Anda di halaman 1dari 89

BAB II

A. BANK

1. Pengertian Bank dan Hukum Perbankan

Beberapa pengertian tentang bank yang perlu dikemukakan antara lain adalah:

a) Menurut “Dictionary of Banking and Financial Services (Jerry Rosenberg)”, Bank adalah :

suatu lembaga yang mempunyai fungsi pokok antara lain (a) menerima simpanan giro,

deposito dan membayar atas dasar dokumen yang ditarik pada orang/lembaga tertentu dan

(b) mendiskonto surat berharga, memberi pinjaman dan menanamkan dana dalam bentuk

surat berharga.

b) Menurut G.M Verryn Stuart, Bank adalah : suatu badan yang bertujuan untuk memuaskan

kebutuhan kredit baik dengan alat – alat pembayarannya sendiri atau uang yang diperolehnya

dari orang lain, maupun dengan jalan memperedarkan alat – alat penukar baru berupa uang

giral.

c) Menurut O.P. Simorangkir, Bank merupakan salah satu badan usaha lembaga keuangan

yang bertujuan memberikan kredit dan jasa – jasa. Adapun pemberian kredit itu dilakukan

baik dengan modal sendiri atau dengan dana- dana yang dipercayakan oleh pihak ketiga

maupun dengan jalan memperedarkan alat- alat pembayaran berupa uang giral.

d) Menurut ketentuan Pasal 1 angka (2) UU No. 10 Tahun 1998, Bank adalah : badan usaha

yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, dan menyalurkannya

kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk – bentuk lainnya dalam rangka

meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Berpijak pada pengertian – pengertian tersebut di atas,hukum perbankan pada dasarnya merupakan

serangkaian kaidah – kaidah (hukum) yang mengatur tentang badan usaha dan kegiatan usaha perbankan.

Adapun kaidah yang dimaksud dalam konteks ini adalah baik yang terdapat dalam hukum positif atau
peraturan perundang – undangan, maupun yang terdapat dalam praktik peerbankan. Demikian pula

dengan suatu badan usaha yang bernama Bank, pada dasarnya merupakan suatu subjek hukum yang di

dalamnya melekat hak – hak dan kewajiban pihak – pihak yang terkait dengan bank tersebut.

Kaidah – kaidah hukum perbankan tersebut sangat diperlukan dalam upaya untuk menciptakan

dunia perbankan yang sehat, dan meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat yang sejak pertengahan

Tahun 1997 lalu semakin menurun berkaitan dengan banyaknya bank – bank bermasalah di Indonesia dan

mengakibatkan adanya tindakan likuidasi, kemudian dibekukannya kegiatan usaha/operasional dari bank

– bank bermasalah, serta diambilalihnya kepemilikan beberapa bank oleh pemerintah.

Suatu kenyataan di berbagai negara bahwa lembaga perbankan merupakan suatu kegiatan usaha

yang paling banyak diatur oleh pemerintah, dibandingkan dengan cabang – cabang kegiatan usaha

lainnya., karena kegiatan usaha perbankan lebih banyak tergantung kepada masyarakat yang memerlukan

kepastian keamana dana yang dipeercayakan masyarakat kepada bank. Di samping itu, penyaluran dana

perbankan, antara lain, dalam bentuk pemberian kredit dan pembelian surat – surat berharga, merupakan

suatu kegiatan usaha yang berisiko tinggi. Oleh karena ituapabila kegiatan usaha tersebut tidak dikelola

secara baik dan benar, maka dapat menganggu kelangsungan usaha bank itu sendiri, yang pada akhirnya

dapat berpengaruh pada kestabilan moneter dan kegiatan perekonomian di Indonesia.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian hukum perbankan adalah

serangkaian ketentuan hukum positif yang mengatur segala sesuatu yang menyangkut tentang bank,

mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses pelaksanaan kegiatan usahanya. Dengan

demikian unsur – unsur yang terkandung di dalam hukum perbankan adalah :

1. Serangkaian ketentuan hukum positif (perbankan). Adanya ketentuan hukum perbankan dengan

dikeluarkannya berbagai Peraturan Perundang – undangan, baik berupa Undang – Undang,

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Bank Indonesia, dan Surat Edaran Bank
Indonesia serta peraturan pelaksana lainnya. Semua Peraturan Perundang – undangan dibidang

perbankan tersebut terangkai sebagai suatu sistem dengan diikat oleh asas hukum tertentu

2. Hukum positif (perbankan) tersebut bersumberkan pada ketentuan yang tertulis dan tidak tertulis.

3. Ketentuan hukum perbankan tersebut mengatur tentang ketatalaksanaan kelembangaan bank.

4. Ketentuan hukum perbankan tersebut juga mengatur aspek – aspek kegiatan usaha lembaga

perbankan.

Sifat hukum Perbankan Indonesia merupakan hukum yang memaksa, artinya bank dalm

menjalankan usahanya harus tunduk dan dan patuh terhadap rambu – rambu yang telah ditetapkan dalam

Undang – Undang. Apabila rambu – rambu perbankan tersebut dilanggar, maka Bank Indonesia

berwenang menindak bank yang bersangkutan dengan menjatuhkan sanksi administrative, seperti

mencabut izin usahanya.

2. Asas, Fungsi dan Tujuan Perbankan Di Indonesia

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Undang – Undang Perbankan bahwa : Perbankan Indonesia dalam

melakukan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati – hatian.

Maksud demokrasi ekonomi sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 2 Undang – Undang

Perbankan, adalah demokrasi yang berdasarkan pada Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945.

Fungsi utama perbankan Indonesia menurut Pasal 3 Undang – Undang Perbankan adalah : sebagai

penghimpun dan penyalur dana masyarakat. Hal tersebut berarti lembaga perbankan dituntut peran yang

lebih aktif dalam menggali dana dari masyarakat dalam rangka pembangunan nasional.

Tujuan perbankan Indonesia sebaagaimana diatur dalam pasal 4 Undang – Undang Perbankan

adalah : menunjang pelaksanaan pembanguanan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan,

pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional kea rah peningkatan kesejahteraan rakyat. Dengan

memperhatikan pada prinsip kehati-hatian, diharapkan lembaga perbankan I ndonesia dalam melakukan
usahanya dapat melindungi kepentingan masyarakat penyimpan dana khususnya, serta menunjang

kegiatan ekonomi pada umumnya, terutama dalam lingkup dunia usaha dapat menunjang perkembangan

sektor riil yang lebih baik dan dapat berperan dalam mengembangkan prekonomian nasional. Lembaga

perbankan dituntut mampu menciptakan stabilitas nasional dalam arti yang seluas – luasnya.

Peranan penting dan strategis dari lembaga perbankan merupakan bukti bahwa lembaga perbankan

adalah salah satu pilar utama bagi pembangunan ekonomi dalam menunjang pelaksanaan pembangunan

nasional. Untuk itu dalam peranannya yangdemikian, jelas bahwa lembaga perbankan nasional dituntut

dan mempunyai kewajiban untuk mewujudkan tujuan perbankan nasional sebagaimana yang telah diatur

dalam Pasal 4 Undang – Undang Perbankan tersebut di atas.

Pengaturan perbankan di Indonesia juga memiliki beberapa fungsi utama. Adapun fungsi

pengaturan perbankan secara umum terbagi atas :

a. Fungsi untuk tujuan moneter, ditujukan untuk mendorong stabilitas moneter di Indonesia.

Oleh karena masih dominannya perbankan di Indonesia sebagai salah satu sumber

pembiayaan investasi.

b. Fungsi untuk tujuan pengawasan terhadap kegiatan usaha perbankan. Pengaturan ini

ditujukan dalam rangka menjaga keamanan dan kesehatan bank maupun kesehatan sistem

keuangan secara keseluruhan, sehingga diharapkan agar bank melaksanakan praktik –

praktik perbankan yang sehat serta menjaga persaingan yang sehat di antra pelaku

perbankan.

c. Fungsi untuk tujuan pencapaian program pembanguanan Indonesia.

3. Pengaturan Perbankan Nasional


Dasar hukum beroperasinya lembaga perbankan nasional jika diurut berdasarkan Undang-Undang

No. 10 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia No. 12

Tahun 2011 adalah sebagai berikut: 1

1. Undang-Undang Dasar 1945 (terutama Pasal 33);

2. Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

tentang Perbankan;

3. Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia;

4. KUH Perdata;

5. KUH Dagang;

6. Peraturan Pemerintah;

7. Peraturan Presiden; dan

8. Peraturan-peraturan lain yang berhubungan dengan perbankan.

Sejak Indonesia merdeka kita telah menyusun tiga undang-undang yang mengatur tentang

Perbankan, yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, Undang-Undang

No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan

Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain peraturan dalam bentuk undang-undang,

juga telah dikeluarkan berbagai Paket Kebijaksanaan. Pengaturan perbankan di Indonesia memiliki

beberapa fungsi utama diantaranya sebagai berikut. 2

Pertama, untuk tujuan moneter. Pengaturan perbankan diarahkan untuk tujuan moneter dan

ditujukan untuk mendorong stabilitas moneter di Indonesia. Hal ini mengingat masih dominannya

perbankan sebagai sumber prmbiayaan investasi.

1
Neni Sri Imaniyati, Panji Alam Agus Putra, Pengantar Hukum Perbankan Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2016. Hlm 21
2
Ibid, hlm 23
Kedua, untuk tujuan pengawasan terhadap industri perbankan. Pengaturan perbankan untuk

tujuan pengawasan adalah dalam rangka menjaga keamanan dan kesehatan bank ataupun kesehatan

sistem keuangan secara keseluruhan, melindungi nasabah, dan menjaga stabilitas pasar uang, serta

mendorong sistem perbankan yang efisien dan dan kompetitif.

Ketiga, untuk tujuan pembangunan. Pengaturan perbankan untuk tujuan pencapaian program

pembangunan diarahkan agar perbankan nasional dapat mengatasi masalah-masalah ekonomi pada masa

pembangunan.

Selanjutnya akan diuraikan perkembangan perbankan di Indonesia berdasarkan periodisasi

berlakunya peraturan perundang-undangan perbanka.

Sejak Indonesia merdeka, kita telah menyusun 3 undang-undang yang mengatur tentang

Pernbankan, yaitu Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan, Undang-

Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Selain peraturan dalam bentuk

undang-undang, juga telah dikeluarkan berbagai Paket Kebijaksanaan. Peraturan perundang-undangan

tersebut membawa pengaruh terhadap perkembangan perbankan di Indonesia. Selanjutnya akan diuraikan

perkembangan perbankan di Indonesia berdasarkan periodisasi berlakunya peraturan perundang-

undangan perbankan.

a. Periode Undang-Undang No. 14 Tahun 1967

Pengaturan tentang perbankan di Indonesia sudah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Untuk

menertibkan praktik lembaga melepas uang yang banyak terjadi waktu itu dikeluarkanlah pengaturan,

baik dalam bentuk undang-uandang (wet) maupun berupa surat-surat keputusan resmi dari pihak

pemerintah. Di antara lembaga keua ngan yang telah berdiri sejak zaman penjajahan tersebut, yaitu De

Javashe Bank N. V, tanggal 10 Oktober 1827 yang kemudian dikeluarkan undang-undang De Javashe

Bank Wet 1992. Bank inilah yang kemudian menjadi Bank Indonesia, setelah melalui proses nasionalisasi
pada tahun 1951, dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 1951 yang mulai berlaku tanggal

6 Desember 1951.

Regulasi perbankan di Indonesia secara sistematis dimulai pada tahun 1967 dengan dikeluarkannya

Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Undang-undang ini mengatur

secara kompehensif sistem perbankan yang berlaku pada masa itu.

b. Periode Deregulasi 1 Juni 1983

Pada awal tahun 1980-an, sistem tingkat bunga oleh pemerintah mengalami kesulitan. Bank-bank

yang telah didirikan sangat bergantung pada likuiditas Bank Indonesia. Demikian juga karena pemerintah

menentukan tingkat bunga, maka tidak ada persaingan antar bank. Hal ini menyebabkan tabungan

menjadi tidak menarik dan alokasi dana tidak efisien. Oleh karena itu pemerintah mengeluarkan

deregulasi dibidang perbankan tanggl 1 Juni tahun 1983 yang membuka belenggu penetapan tingkat

bunga tersebut.

c. Periode Pakto 1988

Pada tahun 1988, Pemerintah memandang perlu untuk membuka peluang binis perbankan seluas-

luasnya guna memobilisasi dana masyarakat untuk menunjang pembangunan. Oleh karena itu,

dikeluarkanlah Paket Kebijaksanaan Pemerintah Bulan Oktober (PAKTO) pada tanggal 27 Oktober tahun

1988, yang berisi tentang liberalisasi perbankan yang memungkinkan pendirian bank-bank yang telah

ada.

Setelah dikeluarkannya PAKTO, kemudian dimulailah pendirian Bank-Bank Perkreditan Rakyat

Syariah (BPRS), Berkah Amal Sejahtera, dan BPRS Dana Mardhatillah pada tanggal 19 Agustus 1991

kemudian, disusul oleh BPRS Amanah Rabaniah pada tanggal 24 Oktober di tahun yang sama. Ketiga

BPRS tersebut beroperasi di Bandung, kemudian berdirilah BPRS Hareukat pada tanggal 10 November

1991 di Aceh.
d. Periode Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

Dalam rangka penyempurnaan tata perbankan nasional, melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

ditempuh langkah-langkah antara lain:

1. Penyederhanaan jenis bank, menjadi Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), serta

memperjelas ruang lingkup dan batas kegiatan yang dapat diselenggarakannya;

2. Persyaratan pokok untuk mendirikan suatu bankn diataur secara rinci sehingga ketentuan

pelaksanaan yang berkaiatan dengan kehiatan perbankan yang lebih jelas dan lebih terarah;

3. Peningkatan perlundungan dana masyarakat yang dipercayakan pada lembaga perbankan melalui

penerapan prinsip kehati-hatian dan pemenuhan ketentuan persyaratan kesehatan bank;

4. Peningkatan profesionalisme para pelaku dibidang perbankan;

5. Perluasan kesempatan untuk menyelenggarakan kegiatan bidang perbankan secara sehat dan

bertanggung jawab sekaligus mencegah terjadinya praktik-praktik yang merugikan kepentingan

masyarakat luas.

Selain penyempurnaan-penyempurnaan tesebut Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan, memperkenalkan Sistem Perbankan Bagi Hasil. Dalam undang-uandang tersebut, pada Pasal

6 (m) dan Pasal 13 ayat (c) dinyatakan bahwa salah satu usaha Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat

(BPR) adalah menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan

ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 72 Tahun1992 tentang Bank berdasarkan

Prinsip Bagi Hasil dan diundangkan pada tanggal 30 Oktober 1992 dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia No. 119 Tahun 1992.

Pada intinya kedua pasal tersebut menerangkan bahwa baik Bank Umum maupun BPR dapat

menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang

ditetapkan dalam PP tersebut. Arah yang akan ditempuh harus jelas dalam undang-undang, bahwa mereka

beroperasi berdasarka sistem bagi hasil.


Hal itu secara tegas ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 PP No. 72 Tahun 1992, yang berbunyi:

1) Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan

prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip

bagi hasil.

2) Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan pri nsip

bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil.

Ketentuan tentang bank bagi hasil dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 ini dijelaskan lebih

lanjut oleh PP No 72 Tahun 1992 mengenai hal-hal penting yang diatur, diantaranya adalah pertimbangan

didirikannya bank dengan prinsip bagi hasil ini merupakan pelayanan jasa perbankan yang dibutuhkan

masyarakat. Ketentuan terpenting yang berkaitan dengan sistem syariah ini adalah penegasan pada Pasal

2 ayat 1 yang menyatakan, bahwa: “Prinsip bagi hasil adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariat”

(harus sesuai dengan syariat Islam).

Dalam menjalankan perannya, Bank Islam berlandaskan pada Undang-Undang No. 7 Tahun 1992

tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Surat Edaran

Bank Inonesia yang pada pokoknya menetapkan hal-hal antara lain:

a. Bahwa bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat

yang dilakukan usaha semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil;

b. Prinsip bagi hasil yang dimaksud adalah prinsip bagi hasil berdasarkan syariah;

c. Berdasarkan prinsip bagiu hasil, bank wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS); dan

d. Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan

prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil.

Sebaliknya, Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang melakukan usaha tidak dengan

prinsip bagi hsil (konvensional), tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan

prinsip bagi hasil.


e. Periode Undang-Undang No. 10 Tahun 1998

Pada tanggal 10 November 1998, telah diundangkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang

Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun

1998 terdapat beberapa berubahan dan penyempurnaan yang bersifat substansial. Pokok-pokok

penyempurnaan tersebut adalah sebagai berikut: 3

1. Peralihan kewenangan dan pemberian izin kepada Bank Indonesia yang sebelumnya menjadi

kewenangan Menteri Keuangan;

2. Perlunya konsultasi dengan Dewan Perwakitan Rakyat dalam rangka pembentukan badan khusus;

3. Peningkatan sanksi pidana atas pelanggaran rahasia bank;

4. Peningkatan peranan bank umum dalam melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip

syariah;

5. Ketentuan mengenai kemungkinan kepemilikan bank asing sebagai mitra strstegis dan pemegang

saham bank umum;

6. Peranan Badan Pengawas Keuangan;

7. Pendefinisian lembaga penjamin simpanan;

8. Penegasan sifat sementara bagi badan khusus;

9. Pencantuman persyarakan analisis mengenai dampak lingkungan dalam perjanjian kredit atau

pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; dan

10. Perubahan ancaman sanksi pidana berupa peningkatan ancaman hukuman.

Untuk perbankan syariah mulai tahun 2008, terdapat pengaturan khusus setelah diundangkannya

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Disusunnya Undang-Undang Perbankan

Syariah dilatarbelakangi oleh pemikiran, bahwa perbankan syariah sebagai salah satu sistem perbankan

nasional memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan kontribusi yang maksimum

bagi perekonomian nasional. Salah satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai
3
Ibid, hlm 26
dan sesuai dengan karakteristiknya. Undang-undang perbankan yang telah ada dirasakan masih kurang

mengakomodasi karakteristik operasional bank syariah.

Untuk menjamin kepastian hukum bagi stakeholder, memberikan keyakinan kepada masyarakat

dalam menggunakan produk dan jasa bank syariah, menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip syariah,

prinsip-prinsip kesehatan bank syariah, terutama untuk memobilisasi dana dari negara lain yang

mensyaratkan pengaturan terhadap bank syariah dalam undang-undang tersendiri, sangat mendesak

disusun dan diundangkannya Undang-Undang Perbankan Syariah.

Setelah melalui proses yang cukup panjang, tanggal 7 Mei 2008 DPR telah mengesahkan Undang-

Undang No. 21 Tahun 2008 tentan Perbankan Syariah. Undang-undang ini terdiri dari 13 Bab dan 70

pasal. Undang-undang ini mengenai:

1. Jenis usaha bank syariah;

2. Ketentuan pelaksanaan syariah;

3. Kelayakan usaha;

4. Penyaluran dana bank syariah;

5. Larangan bagi bank syariah dan unit usaha syariah; serta

6. Kepatuhan syariah.

Kedudukan Undang-Undang Perbankan Syariah merupakan lex specialis dari Undang-Unsdang

Perbankan. Hal ini dikarenakan UU Perbankan Syariah merupakan undang-undang yang khusus mengatur

perbankan syariah,sedangkan Undang–Undang Perbankan mengatur perbankan secara umum,baik

perbankan syariah maupun perbankan konvensional. Salah satu asas perundang-undangan adalah lex

specialis derogat lex generalis,yaitu undang-undang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-

undang yang bersifat umum. Jika di dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ada pengaturan yang

berbeda dengan yang diatur dalam Undang-Undang Perbankan,maka undang-undang yang digunakan

Perbankan Syariah adalah Undang-Undang Perbakan Syariah.


4. BENTUK HUKUM DAN TATA CARA PENDIRIAN BANK

a. Bentuk Hukum Bank

Bentuk hukum suatu bank di Indonesia ditentukan oleh jenis bank. Menurut Undang-Undang No.

10 Tahun 1998, jenis bank terdiri atas dua, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Bank

syariah pun terdiri atas dua jenis bank tersebut, yaitu Bank Umum Syariah dan BPR Syariah (BPRS).

Ketentuan mengenai bentuk hukum bank umum diatur pada Pasal 21 Ayat (1) Undang-Undang

Perbankan No. 10 Tahun 1998.

1. Bentuk Hukum Suatu Bank Umum Berupa:

a. Perseroan Terbatas;

b. Koperasi; atau

c. Perusahaan Daerah.

Bentuk hukum BPR dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tidak terdapat perubahan sehingga

tetap mengacu pada Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992.

2. Bentuk Hukum Suatu Bank Perkreditan Rakyat Berupa:

a. Perusahaan Daerah;

b. Koperasi;

c. Perseroan Terbatas; dan

d. Bentuk lain yang telah ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah.

Bentuk hukum dari kantor perwakilan dan kantor cabang bank yang berkedudukan di luar

negeri mengikuti bentuk hukum kantor pusatnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (3)

Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992.


Selain bentuk hukum yang ditentukan dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 dan

Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992, bentuk hukum yang lainnya tidak diperkenankan

beroperasi dalam kegiatan perbankan. Konsekuensi bentuk hukum lainnya harus menyesuaikan dengan

ketentuan yang ada, misalnya bentuk hukum perusahaan negara seperti bank milik pemerintah harus

berubah menyesuaikan diri menjadi perusahaan perseroan. Bentuk hukum bank syariah menurut

Undangp-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah berupa Perseroan Terbaras (PT).

a. Bentuk Hukum Perusahaan Daerah

Perusahaan Daerah dapat mendirikan bank berbentuk Bank Umum ataupun Bank Perkreditan

Rakyat. Pada masa berlakunya Undang-Undang Perbankan Tahun 1967, banyak bank milik Pemerintah

Daerah (Pemda) hanya didirikan dengan Peraturan Daerah atas kuasa Undang-Undang No. 13 Tahun

1962, sebagai alat kelengkapan otonomi daerah, yaitu untuk mengembangkan perekonomian daerah,

sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dan sebagai sumber kas Pemerintah Daerah. Setelah

Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 berlaku, maka bentuk hukum Bank Pembangunan Daerah

tersebut harus menyesuaikan diri dengan ketentuan bentuk hukum yang berlaku dalam Undang-Undang

Perbankan No. 10 Tahun 1998.

Masa transisi guna penyesuaian bentuk hukum seperti yang dikehendaki oleh Undang-Undang

Perbankan No. 10 Tahun 1998, maka bentuk hukum yang sesuai dan tepat bagi Bank Pembagunan

Daerah adalah menjadi perusahaan daerah. Sesuai dengan tugas penyesuaian bentuk hukum tersebut maka

dikeluarkan landasan hukumnya, yaitu Permendagri No. 8 Tahun 1992.

Ketentuan Pasal 2 Permendagri No. 8 Tahun 1992 menyebutkan, bahwa pelaksanaan penyesuaian

peraturan pendirian Bank Pembangunan Daerah serta perubahan bentuk hukum bank tersebut menjadi

perusahaan daerah harus ditetapkan melalui peraturan daerah dengan mengacu pada ketentuan Undang-

Undang No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah dan Undang-Undang Perbankan No. 7 1992.

b. Bentuk Hukum Koperasi


Koperasi dapat menjalan usaha perbankan, baik sebagai Bank Umum, maupun Bank Perkreditan

Rakyat. Koperasi merupakan badan usaha yang memiliki status sebagai badan hukum, sesuai dengan

ketentuan yang tercantum dalam Pasal 9 Undang-Undang Perkoperasian Tahun 1992.

Koperasi sebagai badan usaha mempunyai kekhususan, yaitu menjalankan kegiatan usahanya

berdasarkan prinsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat berdasarkan atas kekeluargaan.

Dengan demikian, anggota koperasi adalah pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi. Usaha yang

dilakukan koperasi dikaitkan langsung dengan anggota untuk meningkatkan usaha dan berperan utama di

segala bidang kehidupan ekonomi, termasuk kegiatan perbankan. Dalam hal kegiatan perbankan yang

berbentuk hukum koperasi, kegiatan tersebut adalah usaha untuk mensejahterakan masyarakat.

Pengelolaan atas kegiatan usaha perbankan tersebut menjadi tanggung jawab pengurus yang

dipertanggungjawabkan pada rapat anggota luar biasa (Pasal 31 Undangp-Undang Perkoperasian Tahun

1992). Pengurus secara bersama-sama atau sendiri-sendiri, mananggung kerugian diderita koperasi karena

tindakan yang dilakukan dengan kesengajaan atau kelalaian.

c. Bentuk Hukum Perseroan Terbatas

Menurut Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas,

Perseroan Terbatas adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian dan melakukan kegiatan

usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi ke dalam saham dan memenuhi persyaratan yang

ditetapkan dalam undang-undang ini seryta peraturan pelaksanaan lainnya. Kegiatan perseroan harus

sesuai dengan maksud dan tujuannya.

Sesuai dengan Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, bentuk hukum Perseroan Terbatas

ini dapat menjalankan kegiatan bank, berupa Bank Umum ataupun Bank Perkreditan Rakyat.
Perseroan Terbatas yang bidang usahanya mengerahkan dana masyarakat seperti PT yang berusaha

di bidang perbankan menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas wajib mempunyai paling sedikit dua

orang anggota direksi.

Kelengkapan organisasi (organ) Perseroan Terbatas merupakan kesatuan dan pengertian yang

lengkap bagi Perseroan Terbatas, terdiri dari:

1. Rapat Umum Pemegang Saham, yaitu organisasi perseroan yang memegang kekuasaan tertinggi

dalam perseroan memegang segala wewenang yang tidak dapat diserahkan kepada direksi atau

komisaris.

2. Direksi, yaitu organisasi perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan

untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar

pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

3. Komisaris, yaitu organisasi yang bertugas melakukan pengawasan secara umum, atau khusus

serta memberikan nasihat kepada direksi dalam menjalankan perseroan.

b. Pendirian Bank

Ketentuan mengenai pendirian bank dalam Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 diatur

secara terpisah, dan berbeda antara pendirian jenis Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat.

Mennyangkut ketentuan pendirian ini termasuk juga pembukaan kantor cabang pembantu dan kantor kas.

1. Pendirian Bank Umum

Bank Umum dapat didirikan dan menjalankan usaha dengan izin Bank Indonesia. Bank tersebut

dapat didirikan oleh warga negara Indonesia, dan badan hukum Indonesia, atau atas kerja sama
antarwarga negara Indonesia, atau badan hukum Indonesia dengan bank yang berkedudukan di luar

negeri.

Menurut Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Bank Umum, pemberian izin mengenai Bank

Umum dilakukan dalam dua tahap. Pertama, tahap persetujuan prinsip, yaitu persetujuan untuk

melakukan persiapan pendirian bank yang bersangkutan. Kedua, pemberian izin usaha yang diberikan

untuk melakukan usaha setelah persiapan selesai dilakukan. Selama belum mendapatkan izin usaha, pihak

yang mendapat persetujuan prinsip tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha apapun di bidang

perbankan.

Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip diajukan sekurang-kurangnya oleh salah

seorang calon pemilik dengan melampirkan:

a. Rancangan Anggaran Dasar (RAD);

b. Daftar calon pemegang saham, berikut pernyataan masing-masing dan simpanan wajib, serta

daftar pihak yang akan melakukan penyertaan, berikut jumlah penyertaannya bagi bank Umum

yang berbentuk hukum koperasi;

c. Calon Direksi, susunan Direksi, Dewan Komisaris, Sususnan Organisasi;

d. Rencana kerja tahun pertama; dan

e. Bukti setoran modal sekurang-kurangnya sebesar 30% dari modal sektor.

Dalam permohonan izin prinsip izin usaha ini terdapat ketentuan khusus bagi Bank Campuran dan

Bank Umum berdasarkan prinsip yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Permohonan persetujuan prinsip

dari pemohon Bank Campuran harus juga melampirkan:

a. Suatu kesepakatan tertulis dari para pemegang saham untuk mendirikan Bank Campuran, serta

kesepakatan mengenai rencana peningkatan kepemilikan saham Indonesia;

b. Laporan tahunan untuk dua tahun terakhir berturut-turut dari bank yang berkedudukan di luar

negeri;
c. Surat rekomendasi dari otoritas negara asal bagi bank yang berkedudukan di luar negeri.

Guna mendapat izin usaha, surat permohonan tersebut wajib melampirkan:

a. Anggaran dasar/akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang;

b. Daftar pemegang saham;

c. Susunan Direksi dan Dewan Komisaris;

d. Susunan organisasi berikut sistem dan prosedur kerja termasuk susunan personaliannya;

e. Bukti pelunasan modal disetor minimum;

f. Bukti kesiapan personalia lainnya;

g. Surat pernyataan tidak merangkap jabatan sebagai anggota direksi atau jabatan eksekutif lainnya

pada perusahaan lain bagi anggota direksi;

h. Surat pernyataan dari anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris bahwa yang bersangkutan

mempunyai atau tidak mempunyai hubungan keluarga sampai sederajat kedua dengan anggota

direksi dan anggota dewan liannya; serta

i. Surat pernyataan dari anggota Direksi, bahwa yang bersangkutan baik secara sendiri-sendiri

maupun bersama-sama tidak memiliki saham melebihi 25% pada perusahaan lain.

2. Pembukaan Kantor Cabang Bank Umum

Kedudukan kantor pusat dan cabang ada beberapa ketentuan khusus untuk jenis bank tersentu,

seperti bank campuran dan bank yang berbentuk perusahaan daerah. Bank yang berbentuk perusahaan

daerah harus berkedudukan dan berkantor pusat di ibu kota provinsi, sedangkan kantor-kantor cabang dan

unit-unit usaha lainnya bisa disesuikan dengan kebutuhan, dan ditetapkan oleh direksi dengan persetujuan

Dewan Pengawas (Pasal 4 Permendagri No. 8 Tahun 1992). Bank Umum yang berbentuk Bank

Campuran hanya dapat membuka kantor cabang di kota Jakarta, Surabaya, Semarang, Bandung, Medan,

Ujung Pandang, Denpasar, dan daerah otoritas Pulau Batam masing-masing satu kantor.
Perihal pembukaan kantor cabang di dalam negeri dari Bank Umum hanya dapat dilakukan dengan

izin Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan dari Bank Indonesia. Izin pembukaan kantor

cabang hanya dapat diberikan apabila tingkat kesehatan dan permodalan bank yang bersangkutan selama

24 bulan terakhir, atau sekurang-kurangnya dalam 20 bulan terakhir tergolong sehat dan selebihnya cukup

sehat. Ketentuan tersebut berlaku pula untuk pembukaan kantor cabang pembantu dan kantor cabang

bank yang berkedudukan di luar negeri (Pasal 19 Keputusan Menteri Keuangan No. 220 Tahun 1993).

Bank umum dapat melakukan pembukaan kantor cabang di dalam negeri, juga dapat membuka

kantor cabang di luar negeri persiapannya pun diperlukan suatu izin Bank Indonesia. Izin sebagaimana

tersebut hanya dapat dilakukan apabila bank yang bersangkutan memenuhi persyarakatan:

1. Tingkat kesehatan dan permodalannya selama 24 bulan terakhir atau sekurang-kurangnya 20

bukan terakhir tergolong sehat dan selebihnya tergolong cukup sehat.

2. Telah menjadi Bank Devisa sekurang-kurangnya 1 tahun.

Untuk memperoleh izin tersebut, Direksi Bank Umum yang bersangkutan kepada Bank Indonesia.

Permohonan tersebut disampaikan ke alamat Direktorat Perbankan dan Usaha Jasa Pembiayaan.

Direktorat Jendral Lembaga Keuangan, JL. Dr. Wahiddin No. 1, Gedung A, Jakarta 10710, sedangkan

tembusanya disampaikan pada tanggal yang sama ke alamat kantor pusat Bank Indonesia, Jl. M.H,

Thamrin No. 2, Jakarta 10010 dengan melampirkan:

1. Neraca gabungan dua bukan terakhir sebelum tanggal surat permohonan;

2. Penilaian tingkat kesehatan bank dua bulan terakhir sebelum tanggal surat permohonan;

3. Rincian kolektibilitas aktiva produktif dari dua bulan terakhir sebelum tanggal surat

permohonan;

4. Bukti kesiapan operasional pembukaan kantor cabang; dan

5. Hasil studi kelayakan dan rencana kerja kantor yang bersangkutan sekurang-kurangnya selama

satu tahun pembukaan di luar negeri tersebut.


Persejutuan atau penolakan atas permohonan tersebut diberikan dalam jangka waktu selambat-

lambatnya 30 hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap. Pertimbangan Bank Indonesia atau

permohonan persetujuan prinsip atau izin usaha tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan dalam

jangka wakti selambat-lambatnya 15 hari kerja setekah tembusan permohonan diterima secara lengkap.

Pelaksanaa pembukaan kantor cabang di dalam negeri harus dilakukan dalam jangka waktu

selambat-lambatnya dua bulan sejak tanggal dikeluarkannya izin. Pelaksanaan pembukaan kantor tersebut

wajib dilaporkan kepada Bank Indonesia dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 hari kerja setelah

tanggal pembukaan. Apabila dalam jangka waktu dua bulan, bank yang bersangkutan tidak melaksanakan

pembukaan kantor tersebut, Bank Indonesia dapat membatalkan izin pembukaan kantor tersebut.

Pembukaan kantor di luar negeri hanya dapat dilakukan setelah mendapat izin dari otoritas

setempat yang berwenang. Pelaksanaan pembukaan kantor tersebut wajib dilaporkan kepada Bank

Indonesia dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 10 hari kerja setelah tanggal pembukaan.

3. Pendirian Bank Perkreditan Rakyat

Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat didirikan dan menjalankan usaha dengan izin Bank

Indonesia. Bank tersebut dapat didirikan oleh warga negara Indonesia, badan hukum Indonesia yang

seluruh pemiliknya warga negara Indonesia. Pemerintah Daerah, dan kerja sama di antara mereka.

Pemberian izin untuk mendirikan BPR melalui dua tahap. Pertama, tahap persetujuan prinsip, yaitu

persetujuan untuk melakukan persiapan pendirian bank yang bersangkutan. Kedua, izin usaha, yakni izin

yang diberikan untuk melakukan usaha setelah persiapan selesai dilakukan. Selama belum mendapat izin

usaha, pihak yang, mendapat persetujuan prinsip tidak diperkenakan melakukan kegiatan usaha apapun di

bidang perbankan.

Permohonan untuk mendapatkan persetujuan prinsip, para pemohon wajib melampirkan:

1. Rancangan Anggaran Dasar/akta pendirian Bank Perkreditan Rakyat.


2. Daftar calon pemegang saham, berikut rincian penyertaan masing-masing Bank Perkreditan

Rakyat yang berbentuk hukum Perusahaan Daerah, Perseroan Terbatas, atau daftar calon anggota

berikut rincian jumlah simpanan pokok dan simpanan wajib, serta daftar pihak yang akan

melakukan pernyataan berikut jumlah pernyataan bagi Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk

hukum koperasi.

3. Daftar calon Direksi dan Dewan Komisaris.

4. Rencana susunan organisasi.

5. Rencana kerja tahun pertama.

6. Bukti penyetoran modal sekurang-kurangnya sebesar 30% dari modal sektor.

Ketentuan khusus Bank Prekreditan Rakyat yang akan beroperasi dengan sistem bagi hasil yang

telah ditetapkan Bank Indonesia, permohonan prinsip harus melampirkan rancangan anggaran dasar dan

rencana kerja yang secara tegas mencantumkan kegiatan usaha bank semata-mata berdasarkan prinsip

bagi hasil yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan berdasarkan syariah. Sementara itu untuk

mendapatkan izin usaha, permohonan yang telah melampirkan anggaran dasar yang telah disahkan oleh

instansi yang berwenang, daftar pemegang saham, sususnan Direksi dan Dewan Komisaris, susunan

organisasi berikut sistem, dan prosedur kerja, bukti pelunasan keuangan, modal disektor, dan bukti

kepemilikan penguasaan atas gedung kantor.

Permohonan tersebut harus diberikan selambat-lambatnya 30 hari kerja setelah permpohonan

diterima secara lengkap. Bank Perkreditan Rakyat rakyat didirikan di ibu kota, kabupaten, atau

kotamadya, sepanjang di tempat tersebut belum terdapat Bank Perkreditan Rakyat.

c. Pendirian Kntor Cabang Bank Perkreditan Rakyat

mengenai pendirian kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat, dapat diajukan kepada Bank

Indonesia dengan memenuhi syarat tingkat kesehatan dan permodalan selama 24 bulan terakhur, atau

dalam 20 bulan terakhir sekurang-kurangnya tergolong sehat dan selebihnya cukup sehat. Dalam
mendirikan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat, yakni sebesar Rp 10 miliar jika kantor cabang di

buka di ibu kota negara, Rp3 miliar jika kantor cabang dibuka di ibu kota provinsi, dan Rp1 miliar jika

kantor cabang dibuka di kotamadya atau kabupaten.

Izin atau penolakan kantor cabang Bank Perkreditan Rakyat harus diberikan selambat-lambatnya

30 hari setelah permohonan diterima jika izin telah diberikan, maka pelaksanaan pembukaan kantor

cabang itu dilakukan selambat-lambatnya dua bulan sejak izin pendirian kantor cabang diberikan. Jika

tidak, izin tersebut dicabut.

Bank Perkreditan Rakyat yang memiliki kantor di ibu kota negara dan ibu kota provinsi, tidak

diperkenankan membuka kantor cabang atau kantor dibawah kantor cabang. Pembukaan kantor dengan

status di bawah kantor cabang, dapat dilakukan apabila tingkat kesehatan dan permodalan selama 12

bulan terakhir atau sekurangnya 10 bulan terakhir tergolong sehat dan selebihnya cukup sehat.

4. Pengukuhan Menjadi Bank Perkreditan Rakyat

Pada masa Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1967, dikenal banyak lembaga yang

melakukan kegiatan usaha perkreditan, seperti Bank Pasar, Lumbung Desa, Bank Desa, dan sebaginya.

Lembaga-lembaga seperti itu tumbuh dan berkembang dari linkungan masyarakat Indonesia. Lembaga-

lembaga tersebut mempunyai dua ciri, yaitu kebersamaan dengan sifat koorperatif dan ciri ekonomi

berupa lembaga usaha keuangan sederhana legal dengan administrasi yang jelas. Beribahnya peraturan

perbankan yang ada membawa konsekuensi terhadap lembaga-lembaga perkreditan tersebut.

Jika Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 merasakan bentuk lembaga yang demikian

banyak membantu dan masih diperlukan masyarakat. Dengan demikian, lembaga tersebut perlu terus

diakui keberadaannya. Oleh karena itu, Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 memberi

kejelasan status dari lembaga-lembaga tersebut. Selanjutnya untuk menjamin kesatuan dan keseragaman

dalam pembinaan dan pengawasan, dengan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 1992 tentang Bank
Perkreditan Rakyat, ditetapkan persyaratan dan tata cara pemberian status lembaga-lembaga perkreditan

desa tersbut sebagai Bank Perkreditan Rakyat.

Ketentuan yang mengatur pengukuhan lembaga perkreditan desa adalah sebagai berikut. 4

1. Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, Lumbung Pitih Negara, Lembaga

Perkreditan Desa, Badan Kredit Desa, dan lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan

itu yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dinyatakan menjadi Bank

Perkreditan Rakyat.

2. Lembaga atau badan tersebut telah berdiri sebelum berlakunya Undang-Undang Perbankan Tahun

1998 tentang Perbankan dan belum mendapat izin usaha sebagai Bank Perkreditan Rakyat, wajib

mengajukan permohonan izin usaha sebagai Bank Perkreditan Rakyat kepada Menteri Keuangan

selambat-lambatnya 5 tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 1992.

Lembaga yang tidak mengajukan permohonan sampai batas waktu tanggal 30 Oktober 1997,

tidak dapat dilakukan menjadi Bank Perkreditan Rakyat dan dilarang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk simpanan.

3. Untuk dapat memperoleh izin usaha sebagai Bank Perkreditan Rakyat, lembaga atau badan usaha

tersebut dapa memilih salah satu bentuk hukum sebagai berikut:

a. Perusahaan Daerah

b. Koperasi; atau

c. Perseroan Terbatas

Permohonan untuk mendapat izin usaha tersebut diajukan oleh pengurus lembaga yang

bersangkutan kepada Bank Indonesia. Permohonan dapat disampaikan ke alamat Direktorat Perbankan,

Usaha, dan Pemberian Jasa Pembiayaan, dan Direktorat Jendral tanggal yang sama ke alamat kantor pusat

Bank Indonesia. Permohonan tersebut harus diajukan selambat-lambatnya tanggal 30 Oktober 1997.

4
Ibid, hlm 99
Permohonan untuk mendapat izin usaha tersebut wajib dilampiri dengan:

a. Dasar pendirian lembaga yang bersangkutan;

b. Anggaran dasar/akta pendirian yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang sesuai

dengan bentuk hukum yang telah dipilih;

c. Susunan organisasi;

d. Neraca perhitungan laba/rugi per tanggal sebelum 25 Maret 1992 dan per tanggal terdekat

dengan pengajuan permohonan izin usaha; serta

e. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

4. Pengurus Bank Perkreditan Rakyat, hasil pengukuhan tersebut wajib memenuhi ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 1992, yaitu anggota Direksi dan Dewan

Komisaris harus warga negara Indonesia dan tidak pernah melakukan tindakan tercela di bidang

perbankan dan/atau dihukum karena terbukti melakukan tindakan pidana di bidang perbankan dan

perekonomian memiliki akhlak dan moral yang baik.

4. Peningkatan Status Bank Perkreditan Rakyat

Bank Perkreditan Rakyat dapat ditingkatkan statusnya menjadi Bank Umum. Persyaratannya, Bank

Perkreditan Rakyat harus memiliki tingkat kesehatan dan permodalan selama 12 bulan terakhir atau 10

bulan terakhir tergolong sehat dan selebihnya cukup sehat. Bank Prekreditan Rakyat juga harus

memenuhi persyaratan modal disektor untuk menjadi Bank Umum dan memenuhi ketentuan Direksi dan

Dewan Komisaris sebagaimana dipersyaratkan pada Bank Umum. 5

2. Kepemilikan Bank

Menurut ketentuan pokok Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, kepemilikan suatu

bank sitentukan pula dari jenis bank tersebut. Kepemilikan Bank Umum sedikitnya akan berada dengan

5
Ibid, hlm 110
kepemilikan Bank Perkreditan Rakyat. Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998 Pasal 22 ayat (1)

dan (2) mengatur tentang kepemilikan suatu bank.

1. Kepemilikan Bank Umum

Menurut Pasal 22 Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, Bank Umum dapat dimiliki

oleh:

a. Warga negara Indonesia;

b. Badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negara Indonesia, atau hasil kerja

sama dengan bank dari negara lain.’

Suatu badan hukum dapat memiliki saham Bank Umum sebanyak-banyaknya sebesar modal

sendiri bersih dalam hukum yang bersangkutan. Adapun yang dimaksud dengan modal sendiri

bersih adalah modal si penyetor ditambah cadangan ditambah laba atau dikurangi kerugian.

Ketentuan dalam pasal ini juga berlaku bagi yayasan. Dengan demikian, upaya kepemilikan saham

Bank Umum oleh badan hukum tidak boleh menggunakan dana pinjaman.

c. Warga negara asing atau badan hukum asing dengan kemitraan. Adapun kepemilikan Bank Umum

yang berbentuk koperasi, kepemilikannya diatur berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang

Perkoperasian. Dalam ketentuan perkoperasian sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang

No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian yang menjadi pemilik bank yang berbentuk badan

hukum koperasi adalah seluruh anggota koperasi tersebut. Mengenai keanggotaan kopersi ini, pada

dasarnya tidak dapat dipindahtangankan.

2. Kepemilikan Bank Perkreditan Rakyat

Bank Perkreditan Rakyat hanya dapat dimiliki oleh:

a. Warga negara Indonesia;


b. Badan hukum Indonesia yang pemiliknya warga negara Indonesia, atau Pemerintah Daerah atau

berupa badan hukum hasil kerja sama di antara ketiganya.

Adapun kepemilikan Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk hukum koperasi, kepemilikannya

diatur berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Perkoperasian sesuai dengan Pasal 17 ayat (1) No.

25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian. Dengan demikian, yang menjadi pemilik bank yang berbentuk

badan hukum koperasi adalah seluruh anggota koperasi.

5. SUMBER DANA PERBANKAN DI INDONESIA

Sebagaimana kita ketahui bahwa lembaga perbankan adalah lembaga keuanagan yang menjadi

perantara antara pihak yang mempunyai kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan atau

kekurangan dana, tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit dalam menjalankan kegiatan usaha atau

operasionalnya.

Sebagai lembaga keuangan, bank mempunyai usaha pokok berupa menghimpun dana dari

masyarakat untuk kemudian menyalurkannya kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dana

dalam bentuk kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Fungsi untuk mencari dan

menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan memegang peranan penting terhadap pertumbuhan

suatu bank, sebab jumlah dana yang berhasil dihimpun atau disimpan tentunya akan menentukan pula

jumlah dana yang dapat dikembangkan oleh bank tersebut dalam bentuk penanaman dana yang

menghasilkan, misalnya dalam bentuk pemberian kredit, pembelian efek-efek, atau surat-surat berharga

di pasar uang.

Dari apa yang dikemukakan dia atas, berarti bahwa dana yang dibutuhkan dalam pengelolaan bank

tidak semata-mata hanya mengandalkan modal yang dimiliki oleh bank saja, tetapi harus sedemikian rupa

dapat memobilisasi dan memotivasi masyarakat untuk menyimpan dana yang dimilikinya di bank, baik

berupa simpanan maupun dalam bentuk lain, dan melalui kerja sama denhan lembaga-lembaga keuangan.
Namun demikian, dana yang bersumber dari masyarakat tersebut adalah sumber dana terpenting bagi

perbankan dalam menjalankan kegiatan uasahanya.

Dalam rangka memobilisasi dan menghimpun dana dari masyarakat tersebut sudah tentu bank

harus sedemikian rupa mengenal sumber-sumber dana yang terdapat di dalam berbagai lapisan

masyarakat dengan bentuk yang berbeda pula.

Secara garis besar sumber dana bagi sebuah bank dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 6

a. Dana yang bersumnber dari bank sendiri

b. Dana yang berasal dari masyarakat luas

c. Dana yang berasal dari lembaga keuangan, baik berbentuk bank maupun nonbank.

Berdasarkan pendapat diatas penulis berpendapat bahwa pada prinsipnya sumberdana dari suatu

bank itu terdiri dari empat sumber dana, yaitu:

a. Dana yang bersumber dari bank sendiri

b. Dana yang bersumber dari masyarakat

c. Dana yang berasal dari Bank Indonesia sebagai Bank Sentral

d. Dana yang bersumber dari Lembaga Keuangan Bank dan Lembaga Keuangan Bukan Bank

Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai sumber dana perbankan baik yang bersumber dari bank

sendiri, masyarakat, Bank Sentral maupun bersumber dari lembaga keunagan lain tersebut akan diuraikan

berikut ini.

a. Dana yang bersumber dari bank sendiri

Dana yang bersumber dari bank itu sendiri adalah dana berbentuk modal setor yang berasal dari

para pemegang saham dan cabang-cabang serta keuntungan bank yang belum dibagikan kepada

6
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm 42-43
pemegang saham. Dana ini adalah murni dimiliki oleh bank yang telah ada sejak bank tersebut memulai

kegiatan usahanya, bahkan sejak bank tersebut memperoleh izin usaha dari Bank Indonesia.

Modal setor yang berasal dari pemegang saham dapat dikatakan bersifat tetap, dalam arti

selamanya akan tetap mengendap dalam bank dan tidak akan mudah ditarik begitu saja oleh penyetornya.

Dalam ketentuan Pasal 37 ayat (1) jo. Pasal 35 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan

Terbatas ditentukan bahwa untuk pengurangan modal setor suatu perseroan terbatas haruslah melalui

Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham tersebut harus

memenuhi ketentuan dan persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

b. Dana yang bersumber dari masyarakat luas

Sebagaimana telah dikemukakan di atas,bahwa dana bank yang berasal dari masyarakat

mempunyai peranan yang sangat penting bagi kegiatan perbankan. Dana yang berasal dari masyarakat

luas adalah dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang diwujudkan dalam

berbagai bentuk seperti giro, deposito, dan tabungan.

Dana yang berasal dari masyarakat tersebut pada prinsipnya merupakan dana yang harus diolah

atau dikelola oleh bank dengan sebaik-baiknya agar memperoleh keuntungan (profit). Sedangkan yang

dimaksud dengan simpanan dari masyarakat itu adalah dana yang dipercayakan oleh masyarakat kepada

bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito,

tabungan, dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Berdasarkan pengertian di atas, maka dalam dunia perbankan dana yang berasal dari masyarakat

luas ini terdiri dari:

1. Simpanan Giro (Demand-Deposit)


Secara umum giro adalah simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya dapat dilakukan

setiap saat dengan mempergunakan cek, surat perintah pembayaran lainnya, atau dengan cara

pemindahbukuan.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 butir 6 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 yang dimaksud

dengan giro adalah simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek,

bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.

Dari pengertian di atas ada 2 (2) hal yang perlu kita perhatikan tentang giro, yaitu:

a. Penarikan dapat dilaksanakan setiap saat, yang berarti bahwa penarikan simpanan dalam bentuk

giro dapat dilakukan oleh si penyimpan, pemilik girant tersebut setiap saat selama kantor kas

bank buka.

b. Cara penarikan. Dalam hal ini paling banyak dipergunakan adalah penarikan dengan cek dan

bilyet giro. Namun dengan batas-batas tertentu penarikan dalam bentuk lain seperti sarana

perintah pembayaran lain dan pemindahbukuan dapat dilakukan.

Selanjutnya dapat juga dikemukakan bahwa simpanan dalam bentuk giro ini mempunyai banyak

kegunaan bagi si penyimpan, yaitu:

1. Dapat membayar transaksi jual-beli dengan mempergunakan cek, bilyet giro, atau sarana perintah

pembayaran lainnya.

2. Dapat mengirim transfer (kiriman uang atau delegasi kredit dengan jaminan rekening giro).

3. Keamanan dan rahasia terjamin.

4. Tidak perlu membawa uang dalam jumlah besar.

5. Dapat deambil sewaktu-waktu.

2. Deposito (Time Deposit)


Secara umum deposito diartikan sebagai simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya

hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara pihak ketiga dan bank yang

bersangkutan.

Sedangkan menurut ketentuan Pasal 1 butir 7 ditentukan bahwa deposito adalah simpanan yang

penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan

dengan bank.

Dari pengertian di atas kita melihat ada 2 (dua) unsur yang terkandung dalam deposito, yaitu:

a. Penarikan hanya dapat dilakukan dalam waktu tertentu, yang berarti bahwa penarikan simpanan

dalam bentuk deposito hanya dapat dilakukan oleh si penyimpan pasar waktu tertentu

berdasarkan perjanjian antara nasabah penyimpan dengan bank.

b. Cara penarikan. Dalam hal ini apabila batas waktu yang terutang dalam perjanjian deposito

tersebut telah jatuh tempo, maka si penyimpan dapat menarik deposito tersebut atau

memperpanjang dengan suatu waktu yang diinginkannya.

Mengenai jangka waktu deposito terdapat beberapa alternatif yang dapat dipilih oleh nasabah

penyimpan, yaitu:

1 (satu) bulan, 3 (tiga) bulan, 6 (enam) bulan, 12 (dua belas) bulan, 24 ( dua puluh empat) bulan.

3. Sertifikat Deposito

Menurut ketentuan Pasal 1 butir 8 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan

dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan sertifikat deposito adalah simpanan dalam bentuk deposito

yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindah tagankan. Sedangkan dalam pengertian lain

dikatakan bahwa sertifikat deposito adalah simpanan berjangka atas pembawa atau atas tunjuk, yang

dengan izin Bank Indonesia dikeluarkan oleh bank sebagai bukti simpanan yang dapat diperjual belikan

atau dipindah tangankan kepada pihak lain.


Dari pengertian yang ditentukan oleh Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tersebut di atas,

menuntukkan bahwa suatu sertifikat deposito mempunyai 2 (dua) unsur, yaitu:

a. Berbentuk deposito bersertifikat, yang berarti bahwa bentuknya berbeda dengan deposito

berjangka dikeluarkan atas nama, sedangkan sertifikat deposito dikeluarkan atas tunjuk.

b. Dapat dipindah tangankan, yang berarti bahwa dengan dikeluarkannya sertifikat deposito dalam

bentuk atas tunjuk, maka bukti penyimpanannya dapat dipindah tangankan kepada pihak lain.

4. Tabungan

Tabungan dapat diartikan sebagai simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya dapat

dilakukan menurut syarat-syarat tertentu.

Ketentuan Pasal 1 butir 9 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 mengemukakan bahwa tabungan

adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati,

bilyet, giro, dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Dari pengertian di atas, dapat dikemukakan bahwa tabungan mempunyai 2 (dua) unsur, yaitu:

a. Penarikannya dengan syarat tertentu, yang berarti bahwa simpanan dalam bentuk tabungan hanya

dapat ditarik sesuai dengan persyaratan tertuntu yang telah disepakati oleh nasabah penyimpan

dan bank. Misalnya, ada persyaratan bahwa nasabah penyimpanan dapat melakukan penarikan

simpanan setiap waktu baik dalam jumlah yang dilakukan dalam suatu jangka waktu tertentu.

b. Cara penarikannya. Dalam hal ini penarikan simpanan dalam bentuk tabungan dapat dilakukan

secara langsung oleh si nasabah penyimpanan atau orang lain yang dikuasakan olehnya dengan

mengisi slip penarikan yang berlaku di bank yang bersangkutan. Naman demikian, penarikannya

tidak dapat dilakukan dengan mempergunakan cek, bilyet, giro, dan atau alat lainnya yang

dipersamakan dengan itu.

e. Dana yang bersumber dari bank indonesia sebagai bank sentral


Dana yang bersumber dari Bank Indonesia adalah dana yang dikucurkan oleh Bnak Indonesia

melalui fasilitas kredit kepada bank-bank yang mengalami kesulitan pendanaan jangka pendek yang

dijamin dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan. Pemberian fasilitas kredit oleh Bank

Indonesia tersebut merupakan implementasi dari fungsi Bank Indonesia sebagai the lender of the last

resort (LoLR). Berkaitan dengan itu menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 2004, fungsi the lender of the

resort itu memungkinkan Bank Indonesia memberikan fasilitas pembiayaan darurat yang pendanaannya

menjadi beban pemerintah, dalam hal suatu bank mengalami kesulitan keungan yang berdampak

sistematis dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan. Mekanisme ini

merupakan bagian dari konsep jaring pengaman sektor keuangan (Indonesia Financial Safety Net).

Adapun dana yang bersumber dari Bank Indonesia yang dikucurkan kepada bank-bank yang

mengalami kesulitan pendanaan adalah sebagai berikut: 7

1. Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI)

Kredit Likuiditas Bank Indonesia ini adalah kredit yang diberikan oleh Bank Indonesia untuk

membiayai kredit program pemerintah yang disalurkan melalui Bank Umum. Dengan perkataan lain,

KLBI diberikan oleh Bank Indonesia sebagai pinjaman kepada bank-bank yang membutuhkan dana untuk

kepentingan likuiditas mereka.

Pinjaman serta KLBI tersebut diberikan oleh Bank Indonesia dengan persyaratan tertentu. Cara

pemberiannya adalah melalui:

a. Menerima penggadaian ulang.

b. Menerima sebagai jaminan surat berharga.

c. Menerima aksep.

7
Ibid, hlm 47
Dalam arti, bahwa jika bank-bank mengalami kesulitan likuiditas, maka mereka bisa meminta

bantuan Bank Indonesia untuk mendapatkan KLBI. Sebelum dikeluarkannya kebijaksanaan 1 Juni 1983

(PAKJUN) memang KLBI mempunyai peranan yang sangat penting bagi perbankan nasional, karena

sebagai sumber utama dana perbankan.

Pada saat ini kredit likuiditas Bank Indonesia sudah tidak dipergunakan lagi oleh Bank Indonesia,

yaitu sejak dikeluarkannya fasilitas diskonto rupiah dan diberlakukannya surat berharga pasar (SBPU).

2. Bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI)

BLBI adalah dana yang dikucurkan oleh Bank Indonesia ke bank-bank yang mengalami kesulitan

likuiditas dalam operasinya sehari-hari. Kesulitan likuiditas ini bisa terjadi antara lain karena penarikan

dana secara tiba-tiba dan besar-besaran oleh nasabah, sementara bank tersebut tidak siap melayani

kejadian tersebut.

Dalam pengertian lain dikatakan bahwa BLBI adalah fasilitas yang diberikan Bank Indonesia

kepada perbankan, untuk menjaga kestabilan sisitem pembayaran dan sektor perbankan, agar tidak

terganggu oleh adanya ketidakseimbangan (mismatch) likuiditas, antara penerimaan dana pasar bank-

bank.

Oleh karena itu terdapat berbagai jenis fasilitas lukuiditas, dalam arti luas, BLBI diartikan sebagai

semua fasilitas likuiditas Bank Indonesia yang disalurkan atau diberikan kepada bank-bank, di luar Kredit

Likuiditas Bank Indonesia (KLBI).

Dalam hasil riset yang dilakukan oleh Bank Indonesia yang termuat dalam Studi Ekonomi Bantuan

Likuiditas Bank Indonesia dikemukakan bahwa BLBI diberikan dalam berbagai bentuk, yaitu saldo debet,

fasilitas diskonto (fasdis I), fasilitas diskonto I repo, fasilitas diskonto II, Surat Berharga Pasar Uang

Khusus (SBPUK), fasilitas dana talangan untuk pembayaran kewajiban luar negeri bank dalam rangka
pembiayaan dagang dan tunggakan antarbank (trade finance dan interdebtarrears), fasilitas dana talangan

rupiah untuk bank-bank yang dilikuidasi, dan fasilitas saldo debet.

Sedangkan menurut hasil riset Bank Indonesia yang termuat dalam Srudi Hukum Bantuan

Likuiditas Bank Indonesia, dikatakan bahwa secara garis besar fasilitas likuiditas Bank Indonesia kepada

perbankan dapat dikelompokkan menjadi 5 (lima) macam, yaitu:

a. Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistem pembayaran nasional terhadap

gangguan dari timbulnya kesenjangan (mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana

perbankan. Fasilitas ini terjadi dari fasilitas diskonto (fasdis I) yang berjangka pendek dan fasdis

II yang berjangka panjang.

b. Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka sesui dengan program moneter, yakni dalam bentuk

pembelian Bank Indonesia atas Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), atau surat utang dari bank-

bank.

c. Fasilitas dalam rangka penyehatan perbankan (rescue) dalam bentuk Kredit Likuiditas Darurat

(KLD) dan kredit subordinasi (SOL).

d. Fasilitas untuk menjaga kestabilan sistem perbankan dan pembayaran guna menanggulangi

dampak penarikan dana pada bank secara besar-besaran, di mana Bank Indonesia berfungsi

sebgai lender of last resort. Fasilitas ini berupa pemberian izin penarikan dana giro cadangan

wajib atau Giro Wajib Minumum (GWM), saldo negatif, atau saldo debet, atau men- draft

rekening bank di Bank Indonesia.

e. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat kepada perbankan dalam bentuk dana

talangan untuk membayar kembali dana nasabah yang banknya dicabut izin usahanya atau Bank

Dalam Likuidasi (BDL), untuk melaksanakan sistem pinjaminan menyeluruh (blanked

guaranteed) dan pembayaran kewajiban luar negeri bank nasional (trade finance dan interbank

debt exchange offer).


a. Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah Jangka Pendek dari Bank

Indonesia

Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah jangka pendek dari Bank Indonesia ini adalah

kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan kepada bank untuk mengatasi

kesulitan pendanaan jangka pendek dari bank yang bersangkutan. Kredit atau pembiayaan berdasarkan

Prinsip Syariah in I hanya diberikan oleh Bank Indonesia kepada bank yang mengalami kesulitan dana

dengan menggunakan agunan sesuai ketentuan yang berlaku.

Adapun dasar hukum pemberian kredit atas pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank

Indonesia ini adalah ketentuan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang perubahan

Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Selengkapnya

pasal tersebut mengemukakan bahwa:

Pasal 11 ayat (1)

Bank Indonesia dapat memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Bank Syariah

untuk jangka waktu yang paling lama 90 (Sembilan puluh) hari kepada bank untuk mengatasi

kesulitan pendanaan jangka pendek bank yang bersangkutan.

Dalam penjelasan dikemukakan bahwa pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip

Syariah kepada bank yang dimaksudkan dalam pasal ini hanya dilakukan untuk mengatasi kesulutan bank

karena adanya ketidak sesuaian antara arus dana masuk yang lebih kecil dengan arus dana keluar. Jangka

waktu paling lama 90 (Sembilan puluh) hari yang dimaksudkan pada ayat ini merupakan jangka waktu

maksimum yang dimungkinkan termasuk perpanjangannya.

Apabila kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah tidak dapat dilunasi pada saat jatuh

tempo, Bank Insonesia sepenuhnya berhak mencairkan agunan yang dikuasainya sesui dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku. Bank yang dapat memperoleh bantuan likuiditas adalah bank yang
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, misalnya secara nyata berdasarkan

informasi yang diperoleh Bank Indonesia bahwa bank yang bersangkutan mengalami kesulitan likuiditas

jangka pendek,akan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap kondisi bank tersebut.

Berkaitan dengan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah tersebut menurut

ketentuan Pasal 11 ayat (2) bahwa:

Pelaksanaan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), wajib dijamin oleh bank penerima dengan agunan yang berkualitas tinggi

dan mudah dicairkan yang nilainnya minimal sebesal jumlah redit atau pembiayaan yang

diterimanya.

Yang dimaksud dengan agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan meliputi surat

berharga dan atau tagihan yang diterbitkan oleh pemerintah atau badan hukum lain yang mempunyai

peringkat tinggi berdasarkan hasil penilaian lembaga pemeringkat yang kompeten dan sewaktu-waktu

dengan mudah dapat dijual ke pasar untuk dijadikan uang tunai.

d. Dana yang bersumber dari lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan bukan

bank

Dana yang berasal dari lembaga-lembaga keuangan pada umumnya diperoleh bank dalam bentuk

pinjaman baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang sesui dengan kebutuhan dari bank

yang membutuhkan dana tersebut.

Adapun dana yang termasuk berasal dari lembaga keuangan tersebut antara lain adalah sebagai

berikut:8

8
Ibid, hlm 52
1. Pinjaman Antarbank

Dalam dunia perbankan adanya kerja sama dengan pihak lain adalah suatu kelaziman. Kerja sama

tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk antara lain pemberian bantuan dalam bentuk bantuan tenaga

ahli ataupun dalam bentuk modal kerja. Bantuan modal biasanya diberikan sebagai pinjaman, tentunya

dalam jangka pendek maupun janka menengah. Untuk jangka waktu maksimal 7 (tujuh) hari disebut call

money, sedangkan yang tanpa batas waktu tatapi setiap saat dapat diambil dengan pemberitahuan dahulu

disebut deposit on call. Mengenai pinjam-meminjam uang antarbank yang lazim terjadi adalah pemberian

pinjaman dari bank yang kuat ke bank yang relative lemah, misalnya pemberian pinjaman oleh bank

pemerintah kepada Bank Swasta Nasional, atau pemberian pinjaman dari Bank Asing kepada Bank

Swasta Nasional.

2. Call Money

Call money adalah dana talangan atau tambahan yang bersumber dari lembaga keuangan bank. Call

money diartikan sebagai dana dalam rupiah yang dipinjamkan oleh bank dari bank lainnya paling lama 7

(tujuh) hari yang setiap waktu dapat ditarik kembali oleh bank yang meminjamkan tanpa dikenakan suatu

pembebanan. Ini adalah instrumen atau sarana yang paling mudah digunakan oleh bank-bank yang

membutuhkan tambahan dana dalam kegiatan operasionalnya, baik dalam keadaan darurat atau mendesak

maupun dalam keadaan biasa.

3. Pinjaman Dana dari Luar Negeri

Pinjaman dana luar negeri adalah keseluruhan dana yang diperoleh dari pinjaman luar negeri baik

yang berasal dari lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan bukan bank yang menimbulkan

kewajiban bagi bank penerima pinjaman untuk mengembalikan dana pinjaman tersebut kepada pihak

pemberi pinjaman dalam jangka waktu tertentu.


4. Asal Mula Kegiatan Perbankan

Perdagangan melalui pertukaran sudah lama dikenal umat manusia. Sebelum sistem moneter yang

berlaku sekarang ini, sudah ada pertukaran melalui sestem barter. Perbedaan kedua sistem ini sudah jelas

sangat tampak dari instrumen yang digunakan. Dalam pertukaran sistem moneter yang menjadi alat

pembayaran adalah uang yang terdiri dari uang logam dan uang kertas. Pada awal dikenalnya sistem

moneter, saat itu uang dibuat dari kepingan logam mulia seperti emas dan perak. Sebagai jaminannya

adalah emas dan perak yang terdapat di dalam logam mulia tersebut. Demikian pula dengan nilai uang

terletak dari beratnya logam mulia. Dalam perkembangan selanjutnya uang tidak lagi hanya dibuat dari

kepingan logam, tetapi sudah menggunakan kertas. Jaminan yang diberikan bukan kepada nilai kertas,

akan tetapi terletak pada kepercayaan kepada negara yang menerbitkannya. Sedangkan nilai nominal uang

dicetak dalam uang tersebut yang diterbitkan oleh masing-masing negara.

Dalam sistem barter yang menjadi instrumen pembayarannya adalah barang atau jasa. Sistem

pertukaran dilakukan antara barang dengan barang atau jasa dengan barang atau jasa dengan jasa. Dalam

praktiknya sistem barter sudah lebih dulu dikenal sebelum moneter dewasa ini. Hanya saja dalam sistem

barter terdapat beberapa kendala, seperti sulit menemukan orang yang mau menukarkan barang atau jasa

yang sesuai dengan selera kita. Kemudian sulit untuk menentukan nilai dari masing-masing barang yang

hendak ditukarkan. Sesuai dengan perkembangan zaman dan beberapa kelemahan yang ada dalam sistem

barter, maka secara perlahan, sistem barter mulai ditinggalkan dan masuk sistem moneter. Namun dalam

hal ini bukan berarti sistem barter sudah tidak terpakai lagi. Dalam transaksi tertentu di pedalaman atau

antarnegara sisitem barter masih tetap dilakukan. 9

Kehadiran sistem moneter dalam dunia perdanganan juga merupakan cikal bakal lahirnya lembaga

keuangan. Sistem moneter yang menggunakan uang sebagai alat pembayaran membutuhkan bank sebagai

tempat untuk mencetak, mengatur dan mengawasi peredaran keuangan suatu negara. Kehadiran bank

9
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, PT RajaGrafindo Persada, Depok, 2014, hlm11
dalam sistem moneter merupakan darah dan tulang punggung suatu negara dalam rangka memperlancar

sistem moneter yang digunakan di seluruh negara di dunia ini.

Dalam perkembangan perbankan sejarah mencatat asal mula dikenalnya kegiatan perbankan terjadi

pada zaman kerajaan di daratan Eropa. Usaha ini kemudian berkembang ke Asia Barat yang dibawa oleh

para pedagang. Selanjutnya perkembangan perbankan begitu cepat merambah ke benua Asia, Afrika dan

Amerika yang dibawa oleh bangsa Eropa pada saat melakukan penjajahan ke negara jajahannya.

Kegiatan perbankan yang pertama adalah jasa penukaran uang. Oleh karena itu, dalam sejarah

perbankan, bank dikenal sebagai meja tempat menukarkan uang. Penukaran uang dilakukan pedagang

antar kerajaan yang satu dengan kerajaan yang lain. Kegiatan penukaran uang sampai sekarang masih

dilakukan. Kegiatan penukaran uang saat ini dikenal dengan nama pedagang valuta asing ( money

changer).

Kegiatan operasional perbankan kemudian berkembang lebih lengkap menjadi tempat penitipan

uang atau yang disebut sekarang ini kegiatan simpanan. Berikutnya kegiatan perbankan bertambah lagi

dengan kegiatan peminjaman uang (memberikan kredit). Uang yang dititipkan masyarakat ke bank dalam

bentuk simpanan oleh perbankan dipinjamkan kembali ke masyarakat yang membutuhkan dalam bentuk

pinjaman atau kredit.

Dalam perkembangan selanjutnya jasa-jasa bank berkembang sesuai dengan perkembangan zaman

dan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam. Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan

jasa keuangan, maka peranan dunia perbankan semakin dibutuhkan oleh seluruh lapisan masyarakat, baik

yang berada di negara maju maupun negara berkembang, misalnya jasa pengiriman uang, jasa penagihan

surat-surat berharga, jasa letter of credit, jasa bank garansi sampai dengan jasa kartu kredit. Bahkan jasa

kartu kredit sudah mampu menggantikan sebagian dari fungsi uang sebagai alat pembayaran. Pendek kata

dewasa ini perkembangan dunia perbankan semakin pesat dan modern. Perbankan semakin mendominasi
kehidupan manusia terutama dalam kaitannya dengan ekonomi dan bisnis suatu negara. Bahkan aktivitas

dan keberadaan perbankan sangat menentukan kemajuan suatu negara. 10

6. JENIS-JENIS KELEMBAGAAN BANK

a. Jenis Bank Menurut Fungsi

Sebelumnya menurut Undang-Undang Nor 14 Tahun 1967, jenis kelembanggaan bank menurut

fungsinya dibedakan atas:

1. Bank Sentral, yaitu Bank Indonesia sebagaiman dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945

dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968;

2. Bank Umum, yaitu bank yang dalam penghimpunan dana dari masyarakat terutama menerima

simpanan dalam bentuk giro dan deposito dan dalam usahanya terutama memberikan kredit

jangka pendek;

3. Bank Tabungan, yaitu bank yang dalam penghimpunan dana dari masyarakat terutama

menerima simpanan dalam bentuk tabungan dan dalam usahanya terutama memperbungakan

dananya dalam kertas berharga;

4. Bank Pembangunan, yaitu bank yang dalam penghimpunan dana dari masyarakat terutama

menerima simpanan dalam bentuk deposito dan/atau mengeluarkan kertas berharga jangka

menengah dan panjang dan dalam usahanya terutama memberikan kredit jangka menengah dan

panjang dibidang pembangunan

5. Bank lainnya, yang ditetapkan dengan undang-undang, menurut kebutuhan dan perkembangan

ekonomi

Kemudian dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, kembali jenis kelembagaan bank ditata dalam struktur yang

lebih sederhana, yaitu bank Bank Umum dan Bnak Perkreditan Rakyat (BPR). Pembedaan jenis

10
Ibid, hlm 14
kelembagaan bank ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Disebutkan bahwa menurut fungsinya, jenis bank dapat dibedakan atas:

1. Bank Umum

Bank Umum adalah bank melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau

berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas

pembayaran. Dari pengertian ini, maka dengan sendirinya bank Umum adalah bank pencipta

uang giral.

2. Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

BPR adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan

Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Dari pengertian ini, maka dengan sendirinya BPR adalah bukan bank pencipta uang giral, sebab

BPR tidak ikut meberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

3. Bank Umum yang mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan tertenti atau memberikan

perhatianyang lebih besar kepada kegiatan tertentu. Kegiatan tertentu dimaksud, antara lain,

melaksanakan kegiatan pembiayaan jangka panjang, pembiayaan untuk mengembangkan

koperasi, pengembangan pengusaha golongan ekonomi lemah atau pengusaha kecil,

pengembangan ekspor non migas, dan pengembangan pembangunan perumahan.

Pada waktu yang lalu, pembedaan jenis bank menimbulkan spesialisasi, yang menguntungkan bank

untuk lebih mengenal bidang usahanya, menunjang misi pemerintah dalam mendorong perekonomian,

khususnya sektor-sektor prioritas dan golongan ekonomi lemah serta memenuhi berbagai kebutuhan

pembiayaan masyarakat. Namun, dilihat dari aspek kelemahannya , spesialisasi membatasi ruang gerak

bank yang bersangkutan. Disamping itu, dalam perkembangannya, spesialisasi sulit diterapkan secara

konsekuen. Pada gilirannya, pembatasan ruang gerak dan tidak konsekuensinya penerapan spesialisasi

tersebut, dapat membatasi persaingan yang sehat dan wajar. Sehubungan dengan itu, sistem perbankan

yang berlaku disempurnakan dengan menerapkan sistem perbankan universal. Kegiatan usaha bank tidak
lagi dispesialisasikan, tetapi diberi peluang untuk melakukan dan mengembangkan usaha seluas-luasnya,

sedangkan spesialisasi kegiatan akan berlangsung secara alamiah melalui proses pasar. Spesialisasi

kegiatan usaha berlangsung lebih tajam dan lebih luas daripada yang diatur oleh perundang-undangan

dewasa ini, sehingga dikemudian hari memungkinkan munculnya bank-bank khusus yang tetap dengan

baju bank umum. Dapat ditambahkan bahwa dalam sistem perbankan universal, peranan perbankan

sebagai agen pembangunan tetap dipertahankan, yaitu mampu menunjang upaya pemerataan

pembangunan nasional seraya tetap memperhatikan keuntungan yang wajar. 11

b. Jenis Bank Menurut Bentuk Badan Usaha

Menurut bentuk badan usaha,jenis kelembagaan bank dapat dibedakan atas:

a. Bentuk hukum suatu Bank Umum dapat berupa:

1. Perseroan Terbatas

2. Koperasi

3. Perusahaan Daerah

b. Bentuk hukum suatu Bank Perkrreditan Rakyat dapat berupa:

1. Perusahaan daerah

2. Koperasi

3. Perseroan Terbatas;atau

4. Bentuk lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

c. Jenis Bank Menurut Kegiatan Usaha

Menurut kegiatan usaha, jenis perkembangan bank dapat dibedakan atas:

11
Djoni. S. Gazali, Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, SinarGrafika, Jakarta, 2012, hlm 148
a. Bank Konvensional, yaitu bank yang menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional dan

berdasarkan jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank Perkreditan Rakyat.

1. Bank Umum Konvensioal adalah bank konvensional yang dalam kegiatanya memberikan jasa

dalam lalu lintas pembayaran. Bank Umum konvensional dalam kegiatannya menjalankan

dual banking system (system konvensional dan system syariah)

2. Bank Perkreditan Rakyat adalah bank konvensional yang dalam kegiatannya tidak

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran

b. Bank Syariah, yaitu bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip Syariah dan

menurut jenisnya terdiri atas bank Umum Syariah dan bank Pembiayaan rakyat Syariah.

1. Bank Umum Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam

lalu lintas pembayaran;

2. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah bank syariah yang dalam kegiatannya tidak

memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

8. KEGIATAN-KEGIATAN USAHA PERBANKAN DALAM SISTEM PERBANKAN

NASIONAL

Mencermati isi ketentuan dalam pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 10 tahun 1998, kegiatan-kegiatan usaha

telah dirinci dan dibatasi, yaitu:12

a. Mengatur kegiatan-kegiatan usaha yang boleh dan tidak boleh dilakukan atas Bank Umum

ataupun BPR;

b. Kegiatan usaha perbankan tersebut dapat dibedakan atas Bank Umum dan BPR

c. Kegiatan usaha perbankan tersebut dapat dibedakan atas Bank Konvensional dan Bank

Syariah

12
Ibid, hlm 152
d. Bank Umum dapat mengkhususkan diri untuk melaksanakan kegiatan ussaha tertentu dan

memilih jenis usaha yang sesuai dengan keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkan.

Usaha yang dijalankan oleh Bank Umum lebih luas daripada usaha yang dijalankan BPR.

Bank yang menjalankan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah wajib menetapkan Prinsip

Syariah dalam kegiatan usahanya.

Menurut sIstem Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan undang-

undang Nomor 10 tahun 1998, kegiatan suatu bank dibedakan kedalam:

a. Kegiatan Bank Umum, yang terdiri atas kegiatan kegiatan utama dan kegiatan tambahan; dan

b. Kegiatan BPR.

Fungsi perbankan (Indonesia) sebagaiman dikemukakan diatas kemudian diperluas, dijabarkan dan

dirinci dalam bentuk kegiatan usaha perbankan dan larangan kegiatan usaha perbankan, yang diatur

dalam ketentuan Pasal 6 sampai dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaiman telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998.

a. Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensional

Kegiatan usaha Bank Umum konvensional sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 6 dan pasal

10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10

Tahun 1998, bahwa kegiatan usaha perbankan yang dapat dijalankan oleh Bank Umum konvensional

sebagai berikut

1. Menghimpun dana dari masyarakat

Bank Umum konvensional menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa

giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu.

2. Memberikan kredit

3. Menerbitkan surat pengakuan hutang


Bank umum konvensional dapat menerbitkan surat pengakuan hutang, baik yang berjangka pendek

maupun yang berjangka panjang. Surat pengakuan hutang yang berjangka pendek adalah sebagaiman

dimaksud dalam ketentuan pasal 100 sampai 229 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yang dalam

pasar uang dikenal sebagai Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), yaitu promes maupun wesel maupun

jenis lain yang mungkin dikembangkan dimasa yang akan datang. Surat pengakuan utang berjangka

panjang dapat berupa obligasi maupun sekuritas kredit.

4. Membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas

perintah nasabahnya:

a. Surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak

lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

b. Surat pengakuan hutang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama

dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;

c. Kertas perbendaharaan Negara dan surat jaminan pemerintah;

d. Sertifikat Bank Indonesia (SBI);

e. Obligasi ;

f. Surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;

g. Instrument surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun

5. Memindahkan uang

Bank umum konvensional menjalankan usaha memindahkan uang baik untuk kepentingan

sendiri maupun untuk kepentingan nasabah

6. Menempatkan atau meminjamkan dana

Bank umum konvensional menjalankan usaha menempatkan dana pada, meminjam dana dari,

atau meminjamkan dana pada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana

telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya.

7. Menerima pembayaran tagihan


Bank umum kenvensional menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan

melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga. Kegiatan ini mencakup antar lain inkaso

dan kliring

8. Menyediakan tempat penyimpanan

Bank umum konvensional menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga.

Penyediaan tempat disini adalah kegiatan bank yang semata-mata melakukan penyewaan tempat

penyimpanan barang dan surat berharga (safety box) tanpa perlu diketahui mutasi dan isinya oleh bank.

9. Melakukan kegiatan penitipan

Bank umum konvensional melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain

berdasarkan suatu kontrak. Kegiatan penitipan dapat dilakukan baik dengan menerima titipan

harga penitip maupun mengadministrasikannya secara terpisah dari kekayaan bank. Mutasi dari

barang titipan dilaksanakan oleh bank atas perintah penitip.. Jika bank yang meyelenggarakan

kegiatan penitipan mengalami pailit, semua harta yang dititipkan pada bank tersebut tidak

dimasukan dalam harta kepailitan dan wajib dikembalikan kepada penitip yang bersangkutan.

10. Penempatan dalam bentuk surat berharga

Bank umum konvensional melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya

dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat dibursa efek. Dalam kegiatan ini bank berperan

sebagai penghubung antara nasabah yang membutuhkan dana dengan yang memiliki dana.

11. Kegiatan anjak piutang, kartu kredit, dan wali amanat

Bank umum konvensal melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit, dan kegiatan wali

amanat. Kegiatan anjak piutang merupakan kegiatan pengurusan piutang atau tagihan jangka

pendek dari transaksi perdagangan dalam dan luar negeri, yang dilakukan dengan

pengambilalihan atau pembelian piutang tersebut. Sedangkan usaha kartu kredit adalah usaha

dalam kegiatan pemberian kredit atau pembiayaan untuk pembelian barang atau jasa yang

penarikannya dilakukan dengan kartu. Secara teknis kartu kredit berfungsi sebagai sarana

pemindahbukuan dalam melakukan pembayaran suatu transaksi


12. Menyediakan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah

Bank Umum konvensional dapat melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah dengan

menyediakan pembiayaan dan/atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah,

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh bank Indonesia.

13. Menyediakan kegiatan lain

Bank umum konvensial dapat melakukan kegiatan usaha lainnya yang lazim dilakukan oleh

bank sepanjang tidak berteentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Kegiatan yang lazim dilakukan oleh bank dalam hal ini adalah

kegiatan-kegiatan usaha selain dari kegiatan usaha sebagaimana tersebut diatas, yang tidak

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, misalnya memberikan bank

garansi, bertindak sebagai bank persepsi, swap bunga, membantu administrasi usaha nasabah,

dan lain-lain.

Bank Umum konvensional dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan usaha perbankan

sebagaiman dimaksud diatas, dan masing-masing dapat memilih jenis kegiatan usaha yang sesuai dengan

keahlian dan bidang usaha yang ingin dikembangkannya. Melalui cara yang demikian , kebutuhan

masyarakat terhadap berbagai jenis jasa bank dapat dipenuhi oleh dunia perbankan tanpa mengabaikan

prinsip kesehatan dan dan efisiensi.

Selanjutnya menurut ketentuan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana

telah diubah dengan Unddang-UndangNomor 10 Tahun 1998, bahwa selain melakukan kegiatan usaha

pokok sebagaimana dimaksud diatas, Bank Umum konvensional dapat pula melakukan atau menjalankan

kegiatan usaha tambahan,namun dengan izin khusus. Kegiatan usaha tambahan yang dapat dijalankan

Bank Umum konvensional meliputi:

1. Melakukan kegiatan dalam valuta asing dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia
2. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada bank atau perusahaan lain dibidang keuangan ,

seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek, asuransi, serta lembaga kliring

penyelesaiandan penyimpanan, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia;

3. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan kredit atau

kegagalan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali

penyertaannya, dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan

4. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun sesuai dengan ketentuan

dalam peraturan perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

b. Kegiatan Usaha Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah

Sebelumnya kegiatan usaha Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah diatur dalam surat

Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum

berdasarkan Prinsip Syariah, kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia

NOmor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip

Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005.

Ketentuan dalam Pasal 36 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 sebagaiman telah

diubah dengan peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005 menetapkan, bahwa Bank Umum Syariah

wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan kegiatan

usahanya, yang meliputi:

a. Melakukan penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi, antara

lain:

1. Giro berdasarkan prinsip wadi’ah;

2. Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah dan/atau mudharabah;atau

3. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah; atau


b. Melakukan penyaluran dana melalui:

1. Prisip jual beli berdasarkan akad antara lain:

a. Murabahah

b. Itishna

c. Salam

2. Prinsip bagi hasil berdasarkan akad antara lain:

a. Mudharabah

b. Musyarakah

3. Prinsip sewa menyewa berdasarkan akad antara lain:

a. Ijarah

b. Ijarah muntahiya bittamlik

4. Prinsip pinjam meminjam berdasarkan akad qardh;

c. Melakukan pemberian jasa pelayanan perbankan berdasarkan akad antara lain;

1. Wakalah

2. Hawalah

3. Kafalah

4. Rahn

d. Membeli, menjual dan/atau menjamin risiko sendiri surat-surat berharga pihak ketiga yang

diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying transaction) berdasarkan Prinsip Syariah;

e. Membeli surat-surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah

dan/atau Bank Indonesia;

f. Menerbitkan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;

g. Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan/atau nasabah berdasarkan Prinsip Syariah

h. Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan dan melakukan perhitungan

dengan atau antarpihak ketiga berdasarkan prinsip syariah


i. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga berdasarkan prinsip

wadi’ah yad amanah;

j. Melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untuk kepentingan pihak lain

berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah;

k. Memberikan fasilitas letter of credit berdasarkan prinsip Syariah;

l. Memberikan fasilitas garansi berdasarkan Prinsip Syariah;

m. Melakukan kegiatan usaha kartu debet, charge card berdasarkan berdasarkan Prinsip Syariah;

n. Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan akad wakalah;

o. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank Umum Syariah sepanjang disetujui oleh Bank

Indonesia dan mendapatkan fatwa Dewan Syariah Nasional

Selanjutnya ketentuan dalam pasal 37 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 sebagaiman

telah diubah dengan Peraturan bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005 menetapkan, bahwa:

a. Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud diatas, Bank Umum Syariah dapat pula:

1. Melakukan kegiatan dalam valuta asing berdasarkan akad sharf;

2. Melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau perusahaan lain dibidang

keuangan berdasarkan Prinsip Syariah seperti sewa guna usaha, modal ventura, perusahaan efek,

asuransi serta lembaga kliring penyelesaian dan penyimpanan;

3. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara berdasarkan Prinsip Syariah untuk mengatasi

akibat kegagalan pembiayaan dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya dengan

ketentuan sebagaiman ditetapkan oleh Bank Indonesia; dan

4. Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip Syariah

sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan dana pensiun yang berlaku.

b. Bank Umum Syariah dalam melaksanakan fungsi sosial dapat bertindak sebagai penerima dana

sosial antara lain dalam bentuk zakat,infaq, shadaqah,waqaf, hibah dan menyalurkannya sesuai

syaraiah atas nama Bank Umum Syariah atau lembaga amil zakat yang ditunjuk oleh pemerintah.
Selanjutnya ketentuan dalam pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, tentang

Bank Syariah menetapkan secara limitatif kegiatan usaha bank Syariah tersebut, meliputi:

a. Menghimpun dana bentuk simpanan berupa giro, tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu berdasrkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b. Menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa deposito, tabungan, atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan

dengan Prinsip Syariah;

c. Menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah, akad musyarakah, atau akad

lain yang yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

d. Menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad murabahah, Akad Istishna, atau akad lain

yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

e. Menyalurkan pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad qardh atau akad lain yang tidak bertentangan

dengan Prinsip Syariah;

f. Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah

berdasarkan akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik, atau akad

lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

g. Menyalurkan pengambilalihan utang berdasarkan akad hawalah,

h. Melakukan usaha kartu usaha kartu debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah

i. Membeli, menjual, atau menjamin risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas

dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara lain seperti

akad,mudharabah,murabahah, kafalah, atau hawalah;

j. Membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau

bank Indonesia;

k. Menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak

ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;


l. Melakukan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu akad yang berdasarkan

Prinsip Syariah;

m. Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah

n. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah

berdasarkan Prinsip Syariah;

o. Melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;

p. Memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan

q. Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan dibidang perbankan dan dibidang sosial sepanjang

tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan.

Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaaksud diatas, Bank Umum Syariah dapat pula

melakukan kegiatan usaha lainnya sebagaiman ditentukan dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 21 Tahun 2008, yaitu:

a. Melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;

b. Melakukan kegiatan usaha penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau lembaga keuangan

yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;

c. Melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan pembiayaan

berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;

d. Bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun berdasarkan Prinsip Syariah;

e. Melakukan kegiatan dalam pasarmodal sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah dan

ketentuan peraturan perundang-undangan dibidang pasar modal;

f. Menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang berdasarkan prinsip syariah dengan

menggunakan sarana elektronik;

g. Menerbitkan,menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan

Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar uang;
h. Menerbitkan,menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan

Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pasar modal;dan

i. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya yang

berdasarkan Prinsip Syariah.

c. Kegiatan Usaha Bank Lainnya

Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 12 Undang-UndangNomor 7 Tahun 1992

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, pemerintah bersama Bank

Indonesia dapat melakukan kerja sama dengan Bank Umum untuk menunjang pelaksanaan program

peningkatan taraf hidup rakyat banyak melalui pemberdayaan koperasi , usaha kecil, dan menengah.

Demikian pula,Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh anggunan untuk kepentingan

banknya. Disebutkan dalam ketentuan pasal 12 A Undang-Undang No.7 Tahun 1992 sebagaimana telah

diubah Nomor 10 Tahun 1998, yang merupakan ketentuan baru ditambahkan. Pembelian anggunan oleh

Bank Umum dimaksud, baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan , berdasarkan penyerahan

secara sukarela oleh pemilik-pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual diluar lelang dari

pemilik agunan, dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajiban kepada bank dengan ketentuan

agunan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya. Dalam hal Bank Umum sebagai pembeli

agunan nasabah debiturnya, status bank adalah sama dengan pembeli bukan bank lainnya. Bank Umum

yang dimungkinkan membeli anggunan diluar pelelangan adalah dimaksudkan agar dapat mempercepat

penyelesaian kewajiban nasabah debiturnya. Bank Umum tidak diperbolehkan memiliki agunan yang

dibelinya dan secepat-cepatnya harus menjual kembali agar hasil penjualan agunan dapat segera

dimanfaatkan oleh Bank Umum yang bersangkutan13

13
Djoni S. Gazali, Rachmadi Usman, Opcit, hlm 165
d. Kegiatan Usaha BPR Konvensional

Untuk usaha bank yang berjenis Bank Perkreditan Rakyat konvensional, usahanya lebih sempit

dibandingkan dengan usaha yang dijalankan Bank Umum konvensional. Kegiatan usaha BPR

konvensional dirinci secara limitatif dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998.

Disebutkan dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaiman telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, bahwa kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat

konvensional, meliputi:

a. Menghinpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan,

dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu. Penyebutan “bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu” dimaksudkan untuk menampung kemungkinan adanya bentuk

penghimpunan dana dari masyarakat dan tabungan, tetapi bukan giro atau simpanan lain yang

dapat ditarik dengan cek.

b. Memberikan kredir;

c. Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia(SBI), deposito, sertifikat

deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.

e. Kegiatan Usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (Dahulu BPR Syariah)

Demikian pula sebelumnya kegiatan Bank Perkreditan Rakyat Syariah (Bank Pembiayaan Rakyat

Syariah) diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/36/KEP/DIR tanggal 12 Mei

1999, kemudian dicabut,diganti, dan disempurnakan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor

6/17/PBI/2004 tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaiman telah diubah

dengan peraturan Bank Indonesia Nomor 8/25/PBI/2006.

Menurut ketentuan dalam bentuk Pasal 34 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/17/PBI/2006,

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/25/PBI/2006, bahwa Bank
Perkreditan Rakyat Syariah wajib melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah dan

berdasarkan prinsip kehati-hatian dan usaha meliputi:

1. Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk antara lain:

a. Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah;

b. Deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah; dan/atau

c. Bentuk lain yang menggunakan prinsip wadi’ah atau mudharabah

2. Menyalurkan dana dalam bentuk antara lain:

a. Transaksi jual beli berdasarkan prinsip:

1. Mudharabah

2. Istishna

3. Salam

b. Transaksi sewa-menyewa dengan prinsip ijarah

c. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan prinsip:

a. Mudharabah

b. Musyarakah

d. Pembiayaan berdasarkan prinsip qardh

3. melakukan kegiatan lain yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perbankan dan Prinsip

Syariah.

Selanjutnya, kegiatan perbankan syariah yang dapat dilakukan oleh Bank Pembiayaan Rakyat

Syariah disebutkan secara limitatif dalam ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008,

meliputi:

1. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:


a. simpanan berupa tabungan atau yang dipersamakandengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau

akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; dan

b. Investasi berupa deposito atau tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu

berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

2. Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:

a. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau musyarakah;

b. Pembiaayan berdasrkan akad murabahah, salam, atau istishna;

c. Pemniayaan berdasarkan akad qardh;

d. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan

akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;dan

e. Pengambilanalihan utang berdasarkan akad hawalah;

3. Menempatkan dana pada bank syariah lain dalam bentuk titipan berdasrkan akad wadiah atau

investasi berdasrkan akad mudharabah dan/atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip

Syariah;

4. Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah melalui

rekening Bank Pembiayaan Rakyar Syariah yang ada di Bank Umum Syariah, Bank Umum

konvensional, dan UUS, dan

5. Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha bank syariah lainnya yang sesuai dengan

prinsip Syariah berdasrkan persetujuan Bank Indonesia.

Apabila dibandingkan dengan kegiatan usaha Bank Umum Syariah, maka dapat dikatakan kalu

kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat Syariah jauh lebih sempit atau

terbatas. Bank Perkreditan Rakyat Syariah dilarang untuk melakukan kegiatan usaha menerima dana

simpanan mayarakat dalam bentuk giro berdasarkan prinsip wadiah, tidak seperti halnya dengan Bank

Umum Syariah. Larangan ini sejalan dengan ketentuan yang termuat dalam Pasal 14 Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun1998, bahwa
Bank Perkreditan Rakyat dalam kegiatan usahanya tidak termasuk memberikan jasa dalam lalu lintas

pembayaran, kegiatan usaha mana yang hanya dijalankan oleh Bank Umum saja.

Prinsip-prinsip kegiatan usaha perbankan syariah tersebut dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai

berikut:14

Hiwalah; akad pemindahan piutang nasabah (muhil) kepada bank ( muhal’ alaih) dari nasabah lain

(muhal). Muhil meminta muhal’alaih untuk membayarkan terlebih dahulu piutang yang timbul dari

jual beli. Pada saat piutang tersebut jatuh tempo muhal akan membayar kepada muhal’alaih.muhal

a’alaih memperoleh imbalan sebagai jasa pemindahan:

Ijarah: akad sewa-menyewa barang antara bank (muaajir)dengan penyewa (mustajir). Setelah masa

sewa berakhir barang sewaan dikembalikan kepada muaajir.

Ijarah wa iqtina: akad sewa-menyewa barang antara bank (muaajir) dan penyewa(mustajir)

yangdiikuti janji bahwa pada saat yang ditentukan kepemilikan barang sewaan akan dipindah kepada

mustajir

Istishna: akad jual beli barang (mashnu) antara pemesan (mustashni) dengan penerima pesanan

(shani). Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati diawal akad dengan pembayaran dilakukan

secara bertahap sesuai kesepakatan. Apabila bank bertindak sebagi shani kemudian menunjuk pihak

lain untuk membuat barang (mashnu) maka hal ini disebut Istishna Paralel.

Kafalah: akad pemberian jaminan (makful alaih) yang diberikan satu pihak kepada pihak lain dimana

pemberi jaminan (kafiil) bertanggung jawab atas pembayaran kembali suatu utang yang menjadi hak

penerima jaminan (makful)

Mudharabah : akad antara pihak pemilik modal(shahibul mal) dengan pengelola (mudharib) untuk

memperoleh pendapatan atau keuntungan. Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan

14
Ibid, hlm 209-212
nisbah yang telah disepakati diawal akad. Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada mudharib,

mudharabah dibagi menjadi Mudharabah, Mutlaqah dan Mudharabah Muqayyadah

Mudharabah Mutlaqah: Mudharib diberikan kekuasaan penuh untuk mengelola modal. Mudharib

tidak dibatasi baik mengenai tempat,tujuan,maupun jenis usahanya.

Mudharabah Muqayyadah: Shahibul Maal menetapkan syarat tertentu yang harus dipatuhi Mudharib

baik mengenai tempat,tujuan,maupun jenis usaha. Dalam skim ini, mudharib tidak diperkenankan

mencampurkannya dengan modal atau modal lain. Pembiayaan Mudharabah Muqqayyadah antara lain

digunakan untuk investasi khusus dan Reksadana

Murabahah : akad jual beli antara bank dengan nasabah. Bank membeli barang yang diperlukan

nasabah dan menjual kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga pokok ditambah dengan

keuntungan yang disepakati.

Musyarakah : akad kerjasama usaha patungan antara dua pihak atau lebih pemilik modaluntuk

membiayai suatu jenis usaha yang halal dan produktif. Pendapatan atau keuntungan dibagi sesuai

dengan nisbah yang telah disepakati.

Prinsip operasional syariah lainnya : Prinsip operasional lain yang lazim dilakukan oleh bank

syariah dalam kegiatan usaha sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan

perundang-undanganyang berlaku serta mendapat persetujuan dari Bank Indonesia dan Dewan Syariah

Nasional.

Qardh: akad pinjaman dari bank (muqridh) kepada pihak tertentu (muqtaridh) yang wajib

dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman. Muqridh dapat meminta jaminan atas

pinjaman kepada muqtaridh. Pengembalian pinjaman dapat dilakukan secara angsuran ataupun

sekaligus.
Qardh-ul Hasan : akad pinjaman dari bank (muqridh) kepada pihak tertentu(muqtaridh) untuk tujuan

sosial yang wajib dikembalikan dengan jumlah yang sama sesuai pinjaman.

Rahn : adalah penyerahan barang/harta (marhun) dari nasabah (rahin) kepada bank (murtahin)

sebagai jaminan sebagian atau seluruh utang

Salam: akad jual beli barang pesanan (muslam fiih) antara pembeli (muslam) dengan penjual (muslam

alaih). Spesifikasi dan harga barang pesanan disepakati diawal akad dan pembayaran dilakuukan

dimuka secara penuh. Apabila bank bertindak sebagai muslam kemudian memesan kepada pihak lain

untuk menyediakan barang (muslam fiih) maka hal ini disebut Salam Paralel.

Sharf: akad jual-beli suatu valuta dengan valuta lainnya

Ujr: imbalan yang diberikan atau yang diminta atas suatu pekerjaan yang dilakukan

Wadi’ah: akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dan pihak yang

diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang/uang.

Berdasarkan jenisnya, wadi’ah Yad Amanah dan Wadi’ah Yad Dhamanah.

Wadi’ah Yad Amanah: akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan tidak

diperkenankan menggunakan barang/uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan

atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima titipan

Wadi’ah yad Dhamanah: akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan dengan atau

tanpa izin pemilik barang/uang dapat memanfaatkan barang/titipan dan harus bertanggung jawab

terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan. Semua manfaat dan keuntungan yang

diperoleh dalam penggunaan barang/uang tersebut menjadi hak penerima titipan.

Wakalah: akad pemberian kuasa dari pemberi kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu tugas (taukil)

atas pemberi kuasa.


9. LARANGAN DALAM KEGIATAN USAHA PERBANKAN DALAM SISTEM

PERBANKAN NASIONAL

Di samping rincian kegiatan-kegiatan usaha perbankan sesuai dengan jenis banknya, terdapat pula

pembatasan atau larangan bagi perbankan dalam menjalankan kegiatan usahanya.

a. Larangan Kegiatan Usaha Bank Umum Konvensial

Ketentuan dalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 menetapkan, bahwa Bak Umum konvensional dilarang:

1. Melakukan penyertaan modal,kecuali melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998;

2. Melakukan peransuransian;

3. Melakukan usaha lain diluar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan Pasal 7

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, antara lain melakukan kegiatan usaha sebagai penjamin

emisi efek (underwriter).

Pasal 10 telah merumuskan secara berlebihan, karena sebenarnya cukuplah apabila hanya

dicantumkan larangan dalam Pasal 6 dan Pasal 7 dari Pasal 10 tersebut. Larangan dimaksud dengan

sendirinya berlaku pula untuk usaha-usaha yang dimaksud dalam melakukan penyertaan modal dan usaha

peeransuransian. Demikian pula, Pasal 14 juga telah dirumuskan secara berlebihan sebagaimana halnya

Pasal 10.

Pembuat Undang-Undang menyadari bahwa apabila suatu bank dibenarkan melakukan kegiatan

usaha yang bermacam ragam tanpa pembatasan, eksistensi bank akan mendapat bahaya, yang pada

gilirannya akan merugikan para penyimpan dana dibank tersebut. Oleh karena itu, undang-undang
menentukan bahwa bank hanya boleh melakukan kegiatan-kegiatan tertentu saja sebagaimana ditentukan

jenis-jenis kegiatannya dalam undang-undang.15

b. Larangan Kegiatan Usaha Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah

Sebelumnya larangan kegiatan usaha Bank Umum berdasarkan Prinsip Syariah terdapat dalam

Surat keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank

Umum berdasarkan Prinsip Syariah, kemudian diganti dan disempurnakan dengan Peraturan Bank

Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang melaksanakan Kegiatan usaha Berdasarkan

Prinsip Syariah sebagaimana telah diubah dengan peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005.

Larangan kegiatan usaha Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah disebutkan dalam ketentuan

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 10 Tahun 1998 dan ketentuan pasal 39 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005, yaitu:

1. Melakukan penyertaan modal, kecuali melakukan kegiatan usaha yang telah ditentukan dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 dan ketentuan pasal 39 Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004

sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/35/PBI/2005;

2. Melakukan usaha peransuransian;

3. Melakukan usaha lain diluar kegiatan usaha yang telah ditentukan dalam Undang Nomor 7 Tahun

1992 sebagaimana telah ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaiman

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 dan Peraturan Bank Indonesia

Nomor 6/24/PBI/2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor

7/35/2005;

4. Melakukan kegiatan usaha perbankan secara konvensial;

5. Mengubah kegiatan usaha perbankan syariah menjadi kegiatan usaha perbankan konvensional.
15
Ibid, hlm 215
Demikian pula dalam melakukan kegiatan usaha perbankan syariah, Bank Umum Syariah dan

Usaha Unit Syariah (UUS) juga dilarang melakukan hal-hal sebagaimana disebutkan dalam pasal 24

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008, tentang Bank Syariah yaitu:

a. Bank Umum Syariah dilarang:

1. Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prinsip Syariah;

2. Melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung dipasar modal;

3. Melakuakn penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) huruf b

dan huruf c; dan

4. Melakukan kegiatan usaha peransuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi

syariah;

b. UUS dilarang;

1. Melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;

2. Melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung dipasar modal;

3. Melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2)huruf c;

dan

4. Melakukan kegiatan usaha peransuransian, kecuali sebagai agen pemasaran produk asuransi

syariah.

10. FUNGSI KHUSUS PERBANKAN

Selain fungsi-fungsi umum, secara lebih khusus, bank juga berfungsi sebagai agent of trust, agent

of development, dan agent of services, yang dapat dijelaskan sebagai berikut. 16

a. Agent of Trust, yaitu lembaga yang berlandaskan kepercayaan. Dasar uatama kegiatan perbankan

adalah kepercayaan (trust), baik dalam penghimpunan dana maupun penyaluran dana. Dalam

fungsi ini harus dibangun kepercayaan yang bergerak ke dua arah, yaitu dari dan ke masyarakat.

16
Ikatan Bankir Indonesia Memahami Bisnis Bank, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2013, hlm 11
b. Agent of Development, yaitu lembaga yang memoblisasi dana untuk pembengunan ekonomi di

suatu negara. Kegiatan bank berupa penghimpun dan penyalur dana sangat diperlukan bagi

lancarnya kegiatan perekonomian di sektor rill. Kegiatan bank tersebut, antara lain

memungkinkan masyarakat melakukan kegiatan investasi, kegiatan distribusi, dan kegiatan

konsumsi barang dan jasa, mengingat kegiatan investasi, distribusi, dan konsumsi tidak dapat

dilepaskan dari penggunaan uang. Kelancaran kegiatan investasi, distribusi, dan konsumsi tidak

lain adalah kegiatan pembangunan perekonomian suatu masyarakat.

c. Agent of Services, yaitu lembaga yang memberikan pelayanan jasa perbankan dalam bentuk

transaksi keuangan kepada masyarakat, seperti pengiriman uang/transfer, inkaso, penagihan surat

berharga/collection, cek wisata, kartu debit, kartu kredit, transaksi tunai, dan pelayanan lainnya.

Jasa yang ditawarkan bank ini terkait erat dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara

umum.

1. Peran Bank dalam Sistem Keuangan

Dalam menjalankan kegiatannya, bank mempunyai peran penting dalam sistem keuangan nasional.

Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

a. Pengalihan Aset (Asset Transmutation), yaitu pengalihan dana atau aset dari unit surplus ke unit

deficit. Dalam hal ini, sumber dana yang diberikan krpada pihak peminjaman berasal dari pemilik

dana, yaitu unit surplus yang jangka waktunya dapat dsiatur sesuai dengan keinginan pemilik

dana. Dengan demikian, bank berperan sebagai pengalih aset yang likuid dari unit surplus

(lender) kepada unit deficit (borrower)

b. Transaksi (Transaction), yaitu memberikan berbagai kemudahan kepada pelaku ekonomi untuk

melakukan transaksi keuangan. Dalam ekonomi modern, transaksi barang dan jasa tidak pernah

terlepas dari transaksi keuangan. Untuk itu, produk, jasa, dan layanan yang ditawarkan oleh bank
(tabungan, deposito, giro, pemberian kredit, jasa pengiriman uang, layanan e-banking, dan

layanan perbankan lainnya) memudahkan masyarakat dalam bertransaksi.

c. Likuiditas (Liquidity), yaitu penjaga likuiditas masyarakat, dengan membantu aliran

likuiditas/dana dari unit surplus kepada unit deficit. Terkait dengan hal ini, unit surplus

menempatkan dana yang dimilikinya dalam bentuk produk-produk dana, berupa giro, tabungan,

deposito, dan produk dana bank lainnya untuk kemudian disalurkan dalam bentuk produk kredit

pada unit deficit. Dengan demikian, bank memberikan fasilitas pengelolaan likuiditas kepada

pihak yang mengalami surplus likuiditas dan menyalurkannya kepada pihak yang mengalami

kekurangan likuiditas.

d. Efisiensi (Efficiency), atau dalam hal ini bank berperan sebagai broker, yaitu merupakan

pinjaman dan pengguna modal tanpa mengubah produknya. Jadi bank hanya memperlancar dan

mempertemukan pihak-pihak yang saling membutuhkan. Adanya informasi yang tidak simetris

(asymmetric information) antara peminjam dan investor tak jarang menimbulkan masalah

insentif. Peran bank adalah menjembatani dua pihak yang saling berkepentingan untuk

menyamakan informasi yang tidak sempurna sehingga terjadi efidiensi biaya ekonomi. 17

11. Pengawasan Bank

a. Sebelum Berlakunya UU No.21 Th. 2011 tentang OJK

Perbankan memiliki hubungan yang erat dengan maju mundurnya perekonomian suatu negara. Jika

sistem perbankan suatu Negara sehat maka ia akan menunjang pembangunan ekonomi. Sebaliknya, jika

system perbankan Negara tidak sehat akan berdampak tidak baik bagi pembangunan ekonomi. Oleh

karena itu, kewenangan Bank Indonesia (BI) dalam melakukan pengaturan dan pengawasan bank adalah

sebagai alat atau sarana untuk mewujudkan sistem perbankan yang sehat yang menjamin dilaksanakannya

segala peraturan perundang-undangan yang terkait dalam penyelenggaraan usaha bank oleh bank yang

bersangkutan. Pada pokoknya , tugas BI sebagai bank sentral mempunyai tiga tugas yaitu:

17
Ibid, hlm 14
1. Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter;

2. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, dan

3. Mengatur dan mengawasi bank.

Sejalan dengan UU No.23 Th 1999 dan UU No. 3 Thn 2004, maka UU Perbankan 1998

memberikan wewenang dan kewajiban bagi BI untuk membina serta melakukan pengawasan terhadap

bank dengan menempuh upaya-upaya baik yang bersifat preventif dalam bentuk ketentuan-ketentuan,

petunjuk dan nasihat, bimbingan dan pengarahan, maupun secara represif dalam bentuk pemeriksaaan

yang disusul dengan tindakan perbaikan sehingga pada akhirnya BI dapat menetapkan arah pembinaan

dan pengembangan bank, baik secara Individual maupun secara keseluruhan.

Jadi pembinaan adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan cara menetapkan peraturan yang

menyangkut aspek kelembagaan, kepemilikan, kepengurusan, kegiatan usaha, pelaporan serta aspek lain

yang berhubungan kegiatan operasional bank. Berkaitan dengan BI antara lain memuat perizinan;

kelembagaan bank; kegiatan usaha bank pada umumnya maupun berdasarkan prinsip syariah; merger,

konsolidasi dan akuisisi bank; sistem informasi antar bank; tata ara pengawasan bank; sistem pelaporan

bank kepada BI; penyehatan bank; penabutan izin usaha, likuidasi dan pembubaran badan hukum bank;

lembaga-lembaga pendukung sistem perbankan.18

Pengawasan bank oleh BI dapat bersifat pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung.

Menurut penjelasan pasal 27 UU BI No. 23 Th 1999 jo UU No.3 Th 2004 tentang BI, pengawasan

langsung adalah dalam bentuk pemeriksaan yang diserttai dengan tindakan-tindakan perbaikan.

Sedangkan pengawasan tidak langsung terutama dalam benruk pengawasan dini melalui penelitian,

analisi, evaluasi laporan bank.

Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud di atas, mempunyai keterkaitan dalam mencapai

kestabilan nilai rupiah. Tugas menerapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dilakukan BI antara lain

melalui pengendalian jumlah uang beredar dan suku bunga. Efektifitas pelaksanaan tugas ini memerlukan

dukukngan sistem pembayaran yang efisien , cepat, aman, dan andal yang merupakan sasaran dari

18
Neni Sri Imaniyati, Panji Adam Agus Putra, Opcit, hlm 146
pelaksanaan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Sistem pembayaran yang

efisien, cepat,aman, dan andal memerlukan sistem perbankan yang sehat yang merupakan sasaran tugas

mengatur dan mengawasi bank. Selanjutnya, sistem perbankan yang sehat akan mendukung pengendalian

moneter mengingat pelaksanaan kebijakan moneter terutama dilakukan melalui sistem perbankan.

Tujuan BI untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut perlu ditopang dengan 3

pilar utama yaitu kebijakan moneter dengan prinsip kehati-hatian, sistem pembayaran yang cepat, tepat

dan keuangan yang sehat.

Dalam rangka melaksanakan tugas mengatur dan mengawasi bank, BI menetapkan peraturan,

memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu dari bank, melaksanakan

pengawasan bank, dan mengenakan sanksi terhadap bank sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Berkaitan dengan itu, dalam rangka melaksanakan tugas mengatur bank, BI berwenang menetapkan

ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian (prudential banking). Ketentuan

perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian bertujuan untuk memberikan rambu-rambu bagi

penyelenggaraan kegiatan usaha perbankan guna mewujudkan sistem perbankan yang sehat. Pengaturan

bank berdasarkan prinsip kehati-hatian tersebut disesuaikan pula dengan standar yang berlaku secara

internasional, Bahwa tugas BI untuk mengawasi bank menurut UU No,23 Th 1999 bersifat sementara.

Namun dengan UU N0.3 Thn 2004 ditegaskan kembali bahwa pengawasan terhadap bank akan

dilaksanakan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen yang akan dibentuk

selambat-lambatnya pada tanggal 31 Desember 2010. Pengunduran batas waktu pembentukan lembaga

tersebut ditetapkan dengan memerhatikan kesiapan sumber daya manusia dan insfrastruktur lembaga

pengawasan tersebut dalam menerima pengalihan pengawasan bank dari BI. 19

b. Setelah Berlakunya UU 21 Th. 2011 tentang OJK

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merupakan lembaga pengawas jasa keuangan yang berlandas dari

amanat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Di dalam
19
Ibid, hlm 148
Pasal 34 dicantumkan bahwa wewenang pengawasan terhadap Bank Indonesia sebagai pengawas sektor

perbankan dialihkan kepada lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk

dengan undang-undang.

Pengalaman yang menunjukan tidak stabilnya perekonomian Indonesia yang tercatat mulai

berantakan dengan adanya krisis hebat yang dimulai pada tahun 1997-1998, belum menemukan titik

terang bahkan muncul berbagai permasalahan lain yang tidak kalah memberikan pukulan keras bagi

perekonomian negara Indonesia. Salah satu peristiwa mengejutkan pada tahun 2008, yaitu munculnya

kabar bahwa Bnak Century ditetapkan BI sebagai bank gagal berdampak sistemik oleh Komite Stabilitas

Sistem Keuangan (KSSK). Begitu banyaknya opini yang mengatakan bahwa kegagalan kegagalan Bank

Century merupaka dampak dari lemahnya pengawasan bank yang dilakukan oleh BI, sehingga bank yang

semula dianggap berkondisi baik menjadi bank yang gagal yang menimbulkan dampak sistemik.

Pemerintah menanggapi peristiwa ini setelah mengadakan diskusi yang panjang, akhirnya Undang-

Undang RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan disahkan. Dalam undang-undang

tersebut pada Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga independen

dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan,

pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. 20

Dalam hal pengawasan Otoritas Jasa Keuangan pada industri keuangan, baik bank maupun non

bank berada di satu atap atau sistem pengawasan terpadu sehingga sistem pengawas bisa bertukar

informasi dengan mudah. Hal ini dapat menghindari adanya putusnya informasi antara badan pengawas

bank dan non bank yang telah ada sebelumnya. Sebagai contoh kasus bailout Bank Century yang telah

terjadi hingga sampai saat ini belum terselesaikan. Sistem pengawasan terpadu ini dapat meminimalisasi

kemungkinan berbenturannya kordinasi antar lembaga. Jika ada berbagai lembaga pengawas dalam suatu

sistem keuangan banyak tantangan yang harus dihadapi salah satunya adalah memastikan koordinasi antar

lembaga-lembaga agar terciptanya konsistensi dalam menentukan siapa yang bertanggung jawab atas

suatu kebijakan tersebut. Sedangkan fungsi pengawasan dan pengaturan dalam Otoritas Jasa Keuangan

20
Ibid, hlm 149
dibuat terbuat terpisah. Meskipun Otoritas Jasa Keuangan memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan

dalam satu tubuh, fungsinya tidak akan tumpang tindih. Hal ini karenakan Otoritas Jasa Keuangan secara

organisatoris terdiri dari atas tujuh dewan komisioner yang masing-masing mewakili perbankan, pasar

modal dan lembaga keuangan nonbank (LKNB).

Pengawasan bank pada prinsipnya terbagi atas dua jenis, yaitu pengawasan dalam rangka rangka

mendorong bank-bank untuk ikut menunjang pertumbuhan ekonomi dan menjaga kestabilan moneter

(macro-economic supervision), dan pengawasan yang mendorong agar bank secara individual tetap sehat

serta mampu memelihara kepentingan masyarakat dengan baik (prudential supervision). Dengan

demikian dapat dipahami bahwa sekalipun salah satu tujuan pengawasan bank adalah menciptakan

perbankan yang aman dan memelihara kepentingan masyarakat, tetapi tidak berarti otoritas pengawas

harus memikul tanggung jawab atas semua keadaan bank. Sasaran yang ingin dicapai oleh macro-

economi supervision adalah bagaimana mengarahkan dan mendorong bank serta sekaligus

mengawasinya, agar dapat ikut berperan dalam berperan dalam berbagai program pencapaian sasaran

ekonomi makro, baik yang terkait dengan dengan kebijaksanaan umum untuk mendorong pertumbuhasn

ekonomi , kemantapan neraca pembayaran, perluasan lapangan kerja, kestabilan moneter maupun upaya

pemerataan pendapatan dan kesempatan berusaha, Sedangkan tujuan dari prudential supervision adalah

mengupayakan agar setiap bank secara individual sehat dan aman, serta keseluruhan industri perbankan

menjadi sehat dan dapat memelihara kepercayaan masyarakat. 21

Secara umum, pemantauan dan penilaian terhadap stabilitas sistem keuangan yang dilakukan

dengan dua pendekatan, yaitu macro-prudential supervision dan micro-prudential supervision Tujuan

dari macro prudential supervision adalah meminimalkan dampak krisis keuangan pada perekonomian

suatu negara, antara lain dengan cara menginformasikan kepada otoritas publik dan industri keuangan

apabila terdapat potensi ketidaksinambungan di sejumlah institusi keuangan serta melakukan penilaian

mengenai potensi dampak kegagalan institusi keuangan terhadap stabilitas sistem keuangan suatu negara.

1. Macro-prudential Superevision
21
Ibid, hlm 150
Macro-prudential supervision terfokus pada aktivitas lembaga-lembaga keuangan yang memiliki

pengaruh signifikan pada pasar ataupun sistem keuangan. Macro-prudential surveillance menyediakan

sarana untuk memonitor dan mengatasi berbagai resiko yang akan mengancam stabilitas sistem keuangan

dan ekonomi rill secara keseluruhan. Selain itu, Maro-prudential surveillance juga dapat menyajikan

penjelasan mengenai risiko sistemik dan mitigasi dampak dari guncangan yang terjadi pada institusi

keuangan yang dapat mengganggu siklus bisnis. Informasi dari macro-prudential surveillance akan

membantu para pembuat kebijakan mengenai perlunya bail out (atau tidak) terhadap suatu institusi

keuangan yang tengah mengalami kesulitan likuiditas. Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam praktiknya

otoritas yang melaksanakan macro-prudential surveillance membutuhkan akses yang cepat dan mudah

terhadap data micro-prudential dan kewenangan resmi tanpa hambatan untuk memperoleh data tambahan

lainnya jika diperlukan. Krisis keuangan global yang terjadi saat ini telah memberikan pelajaran bahwa

sangat diperlukan hubungan yang erat antara pengawas bank (micro-prudential) dan bank sentral selaku

otoritas macro-prudential dalam merumuskan kebijakan yang tepat dan cepat pada saat-saat genting.

Selain itu, menjamin efektivitas dan pengawasan diperlukan independensi dari otoritas pengawas macro-

prudential.22

2. Micro-prudential Supervision

Tujuan mocro-prudential supervision adalah menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara

individual. Untuk itu, otoritas pengawas lembaga keuangan menetapkan regulasi yang berdasarkan pada

prinsip ke hati-hatian yang mencakup berbagai aspek, yakni permodalan, kualitas asset, manajemen,

rentabilitas dan likuiditas serta sensitivitas terhadap risiko. Disamping itu, otoritas pengawas juga

melakukan pengawasan melalui dua pendekatan, yakni analisis laporan bank (off-site analysis) dan

pemeriksaaan setempat (on-site visit) untuk menilai kinerja dan profil risiko serta kepatuhan lembaga

keuangan terhadap peraturan yang berlaku.

22
Ibid, hlm 150
Di Belanda, keputusan menempatkan pengawas prudential tunggal didalam Bank Sentral Belanda

didasarkan pada beberapa factor. Salah satu ciri yang membedakan model Belanda dari variasi lain twin

peaks, seperti misalnya model Australia adanya konsolidasi/penggabungan pengawasan prudensial makro

dan mikro dibawah bank sentral. Dengan dilakukannya konsolidasi/penggabungan, macro-prudential

surveillance yang dimaksudkan untuk memastikan stabilitas keuangan (financial stability) menjadi terkait

erat dengan micro-prudential supervision yang dimaksudkan untuk memastikan financial soundness

masing-masing lembaga keuangan. Selama krisis 2008 telah membuktikan bahwa dengan ditempatkannya

semua pengawasan prudensial didalam bank sentral (DNB) dapat diperoleh suatu gambaran sistemik

secara menyeluruh melintasi semua sektor finansial dan mengambil tindakan secara cepat dan

menentukan dalam situasi krisis.23

Pada Bab III Pasal 4 UU OJK juga dijelaskan lebih lanjut mengenai tujuan pembentukan Otoritas

Jasa Keuangan yaitu agar keseluruhan kegiatan data sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara

teratur, adil, transparan dan akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara

berkelanjutan dan stabil; dan mampu melindungi konsumen dan masyarakat

Secara normativ, pembentukan Otoritas Jasa keuangan sebagai lembaga independen yang baru

dapat dilihat sebagai solusi untuk Bank Indonesia agar lebih fokus dalam menjaga dan mengatur

kelancaran dari kebijakan moneter dan tidak perlu terbagi fokusnya dalam mengawasi bank.

OJK merupakan lembaga independen dan bebas dari campur tangan pihak lain mempunyai fungsi

tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaaan, dan penyelidikan. Tujuan pembentuka

OJK agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan

a. Terselenggara secara teratur,adil,transparan, dan akuntabel;

b. Mampu mewujudkan system keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan

c. Mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat

23
Ibid, hlm 153
OJK berfungsi menyelenggarakan system pengaturan dan pengawasan yang terintegritas terhadap

keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan. OJK melaksanakan tugas pengaturan dan

pengawasan terhadap:

a. Kegiatan jasa keuangan disektor perbankan

b. Kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal, dan

c. Kegiatan jasa keuangan disektor pengansuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan

lembaga jasa keuangan lainnya.

Untuk melaksanakan tugas pengawasan, OJK mempunyai wewenang:

a. Menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

b. Mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif

c. Melakukan pengawasan, pemeriksaaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain

terhadap lembaga jasa keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana

dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

d. Memberikan perintah tertulis kepada lembaga jasa keuangan dan/atau pihak tertentu;

e. Melakukan penunjukan pengelola statuter;

f. Menetapkan penggunaan pengelola statuter;

g. Menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan

perundang-undangan disektor jasa keuangan; dan

h. Memberikan dan/atau mencabut:

1. Izin usaha;

2. Izin orang perorangan;

3. Efektifnya pernyataan pendaftaran;

4. Surat tanda terdaftar;

5. Persetujuan melkukan kegiatan usaha;

6. Pengesahan;

7. Persetujuan atau penetapan pembubaran; dan


8. Penetapan lain sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan disektor jasa

keuangan.

Dengan melihat kewenangan-kewenangan tersebut, OJK akan focus pada pengawasan micro-

prudentiial supervision dan kehadiran OJK dapat dimaksudkan untuk menghilangkan penyalahgunaan

kekuasaan (abuse of power) sebelum dibentuknya OJK. Pasca dibentuknya OJK, peran serta Bank

Indonesia sebagai pengawas perbankan (macro-prudential supervision). Dalam lingkup pengaturan dan

pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehatian-hatian dan pemeriksaan bank merupakan

lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun

lingkup pengaturan dan pengawasan selian hal yang diatur dalam pasal 7 UU OJK, merupakan tugas dan

wewenang Bank Indonesia. Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu

Bank Indonesia untuk melakukan himbauan moral (moral suasion) kepada Perbankan.24

12. Likuidasi Bank

a. Pengertian Likuidasi

Likuidasi adalah pembubaran perusahaan. Dalam Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), pembubaran badan hukum

perseroan terjadi:

1. Berdasarkan keputusan RUPS;

2. Karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir;

3. Berdasarkan penetapan pengadilan;

4. Dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar

biaya kepailitan;

24
Ibid, hlm 154
5. Karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keaadaan

insolvensi sebagaiman diatur dalam undang-undang tentang Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang; atau

6. Karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan

likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Likuidasi bank dalam hal ini bank yang berbentuk badan hukum perseroan terbatas. Dalam proses

pengaturan maupun pengawasan, lembaga perbankan telah memiliki aturan-aturan tersendiri khususnya

mengenai penanganan bank bermasalah hingga dalam kondisi gagal. Bank Indonesia sebagai lembaga

pengawas perbankan dapat melakukan tindakan terhadap bank bermasalah. Segala sesuatu yang berkaitan

dengan lembaga perbankan baik mengenai pengaturan, pencabutan izin atas kelembagaan kegiatan usaha

tertentu dari Bank, melaksanakan pengawasan Bank, dan mengenakan sanksi terhadap Bank diatur oleh

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (selanjutnya disebut UU BI). 25

Menurut pasal 33 UU BI dalam hal keadaan suatu Bank menurut penilaian Bank Indonesia

membahayakan kelangsungan usaha Bank yang bersangkutan dana/atau membahayakan system

perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang mebahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia

dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang perbankan yang berlaku.

Dalam UU perbankan, diatur tentang keadaan bank yang membahayakan system perbankan atau terjadi

kesulitan yang membahayakan perekonomian Indonesia, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan

sesuai dengan Pasal 37 UU Perbankan yakni:

1. Dalam hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Bank

Indonesia dapat melakukan tindakan agar:

a. Pemegang saham menambah modal;

b. Pemegang saham mengganti. Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;

25
Ibid, hlm 156
c. Bank menghapus bukuan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet

dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya

d. Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;

e. Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;

f. Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain

g. Bank menjual sebagian atau seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain;

2. Apabila:

a. Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan

yang dihadapi bank; dan atau

b. Menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem

perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan

Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna

membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi

3. Dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana

dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk

mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi,

dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Dalam hal ini Bank Indonesia diberi kewenangan terhadap lembaga perbankan yang

membahayakan system perbankan untuk mencabut izin dan melaksanakan likuidasi sesuai dengan

perundang-undangan yang berlaku. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999 tentang pencabutan Izin

Usaha, pembubaran dan likuidasi Bank juga mengatur tentang kewenangan Bank Indonesia dalam

Pengawasan atas pelaksanaan pembubaran badan hukum dan likuidasi bank.

b. Likuidasi Bank Menurut PP No.25 Th.1999

Dalam UU perbankan pasal 37 ayat (2,3) dan pasal 52 ayat (1) mengatur bahwa Pimpinan BI dapat

mencabut izin usaha suatu bank apabila tindakan penyelamatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7

ayat 1 UU Perbankan belum cukup mengatasi kesulitan dihadapi bank atau menurut penilaian BI suatu
bank dapat membahayakan system perbankan. Pasal 2 ayat (1) menetapkan sanksi administrative kepada

bank yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam UU Perbankan atau Pimpinan

BI dapat mencabut izin usaha bank yang bersangkutan. Sanksi administrative antara lain dapat berupa

pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu maupun untuk bank secara

keseluruhan. Peraturan pelaksana dari pasal tersebut adalah PP No.25 Th 1999 tentang Pencabutan Izin

Usaha, Pembubaran, dan Likuidasi Bank.

Berdasarkan PP No. 25 Th 1999 tersebut, pencabutan izin usaha bank dilakukan oleh pimpinan BI

bila:

a. Tindakan penyelamatan belum mencukupi untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi bank

dan/atau menurut penilaian BI keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem perbankan (pasal

3 ayat (2) dan pasal 4 ayat (1)).

b. Atas rekomendasi dari badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan perbankan

berdasarkan Pasal 37 A UU Perbankan (pasal 25)

c. Atas keinginan sendiri para pemegang saham atau para pemiliknya untuk membubarkan badan

hukum bank (pasal 26).

Pencabutan izin usaha bank yang pada prinsipnya ditetapkan dalam SK Direksi BI. Khusus bagi

bank atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan diluar negeri, pencabutan izin diberikan jika pihak

bank telah menyelesaikan kewajibannya kepada seluruh kreditur atau menyediakan dan sekurang-

kurangnya sebesar kewajiban bank atau kantor cabang dari bank yang berkedudukan diluar negeri yang

belum diselasaikan. BI memberitahukan pencabutan izin usaha tersebut kepada bank atau kantor cabang

bank yang berkedudukan diluar negeri dan mengumumkannya dalam dua surat kabar harian yang

mempunyai peredaran luas. Jika bank yang dicabut izin usahanya memiliki kaantor diluar negeri,

pencabutan izin diberitahukan oleh BI kepada otoritas ditempat kedudukan kantor tersebut . Sejak

tanggal pencabutan izin usaha, bank wajib menutup seluruh kantornya untuk umum dan menghentikan

segala kegiatan perbankan serta pengurus banknya dilarang melakukan perbuatan hukum berkaitan

dengan asaet dan kewajiban bank, kecuali atas persetujuan dan/atau penugasan BI untuk:
a. Pembayaran gaji pegawai yang terutang

b. Pembayaran biaya kantor

c. Pembayaran kewajiban bank kepada nasabah penyimpan dan dengan menggunakan dana lembaga

penjamin simpanan.26

Sebagai konsekuensi pencabutan izin usaha, bank tersebut diwajibkan menyelenggarakan RUPS

selambat-lambatnya 60 hari sejak tanggal pencabutan izin usaha guna memuat sekurang-kurangnya

pembubaran badan hukum bank dan pembentukan Tim Likuidasi. Jika RUPS tidak dapat

diselenggarakan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, atau diselenggarakan dalam jangka waktu

yang telah ditentukan, atau diselenggarakan namun tidak berhasil memutuskan pembubaran badan hukum

bank dan pembenrtukan Tim likuidasi maka Direksi BI meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan

penetapan yang memuat:

a. Pembubaran badan hukum bank;

b. Penunjukan ti likuidasi dengan susunan dan nama-nama anggota yang diusulkan oleh BI

c. Perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

d. Perintah agar Tim Likuidasi mempertanggungjawabkan pelaksanaan likuidasi kepada BI

Sejak tanggal dikeluarkannya berita acara RUPS yang memutuskan pembubaran badan hulum bank

atau tanggal penetapan pengadilan, bank disebut sebagai “Bank Dalam Likuidasi” dan wajib

mencntumkan kata “Dalam Likuidasi”setelah penulisan nama bank yang bersangkutan. Dengan demikian,

dapat disimpulkan bahwa pencabutan izin usaha bank tidak berarti proses likuidasi bank berakhir,

melainkan harus diikuti dengan pembubaran badan hukumnya oleh RUPS atau organisasi tertinggi dalam

badan usaha tersebut atau bisa dilakukan secara paksa atas perintah pengadilan berdasarkan pemintaan

BI, baru selanjutnya bank tersebut dilikuidasi.

Anggota Tim likuidasi berjumlah minimal 3 orang dan maksimal 7 orang, dimana salah seorang

nya ditetapkan oleh RUPS atau pengadilan untuk menjabat ketua yang mempunyai wewenang bertindak

mewakili Tim Likuidasi. Pelaksanaan likuidasi bank yang dilakukan oleh Tim Likuidasi tersebut wajib

26
Ibid, hlm 158
diselesaikan dalam jangka waktu paling lambat 5 tahun terhitung sejak tanggal dibentuknya Tim

Likuidasi jika penyelesaiannya mengalami tingkat kesulitan yang tinggi. Dalam hal likuidasi tidak dapat

diselesaikandalam jangka waktu 5 tahun, penjualan harta bank dalam likuidasi dilakukan secara lelang

oleh kantor lelang negara atau lembaga lai atas permohonan Tim Likuidasi menggunakan metode harga

penawaran tertinggi yang wajib diselesaikan selambat-lambatnya dalam rangka 180 hari sejak

berakhirnya jangka waktu pelaksanaan likuidasi bank yang diwajobkan.

Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan dengan cara mencairkan harta dan/atau menagih piutang

debitur diikuti dengan pembayaran kewajiban dalam likuidasi kepada kreditur dari hasil pencairan dana

atau penagihan tersebut; atau mengalihkan seluruh harta dan kewajiban bank dalam likuidasi sebagai satu

kesatuan kepada pihak lain dengan persetujuan BI setelah mempertimbangkan kemampuan pihak lain

untuk menyelesaikan bank dalam likuidasi terhadap kreditur. Selama proses likuidasi menurut cara yang

pertama yang berlangsung. Tim Likuidasi dapat mengubah cara likuidasi yang digunakan dengan terlebih

dahulu memperoleh persetujuan BI.27

Setelah pelaksanaan likuidasi bank terakhir, Tim Likuidasi wajib nmenyusun Neraca Akhir

Likudasi guna dilaporkan kepada BI dan dipertanggung jawabkan kepada pemegang saham melalui

RUPS apabila Tim Likuidasi dibentuk melalui RUPS; atau dilaporkan dan dipertanggung jawabkan

kepada BI apabila Tim Likuidasi dibentuk melalui penetapan pengadilan.

3. Likuidasi Bank Menurut UU No.24 Th 2004 tentang LPS

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam proses likuidasi dalam pasal 6 ayat (2) UU LPS

meliputi:

1. Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang RUPS;

2. Menguasai dan mengelola asset dan kewajiban bank gagal yang diselamatkan

3. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat

bank gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank;dan

27
Ibid, hlm 161
4. Menjual dan/atau mengalihkan asset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank

tanpa persetujuan bank tanpa persetujuan kreditur.

Dalam rangka melakukan likuidasi bank gagal yang dicabut izin usahanya, LPS melakukan

tindakan sebagai berikut

1. Melakukan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2);

2. Memberikan talangan untuk pembayaran gaji pegawai yang terutang dan talangan pesangon

pegawai sebesar jumlah minimum pesangaon sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-

undangan;

3. Melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka pengamanan asset bank sebelum proses

likuidasi dimulai; dan

4. Memutuskan pembubaran badan hukum bank, membentuk tim likuidasi, dan menyatakan status

bank sebagai bank dalam likuidasi, berdasarkan kewenangan sebagimana dimaksudkan pada

huruf a.

Menurut pasal 102 UU LPS, ketentuan mengenai likuidasi bank berdasarkan PP No. 25 th 1999

tentang Pencabutan Izin Usaha, Pembubaran , dan Likuidasi Bank tidak berlaku untuk likuidasi bank

yang terjadi setelah UU No.24 tahun 2004 berlaku. Dengan demikian, peraturan yang berlaku sekarang

untuk likuidasi adalah UU tentang Lembaga penjamin Simpanan (LPS).

Adapun yang dimaksud dengan tugas melaksanakan penanganan bank gagal berdampak sistemik

meliputi kewenangan mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang RUPS; menguasai dan

mengelola aset dan kewajiban bank gagal yang diselamatkan; meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri

dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat bank gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga

yang merugikan bank; serta menjual dan mengalihkan asset bank tanpa persetujuan kreditur

Selain tugas dan wewnang LPS dalam menjamin simpanan nasabah bank, LPS juga dapat

melakukan tindakan dalam proses likuidasi. Pengaturan mengenai likuidasi diatur dalam Pasal 43 UU

LPS.
Dalam menjalankan fungsinya, berdasarkan Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 UU LPS dilengkapi

dengan tugas dan wewenang tersebut mencakup bidang membuat regulasi, provider, sampai pada bidang

pengawasan termasuk menjatuhkan sanksi administratif, yang dimana salah satunya mengambil alih

wewenang pemegang saham dan RUPS.

Penyelesaian atau penanganan bank gagal oleh LPS yang tidak berdampak sistemik dilakukan

dengan melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan terhadap bank gagal dimaksud.

Adapun penanganan bank gagal yang berdampak sistemik dilakukan dengan melakukan penyelamatan

yang mengikutsertakan pemegang saham lama.

LPS melakukan tindakan penyelesaian atau penanganan bank yang mengalami kesulitan keuangan

dalam kerangka mekanisme kerja yang terpadu, efisien dan efektif untuk menciptakan ketahanan sektor

keuangan Indonesia atau disebut Indonesia Financial Safety Net (IFSN). LPS bersama dengan menteri

keuangan, BI, dan Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) menjadi anggota Komite Koordinasi. Tindakan

penyelesaian atau penanganan bank gagal oleh LPS didahului berbagai tindakan lain oleh BI dan LPP

sesuai peraturan perundang-undangan. BI melalui mekanisme sistem pembayaran akan mendeteksi bank

yang mengalami kesulitan keuangan dan dapat menjalankan fungsinya sebagai Lender of last resort.

LPP juga dapat mendeteksi kesulitan tersebut dan berupaya mengatasi dengan menjalankan fungsi

pengawasannya, antara lain berupa tindakan agar pemilik bank menambah modal atau menjual bank, atau

agar bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain. Jika kondisi bank yang mengalami

kesulitan keuangan tersebut semakin memburuk, antara lain ditandai dengan menurunkan tingkat

solvabilitas bank, tindakan penyelesaian dan penanganan bank gagal diserahkan kepada LPS yang akan

bekerja setelah terlebih dahulu dipertimbangkan perkiraan dampak pencabutan izin usaha bank

diperkirakan memiliki dampak terhadap perekonomian nasional, tindakan penanganan yang dilakukan

LPS yang didasarkan pada Keputusan Komite Koordinasi.28

28
Ibid, hlm 165
Dalam hal LPS memutuskan untuk tidak melanjutkan proses penyelamatan maka LPS meminta

pencabutan izin usaha bank sesuai dengan peraturan perundang-undangan. LPS melaksanakan

pembayaran klaim penjaminan kepada nasabah penyimpan bank yang dicabut izin usahanya.

Dalam rangka melakukan likuidasi bank gagal yang dicabut izin usahanya LPS melakukan

tindakan sebagai berikut:

a. Melakukan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (2);

b. Memberikan talangan untuk pembayaran gaji pegawai yang terutang dana talangan pesangon

pegawai sebesar jumlah minimum pesangon sebagian diatur dalam peraturan perundang-

undangan;

c. Melakukan tindakan yang yang diperlukan dalam rangka pengamanan aset bank sebelum proses

likuidasi dimulai; dan

d. Memutuskan pembubaran badan hukum bank, membentuk tim likuidasi, dan menyatakan satu

bank sebagai bank likuidasi, berdasarkan kewenangan sebagaimana dimaksud pada huruf a.

Anggota tim likuidasi sebanyak-banyaknya Sembilan orang. Dalam hal diperlukan, salah satu

anggota direksi, dewan komisaris atau pemegang saham lama dapat ditunjuk sebagai anggota tim

likuidasi.

Keputusan pembubaran badan hukum bank wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan dan di

panitera Pengadilan Negeri (PN) yang meliputi tempat kedudukan bank yang bersangkutan; dan

diumumkan dalam Berita Negara RI dan dua surat kabar harian yang mempunyai peredaran luas; dan

diberitahukan kepada instansi yang berwenang. Pengumuman tersebut memuat pula pernyataan bahwa

seluruh aset bank dalam likuidasi berada dalam tanggung jawab dan pengurusan tim likuidasi.

Pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh tim likuidasi . Pelaksanaan likuidasi bank oleh tim likuidasi

wajib diselesaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun terhitung sejak tanggal pembentukan tim

likuidasi dan dapat diperpanjang oleh LPS paling banyak dua kali masing-masing paling lama satu tahun.

Pengawasan atas pelaksanaan likuidasi bank dilakukan oleh LPS.


Dalam hal terdapat sengketa dalam proses likuidasi, sengketa dimaksud diselesaikan melalui

pengadilan niaga sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Likuidasi bank dilakukan dengan cara:

a. Pencairan aset dan/atau penagihan piutang kepada para debitur diikuti dengan pembayaran

kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan tersebut;atau

b. Pengalihan aset dan kewajiban bank kepada pihak lain berdasarkan persetujuan LPS (pasal 53)

Pembayaran kewajiban bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 diatas, dilakukan dengan urutan sebagai berikut:

a. Penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang;

b. Penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai;

c. Biaya perkara dipengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor;

d. Biaya penyelematan yang dikeluarkan LPS dan/atau pembayaran atas klaim penjaminan yang

harus dibayarkan oleh LPS;

e. Pajak yang terutang;

f. Bagian Simpanan dari nasabah penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan disimpan

dari nasabah penyimpan yang tidak dijamin; dan

g. Hak dari kreditur lainnya.

Setelah selesai menyelesaikan proses likuidasi sesuai dengan cara atau paling lama dalam jangka

yang telah ditentukan, tim likuidasi menyampaikan neraca akhir likuidasi dan mempertanggung jawabkan

pelaksanaan tugasnya kepada LPS.

Setelah menerima pertanggungjawaban tim likuidasi, LPS meminta tim likuidasi untuk (a)

mengumumkan berakhirnya likuidasi dengan menetapkan dalam Berita Negara RI dan dalam dua surat

kabar harian yang mempunyai peredaran luas; (b) memberitahukan kepada instansi yang berwenang agar

nama badan hukum bank tersebut dicoret dari daftar perusahaan; dan terakhir kemudian, LPS

membubarkan tim likuidasi.

13. Kedudukan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral Di Indonesia


Keberadaan Bank Sentral telah mengalami berbagai tahap perkembangan sejak abat ke-17.

Berdasarkan catatan sejarah, bank sentral yang tertua adalah Swedish Riskbank yang didirikan pada

Tahun 1656 sebagai bank swasta dan berkembang menjadi bank sentral yang beroperasi paada Tahun

1668, melalui Undang-Undang, Swedish Riskbank berhak memonopoli penerbitan uang kertas pada

Tahun 1809, namun kemudian monopoli itu berkurang ketika bank-bank lain diperbolehkan menerbitkan

uang kertas pada tahun 1830, dan selanjutnya pada Tahun 1897 kembali Riksbank memperoleh hak

tunggal untuk menerbitkan uang kertas.

Menyusul kemudian berdiri The Bank of England pada tahun 1694. Saat awal berdirinya bank of

England berfungsi sebagai bank swasta biasa, dan kemudian pada perkembangannya baru menjadi bank

sirkulasi pada Tahun 1773. Pada awalnya Bank of England memberikan uang muka kepada pemerintah

dengan imbalan berhak menerbitkan uang kertas melalui Undang-Undang, kemudian menyelenggarakan

kliring diantara bank-bank. Kemudian berkembang sebagia lender of the last resort setelah sukses

mengatasi berbagai krisi keuangan. Sukses tersebut tidak hanya menjadi prestasi dan status sebagai Bank

Sentral Inggris, tetapi juga mendorong perkembangan Bank Sentral di bagian-bagian lain dunia. Bank of

England yang dijadikan sebagai bank sentral pada tahun 1694 dan dianggap sebagai cikal bakal bank

sentral modern. Kemudian berdirinya The Federal Reserve di Amerika serikat, yang didirikan pada Tahun

1913 dan dianggap sebagai bank sentral yang independen sejak bank tersebut didirikan.

Secara umum konsep Bank Sentral mengandung pengertian lembaga pengemban tugas sebagai

pelayan pubik yang bersifat memenuhi kepentingan umum, sehingga tidak berorientasi mencari

keutungan tetapi mempengaruhi pasar uang dan berpengaruh terhadap struktur perbankan, serta bertindak

sebagai banker bagi bank-bank (bankers bank).29

Bank Sentral adalah lembaga Negara yang mempunyai wewenang untuk mengeluarkan alat

pembayaran yang sah dari suatu Negara, merumuskan dan melqaksanakan kebijakan moneter, mengatur

dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi perbankan, serta menjalankan

29
Zulfi Diane Zaini, Hubungan Hukum Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral Dengan Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) Pasca Pengalihan Fungsi Pengawasan Perbankan, Jurnal Media Hukum, Vol 20, No. 2, hlm 92
fungsi sebagai lender of the last resort (LoLR). Bank yang berfungsi dan menjalankan kewenangan

sebagai bank Sentral di Indonesia yaitu Bank Indonesia.

Sejalan dengan hal tersebut diatas, sebagai bank sentral ruang lingkup kewenangan bank Indonesia

terlihat tidak hanya mengurusi bidang perbankan saja, tetapi juga yang menyangkut kebijakan moneter,

sistem pembayaran serta berperan sebagai penjamin likuiditas perbankan dalam menghadapi krisis

keuangan.

Di Indonesia, perjalanan panjang sejarah keberadaan bank Sentral dimulai satu tahun setelah

kemerdekaan Indonesia, yakni Tahun 1946 dengan berdirinya bank Negara Indonesia (BNI), merupakan

bank Pertama yang dimiliki bangsa Indonesia, dan berfungsi sebagai bank komersial dan Bank Sentral.

Pada Tahun 1849, De Javanesche Bank, atas dasar kesepakatan pada Konferansi Meja Bundar

antara Indonesia dan Belanda, disepakati sebagai Bank Sentral, sementara itu BNI beralih menjadi bank

pembangunan. Saat terjadi nasionalisasi pada Tahun 1951, maka De Javasche Bank melalui Keputusan

pemerintah Nomor 118 Tanggal 2 Juli 1951 menjadi Bank Sentral, dan dengan Keputusan Presiden

nomor 123 Tanggal 12 Juli 1951 diangkat Sjafruddinn Prawinegara sebagai gubernur baru Bank

Sentral . Hal tersebut mencerminkan adanya keinginan kuat Pemerintah untuk membangun Bank Sentral

yang independen bebas dari pengaruh kolonial.

De Javasce Bank, sebuah Bank Belanda yang pada masa kolonial diberi tugas oleh Pemerintah

Belanda sebagai bank sirkulasi di hindia belanda. De Javasche bank merupakan cikal bakal Bank

Indonesia didirikan pada Tanggal 29 Desember Tahun 1826 melalui Surat perintah Raja Willem I dan

ditetapkan sebagai bank Sentral pada Tahun 1949 hasil Konferensi Meja Bundar.

Keberadaan Bank Sentral di Indonesia, kemudian dipertegas kembali yang ditandai dengan

lahirnya Undang-Undang No.11 Tahun 1953 tentang Pokok-Pokok Bank Sentral, antara lain memberikan

tugas kepada Bank Sentral sebagai penjaga Stabilitas moneter, mengedarkan uang, mengembangkan

sistem perbankan, megawasi kegiatan perbankan, dan menyalurkan kredit bank, namun Bank Sentral

masih merangkap sebagai bank komersial.


Peran bank Sentral sebagai Bank Komersial selanjutnya dicabut dengan berlakunya Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 1968 tentang Bank Sentral. Saat itu, Bank Sentral masih melaksanakan peran

sebagai agen pembangunan dengan keharussan menyalurkan kredit, yang merupakan konsekuensi dari

kedudukan Bank Sentral sebagai bagian dari Pemerintah. Hal tersebut menjadikan Bank Sentral kurang

independen. Kemudian pada Tahun 1999, saat lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang

Bank Indonesia, independensi Bank Sentral dicantumkan secara tegas dalam melaksanakan tugas dan

wewenang bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain.

Saat ini semakin menguatkan kecenderungan untuk menjadikan bank sentral bersifat independen,

sejalan dengan berlangsungnya perkembangan pemikiran-pemikiran baru yang yang mempengaruhi

terjadinya perubahan peran bank Sentral diseluruh dunia. Jika sebelum periode Tahun 1980, bank-bank

sentral umumnya tidak independen, maka setelah periode tersebut hampir seluruh bank sentral didunia

menjadi bank sentral yang independen.

Dapat dilihat perkembangannya, pada abad 19 (Sembilanbelas) hanya ada 18 (delapanbelas) bank

sentral, 16 (enambelas) berada di Eropa ditambah di jepang dan Indonesia dan pada awal abad ke 20

(duapuluh) masih tetap berjumlah 18 (delapanbelas) bank sentral, tetapi jumlah ini kemudian meningkat

menjadi 59 (limapuluh Sembilan) pada Tahun 1950, dan meningkat lagi menjadi 161 (seratus enampuluh

satu) pada tahun 1990. Bahkan meningkat lagi menjadi 172 (seratus tujuhpuluh dua) bank sentral pada

Tahun 2000, sedangkan data dari Bank for International Settlements dan sumber resmi lain, bahwa

sampai dengan akhir Tahun 2004 ada 175 (seratus tujuhpuluh lima) bank sentral di dunia.

Sebelum periode Tahun 1980, keberadaan bank-bank sentral yang independen hanya Federal

Reserve di Amerika Serikat, Bundesbank di Jerman, dan Bank nasional Swiss. Akan tetapi dewasa ini

muncul fenomena bahwa dibelahan dunia ketiga semakin banyak Bank Sentral berubah menjadi Bank

Sentral yang Independen akibat dari perubahan kerangka hukum dan konstitusional yang diterapkan di

Negara-negara tersebut. Gejala seperti ini terjadi dibeberapanegara antara lain di Chili Tahun 1989,

Argentina Tahun 1992, Filipina Tahun 1993 dan di Indonesia Tahun 1999.30

30
Ibid, hlm 94
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 19999 tentang Bank Indonesia., mengatur

kedudukan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yanag independen dan sebagai pengganti dari Undang-

Undang Nomor 13 Tahuin 1968 tentang Bank Sentral. Ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Bank

Indonesia mengatur bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai

rupiah. Kestabilan nilai rupiah sangat penting untuk mendukung pembangunan ekonomi dan

meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Bank Indonesia disebutkan bahwa Bank Indonesia sebagai Bank

Sentral Republik Indonesia. Peran Bank Indonesia dalam kebijakan perbankan berubah seiiring dengan

diberlakukannya Undang-Undang Bank Indonesia sejak Tahun 1999. Peran penting dalam kebijakan

perbankan, yaitu sebagai otoritas tunggal yang berwenang mengatur dan mengawasi perbankan,. Fungsi

pengawasan bank tersebut merupakan salah satu pilar penting yang harus dilakukan oleh Bank Indonesia

dalam menciptakan dan memelihara stabilitas nilai rupiah.

Untuk mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah tersebut maka Bank Indonesia dapat

melakukan aktivitas perbankan yang dianggap perlu, namun tidak melakukan kegiatan intermediasi

sebagaimana halnya Bank Umum. Adapun untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia

melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran dan mengatur

serta mengawasi bank-bank. Undang-Undang Bank Indonesia tersebut lahir setelah terjadinya krisis

perbankan karena sebelumnya berlaku Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1968.

Bank Indonesia adalah Bank Sentral yang merupkan lembaga penyeimbang antara permintaan dan

penyedia barang dan jasa dengan permintaan dan penyediaan uang. Fungsi utama Bank Sentral adalah

menjaga agar daya beli masyarakat terhadap barang dan jasa tersedia. Apabila jumlah uang yang ada lebih

banyak dibandingkan dengan ketersediaan barang dan jasa, hal tersebut akan mengakibatkan kemampuan

membeli yang berlebih sehingga harga barang dan jasa meningkatvdan nilai uang turun. Inflasi terjadin

jika nilai uang lebih rendah dibandingkan dengan daya belinya.

Sebaliknya, apabila ketersediaan barang dan jasa yang terbatas sehingga terdapat keterbatasan

dalam membelanjakan uang, terjadi deflasi atau nilai uang lebih tinggi dibandingkan dengan daya beli.
Agar terjadinya keseimbangan antara nilai uang dan daya beli,bank sentral harus melakukan kebijakan

dan kegiatan pengendalian melalui instrument-instrumennya, misalnya suku bunga, operasi pasar terbuka,

pengendalian jumlah uang beredar, persuasi untuk mengarahkan ekspetasi inflasi dan sebagainya.

Kemudian untuk melaksanakan kebijakan moneter, bank sentral menggunakan sarana bank-bank sebagai

pencipta uang giral sehingga dalam rangka tersebut selanjutnya bank sentral mengeluarkan kebijakan dan

peraturan terhadap bank-bank, misalnya ketentuan giro wajib minimum (kewajiban untuk menyimpan

dananya di bank sentral hingga prosentase yang ditentukan agar tidak terjadi kelebihan likuiditas di pasar

uang).31

Selain dari fungsi utama sebagaimana tersebut diatas, kepada bank sentral lazimnya diberikan pula

kewenangan untuk memelihara system pembayaran dan mengawasi jalannya kegiatan operasional

lembaga perbankan suatu Negara. Tugas memelihara sistem pembayaran pada dasarnya terkait dengan

fungsi utama, mengingat bank sentral juga bertugas menerbitkan uang sebagai alat pembayaran yang sah

juga mengatur sistem pembayaran agar transaksi perekonomian menjadi lancer.

Sementara itu, tugas pengawasan lembaga perbankan terutama Negara-negara berkembang

dilakukan oleh Bank Sentral karena dominasi pembiayaan sektor-sektor ekonomi pada hakikatnya masih

bertumpu pada Bank-bank, seperti di Indonesia yang hingga pertengahan Tahun 2008 masih menunjukan

angka 80% (delapanpuluhh persen). Fungsi Bank Sentral dalam menjagakeseimbangan kondisi

perekonomian suatu Negara yang diimbangi dengan prinsip kemandirian atau Indepensi menjadi sangat

penting bagi lembaga tersebut seperti yang dikemukakan oleh David Ricardo sejak abad ke-19 (Sembilan

belas).

Kedudukan hukum Bank Indonesia telah disebutkan sejak Negara Republik Indonesia berdiri

khususnya didalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, dan setelah konstitusi tersebut beberapa kali

diamandemen dan terakhir pada amandemen ke (IV) dijelaskan dalam pasal 23 D, disebutkan bahwa:

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia yang independen dalam melaksanakan tugasnya.

31
Ibid, hlm 96
Berdasarkan Undang-Undang Bank Indonesia yang baru, Bank Indonesia berada diluar pemerintah,

artinya tidak berada di bawah Menteri Kabinet dalam pemerintahan di bawah Presiden, akan tetapi tetap

berada dalam jalur koordinasi Presiden sebagai Kepala Negara. Perbedaan kewenangan mendasar yang

terkait dengan penyelesaian bank-bank bermasalah adalah bahwa kebijakan-kebijakan pengaturan dan

pengawasan lembaga perbankan termasuk penutupan bank harus berada dalam koordinasi menteri

Keuangan, termasuk hak untuk memberikan dan mencabut izin usaha bank yang berada di bawah

Menteri Keuangan. Setelah Undang-Undang Bank Insonesia yang baru, koordinasi dengan Menteri

Keuangan lebih dikaitkan karena Departemen keuangan yang merupakan pemegang otoritas keuangan

dan fiskal, sedangkan kebijakan pengaturan dan pengawasan sepenuhnya berada pada Bank Indoneesia,

termassuk hak untuk pemberian dan pencabutan izin usaha bank.

Penyehatan posisi keuangan bank tidak akan lengkap bila tidak diikuti oleh perbaikan lingkungan

eksternal tempat beroperasinya perbankan. Oleh karena itu, strategi restrukturisasi perbankan dalam tahap

restrukturissasi operasional diarahkan untuk menjawab kelemahan-kelemahan yang ada dalam system

akunting, konfigurasi sektor perbankan dan kerangka hukum yang akan mempengaruhi gerak operasional

perbankan dimasa depan

Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas system keuangan, yaitu

sebagai berikut:32

1. Menjaga stabilitas moneter melalui instrument suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Untuk

itu, Bank Indonesia harus mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang.

2. Menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan melalui mekanisme

pengawasan dan regulasi. Untuk itu, Bank Indonesia harus menegakkan disiplin pasar melalui

kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law

enforcement).

32
Zulfi Diane Zaini, Opcit, hlm 104
3. Mengatur dan menjaga system pembayaran. Terjadinya kegagalan dalam pembayaran (failure of

settle) akan menimbulkan risiko potensial dan mengganggu kelancaran system pembayaran dan

menimbulkan risiko menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat

sistemik. Untuk itu, Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk

mengurangi risiko dalam dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat, antara

lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang bersifat Real Time atau dikenal dengan atau

dikenal dengan nama system Real Time Gross Settlement (RTGS) dengan tujuan meningkatkan

keamanan dan kecepatan system pembayaran.

4. Mengakses informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara

macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi

potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas system keuangan ,

mengembangkan intrumen, dan indicator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor

keuangan.

5. Jarring pengaman system keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai Lender of The Last

Resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tardisional Bank Indonesia sebagai bank sentral

dalam mengelola krisis untuk menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi

Bank Indonesia sebagai LoLR mencakup penyediaan liduiditas pada kondisi normal ataupun

krisis pada saat menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang

bersifat sistematik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR/Bank Indonesia harus menghindari

terjadinya . Oleh karena itu, pertmbangan risiko sistematik dan persyaratan yang ketat harus

ditetapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut.

Berdasarkan UU No. 23/1999, disebutkan bank Indonesia bertujuan untuk untuk mencapai dan

memelihara kestabilan rupiah. Untuk mencapai tujuan tersebut, Bank Indonesia bertugas menerapkan dan

melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan

mengawasi bank. Dalam pelaksanan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran sistem

pembayaran , mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi bank.
Dalam pelaksanaan tugas tersebut Bank Indonesia harus memiliki hak indepensi. Perumusan tujuan

tunggal ini memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia dan batas-batas tanggung jawabnya.

Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia dapat diukur dengan mudah.

Hubungan Bank Indonesia dengan pemerintah seperti yang tertuang dalam Undang-Undang

No.23 tahun 1999 adalah sebagai berikut.

1. Bertindak sebagai pemegang kas pemerintah.

2. Untuk dan atas nama Pemerintah BI dapat menerima pinjaman luar negeri, menatausahakan,

dan menyelesaikan tagihan dan kewajiban keuangan pemerintah terhadap pihak luar negeri.

3. Pemerintah wajib meminta pendapat Bank Indonesia dan mengundang Bank Indonesia dalam

sidang kabinet yang membahas masalah ekonomi, perbankan dan keuangan yang berkaitan

dengan tugas Bank Indonesia atau kewenanganBank Indonesia

4. Memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah mengenai Rancangan Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara sertakebijakan lain yang berkait dengan tugas dan wewenang

Bank Indonesia

5. Dalam hal pemerintah menerbitkan surat-surat utang Negara, pemerintah wajib terlebih

dahulu berkonsultasi dengan Dewan perwakilan Rakyat.

6. Bank Indonesia Dapat membantu penerbitan surat-surat utang Negara yang diterbitkan

pemerintah.

7. Bank Indonesia dilarang memberikan kredit kepada pemerintah.

Adapun hubungan dengan dunia international adalah sebagai berikut.

1. Dapat melakukan kerjasama dengan :

a. Bank sentral Negara lain

b. Organisasi dan lembaga Internasional

2. Dalam hal persyaratan bahwa anggota internasional atau lembaga multilateral adalah

Negara, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama Negara Sebagai bank
sentral, Bank Indonesia juga memberikan beberapa macam kredit, yaitu kredit likuiditas,

kredit langsung, dan kredit untuk Pertaminan. Kredit likuiditas adalah kredit yang

diberikan pada bank-bank umum untuk membantu likuiditas mereka.

Anda mungkin juga menyukai