Anda di halaman 1dari 21

Makalah

PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN
BERWAWASAN LINGKUNGAN DI INDONESIA
(STUDI KASUS PENCEMARAN SUNGAI CITARUM)

TRI NOVITASARI
P43215005

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK


PROGRAM PASCASARJANA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2014
BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lebih dari 30 tahun, Indonesia telah menempatkan pertumbuhan ekonomi

sebagai indikator keberhasilan. Dengan paradigma pembangunan yang dianut,

pertumbuhan ekonomi, paling tidak sebelum terjadi krisis ekonomi, melaju

dengan tingkat pertumbuhan hampir mencapai 8% per-tahun. Namun demikian,

sangat disayangkan bahwa laju pertumbuhan ekonomi tersebut harus ditebus

dengan kerusakan sumber daya alam dan lingkungan yang hebat. Kerusakan

lingkungan (atau faktor yang mempunyai potensi menimbulkan kerusakan

lingkungan) tidak menurun bahkan cenderung meningkat. Hal ini terlihat pada

beberapa sektor strategis di dalam pembangunan Indonesia seperti sektor

kehutanan, pertanian dan perikanan maupun pertambangan. Hal ini sebagai akibat

pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang cenderung mengarah pada

pola pengelolaan yang berorientasi jangka pendek.

Sumber daya alam dan lingkungan dijadikan sebagai tumpuan bagi

pertumbuhan ekonomi, sehingga pemanfaatannya tidak lagi memperdulikan

kaidah-kaidah konservasi. Kalaupun ada kebijakan dan peraturan yang mengatur

tentang keharusan untuk mengendalikan dan melestarikan fungsi lingkungan, pada

kenyataannya malah jauh dari pengharapan. Kerusakan sumber daya alam dan

lingkungan tersebut, diperkirakan akan diperburuk dengan keadaan ekonomi dan

politik di negeri ini yang tidak menentu.


Untuk mengantisipasi keadaan yang lebih buruk, arah pembangunan

kedepan harus ditegaskan bahwa pendayaan sumber daya alam dan lingkungan

harus dilakukan secara terencana, rasional, optimal, bertanggung jawab dan sesuai

dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan

lingkungan hidup bagi pembangunan yang berkelanjutan. Dalam menentukan

strategi pembangunan, aspek lingkungan harus dijadikan pertimbangan utama.

Konsep ini pada dasarnya mengandung aspek daya dukung lingkungan dan

solidaritas antar generasi.

Kerusakan lingkungan dan sumber daya alam selain karena paradigma

pembangunan yang terlalu menekankan kepada pertumbuhan ekonomi juga

karena lemahnya kapasitas lembaga atau institusi pembangunan yang dimiliki.

Hal ini dapat terlihat dari pola perencanaan yang parsial atau fragmentatif.

Lemahnya koordinasi antar departemen atau komponen pembangunan

mengakibatkan lemahnya upaya pemaduan perencanaan pembangunan yang

mengkaitkan pertumbuhan ekonomi, keseimbangan sosial dan keselarasan

ekologi. Kondisi ini diperburuk lagi dengan kurang berfungsinya lembaga

legislatif secara optimal.

Lembaga legislatif yang diharapkan dapat memberikan arahan

pembangunan kepada pemerintah masih belum memiliki kemampuan perencanaan

yang memadai. Disamping itu, masih kentalnya aroma politik pada lembaga

legislatif yang ada dapat mengakibatkan biasnya pola perencanaan pembangunan

dengan agenda politik kekuasaan. Sementara itu, lembaga yang bertugas untuk
menjabarkan program pembangunan nasional yang disusun oleh lembaga

legislatif juga masih belum dapat mengambil alih tugas pemaduan tersebut yang

dapat disebabkan karena sifat birokrasinya dan karena kurangnya pemahaman

akan konsep pembangunan berkelanjutan.

Permasalahan degradasi kualitas lingkungan dan sumber daya alam juga

disebabkan karena tidak terselenggaranya good governance atau kepemerintahan

yang baik. Hal ini terlihat dari tidak efisiennya lembaga perwakilan, korupsi, dan

belum berdayanya masyarakat. Hal ini karena belum terciptanya mekanisme yang

dapat menjembatani kepentingan masyarakat, sektor bisnis, dan pemerintah,

terutama untuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara

untuk mencapai kesejahteraan dan kesetaraan, serta meningkatkan kualitas hidup

sangat diperlukan. Saluran yang ada dirasakan belum dapat mengartikulasikan

kepentingan stakeholders atau petaruh, selain belum responsif dalam menangani

isu-isu pembangunan yang kritis

Sebagai contoh permasalahan lingkungan yang menjadi korban dari

kelalaian Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan adalah permasalahan

sungai di jawa barat yang hingga kini masih berada dalam tahap proses

pembersihan. Dibutuhkan sebuah kerjasama yang baik antara pemerintah pusat

dan daerah dalam menangani masalah ini.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Sustainable Development (Pembangunan Berkelanjutan)

Sebagai sebuah konsep, pembangunan yang berkelanjutan yang mengandung

pengertian sebagai pembangunan yang memperhatikan dan

mempertimbangkan dimensi lingkungan hidup dalam pelaksanaannya sudah

menjadi topik pembicaraan dalam konferensi Stockholm (UN Conference on the

Human Environment) tahun 1972 yang menganjurkan agar pembangunan

dilaksanakan dengan memperhatikan faktor lingkungan (Soerjani, 1977: 66),1

Menurut Sundari Rangkuti, Konferensi Stocholm membahas masalah lingkungan

serta jalan keluarnya, agar pembangunan dapat terlaksana dengan

memperhitungkan daya dukung lingkungan (eco-development)

(Rangkuti,2000:27)2

Konferensi tersebut sejalan dengan keinginan PBB untuk menanggulangi

masalah kerusakan lingkungan yang terjadi. Bertepatan dengan di umumkannya

Strategi Pembangunan Internasional bagi Dasawarsa Pembangunan Dunia ke

2 (The Second UN Development Decade) yang dimulai pada tanggal 1 Juni 1970,

Sidang Umum PBB menyerukan untuk meningkatkan usaha dan tindakan

nasional serta Internasional guna menanggulangi proses pemerosotan kualitas

lingkungan hidup agar dapat diselamatkan keseimbangan dan keserasian

1
H.Abdurrahman, Pembangunan Berkelanjutan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Indonesia, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Tema Penegakkan
Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan. Denpasar 14-18 Juli 2003. Hal.2
2
Ibid., hal.4
ekologis, demi kelangsungan hidup manusia, secara khusus resolusi Sidang

Umum PBB No. 2657 (XXV) Tahun 1970 menugaskan kepada Panitia Persiapan

untuk mencurahkan perhatian kepada usaha melindungi dan mengembangkan

kepentingan-kepentingan negara yang sedang berkembang dengan menyesuaikan

dan memperpadukan secara serasi kebijakan nasional di bidang lingkungan hidup

dengan rencana Pembangunan Nasional, berikut skala prioritasnya

(Hardjasoemantri, 200:7).3

Amanat inilah yang kemudian dikembangkan dan menjadi hasil dari

Konferensi Stocholm yang dapat dianggap sebagai dasar-dasar atau cikal bakal

konsep Pembangunan Berkelanjutan Konferensi Stocholm memberikan

pengaruh besar terhadap gerakan kesadaran lingkungan dunia. Hal ini dapat

dilihat dari perkembangan dan peningkatan perhatian terhadap masalah

lingkungan dan terbentuknya perundang-undangan nasional di bidang lingkungan

hidup, termasuk di Indonesia.

Semua keputusan Konferensi tersebut diatas, disyahkan oleh resolusi SU

PBB No. 2997 (XXVII) tertanggal 15 Desember 1972. Pentingnya Deklarasi PBB

tentang Lingkungan Hidup Manusia bagi negara-negara yang terlibat dalam

konferensi ini dapat dilihat dari penilaian negara peserta yang mengatakan bahwa

deklarasi dianggap sebagai a first step in developing international environment

law (Silalahi,1992:20).4

Konsep Sustainable Development memberikan wacana baru

mengenai pentingnya melestarikan lingkungan alam di masa depan, generasi yang

3
Ibid.,
4
Ibid.,hal.5
akan datang pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengkompromikan

kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Menurut

Brundtland Report dari PBB [1987], pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana

memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan

ekonomi dan keadilan sosial.

Menurut Laporan dari KTT Dunia [2005]., menjabarkan bahwa pembangunan

berkelanjutan terdiri dari tiga tiang utama yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan

yang saling bergantung dan memperkuat. Ketiga aspek tersebut tidak bisa dipisahkan satu

sama lain, karena ketiganya menimbulkan hubungan sebab - akibat. Hubungan

ekonomi dan sosial diharapkan dapat menciptakan hubungan yang adil

(equitable). Hubungan antara ekonomi dan lingkungan diharapkan dapat

terus berjalan (viable). Sedangkan hubungan antara sosial dan lingkungan

bertujuan agar dapat terus bertahan (bearable). Ketiga aspek yaitu aspek ekonomi,

sosial , dan lingkungan akan menciptakan kondisi berkelanjutan ( sustainable).

Sustainable development atau pembangunan berkelanjutan merupakan

istilah yang sering digunakan di Negara-negara barat. Istilah ini secara resmi

digunakan dalam Tap MPR No. IV /MPR/1999 tentang GBHN, sedangkan istilah

Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan Lingkungan Hidup digunakan

dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu

juga dikenal ada lingkungan dan pembangunan, 1988:12) sedang sebelumnya

lebih popular digunakan sebagai istilah Pembangunan yang berwawasan

Lingkungan sebagai terjemah dari Eco-development5

5
Ibid.,hal.5
Menurut Sonny Keraf, sejak tahun 1980-an agenda politik lingkungan

hidup mulai dipusatkan pada paradigma pembangunan berkelanjutan. Mulai

pertama istilah ini muncul dalam World Conservation Strategy dari the

International Union for the conservation of nature (1980), lalu dipakai oleh Lester

R. Brown dalam bukunya Building a Suistainable Society (1981). Istilah tersebut

kemudian menjadi sangat popular melalui laporan Bruntland, Our Common

Future(1987). Tahun 1992 merupakan puncak dari proses politik, yang akhirnya

pada konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jainero, Brazil, paradigm

aPembangunan Berkelanjutan di terima sebagai sebuah agenda politik

Pembangunan untuk semua Negara di dunia (Keraf, 2001:1,2002:166).

Perkembangan kebijakan lingkungan hidup, menurut Koesnadi

Hardjosoemantri, didorong oleh hasil kerja World Commission on Environment

and Development, disingkat WECD. WECD dibentuk PBB memenuhi keputusan

Sidang Umum PBB Desember 1983 No. 38/161 dan dipimpin oleh Nyonya Gro

Harlem Bruntland (Norwegia) dan dr. Mansour Khalid (Sudan). Seorang anggota

dari Indonesia, Prof. Dr. Emil Salim.

Salah satu tugas WECD adalah mengajukan strategi jangka panjang

pengembangan lingkungan menuju pembangunan yang berkelanjutan di tahun

2000 dan sesudahnya. WECD telah memberikan laporannya pada tahun 2000

yang diberi judul Our Common Future yang memuat banyak rekomendasi

khusus untuk perubahan institusional dan perubahan hukum (Hardjasoematri,

2000:12-15). Sedangkan Soerjani menambahkan bahwa panitia ini menghasilkan

laporan yang berjudul Our Common Future pada tahun 1987 (WECD 1987).
Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan judul Hari Depan

Kita Bersama 1988. salah satu tonggak penting yang di pancangkan oleh panitia

ini adalah agar pemahaman tentang perlunya wawasan lingkungan dalam

Pembangunan di praktekkan di semua sektor dan terkenal dengan istilah

Sustainable Development (Soerjani, 1997:61)

Dalam laporan WECD Our Common Future ditemui sebuah rumusan

tentang Suistainable Development sebagai berikut:

Suistainable Development is defined as development that meet the needs

of the present without comprosing the ability of future generations to meet

their own needs (Tjokrowinoto, 1991:7, Hardjosoemantri,2000:15).6

Pembangunan berkelanjutan (Emil Salim,1990) bertujuan untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat, untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi

manusia. Pembangunan yang berkelanjutan pada hekekatnya ditujukan untuk

mencari pemerataan pembangunan antar generasi pada masa kini maupun masa

mendatang.7 Menurut KLH (1990) pembangunan (yang pada dasarnya lebih

berorientasi ekonomi) dapat diukur keberlanjutannya berdasarkan tiga kriteria

yaitu : (1) Tidak ada pemborosan penggunaan sumber daya alam atau depletion of

natural resources; (2) Tidak ada polusi dan dampak lingkungan lainnya; (3)

Kegiatannya harus dapat meningkatkan useable resources ataupun replaceable

resource.

2. Otonomi Daerah dan Lingkungan Hidup

6
Ibid.,hal 10
7
Askar jaya, konsep pembangunan berkelanjutan. Makalah pengantar falsafah sains,
program s3 institut pertanian bogor. Bogor, 15 december 2004
Otonomi daerah merupakan pembagian dan pelimpahan kekuasan dari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola

daerahnya sesuai dengan potensi yang dimiliki. Implementasi otonomi daerah

telah memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR sepakat untuk mengesahkan

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33

Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Kedua UU otonomi daerah ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan

Nomor 25 Tahun 1999 sehingga kedua UU tersebut kini tidak berlaku lagi.8

Hal yang perlu dicermati mengenai persoalan pengelolaan lingkungan dalam

konteks otonomi daerah adalah Sumber Daya Alam (SDA). Hal ini penting karena

SDA merupakan tumpuan daerah dalam memperoleh dana (Pendapatan

Asli Daerah) untuk menyelengarakan pemerintahan. Disisi lain, penggunaan SDA

yang semena-mena berpotensi menimbulkan berbagai masalah lingkungan. Tanpa

pengaturan yang jelas, maka kesejahteraan rakyat tidak akan terjamin karena

rentan terjadi kerusakan lingkunga di daerah.

Penggunaan SDA yang tidak dapat habis seperti sinar matahari, angin, dan

gelombang) tidak mengurangi kemampuanya untuk mendukug kesejahteraan

manusia. Lain halnya dengan sumber daya yang tidak dapat diperbarui seperti gas

alam, minyak bumi, batubara, tembaga, aluminium, dan sumber daya lain yang

tidak dapat diperbarui dalam jangka waktu cepat, tentu akan secara langsung

mengurangi daya tahan dan mutu lingkungan. Daerah-daerah yang mengandalkan

sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi seringkali tidak memperhatikan

8
Bewa ragawino. Makalah Desentralisasi dalam Kerangka Otonomi Daerah di Indonesia.
kaidah-kaidah lingkungan. Sehingga kerusakan lingkungan menjadi isu strategis

daerah kaitanya dalam pertumbuhan ekonomi.

Berbicara mengenai lingkungan hidup tidak bisa lepas dari UU nomor 32

tahun 2009 tetang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau sering

disingkat dengan UUPLH. Dimana dalam Undang-undang ini diatur kewenangan

antara pusat dan daerah dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dalam regulasi ini dijelaskan bahwa Pemerintah memberikan kewenangan yang

luas kepada pemerintah daerah yang meliputi:

1. Aspek perencanaan yang dilakukan melalui inventarisasi lingkungan

hidup, penetapan wilayah ekorigen dan penyusunan RPPLH (Rencana

Perlindungan dan Pengelolalaan Lingkungan Hidup

2. Aspek Pemanfaatan SDA yang dilakukan berdasarka RPPLH

3. Aspek Pengendalian terhadap pencemaran dan kerusakan fungsi

lingkungan hidup yang meliputi pencegahan, penanggulangan dan

pemulihan

4. Pemeliharaan lingkungan hidup yang dilakukan melalui upaya

konservasi Sumber Daya Alam

5. Aspek Pengawasan dan Penegakkan hokum

Secara substansial daerah mempunyai peranan penting dalam menjaga

kelestarian lingkungan hidup. Namun, dalam kenyataanya hak dan kewajiban

daerah yang tertuang dalam pasal 21 ayat 6 UU nomor 32 tahun 2004 yang

berbunyi daerah mempunyai hak mendapatkan bagi hasil dari penegelolaan


sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah. Kemdian

dalam rangka untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah).


BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota,

bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa

mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan" (menurut Brundtland

Report dari PBB, 1987). Pembangunan berkelanjutan adalah terjemahan dari

Bahasa Inggris, sustainable development. Salah satu faktor yang harus dihadapi

untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki

kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan

pembangunan ekonomi dan keadilan social.

Pada dasarnya konsep ini merupakan strategi pembangunan yang

memberikan batasan pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah dan sumberdaya

yang ada didalamnya. Ambang batas ini tidak absolut (mutlak) tetapi merupakan

batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada teknologi dan sosial ekonomi

tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer dalam menerima

akibat yang ditimbulkan dari kegiatan manusia.

Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah semacam

strategi dalam pemanfaatan ekosistem alamiah dengan cara tertentu sehingga

kapasitas fungsionalnya tidak rusak untuk memberikan manfaat bagi kehidupan

umat manusia. Hal ini bukan saja untuk kesejahteraan masyarakat secara

keseluruhan, tetapi juga untuk kesejahteraan masyarakat generasi mendatang.


Dengan demikian diharapkan bahwa kita tidak saja mampu melaksanakan

pengelolaan pembangunan yang ditugaskan (to do the thing right), tetapi juga

dituntut untuk mampu mengelolanya dengan suatu lingkup yang lebih menyeluruh

(to do the right thing)

Isu pembangunan berkelanjutan di Indonesia belum dapat di katakan

berhasil karena adanya berbagai kelalaian dalam hal lingkungan. Contohnya

pencemaran air, sampah hingga kebakaran hutan. Kerusakan ini terjadi akibat

keinginan manusia untuk terus memenuhi kenutuhan ekonominya hingga akhirnya

melalaikan sebuah dimensi penting yaitu lingkungan

3.2 Pembangunan Berkelanjutan berwawasan lingkungan

Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup hendaknya perlu

memanfaatkan sumber daya yang dimiliki secara cermat dan bijaksana.

Sumber daya alam yang mencakup air, tanah, udara, hutan, kandungan

mineral, dan keanekaragaman hayati.

Sumber daya manusia yang mencakup jumlah penduduk, pendidikan,

kesehatan, keterampilan, dan kebudayaan.

Ilmu pengetahuan dan teknologi yang mencakup transportasi, informasi,

komunikasi, dan hasil-hasil ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek)

lainnya.

Sumber-sumber daya tersebut sifatnya terbatas, sehingga dalam

penggunaannya harus cermat dan bijaksana. Ketidakcermatan dan

kekurangbijaksanaan dalam penggunaan sumber daya dapat menimbulkan


beragam masalah, seperti polusi lingkungan, kerusakan sumber daya alam, dan

timbulnya masalah permukiman.

Pembangunan berwawasan lingkungan yang dikenal dengan

pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang berorientasi pada

pemenuhan kebutuhan manusia melalui pemanfaatan sumber daya alam secara

bijaksana, efisiensi, dan memerhatikan pemanfaatannya, baik untuk masa kini

maupun yang akan datang.

Pembangunan berwawasan lingkungan yang memerhatikan

keberlanjutan lingkungan hidup memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Menjamin Pemerataan dan Keadilan. Strategi pembangunan yang berwawasan

lingkungan dilandasi oleh pemerataan distribusi lahan dan faktor produksi,

pemerataan kesempatan bagi perempuan, dan pemerataan ekonomi untuk

peningkatan kesejahteraan.

2. Menghargai Keanekaragaman Hayati Keanekaragalan hayati merupakan dasar

bagi tatanan lingkungan. Pemeliharaan keanekaragaman hayati memiliki

kepastian bahwa sumber daya alam selalu tersedia secara berlanjut untuk masa

kini dan masa yang akan datang.

3. Menggunakan Pendekatan Integratif Dengan menggunakan pendekatan

integratif, maka keterkaitan yang kompleks antara manusia dengan lingkungan

dapat dimungkinkan untuk masa kini dan masa yang akan datang.

4. Menggunakan Pandangan Jangka Panjang Pandangan jangka panjang dilakukan

untuk merencanakan pengelolaan pemanfaatan sumber daya yang mendukung

pembangunan agar secara berlanjut dapat digunakan dan dimanfaatkan.


3.3 Kegagalan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia (studi kasus

pencemaran sungai citarum)

Konsep pembangunan berkelanjutan di Indonesia masih belum di

aplikasikan secara sempurna. Semakin berkembang perekonomian di Indonesia,

masalah lingkungan pun semakin menjadi. Contohnya, Pencemaran Sungai oleh

Bahan Kimia Berbahaya Industri di jawa barat. Padahal sungai terbesar di Jawa

Barat tersebut menjadi sumber air tak hanya untuk pertanian melainkan juga

kebutuhan domestik dan industri. Tahun 2010, bahkan Citarum menyandang

predikat sebagai sungai paling tercemar di dunia versi National Geographic.

Tentunya ini bukan hal membanggakan, terlebih jika pencemaran ini adalah ulah

manusia sendiri. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menanggulangi tumpukan

sampah di sungai Citarum. Bulan Desember 2008 Bank Pembangunan Asia

menyetujui pinjaman sekitar Rp 50 milyar hanya untuk membersihkan sungai ini,

tapi tidak ada hasil signifikan yang ditunjukkan.

Nyatanya bukan hanya sampah yang memenuhi sungai Citarum,

Greenpeace sebagai salah satu non government organisation (NGO) yang

memiliki perhatian dalam penyelamatan lingkungan menyatakan jika sungai

Citarum sudah tercemar bahan kimia berbahaya dan beracun. Greenpaece-pun

memulai kampanye Detox untuk menghentikan pencemaran industri ke Sungai-

sungai di Indonesia, khususnya Sungai Citarum sejak tahun 2011. Riset tentang

pencemaran bahan kimia berbahaya industri ini telah dimulai Green Peace sejak

setahun sebelum kampanye tersebut diluncurkan, malah sampai saat ini


Geenpeace continue melakukan riset dan penelitian sebagai pijakan berkampanye

menciptakan masa depan sungai-sungai dan masa depan Indonesia yang bebas

bahan kimia berbahaya industri.

Juru kampanye Detox Greenpeace Indonesia, Ashov Birry,

mengungkapkan beberapa riset terdahulu Greenpeace menemukan berbagai bahan

kimia berbahaya dibuang oleh Industri ke Sungai Citarum. Bahan-bahan kimia ini

bersifat persisten (tidak mudah terurai/tidak terurai begitu terlepas kedalam

lingkungan), bioakumulatif (dapat terakumulasi dalam jaringan makhluk hidup

hingga dapat sampai ke rantai makanan manusia) dan juga bersifat toksik yang

dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan pada manusia dalam jangka

panjang, termasuk kanker, gangguan sistem saraf, gangguan sistem reproduksi

dan gangguan sistem hormon. Bahan-bahan kimia berbahaya tersebut dapat

sampai kepada masyarakat lewat berbagai jalur; kontak langsung dengan air,

terhirup di udara, lewat air minum, atau lewat rantai makanan. Oleh Karena itu

ancaman pencemaran bahan kimia berbahaya beracun ini juga tidak dapat

dilokalisir hanya terbatas pada masyarakat DAS, akan tetapi lebih luas lagi.

Ia menjelaskan, sungai Citarum sebagai sumber pasokan air minum bagi

Provinsi padat penduduk Jawa Barat dan Ibukota Jakarta, mirisnya daerah aliran

sungai Citarum dipenuhi berbagai sektor industri manufaktur seperti tekstil,

kimia, kertas, kulit, logam/elektroplating, farmasi, produk makanan dan minuman.

Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah Jawa Barat (BPLHD Jabar) juga

telah mengkonfirmasi bahwa limbah industri jauh lebih intens dalam hal
konsentrasi dan mengandung bahan-bahan berbahaya. Dimana sebanyak 48%

industri yang diamati, rata-rata pembuangan limbahnya 10 kali melampaui baku

mutu yang telah ditetapkan.

Dalam laporan Greenpeace, Bahan Beracun Lepas Kendali, lanjut

Ashov, terungkap jika hanya 47,2% industri di Kabupaten Bandung yang telah

mengelola limbah cairnya dengan menggunakan IPAL (Instalasi Pengolahan Air

Limbah). Sayangnya dari jumlah tersebut hanya 39,5% yang buangan limbah dari

IPAL nya telah memenuhi baku mutu. Menurutnya ini menunjukkan betapa

lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap industri. Selain itu sudah

sejak lama ada miskonsepsi umum bahwa IPAL bisa mengatasi semua jenis

polutan.

Beberapa upaya yang pernah dilakukan pemerintah pusat dan daerah

hingga lembaga greenpeace indonesia untuk mengatasi masalah ini antara lain :

1. Upaya penegakan hukum yang di ambil oleh pengelolaan hidup daerah

jabar yang memberikan sanksi administrative terhadap 43 perusahaan

yang berada di sekitar daerah aliran sungai citarum.

2. Kementerian Lingkungan Hidup menggalakkan Program Kali Bersih

atau 'PROKASIH' melalui promosi Instalasi Air Limbah Industri dan

pengolahan sampah domestik komunal. PROKASIH yang diluncurkan

pada tahun 1989 untuk meningkatkan kualitas air dan menurunkan

tingat pencemaran, hingga tahun 2007 belum nenunjukkan

peningkatan yang signifikan, bahkan cenderung memburuk untuk


mengatasi berbagai limbah yang masuk dalam sungai dan akibat alih

fungsi lahan yang mempercepat terjadinya proses sedimentasi di

sungai. Sebagai catatan bahwa kondisi kualitas air Sungai Citarum

sejak tahun 1989 sampai saat ini belum pernah memenuhi standar

kualitas air yang ditetapkan oleh pemerintah lokal/daerah.

3. Pemerintah Indonesia merancang sebuah program pemulihan terpadu

yang disusun di dalam suatu roadmap. Perencanaan roadmap ini

dikoordinir oleh Bappenas bersama dengan pemerintah pusat,

pemerintah provinsi, sektor swasta, dan organisasi masyarakat

sipil. Roadmap ini bernama ICWRMIP atau Integrated Citarum Water

Resources Management Investment Program (Program Investasi

Manajemen Sumber Daya Air Citarum Terpadu. Program terpadu ini

masih terus berjalan sampai hari ini, meskipun hasilnya menunjukkan

kondisi yang memprihatinkan, kondisi badan air Citarum semakin

buruk dari waktu ke waktu.

4. terdapat pula program pemerintah dalam mengatasi pencemaran sungai

Citarum yang khususnya ditujukan untuk industri, yaitu Program

Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengolahan

Lingkungan Hidup (PROPER). Program PROPER merupakan

penerapan pasal 42 dan 43 UU No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan

dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Keberhasilan PROPER sebagai

instrumen penataan sangat tergantung kepada sikap proaktif dan kritis


para pemangku kepentingan dalam menyikapi hasil kinerja penataan

yang telah dilakukan perusahaan.

Sejumlah kebijakan dalam pengendalian pencemaran sungai Citarum perlu

dilakukan oleh para pemangku kepentingan dan tentunya diperlukan peran aktif

masyarakat dalam mengawasi berbagai perusahaan di lingkungannya dalam

mengelola lingkungan. Pendekatan kebijakan atur dan awasi yang telah diterapkan

sebagai pendekatan reaktif, ternyata juga tidak terlalu efektif. Kurangnya

kemampuan mendeteksi adanya pelanggaran serta kemampuan untuk memberikan

tanggapan yang cepat dan pasti atas pelanggaran yang ditemukan. Pendekatan

kebijakan atur dan awasi (ADA) yang efektif setidaknya mensyaratkan 3 hal

yaitu: (1) adanya kemampuan untuk mendeteksi pelanggaran, (2) Adanya

kemampuan untuk melakukan tanggapan yang cepat dan pasti (Swift & Sure

Responses), serta (3) Adanya sanksi yang memadai.

Dalam kasus pembuangan air limbah secara illegal yang ditengarai

dilakukan oleh industri tertentu di Jawa Barat, pemerintah daerah setempat

berhadapan dengan kesulitan untuk membuktikannya. Padahal, pembuangan air

limbah melalui saluran illegal (saluran siluman) dengan cara membuang air

limbah di lokasi yang tidak ditentukan dalam izin, merupakan tindak pidana yang

dapat diklasifikasikan sebagai kejahatan dumping berdasarkan Undang-undang

No. 32 Tahun 2009.


Penegakan hukum dalam kasus pencemaran air dapat dilakukan melalui

mekanisme penegakan hukum administrasi, penegakan hukum perdata dan

penegakan hukum pidana. Oleh karena itu, seberapapun dan sebagus apapun

kebijakan serta program yang dibuat, tanpa ada penegakan hukum yang

diberlakukan secara tegas dan mengikat tanpa terkecuali, maka kebijakan tersebut

hanyalah indah dalam proses pembuatannya, namun tidak pada

pengaaplikasiaanya sehingga diperlukan tindakan preventif. Pendekatan preventif

harus dimulai sejak awal perancangan produk dan proses, bukan diakhir pipa

pembuangan. Penerapan Produksi Bersih memastikan bahan toksik tidak lagi

digunakan pada seluruh siklus hidup produk/proses, lewat subtitusi dengan materi

yang aman. Subtitusi dan inovasi di bidangproduksi bersih tidak akan muncul

begitu saja di sektor industri tanpa dukungan dan desakan pemerintah serta publik.

Pihak industri juga harus berkomitmen mengehentikan pembuangan bahan kimia

berbahaya dan beracun melalui produksi

Masalah diatas mencerminkan betapa memprihatinkannya kondisi

lingkungan di Indonesia. Pemerintah pusat dan daerah serta masyarakat harus

menyadari bahwa pembangunan berkelanjutan memiliki batas-batas dan aturan-

aturan yang harus di sadari. Agar tidak terjadi ketimpangan yang akhirnya akan

merugikan lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai