Anda di halaman 1dari 68

Bab 1:

Pendahuluan

D
alam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia –seperti makan,
minum, berpakaian, dan memiliki rumah- maka mereka melakukan
berbagai aktivitas ekonomi. Aktifitas ekonomi masing-masing pelaku
berbeda satu sama lain. Ada aktifitas ekonomi yang berkaitan dengan
sumber daya alam. Namun ada juga aktifitas ekonomi yang berkaitan
dengan potensi sumber daya manusia.

Sumber daya alam adalah segala sesuatu yang dibutuhkan


oleh manusia untuk kelangsungan hidupnya yang berasal dari alam.
Berdasarkan sumbernya, sumber daya alam terdiri atas 2 (dua) bagian,
yaitu sumber daya alam hayati, dan sumber daya alam non hayati. Sumber
daya alam hayati adalah sumber daya alam yang berasal dari makhluk
hidup, contohnya hasil pertanian, perkebunan, dan hutan. Sedangkan
sumber daya alam non hayati adalah sumber daya alam yang berasal dari
benda mati, misalnya air, bahan galian, dan tanah. Manusia mempunyai
kemampuan untuk mengekspoitasi sumber-sumber daya tersebut.

Seorang Gandhi pernah mengatakan kurang lebih bahwa “dunia dan


seisinya cukup untuk kebutuhan manusia, namun tidak cukup untuk 1 (satu)
orang yang serakah”. Artinya manusia bisa mengeksploitasi alam sesuai
keinginannya, akan tetapi alat pemenuhannya itu terbatas atau bahkan

1
langka. Maka dibutuhkan kebijakan untuk memilih, yang merupakan salah
satu kajian ilmu ekonomi.

Di alinea atas disebutkan perlunya manusia melakukan aktivitas


ekonomi. Apakah ekonomi itu? Ekonomi atau ilmu ekonomi (economics)
adalah ilmu sosial yang mempelajari individu-individu dan organisasi yang
terlibat dalam produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa. Tujuan
ilmu ekonomi ini adalah untuk meramalkan berbagai peristiwa ekonomi dan
untuk membuat berbagai kebijakan yang akan mencegah atau mengoreksi
berbagai masalah seperti pengangguran, inflasi, atau pemborosan dalam
perekonomian.

Ilmu ekonomi terbagi menjadi ilmu makroekonomi dan ilmu


mikroekonomi  mikroekonomi. Ilmu makro ekonomi mempelajari output
aggregate, kesempatan kerja, dan tingkat harga umum. Ilmu mikroekonomi
mempelajari perilaku ekonomi para pengambil keputusan individual seperti
konsumen, pemilik sumber daya, dan perusahaan bisnis. (Prinsip prinsip
Ekonomi, Dominick Salvatore, Eugene Diulio, 2004, Penerbit Erlangga).

Ilmu ekonomi adalah studi mengenai kelangkaan yaitu studi mengenai


alokasi sumber sumber daya yang langka untuk memenuhi keinginan
manusia. Keinginan material manusia sebagian besar tidak terbatas .
Output di lain pihak jumlahnya terbatas -yaitu tergantung pada tingkat
teknologi dan kuantitas serta kualitas berbagai sumber daya perekonomian.
Oleh karena itu produksi dari setiap barang dan jasa mengandung biaya.
Sebuah barang biasanya didefinisikan sebagai sesuatu yang bersifat fisik
seperti mobil atau hamburger, dan jasa adalah sesuatu yang diberikan
kepada Anda seperti asuransi atau potongan rambut. Kelangkaan adalah
persoalan mendasar yang terdapat dalam setiap masyarakat. Harus
dibuat keputusan mengenai apa yang diproduksi, dengan cara bagaimana
memproduksinya, dan untuk siapa saja produk tersebut diproduksi.

1.1 Mengenal Ekonomi Hijau


Ekonomi hijau atau green economy sebagai sebuah konsep
pembangunan telah lama digulirkan oleh media dunia atau lembaga-
lembaga internasional. Di Indonesia, ekonomi hijau sebagai bagian
dari pembangunan berkelanjutan bukanlah hal baru, karena Prof. Otto
Sumarwoto telah berupaya mewacanakan mengenai perihal pembangunan
berkelanjutan sejak tahun 1972. Hal tersebut dirangkum dalam sebuah

2
buku yang berjudul Overview of Indonesia’s Sustainable Development,
yang merekam berbagai upaya mengarah pembangunan berkelanjutan.
Salahsatu lembaga internasional yang menggiatkan akan ekonomi hijau
adalah lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui United Nations
Environment Programme (UNEP), yang juga telah diterapkan oleh berbagai
negara dengan macam-macam keragamannya.

Mengenai pembangunan berkelanjutan itu sendiri, Sumodiningrat


dalam “Responsi Pemerintah dalam Pembangunan” (2000) menyatakan
bahwa paradigma pembangunan tersebut muncul di era 1970-an, setelah
jargon thrickle down effects dianggap gagal sejak kemunculannya pasca
perang dunia kedua (1945). Kemunculan atau pembangunan berkelanjutan
atau sustainable development muncul setelah konsep Growth With
Redistribution, Appropiate Technologi, Basic Needs yang muncul di era
1970-an kesemuanya. Baru pada era 1980-an paradigma empowerment
atau pemberdayaan semakin menggejala jargon-jargonnya.

Sustainability diartikan sebagai “suatu pembangunan untuk


memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merugikan kebutuhan
generasi mendatang”. Resiko dan dampak pembangunan saat ini
hendaknya jangan semuanya diwariskan kepada generasi mendatang,
melainkan harus dipertimbangkan secara adil bagi generasi sekarang dan
generasi mendatang. (Gunawan Sumodiningrat, 2007). Ide dasar konsep
ini bermula dari The Club of Rome. Pada 1972 klub ini yang beranggotakan
sekelompok orang yang terdiri atas manajer , ahli teknik, dan ilmuwan se-
Eropa, berhasil menyusun suatu dokumen penting mengenai keprihatinan
terhadap lingkungan yang disebutnya sebagai the limits to growth (John
Friedman, 1975). Pesan penting dokumen ini, antara lain, sumber daya
alam telah berada pada kondisi yang memprihatinkan dalam menunjang
pertumbuhan penduduk dan ekonomi.

Kehancuran serius hutan-hutan di eropa, terjadinya oil shock,


kelaparan di benua Afrika, menurunnya kualitas lingkungan di negara-
negara tropis, menipisnya lapisan ozon, timbulnya efek rumah kaca
yang menyebabkan pemanasan global, menunjukkan betapa seriusnya
masalah lingkungan hidup. Apabila perubahan tidak segera dilakukan,
dunia akan hancur. Perubahan harus dimulai dari negara-negara yang
dianggap paling besar menyumbang kerusakan bumi. Mereka adalah
negara-negara industri yang telah mengonsumsi sumber daya energi alam

3
secara berlebihan untuk kepentingan komersial. Amerika Serikat, Kanada,
dan Jepang menduduki peringkat atas negara-negara yang paling banyak
mengkonsumsi energi.

Kesadaran terhadap krisis lingkungan hidup di bumi kemudian


melahirkan kesadaran terhadap konsekuensi trans nasional pembangunan
yang berlebihan. Maka perhatian terhadap kelestarian hutan-hutan tropis
di negara miskin menjadi agenda penting dunia. Dari sinilah lahir konsep
sustainable.

Teori-teori pembangunan tersebut (salahsatunya adalah pem­


bangunan berkelanjutan) sangat mempengaruhi para elit dalam
merumuskan kebijakan pembangunan. Penerapan teori-teori tersebut
dalam pelaksanaan pembangunan bersifat dinamis. Pengalaman
empirik yang dipengaruhi situasi dan kondisi sosial, ekonomi, politik, dan
kebudayaan dalam negeri serta lingkungan global tampakya membuat
pilihan-pilihan pendekatan/model pembangunan bukanlah harga mati.
Hal yang pasti, upaya untuk melakukan pemberdayaan masyarakat dan
pengembangan ekonomi lokal menjadi pilihan tetap dalam setiap era
pemerintahan. Hanya saja di era reformasi, pasca krisis 1998, pendekatan
pemberdayaan (empowerment) semakin mendapatkan tempat.

Pemerintah Indonesia menempatkan pembangunan berkelanjutan


sebagai prioritas dapat dilihat dari penyebutan “masalah dan tantangan”
dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah nasional atau
RPJMN 2015-2015. Terdapat beberapa tantangan untuk mewujudkan
pembangunan berkelanjutan secara konkrit ke dalam berbagai bidang dan
daerah, yaitu:
1. Masih perlu adanya kesamaan dan meluasnya pemahaman oleh
berbagai pemangku kepentingan tentang pentingnya pemba-ngunan
berkelanjutan pada seluruh aspek kehidupan;
2. Pengembangan data dan ukuran pembangunan berkelanjutan serta
pencerminannya ke dalam kegiatan konkrit, baik pada dimensi
lingkungan hidup, dimensi ekonomi, maupun pada dimensi sosial
yang tercermin pada perilaku berkelanjutan;
3. Pentingnya pengembangan dan dorongan penerapan kegiatan
ramah lingkungan yang tercermin pada efisiensi penggunaan sumber
daya dan menurunnya limbah, penguatan pemantauan pencemaran
termasuk fasilitasi dan dukungan perluasannya;

4
4. Pengembangan tata kelola yang mendorong penggunaan sumberdaya
dan teknologi bersih, termasuk langkah-langkah pengendalian
pencemaran dan upaya penegakan hukum yang disertai dengan
pengembangan kapasitas institusi dan SDM secara keseluruhan.

Tantangan pemenuhan keberlanjutan pembangunan ke depan


tentunya perlu disikapi dengan kebijakan Pemerintah Indonesia yang
tepat, agar mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Untuk itu, kebijakan bidang ekonomi perlu diarahkan
untuk meningkatkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi dengan titik berat
pada transformasi industri yang berkelanjutan, sehingga perekonomian
Indonesia akan berbasis kepada nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi.
Menjadi tantangan penting bagi Indonesia untuk segera menggeser struktur
ekspor Indonesia ke arah produk manufaktur. Sementara itu, peningkatan
jaringan rantai suplai global dan regional pun perlu dimanfaatkan oleh
Indonesia melalui kebijakan kondusif, yang dapat membuka peluang yang
lebih besar bagi pengusaha domesik termasuk usaha kecil dan menengah
untuk berpartisipasi dan menjadi bagian dalam rantai suplai internasional.

Peningkatan daya saing perekonomian Indonesia menjadi hal


utama yang perlu menjadi perhatian. Titik berat peningkatan daya saing
perekonomian perlu diarahkan pada peningkatan infrastruktur dan
ketersediaan energi, peningkatan iklim investasi dan iklim usaha, serta
tata kelola birokrasi yang lebih efektif dan efisien. Peningkatan daya saing
perekonomian ini perlu didukung oleh kebijakan pemerintah daerah yang
kondusif, yang tidak menciptakan rente ekonomi maupun ekonomi biaya
tinggi. Peningkatan infrastruktur akan dititik-beratkan pada upaya untuk
meningkatkan konektivitas nasional, sehingga integrasi domestik ini akan
meningkatkan efisiensi ekonomi dan kelancaran arus barang dan jasa
antar wilayah di Indonesia.

Selain itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia perlu diarahkan


untuk menciptakan lulusan pendidikan yang lebih berkualitas, meningkatkan
keterampilan tenaga kerja, serta mendorong sertifikasi kompetensi pekerja
agar dapat berdaya saing di pasar ASEAN maupun internasional. Di sisi
hubungan internasional, diplomasi ekonomi internasional diarahkan untuk
mengedepankan kepentingan nasional yang dapat mendorong penciptaan
nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi, mengurangi hambatan perdagangan
di pasar tujuan ekspor, serta meningkatkan investasi masuk ke Indonesia.

5
Sementara itu, keikutsertaan dan partisipasi Indonesia dalam kesepakatan
perdagangan bebas maupun kemitraan ekonomi akan dilakukan secara
selektif, yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

1.2 Perlunya Paradigma Pembangunan Berkelanjutan


Mengapa pembangunan berkelanjutan atau sustainable development
itu penting? Pembangunan berkelanjutan perlu diterapkan secara sistematis
karena beberapa hal. Pertama pembangunan berkelanjutan diperlukan
karena selama ini ada benturan kepentingan antara pemanfaatan ekonomi
dengan pelestarian lingkungan dan berbagai permasalahan pengelolaan
sumber daya alam yang sudah kita alami, seperti:
(1) Terkurasnya sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi.
(2) Berkurangnya kemampuan lingkungan dalam menetralisir bahan-
bahan pencemar, yang antara lain ditunjukkan oleh status kualitas air
sungai di Indonesia.
(3) Deforestasi hutan, yaitu laju kerusakan hutan di Indonesia yang terus
meningkat sejak era 1970-an.
(4) Eksploitasi sumber daya mineral dan laut yang tidak berkelanjutan
dan ramah lingkungan juga masih sering terus terjadi.

Kemudian kedua upaya pemerintah sebagai keberpihakan kepada


lingkungan (atau pro environment) –yang terpadu dalam pro growth, pro job,
pro poor dan pro environment- yang telah diinisiasi oleh Presiden Indonesia
keenam –Dr. Susilo Bambang Yudhoyono- belum berjalan seimbang dan
belum terpadu. Dalam hal ini strategi pro lingkungan tersebut belum inheren
ke dalam strategi pro pertumbuhan, perluasan kesempatan kerja, dan
pengurangan kemiskinan tersebut. Diakui memang banyak kemajuan dalam
penetapan standar kualitas pencemaran lingkungan namun penegakan
hukum masih terkendala. Kesadaran lingkungan dalam kehidupan sehari hari
maupun kegiatan ekonomi juga masih rendah. Masalah lingkungan masih
menjadi faktor eksogen yang harus diatasi, bukan dampak yang sebetulnya
dapat dicegah dalam setiap langkah kehidupan.

Selanjutnya ketiga, sebagai negara yang memasuki negara


berpendapatan menengah (middle income country) Indonesia tidak bisa
lagi mengandalkan pertumbuhan dari sektor sumberdaya alam primer,
namun sudah harus menginjak pada sektor skunder yang memiliki nilai
tambah tinggi. Lalu keempat, dengan semakin majunya tingkat kualitas

6
masyarakat maka bertambah tingkat pendapatan dan juga kapasitas
SDM. Semakin tersedia tenaga terdidik yang memerlukan jenis pekerjaan
dan profesi yang berkaitan dengan sektor modern (skunder) dan sektor
yang berbasis pengetahuan (knowledge base sector). Artinya dengan
keempat alasan tersebut maka Indonesia sudah selayaknya menginjak
pada pembangunan berkelanjutan secara konkrit dan mengembangan
ekonomi hijau yang mengandalkan pada efisiensi sumberdaya dan struktur
ekonomi yang lebih ramah lingkungan.

1.3 Ekonomi Hijau


Apakah yang dimaksud dengan green economy atau ekonomi hijau itu?
Dari laman http://www.unep.org/greeneconomy/ disebutkan bahwa “Green
economy is one that results in improved human well-being and social equity,
while significantly reducing environmental risks and ecological scarcities“,
yang berarti bahwa ekonomi hijau adalah salah satu faktor yang mampu
memperbaiki kondisi kehidupan manusia dan keadilan sosial, dan secara
signifikan mampu mengurangi resiko lingkungan dan kelangkaan sumber
daya lingkungan. Dalam seminar “Application of Green Economy strategy
for Sustainable Forest Development” tanggal 24 April 2013 dikutip dari buku
Bappenas: Prakarsa Strategis Pengembangan Konsep Green Economy
(hlm. 20) disebutkan bahwa ekonomi hijau adalah ekonomi yang terus
tumbuh dan memberikan lapangan kerja serta mengurangi kemiskinan, tanpa
mengabaikan perlindungan lingkungan, khususnya fungsi ekosistem dan
keragaman hayati, serta mengutamakan keadilan sosial.

Dari wikipedia disebutkan bahwa ekonomi hijau adalah sebuah rezim


ekonomi yang meningkatkan kesejahteraan manusia dan kesetaraan
sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan secara signifikan. Ekonomi
Hijau juga berarti perekonomian yang rendah atau tidak menghasilkan
emisi karbon dioksida dan polusi lingkungan, hemat sumber daya alam
dan berkeadilan sosial. Sedangkan ekonomi hijau ekologis merupakan
sebuah model pembangunan ekonomi yang berlandaskan pembangunan
berkelanjutan dan pengetahuan ekonomi ekologis.

Ciri ekonomi hijau yang paling membedakan dari rezim ekonomi


lainnya adalah penilaian langsung kepada modal alami dan jasa ekologis
sebagai nilai ekonomi dan akuntansi biaya di mana biaya yang diwujudkan
ke masyarakat dapat ditelusuri kembali dan dihitung sebagai kewajiban,
kesatuan yang tidak membahayakan atau mengabaikan aset.

7
Program Lingkungan PBB (UNEP; United Nations Environment
Programme) dalam laporannya berjudul Towards Green Economy
menyebutkan, ekonomi hijau adalah ekonomi yang mampu meningkatkan
kesejahteraan dan keadilan sosial. Ekonomi hijau ingin menghilangkan
dampak negatif pertumbuhan ekonomi terhadap lingkungan dan kelangkaan
sumber daya alam. Dari definisi yang diberikan UNEP, pengertian ekonomi
hijau dalam kalimat sederhana dapat diartikan sebagai perekonomian yang
rendah karbon (tidak menghasilkan emisi dan polusi lingkungan), hemat
sumber daya alam dan berkeadilan sosial.

Kemudian apa bedanya ekonomi hijau (green economy) dengan


pembangunan berkelanjutan (sustainable development)? Konsep ekonomi
hijau melengkapi konsep pembangunan berkelanjutan. Sebagaimana
diketahui prinsip utama dari pembangunan berkelanjutan adalah “memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi
masa depan”. Sehingga dapat dikatakan bahwa ekonomi hijau merupakan
motor utama pembangunan berkelanjutan.

Tujuan Umum Ekonomi Hijau. Tantangan utama kehidupan di masa


depan dapat diverifikasi sebagai berikut: pertama pada tahun 2050, akan
ada sekitar 9 miliar bukan 7 miliar orang (2011) yang hidup di planet kita.
Kemudian kedua semakin banyak orang yang menggunakan cadangan
sumber daya dan energi kita yang terbatas. Akibatnya, harga untuk sumber-
sumber daya yang terbatas dan sumber daya energi akan terus meningkat.
Lembaga PBB yang bernama UNEP telah mengembangkan definisi kerja
ekonomi hijau yakni ekonomi yang menghasilkan kesejahteraan dan
keadilan sosial manusia yang lebih baik, dan pada waktu yang sama secara
signifikan mengurangi risiko lingkungan hidup dan kelangkaan ekologis.
Bila dinyatakan dengan cara yang paling sederhana, ekonomi hijau dapat
dianggap sebagai ekonomi yang rendah karbon, efisien sumber daya dan
inklusif secara sosial.

Secara praktis, ekonomi hijau adalah ekonomi yang pertumbuhan


pendapatan dan lapangan kerjanya didorong oleh investasi publik dan
swasta yang mengurangi emisi karbon dan polusi, meningkatkan efisiensi
energi dan sumber daya, serta mencegah lenyapnya keanekaragaman
hayati dan layanan ekosistem. Investasi ini perlu dikatalisasi dan didukung
oleh belanja publik yang ditargetkan, reformasi kebijakan serta perubahan
peraturan. Jalur pembangunan ini harus mempertahankan, meningkatkan

8
dan, jika perlu, membangun kembali modal alam sebagai aset ekonomi
kritis dan sumber manfaat bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat
miskin yang mata pencaharian dan keamanannya sangat bergantung pada
alam. Definisi resmi ini kadang-kadang dikritik karena tidak memberikan
penjelasan yang cukup bahwa yang tersangkut tidak sekadar “secara
signifikan mengurangi risiko lingkungan hidup dan kelangkaan ekologis”,
tetapi menghormati sepenuhnya batas-batas alam, yang perlu menjadi
tujuan jangka panjang.

1.3.1 Beberapa Contoh Terbaik (Best Practices)


Beberapa pengalaman internasional sehubungan dengan strategi
ekonomi hijau akan diceritakan pada sub bagian ini. Seperti yang sering
terjadi, berbagai daerah, lembaga dan negara mengupayakan pendekatan
umum strategi kebijakan yang agak mirip, maka untuk menghindari
pengulangan, fokus perincian di sini diarahkan pada OECD dan Jerman.

a. UNEP
United Nations on Environment Pirogramme (UNEP) memimpin
inisiatif “Ekonomi Hijau” yang diluncurkan pada akhir tahun 2008. Terdiri dari
beberapa komponen yang tujuan kolektifnya secara keseluruhan adalah
untuk memberikan analisis dan dukungan kebijakan untuk berinvestasi
dalam sektor-sektor hijau maupun dalam menghijaukan sektor-sektor
yang tidak ramah lingkungan hidup. Di dalam UNEP, Inisiatif Ekonomi
Hijau mencakup tiga perangkat kegiatan:
• Membuat Laporan Ekonomi Hijau dan bahan penelitian terkait, yang
akan menganalisis implikasi-implikasi investasi hijau terhadap keber-
lanjutan, makroekonomi, dan pengurangan kemiskinan di berbagai
sektor mulai dari energi terbarukan sampai ke pertanian berkelanju-
tan dan memberikan panduan kebijakan yang dapat mengkatalisasi
peningkatan investasi dalam sektor-sektor ini.
• Memberikan layanan konsultasi tentang cara-cara untuk bergerak ke
arah ekonomi hijau di negara-negara tertentu.
• Melibatkan berbagai penelitian, organisasi non-pemerintah, bisnis
dan mitra PBB dalam melaksanakan Inisiatif Ekonomi Hijau.

Selain UNEP, Inisiatif Ekonomi Hijau adalah salah satu dari sembilan
Inisiatif Krisis Bersama (Joint Crisis Initiative, JCI) di seluruh lingkungan
PBB yang diluncurkan oleh Badan Eksekutif Kepala Sistem PBB pada awal
2009. Dalam konteks ini, Inisiatif mencakup berbagai kegiatan penelitian

9
dan kegiatan pengembangan kapasitas yang dilakukan oleh lebih dari 20
badan PBB termasuk Lembaga Bretton Woods, serta Grup Manajemen
Masalah (IMG) mengenai Ekonomi Hijau, yang diluncurkan di Washington, DC,
pada bulan Maret 2010. Inisiatif penting lainnya yang terkait dengan ekonomi
hijau, tetapi berfokus pada keanekaragaman hayati yang paling relevan bagi
Indonesia, adalah “Ekonomi Ekosistem dan Keanekaragaman Hayati” (TEEB).
Ini diluncurkan oleh Jerman dan Komisi Eropa sebagai tanggapan terhadap
proposal oleh para Menteri Lingkungan Hidup G8+5 (Potsdam, Jerman 2007)
untuk mengembangkan sebuah studi global mengenai sisi ekonomi hilangnya
keanekaragaman hayati. Studi independen ini, yang dipimpin oleh Pavan
Sukhdev, diselenggarakan oleh Program Lingkungan Hidup PBB dengan
dukungan finansial dari Komisi Eropa, Jerman dan Inggris, dan yang baru-
baru ini diikuti oleh Norwegia, Belanda dan Swedia.

TEEB menghimpunkan pengalaman, pengetahuan dan keahlian dari


semua wilayah dunia dalam bidang ilmu pengetahuan, ekonomi dan kebijakan.
Tujuannya untuk memandu berbagai respons kebijakan praktis terhadap
semakin banyak bukti mengenai dampak lenyapnya keanekaragaman hayati
dan eko-sistem layanan kerugian yang terus berlangsung.

Pada bulan Mei 2008, Laporan Interim TEEB dirilis pada pertemuan
kesembilan Konferensi Para Pihak mengenai Konvensi Keanekaragaman
Hayati. Ini membuka jalan bagi serangkaian laporan TEEB yang menyusul,
sebagian mengenai sektor-sektor tertentu, dan diakhiri dengan peluncuran
laporan sintesis pada tahun 2010.

b. OECD
OECD atau “Organization for Economic Co-operation and Deve­
lopment” telah mengambil pendekatan yang sedikit berbeda, bukan
berfokus pada “ekonomi hijau”, tetapi pada “pertumbuhan hijau” Sebagai
definisi, OECD memberikannya sebagai berikut:
• Pertumbuhan Hijau berarti mendorong pertumbuhan dan pengem-
bangan ekonomi sambil memastikan bahwa aset alami terus menye-
diakan sumber daya dan jasa lingkungan hidup yang menjadi tem-
pat bergantung kesejahteraan kita. Untuk itu, pertumbuhan ini harus
mengkatalisasi investasi serta inovasi yang akan mendukung per-
tumbuhan berkelanjutan dan menimbulkan peluang ekonomi baru.
• Langkah kembali ke ‘urusan biasa-biasa saja’ tidak akan bijaksana
dan akhirnya tidak berkelanjutan, karena melibatkan risiko yang bisa

10
memaksakan biaya manusia dan kendala pada pertumbuhan ekono-
mi dan pembangunan. Ini bisa mengakibatkan meningkatnya kelang-
kaan air, kemacetan sumber daya, polusi udara dan air, perubahan
iklim serta lenyapnya keanekaragaman hayati yang tidak akan terpu-
lihkan, sehingga perlu strategi untuk mencapai pertumbuhan hijau.

Singkatnya, alasan untuk pendekatan ini adalah sebagai berikut: Krisis


telah meyakinkan banyak negara betapa dibutuhkan jenis pertumbuhan
ekonomi yang sifatnya berbeda. Sebagai tanggapan, banyak pemerintah
sedang menyiapkan langkah-langkah yang ditujukan untuk pemulihan
yang hijau. Bersama dengan inovasi, langkah hijau akan dapat menjadi
pendorong jangka panjang untuk pertumbuhan ekonomi, misalnya
dengam berinvestasi dalam energi terbarukan dan peningkatan efisiensi
dalam penggunaan energi dan bahan. Dengan menganalisis kebijakan
ekonomi dan lingkungan hidup bersama-sama, dengan melihat cara untuk
memacu eko-inovasi dan dengan menangani masalah-masalah penting
lain yang berkaitan dengan transisi ke ekonomi hijau seperti pekerjaan dan
keterampilan, investasi, perpajakan, perdagangan dan pembangunan,
OECD dapat menunjukkan cara untuk membuat ekonomi rendah karbon
yang lebih bersih kompatibel dengan pertumbuhan.
Langkah menuju Pertumbuhan Hijau memberikan rekomendasi untuk
membantu pemerintah mengidentifikasi kebijakan-kebijakan yang dapat
membantu mencapai pergeseran yang paling efisien ke pertumbuhan
hijau, misalnya dengan berfokus pada: (i) pekerjaan hijau dan aspek
sosial, (ii) pajak hijau dan pendekatan peraturan, (iii) restrukturisasi
dan pembaharuan industri, (iii) konsolidasi fiskal, (iv) teknologi hijau, (v)
tinjauan mitra, (vi) kerja sama antara negara-negara OECD dan negara-
negara berkembang, (vii) pelibatan para pemangku kepentingan.
Strategi ini menyediakan kerangka praktis bagi pemerintah di negara
maju dan berkembang untuk menangkap peluang yang muncul pada waktu
ekonomi dan lingkungan hidup bekerja bersama-sama. Pada bulan Mei
2011, Strategi Pertumbuhan Hijau diluncurkan. Ini terdiri dari serangkaian
dokumen. Sebuah panduan praktis kebijakan yang sangat baik untuk
menilai instrumen kebijakan mana yang paling cocok untuk situasi tertentu
disediakan dengan diterbitkannya sebuah buku al OECD.

c. Uni Eropa
Pada tanggal 20 Juni 2011, Komisi Eropa meluncurkan dokumen yang
bertujuan untuk mengatasi tantangan dalam mewujudkan perekonomian

11
yang berkelanjutan dan hijau untuk Eropa. Dokumen tersebut, berjudul
“Rio +20: menuju ekonomi hijau dan pemerintahan yang lebih baik”,
mencerminkan dua puluh tahun yang telah berlalu sejak “KTT Bumi”
pertama dan menegaskan kembali dedikasi Komisi untuk mencapai
pembangunan berkelanjutan. Komisi mengirimkan pesan yang kuat
bahwa “tanpa keterampilan yang diperlukan dan kemampuan praktis,
transisi ke ekonomi hijau tidak akan mungkin.” Secara khusus fokusnya
adalah pembentukan “program-program pelatihan keterampilan hijau”,
membentuk ulang keterampilan tenaga kerja yang ada untuk lebih mampu
mengatasi tantangan ekonomi hijau dan mendidik kaum muda.
Inisiatif lain yang sangat baru dari Komisi Eropa adalah peta jalan
2050 bagi kebijakan energi. Namun, ambisi ini berada di bawah ambisi
yang berasal dari Jerman, sehingga rujukan dibuat ke Jerman sehubungan
dengan bidang ini. Contoh salah satunya untuk Uni Eropa ini adalah negara
Jerman. Setidaknya ada tiga inisiatif utama yang menarik dari Jerman
yang memiliki relevansi dengan Indonesia:
• Inisiatif menuju ekonomi hijau atau penyelenggaraan hijau yang
baru
• Transisi energi untuk penghapusan tenaga nuklir secara bertahap
dan untuk mencapai energi terbarukan sampai hampir 100%.
Dalam bidang ekonomi hijau ini, Negara Anggota yang paling aktif dari
Uni Eropa, Jerman pada tahun 2006 telah memulai sebuah inisiatif untuk
“Penyelenggaraan Hijau yang Baru” Dalam Nota untuk “penyelenggaraan
baru” bagi perekonomian, lingkungan hidup dan kesempatan kerja, suatu
kualitas hidup yang baru menjadi sasaran. Seperti dinyatakan oleh Menteri
Lingkungan Hidup, Anda tidak harus menjadi pendukung setia gerakan
lingkungan hidup untuk mengakui bahwa kita di Jerman, Eropa dan selu-
ruh dunia harus segera mengubah strategi politik dan ekonomi tradisional
kita. Hanya melihat keberhasilan ekonomi menengah dan jangka panjang
saja sudah cukup.

Negara-negara seperti Jerman yang miskin sumber daya dan berori-


entasi ekspor sedang menghadapi ancaman ekonomi yang ekstrim. Pada
saat yang sama, kebutuhan luar biasa akan energi dan sumber daya se-
dang mengarah ke metode yang semakin nekat untuk menggali atau me-
nambah sumber daya. Konsekuensi meningkatnya kerusakan lingkungan
hidup dan biaya ekonomi yang dihasilkan sudah lama memukul bahkan
negara-negara industri kaya, misalnya dalam bentuk perubahan iklim. Ini-
siatif ini telah dimantapkan pada tahun 2009 dengan meluncurkan strategi

12
pertumbuhan untuk Jerman, yang ditujukan pada lapangan pekerjaan baru
melalui investasi dalam energi dan lingkungan hidup.

Dalam sebuah makalah strategi bersama, Menteri Luar Negeri Feder-


al pada waktu itu, Frank-Walter Steinmeier dan Menteri Lingkungan Hidup
Federal pada waktu itu, Sigmar Gabriel menganalisis tantangan ekono-
mi dan ekologi dan membuat konsep suatu strategi untuk pertumbuhan
berkelanjutan yang baru. Salah satu unsur lebih lanjut dari strategi terse-
but adalah melibatkan kalangan bisnis dan membuat mereka berkomit-
men kepada masalah keanekaragaman hayati. Sektor bisnis merupakan
mitra penting dalam pelaksanaan tiga tujuan CBD dan akibatnya juga un-
tuk melestarikan dasar-dasar alami kehidupan bagi generasi mendatang.
Hal ini menjadi jelas pada berbagai pertemuan COP, terutama pada yang
terakhir, COP 8 di Curitiba, Brasil. D Jerman sebagai ketua, COP 9 Mei
2008 akan berfokus pada peran aktif positif yang dapat dimainkan oleh
perusahaan swasta dalam pelaksanaan Konvensi PBB tentang Keaneka-
ragaman Hayati.

d. Jerman: Tujuan Bisnis dan Inisiatif Keanekaragaman Hayati


Departemen Lingkungan Hidup Federal (BMU) menugaskan lembaga
kerjasama teknis Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit
GTZ (sejak 2011: Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit
GIZ) untuk maju terus dengan Inisiatif Bisnis dan Keanekaragaman
Hayati. Tujuan inisiatif ini adalah untuk melibatkan sektor swasta lebih
dekat dalam mencapai tujuan CBD, melalui partisipasi aktif perusahaan
dan organisasinya masing-masing dalam pertemuan PBB untuk komitmen
sukarela perusahaan, konsorsium maupun sektor sehubungan dengan
kontribusi nyata kepada tujuan presentasi Konvensi di pertemuan tersebut
sebagai contoh yang luar biasa mengenai komitmen spesifik perusahaan
atau konsorsium kepada masyarakat global. Dengan menandatangani
deklarasi kepemimpinan, industri tampak terlibat dalam mendukung tujuan
Konvensi.

Tujuannya adalah untuk memenangkan perusahaan-perusahaan


dari semua sektor ke dalam komitmen yang lebih besar dan kegiatan yang
konkret. Sektor yang berbeda membutuhkan konsep dan pendekatan
yang berbeda, dan beberapa perusahaan memiliki pengalaman lebih dari
yang lain dalam berurusan dengan keanekaragaman hayati. Kita tidak
mencari perusahaan yang sempurna, tetapi perusahaan yang bersedia

13
untuk bergabung dalam proses dan membuat target keanekaragaman
hayati sebagai bagian dari tujuan perusahaan mereka. Perusahaan-
perusahaan dapat menyesuaikan ketujuh poin deklarasi kepemimpinan
dengan menambahkan tujuan dan tindakan mereka sendiri kepada poin-
poin tersebut.

Investasi untuk Jerman yang ramah iklim. Unsur penting lainnya


adalah investasi publik dan swasta. Perubahan iklim yang semakin lanjut,
meningkatnya kelangkaan sumber daya fosil dan fluktuasi harga bahan
bakar fosil termasuk di antara berbagai tantangan utama yang dihadapi
abad ini. Jika tantangan ini ingin diatasi, ekonomi global harus secara
signifikan meningkatkan efisiensi energi dan menurunkan tingkat emisi.
Hal ini, pada gilirannya, akan memerlukan restrukturisasi saham modal
yang tepat di dunia. Hanya dengan cara demikian kebutuhan energi
dapat dipenuhi melalui sumber daya terbarukan, dengan mewujudkan
pengurangan emisi gas rumah kaca.

Transformasi Energi/Penghapusan Nuklir Secara Bertahap. Pada


tanggal 28 September 2010, pemerintah Jerman mengadopsi konsep energi
ambisius yang tak tertandingi di Eropa dan di seluruh dunia. Konsep ini
menetapkan sasaran strategis utama energi Jerman serta kebijakan iklim
untuk jangka panjang. Target ini tetap berlaku dan merupakan hal terpenting
dari kebijakan energi pemerintah Jerman. Sebagai respon terhadap bencana
nuklir di Fukushima, pada musim panas 2011 Jerman mengadopsi keputusan
mengenai penghapusan tenaga nuklir secara bertahap pada tahun 2022,
efisiensi energi yang lebih besar dan peralihan yang dipercepat ke energi
terbarukan. Untuk tujuan ini, pemerintah Jerman menyusun program konkret
berupa langkah-langkah dan rencana pembiayaan yang handal untuk
pelaksanaannya. Program ini memiliki langkah-langkah, per Oktober 2011,
yang akan sedikit diulas sebagai berikut.

Tujuan kebijakan Jerman mengenai energi dan iklim, yang berisi


beberapa perihal seperti emisi rumah kaca yang merusak iklim gas harus
dikurangi 40% pada tahun 2020, 55% pada tahun 2030, 70% pada tahun
2040 dan 80 sampai 95% pada tahun 2050, dibandingkan dengan referensi
tahun 1990. Kemudian konsumsi energi primer harus turun 20% pada tahun
2020 dan 50% pada tahun 2050. Selanjutnya produktivitas energi harus
meningkat 2,1% per tahun dibandingkan dengan konsumsi energi akhir.
Lalu konsumsi listrik harus turun 10% pada tahun 2020 dan 25% pada

14
tahun 2050 (dibandingkan tahun 2008). Selain itu apabila dibandingkan
dengan tahun 2008, kebutuhan panas dalam bangunan harus dikurangi
20% pada tahun 2020, sementara kebutuhan energi primer harus turun
80% pada tahun 2050. Mengenai energi terbarukan harus mencapai
pangsa 18% dari konsumsi energi bruto akhir tahun 2020, 30% pada tahun
2030, 45% pada tahun 2040 dan 60% pada tahun 2050. Pada tahun 2020
energi terbarukan harus mencapai bagian minimal 35% dalam konsumsi
listrik bruto, 50% pada tahun 2030, 65 % pada tahun 2040 dan 80% pada
tahun 2050.

1.4 Strategi Ekonomi Hijau untuk Alam Indonesia


Pada umumnya, Pemerintah Indonesia menanggapi serius kebijakan
iklim karena pemerintah bertujuan mengintegrasikan aspek-aspek iklim
dalam kebijakan lain seperti yang dapat dilihat dalam “Perencanaan
Pembangunan Nasional: Indonesia Menanggapi Perubahan Iklim” yang
diluncurkan oleh BAPPENAS (2008) pada pertengahan tahun 2008 dan
membawa dampak pertama kali terhadap proses pembangunan nasional,
terutama untuk RPJMN 2010-2014, kemudian disusul oleh “Peta Jalan
Sektoral Perubahan Iklim Indonesia” (ICCSR) pada bulan Maret 2010,
BAPPENAS (2010). Sedangkan ICCSR juga bertujuan untuk memberikan
peringkat kepada berbagai tindakan, Rencana Aksi Nasional (RAN-GRK)
menetapkan rincian lebih lanjut tentang bagaimana pengurangan 26%
akan tercapai.

Strategi saat ini yang disarankan adalah iklim yang tenang dan energi
terfokus. Namun, seperti dapat dilihat dalam inisiatif TEEB tersebut di
atas, keanekaragaman hayati juga layak untuk mendapatkan perhatian
yang tinggi dan komitmen politik serta kepemimpinan, paling tidak karena
ini sangat penting bagi Indonesia. Strategi seperti ini masih belum ada di
Indonesia.

Dengan REDD +, beberapa dana, beberapa instrumen ekonomi yang


berhubungan dengan kehutanan dan/atau tanah, sudah ada beberapa
kaitan untuk tempat mengadakan hubungan. Namun, tentu sangat penting
untuk merampingkan hal-hal ini sesuai dengan tujuan penghijauan ekonomi
secara keseluruhan. Sebuah sumber informasi yang sangat baik adalah
gambaran umum untuk 18 negara yang disediakan oleh GTZ.

Sebagian sebagai tambahan, sebagian tumpang tindih dengan

15
strategi yang diusulkan dalam Laporan G dengan oleh LPM Equator,
unsur-unsur berikut ini diusulkan, sebagian berasal dari dan mengacu
pada pengalaman-pengalaman di atas:
- Semua proposal yang terkait dengan EFR yang dibuat dalam laporan
yang lain tentang kesiapan Indonesia untuk EFR demikian perlu di-
laksanakan, dimasukkan dalam peta jalan dan disertai dengan strate-
gi pemasaran dan komunikasi yang baik.
- Menetapkan dan menerapkan a) rencana investasi infrastruktur pub-
lik dan b) fasilitas pendanaan kemitraan-swasta-publik untuk investa-
si infrastruktur. Semua investasi harus mengikuti kriteria keberlanju-
tan yang jelas untuk menghindari atau meminimalkan kemungkinan
dampak lingkungan hidup yang negatif.
- Gunakan transfer fiskal dari pusat ke tingkat lokal untuk meramping-
kannya sesuai dengan kriteria keberlanjutan dan dengan demikian
menyediakan insentif untuk kinerja lingkungan hidup yang baik. Ini
harus dilaksanakan di samping peran potensial dana alokasi khusus
(atau DAK). Pengalaman positif tersedia dari Portugal dan Brasil. UU
Keuangan Lokal Portugis (LFL) tahun 2007, dengan promosinya un-
tuk keberlanjutan lokal, merupakan dasar yang baik untuk transfer
fiskal ekologi yang bisa menjadi signifikan bagi berbagai kotamadya
yang memiliki proporsi tanah yang besar dengan status dilindungi.
Demikian pula, kasus Brasil, di mana “ICMS” ekologi yang pertama
kali diperkenalkan oleh beberapa negara bagian di Brasil pada tahun
1990-an, perlu diperiksa secara lebih terperinci. Bagian pendapatan
dari pajak nilai tambah ini didistribusikan-ulang ke tingkat lokal ber-
dasarkan indikator ekologi. Dengan cara ini, tingkat negara bagian
menggunakan transfer fiskal sebagai insentif bagi perlindungan ling-
kungan hidup dan konservasi alam.
- Sebuah Feed-InTariff (FIT) untuk Energi Terbarukan sangat disa-
rankan mengingat sangat pentingnya hal ini bagi ekonomi hijau (li-
hat mengenai Jerman di atas), di samping EFR. Suatu FIT sifatnya
sederhana, memiliki biaya administrasi yang rendah, dan dengan
demikian sangat efektif untuk meningkatkan energi terbarukan dan
menyediakan kepastian investasi jangka panjang. Dewasa ini ada
beberapa puluh negara, yang telah memperkenalkan FIT, sebagian
besar untuk listrik. Negara tetangga paling belakangan ini adalah
Malaysia yang meluncurkan FIT pada akhir 2011. Tidak seperti be-
berapa negara maju, Malaysia meluncurkan program corak-lengkap
untuk tarif terbarukan yang maju sejak awal. Jadwal tarif sepenuhnya

16
dibedakan berdasarkan teknologi dan ukuran, dan mencakup pem-
bayaran bonus untuk produk yang diproduksi secara lokal. Program
ambisius ini mengharapkan untuk mengembangkan lebih dari 3.000
MW energi terbarukan yang baru pada tahun 2020, di mana lebih dari
sepertiga berasal hanya dari fotovoltaik. Biomassa akan memberikan
kontribusi sebanyak sepertiga lainnya. Sebuah FIT juga konon akan
diupayakan untuk Departemen Energi dan Sumber Daya Alam

1.5 Bank Hijau


Hingga kini, kinerja perbankan masih bergantung pada penyaluran
kredit bagi usaha-usaha yang cenderung memberi ancaman bagi
lingkungan. Perbankan di Indonesia pun demikian. Kelapa sawit,
batubara, dan pertambangan lain menjadi sasaran penyaluran kredit yang
memberikan keuntungan besar bagi perbankan. Dalam dasawarsa terakhir,
perbankan Indonesia menikmati pertumbuhan yang tergolong tinggi. Laba
bersih bank-bank di Indonesia meningkat di atas 20 persen setiap tahun.
Akumulasi keuntungan ini membuat nilai asetnya pun semakin besar.
Dalam kurun waktu yang sama, aset perbankan tercatat tumbuh rata-rata
16 persen setiap tahun.

Sejak dua tahun lalu, total aset perbankan nasional telah melampaui
angka Rp 5.000 triliun. Dengan jumlah ini, nilai aset lebih dari 100 bank
di Indonesia setara dengan sekitar 55 persen nilai produk domestik bruto
(PDB) nasional. Rasio aset terhadap PDB ini terus meningkat setelah
krisis global pada 2008-2009.

Tahun 2011 bisa dikatakan sebagai tahun terbaik bagi perbankan


nasional. Saat itu, aset perbankan tumbuh hingga 21,4 persen. Kemudian,
penyaluran dana kredit telah melampaui Rp 3.400 triliun atau naik sekitar
23,4 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Laba bersih perbankan
pun naik tajam, yaitu sekitar 31 persen. Pada tahun itu pula, perbankan
Indonesia berhasil mendongkrak rasio laba bersih terhadap aset menjadi
di atas dua persen.

Sebagaimana halnya sistem di negara lain, perbankan Indonesia


pun tidak dapat dipisahkan dengan sistem perekonomian nasional.
Perbankan nasional menjadi salah satu bagian vital dalam perekonomian
Indonesia. Secara simultan, kegiatan ekonomi dan perbankan saling
menopang untuk terus tumbuh. Di satu sisi, melajunya perekonomian

17
bisa menarik (backward linkage) sektor perbankan. Kemudian, di sisi lain,
sektor perbankan juga memiliki peran untuk mendorong (forward linkage)
berbagai kegiatan ekonomi.

Sektor perbankan Indonesia merupakan salah satu sektor non-


tradeable yang tumbuh lebih tinggi dibandingkan perekonomian nasional.
Terlebih dalam tiga tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan sektor yang
menjadi bagian dari sektor keuangan ini, 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan
pertumbuhan ekonomi. Sektor perbankan tercatat tumbuh rata-rata 8,13
persen, sedangkan pertumbuhan ekonomi nasional hanya sekitar 6,18
persen. Secara langsung, perbankan turut memberi sumbangan yang
positif bagi pertumbuhan ekonomi.

Pada masa kini, seiring dengan menguatnya perhatian dunia terhadap


persoalan-persoalan lingkungan, perbankan melakukan transformasi
dalam perilaku dan kegiatannya. Konsep “ekonomi hijau”, yang pada
dasarnya mendorong agar setiap kegiatan ekonomi harus meminimalisasi
dampaknya bagi lingkungan, juga diadopsi oleh dunia perbankan. Salah
satunya melalui konsep green banking atau “bank hijau”.

Bank hijau ini diterjemahkan sebagai upaya perbankan untuk


mengutamakan pemenuhan keberlanjutan dalam penyaluran kredit atau
kegiatan operasionalnya. Bank, secara langsung, memang tidak tergolong
sebagai penyumbang pencemaran lingkungan yang tinggi. Penggunaan
energi, air, dan sumber daya alam lainnya dalam kegiatan perbankan
tidaklah separah penggunaan oleh sektor-sektor lain, seperti pertambangan
dan industri pengolahan.

Meski demikian, perbankan tidak lantas dapat dilepaskan dari


persoalan meningkatnya degradasi lingkungan hidup. Dengan memberikan
pinjaman atau pembiayaan kepada nasabahnya, bank dapat menjadi
pemicu bagi kegiatan-kegiatan yang berdampak pada lingkungan.
Sebelum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dibentuk, Bank Indonesia telah
mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 14/15/PBI/2012
tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum. Dengan peraturan ini, Bank
Indonesia mendorong perbankan nasional untuk mempertimbangkan
faktor kelayakan lingkungan dalam melakukan penilaian suatu prospek
usaha.

18
Peraturan ini sendiri merupakan tindak lanjut Bank Indonesia atas
penetapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun
2012 tentang Izin Lingkungan, serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
Nomor 5 Tahun 2012 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan
yang Wajib Memiliki Analisis Dampak Lingkungan Hidup (amdal).

Hingga kini, perdebatan mengenai pihak mana (bank atau debitor)


yang harus bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan yang
ditimbulkan, masih berlangsung. Sebagian bank telah mencoba melakukan
seleksi sejak awal terhadap pembiayaan yang diajukan oleh calon debitor.
Bank memiliki hak penuh untuk menurunkan pembiayaan atau tidak,
tergantung sejauh mana kegiatan yang akan dibiayai dengan pinjaman
bank berdampak pada lingkungan (Jeucken, 2004).

Alternatif lain melalui pola pemberian insentif dan disinsentif. Salah


satunya ialah dengan melakukan diferensiasi harga dana. Artinya, bank
dapat memberikan pinjaman dengan tingkat suku bunga pinjaman yang
berbeda. Semakin tinggi dampak negatif yang dihasilkan oleh suatu
kegiatan, semakin tinggi pula tingkat bunga pinjaman yang dikenakan.
Demikian berlaku sebaliknya, semakin rendah dampak negatif yang
dihasilkan, semakin rendah pula tingkat bunga pinjamannya.

Apabila diterapkan, kebijakan-kebijakan tersebut dapat memengaruhi


pencapaian kinerja bank. Seleksi debitor yang terlampau ketat berpotensi
menurunkan pendapatan bunga yang diperoleh dari pemberian pinjaman.
Dalam kondisi ini, bank dihadapkan pada persoalan keberlanjutan dirinya
sendiri. Sebaliknya, apabila terlalu longgar, bank justru akan menjadi
sumber yang mendorong laju degradasi lingkungan. Secara teknis,
tingkat keketatan atau kelonggaran kebijakan bank dalam pembiayaan
dapat dirumuskan. Salah satunya ialah dengan mengidentifikasi tingkat
keseimbangan antara keberlanjutan bank dan lingkungan.

Dengan mengindahkan kedua faktor tersebut, bank dapat


mengoptimalkan perannya dalam menekan laju degradasi lingkungan.
Bahkan, lebih jauh lagi, bank dapat memberi stimulus yang mendorong
perilaku “ramah lingkungan”. Sektor perbankan dapat menjadi pemain
kunci dalam upaya pengarusutamaan (mainstreamizing) pembangunan
yang berkelanjutan.

19
20
Bab 2:
Ekonomi Hijau
dan Pembangunan
Berkelanjutan

2.1 Kerangka Pembangunan Berkelanjutan


Makna pembangunan berkelanjutan sesuai dengan dokumen United
Nations Environment Programme (UNEP), memiliki 3 (tiga) pilar utama.
Yaitu yang pertama adalah pilar (atau dimensi) sosial, kedua pilar ekonomi,
dan ketiga pilar lingkungan hidup. Di ketiga pilar tersebut, negara Republik
Indonesia dapat dikatakan sudah sangat maju. Kemajuan tak hanya dalam
soal kebijakan, namun juga capaian dalam pembangunan sosial.

Hal tersebut tercermin pada langkah panjang untuk membangun


antara lain bidang pendidikan, kesehatan, dan kependudukan. Sebagian
besar capaian ini tampak pada proses dan capaian pembangunan milenium
(MDGs) Indonesia, yang berubah menjadi Sustainable Development Goals
(SDGs) pada tahun 2015.

Pada bidang ekonomi sudah terbukti dengan capaian kemantapan


Indonesia dalam mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi dalam
10 (sepuluh) tahun terakhir, di tengah-tengah berbagai masalah ekonomi
yang terjadi di negara maju. Pada pilar lingkungan sudah banyak
langkah-langkah yang dicapai, namun masih ada beberapa kendala dan
merupakan langkah terpisah dari ekdua pilar lainnya. Pilar ini masih perlu
dibangun dan diinternalisasikan ke dalam pilar sosial dan ekonomi untuk

21
penerapan pembangunan berkelanjutan yang seimbang. Indonesia harus
menjadikan pembangunan pilar lingkungan secara terpadu ini dan terutama
internalisasinya ke pilar ekonomi sebagai peluang untuk meningkatkan
pertumbuhan lebih tinggi namun tetap berwawasan lingkungan.

Pembangunan berkelanjutan dalam dokumen Our Common Future


yang diterbitkan pada tahun 1987 didefinisikan sebagai “pembangunan
yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat generasi sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi
kebutuhannya”.

Paradigma sustainable development atau pembangunan berkelanjutan


menurut Gunawan Sumodiningrat (2007) muncul di era 1970-an, setelah
kegagalan jargon thrickle down effects. Paradigma Thrickle down dianggap
gagal sejak kemunculannya pasca perang dunia kedua (1945). Kemunculan
atau pembangunan berkelanjutan atau sustainable development muncul
setelah konsep Growth With Redistribution, Appropiate Technologi, Basic
Needs yang muncul di era 1970-an kesemuanya. Baru pada era 1980-
an paradigma empowerment atau pemberdayaan semakin menggejala
jargon-jargonnya.

Sustainability development diartikan sebagai “suatu pembangunan


untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa merugikan kebutuhan
generasi mendatang”. Terminologi pembangunan berkelanjutan
merupakan prinsip pembangunan yang berlaku jangka panjang. Bagi
Indonesia penerapan prinsip hijau/ ramah lingkungan/ berkelanjutan yang
disusun secara sistematis adalah langkah penurunan emisi gas rumah
kaca (GRK). Berdasarkan komitmen Pemerintah untuk menurunkan GRK
sebesar 26 persen (pada tahun 2020) yang disampaikan pada tahun 2009,
telah dijabarkan ke dalam krangka pelaksanaan seperti Perpres nomor 61
tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah
Kaca atau disingkat RAN GRK.

2.2 Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai pengganti


MDGs
Bulan September 2015 telah terselenggara deklarasi Sustainable
Development Goals atau SDGs di forum Sidang Umum PBB. Wakil
Presiden beserta Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia

22
dan Kebudayaan menghadiri pertemuan tersebut. SDGs menjadi model
pembangunan global yang tak hanya mencakup kesejahteraan rakyat di
negara-negara berkembang, tetapi juga di seluruh negara yang anggota
PBB penerima SDGs. Jika MDGs hanya ada 8 langkah mencapai target
kesejahteraan, maka SDG memiliki 17 langkah pada 15 tahun ke depan.
Sebanyak 17 Goals dan 169 target yang luas dan komprehensif tersebut
secara umum meliputi aspek people, planet, prosperity, peace dan
partnership.

Ketujuh belas sasaran SDGs tersebut adalah (1) Mengakhiri segala


bentuk kemiskinan di manapun, (2) Mengakhiri kelaparan, mencapai
ketahanan pangan dan meningkatkan gizi, serta mendorong pertanian
yang berkelanjutan, (3) Menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong
kesejahteraan bagi semua orang di segala usia, (4) Menjamin pendidikan
yang inklusif dan berkeadilan serta mendorong kesempatan belajar seumur
hidup bagi semua orang,

Kemudian (5) Menjamin kesetaraan gender serta memberdayakan


seluruh wanita dan perempuan, (6) Menjamin ketersediaan dan
pengelolaan air serta sanitasi yang berkelanjutan bagi semua orang,
(7) Menjamin akses energi yang terjangkau, terjamin, berkelanjutan dan
modern bagi semua orang, (8) Mendorong pertumbuhan ekonomi yang
terus-menerus, inklusif, dan berkelanjutan, serta kesempatan kerja penuh
dan produk dan pekerjaan yang layak bagi semua orang, (9) Membangun
infrastruktur yang berketahanan, mendorong industrialisasi yang inklusif
dan berkelanjutan serta membina inovasi, (10) Mengurangi kesenjangan
di dalam dan antar negara, (11) Menjadikan kota dan pemukiman manusia
inklusif, aman, berketahanan dan berkelanjutan, (12) Menjamin pola
produksi dan konsumsi yang berkelanjutan, (13) Mengambil tindakan
mendesak untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya, (14)
Melestarikan dan menggunakan samudera, lautan serta sumber daya laut
secara berkelanjutan untuk pembangunan berkelanjutan, (15) Melindungi,
memperbarui, serta mendorong penggunaan ekosistem daratan yang
berkelanjutan, mengelola hutan secara berkelanjutan, memerangi
penggurunan, menghentikan dan memulihkan degradasi tanah, serta
menghentikan kerugian keanekaragaman hayati, (16) Mendorong
masyarakat yang damai dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan,
menyediakan akses keadilan bagi semua orang, serta membangun
institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di seluruh tingkatan, dan (17)

23
Memperkuat cara-cara implementasi dan merevitalisasi kemitraan global
untuk pembangunan berkelanjutan.

Indonesia sangat berkepentingan dengan SDGs terutama


dikaitkan dengan kepemimpinan sebelumnya (Presiden keenam yaitu
bapak Dr Susilo Bambang Yudhoyono) yang menjadi koordinator untuk
penanggulangan kemiskinan sebagai prakarsa SDGs bersama dengan
PM Inggris dan Presiden Liberia. Selain itu track record Indonesia yang
sangat baik untuk Indeks Pembangunan Manusia atau IPM tentunya akan
sangat membantu (keterangan: Indonesia masuk dalam 5 (lima) negara
terbesar angka perkembangan IPM sesudah Tiongkok, Oman, dan Nepal.
Perkembangan Indonesia tersebut lebih baik daripada Arab Saudi, Laos,
Tunisia, Korsel, Aljazair dan Maroko).

2.3 Ekonomi Hijau dalam Kerangka Pembangunan Berkelanjutan


Terminologi pembangunan berkelanjutan merupakan prinsip
pembangunan yang berlaku jangka panjang. Pembeda antara penerapan
dari tahun tertentu ke tahun berikutnya adalah penerapannya secara
konkrit dan bertahap. Pentahapan diperlukan karena tingkat kesiapan
dari masyarakat dan juga kesiapan instrumen penerapan. Pentahapan
juga diperlukan agar dapat fokus dan mampu mengukur kemajuan hasil
penerapan pembangunan berkelanjutan.

Bagi Indonesia penerapan prinsip hijau/ ramah lingkungan/


berkelanjutan yang disusun secara sistematis adalah langkah penurunan
emisi gas rumah kaca (GRK). Berdasarkan komitmen Pemerintah untuk
menurunkan GRK sebesar 26 persen (pada tahun 2020) yang disampaikan
pada tahun 2009, telah dijabarkan ke dalam krangka pelaksanaan seperti
Perpres nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan
Emisi Gas Rumah Kaca atau disingkat RAN GRK.

Untuk perihal keanekaragaman hayati laut atau marine biodiversity,


maka republik kita tercinta ini menempati peringkat pertama sedunia.
Sedangkan untuk keanekaragaman hayati darat (terrestrial biodiversity),
Brasil menjadi peringkat pertama –sesudah itu baru Indonesia. Meskipun
hanya meliputi 1,3% dari seluruh permukaan daratan bumi, hutan Indonesia
mencapai 10% hutan dunia dan merupakan rumah bagi 20% spesies flora
dan fauna dunia, 17% spesies burung dunia dan lebih dari 25% spesies
ikan dunia. Dalam hampir setiap sepuluh hektar hutan pulau Kalimantan

24
memiliki berbagai spesies pohon yang berbeda-beda melebihi yang
ditemukan di seluruh Amerika Utara, apalagi jika didalamnya dimasukkan
jumlah tumbuhan, serangga, dan hewan langka yang tidak dapat ditemui
di tempat lain di manapun di dunia.

Meskipun pulau Kalimantan luasnya hanya 1% dari luas permukaan


bumi, namun menurut laporan United State Agency for International
Development (USAID) memiliki 6% spesies burung dunia, spesies mamalia
dunia, dan spesies tumbuhan berbunga di dunia. Seluruh kepulauan
Karibia hanya memiliki sekitar satu per sepuluh ke anekaragaman hayati
laut Indonesia yang terletak di pertemuan samudera Hindia, laut Cina
selatan, dan samudera Pasifik yang memperoleh makanan dari ketiga
kawasan laut tersebut.

Menurut Alfred Nakatsuma (USAID), Indonesia kini kehilangan hutan


tropika seluas negara bagian Maryland setiap tahunnya, dan karbon
yang dilepaskan oleh penebangan dan pembukaan hutan –sebagian
dilakukan secara liar– telah menjadikan Indonesia negara ketiga paling
besar di dunia untuk emisi gas rumah kaca, setelah Amerika Serikat
dan Cina dan peringkat keempatnya adalah Brasil. Lebih dari 70% emisi
CO dari Indonesia berasal dari penebangan dan pembukaan hutan.
Menurut Conservation International, setiap jamnya hutan Indonesia
ditebang 300 kali seluas lapangan sepakbola. Penebangan liar di hutan
nasional menyebabkan pemerintah Indonesia kehilangan 3 milyar dolar
AS pendapatan negara setiap tahunnya, bahkan pembukaan hutan resmi
pun dilakukan secara besar-besaran karena Indonesia masih berusaha
menumbuhkan ekonominya dengan menjual produk-produk hasil hutan.

Begitu pula yang terjadi diwilayah lautan, perairan di sekitar 17 ribu


pulau di kepulauan Indonesia memiliki 14% terumbu karang bumi dan
lebih dari 2 ribu spesies ikan yang hidup di terumbu karang. Terumbu
karang adalah tempat bernaung, struktur, sekaligus substrat sebagaimana
pohon di hutan yang apabila hilang maka berbagai jenis spesies binatang
punah, begitu juga apabila tidak ada terumbu karang ikan pun punah.
Pembangunan yang tak terkendali dan penangkapan ikan baik yang
menggunakan dinamit maupun sianida telah banyak merusak terumbu
karang di Indonesia, sebagai habitat sangat penting bagi ikan dan hewan
karang lainnya.

25
Pada tahun tahun 2000 penangkapan ikan di sekitar perairan
Indonesia mulai menjarah kepada ikan yang belum cukup umur, yakni
sebesar 8% dan di tahun 2004 angkanya telah berlipat menjadi 34% dari
total kekayaan ikan. Menurut para pakar ketika bayi ikan yang ditangkap
mencapai satu per tiga dari yang tersedia, berarti kiamat di dunia sudah
dekat. Bayangkan sebuah dunia tanpa hutan, sebuah dunia tanpa terumbu
karang, atau sebuah dunia tanpa ikan. Bayangkan sebuah dunia dengan
sungai-sungai yang mengalir hanya dalam musim hujan. Perlu segera
dikembangkan sebuah sistem untuk melestarikan keanekaragaman hayati
dan sumber daya alam yang cerdas, serba lengkap, dan efektif.

Sejak KTT bumi tahun 1992 di Rio De Janeiro (Brasil), muncul


konsensus global bahwa perubahan iklim bumi, pola konsumsi sumber
daya, dan ledakan jumlah penduduk secara gabungan mengancam
keanekaragaman hayati yang berfungsi mempertahankan keberadaan
semua spesies, termasuk manusia, sehingga perlu didefinisikan kembali
hubungan manusia dengan dunia. Konsumsi energi, pertumbuhan
ekonomi, kepunahan spesies, penggundulan hutan, politik minyak, dan
pemanasan bumi, semua saling terkait. Pertumbuhan ekonomi yang
pesat dan pertumbuhan jumlah penduduk telah melepaskan lebih banyak
karbon ke dalam atmosfer, sehingga bumi yang rata dan penuh sesak telah
menjadikan udara semakin panas dan pengap. Begitu pula perusakan
hutan dan alam lainnya seperti terumbu karang, menjadikan manusia
semakin rentan, karena pohondi hutan yang berfungsi menyerap air hujan
bersih sekaligus menyimpannnya di bawah permukaaan dalam akar-akar
dan akuifer-akuifer yang kemudian kesemuanya secara teratur dilepaskan
ke sungai-sungai dan anak-anak sungai.

Demikian juga terumbu karang dan hutan bakau adalah penyangga


daerah pantai dari hempasan badai tropika. Maka semakin jauh kita
masuk ke dalam energi iklim, semakin besar kebutuhan kita akan habitat
alami, sebagaimana hutan yang dapat mencengkeram tanah dan
menyediakan rumah bagi spesies-spesies yang terancam, sementara
karang dapat melindungi daerah pantai dari kenaikan permukaan air laut
dan menyediakan pakan bagi sekawanan ikan yang merupakan mata
pencaharian bagi penduduk pantai. Membangkitkan elektron-elektron
bersih yang melimpah, andal, dan murah akan membantu mengurangi
tekanan terhadap ekosistem bumi yang tengah terancam, namun lebih dari
itu diperlukan strategi integral dan komprehensif untuk membangkitkan

26
pelestarian secara besar-besaran guna memastikan masih tersedianya
banyak tumbuhan dan hewan bagi manusia sebagai sumber daya yang
dibutuhkan untuk bertahan hidup.

Strategi tersebut perlu didorong dan dipelihara, khususnya oleh orang-


orang yang tinggal di wilayah sumber daya alami yang paling berharga.
Di samping itu perlu dirumuskan kebijakan pemerintah tentang ekosistem,
investasi, dan stakeholders yang tepat dan benar untuk menyelamatkan
sebuah ekosistem yang terdiri atas tumbuhan, hewan dan hutan. Perlu
disambut upaya yang telah dikembangkan para pakar ekonomi yang
menggagas pendekatan di bidang ekonomi yang mengintegrasikan
faktor lingkungan dan ekosistem kedalam paradigma pemikiran di bidang
ekonomi, khususnya dalam rangka mempengaruhi kebijakan ekonomi
pemerintah yang terintegrasi dengan pelestarian alam.

Suatu pendekatan yang berusaha untuk meninggalkan praktik-


praktik ekonomi yang mementingkan keuntungan jangka pendek yang
telah mewariskan berbagai permasalahan mendesak yang perlu segera
ditangani. Sebaliknya upayamenggerakkan roda perekonomian dengan
kebijakan rendah karbon (low carbon economy) perlu mendapat dukungan
yang luas.

Sebelumnya masyarakat hampir tidak peduli dengan bahan bakar


kotor (high carbon), mereka seolah menutup mata dan menganggap wajar
jika pertumbuhan ekonomi akan mengorbankan kesehatan ekosistem serta
kesehatan ekonomi masyarakat yang tersingkir, sementara kepunahan
pelbagai spesies merupakan efek samping dan tak terelakkan. Padahal
dengan sistem energi bersih, kita akan faham bahwa ekosistem sehat dan
ekonomi sehat harus seiring, jika tidak pertumbuhan itu sendiri tidak akan
dapat dinikmati lagi akibat kerusakan dan ketidaktersediaan sumber daya
alam yang memadai.

Ekonomi hijau bisa jadi dalam beberapa tahun mendatang akan


menjadi alternatif pilihan terbaik dalam rangka melaksanakan model
pembangunan dengan reducing emission from deforestation and
degradation (REDD), suatu pembangunan ekonomi yang tidak hanya
bersifat business as usual, namun cenderung pada konsep green economy
untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat dengan menekan
resiko kerusakan ekologi. Pembangunan ekonomi yang berkeadilan

27
sama pentingnya dengan memperkecil resiko lingkungan dan pengikisan
aset ekologi. Komitmen untuk menerapkan REDD merupakan tantangan
bagi pemerintah dan pelaku bisnis Indonesia guna menerapkan konsep
ekonomi hijau secara utuh. Karena dengan ekonomi hijau akan terjawab
aspek pelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi sekaligus secara
bersamaan.

Melalui pendekatan kebijakan ekonomi hijau diharapkan mampu


menggantikan kebijakan lingkungan yang pada masa lampau kerap
difokuskan pada solusi jangka pendek. Dengan pendekatan baru kebijakan
ekonomi hijau diharapkan mampu memadukan aspek “pelestarian
lingkungan” dan “pertumbuhan ekonomi”. Dengan perkataan lain, melalui
model pendekatan Green Economy akan mampu menjawab saling
ketergantungan antara ekonomi dan ekosistem serta dampak negatif akibat
aktivitas ekonomi terhadap perubahan iklim dan pemanasan global.

Dengan demikian beberapa kebijakan perlu segera ditempuh


Pemerintah, diantaranya:
1. Pertama, sebuah kebijakan pemerintah nasional perlu melindungi
daerah-daerah tertentu yang telah melewati batas aman untuk ek-
sploitasi, konversi, dan/atau pembangunan mengingat pentingnya ke
aneka ragaman hayati di suatu daerah. Di samping itu membatasi
dengan tegas daerah-daerah lain untuk dikembangkan dengan ala-
san pertumbuhan ekonomi melalui pengelolaan yang cermat guna
melindungi spesies terancam, mutu air, dan nilai ekologi lainnya.
2. Kedua, memberi peluang alternatif ekonomi bagi masyarakat set-
empat yang memungkinkan mereka tetap berkembang tanpa harus
merusak keanekaragaman hayati di daerahnya.
3. Ketiga, dukungan dari investor swasta apakah dari pihak subsektor
energi atau pertambangan dalam rangka mendukung hal ini.

2.4 Ekonomi Hijau untuk Pembangunan Masa Depan


Kekayaan alam Indonesia terutama rempah-rempah telah menarik
bangsa Eropa untuk mengeksplotasinya. Maka datanglah Belanda dengan
VOC-nya sekitar empat ratus tahun yang lalu, dengan tujuan mengambil
buah pala. Doktrin bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan sum-
ber daya alam jamak terdengar, bahkan sampai seantero dunia. Mengam-
bil kasus buah pala seperti tersebut di muka, sampai sekarang Indonesia
merupakan negara pengekspor biji pala dan fuli terbesar di pasaran dunia,

28
sekitar 75 %, dan sisanya dari negara lain seperti Granada, India, Sril-
angka dan Papua Nugini. Empat daerah penghasil utama biji pala adalah
Sulawesi Utara, Maluku Utara, Aceh, dan Maluku.

Doktrin kekayaan alam nusantara tersebut memang merupakan


fakta. Dari sektor hutan sendiri saja, Indonesia menyimpan keanekaraga-
man hayati yang begitu besar sehingga dikenal sebagai mega-biodiversity
country. Hutan tropis Indonesia yang tersebar di berbagai pulau diper-
kirakan merupakan habitat dari 30-40 ribu jenis tumbuhan. Indonesia pun
tercatat pernah menguasai 10% luas hutan tropis yang tersisa di dunia
(sekitar 100 juta hektar) dan berada di urutan kedua setelah Brasil.

Mengapa disebut “pernah”? Karena anugerah tersebut hanya dapat


dipertahankan sampai tahun 1995. Di 2006, Indonesia dinobatkan menjadi
negara yang juga urutan kedua, namun dalam hal laju kehilangan hutan
terbanyak, yakni sebesar 1,8 juta hektar per tahun dalam kurun waktu
2000-2005 (FAO). Di tahun 2007, luas hutan Indonesia pun diperkirakan
hanya tinggal 88 juta hektar dan menjadi hanya peringkat ke-8 dunia set-
elah Kongo dalam hal penguasaan hutan tropis yang tersisa di dunia (di-
kutip dari blog Aridyantie: tanpa tahun).

Hanya segelintir masyarakat yang menyadari bahwa kelestarian hu-


tan sangatlah penting. Kebanyakan orang –terutama penduduk setempat
atau lokal hutan- berpikir bahwa lebih menguntungkan hutan untuk dialih-
fungsikan menjadi lahan tambang, perkebunan (umumnya sawit) ataupun
ditebang secara serampangan untuk dijual sebagai kayu gelondongan.
Cara menggundulkannya mudah, yaitu dengan dibakar (sehingga negara
tetangga –terutama Singapura- sangat memprotesnya).

Padahal, deforestasi besar-besaran memicu pelepasan cadangan


karbon ke alam yang tentunya memperburuk efek global warming yang
sudah terjadi. Efek global warming yang sangat dikhawatirkan di Indonesia
saat ini adalah kenaikan permukaan air laut akibat melelehnya tutupan es
dunia seiring meningkatnya suhu global. Perubahan iklim dapat mengan-
cam 41 juta penduduk Indonesia yang tinggal di daerah pesisir dengan
ketinggian dibawah 10 meter (Indonesia Maritime Institute, 2011).

Laju deforestasi yang menghawatirkan tersebut juga mempengaruhi


masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang memanfaatkan hasil hutan

29
tersebut sebagai sumber penghidupan. Jumlah penduduk Indonesia yang
tinggal di desa-desa di dalam dan sekitar hutan yang kehidupannya ber-
gantung pada sumber daya hutan berjumlah sekitar 48,8 juta orang, dima-
na 10,2 juta orang diantaranya tergolong miskin (Departemen Kehutanan,
2011).

Menilik ancaman-ancaman yang timbul akibat deforestasi, tentunya


urgensi untuk mencegah rusaknya hutan Indonesia sangat besar. Namun,
mitos yang menjadi pertimbangan dari masifnya alih fungsi lahan di Indo-
nesia adalah nilai ekonomi dari aktivitas deforestasi yang memacu pertum-
buhan ekonomi. Padahal, pembabatan hutan secara serampangan hanya
akan menimbulkan keuntungan jangka pendek tanpa menghitung nilai
kerugian dari kerusakan lingkungan dan habitat berbagai macam spesies
yang hilang untuk generasi selanjutnya.

Solusi untuk pelestarian hutan yang dapat turut berkontribusi bagi


perekonomian, adalah ekonomi hijau atau green economy sebagai jawa-
ban. Ekonomi hijau sering disalahartikan dengan pelarangan total terh-
adap pemanfaatan sumber daya alam. Padahal prinsip ekonomi hijau ada-
lah kegiatan ekonomi yang berkelanjutan. Artinya, kegiatan ekonomi serta
pemanfaatan sumber daya alam dapat dilakukan selama tidak merusak
lingkungan.

Dari beberapa upaya, salah satunya adalah penerapan ekonomi hi-


jau untuk mengurangi deforestasi adalah pemanfaatan Hasil Hutan Bu-
kan Kayu (HHBK). Hutan Indonesia dengan keanekaragaman hayati yang
sangat besar menyimpan potensi besar selain pemanfaatan kayu hasil
penebangan. Menurut data dari Departemen Kehutanan, dari 30-40 ribu
spesies tumbuhan di hutan tropis Indonesia, 20 % diantaranya memberi-
kan hasil hutan berupa kayu dan bagian terbesar yakni 80 % justru memi-
liki potensi memberikan hasil hutan bukan kayu. HHBK yang sudah dapat
dikomersilkan diantaranya gaharu, sagu, rotan, sutera alam, madu, kayu
putih, masohi, aneka tanaman hias, tanaman obat dan lain -lain.

Pengembangan HHBK pun dapat melibatkan masyarakat sekitar hu-


tan itu sendiri. Pelibatan masyarakat tentunya harus diiringi dengan edu-
kasi dan pembinaan karena tidak dapat dipungkiri umumnya pengetahuan
masyarakat mengenai HHBK masih sangat rendah, disamping taraf pen-
didikan masyarakat sekitar hutan itu sendiri juga yang umumnya masih

30
rendah. Dengan dimanfaatkannya HHBK secara lestari, selain dapat men-
gangkat taraf hidup 48,8 juta orang yang bergantung pada hasil hutan,
keseimbangan ekosistem dapat terjaga karena hutan sebagai habitat
kenekaragaman hayati tersebut tetap ada.

Untuk skala global, maraknya isu ekonomi hijau sudah banyak dikonk-
ritkan melalui kesepakatan berbagai negara. Contohnya, mekanisme cap
and trade, yakni komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dan
mekanisme perdagangan karbonnya pun sudah dikonkritkan dalam Kyoto
Protocol antar negara Annex I (diantaranya Jepang, Swiss, Norwegia, dan
Kanada) pada periode 2008-2012 yang akan diajukan kembali ratifikasi
komitmennya untuk 2013-2020. Indonesia pun telah mengusulkan meka-
nisme Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation
(REDD+).

Mekanisme tersebut memungkinkan pemberian insentif kepada


negara berkembang yang mau dan mampu mengurangi emisi GRK yang
berasal dari deforestasi dan degradasi hutan. Pada perjalanannya, selain
deforestasi dan degradasi hutan, REDD+ juga mencakup peran konser-
vasi, pengelolaan hutan lestari, dan peningkatan cadangan karbon. Menu-
rut Indonesian Forest Climate Alliance (IFCA), pada tingkat global potensi
pasar dari REDD+ mencapai $15 milyar/ tahun dan Indonesia berpotensi
untuk menyerap pasar karbon dari REDD+ sebesar $2 milyar / tahun.
Dana tersebut dapat disalurkan ke masyarakat sekitar hutan untuk diber-
dayakan dalam menjaga kelestarian hutan di Indonesia. REDD+ merupa-
kan kesempatan Indonesia untuk mewujudkan komitmennya mengurangi
emisi 26% sampai 41% dari skenario pembangunan Business as Usual
(BAU) pada 2020.

Bentuk ekonomi hijau tidak hanya terbatas pada sektor kehutanan.


Komitmen pengembangan energi bersih yang ramah lingkungan dian-
taranya merupakan konsep yang dapat diterapkan di Indonesia. Pengem-
bangan energi bersih yang murah sangat besar potensinya di Indonesia
yang kaya sumber daya alam contohnya energi panas bumi, sinar ma-
tahari, angin, air, dsb. Namun sayangnya, potensi energi tersebut belum
dimanfaatkan secara maksimal. Menurut Juru Kampanye Iklim dan Energi
Greenpeace Asia Tenggara, Arif Fiyanto, dari sekitar 29 ribu megawatt pa-
nas bumi yang dimiliki baru sekitar 12 ribu megawatt yang telah dimanfaat-
kan.  Kontribusi energi terbarukan dalam bauran energi di Indonesia pun

31
masih berada di angka 5%. Padahal jika pemerintah berkomitmen, subsidi
BBM yang banyak tidak tepat sasaran dan emisinya besar dapat dialihkan
ke pengembangan energi ramah lingkungan yang berlimpah dan tidak ter-
batas jumlahnya di Indonesia.

Jadi dapat dikonklusikan bahwasanya pertumbuhan ekonomi dan


kelestarian lingkungan bukanlah pilihan yang trade off atau saling berke-
balikan. Dari penjelasan mengenai ekonomi hijau diatas, keduanya san-
gat berhubungan lurus. Keduanya dapat berjalan secara beriringan. Kunci
ekonomi hijau ialah pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Jangan sampai doktrin kejayaan masa lalu kalau Indonesia adalah negara
yang kaya akan sumber daya alam tadi menjadi pupus. Hilang sejarah
karena alam yang rusak akibat generasi saat ini tidak bijak dalam peman-
faatan sumber daya alam Indonesia.

2.5 Ekonomi Hijau dalam Kerangka Hubungan Internasional


Dalam perspektif ekonomi, hubungan antar bangsa dipandang se-
bagai bagian dari perdagangan internasional. Perdagangan internasional
telah memainkan peranan penting di semua negara. Demikian pula di
semua negara dunia ketiga –baik itu di Afrika, Asia, Timur Tengah, mau-
pun Amerika Latin- ekspor produk primer secara tradisional merupakan
bagian yang cukup urgen dan penting dari total produk nasional bruto di
masing-masing negara. Sedangkan negara maju mengandalkan ekspor
berteknologi tinggi (dengan nilai tambah tinggi terhadap produk primer)
yang ternyata memberikan hasil lebih banyak kepadanya.

Studi mengenai perdagangan internasional merupakan cabang


dari ilmu ekonomi yang paling tua, yang bisa dirunut sejak abad XVI ke-
tika bangsa-bangsa Eropa saling berlomba mendapatkan emas Spanyol.
Perkembangannya terus berlangsung semakin cepat pada abad XVIII dan
abad XIX yakni ketika struktur perekonomian modern mulai menampak-
kan bentuknya di negara-negara Barat, didorong dan dipacu oleh perkem-
bangan hubungan-hubungan perdagangan internasional yang sedemikian
pesat saat itu. Para pemikir ekonomi terbesar saat itu –antara lain Adam
Smith, David Ricardo, dan John Stuart Mill- menyajikan konsep tan tero-
bosan dasar yang masih berlaku sampai saat ini. Dewasa ini perhatian
terhadap hubungan perdagangan global menjadi semakin besar mengin-
gat pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan transportasi yang telah
menjadikan dunia ini sebagai sebuah global village.

32
Semenjak berakhirnya perang dunia kedua, isu mengenai lingkungan
hidup semakin mendapat tempat. Upaya empati terhadap lingkungan se-
makin hari semakin mengemuka seiring dengan tingginya kesadaran ma-
nusia akan dampak pembangunan terhadap lingkungan. Walaupun pada
tataran kebijakan internasional, sering terjadi isu lingkungan tidak begitu
menarik dibandingkan isu-isu lainnya seperti isu militer dan keamanan.
Isu militer –seperti perebutan klaim atas Laut Cina Selatan- menjadi isu
yang dirasa penting sebab efek yang ditimbulkan akan mempengaruhi
banyak negara dan banyak pihak. Demikian pula dengan isu-isu ekonomi
dan perdagangan, seperti Trans Pacific Partner. Sebaliknya dengan isu
lingkungan, yang melibatkan banyak aktor dengan berbagai kepentingan,
memerlukan waktu lama dalam menimbang pengaruh perubahan lingkun-
gan terhadap aktifitas dan kepentingan manusia, dan tidak berkaitan lang-
sung dengan isu yang penting seperti ekonomi atau keamanan bagi suatu
negara. Dengan demikian, persoalan lingkungan seringkali terabaikan dan
jarang dimasukkan dalam agenda pembicaraan penting antar negara (Ra-
chmawati, 2012).

Menurut Jill Steans dan Lloyd Pettiford (2009), terdapat dua pendeka-
tan utama dalam wacana mengenai lingkungan. Pendekatan yang per-
tama adalah pendekatan yang meletakkan manusia sebagai pusat dari
pembicaraan mengenai isu lingkungan atau antroposentris dan lebih ser-
ing dikenal dengan sebutan thinking green. Dalam pendekatan ini, ma-
nusia merupakan makhluk yang memiliki kewajiban untuk memelihara
lingkungannya sebagai tempat tinggalnya (Rachmawati, 2012). Pandan-
gan semacam ini kemudian meletakkan lingkungan hanya sebagai obyek
semata dan mereka para kaum penganut pendekatan ini percaya bahwa
solusi terhadap persoalan lingkungan dapat diselesaikan melalui pening-
katan pengetahuan manusia dalam bidang teknologi. Penyelesaian per-
soalan lingkungan dari pendekatan ini lebih banyak mendominasi isu ling-
kungan antar negara karena solusi yang ditawarkan dirasa lebih pragmatis
dalam kerjasama antar negara yang sarat akan kepentingan lain yang di-
anggap lebih penting (Rachmawati, 2012).

Berbeda dengan pendekatan pertama, pendekatan kedua yang ser-


ingkali disebut sebagai green thought didasarkan oleh kepercayaan bah-
wa dunia terdiri dari serangkaian ekosistem yang saling berkaitan. Untuk
itu tidak mungkin untuk membuat suatu pembagian yang nyata antara
manusia dan makhluk hidup lainnya (Steans & Pettiford, 2009). Matthew

33
Paterson (1996) menggambarkan karakteristik Green Politics dalam dua
hal, yang pertama yaitu penolakannya terhadap antroposentris, dan yang
kedua penyebab utama dari kerusakan alam adalah kemajuan pemban-
gunan ekonomi dunia selama dua abad ini. Hal ini terjadi akibat cepatnya
industrialisasi maka sumber bahan pangan manusia menipis, sementara
jumlah manusia semakin banyak dan bumi semakin tidak mampu meny-
erap limbah yang dihasilkan pabrik dan aktifitas manusia lainnya. Dengan
demikian, green thought menuntut perubahan-perubahan yang radikal
atau mendasar dalam organisasi sosiopolitik. Namun dalam hubungan
antar negara, pendekatan ini dianggap tidak mampu memberikan solusi
terhadap isu lingkungan karena solusi yang ditawarkan dianggap terlalu
ideal dengan menuntut perubahan cara berpikir manusia mengenai ling-
kungan sementara persoalan lainnya dianggap jauh lebih penting (Rach-
mawati, 2012).

Beberapa scholar studi Hubungan Internasional memiliki pendap-


atnya tersendiri mengenai karakteristik Politik Hijau. Pertama, Eckersley
(2007) yang menyatakan karakteristik Politik Hijau adalah ekosentrisme,
yaitu sebuah penolakan terhadap pandangan dunia antroposentris yang
hanya menempatkan nilai moral atas manusia menuju sebuah pandan-
gan yang juga menempatkan nilai independen atas ekosistem dan semua
makhluk hidup. Ekosentrisme melibatkan sejumlah klaim empiris tentang
suatu pandangan dunia yang secara ontologis terdiri dari relasi bukan en-
titas individu.

Semua makhluk hidup pada dasarnya terikat hubungan dengan


ekologi. Ekosentrisme juga memiliki dasar etis dengan menolak antro-
posentrisme karena dianggap mengakibatkan ke arah kemusnahan ling-
kungan. Burchill dan Linklater (1997) juga menjelaskan bahwa selain pe-
nolakan atas antroposentrisme, Andrew Dobson juga menegaskan ten-
tang argumentasi “pembatasan pertumbuhan” terhadap munculnya krisis
lingkungan yang dikaitkan dengan tiga argumentasi penting. Tiga argu-
mentasi tersebut yaitu bahwasanya solusi teknologi tidak berguna, pen-
ingkatan pertumbuhan berarti penumpukan bahaya yang mampu berakhir
pada bencana, dan permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan
pada dasarnya saling berhubungan. Penjelasan Dobson juga berkaitan
erat dengan pertumbuhan ekonomi yang dinilai sebagai sumber utama
penyebab krisis lingkungan. Sebagai contoh ialah hasil dari serangkaian
penelitian yang dipimpin oleh Donella Meadows pada simulasi komputer

34
terhadap masa depan masyarakat industri (Burchill & Linklater, 1997).

Para kaum pendukung politik hijau berkonsentrasi pada bagaimana


seharusnya struktur sosial berperan dalam pengembangan lingkungan.
Green theory ini juga selalu menonjolkan peran dari aktor-aktor non-state
yang telah berperan banyak dalam hal membangun sebuah pemerintahan
deteritorialisasi sehingga membantu menyadarkan dunia tentang penting-
nya lingkungan (Eckersley, 2007). Layaknya beberapa perspektif lain yang
telah terlebih dahulu berkembang dalam studi Hubungan Internasional,
selalu ada beberapa kaum yang hadir untuk mengkritik perspektif terse-
but. Salah satunya adalah kritik dari kaum skeptis green theory. Yaitu jika
isu lingkungan dijadikan sebagai isu utama dalam hubungan internasional,
maka kemungkinan besar kasus-kasus “High Politics” akan terabaikan.
Menurut mereka, isu-isu keamanan dan militer meiliki dimensi berbeda
yang tidak bisa disatukan dengan isu-su lingkungan (Eckersley, 2007).
Selain itu, green theory juga dianggap hanya menilai masalah interna-
sional dari sudut pandang lingkungan. Padahal persoalan yang dihadapi
dunia internasional saat ini jauh lebih kompleks daripada hanya “sekedar”
masalah lingkungan.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa


perspektif hijau atau green theory merupakan perspektif yang menjadi-
kan lingkungan sebagai isu utamanya. Walaupun isu lingkungan tidak se-
menarik isu-isu lainnya serta persoalan lingkungan seringkali terabaikan
dan jarang dimasukkan dalam agenda pembicaraan penting antar negara,
saat ini lingkungan menjadi isu yang sangat penting seiring dengan ting-
ginya kesadaran manusia akan dampak pembangunan. Lingkungan da-
pat menjadi penekan dari negara yang merasa penghargaannya terhadap
lingkungan lebih baik, kepada negara yang dirasa lebih buruk. Dengan
demikian perspektif hijau merupakan perspektif yang dapat berkembang
dalam kaitannya hubungan internasional.

35
36
Bab 3:
Arah Kebijakan dan
Strategi Pembangunan
Berkelanjutan

N
egara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan jumlah
penduduk 252.164,8 juta (proyeksi penduduk BPS, 2014)
menempatkannya sebagai negara dengan jumlah penduduk
terbanyak keempat di dunia. Sesudah negara Tiongkok, India, dan
Amerika Serikat, maka eksislah NKRI dengan penduduk yang terbentang
dari Sabang sampai Merauke, dari Alor sampai Pulau Rote.

Jumlah penduduk yang demikian besar sebenarnya wajar –mengingat


wilayah Indonesia yang luas. Namun menjadi masalah apabila terjadi
ketimpangan jumlah penduduk dibandingkan wilayah yang ditempati, dan
rendahnya kualitas sumber daya manusia –menyangkut tingkat pendidikan
dan kesehatannya.

Reformasi politik yang dijalankan Indonesia telah mengantarnya


menjadi salah satu negara demokrasi terbesar, dengan predikat tambahan
sebagai negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia. Pertumbuhan
ekonomi hampir stabil di angka 6 (enam) persen –dan tidak terpengaruh
dengan krisis ekonomi 2008- serta kemajuan lainnya secara agregat
menjadikan Indonesia masuk dalam jajaran G-20.

Berbagai keberhasilan tersebut patut disyukuri, meski terdapat

37
beberapa hal yang perlu diperjuangkan untuk diperbaiki. Artinya masih
terdapat beberapa potensi Negara untuk bisa dikembangkan lebih lanjut.
Beberapa persoalan pembangunan yang sampai sekarang masih dihadapi,
antara lain: ketimpangan pembangunan wilayah –seperti ketimpangan
antar kota dan desa, antar kabupaten/kota, antar provinsi, antara kawasan
barat, tengah dan timur. Selain itu adalah terbatasnya infrastruktur,
rendahnya kualitas SDM dan rendahnya penguasaan teknologi, serta
kurang lebih 28,7 juta jiwa atau 11,25% penduduk Indonesia masih berada
dibawah garis kemiskinan.

Persoalan-persoalan pembangunan merupakan tantangan yang harus


dihadapi oleh pemerintahan sekarang. Pasangan Presiden/Wapres (bapak
Joko Widodo/bapak Jusuf Kalla) berupaya mewujudkan visi pembangunan
nasional dengan tema “Terwujudnya Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri
dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong” melalui perumusan 9
(sembilan) agenda prioritas yang disebut NAWA CITA.

Nawa cita menjadi tuntunan yang harus dipedomani oleh setiap


Kementerian/ Lembaga untuk direalisasikan dalam kegiatan yang bersifat
teknis. Masa depan pemerintahan Kabinet Kerja terletak pada pencapaian
yang telah digariskan dalam nawa-cita seperti tersebut di atas. Turunan
dari nawa cita adalah Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional atau RPJMN 2015-2019. Dalam bab ini akan dijelaskan kaitan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN dengan
pembangunan berkelanjutan.

3.1 Nawa Cita


Sebelum dikaitkan dengan agenda prioritas Presiden/ Wapres untuk
5 (lima) tahun ke depan, perlu disampaikan bahwa Indonesia telah sangat
terlibat dalam pembangunan berkelanjutan terutama karena Presiden
keenam Indonesia –bapak DR Susilo Bambang Yudhoyono- bersama
Perdana Menteri Inggris David Cameron dan Presiden Liberia Ellen
Johnson Sirleaf menjadi Co-chair HLPEP Post 2015 Development Agenda
sebagai masukan kepada Sekretaris Jenderal PBB.

Kemudian selain itu Menteri PPN/ Kepala Bappenas menjadi Co-


Chair Global Partnership yang berhasil menetapkan penggunaan Post
2015 sebagai agenda pembangunan yang akan diadopsi dalam global
partnership. Indonesia juga menjadi anggota “Open Working Group” yang

38
terdiri dari 30 negara penyusun masukan dari negara-negara dunia untuk
Agenda Pembangunan Pasca 2015, yang kemudian dibawa ke forum Asia
Tenggara (ASEAN) sebagai masukan.

Selanjutnya dibahas mengenai agenda prioritas Presiden/ Wapres


untuk 5 (lima) tahun ke depan yang disebut dengan Nawa Cita. Pasangan
Joko Widodo dan Muh. Jusuf Kalla, menetapkan 9 (Sembilan) agenda
prioritas yang disebut dengan Nawa Cita. Program ini digagas untuk
menunjukkan prioritas jalan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat
secara politik, serta mandiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian
dalam kebudayaan.  

Inti dari sembilan program tersebut adalah sebagai berikut, (1)


Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan
memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar
negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan
pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional
dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim; (2) Membuat pemerintah
tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih,
efektif, demokratis, dan terpercaya, dengan memberikan prioritas pada
upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi
dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem
kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan; (3) Membangun Indonesia
dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam
kerangka negara kesatuan; (4) Menolak negara lemah dengan melakukan
reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat,
dan tepercaya.

Kemudian berikutnya (5) Meningkatkan kualitas hidup manusia


Indonesia melalui peningkatan kualitas pendidikan dan pelatihan dengan
program “Indonesia Pintar”; serta peningkatan kesejahteraan masyarakat
dengan program “Indonesia Kerja” dan “Indonesia Sejahtera” dengan
mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar,
program rumah kampung deret atau rumah susun murah yang disubsidi
serta jaminan sosial untuk rakyat di tahun 2019; (6) Meningkatkan
produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga
bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia
lainnya; (7) Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan
sektor-sektor strategis ekonomi domestik; (8) Melakukan revolusi karakter

39
bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional
dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang
menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran
sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air,
semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan
Indonesia; (9) Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi
sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan
dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.

Dari kesembilan agenda atau tujuan politis pemerintah di atas, memang


tidak spesifik menyebut kata “lingkungan” dan/ atau “berkelanjutan”, namun
pada tujuan kelima “Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia” dapat
dimasukkan prinsip-prinsip ekonomi hijau. Mengingat kualitas manusia
dapat diraih salahsatunya melalui kesehatan lingkungan, dan melakukan
pembangunan berkelanjutan. Selain itu pada Nawa Cita keenam yaitu
bagian meningkatkan daya saing dapat dilakukan dengan membangun
sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing; mening-katkan
penguasaan dan pemanfaatan iptek melalui penelitian, pengembangan,
dan penerapan menuju inovasi secara berkelanjutan.

Agar berkelanjutan, pertumbuhan yang tinggi tersebut harus bersifat


inklusif, serta tetap menjaga kestabilan ekonomi. Upaya mencapai tujuan
tersebut memerlukan penerapan strategi yang cermat dan tepat, serta
memerlukan optimalisasi pemanfaatan seluruh potensi ekonomi yang ada.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkelanjutan dan inklusif akan dicapai
dengan dukungan reformasi yang menyeluruh (comprehensive reform).

3.2 RPJMN 2015-2019


Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional –atau disingkat
RPJMN- tahun 2015-2019 merupakan dokumen strategis yang memuat
rencana pembangunan yang harus dilakukan pemerintah untuk 5 (lima)
tahun ke depan yang menjadi acuan resmi bagi pemerintah daerah dan
pemangku kepentingan lainnya dalam melaksanakan pembangunan.

Dalam RPJMN Buku II disebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan


diartikan sebagai: (i) Pembangunan yang menjaga peningkatan
kesejahteraan ekonomi masyarakat secara berkesinambungan; (ii)
Pembangunan yang menjaga keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat;
dan (iii) Pembangunan yang menjaga kualitas lingkungan hidup

40
masyarakat dengan tata kelola pelaksanaan pembangunan yang mampu
menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi
berikutnya.

Selain itu disebutkan dalan RPJMN 2015-2019 mengenai 3 (tiga)


kelemahan pokok bangsa: Dalam rangka mencapai tujuan nasional, bangsa
Indonesia dihadapkan pada tiga masalah pokok, yakni: (1) merosotnya
kewibawaan negara; (2) melemahnya sendi-sendi perekonomian
nasional; dan (3) merebaknya intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.
Untuk bagian perekonomian bangsa termasuk di dalamnya adalah
belum terselesaikannya persoalan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan
kesenjangan antarwilayah.

Di awal telah disebutkan bahwa beberapa persoalan pembangunan


yang sampai sekarang masih dihadapi, antara lain: ketimpangan
pembangunan wilayah –seperti ketimpangan antar kota dan desa, antar
kabupaten/kota, antar provinsi, antara kawasan barat, tengah dan timur.
Selain itu adalah terbatasnya infrastruktur, rendahnya kualitas SDM dan
rendahnya penguasaan teknologi, serta kurang lebih 28,7 juta jiwa atau
11,25% penduduk Indonesia masih berada dibawah garis kemiskinan.
Kembali ke 3 (tiga) hal yang perlu mendapat perhatian dalam konteks
berbangsa dan bernegara, maka penjelasannya adalah sebagai berikut.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut indikator kesenjangan di


Indonesia –dengan memakai koefisien/ indeks Gini- sejak tahun 2011 telah
menembus angka 0,41 (walaupun di akhir 2015 menyusut menjadi 0,406).
Situasi yang kontras mengingat dalam 3 (tiga) tahun terakhir perekonomian
Indonesia selalu tumbuh di atas 6 persen. Kemudian mengenai urbanisasi,
pada tahun 2013 komposisi penduduk kota dan desa di Indonesia nyaris
berimbang, yakni 50,15 persen penduduk Indonesia berada di desa dan
49,85 persen di kota. Diperkirakan pada tahun 2015 jumlah penduduk kota
akan melewati penduduk desa. Jika trend ini berlanjut, maka pada tahun
2045 –yaitu pada momen 100 tahun kemerdekaan- sekitar 86 persen
penduduk tinggal di kota.

Terkait mengenai APBN, selama ini permasalahan defisit neraca


perdagangan yang tinggi (tahun 2012 dan 2013) menjadi semakin sulit
karena subsidi energi yang terlalu besar. Porsi anggaran subsidi BBM
yang besar dan alokasi pembayaran utang yang tinggi tentunya sangat

41
memberatkan anggaran negara dan membuat posisi ruang fiskal anggaran
menjadi sempit.

Persoalan-persoalan ini adalah tantangan yang harus dihadapi


oleh pemerintahan sekarang. Di atas telah disebutkan bahwa pasangan
Presiden/Wapres (bapak Joko Widodo/bapak Jusuf Kalla) berupaya
mewujudkan visi pembangunan nasional dengan tema “Terwujudnya
Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian Berlandaskan
Gotong Royong” melalui perumusan 9 (sembilan) agenda prioritas yang
disebut Nawa Cita. Kemudian apabila menilik SDGs salahsatu poinnya
adalah “Menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan
bagi semua orang di segala usia” yang sangat berkaitan dengan upaya
mendorong percepatan pengembangan kualitas manusia.

Setelah permasalahan skup nasional, bagaimana dengan persoalan


di lingkup global? Setidaknya terdapat 4 (empat) permasalahan global.
Pertama adalah kemiskinan dan kesenjangan, yang kedua pertumbuhan
ekonomi yang stagnan, kemudian ketiga perubahan iklim dan masalah
lingkungan hidup (pangan, dan air), sedangkan keempat target MDGs
yang belum tercapai.

Terkait kemiskinan, saat ini jumlah penduduk miskin di dunia masih


besar yaitu 12,7 persen dengan kriteria miskin penghasilan perkapita 1,9
dolar US per hari –versi Bank Dunia. Dengan memakai Bank Dunia tersebut
maka untuk skala Indonesia jumlahnya mencapai 17 persen. Apabila
memakai kriteria BPS penduduk miskin Indonesia sebesar 11,2 persen
pada tahun 2014. Kesenjangan di level global meningkat, sedangkan
Indonesia pada tahun 2014 menurun menjadi 40,59. Penurunan tersebut
merupakan sebuah prestasi, mengingat selama 10 tahun mengalami
kenaikan.

Mengenai pertumbuhan ekonomi, pada skala dunia mampu tumbuh


sebesar 2,5 persen pada tahun 2012, sedangkan Indonesia lebih tinggi
yaitu 4,7 persen. Indonesia pertumbuhan ekonominya cenderung stagnan
dan bertumpu pada sektor berbasis sumber daya alam.

3.2.1 Pembangunan Berkelanjutan dalam RPJMN


Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-

42
2019 disebutkan definisi pembangunan bahwa “Pembangunan pada
hakekatnya adalah upaya sistematis dan terencana oleh masing-masing
maupun seluruh komponen bangsa untuk mengubah suatu keadaan
menjadi keadaan yang lebih baik dengan memanfaatkan berbagai sumber
daya yang tersedia secara optimal, efisien, efektif dan akuntabel, dengan
tujuan akhir untuk meningkatkan kualitas hidup manusia dan masyarakat
secara berkelanjutan”.

Dengan demikian aspek keberlanjutan telah diakomodasi pada


tahap awal peristilahan pembangunan di dalam dokumen perencanaan
pembangunan. Selaras dengan hal tersebut, pemerintah menandaskan
dalam RPJMN bahwa pembangunan lima tahun ke depan juga harus
makin mengarah kepada kondisi peningkatan kesejahteraan berkelanjutan.
Artinya warga negara berkepribadian dan berjiwa gotong royong, dan
masyarakatnya memiliki keharmonisan antar kelompok sosial, dan postur
perekonomian makin mencerminkan pertumbuhan yang berkualitas,
yakni bersifat inklusif, berbasis luas, berlandaskan keunggulan sumber
daya manusia serta kemampuan iptek sambil bergerak menuju kepada
keseimbangan antarsektor ekonomi dan antarwilayah, serta makin
mencerminkan keharmonisan antara manusia dan lingkungan.

Pemerintah mengakui bahwa banyak masalah dan tantangan pokok


dalam pembangunan. Masalah dan tantangan yang akan dihadapi pada
periode 2015-2019 adalah sebagai berikut:
1. Ketersediaan infrastruktur untuk mendukung peningkatan kemajuan
ekonomi sangat terbatas dan harus dapat ditingkatkan. Keterbatasan
ketersediaan infrastruktur selama ini merupakan hambatan utama
untuk memanfaatkan peluang dalam peningkatan investasi serta
menyebabkan mahalnya biaya logistik.
2. Penguatan struktur ekonomi, berupa penguatan sektor primer,
sekunder dan tersier secara terpadu, dengan sektor sekunder menjadi
penggerak utama perubahan tersebut. Kemajuan sektor industri
pengolahan masih berjalan lambat. Padahal agar perekonomian
bergerak lebih maju sektor industri pengolahan harus menjadi motor
penggerak.
3. Beberapa peraturan perundang-undangan yang ada, pusat dan
daerah, telah menjadi kendala untuk mendorong perekonomian ke arah
yang lebih maju karena saling tumpang tindih dan terjadi kontradiksi
antara yang satu dengan yang lain. Peraturan perundangan tersebut

43
perlu direformasi.
4. Penerapan dan penguasaan teknologi juga masih sangat terbatas.
Hal ini mengakibatkan ongkos untuk menghasilkan suatu produk
menjadi mahal dan kualitas barang serta produk inovatif yang
dihasilkan sangat terbatas, sehingga daya saing usaha tidak seperti
yang diharapkan.
5. Kemampuan untuk membiayai pembangunan terbatas. Hal ini
terkait dengan upaya untuk menggali sumber-sumber penerimaan
masih belum optimal. Disamping itu anggaran yang digunakan
untuk hal-hal yang tidak produktif seperti subsidi BBM masih sangat
besar. Menggali sumber-sumber penerimaan dan mengefektifkan
pengeluaran pembangunan menjadi tantangan yang harus dihadapi.

Dalam hal tantangan pembangunan dewasa ini, pemerintah


mengakui bahwa pembangunan berkelanjutan menjadi salah satu bagian
dari tantangan-tantangan tersebut. Disebutkan bahwa tantangan utama
pembangunan yang kedua adalah “Memperkuat sendi perekonomian
bangsa, tantangannya adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkelanjutan, percepatan pemerataan dan keadilan, serta keberlanjutan
pembangunan”. Selengkapnya ketiga tantangan utama pembangunan
tersebut adalah dapat dikelompokkan atas: (1) dalam rangka meningkatkan
wibawa negara, tantangan utama pembangunan mencakup peningkatan
stabilitas dan keamanan negara, pembangunan tata kelola untuk
menciptakan birokrasi yang efektif dan efisien, serta pemberantasan
korupsi; (2) dalam rangka memperkuat sendi perekonomian bangsa,
tantangan utama pembangunan adalah pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan berkelanjutan, percepatan pemerataan dan keadilan, serta
keberlanjutan pembangunan; (3) dalam rangka memperbaiki krisis
kepribadian bangsa termasuk intoleransi, tantangan utama pembangunan
mencakup peningkatan kualitas sumberdaya manusia, pengurangan
kesenjangan antarwilayah, dan percepatan pembangunan kelautan.

Demikian pula mengenai pengelolaan kelautan, diupayakan


membangun ekonomi kelautan secara terpadu dengan mengoptimalkan
pemanfaatan sumber kekayaan laut secara berkelanjutan. Maka dapat
ditengarai bahwa agenda satu tahun pertama dalam Pembangunan
Jangka Menengah 2015-2019, juga dimaksudkan sebagai upaya
membangun fondasi untuk melakukan akselerasi yang berkelanjutan
pada tahun-tahun berikutnya, disamping melayani kebutuhan-kebutuhan

44
dasar masyarakat yang tergolong mendesak. Dengan berlandaskan
fondasi yang lebih kuat, pembangunan pada tahun-tahun berikutnya dapat
dilaksanakan dengan lancar. Strategi pembangunan jangka menengah,
termasuk di dalamnya strategi pada tahun pertama, adalah strategi untuk
menghasilkan pertumbuhan bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat
secara berkelanjutan.

Dalam RPJMN 2015-2019 disebutkan juga bahwa ketimpangan antar


wilayah masih terjadi dengan porsi PDB di Jawa terhadap PDB nasional
yang relatif tinggi dan cenderung tidak berubah dari tahun 2008 (57,9
persen) ke tahun 2013 (58 persen). Indikator sosial, seperti angka kematian
ibu melahirkan masih cukup tinggi (hasil survei Sensus Penduduk tahun
2010 sebesar 346 per 100.000 kelahiran hidup) dan prevalensi kekurangan
gizi pada anak balita sebesar 19,6 persen. Kondisi ini mencerminkan
permasalahan yang masih dihadapi dalam pembangunan sumberdaya
manusia akibat tingkat kesejahteraan masyarakat yang belum merata.

Pertumbuhan ekonomi yang stabil tersebut tidak selalu berbanding


lurus dengan kondisi lingkungan hidup. Pembangunan ekonomi Indonesia
masih bertumpu pada sumbangan sumberdaya alam, yakni sebesar kurang
lebih 25% Produk Domestik Bruto (PDB), khususnya minyak, sumberdaya
mineral, dan hutan, menyebabkan deplesi sumberdaya alam dan degradasi
lingkungan. Di sisi lain, kualitas lingkungan hidup yang dicerminkan pada
kualitas air, udara dan lahan juga masih rendah. Sebagai cerminan, indeks
kualitas lingkungan hidup (IKLH) yang dipergunakan untuk mengukur
kualitas lingkungan hidup masih menunjukkan nilai sebesar 64,21 pada
tahun 2012.

Untuk itu, pertumbuhan ekonomi yang terus ditingkatkan harus dapat


menggunakan sumberdaya alam secara efisien agar tidak menguras
cadangan sumberdaya alam, dipergunakan untuk mencapai kemakmuran
yang merata, tidak menyebabkan masalah lingkungan hidup, sehingga
dapat menjaga kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Pengarusutamaan pembangunan berkelanjutan yang ingin
dicapai dalam 5 (lima) tahun ke depan adalah:
1. Meningkatnya pertumbuhan ekonomi untuk mendukung kemandirian
ekonomi agar keberlanjutan kehidupan sosial masyarakat dan kese-
jahteraan ekonomi masyarakat terjaga sebagaimana tercermin pada
sasaran pokok bidang ekonomi dan bidang sosial.

45
2. Meningkatnya penerapan peduli alam dan lingkungan, sehingga da-
pat meningkatkan kualitas lingkungan hidup, yang tercermin pada
membaiknya indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH).
3. Membaiknya tata kelola pembangunan berkelanjutan, yang tercer-
min pada meningkatnya kualitas pelayanan dasar, pelayanan publik,
serta menurunnya tingkat korupsi.

Sedangkan arah kebijakan dan strategi pembangunan berkelanjutan


adalah
1. Meningkatkan upaya keberlanjutan pembangunan ekonomi, melalui
strategi: (i) peningkatan pertumbuhan ekonomi yang disertai pengu-
rangan kesejangan antar wilayah; (ii) peningkatan tingkat pendapa-
tan (per kapita) yang disertai pengurangan kesenjangan pendapa-
tan antar kelompok; (iii) peningkatan lapangan pekerjaan sehingga
tingkat pengangguran menurun; (iv) penurunan tingkat kemiskinan
sehingga jumlah penduduk miskin berkurang; (v) ketahanan pangan
termasuk stabilisasi harga sehingga tingkat inflasi rendah; (vi) ket-
ahanan energi, utamanya peningkatan akses masyarakat terhadap
energi, peningkatan efisiensi dan bauran energi nasional; (vii) pen-
ingkatan akses transportasi/mobilitas masyarakat; (viii) dan penera-
pan pola produksi/kegiatan ekonomi dan pola konsumsi hemat (tidak
boros) dan ramah lingkungan.

2. Meningkatkan upaya keberlanjutan pembangunan sosial, melalui


strategi: (i) peningkatan keterjangkauan layanan dan akses pen-
didikan, kesehatan, perumahan, pelayanan air bersih dan sanitasi
masyarakat; (ii) peningkatan pengendalian pertumbuhan penduduk;
(iii) peningkatan kesetaraan gender untuk akses/kesempatan pen-
didikan, kegiatan ekonomi dan keterwakilan perempuan dalam or-
ganisasi; (iv) pengendalian kekerasan terhadap anak, perkelahian,
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT); (v) peningkatan pelaksa-
naan demokrasi (indek demokrasi); dan (vi) peningkatan keamanan
yang tercermin dalam rendahnya konflik horisonal dan rendahnya
tingkat kriminalitas.

3. Meningkatkan upaya keberlanjutan pembangunan lingkungan hidup,


melalui strategi: (i) peningkatan kualitas air, udara dan tanah yang
tercermin dalam peningkatan skor IKLH; (ii) pengembangan sistem
neraca sumber daya alam dan lingkungan hidup; (iii) penurunan emi-

46
si Gas Rumah Kaca (GRK); (iv) penurunan tingkat deforestasi dan
kebakaran hutan, meningkatnya tutupan hutan (forest cover) serta
penjagaan terhadap keberadaan keanekaragaman hayati; (v) pen-
gendalian pencemaran laut, pesisir, sungai, dan danau; (vi) pemeli-
haraan terhadap sumber-sumber mata air dan Daerah Aliran Sungai
(DAS), dan (vii) pengurangan limbah padat dan Bahan Berbahaya
dan Beracun (B3).

4. Meningkatkan tata kelola pembangunan yang secara transparan,


partisipatif, inklusif dan peningkatan standar pelayanan minimum di
semua bidang dan wilayah untuk mendukung terlaksananya pem-
bangunan berkelanjutan di berbagai bidang.

3.2.2 Perkembangan Pembangunan Pilar Lingkungan Hidup


Pembangunan berkelanjutan telah tercantum di dalam TO JON
2004-2025 sebagai salah satu misi pembangunan jangka panjang,
yaitu visi ke-6 Indonesia Asri dan Lestari. Selengkapnya adalah sebagai
berikut “Misi: Mewujudkan Indonesia Asri dan Lestari, yang dilaksanakan
melalui (i) Memperbaiki pengelolaan, pelaksanaan pembangunan yang
dapat menjaga keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan; (ii)
Keberadaan dan kegunaan sumberdaya alam lingkungan hidup dengan
tetap menjaga fungsi, daya dukung dan kenyamanan dalam kehidupan
pada masa kini dan masa depan melalui pemanfaatan ruang serasi antara
penggunaan untuk permukiman, kegiatan sosial ekonomi, dan upaya
konservasi, meningkatkan pemanfaatan ekonomi sumberdaya alam dan
lingkungan yang berkesinambungan; (iii)memperbaiki pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup untuk mendukung kualitas kehidupan,
memberikan keindahan dan kenyamanan kehidupan serta meningkatkan
pemeliharaan dan pemanfaatan keanekaragaman hayati sebagai modal
dasar pembangunan”.

Selanjutnya di dalam RPJMN 2010-2014 telah dijabarkan ke dalam


2 (dua) langkah konkrit yaitu (i) pembangunan berkelanjutan dijadikan
sebagai pengarusutamaan pembangunan, (ii) perubahan iklim sebagai
program lintas bidang. Sebagai arus utama pembangunan maka berarti
setiap bidang pembangunan perlu menerapkan prinsip pembangunan
berkelanjutan, yaitu efisiensi dalam penggunaan sumber daya dan
memperhatikan dampak terhadap lingkungan. Namun demikian dengan

47
belum adanya ukuran yang dapat menunjukkan tingkat penerapan
prinsip keberlanjutan pada suatu bidang pembangunan ini, maka proses
pengarusutamaan masih belum konkrit.

Sementara itu program lintas bidang perubahan iklim sudah lebih


jelas dan konkrit. Sebagaimana diperkirakan bahwa perubahan iklim yang
disebabkan oleh adanya pemanasan global telah dirasakan pengaruhnya
terhadap perubahan cuaca dan iklim, yang berpengaruh pada sektor
pertanian, khususnya dalam rangka mengamankan produksi pangan
pokok serta pengaruhnya pada nelayan dan pada perikanan tangkap.
Dampak lain adalah semakin sering timbulnya bencana dan kekeringan.

Untuk mengatasi dan menghadapi hal hal tersebut telah dirumuskan


kegiatan yang bersifat pencegahan (mitigasi) dan bersifat penyesuaian
(adaptasi) dengan perubahan iklim. Sehubungan dengan hal tersebut di
dalam RPJMN 2010-2014 terdapat matriks kegiatan lintas bidang untuk
perubahan iklim.

Untuk kaitannya dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah


Nasional tahun 2015-2019, beberapa agenda SDGs masuk di 4 (empat)
pilar yaitu Pilar pembangunan sosial, Pilar pembangunan ekonomi, Pilar
pembangunan lingkungan hidup, dan Pilar tata kelola atau governance.
Total SDGs meliputi 17 goals, 109 targets, dan 63 MOI atau means of
implementation.

Tabel di bawah ini menghubungkan beberapa goals dalam SDGs dan


Means of Implementation (MOI) serta kaitannya dengan prioritas nasional

48
Tabel 1: Agenda SDGs dengan Prioritas RPJMN

No Goals Tar-get MOI Prioritas Nasional

1 Mengakhiri segala bentuk 5 3 • P e n a n g g u l a n g a n


kemiskinan di manapun kemiskinan penin-
(End poverty in all its forms gatkan ksejahter-
everywhere) aan masyarakat
melalui penghidu-
pan berkelanjutan
• Peningkatan kes-
ejahteraan rakyat
marjinal

2 Mengakhiri kelaparan, 5 3 Peningkatan kedaula-


mencapai ketahanan pan- tan pangan
gan dan meningkatkan
gizi, serta mendorong per-
tanian yang berkelanjutan
(End hunger achieve food
security and improved nu-
trition and promote sus-
tainable agriculture)

3 Menjamin kehidupan yang 9 4 Pelaksanaan program


sehat dan mendorong Indonesia sehat
kesejahteraan bagi se-
mua orang di segala usia
(Ensure healthy lives and
promote well being for all
at all ages)

49
No Goals Tar-get MOI Prioritas Nasional

4 Menjamin pendidikan 7 3 Pelaksanaan program


yang inklusif dan berkea- Indonesia pintar
dilan serta mendorong ke­
sempatan belajar seumur
hidup bagi semua orang
(Ensure inclusive and eq-
uitable quality education
and promote lifelong learn-
ing opportunities for all)

5 Menjamin kesetaraan gen- 6 3 Melindungi anak,


der serta memberdayakan perem­puan dan kelom-
seluruh wanita dan perem- pok marjinal
puan (Achieve gender
equality and empower all
women and girls).

6 Menjamin ketersediaan 6 2 Ketahanan air


dan pengelolaan air serta
sanitasi yang berkelanjutan
bagi semua orang (Ensure
availability and sustainable
management of water and
sanitation for all)

7 Menjamin akses energi 3 2 Kedaulatan energi


yang terjangkau, terjamin,
berkelanjutan dan modern
bagi semua orang (En-
sure access to affordable,
reliable, sustainable and
modern energy for all)

50
No Goals Tar-get MOI Prioritas Nasional

8 Mendorong pertumbu- 10 2 • Akselerasi pertum-


han ekonomi yang terus- buhan ekonomi na-
menerus, inklusif, dan sional
berkelanjutan, serta kes- • Peningkatan daya
empatan kerja penuh dan saing tenaga kerja
produk dan pekerjaan • Membangun konek-
yang layak bagi semua tivitas masional
orang (Promote sustained, untuk mencapai ke-
inclusive and sustainable seimbangan pem-
economic growth, full and bangunan
productive employment • Membangun trans-
and decent work for all) portasi umum mas-
sal perkotaan
• Penguatan investa-
9 Membangun infrastruktur 5 3
si
yang berketahanan, men-
• Akselerasi industri
dorong industrialisasi yang
manufaktur
inklusif dan berkelanjutan
• Peningkatan ka-
serta membina inovasi
pasitas inovasi dan
(Build resilent infrastruc-
teknologi
ture, promote inclusive
and sustainable industrial-
ization and foster innova-
tion).

51
No Goals Tar-get MOI Prioritas Nasional

10 Mengurangi kesenjangan 7 3 • Pengembangan ka-


di dalam dan antar negara wasan perbatasan
(Reduce inequality within • P e m b a n g u n a n
and among countries). daerah tertinggal
• Pemerataan pem-
bagnunan antar
wilayah
• Menjamin kepastian
hukum hak kepemi-
likan tanah

11 Menjadikan kota dan pe- 7 3 Membangun peruma-


mukiman manusia inklusif, han dan kawasan per-
aman, berketahanan dan mukiman
berkelanjutan (Make cities
and human settlemens in-
clusive, safe, resilient and
sustainable).

12 Menjamin pola produksi 8 3 • Peningkatan agroin-


dan konsumsi yang dustri, hasil hutan
berkelanjutan (Ensure kayu, perinakan
sustainable consumption dan hasil tambang
and production patterns). berkelanjutan
• Perbaikan kualitas
lingkungan (ter-
masuk perilaku ra-
mah lingkungan)

52
No Goals Tar-get MOI Prioritas Nasional

13 Mengambil tindakan 3 2 Penanganan peruba-


mendesak untuk memer- han iklim dan penyedi-
angi perubahan iklim dan aan informasi iklim dan
dampaknya (Take urgent kebencanaan
action to combat climate
change and its impacts).

14 Melestarikan dan meng- 7 3 Pengembangan ekono-


gunakan samudera, lau- mi maritim dan kelau-
tan serta sumber daya tan:
laut secara berkelanju- i. Meningkatkan dan
tan untuk pembangunan memeprtahankan
berkelanjutan (Conserve kulaitas daya du-
and sustainability use the kung dan kelesta­
oceans, seas and marine rian fungsi lingkun-
resources for sustainable gan laut.
development). ii. Meningkatkan har-
kat hidup nelayan
dan masyarakat pe-
sisir

53
No Goals Tar-get MOI Prioritas Nasional

15 Melindungi, memperbarui, 9 3 • Pelestarian SDA,


serta mendorong peng- lingkungan hidup
gunaan ekosistem dara- dan pengelolaan
tan yang berkelanjutan, bencana:
mengelola hutan secara i. Peningkata kon-
berkelanjutan, memerangi servasi dan tata
penggurunan, menghen­ kelola hutan.
tikan dan memulihkan ii. Perbaikan kulaitas
degradasi tanah, serta lingkungan hidup
menghentikan kerugian iii. Pelestarian dan
keanekaragaman hayati pemanfaatan Ke-
(Protect, restore and pro- hati
mote sustainable use of • Pemberantasan tin-
terrestrial ecosystems, dakan penebangan
sustainably manage for- liar dan penamban-
est, combat desertification, gan liar
and halt and reverse land
degradation and halt biodi-
versity loss)

54
No Goals Tar-get MOI Prioritas Nasional

16 Mendorong masyarakat 10 2 • Meningkatkan kuali-


yang damai dan inklusif tas perlindungan
untuk pembangunan ber­ war­­ga negara Indo-
ke­lanjutan, menyediakan nesia.
akses keadilan bagi semua • Peningkatan pene-
orang, serta membangun gakan hukum yang
institusi yang efektif, akunt- berkeadilan.
abel, dan inklusif di seluruh • Membangun trans-
tingkatan (Protect peacefull paransi dan akunt-
and inclusive societies for abilitas kinerja pe-
sustainable development, merintahan
provide access to justice
for all and build effective,
accountable and inclusive
institutions at all levels).

17 Memperkuat cara-cara im- - 19 • Pelaksanaan politik


plementasi dan merevital- LN yang bebas aktif
isasi kemitraan global untuk • Memperkuat peran
pembangunan berkelanjutan dalam krjasama global
(Strengthen the MOI and re- dan regional
vitalize the global partnership • Peningaktan kapasitas
for sustainable development: inovasi dan teknologi
• Finance -5 • Peningkatan kulaitas
• Technology -3 data dan informasi
• Capacity building -1 • Penguatan sektor
• Trade -3 keuangan
• Policy and instituitonal co-
herence -3
• Multi stakeholder partner-
ship -2
• Data, monitoring and ac-
countability -2)

55
Untuk target beserta MOI masing-masing pilar, maka pilar
pembangunan sosial mencapai 45 target, dan 21 MOI, sedangkan pilar
pembangunan ekonomi targetnya 33 dengan MOI sejumlah 13, pilar
pembangunan lingkungan hidup targetnya 19 dan MOI sejumlah 8,
pilar tata kelola/ governance dan MOI jumlah target adalah 10 dan MOI
sebanyak 21.

Berdasarkan hasil analisis ketersediaan data nasional yang pernah


dipaparkan Bappenas (2015) disimpulkan bahwa kesetersediaan data dan
informasi calon indikator pembangunan berkelanjutan (PB) yang tersedia
dalam RPJMN dan Rencana Strategis (Renstra) K/L tergolong “cukup
baik” untuk kemudian dipilih yang tepat dan membangun yang baru.

Pengalaman dalam evaluasi MDGs selama ini, sebanyak 63


indikator MDGs sudah tersedia dalam data base untuk periode 2001-
2015. Sedangkan pada tingkat kabupaten/ kota baru teredia sebanyak
34 indiaktor MDGs untuk periode 2011-2013 yang bersumber BPS.
Menurut kajian BPS, dari 252 kandidat indikator PB atau pembangunan
berkelanjutan, sebanyak 169 indikator memungkinan untuk dikumpulkan,
dan sebanyak 51 indikator perlu dikembangkan lebih lanjut.

Pemilihan indikator dan pengembangan terutama diprioritaskan


pertama yang sejalan dengan agenda pembangunan nasional yang
dirumuskan pada RPJMN dan Renstra Kementerian/ Lembaga, kedua
yang sudah tersedia untuk pelaksanaan tahun 2016. Kesepakatan PBB
untuk indikator PB, serta kejelasan definisi operasional sebagai dasar
keterbandingan antar negara, ntar provinsi dan antar kabupaten/ kota.

Untuk perencanaan dan pelaksanaan SDGs diperlukan data


dan informasi yang akurat dan memadai dengan melibatkan berbagai
pemangku kepentingan di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/ kota,
karena merekalah pemilik data dan informasi yang sesungguhnya.

3.3 Pengembangan Sistem Indikator dan Pendataan


Data mengenai kualitas lingkungan yang tersedia saat ini masih sangat
terbatas dan terfragmaentasi. Beberapa data tersebut antara lain meliputi:
data kualitas udara; data kualitas air/air sunga yang masih dikumpulkan
oleh K/L terkait sebagai bagian dari pelaksanaan kebijakan dan program
mereka. Langkah pengumpulan data terpadu untuk sektor-sektor lain

56
dalam pilar sosial dan ilar ekonomi sudah dilakukan. Sebagai contoh,
pengumpulan data untuk pembangunan manusia sudah dilakukan secara
rutin, terutama untuk data pendidikan, kesehatan dan kependudukan.
Demikian pula data konsumsi rumah tangga yang menjadi dasar untuk
mengukur kesejahteraan keluarga juga sudah dikumpulkan melalui
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas). Susenas sudah dilakukan
sejak tahun 1983 dan mengalami penyempurnaan secara berkala dan
rutin. Data untuk mengukur pengangguran juga sudah dilakukan dengan
pelaksanaan Survei Tenaga kerja Nasional (Sakernas).

Demikian pula data produksi pertanian sudah dilakukan melalui


perkiraan produksi setiap semester dan disempurakan sesuai dengan
perkembangan di lapangan. Selanjutnya, data untuk potensi desa
(PODES) juga sudah dilakukan secara rutin. Data ekonomi makro juga
dipantau setiap triwulan dengan adanya data pertumbuhan PDB dan PDB
setiap triwulan. Sementara itu, data lingkungan belum dilakukan secara
terstrukur oleh BPS.

Selama ini data yang tersedia untuk ligkungan hidup antara lain
data Sox dan Nox untk mengukur kualitas udara. Pengumpulan data
dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan BMKG. Selanjutnya,
data pencemaran air sungai, dilakukan oleh Kementerian Pekerjaan
Umum. Perkembangan yang terbaru adalah, Kementerian Lingkungan
Hidup dalam 3 tahun terakhir sudah mengumpulkan data untuk mengukur
Indeks Kulaitas Lingkungan Hidup/IKLH. Pengumpulan data ini akan
terus disempurnakan, namun demikian menyongsong aan diterapkannya
pembangunan berkelanjutan secara lebih komprehensif dan mengupayakan
adanya internalisasi kualitas lingkungan ke dalam pembangunan ekonomi
dan sosial, maka system data untuk mengukur kualitas lingkungan hidup
perlu dilakukan dengan lebih baik.

3.3.1. Data Kualitas Lingkungan dan Pencatatannya


Terdapat beberapa manfaat data dan informasi lingkungan hidup.
Pengembangan data dan indikator untuk kualitas lingkungan hidup
berguna untuk:

a. Memahami secara mudah dan terukur kondisi/perbedaan antara


ekonomi yang belum hijau dengan yang hijau, sehingga dapat men-
jadi pedoman untuk merubah perilaku. Dengan mengetahui ukuran

57
bahwa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakatdan pelaku usaha
berdampak buruk terhadap lingkungan, maka akan dapat dipantau
perilaku mereka dan dampaknya terhadap lingkungan.

b. Data dan indikator hijau juga dapat mengukur internalisasi perilaku


ramah lingkungan dan penerapa prinsip berkelanjutan ke dalam ber-
bagai sektor. Dengan tersedianya ukuran dan indikator serta terkum-
pulnya data maka pelaku kegiatan akan dapat melakukan upaya un-
tuk mencegah dan mentor agar kegiatan mereka tidak memberikan
dampak buruk terhaap lingkungan hidup. Dengan demikian, maka
pencegahan dapat dilakukan o;eh masing-masing pelaku usaha dan
anggota masyarakat.

c. Dengan adanya data dan indikator yang sama untuk semua pelaku,
maka dapat dilakukan penjumlahan, sehingga secara agregat kuali-
tas lingkungan hidup dapat diketahui dan dipantau secara total. Apa-
bila terdapat perbedaan ukuran dan cara mengukur kualitas lingkun-
gan hidup maka akan mempersulit untuk melakukan pengendalian
dan penanganan kualitas lingkungan hidup ecara menyeluruh.

d. Adanya daa dan indikator yang dikumpulkan secara rutin, akan mem-
batu pemantauan perkembangan pelaksanaan pengelolaan kualitas
lingkungan hidup. Data dan informasi yang dikumpulkan akan dapat
digunakan untuk memberikan masukan (feed back) untuk perbaikan ke-
bijakan dan program, serta dianalisa untuk menemukan cara yang lebih
efektif dan efisien dalam menjaga kualitas lingkungan hidup. Dengan
data dan informasi lingkungan hidup maka perkembangan/kemajuan
pembangunan lingkungan hidup dapat diukur, kekurangan dapat dike-
tahui dan dianalisa untuk perbaikan. Dengan demikian, akan membantu
merencanakan langkah-langkah untuk mewujudkan ekonomi hijau.

e. Adanya data yang terukur, dapat pula digunakan sebagai dasar untuk
melakukan perhitungan dampak ekonomi dari memburuknya kuali-
tas lingkungan dan mengukur dampak yang ditimbulkan oleh pelaku.
Dengan demikian, maka akan membantu pengembangan pola insen-
tif/disinsentif untuk perbaikan lingkungan hidup dan menuju terben-
tukya ekonomi hjau. Dengan cara in upaya peningkatan kesadaran
lingkungan dan termasuk penindakan hokum dapat dilakukan den-
gan jelas dan transparan.

58
f. Dengan tersedianya data dan informasi yang konsisten dan konti-
nyu, maka komunikasi dan penyadaran masyarakat akan pentingnya
kualitas lingkungan hidup bagi kehidupan saat ini dan keberlanjutan
kehidupan ke depan akan dapat dikomunikasikan dengan konkrit se-
hingga lebih mudah dipahami dan dimengerti masyarakat.

Persepsi Masyarakat terhadap Kualitas lIngkungan Hidup. Dalam


rangka melakukan pengembangan system pendataan, BPS pada tahun
2013 sudah melakukan survey persepsi masyarakat terhadap lingkungan.
Survey persepsi dibutuhkan untk mengetahui pemahaman masyarakat
terhadap kualitas lingkungan dan mengetahui faktor-faktor dan kegiatan
apa saja yang menurut masyarakat baik untuk kualitas lingkungan. Lag-
kah ini sangat penting karena berdasarkan IPCC tahun 2007, perilaku
manusia juga merupakan penyumbang terjadinya perubahan iklim. Dari
hasil survey persepsi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemahaman dan
pengetahuan masyarakat mengani lingkungan serta kepedulian mereka
masih beragam. Secara lengkap gambaran mengenai survey lingkungan
disampaikan dalam Kotak 3.1.

Langkah lain untuk mengetahui kebutuhan data dan informasi ling-


kungan adalah dengan melakukan penyederhanaan data kualitas lingkun-
gan yang perlu dikumpulkan, mudah dikumpulkan dan mudah pula dipa-
hami masyarakat karena mewakili kualitas lingkungan yang terpapar dan
dirasakan masyarakat. Hal ini penting, karena selama ini sudah tersedia
berbagai standar kualitas lingkungan yang dikeluarkan melalui berba-
gai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup, namun tidak pernah diketahui
masyarkat awam.

Terdapat kemungkinan bahwa standar kualitas lingkungan tersebut


diketahui oleh pelaku usaha, namun pengukuran baik/buruknya kualitas
lingkungan sulit dipantau oleh petugas pemantu lingkungan, atau kapa-
sitas Pemda dan aparatnya tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk
memantau. Hal ini penting diperhatikan karena dengan adanya desentral-
isasi, tidak sluruh kewenangan pemantauan dan penindakan berada di
tangan Pemerintah Pusat. Sebagian dari kewenangan sudah didelegasi-
kan kepada Pemda. Demikian pula, berbagai perijinan investasi dan usa-
ha juga sudah didelegasikan ke Pemda sehingga mereka pulalah yang
memiliki landasan hokum dan otoritas untuk melakukan tindakan terhadap
pemilik ijin usaha dan investasi.

59
60
Bab 4:
Peluangan
dan Tantangan

T
rade off atau keterbalikan dalam pilihan kebijakan terkadang
menempatkan “pembangunan berkelanjutan” dengan “pertumbuhan”
secara vis a vis sebagai lawan. Sering muncul perumpamaan segitiga
antara “ekonomi”, “lingkungan” dan “budaya” yang berarti mengutamakan
satu sisi akan menegasikan hal yang lain. Memprioritaskan ekonomi maka
lingkungan dan budaya akan keteteran. Sebaliknya kalau lebih memilih
lingkungan, maka ekonomi dan budaya akan ketinggalan. Demikian pula
bila cenderung budaya yang diutamakan, maka aspek lingkungan dan
budaya menjadi terlupakan.

Sebenarnya trade off tersebut tidak mutlak betul. Apabila


mengutamakan pertumbuhan yang steady dalam jangka panjang maka
negara musti memperhatikan pembangunan berkelanjutan. Selain itu
negara musti memperhatikan budaya (dalam konteks ini adalah “kearifan
lokal”) agar kualitas pembangunan tetap terjaga.

4.1 Peluang
Pembangunan berkelanjutan merupakan prasyarat bagi suatu
negara agar pertumbuhan tinggi bersifat inklusif serta stabil. Terutama
untuk mencapai negara berpenghasilan tinggi pada tahun 2030, maka
perekonomian nasional dituntut tumbuh rata-rata antara 6-8 persen

61
pertahun. Inilah tantangan utama pembangunan ekonomi, yaitu pada sisi
lainnya agar menjaga keberlanjutannya, dengan meraih pertumbuhan yang
tinggi. Agar berkelanjutan, pertumbuhan yang tinggi tersebut harus bersifat
inklusif, serta tetap menjaga kestabilan ekonomi. Upaya mencapai tujuan
tersebut memerlukan penerapan strategi yang cermat dan tepat, serta
memerlukan optimalisasi pemanfaatan seluruh potensi ekonomi yang ada.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkelanjutan dan inklusif akan dicapai
dengan dukungan reformasi yang menyeluruh (comprehensive reform).

Kinerja perekonomian Indonesia yang digambarkan dengan produk


domestik bruto (PDB) masih di bawah yang seharusnya dapat dicapai
apabila seluruh potensi yang tersedia dapat dimanfaatkan secara optimal.
Salah satu faktor penyebabnya adalah rendahnya efisiensi dan produktivitas
dalam kinerja perekonomian Indonesia yang ditunjukkan oleh Total Factor
Productivity (TFP) selama ini.

Indonesia merupakan negara kedua paling kaya di dunia untuk


keanekaragaman hayati darat (terrestrial biodiversity) dengan nomor
satunya adalah negara Brasil. Indonesia adalah peringkat pertama untuk
keanekaragaman hayati laut (marine biodiversity). Walaupun hanya
meliputi 1,3% dari seluruh permukaan daratan bumi, hutan Indonesia
mencapai 10% hutan dunia dan merupakan rumah bagi 20% spesies flora
dan fauna dunia, 17% spesies burung dunia dan lebih dari 25% spesies
ikan dunia. Dalam hampir setiap sepuluh hektar hutan pulau Kalimantan
memiliki berbagai spesies pohon yang berbeda-beda melebihi yang
ditemukan di selu ruh Amerika Utara, apalagi jika didalamnya dimasukkan
jumlah tumbuhan, serangga, dan hewan langka yang tidak dapat ditemui
di tempat lain di manapun di dunia. Meskipun pulau Kalimantan luasnya
hanya 1% dari luas permukaan bumi, namun menurut laporan United
State Agency for International Development (USAID) memiliki 6% spesies
burung dunia, spesies mamalia dunia, dan spesies tumbuhan berbunga di
dunia.

Hal tersebut merupakan potensi yang harus dimanfaatkan –tidak


hanya dalam konteks Indonesia saja namun demi perkembangan dunia
pada umumnya. Potensi tersebut akan merunyamkan masa depan dunia
apabila tidak dijaga dengan baik. Persoalan hilangnya hutan tropika,
penebangan dan pembukaan hitan secara liar, kemudian punahnya
berbagai jenis spesies binatang, begitu juga hancurnya terumbu karang

62
ikan pun. Semua dikemas dalam pembangunan yang tak terkendali dan
penangkapan ikan baik yang menggunakan dinamit maupun sianida telah
banyak merusak terumbu karang di Indonesia, sebagai habitat sangat
penting bagi ikan dan hewan karang lain.

Sebagai acuan, mantan Presiden RI, bapak Susilo Bambang


Yudhoyono yang saat ini menjabat sebagai Ketua Global Green Growth
Institute (GGGI) menyatakan bahwa setidaknya terdapat 6 (enam) langkah
yang dapat diterapkan negara-negara berkembang untuk mewujudkan
ekonomi hijau. Pertama adalah kepemimpinan. Selanjtunya kedua adalah
kebijakan dan regulasi yang kuat dan efektif harus diterapkan dengan
tegas. Strategi ketiga ialah investasi, keempat adalah terkait teknologi,
kelima adalah edukasi, yakni menerapkan pendidikan tentang pelestarian
lingkungan sejak dini kepada para generasi penerus. Adapun langkah
terakhir adalah kerjasama internasional. Menurut SBY, akan sulit bagi
negara berkembang memelihara hutannya tanpa dukungan luar negeri.

Indonesia harus menjalankan sungguh-sungguh pelaksanaan


ekonomi hijau ini. Hasilnya memang tidak bisa dipetik sekarang namun
masyarakat perlu yakin dan percaya akan memetik hasilnya pada waktu-
waktu mendatang. Kerjasama dengan pihak luar negeri –seperti yang
tengah berlangsung dengan Australia musti dilanjutkan dan dikembangkan
dengan negara lainnya. Kerjasama tersebut terutama diarahkan untuk
berbagai program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Indonesia
dengan Australia misalnya bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan RI untuk menciptakan sistem penghitungan emisi
karbon –khusus untuk penurunan emisi gas rumah kaca.

4.2 Tantangan
Tantangan dalam mengurangi kesenjangan dan penurunan
kemiskinan, dan untuk memastikan seluruh penduduk memperoleh
akses terhadap sumber penghidupan yang produktif utamanya adalah
mewujudkan pertumbuhan ekonomi inklusif dan berkelanjutan yang
dibutuhkan untuk mempercepat peningkatan pemerataan pembangunan
dan penurunan kemiskinan. Selain itu terdapat beberapa tantangan
untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan secara konkrit ke dalam
berbagai bidang dan daerah, yaitu:
1. Masih perlu adanya kesamaan dan meluasnya pemahaman oleh
berbagai pemangku kepentingan tentang pentingnya pembangunan

63
berkelanjutan pada seluruh aspek kehidupan;
2. Pengembangan data dan ukuran pembangunan berkelanjutan serta
pencerminannya ke dalam kegiatan konkrit, baik pada dimensi
lingkungan hidup, dimensi ekonomi, maupun pada dimensi sosial
yang tercermin pada perilaku berkelanjutan;
3. Pentingnya pengembangan dan dorongan penerapan kegiatan
ramah lingkungan yang tercermin pada efisiensi penggunaan sumber
daya dan menurunnya limbah, penguatan pemantauan pencemaran
termasuk fasilitasi dan dukungan perluasannya;
4. Pengembangan tata kelola yang mendorong penggunaan sumberdaya
dan teknologi bersih, termasuk langkah-langkah pengendalian
pencemaran dan upaya penegakan hukum yang disertai dengan
pengembangan kapasitas institusi dan SDM secara keseluruhan.

Komponen utama pasokan energi masa depan adalah ekspansi


energi terbarukan yang berlanjut dan cepat. Untuk mencapai hal ini perlu
diletakkan dasar untuk pasar listrik yang akan semakin didasarkan pada
energi terbarukan. Ini membutuhkan dioptimalkannya koordinasi pembangkit
listrik konvensional dengan pembangkit listrik energi terbarukan (integrasi
pasar dan sistem). Energi terbarukan harus lebih mampu menghasilkan
listrik sesuai dengan permintaan dan menyediakan layanan sistem untuk
menjamin keamanan pasokan dan jaringan. Pada saat yang sama, fasilitas
penyimpanan dan armada pembangkit listrik konvensional yang semakin
fleksibel akan membuat listrik yang berfluktuasi yang dihasilkan dari energi
terbarukan lebih stabil.

Kemudian perlunya diintegrasikan energi terbarukan ke dalam sistem


energi secara keseluruhan. Energi terbarukan dapat menumbuhkan
kontribusi kepada keamanan pasokan. Jerman telah menetapkan target
untuk meningkatkan pangsa energi terbarukan dalam konsumsi listrik bruto
dari 17% saat ini menjadi 35% pada tahun 2020. Dengan mempercepat
ekspansi jaringan, meningkatkan integrasi pasar dan sistem serta
meningkatkan penggunaan fasilitas penyimpanan, direncanakan untuk
secara bertahap membuat produksi listrik terbarukan lebih sesuai dengan
permintaan. Konsep Energi memperkirakan pengurangan 10% dalam
konsumsi listrik pada tahun 2020. Hal ini juga memberikan kontribusi
kepada keamanan pasokan.

Tantangan pemenuhan keberlanjutan pembangunan ke depan

64
tentunya perlu disikapi dengan kebijakan Pemerintah Indonesia yang
tepat, agar mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Untuk itu, kebijakan bidang ekonomi perlu diarahkan
untuk meningkatkan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi dengan titik berat
pada transformasi industri yang berkelanjutan, sehingga perekonomian
Indonesia akan berbasis kepada nilai tambah ekonomi yang lebih tinggi.

Menjadi tantangan penting bagi Indonesia untuk segera menggeser


struktur ekspor Indonesia ke arah produk manufaktur. Sementara
itu, peningkatan jaringan rantai suplai global dan regional pun perlu
dimanfaatkan oleh Indonesia melalui kebijakan kondusif, yang dapat
membuka peluang yang lebih besar bagi pengusaha domesik termasuk
usaha kecil dan menengah untuk berpartisipasi dan menjadi bagian dalam
rantai suplai internasional.

Peningkatan daya saing perekonomian Indonesia menjadi hal


utama yang perlu menjadi perhatian. Titik berat peningkatan daya saing
perekonomian perlu diarahkan pada peningkatan infrastruktur dan
ketersediaan energi, peningkatan iklim investasi dan iklim usaha, serta
tata kelola birokrasi yang lebih efektif dan efisien. Peningkatan daya saing
perekonomian ini perlu didukung oleh kebijakan pemerintah daerah yang
kondusif, yang tidak menciptakan rente ekonomi maupun ekonomi biaya
tinggi. Peningkatan infrastruktur akan dititik-beratkan pada upaya untuk
meningkatkan konektivitas nasional, sehingga integrasi domestik ini akan
meningkatkan efisiensi ekonomi dan kelancaran arus barang dan jasa
antar wilayah di Indonesia.

Selain itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia perlu


diarahkan untuk menciptakan lulusan pendidikan yang lebih berkualitas,
meningkatkan keterampilan tenaga kerja, serta mendorong sertifikasi
kompetensi pekerja agar dapat berdaya saing di pasar ASEAN maupun
internasional. Sebagai penutup, kita dapat berkaca pada respons Jerman
terhadap bencana nuklir di Fukushima, Jepang, pada musim panas 2011.
Jerman kemudian mengadopsi keputusan mengenai penghapusan tenaga
nuklir secara bertahap pada tahun 2022, efisiensi energi yang lebih besar
dan peralihan yang dipercepat ke energi terbarukan. Untuk tujuan ini,
pemerintah Jerman menyusun program konkret berupa langkah-langkah
dan rencana pembiayaan yang handal untuk pelaksanaannya.

65
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik (BPS), Indikator Perilaku Peduli Lingkungan
Hidup 2013, Jakarta: 2013.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas,
Prakarsa Strategis Pengembangan Konsep Green Economy, Jakarta:
2014
Aridyantie, Azita Zandian, “Ekonomi Hijau, Solusi Pembangunan
Ekonomi Berkelanjutan”, juara lomba menulis “Ekonomi Hijau” kategori
Mahasiswa, diambil dari blog
Burchill, Scott dan Andrew Linklater. (1996). Theories of International
Relations. New York: St. Martin Press.
Eckersley, Robyn. (2007). “Green Theory” dalam Tim Dunne, Milja
Kurki & Steve Smith (eds.). International Relations Theories. Oxford
University Press, [pp. 247-265].
Paterson, Matthew. (1996). “Green Politics” dalam Burchill, Scott dan
Andrew Linklater. Theories of International Relations. New York: St. Martin
Press.
Sumodiningrat, Gunawan (2007), Pemberdayaan Sosial, Pustaka
Kompas, Jakarta
Rachmawati, Iva. (2012). Memahami Perkembangan Studi Hubungan
Internasional. Yogyakarta: CV. Aswaja Pressindo.
Steans, Jill dan Llloyd Pettiford. (2009). Hubungan Internasional
Perspektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Helmi Akbar, mahasiswa Fisip UNAIR, dalam sebuah blog
Indonesia Maritime Institute, 2011, dalam Azita Zandian Aridyantie,
tanpa tahun.
“Enam Strategi Wujudkan Ekonomi Hijau”, web EBTKE, diberitakan
oleh Nicko Yoga Permana
-,“Australia’s Views on the Green Economy”, Speech of minister of
foreign affairs, Julie Bishop, 2015.
-,“Bertekad Batasi Kenaikan Suhu Bumi, Kesepakatan Paris Dipuji”,
Clara Rondonuwu, CNN Indonesia , Minggu, 13/12/2015, 12:35 WIB.
http://www.unep.org/greeneconomy/
-, ”COP 21 Paris dan Bank Hijau Indonesia”, Litbang Kompas, www.
kompas.com
-, “The Green Economy”, Wikipedia, www.wikipedia.com
http://sbm.binus.ac.id/files/2013/04/Ekonomi-Hijau.pdf
-, “Ekonomi Hijau”, web ANTARA News

66
Tentang Penulis
Yuni Andono Achmad, S.E., M.E., dilahirkan di
kabupaten Klaten, 12 Juni 1975. Putra pertama
dari tiga) bersaudara (lelaki semua) pasangan
bapak Ir. Sardjito Wiwoho dengan ibu Sri Maryanti
ini menempuh pendidikan dasar dan menengah di
kabupaten Karanganyar, kemudian melanjutkan ke
perguruan tinggi di Universitas Gadjah Mada (UGM),
Yogyakarta. Sempat kuliah di Fakultas Filsafat UGM,
kemudian pindah ke D3 Ekonomi jurusan Akuntansi
UGM, lalu ikut UMPTN lagi pada tahun 1996 diterima di jurusan Ekonomi
Pembangunan, Fakultas Ekonomi (sekarang Fakultas Ekonomika Bisnis)
UGM.
Sewaktu kuliah pernah menjadi Ketua Umum Himpunan Mahasiswa
Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan (Himiespa) pada tahun 1998-1999,
kemudian menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Karanganyar di Gadjah
Mada (Kaskagama) pada tahun yang sama. Selanjutnya menjadi Ketua I
(satu) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Majelis Penyelamat Organisasi
(MPO) Komisariat FE UGM tahun 1999-2000. Pernah menjadi asisten Drs
Wisnuadji MA untuk mata kuliah Ekonomi Koperasi, dan asisten peneliti di
bawah koordinasi Dr Faried Widjaja Mansoer pada tahun 2000-2001(Ketua
Jurusan IESP FE UGM saat itu).
Lulus S1 pada bulan Februari 2001, kemudian mencoba
peruntungan dengan bekerja sebagai konsultan di PT Arah Cipta Guna
di Pancoran, Jakarta. Tahun 2002-2004 menjadi staf Sekretariat Komite
Penanggulangan Kemiskinan RI berkantor di Kemenko Kesra dan sempat
ke kantor Wapres RI saat itu. Sembari bekerja menjadi asisten Deputi
Pemberdayaan Sosial (saat itu dijabat dosennya “priyayi solo” yakni
Prof Gunawan Sumodiningrat) tahun 2006-2010, mengambil kuliah di
Universitas Indonesia, di Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik,
Fakultas Ekonomi UI. Kampus UI Salemba hanya berjarak seperempat
kilometer dari kantor Depsos (sekarang Kemensos), dan kuliah S2 dapat
diselesaikan pada tahun 2008. Tinggal di kabupaten Bogor semenjak tahun
2009, bersama dengan keluarga tercinta: Budi Utami (istri) dan dua orang
anak perempuan: Nadiya Andini Pasha (lahir tahun 2006), dan Tamarin
Daritri Nayla (lahir 2008).

67
Lembaga lain yang pernah dikonsultani adalah Bank Indonesia (di
KBI Medan, Sumut, tahun 2011), PT Magati (daerah Lenteng Agung,
Jakarta), Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (2012-2013),
dan Sekretariat Kabinet (2013-2014). Penelitian yang pernah dilakukan
adalah Kajian Pajak Hotel, Hiburan dan Restoran di DKI Jakarta (2002),
terlibat perumusan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (2005),
Analisis Spasial Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) tahun 2008,
Konflik di Sumbawa (2012), Upaya Mempercepat Dwelling Time (2014),
dan Sistem Resi Gudang untuk Buah Pala (2015). Sebagai pemerhati
olahraga mencoba mencatat prestasi bulutangkis Indonesia di http://
perbulutangkisan.blogspot.co.id/ . Memiliki akun twitter yang beralamat
di kang_aan@yahoo.com. Buku “Ekonomi Hijau: Integrasi Paradigma
Berkelanjutan dalam Pembangunan Nasional“ merupakan buku pertama
yang disusunnya sendiri, setelah menimba ilmu sebagai Tenaga Ahli di
Direktorat Kelautan dan Maritim, Bappenas pada akhir 2015.

68

Anda mungkin juga menyukai