Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Sebagaimana diketahui bahwa krisis yang melanda di tahun 1998 telah membuat
sistem keuangan Indonesia porak poranda. Sejak itu maka lahirlah kesepakatan untuk
membentuk Otoritas Jasa Keuangan yang menurut undang-undang tersebut harus
terbentuk pada tahun 2002. Meskipun Otoritas Jasa Keuangan dibidani berdasarkan
kesepakatan dan diamanatkan oleh UU, nyatanya sampai dengan 2002 draft
pembentukan Otoritas Jasa Keuangan belum ada, sampai akhirnya UU No 23/1999
tentang Bank Indonesia (BI) tersebut direvisi, menjadi UU No 24 2004 yang menyatakan
tugas BI adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
Kemudian pada tanggal 27 Oktober 2011, RUU Otoritas Jasa Keuangan disahkan
oleh DPR, dan selanjutnya Pemerintah mensahkan dan mengundangkan Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan dalam Lembaran Negara
Republik pada tanggal 22 November 2011. Berikut merupakan ringkasan dari isi Undang
Undang Nomor 21 Tahun 2011.OJK berkedudukan di ibu kota Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan
yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan.

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang masalah diatas maka masalah yang di bahas adalah sebagai
berikut:
1. Apakah yang dimaksud Otoritas Jasa Keuangan?
2. Bagaimana OJK dengan Perbankan?

1.3 Identikasi Masalah


Dalam Pembahasan Ini mengidentifikasi masalah diantaranya :
1. Bagaimana Pengertian OJK(Otoritas Jasa Keuangan) ?
2. Bagaimana Peran OJK dalam Perbankan ?
3. Apa Tugas – Tugas OJK Kepada Perbankan ?
4. Bagaimana Hubungan OJK dengan Bank Syariah di Indonesia.?
5. Bagaimana Dukungan yang dibutuhkan Bank Syariah dari Pemerintah ?
6. Bagaimana Peran OJK dalam Perlindungan Konsumen Produk Perbankan ?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian OJK(Otoritas Jasa Keuangan)


Pasar modal adalah pasar dari berbagai instrumen keuangan (sekuritas) jangka
panjang yang dapat diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang (obligasi) maupun modal
sendiri (saham) yang diterbitkan pemerintah atau perusahaan swasta. Pada dasarnya
fungsi pasar modal sebagai wahana demokratisasi pemilikan saham yang ditunjukkan
dengan semakin banyaknya institusi dan individu yang memiliki saham perusahaan yang
telah go public (Suad Husnan, 1994). Secara formal pasar modal dapat didefinisikan
sebagai suatu pasar untuk berbagai instrumen keuangan atau sekuritas jangka panjang
yang dapat diperjualbelikan, baik itu dalam bentuk hutang ataupun modal sendiri, yang
diterbitkan oleh pemerintah atau perusahaan swasta. (Tjiptono D dan Hendy M. F –
2001)
Sedangkan Jasa keuangan adalah suatu istilah yang digunakan untuk merujuk jasa
yang disediakan oleh industry keuangan. Jasa keuangan juga digunakan untuk merujuk
pada organisasi yang menangani pengelolaan dana. Bank, bank investasi, perusahaan
asuransi, perusahaan kartu kredit, perusahaan pembiayaan konsumen, dan sekuritas
adalah contoh-contoh perusahaan dalam industri ini yang menyediakan berbagai jasa
yang terkait dengan uang dan investasi. Jasa keuangan adalah industri dengan
pendapatan terbesar di dunia; pada tahun 2004, industri ini mewakili 20% kapitalisasi
pasar.
Pengguna Jasa Keuangan adalah para nasabah atau konsumen. Konsumen dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen memiliki
pengertian: “setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan
tidak untuk diperdagangkan”, sedangkan dalam sektor Pasar Modal, konsumen adalah
pihak-pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang
tersedia di Lembaga Jasa Keuangan atau dengan kata lain disebut dengan pemilik modal
atau pemodal.
2.2 Peran OJK dalam Perbankan
Peran OJK – Otoritas Jasa Keuangan dalam Bisnis Bank tidak kalah penting
dengan peranan Bank Indonesia. Otoritas Jasa Keungan atau yang biasa disingkat dengan
OJK mempunyai peranan penting dalam kegiatan di sektor jasa keuangan. OJK
melakukan pengawasan secara independen dan akuntabel. Peranan OJK dalam
pengawasan dan pengaturan bisnis bank sangat luas karena mencakup pengaturan dan
pengawasan secara microprudential.

2.3 Tugas – Tugas OJK Kepada Perbankan


2.3.1 Pengawasan Terhadap Bank
Salah satu peran OJK di dalam sektor bisnis bank adalah melakukan pengaturan
dan pengawasan untuk kegiatan usaha dalam bidang perbankan. Kewenangan OJK
seperti yang tertuang dalam pasal 7 Undang Undang OJK adalah menetapkan
pengaturan dan melakukan pengawasan. Pengaturan dan pengawasan tersebut meliputi:
Perijinan untuk mendirikan bank, ijin pembukaan kantor bank, rencana kerja,
anggaran dasar, kepengurusan & sumber daya manusia, kepemilikan, merger,
pencabutan ijin usaha bank, dan konsolodasi & akuisi bank.
Kegiatan usaha bank meliputi penyediaan dana, sumber dana, aktivitas di bidang
jasa, dan produk hibridasi.
Dalam pasal 7 Undang Undang OJK juga disebutkan Peran OJK – Otoritas Jasa
Keuangan dalam Bisnis Bank untuk membuat pengaturan dan melakukan pengawasan
tentang kesehatan bank yang mencakup:
– Laporan bank yang berkaitan dengan kesehatan dan performa bank
– Pengujian kredit
– Sistem informasi debitur
– Standar akuntansi bank
– Likuiditas, solvabilitas, rentabilitas, kualitas aset, batas maksimum pemberian
kredit, rasio
– kecukupan modal minimum, pencadangan bank, dan rasio pinjaman terhadap
simpanan.
Pada pasal yang sama OJK juga berwenang di dalam kaitannya untuk membuat
pengaturan dan melaksanakan fungsi pengawasan terkait aspek kehati – hatian bank
termasuk tata kelola bank, manajemen resiko, pencegahan pembiayaan terorisme &
kejahatan perbankan, prinsip mengenal nasabah dan anti terhadap pencucian uang, dan
melakukan pemeriksaan bank. Wewenang OJK yang berhubungan dengan tugas
pengawasan bank dimuat dalam pasal 9 UU OJK adalah sebagai berikut:
– Membuat kebijakan operasional pengawasan untuk kegiatan jasa keuangan
– Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pengawasan yang dilakukan
oleh kepala eksekutif
– Memberi perintah tertupis kepada bank dan atau pihak tertentu
– Melakukan pengawasan, penyidikan, pemeriksaan, perlindungan konsumen, dan hal
lain terhadap bank, pelaku, dan penunjang kegiatan jasa keuangan seperti yang
disebut dalam peraturan perundangan di bidang jasa keungan
– Menetapkan penggunaan pengelola statuter
– Melakukan penunjukkan pengelola statuter
– Memberlakukan sanksi administratif pada pihak yang melakukan pelanggaran pada
peraturan perundangan di bidang jasa keuangan
– Memberi ijin dan mencabut izin usaha

2.3.2 Memberi Izin Pendirian Bank


OJK memiliki wewenang dalam perizinan untuk mendirikan bank dan
pembukaan kantor bank yang baru. Kewenangan ini sebelumnya adalah kewenangan
BI. Dalam wewenang ini, OJK memiliki wewenang untuk memberi izin pendirian bank
dan mencabut izin usaha bank. Dalam melaksanakan dan memberi persetujuan terhadap
izin penyelenggaraan jasa bank, OJK dapat membuat peraturan untuk memberi dan
mencabut izin kelembagaan dan usaha dari bank. OJK juga berwenang untuk
memberikan sanksi pada Bank berdasarkan peraturan perundang – undangan.
Ketentuan tentang kewenangan OJK yang berhubungan dengan tugas pengaturan bank
terdapat dalam pasal 8 Undang Undang OJK.
2.3.3 Memperkuat Ketahanan Jasa Keungan
Kehadiran OJK di tanah air sangat penting untuk membantu menguatkan
ketahanan jasa keuangan sehingga nantinya ada sistem pengawasan keuangan untuk
bank. Hal ini dilakukan untuk dapat saling mensinergi dan menutup kelemahan di
setiap sektor. Setelah Undang Undang OJK ditetapkan pada tahun 2011, maka OJK
secara penuh bertugas mengawasi semua sektor jasa keuangan termasuk bank.
2.3.4 Membenahi Kekurangan
OJK secara khusus mempunyai 2 tugas yaitu memberi eduasi pada khalayak
perbankan. Dengan peran yang dimiliki oleh OJK, masyarakat diharakan memiliki
keuntungan yang lebih dan masyarakat juga dapat meningkatkan pengetahuannya
dalam bidang keuangan. Jadi OJK tidak hanya melakukan pengawasan terhadap bisnis
bank di Indonesia tetapi juga mengedukasi para masyarakat yang menjadi nasabah dari
bisnis bank tersebut sehingga mereka memiliki pengetahuan lebih tentang perbankan.

2.4 Hubungan OJK dengan Bank Syariah di Indonesia.


Dalam konteks pengelolaan perekonomian makro, meluasnya penggunaan berbagai
produk dan instrumen keuangan syariah akan dapat merekatkan hubungan antara sektor
keuangan dengan sektor riil serta menciptakan harmonisasi di antara kedua sektor
tersebut. Semakin meluasnya penggunaan produk dan instrumen syariah disamping akan
mendukung kegiatan keuangan dan bisnis masyarakat juga akan mengurangi transaksi-
transaksi yang bersifat spekulatif, sehingga mendukung stabilitas sistem keuangan secara
keseluruhan, yang pada gilirannya akan memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
pencapaian kestabilan harga jangka menengah-panjang.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri
perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan
mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya
yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam
lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam
mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan.
Pengembangan perbankan syariah diarahkan untuk memberikan kemaslahatan
terbesar bagi masyarakat dan berkontribusi secara optimal bagi perekonomian nasional.
Oleh karena itu, maka arah pengembangan perbankan syariah nasional selalu mengacu
kepada rencana-rencana strategis lainnya, seperti Arsitektur Perbankan Indonesia (API),
Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI), serta Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN). Dengan demikian upaya pengembangan perbankan syariah merupakan bagian
dan kegiatan yang mendukung pencapaian rencana strategis dalam skala yang lebih besar
pada tingkat nasional.
2.5 Dukungan yang dibutuhkan Bank Syariah dari Pemerintah
Dalam perkembangan sektor keuangan dan perbankan syariah sangat
membutuhkan dukungan dari pemerintah melalui lembaga keuangan Bank Indonesia dan
OJK. Dukungan yang diberikan dapat berupa perubahan regulasi dalam sistem
perbankan konvensional dapat ditambahkan unit khusus yang menangani sektor
keuangan dan perbankan syariah. Contoh: Bank Mandiri, memiliki bank konvensional
dan bank mandiri syariah. Bisa juga dengan cara merubah sistem perbankan
konvensional milik pemerintah untuk menjadi sistem perbankan syariah seutuhnya.
Sejauh ini belum ada bank pemerintah yang di konversi dari bank konvensional
menjadi bank syariah. Usulan mengkonversi bank pemerintah menjadi bank syariah
sudah banyak. Karena dengan mengkonversi bank pemerintah menjadi bank syariah akan
membantu menaikan market share perbankan syariah di Indonesia. Namun, hal itu perlu
didukung regulasi tepat agar pertumbuhan bank syariah semakin cepat. Beberapa
regulasi terkait lembaga bank maupun nonbank perlu dievaluasi.

2.6 Peran OJK dalam Perlindungan Konsumen Produk Perbankan


Salah satu faktor utama penyebab permasalahan perbankan saat ini adalah
kurangnya integritas pemilik serta rendahnya kompetensi para pengelola bank sehingga
kegiatan usaha bank tidak lagi dikelola secara sehat bahkan dimanfaatkan untuk
kepentingan pribadi para pemilik, pengurus, atau pihak lainnya (Hasibuan,2007:156).
Pernyataan tersebut dapat tercermin dengan adanya pelanggaran pelayanan dan
pemasaran produk jasa bank meskipun tidak dilakukan secara langsung oleh pihak bank
seperti penipuan yang dilakukan oleh seorang karyawan bank dengan modus penawaran
produk perbankan dengan return yang tinggi, kasus penipuan dengan kedok gadai emas
pada perbankan syariah, ataupun tawaran-tawaran menggiurkan lainnya yang sangat
menarik masyarakat calon nasabah bank tersebut.
Padahal pelayanan jasa dan etika pemasaran produk jasa bank harus dilakukan
dengan baik dan benar sehingga mendapat simpatik dan menarik bagi masyarakat calon
nasabah bank bersangkutan. Apabila pelayanan dan etika bank dilakukan dengan baik
dan benar, maka pemasaran produknya diharapkan akan berhasil baik dan tidak
merugikan salah satu pihak.Suatu peraturan dan pengawasan oleh pihak yang memiliki
otoritas tertentu menjadi salah satu upaya dalam pengantisipasian terjadinya pelanggaran
atas produk perbankan. Lembaga yang independen, bebas dari campur tangan pihak lain
dan dapat melakukan upaya tersebut adalah Otoritas Jasa Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan, lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Nomor 21 tahun 2011, adalah lembaga yang didirikan untuk menggantikan
peran Bapepam-LK dalam pengaturan dan pengawasan pasar modal dan lembaga
keuangan dan menggantikan peran Bank Indonesia dalam pengaturan dan pengawasan
bank serta untuk melindungi konsumen industry jasa keuangan.
Sebagai contoh konkrit dari bentuk pengawasan yang dilakukan oleh OJK adalah
dengan mewajibkan produk finansial untuk mencantumkan cap halal dan OJK yang
berlaku sejak 6 Agustus 2014. Tindakan tersebut dilakukan sebagai bentuk perlindungan
terhadap konsumen atas ketidakjelasan informasi terkait produk finansial yang
ditawarkan oleh perbankan. Sehingga kini dalam penjualan produk finansial atau
berpromosi disyaratkan untuk lebih jelas, jujur, dan tidak menyesatkan konsumen.
Sebagai gambaran, promosi dan layanan kartu kredit kepada konsumen, selain harus
memenuhi persyaratan peraturan baru yang sesuai Undang-undang Nomor 21 Tahun
2011, juga harus menjelaskan cara menghitung bunga kepada calon nasabah. Selain itu,
apabila ada PUJK yang tidak mengindahkan peraturan yang ada, pihak OJK akan
memberikan teguran dan langkah terakhir merekomendasikan mencabut izin
operasionalnya.
Dengan adanya peraturan Otoritas Jasa Keuangan, surat edaran Otoritas Jasa
Keuangan, tindakan nyata perlu dilakukan di lapangan agar perlindungan konsumen
yang telah diatur di dalamnya tidak hanya sebatas peraturan tertulis saja. Dari uraian di
atas jelas sekali peran Otoritas Jasa Keuangan dalam perlindungan produk perbankan.
Sehingga diharapkan kinerja dari Otoritas Jasa Keuangan ditingkatkan agar terwujud
peningkatan kesejahteraan rakyat serta kepastian mutu, jumlah, dan keamanan produk
atau jasa keuangan.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
UU Perbankan menjelaskan bahwa Bank Indonesia (BI) memiliki tugas
pembinaan dan pengawasan usaha perbankan serta bertanggungjawab terhadap kesehatan
bank. Namun dengan adanya UU OJK, tugas pengawasan terhadap usaha perbankan
yang sebelumnya dilakukan oleh BI kini menjadi tanggung jawab OJK. selain
melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di
sektor Perbankan, OJK juga memiliki tugas melindungi konsumen dan masyarakat
terhadap kerugian oleh pelaku di Lembaga Jasa Keuangan. Tindakan yang dilakukan
OJK untuk melindungi konsumen khusunya nasabah bank antara lain:

1. Mengeluarkan Peraturan OJK Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan


Konsumen Sektor Jasa Keuangan sebagai pedoman bagi Lembaga Keuangan
dan masyarakat.
2. Membentuk Lembaga Pengawas Keuangan pada tahun 2014 untuk
menyelesaikan kasus-kasus yang terjadi antara perusahaan keuangan dan
nasabah
3. Mengkaji aturan internal mengenai pembelaan hukum bagi konsumen
4. Melakukan sosialisasi terkait peran dan fungsi OJK baik kepada para pembisnis,
masyarakat, dan instansi pemerintah
5. Meminta para asosiasi di perbankan untuk membentuk badan alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti halnya yang telah dilakukan
BMAI dan BAPMI
6. Menyelenggarakan Layanan Konsumen Terintegrasi sebagai mekanisme
pengaduan Konsumen dan website OJK untuk memberikan informasi dan
edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa keuangan, layanan, dan
produknya
7. Memilik website http://www.ojk.go.id/ untuk memberikan informasi dan
edukasi konsumen keuangan bagi masyarakat

3.2 SARAN

OJK telah memiliki tugas yang jelas dalam perlindungan Konsumen, dalam sektor
perbankan. Namun pasalnya banyak masyarakat baik itu pembisnis, masyarakat dan
instansi pemerintah tidak mengetahui keberadaan Lembaga OJK. oleh karena itu OJK
sebagai pengawas jasa keuangan yaitu salah satunya sektor perbankan hendaknya
melakukan edukasi kepada masyarakat perbankan dalam hal ini adalah nasabah.

Selain itu, banyaknya sengketa dalam dunia perbankan menyebabkan


berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap Bank. Oleh karena itu OJK perlu
membentuk badan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan untuk
memproses penyelesaian sengketa secara cepat dan tuntas.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara berkembang dapat diidentifikasikan dari tingkat


pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terbaru diukur berdasarkan
besaran Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku triwulan IV-2015
mencapai Rp 11.540,8 triliun dan PDB perkapita mencapai Rp 45,2 (Badan Pusat
Statistik. 2016. www.bps.go.id. diakses pada tanggal 28 Februari 2016). Angka tersebut
cenderung rendah untuk dapat disebut sebagai negara maju, pada triwulan terakhir,
Indonesia masih menjadi salah satu Negara berkembang. Status Negara Indonesia sebagai
salah satu negara yang tengah berkembang, tentunya berdampak pada pemerintah yang
termotivasi untuk melaksanakan pembangunan nasional. Pembangunan yang sedang giat
dilaksankan antara lain dari sektor perekonomian, sosial, budaya, keamanan, pertahanan,
pendidikan, hingga politik.
Berdasarkan latar belakang di atas Pemerintah mengesahkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro. Pembentukan LKM dijiwai
oleh semangat yang terdapat dalam Pasal 33 Ayat (1) dan Ayat (4) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam Pasal 33 Ayat (1) UUDNRI 1945
menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan. Selanjutnya Pasal 33 Ayat (4)UUDNRI 1945 menyatakan bahwa
perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian,
serta dengan menjaga
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas maka masalah yang di bahas adalah sebagai
berikut:
1. Apakah yang dimaksud Lembaga Keuangan Mikro?
2. Bagaimana OJK dengan Lembaga Keuangan Mikro?

1.3 Identikasi Masalah


Dalam Pembahasan Ini mengidentifikasi masalah diantaranya :
1. Pengertian LKM
2. Peranan OJK Terhadap LKM
3. Perlindungan Hukum Secara Represif Pengguna Jasa Lembaga Keuangan Mikro
terhadap Risiko Kerugian
4. Kewenangan OJK dalam Perizinan Lembaga Keuangan Mikro
5. Perbedaan LKM dengan LKMS Menurut OJK
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian LKM
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga keuangan yang khusus
didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat,
baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan
masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan
usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.
2.1.1 Kegiatan Usaha LKM
1. Kegiatan usaha LKM meliputi jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan
masyarakat, baik melalui Pinjaman atau Pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada
anggota dan masyarakat, pengelolaan Simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi
pengembangan usaha.
2. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan secara konvensional atau berdasarkan Prinsip
Syariah.
3. LKM dapat melakukan kegiatan berbasis fee sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
2.1.2 Tujuan LKM:
1. Meningkatkan akses pendanaan skala mikro bagi masyarakat;
2. Membantu peningkatan pemberdayaan ekonomi dan produktivitas masyarakat; dan
3. Membantu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat terutama
masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah
2.1.3 Jenis-Jenis LKM di Indonesia
Secara garis besar lembaga keuangan mikro di Indonesia terbagi menjadi tiga,
yaitu: formal, semi formal, dan non formal. Yang dimaksud formal yaitu yang diatur
dan diawasi secara langsung oleh Bank Indonesia. Contoh dari yang formal ini adalah
divisi keuangan mikro bank besar, seperti: BRI, Bank Danamon, Bank Mandiri, dan
Bank Bukopin, serta BPR. Selanjutnya adalah semi formal. Semi formal merupakan
lembaga yang pendiriannya dan operasional lembaganya diatur oleh regulator
perbankan, tetapi pengawasannya dilakukan secara mandiri atau di luar dari regulator
perbankan. Contoh dari lembaga keuangan semi formal dapat berupa perum pegadaian.
Dan yang terakhir adalah non-formal. Lembaga keuangan sejenis ini tidak
memiliki kerangka atau dasar hukum yang jelas. Contoh dari lembaga non formal
tersebut adalah Koperasi kredit, Koperasi keuangan serta koperasi simpan pinjam.
Lembaga lembaga ini sangat penting pengaruhnya terhadap penyediaan jasa keuangan
untuk golongan menengah ke bawah.

2.2 Peranan OJK Terhadap LKM


2.2.1 Pembinaan, Pengaturan, dan Pengawasan LKM
1. Pembinaan, pengaturan, dan pengawasan LKM dilakukan oleh OJK.
2. Dalam melakukan pembinaan LKM, OJK berkoordinasi dengan kementerian yang
menyelenggarakan urusan koperasi dan Kementerian Dalam Negeri.
3. Pembinaan dan pengawasan LKM didelegasikan kepada pemerintah daerah
kabupaten/kota atau pihak lain yang ditunjuk.
2.2.2 Laporan Keuangan LKM
1. LKM wajib menyampaikan laporan keuangan secara berkala setiap 4 (empat) bulan
untuk periode yang berakhir pada 30 April, 31 Agustus, dan 31 Desember kepada
OJK.
2. Penyampaian laporan keuangan dilakukan paling lambat pada akhir bulan berikutnya.
3. Ketentuan mengenai laporan keuangan LKM diatur dalam surat edaran OJK.
2.2.3 Larangan Bagi LKM
Dalam melakukan kegiatan usaha, LKM dilarang:
1. Menerima Simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran;
2. Melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
3. Melakukan usaha perasuransian sebagai penanggung;
4. Bertindak sebagai penjamin;
5. Memberi pinjaman atau pembiayaan kepada LKM lain, kecuali dalam rangka
mengatasi kesulitan likuiditas bagi LKM lain dalam wilayah kabupaten/kota yang
sama;
6. Melakukan penyaluran pinjaman atau pembiayaan di luar cakupan wilayah usaha;
atau
7. Melakukan usaha di luar kegiatan usaha seperti yang dimaksud dalam Pasal 2
Peraturan OJK Nomor 13/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Lembaga
Keuangan Mikro
2.2 Perlindungan Hukum Secara Represif Pengguna Jasa Lembaga Keuangan Mikro
terhadap Risiko Kerugian
Prinsip perlindungan hukum secara represif digunakan sebagai landasan bagi
perlindungan hukum setelah terjadinya sebuah perkara ataupun sengketa. Prinsip
perlindungan hukum secara represif kerap digunakan oleh pemerintah ataupun aparat
terkait sebagai landasan dalam penyelesaian sengketa.
Kegiatan usaha LKM tentunya memiliki kemungkinan menimbulkan dampak yang
buruk bagi pengguna jasa LKM. Adapun macam-macam risiko kerugian yang mungkin
timbul dari adanya kegiatan usaha Lembaga Keuangan Mikro, antara lain:
a. Simpanan para nasabah sudah pada jatuh tempo, akan tetapi dana milik para
nasabah tersebut tidak mampu dibayar;
b. Risiko penyimpangan dana, yang dilakukan oleh LKM yang menghimpun dana dari
simpanan pengguna jasa LKM;
c. Pembiayaan yang tidak lancar, keterlambatan dari jadwal pemberian pembiayaan;
d. Risiko operasional, yaitu akibat kurangnya sistem informasi atau sistem
pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan;
e. Risiko kepatuhan, yang timbul sebagai akibat tidak dipatuhinya atau tidak
dilaksanakannya peraturan atau ketentuan-ketentuan yang berlaku atau yang telah
ditetapkan baikketentuan internal maupun eksternal.
Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga yang terbentuk untuk mengawasi jalannya
kegiatan usaha sektor jasa keuangan, yang salah satunya adalah LKM, mengeluarkan
sebuah peraturan OJK yang mengatur tentang perlindungan hukum pengguna jasa
LKM, juga sejalan dengan apa yang telah direkomendasikan dalam Pasal 26 huruf c
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang LKM bahwa OJK memiliki kewenangan
untuk melakukan tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan undang-undang ini.
Oleh sebab itu OJK memutuskan untuk mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor: 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa
Keuangan. Peraturan OJK tersebut dalam beberapa pasal dirasa belum dapat
mengakomodasi atau belum tepat jika diterapkan dalam perlindungan hukum pengguna
jasa LKM secara represif terhadap risiko kerugian. Kritik mengenai pasal-pasal tersebut
antara lain:
a. Bahwa dalam peraturan OJK tersebut dalam Pasal 1 Angka 1 pengertian pelaku
usaha tidak mencantumkan LKM sebagai pelaku usaha jasa keuangan, hal ini cukup
membuat keambiguan.
b. Pasal 40 Ayat (1), (2) dan (3) merekomendasikan pengguna jasa keuangan untuk
menyampaikan pengaduan yang berindikasi sengketa antara pelaku usaha jasa
keuangan dengan pengguna jasa keuangan kepada OJK. Pengaduan tersebut dirasa
cukup menyulitkan pengguna jasa LKM, dengan tingkat ekonomi rendah dan posisi
hukum yang rendah untuk dapat segera mengadu kepada OJK. Apabila pengaduan
tersebut dilakukan kepada OJK, maka pengguna jasa LKM perlu didampingi oleh
kuasa hukum.
c. Pasal 41 tidak memberikan batasan secara terperinci perihal kuantitas dari risiko
kerugian yang dapat di ajuka penyelesaian pengaduannya, lalu sejauh mana
tanggung jawab OJK sebagai pengawas sektor jasa keuangan terhadap sengketa
sektor jasa keuangan yang tidak memenuhi kriteria sebagaimana yang telah
disebutkan dalam Pasal 41 peraturan OJK tersebut.
2.3 Kewenangan OJK dalam Perizinan Lembaga Keuangan Mikro
Pendirian LKM paling sedikit harus memenuhi persyaratan
a. bentuk badan hukum;
b. permodalan; dan
c. mendapat izin usaha dari OJK
Perizinan Lembaga Keuangan Mikro
Sebelum menjalankan kegiatan usaha, LKM harus memiliki izin usaha dari OJK
Untuk memperoleh izin usaha LKM, harus dipenuhi persyaratan paling sedikit
mengenai
a. susunan organisasi dan kepengurusan;
b. permodalan;
c. kepemilikan; dan
d. kelayakan rencana kerja.
Untuk mendapatkan izin usaha, Direksi LKM mengajukan permohonan izin
usaha kepada OJK sesuai dengan format yang terdapat dalam Lampiran I Peraturan
OJK 2014 dan harus dilampiri dengan:
a. akta pendirian badan hukum termasuk anggaran dasar berikut perubahannya (jika
ada) yang telah disahkan/disetujui oleh instansi yang berwenang atau diberitahukan
kepada instansi yang berwenang;
b. data Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas Syariah (“DPS”);
c. data pemegang saham atau anggota;
d. surat rekomendasi pengangkatan DPS dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
e. struktur organisasi dan kepengurusan yang paling kurang memiliki fungsi pemutus
kredit, penagihan, dan administrasi;
f. sistem dan prosedur kerja LKM;
g. rencana kerja untuk 2 (dua) tahun pertama;
h. fotokopi bukti pelunasan modal disetor atau simpanan pokok, simpanan wajib dan
hibah dalam bentuk deposito berjangka yang masih berlaku atas nama LKM yang
bersangkutan pada salah satu bank di Indonesia atau salah satu bank syariah atau
unit usaha syariah di Indonesia bagi LKM yang melakukan kegiatan usaha
berdasarkan Prinsip Syariah; dan
i. bukti kesiapan operasional.
Atas permohonan izin usaha tersebut, OJK memberikan persetujuan atau
penolakan dalam jangka waktu paling lama 40 hari kerja sejak permohonan izin usaha
diterima secara lengkap dan benar.
Dalam rangka memberikan persetujuan atau penolakan permohonan izin usaha,
OJK melakukan
a. penelitian atas kelengkapan dokumen;
b. analisis kelayakan atas rencana kerja; dan
c. analisis pemenuhan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang LKM.
Penolakan atas permohonan izin usaha disertai dengan alasan penolakan.
Sedangkan dalam hal permohonan izin usaha disetujui, OJK menetapkan izin usaha
sebagai LKM kepada pemohon.
Merujuk pada uraian di atas, jelas bahwa OJK memiliki kewenangan memberikan
izin usaha kepada LKM.
2.5 Perbedaan LKM dengan LKMS Menurut OJK
Lembaga Keuangan Mikro (LKM) adalah lembaga keuangan dan pembiayaan
yang didirikan dan dimiliki bersama oleh warga masyarakat baik yang terhimpun dalam
warga masyarakat, untuk memecahkan masalah/kendala permodalan dan kebutuhan dana
yang dihadapi para anggotanya. LKM secara umum bertujuan untuk memacu
pertumbuhan dan perkembangan usaha ekonomi ummat, dan masyarakat pada umumnya.
Sedangkan secara khusus LKM bertujuan : 1). Memecahkan bersama kebutuhan
modal yang dihadapi warga, selaku pengusaha mikro/kecil sebagai bagian dari pelaku
ekonomi negeri ini. 2). Membantu memecahkan kebutuhan modal bagi unit usaha
unggulan yang dijalankan oleh anggota dan masyarakat. 3). Membantu memecahkan
kebutuhan dana mendesak yang seringkali dihadapi warga, sehingga dapat
menghindarkan mereka dari rentenir yang menjerat dengan bunga tinggi.
Adapun LKMS adalah lembaga keuangan yang kegiatan utamanya menghimpun
dana masyarakat dalam bentuk tabungan (simpanan) maupun deposito dan
menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan berdasarkan
prinsip syariah melalui mekanisme yang lazim dalam dunia perbankan. Sehingga secara
konsepsi LKMS adalah suatu lembaga yang di dalamnya mencakup dua jenis kegiatan
sekaligus yaitu: Kegiatan mengumpulkan dana dari berbagai sumber seperti: zakat, infaq
dan shodaqoh serta lainya yang dibagikan/disalurkan kepada yang berhak dalam rangka
mengatasi kemiskinan, dan Kegiatan produktif dalam rangka nilai tambah baru dan
mendorong pertumbuhan ekonomi yang bersumber daya manusia.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sedang memfasilitasi pembentukan Lembaga
Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di sekitar pondok pesantren. Hal ini dilakukan untuk
mengembangkan potensi ekonomi mikro di sana.
saat ini OJK tengah melakukan koordinasi dan survei potensi market pendirian
LKMS berbasis pesantren di Ciamis, Cirebon, Bandung, Klaten, Kediri, Jombang,
Surabaya, dan Banten. OJK sedang koordinasi dengan pesantren, dinas koperasi, notaris
dan pemangku kepentingan. Beberapa sudah melakukan pembentukan koperasi LKMS
saat ini, beberapa pesantren sudah mendirikan LKMS dan dalam proses pembentukan
badan hukum.
OJK berharap pesantren dapat berperan aktif dalam pengembangan LKMS,
termasuk pengawasannya, sehingga dapat mengembangkan potensi ekonomi
pesantrenLKMS merupakan lembaga baru dalam ekonomi mikro. Sebelumnya sudah ada
lembaga pembiayaan mikro syariah seperti Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan
Syariah (KSPPS) atau Baitul Mal wat Tamwil (BMT).Dengan demikian, untuk
menghindari adanya tumpang tindih, ia berharap pemerintah dan regulator mau
memfasilitasi berbagai sinergi antara lembaga mikro
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kontribusi LKM dalam
penanggulangan kemiskinan sebenarnya cukup signifikan. Hanya saja seringnya kredit
macet, karena disebabkan kemampuan manajerial pengurus LKM masih terbatas. Hal ini
dimaklumi karena rata-rata SDM perdesaan juga masih rendah. Hanya kemauan yang tinggi
saja orang mau mengurus LKM. Untuk itu sebagai rekomendasi perlu ada penguatan
kapasitas bagi pengurus LKM guna meningkatkan kemampuan pengelolaan ataupun
manajerialnya.
Tingginya peluang kredit macet di LKM juga karena disebabkan penyaluran
pinjaman yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Dengan kata lain LKM kurang memiliki
kemampuan didalam menyeleksi calon kreditur. Untuk itu sebagai rekomendasi, penulis
menyarankan ada pendampingan bila pinjaman sudah disalurkan. Atau alternatif lain dengan
cara pengurus LKM menyeleksi dari sisi kepribadian si peminjam.
Salah satu faktor yang menentukan keberhasilan sebuah LKM adalah partisipasi
anggotanya, dan apabila dalam LKM telah terjadi situasi dimana anggota merasakan tidak
adanya manfaat maupun nilai tambah yang dapat diperoleh dengan bergabung di lembaga
tersebut. Hal tersebut dapat dimaklumi karena boleh jadi akibat dari buruknya kinerja
manajerial serta pelayanannya. Kondisi tersebut membuat partisipasi dari anggota akan
menjadi semakin rendah. Yang harus dibenahi segera adalah reorientasi dan re-orientasi dan
re-organisasi sebagai bangun perusahaan yang profesional. Dengan memperhatikan hal
diatas, maka dengan ini penulis menyarankan :
1. Pemilihan pengurus dilakukan harus berdasarkan pada kemampuan yang dimiliki oleh
calon pengurus tersebut, bukan berdasarkan pada kepentingan individu maupun
golongan, namun demi kepentingan seluruh anggota LKM.
2. LKM harus mengadakan kegiatan pendidikan secara mandiri dan berkesinambungan
dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan pengurus, pengawas, karyawan, dan
anggota pada umumnya agar dapat memperbaiki kinerja pengelolaan dan usahanya.
3. Pengurus harus membuat program-program yang melibatkan anggota, sehingga dengan
partisipasi anggota, diharapkan dapat menjalin komunikasi yang lebih lancar antara
pengurus dan anggota, dengan demikian aspirasi-aspirasi dari anggota dapat diserap
oleh pengurusnya.
4. Perlu adanya penerapan standarisasi pelayanan yang diberikan LKM terhadap para
anggotanya, dengan adanya penerapan standar tersebut, diharapkan tingkat
pelayanannya yang tinggi dapat menjadi suatu kebiasaan dan suatu etos kerja.

Anda mungkin juga menyukai