Bank Indonesia
Agustus 2016
Bank Indonesia
Departemen Kebijakan Makroprudensial
Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta, Indonesia
Email : BI-DKMP@bi.go.id
MENGUPAS KEBIJAKAN
MAKROPRUDENSIAL
Daftar Isi
Daftar Isi....................................................................................................... ii
Prakata Gubernur Bank Indonesia.............................................................. iv
Bab I.
ii
IV.3.1. Motivasi Pengembangan Instrumen
Makroprudensial........................................................... 43
IV.3.2. Waktu Perumusan dan Implementasi Instrumen
Makroprudensial........................................................... 45
IV.3.3. Instrumen Kebijakan Makroprudensial di Indonesia... 46
Boks 4.1. Memperluas Jangkauan Monitoring Risiko dengan
Regional Financial Surveillance...................................... 49
Boks 4.2. Stress Testing Perbankan: Menguji Ketahanan Bank
dalam Menghadapi Tekanan........................................ 52
Boks 4.3. Tidak Ada Lagi Too-Big-To-Fail................................... 55
Boks 4.4. Countercyclical Capital Buffer: Solusi Redam Rugi....... 60
Boks 4.5. Standar Internasional Pengaturan di Sektor
Keuangan: Basel III........................................................ 63
iii
iv
Istilah makroprudensial pertama kali diperkenalkan pada pertemuan The Cooke Committee (saat ini dikenal
dengan Basel Committee on Banking Supervision/BCBS) tahun 1979 terkait dengan pembahasan excessive
lending growth. Pada pembahasan tersebut diidentifikasi adanya integrasi antara permasalahan microeconomic dengan macro-economic yang disebut dengan istilah macro-prudential (Clement, 2010).
10
11
Mengapa Kebijakan
Makroprudensial Diperlukan?
II.1. Karakteristik Sistem Keuangan
Seperti diuraikan pada bab sebelumnya, upaya menjaga stabilitas
sistem keuangan tidaklah cukup bila hanya difokuskan pada tingkat
kesehatan dan kinerja individu bank atau institusi keuangan lainnya.
Hal ini karena dalam sistem keuangan, antara institusi yang satu
dengan lainnya saling terkait dalam berbagai transaksi keuangan
yang ada. Aset pada satu bank merupakan kewajiban (liability)
pada bank lain. Sebagai contoh, pada transaksi Pasar Uang Antar
Bank (PUAB), di mana antara bank satu dengan bank lainnya dapat
melakukan kegiatan pinjam meminjam dana. Adanya gagal bayar di
satu bank dapat berdampak pada bank lain atau bahkan beberapa
bank sekaligus yang memiliki transaksi keuangan dengan bank
tersebut. Sifat keterkaitan dan interdependensi antarindividu dalam
sistem keuangan ini dikenal dengan istilah interconnectedness.
Dengan adanya karakteristik interconnectedness dalam sistem
keuangan, permasalahan pada satu institusi dapat dengan cepat
menyebar pada institusi lainnya, sehingga menjadi permasalahan
agregat sistem keuangan yang berpotensi menimbulkan dampak
hingga ke sektor riil.
Merujuk pada penjelasan di atas, potensi penyebaran risiko
(spillover) dari satu institusi ke institusi lain menjadi lebih tinggi
apabila permasalahan terjadi pada institusi keuangan yang besar
atau dominan. Kegagalan bank besar dengan pangsa yang cukup
tinggi dalam sistem keuangan akan memberikan dampak yang lebih
signifikan dibandingkan dengan kegagalan bank dengan skala yang
lebih kecil. Hal ini dikenal dengan konsep too-big-to-fail. Selain karena
skala usahanya, bank besar cenderung memiliki interkonektivitas
dengan bank lain yang lebih banyak dengan kompleksitas usaha
13
14
15
16
kondisi inflasi dan output gap yang rendah (IMF, 2013a). Sumbersumber risiko makroekonomi dapat berasal dari instabilitas sistem
keuangan. Oleh karena itu, adanya pengawasan agregat pada sistem
keuangan dari kebijakan makroprudensial dapat melengkapi fokus
kebijakan moneter. Kebijakan makroprudensial dapat digunakan
untuk melihat adanya potensi peningkatan risiko dari sistem
keuangan yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian secara
keseluruhan.
Secara umum, kedua kebijakan ini beroperasi di bawah paradigma
yang sama, yakni paradigma countercyclical: kebijakan moneter fokus
pada stabilitas harga, sedangkan kebijakan makroprudensial fokus
pada stabilitas keuangan. Kedua kebijakan ini saling terkait satu sama
lain. Kondisi makroekonomi yang merupakan hasil dari implementasi
kebijakan moneter, akan secara langsung memengaruhi stabilitas
sistem keuangan. Perlambatan ekonomi atau volatilitas nilai tukar,
misalnya, dapat secara langsung berdampak pada kinerja penyaluran
dan kualitas kredit perbankan. Oleh karena itu, kedua kebijakan ini
harus dijalankan secara optimal dari sudut pandang masing-masing,
karena kekurangan dari sisi kebijakan moneter tidak akan dapat
secara efektif ditangani oleh kebijakan makroprudensial. Dampak
yang dapat ditimbulkan satu sama lain juga perlu untuk diperhatikan.
Ada kalanya, kebijakan moneter yang berdampak pada seluruh
pelaku ekonomi, dapat menimbulkan dampak yang kurang
menguntungkan di sistem keuangan. Kebijakan makroprudensial
dapat menutup gap di kebijakan moneter dengan kemampuannya
untuk mengatur target objek dari kebijakannya. Kebijakan
makroprudensial dan moneter dapat bersinergi untuk memberikan
dampak kebijakan yang paling sesuai bagi perekonomian (Baca Boks
2.1. Interaksi Kebijakan Makroprudensial dengan Kebijakan Moneter
dan Mikroprudensial).
II.2.3 Kebijakan Makroprudensial dan Fiskal
Kebijakan makroprudensial juga terkait erat dengan kebijakan fiskal.
Kebijakan fiskal yang tepat dan efektif akan mengurangi potensi
17
18
Unintended consequences merupakan hasil yang tidak ditargetkan oleh kebijakan namun terjadi sebagai
akibat dari implementasi kebijakan.
19
20
21
23
24
Secara sederhana, bank sentral memiliki fungsi Lender of the Last Resort yang berarti bank sentral adalah
lembaga terakhir yang bersedia memberikan pinjaman dalam kondisi lembaga lain tidak mau atau tidak
sanggup lagi memberikan pinjaman. Fungsi ini dikaitkan juga dengan fungsi bank sentral sebagai pencipta
uang.
26
III.2.Landasan Hukum
Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK khususnya
penjelasan pasal 7, Bank Indonesia memiliki kewenangan di
bidang makroprudensial. Kewenangan Bank Indonesia di bidang
makroprudensial juga dinyatakan dalam pasal 40 dan penjelasannya
mengenai kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan
pemeriksaan khusus kepada bank tertentu, serta penjelasan pasal 69
yang menyebutkan Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan
makroprudensial.
UU OJK mendefinisikan lingkup pengaturan dan pengawasan
makroprudensial sebagai pengaturan dan pengawasan selain aspek
kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan
bank yang merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan
mikroprudensial yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Sementara
itu, UU No. 9 Tahun 2016 tanggal 15 April 2016 tentang Pencegahan
dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), khususnya
penjelasan pasal 3 ayat 2c, menyebutkan makroprudensial mencakup
pengaturan dan pengawasan lembaga jasa keuangan yang bersifat
makro dan berfokus pada risiko sistemik dalam rangka mendorong
stabilitas sistem keuangan.
Untuk melaksanakan kegiatan pengaturan dan pengawasan
makroprudensial, Bank Indonesia menetapkan kerangka kebijakan
pengaturan dan pengawasan makroprudensial dalam Peraturan
Bank Indonesia (PBI) No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang
Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial. PBI diterbitkan
sebagai pedoman dalam implementasi kewenangan Bank Indonesia
di bidang makroprudensial, serta untuk meningkatkan pemahaman
pelaku pasar terhadap peran Bank Indonesia sebagai regulator
dan pengawas makroprudensial. Selanjutnya, mempertimbangkan
perlunya terdapat kerangka kebijakan yang tepat, jelas, transparan,
dan dapat dipertanggungjawabkan, disusunlah Peraturan Dewan
Gubernur (PDG) No. 17/17/PDG/2015 tanggal 31 Desember 2015
tentang Kerangka Kebijakan Makroprudensial yang berfungsi
sebagai aturan dan pedoman internal mengenai bagaimana Bank
Indonesia menjalankan kerangka kebijakan makroprudensial. Dengan
27
28
29
30
31
32
Financial imbalances atau ketidakseimbangan dalam sistem keuangan merupakan suatu kondisi dengan
indikasi peningkatan potensi risiko sistemik akibat perilaku ambil risiko yang berlebihan dari pelaku sistem
keuangan.
5.
Di Bank Indonesia, pengembangan akses keuangan dilakukan antara lain melalui program Keuangan Inklusif
(financial inclusion). Hal ini dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi paskakrisis 2008, yaitu dampak krisis
kepada kelompok in the bottom of the pyramid (pendapatan rendah dan tidak teratur, tinggal di daerah
terpencil, orang cacat, buruh yang tidak mempunyai dokumen identitas legal, dan masyarakat pinggiran)
yang umumnya unbanked. Sebagai tindak lanjut, pada G20 Pittsburgh Summit 2009 dan dipertegas pada
Toronto Summit 2010, disepakati perlunya peningkatan akses keuangan bagi kelompok tersebut, yang
selanjutnya dikenal dengan program Financial Inclusion (FI). FI di Bank Indonesia dilaksanakan dalam
Strategi Nasional Keuangan Inklusif, yang terdiri atas 6 (enam) pilar sebagai berikut: (i) edukasi keuangan;
(ii) fasilitas keuangan publik; (iii) pemetaan informasi keuangan; (iv) kebijakan/peraturan yang mendukung;
(v) intermediasi dan saluran distribusi; serta (vi) perlindungan konsumen.
6.
Pengembangan UMKM dilakukan mengingat UMKM merupakan salah satu pemain penting bagi
perekonomian Indonesia, namun masih terkendala dalam hal pembiayaan oleh perbankan karena faktor
berikut. Karakteristik UMKM yang sebagian besar masih unbanked dan tidak memiliki laporan keuangan
yang memadai, menjadi keterbatasan bagi bank dalam menganalisa kelayakan usaha. Sebaliknya bagi
UMKM, informasi mengenai produk dan jasa bank masih terbatas. Pengembangan UMKM di Bank Indonesia
dilakukan melalui penyediaan media informasi bagi intermediasi bank dan UMKM, serta berbagai koordinasi
dan kerja sama dalam hal pengembangan UMKM.
33
34
Gambar 4.1.
Strategi Operasional untuk Kerangka Kebijakan Makroprudensial
35
36
Shock merupakan peristiwa tertentu yang memicu (membarengi) terjadinya krisis (the proximate causes).
Vulnerability diasosiasikan dengan kondisi (preexisting features) sistem keuangan yang dapat memperkuat
(amplify) dan mempercepat penyebaran shock.
A. Monitoring
Monitoring sistem keuangan dilakukan dengan memantau
pergerakan indikator yang merepresentasikan kinerja elemen
sistem keuangan dan indikator makroekonomi yang dapat
memengaruhi kinerja sistem keuangan. Selain difokuskan pada
prioritas risiko yang telah ditetapkan dalam metode Balanced
Approach sebelumnya, secara umum objek monitoring dapat
mencakup seluruh elemen dalam sistem keuangan, yaitu: lembaga
keuangan bank dan nonbank, khususnya yang memiliki potensi
risiko sistemik, termasuk perusahaan induk, perusahaan afiliasi, dan
perusahaan anak dari bank yang berpotensi menimbulkan risiko
sistemik. Selain itu, objek monitoring juga mencakup pasar dan
infrastruktur keuangan, serta sektor rumah tangga dan korporasi.
Monitoring terhadap korporasi dan rumah tangga penting dilakukan
mengingat kedua sektor tersebut memiliki hubungan langsung
dengan institusi keuangan, sehingga adanya permasalahan yang
terjadi pada kedua sektor tersebut berpotensi menimbulkan
dampak pada institusi keuangan. Luasnya cakupan monitoring
dimaksudkan untuk menangkap adanya unknown risk yang belum
teridentifikasi sebelumnya. Untuk keperluan ini jugalah, Bank
Indonesia telah memperluas cakupan monitoring terhadap risiko di
sistem keuangan dengan menambahkan peran Kantor Perwakilan
Dalam Negeri dalam mendukung tugas kantor pusat. (Baca juga
Boks 4.1. Memperluas Jangkauan Monitoring Risiko dengan Regional
Financial Surveillance).
B. Stress Identification
Stress identification dilakukan dalam rangka mengidentifikasi
dan mengukur kapan kinerja indikator-indikator yang dimonitor
memberikan sinyal yang membahayakan bagi sistem keuangan.
Hal ini dilihat berdasarkan pembandingan indikator pada ambang
(threshold) yang telah ditentukan dari hasil penelitian serta
pendeteksian indikator ketidakseimbangan yang terjadi di sistem
keuangan (imbalances indicators). Beberapa sarana (tools) yang saat
ini digunakan oleh Bank Indonesia dalam fase stress identification
38
Siklus keuangan didefinisikan sebagai interaksi antara persepsi dari harga (value) dan risiko, perilaku
terhadap risiko dan kendala pembiayaan (financial constraint), yang diterjemahkan sebagai boom yang
diikuti oleh bust (Borio, 2012).
39
yang lebih rinci (granular) dari tiap bank. Saat ini, metode individual
stress test sedang dalam tahap pengembangan. Pada jenis individual
stress test ini, metode granular akan diimplementasikan. Sebagai
informasi, pelaksanaan individual stress test akan dilakukan melalui
koordinasi dengan OJK dan komunikasi dengan bank dalam bentuk
pemeriksaan (apabila diperlukan) untuk memperoleh informasi dan
data secara langsung dari bank.
IV.2.2. Pemberian Sinyal Risiko
Pemberian sinyal risiko merupakan tahap terakhir dari rangkaian
kegiatan pengawasan makroprudensial. Tahap ini dinilai penting
mengingat kegiatan pengawasan makroprudensial mulai dari
monitoring, stress identification, dan risk assessment menjadi
kurang optimal jika hasilnya tidak disampaikan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan dalam waktu cepat dan tepat. Pemberian
sinyal risiko yang tepat akan menentukan keberhasilan respons
kebijakan yang diambil. Selain kepada siapa sinyal itu diberikan
dan waktu penyampaiannya, faktor lain yang juga menentukan
efektivitas pemberian sinyal risiko adalah strategi bagaimana sinyal
tersebut dikomunikasikan. Secara umum, sinyal risiko sebagai hasil
pengawasan makroprudensial diberikan kepada:
a. Pihak Internal
Pihak internal meliputi seluruh otoritas keuangan yang turut
menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemberian sinyal kepada
pihak internal bertujuan untuk menyampaikan kondisi sistem
keuangan terkini serta peringatan (alert) bagi otoritas keuangan
mengenai kondisi sistem keuangan yang sudah memerlukan
perhatian yang lebih intensif. Pemberian sinyal berupa laporan
hasil monitoring, identifikasi, hingga pengukuran risiko sistemik
disampaikan kepada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank
Indonesia, serta kepada otoritas keuangan lainnya, yaitu
Kementerian Keuangan, OJK, dan LPS. Guna memastikan sinyal
dapat dikomunikasikan dengan efektif, maka digunakan ambang
(threshold) normal dan krisis yang dimengerti dan disepakati
oleh semua pihak sehingga akan mempercepat pengambilan
40
Sebelum UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK disahkan, fungsi KSSK dijalankan oleh FKSSK (Forum
Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan).
10.
Disiplin pasar adalah kontribusi dari pengguna/pelaku pasar keuangan untuk menjauhi atau menghukum
pelaku pasar yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian.
41
42
45
46
Rasio LFR merupakan rasio yang mencerminkan besarnya jumlah pembiayaan (kredit) yang telah diberikan
oleh bank terhadap jumlah pendanaan yang diperoleh bank. Dalam hal ini, pendanaan terdiri dari dana
pihak ketiga (DPK) yang diterima oleh bank ditambah dengan sumber pendanaan yang berasal dari surat
berharga yang diterbitkan oleh bank.
12.
Besarnya LFR target saat ini adalah 78% - 92%. Terdapat insentif pelonggaran batas atas menjadi 94% apabila
bank telah menyalurkan kredit UMKM sebagaimana yang disyaratkan dalam PBI No. 17/12/PBI/2015 tentang
Perubahan atas PBI No. 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan
Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dengan kualitas kredit
yang tetap terjaga.
47
48
49
50
51
52
53
2.
3.
4.
5.
6.
7.
54
55
56
G-SIB adalah bank yang berdampak sistemik dalam cakupan global. Dalam hal ini bank yang
bersangkutan beroperasi lintasnegara sehingga memiliki pengaruh pada sistem keuangan global.
16.
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
67
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
Peran PMK tersebut di atas semakin terlihat jelas pada saat tekanan
terhadap sistem keuangan meningkat. Dalam kondisi tersebut
PMK dapat memberikan pedoman yang jelas, terintegrasi, dan
berkelanjutan bagi Bank Indonesia untuk melaksanakan langkahlangkah pencegahan dan penanganan. PMK sekaligus berfungsi
sebagai landasan hukum bagi Bank Indonesia dalam proses
pengambilan keputusan dan pelaksanaan tindakan secara cepat,
termasuk dalam rangka koordinasi dengan Pemerintah, KSSK, dan/
atau institusi terkait.
Untuk memastikan PMK dapat diimplementasikan secara cepat di
level strategis dan teknis dengan tetap menjaga tata kelola yang
baik, digunakan Crisis Binder17 sebagai pedoman (manual) yang
bersifat singkat namun komprehensif dan praktis. Crisis Binder Bank
17.
70
Istilah Crisis Binder biasanya digunakan untuk dokumentasi kumpulan langkah-langkah atau aksi yang dapat
dilakukan dalam rangka penanganan krisis. Dokumen ini ditujukan untuk memastikan langkah-langkah atau
aksi penanganan krisis dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
73
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
18.
74
Ambiguitas yang konstruktif dalam hal ini diimplementasikan dengan tetap memelihara diskresi dari BI
dalam proses pengambilan keputusan dalam pemberian FPJP agar bank tidak berperilaku sedemikian rupa
untuk menjamin keputusan pemberian FPJP. Perilaku ini yang dianggap sebagai moral hazard.
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
75
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
76
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
77
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
78
Daftar Pustaka
Bagehot, W. (1873). Lombard Street: A Description of the Money Market.
Bank Indonesia. (2007). Stabilitas Sistem Keuangan, Apa, Mengapa dan
Bagaimana? Booklet Stabilitas Sistem Keuangan. Mei.
___________. (2015). Guidelines Pelaksanaan Stress Test Perbankan di Bank
Indonesia. Laporan Program Strategi No. 2B. Departemen Kebijakan
Makroprudensial dan Departemen Surveillance Sistem Keuangan. Bank
Indonesia.
Basel Committee on Banking Supervision. (2010). Basel III: A Global
Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking Systems
_______________. (2012a). Model and Tools for Macroprudential Analysis.
BIS Working Paper No.12. Bank for International Settlements.
_______________. (2012b). A Framework for Dealing With Domestic
Systemically Important Banks.
_______________. (2013). Global Systemically Important Banks:
Updated Assessment Methodology and The Higher Loss Absorbency
Requirement.
_______________. (2013). Basel III: The Liquidity Coverage Ratio and
Liquidity Risk Monitoring Tools.
_______________. (2014). Basel III: The Net Stable Funding Ratio.
Bernanke, B. (2013). Monitoring the Financial System. Speech At the 49th
Annual Conference on Bank Structure and Competition sponsored by
the Federal Reserve Bank of Chicago, Chicago, Illinois.
Billio, M; Mila, G; Andrew W.L dan Loriana P. (2010). Measuring Systemic
Risk in the Finance and Insurance Sectors. MIT Sloan School Working
Paper 4774-10.
Borio C., M. Drehman, dan K. Tsatsaronis. (2012). Stress-Testing Macro
Stress Testing: Does It Live Up To Expectations?. BIS Working Papers
No 369.
Borio, C. (2009). Implementing The Macroprudential Approach to Financial
Regulation and Supervision. Banque de France Financial Stability
Review, 13.
79
80
81
Daftar Singkatan
ATMR
BCBS
BI
BIS
BSSK
CAR
CCB
CET1
CKPN
D-SIBs
ESRB
FKSSK
FPJP(S)
FSB
GFC
G-SIBs
GWM
IDMA
IFSN
IHSG
IMF
IRSP
ISSK
JPSK
KPwDN
KSK
KSSK
LCR
LDR
LFR
LOLR
LPS
82
LTV Ratio
NPL
NSFR
OJK
OPT
OTC
PLJP
PMK
PPKSK
PUAB
RDG
RFS
SIBs
SIFIs
SSK
UMKM
Loan-to-Value Ratio
Non Performing Loan
Net Stable Funding Ratio
Otoritas Jasa Keuangan
Operasi Pasar Terbuka
Over The Counter
Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek
Protokol Manajemen Krisis
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan
Pasar Uang Antar Bank
Rapat Dewan Gubernur
Regional Financial Surveillance
Systemically Important Banks
Systemically Important Financial Institutions
Stabilitas Sistem Keuangan
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
83
Daftar Istilah
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR)
Nilai eksposur risiko yang dimiliki oleh bank dimana perhitungannya
mencakup eksposur risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional.
Semakin tinggi risiko aktiva, semakin tinggi bobot risikonya. Bank wajib
memiliki dan menjaga tingkat modal minimum sebesar persentase
tertentu dari ATMR.
Bail-in
Langkah yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan keuangan
(likuiditas dan solvabilitas) institusi keuangan dengan melakukan
restrukturisasi hutang institusi keuangan, antara lain melalui konversi
kewajiban menjadi ekuitas untuk menyerap kerugian.
Bail-out
Langkah yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan keuangan
(likuiditas dan solvabilitas) institusi keuangan dengan menggunakan
dana Pemerintah (APBN).
Bank for International Settlement (BIS)
Organisasi keuangan internasional beranggotakan 60 bank sentral yang
mendorong kerjasama moneter dan keuangan secara internasional dan
melakukan tugas sebagai bank bagi bank sentral.
Bank Indonesia
Bank sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Basel Committee on Banking Supervision (BCBS)
Komite/grup yang beranggotakan otoritas perbankan negara-negara,
bertujuan untuk menerbitkan rekomendasi dan standar pengaturan
kehati-hatian secara internasional bagi sektor perbankan.
Biro Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK)
Biro yang berada pada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan
(DPNP) Bank Indonesia yang bertugas melaksanakan peran Bank
Indonesia dalam mendorong terciptanya stabilitas sistem keuangan.
84
BSSK didirikan pada tahun 2003 dan pada tahun 2013 perannya
digantikan oleh Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP)
sejalan dengan reorganisasi di Bank Indonesia.
Bottom-up Stress Test
Stress test perbankan yang dilakukan oleh individual bank dengan
model yang disesuaikan dengan pengelolaan risiko oleh bank.
Build-up Phase
Merupakan fase awal pembentukan risiko yang ditandai dengan
munculnya gejala overheating pada sistem keuangan atau perkembangan
indikator monitoring dan hasil uji ketahanan yang mengarah pada
ambang instabilitas sistem keuangan, antara lain seperti pertumbuhan
kredit yang tinggi, kenaikan harga aset yang tinggi (boom), dan
perkembangan financial innovation yang cepat.
Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN)
Cadangan yang wajib dibentuk bank jika terdapat bukti objektif
mengenai penurunan nilai aset keuangan atau kelompok aset keuangan
sebagai akibat dari satu atau lebih peristiwa yang terjadi setelah
pengakuan awal aset tersebut.
Capital Adequacy Ratio (CAR)
Rasio kecukupan modal bank yang diukur berdasarkan perbandingan
antara jumlah modal dengan asset tertimbang menurut risiko (ATMR).
Common Equity Tier 1
Modal inti utama merupakan komponen modal bank yang terdiri atas
modal disetor dan cadangan tambahan modal (disclosed reserve).
Common Risk Factor
Kondisi dimana beberapa institusi keuangan memiliki eksposur dan
menghadapi risiko yang sama.
Concentration Risk
Risiko yang muncul akibat pemusatan eksposur pada portofolio tertentu
85
86
87
88
Interconnectedness
Keterkaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan.
International Financial Safety Net (IFSN)
Jaring Pengaman Keuangan Internasional (JPKI) adalah kerjasama yang
dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau Negara Republik Indonesia
dalam rangka pencegahan dan/atau penanganan krisis untuk memenuhi
kecukupan cadangan devisa dan/atau memenuhi kesulitan likuiditas
jangka pendek, baik secara bilateral, regional, maupun multilateral
dengan bank sentral atau otoritas moneter dan/atau otoritas lainnya,
organisasi atau lembaga internasional, dan forum internasional.
International Monetary Fund (IMF)
Lembaga internasional yang bertugas mendorong kerjasama
moneter dan stabilitas sistem keuangan, memfasilitasi perdagangan
internasional dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan
mengurangi kemiskinan antar negara di dunia.
Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK)
Suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari krisis yang
mencakup pencegahan dan penanganan krisis.
Kajian Stabilitas Keuangan (KSK)
Publikasi rutin enam bulanan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia
yang memuat hasil asesmen dan penelitan Bank Indonesia terhadap
kondisi sistem keuangan termasuk sumber-sumber kerentanan dan
ketidakseimbangan yang berpotensi memicu terjadinya ketidakstabilan
sistem keuangan.
Komite Stabilitas Sistem Keuangan
Komite yang beranggotakan Menteri Keuangan sebagai koordinator,
Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota, Ketua Dewan Komisioner
OJK sebagai anggota, dan Ketua Dewan Komisioner LPS sebagai
anggota tanpa hak suara, yang bertugas melakukan koordinasi dalam
rangka pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan,
melakukan penanganan krisis sistem keuangan, dan penanganan
permasalahan bank sistemik baik dalam kondisi normal maupun krisis
sistem keuangan.
89
90
91
92
Kontributor
Pengarah
Filianingsih Hendarta, Yati Kurniati, Dwityapoetra S. Besar
Editor
Cicilia A. Harun, Sagita Rachmanira, Rani Wijayanti
Penulis
Cicilia A. Harun, Retno Ponco Windarti, Indra Gunawan, Ndari Surjaningsih,
Arlyana Abubakar, Ita Rulina, Clarita Ligaya, Sussy Wandayani, Kurniawan
Agung, Yanti Setiawan, Sagita Rachmanira, Rani Wijayanti, Leanita Indah
Parameswari, Danny Hermawan, Minar Iwan Setiawan, Januar Hafidz,
Riza Putera, Reska Prasetya, M. Firdaus Muttaqin, Shantie Noviantie,
Astrid Fiona Harningtyas, Apsari Anindita Nugroho Putri, Nanda Rizki
Fauziah, Amalia Insan Kamil, Aninditha Kemala Dinianyadarani, Khairani
Syafitri , Frimayudha Ardyaputra , Sri Noerhidajati
Pendukung Teknis
Aditya A. Taruna, R. Renanda Nattan, Nadia Refaniadewi
Konsultan Bahasa
Aditya Suharmoko
94