan sendirinya BPR adalah bukan bank pencipta uang giral, sebab
3. Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertenti atau memberikan
perhatianyang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Kegiatan tertentu dimaksud, antara lain,
Pada waktu yang lalu, pembedaan jenis bank menimbulkan spesialisasi, yang menguntungkan bank
untuk lebih mengenal bidang usahanya, menunjang misi pemerintah dalam mendorong perekonomian,
khususnya sektor-sektor prioritas dan golongan ekonomi lemah serta memenuhi berbagai kebutuhan
pembiayaan masyarakat. Namun, dilihat dari aspek kelemahannya , spesialisasi membatasi ruang gerak
bank yang bersangkutan. Disamping itu, dalam perkembangannya, spesialisasi sulit diterapkan secara
konsekuen. Pada gilirannya, pembatasan ruang gerak dan tidak konsekuensinya penerapan spesialisasi
tersebut, dapat membatasi persaingan yang sehat dan wajar. Sehubungan dengan itu, sistem perbankan
yang berlaku disempurnakan dengan menerapkan sistem perbankan universal. Kegiatan usaha bank tidak
lagi dispesialisasikan, tetapi diberi peluang untuk melakukan dan mengembangkan usaha seluas-luasnya,
sedangkan spesialisasi kegiatan akan berlangsung secara alamiah melalui proses pasar. Spesialisasi
kegiatan usaha berlangsung lebih tajam dan lebih luas daripada yang diatur oleh perundang-undangan
dewasa ini, sehingga dikemudian hari memungkinkan munculnya bank-bank khusus yang tetap dengan
baju bank umum. Dapat ditambahkan bahwa dalam sistem perbankan universal, peranan perbankan
sebagai agen pembangunan tetap dipertahankan, yaitu mampu menunjang upaya pemerataan
1. Perseroan Terbatas
2. Koperasi
3. Perusahaan Daerah
1. Perusahaan daerah
2. Koperasi
3. Perseroan Terbatas;atau
11
Djoni. S. Gazali, Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, SinarGrafika, Jakarta, 2012, hlm 148
a. Bank Konvensional, yaitu bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan
berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat.
1. Bank Umum Konvensioal adalah bank konvensional yang dalam kegiatanya memberikan jasa
dalam lalu lintas pembayaran. Bank Umum konvensional dalam kegiatannya menjalankan
2. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank konvensional yang dalam kegiatannya tidak
b. Bank Syariah, yaitu bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip Syariah dan
menurut jenisnya terdiri atas bank Umum Syariah dan bank Pembiayaan rakyat Syariah.
1. Bank Umum Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam
2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya tidak
NASIONAL
Mencermati isi ketentuan dalam pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 10 tahun 1998, kegiatan-kegiatan usaha
a. Mengatur kegiatan-kegiatan usaha yang boleh dan tidak boleh dilakukan atas Bank Umum
ataupun BPR;
b. Kegiatan usaha perbankan tersebut dapat dibedakan atas Bank Umum dan BPR
c. Kegiatan usaha perbankan tersebut dapat dibedakan atas Bank Konvensional dan Bank
Syariah
12
Ibid, hlm 152
d. Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan ussaha tertentu dan
memilih jenis usaha yang sesuai dengan keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkan.
Usaha yang dijalankan oleh Bank Umum lebih luas daripada usaha yang dijalankan BPR.
Bank yang menjalankan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah wajib menetapkan Prinsip
Menurut sIstem Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan undang-
a. Kegiatan Bank Umum, yang terdiri atas kegiatan kegiatan utama dan kegiatan tambahan; dan
b. Kegiatan BPR.
Fungsi perbankan (Indonesia) sebagaiman dikemukakan diatas kemudian diperluas, dijabarkan dan
dirinci dalam bentuk kegiatan usaha perbankan dan larangan kegiatan usaha perbankan, yang diatur
dalam ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaiman telah
Kegiatan usaha Bank Umum konvensional sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 6 dan pasal
10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998, bahwa kegiatan usaha perbankan yang dapat dijalankan oleh Bank Umum konvensional
sebagai berikut
Bank Umum konvensional menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa
giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang
2. Memberikan kredit
maupun yang berjangka panjang. Surat pengakuan hutang yang berjangka pendek adalah sebagaiman
dimaksud dalam ketentuan pasal 100 sampai 229 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang dalam
pasar uang dikenal sebagai Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), yaitu promes maupun wesel maupun
jenis lain yang mungkin dikembangkan dimasa yang akan datang. Surat pengakuan utang berjangka
4. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas
perintah nasabahnya:
a. Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak
b. Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama
e. Obligasi ;
g. Instrument surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun
5. Memindahkan uang
Bank umum konvensional menjalankan usaha memindahkan uang baik untuk kepentingan
Bank umum konvensional menjalankan usaha menempatkan dana pada, meminjam dana dari,
atau meminjamkan dana pada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana
melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga. Kegiatan ini mencakup antar lain inkaso
dan kliring
Bank umum konvensional menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.
Penyediaan tempat disini adalah kegiatan bank yang semata-mata melakukan penyewaan tempat
penyimpanan barang dan surat berharga (safety box) tanpa perlu diketahui mutasi dan isinya oleh bank.
Bank umum konvensional melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain
berdasarkan suatu kontrak. Kegiatan penitipan dapat dilakukan baik dengan menerima titipan
harga penitip maupun mengadministrasikannya secara terpisah dari kekayaan bank. Mutasi dari
barang titipan dilaksanakan oleh bank atas perintah penitip.. Jika bank yang meyelenggarakan
kegiatan penitipan mengalami pailit, semua harta yang dititipkan pada bank tersebut tidak
dimasukan dalam harta kepailitan dan wajib dikembalikan kepada penitip yang bersangkutan.
Bank umum konvensional melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya
dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat dibursa efek. Dalam kegiatan ini bank berperan
sebagai penghubung antara nasabah yang membutuhkan dana dengan yang memiliki dana.
Bank umum konvensal melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit, dan kegiatan wali
amanat. Kegiatan anjak piutang merupakan kegiatan pengurusan piutang atau tagihan jangka
pendek dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri, yang dilakukan dengan
pengambilalihan atau pembelian piutang tersebut. Sedangkan usaha kartu kredit adalah usaha
dalam kegiatan pemberian kredit atau pembiayaan untuk pembelian barang atau jasa yang
penarikannya dilakukan dengan kartu. Secara teknis kartu kredit berfungsi sebagai sarana
Bank Umum konvensional dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dengan
Bank umum konvensial dapat melakukan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh
bank sepanjang tidak berteentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Kegiatan yang lazim dilakukan oleh bank dalam hal ini adalah
kegiatan-kegiatan usaha selain dari kegiatan usaha sebagaimana tersebut diatas, yang tidak
garansi, bertindak sebagai bank persepsi, swap bunga, membantu administrasi usaha nasabah,
dan lain-lain.
Bank Umum konvensional dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan usaha perbankan
sebagaiman dimaksud diatas, dan masing-masing dapat memilih jenis kegiatan usaha yang sesuai dengan
keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkannya. Melalui cara yang demikian , kebutuhan
masyarakat terhadap berbagai jenis jasa bank dapat dipenuhi oleh dunia perbankan tanpa mengabaikan
Selanjutnya menurut ketentuan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana
telah diubah dengan Unddang-UndangNomor 10 Tahun 1998, bahwa selain melakukan kegiatan usaha
pokok sebagaimana dimaksud diatas, Bank Umum konvensional dapat pula melakukan atau menjalankan
kegiatan usaha tambahan,namun dengan izin khusus. Kegiatan usaha tambahan yang dapat dijalankan
1. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia
2. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain dibidang keuangan ,
seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring
Indonesia;
3. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau
kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali
penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan
4. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan
Sebelumnya kegiatan usaha Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah diatur dalam surat
Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum
berdasarkan Prinsip Syariah, kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia
NOmor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005.
Ketentuan dalam Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 sebagaiman telah
diubah dengan peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005 menetapkan, bahwa Bank Umum Syariah
wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan kegiatan
a. Melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi, antara
lain:
a. Murabahah
b. Itishna
c. Salam
a. Mudharabah
b. Musyarakah
a. Ijarah
1. Wakalah
2. Hawalah
3. Kafalah
4. Rahn
d. Membeli, menjual dan/atau menjamin risiko sendiri surat-surat berharga pihak ketiga yang
diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan Prinsip Syariah;
e. Membeli surat-surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah
g. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah berdasarkan Prinsip Syariah
h. Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan
m. Melakukan kegiatan usaha kartu debet, charge card berdasarkan berdasarkan Prinsip Syariah;
o. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank Umum Syariah sepanjang disetujui oleh Bank
Selanjutnya ketentuan dalam pasal 37 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 sebagaiman
telah diubah dengan Peraturan bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005 menetapkan, bahwa:
a. Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud diatas, Bank Umum Syariah dapat pula:
2. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau perusahaan lain dibidang
keuangan berdasarkan Prinsip Syariah seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek,
3. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan Prinsip Syariah untuk mengatasi
akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan
4. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip Syariah
b. Bank Umum Syariah dalam melaksanakan fungsi sosial dapat bertindak sebagai penerima dana
sosial antara lain dalam bentuk zakat,infaq, shadaqah,waqaf, hibah dan menyalurkannya sesuai
syaraiah atas nama Bank Umum Syariah atau lembaga amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah.
Selanjutnya ketentuan dalam pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, tentang
Bank Syariah menetapkan secara limitatif kegiatan usaha bank Syariah tersebut, meliputi:
a. Menghimpun dana bentuk simpanan berupa giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu berdasrkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. Menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa deposito, tabungan, atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan
c. Menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad musyarakah, atau akad
d. Menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad murabahah, Akad Istishna, atau akad lain
e. Menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad qardh atau akad lain yang tidak bertentangan
f. Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah
berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, atau akad
h. Melakukan usaha kartu usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah
i. Membeli, menjual, atau menjamin risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas
j. Membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau
bank Indonesia;
k. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak
Prinsip Syariah;
m. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah
n. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah
p. Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
q. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan dibidang perbankan dan dibidang sosial sepanjang
tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaaksud diatas, Bank Umum Syariah dapat pula
melakukan kegiatan usaha lainnya sebagaiman ditentukan dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-
b. Melakukan kegiatan usaha penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan
c. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan
d. Bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip Syariah;
e. Melakukan kegiatan dalam pasarmodal sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah dan
f. Menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan prinsip syariah dengan
Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang;
h. Menerbitkan,menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan
Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar modal;dan
i. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, pemerintah bersama Bank
Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan Bank Umum untuk menunjang pelaksanaan program
peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi , usaha kecil, dan menengah.
Demikian pula,Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh anggunan untuk kepentingan
banknya. Disebutkan dalam ketentuan pasal 12 A Undang-Undang No.7 Tahun 1992 sebagaimana telah
diubah Nomor 10 Tahun 1998, yang merupakan ketentuan baru ditambahkan. Pembelian anggunan oleh
Bank Umum dimaksud, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan , berdasarkan penyerahan
secara sukarela oleh pemilik-pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari
pemilik agunan, dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajiban kepada bank dengan ketentuan
agunan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya. Dalam hal Bank Umum sebagai pembeli
agunan nasabah debiturnya, status bank adalah sama dengan pembeli bukan bank lainnya. Bank Umum
yang dimungkinkan membeli anggunan diluar pelelangan adalah dimaksudkan agar dapat mempercepat
penyelesaian kewajiban nasabah debiturnya. Bank Umum tidak diperbolehkan memiliki agunan yang
dibelinya dan secepat-cepatnya harus menjual kembali agar hasil penjualan agunan dapat segera
13
Djoni S. Gazali, Rachmadi Usman, Opcit, hlm 165
d. Kegiatan Usaha BPR Konvensional
Untuk usaha bank yang berjenis Bank Perkreditan Rakyat konvensional, usahanya lebih sempit
dibandingkan dengan usaha yang dijalankan Bank Umum konvensional. Kegiatan usaha BPR
Disebutkan dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaiman telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat
konvensional, meliputi:
a. Menghinpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan,
dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Penyebutan “bentuk lainnya yang
penghimpunan dana dari masyarakat dan tabungan, tetapi bukan giro atau simpanan lain yang
b. Memberikan kredir;
Demikian pula sebelumnya kegiatan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah) diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei
1999, kemudian dicabut,diganti, dan disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaiman telah diubah
Menurut ketentuan dalam bentuk Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2006,
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/25/PBI/2006, bahwa Bank
Perkreditan Rakyat Syariah wajib melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan
1. Mudharabah
2. Istishna
3. Salam
a. Mudharabah
b. Musyarakah
3. melakukan kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perbankan dan Prinsip
Syariah.
Selanjutnya, kegiatan perbankan syariah yang dapat dilakukan oleh Bank Pembiayaan Rakyat
Syariah disebutkan secara limitatif dalam ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008,
meliputi:
b. Investasi berupa deposito atau tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu
berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan
akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;dan
3. Menempatkan dana pada bank syariah lain dalam bentuk titipan berdasrkan akad wadiah atau
investasi berdasrkan akad mudharabah dan/atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip
Syariah;
4. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah melalui
rekening Bank Pembiayaan Rakyar Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum
5. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha bank syariah lainnya yang sesuai dengan
Apabila dibandingkan dengan kegiatan usaha Bank Umum Syariah, maka dapat dikatakan kalu
kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat Syariah jauh lebih sempit atau
terbatas. Bank Perkreditan Rakyat Syariah dilarang untuk melakukan kegiatan usaha menerima dana
simpanan mayarakat dalam bentuk giro berdasarkan prinsip wadiah, tidak seperti halnya dengan Bank
Umum Syariah. Larangan ini sejalan dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 14 Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun1998, bahwa
Bank Perkreditan Rakyat dalam kegiatan usahanya tidak termasuk memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran, kegiatan usaha mana yang hanya dijalankan oleh Bank Umum saja.
Prinsip-prinsip kegiatan usaha perbankan syariah tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai
berikut:14
Hiwalah; akad pemindahan piutang nasabah (muhil) kepada bank ( muhal’ alaih) dari nasabah lain
(muhal). Muhil meminta muhal’alaih untuk membayarkan terlebih dahulu piutang yang timbul dari
jual beli. Pada saat piutang tersebut jatuh tempo muhal akan membayar kepada muhal’alaih.muhal
Ijarah: akad sewa-menyewa barang antara bank (muaajir)dengan penyewa (mustajir). Setelah masa
Ijarah wa iqtina: akad sewa-menyewa barang antara bank (muaajir) dan penyewa(mustajir)
yangdiikuti janji bahwa pada saat yang ditentukan kepemilikan barang sewaan akan dipindah kepada
mustajir
Istishna: akad jual beli barang (mashnu) antara pemesan (mustashni) dengan penerima pesanan
(shani). Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati diawal akad dengan pembayaran dilakukan
secara bertahap sesuai kesepakatan. Apabila bank bertindak sebagi shani kemudian menunjuk pihak
lain untuk membuat barang (mashnu) maka hal ini disebut Istishna Paralel.
Kafalah: akad pemberian jaminan (makful alaih) yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana
pemberi jaminan (kafiil) bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu utang yang menjadi hak
Mudharabah : akad antara pihak pemilik modal(shahibul mal) dengan pengelola (mudharib) untuk
memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan
14
Ibid, hlm 209-212
nisbah yang telah disepakati diawal akad. Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudharib,
Mudharabah Mutlaqah: Mudharib diberikan kekuasaan penuh untuk mengelola modal. Mudharib
Mudharabah Muqayyadah: Shahibul Maal menetapkan syarat tertentu yang harus dipatuhi Mudharib
baik mengenai tempat,tujuan,maupun jenis usaha. Dalam skim ini, mudharib tidak diperkenankan
mencampurkannya dengan modal atau modal lain. Pembiayaan Mudharabah Muqqayyadah antara lain
Murabahah : akad jual beli antara bank dengan nasabah. Bank membeli barang yang diperlukan
nasabah dan menjual kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga pokok ditambah dengan
Musyarakah : akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau lebih pemilik modaluntuk
membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif. Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai
Prinsip operasional syariah lainnya : Prinsip operasional lain yang lazim dilakukan oleh bank
syariah dalam kegiatan usaha sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan
perundang-undanganyang berlaku serta mendapat persetujuan dari Bank Indonesia dan Dewan Syariah
Nasional.
Qardh: akad pinjaman dari bank (muqridh) kepada pihak tertentu (muqtaridh) yang wajib
dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Muqridh dapat meminta jaminan atas
pinjaman kepada muqtaridh. Pengembalian pinjaman dapat dilakukan secara angsuran ataupun
sekaligus.
Qardh-ul Hasan : akad pinjaman dari bank (muqridh) kepada pihak tertentu(muqtaridh) untuk tujuan
sosial yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman.
Rahn : adalah penyerahan barang/harta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin)
Salam: akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) antara pembeli (muslam) dengan penjual (muslam
alaih). Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati diawal akad dan pembayaran dilakuukan
dimuka secara penuh. Apabila bank bertindak sebagai muslam kemudian memesan kepada pihak lain
untuk menyediakan barang (muslam fiih) maka hal ini disebut Salam Paralel.
Ujr: imbalan yang diberikan atau yang diminta atas suatu pekerjaan yang dilakukan
Wadi’ah: akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dan pihak yang
diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang/uang.
Wadi’ah Yad Amanah: akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan tidak
diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan
atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan
Wadi’ah yad Dhamanah: akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau
tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/titipan dan harus bertanggung jawab
terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang
Wakalah: akad pemberian kuasa dari pemberi kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil)
PERBANKAN NASIONAL
Di samping rincian kegiatan-kegiatan usaha perbankan sesuai dengan jenis banknya, terdapat pula
Ketentuan dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menetapkan, bahwa Bak Umum konvensional dilarang:
Pasal 7 huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah
2. Melakukan peransuransian;
3. Melakukan usaha lain diluar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan Pasal 7
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin
Pasal 10 telah merumuskan secara berlebihan, karena sebenarnya cukuplah apabila hanya
dicantumkan larangan dalam Pasal 6 dan Pasal 7 dari Pasal 10 tersebut. Larangan dimaksud dengan
sendirinya berlaku pula untuk usaha-usaha yang dimaksud dalam melakukan penyertaan modal dan usaha
peeransuransian. Demikian pula, Pasal 14 juga telah dirumuskan secara berlebihan sebagaimana halnya
Pasal 10.
Pembuat Undang-Undang menyadari bahwa apabila suatu bank dibenarkan melakukan kegiatan
usaha yang bermacam ragam tanpa pembatasan, eksistensi bank akan mendapat bahaya, yang pada
gilirannya akan merugikan para penyimpan dana dibank tersebut. Oleh karena itu, undang-undang
menentukan bahwa bank hanya boleh melakukan kegiatan-kegiatan tertentu saja sebagaimana ditentukan
Sebelumnya larangan kegiatan usaha Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah terdapat dalam
Surat keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank
Umum berdasarkan Prinsip Syariah, kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan usaha Berdasarkan
Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005.
Larangan kegiatan usaha Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah disebutkan dalam ketentuan
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 dan ketentuan pasal 39 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005, yaitu:
1. Melakukan penyertaan modal, kecuali melakukan kegiatan usaha yang telah ditentukan dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 dan ketentuan pasal 39 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004
3. Melakukan usaha lain diluar kegiatan usaha yang telah ditentukan dalam Undang Nomor 7 Tahun
1992 sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaiman
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Peraturan Bank Indonesia
Nomor 6/24/PBI/2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor
7/35/2005;
5. Mengubah kegiatan usaha perbankan syariah menjadi kegiatan usaha perbankan konvensional.
15
Ibid, hlm 215
Demikian pula dalam melakukan kegiatan usaha perbankan syariah, Bank Umum Syariah dan
Usaha Unit Syariah (UUS) juga dilarang melakukan hal-hal sebagaimana disebutkan dalam pasal 24
3. Melakuakn penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) huruf b
4. Melakukan kegiatan usaha peransuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi
syariah;
b. UUS dilarang;
3. Melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2)huruf c;
dan
4. Melakukan kegiatan usaha peransuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi
syariah.
Selain fungsi-fungsi umum, secara lebih khusus, bank juga berfungsi sebagai agent of trust, agent
a. Agent of Trust, yaitu lembaga yang berlandaskan kepercayaan. Dasar uatama kegiatan perbankan
adalah kepercayaan (trust), baik dalam penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Dalam
fungsi ini harus dibangun kepercayaan yang bergerak ke dua arah, yaitu dari dan ke masyarakat.
16
Ikatan Bankir Indonesia Memahami Bisnis Bank, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2013, hlm 11
b. Agent of Development, yaitu lembaga yang memoblisasi dana untuk pembengunan ekonomi di
suatu negara. Kegiatan bank berupa penghimpun dan penyalur dana sangat diperlukan bagi
lancarnya kegiatan perekonomian di sektor rill. Kegiatan bank tersebut, antara lain
konsumsi barang dan jasa, mengingat kegiatan investasi, distribusi, dan konsumsi tidak dapat
dilepaskan dari penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi, distribusi, dan konsumsi tidak
c. Agent of Services, yaitu lembaga yang memberikan pelayanan jasa perbankan dalam bentuk
transaksi keuangan kepada masyarakat, seperti pengiriman uang/transfer, inkaso, penagihan surat
berharga/collection, cek wisata, kartu debit, kartu kredit, transaksi tunai, dan pelayanan lainnya.
Jasa yang ditawarkan bank ini terkait erat dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara
umum.
Dalam menjalankan kegiatannya, bank mempunyai peran penting dalam sistem keuangan nasional.
a. Pengalihan Aset (Asset Transmutation), yaitu pengalihan dana atau aset dari unit surplus ke unit
deficit. Dalam hal ini, sumber dana yang diberikan krpada pihak peminjaman berasal dari pemilik
dana, yaitu unit surplus yang jangka waktunya dapat dsiatur sesuai dengan keinginan pemilik
dana. Dengan demikian, bank berperan sebagai pengalih aset yang likuid dari unit surplus
b. Transaksi (Transaction), yaitu memberikan berbagai kemudahan kepada pelaku ekonomi untuk
melakukan transaksi keuangan. Dalam ekonomi modern, transaksi barang dan jasa tidak pernah
terlepas dari transaksi keuangan. Untuk itu, produk, jasa, dan layanan yang ditawarkan oleh bank
(tabungan, deposito, giro, pemberian kredit, jasa pengiriman uang, layanan e-banking, dan
likuiditas/dana dari unit surplus kepada unit deficit. Terkait dengan hal ini, unit surplus
menempatkan dana yang dimilikinya dalam bentuk produk-produk dana, berupa giro, tabungan,
deposito, dan produk dana bank lainnya untuk kemudian disalurkan dalam bentuk produk kredit
pada unit deficit. Dengan demikian, bank memberikan fasilitas pengelolaan likuiditas kepada
pihak yang mengalami surplus likuiditas dan menyalurkannya kepada pihak yang mengalami
kekurangan likuiditas.
d. Efisiensi (Efficiency), atau dalam hal ini bank berperan sebagai broker, yaitu merupakan
pinjaman dan pengguna modal tanpa mengubah produknya. Jadi bank hanya memperlancar dan
mempertemukan pihak-pihak yang saling membutuhkan. Adanya informasi yang tidak simetris
(asymmetric information) antara peminjam dan investor tak jarang menimbulkan masalah
insentif. Peran bank adalah menjembatani dua pihak yang saling berkepentingan untuk
menyamakan informasi yang tidak sempurna sehingga terjadi efidiensi biaya ekonomi. 17
Perbankan memiliki hubungan yang erat dengan maju mundurnya perekonomian suatu negara. Jika
sistem perbankan suatu Negara sehat maka ia akan menunjang pembangunan ekonomi. Sebaliknya, jika
system perbankan Negara tidak sehat akan berdampak tidak baik bagi pembangunan ekonomi. Oleh
karena itu, kewenangan Bank Indonesia (BI) dalam melakukan pengaturan dan pengawasan bank adalah
sebagai alat atau sarana untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat yang menjamin dilaksanakannya
segala peraturan perundang-undangan yang terkait dalam penyelenggaraan usaha bank oleh bank yang
bersangkutan. Pada pokoknya , tugas BI sebagai bank sentral mempunyai tiga tugas yaitu:
17
Ibid, hlm 14
1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;
Sejalan dengan UU No.23 Th 1999 dan UU No. 3 Thn 2004, maka UU Perbankan 1998
memberikan wewenang dan kewajiban bagi BI untuk membina serta melakukan pengawasan terhadap
bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif dalam bentuk ketentuan-ketentuan,
petunjuk dan nasihat, bimbingan dan pengarahan, maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaaan
yang disusul dengan tindakan perbaikan sehingga pada akhirnya BI dapat menetapkan arah pembinaan
Jadi pembinaan adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang
menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, kepengurusan, kegiatan usaha, pelaporan serta aspek lain
yang berhubungan kegiatan operasional bank. Berkaitan dengan BI antara lain memuat perizinan;
kelembagaan bank; kegiatan usaha bank pada umumnya maupun berdasarkan prinsip syariah; merger,
konsolidasi dan akuisisi bank; sistem informasi antar bank; tata ara pengawasan bank; sistem pelaporan
bank kepada BI; penyehatan bank; penabutan izin usaha, likuidasi dan pembubaran badan hukum bank;
Pengawasan bank oleh BI dapat bersifat pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung.
Menurut penjelasan pasal 27 UU BI No. 23 Th 1999 jo UU No.3 Th 2004 tentang BI, pengawasan
langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang diserttai dengan tindakan-tindakan perbaikan.
Sedangkan pengawasan tidak langsung terutama dalam benruk pengawasan dini melalui penelitian,
kestabilan nilai rupiah. Tugas menerapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dilakukan BI antara lain
melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga. Efektifitas pelaksanaan tugas ini memerlukan
dukukngan sistem pembayaran yang efisien , cepat, aman, dan andal yang merupakan sasaran dari
18
Neni Sri Imaniyati, Panji Adam Agus Putra, Opcit, hlm 146
pelaksanaan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sistem pembayaran yang
efisien, cepat,aman, dan andal memerlukan sistem perbankan yang sehat yang merupakan sasaran tugas
mengatur dan mengawasi bank. Selanjutnya, sistem perbankan yang sehat akan mendukung pengendalian
moneter mengingat pelaksanaan kebijakan moneter terutama dilakukan melalui sistem perbankan.
Tujuan BI untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut perlu ditopang dengan 3
pilar utama yaitu kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat, tepat
Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan mengawasi bank, BI menetapkan peraturan,
memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan
pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Berkaitan dengan itu, dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, BI berwenang menetapkan
perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi
penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Pengaturan
bank berdasarkan prinsip kehati-hatian tersebut disesuaikan pula dengan standar yang berlaku secara
internasional, Bahwa tugas BI untuk mengawasi bank menurut UU No,23 Th 1999 bersifat sementara.
Namun dengan UU N0.3 Thn 2004 ditegaskan kembali bahwa pengawasan terhadap bank akan
dilaksanakan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang akan dibentuk
selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2010. Pengunduran batas waktu pembentukan lembaga
tersebut ditetapkan dengan memerhatikan kesiapan sumber daya manusia dan insfrastruktur lembaga
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga pengawas jasa keuangan yang berlandas dari
amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Di dalam
19
Ibid, hlm 148
Pasal 34 dicantumkan bahwa wewenang pengawasan terhadap Bank Indonesia sebagai pengawas sektor
perbankan dialihkan kepada lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk
dengan undang-undang.
Pengalaman yang menunjukan tidak stabilnya perekonomian Indonesia yang tercatat mulai
berantakan dengan adanya krisis hebat yang dimulai pada tahun 1997-1998, belum menemukan titik
terang bahkan muncul berbagai permasalahan lain yang tidak kalah memberikan pukulan keras bagi
perekonomian negara Indonesia. Salah satu peristiwa mengejutkan pada tahun 2008, yaitu munculnya
kabar bahwa Bnak Century ditetapkan BI sebagai bank gagal berdampak sistemik oleh Komite Stabilitas
Sistem Keuangan (KSSK). Begitu banyaknya opini yang mengatakan bahwa kegagalan kegagalan Bank
Century merupaka dampak dari lemahnya pengawasan bank yang dilakukan oleh BI, sehingga bank yang
semula dianggap berkondisi baik menjadi bank yang gagal yang menimbulkan dampak sistemik.
Pemerintah menanggapi peristiwa ini setelah mengadakan diskusi yang panjang, akhirnya Undang-
Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan disahkan. Dalam undang-undang
tersebut pada Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga independen
dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan,
Dalam hal pengawasan Otoritas Jasa Keuangan pada industri keuangan, baik bank maupun non
bank berada di satu atap atau sistem pengawasan terpadu sehingga sistem pengawas bisa bertukar
informasi dengan mudah. Hal ini dapat menghindari adanya putusnya informasi antara badan pengawas
bank dan non bank yang telah ada sebelumnya. Sebagai contoh kasus bailout Bank Century yang telah
terjadi hingga sampai saat ini belum terselesaikan. Sistem pengawasan terpadu ini dapat meminimalisasi
kemungkinan berbenturannya kordinasi antar lembaga. Jika ada berbagai lembaga pengawas dalam suatu
sistem keuangan banyak tantangan yang harus dihadapi salah satunya adalah memastikan koordinasi antar
lembaga-lembaga agar terciptanya konsistensi dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab atas
suatu kebijakan tersebut. Sedangkan fungsi pengawasan dan pengaturan dalam Otoritas Jasa Keuangan
20
Ibid, hlm 149
dibuat terbuat terpisah. Meskipun Otoritas Jasa Keuangan memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan
dalam satu tubuh, fungsinya tidak akan tumpang tindih. Hal ini karenakan Otoritas Jasa Keuangan secara
organisatoris terdiri dari atas tujuh dewan komisioner yang masing-masing mewakili perbankan, pasar
Pengawasan bank pada prinsipnya terbagi atas dua jenis, yaitu pengawasan dalam rangka rangka
mendorong bank-bank untuk ikut menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter
(macro-economic supervision), dan pengawasan yang mendorong agar bank secara individual tetap sehat
serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (prudential supervision). Dengan
demikian dapat dipahami bahwa sekalipun salah satu tujuan pengawasan bank adalah menciptakan
perbankan yang aman dan memelihara kepentingan masyarakat, tetapi tidak berarti otoritas pengawas
harus memikul tanggung jawab atas semua keadaan bank. Sasaran yang ingin dicapai oleh macro-
economi supervision adalah bagaimana mengarahkan dan mendorong bank serta sekaligus
mengawasinya, agar dapat ikut berperan dalam berperan dalam berbagai program pencapaian sasaran
ekonomi makro, baik yang terkait dengan dengan kebijaksanaan umum untuk mendorong pertumbuhasn
ekonomi , kemantapan neraca pembayaran, perluasan lapangan kerja, kestabilan moneter maupun upaya
pemerataan pendapatan dan kesempatan berusaha, Sedangkan tujuan dari prudential supervision adalah
mengupayakan agar setiap bank secara individual sehat dan aman, serta keseluruhan industri perbankan
Secara umum, pemantauan dan penilaian terhadap stabilitas sistem keuangan yang dilakukan
dengan dua pendekatan, yaitu macro-prudential supervision dan micro-prudential supervision Tujuan
dari macro prudential supervision adalah meminimalkan dampak krisis keuangan pada perekonomian
suatu negara, antara lain dengan cara menginformasikan kepada otoritas publik dan industri keuangan
apabila terdapat potensi ketidaksinambungan di sejumlah institusi keuangan serta melakukan penilaian
mengenai potensi dampak kegagalan institusi keuangan terhadap stabilitas sistem keuangan suatu negara.
1. Macro-prudential Superevision
21
Ibid, hlm 150
Macro-prudential supervision terfokus pada aktivitas lembaga-lembaga keuangan yang memiliki
pengaruh signifikan pada pasar ataupun sistem keuangan. Macro-prudential surveillance menyediakan
sarana untuk memonitor dan mengatasi berbagai resiko yang akan mengancam stabilitas sistem keuangan
dan ekonomi rill secara keseluruhan. Selain itu, Maro-prudential surveillance juga dapat menyajikan
penjelasan mengenai risiko sistemik dan mitigasi dampak dari guncangan yang terjadi pada institusi
keuangan yang dapat mengganggu siklus bisnis. Informasi dari macro-prudential surveillance akan
membantu para pembuat kebijakan mengenai perlunya bail out (atau tidak) terhadap suatu institusi
keuangan yang tengah mengalami kesulitan likuiditas. Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam praktiknya
otoritas yang melaksanakan macro-prudential surveillance membutuhkan akses yang cepat dan mudah
terhadap data micro-prudential dan kewenangan resmi tanpa hambatan untuk memperoleh data tambahan
lainnya jika diperlukan. Krisis keuangan global yang terjadi saat ini telah memberikan pelajaran bahwa
sangat diperlukan hubungan yang erat antara pengawas bank (micro-prudential) dan bank sentral selaku
otoritas macro-prudential dalam merumuskan kebijakan yang tepat dan cepat pada saat-saat genting.
Selain itu, menjamin efektivitas dan pengawasan diperlukan independensi dari otoritas pengawas macro-
prudential.22
2. Micro-prudential Supervision
Tujuan mocro-prudential supervision adalah menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara
individual. Untuk itu, otoritas pengawas lembaga keuangan menetapkan regulasi yang berdasarkan pada
prinsip ke hati-hatian yang mencakup berbagai aspek, yakni permodalan, kualitas asset, manajemen,
rentabilitas dan likuiditas serta sensitivitas terhadap risiko. Disamping itu, otoritas pengawas juga
melakukan pengawasan melalui dua pendekatan, yakni analisis laporan bank (off-site analysis) dan
pemeriksaaan setempat (on-site visit) untuk menilai kinerja dan profil risiko serta kepatuhan lembaga
22
Ibid, hlm 150
Di Belanda, keputusan menempatkan pengawas prudential tunggal didalam Bank Sentral Belanda
didasarkan pada beberapa factor. Salah satu ciri yang membedakan model Belanda dari variasi lain twin
peaks, seperti misalnya model Australia adanya konsolidasi/penggabungan pengawasan prudensial makro
surveillance yang dimaksudkan untuk memastikan stabilitas keuangan (financial stability) menjadi terkait
erat dengan micro-prudential supervision yang dimaksudkan untuk memastikan financial soundness
masing-masing lembaga keuangan. Selama krisis 2008 telah membuktikan bahwa dengan ditempatkannya
semua pengawasan prudensial didalam bank sentral (DNB) dapat diperoleh suatu gambaran sistemik
secara menyeluruh melintasi semua sektor finansial dan mengambil tindakan secara cepat dan
Pada Bab III Pasal 4 UU OJK juga dijelaskan lebih lanjut mengenai tujuan pembentukan Otoritas
Jasa Keuangan yaitu agar keseluruhan kegiatan data sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara
teratur, adil, transparan dan akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara
Secara normativ, pembentukan Otoritas Jasa keuangan sebagai lembaga independen yang baru
dapat dilihat sebagai solusi untuk Bank Indonesia agar lebih fokus dalam menjaga dan mengatur
kelancaran dari kebijakan moneter dan tidak perlu terbagi fokusnya dalam mengawasi bank.
OJK merupakan lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain mempunyai fungsi
tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaaan, dan penyelidikan. Tujuan pembentuka
b. Mampu mewujudkan system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan
23
Ibid, hlm 153
OJK berfungsi menyelenggarakan system pengaturan dan pengawasan yang terintegritas terhadap
keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan
pengawasan terhadap:
c. Kegiatan jasa keuangan disektor pengansuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan
terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana
d. Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu;
g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan
1. Izin usaha;
6. Pengesahan;
keuangan.
Dengan melihat kewenangan-kewenangan tersebut, OJK akan focus pada pengawasan micro-
prudentiial supervision dan kehadiran OJK dapat dimaksudkan untuk menghilangkan penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) sebelum dibentuknya OJK. Pasca dibentuknya OJK, peran serta Bank
Indonesia sebagai pengawas perbankan (macro-prudential supervision). Dalam lingkup pengaturan dan
pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehatian-hatian dan pemeriksaan bank merupakan
lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun
lingkup pengaturan dan pengawasan selian hal yang diatur dalam pasal 7 UU OJK, merupakan tugas dan
wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu
Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan.24
a. Pengertian Likuidasi
Likuidasi adalah pembubaran perusahaan. Dalam Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), pembubaran badan hukum
perseroan terjadi:
2. Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;
mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar
biaya kepailitan;
24
Ibid, hlm 154
5. Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keaadaan
Likuidasi bank dalam hal ini bank yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas. Dalam proses
pengaturan maupun pengawasan, lembaga perbankan telah memiliki aturan-aturan tersendiri khususnya
mengenai penanganan bank bermasalah hingga dalam kondisi gagal. Bank Indonesia sebagai lembaga
pengawas perbankan dapat melakukan tindakan terhadap bank bermasalah. Segala sesuatu yang berkaitan
dengan lembaga perbankan baik mengenai pengaturan, pencabutan izin atas kelembagaan kegiatan usaha
tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank, dan mengenakan sanksi terhadap Bank diatur oleh
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut UU BI). 25
Menurut pasal 33 UU BI dalam hal keadaan suatu Bank menurut penilaian Bank Indonesia
perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang mebahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia
dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku.
Dalam UU perbankan, diatur tentang keadaan bank yang membahayakan system perbankan atau terjadi
kesulitan yang membahayakan perekonomian Indonesia, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan
1. Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank
25
Ibid, hlm 156
c. Bank menghapus bukuan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet
e. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
f. Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain
g. Bank menjual sebagian atau seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;
2. Apabila:
a. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan
b. Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem
perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan
Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna
3. Dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk
mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi,
dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Dalam hal ini Bank Indonesia diberi kewenangan terhadap lembaga perbankan yang
membahayakan system perbankan untuk mencabut izin dan melaksanakan likuidasi sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang pencabutan Izin
Usaha, pembubaran dan likuidasi Bank juga mengatur tentang kewenangan Bank Indonesia dalam
Dalam UU perbankan pasal 37 ayat (2,3) dan pasal 52 ayat (1) mengatur bahwa Pimpinan BI dapat
mencabut izin usaha suatu bank apabila tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7
ayat 1 UU Perbankan belum cukup mengatasi kesulitan dihadapi bank atau menurut penilaian BI suatu
bank dapat membahayakan system perbankan. Pasal 2 ayat (1) menetapkan sanksi administrative kepada
bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UU Perbankan atau Pimpinan
BI dapat mencabut izin usaha bank yang bersangkutan. Sanksi administrative antara lain dapat berupa
pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara
keseluruhan. Peraturan pelaksana dari pasal tersebut adalah PP No.25 Th 1999 tentang Pencabutan Izin
Berdasarkan PP No. 25 Th 1999 tersebut, pencabutan izin usaha bank dilakukan oleh pimpinan BI
bila:
a. Tindakan penyelamatan belum mencukupi untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank
dan/atau menurut penilaian BI keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem perbankan (pasal
b. Atas rekomendasi dari badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan
c. Atas keinginan sendiri para pemegang saham atau para pemiliknya untuk membubarkan badan
Pencabutan izin usaha bank yang pada prinsipnya ditetapkan dalam SK Direksi BI. Khusus bagi
bank atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan diluar negeri, pencabutan izin diberikan jika pihak
bank telah menyelesaikan kewajibannya kepada seluruh kreditur atau menyediakan dan sekurang-
kurangnya sebesar kewajiban bank atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan diluar negeri yang
belum diselasaikan. BI memberitahukan pencabutan izin usaha tersebut kepada bank atau kantor cabang
bank yang berkedudukan diluar negeri dan mengumumkannya dalam dua surat kabar harian yang
mempunyai peredaran luas. Jika bank yang dicabut izin usahanya memiliki kaantor diluar negeri,
pencabutan izin diberitahukan oleh BI kepada otoritas ditempat kedudukan kantor tersebut . Sejak
tanggal pencabutan izin usaha, bank wajib menutup seluruh kantornya untuk umum dan menghentikan
segala kegiatan perbankan serta pengurus banknya dilarang melakukan perbuatan hukum berkaitan
dengan asaet dan kewajiban bank, kecuali atas persetujuan dan/atau penugasan BI untuk:
a. Pembayaran gaji pegawai yang terutang
c. Pembayaran kewajiban bank kepada nasabah penyimpan dan dengan menggunakan dana lembaga
penjamin simpanan.26
Sebagai konsekuensi pencabutan izin usaha, bank tersebut diwajibkan menyelenggarakan RUPS
selambat-lambatnya 60 hari sejak tanggal pencabutan izin usaha guna memuat sekurang-kurangnya
pembubaran badan hukum bank dan pembentukan Tim Likuidasi. Jika RUPS tidak dapat
diselenggarakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, atau diselenggarakan dalam jangka waktu
yang telah ditentukan, atau diselenggarakan namun tidak berhasil memutuskan pembubaran badan hukum
bank dan pembenrtukan Tim likuidasi maka Direksi BI meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan
b. Penunjukan ti likuidasi dengan susunan dan nama-nama anggota yang diusulkan oleh BI
Sejak tanggal dikeluarkannya berita acara RUPS yang memutuskan pembubaran badan hulum bank
atau tanggal penetapan pengadilan, bank disebut sebagai “Bank Dalam Likuidasi” dan wajib
mencntumkan kata “Dalam Likuidasi”setelah penulisan nama bank yang bersangkutan. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa pencabutan izin usaha bank tidak berarti proses likuidasi bank berakhir,
melainkan harus diikuti dengan pembubaran badan hukumnya oleh RUPS atau organisasi tertinggi dalam
badan usaha tersebut atau bisa dilakukan secara paksa atas perintah pengadilan berdasarkan pemintaan
Anggota Tim likuidasi berjumlah minimal 3 orang dan maksimal 7 orang, dimana salah seorang
nya ditetapkan oleh RUPS atau pengadilan untuk menjabat ketua yang mempunyai wewenang bertindak
mewakili Tim Likuidasi. Pelaksanaan likuidasi bank yang dilakukan oleh Tim Likuidasi tersebut wajib
26
Ibid, hlm 158
diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 5 tahun terhitung sejak tanggal dibentuknya Tim
Likuidasi jika penyelesaiannya mengalami tingkat kesulitan yang tinggi. Dalam hal likuidasi tidak dapat
diselesaikandalam jangka waktu 5 tahun, penjualan harta bank dalam likuidasi dilakukan secara lelang
oleh kantor lelang negara atau lembaga lai atas permohonan Tim Likuidasi menggunakan metode harga
penawaran tertinggi yang wajib diselesaikan selambat-lambatnya dalam rangka 180 hari sejak
Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan dengan cara mencairkan harta dan/atau menagih piutang
debitur diikuti dengan pembayaran kewajiban dalam likuidasi kepada kreditur dari hasil pencairan dana
atau penagihan tersebut; atau mengalihkan seluruh harta dan kewajiban bank dalam likuidasi sebagai satu
kesatuan kepada pihak lain dengan persetujuan BI setelah mempertimbangkan kemampuan pihak lain
untuk menyelesaikan bank dalam likuidasi terhadap kreditur. Selama proses likuidasi menurut cara yang
pertama yang berlangsung. Tim Likuidasi dapat mengubah cara likuidasi yang digunakan dengan terlebih
Setelah pelaksanaan likuidasi bank terakhir, Tim Likuidasi wajib nmenyusun Neraca Akhir
Likudasi guna dilaporkan kepada BI dan dipertanggung jawabkan kepada pemegang saham melalui
RUPS apabila Tim Likuidasi dibentuk melalui RUPS; atau dilaporkan dan dipertanggung jawabkan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam proses likuidasi dalam pasal 6 ayat (2) UU LPS
meliputi:
2. Menguasai dan mengelola asset dan kewajiban bank gagal yang diselamatkan
3. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat
bank gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank;dan
27
Ibid, hlm 161
4. Menjual dan/atau mengalihkan asset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank
Dalam rangka melakukan likuidasi bank gagal yang dicabut izin usahanya, LPS melakukan
2. Memberikan talangan untuk pembayaran gaji pegawai yang terutang dan talangan pesangon
pegawai sebesar jumlah minimum pesangaon sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan;
3. Melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka pengamanan asset bank sebelum proses
4. Memutuskan pembubaran badan hukum bank, membentuk tim likuidasi, dan menyatakan status
bank sebagai bank dalam likuidasi, berdasarkan kewenangan sebagimana dimaksudkan pada
huruf a.
Menurut pasal 102 UU LPS, ketentuan mengenai likuidasi bank berdasarkan PP No. 25 th 1999
tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran , dan Likuidasi Bank tidak berlaku untuk likuidasi bank
yang terjadi setelah UU No.24 tahun 2004 berlaku. Dengan demikian, peraturan yang berlaku sekarang
Adapun yang dimaksud dengan tugas melaksanakan penanganan bank gagal berdampak sistemik
meliputi kewenangan mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang RUPS; menguasai dan
mengelola aset dan kewajiban bank gagal yang diselamatkan; meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri
dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat bank gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga
yang merugikan bank; serta menjual dan mengalihkan asset bank tanpa persetujuan kreditur
Selain tugas dan wewnang LPS dalam menjamin simpanan nasabah bank, LPS juga dapat
melakukan tindakan dalam proses likuidasi. Pengaturan mengenai likuidasi diatur dalam Pasal 43 UU
LPS.
Dalam menjalankan fungsinya, berdasarkan Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 UU LPS dilengkapi
dengan tugas dan wewenang tersebut mencakup bidang membuat regulasi, provider, sampai pada bidang
pengawasan termasuk menjatuhkan sanksi administratif, yang dimana salah satunya mengambil alih
Penyelesaian atau penanganan bank gagal oleh LPS yang tidak berdampak sistemik dilakukan
dengan melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan terhadap bank gagal dimaksud.
Adapun penanganan bank gagal yang berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan
LPS melakukan tindakan penyelesaian atau penanganan bank yang mengalami kesulitan keuangan
dalam kerangka mekanisme kerja yang terpadu, efisien dan efektif untuk menciptakan ketahanan sektor
keuangan Indonesia atau disebut Indonesia Financial Safety Net (IFSN). LPS bersama dengan menteri
keuangan, BI, dan Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) menjadi anggota Komite Koordinasi. Tindakan
penyelesaian atau penanganan bank gagal oleh LPS didahului berbagai tindakan lain oleh BI dan LPP
sesuai peraturan perundang-undangan. BI melalui mekanisme sistem pembayaran akan mendeteksi bank
yang mengalami kesulitan keuangan dan dapat menjalankan fungsinya sebagai Lender of last resort.
LPP juga dapat mendeteksi kesulitan tersebut dan berupaya mengatasi dengan menjalankan fungsi
pengawasannya, antara lain berupa tindakan agar pemilik bank menambah modal atau menjual bank, atau
agar bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain. Jika kondisi bank yang mengalami
kesulitan keuangan tersebut semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunkan tingkat
solvabilitas bank, tindakan penyelesaian dan penanganan bank gagal diserahkan kepada LPS yang akan
bekerja setelah terlebih dahulu dipertimbangkan perkiraan dampak pencabutan izin usaha bank
diperkirakan memiliki dampak terhadap perekonomian nasional, tindakan penanganan yang dilakukan
28
Ibid, hlm 165
Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melanjutkan proses penyelamatan maka LPS meminta
pencabutan izin usaha bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan. LPS melaksanakan
pembayaran klaim penjaminan kepada nasabah penyimpan bank yang dicabut izin usahanya.
Dalam rangka melakukan likuidasi bank gagal yang dicabut izin usahanya LPS melakukan
b. Memberikan talangan untuk pembayaran gaji pegawai yang terutang dana talangan pesangon
pegawai sebesar jumlah minimum pesangon sebagian diatur dalam peraturan perundang-
undangan;
c. Melakukan tindakan yang yang diperlukan dalam rangka pengamanan aset bank sebelum proses
d. Memutuskan pembubaran badan hukum bank, membentuk tim likuidasi, dan menyatakan satu
bank sebagai bank likuidasi, berdasarkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
Anggota tim likuidasi sebanyak-banyaknya Sembilan orang. Dalam hal diperlukan, salah satu
anggota direksi, dewan komisaris atau pemegang saham lama dapat ditunjuk sebagai anggota tim
likuidasi.
Keputusan pembubaran badan hukum bank wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan dan di
panitera Pengadilan Negeri (PN) yang meliputi tempat kedudukan bank yang bersangkutan; dan
diumumkan dalam Berita Negara RI dan dua surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas; dan
diberitahukan kepada instansi yang berwenang. Pengumuman tersebut memuat pula pernyataan bahwa
seluruh aset bank dalam likuidasi berada dalam tanggung jawab dan pengurusan tim likuidasi.
Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh tim likuidasi . Pelaksanaan likuidasi bank oleh tim likuidasi
wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun terhitung sejak tanggal pembentukan tim
likuidasi dan dapat diperpanjang oleh LPS paling banyak dua kali masing-masing paling lama satu tahun.
pengadilan niaga sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Likuidasi bank dilakukan dengan cara:
a. Pencairan aset dan/atau penagihan piutang kepada para debitur diikuti dengan pembayaran
kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan tersebut;atau
b. Pengalihan aset dan kewajiban bank kepada pihak lain berdasarkan persetujuan LPS (pasal 53)
Pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 diatas, dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
c. Biaya perkara dipengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor;
d. Biaya penyelematan yang dikeluarkan LPS dan/atau pembayaran atas klaim penjaminan yang
f. Bagian Simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan disimpan
Setelah selesai menyelesaikan proses likuidasi sesuai dengan cara atau paling lama dalam jangka
yang telah ditentukan, tim likuidasi menyampaikan neraca akhir likuidasi dan mempertanggung jawabkan
Setelah menerima pertanggungjawaban tim likuidasi, LPS meminta tim likuidasi untuk (a)
mengumumkan berakhirnya likuidasi dengan menetapkan dalam Berita Negara RI dan dalam dua surat
kabar harian yang mempunyai peredaran luas; (b) memberitahukan kepada instansi yang berwenang agar
nama badan hukum bank tersebut dicoret dari daftar perusahaan; dan terakhir kemudian, LPS
Berdasarkan catatan sejarah, bank sentral yang tertua adalah Swedish Riskbank yang didirikan pada
Tahun 1656 sebagai bank swasta dan berkembang menjadi bank sentral yang beroperasi paada Tahun
1668, melalui Undang-Undang, Swedish Riskbank berhak memonopoli penerbitan uang kertas pada
Tahun 1809, namun kemudian monopoli itu berkurang ketika bank-bank lain diperbolehkan menerbitkan
uang kertas pada tahun 1830, dan selanjutnya pada Tahun 1897 kembali Riksbank memperoleh hak
Menyusul kemudian berdiri The Bank of England pada tahun 1694. Saat awal berdirinya bank of
England berfungsi sebagai bank swasta biasa, dan kemudian pada perkembangannya baru menjadi bank
sirkulasi pada Tahun 1773. Pada awalnya Bank of England memberikan uang muka kepada pemerintah
dengan imbalan berhak menerbitkan uang kertas melalui Undang-Undang, kemudian menyelenggarakan
kliring diantara bank-bank. Kemudian berkembang sebagia lender of the last resort setelah sukses
mengatasi berbagai krisi keuangan. Sukses tersebut tidak hanya menjadi prestasi dan status sebagai Bank
Sentral Inggris, tetapi juga mendorong perkembangan Bank Sentral di bagian-bagian lain dunia. Bank of
England yang dijadikan sebagai bank sentral pada tahun 1694 dan dianggap sebagai cikal bakal bank
sentral modern. Kemudian berdirinya The Federal Reserve di Amerika serikat, yang didirikan pada Tahun
1913 dan dianggap sebagai bank sentral yang independen sejak bank tersebut didirikan.
Secara umum konsep Bank Sentral mengandung pengertian lembaga pengemban tugas sebagai
pelayan pubik yang bersifat memenuhi kepentingan umum, sehingga tidak berorientasi mencari
keutungan tetapi mempengaruhi pasar uang dan berpengaruh terhadap struktur perbankan, serta bertindak
Bank Sentral adalah lembaga Negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat
pembayaran yang sah dari suatu Negara, merumuskan dan melqaksanakan kebijakan moneter, mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan
29
Zulfi Diane Zaini, Hubungan Hukum Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral Dengan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) Pasca Pengalihan Fungsi Pengawasan Perbankan, Jurnal Media Hukum, Vol 20, No. 2, hlm 92
fungsi sebagai lender of the last resort (LoLR). Bank yang berfungsi dan menjalankan kewenangan
Sejalan dengan hal tersebut diatas, sebagai bank sentral ruang lingkup kewenangan bank Indonesia
terlihat tidak hanya mengurusi bidang perbankan saja, tetapi juga yang menyangkut kebijakan moneter,
sistem pembayaran serta berperan sebagai penjamin likuiditas perbankan dalam menghadapi krisis
keuangan.
Di Indonesia, perjalanan panjang sejarah keberadaan bank Sentral dimulai satu tahun setelah
kemerdekaan Indonesia, yakni Tahun 1946 dengan berdirinya bank Negara Indonesia (BNI), merupakan
bank Pertama yang dimiliki bangsa Indonesia, dan berfungsi sebagai bank komersial dan Bank Sentral.
Pada Tahun 1849, De Javanesche Bank, atas dasar kesepakatan pada Konferansi Meja Bundar
antara Indonesia dan Belanda, disepakati sebagai Bank Sentral, sementara itu BNI beralih menjadi bank
pembangunan. Saat terjadi nasionalisasi pada Tahun 1951, maka De Javasche Bank melalui Keputusan
pemerintah Nomor 118 Tanggal 2 Juli 1951 menjadi Bank Sentral, dan dengan Keputusan Presiden
nomor 123 Tanggal 12 Juli 1951 diangkat Sjafruddinn Prawinegara sebagai gubernur baru Bank
Sentral . Hal tersebut mencerminkan adanya keinginan kuat Pemerintah untuk membangun Bank Sentral
De Javasce Bank, sebuah Bank Belanda yang pada masa kolonial diberi tugas oleh Pemerintah
Belanda sebagai bank sirkulasi di hindia belanda. De Javasche bank merupakan cikal bakal Bank
Indonesia didirikan pada Tanggal 29 Desember Tahun 1826 melalui Surat perintah Raja Willem I dan
ditetapkan sebagai bank Sentral pada Tahun 1949 hasil Konferensi Meja Bundar.
Keberadaan Bank Sentral di Indonesia, kemudian dipertegas kembali yang ditandai dengan
lahirnya Undang-Undang No.11 Tahun 1953 tentang Pokok-Pokok Bank Sentral, antara lain memberikan
tugas kepada Bank Sentral sebagai penjaga Stabilitas moneter, mengedarkan uang, mengembangkan
sistem perbankan, megawasi kegiatan perbankan, dan menyalurkan kredit bank, namun Bank Sentral
Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Saat itu, Bank Sentral masih melaksanakan peran
sebagai agen pembangunan dengan keharussan menyalurkan kredit, yang merupakan konsekuensi dari
kedudukan Bank Sentral sebagai bagian dari Pemerintah. Hal tersebut menjadikan Bank Sentral kurang
independen. Kemudian pada Tahun 1999, saat lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang
Bank Indonesia, independensi Bank Sentral dicantumkan secara tegas dalam melaksanakan tugas dan
Saat ini semakin menguatkan kecenderungan untuk menjadikan bank sentral bersifat independen,
terjadinya perubahan peran bank Sentral diseluruh dunia. Jika sebelum periode Tahun 1980, bank-bank
sentral umumnya tidak independen, maka setelah periode tersebut hampir seluruh bank sentral didunia
Dapat dilihat perkembangannya, pada abad 19 (Sembilanbelas) hanya ada 18 (delapanbelas) bank
sentral, 16 (enambelas) berada di Eropa ditambah di jepang dan Indonesia dan pada awal abad ke 20
(duapuluh) masih tetap berjumlah 18 (delapanbelas) bank sentral, tetapi jumlah ini kemudian meningkat
menjadi 59 (limapuluh Sembilan) pada Tahun 1950, dan meningkat lagi menjadi 161 (seratus enampuluh
satu) pada tahun 1990. Bahkan meningkat lagi menjadi 172 (seratus tujuhpuluh dua) bank sentral pada
Tahun 2000, sedangkan data dari Bank for International Settlements dan sumber resmi lain, bahwa
sampai dengan akhir Tahun 2004 ada 175 (seratus tujuhpuluh lima) bank sentral di dunia.
Sebelum periode Tahun 1980, keberadaan bank-bank sentral yang independen hanya Federal
Reserve di Amerika Serikat, Bundesbank di Jerman, dan Bank nasional Swiss. Akan tetapi dewasa ini
muncul fenomena bahwa dibelahan dunia ketiga semakin banyak Bank Sentral berubah menjadi Bank
Sentral yang Independen akibat dari perubahan kerangka hukum dan konstitusional yang diterapkan di
Negara-negara tersebut. Gejala seperti ini terjadi dibeberapanegara antara lain di Chili Tahun 1989,
Argentina Tahun 1992, Filipina Tahun 1993 dan di Indonesia Tahun 1999.30
30
Ibid, hlm 94
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 19999 tentang Bank Indonesia., mengatur
kedudukan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yanag independen dan sebagai pengganti dari Undang-
Undang Nomor 13 Tahuin 1968 tentang Bank Sentral. Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Bank
Indonesia mengatur bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah. Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi dan
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia sebagai Bank
Sentral Republik Indonesia. Peran Bank Indonesia dalam kebijakan perbankan berubah seiiring dengan
diberlakukannya Undang-Undang Bank Indonesia sejak Tahun 1999. Peran penting dalam kebijakan
perbankan, yaitu sebagai otoritas tunggal yang berwenang mengatur dan mengawasi perbankan,. Fungsi
pengawasan bank tersebut merupakan salah satu pilar penting yang harus dilakukan oleh Bank Indonesia
Untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut maka Bank Indonesia dapat
melakukan aktivitas perbankan yang dianggap perlu, namun tidak melakukan kegiatan intermediasi
sebagaimana halnya Bank Umum. Adapun untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dan mengatur
serta mengawasi bank-bank. Undang-Undang Bank Indonesia tersebut lahir setelah terjadinya krisis
Bank Indonesia adalah Bank Sentral yang merupkan lembaga penyeimbang antara permintaan dan
penyedia barang dan jasa dengan permintaan dan penyediaan uang. Fungsi utama Bank Sentral adalah
menjaga agar daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa tersedia. Apabila jumlah uang yang ada lebih
banyak dibandingkan dengan ketersediaan barang dan jasa, hal tersebut akan mengakibatkan kemampuan
membeli yang berlebih sehingga harga barang dan jasa meningkatvdan nilai uang turun. Inflasi terjadin
Sebaliknya, apabila ketersediaan barang dan jasa yang terbatas sehingga terdapat keterbatasan
dalam membelanjakan uang, terjadi deflasi atau nilai uang lebih tinggi dibandingkan dengan daya beli.
Agar terjadinya keseimbangan antara nilai uang dan daya beli,bank sentral harus melakukan kebijakan
dan kegiatan pengendalian melalui instrument-instrumennya, misalnya suku bunga, operasi pasar terbuka,
pengendalian jumlah uang beredar, persuasi untuk mengarahkan ekspetasi inflasi dan sebagainya.
Kemudian untuk melaksanakan kebijakan moneter, bank sentral menggunakan sarana bank-bank sebagai
pencipta uang giral sehingga dalam rangka tersebut selanjutnya bank sentral mengeluarkan kebijakan dan
peraturan terhadap bank-bank, misalnya ketentuan giro wajib minimum (kewajiban untuk menyimpan
dananya di bank sentral hingga prosentase yang ditentukan agar tidak terjadi kelebihan likuiditas di pasar
uang).31
Selain dari fungsi utama sebagaimana tersebut diatas, kepada bank sentral lazimnya diberikan pula
kewenangan untuk memelihara system pembayaran dan mengawasi jalannya kegiatan operasional
lembaga perbankan suatu Negara. Tugas memelihara sistem pembayaran pada dasarnya terkait dengan
fungsi utama, mengingat bank sentral juga bertugas menerbitkan uang sebagai alat pembayaran yang sah
dilakukan oleh Bank Sentral karena dominasi pembiayaan sektor-sektor ekonomi pada hakikatnya masih
bertumpu pada Bank-bank, seperti di Indonesia yang hingga pertengahan Tahun 2008 masih menunjukan
angka 80% (delapanpuluhh persen). Fungsi Bank Sentral dalam menjagakeseimbangan kondisi
perekonomian suatu Negara yang diimbangi dengan prinsip kemandirian atau Indepensi menjadi sangat
penting bagi lembaga tersebut seperti yang dikemukakan oleh David Ricardo sejak abad ke-19 (Sembilan
belas).
Kedudukan hukum Bank Indonesia telah disebutkan sejak Negara Republik Indonesia berdiri
khususnya didalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, dan setelah konstitusi tersebut beberapa kali
diamandemen dan terakhir pada amandemen ke (IV) dijelaskan dalam pasal 23 D, disebutkan bahwa:
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia yang independen dalam melaksanakan tugasnya.
31
Ibid, hlm 96
Berdasarkan Undang-Undang Bank Indonesia yang baru, Bank Indonesia berada diluar pemerintah,
artinya tidak berada di bawah Menteri Kabinet dalam pemerintahan di bawah Presiden, akan tetapi tetap
berada dalam jalur koordinasi Presiden sebagai Kepala Negara. Perbedaan kewenangan mendasar yang
terkait dengan penyelesaian bank-bank bermasalah adalah bahwa kebijakan-kebijakan pengaturan dan
pengawasan lembaga perbankan termasuk penutupan bank harus berada dalam koordinasi menteri
Keuangan, termasuk hak untuk memberikan dan mencabut izin usaha bank yang berada di bawah
Menteri Keuangan. Setelah Undang-Undang Bank Insonesia yang baru, koordinasi dengan Menteri
Keuangan lebih dikaitkan karena Departemen keuangan yang merupakan pemegang otoritas keuangan
dan fiskal, sedangkan kebijakan pengaturan dan pengawasan sepenuhnya berada pada Bank Indoneesia,
Penyehatan posisi keuangan bank tidak akan lengkap bila tidak diikuti oleh perbaikan lingkungan
eksternal tempat beroperasinya perbankan. Oleh karena itu, strategi restrukturisasi perbankan dalam tahap
restrukturissasi operasional diarahkan untuk menjawab kelemahan-kelemahan yang ada dalam system
akunting, konfigurasi sektor perbankan dan kerangka hukum yang akan mempengaruhi gerak operasional
Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas system keuangan, yaitu
sebagai berikut:32
1. Menjaga stabilitas moneter melalui instrument suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Untuk
itu, Bank Indonesia harus mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang.
2. Menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan melalui mekanisme
pengawasan dan regulasi. Untuk itu, Bank Indonesia harus menegakkan disiplin pasar melalui
kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law
enforcement).
32
Zulfi Diane Zaini, Opcit, hlm 104
3. Mengatur dan menjaga system pembayaran. Terjadinya kegagalan dalam pembayaran (failure of
settle) akan menimbulkan risiko potensial dan mengganggu kelancaran system pembayaran dan
menimbulkan risiko menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat
sistemik. Untuk itu, Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk
mengurangi risiko dalam dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat, antara
lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat Real Time atau dikenal dengan atau
dikenal dengan nama system Real Time Gross Settlement (RTGS) dengan tujuan meningkatkan
4. Mengakses informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara
macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi
potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas system keuangan ,
keuangan.
5. Jarring pengaman system keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai Lender of The Last
Resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tardisional Bank Indonesia sebagai bank sentral
dalam mengelola krisis untuk menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi
Bank Indonesia sebagai LoLR mencakup penyediaan liduiditas pada kondisi normal ataupun
krisis pada saat menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang
bersifat sistematik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR/Bank Indonesia harus menghindari
terjadinya . Oleh karena itu, pertmbangan risiko sistematik dan persyaratan yang ketat harus
Berdasarkan UU No. 23/1999, disebutkan bank Indonesia bertujuan untuk untuk mencapai dan
memelihara kestabilan rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia bertugas menerapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan
mengawasi bank. Dalam pelaksanan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran , mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi bank.
Dalam pelaksanaan tugas tersebut Bank Indonesia harus memiliki hak indepensi. Perumusan tujuan
tunggal ini memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia dan batas-batas tanggung jawabnya.
Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia dapat diukur dengan mudah.
Hubungan Bank Indonesia dengan pemerintah seperti yang tertuang dalam Undang-Undang
2. Untuk dan atas nama Pemerintah BI dapat menerima pinjaman luar negeri, menatausahakan,
dan menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan pemerintah terhadap pihak luar negeri.
3. Pemerintah wajib meminta pendapat Bank Indonesia dan mengundang Bank Indonesia dalam
sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan dan keuangan yang berkaitan
Pendapatan dan Belanja Negara sertakebijakan lain yang berkait dengan tugas dan wewenang
Bank Indonesia
5. Dalam hal pemerintah menerbitkan surat-surat utang Negara, pemerintah wajib terlebih
6. Bank Indonesia Dapat membantu penerbitan surat-surat utang Negara yang diterbitkan
pemerintah.
2. Dalam hal persyaratan bahwa anggota internasional atau lembaga multilateral adalah
Negara, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama Negara Sebagai bank
sentral, Bank Indonesia juga memberikan beberapa macam kredit, yaitu kredit likuiditas,
kredit langsung, dan kredit untuk Pertaminan. Kredit likuiditas adalah kredit yang