Anda di halaman 1dari 458

PEMBANGUNAN PERKOTAAN

BERWAWASAN LINGKU
• NGAN
C' C; .) f)"::?
II , - /

,---------------------------------------------~1

PEMBANGUNAN PERKOTAAN
BERWAWASAN LINGKUNGAN

Penulis:
Komarudin

Penyunting :
Komarudin
Widya Alfisa
Endang Setyaningrum

DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA


DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM
Bekerjasama dengan
DEPUTI BIDANG PENGKAJIAN KEBIJAKSANAAN TEKNOLOGI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
1999
Sambutan Direktur J enderal Cipta Karya

; } ) engan mengucap syukur Alhamdulillah Kehadirat Tuhan Yang Maha


Esa, saya menyampaikan penghargaan atas prakarsa diterbitkannya buku "
Pembangunan Perkotaan Berwawasan Lingkungan " yang merupakan
kumpulan tulisan saudara Drs Komarudin MA, Ahli Peneliti Utama Bidang
Perumahan dan Permukiman, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi
(BPPT).

Diharapkan melalui buku ini dapat disampaikan informasi pembangunan


perkotaan seperti pemanfaatan ruang, keterpaduan pembangunan kota dan
desa, peningkatan investasi pembangunan sistem perkotaan, peningkatan
prasarana dan saran a pengelolaan sampah, yang akan mendorong/me-
nyangkut keserasian kehidupan masyarakat perkotaan.

Sebagaimana diketahui bersama, bahwa untuk mewujudkan pembangunan


perkotaan yang efisien, efektif, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,
diperlukan informasi yang cukup memadai untuk menyusun kebijaksanaan
dan strategi serta pelaksanaan pembangunan perkotaan sebagai bagian
integral dari pembangunan nasional dan daerah. Maka buku ini diharapkan
dapat menjadi masukan yang berguna, bagi seluruh pelaku pembangunan
perkotaan baik dari pemerintah, swasta/dunia usaha dan masyarakat, dan
merupakan catatan pelajaran yang kiranya akan bermanfaat bagi
pembangunan perkotaan dimasa mendatang.

Akhirnya semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan


rakhmatNya guna suksesnya pembangunan perkotaan dimasa mendatang.

Jakarta, 12 Juli 1999

Direktur J enderal Cipta Karya


Departemen Pekerjaan Umum

.~' ; ~::_7~~;:,
~
. ~-··
I •, ~. ·.. ,
.. .::) ~-\
) ~~

!_ '. :~-zL~....... ·-~~ :,·


...' ~ . '-..., ""' ,'(

·: ··.~·,/ ~-----<~1
........., ... , : c ,\ '?--:::~"'
...
~ ·.:.:.;..~ .
i
Kata Pengantar

'P embangunan perkotaan berwawasan lingkungan sebagai bagian inte-


gral dari pembangunan nasional dan daerah, memerlukan pemanfaatan ruang
perkotaan secara efisien dan efektif, penyediaan sarana dan prasarana sosial
ekonomi, serta jasa perdagangan yang andal dan terjangkau masyarakat.
Pembangunan perkotaan yang pesat menuntut pengelolaan kota yang efektif,
peningkatan perekonomian perkotaan, membangun kota menuju modern me-
tropolis, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Dalam upaya memacu pembangunan perkotaan, penulis merangkaikan


tulisan-tulisan dalam konteks pembangunan perkotaan yang berwawasan
lingkungan, meliputi manajemen dan strategi, penataan ruang, penataan
perumahan dan permukiman kumuh, rumah susun, pemasyarakatan rumah
sehat, pariwisata, pasar dan taman, pemulung, kesehatan lingkungan, peran PKK
dalam kebersihan kota, pengelolaan sampah perkotaan, kota bersih Adipura,
budaya bersih, disiplin nasional, dan pengentasan kemiskinan. Tulisan-tulisan ini
merupakan artikel penulis yang telah diterbitkan di surat kabar pad a tahun 1989-
1998.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Menteri Negara Riset dan


Teknologi/ Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan kepada
Menteri Pekerjaan Umum atas dukungan beliau sehingga penerbitan buku ini
dapat diwujudkan, kepada Direktur Jenderal Cipta Karya, De parte men Pekerjaan
Umum, atas bantuan dalam membiayai penerbitan, dan kepada lbu Endang
Setyaningrum dan Bapak Widia Alfisa, atas kerjasama yang baik.

Semoga buku ini bermanfaat untuk masyarakat luas, khususnya mereka


yang bertugas dan pekerjaannya terkait dengan pembangunan perkotaan.

Jakarta, Juli 1999

Penulis,

Drs. Komarudin, M.A

iii
DAFTAR lSI

Halaman
Kata Sambutan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . i
Kata Pengantar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . iii
Daftar Isi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . v

I. Manajemen dan Strategi Pembangunan Perkotaan ...... . 1

II. Penataan Ruang dan Pembangunan Kota ............... . 33


III. Pembangunan Perkotaan Berwawasan Lingkungan ....... . 65
IV. Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh ......... . 98
V. Rumah Susun dan Pemasyarakatan Rumah Sehat ........ . 128
VI. Pariwisata, Pasar, dan Taman ...................... . 162
VII. Pemberdayaan Pemulung dan Kesehatan Lingkungan .... . 192
VIII. Peran PKK dalam Pengelolaan Kebersihan Kota ....... . 218
IX. Pengelolaan Sampah Perkotaan ...................... . 247
X. Penghargaan Kota Bersih: Adipura .................. . 288
XI. Budaya Bersih dan Disiplin Nasional Menuju Kota
Bersih . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 316
XII. Pengentasan Kemiskinan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 369

v
I
Manajemen Dan Strategi Pembangunan Perkotaan

Halaman
1. Menyorot UU Nomor 11 Tahun 1990: Susunan Pemerintahan OK/ NRI Jakarta.
Jayakarta, 19 Mei 1992. 1
2. Visi Kota Indonesia Masa Depan. Jayakarta, 5 Juli 1997. 3
3. Jakarta Tahun 2005, Kendala dan Masalah. Jayakarta, 16 Desember 1989. 7
4. Tahun 2005, Jakarta Kota Metropolitan?. Jayakarta, 7 Juli 1992. 9
5. Manajemen Kota Metropolitan Jakarta. Jayakarta, 22 Juli 1993. 12
6. Manajemen Pembangunan Prasarana Perkotaan. Jayakarta, 27 Juli 1993. 15
7. Manajemen Pembangunan Perkotaan. Suara Karya, 22 Juni 1993. 16
8. Pembiayaan Pembangunan Perkotaan. Jayakarta, 27 Mei 1993. 19
9. Strategi Pembangunan Perkotaan. Angkatan Bersenjata, 29 September 1993. 21
10. Pengembangan Kota Baru di Indonesia. Suara Pembaruan, 22 Oktober 1993. 25
11. Merencanakan Kota Baru. Angkatan Bersenjata, 26 Januari 1994. 28
12. Upaya Meningkatkan Cinta Jakarta. Neraca, 22 Juni 1991. 30
II
Penataan Ruang Dan Pengembangan Kota

Halaman

1. Mempertahankan Habitat Kampung. Angkatan Bersenjata, 14 Agustus 1993. 33

2. Menelusuri Butir-butir Penataan Ruang. Angkatan Bersenjata, 19 Januari 1993. 35

3. Koordinasi Pengembangan Kota Mandiri Jonggol. Jayakarta, 3 Juli 1997. 38

4. Penataan Kawasan Pantai OK/ Jakarta. Merdeka, 14 Juli 1994. 42

5. Penataan Ruang Wilayah Pesisir. Angkatan Bersenjata, 24 Januari 1994. 45

6. Pengelo/aan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Jayakarta, 7 Oktober 1997. 47

7. Penataan Kawasan Pantai, Tepian Sungai dan Tepian Danau.


Angkatan Bersenjata, 18 Maret 1994. 50

8. Penataan Ruang "Conurbation" Antara Jakarta - Bandung. Suara Pembaruan,


8 Juli 1994. 52

9. Pembangunan Kota dan Wilayah Masa Mendatang. Angkatan Bersenjata,


19 Agustus 1993. 56

10. Perencanaan dan Transportasi Kota Menu rut Ciputra. Jayakarta, 11 Oktober 1993. 58
11. Keterkaitan Kota Mega dan Kota Kecil. Suara Pembaruan, 14 Januari 1994. 61
III
Pembangunan Perkotaan Berwawasan
Lingkungan

Halaman
1. Pasca Musyawarah Antarkota Seluruh Indonesia. Kompas, 1 Agustus 1994. 65
2. Menyongsong Seminar Proyek Megacity. Jayakarta, 2 Agustus 1993. 67
3. UDKP, Model Pembangunan Kecamatan Terpadu. Angkatan Bersenjata,
16 Juli 1991. 72
4. Jakarta Tempo Ooeloe dan Tahun 2003. Jayakarta, 28 Agustus 1997. 74
5. Mengenal UU No. 4/1982: Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup. Neraca, 12 juni 1991. 78
6. BAPEDAL : Tugas Berat Kendalikan Lingkungan Hidup. Jayakarta, 11 Juni 1991. 80
7. Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Angkatan Bersenjata,
5 Januari 1994. 83
8. Mengintegrasikan Lingkungan Hidup Dalam Pembangunan Nasional. Angkatan
Bersenjata, 25 Maret 1994. 86
9. Teknologi Berwawasan Lingkungan, Antara Arif Lingkungan dan Mendukung
Pembangunan Berkelanjutan. Angkatan Bersenjata, 13 Juli 1992. 89
10. Administrasi Lingkungan Dalam Pengelolaan Tata Ruang. Angkatan Bersenjata,
5 Juni 1991. 91
11. Menyorot Pembangunan Berkelanjutan. Angkatan Bersenjata, 28 Februari 1994. 94
IV
Penanganan Perumahan Dan Permukiman Kumuh

Halaman
1. Peremajaan Permukiman Kumuh (Studi Kasus Angke, Pulogadung, dan
Kampung Sawah). Suara Karya, 15 Juli 1992. 98
2. Potret Lingkungan Kumuh di OK! Jakarta. Merdeka, 16 Agustus 1992. 100
3. Peremajaan Lingkungan Permukiman Kumuh: Studi Perbandingan Jakarta dan
Semarang. Jayakarta, 27 Nopember 1993. 103
4. Masa/ah dan Penanganan Kawasan Kumuh. Suara Pembaruan, 6 Januari 1993. 105
5. Profit dan Alternatif Perbaikan Lingkungan Kumuh. Pelita, 30 Juli 1990. 107
6. Meremajakan Lingkungan Kumuh Tanpa Menggusur Warganya. Pelita,
31 Agustus 1990. 110
7. Koordinasi Penanganan Permukiman Kumuh. Suara Pembaruan,
4 Februari 1994. 112
8. Relokasi Permukiman Kumuh Nelayan. Angkatan Bersenjata, 13 Nopember 1992. 116
9. Ungkungan Kumuh Menanti Peranserta Swasta. Angkatan Bersenjata,
14 Mei 1990. 118
10. Pemasyarakatan: Dari Permukiman Kumuh ke Rusun. Angkatan Bersenjata,
8 Agustus 1997. 121
11. Penanganan Terpadu Perumahan dan Permukiman Kumuh. Suara Pembaruan,
25 Maret 1994. 124
v
Rumah Susun dan Pemasyarakatan Rumah Sehat

Hal am an
1. Memacu Pembangunan Rumah Susun. Suara Pembaruan, 31 Desember 1993. 128
2. Menelusuri Pembangunan Rumah Susun di OK/ Jakarta. Jayakarta,
3 - 4 September 1993. 132
3. Bagaimana Tinggal di Rumah Susun. Angkatan Bersenjata, 29 Agustus 1997. 135
4. Sulit, Membangun Dan Memasyarakatkan Rumah Susun. Angkatan Bersenjata,
7 Agustus 1997. 138
5. Memasyarakatkan Rusun di Jakarta. Terbit, 29- 30 Juli 1997. 143
6. Memasyarakatkan dan Membudayakan Rumah Susun di Kota Metropolitan.
Jayakarta, 30 Juli 1997. 146
7. Sampah di Rumah Susun. Neraca, 18 April 1990. 149
8. Memasyarakatkan Rumah Sehat. Angkatan Bersenjata, 6 Agustus 1992. 150
9. lndikator Rumah Sehat di Perkotaan. Angkatan Bersenjata, 13 Januari 1993. 152
10. Perlu Redefinisi Pengertian Rumah Sehat. Suara Pembaruan, 21 Januari 1994. 155
11. Kampanye Gerakan Nasional Rumah Sehat. Suara Pembaruan, 28 Januari 1994. 158
VI
Pariwisata, Pasar, dan Taman

Halaman

1. Oekade Kunjungan Indonesia. Angkatan Bersenjata, 18 Desember 1992. 162

2. Kampanye Sadar Wisata Perlu Merakyat. Angkatan Bersenjata,


26 September 1992. 164

3. Membangun Jakarta Melalui Sadar Wisata dan Sadar Lingkungan. Merdeka,


4-5 Juli 1990. 166
4. Bogar Menyambut Kunjungan Wisata Tahun 1991. Neraca, 4 Oktober 1990. 170

5. Program Pengembangan Potensi Wisata Bogar Secara Terpadu. Merdeka,


6 Oktober 1990. 173

6. Peran Arsitek Oalam Pembangunan Pariwisata. Angkatan Bersenjata,


23 Februari 1994. 176

7. Ciptakan Pasar lndaman Yang Bersih, Aman dan Nyaman. Neraca,


13 Januari 1990. 178

8. Warga OK/, Cintailah Pasar. Pelita, 19 Januari 1990. 181

9. Teknologi, dari Pencemar ke Arif Lingkungan. Neraca, 14 Juli 1992. 183

10. Taman-taman di OK/ Jakarta Akan Habis?. Jayakarta, 4 Agustus 1992. 186

11. Pengelolaan Pertamanan di OK/ Jakarta. Pelita, 4 Agustus 1990. 188


VII
Pemberdayaan Pemulung Dan Kesehatan
Lingkungan

Hal am an
1. /ntegritas Pembinaan Pemulung. Jayakarta, 12 Oktober 1990. 192

2. Pengendalian Pemulung di OK/. Jayakarta, 2 April 1990. 194

3. Upaya Penanganan Pemulung di Surabaya. Surya, 17 Mei 1990. 196

4. Menangani Pemulung Oengan Metoda ZOPP. Neraca, 21 Juli 1990. 198

5. Persyaratan Baku Mutu Air Sungai dan Limbah OK/ Jakarta. Jayakarta,
14 Maret 1990. 201

6. Penge/olaan Air di OK/ Jakarta. Merdeka, 15 Juni 1991. 203

7. Prokasih Per/u Peranserta Masyarakat dan Swasta. Angkatan Bersenjata,


25 Agustus 1992. 205

8. Pengelolaan Baku Mutu Udara Emisi Kendaraan Bermotor di OK/ Jakarta.


Angkatan Bersenjata, 8 Juli 1992. 207

9. Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Sampah. Jayakarta, 20 Maret 1990. 210

10. Penyuluhan Kesehatan Lingkungan Menuju Keluarga Sehat. Neraca,


10 April 1990. 212

11. Koordinasi Program Penyehatan Lingkungan Perlu Oitingkatkan. Pelita,


11 April 1990. 214
VIII
Peran PKK Dalam Pengelolaan Kebersihan Kota

Hal am an
1. Mengenal Pokja-pokja Dalam PKK. Merdeka, 21 Desember 1989. 218
2. Bagaimana Mengelola PKK Yang Baik. Pelita, 28 Desember 1989. 220
3. Peranserta PKK Dalam Menciptakan Kebersihan Kota. Neraca, 8 Januari 1990. 222
4. Peran PKK Surakarta Dalam Kebersihan Kota. Merdeka, 16 Januari 1990. 225
5. Gerakan PKK Perlu Dimasyarakatkan. Angkatan Bersenjata, 30 April 1990. 227
6. Peran PKK dan Dharma Wanita Dalam Pembangunan. Angkatan Bersenjata, 17
September 1993. 230
7. Peran Wanita Dalam Mengentaskan Kemiskinan di OK/ Jakarta. Angkatan
Bersenjata, 23 September 1993. 233
8. Arah Kegiatan Dharma Wanita Dalam Repelita VI. Angkatan Bersenjata,
4 Oktober 1993. 235
9. Program Dharma Wanita 1993-1998. Jayakarta, 22 Oktober 1993. 238
10. PKK OK/ Jakarta Mengentaskan Kemiskinan Daerah Tertinggal. Jayakarta,
22 Juli 1994. 241
11. KISS Menuju Keluarga Sehat Sejahtera. Angkatan Bersenjata, 2 Oktober 1992. 244
IX
Pengelolaan Sampah Perkotaan

Hal am an
1. Tokyo, Sebuah Refleksi Penanganan Sampah Untuk Jakarta. Jayakarta,
29 Mei 1990. 247
2. Persatuan Pengelola Sampah Perkotaan Indonesia, Dari Kitakyushu ke Perlaspi.
Jayakarta, 26 Februari 1991. 249
3. Sistem Pengelolaan Persampahan di Perkotaan. Jayakarta, 21 Februari 1990. 251
4. Pengelolaan Sampah Perkotaan Secara Efisien. Gala, 6 Februari 1991. 254
5. Mengenal Peralatan Sampah di Kota Bandung. Angkatan Bersenjata, 3 April 1991. 256
6. Mengatasi Sampah Dengan Sistem Modul, Kasus Bogar. Merdeka,
28 Nopember 1989. 258
7. Pengelo/aan Sampah Kota Surabaya. Merdeka, 21 Februari 1990. 260
8. Sampah Jakarta Tahun 2000. Jayakarta, 28 April 1990. 263
9. Pengelolaan dan Pendayagunaan Sampah OK/ Jakarta. Jayakarta,
20 Desember 1989. 265
10. Menelusuri Pengelolaan Sampah di Witayah Kota Jakarta. Jayakarta,
12 September 1990. 268
11. Taati Perda 5 Tahun 1988 Tentang Kebersihan Lingkungan. Neraca,
18 Mei 1991. 271
12. Jakarta, Evolusi Dari BEMO Menuju BMW. Angkatan Bersenjata, 28-29 Juni 1990. 273
13. Jakarta: Dengan Teguh Beriman Mengentaskan Kemiskinan. Angkatan
Bersenjata, 21 Juli 1994. 278
14. Selamat Jalan Wiyogo, Selamat Datang Surjadi, Selamat Bekerja Basofi.
Jayakarta, 6 Oktober 1992. 282
15. Swastanisasi Pengelolaan Sampah Perkotaan. Jayakarta, 11 Agustus 1997. 284
X
Penghargaan Kota Bersih : Adipura

Hal am an

1. Mengejar Adipura, Menghindar Jadi Kota Terjorok. Jayakarta, 24 Januari 1990. 288

2. Kejutan: Adipura 1990 Vs Kota Terjorok. Media Indonesia, 21 Februari 1990. 290

3. Mengejar Adipura, Be/ajar Oari Surabaya. Neraca, 13 Desember 1989. 291

4. Kebersamaan Menuju Surabaya Berseri. Angkatan Bersenjata, 9 Maret 1990. 294

5. Bandung Bersih, Hijau dan Berbunga Menuju Kota ldaman. Merdeka,


19 Desember 1989. 296

6. HUT ke-377 Manado: Meraih Adipura dan Melestarikan Bunaken. Neraca,


11 Juli 1990. 299

7. Jakarta Pusat Mengejar Pia/a Adipura. Jayakarta, 20 Juli 1989. 301

8. Menumbuhkan Cinta Kebersihan Warga OK/ Jakarta. Angkatan Bersenjata,


8Juli1991. 303

9. Antara Adipura dan Adipura Kencana. Merdeka, 26 Juni 1991. 306

10. Peraih Adipura 1986-1997. Jayakarta, 11 Juni 1997. 308

11. Setelah Adipura Kencana, Adipura Lestari? Angkatan Bersenjata,


27 Agustus 1997. 312
XI
Budaya Bersih dan Disiplin Nasional Menuju
Kota Bersih

Halaman

1. Menjakartakan Warga lbukota. Angkatan Bersenjata, 4-5 Juli 1991. 316

2. Memfungsikan Forum Komunikasi Lingkungan. Jayakarta, 17 Maret 1994. 321

3. Mengintegrasikan Ungkungan Hidup Oalam Pembangunan Nasional. Angkatan


Bersenjata, 25 Maret 1994. 324

4. Menuju Warga OK/ yang Berbudaya Kerja dan Oisiplin. Angkatan Bersenjata,
2 September 1996. 327

5. Budaya Bersih dan Gerakan Oisiplin Nasional Warga OK/ Jakarta. Jayakarta, 11
September 1996. 331

6. Jakarta: Kota Bersih Metropolitan Indonesia. Jayakarta, 28 Agustgus 1996. 334

7. Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sangat Sederhana. Suara


Pembaruan, 1 Juli 1994. 337

8. SKB Tiga Menteri: Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman Oengan


Lingkungan Hunian Yang Berimbang. Angkatan Bersenjata, 9 Desember 1992. 340

9. Perlu Gerakan Nasional Untuk Memasyarakatkan Rumah Susun. Jayakarta,


29 Juli 1997. 343

10. Memasyarakatkan Rumah Susun Secara Terpadu di Metropolitan Jakarta.


Angkatan Bersenjata, 25 Agustus 1997. 347

11. Perumahan :Agenda Habitat dan Oeklarasi Istanbul. Jayakarta, 8 Agustus 1997. 352
12. Mendorong Tumbuhnya Pasar Perumahan. Jayakarta, 11 Nopember 1993. 356

13. Gerakan Kembali ke Oesa di Jawa Timur. Jayakarta, 5 September 1997. 357

14. Pemberdayaan Waserda-KSU di OK! Jakarta. Jayakarta, 11 September 1997. 361

15. Petunjuk Bagi Caton Penulis 1/miah Populer. Jayakarta, 3 Nopember 1993. 365
XII
Pengentasan Kemiskinan
Hal am an

1. Benang Merah Upaya Pengentasan Kemiskinan. Jayakarta, 9 September 1993. 369


2. Evolusi Pengentasan Kemiskinan di DKI Jakarta. Angkatan Bersenjata,
26 Juli 1993. 373
3. Peran Wanita Dalam Mengentaskan Kemiskinan di DKI Jakarta. Angkatan
Bersenjata, 23 Seeptember 1993. 376

4. Partisipasi Masyarakat Dalam Pengentasan Kemiskinan. Angkatan Bersenjata,


23 September 1993. 379
5. Partisipasi Masyarakat OK/ Jakarta Dalam Mengentaskan Kemiskinan. Angkatan
Bersenjata, 31 Juli 1993. 382

6. Menelusuri Partisipasi Masyarakat Jakarta Dalam Mengentaskan Kemiskinan.


Jayakarta, 28 Juli 1993. 385

7. Partisipasi Swasta Dan Masyarakat Dalam Pengentasan Kemiskinan di OK/


Jakarta. Angkatan Bersenjata, 29 Juli 1993. 388
8. Pengentasan Kemiskinan Dan Partisipasi Masyarakat (Kasus OK/ Jakarta).
Angkatan Bersenjata, 4 Agustus 1993. 392

9. Dari Renstra ke Pengentasan Kemiskinan di DKI Jakarta. Angkatan Bersenjata,


20 Juli 1994. 395

10. Ketenagakerjaan: Perspektif Pengentasan Kemiskinan Di Perkotaan. Angkatan


Bersenjata, 27 Juli 1994. 399

11. Mengentaskan Kemiskinan Melalui Program MPMK. Jayakarta,


15 September 1997. 402

12. Menuju Gerakan Nasional Desa Cerdas Teknologi. Jayakarta, 29 Desember 1997. 406
13. Menumbuhkan Partisipasi Swasta Dalam Pembangunan Kota. Jayakarta, 20
Nopember 1997. 411

14. Seminar Nasional Perumahan dan Permukiman Menyongsong Abad 21.


Jayakarta, 19 Desember 1997. 413

15. Perumahan Rakyat Untuk Kesejahteraan dan Pemerataan. Jayakarta,


6 Januari 1998. 418
Menyorot UU Nomor 11 Tahun 1990 :
Susunan Pemerintahan DKI NRI Jakarta
UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus lbukota Negara Republik
Indonesia Jakarta (DKI NRI Jakarta) sebagai pengganti UU Nomor 2 Pnps Tahun 1961 dan UU Nomor 10
Tahun 1964 yang ditetapkan tanggal 14 Nopember 1990, merupakan upaya untuk mewujudkan Jakarta
sebagai lbukota Negara Republik Indonesia (NRI) yang mengemban beberapa fungsi, yaitu pusat kegiatan
kehidupan ekonomi dan politik, penyelenggaraan pemerintahan Negara, penyelenggaraan acara kenegaraan
dan acara resmi lainnya yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat (Pempus), pusat penyelenggaraan
kegiatan nasional di Indonesia, serta mempunyai peranan penting baik dalam sejarah perjuangan bangsa
maupun dalam ketatanegaraan Indonesia.
UU Nomor 11 Tahun 1990 ini merupakan pelaksanaan dari Pasal 6 UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah yang menyatakan bahwa lbukota Negara Republik Indonesia mengingat
pertumbuhan dan perkembangannya dapat mempunyai dalam wilayahnya susunan pemerintahan dalam
bentuk lain yang sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam UU ini, yang pengaturannya
ditetapkan dengan UU. Hal ini dimaksudkan agar Pemerintah DKI Jakarta dapat membentuk dan
mengembangkan perangkat Daerah dan Wilayah yang lebih luwes dan dinamis sesuai dengan kebutuhan
nyata dengan tetap memperhatikan prinsip daya guna dan hasil guna.

Ketentuan
Susunan Pemerintahan DKI NRI Jakarta diatur dan dilaksanakan sesuai UU Nomor 5 Tahun 1974,
kecuali hal-hal yang diatur tersendiri dalam UU Nomor 11 Tahun 1990, yang meliputi kedudukan, pembagian
Wilayah, penyelenggaraan pemerintahan, perangkat pemerintahan, dan pembiayaannya. Jakarta sebagai
lbukota NRI, merupakan tempat kedudukan pusat pemerintahan Negara, lbukota DKI Jakarta. lni berarti, DKI
Jakarta dapat diartikan sebagai DKI NRI Jakarta.
DKI Jakarta yang merupakan Daerah Tingkat I, mempunyai batas-batas wilayah: sebelah Utara
dengan Laut Jawa, sebelah Timur dengan Kabupaten DT II Bekasi, sebelah Selatan dengan Kabupaten DT II
Boger, sebelah Barat dengan Kabupaten DT II Tangerang, dan Kotip Depok, atau ditambah beberapa
Kelurahan di Botabek yang letaknya berbatasan dengan DKI Jakarta.
Pemerintah DKI Jakarta berkedudukan di Jakarta. Wilayah DKI Jakarta dibagi dalam Wilayah-wilayah
Kotamadya, Wilayah Kotamadya dibagi dalam Wilayah-wilayah Kecamatan, dan Wilayah Kecamatan dibagi
dalam Wilayah-wilayah Kelurahan. Pembentukan, perubahan, nama batas, dan penghapusan Wilayah
Kotamadya dan Wilayah Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP), sedangkan pembentukan,
nama, dan batas Kelurahan diatur dengan Perda sesuai pedoman yang ditetapkan oleh Mendagri.
Gubernur Kepala Daerah di samping menyelenggarakan hak, wewenang, dan kewajiban sebagaimana
diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 81 UU Nomor 5 Tahun 1974, juga menyelenggarakan pemerintahan yang
bersifat khusus, sebagai akibat langsung dari kedudukan Jakarta sebagai lbukota Negara. Bersifat Khusus,
terlihat dari fungsi Jakarta sebagai tempat penyelenggaraan Sidang Umum MPR, pusat kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan negara, pusat kegiatan kehidupan politik nasional, tempat penyelenggaraan
acara-acara kenegaraan, tempat kedudukan kedutaan negara lain, dan tempat pengaturan dan pembinaan
wilayah DKI Jakarta sehingga mencerminkan citra masyarakat Indonesia yang berkepribadian nasional.
Gubernur Kepala Daerah (Gubernur Kepala DKI NRI Jakarta) bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan, Gubernur Kepala Daerah mendapatkan
petunjuk dan bimbingan dari Mendagri.
Perencanaan, pelaksanaan, dan pengembangan pembangunan DKI Jakarta dilaksanakan berdasarkan
Rencana lnduk Pembangunan DKI Jakarta yang disetujui Presiden. lni berarti RUTR Jakarta 2005 (1985-
2005) perlu ditinjau kembali dan dibuat suatu Rencana lnduk yang disetujui Presiden. Penyusunan rencana
induk, pelaksanaan pembangunan dan pengembangan DKI Jakarta dilakukan dengan memperhatikan
pertimbangan dan bimbingan Departemen, Lembaga, dan Badan-badan Pemerintah lainnya serta adanya
koordinasi dengan Daerah sekitarnya. Sebaliknya, Departemen, lembaga dan Badan-badan pemerintah
lainnya menyesuaikan perencanaannya dengan pembangunan DKI Jakarta. Koordinasi, lebih ditegaskan lagi
sebagai kegiatan kerjasama antara Pemerintah DKI Jakarta dengan pemerintah DT I Jawa Barat mengenai
pengaturan pembangunan di daerah yang berbatasan, yaitu Bogor, Tangerang dan Bekasi (Botabek) untuk
mencapai keselarasan, keserasian dan keseimbangan yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Dalam menjalankan tugasnya, Gubernur Kepala Daerah dibantu Wakil Gubernur Kepala Daerah,
sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang, yang bertanggungjawab kepada Gubernur. Pembidangan tugas Wakil
Gubernur diatur dengan Keputusan Gubernur sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Mendagri. Untuk
melaksanakan fungsi sebagai wakil rakyat yang bergerak dalam bidang legislatif, di DKI Jakarta disusun DPR
DT I sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keanggotaan DPR DT I ditetapkan dengan
memperhatikan kekhususan lbukota Negara sebagai DT I, yaitu dalam menentukan jumlah keanggotaan
DPRD Tingkat I DKI Jakarta yang kompleks.
Wilayah Kotamadya dikepalai oleh Walikotamadya yang bertanggung jawab langsung kepada Gubernur
Kepala Daerah. Walikotamadya dibantu seorang Wakil Walikotamadya yang bertanggungjawab langsung
kepada Walikotamadya. Dengan UU ini, Wilayah Kota berubah menjadi Wilayah Kotamadya. Dalam rangka
menampung aspirasi masyarakat dan sebagai wadah komunikasi timbal balik pada tingkat Kotamadya,
dibentuk Lembaga Musyawarah Kota (LMK) yang keanggotaannya terdiri dari organisasi kekuatan sosial
politik, ABRI, dan unsur Pemerintah yang selanjutnya diatur oleh Mendagri. Organisasi kekuatan sosial politik
ialah Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia, dan Golongan Karya.
Pembentukan dan pengembangan perangkat Wilayah dan Daerah di lingkungan Pemerintah DKI
Jakarta, dilaksanakan sesuai kebutuhan, kedudukan dan fungsinya sebagai lbukota Negara. Pembentukan
dan pengembangan perangkat Wilayah Daerah sesuai dengan kebutuhan, diartikan bahwa DKI Jakarta
mengingat kekhususannya, dapat membentuk perangkat baru dan mengembangkan perangkat yang sudah
ada untuk menampung dan mengatasi dinamika beban tugas yang demikian berat dan kompleks sesuai
dengan prinsip dayaguna dan hasilguna.
Pembiayaan penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan (dan pembangunan) yang bersifat khusus
dibebankan pada APBN dan untuk mendukung penyelenggaraan tugas-tugas tersebut, Pemerintah DKI
Jakarta menyediakan dana dari APBD. Pembiayaan tugas-tugas pemerintahan yang bersifat khusus ini
termasuk pembangunan di daerah perbatasan yang bersifat menyangga DKI Jakarta, yaitu Bogor, Tangerang
dan Bekasi, dan penyelenggaraan Lembaga Musyawarah Kota di setiap Wilayah Kotamadya dalam DKI
Jakarta.

Harapan
Kehadiran UU Nomor 11 Tahun 1990 diharapkan segera disusul dengan PP yang menjabarkan
petunjuk pelaksanaan dari ketentuan dalam UU tersebut. Munculnya UU ini diharapkan dapat mempercepat
penanganan masalah kompleks ibukota seperti luas wilayah yang sempit, jumlah dan populasi penduduk
yang tinggi dengan segala dampaknya, permukiman, penataan wilayah, transportasi, komunikasi, pedagang
informal, urbanisasi/migrasi yang tinggi, serta masalah-masalah perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian,
menuju pada pelayanan kota yang cepat, terpadu dan terkendali. PP sebagai tindak lanjut UU Nomor 11
Tahun 1990, perlu disiapkan segera untuk memenuhi tuntutan pertumbuhan dan perkembangan Jakarta
sebagai lbukota Negara.
UU Nomor 11 Tahun 1990 merupakan dasar hukum bagi DKI Jakarta dalam membentuk dan
mengembangkan penyelenggaraan pemerintahan, terutama di bidang kelembagaan, pendanaan, hubungan
kerja antara Gubernur dengan Presiden, para Menteri, pimpinan Lembaga dan Badan-badan Pemerintah lainnya
di Tingkat Pusat. Sejalan dengan itu, perlu ditumbuhkembangkan mekanisme koordinasi perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian pembangunan DKI Jakarta, baik antara Gubernur Kepala Daerah dan
aparatnya dengan pemerintah Pusat maupun dengan Pemerintah Daerah sekitarnya, khususnya Pemerintah

2
Propinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Lampung. Pengembangan dan
pembentukan perangkat Daerah dan Wilayah harus memperhatikan asas fleksibilitas dalam memenuhi
kebutuhan nyata dan tetap memperhatikan prinsip dayaguna dan hasilguna, dalam suatu perkembangan
ibukota yang dinamis.
Kekhususan Pemerintah DKI Jakarta, perlu didukung oleh tersedianya aparatur pemerintah yang
bersih dan berwibawa, pelayanan umum yang baik, administrasi pemerintahan dan pembanguan yang
teratur, dan peran serta masyarakat ibukota dalam pembangunan. Tim Jabotabek serta Sekretariat Bersama
Pemerintah DKI Jakarta dan Pemerintah DT I Jawa Barat, perlu lebih dikembangkan kegiatannya, khususnya
dalam meningkatkan pembangunan di daerah perbatasan DKI Jakarta dengan daerah Botabek. Kerjasama
antara Pemerintah DKI Jakarta dengan Pemerintah Propinsi DT I Jabar, Jateng, 01 Yogyakarta, dan Jatim
yang sudah ada, perlu segera diwujudkan pelaksanaannya, misalnya dalam menangani urbanisasi/migrasi
yang tinggi, pembangunan kawasan industri, permukiman, dan penyediaan tenaga kerja sektor informal.
Jayakarta, 19 Mei 1992

VISI KOTA INDONESIA MASA DEPAN


Penduduk perkotaan di Indonesia berkembang pesat, dari 22,3% (1980) menjadi 31,1% (1990), 34,0%
(akhir Pelita V), diperkirakan menjadi 40,3% (akhir Pelita VI) dan 56,7% (akhir PJP II). Kota Indonesia Masa
Depan adalah kota bersih di mana ekonomi berperan sebagai penggerak pembangunan dan iptek memacu
pembangunan perkotaan. Kota masa depan tersebut adalah kota yang manusiawi dan berkeadilan sosial,
yang memanfaatkan seoptimal mungkin potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia, melakukan
pendekatan sistem dalam penataan ruang, dan mengambil manfaat dari lingkungan strategis, untuk
meningkatkan ketahanan nasional.
Telah banyak seminar yang membahas pembangunan kota dan salah satunya adalah "Seminar 10
Tahun Adipura - Menciptakan Visi Kota Indonesia Masa Depan" yang diselenggarakan di Jakarta oleh
BAPEDAL pada 10 Oktober 1996. Melalui seminar ini diharapkan dapat dihasilkan "visi kota masa de pan"
(perumusan konsep kota bersih, Visi Kota Indonesia Masa Depan dan Program Adipura ke depan), sebagai
peningkatan dari Kota Adipura, Kota Adipura Kencana, barangkali berbentuk Kota Lestari atau Kota Super
Adipura Kencana.
Tidak dapat disangkal bahwa peran teknologi semakin penting di dalam pembangunan. GBHN 1993
menegaskan, "ekonomi adalah penggerak pembangunan dan teknologi merupakan pemacu pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan". Habibie (1982) menegaskan bahwa ilmu pengetahuan, keahlian,
dan teknologi merupakan kunci keberhasilan pembangunan bangsa dalam proses transformasi suatu
masyarakat menjadi bangsa berteknologi serta industri maju. Memasuki era tinggallandas pada PJP II, dalam
abad ke-21 nanti, hanya bangsa yang menguasai iptek yang akan dapat mengikuti kemajuan zaman dan
memanfaatkan peluang-peluang yang terbuka. Pada peringatan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 10
Agustus 1996 (Keppres Nomor 71 Tahun 1995), Bapak Presiden Soeharto menegaskan, "bangsa-bangsa
yang tidak mampu menguasai ilmu pengetahuan dan memanfaatkan teknologi, akan tertinggal dan sulit
menghadapi tantangan zaman. Karena itu, kita harus berusaha sekuat tenaga untuk menjadi bangsa yang
menguasai iptek demi kesejahteraan bangsa Indonesia. Kebutuhan penerapan teknologi tepat guna dalam
pengembangan kota masa depan makin dirasakan, mengingat perkembangan kota yang makin pesat dan
menuntut manajemen perkotaan yang efektif serta pelayanan kota yang efisien dan efektif.

Pengelolaan Sampah Perkotaan


Daerah perkotaan diklasifikasikan menjadi kota raya (penduduk di ats 1 juta jiwa), kota besar (500.000
- 1 juta jiwa), kota besar (1 00.000 - 500.000), dan kota kecil (20.000 - 100.000). Contoh perkembangan kota
yang pesat dapat dilihat kota Jakarta yang bekembang dari urutan ke 33 (tahun 1950) menjadi urutan ke 19
(tahun 1985) dan diperkirakan menempati urutan ke-11 di dunia pada tahun 2000. Perkembangan kota yang

3
pesat dan pertumbuhan penduduk yang tinggi di daerah perkotaan mengakibatkan peningkatan produks1
(timbulan) sampah. Sampah adalah limbah padat yang merupakan sisa kegiatan manusia/masyarakat yang
tidak terpakai, baik bersifat organik maupun non-organik. Jika sampah tidak dikelola dengan baik, maka
sampah akan mengganggu kenyamanan hidup, kesehatan manusia, dan menimbulkan dampak lingkungan.
Pengelolaan sampah merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup penghasil (produksi/timbulan)
sampah, pewadahan, pemilahan, pengumpulan, pengangkutan (ke tempat pembuangan sementara atau
pembuangan akhir), pengolahan dan pemanfaatan, dan pembuangan sampah. Penanganan atau pengelolaan
sampah (di daerah perkotaan), meliputi kegiatan: a) pewadahan sampai ke pembuangan akhir sampah
(aspek organisasi/manajemen dan teknis operasional); b) penyediaan tempat sampah dan alat pengelolaan/
pengolahan sampah (aspek peralatan teknis operasional); c) penyiapan perangkat kelembagaan dan hukum/
peraturan perundang-undangan (aspek hukum dan institusi); d) penyediaan tenaga operasional pengelolaan
kebersihan kota (aspek sumber daya manusia); e) penyediaan dana pengelolaan kebersihan kota (aspek
pembiayaan); f) peran serta/partisipasi swasta dan masyarakat dalam pengelolaan sampah (aspek peranserta
masyarakat); g) persyaratan kesehatan pengelolaan sampah mengacu pada Kepdirjen PPM-PLP Depkes
Nomor 281-II/PD-03.04LP Tanggal 30 Oktober 1989 dan ketentuan terkait lainnya (aspek kesehatan); h)
budaya hid up bersih dan sehat yang didorong oleh PKK (aspek budaya dan perilaku masyarakat); i) penataan
ruang dan penghijauan/keteduhan kota dikaitkan dengan upaya perwujudan kota bersih dan pelestarian
lingkungan (aspek penataan ruang dan lingkungan hidup); j) lain-lain yang berkaitan dengan pengelolaan
sampah yang ditetapkan oleh pemerintah dan melibatkan partisipasi swasta/masyarakat.
Walaupun telah ditetapkan standarisasi peralatan pengelolaan sampah perkotaan, kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa permasalahan sampah tiap kategori kota berbeda, sehingga penanganan
sampah perkotaan perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi kota yang bersangkutan. Sistem pengelolaan
sampah (perkotaan) mengandung sub-subsistem penampungan, pemilahan sampah kering/basah, organik/
an-organik, penggunaan wadah sampah); pengelolaan sampah setempat secara individual (pembakaran dan
pemadatan), pengumpulan sampah (penggunaan tempat penampungan sementara sampah, TPS, transfer
depo), pengangkutan (perorangan, petugas dinas kebersihan), pengolahan sampah (pembakaran, daur
ulang, pembuatan kompos/pupuk, pembuatan menjadi komponen dan elemen bangunan rumah), dan
pembuangan akhir sampah {TPA, sanitary landfill, controlled landfill, modified landfill, improved landfill,
reklamasi, pemadatan sampah, daur ulang, penggunaan cacing, dan harmoni pemulung-sapi-sampah).
Pengelolaan sampah perkotaan dihadapkan pada permasalahan ketidakcukupan pembiayaan,
keterbatasan industri lokal dalam menyediakan peralatan persampahan, sumber daya manusia dan tenaga
kerja persampahan yang kurang profesional, manajemen yang kurang efektif dalam mendayagunakan segera
sumber daya yang tersedia, lemahnya partisipasi swasta dan masyarakat, kelembagaan yang kurang efektif,
peraturan perundang-undangan yang kurang mendukung, sarana dan prasarana perkotaan yang kurang
teratur (jalan, aturan traffic, perumahan, sanitasi dan drainase), aparatur pemerintah yang kurang menjadi
panutan (keteladanan), dan masih rendahnya disiplin warga kota (budaya bersih, budaya tertib, dan budaya
kerja).
Sejak tahun 1986, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup (sekarang dengan Bapedal) bekerjasama
dengan Depdagri, Dep-PU, Depkes, BPPT, dan Tim Penggerak PKK Pusat menyelenggarakan penilaian kota
bersih (bersih, sehat, indah, nyaman) yang dikenal sebagai penilaian Adipura (kota indah dan agung).
Penghargaan Adipura (Adipura Ken can a sejak 1991) didasarkan atas empat aspek penilaian, yaitu (1)
manajemen (kelembagaan, hukum, pembiayaan, dan teknis operasional), (2) peranserta masyarakat (umum
dan PKK), (3) fisik (kebersihan), (4) kesehatan, dan (5) tata ruang dan penghijauan/keteduhan. Dari data
peraih Adipura (1986-1996), penulis dapat menarik beberapa kesimpulan pengelolaan sampah sebagai
berikut :

Pengelolaan Sampah Kotamadya Bandung kurang stabil; Manado dan Bogor membutuhkan penanganan
serius; Ambon perlu merintis lagi dari bawah; Samarinda perlu belajar dari Balikpapan; Semarang dan
Surabaya patut dicontoh;. Surakarta, Padang, Ban dar Lampung, dan Malang terus bersaing; Magelang,
Purwokerto, Cirebon, Balikpapan, dan Cianjur patut ditiru; Kebersihan Temanggung, Magetan, Banjarmasin,
Kudus, Situbondo, Wonosobo, dan Tabanan, dan Temanggung patut dibanggakan. Khusus tahun 1997,

4
prestasi kota-kota Bojonegoro, Cilacap, Tegal, Tasikmalaya, Banyuwangi, Padang, Sukabumi, Sidoarjo,
Wonosobo, dan Boyolali hampir mencapai Adipura Kencana 1997.

Visi Kota Indonesia Masa Depan


Mengacu pada pendapat dan pandangan para pakar perkotaan, maka Visi Kota Indonesia Mas Depan
hendaknya mengandung unsur-unsur berikut : (1) adanya sentuhan teknologi (technoware, humanware,
orgaware, inforware) di dalam berbagai aspek subsistem pengembangan kota, sehingga diwujudkan
"pembangunan lingkungan" (penerapan teknologi tepat guna yang layak, tepat, bisa diterima secara sosial
dan budaya, lingkungan, politis, teknis, dan ekonomis); (2) tumbuhnya kemitraan pemerintah, swasta, dan
masyarakat; (3) pendekatan sistem dalam Penataan Ruang Kota (proses penerapan metode ilmiah dalam
pemecahan masalah berdasarkan pemikiran sistemik, yang memandang segala sesuatu bersegi banyak
(multi dimensi), penuh kompleksitas dan selalu merupakan bagian dari sistem yang lebih luas atau lebih
besar; dan (4) keterpaduan perencanaan, orientasi dan motivasi perencanaan, kemitraan, peranserta/
partisipasi masyarakat, ketergantungan antar daerah, keterkaitan transportasi dan infrastruktur, penataan
lahan, memperhatikan kendala (keterbatasan kewenangan Pemda, kemampuan aparat, pendanaan,
manajemen, dan mekanisme pengendalian) dan peluang (peraturan perundang-undangan, ketersediaan
sumber daya alam dan sumber daya manusia, keberagaman potensi kota, peran swasta, keterkaitan dan
kesepadanan).
Rahardi Ramelan (1996) mengingatkan pentingnya Mempertahankan ldentitas Kota: fungsi kota
sebagai pusat kegiatan, budaya versus kualitas lingkungan, nilai-nilai tradisional versus modernisasi,
pembangunan perkotaan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, arsitektur kota, keseimbangan kota-
desa, ukuran luas kota (megaurban, konurbasi perkotaan), konservasi dan pertumbuhan kota, nilai estetik,
pendekatan komprehensif, perencanaan ruang/spasial, pembangunan infrastruktur yang memadai,
pembangunan kota yang terintegrasi, kualitas warga kota, kemitraan (public-private partnership), dan
peningkatan partisipasi swasta.
Habibie (1996) menyarankan agar kota memiliki dinamika tinggi dan mengandung unsur-unsur berikut:
kota industri dan kota sejarah, mengaitkan makro dan mikro ekonomi perkotaan, visi berdasarkan realitas,
pusat keunggulan dan pusat atraksi (center of excellence, center of atraction), pengembangan kualitas sumber
daya manusia, pemanfaatan sumber daya alam, aspek sosial budaya, produktivitas, kemudahan transportasi
dan komunikasi, diversifikasi tanggung jawab, aman-bersih-menarik (safe, clean, nice), disiplin masyarakat,
hunian berimbang, teknologi tepat guna (appropriate technology, low cost technology), dan aman selama 24
jam. Radinal Moochtar: hemat energi, hemat lahan, sarana dan prasarana untuk mendukung pemerataan
pembangunan, kemitraan, penataan kawasan kumuh dan rawan bencana, koordinasi-integrasi-sinkronisasi,
penataan kota dan pelestarian lingkungan, pemantapan kelembagaan, perencanaan yang matang dan akurat,
kualitas hunian yang layak, sehat, bersih, aman dan nyaman, perencanaan yang memenuhi tuntutan
pengembangan iptek, dan pembentukan manajer perkotaan yang profesional, Sarwono Kusumaatmadja
(1994) mengingatkan pentingnya penanganan limbah rumahtangga/sampah dapur, pendekatan perilaku dan
budaya masyarakat, limbah transportasi, dan limbah industri.
Visi Kota Indonesia Megacity Masa Depan: warga kota dinamis, tantangan degradasi dan kerusakan
lingkungan, kemandirian golongan bawah, penerapan teknologi tepat guna (canggih dan sederhana), cara
kreatif mendayagunakan sumber-sumber, penggalakan pasar lokal di samping pasar regional, nasional, dan
internasional, penanganan energi perkotaan, pembangunan bertumpu pada komunitas, desentralisasi
manajemen perkotaan, peningkatan produktivitas sektor informal, penanganan terpadu berbagai subsistem
perkotaan. Pemerintah kota harus dapat mencanangkan arah pengembangan kota tersebut, misalnya kota
industri, perdagangan, jasa, pariwisata, budaya, pendidikan, dan pertanian modern.
Pengembangan kota haruslah menerapkan kriteria evaluasi suatu inovasi, yaitu meningkatkan nilai-
nilai (secara sosial equitable, ekonomi viable, politik participatory, ecologically berkelanjutan, dan culturally
adaptable (think globally, act locally), Tujuh kebijaksanaan pengembangan perkotaan harus diperhatikan,
yaitu (1) pengembangan dan pemantapan sistem perkotaan yang diarahkan untuk memantapkan fungsi kota
(fungsional, spasial) agar dapat berfungsi optimal dalam pelayanan sosial ekonomi dalam kota dan kawasan

5
sekitarnya; (2) peningkatan produktivitas kota; (3) peningkatan kemampuan sumber daya manusia; (4)
pemantapan kelembagaan; (5) melembagakan/memfungsikan berbagai kelembagaan pengelolaan
pembangunan; (6) pemantapan perangkat peraturan perundang-undangan; dan (7) peningkatan kualitas
lingkungan fisik sosial ekonomi.
Kota Masa Depan memiliki program pembangunan dan kegiatan usaha yang mampu memberikan
lapangan kerja bagi warga kota, mengembangkan potensi sektor unggulan yang produknya berorientasi
ekspor, menyebarkan kegiatan sektor unggulan ke kawasan penyangga, mendorong pengembangan kota
menengah dan kecil, mendorong program teknologi masuk desa dan industrialisasi di perdesaan, meningkatkan
kualitas, kuantitas, dan efisiensi produksi pertanian dan mengurangi ketergantungan pada luar negeri,
memantapkan sistem transportasi dan komunikasi yang andal, sistem penggajian yang seimbang, terciptanya
hidup layak, jaminan sosial dan rasa tentram, diklat, jaminan sosial dan rasa tentram, diklat yang
berkesinambungan, dan mendorong peranserta aktif swasta dalam berbagai kegiatan pembangunan.
Perlu adanya transformasi individu (Mathias Aroef, 1990) dari suka santai ke suka kerja keras, irama
hidup petani ke irama hidup perkotaan yang bergerak cepat, suka pesta panjang ke acara seperlunya saja,
mengagungkan formalitas ke menghargai prestasi riil, boros memakai sumber-sumber ke irit memakai
sumber-sumber. Sejalan dengan itu, diperlukan transformasi kontra produktif ke produktif, dengan ciri-ciri
perubahan dari keterkaitan pada peraturan ke kultur inovator, organisasi sangat terpusat menjadi desentralisasi
wewenang untuk memutuskan, keterkaitan pada struktur berubah menjadi budaya operasi yang responsif,
semula berpegang pada nilai-nilai masa lalu berubah ke berorientasi pada masa depan, dari maksimisasi
proses ke maksimisasi keluaran.

Penutup
Butir-butir pemikiran tentang Visi Kota Indonesia Masa Depan diatas masih harus diteliti dan dikaji
kembali dalam konteks pembangunan kota yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, dengan
memperhatikan lingkungan strategis yang dianggap mempengaruhi perkembangan kota, dikaji melalui
analisis kedepan (kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman atau SWOT, strength, weaknesses, opportunities,
threats). Dalam konteks kebersihan kota, perlu terus dikaji aspek-aspek kelembagaan, fisik, peran serta
masyarakat, kesehatan, penataan ruang dan konservasi, teknis, penonjolan fungsi kota, dan peningkatan
pendapatan asli daerah. Sampah jangan dianggap sebagai masalah, tetapi harus dilihat sebagai potensi
ekonomi yang bisa menghasilkan uang. Contohnya, sampah bisa dijadikan kompos dan tenaga listrik, didaur
ulang, dan sampah organik dapat diubah oleh cacing menjadi pupuk dan obat.
Pengembangan kota-kota di Indonesia hendaknya belajar dari perkembangan kota-kota terkenal di
dunia. Paris, London, Tokyo, dan New York sebagai kota wisata, Rotterdam kota dagang dan pelabuhan, San
Francisco terkenal dengan Golden Gate-nya, Singapura kota transit, belanja dan wisata internasional, Sydney
terkenal waterfront city Darling Harbournya (patut ditiru Jakarta yang membangun pantura dan Tangerang
yang akan memiliki pantura Teluknaga dan Kapuknaga), Bangkok sebagai kota konvensi dan wisata (UN-
ESCAF, UNDP, dan lain-lain), Kyoto kota budaya (kota wisata Yogyakarta dan Denpasar harus makin
memikat). Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, dan Ujung Pandang berpotensi sebagai kota
wisata belanja, dagang, pelabuhan dan konvensi, Bandung sebagai kota pegunungan, dan Yogyakarta-Solo
sebagai kota seni-budaya.
Terlepas dari pengembangan kota menjadi kota pemerintahan, industri, bisnis, wisata, konvensi,
pendidikan, atau seni-budaya, kebersihan kota tersebut perlu diutamakan. Kota-kota Adipura Kencana yang
memang sudah sangat bersih (lihat tabel), berpotensi dikembangkan menjadi kota bersih dan sehat yang
mempunyai ciri khusus dan pada akhirnya kota tersebut berkembang mandiri didukung sumber daya manusia
terampil, dibangun dalam konteks pembangunan kota yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Jayakarta, 5 Juli 1997

6
Kota-kota Peraih Adipura Kencana
Kola Tahun '86 87 '88 '89 '90 '91 '92 '93 '94 '95 '96 '97 +Kola ___ Tahun '86 87 '88 '89 '90 '91 '92 '93 '94 '95 '96 "97
------------· ------~---·

Kola Raya:
1. Surabaya A A A A KEN KEN A KEN KEN KEN ,9. Blitar A A A A A KEN
12. Semarang s A A A A KEN KEN KEN
3. Jakarta Pusat s s A A A A KEN KEN i Kola Kecil :
1. Magetan A A A A KEN A KEN KEN KEN
Kola Besar: 2. Banjarnegara S A A A A KEN KEN KEN
1. Surakarta A A A A KEN KEN KEN A KEN A A 3. Bukininggi A A S A KEN KEN A A A A
2. Malang s A A A A KEN A KEN 4. Kudus A A A A A KEN KEN
3. Padang A A A A KEN A A KEN KEN KEN A 5. Situbondo A A A A A KEN KEN
4. Banda~ampung s s A A A A KEN KEN KEN 6. Wonosobo A A A A KEN KEN A KEN A
7. Boyolali S A A A A KEN A A
Kola Sedang : 8. Padangpan1ang S A A A A A KEN A
1. Magelang A A A A KEN A KEN KEN KEN KEN 9. Tabanan A A A A A KEN A
2. Manado A A A KEN A s s 10. Temanggung A A A KEN KEN KEN KEN A KEN
3. Jambi A A A A A A KEN KEN A A 111. Wonogiri A A A A A A KEN
4. Purwokerto s A A A A KEN KEN 12. Negara A A A KEN
5. Cirebon s A A A A KEN KEN 13. Bangli A A A A A A KEN i
6. Balikpapan s A A A A KEN KEN KEN 14. Lumajang A A A A A KEN i
7. Cianjur s A A A A KEN KEN KEN 15. Kuningan A A A A A KEN I
8. Sragen

Keterangan :
Data diolah dari Data Peraih Adipura 1996 s.d 1997
s A A A A A KEN 16. Tuban

----------- - -- -I A A A A A KEN

KEN = Adipura Kencana; A • Adipura; S • Sertifikat Kola Bersih


---------------·-------------···-----------·----··--· ·-· · - - - - · ·

Jakarta Tahun 2005, Kendala dan Masalah


RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) DKI Jakarta 1985-2005 berusaha mengendalikan penduduk
Jakarta agar pada tahun 2005 tidak melebihi 12 juta jiwa, mengatur perkembangan kota ke arah Barat (Kebon
Jeruk dan sekitarnya) dan Timur (Pule Gebang dan sekitarnya). Pengalaman mengelola kota Jakarta selama
ini memperlihatkan adanya kendala dana dan institusi. Terbatasnya dana memerlukan penentuan prioritas
program-program pembangunan. Kendala institusi antara lain kelemahan dalam perspektif jangka panjang
kota metropolitan, administrasi pemerintahan dan birokrasi perkotaan, pembangunan sosial dan politik,
ketidakpastian perkembangan kota, dan adaptasi perspektif baru.
Enam masalah dan tantangan telah diidentifikasikan oleh Alan M. Strout, ahli perencanaan dan studi
perkotaan pada Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat, yaitu masalah ukuran luas kota
(urutan terbesar ke 13 di dunia pada tahun 2005), pengelolaan kota, sumber daya alam dan manusia, arah
pertumbuhan kota, penunjang, dan bagaimana menjadikan Jakarta menjadi kota metropolitan. Pentingnya
riset dan evaluasi pembangunan kota juga telah ditegaskan oleh ahli perkotaan tersebut.

Kendal a
Jakarta, dari urutan terbesar ke 19 pada tahun 1985 akan menempati urutan ke 13 pada tahun 2005.
Perubahan Jakarta dari kota yang luas (large) ke kota besar, metropolitan, dan megapolitan atau megalopolitan
(great) akan menimbulkan berbagai konsekuensi dari pertumbuhan tersebut. Sivaramakrishnan dan Leslie Green
dalam bukunya, Metropolitan Management: The Asian Experience (1986) menyatakan bahwa masalah paling
mendasar bagi kota-kota besar di Asia adalah kendala dana: dari mana sumberdana pembangunan kota,
bagaimana memobilisasi dan mengalokasikan dana, bagaimana effisiensi diciptakan, dan sejauh mana
pengembalian modal (cost recovery) bisa diciptakan? Sebagai ibukota, kota terbesar, dan pusat perdagangan
di Indonesia, Jakarta diharapkan pada tantangan bagaimana mengelola kota yang mempunyai bermacam-
macam permasalahan.
Di samping kendala dana, kendala institusi atau kelembagaan sangat menonjol. Pengembangan kota
Jakarta tidak dapat dilepaskan dari hubungan timbal balik dengan Pemda Jawa Barat. Pengembangan
Jakarta harus ditunjang oleh perspektif jangka panjang kota metropolitan dan didukung oleh pengembangan

7
Boger, Tangerang, dan Bekasi, serta kota-kota satelit, kota kecil, dan kota baru di sekitarnya. Pengendalian
penduduk DKI tahun 2005 menjadi 12 juta haruslah dibarengi prasarana dan sarana kota-kota sekitar Jakarta,
agar migran dapat menyebar dan tidak menumpuk ke kota Jakarta. Administrasi pembangunan dan birokrasi
perkotaan berkaitan dengan fakta bahwa administrasi pemerintahan tradisional difokuskan pada penerapan
legislasi dan regulasi pengoperasian rutin, pemeliharaan, dan peningkatan parsial dari pelayanan, serta
pengawasan atas kegiatan pemerintah dan swasta. Kebalikannya, administrasi pembangunan adalah proses
siklus, perencanaan proyek, pemrograman dan implementasi yang difokuskan terutama pada pengenalan
dan penyelesaian masalah skala besar pertumbuhan kota dan perubahan yang terjadi (Goodman dan N.L.
Ralph, The Integrated Project Planning and Management Cycle, 1979). Alan Stroutmenyarankan agar Bappeda
DKI Jakarta tidak berfungsi sebagai traditional public administration, tetapi menjadikan dirinya sebagai
development administration.
Ditinjau dari segi pembangunan sosial dan politis, keefektifan pengelolaan kota metropolitan harus
dinilai oleh tanggungjawab terhadap kebutuhan dan keinginan masyarakatnya. Green mengatakan bahwa
management must be able to identify the changing physical, socio-economic, and political problems
accompanying progressive urbanization. Gubernur Wiyogo yang mantan duta besar Indonesia di Jepang
akan membawa pengalaman kota metropolitan Tokyo dan menerapkannya pad a situasi dan kondisi kota
Jakarta dan Jabotabek. Pembangunan yang telah ditetapkan dalam GBHN, Pelita V DKI, dan Pembangunan
Tahunan Pemerintah DKI Jakarta (pembangunan dari atas atau top down planning), harus dipadukan dengan
pembangunan dari bawah, dari masyarakat di tingkat rumahtangga, RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, dan
Kewalikotaan dengan peran serta dan partisipasi semua lapisan masyarakat (bottom up planning).
Tanpa RUTR, RBWK (Rancangan Bagian Wilayah Kota), RTK (Rencana Tata Kota) dan berbagai
perencanaan kota lainnya, mustahil suatu kota dapat dikelola dengan baik. Tetapi tujuan, prioritas,
kebijaksanaan, dan berbagai bentuk perencanaan yang telah dibuat, haruslah dimasyarakatkan dan terbuka
untuk warga Jakarta agar ada umpan balik penyempurnaannya. Pengelolaan kota metropolitan hendaknya
merupakan proses belajar aktif di mana pemerintah kota secara terus menerus menyempurnakan program-
programnya dan menghindari ketidakpastian.
Kota metropolitan harus menganut penyerapan perspektif baru dalam perencanaan dan
pengadministrasian pembangunan kota. Secara teori dan praktek, pengelolaan pertumbuhan kota
dikonsentrasikan pada perencanaan kota dan regional yang dinamik, penentuan tujuan dan sasaran yang
pasti dan menghindari suasana ketidakpastian. Kelurahan sebagai ujung tombak pembangunan kota, harus
dilengkapi dengan aparat trampil, prasarana, dan sarana pemerintahan yang memadai. Untuk meningkatkan
pelayanan informasi, setiap Kecamatan dan Kelurahan harus memiliki komputer dan tidak lagi mesin tik yang
hurufnya lompat-lompat. Apalah artinya uang Rp 2 juta untuk satu unit komputer dibandingkan dengan
informasi yang dapat disediakan oleh komputer tersebut.

Masalah
Alan M. Strout mengindentifikasikan enam masalah DKI yang menonjol, yaitu (1) luas kota, (2)
pengelolaan kota metropolitan, (3) sumberdaya pertumbuhan kota, (4) arah spasial pertumbuhan, (5)
penunjang popular, dan (6) pendefinisian kota yang besar. Luas kota dikaitkan dengan daya dukung Jakarta
terhadap 12 juta penduduk, padahal banyak studi yang memproyeksikan penduduk Jakarta akan melebihi 15
juta pada tahun 2005. Jika pertambahan penduduk ingin terus ditekan, diperlukan berbagai kebijaksanaan
pengendalian penduduk, antara lain menekan migrasi dan urbanisasi, penyebaran migrasi, pelaksanaan
transmigrasi, keluarga berencana, dan percepatan pertumbuhan kota-kota kecil, baru, dan terpadu di
sekeliling Jakarta, dan industri perdesaan. Dengan atau tanpa upaya-upaya ini, tidak dapat dihindari
perkembangan Jakarta menjadi kota metropolitan, megapolitan/megalopolitan, atau mega-city (Herbowo, 1989).
Masalah pengelolaan kota metropolitan memerlukan redistribusi penduduk agar tidak menumpuk di
pusat kota. Pembangunan perumahan dan permukiman baru di daerah Botabek seperti di Karawaci,
Serpong, Cileduk, Ciputat, Pondok Gede, dan Bekasi sampai ke Tambun dan Cikarang akan memudahkan
pengelolaan kota. Penyebaran pusat-pusat pertumbuhan dan perkotaan akan memudahkan pengelolaan
perkotaan. Bersama dengan Botabek, penduduk Jabotabek tahun 2005 akan menjadi sekitar 25 juta,

8
mendekati Mexico City atau Beijing dan kota-kota metropolitan lainnya di dunia.
Masalah sumberdaya untuk pertumbuhan menyangkut kesehatan dan tingkat penghasilan warga
kotanya. Dalam posisinya sebagai ibukota dan pusat berbagai kegiatan ekonomi, Jakarta dihadapkan pada
permasalahan bagaimana memobilisasi dana, mengalokasikannya, dan memanfaatkan sumberdaya,
sumberdana, dan sumberdaya penduduk kota.
Masalah arah perkembangan fisik kota ke arah Barat dan Timur memerlukan pengendalian yang ketat
atas pembangunan ke arah Selatan. Kurangnya prasarana dan sarana pada jalur Barat-Timur, kemacetan
lalulintas setiap saat, kenyamanan lingkungan yang sukar diperoleh, menyebabkan orang enggan tinggal di
Barat-Timur Jakarta. Akibatnya pembangunan ke Selatan tetap berjalan. Padahal daerah Selatan Jakarta
sebagai daerah konservasi tanah dan air untuk ibukota. Jika pembangunan ke Selatan tetap saja berlangsung,
bisa diperkirakan pada tahun 2005 nanti penduduk Jakarta akan kekurangan air bersih dan air minum.
Pembangunan jalan baru, pengendalian tataguna tanah, pengetatan perijinan mendirikan bangunan, akan
mendorong pengembangan Jakarta sesuai dengan RUTR. Tumbuh pesatnya pusat-pusat kota kecil di sekitar
Tangerang dan Bekasi dan tersedianya lapangan kerja, akan dapat menarik penduduk untuk tinggal di sana
(pull factor dan push factor).
Masalah penunjang popular menyangkut perubahan tingkat sosial berbagai tingkatan penghasilan
penduduk. Perbedaan penghasilan kaya dan miskin perlu ditekan. Prinsip subsidi silang, kaya menolong
miskin dalam berbagai jenis pembangunan perlu diciptakan.
Masalah perkembangan Jakarta menjadi kota yang sangat besar memerlukan pengendalian program
pembangunan kota yang efektif dan efisien. Jakarta harus mempunyai ciri khusus, BMW (bersih, manusiawi,
dan berwibawa) menurut pak Wiyogo, dapat juga sebagai city of diversity, city of trees, city of the future,
ataukah city-city yang lain. Jakarta harus belajar dari perkembangan kota-kota metropolitan di dunia agar
pertumbuhannya dapat dikendalikan dengan baik.

Perlu Riset dan Evaluasi


Menyadari banyaknya kendala dan masalah pembangunan kota, mengharuskan aparat Pemda agar
mau bel ajar terus dan meningkatkan keterampilan serta profesionalisme kerjanya. Administrasi pemerintahan,
proses perencanaan pembangunan, pelaksanaan, dan pengawasannya harus dipantau dan dievaluasi secara
teratur dan berkesinambungan. Riset dan evaluasi harus benar-benar diarahkan untuk memecahkan persoalan
mendasar, baik sosial, ekonomi, dan politik, dalam konteks daerah, regional, nasional, dan internasional.
Pemerintah DKI harus lebih flexible, mau mengoreksi dan dikoreksi, melakukan pendekatan kerja yang
berorientasi pada pengembangan, membudayakan aparat dalam proses belajar, menekan ketimpangan
aparat dan cendekiawan, melibatkan peran serta dan partisipasi aktif warganya, dan meningkatkan pelayanan
informasi kepada masyarakat. Studi perbandingan ke kota-kota metropolitan seperti Mexico City, Tokyo, New
York, Los Angeles, Sao Paulo, Shanghai, Bombay, dan Calcutta, rasanya perlu dilakukan.
Jayakarta, 16 Oesember 1989

Tahun 2005, Jakarta Kota Metropolitan?


Pakar pembangunan perkotaan, Alan Strout (Januari 1989) yang menegaskan pentingnya pelaksanaan
riset dan evaluasi pembangunan kota, telah mengidentifikasi enam masalah dan tantangan kota Jakarta, yaitu
masalah ukuran dan luas kota (Lihat Tabel : urutan ke 13 pada tahun 2000), pengelolaan pertumbuhan kota,
sumber alam dan sumber daya manusia, arah pertumbuhan kota, prasarana dan fasilitas penunjang
perkotaan, serta proses menjadikan Jakarta sebagai kota metropolitan. Keberhasilan mengatasi enam
permasalahan utama kota Jakarta, sekaligus akan turut mengatasi permasalahan sosial dan permasalahan
pembangunan lbukota.

9
Ditetapkannya UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia
Daerah Khusus lbukota Jakarta (DKI NRI Jakarta) pada tanggal14 Nopember 1990 menuntut penyelenggaraan
pemerintahan umum dan pembangunan yang fleksibel, rasional, dan dinamis. Gubernur DKI NRI Jakarta
yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden, bekerjasama dengan para Menteri dan Ketua LPND,
serta Gubernur daerah sekitarnya (Jabar, Jateng, Jatim, 01 Yogyakarta, Lampung dan Kalsel), bersama-sama
merencanakan, melaksanakan pembangunan, dan mengembangkan Jakarta berdasarkan Rencana lnduk
Pembangunan DKI NRI Jakarta yang disetujui Presiden.
Penyelenggaraan pemerintahan DKI NRI Jakarta yang bersifat khusus, terkait dengan Jakarta sebagai
tempat penyelenggaraan Sidang Umum MPR, pusat kegiatan pemerintahan negara, pusat kegiatan kehidupan
politik nasional dan internasional (misalnya penyelenggaraan KTI Nonblok), tempat penyelenggaraan acara
kenegaraan, dan tempat kedudukan kedutaan negara lain. Sesuai dengan UU ini, perwilayahan kota dibagi
ke dalam Wilayah Kotamadya, Kecamatan, dan Kelurahan. Sejalan dengan itu, PP sebagai penjabaran UU
No. 11 Tahun 1990 perlu segera ditetapkan.

Metropolitan
Masalah paling mendasar bagi kota-kota metropolitan Asia adalah dana (KG Sivaramakrishnan dan
Leslie Green dalam bukunya Metropolitan Management, The Asian Experience, 1986). Masalah dana
menyangkut dari mana diperoleh, bagaimana memobilisasi dan mengalokasikan, efisiensi, dan sejauh mana
pengembalian modal (cost recovery) bisa diciptakan? Kotamadya di DKI Jakarta (sekarang Lima Wilayah
Kota) ditambah Kotamadya Boger, Tangerang, dan Bekasi (pada tahun 2005) dituntut kemandiriannya.
Kelembagaan dan institusi juga merupakan masalah menonjol. Hubungan timbal balik Pemerintah DKI
Jakarta dengan Pemerintah Daerah sekitarnya akan semakin penting pada PJP II. Pengembangan
kota Jakarta dalam menuju kota metropolitan haruslah didasarkan atas perspektif kota masa depan yang
menyatu dengan Botabek. Metropolitan Jakarta tidak akan ada artinya tanpa berkembangnya wilayah
Botabek.
Dengan penduduk 8,2 juta sekarang, 16,8 juta bersama Botabek, pada tahun 2005 penduduk Jakarta
paling sedikit mencapai 12 juta dan Jabotabek menjadi 25 juta. Administrasi pemerintahan dan administrasi
pembangunan harus inovatif dan berorientasi ke masa depan sebagai development agent, berpendekatan
lingkungan, berorientasi kepada kegiatan, dan bersifat pemecahan masalah. Pakar administrasi pembangunan
seperti Hiram Philips, Esman, Montgomery, Siagian, Weidner dan Bintoro (dalam Drs. Soeharto Rijoatmodjo,
LAN, 1992) menegaskan bahwa administrasi pembangunan harus berorientasi modernitas dalam berbagai
aspek kehidupan bangsa serta mewujudkan pelaksanaan pembangunan secara efektif.
Pengelolaan kota metropoolitan harus memperhatikan kebutuhan dan keinginan masyarakat (Baca
Green: Management must be able to identify the changing physical, socio-economic, and political problems
accompanying progressive urbanization). Perencanaan pembangunan bukanlah semata-mata merupakan
perpaduan pendekatan dari bawah dan dari atas (bottom up and top down approach), tetapi lebih merupakan
proses yang teratur dan berencana yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, didukung partisipasi aktif
masyarakat dan swasta. RUTR OKI Jakarta 2005 disertai RBWK dan RTK, perlu dimodifikasi menjadi Rencana
lnduk Pembangunan Kota sebagai hasil pembahasan dengan pada Menteri dan Ketua LPND serta Pemda
tetangga, dan disetujui Presiden. Kerjasama dengan Kantor Menristek!BPP Teknologi dan LIPI, perlu
dikhususkan pada kegiatan riset dan evaluasi pembangunan kota, baik yang menyangkut aspek ekonomis,
teknis, sosial, budaya, maupun aspek hukum dan peraturan perundang-undangan.
Kelurahan dan kecamatan di setiap Kotamadya DKI Jakarta akan merupakan ujung tombak
pembangunan Metropolitan Jakarta. Aparat tram pi I kelurahan, administrasi yang teratur disertai komputerisasi,
sarana dan prasarana yang menunjang, diperlukan dalam mewujudkan kemandirian kelurahan. Lembaga
Musyawarah Kota harus jeli membaca prioritas pembangunan kota dan memanfaatkan sumber alam dan
sumber day a manusia yang tersedia. Kerjasama dengan kota-kota metropolitan di dunia seperti Tokyo,
Amsterdam, Rotterdam, Los Angeles dan kota-kota lainnya, perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam
membangun dan mengembangkan kota Jakarta. Pembangunan kota Jakarta dengan menutup sebagian
pantai (reklamasi) dan pemantapan Jakarta sebagai kota pelabuhan internasional, pasti akan banyak belajar

10
dari Amsterdam dan Rotterdam. Pembentukan dan pengembangan perangkat Wilayah dan Daerah sesuai
dengan kebutuhan karena kekhususan DKI NRI Jakarta, dilakukan untuk menampung dan mengatasi
dinamika beban tugas ibukota yang demikian berat dan kompleks.
Richard Batley dan Nick Devas (1988) menyodorkan konsensus baru pengelolaan kota metropolitan
yang memprioritaskan keseimbangan dan efisiensi, efektivitas, keseimbangan antara target kebutuhan dan
target kepentingan masyarakat, aksesibilitas kota, antisipasi program pemecahan masalah urbanisasi yang
tinggi, penyederhanaan proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan, deregulasi, pengutamaan
pengerahan sumber daya daripada sekedar pelayan masyarakat, pembentukan kerangka institusi untuk
pembangunan kota yang berintegrasi, pengutamaan peran administrasi lokal, mobilisasi dana dan sumber
daya, responsif, serta pengelolaan jasa dan pemeliharaan fasilitas kota. Menyongsong era globalisasi,
khususnya di kawasan Pasifik, Harry W. Richardson (The Development Issues in the Pacific Rim 1989),
menegaskan bahwa pada tahun 2005 Jakarta akan bersaing ketat dengan kota-kota Los Angeles, San
Francisco, Seattle, San Diego, Tokyo, Osaka, Kitakyushu, Nagoya, Seoul, Pusan, Singapura, Hongkong,
Taipei, Shanghai, Beijing, Vancouver, Sydney, Melbourne, Wellington, Manila, Kuala Lumpur, Bangkok, Port
Moresby, Mexico City, Quito, Santiago, Lima, dan Panama City.

Menuju Profesionalisme
Pemecahan masalah sosial dan permasalahan pembangunan di DKI Jakarta tidaklah dapat dilakukan
secara parsial dalam skala mikro. Pemecahan masalah perlu diusahakan secara konsepsional dalam lingkup

Tabel. Duapuluh Kota Terpadat Penduduknya di Dunia Tahun 1950 dan 2000 (dalam jutaan)

No. Nama Kota 1950 Nama Kota 2000

1. New York 12,4 Mexico City 26,3


2. London 10,4 Sao Paulo 24,0
3. Shanghai 10,3 Tokyo 17,1
4. Rhein-Ruhr 6,9 Kalkuta 16,6
5. Tokyo 6,7 Bombay 16,0
6. Beijing 6,7 New York 15.5
7. Paris 5,5 Seoul 13,5
8. Tianjin 5,4 Shanghai 13,5
9. Buenos Aires 5,3 Rio de Janeiro 13,5
10. Chicago 5,0 Delhi 13,3
11' Moskwa 4,8 Buenos Aires 13,2
12. Kalkuta 4,4 Kairo 13,2
13. Los Angeles 4,1 Jakarta 12,8
14. Osaka 3,8 Bagdad 12,8
15. Milan 3,6 Teheran 12,7
16. Rio de Janeiro 3,5 Karachi 12,2
17. Mexico City 3,1 Istanbul 11 ,9
18. Philadelphia 3,0 Los Angeles 11,2
19. Bombay 2,9 Dhaka 11,2
20. Detroit 2,8 Manila 11 '1

Catatan : Perhitungan PBB, kota terpadat pada tahun 2000 adalah Mexico City (31,0 juta), Sao Paulo (25,8),
Tokyo (24,2), New York (22,8), Shanghai (22,7), Beijing (19,9), Rio de Janeiro (19,0), Bombay (17,1), Kalkuta
(16,7), Jakarta (16,6), Seoul (14,2), Los Angeles (14,2), Kairo (13,1), Madras (12,9), dan Manila (12,3).
Sumber:
Sivaramakrishnan dan Leslie Green, "Metropolitan Management, The Asian Experience", Economic Development
Institute, Washington D. C., 1986.

11
pengelolaan kota metropolitan. Berdasarkan pengalaman melakukan survai dan analisis di delapan kota Asia,
yaitu Bangkok, Bombay, Kalkuta, Kolombo, Jakarta, Karachi, Madras, dan Manila, Sivaramakrishnan dan
Leslie Green (1986), menyarankan perlunya aparat Pemda meningkatkan profesionalisme agar dapat
diciptakan pengelolaan kota metropolitan yang efisien dan efektif.
Aparat Pemda harus mengerti tugas-tugas kota metropolitan, baik dalam lingkup lokal, regional,
nasional, maupun internasional. Kendala permasalahan kota metropolitan seperti pendanaan, institusional,
pemilihan berbagai alternatif, pengembangan sumber daya manusia, dan pengelolaan kota metropolitan yang
kompleks, perlu diupayakan pemecahannya melalui perencanaan yang komprehensif dan pelaksanaan
pembangunan yang terintegratif. Masyarakat Jakarta, baik penduduk ibukota maupun mereka yang mencari
nafkah di Jakarta, juga harus bekerja secara profesional, mempunyai sikap hidup dinamis dan berorientasi
pada peningkatan kualitas. Aparat Pemda, Swasta, dan Masyarakat Jakarta harus menciptakan mekanisme
kerja yang harmonis, bekerja profesional dalam mengelola kota metropolitan Jakarta, menumbuhkan
partisipasi, mau belajar terus menerus, berorientasi pengembangan, fleksibel, dinamis, dan mau dikoreksi,
untuk bersama-sama mewujudkan JAKARTA METRO BMW.
Jayakarta, 7 Juli 1992

Manajemen Kota Metropolitan Jakarta


Ahli pembangunan perkotaan dari Amerka Serkat, Prof. Alan Strout, pada ceramahnya di depan para
pejabat Pemerintah DKI Jakarta bulan Januari 1989 menyatakan bahwa pada abad 21 Jakarta akan luas dan
besar (Jakarta in the 221st century; large, yes; great, why not). Inti ceramahnya menjelaskan masalah, tantangan
dan kendala biaya, institusi, ukuran luas kota, manajemen kota metropolitan, sumber daya manusia,
pertumbuhan menjadi kota-mega, (megacity) atau metropolitan, megapolitan, atau megalopolitan, dan faktor
pendukung, merupakan kendala utama kota Jakarta. Ditegaskan pula pentingnya riset dan evaluasi dalam
memacu pambangunan kota. Ceramah tersebut mengacu pada hasil survai Economic Development Institute
(ED I)/Bank Dunia yang dituangkan ke dalam buku berjudul Metropolitan Management- The Asian Experience
dibuat oleh K.C. Sivaramakrishnan dan Leslie Green (1986).

Kendala dan Masalah


Permasalahan dan tantangan kota raya Jakarta yang sedang menuju metropolitan, tidak jauh berbeda
dengan permasalahan tujuh kota sejenis di Asia yang telah diteliti Sivaramakrishnan dan Leslie Green, yaitu
Bangkok, Bombay, Kalkuta, Kolombo, Karachi, Madras, dan Manila. Jakarta dihadapkan pada luasnya yang
hanya 665 km, tetapi dihuni oleh 8,2 juta jiwa sekarang, dan 12 juta jiwa tahun 2005. Penduduk Jabotabek
pada tahun 2005 diperkirakan mencapai 25 juta, akan berkembang lagi menjadi 30-35 juta pada tahun 2025.
Jumlah penduduk yang tinggi dan kota yang luas, memerlukan pengelolaan kota metropolitan yang serba
komputerisasi, tidak lagi bisa hanya mengandalkan mesin tik manual.
Sumber-sumber perkotaan, sumber alam dan sumber daya manusia perlu makin didayagunakan dan
penghasilan masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat. Kurang
lancarnya koordinasi antara Pemerintah DKI Jakarta dengan Lembaga Pemerintah Non-Departemen, sering
menimbulkan tumpang tindih program dan proyek pembanguan. Masalah arah pertumbuhan fisik masa
datang yang diinginkan untuk mengembangkan poros Barat-Timur dan pertumbuhan kota-kota kecil sekitar
Jakarta, ternyata hasilnya belum memuaskan. Demikian pula pengembangan pusat-pusat industri kecil,
kegiatan usaha dan perdagangan, perumahan, dan permukiman, masih belum sesuai dengan rencana tata
ruang kota.
Kepadatan penduduk yang san gat tinggi di beberapa bagian wilayah kota, masih adanya ketimpangan
antar wilayah kota, dan kesenjangan penghasilan warga kota, mengakibatkan adanya ketidak-seimbangan
regional (regional inequalities). Dalam menuju pada perwujudan megacity, megapolitan, megalopolitan,

12
metropolis atau metropolitan, ukuran Jakarta yang besar dan luas hendaknya jangan dijadikan masalah,
bahkan harus makin bisa menarik investor dan wisatawan mancanegara, menjadikan Jakarta kota internasional
(city of diversity, city of trees, and city of the future).
Kendala finansial terutama menyangkut pemanfaatan sumber-sumber, mobilisasi, alokasi, efisiensi dan
efektivitas, serta pengembalian biaya (cost recovery). Kendala institusi mencakup keterbatasan perspektif
metroplitan jangka panjang, birokrasi perkotaan dan administrasi pembangunan, masalah politik, sosial-
ekonomi, dan fisik-urbanisasi, ketidakpastian, dan sistem informasi manajemen. Untuk mengatasi kendala
tadi, riset, evaluasi, pendidikan dan pelatihan perlu diprioritaskan. Riset yang difokuskan pada ramalan
Jakarta tahun 2005, harus menyangkut transportasi dan infrastruktur, perumahan dan permukiman, tata
ruang, tanah, kependudukan, air bersih, pengelolaan sampah, lingkungan hidup, pertumbuhan kota, dan
pertumbuhan regional.

Manajemen Metropolitan
Metropolis atau metropolitan sering diartikan sebagai lbukota Negara, tempat berkumpulnya kantor-
kantor pemerintahan, kota berpenduduk satu juta jiwa ke atas atau kota dengan tingkat urbanisasi yang
sangat tinggi. Dilihat dari jumlah penduduk, Sivaramakrishnan telah meneliti 35 kota terpadat di dunia secara
periodik lima tahunan sejak tahun 1950 sampai dengan tahun 2000. Tahun 2000, Jakarta berada pada urutan
ke 13 dengan jumlah penduduk di atas 13 juta, sedangkan Mexico City mencapai 30 juta. Tugas-tugas
manajemen metropolitan mencakup aspek-aspek ekonomi dari pengembangan kota, aspek spasial, sosial,
organisasi, dan pelayanan umum. Tugas-tugas manajemen kota metropolitan dihadapkan pada bermacam-
macam perilaku, pola hidup terlalu dinamis, kegiatan ekonomi terlalu cepat berkembang, jumlah penduduk
terlalu banyak, ketidakpastian, terlalu ketat birokrasi, terlalu banyak program yang harus ditangani, kota
tumbuh terlalu cepat, dan terlalu banyak masalah sosial.
Dalam konteks pembangunan ekonomi, manajemen metropolitan harus bisa mewujudkan koordinasi
pembangunan pada tingkat lokal, regional, nasional, dan internasional (Metropolitan Management should be
able to identify a city's economic ills, research its economic advantages and opportunities, and formulate
relevant action programs that can be incorporated, in whole or in part, in national and regional development
plans). Di samping kendala dana dan kelembagaan, lima kendala administratif juga menghambat keberhasilan
manajemen metropolitan, yaitu ketidakmampuan mengendalikan jumlah penduduk dan faktor-faktor sosial-
ekonomi, ketidakmampuan meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam mengejar perkembangan
iptek, birokrasi, dan belum padunya penerapan berbagai perspektif jangka panjang mengenai perencanaan
kota. Perspektif jangka panjang yang dimaksudkan adalah penerapan model-model manajemen, antara lain
PPBS (Planning, Programming, and Budgeting System), MBO (Management by Objectives), Pendekatan Sistem
(System Approach), Analisa Sistem dan Riset Operasi (Operation Research and Systems Analyses), PIP
(Performance Improvement Planning), 0& M (Organization and Management), POAC (Planning, Organizing,
Actuating, and Controling), dan KEKEPAN (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman, yang berasal dari
SWOT, strength, weaknesses, opportunities, and threats).
Manajemen metropolitan yang efektif perlu mengacu pada konseptual model. Jumlah organisasi harus
minimum tetapi produktif, yang selalu memfokuskan pada dua hal, yaitu proses pembuatan keputusan dalam
usaha mencapai target yang rasional dan konsentrasi pada program dan proyek yang akan dan bisa
dilaksanakan. Pemerintah DKI Jakarta patut bangga, karena pada tahun 1990 ditetapkan UU Nomor 11
Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus lbukota Negara Republik Indonesia Jakarta (DKI
NRI Jakarta). Dengan UU ini, Gubernur bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Bisa ditafsirkan,
Gubernur akan selalu duduk di samping Presiden, terutama akan selalu mendampingi Presiden dalam
menerma kunjungan pejabat tertinggi negara asing.
Posisi Gubernur hampir sama (atau sedikit di atas Menteri?), karena Gubernur selalu mengkoordinasikan
program pembangunan, pelaksanaan, dan pengawasannya dengan para Menteri dan Ketua LPND, serta
Gubernur daerah tetangga DKI. Dengan UU ini juga terbuka peluang perluasan kota Jakarta, kelihatannya
bisa menjadi Jabotabek. Bukan tidak mungkin Kotamadya Bogor, Tangerang, dan Bekasi (sekarang masih
Kotif) pada tahun 2000 atau 2005 akan masuk ke dalam wilayah NRI DKI Jakarta. DKI juga harus mempunyai

13
Rencana lnduk Pembangunan Kota yang harus disetujui Presiden. lni berarti pemerintah DKI Jakarta ·bersifat
khusus, baik sebagai propinsi maupun ibukota negara.
Bagaimana menciptakan manajemen metropolitan yang efektif? Pertama-tama, sesuai dengan UU
Nomor 11 Tahun 1990, Pemerintah DKI Jakarta harus mempunyai Rencana lnduk Pembangunan Kota
(merupakan penyempurnaan dari RUTR 2005 yang sudah dimiliki). RIPK ini merupakan hasil koordinasi
dengan para Menteri (Pimpinan Departemen), Pimpinan Lembaga Pemerintah Non-Departemen, dan para
Gubernur daerah tetangga yang pengaruhnya besar terhadap DKI Jakarta, khususnya Jawa Barat. Koordinasi
intern dan ekstern dilaksanakan dalam rangka memadukan, menyerasikan, menyelaraskan, dan
mengintegrasikan program dan pelaksanaannya serta berbagai kepentingan dan kegiatan yang saling
berkaitan beserta segenap gerak, langkah, dan waktunya dalam rangka pencapaian tujuan untuk mencegah
timbulnya tumpang tindih, benturan, kesimpangsiuran dan kekakuan.
Selanjutnya pelaksanaan tahunan RIPK yang dijabarkan ke dalam perencanaan tingkat Kotamadya
(sekarang wilayah kota), Kecamatan (Rencana Bagian Wilayah Kota, RBWK), dan Kelurahan (Rencana
Terinci Kota, RTK), harus dilakukan secara terpadu oleh Pemerintah DKI Jakarta dengan lnstansi terkait.
Musyawarah Pembangunan tingkat Kelurahan, Temu Karya Pembangunan tingkat Kecamatan, Rakorbang II
tingkat Kotamadya dan Rakorbang I tingkat Propinsi, perlu dilaksanakan secara teratur, tepat, dan melibatkan
sebanyak mungkin pihak Swasta dan Masyarakat. Pakar-pakar perkotaan perlu secara regular dilibatkan
dalam diskusi, simposium, seminar dan sarasehan pembangunan kota. Masukan sarana dan pemikiran
mengenai RBWK dan RTK perlu diperhatikan dalam menentukan penyempurnaan RBWK dan RTK itu
sendiri. Lembaga Musyawarah Kota pada tingkat Kotamadya (seperti LKMD pada tingkat Kelurahan dan
UDKP pada tingkat Kecamatan) harus bisa memberikan masukan kepada Pemerintah, pada tahap perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, pemantauan, dan evaluasi, dalam berbagai bidang pembangunan
baik yang dibiayai oleh negara maupun swadaya masyarakat.
Pemerintah DKI Jakarta perlu mengambil manfaat dari kerjasama antar kota, misalnya Jakarta dengan
Amsterdam, Rotterdam, London, Paris, Tokyo, Los Angeles, New York, Shanghai, dan Mexico City. Dari
Amsterdam kita belajar mengelola limbah industri dan pelabuhan, dari Rotterdam bisa belajar reklamasi
pantai Teluk Jakarta, dari Tokyo bisa belajar mengelola sampah kota, dan dari Mexico City juga bisa
membandingkan cara mengelola kota yang penduduknya di atas 20 juta.
Fungsi utama dari organisasi pemerintah adalah pendayagunaan masukan (inputs) dan sumber daya
yang tersedia untuk menghasilkan keluaran (outputs) produk dan/atau jasa dalam suatu lingkungan sosial-
ekonomi, politik, hukum, dan bidang-bidang lainnya melalui proses pembuatan keputusan yang rasional
(perumusan masalah, penentuan tujuan, penentuan/perubahan model, parameter masukan, kendala,
pembentukan model, penilaian indikator kinerja, penyusunan alternatif, dan pembuatan keputusan). Agar
fungsi ini berjalan lancar, pendekatan sistem (kerangka konseptual untuk menunjukkan dan menggeneralisasikan
masalah keputusan dalam cara-cara yang obyektif dan rasional) perlu sering dilakukan untuk menentukan
keputusan dalam suatu organisasi yang kompleks seperti Pemerintah DKI Jakarta.
Manajemen pemerintahan DKI Jakarta yang efektif harus diciptakan secara merata pada semua
tingkatan, mulai dari tingkat propinsi, kotamadya, kecamatan, dan kelurahan. Aparatur Pemerintah DKI
Jakarta harus selalu mau belajar terus menerus, mengikuti kegiatan pendidikan dan pelatihan dalam usaha
mengejar penciptaan pelayanan pemerintah yang tepat (yang diberikan dan dilakukan, sesuai dengan
kebutuhan), cepat (pemenuhan kebutuhan dilakukan cepat), murah (biaya pelayanan murah), dan ramah
(hubungan pejabat dengan masyarakat dilakukan dengan sopan dan bersahabat). Manajemen Kota Metropolitan
Yang Efektif akan bisa menekan permasalahan sosial dan permasalahan pembangunan ibukota, menempatkan
aparat dan masyarakat pada perannya masing-masing dalam pembangunan kotanya, dan dapat mempercepat
perwujudan Daerah Khusus lbukota Negara Republik Indonesia Jakarta (DKI NRI Jakarta), menjadi JAKARTA
METRO BMW.
Jayakarta, 22 Juli 1992

14
Buku Untuk Para Perencana :

Manajemen Pembangunan Prasarana


Perkotaan
Judul Manajemen Pembangunan Prasarana Perkotaan;
Editor lr. Nana Rukmana D.W., Dr. Florian Steinberg, dan lr. Robert van der Haft;
Penerbit USES, cetakan pertama tahun 1993; Halaman : xii, 289 halaman.
Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu (P3KT) telah dilaksanakan di Indonesia sejak 1985,
dengan mengubah prinsip sektoral terpusat menjadi terpadu dan mendaerah (desentralisasi). lsi buku ini
dipilih dari makalah-makalah yang disajikan pada seminar internasional perkotaan Planning and Managing of
Urban Infrastructure yang diselenggarakan di Jakarta pada Desember 1990 oleh Unit Pengembangan
Program Latihan P3KT (UP2L-P3KT) Direktorat Bina Program, Ditjen Cipta Karya, Departemen PU. Rincian
uraian terdiri atas enam bagian, yaitu pendahuluan, prinsip-prinsip dasar pendekatan, penyiapan dan
pelaksanaan program, upaya peningkatan kemampuan teknis dan manajerial Pemda Tingkat II, pelibatan
swasta dan masyarakat, dan tantangan masa depan.
Bagian Pertama membahas pendekatan inovatif dalam manajemen pembangunan perkotaan. Bagian
ini menjelaskan pendekatan, pengalaman, tujuan dan prinsip pendekatan P3KT, program jangka menengah
dan beberapa hal penting dari P3KT. Prinsip P3KT adalah optimasi, mobilisasi, desentralisasi dan dekonsentrasi,
kesepakatan dan keterpaduan, serta keseimbangan. Pola yang diikuti yaitu keterjangkauan (affordability) dan
pembangunan dari bawah (bottom up) yang meliputi komponen perencanaan tata ruang kota, air bersih, air
limbah, persampahan, drainase, pengendalian banjir, jalan kota, dan perumahan.
Beberapa hal penting yang bisa ditarik dari P3KT antara lain manajemen perkotaan dan pelatihan,
manajemen keuangan Pemda Tingkat II, manajemen kerjasama Pemerintah-Swasta (public private partnership),
dan manajemen peran serta masyarakat. P3KT menuju manajemen pembangunan kota terpadu, menciptakan
produktivitas dan sustainabilitas kota, dengan mempertimbangkan sumber daya alam/geografi, sumber daya
manusia, tata ruang, permukiman, sarana dan prasarana, kegiatan ipoleksosbudhankam, serta aspek
pengaturan, kelembagaan dan keuangan.
Bagian Kedua, prinsip-prinsip dasar pendekatan. Pada bagian ini dibahas konsep P3KT, desentralisasi
penyediaan fasilitas pelayanan perkotaan dan penyusunan rencana tindakan peningkatan kelembagaan,
serta pembiayaan P3KT. P3KT merupakan suatu pendekatan guna merencanakan dan menyusun program
prasarana kota secara terpadu yang bergantung pada kemampuan keuangan dan kelembagaan Pemda
Tingkat II. Maksud P3KT adalah mengoptimasikan penggunaan dana yang diperuntukkan bagi pembangunan
prasarana dan sarana perkotaan melalui proses keterpaduan program lintas sektoral yang didasarkan atas
prioritas daerah.
Sejak awal disadari bahwa desentralisasi pelayanan perkotaan merupakan proses politis, bukan
semata-mata proses teknis. Desentralisasi dapat dilihat sebagai arahan atau kerangka bagi pelaksanaan,
bukan kegiatan pasti dengan jadual pelaksanaan yang kaku. Seluruh proses P3KT bersifat evolusi yang
tergantung pada tepat tidaknya desentralisasi penyediaan prasarana kota tertentu, kemampuan teknis dan
keuangan Pemda Tingkat II guna menerima tanggungjawab tersebut, dan keberhasilan mengatasi masalah
birokrasi dan kepentingan kelompok. Pembiayaan P3KT diambil dari (1) penyaluran dana dari pusat ke
daerah, termasuk hibah untuk belanja pembangunan dan rutin, dan pendapatan pusat yang diserahkan
seluruhnya atau sebagian kepada Pemda, (2) pendapatan asli daerah, termasuk pajak dan retribusi daerah,
dan (3) pinjaman Pemda. Dapat disimpulkan bahwa kemajuan pelaksanaan P3KT sangat ditentukan oleh
kemantapan sistem keuangan pemerintah daerah.
Bagian Ketiga, penyiapan dan pelaksanaan program. Pemda perlu menyusun rencana investasi multi-
tahunan untuk P3KT. Pelaksanaan investasi P3KT dapat dipercepat melalui perencanaan dan pengelolaan
yang sistematis. Kelemahan penerapan P3KT di beberapa daerah disebabkan programnya masih mengcopy
dari daerah lain tanpa mempertimbangkan prioritas daerah tersebut. Hal yang belum dilakukan Pemda adalah

15
memadukan P3KT ke dalam kegiatan rutin Pemda Tingkat II, padaha! dengan P3KT pada sub-subsektor
tertentu, akan menekan dana pembangunan. Demikian pula, Pemda Tingkat II belum menerapkan P3KT
pada sub-subsektor yang lain dan belum meningkatkan kemampuan keuangan Pemda. Penilaian proyek
harus dilakukan atas dasar segi teknis, keuangan dan ekonom1s dengan memperhatikan aspek-aspek
komposisi program, pendanaan, kemampuan kelembagaan, operasi dan pemeliharaan, serta partisipasi
masyarakat dan swasta. Keberhasilan pelaksanaan P3KT banyak ditentukan oleh kepemimpinan Bupati/
Walikotamadya DT II dalam mendayagunakan sumber-sumber daya di daerahnya.
Kegiatan Keempat, upaya peningkatan kemampuan teknis dan manajerial Pemda Tingkat II. Pelatihan
dalam P3KT terdiri atas empat jenis, yaitu program inti, kursus-kursus pendukung, kursus pengelolaan
perkotaan, serta seminar dan lokakarya di tingkat pusat. Menyadari pentingnya operasi dan pemeliharaan
prasarana kota, maka telah disusun langkah-langkah dalam penyiapan program dan investasi perkotaan
untuk operasi dan pemeliharaan prasarana kota.
Bagian Kelima, pelibatan swasta dan masyarakat. Saat ini makin disadari pentingnya keterlibatan
swasta dalam pembangunan perkotaan. Partisipasi swasta dapat diidentifikasikan ke dalam 6 jenis, yaitu
konsep built. operate, and transfer (BOT), konsep divestitute, konsep leasing, konsep contract operations,
penerapan konsep kerjasama pemerintah-swasta yang meliputi kegiatan pembangunan kota yang kompleks,
dan peran serta sektor informal dalam pembangunan kota. Ada tiga keuntungan partisipasi masyarakat dalam
meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembangunan kota, yaitu (1) memberikan kontribusi pada upaya
pemanfaatan sebaik-baiknya sumber dana yang terbatas, (2) membuka kemungkinan keputusan yang diambil
didasarkan pada kebutuhan, prioritas dan kemampuan masyarakat, dan (3) menjamin penerimaan dan
apresiasi yang lebih besar terhadap segala sesuatu yang dibangun. Partisipasi masyarakat masih banyak
hambatannya, antara lain belum tumbuh rasa saling percaya antara pemerintah dan masyarakat, masyarakat
di tingkat RW dan RT masih menjumpai kesulitan dalam berpartisipasi, dan anggota masyarakat belum
mempunyai keahlian yang sesuai dengan kebutuhan.
Bagian Keenam, tantangan masa depan. P3KT merupakan program pembangunan kota yang menyeluruh
dalam menuju pembangunan kota terpadu. Pembangunan kota terpadu, suatu alternatif program yang
selektif, membutuhkan data, informasi dan komunikasi yang baik, didukung pelatihan yang baik. Pelatihan
informasi dan komunikasi P3KT dilakukan berupa kursus operasional di tingkat daerah, lokakarya tingkat
wilayah, dan ketrampilan khusus.
Buku ini baik untuk dibaca oleh para perencana, manajer kota, pejabat instansi pusat dan daerah,
swasta, para konsultan, mahasiswa, serta masyarakat yang ingin mendalami masalah manajemen prasarana
perkotaan.
Jayakarta, 27 Juli 1993

Manajemen Pembangunan Perkotaan


Jumlah penduduk perkotaan di Indonesia terus meningkat dari 24 juta (20%} tahun 1970 menjadi 52
juta (30%) tahun 1990, dan diperkirakan mencapai 52% pada tahun 2020. Kompleksnya permasalahan
perkotaan pada masa datang menuntut manajemen perkotaan yang efektif. Beberapa pakar perkotaan menyorot
masalah perkotaan dan tantangan mewujudkan pengelolaan kota dengan memperhatikan sumber-sumber
yang tersedia di kota tersebut. Edisi khusus Jurnal Perencanaan Wilayah Kota (Februari 1993) yang
diterbitkan oleh Jurusan Planologi ITB juga khusus menyorot pentingnya manajemen perkotaan. Tulisan ini
berusaha mengangkat berbagai aspek yang terkait dengan manajemen perkotaan, antara lain pembiayaan,
sumber daya manusia, penyatuan beberapa wilayah, dan sistem informasi geografis.

Manajemen Perkotaan
Menurut pakar perkotaan Kusbiantoro (1993), sistem wilayah perkotaan terdiri atas tiga komponen,

16
yaitu komponen utama, lingkungan, dan kelembagaan. Komponen utama meliputi sistem aktivitas/kegiatan
atau sistem demand (penduduk dan segenap kegiatannya serta ruang, darat, laut, dan udara, dan beragam
penggunaannya) dan sarana pelayanan sosial dan ekonomi. Komponen lingkungan terdiri atas sistem
lingkungan atau sistem environment, fisik - sosial - ekonomi - politik misalnya masalah produktivitas dan
kemiskinan, dan lokal - regional - nasional - internasional misalnya kota dengan wilayah sekitarnya dalam era
borderless country. Komponen kelembagaan mencakup sistem kelembagaan/institusional atau sistem
penunjang/pelengkap, aspek legal (kebijaksanaan, hukum, dan peraturan perundang-undangan), keuangan
atau sumber dana, dan organisasi (lembaga/pelaku terkait).
Sistem perkotaan yang ideal berkaitan dengan perkembangan konsep kota-kota tertentu, seperti kota
taman, kota teknologi, kota masa depan, kota pariwisata, kota jasa, kota industri, kota pertanian, dan
sebagainya. Sistem ideal ini menyangkut keserasian hubungan intra dan antar-sistem serta kelengkapan
yang diharapkan dari sistem kelembagaan. Fungsi manajemen meliputi rangkaian tahapan kegiatan
perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan. Pendekatan manajemen terus berkembang,
antara lain telah dikenal scientific management administration and functional management, contingency
approach, total quality management (TOM), kaizen, dan creagement. Manajemen perkotaan (Kusbiantoro,
1993) dapat didefinisikan berdasarkan batasan tentang manajemen dan perkotaan, proses manajemen dari
kondisi sistem kota saat ini menuju sistem kota yang dikehendaki berdasarkan pada tujuan idealistic dan
dynamic.
Manajemen perkotaan perlu dikaitkan dengan penataan ruang kota, memperhatikan komponen utama,
komponen kelembagaan, dan proses berbagai komunikasi. Warga kota haruslah dinamis sejalan dengan
perkembangan kota yang cepat. Pendidikan dan pelatihan diperlukan dalam rangka meningkatkan ketrampilan
aparat pemerintah dan warga kota, dapat melihat ke de pan dan akrab dengan situasi setempat (think globally,
act locally). Pucuk pimpinan kota selain sebagai manager (doing the thing right) juga sekaligus harus berfungsi
sebagai leader (doing the right thing) yang bisa membaca kelompok sasaran (target groups), didukung kreativitas
yang tinggi (management for creation atau creagement).
Pakar perkotaan dan keciptakaryaan, Hendropranoto Suselo, membedakan manajemen perkotaan
dengan manajemen pembangunan kota. Manajemen perkotaan pada dasarnya mempunyai dua sisi, yaitu
manajemen pemerintahan dan manajemen pembangunan kota. Hendropranoto mempertanyakan, apakah
suatu kota selalu membangun atau perlukah kota membangun kota? Banyak perilaku dan sikap di negara
berkembang yang masih mencerminkan anti-urban bias (Rondinelli, 1984), yang diakibatkan tiga hal, pertama,
keliru dalam menanggapi pengertian urbanisasi, kedua, cerminan sikap kurang akrab terhadap masalah
perkotaan, dan ketiga, perhatian terhadap masalah perkotaan belum dihayati dalam pembagian tugas
pemerntahan. Di Indonesia, belum ada Undang-undang Perkotaan dan UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang masih menunggu tindak lanjut enam Rancangan Peraturan Pemerintah.
P3KT (Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu) merupakan salah satu upaya dalam
mewujudkan manajemen pembangunan kota terpadu, yang menuntut keterpaduan semua aspek pembangunan
perkotaan (perencanaan, keuangan, kelembagaan dan pengembangan sumber daya manusia), keterpaduan
sikap dan perilaku serta kemitraan para pelaku pembangunan. lsu penting manajemen pembangunan kota
terpadu yang dikemukakan Hendropranoto adalah keterpaduan kebijaksanaan pemerintah pusat dan pemerintah
daerah/lokal, koordinasi antar-instansi, mekanisme perencanaan sistem pembiayaan pembangunan,
keseimbangan program fisik dan non-fisik, keseimbangan aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, dan
hankam, keterpaduan pengelolaan lahan, peningkatan mutu Bappeda, pendidikan dan pelatihan yang terus
menerus, dan tumbuhnya partisipasi dan peran serta masyarakat, dalam mendukung pembangunan bertumpu
pada masyarakat dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Pakar perencanaan pembangunan daerah, Mochamad Sidarta, menyarankan agar pemerintah daerah
memikirkan alternatif strategi pembiayaan pembangunan disamping dana pembangunan dari APBN dan
APBD serta bantuan luar negeri. Berdasarkan pengalamannya di Bappeda DKI Jakarta, Sidarta menekankan
pentingnya pelibatan masyarakat secara langsung dalam pembangunan, mulai dari penyediaan informasi,
perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan hingga pengawasan.
Dana swasta bisa digunakan dalam bentuk concessions (swasta diberi hak membangun sarana,

17
mengoperasikannya, dan menarik retribusi dengan tarif yang ditentukan pemerintah), after-merge (kerja sama
swasta dan pemerintah, misalnya sarana dibangun pemerintah dan swasta mengoperasikannya), dan kontrak
manajemen (menunjuk swasta sebagai pengelola sarana), sebagai modifikasi dari BOT (build, operate, and
transfer- sarana dibangun swasta, dioperasikan swasta, dan pada suatu saat diserahkan kepada pemerintah),
dan BOO (build, own, and operate, suatu cara penyertaan swasta), antara lain dalam proyek perhubungan
(terminal, angkutan massal, elevated railway, guided bus system, kebersihan kota, transfer station, angkutan
sampah, pelayanan limbah, dan pengelolaan air bersih).
Pendapatan Asli Daerah (PAD) perlu diupayakan peningkatannya, yaitu dari pajak daerah, retribusi
daerah, penerimaan dinas, perusahaan daerah, dan pinjaman daerah untuk membantu pembiayaan
pembangunan perkotaan dalam mendukung keberhasilan manajemen perkotaan terpadu.
Fenomena mega-urban dan tantangan pengelolaannya menjadi fokus pembahasan pakar pembangunan
wilayah. Ida Ayu Indira Dharmapatni menyatakan bahwa globalisasi ekonomi, teknologi, dan informasi telah
mengakibatkan perubahan dramatis dalam proses dan pola urbanisasi di Asia sejak 1970-an. Fungsi
pemerintahan, desentralisasi, dekonsentrasi, perbantuan, koordinasi investasi, pengelolaan lingkungan,
penataan lahan, pembiayaan pembangunan, dan pengembangan sistem informasi, merupakan isu pokok
kota-mega (mega-urban, megacity) Jakarta, Jabotabek, Bandung Raya, Purwasuka (Purwakarta, Subang,
Karawang), kota-kota menengah (Bogor, Cianjur), kota-kota kecil di sepanjang jalur koridor Jakarta- Bandung
(Conurbation Jakarta - Bandung: Jakarta - Bogor - Cianjur - Bandung, Jakarta - Cikampek - Subang -
Bandung, Jakarta - Cikampek - Purwakarta - Bandung, dan Jakarta - Cileungsi - Jonggol - Cianjur -
Bandung), kawasan Bopunjur, dan kota-kota baru yang mandiri (Bumi Bekasi Baru, Bogor Baru, Lippo City,
Cikarang Baru, dan Bukit lndah City).
Pertumbuhan konurbasi tidak hanya terjadi pada koridor Jakarta - Bandung, bahkan terjadi pada poros
yang lebih panjang lagi, yaitu Cilegon - Surabaya melalui pantai utara pulau Jawa, Semarang - Solo, Solo -
Madiun - Surabaya, Surabaya - Malang, dan pada koridor-koridor pendek seperti Jakarta - Cileduk -
Tangerang, Jakarta- Depok- Bogor, Jakarta- Cibinong- Citeureup- Cileungsi, Jakarta- Bekasi- Tambun -
Cikarang, Bandung - Banjar, Cicalengka - Majalaya, dan Ciparay - Majalaya.
Dalam mendukung perwujudan manajemen pembangunan perkotaan yang efektif, sudah saatnya
dibuat perencanaan perkotaan yang didukung oleh penerapan sistem informasi ruang (spasial), antara lain
Computer Aided Design, Land Information System, and Geographic Information System. GIS sangat berperan
dalam kegiatan perencanaan dan pemodelan tata ruang, pembuatan data dasar, model proyeksi, dan
manajemen data (Roos Akbar, 1993). Akurasi data bisa diwujudkan melalui penerapan teknologi GIS. Data
dasar GIS yang disertai hasil analisis dan model statistik, serta analisis tata ruang, akan bisa mewujudkan
perencanaan wilayah dan kota yang komprehensif.
Dalam upaya mewujudkan manajemen perkotaan yang efektif, diperlukan peningkatan kemampuan
dan keterampilan aparat pembangunan perkotaan, antara lain melalui pendidikan dan pelatihan perkotaan.
Jay Rosengard dan William Kugler (1993), pakar pembiayaan pembangunan perkotaan, menyarankan
pelaksanaan pendidikan dan pelatihan yang terintegrasi dan terkoordinasi pada tingkat lokal dan pusat.

Manajemen Efektif
Manajemen perkotaan yang efektif perlu mengacu pad a UU Nomor 5 Tahun 1974 ten tang Pokok-
pokok Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 45 Tahun 1992 tentang Otonomi Daerah Tingkat II. Pola P3KT
yang mendukung upaya perwujudan manajemen perkotaan yang efektif, mengalihkan prinsip sektoral terpadu
ke terpadu dan mendaerah (desentralisasi), mengefektifkan peningkatan pendapatan asli daerah, mendorong
pendekatan inovatif, memperhatikan pelaku pembangunan kota, memelihara sustainabilitas kota, mengelola
pendidikan dan pelatihan, menata sistem informasi, adanya mekanisme perencanaan yang terarah dan
terpadu, dan mendorong kemitraan (pemerintah, swasta, dan masyarakat).
Pengelolaan kota metropolitan menuntut profesionalisme aparatur pemerintah dalam berbagai bidang
pembangunan perkotaan, antara lain organisasi dan manajemen, air bersih, transportasi, perumahan dan
permukiman, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, dan penataan ruang. P3KT yang didukung kegiatan
informasi dan komunikasi pembangunan perkotaan, akan dapat menjawab tantangan dan permasalahan

18
masa depan, menuju pada pembangunan kota terpadu. Prasyarat keberhasilan pembangunan kota terpadu
ditandai oleh manajemen perkotaan yang efektif, adanya prinsip-prinsip dasar pendekatan, menggali sumber-
sumber pembiayaan pembangunan, penyiapan dan penyusunan serta pelaksanaan program secara terarah
dan terpadu, upaya peningkatan kemampuan teknis dan manajerial Pemda Tingkat II, serta pelibatan swasta
dan masyarakat (kemitraan).
P3KT sebagai pendekatan inovatif menuju manajemen pembangunan kota yang efektif, mempertemukan
mekanisme perencanaan dari bawah ke atas (bottom-up planning) dengan perencanaan dari atas ke bawah
(top-down planning), memacu perbaikan dan pembangunan prasarana perkotaan dalam skala kecil, (dilakukan
melalui program perbaikan kampung), memadukan berbagai pembangunan sektoral pada tingkat lokal,
mendorong peran Pemda, meningkatkan peran serta masyarakat, menumbuhkan kemitraan, dan dilaksanakan
atas prinsip optimasi, mobilisasi, desentralisasi dan dekonsentrasi, kesepakatan dan keterpaduan, dan
kesei mbangan.
Suara Karya, 22 Juni 1994

Pembiayaan Pembangunan Perkotaan


Pada tahun 1980 penduduk perkotaan di Indonesia mencapai 32,8 juta jiwa atau 20% dari penduduk
Indonesia. Tahun 1990, meningkat menjadi 55,5 juta (31 %) dan pada tahun 2000 diperkirakan mencapai 80
juta jiwa (sekitar 40%) dari penduduk Indonesia. Dirjen Cipta Karya (1993) menyatakan bahwa dengan tingkat
pertumbuhan penduduk perkotaan sekitar 3-6% dan dengan cara-cara penanganan pengembangan perkotaan
seperti sekarang, maka setiap tahunnya diperlukan sedikitnya 30.000 Ha lahan untuk diubah menjadi
kawasan perkotaan. lni berakibat pada kenaikan investasi infrastruktur perkotaan (di luar listrik dan
telekomunikasi) sebesar 600 miliar sampai dengan 1 trilyun rupiah untuk menampung perkembangan dan
kebutuhan setiap tahun akibat pertambahan penduduk perkotaan.
Masalah tanah dan perumahan di perkotaan khususnya untuk golongan masyarakat berpenghasilan
rendah semakin kompleks (Devas, 1987). Me. Nail & Raine (1978) bahkan telah menyorot kebutuhan air
bersih di perkotaan meningkat pesat. Untuk menangani permasalahan perkotaan yang makin kompleks,
sangat diperlukan upaya terobosan, yang menyangkut aspek pengembangan lahan, lingkungan hidup,
kesempatan kerja, pengembangan sistem, dan penyediaan infrastruktur perkotaan, serta pembiayaan
pembangunan perkotaan.

Pembiayaan
Kristiadi (1992) menegaskan bahwa secara garis besar, terdapat enam kelompok sumber utama
pembiayaan yang selama ini secara klasik dipergunakan untuk pembangunan pelayanan kota dan permukiman,
yaitu pendapatan asli daerah (PAD) dalam bentuk retribusi daerah, pajak daerah, dan lain-lain, bagi hasil
pajak (pajak bumi dan bangunan), subsidi dan bantuan, alokasi sektoral atau departemen, pinjaman serta
swadaya masyarakat dan swasta.
Untuk beberapa pelayanan kota, direct recovery melalui retribusi bisa dilaksanakan, misalnya air bersih,
pasar, pengelolaan sampah, dan sanitasi, serta drainase dan jalan (untuk daerah baru). Pajak daerah dikenal
antara lain berupa pajak pembangunan I, pajak tontonan, pajak reklame, dan pajak penerangan jalan. Pajak
bumi dan bangunan (PBS, dahulu dikenal sebagai lpeda), merupakan pajak pusat yang dibagihasilkan
sebesar 90% kepada daerah. Lebih dari 80% penerimaan Dati II berasal dari subsidi atau Bantuan Pusat,
sehingga sebagian besar pelayanan perkotaan diperoleh dari sumber ini. Bantuan proyek, sering diperoleh
dari Dati I, antara lain truk sampah dan mobil pemadam kebakaran. Mulai tahun 1990 telah disediakan dana
untuk mendukung penyusunan rencana umum tata ruang.
Pembangunan jalan, sarana air besih, dan pelayanan umum, didukung oleh pembiayaan dari Departemen
Pekerjaan Umum. Pinjaman untuk mendorong pembangunan perkotaan, antara lain digunakan untuk

19
investasi pelayanan umum, jalan, air bersih, proyek perbaikan kampung (KIP), pasar, dan cargo terminal.
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan perkotaan makin diperlukan dan mobilisasi dana masyarakat
makin ditumbuhkembangkan. Pembangunan dalam Repelita VI dan Repelita selanjutnya makin didorong agar
bertumpu pada peran serta, partisipasi, dan kemandirian masyarakat.

Permasalahan
Pada Seminar Munas Real Estate Indonesia 1992 yang diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 21
November 1992, Kristiadi menyorot permasalahan utama pembiayaan perkotaan dari dua segi, yaitu masalah
fragmentasi pembiayaan dan masalah kekurangan dana. Yang pertama, terlihat dalam kesulitan alokasi
sektoral sehingga integrasi perencanaan, pemrograman dan pelaksanaan sulit dilakukan. lni mengakibatkan
dana optimal tidak dapat dipergunakan dan efisiensi rendah. Timbul pendapat, kegotongroyongan dalam
pembiayaan pembangunan perkotaan dapat berakibat negatif untuk perencanaan, pemrograman dan
pelaksanaan. Yang kedua, masih terbatasnya dana pembangunan perkotaan. Studi NUDS (National Urban
Development Study) 1985 menyimpulkan bahwa kebutuhan investasi sektor perkotaan sampai tahun 2000
mencapai Rp. 11.122 miliar bukan merupakan jumlah yang sedikit dalam situasi keuangan negara yang
prihatin. Akibatnya, perkembangan perkotaan sulit dikendalikan.
Konsep cost recovery pada retribusi masih belum sepenuhnya dapat diterapkan. Kesulitan dalam
realokasi hasil pungutan seringkali sangat berpengaruh pada pemberian pelayanan. Pajak Daerah masih
sering dihadapkan pada berbagai masalah. Devas (1986) dan Kristiadi (1987) mengatakan bahwa dari 50
jenis pajak daerah, hanya 5 - 6 jenis pajak saja yang hasilnya relatif berarti. Selebihnya, seringkali ongkos
untuk memungutnya jauh lebih besar dari hasil yang diperoleh. Reformasi PBB memberi kemungkinan
peningkatan pajak ini, tetapi masalah administrasi sering merupakan hambatan utama pada tahap awal
pelaksanaan pajak ini. Subsidi atau bantuan merupakan sumber yang dominan dalam pembiayaan perkotaan.
Misalnya, bantuan sektoral menurun dan bantuan lnpres Dati I dan Dati II pada umumnya digunakan untuk
pembangunan jalan dan jembatan, sedangkan sektor lainnya belum mendapat perhatian. Bagi daerah
Kabupaten, bantuan masih harus dibagi menjadi daerah perkotaan dan perdesaan.
Pinjaman yang diterima Pemda Tingkat II sering menghadapi hambatan, antara lain jumlahnya tidak
memadai atau kadang-kadang Pemda sendiri tidak mampu membayar pinjaman. Fragmentasi berbagai
bentuk pinjaman dengan persyaratan dan kondisi yang berbeda-beda, juga merupakan salah satu masalah
yang dihadapi dalam pembiayaan perkotaan dari sumber pinjaman. Akibatnya, perencanaan investasi
menjadi sulit dilaksanakan dan dikoordinasikan. Kurang jelasnya mekanisme pembiayaan pembangunan
perkotaan, mengakibatkan swasta sulit berpartisipasi. ldealnya investasi di sektor perkotaan dilakukan
bersama oleh pemerintah dan swasta. Ketidakjelasan hak dan kewajiban pemerintah dan swasta,
mengakibatkan partisipasi swasta dalam pembiayaan pembangunan perkotaan tidak sepenuh hati atau
setengah-setengah. Dalam hal ini diperlukan niat baik kedua belah pihak untuk mendorong perkembangan
pembangunan perkotaan.

Upaya
Strategi pemecahan masalah pembiayaan pembangunan perkotaan pada masa datang adalah
mengusahakan koordinasi dan integrasi yang lebih terpadu, sehingga berbagai sumber pembiayaan
pembangunan perkotaan dapat dikelola dengan baik. Di samping itu, penyempurnaan serta pembaruan
sistem pembiayaan perlu diupayakan. Berbagai pajak daerah perlu ditinjau kembali, agar benar-benar
membawa manfaat bagi pembangunan perkotaan.
Kepala Biro Analisa Keuangan Daerah, Departemen Keuangan, Dr. Susiyati B. Hirawan, dalam
ceramahnya di depan mahasiswa S3 dan pengajar jurusan Planologi ITB pada tanggal 1 Mei 1993,
menegaskan pembangunan perkotaan di Indonesia (dalam upaya desentralisasi Dati II sekarang ini)
memerlukan perhatian yang semakin besar. Sarana dan prasarana perkotaan masih memerlukan peningkatan,
baik mutu maupun jumlahnya. Disarankannya agar ditingkatkan terus dan dicari upaya-upaya penyempurnaan
yang menyangkut sistem pembinaan dari pemerintah pusat (hibah serta bagi hasil pajak dan bukan pajak),
pembiayaan dari Pemerintah Daerah (berupa APBD), pembiayaan dari hasil pungutan atas prasarana dan

20
pelayanan umum (retribusi daerah atau user charges dan kebijaksanaan harga pricing policy), pembiayaan
melalui pinjaman non-tradisional (betterment levies or valorization charges, land readjustment), dan partisipasi
sektor swasta.
Dalam konteks perkotaan itu sendiri, perlu dikembangkan suatu strategi pengembangan perkotaan
yang menyeluruh dan terpadu serta berkelanjutan yang mengacu pada pengembangan sistem perkotaan
yang selaras dengan tujuan dan arah pembangunan nasional dan daerah. Perlu didayagunakan potensi dan
sumber-daya perkotaan secara bijaksana dalam menumbuhkan dan memantapkan kemandirian dan ke-
berkelanjutan pengembangan perkotaan (sustainable urban development), dikembangkan upaya pengembangan
perkotaan yang dilandaskan atas partisipasi dan kontribusi semua pihak atas asas kebersamaan, pemerataan,
dan keselarasan, serta dikembangkannya manajemen pengembangan kota yang terpadu.
Sesuai dengan keinginan Departemen Pekerjaan Umum, maka pengembangan sistem pembiayaan
perkotaan masa datang perlu diarahkan pada perwujudan pola pengembangan kota yang mempunyai ciri-ciri
(1) mempunyai pola pengembangan prasarana kota yang terpadu sehingga banyak menghemat biaya yang
harus dipikul oleh pemerintah daerah dan masyarakat kota, (2) dilandaskan atas manajemen pengembangan
kota yang terpadu, dapat menciptakan kesempatan usaha dan kesempatan kerja yang luas bagi masyarakat,
(3) dilandaskan atas kemandirian atau pendayagunaan potensi dan sumberdaya perkotaan dan masyarakatnya
secara bijaksana dan mempertimbangkan keberlanjutan pengembangan kotanya, (4) bertumpu atas.kemampuan
pemerintah daerah dan partisipasi masyarakatnya, dan (5) dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi
peningkatan kualitas manusia dan masyarakat secara keseluruhan.
Jayakarta, 27 Mei 1993

Strategi Pembangunan Perkotaan


Dalam membahas pembangunan perkotaan, penting dilihat konsep-konsep ruang, daerah atau wilayah,
regionalisasi, teori-teori pembangunan yang terkait, antara lagin Regional Rural Development and Planning,
pertumbuhan dan pembangunan (Hirschman, 1959; Myrdal, 1957; Richardson, 1969; Holand, 1976), domination
theory', centre and periphery (Friedman, 1969; Hilhorst, 1971 ), pembangunan perkotaan dalam konteks
urbanisasi (central place rank - size city, dan secondary cities), growth pole, pembangunan kota kecil, dan
agropolitan development (Friedman dan Douglas, 1978). Kesemuanya ini saling terkait satu dengan lainnya
dalam lingkup pembangunan perkotaan, perdesaan, dan regional.
Dalam PJPT II kita akan memasuki proses tinggallandas di mana terjadi pergeseran struktur ekonomi
dari pertanian ke industri dan jasa. Pergeseran ini menuntut adanya kebijaksanaan, strategi dan program
yang mendukung kelancaran proses industrialisasi. Pembangunan perkotaan dan perdesaan pada hakekatnya
akan menimbulkan berbagai akses atau konsekuensi yang perlu diwaspadai, antara lain tertib bangunan,
produktivitas kota, efisiensi sarana dan prasarana, pembangunan yang bertumpu pada komunitas, kemiskinan,
manajemen pembangunan kota, penataan ruang, pengembangan sumber daya manusia, koordinasi, dan
masalah kelembagaan. Kota yang merupakan mesin penggerak ekonomi pembangunan, mempunyai kontribusi
yang besar pada pembangunan nasional dan pembangunan daerah melalui efisiensi produktivitas nasional
yang didukung antara lain oleh pelayanan prasarana dan sarana perkotaan yang memadai.

Perkembangan
Menteri Pekerjaan Umum, Radinal Moochtar, dihadapan peserta seminar nasional lkatan Ahli
Perencanaan (Jakarta, 25-26 Mei 1993) mengutarakan tantangan pembangunan kota dan wilayah serta
pentingnya peranan profesi perencanaan masa datang. Pada kesempatan yang sama, Rachmadi B.
Sumadiyo, Dirjen Cipta Karya, memaparkan kajian perkembangan kota dan wilayah dalam dua dasa warsa
terakhir. Perkembangan kota dan wilayah mempunyai dinamika yang tinggi dan ditandai oleh pertemuan
antara banyak pelaku dan berbagai kepentingan dalam proses pembangunan, tetapi tetap dipengaruhi oleh
kebijaksanaan nasional. Untuk mengantisipasi perkembangan kota yang dikaitkan dengan pengembangan

21
wilayah, diperlukan kebijaksanaan pembangunan kota yang dinamis.
Perkembangan perkotaan di Indonesia pada dasarnya dipacu oleh proses industrialisasi dan urbanisasi
yang tinggi. Hasil Sensus Penduduk Tahun 1990 menunjukkan tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan
mencapai 5,4% dalam periode 1980-1990, merupakan salah satu tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan
yang tertinggi di dunia. Pertumbuhan penduduk kota besar (penduduk 200.000-2,5 juta jiwa) rata-rata
pertahun sekitar 3-6 %. Penduduk perkotaan pada tahun 1980 yang baru mencapai 32,8 juta jiwa, pada tahun
1990 meningkat menjadi 55,5 juta jiwa (31% dari penduduk Indonesia sebanyak 179 juta jiwa). Dengan
pertumbuhan penduduk 5,4% per tahun, pada tahun 2000 jumlah penduduk perkotaan meningkat menjadi 80
juta jiwa, hampir setengah dari jumlah penduduk Indonesia. Direktur Jenderal Cipta Karya (1993) menyatakan
bahwa di luar keperluan listrik dan telekomunikasi, diperlukan investasi infrastruktur perkotaan sebesar Rp.
600 milyar sampai 1 trilyun.
Untuk menjawab tantangan ini, perlu dibuat terobosan agar bisa memecahkan masalah perkotaan
yang meliputi pengembangan lahan, lingkungan hidup, permukiman kumuh, kesempatan kerja, perumahan,
pengembangan sistem perkotaan, dan penyediaan prasarana dan sarana perkotaan. Dengan peran perkotaan
yang bisa menciptakan produktivitas yang tinggi, 40- 50% dari produk domestik bruto (GOP), perkotaan yang
berfungsi multiple, sebagai penggerak perkembangan ekonomi, pusat inovasi, dan pusat perubahan sosial,
maka peran kota akan makin penting, apalagi dikaitkan dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia dan masyarakat serta peningkatan nilai tambah dalam seluruh proses pembangunan. Peran kota
dalam PJP II makin penting, karena dua pertiga dari produk domestik akan dihasilkan dari kota dan separuh
jumlah penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Peran kota tidak sekedar sebagai mesin pertumbuhan
ekonomi, tetapi merupakan pusat inovasi dan transformasi sosial.
Pada akhir PJP II, lebih dari separuh penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan, beberapa kota
dan kawasan akan membentuk megacity. lndustrialisasi, urbanisasi dan modernisasi kait mengkait, dan posisi
Indonesia di dalam sistem dan perubahan global mengharuskan adanya penyesuaian dengan perkembangan
negara-negara terkait agar bisa menarik keuntungan sebesar-besarnya.
Issue penataan ruang dan pengembangan perkotaan mulai muncul sekitar tahun 1970-an sejalan
dengan munculnya berbagai persoalan di perkotaan, seperti pertambahan penduduk yang tinggi, peningkatan
pertumbuhan ekonomi, pergeseran kegiatan andalan pembangunan dari pertanian ke non-pertanian (khususnya
industri), keterbatasan lahan, degradasi kualitas lingkungan hidup dan sebagainya, merupakan beberapa
aktor pendorong penataan ruang dan pembangunan perkotaan di Indonesia. Pada masa datang, penataan
ruang, pengembangan regional dan perkotaan beserta infrastrukturnya merupakan permasalahan penting
dalam pembangunan nasional.
Kontradiksi dengan peran kota yang makin penting dalam pembangunan nasional, ternyata dari tingkat
pelayanan infrastruktur yang masih jauh dari yang diharapkan. Pelayanan air bersih perkotaan dengan sistem
perpipaan baru menjangkau 43% penduduk perkotaan, pelayanan jaringan drainase dan pengaturan air
limbah baru mencapai 20%, tingkat pelayanan persampahan baru 12% dan pelayanan jaringan jalan dengan
kondisi baik dan layak baru mencapai 60-70%. P3KT baru mencapai 300 kota, dari target 500 kota dalam
Pelita V. Permasalahan laju perkembangan perkotaan yang tinggi dan infrastruktur perkotaan masih terbatas,
muncul berbagai tantangan yang akan menjadi permasalahan besar di perkotaan yaitu :
a. Belum adanya suatu pola kebijaksanaan pengembangan perkotaan yang menyeluruh. Kebijaksanaan
pengembangan perkotaan hendaknya tidak berjalan sendiri dan terpisah, tetapi harus berada dalam suatu
sistem pengembangan kota yang menyeluruh dan terkait, mulai dari kota kecil, kota sedang, sampai ke kota
besar (metropolitan).
b. Keterbatasan lahan perkotaan untuk menampung pertumbuhan penduduk, perkembangan perumahan dan
permukiman, perkembangan kegiatan utama perkotaan (industri, perdagangan, dan jasa), menuntut
pembangunan yang hemat lahan.
c. Menurunnya kualitas lingkungan hidup dan sosial di perkotaan sebagai dampak pembangunan kota yang
tidak memperhatikan daya dukung lingkungan alam, daya dukung lingkungan binaan, dan daya dukung
lingkungan sosial, serta pelanggaran terhadap pola pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

22
d. Masih tingginya kemiskinan di perkotaan (17% penduduk perkotaan berada di bawah garis kemiskinan
pada tahuun 1990). Terhadap total penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, kontribusi penduduk
perkotaan meningkat dari 19% tahun 1976 menjadi 35% tahun 1990 (Rachmadi, 1993).
e. Makin sempitnya kesempatan berusaha dan kesempatan kerja di sektor formal dan potensi sektor informal
kurang didayagunakan.
f. Masih terbatasnya penyediaan prasarana dan sarana perkotaan, terbatasnya keterjangkauan masyarakat
dan pemanfaatan infrastruktur masih relatif rendah.
g. Masih terbatasnya peluang bisnis dan belum tumbuhnya kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat
dalam pembangunan prasarana dan sarana perkotaan.
Banyaknya permasalahan dan tantangan ini, masih juga dihadapkan pada berbagai kendala, seperti
terbatasnya perangkat hukum dalam pengembangan perkotaan, terbatasnya kemampuan aparat pemerintah
daerah, terbatasnya sumberdaya manusia dengan jumlah kualitas yang memadai, serta terbatasnya informasi,
data, dan prosedur yang memadai dalam pengelolaan dan pengendalian pertumbuhan kota yang efisien,
efektif dan tertib.

Strategi
Untuk mengoptimasikan keberhasilan pengembangan daerah perkotaan diperlukan strategi dan
pendekatan yang tepat. Strategi pembangunan perkotaan yang disarankan oleh USAID (1990) adalah
meningkatkan produktivitas perkotaan, menekan pertumbuhan kemiskinan penduduk perkotaan melalui
peningkatan penyediaan prasarana dan sarana perkotaan, pendekatan berkelanjutan dalam pengelolaan
lingkungan perkotaan, dan kebutuhan untuk meningkatkan kegiatan riset dan pengembangan di sektor
perkotaan. Juga perlu ditingkatkan pengertian pertumbuhan perkotaan dalam menuju megacity. Strategi ini
perlu ditindaklanjuti dengan kegiatan-kegiatan riset dan evaluasi kebijaksanaan, pendekatan pembangunan
yang lebih fleksibel, penanganan masalah urbanisasi, keempatan kerja, penciptaan lapangan kerja, peningkatan
pendapatan, pembangunan kota menengah, pembiayaan perkotaan, desentralisasi dan privatisasi penyediaan
prasarana dan sarana perkotaan, pengendalian tata guna tanah, konsistensi hukum dan peraturan, perencanaan
jangka pendek dan ad-hoc harus selalu diupayakan agar terkait dengan pembangunan jangka panjang, siklus
pembangunan sampai dengan evaluasi harus terjaga, serta diperlukannya mekanisme dan model penyelesaian
maalah yang tipikal.
Pelaksanaan di lapangan perlu diwujudkan berupa kegiatan pendidikan dan penyebarluasan informasi
program pembangunan, perlunya badan koordinasi perencanaan dan pembangunan daerah perkotaan,
pengembangan pendanaan dan pengawasan bentuk-bentuk pendanaan yang ada (PBB, retribusi prasarana,
1MB), intervensi pemerintah dalam perpajakan, pendanaan, pola investasi, perijinan, pertanahan, program
mendesak harus tetap mengacu pada pembangunan jangka panjang, peningkatan profesionalisme dan
tersedianya penghargaan bagi yang berprestasi, pengutamaan program yang antisipatif dan preventif di
samping program yang represif, kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat, dan rekayasa sosial di dalam
pembangunan perkotaan.
Dukungan tindakan untuk mempercepat keberhasilan pembangunan perkotaan, antara lain pengadaan
sarana dan prasarana bukan hanya tanggung jawab Departemen PU/Ditjen Cipta Karya, tetapi menjadi
tanggungjawab sektor-sektor strategis lainnya (Deppenrind, Deptan, Deparpostel dll), koordinasi dari semua
unsur terkait dalam penyediaan sarana dan prasarana kota (penyediaan informasi, persiapan, perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi), mobilisasi dana pembangunan sarana dan prasarana kota, perlu
forum komunikasi dan penggalangan potensi kota, dana yang terbatas perlu didukung oleh keswadayaan,
kajian pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, hemat energi, pemantauan kelembagaan,
perlu akurasi data, sistem informasi (perangkat lunak dan keras) dan perlu didukung sikap mental pelaku
pembangunan perkotaan.
Pada masa datang, diperlukan pengembangan kota dalam suatu kerangka sistem pengembangan kota
dan wilayah serta sistem penataan ruang nasional. Dengan cara ini, upaya pengembangan kota tidak berjalan
sendiri, tetapi diletakkan atas landasan keterpaduan sehingga pengembangan antar kota terkait dalam suatu

23
sistem. Strategi Pengembangan Kota di masa depan adalah :
1. Melaksanakan pengembangan perkotaan yang terpadu, menyeluruh, dan berkelanjutan, mengacu pada
pengembangan kesisteman (pengembangan kota) yang selaras dengan tujuan, sasaran dan arah pembangunan
nasional dan pembangunan daerah.
2. Mendayagunakan potensi dan sumberdaya perkotaan secara bijaksana dalam menumbuhkan dan
memantapkan kemandirian dan keberlanjutan pengembangan perkotaan (sustainable urban development).
3. Menerapkan upaya pengembangan perkotaan yang dilandaskan atas partisipasi dan kontribusi semua
pihak dengan menekankan pada asas kebersamaan, pemerataan, keselarasan, dan keberlanjutan
pengembangan perkotaan (Pengembangan perkotaan yang bertumpu pada potensi, kemampuan, prakarsa
dan kemandirian masyarakat).
4. Mengembangkan manajemen pengembangan kota yang terpadu, berlandaskan pendayagunaan potensi
dan sumberdaya kota, dengan titik berat pada pemerintah daerah yang bersangkutan dan peran serta swasta
dan masyarakat (kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat, public, private, and people partnership).
Sejalan dengan strategi ini, perlu dilakukan pendekatan berupa pengembangan infrastruktur perkotaan
yang bisa menumbuhkan keterkaitan erat dan saling menunjang antar kawasan dalam kota, antar kota dan
kawasan pengaruhnya serta antar kota melalui sistem yang terpadu, efisien dan efektif (Sivaramakrishnan
dan Leslie Green, 1986), peningkatan penyediaan dan pemanfaatan infrastruktur perkotaan terutama untuk
kawasan yang mendesak pertumbuhannya (kawasan penggerak ekonomi kota) dan yang bersifat memeratakan
perkembangan kota (kawasan kumuh dan miskin di perkotaan), menciptakan peluang yang luas bagi dunia
usaha dan masyarakat untuk berperan serta dalam pengembangan infrastruktur perkotaan, dan memperkuat
perangkat kelembagaan, hukum, dan sumberdaya manusia yang akan menjalankan roda proses pengembangan
dan pengelolaan infrastruktur perkotaan.
Dalam Seminar ke-8 AAPH, Sugijanto Soegijoko (1992) menegaskan aspek-aspek yang perlu
diperhatikan pada masa datang, yaitu pemantapan sistem administrasi pemerintahan, pengaturan, pengelolaan
tanah, mobilisasi sumberdaya masyarakat, maksimisasi dan pemanfaatan bantuan asing, dan pemanfaatan
infrastruktur yang efektif. Tindakan yang harus dilakukan dalam menghadapi masa depan yang penuh
ketidakpastian, disarankan oleh Sugijanto Soegijoko (1992) pada Konperensi Pertumbuhan Kota dan
Lingkungan Menuju Tahun 2000, yaitu program pembangunan kota dan regional yang memungkinkan
fleksibilitas tetapi tetap memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
yang mencakup aspek geografis, pembiayaan, pengelolaan tanah, menekan kemiskinan, pengelolaan
lingkungan, dan mobilisasi LSM. Khusus pembiayaan pembangunan, perlu ditingkatkan berbagai sumber
dana pembangunan perkotaan, yaitu pendapatan asli daerah (retribusi daerah, pajak daerah), bagi hasil pajak
(PBS), subsidi dan bantuan, alokasi sektoral/departemen, pinjaman, partisipasi swasta, dan swadaya
masyarakat.
Ciri dari pola pengembangan kota yang dikehendaki pada masa datang adalah pengembangan kota
yang:
a. Mempunyai pola pengembangan prasarana kota yang terpadu sehingga menghemat biaya yang harus
dipikul Pemda dan Masyarakat.
b. Berlandaskan pada manajemen pengembangan kota yang efektif dan terpadu, dapat menciptakan
kesempatan usaha dan kesempatan kerja yang luas bagi masyarakatnya.
c. Berlandaskan atas kemandirian dan pendayagunaan potensi serta sumberdaya perkotaan dan
masyarakatnya secara bijaksana dan memperhatikan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan.
d. Bertumpu pada kemampuan Pemda dan partisipasi masyarakatnya (kemitraan pemerintah, swasta, dan
masyarakat).
e. Dapat menciptakan iklim yang kondusif bagi peningkatan kualitas manusia dan masyarakat secara
keseluruhan.

24
Perlu Keserasian
Belakangan ini mulai disadari kurang serasinya pembangunan perkotaan dan pengembangan wilayah.
Pengembangan infrastruktur, khususnya prasarana dan sarana perkotaan, diharapkan dapat mempersempit
kesenjangan atau disparitas pertumbuhan antara wilayah-wilayah yang berkembang pesat dengan wilayah
yang relatif terbelakang, baik antara IBB dan IBT (KBI dan KTI), maupun antar kawasan, antar kelompok atau
lapisan masyarakat, dan antar sektor. Peran serta dan partisipasi dunia usaha masih perlu terus ditumbuhkan,
antara lain melalui mobilisasi sumber dana dan menumbuhkan kemandirian. Perangkat kelembagaan, hukum
dan sumber daya manusia perlu ditingkatkan kapasitasnya, khususnya bobot perhatian perlu diberikan pada
pemerintah daerah sesuai dengan asas desentralisasi. Disiplin dan tertib penggunaan serta pemanfaatan
prasarana dan sarana perkotaan perlu ditingkatkan, agar penggunaan hasil-hasil pembangunan dapat
dinikmati dalam periode yang lama.
Issue kebijaksanaan pembangunan perkotaan meliputi banyak hal, antara lain perluasan lapangan
kerja, penciptaan kondisi yang memungkinkan investasi, kesempatan kerja di kota besar, menengah, dan
kecil, pengembalian biaya proyek perkotaan, peningkatan peran swasta dalam penyediaan prasarana dan
sarana perkotaan, mobilisasi dana, desentralisasi, penyuluhan dan bimbingan, penyediaan informasi dan
pengelolaan lingkungan. Untuk memacu pertumbuhan daerah, perlu dikembangkan pengembangan kota-kota
menengah dan kota-kota kecil (Rondinelli, 1983; Hardoy dan Satterthwaite, 1986; Prakash Mathur, 1986),
kebijaksanaan nasional urbanisasi (Renaud, 1981 ), pengembangan kota besar dengan kota-kota sekitarnya
seperti Jabotabek, Mebidang (Medan, Binjai, Deli Serdang), Bandung Raya, Gerbang Kertasusila,
pengembangan beberapa kawasan khusus, misalnya pengembangan kawasan atau wilayah pertumbuhan,
seperti Batam dan sekitarnya, Nunukan dan daerah perbatasan, Mamberamo, segitiga Manado-Philipina-
Malaysia, Sijori (Singapura, Johor, Riau), Batam-Rempang-Galang (Barelang) dan Bintan.
Untuk menciptakan keserasian pembangunan antar daerah, maka pembangunan perkotaan hendaknya
mengantisipasi perubahan ekonomi akibat globalisasi, anti urban bias (Todaro, 1980), pendekatan pembangunan
regional dan perkotaan yang lebih terintegrasi, desentralisasi, privatisasi dalam penyediaan infrastruktur dan
pelayanan umum (utilitas), menekankan pentingnya produktivitas perkotaan, mengurangi kemiskinan masyarakat
perkotaan, mengurangi kemiskinan masyarakat perkotaan, pengelolaan pertumbuhan kota, pengelolaan
lingkungan hidup, penataan kelembagaan, dan pemantapan sistem informasi manajemen pembangunan
daerah (SIMDA) perkotaan.
Untuk menciptakan keserasian pembangunan kota dan pengembangan wilayah, Radinal Moochtar
menyarankan penanganan kawasan kumuh, penanganan kantong kemiskinan, kawasan terbelakang dan
rawan bencana/banjir, perumusan kebijaksanaan dan stretegi pembangunan kota dan wilayah yang mengacu
pada perundang-undangan terkait, menyerasikan pembangunan kota dan wilayah dengan pelestarian
lingkungan, meningkatkan dan memperluas pelayanan sarana dan prasarana, memantapkan kelembagaan
dan aparat yang handal dan mampu mengelola kota secara efisien dan efektif, dan memantapkan perencanaan
yang matang dan akurat. Untuk itu perlu dikembangkan perencanaan yang mampu menjabarkan UU
Penataan Ruang, menemukenali potensi nasional, regoinal, dan lokal, mewujudkan perencanaan dalam
kerangka spasial yang terkoordinasi, terpadu dan sinkron, mengembangkan perencanaan yang tanggap dan
memenuhi tuntutan pengkajian, penerapan dan pengembangan iptek dan sumberdaya manusia, dan
mengembangkan perencanaan yang terpadu, dinamis, mengikutsertakan seluruh potensi masyarakat, dan
menumbuhkan kemitraan (pemerintah-swasta-masyarakat), dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan yang bertumpu pada kemandirian masyarakat.
Angkatan Bersenjata, 29 September 1993

Pengembangan Kota Baru Di Indonesia


. Sekarang banyak dikenal kota baru, kota yang direncanakan dan dibangun secara utuh dan lengkap.
Perkembangan kota baru dalam konteks pengembangan wilayah dan konsepsi pedoman perencanaan kota

25
baru, telah dibahas oleh para pakar perencanaan kota dalam majalah Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota
edisi September 1993. Sari panting perkembangan kota baru dan pengembangannya di Indonesia akan
menjadi fokus pembahasan tulisan ini.
Kota baru telah dikenal sejak prakemerdekaan, antara lain Menteng di Jakarta. Candi di Semarang,
dan Darmo di Surabaya. Setelah kemerdekaan, dikenal kota baru Banjarbaru di Kalimantan Selatan,
Palangkaraya, Tembagapura, Bontang, Soroako, Arun, dan lain-lain. Kota baru ini mempunyai salah satu
fungsi memecahkan masalah perumahan dan permukiman kota, di samping menangani permasalahan
pembangunan kota lainnya.

Kota Baru
Djoko Sujarto (mengutip Lloyd Rodwin) mendefinisikan kota baru sebagai kota atau kota-kota yang
direncanakan, didirikan dan kemudian dikembangkan secara lengkap, pada daerah yang telah ada kota atau
kota-kota lainnya yang telah tumbuh dan berkembang terlebih dahulu. Urban Land Institute, Amerika Serikat
(1972) mendefinisikan kota baru sebagai suatu proyek pengembangan lahan yang luasnya mencakup
perumahan, perdagangan dan industri, yang secara keseluruhan dapat memberikan (a) kesempatan untuk
hidup dan bekerja di dalam lingkungan tersebut, (b) suatu spektrum jenis dan harga rumah yang lengkap, (c)
ruang terbuka bagi kegiatan aktif dan pasif yang permanen serta ruang-ruang terbuka yang melindungi
kawasan tempat tinggal dari dampak kegiatan industri, (d) pengendalian segi estetika yang kuat, dan (e)
pengadaan biaya/investasi yang cukup besar untuk keperluan pembangunan awal.
Advisory Commission on Intergovernmental Relations (1972), meninjau kota baru dari sisi permukiman,
yaitu permukiman yang mandiri dan berencana dengan skala yang cukup besar, sehingga (a) memungkinkan
untuk menunjang kebutuhan berbagai jenis rumah tinggal dan kegiatan ekonomi sebagai lapangan kerja bagi
penduduk di dalam perrnukiman itu sendiri, (b) dike1ilingi oleh jalur hijau yang menghubungkan secara
langsung dari wilayah pertanian di sekitarnya dan juga sebagai pembatas perkembangan kota dari segi
jumlah penduduk dan luas wilayahnya, (c) dengan memperhatikan kendala dan limitasi yang ada, dapat
menentukan suatu proporsi peruntukan lahan yang sesuai untuk kegiatan industri, perdagangan, perumahan,
fasilitas dan utilitas umum serta ruang terbuka, pad a proses perencanaannya, dan (d) dengan
mempertimbangkan fungsi serta lahan yang tersedia, dapat ditentukan pol a kepadatan penduduk yang serasi.
Dalam perkembangannya, pengembangan kota baru sangat beragam. Ada yang dipengaruhi faktor
peradaban dan kebudayaann, teknologi, tuntutan kebutuhan dan komunikasi. Jika diamati secara teliti, dapat
dibedakan kota-kota baru masa silam, masa prarevolusi industri, masa revolusi industri, masa pasca revolusi
industri, dan masa kini.
Munculnya kota baru di Indonesia terkait erat dengan urbanisasi dan industrialisasi, migrasi yang
tinggi, perkembangan metropolis dan wilayah metropolitan, degradasi kualitas kehidupan dan lingkungan di
kota besar atau metropolitan, perkembangan kota secara sporadis dan kontinyu, serta upaya menghambat
arus urbanisasi dan memperbaiki kualitas kehidupan dan lingkungan. Motivasi pengembangan kota baru,
antara lain, keseimbangan kota-desa, pemerataan pembangunan, menghambat arus urbanisasi, memperbaiki
kehidupan masyarakat, memecahkan masalah perumahan dan permukiman serta transportasi, dan mewujudkan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Kota-kota baru di Indonesia dapat dibedakan atas, kota mandiri dan kota penunjang. Kota mandiri
terdiri atas kota umum (pusat pemerintahan), kota perusahaan (industri, pertambangan, usaha hutan), dan
kota khusus (instalasi militer, ketenagaan, pusat penelitian dan percobaan, iptek, pusat rekreasi atau resort,
dan permukiman khusus). Sedangkan kota baru penunjang dapat berupa kota satelit atau kota baru di
pinggiran luar kota besar (perumahan dan permukiman skala besar) dan kota baru metropolitian (perumahan
dan permukiman skala besar, tetapi penduduknya bekerja di kota besar).
Kota baru (satelit dan mandiri) di lnggris berjarak 43 - 82 km dari kota induk, dengan jumlah penduduk
maksimal1 00.000 jiwa. Di India, dikenal kota-kota baru Chandigarh, Durgapur, Faridabad, dan Jagannathnagar
yang berjarak 12 - 250 Km dari kota metropolitan, dengan jumlah penduduk 42.000 - 125.000 jiwa. Kota-kota
baru, baik satelit maupun mandiri lainnya, antara lain Hino dan Yokkaichi di Jepang, Petaling Jaya di
Malaysia, Tsuen Wau di Hong Kong, Bernardino di Meksiko, dan Santo Tome de Guyana di Venezuela.

26
Contoh kota baru metropolitan terdapat di Belanda, misalnya Beverwijk, Emmeloord, Almere, dan Zoetemeer.
Secara geografis kota baru di Indonesia dibagi menjadi empat jenis, yaitu kota baru dalam kota:
Cipaganti Bandung, Pontianak, Malang, Semarang, Surabaya, Jakarta, Medan. Kota baru satelit: Kebayoran
Baru Jakarta, Darmo Surabaya, Bale Endah Bandung. Kota baru di pinggiran dalam dan pinggiran luar kota
induk, kota baru mandiri: Bandar Kemayoran, Kelapa Gading, Modernland, Cinere. Dan kota baru yang berdiri
menyendiri, kota baru khusus: Bumi Serpong Damai, Bekasi Baru, Asahan, Lhokseumawe, Bontang, Batam
Center, Cilegon. Sejak 1950 sampai dengan saat ini, jumlah kota baru tersebut mencapai 187 buah, yaitu 139
(Pulau Jawa), 23 kota (Sumatra), 10 kota (Kalimantan), 5 kota (Sulawesi), dan 10 kota (pulau-pulau lainnya).

Kesimpulan
Djoko Sujarto menyarankan pendefinisian kembali kota baru, menyangkut masa pengembangan, sifat
pendirian, segi motivasi, dan lokasi geografis. Berdasarkan masa pengembangannya, kota baru dibagi
menjadi empat generasi, yaitu kota baru masa silam dan masa prarevolusi industri, masa revolusi industri,
masa pascarevolusi industri, dan masa kini. Dua yang terakhir, dikenal sebagai kota baru kontemporer, yaitu
kota baru yang direncanakan dan dikembangkan berdasarkan kaidah-kaidah perencanaan kota modern.
Berdasarkan kebutuhan dan motivasi pengembangannya, kota baru diklasifikasikan atas kota baru
penunjang (merupakan bagian integral dari kota induk atau kota metropolis) dan kota baru mandiri (mandiri
dalam memenuhi kebutuhan sosial-ekonomi penduduknya).
Substansi penting yang dapat ditarik dari pengembangan kota baru, antara lain, landasan falsafah dan
motivasi perencanaan dan pengembangan, batasan dan besaran kota baru yang optimal, komponen kota
baru, penentuan lokasi yang sesuai dengan tujuan fungsional, dan landasan pola kebijaksanaan.
Kota baru di Indonesia dibedakan atas tiga generasi, yaitu generasi pertama (prakemerdekaan),
generasi kedua (pada dasawarsa 50-an dan 60-an), dan generasi ketiga (dasawarsa 70-an sampai dengan
sekarang). Kota baru generasi ketiga dikembangkan berdasarkan pertimbangan pengembangan industri,
perumahan dan permukiman skala besar, pemanfaatan sumber daya alam, pembangunan kota khusus (pusat
iptek atau kota wisata).
Menurut Mochtarram Karjoedi (1993), tujuan sampingan pembangunan kota baru di Indonesia
nampaknya difokuskan pada pengurangan tekanan kebutuhan perumahan di daerah kota, misalnya di
Jakarta dan Surabaya. Sebelum membangun kota baru, diperlukan formulasi kebijaksanaan dalam konteks
regional dan nasional sehingga sejalan dengan kebijaksanaan dan strategi pembangunan perkotaan.
Analisis lokasi dan tapak mengenai kesesuaian kota baru sangat penting dalam proses perencanaan
pengembangan kota baru. Keputusan politis-administratif perlu didukung pertimbangan dan pembenaran
aspek teknis, fungsional, dan rasionalitas. Pembangunan kota baru, harus memperhatikan pertimbangan
pengadaan lahan dan dapat menghindari spekulasi tanah, kericuhan dalam pembebasan lahan, dan
ketidakpuasan masyarakat terhadap pembangunan kota baru.
Tumbuhnya kota baru jangan sampai memindahkan persoalan kota metropolitan ke kota baru tersebut.
Misalnya kesemrawutan, kekumuhan, kemacetan lalulintas kendaraan angkutan pribadi, ketiadaan lapangan
kerja, dan kekurangan kendaraan angkutan umum. Janji-janji pembangunan kota baru untuk menyediakan
berbagai fasilitas perkotaan yang memadai, seperti kendaraan angkutan umum, fasilitas rekreasi, pendidikan,
kesehatan, tempat ibadah, ruang pertemuan serbaguna, pasar lokal, taman, ruang terbuka hijau, penjernihan
air, dan lokasi pembuangan sampah, harus segera diwujudkan. Eksklusivitas kota baru dan ketimpangan
kehidupan dengan masyarakat penduduk asli di sekitar kota baru perlu diredam.
Pembangunan perumahan dan permukiman skala besar dengan lingkungan hunian yang berimbang,
perlu diwujudkan. Harapan kita semua, pembangunan kota baru, dapat berperan nyata dalam memecahkan
permasalahan kota metropolitan. Semoga.
Suara Pembaruan, 22 Oktober 1993

27
Merencanakan Kota Baru
Kota baru dapat dibedakan atas kota mandiri (kota umum, kota perusahaan, dan kota khusus) dan kota
penunjang (kota satelit dan kotabaru metropolitan). Pengembangan kota baru merupakan bagian dari
pengembangan kota yang meliputi program perbaikan kampung, pengembangan kelembagaan, penyediaan
perumahan murah, penyediaan air bersih dan pengelolaan sampah, drainase, angkutan kota, dan program
prasarana kota. Asas-asas yang perlu dianut dalam pengembangan kota baru di Indonesia (Boy Kombaitan
dan Djoko Sujarto, 1993) meliputi asas pemerataan daerah, tata ruang wilayah, pemerataan penyebaran
penduduk, dan pembangunan kota berwawasan lingkungan.
Mengacu pada empat asas tersebut, Kombaitan dan Djoko Sujarto menegaskan perlunya diperhatikan
enam arahan pengembangan kota baru. Pertama, penentuan jenis kota baru yang didasarkan pada fungsi
pengembangan yang disesuaikan dengan kebutuhan masa kini maupun masa yang akan datang. Kedua,
penentuan lokasi dan pengembangan kota baru perlu didasarkan atas pertimbangan untuk dapat menunjang
pengembangan wilayah dan membantu memecahkan masalah kota besar. Ketiga, penentuan dan
pengembangan jenis kota baru perlu disesuaikan dengan jumlah penduduk, kegiatan usaha serta komponen
kebutuhan yang menunjang kehidupan dan penghidupan di kota tersebut sampai batas yang sesuai dengan
kemampuan dan kebutuhan kota baru mandiri atau penunjang. Keempat, penentuan dan pengembangan kota
baru harus dilihat dari wawasan dan ruang lingkup perwilayahan yang lebih luas, sehingga fungsi yang
diharapkan dapat dicapai, termasuk pentingnya keterpaduan pengembangan kota baru dengan sistem
jaringan prasarana perangkutan wilayah yang dapat menghubungkan dengan kota besar, kota menengah dan
kota kecil di sekitarnya. Kelima, pengadaan dan pengembangan prasarana dan sarana perkotaan perlu
dipadukan dengan program pengembangan prasarana kota terpadu agar efisien dan efektif. Keenam,
penentuan, perencanaan dan pembangunan kota baru perlu ditunjang oleh suatu penelitian guna menentukan
wilayah yang memungkinkan dikembangkan, wilayah kendala serta wilayah limitasi.

Perencanaan
Proses teknis dan prosedur perencanaan kota baru dapat dibagi menjadi tiga kegiatan, yaitu masukan,
,proses analisis, dan keluaran. Langkah-langkah kegiatan mencapai duapuluh dua kegiatan, yang terdiri atas
tujuh kegiatan masukan, tujuh proses analisis dan delapan keluaran. Duapuluh dua langkah teknis dan
prosedur perencanaan kota baru yang disarankan Kombaitan dan Djoko Sujarto (1993) adalah sebagai
berikut : pengamatan Pola Dasar Pembangunan Kota (M, Masukan), interpretasi kebijaksanaan (PA, Proses
Analisis), perumusan kebijaksanaan umum pengembangan kota (K), alternatif wilayah perencanaan (M),
analisis pemilihan (K), kedudukan dan hubungan regional (M), analisis perwilayahan (PA), potensi sosial
ekonomi regional (K), RUTP Kota Baru (K), survai wilayah perencanaan kota baru (M), analisis perencanaan
kotabaru (PA), dasar pertimbangan dan alternatif konsep rencana kota baru (K), pertimbangan optimasi dan
standar (M), analisis evaluasi konsepsi (PA), RUTRK kota baru (K), survai site spesifik (M), analisis
peruntukan spesifik (PA), RDTRK bagian-bagian Kota Baru (K), survai site peruntukan kawasan fungsional
(M), analisis tapak wilayah peruntukan (PA), dan RTRK kawasan fungsional kota baru (K).
Langkah-langkah ini dapat dikelompokkan ke dalam tujuh kegiatan. Pertama review Pola Dasar
Pembangunan Kota, yang meliputi kebijaksanaan nasional pembangunan perkotaan, kebijaksanaan
pengembangan kota di daerah/wilayah (propinsi dan wilayah pembangunan) di mana kota baru tersebut
berada dan kebijaksanaan pengembangan kota di DT II di mana kota baru berada. Kedua, pemilihan lokasi.
Jika lokasi belum ditentukan secara definitif, maka perlu dilakukan proses seleksi dari beberapa alternatif
yang telah ditentukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Perlu dikembangkan kriteria dasar dari segi sosial-
demografis, sosial ekonomis dan fisiografis. Dengan memberi skor dan bobot tertentu, maka secara kuantitatif
dapat dihasilkan nilai tertinggi yang akan menjadi prioritas pilihan. Jika telah ditentukan secara pasti, maka
lokasi langsung menjadi designated area.
Ketiga, potensi perwilayahan dimaksudkan untuk melihat potensi kota baru yang akan direncanakan
dalam konstelasi wilayah yang lebih luas. Kebijaksanaan dasar pengembangan kota baru sebaiknya

28
diarahkan pada tujuan pengembangan suatu pusat pengembangan wilayah. Perlu dilihat fungsi perwilayahan
terhadap wilayah sekitarnya, kota-kota lain di sekitarnya dan terhadap kota induk terutama secara demografis
(khususnya migrasi), hubungan fungsi perekonomian dan dari segi lingkungan fisik. Contohnya, Serpong
terhadap Tangerang, Parung, Ciputat, dan Jakarta. Demikian pula Cikarang terhadap Bekasi dan Jakarta.
Data yang diperlukan untuk menunjang analisis perwilayahan terdiri atas data sosial, ekonomi dan
fisiografis. Data sosial meliputi kependudukan di wilayah yang akan dijadikan kota baru, penduduk yang
ditargetkan akan menjadi penghuni kota baru, fasilitas pendidikan, dan masalah migrasi. Data ekonomi
mencakup data produksi wilayah (pertanian, industri, jasa atau kombinasi dari sektor-sektor tersebut),
ketenagakerjaan, tingkat pendapatan rata-rata wilayah, pola angkutan dan mobilitas orang dan barang. Data
fisiografis mencakup letak geografis wilayah, klimatologi makro, keadaan geologi dan hidrologi makro, serta
penggunaan lahan makro. Hasil analisis perwilayahan akan merupakan masukan dasar bagi penyusunan
RUTR Perkotaan Kota Baru.
Keempat, Survai wilayah perencanaan kota baru untuk memperoleh data dan maksud bagi proses
teknis penyusunan RUTR Kota baru. Data yang diperlukan meliputi data sosial, ekonomi, fisiografis dan
pertanahan. Data sosial mencakup data kependudukan masa sekarang dan masa yang akan datang, jenjang
sosial dan tingkat pendidikan, serta lapangan pekerjaan. Data ekonomi meliputi pendapatan rata-rata
penduduk, produktivitas wilayah, prasarana dan sarana angkutan, dan lapangan kerja yang tersedia.
Data fisiografis terdiri atas topografi kemiringan lahan, geologi dan hidrologi mikro, iklim mikro, pola
vegetasi, pola permukiman, penggunaan lahan sekarang, penggunaan dan kondisi bangunan, serta masalah
dan potensi lingkungan. Data pertanahan meliputi status pemilikan lahan, permasalahan lahan, ketentuan
mengenai pertanahan, dan kondisi lahan. Data kelembagaan antara lain peranan Bappeda Tingkat II. Dinas-
dinas, keberadaan produk perencanaan (RUTRP dan RUTRK) berbagai peraturan daerah dan ketentuan
pertanahan. Data diperoleh baik dalam bentuk data sekunder maupun primer, time series paling sedikit 3
tahun.
Kelima, untuk keperluan penyusunan RDTRK, yaitu rencana pengembangan bagian-bagian wilayah
kota baru, diperlukan data seperti di atas, tetapi kedalamannya yang berbeda. Diperlukan data spesifik pada
wilayah tertentu. Juga peruntukan bagian wilayah kota 1 : 5.000. Keenam, dalam rangka pengembangan
RDTRK Kota Baru, diperlukan data yang lebih rinci, yaitu menyangkut kawasan fungsional tertentu, misalnya
kawasan industri, kawasan perumahan dan permukiman, kawasan rekreasi dan sebagainya. Survai hendaknya
menyangkut data kepala keluarga dan individu. Produk RDTRK Kota Baru adalah rancangan geometrik tata
letak bangunan dan bangun-membangun, pola lansekap, jaringan jalan, ultilitas umum dan unsur struktural
penunjang lingkungan lainnya.
Ketujuh, pengembangan kota baru perlu ditunjang suatu studi kelayakan ekonomis, terlebih apabila
pola kebijaksanaan dasar pengembangan kota baru diarahkan pada suatu kota baru yang mandiri (self
sufficient). Untuk itu diperlukan suatu studi analisis kelayakan, kependudukan dan ekonomi. Analisis
kelayakan kependudukan berusaha melihat siapa dan bagaimana pola struktur kedudukan penghuni yang
akan menjadi kelompok sasaran penghuni kota baru, serta tingkat pendapatan dan kemampuan pengeluaran
kelompok sasaran yang akan menjadi penghuni kota baru.
Analisis kelayakan ekonomi berusaha melihat potensi kegiatan industri yang mungkin dapat
dikembangkan atau berminat untuk menginvestasikan modalnya di kota baru, potensi kegiatan perdagangan,
potensi usaha pembangunan perumahan sektor swasta, potensi kegiatan perkoperasian, kegiatan pemerintah
dan BUMN/BUMD, partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dan potensi pengembangan kegiatan jasa di
kota baru. Data yang diperlukan untuk membuat analisis kelayakan kependudukan dan ekonomis, didasarkan
pada studi sampel dan dengan survai kegiatan sosial ekonomi.

Penutup
Munculnya Kota Baru sudah merupakan kebutuhan mendesak, karena cepatnya pertumbuhan kota-
kota raya (metropolitan) seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, dan
Ujungpandang. Di sekitar Jakarta kita kenai kota baru Serpong (14.000 Ha) di mana di dalamnya terdapat

29
Kota Mandiri Bumi Serpong Damai (6.000 Ha), Kota Baru Bekasi (1.500 Ha), Kota Baru Tigaraksa (ibukota
Kabupaten Tangerang), Kota Baru Cibinong yang dijadikan ibukota Kabupaten Bogar. Kota Baru Driyorejo
(1.000 Ha, Barat Daya Surabaya) diharapkan mendukung pengembangan kota metropolitan Surabaya.
Menurut Johan Silas, pembangunan Kota Baru terkait erat dengan pengembangan kota menengah dan
kampung pedesaan. Pada masa datang, kota-kota inilah yang berkembang pesat, sementara kota-kota raya
(metropolitan) mendekati kejenuhan. Pakar perkotaan Belanda, Han Verschure, menyatakan bahwa
merencanakan kota baru tanpa perencanaan yang jelas pasti akan menjumpai kegagalan. Pakar ini
membedakan kota baru menjadi kota baru yang benar-benar asli, besar dan ambisius (Chandigarch,
Islamabad, Brasilia, Dodoma), kota satelit atau kota baru yang berdekatan dengan kota-kota besar atau
menengah dan kota baru yang tumbuh akibat berkembangnya permukiman skala besar (Karachi, New Delhi,
Tangshan, Nairobi, Lusaka dan Lima). Di samping itu ada juga kota baru yang tidak baru (Bangkok,
Ayudayha, Nairobi, Lamu, Pale, Kilwa). Dari pengalaman pembangunan kota baru yang terjadi di berbagai
negara, Han Verschure menyarankan perlu diperhatikannya mitos tentang corak baru, universalitas vs
kontekstualitas, ide atau rencana vs pelaksanaan dan pembiayaan, pesimisme vs optimisme dan pentingnya
evaluasi.
Angkatan Bersenjata, 26 Januari 1994

Upaya Meningkatkan Cinta Jakarta


Tiga artikel terdahulu melatarbelakangi tulisan ini, yaitu Warga DKI Harus Merasa Memiliki dan
Mencintai Jakarta (Merdeka, 24 Juni 1989), Jakarta 2005, Kendala dan Masalah (Jayakarta, 16 Desember
1989), dan Jakarta, evolusi dari BEMO ke BMW (Angkatan Bersenjata, 28 Juni 1990).
Artikel pertama mengupas master plan (RUTR 2005, RDTR/RBWK, dan RTK) dan perlu ditanamkannya
kepada masyarakat ibukota rasa ikut memiliki dan mencintai kota Jakarta dalam menuju kota BMW. Artikel
kedua menekankan berbagai kendala dan masalah ibukota tahun 2005 yang harus diprediksi dari sekarang,
sehingga pada saatnya nanti kebijaksanaan pembangunan yang ditempuh diharapkan dapat mengatasi
permasalahan yang ada. Artikel ketiga, menjabarkan perubahan warga kota yang lambat dari sikap belum
efektif mengatur orang (BEMO) menuju bersih, manusiawi dan berwibawa (BMW). Menyongsong HUT DKI
Jakarta ke-464, artikel ini berusaha mengidentifkasi upaya-upaya untuk meningkatkan cinta warga ibukota
terhadap kota Jakarta.

Cinta Jakarta
Tak kenai maka tak sayang. Maka setiap warga ibukota harus mengenal ibukota, mulai dari kondisi
geografis sampai ke pembangunan di berbagai bidang. Warga Jakarta perlu mengetahui wilayah kota, jumlah
dan distribusi penduduk kotanya, lingkungan hidup, perumahan, fasilitas kantor kelurahan, peranan hansip
dan wanra, kehidupan tuna karya, gubuk liar, ancaman bencana alam, kriminalitas, tempat rekreasi dan
kegiatan olah raga, tempat ibadat, fasilitas kesehatan, pasar, koperasi, penyediaan air minum dan listrik, dan
lokasi wisata. Sejalan dengan itu warga kota harus mengetahui berbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku, misalnya Perda No. 5/1982 tentang Kebersihan Lingkungan.
Dua tahun terakhir Jakarta meraih urutan kedua dalam pembuatan Norma Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Daerah (NKLD) yang diselenggarakan oleh Kantor Menteri KLH (di bawah Jatim dan di
atas Riau serta Lampung). Jakarta Pusat juga telah dua kali memperoleh sertifikat kota bersih, dan berusaha
sekuat tenaga meraih Piala Adipura, lambang kota terbersih kategori kota raya yang tahun ini diraih Surabaya
dan Semarang.
Sebagai warga kota, siapapun, selain menikmati hak-haknya juga dituntut untuk mematuhi berbagai
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Warga DKI, masyarakat dan pejabatnya harus berlomba
memberi contoh dan teladan partisipasi, peran serta, dan sumbangannya terhadap pengembangan kotanya.

30
Untuk menumbuhkan cinta warga ibukota terhadap kota Jakarta, mulailah dengan menginformasikan
RUTR (Rencana Umum dan Tata Ruang), RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota), RTK (Rencana Terinci
Kota). RUPTD (Rencana Umum Pembangunan Tahunan Daerah), Musbang (Musyawarah Pembangunan)
tingkat Kelurahan dan diikuti forum Temu Karya tingkat Kecamatan, Rakorbang II (Rapat Koordinasi
Pembangunan) Tingkat Wilayah Kota, dan Rakorbang I Tingkat Propinsi DKI Jakarta.
lnformasi bisa diberikan dalam bentuk buku kecil, selebaran, model koran, brosur/leaflet, dan berita
daerah yang ditempel di papan pengumuman untuk umum. Papan pengumuman yang besar dan bisa dibaca
umum, perlu dibuat di terminal besar seperti Blok M, Senen, Rawamangun, Cililitan, Kampung Melayu,
Tanjung Priok, dan sebagainya, di pasar, di tempat hiburan, di daerah perdagangan, di stasiun kereta api,
dan di lapangan terbang.
lni dimaksudkan untuk menginformasikan pembangunan ibukota. Aparat Pemda dengan mobil keliling
harus terus menerus mendengungkan Jakarta BMW, nyaman, aman, rapi, sehat, dan teratur. Sejalan dengan
itu, perlu dilakukan upaya untuk mengajak warga DKI agar merasa memiliki dan mencintai kota Jakarta.
Untuk merasa memiliki, harus ditanamkan rasa ingin mengenal, mengetahui, menjaga, dan memelihara hasil-
hasil pembangunan.
Mencintai, perlu didahului dengan mengetahui, mengenal, menyayangi, dan akhirnya mencintai kota
sebagaimana mencintai pacar, istri, atau keluarga. Caranya, bisa dimulai dengan membuat brosur singkat,
sederhana, dan jelas mengenai pengertian Jakarta BMW yang berisi latar belakang, maksud dan tujuan, serta
ajakan kepada warga kota untuk berpartisipasi dalam pembangunan ibukota.
Bersih, harus diwujudkan mulai dari lingkup pribadi, keluarga, tempat tinggal, lingkungan perumahan
maupun tempat kerja, serta bersih dalam tindakan masyarakat dan aparat Pemda. Manusiawi, perlu
diwujudkan dengan tindakan yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, antara lain toleransi, sifat
gotong royong, memperkecil jurang kaya-miskin, tidak main gusur, tidak main tilang, dan mewujudkan
perbuatan dan pengamalan Pancasila. Wibawa, perlu diwujudkan dalam bentuk keteladanan, disiplin, jujur,
tidak pilih kasih, tepat waktu, dan pantas dicontoh. Jakarta BMW perlu diwujudkan di segala jenis kegiatan
kota, perkantoran, pelayanan umum, pemerintahan, perdagangan, perumahan, tempat hiburan, tempat
ibadah, lalu lintas, dan dalam segala bentuk serta jenis kehidupan.

Upaya
Berbagai upaya perlu dicoba dalam rangka meningkatkan cinta warga Jakarta terhadap lbukota DKI
Jakarta. Pertama, sediakan buku kecil informasi Jakarta yang dicetak hanya dengan kertas koran agar biaya
murah. Bagikan buku ini kepada seluruh warga ibukota, seperti layaknya buku informasi wisata. Kedua,
petugas lnstansi Penerangan dan aparat terkait lainnya memanfaatkan para penyebar informasi (pence ramah
umum dan agama/dakwah, mahasiswa, dan unit kerja public relation atau humas), penyiar radio, tv, dan
wartawan untuk memasyarakatkan Jakarta BMW.
Ketiga, sediakan papan pengumuman di tempat-tempat umum (tempat hiburan, stasiun kereta api,
terminal bus, pertokoan, pusat perbelanjaan, pasar, sarana olahraga, dan lain-lain), untuk menempelkan
informasi pembangunan dan informasi penting lainnya termasuk surat kabar. lni akan banyak menolong
penduduk miskin ibukota yang tidak mampu membeli koran, Pos Kota sekalipun.
Keempat, selenggarakan pertunjukan film (layar tancap) ke tiap Kelurahan untuk memutar film
Indonesia dan film pembangunan ibukota. Cara ini sekaligus menanamkan rasa cinta warga terhadap
kotanya. Kelima, acara radio dan televisi perlu secara kontinu diisi dengan penyebarluasan Jakarta Menuju
BMW, agar warga tergugah dan tumbuh rasa sayang dan cintanya terhadap tempat tinggal, lingkungan, dan
kotanya.
Keenam, selenggarakan hiburan keliling kota disertai dengan pagelaran pelawak yang sekaligus
menjadi jubir Jakarta BMW. Ketujuh, sediakan papan pengumuman besar di depan Balai Kota dan di tiap
Kantor Walikota, Camat, dan Lurah, untuk diisi dengan berbagai informasi pembangunan dan saran warga.
Papan pengumuman ini sekaligus menjadi alat komunikasi aparat-warga kota.
Kedelapan, buatlah stiker Jakarta BMW (seperti stiker Sapta Pesona Wisata misalnya). Setiap toko

31
perlu membuat sticker untuk diberikan kepada pembeli barang-barang di tokonya. Selain stiker, juga perlu
dibuat tas plastik untuk belanja yang diberi cap Jakarta BMW. Dengan demikian di mana-mana akan selalu
kita lihat tulisan Jakarta BMW yang mengakibatkan tumbuhnya rasa cinta warga ibukota terhadap kotanya.
Kesembilan, selenggarakan tour bus terbuka keliling kota untuk melihat kebanggaan ibukota, misalnya
bandara Soekarno-Hatta, pelabuhan nelayan Kamal, rumah susun Pluit dan Penjaringan, Pasar lkan,
Museum, Monas, TMII, Ancol, dan sebagainya. lni dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta warga kota
terhadap potensi dan prestasi ibukota.
Kesepuluh, selenggarakan penyuluhan hukum dan perundang-undangan yang menyangkut peraturan
penyelenggaraan pemerintahan di DKI Jakarta, Wilayah Kota, Kecamatan, dan Kelurahan. Materi penyuluhan
meliputi organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, pembinaan administrasi, politik, keamanan dan ketertiban,
pelayanan masyarakat, pembinaan sarana dan prasarana fisik, perijinan, kerjasama antar daerah, Iomba
wilayah, pembinaan lembaga masyarakat, pendaftaran penduduk dan catatan sipil, pemerintahan Wilayah
Kota, Kecamatan, dan Kelurahan.
Materi penyuluhan juga harus berisi informasi pembangunan kota, antara lain perbaikan kampung,
peremajaan lingkungan kumuh, penyediaan air minum, pengelolaan sampah, lalu lintas kota, pertanian dan
perikanan, ruang terbuka hijau, lingkungan hidup, kebersihan dan pertamanan, pemeliharaan bangunan
sejarah dan pemugaran, perpasaran, pergudangan, retribusi, statistik, pembangunan desa, Pembinaan
Kesejahteraan Keluarga (PKK), LKMD, UDKP, Iomba desa, bantuan dana pembangunan, pengawasan,
komputerisasi, humas, dan perpustakaan.
Kesebelas, segitiga pemerintah, swasta, dan masyarakat perlu diwujudkan dalam setiap upaya
program/proyek pembangunan kota. Warga kota harus dijadikan sebagai subyek dan obyek pembangunan,
pada semua tingkatan (Kelurahan, Kecamatan, Wilayah Kota, dan Propinsi DKI Jakarta).
Keduabelas, berikan perhatian yang lebih besar lagi kepada masyarakat miskin. Kelompok miskin atau
yang berpenghasilan rendah yang jumlahnya lebih dari setengah penduduk DKI, memerlukan perhatian lebih.
Pendekatan terhadap mereka jangan kasar dan harus lebih manusiawi, didukung oleh aparat Pemda yang
berwibawa.
Ketigabelas, tanamkan kebanggaan warga terhadap Wilayah Kota. Misalnya tempat berdagang di
kakilima dan macam-macam pedagang pinggir jalan serta penjual jasa lainnya, diberi warna khusus (merah
untuk Jakarta Pusat, kuning Jakarta Barat, hijau Jakarta Selatan, biru Jakarta Timur dan oranye Jakarta
Utara). Dengan cara ini mereka akan berkompetisi sehat menata kebersihan tempat dagangnya untuk
menciptakan suasana yang benar-benar bersih dan hijau.
Keempatbelas, tanamkan kesadaran, disiplin, tekad, kerja keras, semangat pengabdian, peran serta,
dan partisipasi semua warga kota (aparat pemerintah, swasta, dan masyarakat) untuk bersama-sama
menyumbangkan tenaga dan kemampuannya bagi pembangunan kota dalam menuju Jakarta BMW.
Jika ini berhasil, berarti telah tumbuh rasa cinta semua warga kota terhadap DKI Jakarta yang sedang
menuju menjadi kota metropolitan, megapolitan, atau megacity (dengan jumlah penduduk di atas 10 juta)
pada tahun 2005 nanti. Semoga.
Neraca, 22 Juni 1991
Juara I Lomba Karya Tulis HUT OK/ Jakarta ke-464 Tahun 1991

32
Mempertahankan Habitat Kampung
Membanjirnya migran ke ibukota, mengakibatkan pertumbuhan kampung berkembang pesat sebagai
akibat penyediaan perumahan belum menjangkau golongan masyarakat berpenghasilan rendah. Hasil
berbagai pengamatan yang dilakukan oleh Bianpoen, Wirutomo, dan Darrundono (1992) menunjukkan bahwa
kepadatan penduduk ibukota di kampung-kampung makin tinggi dan kampung-kampung di pinggir kota tumbuh
subur. Kampung, merupakan bagian yang tak terhindarkan dari wajah kota besar.
Banyaknya kampung di Jakarta yang telah memperoleh proyek perbaikan kampung (MHT, Mohammad
Husni Thamrin) mencapai 13.000 Ha dengan jumlah penduduk 5 juta jiwa. Luas kampung menunjukkan 18%
dari luas wilayah Jakarta sekitar 35% dari luas wilayah Permukiman di ibukota yang dihuni oleh 65%
penduduk Jakarta (Darrundono, 1992). Dalam bahasa daerah, pemakaian lahan untuk kampung sangat
mangkus dan sangkil (efisien dan efektif, berdayaguna dan berhasilguna).

Perbaikan
Program Perbaikan Kampung telah dimulai sejak 1969 pada Pelita I yang dikenal sebagai MHT I
(Pelita I - Ill), bertujuan memperbaiki fisik lingkungan agar lebih baik dari kondisi semula. Sasaran program
adalah sektor prasarana, sarana dan kesejahteraan sosial. Program MHT II dilaksanakan pada Pelita IV dan
MHT Ill dilaksanakan pada Pelita V. Program MHT Ill meliputi perbaikan aspek fisik, sosial dan ekonomi.
Sasaran MHT Ill mencakup komponen program pembangunan yang terpadu di mana untuk program di
daerah miskin aspek peningkatan ekonomi (bina usaha) diutamakan selain meningkatkan kesadaran
masyarakat (bina manusia dan bina sosial).
Maksud MHT Ill adalah memperbaiki kondisi kehidupan dan penghidupan masyarakat berpenghasilan
rendah di perkampungan dengan cakupan tiga bina, yaitu bina lingkungan (memperbaiki dan menambah
prasarana dasar guna peningkatan mobilitas dan penunjang tujuan pembangunan), bina manusialsosial
(memperbaiki dan memantapkan kelembagaan serta kemampuan pengelolaan dan mendayagunakan
sumberdaya manusia), dan bina usahalekonomi (memperbaiki dan memantapkan usaha formal, non-formal
dan informal yang saling terkait dengan seluruh sumberdaya manusia). Pelaksanaan komponen program fisik
dan non-fisik MHT Ill meliputi (1) jalan kendaraan dan orang beserta jembatannya; (2) saluran penghubung
dan saluran jalan; (3) mandi cuci-kakus dan jamban keluarga; (4) bak sampah dan gerobak sampah; (5)
rehabilitasi saluran/drainase dan pengerukannya; (6) perbaikan sarana sosial dan pendidikan; (7) penyuluhan
sosial dan ekonomi; (8) pendidikan keterampilan; dan (9) pembinaan dan bimbingan ekonomi.
Sasaran pokok program MHT Ill adalah (a) lingkungan perkampungan sebagai tempat hunian tetap
terjamin kelangsungan keberadaannya dan dapat diserasikan dengan kehidupan metropolitan; (b) meningkatnya
pendapatan dan menurunnya pengeluaran per kapita penduduk; (c) mantapnya institusi dan kelembagaan
formal dan informal; dan (d) terhimpunnya piranti prakarsa dan peran serta masyarakat dalam semua sektor
dan golongan. Sasaran wilayah meliputi daerah pemukiman kumuh di wilayah pengembangan penduduknya
di atas 400 jiwa/Ha dan penghasilan rendah, daerah dengan sanitasi lingkungannya tidak memenuhi
persyaratan kualitas dan kesehatan, serta prasarana lingkungannya buruk, dan daerah rawan sosial dan
ekonomi.

Habitat kampung
Dari hasil penelitian, ternyata 15% kampung-kampung di Jakarta berasal dari empang-empang.
Darrundono menyatakan bahwa tidak kurang dari 40 juta meter kubik tanah telah digunakan untuk menguruk
kampung-kampung sedalam 2 meter. Perbaikan kampung yang dibiayai swadaya masyarakat merupakan
langkah yang berani dalam memacu pembangunan rumah oleh masyarakat sendiri. Perumahan dan
permukiman kampung (habitat kampung), sebenarnya tidak bertentangan dengan penataan perumahan kota,
asalkan keberadaannya tidak melanggar penataan ruang kota. Program perbaikan kampung mudah digandakan
(replicable), terjangkau oleh masyarakat miskin (affordable), dan dapat berkesinambungan atau berlanjut

33
(sustainable). Alasannya antara lain, dengan dana terbatas dapat membawa manfaat kepada banyak
penghuni, teknologi yang digunakan adalah teknologi sederhana dan biaya rendah, penataan lingkungan
mudah dilakukan, dan peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pembangunan perumahan dan
perbaikan kampung mudah diwujudkan.
Dengan demikian, keberadaan kampung jangan dilihat sebagai masalah permukiman perkotaan,
bahkan harus diakui sebagai salah satu pemecahan masalah perumahan dan permukiman perkotaan.
Dengan dana pemerintah yang terbatas, program peremajaan lingkungan perumahan dan permukiman
kumuh di atas tanah negara (lnpres Nomor 5 Tahun 1990), perlu diselaraskan dengan perbaikan kampung
dan penataan lingkungan habitat kampung berdasarkan swadaya dan kemandirian masyarakat. Perbaikan
kampung akan saling mendukung dengan program pembangunan perumahan yang bertumpu pada kemandirian
masyarakat.
Masalah perumahan di Jakarta Uuga di kota-kota besar) dapat dibagi menjadi masalah kekurangan
rumah, kualitas rumah yang rendah dan menurun, serta tambahan jumlah rumah tidak bisa mengejar
kebutuhan rumah, baik akibat pertambahan penduduk maupun bertambahnya rumah tua, perlunya perbaikan
dan penggantian rumah, serta adanya penggusuran (demolition) akibat peremajaan kota (urban renewal).
Kebutuhan rumah di DKI Jakarta sebanyak 64.500 unit per tahun dalam periode 1985 - 2005 yang telah
ditetapkan dalam RUTR DKI Jakarta 2005, menurut Darrundono sulit dipenuhi. Pertambahan penduduk
ibukota sebanyak 200.000 jiwa pertahun saja (dengan jumlah hari 360, 5 jiwa/keluarga, 60% orang miskin, 24
jam sehari), mengakibatkan adanya kebutuhan 3 unit rumah/jam. lni sesuatu yang sulit dipenuhi.
Sekalipun dengan program pengadaan Rumah Sangat Sederhana (ASS) yang harganya murah, tetapi
lokasinya jauh di luar batas kota Jakarta dan rumah susun sewa sederhana yang letaknya di pusat kota. Dari
4.000 Ha lingkungan permukiman kumuh di DKI Jakarta yang dihuni 2,4 juta jiwa (Kantor Menpera, 1991),
berarti ada sekitar 480.000 keluarga yang membutuhkan rumah. Darrundono (1992) menghitung, dengan
harga satu unit rumah susun sederhana/murah yang disewakan (Model Sarana Jaya dan Model Pulogadung)
yang harga per unitnya Rp 6 juta, berarti diperlukan dana Rp 2.800 milliar atau Rp 2,8 triliun. Jika dana
Pemda DKI Jakarta untuk itu harga Rp 100 miliar pertahun, berarti paling sedikit diperlukan 28 tahun untuk
merumahkan penghuni lingkungan kumuh.
Berkembangnya permukiman modern perkotaan dengan superblok, rumah susun mewah, menengah,
dan sederhana serta murah, rumah susun sederhana yang disewakan, peremajaan lingkungan (Segitiga
Senen, Blok M, Segitiga Kuningan, Segitiga Sudirman) dan lain-lain, yang hanya dapat dinikmati oleh
golongan masyarakat tertentu, ternyata tidak akan mematikan pertumbuhan habitat kampung di perkotaan. Di
Jakarta, habitat kampung masih perlu terus ditata agar bisa bersih, hijau, dan lestari serta dapat memenuhi
persyaratan rumah sehat.
Keberadaan habitat kampung tidak dapat terelakkan. Kehadirannya turut membantu penyediaan rumah
bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah yang tidak mampu menjangkau harga
rumah yang disediakan oleh pemerintah dan sektor formal lainnya. Kampung perlu ditingkatkan kualitas fisik
lingkungannya, kualitas hidup penghuninya, dan diciptakan peluang kesempatan kerja bagi penghuni
kampung. Pola bina usaha, bina manusia, dan bina lingkungan harus benar-benar diterapkan di habitat
kampung, agar peran kampung dalam konteks pembangunan kota juga dapat dirasakan.
Kampung jangan dianggap sebagai musuh pembangunan kota, bahkan kampung merupakan potret
kota besar di samping gedung-gedung bertingkat dan modern yang bermunculan. Pertumbuhan kampung
yang tidak terelakkan, menuntut adanya perubahan sikap, pandangan dan perilaku para pemikir dan
pembangunan perumahan, dari pandangan menggusur kampung menjadi menata kampung. Pandangan
terhadap kampung harus ditinjau secara holistik dan komprehensif serta dari sudut pandang inter/multidisipliner.
Rumah di lingkungan kampung, harus bisa berfungsi baik sebagai tempat tinggal, tempat pembinaan
keluarga, tempat bekerja, tempat kegiatan keluarga, dan tempat yang menentukan produktivitas keluarga.
Lingkungan yang tertib, sehat, nyaman, dan aman sangat diidam-idamkan. Rumah-rumah di lingkungan
habitat kampung harus diarahkan dan dipelihara agar dapat memenuhi persyaratan rumah sehat.
Sehat dari segi kesehatan, antara lain cukupnya penerangan dan peranginan, penyediaan air bersih,

34
pengaturan pembuangan air limbah dan sampah (tidak menimbulkan pencemaran), tidak lembabnya bagian-
bagian ruang seperti lantai dan dinding, serta terhindar dari pengaruh pencemaran seperti bau, rembesan air
kotor, udara kotor, kebisingan, dan sebagainya. Sehat dari segi kekuatan bangunan, ditunjukkan oleh
konstruksi bangunan yang cukup kuat (walaupun menggunakan bahan bangunan lokal, bekas, dan sederhana),
terhindar dari ancaman angin dan hujan, dan terhindar dari pengaruh kebakaran.
Segi kenyamanan rumah perlu diwujudkan oleh penyediaan ruangan yang mencukupi, ukuran ruangan
yang disesuaikan dengan kegiatan penghuninya, penataan ruangan yang sempit, tetapi produktif, dekorasi
dan warna ruangan yang serasi disesuaikan dengan kemampuan, penghijauan halaman antara lain dengan
pot bunga dan tanaman hias yang murah harganya. Aspek lain yang tidak kalah penting adalah keterjangkauan.
Rumah hendaknya diatur dan dipeliihara sesuai dengan kemampuan penghasilan keluarga.
Angkatan Bersenjata, 14 Agustus 1993

Menelusuri Butir-butir Penataan Ruang


Tahun 1992 ditandai dengan ditetapkannya dua Undang-Undang yang terkait, yaitu UU Nomor 4
Tahun 1992 tentang Peru mahan dan Permukiman yang ditetapkan tanggal 10 Maret 1992 dan UU Nomor 24
Tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang ditetapkan 13 Oktober 1992. Undang-undang tentang Peru mahan
dan Permukiman menyangkut rumah, perumahan, permukiman, satuan lingkungan permukiman, prasarana
lingkungan, sarana lingkungan, kawasan siap bangun, lingkungan siap bangun, kaveling tanah matang, dan
konsolidasi tanah. Saat ini sedang disiapkan Sembilan Rencana Peraturan Pemerintah (RPP) yang merupakan
operasionalisasi dari UU tentang Perumahan dan Permukiman, yaitu yang mengatur persyaratan teknis
permukiman, penghunian dan sewa menyewa perumahan, kawasan siap bangun dan lingkungan siap
bangun, pelepasan hak atas tanah, kelembagaan (badan pengelola perumahan), peningkatan kualitas
perumahan dan permukiman, pembinaan dan pendataan, rumah negara, penyerahan sebagian urusan
kepada Pemda, ditambah satu RPP tentang ketentuan Penerapan UU tentang Perumahan dan Permukiman.
Undang-Undang tentang Penataan Ruang didasarkan atas pertimbangan bahwa ruang wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dengan letak dan kedudukannya yang strategis sebagai negara kepulauan
dengan keanekaragaman ekosistemnya merupakan sumber daya alam yang perlu disyukuri, dilindungi, dan
dikelola untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Pengelolaan
sumber daya alam yang beraneka ragam di daratan, di lautan, dan di udara, perlu dilakukan secara
terkoordinasi dan terpadu dengan sumber daya manusia dan sumber daya buatan dalam pola pembangunan
yang berkelanjutan dengan mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis
serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan pembangunan berwawasan
lingkungan, yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional.

Penataan Ruang
Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara
kelangsungan hidupnya. Tata ruang, adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan
maupun tidak. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang. Beberapa pengertian lain yang terkait dengan penataan ruang, antara lain rencana tata
ruang (hasil perencanaan tata ruang), wilayah, kawasan, kawasan lindung, kawasan budidaya, kawasan
perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu.
Struktur UU tentang Penataan Ruang meliputi delapan bab, yaitu ketentuan umum, asas dan tujuan,
hak dan kewajiban, perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian, rencana tata ruang, wewenang dan
pembinaan, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Ketentuan umum meliputi kawasan lindung,

35
kawasan budidaya, kawasan perdesaan/perkotaan, dan kawasan terpadu. Asas penataan ruang adalah
pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara tertentu, berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras,
seimbang dan berkelanjutan, serta keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlindungan hukum.
Penataan ruang mempunyai tiga tujuan. Pertama, terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan
lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Kedua, terselenggaranya
pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya. Ketiga, tercapainya pemanfaatan
ruang yag berkualitas untuk (1) mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera,
(2) mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan
memperhatikan sumberdaya manusia, (3) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya
buatan secara berdayaguna, berhasilguna, dan tepatguna untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia,
(4) mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap
lingkungan, dan (5) mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.
Penataan ruang mengatur hak dan kewajiban seseorang. Setiap orang berhak menikmati manfaat
ruang dan pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang, berhak mengetahui rencana tata ruang,
berperanserta dalam penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang, dan memperoleh penggantian yang layak atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan
kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang. Setiap orang berkewajiban berperanserta
dalam memelihara kualitas ruang dan menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Ketentuan
mengenai hak dan kewajiban akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penataan ruang diatur berdasarkan tungsi utama kawasan lindung dan kawasan budidaya, aspek
administratif, fungsi kawasan dan kegiatannya, apakah untuk perdesaan, perkotaan atau kawasan tertentu,
memperhatikan keterpaduan dan keterkaitan penataan ruang di berbagai tingkatan. Penataan ruang kawasan
perdesaan, perkotaan dan kawasan tertentu, diselenggarakan sebagai bagian dari penataan ruang wilayah
Nasional, DT I atau DT II. Penataan ruang kawasan perdesaan dan perkotaan diselenggarakan untuk
mencapai tata ruang kawasan perdesaan/perkotaan yang optimal, serasi, selaras, dan meningkatkan fungsi
kawasan secara serasi, selaras, dan seimbang, guna mencegah serta menanggulangi dampak negatif
terhadap lingkungan. Penataan ruang kawasan tertentu diselenggarakan untuk mengembangkan tata ruang
kawasan strategis yang diprioritaskan, serta meningkatkan fungsi kawasan lindung dan fungsi kawasan
budidaya.
Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang, antara lain lingkungan alam,
lingkungan buatan, lingkungan sosial, dan interaksi antar lingkungan, memperhatikan tahapan, pembiayaan,
pengelolaan pembangunan, serta pembinaan dan kelembagaan. Masyarakat berperanserta dalam melakukan
penataan ruang yang dikerjakan oleh Pemerintah. Perencanaan tata ruang dilakukan melalui proses dan
prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang. Rencana tata ruang ditinjau kembali dan atau
disempurnakan secara berkala, mengikuti kriteria dan tatacara yang ditetapkan Peraturan Pemerintah.
Perencanaan tata ruang dilakukan dengan mempertimbangkan keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan fungsi budidaya dan fungsi lindung, dimensi waktu, teknologi serta fungsi hankam. Perencanaan
tata ruang mencakup perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang meliputi tataguna tanah,
tataguna air, tataguna udara dan tataguna sumberdaya alam lainnya. Pemanfaatan ruang dilakukan melalui
pelaksanaan program pemanfaatan ruang beserta pembiayaannya yang didasarkan atas rencana tata ruang
dan diselenggarakan secara bertahap sesuai dengan jangka waktu perencanaan.
Dalam pemanfaatan ruang, dikembangkan pola pengelolaan tataguna tanah, tataguna udara dan
tataguna sumberdaya alam lainnya sesuai dengan asas penataan ruang dan dikembangkannya pula
perangkat yang bersifat insentif dan disinsentif. Pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui
pengawasan dan penertiban terhadap pemanfaatan ruang. Pengawasan dilakukan melalui pelaporan,
pemantauan, evaluasi, sedangkan penertiban dilakukan melalui penerapan sanksi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Tingkatan atau hirarki rencana tata ruang, dimulai dari rencana tata ruang wilayah Nasional (15 tahun),
ke rencana tata ruang w11ayah propinsi DT I, dan rencana tata ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya DT II.

36
Rencana tata ruang wilayah Nasional berisi penetapan kawasan lindung, kawasan budidaya, dan kawasan
tertentu yang ditetapkan secara nasional, norma dan kriteria pemanfaatan ruang, dan pedoman pengendalian
pemanfaatan ruang. RTRWN dijadikan pedoman dalam perumusan kebijaksanaan pokok pemanfaatan ruang
di wilayah nasional, mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan perkembangan antar wilayah
serta keserasian antar sektor, pengarahan lokasi investasi yang dilaksanakan Pemerintah dan atau masyarakat,
dan penataan ruang wilayah Propinsi DT I dan wilayah Kabupaten/Kotamadya DT II.
RTRWP berisi arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya, arahan pengelolaan
kawasan perdesaan, kawasan perkotaan dan kawasan tertentu, arahan pengembangan kawasan permukiman,
kehutanan, pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan kawasan lainnya, arahan pengembangan
sistem pusat permukiman perdesaan dan perkotaan, arahan pengembangan sistem prasarana wilayah yang
meliputi prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan dan prasarana pengelolaan lingkungan,
arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan, dan arahan kebijaksanaan tataguna tanah, tataguna air,
tataguna udara dan tataguna sumberdaya alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumberdaya
manusia dan sumberdaya buatan.
RTRWKIK berisi kawasan lindung dan kawasan budidaya, pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan
perkotaan, dan kawasan tertentu, sistem kegiatan pembangunan dan sistem permukiman perdesaan dan
perkotaan, sistem prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasarana pengelolaan
lingkungan, penatagunaan tanah, penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya
alam lainnya, serta memperhatikan keterpaduan dengan sumber daya manusia dan sumberdaya buatan.
Rencana tata ruang kawasan perdesaan dan rencana tata ruang kawasan perkotaan merupakan bagian dari
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten/Kotamadya DT II.
Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang
pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah. lni memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk mengatur
dan menyelenggarakan penataan ruang serta mengatur tugas dan kewajiban instansi pemerintah dalam
penataan ruang. Pemerintah juga menyelenggarakan pembinaan dengan mengumumkan dan menyebarluaskan
rencana tata ruang kepada masyarakat serta menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran dan
tanggungjawab masyarakat melalui penyuluhan bimbingan, pendidikan, dan pelatihan.
Penataan ruang wilayah Propinsi diatur oleh Gubernur, sedangkan penataan ruang wilayah Kabupaten/
Kotamadya diatur oleh Bupati/Walikotamadya. Untuk DKI Jakarta, pelaksanaan penataan ruang dilakukan
oleh Gubernur KDKI NRI Jakarta dengan memperhatikan pertimbangan dari Departemen, Lembaga, dan
Badan-badan Pemerintah lainnya serta koordinasi dengan Pemerintah Daerah sekitarnya sesuai dengan
ketentuan UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan DKI NRI Jakarta.

Tindak lanjut
UU Penataan Ruang terkait erat dengan Undang-undang lain, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan
Daerah, yang terkait dengan perundang-undangan, antara lain penataan ruang wilayah propinsi DT I dan DT
II di samping meliputi ruang daratan, juga mencakup ruang lautan dan ruang udara sampai batas tertentu
yang diatur dengan peraturan perundang-undangan, penataan ruang lautan dan penataan ruang udara di luar
yang dimaksud di atas, pengelolaan kawasan tertentu yang diselenggarakan oleh pemerintah, perencanaan
tata ruang yang dilakukan melalui proses dan prosedur penyusunan serta penetapan rencana tata ruang,
perencanaan tata ruang yang berkaitan dengan fungsi Hankam sebagai subsistem perencanaan tata ruang,
penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang diselenggarakan
dalam bentuk pengenaan sanksi, dan rencana tata ruang digambarkan dalam peta dan tingkat ketelitian
tertentu.
Presiden menunjuk seorang Menteri yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang. Tugas
koordinasi termasuk pengendalian perubahan fungsi ruang suatu kawasan dan pemanfaatannya yang
berskala besar dan berdampak panting, perlu dikoordinasikan oleh Menteri setelah berkonsultasi dengan
DPR. Beberapa Peraturan Pemerintah yang perlu disiapkan sebagai tindaklanjut UU Penataan Ruang,
meliputi pengaturan tentang pelaksanaan hak dan kewajiban setiap orang, kriteria dan tatacara peninjauan
kembali dan atau penyempurnaan rencana tata ruang, pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata

37
guna udara, dan tata guna sumberdaya lainnya, rencana tata ruang wilayah nasional, kawasan, pedoman,
tatacara, dan lain-lain yang diperlukan bagi penyusunan tata ruang. Peraturan Daerah yang harus disiapkan,
meliputi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DT I dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/
Kotamadya DT II.
Angkatan Bersenjata, 15 Januari 1993

Koordinasi Pengembangan Kota Mandiri


Jonggol
Munculnya Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1997 Ten tang Koordinasi Pengembangan Kawasan
Jonggol sebagai Kota Mandiri yang ditetapkan 15 Januari 1997 merupakan pertanda dimulainya pembangunan
Kota Jonggol dan sekitarnya (sebagian Cileungsi, Cariu, dan Tanjungrasa) menjadi Kota Mandiri.
Keppres ini mempertimbangkan lima hal. Pertama, peningkatan kegiatan ekonomi dan perkembangan
penduduk yang tinggal di wilayah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) perlu diimbangi dengan
pengembangan pusat-pusat permukiman baru yang dilengkapi dengan sistem prasarana dan sarana serta
fasilitas pendukung yang mandiri di wilayah Jabotabek.
Kedua, dalam rangka pengembangan pusat-pusat permukiman baru di wilayah Jabotabek tersebut,
dipandang perlu mengembangkan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri. Ketiga, pengembangan kawasan
Jonggol sebagai kota mandiri merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peningkatan kualitas ruang
wilayah dalam upaya menciptakan perkembangan wilayah yang telah seimbang.
Keempat, pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri dimaksudkan untuk mengurangi
kepadatan penduduk dan kegiatan masyarakat di kota besar yang sudah padat, meningkatkan pengelolaan
sumberdaya air, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menterpadukan pemanfaatan ruang di sekitarnya, dan
meningkatkan fungsi ruang yang lebih seimbang. Ke/ima, dalam rangka mewujudkan hal-hal tersebut di atas,
pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri memerlukan koordinasi pengelolaan yang serasi dan
terpadu.
Beberapa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden dijadikan landasan dalam
penetapan Keppres ini, yaitu Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, Undang-Undang tentang Pembentukan Propinsi
Jaw a Barat (UU 11 /1950), ten tang Peraturan Daerah Pokok-pokok Agraria (UU 5/1960), Pokok-pokok
pemerintah di Daerah (UU 5/1974), Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 4/1982),
Perumahan dan Permukiman (UU 4/1992), dan Penataan Ruang (UU 24/1992).
Peraturan Pemerintah yang dijadikan acuan adalah tentang Koordinasi Kegiatan lnstansi Vertikal di
Daerah (PP 6/1988) dan Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan
Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (PP 69/1996), sedangkan Keppres yang dijadikan
acuan adalah Keppres tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional (Keppres 75/1993).

Jonggol Kota Mandiri


Untuk menyatukan pengertian, maka pengertian tentang Pengembangan Kawasan Jonggol Sebagai
Kota Mandiri mencakup enam hal. Pertama, penyusunan rencana pemanfaatan ruang kawasan Jonggol
dengan mempertimbangkan batasan peraturan perundang-undangan yang ada serta mempertimbangkan
asas pelestarian lingkungan yang serasi dan seimbang guna menunjang pembangunan kota yang
berkesinambungan.
Kedua, penyusunan dan penetapan rencana pemanfaatan ruang perkotaan (kawasan permukiman,

38
kawasan perdagangan, kawasan pendidikan, dan lain-lain) dan wilayah untuk kegiatan non-perkotaan
(kawasan pertanian, kawasan perkebunan, kawasan lindung, waduk dan bendung dan lain-lain) yang serasi
dan seimbang.
Ketiga, penyusunan dan penetapan rencana pengembangan ekonomi, sosial dan budaya yang saling
menunjang, baik di dalam kawasan Jonggol maupun keterkaitannya dengan wilayah lain di dalam wilayah
Jabotabek yang berwawasan lingkungan dan kemitraan. Keempat, pemberdayaan masyarakat terutama
masyarakat setempat untuk ikut serta secara langsung dalam pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota
mandiri.
Kelima, perwujudan rencana tersebut di atas dalam rangka membangun dan mewujudkan kota yang
mandiri yang didukung oleh sistem prasarana, sarana perkotaan, serta fasilitas pendukung yang terpadu.
Keenam, pembangunan kemitraan yang saling menguntungkan antara pemerintah, dunia usaha, dan
masyarakat dalam pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri.
Wilayah perencanaan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri (lihat tabel), secara administratif berada
di Kabupaten DT II Boger meliputi tiga kecamatan dan 24 desa, yaitu Kecamatan Cileungsi (Desa
Leuwikaret), Kecamatan Jonggol (Desa Sukawangi, Wargajaya, Sirnajaya, Sukamulya, Cibadak, Sukamakmur,
Pabuaran, Sukajaya, sebagian desa-desa Cibodas, Singasari, Sukaresmi, Sukanegara, Sukadamai, dan
Sukaharja), Kecamatan Cariu (Desa Sukarasa, Selawangi, dan sebagian Desa-desa Karyamekar, Bantarkuning,
Tanjungrasa, Cibadak, Tanjungsari, Sirnasari, dan Sirnarasa).
Wilayah perencanaan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri yang disebutkan di atas terletak pada
kawasan yang diapit oleh jalan utama jalur Jakarta-Bandung melalui Jakarta-Ciawi-Puncak-Cianjur dan
Jakarta-Jonggoi-Cariu-Cianjur. Dalam rangka mengendalikan koordinasi pengembangan kawasan Jonggol
sebagai kota mandiri, dengan Keppres ini dibentuk Tim Pengarah Pengembangan Kawasan Jonggol Sebagai
Kota Mandiri dan Badan Pengendali Pengembangan Kawasan Jonggol Sebagai Kota Mandiri.
Tim Pengarah dipimpin oleh Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasionai/Ketua Bappenas
(merangkap anggota) dengan sembilan anggota (Menteri Sekretaris Negara, Mendagri, Menhankam, Men-
PU, Menhub, Menneg Agraria/Kepala BPN, Menneg LH, Mennegpera) dan Deputi Ketua Bappenas Bidang
Regional dan Daerah selaku Sekretaris Tim Pengarah. Gubernur Kepala DT I Propinsi Jawa Barat ditugaskan
sebagai Ketua/Pelaksana Harian adalah Wagub Bidang Ekonomi dan Pembangunan dan Ketua Bappeda
Tingkat I Propinsi Jawa Barat sebagai Sekretaris.
Tujuh Anggota BADAN PENGENDALI terdiri atas Kakanwil Pertanahan, Kakanwil PU, Kakanwil
Kehutanan, Kakanwil Pertanian (walau menterinya tak menjadi anggota pengarah?), Kakanwil Perhubungan,
Bupati Kepala DT II Kabupaten Boger, dan pejabat Pemerintah terkait lainnya yang dipandang perlu, yang
pengangkatannya dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat selaku Ketua BAD AN PENGENDALI. Untuk kelancaran
administratif, Sekretaris BADAN PENGENDALI membawahkan sebuah Sekretariat.
TIM PENGARAH mempunyai tugas (a) memberi pengarahan kepada BADAN PENGENDALI dalam
mewujudkan kota Jonggol yang mandiri, (b) melakukan koordinasi penataan ruang kawasan Jonggol sebagai
bagian dari penataan ruang wilayah Jabotabek, dan (c) melakukan koordinasi perencanaan program-program
pembangunan lintas sektoral yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat dan terkait dengan
pengembangaan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri. Mekanisme pengarahan dapat dilakukan secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama dan dalam hal pengarahan diperlukan secara bersama-sama,
koordinasinya dilakukan oleh Menneg PPN/Ketua Bappenas selaku Ketua TIM PENGARAH.
BADAN PENGENDALI yang bertanggungjawab kepada Presiden dan melaporkan secara berkala
kemajuan perkembangan pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri kepada Tim Pengarah,
bertugas (a) mengendalikan koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kawasan Jonggol
sebagai kota mandiri, dan (b) mengendalikan koordinasi penataan ruang wilayah kawasan Jonggol sebagai
kota mandiri agar terpadu dengan penataan ruang wilayah Jabotabek sesuai dengan arahan Badan
Koordinasi Tata Ruang Nasional (yang dipimpin oleh Menneg PPN/Ketua Bappenas selaku ketua BKTRN).
Wewenang dan tanggungjawab koordinasi pengembangan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri berada
pada Gubernur Kepala DT I Propinsi Jawa Barat.

39
Untuk menyelenggarakan pengembangan kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri, Gubernur Jawa
Barat membentuk Badan Pelaksana Pengembangan Kawasan Jonggol Sebagai Kota Mandiri beranggotakan
wakil-wakil dari Pemerintah DT I Propinsi Jawa Barat, Pemerintah DT II Kabupaten Bogor, dan pihak-pihak
terkait lainnya yang dipandang perlu. BADAN PELAKSANA yang penting peranannya di lapangan, mempunyai
lima tugas. Pertama, menyusun rencana tata ruang kawasan Jonggol sebagai kota mandiri yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RUTRW) Kabupaten DT II Bogor. Kedua,
menterpadukan penataan ruang kawasan Jonggol sebagai kota mandiri sebagai bagian dari pemanfaatan
ruang wilayah Jabotabek.
Ketiga, menjabarkan rencana tata ruang kawasan Jonggol sebagai kota mandiri ke dalam program
pembangunan jangka panjang (25 tahun), program pembangunan jangka menengah (5 tahun), dan program
pembangunan tahunan. Keempat, menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan program-program pembangunan
kawasan Jonggol sebagai kota mandiri, baik yang dilakukan melalui pola kemitraan antara BAD AN PELAKSANA
dengan BADAN USAHA SWASTA, yang dilakukan oleh MASYARAKAT, maupun yang dilakukan oleh
PEMERINTAH. Kelima, secara berkala BADAN PELAKSANA melaporkan perkembangan dan kemajuan
pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri kepada BADAN PENGENDALI.
Dalam melaksanakan program-program pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri, BADAN
PELAKSANA dapat melakukan kerjasama usaha dengan pihak lain. Syarat-syarat, tata cara, dan pola
kerjasama usaha diatur oleh Gubernur Jawa Barat. Penyelenggaraan pengembangan kawasan Jonggol
sebagai kota mandiri dan kerjasama model di atas tidak mengurangi wewenang dan tanggungjawab
Gubernur Jawa Barat.
Mengenai perolehan tanah dan pemberian hak-hak atas tanah dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Barangkali merupakan hal yang menarik, yaitu segala biaya yang
diperlukan bagi penyelenggaraan pembangunan kawasan Jonggol sebagai kota mandiri dilakukan sepenuhnya
oleh usaha swasta dengan tetap mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dalam kegiatan-
kegiatan pembangunan tertentu, Pemerintah dapat membantu dengan tetap berpegang kepada pola kemitraan.

Harapan
Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri yang luasnya di atas 10.000 Ha, hampir
mendekati luas Kecamatan Serpong 11.000 Ha (di dalamnya terdapat kota mandiri Bumi Serpong Damai
yang direncanakan 6.000 Ha, sebagian besar dihuni orang Jakarta dan belum dapat diciptakan kesempatan
kerja dan lapangan kerja yang memadai), diharapkan dapat dibangun dan dikembangkan menjadi kota yang
mandiri. Kota Mandiri Jonggol yang belakangan ini "disebut-sebut" menjadi alternatif calon ibukota negara
Republik Indonesia yang baru, hendaknya dibangun dalam konteks pembangunan wilayah yang berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan.
Kota Mandiri Jonggol seperti juga kota-kota mandiri lainnya di Indonesia yang diisi pembangunan
perumahan dan permukiman skala besar, antara lain Bumi Serpong Damai, Drioredjo di Gresik, Kota
Legenda di Bekasi, Kota Lippo di Cikarang, dan Lippo Karawaci Tangerang, diharapkan pembangunannya
tidak mengganggu kelestarian lingkungan. Lokasinya yang berada di Kabupaten Bogor dan Cianjur
mengharuskan adanya keterpaduan koordinasi Pemda Tingkat II Kabupaten Bogor dan DT II Kabupaten
Cianjur, serta koordinasi dengan DT II tetangga, yaitu Pemerintah DT II Kabupaten Bekasi dan DT II
Kabupaten Karawang.
Pengembangan Kota Mandiri Jonggol hendaknya belajar dari pengalaman penataan Kawasan Puncak.
Pengendalian pembangunan Kawasan Puncak diatur melalui Keppres 48/1983 tentang Penanganan Khusus
Penentuan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak dan
Wilayah Jalur Jalan Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur di luar wilayah DKI Jakarta (dikenal sebagai wilayah
Bopunjur) dan Keppres 79/1985 ten tang Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak, tetapi
pada kenyataannya, masih terdapat berbagai penyimpangan, sehingga menimbulkan banyak permasalahan
lingkungan hidup.
Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri haruslah mengantisipasi permasalahan yang
diperkirakan akan muncul, antara lain penataan ruang, sumber air bersih, jaringan transportasi, banjir,

40
berkurangnya lahan sawah dan lahan pertanian, penyediaan listrik, sistem pemerintahan (peningkatan dari
Kecamatan menjadi Kota Administratif), pemanfaatan lahan bekas kebun karet, penggalian pasir dan tanah,
penyediaan lapangan kerja bagi penduduk setempat dan konsep "pembangunan tanpa menggusur".
Posisi strategis Jonggol yang dapat dengan mudah ditempuh dari Jakarta melalui Cibubur (Jakarta-
Cibubur-Cibucii-Jonggol), dan Cikarang (Jakarta-Bekasi-Cikarang-Lemahabang-Cibarusah-Cibucii-Jonggol)
akan menjadi incaran warga Jakarta dan Bogor yang "berduit". Keberadaan Jonggol yang tidak jauh dari
taman buah Mekar Sari dan letaknya pada jalur alternatif jalan baru Cibubur-Cileungsi-Jonggoi-Cariu-
Tanjungrasa-Tanjungsari-Cibeet-Cianjur (untuk menghindari kemacetan jalur Cibubur-Ciawi-Puncak-Cianjur),
merupakan daya tarik tersendiri.
Semoga kehadiran Kota Mandiri Jonggol dapat dijadikan contoh salah satu pengembangan wilayah
yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, memberi lapangan pekerjaan kepada penduduk setempat,
dan dapat meningkatkan tarat kehidupan masyarakat di kawasan ini. Penulis yang dilahirkan di Sirnagalih
Jonggol, sangat mengharapkan agar pengembangan kota mandiri Jonggol dapat berperan sebagai penyangga
bagi ibukota Jakarta dan dapat berkembang menjadi kota masa depan yang bersih, lestari, dan berwawasan
lingkungan.
Jayakarta, 3 Juli 1997

Kecamatan (3) dan Desa (24) Yang Termasuk Pengembangan Kawasan Jonggol Seba~
Kota Mandiri

~ I
a
Cileungsi Jonggol Cariu

Des a Leuwikaret Sukawangi


Wargajaya
Sirnajaya
Sukamulya
Cibadak
Sukarasa
Selawangi -l
-----

I
Sukamakmur
Pabuaran
Sukajaya
------------- ----------------- .... ------------------- .................................
Sebagian Desa Cibodas Karyamekar
Singasari Bantarkuning
Sukaresmi Tanjungrasa
Sukanegara Cibadak
Sukadamai Tanjungsari
Sukaharja Sirnasari
Sirnarasa

Jumlah Desa 1
Sumber: Lampiran Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1997.
14 9
~

41
Penataan Kawasan Pantai DKI Jakarta

Sejarah kota Jakarta erat hubungannya dengan kota pelabuhan Sunda Kelapa di Teluk Jakarta, di
muara Kali Ciliwung. Perubahan Sunda Kelapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527 (Abdul Hakim: Jakarta
Tempo Doeloe, 1989) merupakan titik awal kemenangan berjaya yang akhirnya menuju DKI Jakarta sebagai
lbukota Negara Republik Indonesia (UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan DKI NRI
Jakarta).
RUTR DKI Jakarta 2005 merencanakan pembangunan ibukota melalui sembilan Wilayah Pengembangan,
yaitu WP Barat Laut (8.073,4 Ha), Utara (8.465,8 Ha), Tanjung Priok (3,337,4 Ha), Timur Laut (7.709,6 Ha),
Barat (7.545,2 Ha), Pusat (7.736,0 Ha), Timur (8.630,8 Ha), Selatan (12.948,0 Ha) dan Kepulauan Seribu
(1.500 Ha). Diinginkan agar pengembangan ke arah Selatan berkurang, sedangkan poros Barat-Timur
ditingkatkan, termasuk pengembangan WP Barat Laut, Utara, dan Timur Laut.
Kawasan Pantai Jakarta meliputi WP Barat Laut, Utara dan Timur Laut serta Kepulauan Seribu.
Tanjung Priok di WP Utara telah tumbuh dengan fasilitas pelabuhan dan permukiman khususnya bagi
golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah, WP Timur Laut banyak dihuni nelayan
dengan prasarana lingkungan yang serba kurang.
Sedangkan WP Barat Laut yang belakangan ini lebih dikenal sebagai Kawasan Pantai Kapuk, Muara
Angke, dan Muara Karang, selain sebagian digunakan sebagai hutan kota, juga diprioritaskan pada ·
pengembangan perumahan mewah bagi golongan masyarakat berpenghasilan tinggi dan sangat tinggi.
Antara Barat Laut dan Timur Laut Jakarta ironis kelihatannya, tetapi itulah kenyataannya.
Permasalahan pengelolaan kawasan pantai antara lain kurangnya data dasar, kompleksnya
permasalahan lingkungan, kurangnya kelengkapan administrasi dan peraturan perundang-undangan, kurangnya
pengetahuan kelautan dan usaha pengembangan kawasan pantai, kurangnya tenaga ahli, dan lemahnya
sistem koordinasi dalam mengembangkan wilayah secara menyeluruh dan terpadu.
Yang terakhir ini kelihatannya paling penting dan menentukan, karena melibatkan kepentingan
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Swasta. Noer Sajidi (1989) mengatakan bahwa kawasan
perairan yang meliputi pantai laut, sungai dan danau, adalah daerah yang terdiri atas bagian daratan dan
perairan yang saling mempengaruhi baik karena sifat alam maupun pengaruh habitatnya.
Ditegaskannya bahwa hubungan ilegal di tepi pantai dan sungai sangat kontradiktif dengan upaya yang
dilakukan pemerintah. lronisnya, bangunan di kawasan itu justru memperoleh fasilitas jaringan air minum,
listrik, dan telepon. Pertumbuhan bangunan yang ilegal dan tidak terkendali menyebabkan terhalangnya
obyek wisata (Danau Toba), terganggunya lalu lintas di daerah aliran sungai (Sungai Musi), kerusakan dan
kehancuran biota dan abiota air (Teluk Jakarta), meningkatkan kerawanan lingkungan terhadap keamanan,
bahaya kebakaran dan obyek wisata itu sendiri.
Radinal Moochtar, Menteri PU, menyatakan bahwa banyak kota pantai yang perkembangannya sangat
pesat, jauh melampaui daya dukung fasilitas dan utilitas kota. Banyak sungai yang tingkat pencemarannya
parah karena meningkatnya kegiatan industri yang tidak memperhatikan peraturan lingkungan, misalnya
membuang limbah atau sampah industri ke sungai.
Departemen PU berperan terutama yang berkaitan dengan permukiman melalui program pengendalian
pencemaran, pembinaan daerah pantai dan usaha pemanfaatan kawasan pantai. Tenaga coastal engineering
yang masih sedikit, memerlukan perhatian kita bersama untuk secepatnya mengisi kekurangan tersebut.
Penataan kawasan pantai perlu dilakukan melalui pelaksanaan pengaturan dan peraturan, kelompok kerja
pelestarian lingkungan, pusat-pusat studi lingkungan, penataan bangunan oleh pemerintah daerah, investor,
developer, pedagang, dan peran masyarakat.
Seorang peneliti Puslitbang Oseanologi LIPI, Dr. Otto Ongkosono, telah melakukan berbagai penelitian

42
mengenai pemanfaatan wilayah pesisir di Teluk Jakarta, Muara Karang, Sunda Kelapa, Marunda, Kepulauan
Seribu, dan Cilacap. lsu negatif pencemaran, erosi, sedimentasi, kekeruhan perairan, dan pemiskinan terjadi
sebagai akibat perbuatan yang merusak lingkungan, antara lain pengerukan dasar laut, pengurugan,
penanggulan, pembangunan pelabuhan, penggalian pasir, penambangan karang pantai, penebangan mangrove,
kegiatan PLTU, pertambakan dan pembangunan taman rekreasi dan pariwisata yang tidak teratur.
Di dalam pengembangan Sembilan Wilayah Pengembangan DKI Jakarta pada RUTR DKI Jakarta
2005, terkandung kebijaksanaan rencana umum tata ruang mengenai lingkungan/ruang terbuka hijau, daerah
pengamanan lingkungan, daerah pemugaran, kawasan Condet, dan pengembangan wilayah khusus (daerah
pesisir pantai, kepulauan Seribu, kawasan Halim, TMII dan Makohankam, bekas pelabuhan udara Kemayoran,
dan lingkungan Monas. Penataan lingkungan dan ruang terbuka hijau dalam rangka pembangunan berwawasan
lingkungan dan berkelanjutan, berusaha memelihara keseimbangan lingkungan alam dan lingkungan binaan,
memperkecil berbagai polusi (udara, air, suara dan visual), serta menciptakan lingkungan perkotaan yang
baik dan nyaman.
Pantai Jakarta pada WP Barat Laut dikhususkan sebagai daerah pengamanan dari daerah pantai
(penahan intrusi air laut dan pengaman dari kemungkinan abrasi pantai). Dari Barat sampai dengan Muara
Angke (kurang lebih 5 kilometer) ditetapkan sebagai Hutan Lindung atau daerah preservasi hijau. Telah
ditentukan, 100 meter dari tepi pantai ditetapkan sebagai hutan lindung atau daerah preservasi hijau. Dari
batas hutan lindung ini ke Jalan Lingkar Utara, ditetapkan sebagai daerah pengembangan Hutan Wisata.
Sejalan dengan itu, dikembangkan kegiatan rekreasi dan olahraga di arena terbuka seperti olahraga air, golf
course, camping ground, dan olahraga orang kaya lainnya. Sebagian dapat dibangun untuk Wisma Taman
dan kepadatan rendah.
Program penghijauan yang lokasinya bertetangga dengan kawasan Pantai Barat Laut atau Pantai
Kapuk, antara lain penghijauan sepanjang Cengkareng Drain, sepanjang kali Banjir Kanal Muara Angke,
sekitar waduk pengendalian banjir, sepanjang jalur hijau jaringan jalan raya dan kereta api, dan di bawah
sepanjang jaringan listrik tegangan tinggi. RUTR OKI 2005 menegaskan bahwa Taman atau lahan kota yang
mempunyai potensi tinggi untuk menunjang ekosistem dan ekologi kota akan dipertahankan sebagai areal
terbuka dengan kehidupan alam aslinya atau sebagai daerah hijau.
lni dilakukan pada daerah yang peka terhadap lingkungan, seperti kawasan hutan Angke Kapuk,
Condet untuk buah-buahan, dan Selatan Jakarta sebagai daerah resapan, dan pengamanan daerah rawan
banjir di Wilayah Barat Laut, Utara, dan Timur Laut. Pemugaran dilakukan terhadap lingkungan yang sudah
teratur, bangunan bersejarah dan memiliki nilai arsitektur tinggi. Pengamanan daerah pesisir pantai Jakarta
(membujur dari perbatasan Pemda Jawa Barat-DKI, dari Pantai Muara Kamal di sebelah Barat sampai
dengan Pantai Marunda di sebelah Timur, dan dibatasi di Selatan oleh jalur harbour road.
Tiga kebijaksanaan pokok telah dituangkan, yaitu konservasi, preservasi, dan pembangunan. Konservasi
dimaksudkan untuk mempertahankan daerah penghijauan yang masih mungkin sekaligus mengurangi tingkat
pencemaran, khususnya daerah pesisir pantai Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Preservasi, untuk
meningkatkan peran lingkungan yang memiliki nilai-nilai historis bagi kepentingan pendidikan dan rekreasi.
Pembangunan kawasan pesisir dan pantai dilakukan untuk memberi ruang gerak terhadap kegiatan
pembangunan yang memiliki nilai khusus dalam konteks nasional dan regional (Pelabuhan Tanjung Priok
serta PLTU Muara Karang dan Tanjung Priok) tanpa menambah beban baru pada lingkungan serta
mengembangkan sarana rekreasi bagi kepentingan umum (Piuit, Ancol, Kapuk, dan sebagainya). RUTR ini
tidak secara tegas menyebutkan pengembangan permukiman di sekitar kawasan pantai.
lnsgub DKI Jakarta Nomor 6787/IX/1982 dan SK Menteri Pertanian Nomor 524/Kpts/Um/7/1982 serta
Keputusan Menteri terkait lainnya mengenai penataan Kepulauan Seribu, pada dasarnya berusaha
meningkatkan kawasan ini sebagai daerah kegiatan pariwisata dan perikanan, nelayan, konservasi serta
pelestarian alam dan biota laut dalam konteks Taman Nasional. Penataan kawasan Halim, TMII, Makohankam,
Kemayoran, dan Monas, telah mulai nampak sebagai perwujudan cita-cita pembangunan berwawasan
lingkungan.
Proyek Permukiman Mewah Pantai lndah Kapuk yang konon bisa mengurangi luas kawasan hutan

43
lindung dan hutan kota (dengan ruijslag menggantinya menjadi hutan bukan kota yang sudah tentu letaknya
tidak di ibukota DKI Jakarta tercinta), tetapi mendukung penyediaan berbagai prasarana lingkungan dan
fasilitas umum (pendidikan, kesehatan, olahraga, rekreasi, perdagangan, perkantoran, dan sebagainya,
khususnya untuk golongan masyarakat berpenghasilan tinggi dan sangat tinggi), di satu pihak membantu
pembukaan daerah baru Kapuk yang belum berkembang, mengurug rawa-rawa yang tidak berfungsi ekonomi
menjadi kawasan produktif, membuka kesempatan kerja dan berusaha, di pihak lain hanya akan berhasil dan
bisa bermanfaat bagi warga ibukota, jika pembangunan tersebut tidak merusak penataan lingkungan hidup
setempat.
Pantai lndah Kapuk yang dibangun oleh PT Mandara Permai (Pondok lndah Group: Real Estate Expo
'91 ), merupakan sebuah kota impian yang meliputi area seluas 1.200 Ha di Pantai Barat Laut Jakarta.
Lokasinya sangat strategis, pada persimpangan jalan tol Prof. Sediyatmo dengan jalur Lingkar Luar Jakarta,
hanya 10 Km dari Bandara lnternasional Soekarno-Hatta, 6 Km dari pusat perdagangan Pintu Kecil, Glodok
dan Manggadua, serta tidak jauh dari Taman lmpian Jaya Ancol dan Pelabuhan Tanjung Priok.
Pantai lndah Kapuk memadukan tiga fungsi, wisata dan rekreasi, komersial, serta hunian. Danau dan
jalur pejalan kaki serta taman, melengkapi keindahan dan kenyamanan kawasan ini. Pantai lndah Kapuk
didesain untuk menjawab kebutuhan kota metropolitan, megapolitan, dan kosmopolitan modern dengan
suasana kota air, hijau, dan kota wisata. Kawasan ini akan menjadi bagian kota berwawasan internasional
yang dilengkapi berbagai fasilitas perkotaan, yaitu pusat komersial, perkantoran, hotel, apartemen, sarana
wisata belanja (shopping mall), pusat seni, wisata boga, rumah golf yang kesemuanya mendukung kehidupan
kosmopolitan.
Pantai Kapuk juga akan merupakan kota air, marina dengan kanal-kanal yang terbuka bagi kapal
motor, rumah mungil di pantai, dan kehidupan bahari modern. Kawasan ini suatu saat akan bisa dinikmati
seperti Amsterdam, Rotterdam, San Diego, atau Venesia.

Harapan.
Berbagai peraturan perundang-undangan telah disiapkan oleh Pemerintah DKI Jakarta untuk
mengamankan pembangunan Jakarta, dari RUTR DKI Jakarta 2005, Pola Dasar Pembangunan DKI Jakarta,
RBWK, dan RTK, Repelita V DKI Jakarta, sampai ke Rencana Pembangunan Tahunan DKI Jakarta, Tingkat
propinsi Wilayah Kota, Kecamatan, dan Kelurahan. Yang tidak kalah pentingnya adalah SK Gubernur DKI
Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 tentang kewajiban pemegang SP3L (Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan
Lokasi/Lahan) dalam pembangunan fisik kota seluas 5.000 m2 atau lebih, untuk membiayai dan membangun
rumah susun murah beserta fasilitasnya seluas 20 persen dari areal manfaat secara komersiil.
Kepgub ini disusul Kepgub Nomor 354 Tahun 1992 tentang Juknis Kepgub Nomor 540 Tahun 1990
dan Kepgub Nomor 640 Tahun 1992 tentang Ketentuan terhadap Pembebasan Lokasi/Lahan tanpa ijin dari
Gubernur. Permasalahannya adalah sejauh mana konsistensi pelaksanaannya dan seberapa kuat aparat
pengawasan benar-benar bisa mengawasi pelaksanaannya.
Harapan kita, seperti secara tegas dalam lingkup nasional diharapkan oleh Soeriaatmadja, Asisten
Menneg KLH, pembangunan hendaknya berorientasi pada pembangunan berwawasan lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan, berusaha membasmi kemiskinan, mengendalikan perubahan pola konsumsi,
mengatasi masalah kependudukan, pendidikan dan kesehatan, menggunakan sumber alam dan sumber daya
manusia secara rasional, menciptakan keseimbangan daya dorong terhadap keseimbangan produksi dan
konsumsi, yang dilakukan melalui peningkatan persepsi masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup
(alam dan binaan), pemantauan (indikator, kriteria dan daya dukung lingkungan), serta menekan pencemaran
dan kemungkinan bencana. UU tentang Perumahan dan Permukiman dan UU tentang Penataan Ruang telah
ada. Tantangan bagi semua pihak adalah pelaksanaan secara murni dan konsekwen butir-butir yang
dikandung pada dua undang-undang tersebut. Khusus pada pengembangan Pantai lndah Kapuk, semoga
hasil-hasil pembangunan di kawasan ini bisa dinikmati oleh semua lapisan masyarakat ibukota khususnya
dan bangsa Indonesia umumnya.
Pengembangan Kawasan Pantai lndah Kapuk diharapkan memacu dan ikut berperan mendukung
keterpaduan pengembangan kawasan lindung Muara Angke Kapuk, eagar alam Kapuk, Pulau Bokor dan

44
Pulau Rambut, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Taman Wisata Alam Kapuk, Pulau Penjaliran Barat dan
Timur, kawasan resapan air, sepadan sungai, penataan sekitar danau dan waduk, sekitar mata air, eagar
budaya, hutan kota, pusat penelitian iptek laut dan kelautan, serta hutan wisata agro. Semoga.
Merdeka, 14 Ju/i 1994

Penataan Ruang Wilayah Pesisir

Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (yang mengandung pengertian
ruang, tata ruang, penataan ruang, rencana tata ruang, wilayah, kawasan, kawasan lindung, kawasan
budidaya, kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu) yang berasaskan pemanfaatan
ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdayaguna dan berhasilguna, serta keterbukaan, persamaan,
keadilan, dan perlindungan hukum, mempunyai tiga tujuan. Pertama, terselenggaranya pemanfaatan ruang
berwawasan lingkungan yang berlandaskan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional. Kedua,
terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya.
Ketiga, tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas, untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang
cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera, mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia, meningkatkan pemanfaatan sumber
daya alam dan sumber daya buatan secara berdayaguna, berhasilguna, dan tepat guna untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia, mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi
dampak negatif terhadap lingkungan, dan mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan
keamanan.
Dalam penataan ruang dikenal adanya pola pengelolaan tata guna tanah, tata guna air, tata guna
udara, dan tata guna sumber daya alam lainnya sesuai dengan asas penataan ruang. Salah satu kawasan
yang juga perlu diatur adalah pembangunan dan pengembangan kawasan pantai dalam kaitannya dengan
penataan ruang wilayah pesisir. Tulisan ini berusaha membahas pokok-pokok pikiran tentang penataan ruang
wilayah pesisir, mengacu pada makalah yang disajikan oleh Aca Sugandhy, Asisten Menneg LH Bidang
Perumusan Kebijaksanaan, yang disajikan pada Seminar Teknik Pantai '93, diselenggarakan oleh Laboratorium
Pengkajian Teknik Pantai, BPP Teknologi di Yogyakarta tanggal 10- 11 Desember 1993.
Wilayah Pesisir
Lima pengertian yang menyangkut pesisir perlu diketahui. Wilayah Pesisir merupakan wilayah peralihan
antara daratan dan perairan laut. Secara fisiografis didefinisikan sebagai wilayah antara garis pantai hingga
ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan Iebar yang ditentukan oleh kelandaian
(% lereng) pantai dan dasar laut, serta dibentuk oleh endapan lempung hingga pasir yang bersifat lepas, dan
kadang materinya berupa kerikil. Ruang Wilayah Pesisir merupakan ruang wilayah di antara ruang daratan
dengan ruang lautan yang saling berbatasan. Ruang daratan dengan ruang yang terletak di atas dan di
bawah permukaan daratan termasuk perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah. Ruang lautan
adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis laut
terendah, termasuk dasar !aut dan bagian bumi di bawahnya.
Pantai atau Pesisir merupakan daerah darat, atau bisa berundulasi (bergelombang) dengan perbedaan
ketinggian tidak lebih dari 200 m, yang dibentuk oleh endapan pantai dan sungai yang bersifat lepas.
Umumnya dicirikan dengan adanya bagian yang kering (daratan) dan basah (rawa). Garis Pantai merupakan
suatu garis batas pertemuan (Kontak) antara daratan dengan air !aut. Posisinya bersifat tidak tetap, dan dapat
berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi.
Berdasarkan asal mula pembentukannya, pantai di Indonesia dikategorikan menjadi pantai tenggelam

45
(sub-emergence), timbul (emergence), pantai netral, dan pantai campuran (compound), sedangkan berdasarkan
tipe-tipe paparan (shelf) perairan pantai dikategorikan atas pantai paparan (Utara Jawa, Timur Sumatera,
Selatan dan Timur Kalimantan, Selatan Irian Jaya), pantai samudera (Selatan Jawa, Barat Sumatera, Utara
dan Timur Sulawesi, dan Utara Irian Jaya), dan pantai pulau (Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Nias, dan
Sangihe-Talaud).
Kawasan Permukiman Pesisir merupakan suatu lingkungan hunian dan tempat kegiatan mendukung
peri kehidupan dan penghidupan yang dipengaruhi oleh sifat alam wilayah pesisir. Tipe permukiman pesisir
dibagi atas permukiman tradisional (petani nelayan, petani garam, petani tambak udang, peternak, petani
budidaya dan pendulang batuan) dan permukiman modern (penjual jasa pariwisata dan permukiman
campuran). Dalam perkembangannya, di wilayah pesisir terdapat kawasan kota pantai (Jakarta, Surabaya,
Semarang, Ujunpandang, Banjarmasin) dan kawasan desa pantai. Ada beberapa macam pola pemanfaatan
ruang wilayah pesisir, antara lain kawasan berfungsi budidaya (industri, pariwisata, pelabuhan, budidaya
sumber daya laut, permukiman) dan kawasan berfungsi lindung (rawa pantai, hutan bakau, terumbu karang,
rumput laut, dan lain-lain).
Berbagai peraturan perundang-undangan dijadikan acuan dalam penyusunan tata ruang wilayah
pesisir, antara lain UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, PP Nomor 29 Tahun 1986 tentang
AMDAL, Keppres Nomor 57 Tahun 1989 tentang Tim Tata Ruang Nasional dan Keppres Nomor 32 Tahun
1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung dan Keppres Nomor 33 Tahun 1990 tentang Kawasan lndustri.
Pendekatan pemanfaatan ruang untuk penyusunan penataan ruang wilayah pesisir tidak dapat
dipisahkan dari konsep perencanaan tata ruang untuk keseluruhan wilayah. Struktur rencana tata ruang,
mengacu pada Strategi Nasional Pembangunan Pola Tata Ruang (SNPPTR), Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DT I dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/
Kotamadya DT II. Pendekatan pembangunan dan penataan ruang wilayah pesisir (Aca Sugandhy, 1993)
mengacu pada teknik pengamanan kawasan fungsi lindung di wilayah pesisir (kawasan konservasi dan
spesies yang dilindungi, garis sepadan pantai, hutan bakau, padang lamun, dan terumbu karang) dan teknik
pengembangan kawasan budidaya di wilayah pesisir (pertanian tambak, pertanian garam, budidaya laut,
industri, permukiman, perhubungan laut, dan pariwisata bahari).

Penataan Ruang
Di dalam penataan ruang wilayah perlu diperhatikan rekayasa teknik pemanfaatan ruang dan rekayasa
sosial budaya. Rekayasa teknik sangat dibutuhkan, karena pembudidayaan wilayah pesisir haruslah
memperhatikan asas konservasi, dalam rangka meminimalkan tekanan dan dampak negatif terhadap
lingkungan sekitarnya. Zonasi sebagai salah satu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang, merupakan
upaya penetapan batas-batas fungsional suatu peruntukan (kawasan budidaya, permukiman, dan kawasan
lindung). Penetapan batas-batas fungsional wilayah pesisir erat kaitannya dengan aspek sosial budaya
masyarakat pesisir.
Untuk kawasan permukiman, teknik bangunan sangat dipengaruhi keadaan alam pesisir. Permukiman
nelayan ditata mengikuti nilai-nilai sosial-budaya penduduk setempat dan tidak bisa diseragamkan di seluruh
tanah air. Juga perlu diperhatikan siklus pasang surut air laut, potensi erosi yang berkaitan dengan
pembentukan sedimen, siklus hidrologi, dan limbah. Selain itu, perlu diperhatikan pula fungsi tanah basah
(Wetland), meminimalkan kegiatan pengurukan (reklamasi laut), mengikuti persyaratan garis sepadan pantai
dan mempelajari kemungkinan rekayasa konstruksi terapung.
Bangunan permukiman petani dan nelayan wilayah pesisir memerlukan dukungan transportasi pantai,
baik transportasi sungai maupun transportasi darat. Sarana ini membutuhkan bangunan pendukung seperti
tempat sandar perahu (skala kecil), dermaga beserta prasarananya dan terminal yang mempertemukan
transportasi laut, sungai dan darat. Rekayasa sosial-budaya berkaitan erat dengan unsur manusia dan
aktivitasnya, yang menyangkut perilaku dan budaya yang berorientasi ke laut dan darat. Kebiasaan para
nelayan kapan ke laut dan kapan kembali ke darat membawa pengaruh pada kehidupan sosial budaya,
seperti waktu dan kondisi pasar hasil laut, waktu senggang, waktu beristirahat, dan sebagainya. Penataan

46
ruang wilayah pesisir sekaligus harus berusaha mengubah citra nelayan yang pada umumnya termasuk ke
dalam kelompok masyarakat miskin, terbelakang, dan tertinggal.
Pengendalian pencemaran wilayah pesisir dan lautan mencakup pencemaran akibat kegiatan di
daratan (land based pollution) dan pencemaran dari aktivitas di laut seperti tumpahan minyak, pengelolaan
sampah di laut (sea-debris) dan lain-lain. Dalam kegiatan pengendalian pencemaran wilayah pesisir, perlu
diperhatikan penetapan baku mutu laut dan AMDAL wilayah pesisir. Karena laut merupakan tempat hidup
bagi biota laut yang sangat berguna bagi kehidupan manusia, maka mengacu pada penetapan baku mutu
laut, perlu dilakukan pengendalian pencemaran lingkungan secara teratur dan terus menerus, serta
ditindaklanjuti dengan pemberian sanksi terhadap para pelanggar. RPP tentang Pengendalian Pencemaran
Lingkungan Laut diharapkan dapat diselesaikan secepatnya, agar kekayaan laut dapat terpelihara dan
pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan di wilayah pesisir bisa diwujudkan.
AMDAL yang ditetapkan melalui PP Nomor 29 Tahun 1986 dan baru saja diperbaharui melalui PP 51
Tahun 1993, harus benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pesatnya perkembangan
transportasi laut dan pembangunan wilayah pantai dan pesisir, mengharuskan pengetatan kegiatan AMDAL
dalam rangka mewujudkan kelestarian lingkungan wilayah pesisir.
Angkatan Bersenjata, 24 Januari 1994

Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu

Pemerhati kelautan dari IPB, Rokhmin Dahuri telah mewakili Indonesia pada Lokakarya International
Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu di Negara-negara Berkembang Daerah Tropika. Belajar Dari Pengalaman
Keberhasilan Dan Kegagalan di Xianmen, Gina, 24 - 28 Mei 1996. Oleh-oleh dari seminar tersebut, Rokhmin
menerjemahkan buku berjudul Mengembangkan Keberhasilan Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu: Beberapa
Kiat Keberhasilan Dalam Formulasi, Perancangan dan lmplementasi Kegiatan Pengelolaan Pesisir Secara
Terpadu diterbitkan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Lautan, IPB, 1996.
Tulisan ini berusaha mengangkat pokok-pokok pikiran penting dari Pengelolaan Pesisir Secara
Terpadu (PPST) yang dibahas dalam buku tersebut dengan harapan dapat meningkatkan pengertian
masyarakat luas dan koordinasi pengelolaan wilayah pesisir makin terarah dan terpadu.

Pengertian PPST
Wilayah pesisir adalah wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih
ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan pembangunan secara terpadu (sektoral, bidang ilmu, dan
keterkaitan ekologis) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan (Rokhmin Dahuri, Jacub Rais, Sapta Putra Ginting, dan Sitepu, 1996).
Lima pengertian yang menyangkut pesisir perlu diketahui (Aca Sugandhy, 1993). Pertama, Wilayah
Pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan perairan laut. Secara fisiografis didefinisikan sebagai
wilayah antara garis pantai hingga ke arah daratan yang masih dipengaruhi pasang surut air laut, dengan
Iebar yang ditentukan oleh kelandaian (% lereng) pantai dan dasar laut, serta dibentuk oleh endapan lempung
hingga pasir yang bersifat lepas dan kadang materinya berupa kerikil.
Kedua, Ruang Wilayah Pesisir, merupakan ruang wilayah di antara ruang daratan dengan ruang lautan
yang saling berbatasan. Ruang Daratan adalah ruang yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan

47
termasuk perairan darat dan sisi darat dari garis laut terendah. Ruang Lautan adalah ruang yang terletak di
atas dan di bawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis laut terendah termasuk dasar laut dan
bagian bumi di bawahnya.
Ketiga, Pantai atau Pesisir, merupakan daerah darat atau bisa berundulasi (bergelombang) dengan
perbedaan ketinggian tidak lebih dari 200 m, yang dibentuk oleh endapan pantai dan sungai yang bersifat
lepas. Umumnya dicirikan dengan adanya bagian yang kering (daratan) dan basah (rawa). Keempat. Garis
Pantai, merupakan suatu garis batas pertemuan (kontak) antara daratan dengan air laut. Posisinya bersifat
tidak tetap dapat berpindah sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi.
Kelima, Kawasan Permukiman Pesisir merupakan suatu lingkungan hunian dan tempat kegiatan
mendukung perikehidupan dan penghidupan yang dipengaruhi oleh sifat alam wilayah pesisir (Permukiman
tradisional petani nelayan, petani garam, petani tambak udang, peternak, petani budidaya, pendulang batuan
dan permukiman modern akibat tumbuhnya pariwisata dan permukiman campuran. Ada beberapa pola
pemanfaatan ruang wilayah pesisir antara lain kawasan berfungsi budidaya (industri, pertanian, pariwisata,
pelabuhan, budidaya sumber daya laut, permukiman) dan kawasan berfungsi lindung (rawa pantai, hutan
bakau, terumbu karang, rumput laut dan lain-lain).
Pembangunan berkelanjutan wilayah pesisir yang kaya dan beragam dipengaruhi oleh pola kegiatan
manusia yang kompleks dan tingkat persaingan yang tinggi antar berbagai sektor ekonomi. Pengalaman
menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan dan perencanaan penggunaan lahan yang bersifat sektoral,
tidak berhasil dalam mencapai pemanfaatan secara berkelanjutan dan bijaksana ekosistem pesisir bagi
kelangsungan hidup manusia. PPST merupakan salah satu alternatif pendekatan pengelolaan wilayah pesisir
untuk memperoleh pemanfaatan sebesar-besarnya.
PPST memfasilitasi optimalisasi keuntungan ekonomi dan sosial dari pemanfaatan sumberdaya
man usia dan sumberdaya alam serta jasa lingkungan wilayah pesisir. PPST juga berperan sebagai alat untuk
menyelesaikan berbagai isu dan permasalahan lintas batas internasional, seperti pencemaran laut, over-
eksploitasi stok (cadangan) sumberdaya (ikan) milik bersama, dan konservasi keanekaragaman hayati.
PPST mempunyai empat ciri. Pertama, perhatian yang lebih mendalam dan menyeluruh mengenai
sistem sumberdaya alam yang unik yang terdapat di wilayah pesisir beserta kapasitas keberlanjutannya bagi
berbagai macam kegiatan manusia. Kedua, optimalisasi pemanfaatan serba aneka (ganda) dari ekosistem
pesisir serta seluruh sumberdaya alam yang terdapat didalamnya dengan memperhatikan atau mengintegrasikan
informasi ekologis, ekonomis dan sosial.
Ketiga, pendekatan interdisipliner dan koordinasi serta kerjasama intersektor dalam mengatasi
permasalahan pembangunan yang kompleks, kemudian memformulasikan strategis bagi perluasan dan
diversifikasi berbagai kegiatan ekonomi. Keempat, membantu pemerintah dalam meningkatkan efisiensi dan
efektivitas investasi kapital, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya manusia guna mencapai
tujuan pembangunan nasional dalam bidang ekonomi, sosial serta lingkungan hidup, dan sekaligus memenuhi
ketentuan atau kewajiban internasional tentang perlindungan lingkungan wilayah pesisir dan lautan.
PPST akan lebih efektif jika diterapkan sebagai mekanisme perencanaan dan pengelolaan wilayah
pesisir secara proaktif, melalui empat tahap yaitu pendataan dan perencanaan (identifikasi dan analisis
permasalahan, pendefinisian tujuan dan sasaran, pembuatan kebijaksanaan dan pemilihan strategi dan
pemilihan struktur implementasi, langkah-langkah dan upaya), formulasi (adopsi program secara formal,
dukungan dana dan sumberdaya manusia untuk implementasi), implementasi (kegiatan, kaji tindak, pemantauan,
didukung peraturan perundang-undangan), dan evaluasi (analisis kemajuan, redefinisi ruang lingkup dan
pengelolaan). Sejalan dengan itu, perlu didorong penyadaran masyarakat, peningkatan kerjasama antar
instansi terkait, koordinasi mulai perencanaan sampai ke evaluasi, dan integrasi berbagai kegiatan yang
menyangkut wilayah pesisir.

Kiat-kiat Keberhasilan
Kiat-kiat keberhasilan PPST harus memperhatikan tiga hal, yaitu masalah (pencemaran, tangkap lebih
banyak, konflik penggunaan, dan lain-lain), proses (perencanaan, implementasi, pemantauan dan evaluasi),

48
dan kegiatan (piranti kelembagaan dan organisasi,insentif, penyuluhan, peranserta/partisipasi masyarakat,
dan koordinasi).
Ada tujuh kiat pedoman keberhasilan PPST. Pertama, gunakan pendekatan secara sistematis dan
bertahap dalam mengembangkan dan mengimplementasikan setiap proyek dan PPST. Terapkan kerangka
pendekatan PPST dalam pengelolaan kegiatan sektoral pengelolaan wilayah pesisir (perikanan tangkap,
perikanan budidaya, pariwisata, pelabuhan, dan taman laut). Gunakan kombinasi beberapa instrumen
pengelolaan. Gunakan pendekatan pengelolaan yang bersifat pencegahan. lkuti prosedur PPST secara taat
as as.
Kedua, libatkan masyarakat dalam proses PPST (konsultasi, koordinasi, integrasi, partisipasi). Ketiga,
integrasikan informasi lingkungan, ekonomi dan sosial sejak awal dari suatu proses PPST (identifikasi
masalah, pengumpulan dan pengolahan data, analisis dan informal PPST). Tingkatkan penelitian yang
berorientasi untuk pengelolaan, lakukan AMDAL terpadu dalam pengembangan dan implementasi program
PPST, pertimbangkan sifat pemilikan bersama dari wilayah pesisir dalam penilaian ekonomi, dan gunakan
analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) dalam penilaian alternatif pembangunan. Keempat, ciptakan
mekanisme untuk integrasi dan koordinasi (harmonisasi kebijaksanaan, strategi, dan peraturan perundang-
undangan, keterkaitan antar instansi dan subsistem sumberdaya alam, koordinasi fungsional (vertikal,
horisontal dan diagonal).
Kelima, ciptakan mekanisme keuangan/pendanaan yang berkesinambungan. Keenam, kembangkan
kemampuan sumberdaya manusia dalam bidang PPST pada semua tingkat pemerintah (Pemerintah Tingkat
Pusat, DT I, DT II, Kecamatan, Desa/Kelurahan, Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan
Lembaga Riset). Sejalan dengan itu tingkatkan profesionalisme bidang-bidang keahlian pengembangan dan
pengelolaan wilayah pesisir, antara lain lingkungan dan sumberdaya, ekonomi sumberdaya, dampak lingkungan,
sistem informasi geografis, sistem informasi manajemen, sosiologi, ekonomi, hukum, matematika, dan fisika,
meteorologi dan geofisika, perencanaan, kebijaksanaan, tata guna lahan, teknologi penanggulangan
pencemaran, komunikasi, dan ilmu-ilmu terkait lainnya.
Ketujuh, pantau efektivitas proyek dan program PPST, untuk mengetahui sejauh mana efektivitas
pelaksanaan program PPST dalam memacu kegiatan ekonomi wilayah dan melestarikan wilayah secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Tujuh kiat pedoman PPST di atas perlu dipantau terus menerus
dan dievaluasi, agar bisa dilakukan perbaikan pengelolaan secepatnya sesuai keperluan. PPST harus
dilaksanakan secara bertahap (evolusi) dan tidak mengakibatkan perubahan drastis atau mengagetkan.
Terapkan evolusi dalam kegiatan-kegiatan demonstrasi (pilot plant, demonstration project) penciptaan proyek
dan percontohan konsolidasi terhadap hasil-hasil yang telah dicapai dan meraih kepercayaan yang lebih
tinggi dalam pelaksanaan program PPST yang skalanya lebih luas, replikasi, serta bimbingan dan penyuluhan.
Demonstrasi atau penyuluhan, dilakukan dalam rangka menciptakan dukungan pengelolaan, memilih
lokasi percontohan berdasarkan kriteria tertentu (dapat dikelola, dapat diterapkan ditempat lain. bernilai
penting), memfokuskan pada penyelesaian beberapa isu spesifik di wilayah pesisir, menumbuhkembangkan
kesadaran masyarakat, mempertajam program PPST, mewujudkan mekanisme koordinasi terarah dan
terpadu, meningkatkan kemampuan sumberdaya manusia di daerah, melakukan penelitian dan kajian
masalah khusus, memperkuat peraturan perundang-undangan wilayah pesisir dan kelautan, mengupayakan
sumber dana yang memadai dan melaksanakan kegiatan PPST secara berdaya guna dan berhasil guna.
Konsolidasi mencakup pemantauan perkembangan pelaksanaan penyaringan kegiatan strategis,
penyempurnaan rencana, pemantauan dan evaluasi, pemeliharaan program agar berkelanjutan, serta
koordinasi dari berbagai elemen konsolidasi (pengalaman, pengetahuan, pendekatan metoda, keterampilan
dan keahlian). Replikasi atau pengulangan, dimaksudkan untuk memasyarakatkan dan menyebarluaskan
hasil yang telah dicapai, memperlihatkan kepada masyarakat luas pentingnya dan ampuhnya PPST,
mempromosikan PPST ke wilayah lain, menyempurnakan kegiatan, memperbaiki pendekatan dan metoda,
meningkatkan kemampuan aparatur pemerintah daerah serta sumberdaya manusia wilayah pesisir dan
kelautan, dan memelihara kesinambungan PPST.
Bimbingan dan Penyuluhan PPST perlu dilakukan terus menerus dalam menyukseskan program PPST
di Tingkat Pusat dan Daerah, antara lain berisi materi landasan kebijaksanaan, kebijaksanaan dan strategi

49
PPST, subyek-subyek metoda PST, lingkungan strategis, program yang tepat, penyelarasan peraturan
perundang-undangan dalam pelaksanaan PPST di daerah, peningkatan kegiatan penelitian dan pengembangan
serta pengkajian dan penerapan teknologi pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan dalam rangka meningkatkan
penguasaan, pengembangan dan pemanfaatan teknologi untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat lahir
dan batin, menumbuhkan kemitraan pemerintah swasta-masyarakat, mengintegrasikan PPST dengan program
terkait lainnya, mengembangkan mekanisme koordinasi terarah dan terpadu, dan mengusahakan PPST agar
berdampak pada peningkatan kegiatan ekonomi pada skala lokal, nasional dan internasional.
Lebih rugi lagi, materi bimbingan dan penyuluhan hendaknya memuat konsep dan definisi pengelolaan
wilayah pesisir dan lautan, karakteristik, struktur dan dinamika ekosistem wilayah pesisir dan lautan, potensi
dan permasalahan pembangunan wilayah pesisir dan lautan, kebijaksanaan dan strategi pengelolaan wilayah
pesisir dan lautan, elemen dan proses pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu, pedoman
pengelolaan, ekosistem dan sektor pembangunan wilayah, pengalaman negara-negara lain dalam pengelolaan
wilayah pesisir, pengembangan sistem informasi, iptek dan sumber daya manusia dalam mendukung
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu.
Harapan
Penerapan AMDAL (PP 29/1986 dan PP 51 /1993) harus benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan
yang ada, agar PPST berdayaguna dan berhasil guna. Ditetapkannya konsepsi Benua Maritim Indonesia
pada tanggal 18 Desember 1996 di Ujung Pandang yang mencakup kemaritiman dan kelautan (sumberdaya
manusia, sumberdaya alam, iptek dan kelembagaan) dan ditetapkannya Keppres 77/1996 tentang Dewan
Kelautan Nasional, hendaknya ditindaklanjuti dengan program dan pelaksanaan pembangunan maritim dan
kelautan secara lebih terarah dan terpadu.
PPST hanya merupakan salah satu alat untuk menindaklanjuti isi konsepsi Benua Maritim Indonesia
(BMI) dan Keppres tentang Dewan Kelautan Nasional di samping bidang-bidang lainnya dalam konteks
Benua Maritim Indonesia, yaitu perikanan (laut, pantai, pesisir, perhubungan laut, industri maritim, masyarakata
bahari dan desa pesisir, hukum dan penataan maritim, penerapan bahari, survai, pemetaan dan iptek maritim.
Pemantauan konsolidasi, penyuluhan, pemasyarakatan dan penyebarluasan PPST dalam kehidupan
masyarakat, diharapkan makin meningkatkan kecintaan Bangsa Indonesia pada Benua Maritim Indonesia,
makin meningkatkan cinta Bahari, makin meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap wilayah pesisir dan
lautan (dengan panjang garis pantai 81.000 Km dan luas lautan 5,8 juta Km2) mencakup zona pantai, landas
benua, lereng benua, cekungan samudera di bawahnya dan dirgantara di atasnya.
Jayakarta, 7 Oktober 1997

Penataan Kawasan Pantai, Tepian Sungai


dan Tepian Danau
Pengendalian Tata Ruang Kawasan Puncak telah diatur oleh Keppres Nomor 49 Tahun 1983, Keppres
Nomor 79 Tahun 1985, dan Kepmendagri Nomor 22 Tahun 1989. Penataan Ruang diatur melalui UU Nomor
24 Tahun 1992 yang segera disusul oleh 6 Rancangan Peraturan Pemerintah. Sekarang belum terlambat
untuk menata kawasan pantai, tepian sungai dan tepian danau. Hasil seminar sehari PSAI (Persatuan
Sarjana Arsitektur Indonesia) empat tahun yang lalu, 1 Juli 1989 tentang Penataan Kawasan Pantai, Tepian
Sungai dan Tepian Danau hendaknya dilihat kembali dan diupayakan terobosan untuk menyatukan usulan
penataan kawasan pantai, tepian sungai, dan tepian danau sebagai salah satu tindak lanjut UU Penataan
Ruang, dalam menyongsong Pelita VI.

50
Kawasan Perairan
Permasalahan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan pantai antara lain kurangnya data dasar,
kompleksnya permasalahan lingkungan, kurangnya kelengkapan administrasi dan peraturan perundang-
undangan, kurangnya pengetahuan kelautan dan usaha pengembangan kawasan pantai. kurangnya tenaga
ahli, dan sistem koordinasi yang lemah dalam mengembangkan w1layah secara menyeluruh dan terpadu.
Kawasan perairan yang meliputi pantai laut, sungai dan danau (Noer Sajidi, Direktur Tata Bangunan,
Ditjen Cipta Karya Deppu, 1989) adalah daerah yang terdiri atas bagian daratan dan perairan yang saling
mempengaruhi baik karena sifat alam maupun pengaruh habitatnya. Ditegaskannya bahwa bangunan ilegal
di tepi pantai dan sungai sangat kontradiktif dengan upaya yang dilakukan pemerintah. lroninya bangunan di
kawasan itu justru memperoleh fasilitas jaringan air minum, listrik dan telepon. Pertumbuhan bangunan yang
ilegal dan tidak terkendali ini menyebabkan terhalangnya obyek wisata (Danau Toba), terganggu lalu lintas di
daerah aliran sungai (Sungai Musi), kerusakan dan kehancuran biota dan abiota air (Teluk Jakarta),
meningkatkan kerawanan lingkungan terhadap keamanan, bahaya kebakaran dan obyek wisata itu sendiri.
Menteri PU menyatakan bahwa banyak kota pantai yang perkembangannya sangat pesat, jauh
melampaui daya dukung fasilitas dan utilitas kota. Banyak sungai yang tingkat pencemarannya parah karena
meningkatnya kegiatan industri yang tidak memperhatikan peraturan lingkungan, misalnya membuang !imbah
atau sampah industri ke sungai. Peran Departemen PU terutama berkaitan dengan pemukiman melalui
program pengendalian pencemaran, pembinaan daerah pantai dan usaha memanfaatkan kawasan pantai.
Tenaga coastal engineering yang masih sedikit, memerlukan perhatian kita bersama untuk secepatnya
mengisi kekurangan tersebut.
Penataan kawasan pantai dilakukan melalui pelaksanaan pengaturan dan peraturan, kelompok kerja
pelestarian lingkungan, pusat-pusat studi lingkungan, penataan bangunan oleh pemerintah daerah, investor,
developer, pedagang, dan peran masyarakat. Contoh-contoh kondisi lingkungan pantai yang mencemaskan
di Jambi, Palembang, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Denpasar, dan Jakarta, memberikan gambaran
baik buruknya penataan kawasan pantai. Proyek Perbaikan Kampung di kota pantai akan lain bentuknya
dengan di kota daratan. Demikian juga bentuk MCK-nya. Koordinasi antara Pemda dengan Pengelola
Pelabuhan perlu ditingkatkan, misalnya bagaimana menyediakan air bersih untuk daerah pelabuhan di
Banjarmasin, siapa yang paling bertanggungjawab dalam pengelolaan bagan pencari ikan.
Ahli Peneliti Utama di Puslitbang Oseanologi LIP!, Dr. Otto Ongkosono, mengupas secara panjang
Iebar potensi dan pemanfaatan wilayah pesisir di Teluk Jakarta, Muara Karang, Sunda Kelapa, Marunda,
Kepulauan Seribu dan Cilacap. lsu negatif pencemaran, erosi, sedimentasi, kekeruhan perairan, dan
pemiskinan terjadi sebagai akibat perbuatan yang merusak lingkungan, antara lain pengerukan dasar !aut,
pengurugan, penanggulangan, pembangunan pelabuhan, penggalian pasir, penambangan karang pantai,
penebangan mangrove, kegiatan PLTU, pertambakan dan pembangunan taman rekreasi dan pariwisata yang
tidak teratur.
Pembangunan kawasan pantai di Australia yang teratur dan memperhatikan peraturan dan perundang-
undangan lingkungan di Australia telah menggugah kita untuk meniru. Di antaranya waterfront development
Sydney Harbour, Darling Harbour, North Heaven Harbour, Gold Coast, North Ho//ywe/1 Harbour, North
Kongscliff Resort dan Monte Cristo Beach Resort yang kesemuanya dibangun melalui riset pasar, penyelidikan
lokasi dan lingkungan, studi kelayakan yang memperhatikan aspek teknis, ekonomis, sosial serta
memperhitungkan risiko yang akan terjadi.

Kesepakatan
Seminar menyimpulkan perlu adanya Keppres mengenai Kawasan Pantai, Tepian Sungai dan Tepian
Danau. Juga diperlukan lnpres Pembangunan Kawasan Pantai untuk meningkatkan kehidupan masyarakat
pantai, khususnya nelayan. Keppres akan mengatur keterpaduan program pengadaan air bersih, penyehatan
lingkungan pemukiman, perumahan rakyat atau perbaikan kampung dan penanganan serius kawasan kumuh
kota dan desa pantai.
Pengendalian tata ruang kawasan pantai hendaknya memperhatikan berbagai kepentingan, antara lain

51
pariw1sata. perindustrian, transportasi, penyediaan air bersih, listrik dan penataan bangunan. Garis sempadan
air di pantai. danau dan sungai perlu diatur agar dicapai keselarasan, kenyamanan. keseimbangan dan
keamanan.
Strategi penataan bangunan kawasan pantai perlu disusun melalui penelitian dan pengkajian,
pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan pola penertiban serta pengendalian yang memperhatikan
kelestarian lingkungan. sasaran konservasi (perlindungan, pengawetan terhadap keanekaragaman sumber
plasma nuftah, dan pelestarian). ljin bangunan untuk kegiatan pariwisata, perekonomian, transportasi,
perindustrian, perumahan dan pemukiman perlu diperketat. Penataan dan perencanaan bangunan perlu
ditangani serius, jika perlu menggunakan konsultan perencana yang qualified.
Kesadaran lingkungan dan ekosistem wilayah pantai perlu diwujudkan dalam tindakan nyata, khususnya
dalam bentuk tindakan preservasi dan konservasi. Pembangunan gedung dan hotel .pencakar langit perlu
dibatasi, karena akan mengganggu sistem pertukaran udara dan mikroklimat setempat. Penyedotan air tanah
perlu diawasi secara ketat agar intrusi air laut bisa dikurangi.
Semua pihak, setiap orang, aparat Pemda, investor, developer, pedagang, dan anggota masyarakat
perlu menyadari pentingnya pengendalian tata ruang dan terpeliharanya kelestarian lingkungan kawasan
pantai, tepian sungai, dan tepian danau agar keserasian, keseimbangan, kenyamanan, keselamatan dan
keamanan dapat dicapai secara optimal dan terciptanya penataan yang efektif. Pengendalian lingkungan
perumahan dan permukiman kawasan pantai hendaknya memperhatikan penataan ruang dan penataan
bangunan. Penataan bangunan haruslah memperhatikan keselamatan bangunan, standar konstruksi bangunan,
tertib bangunan, tertib hukum, dan tertib penataan bangunan dan lingkungan.
Mengingat luasnya kawasan pantai dan tersedianya sumberdaya kawasan pantai dan laut. seperti
macam-macam mineral (pasir besi, pasir kwarsa, timah), berbagai sumber energi (minyak dan gas bumi,
batubara, gambut, gelombang, angin), dan sumber daya hayati (ikan, udang, rumput laut, bakau, kerang)
termasuk pengawasan kawasan pantai dan laut, maka diperukan adanya suatu lembaga khusus yang
mengelola kawasan pantai dan laut, suatu Badan Pengelola Kawasan Pantai. Usulan badan ini bukan ikut-
ikutan dengan akan lahirnya Badan Pengendalian Pembangunan Perumahan atau Badan-badan sejenis
lainnya. Semoga.
Angkatan Bersenjata, 18 Maret 1994

Penataan Ruang ~~conurbationll antara


Jakarta - Bandung
Deputi Ketua Bappenas Bidang Regional dan Oaerah, Sugijanto Soegijoko mengemukakan bahwa
masalah conurbation pernah dilontarkan oleh Patrick Geddes lebih dari 80 tahun yang lalu, yaitu menyatukan
serangkaian kota-kota (urban areas) sehingga fenomena penataan kota meluas mempunyai dimensi regional.
Tigapuluh tahun yang lalu, Jean Gottman, ahli Perancis menamakan fenomena ini sebagai megalopolis
(kawasan perkotaan yang menyambung jadi satu), seperti dari kota Washington DC sampai dengan kota
Boston, di negara bagian Massachussetts, Amerika Serikat.
Masalah pengembangan Conurbation Jakarta- Bandung telah dibahas dalam simposium di Bandung,
akhir tahun lalu yang diselenggarakan oleh IAI Jawa Barat bekerjasama dengan Jurusan Arsitektur ITB
dengan tema lmplikasi Conurbation Jakarta - Bandung terhadap perubahan pengelolaan tata ruang dan
perancangan wilayah/kota serta peran profesi arsitek.
Terhadap conurbation Jakarta - Bandung, Sugijanto menyorot lima hal. Pertama, OKI Jakarta dan
Bandung Raya masing-masing menangani masalah kependudukan, prasarana dan sarana sosial-ekonomi
dan fisik, sandang pangan dan papan, infrastruktur dasar, serta pemenuhan kebutuhan kehidupan metropolitan

52
seperti transportasi dan jenis modanya. Dua kota ini merupakan pusat kegiatan ekonomi nasional dan
regional, pusat industri dan manufaktur, dan merangsang tumbuhnya kegiatan jasa (transportasi, komunikasi,
dan perkantoran). Kedua, kawasan perdesaan yang dilalui conurbation ini, misalnya pada jalur Bogor-
Puncak-Cianjur dan Jakarta-Bekasi-Cikampek-Purwakarta-Bandung, mengalami pergeseran pekerjaan dari
pertanian ke non-pertanian (industri), yang menuntut peningkatan produksi dan efisiensi.
Ketiga, ada perbedaan orientasi pertumbuhan pada jalur, yaitu industri dan permukiman (jalur Utara)
dan pariwisata Oalur Selatan). Keempat, perkembangan kawasan pada dua jalur ini menuntut kemudahan
dan kenyamanan akses serta kelestarian lingkungan. Kawasan Bopunjur yang diamankan sebagai daerah
resapan air, mutlak perlu diperhatikan. Kelima, pengaturan perkembangan kota ini dilakukan antara lain
melalui Keppres, Kepgub, strategi guided land development, mendorong pengembangan pusat pertumbuhan,
serta tumbuhnya kawasan industri dan permukiman.

Dikaitkan
Kelima butir ini dikaitkan Sugijanto dengan pengembangan iptek, pengembangan industri, tumbuhnya
kemandirian dan produktivitas masyarakat, peningkatan efisiensi dan daya saing, pemantapan Otonomi DT II,
dan pengelolaan lingkungan hidup.
Melihat keterkaitan antara Conurbation Jakarta- Bandung dengan Repelita VI, Sugijanto menemukan
delapan butir penting, yaitu :
1. Conurbation adalah fenomena yang akan terjadi dan tidak dapat dihindari.
2. Kerangka pertumbuhan ekonomi diupayakan melalui peningkatan produktivitas dan efisiensi (di samping
pemanfaatan pertumbuhan tenaga kerja dan modal), tergantung pada peningkatan kualitas sumber daya
man usia.
3. Pelaksanaan Otonomi DT II ditujukan pada perwujudan otonomi daerah yang nyata, dinamis, serasi, dan
bertanggung jawab.
4. Dalam proses pembangunan di mana conurbation muncul, ditemukenali unsur Pemerintah (menstimulasi
pembangunan), para ahli (intellectual leader), dan masyarakat (pelaku utama pembangunan sebagai
penerima atau recipient dan yang memanfaatkan peluang pembangunan).
5. Perlu dicari alternatif penyelesaian masalah pengembangan conurbation Jakarta - Bandung, antara lain
dengan perencanaan modern.
6. Perlu lebih tekun menata dan mengorganisasi kegiatan persiapan perencanaan megalopolis.
7. Perlu terus menerus menggalang kerjasama dan menyamakan wawasan (pemerintah, ahli, dan masyarakat)
dalam perencanaan dan pelaksanaan.
8. Perlu reorientasi pendidikan dan meningkatkan kepekaan dalam menangkap fenomena penting, antara
lain dalam pendidikan pasca sarjana melalui seminar dan laboratorium.
Menparpostel Joop Ave yang menjelaskan pembangunan pariwisata dilakukan menyeluruh dan
berwawasan lingkungan serta peningkatan diversifikasi produk, menegaskan pentingnya peran arsitek dalam
melestarikan tradisi dan budaya bangsa, serta berperan aktif dalam dunia rancang bangun dan rekayasa,
dalam kreativitas pembangunan di lingkungan obyek dan daya tarik kawasan, akomodasi (arsitektur
perhotelan) dan non-hotel, serta fasilitas kepariwisataan lainnya.
Dalam membahas Conurbation Jakarta - Bandung, Ateng Syafrudin yang memaparkan kesinambungan
pemikiran dan kebijaksanaan, menyarankan agar kita semua selalu melihat ke depan, meningkatkan
koordinasi, meluruskan pelaksanaan dengan perencanaan, melibatkan pihak swasta pada tiap proses
(perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan pengendalian), profesionalisme aparatur pemerintah,
meningkatkan kemandirian dan keterbukaan, memantapkan desentralisasi, dekonsentrasi, deregulasi, dan
devolusi, menciptakan iklim yang kondusif, meningkatkan kualitas dan kapasitas aparatur perkotaan, dan
meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

53
Pol a
Pola Grid disodorkan oleh Slamet Wirasonjaya, dengan mengetengahkan berbagai jenis kota, yaitu
Desa Terpadu (Robert Owen), Konsep Kota lndustri (Tony Garnier), Konsep Kota Linear (Don Arturo),
Konsep Kota Baru (Antonio Sant'Eiia), Konsep Kota dengan Tiga Juta Penduduk dan Konsep Kota Linear
Antar Kota (Le Corbusier), Konsep menara 1 mil (Frank Lloyd Wright), Konsep Kota Broadacre, dan Rencana
Kota Tokyo (Kenzo Tange). Wirasonjaya menyatakan bahwa kota-kota Utopia ini mengajukan bentuk kota
pada tingkat metapolis, yaitu suatu model habitat dan lingkungan yang mengvisualisasikan keseimbangan
antara kompleksitas kehidupan, kebudayaan, industri, dan rekreasi.
Space Grid merupakan pola yang sudah teruji sejak jaman antkwitas (Eropa, India, Gina, Jepang)
hingga kota Manhattan yang canggih, merupakan salah satu alternatif yang siap pakai seperti dalam pepatah
perencanaan. None of the plants is perfect, almost any is better than no plan at all. Konurbasi menurut
Wirasonjaya adalah pusat-pusat pertumbuhan penduduk sekaligus merupakan pusat strategis yang menguasai
lingkungan sekitar.
Kota-kota besar di Indonesia mengalami krisis kotanya, sebagian disebabkan oleh kampung-kampung
dalam kota, adanya daerah vacum di perbatasan, dan perkembangan lebih cepat dari rencana. Kampung
dalam kota makin padat penduduknya, gelombang slum makin tinggi, daerah pertanian sepanjang Jakarta-
Bandung terkena beban limpahan konurbasi, dan batas fisik jadi kabur. Cepat atau lambat, konurbasi cepat
tumbuh, padahal aksesibilitas menjadi barang langka.
Space Grid ibarat Principle of Life (metabolisms dan metamorphosa), tidak akan pernah selesai, tidak
ada pangkal dan akhir, tiap perubahan akan memancing perubahan lainnya. Perubahan adalah proses, dan
proses tersebut adalah Space Grid yang mempunyai sejumlah kemudahan, antara lain antisipasi terhadap
segala bentuk perubahan dan pertumbuhan baik yang dapat diduga maupun yang tidak terduga, efisien dan
kreatif dalam penggunaan lahan, gerak aksesibilitas dan komunikasi ke segala arah (hirarki dan orde jalan),
fleksibilitas dalam sistem transportasi, kesempatan dan kebebasan memiilh tempat, penataan bangunan,
ruang terbuka dan fasilitas umum, daya tarik jika diolah dengan baik akan memberikan keindahan khas grid
(Park System, Town Space, Superblock Development, Urban Revitalization), memberikan landasan bagi lahirnya
kota masa depan (Future City Was Made In The Past).
lndrayati Subagio mengetengahkan peranan sistem mass transit Jabotabek dalam proses Conurbation
Jakarta - Bandung (mass transit adalah angkutan umum perkotaan yang bersifat massal cepat di perkotaan,
yang mempunyai pelayanan (performance) yang baik, berkapasitas besar atau disebut massal, berkecepatan
tinggi dengan sistem keamanan perjalanan yang baik, terdiri atas street transit, semi rapid transit, dan rapid
transit).
Dalam membahas peranan sistem mass transit Jabotabek dalam proses konurbasi Jakarta-Bandung,
lndrayati menghasilkan empat kesimpulan. Pertama, DKI Jakarta telah berkembang sebagai kota metropolitan
yang tentunya memerlukan wilayah sekitarnya sebagai daerah pendukung pertumbuhan perekonomiannya.
Kedua, diperkirakan sistem transportasi yang dapat memberikan pelayanan yang baik sehingga diperoleh
manfaat ekonomi tidak saja untuk wilayah DKI Jakarta, namun juga secara regional maupun nasional,
terutama dalam hal penghematan waktu dan sumber daya di mana sistem mass transit mampu
menyediakannya.
Ketiga, dengan penerapan sistem mass transit akan terdapat peluang-peluang yang mengikuti
sepanjang jaringan mass transit karena adanya aksesibilitas yang mendukungnya, di mana akan memberikan
manfaat terhadap pengembangan perkotaan. Keempat, sistem mass transit berperan aktif dalam meningkatkan
aksesibilitas antar kota, dan bukan tidak mungkin juga dalam proses munculnya conurbation kota-kota besar
yang saling berkepentingan.

Pertanian
Pertanian berduapola pada era abad 21, bersendi bioteknologi (yang mempunyai target high yield and
efficiency) dan biokonservatif (bertarget sustainable diversity) menurut Samsoe'oed Sadjad, berkaitan dengan
conurbation maupun agroindustrialization. Petani modern harus menjadi penduduk ·kota industri yang
dibangun oleh proses konurbasi, petani yang hidup di dua binatang yang dipelihara, yaitu agroindustri dan

54
conurbation yang Pancasilaistis.
Menghadapi pertanian berduapola yang berorientasi homogenitas dan heterogenitas, harus diupayakan
agar rakyat yang melebihi 220 juta nanti dapat hidup berkecukupan yang makmur dan adil, dapat berperan
dalam geopolitik maupun geoekonomi di silang dua samudera, dan jalur lintas dunia Utara dan Selatan, serta
sebagai negeri tropika basah harus mampu melestarikan atmosfir bumi dengan sumber daya fauna dan
floranya.
Kalau proses konurbasi dan agroindustri akan disejajarkan, maka sumber daya manusianya harus
dipersiapkan. Apabila konurbasi akan berujung pada lahirnya kota industri yang terkait dengan kota-kota
kecil, menengah, dan kota mega (mega-urban, megacity), maka sumber daya manusianya harus dididik untuk
bisa berkaitan dengan pola pertanian yang homogeneous dan heterogenous.
Samsoe'oed Sadjad sampai pada kesimpulan bahwa konurbasi merupakan proses yang memang tidak
dapat dibendung kalau itu kita melihatnya pada tata ruang di antara Jakarta dan Bandung. Didorong oleh
pandangan demi pembangunan ekonomi maupun demi tuntutan zaman yang berbendera modernisme
ataupun era globalisasi, konurbasi makin berproses pada jangkauan kurun waktu yang relatif memendek.
Maka berpaculah kita dengan kondisi transisi berupa permasalahan alih fungsinya lahan-lahan pertanian
(sawah) yang subur dan terdesaknya manusia yang berprofesi tani. Jika tidak hati-hati, bukan tidak mungkin
di akhir abad 21 nanti kita akan mewariskan kekecewaan bagi cucu-cicit, karena mereka bermukim di kota-
kota yang berada di atas lahan subur. Kondisi ini membutuhkan pemikiran bersama.
Uraian mengenai perancangan dan penataan ruang Bukit lndah City yang terdiri atas 2000 Ha (poros
Jakarta-Cikampek-Cirebon) dan 7100 Ha (Cikampek-Bandung) merupakan salah satu contoh kota baru yang
berorientasi industri pada konurbasi Jakarta-Bandung.
Pembangunan kota baru ini sudah melalui tahap-tahap penyusunan struktur tata ruang kota, rencana
umum tata ruang yang sudah diperdakan yang memperhatikan aspek kebijaksanaan pembangunan,
pengembangan kependudukan dan tenaga kerja, perekonomian, integrasi wilayah, sistem transportasi
(jaringan jalan raya, jalan kereta api, pelabuhan laut, pelabuhan udara), dan permukiman. Struktur tata ruang
memperhatikan keseimbangan komposisi karya, wisma, suka, marga, dan penyempurnaan (ruang terbuka
hijau), didukung utilitas (fasilitas daya listrik, sistem telekomunikasi, air bersih, air limbah, limbah padat) dan
setelah melalui proses AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), RKL (rencana pengelolaan lingkungan),
dan RPL (rencana pemantauan lingkungan).
Pengembangan kota mandiri dan kota baru Bukit lndah City sebagai kota industri yang dilengkapi
sarana permukiman, komersial, perdagangan, rekreasi, dan kepranataan, yang akan dapat menampung
750.000 sampai dengan 1 juta penduduk, dilakukan melalui studi, penelitian perencanaan dan perancangan
dengan memperhatikan kondisi lingkungan yang ada.
Pertimbangan segi bisnis dikaitkan dengan dorongan kecintaan akan lingkungan untuk mewujudkan
quality of life dan aspek waktu yang membutuhkan perhatian terhadap teknologi, nilai sosial, dan budaya
masyarakat. Kota lndustri Bukit lndah City yang terdiri atas Kota lndustri Bukit lndah Barat, 7100 Ha (300 Ha
di Kabupaten Purwakarta dan 6800 Ha di Kabupaten Karawang) dan Kota lndustri Bukit lndah Timur, 2000
Ha (1200 Ha di Kabupaten Purwakarta dan 800 Ha di Kabupaten Karawang) akan memacu pembangunan
kota-kota kecil dan kota sedang di sekitarnya seperti Dawuan, Klari, Cibungur, Pamanukan, Jatiluhur.
Karawang, Cikampek, dan Purwakarta.

Harapan
Konurbasi Jakarta - Bandung yang berkembang pesat tidak dapat dihindari. Yang perlu dilakukan
adalah mengelola pertumbuhan konurbasi ini agar perkembangan perdesaan, kota-kota kecil dan kota
sedang pada koridor ini dapat saling menunjang. Perkembangan industri perlu diimbangi dengan pembangunan
agroindustri. Jaringan transportasi perlu dikaitkan dengan pembangunan kawasan permukiman, pariwisata,
sarana, dan prasarana lingkungan. Perilaku dan budaya masyarakat, perlu diarahkan selain pada pertanian

55
duapola juga disiapkan menuju masyarakat berbudaya industri. Pengembangan kota baru dan kota mandiri
yang berorientasi industri, perlu didukung oleh penataan ruang.
Suara Pembaruan, 8 Ju/i 1994

Pembangunan Kota dan Wilayah Masa


Mendatang
Dalam Seminar Nasional 1993 Pengembangan Profesi Perencanaan di Jakarta (25-26 Mei 1993) yang
diselenggarakan oleh lkatan Ahli Perencanaan (lAP), dibahas pengembangan profesi perencanaan dalam
menghadapi tantangan pembangunan kota dan wilayah di masa mendatang. Seminar ini membahas
pengalaman pembangunan pasca PJPT I, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
dan pelaksanaannya, khususnya dalam konteks pembangunan kota dan wilayah.
Sasaran seminar ini adalah mengidentifikasi kemajuan dan permasalahan pembangunan kota dan
wilayah, mengkaji peran dan kedudukan, tugas, tanggungjawab dan wewenang para perencana, mengkaji
bentuk program pelatihan yang tepat untuk meningkatkan kualifikasi para perencana kota dan wilayah agar
mampu bekerja efektif dengan ahli disiplin lain, serta meningkatkan kerjasama antar profesi, antar lembaga
(pemerintah, swasta, dan masyarakat) yang berkepentingan dengan pembangunan kota dan wilayah
sehingga kontribusi para perencana dalam pembangunan nasional dapat lebih intensif.

Penataan Ruang
Menteri Pekerjaan Umum Radinal Moochtar menyorot tantangan pembangunan kota dan wilayah serta
peranan profesi perencanaan pada masa mendatang. Ada enam ciri perencanaan yang dituntut sumbangsihnya
secara nyata, efisien, dan efektif. Pertama, mengembangkan perencanaan yang mampu menjabarkan UU 24/
1992 secara jelas. Kedua, mengembangkan perencanaan yang mampu menemukenali potensi nasional dan
lokal dalam rangka meningkatkan kemandirian pembangunan. Ketiga, mengembangkan perencanaan yang
dapat mendudukkan peran dan sumbangan sektor-sektor pembangunan dalam kerangka spasial yang
terkoordinasi, terpadu dan sinkron. Keempat, melakukan dan mengembangkan perencanaan yang tanggap
dan mampu memecahkan masalah khusus dan spesifik. Kelima, mengembangkan perencanaan yang mampu
memenuhi tuntutan pengembangan iptek dan tuntutan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Keenam,
mengembangkan perencanaan yang lebih terpadu dan berorientasi pada pelaksanaan yang dinamis dengan
mengikutsertakan seluruh potensi masyarakat dan pelestarian lingkungan.
Bertolak dari enam ciri tersebut, maka upaya-upaya yang perlu ditempuh dalam meningkatkan peran
perencana adalah peningkatan kualitas sumberdaya manusia perencana pembangunan kota dan wilayah
yang handal, pengembangan pendekatan, cara ketatalaksanaan yang mendukung pelaksanaan pencapaian
tujuan pembangunan, serta pengembangan cara-cara praktis, mudah dipahami dan dilaksanakan oleh
masyarakat dalam rangka memecahkan masalah ketataruangan, sarana dan prasarana, lingkungan hunian,
perumahan dan permukiman, lingkungan hidup dan masalah ekonomi serta sosial budaya.
Rachmadi, Dirjen Cipta Karya memaparkan kebijaksanaan pembangunan yang berdampak pada
perkembangan kota dan wilayah dalam periode 1970-1980 dan 1980-1990. lsu pembangunan kota dan
wilayah masa datang masih berkisar sekitar kesenjangan perkembangan antar wilayah, masih besarnya
jumlah penduduk miskin, persebaran penduduk yang tidak merata dan terkonsentrasi pada kawasan dan
wilayah berkembang, tidak meratanya pertumbuhan dan perkembangan perkotaan, adanya tuntutan perubahan
fungsi lahan perkotaan dan perdesaan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang, dan masih besarnya
potensi ekonomi yang belum dimanfaatkan secara produktif.
Dikaitkan dengan aspek penataan ruang, delapan pokok pemikiran pembangunan kota dan wilayah
perlu diperhatikan, yaitu pembangunan kota dan wilayah didasarkaan pada penataan ruang, memperhatikan

56
kemampuan bagian wilayah, mengindikasikan fungsi dan hirarki kota, pengembangan fungsi kota,
menyelaraskan pengembangan kegiatan budidaya dengan kemampuan sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia, dukungan yang berkelanjutan dalam aspek kelembagaan, peraturan perundangan, iptek, pembiayaan
dan peran serta masyarakat, penataan ruang yang tanggap terhadap dinamika pemanfaatan ruang, serta
diciptakannya mekanisme dan kelembagaan penataan ruang.
Pentingnya pembangunan infrastruktur ditegaskan oleh Sekjen PU, Ruslan Diwiryo. lnfrastruktur
merupakan salah satu komponen yang menentukan pola struktur kota dan wilayah sehingga pada masa
datang diupayakan agar mendukung keseimbangan struktur ekonomi perkotaan dan wilayah, integrasi
pembangunan infrastruktur dengan pembangunan kota dan wilayah, serta pengembangan profesi perencanaan.
Ketua Bappeda 01 Yogyakarta dan Jawa Timur, masing-masing mengutarakan pengalamannya dan
menegaskan pentingnya koordinasi di daerah, baik dalam penataan ruang perkotaan, perdesaan, dan
kawasan tertentu (Gerbang Kertosusilo), propinsi, kabupaten/kotamadya, dan kawasan yang meliputi lebih
dari satu wilayah propinsi dan lebih dari satu wilayah kabupaten/kotamadya. Ditegaskannya bahwa pola top-
down seringkali mengalahkan mekanisme bottom-up.
Kendala umum yang dihadapi Swasta dalam pembangunan kota dan wilayah, dikemukakan oleh
Sekjen REI, Edwin Kawilarang, yaitu kebijaksanaan pemerintah, tanah, infrastruktur, perijinan. kepastian
hukum, dan pendanaan. Guna menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi pembangunan, pemerintah
diharapkan dapat membantu melalui kebijaksanaan dan rencana pembangunan yang didukung koordinasi
antar instansi dengan baik, mengefektifkan program konsolidasi tanah dan bank tanah, memperpendek rantai
proses perijinan, memberikan kepastian hukum dan keamanan investasi, mengusahakan sumber dana
jangka panjang pembangunan perkotaan, dan menyediakan jaminan yang dibutuhkan guna melaksanakan
pembangunan.
Pola pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dalam Repelita VI telah diyakini Emil
Salim, mantan Menneg KLH. GBHN 1993 menegaskan pola pembangunan berwawasan lingkungan yang
memperlakukan sumberdaya alam sebagai komponen dari tatanan lingkungan, pengolahan suatu sumberdaya
alam dapat menghasilkan lingkungan buatan manusia sehingga berbagai fungsi alam diambil alih oleh fungsi
alam buatan manusia, dan sumber daya alam dapat diolah untuk berbagai kepentingan. Sejalan dengan itu,
Emil mengingatkan bahwa penataan ruang harus dapat menjamin adil dan berimbangnya kepentingan
pemerintah, swasta dan masyarakat, dan pembangunan berlangsung secara berkelanjutan mencakup
berbagai generasi.
Melengkapi penjelasan Emil Salim, Budhi Tjahyati dari Bappenas membahas aspek perencanaan.
pemanfaatan, dan pengendalian penataan ruang. Tidak kalah pentingnya unsur penunjang, yaitu sistem
informasi geografis, sistem informasi pertanahan, kesadaran masyarakat, peranan, tugas dan tanggungjawab
berbagai lembaga dan semua pihak dalam penataan ruang. Susijati Herawan dari Departemen Keuangan
mengupas pentingnya menggali sumber-sumber pembiayaan pembangunan perkotaan dengan memperhatikan
sumber yang relevan (insentif) dan mengganti atau menyempurnakan sumber yang tidak relevan (disinsentif).
Contoh penataan ruang propinsi, khususnya dalam mendukung pariwisata, diberikan oleh Gubernur Bali, Ida
Bagus Oka. Pola hidup masyarakat Bali ternyata mendukung keberhasilan penerapan penataan ruang, tetapi
apakah kondisi tersebut bisa dipertahankan dalam sepuluh atau duapuluh tahun yang akan datang.
Dari aspek hukum, isu penting adalah prinsip keterbukaan (transparan), peran serta masyarakat.
penggantian yang layak atas kondisi yang dialami akibat pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana
tata ruang, batas ruang lautan dan udara, konsultasi dengan DPR dan DPRD, berbagai jenis perencanaan
(tataguna tanah, tataguna air, tataguna udara, dan tataguna sumberdaya lainnya), inventarisasi penataan
ruang yang sudah ada, dan keterpaduan penanganan. Untuk mewujudkan keberhasilan penataan ruang,
diperlukan masukan dari berbagai pihak (pengalaman empirik para pejabat di lapangan, dari perguruan tinggi
(perencanaan dan iptek), dan asosiasi profesi.
Pembangunan industri juga erat kaitannya dengan penataan ruang. Deputi Promosi BKPM, Sugihono
Kadarisman, membeberkan data perkembangan kawasan industri yang kurang menggembirakan pengelolaan
lingkungan dan pengendalian pencemaran. Diperlukan keseimbangan penggunaan lahan untuk pertanian,
industri, permukiman, dan fasilitas perkotaan lainnya.

57
Kesimpulan
lAP dituntut makin berperan dalam perencanaan pembangunan, khususnya dalam melancarkan
pelaksanaan UU 24/1992 tentang Penataan Ruang. Perlu dilakukan upaya memasyarakatkan (sosialisasi)
UU Penataan Ruang, oleh pemerintah, swasta dan masyarakat. Kemitraan tiga unsur ini makin diperlukan
dalam Repelita VI dan Repelita-repelita selanjutnya. Mengingat persoalan penataan ruang sangat kompleks,
maka tidak bisa diatasi hanya oleh Tim Koordinasi Tata Ruang Nasional (Keppres Nomor 57 Tahun 1989),
tetapi harus dilaksanakan oleh suatu lembaga, misalnya LPND berupa Badan Pengelolaan Penataan Ruang,
sehingga akan kita kenai Menneg Perencanaan Pembangunan Nasionai!Ketua Bappenas/Kepala Badan
Pengelolaan Penataan Ruang, seperti halnya Menristek!Ketua BPP Teknologi!Kepala Badan Pengelola
lndustri Strategis. Rancangan Peraturan Pemerintah yang menindaklanjuti UU Penataan Ruang perlu
secepatnya diselesaikan agar operasionalisasi UU ini dapat dilakukan secepatnya. Pemasyarakatan atau
sosialisasi UU 24/1992 perlu dilakukan oleh semua pihak dan kemitraan pemerintah, swasta, dan masyarakat
perlu diwujudkan.
UU Penataan Ruang sudah ada. Pertanyaannya, what next yang perlu dilakukan terhadap UU ini.
Secara kontekstual, perlu diperhatikan pandangan Emil Salim (ketidakseimbangan kawasan Timur dan Barat
Indonesia, dampak globalisasi, perubahan struktur ekonomi ke industri, dan upaya memacu mobilitas) secara
makro perlu diperhatikan upaya-uupaya penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian
penataan ruang), kelembagaan (disinsentif dan insentif), dan secara mikro perlu diperhatikan upaya perwujudan
keadilan dan peran serta masyarakat dalam penataan ruang. lni semua perlu dikembalikan pada dasar
penataan ruang, yaitu pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdayaguna ·dan
berhasilguna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan, dan perlidungan
hukum.
Angkatan Bersenjata, 19 Agustus 1993

Perencanaan dan Transportasi Kota


Menurut Ciputra

Sebagai pengusaha yang banyak membangun bagian kota Jakarta, Ciputra berkesempatan menjadi
pembicara dalam Seminar Sehari Teknologi Abad 21 di BPP Teknologi tanggal 25 Agustus 1993 dalam
rangkaian peringatan HUT BPP Teknologi ke 15. Dalam seminar tersebut, Ciputra membahas Pengembangan
Perencanaan Kota dan Sistem Transportasinya dari sudut pandang pengusaha. lntisari makalahnya adalah
keinginan membentuk Jakarta sebagai kota metropolitan yang serba modern seperti kota-kota metropolitan di
dunia, antara lain Tokyo, San Francisco, Los Angeles, New York, San Diego, Paris, Amsterdam, dan lain-lain,
didukung oleh perencanaan kota yang baik serta adanya sistem transportasi kota secara terpadu.

Perencanaan Transportasi
Ciputra menegaskan bahwa dalam PJP II struktur ekonomi Indonesia akan bergeser dari ekonomi
pertanian ke ekonomi industri dan jasa. Dengan asumsi tingkat pertumbuhan penduduk 2,4% per tahun
(kelahiran, urbanisasi, dan migrasi), maka jumlah penduduk pada tahun 2005 mencapai 244,8 juta jiwa dan
lebih dari 80 juta tinggal di perkotaaan. Pesatnya pertambahan penduduk perkotaan melahirkan berbagai
tantangan berupa penyediaan prasarana dan sarana seperti perumahan, pusat perbelanjaan, pendidikan,
tempat peribadatan, olahraga, rekreasi, dan transportasi.
Untuk menjawab tantangan tersebut, Ciputra mengatakan perlunya terobosan berupa perencanaan
kota yang dilandasi optimalisasi pemanfaatan lahan, sistem manajemen kota terpadu, termasuk sistem

58
transportasinya. Pandangan Ciputra ini ternyata sejalan dengan pemikiran Leslie Green dan Sivaramakhrisnan
(1986) dalam bukunya Metropolitan Management, The Asian Experience dan Alan Strouts (1989) dalam
makalahnya berjudul Jakarta in the 21st century: large, yes ; great, why not?

Masalah Jabotabek
Mengacu pada RUTR Jakarta 2005, semakin padat, berisi, dan mencerminkan kota metropolitan.
Superblok dan gedung-gedung pencakar langit berlantai 23 tumbuh di tempat-tempat strategis, seperti
sepanjang Jalan Thamrin dan Sudirman, Segitiga Kuningan, Segitiga Senen, dan sebagainya. Pada tahun
2005, luas Jakarta di atas 650 Km2 Uika beberapa Kelurahan di Jawa Barat sekitar DKI Jakarta dimasukkan
ke Kota Jakarta termasuk 9 Km2 Kepulauan Seribu, penduduknya akan berada di atas 12 juta jiwa).
Menu rut United Nations Center for Human Settlements (UNCHS, 1987), penduduk Jakarta tahun 2000
akan mencapai 12,8 juta jiwa dan menurut Bank Dunia (1990), penduduk Jakarta tahun 2000 akan
berkembang menjadi 13,3 juta, berada pada ukuran ke 12 di antara kota-kota terbesar di dunia, seperti juga
Kairo (13,2 juta jiwa), Buenos Aires, Delhi, Rio de Janeiro, Shanghai, dan Seoul (13,3- 13,5 juta jiwa). Sistem
dan manajemen transportasi kota yang makin padat penduduknya ini akan makin sulit ditangani, karena
makin kompleksnya permasalahan. Bahkan Sivarakhrisman dan Leslie Green (1986) menyarankan perlu
adanya manajemen kota yang efektif.
Para perencana kota saat ini terdorong untuk membangun kota dalam kota (city within the city) guna
mengatasi kelengkaan lahan di pusat kota. Superblok, merupakan kompleks yang luas, multi fungsi dan
terpadu sebagai tempat tinggal, bekerja, pendidikan, peribadatan dan olah raga, merupakan salah satu
alternatif di samping membangun kota baru di sekitar kota induk. Sebagai orang yang berpengalaman dalam
membangun kota, Ciputra menegaskan bahwa superblok yang merupakan alternatif kota masa depan, masih
dihadapkan pada berbagai kendala, antara lain secara planologis sejak awal kota-kota besar di Indonesia
tidak ditata secara grid (blok/papan catur), terbatasnya lahan dengan satuan luas yang ideal untuk lokasinya
(superblok memerlukan lahan minimal 5 Ha), biaya pembangunan superblok sangat tinggi sehingga harga
jual tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat, dan pasar relatif terbatas.
Penduduk Jabotabek tahun 2005 akan mencapai sekitar 20 juta. Pertambahan penduduk per tahun
saat ini sekitar 3,36 juta jiwa (sekitar 672.000 kepala keluarga). Menurut Ciputra, dengan perhitungan setiap
100 orang membutuhkan 1 Ha lahan, maka dalam sepuluh tahun yang akan datang diperlukan lahan 33,6 Ha
lahan, yaitu sama dengan lahan yang akan dibangun untuk membangun Kota Baru seluas Kota Mandiri Bumi
Serpong Damai (BSD). Jika harga lahan siap bangun Rp. 200.000,-/m2 (kenyataannya jauh di atas harga ini),
maka untuk pengadaan lahan dibutuhkan dana Rp. 6,72 trilyun. Jika harga bangunan rumah (tanpa lahan)
Rp. 20 juta/unit maka untuk membangun 672.000 unit rumah dibutuhkan dana Rp. 13,44 triliun, sehingga total
dana yang harus disediakan untuk rumah dan lahan mencapai Rp. 20,15 triliun atau Rp. 1,68 triliun per tahun,
tidak mudah menyediakannya.
Untuk membangun kota yang ideal, ada baiknya dikutip pendapat Hariri Hady, salah seorang pakar
perkotaan. Pertama, perlu lebih diperhatikan pengembangan kota-kota menengah dan kota kecil, dan
penduduk kota dipertahankan tidak melebihi 2 juta jiwa. Kedua, kota-kota kecil (ibukota kecamatan) dan kota-
kota menengah (ibukota kabupaten) dapat dikembangkan sebagai pusat pengolahan produksi pertanian,
pusat pelayanan jasa lainnya bagi wilayah belakangnya (hinterland) yang merupakan daerah pertanian. Dengan
sistem ini arus urbanisasi dapat dibendung.
Ketiga, kota-kota metropolitan seperti Jakarta sangat dikehendaki, karena investasi prasarana dan
sarananya sangat mahal, belum lagi masalah sosial politik yang timbul sangat berat dan sulit diatasi. Selain
mengerem Jakarta dengan sistem Jabotabek, hendaknya juga mengerem perkembangan kota-kota besar
lainnya seperti Surabaya, Bandung, Semarang, Medan, dan Ujungpandang. Keempat, harus dapat
dikembangkan kota yang lebih manusiawi, di mana manusia dan kemanusiaan diberi tempat yang terhormat,
Jakarta BMW (Bersih, Manusiawi, Berwibawa) menurut Wiyogo, dan Jakarta Teguh Beriman (Teruskan
Gerakan Untuk Hidup Bersih, lndah, Manusiawi, Aman dan Nyaman) yang diinginkan Soerjadi Sudirdja. Juga
perlu diupayakan lebih sungguh-sungguh agar penduduk kota tidak merasa kesepian dan terasing di kotanya
sendiri.

59
Kelima, alam pembangunan kota, diperlukan adanya keterl1batan berbagai disiplin keahlian yang harus
bekerjasama secara terpadu untuk mewujudkan aspirasi masyarakat daerah dalam tata kota, desain kota,
arsitektur kota, bangunan dan gaya berbagai prasarana dan sarananya. Pembangunan kota Jakarta
dihadapkan pada berbagai permasalahan, antara lain masalah terbatasnya lahan, penyediaan perumahan
yang jauh di bawah kebutuhan, pelayanan air bersih yang kurang memadai, prasarana dan sarana serta
jaringan transportasi yang kurang teratur, pengelolaan sampah yang belum efisien dan efektif, dan perencanaan
kota yang kurang terpadu.

Perlu Pemecahan
Sebagai orang Swasta, Ciputra menegaskan bahwa Swasta perlu dilibatkan untuk membangun kota
baru mengingat biaya pembangunan kota sangat besar dan kemampuan Pemda terbatas. Kerjasama
Pemerintah-Swasta hendaknya merupakan kerjasama yang paling menguntungkan. Kerjasama ini populer
dikenal sebagai kemitraan (public private partnership). Saat ini swasta sudah melaksanakan pembangunan
kota baru di delapan lokasi seluas 20.900 Ha, yaitu Bintaro Jaya (1.700 Ha), BSD (6.000 Ha), Bekasi 2000
(2.000 Ha), Pantai lndah Kapuk (1.200 Ha), Tigaraksa Tangerang (3.000 Ha), Citraland Tangerang (500 Ha),
Kelapa Gading (1.000 Ha), Sunter (500 Ha), dan lain-lain (5.000 Ha). Lokasi ini belum termasuk beberapa
lokasi seperti Modernland, Greenview, Lotus Garden, dan berbagai lokasi yang lain.
Partisipasi swasta dalam pembangunan kota memperlihatkan aktualisasi diri membantu Pemerintah
dalam menyediakan perumahan dan fasilitasnya, kegiatan bisnis dan investasi, serta mewujudkan
tanggungjawab sosial, yaitu ikut menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan, dan memelihara
kelestarian lingkungan.
Walaupun telah berpengalaman membangun beberapa bagian kota seperti Bintaro Jaya, Taman
lmpian Jaya Ancol, Bumi Serpong Damai, dan Pantai lndah Kapuk yang akan membuat Jakarta seperti San
Diego, Tokyo, dan Paris. Ciputra dan Swasta umumnya, dihadapkan pada berbagai masalah pembangunan
kota, antara lain masalah hukum (pemilikan tanah, spekulasi tanah, perangkat hukum untuk kota baru dan
condominium), koordinasi yang belum terpadu (terpadu, sering diartikan "tergantung pada duit"), kesulitan dalam
pengadaan lahan (faktor hukum sosial), prasarana kota Ualan, drainase, utilitas umum seperti: air, listrik, gas,
telepon) masih serba terbatas, pasar belum terbuka (daya beli rendah, kesenjangan kaya-miskin), dan
hambatan dalam pengelolaan (UU Penataan Ruang dan UU Perumahan dan Permukiman, masih harus
ditindaklanjuti dengan berbagai Peraturan Pemerintah).
Bertambahnya penduduk kota Jakarta mengakibatkan peningkatan kebutuhan sarana transportasi
kota. Jumlah kendaraan bermotor terus meningkat sejalan dengan meningkatnya kemakmuran rakyat, tetapi
tidak dibarengi oleh peningkatan penyediaan sarana dan prasarana perhubungan seperti jalan dan jembatan,
sehingga kemacetan lalulintas terjadi hampir merata di seluruh pelosok kota Jakarta. Secara ekonomis,
kemacetan lalulintas menimbulkan kerugian yang sangat besar, antara lain hilangnya waktu. dan pemborosan
penggunaan energi, gagalnya transaksi bisnis, dan sebagainya. Secara psikologis, kemacetan lalulintas
menimbulkan stress dengan segala dampaknya.
Diperlukan adanya perencanaan terpadu dan sistem transportasi kota yang terpadu untuk memecahkan
masalah transportasi kota Jakarta. Sistem ini mencakup transportasi dari rumah ke simpul-simpul di pusat
perumahan dan permukiman dan sebaliknya (mobil pribadi, kendaraan angkutan umum mikrolet, bajaj, dan
sejenisnya), dari pusat permukiman ke simpul-simpul utama dan sebaliknya (mobil pribadi, bis kota, kereta
api, taksi, dan sejenisnya), dan dari simpul-simpul utama ke tempat kerja dan sebaliknya (taksi, bis kota).
Agar perumusan, pengembangan, dan penerapan sistem ini berjalan lancar, diperlukan pengkajian
secara seksama mengenai fisik sarana jalan dan perlengkapan yang menghubungkan berbagai fungsi
perkotaan, hirarki jalan (primer, sekunder, tersier, arteri, lingkat), pemilihan moda atau sarana transportasi
yang tepat (mobil, bis, kereta api, angkutan umum lokal) sehingga seluruh aspek transportasi kota dapat
memecahkan permasalahan warga kota dalam kehidupannya sehari-hari. Diperlukan pengendalian sistem
transportasi terpadu yang terkait erat dengan perencanaan kota, pengendalian penduduk, dan pengendalian
pembangunan fisik kota.

60
Sistem Angkutan Umum Masal (SAUM) perlu segera diwujudkan, antara lain mencakup angkutan
kereta api ringan (light rail transit1.RT sebagai sarana transportasi cepat masal), jaringan utama LRT menjadi
jaringan inti (trunk line) sebagai tumpuan dan penampung semua jaringan pengumpul (feeder line) yang
diselenggarakan oleh bis kota. SAUM perlu dibarengi oleh jalur jalan berlapis, antara lain lapis pertama
(dasar) untuk pejalan kaki, lapis dua untuk kendaraan pribadi, dan lapis tiga untuk kendaraan angkutan
penumpang umum. Swasta sangat diharapkan peranserta dan partisipasinya dalam pembangunan SAUM di
kota Jakarta dan kota-kota besar lainnya.
Penutup
Sebagai penutup, beberapa hal yang memerlukan perhatian serius adalah pertumbuhan penduduk dan
distribusinya, penyediaan prasarana dan sarana perkotaan yang memadai, perencanaan kota yang terpadu,
sistem transportasi terpadu, peran serta dan partisipasi Swasta dalam pembangunan kota, pengelolaan kota
yang efektif dan efisien, peningkatan kualitas sumberdaya manusia di perkotaan, penerapan sistem angkutan
umum masal (SAUM), dalam rangka pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan untuk
mewujudkan kelestarian llingkungan.
Sejalan dengan itu, perlu ditingkatkan manajemen kota metropolitan Jakarta yang sedang menuju
megacity, kota internasional (city of diversity, city of trees, and city of the future) mengacu pada Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia DKI Jakarta.
Jayakarta, 11 Oktober 1993

Keterkaitan Kota Mega Dan Kota Kecil


Pengembangan kota mega (megacity) berpacu dengan pengembangan kota menengah dan kota kecil.
Jakarta yang berkembang menjadi kota mega, metropolitan, megapolitan, dan megalopolitan, dibarengi
dengan berkembang pesatnya kota-kota Bogor, Tangerang, dan Bekasi, serta Depok. Cibinong, Citeureup,
Parung, Sawangan, Cinere, Serpong, dan Bumi Serpong Oamai, Cileduk, Ciputat, Pondok Gede, Tambun
dan Cikarang. Kota-kota ini semua pada tahun 2000 akan menyatu menjadi satu dalam satu kota yang
dikenal sebagai Metro Jakarta.
Didukung pandangan para pakar kependudukan dan perencana wilayah serta informasi yang dikupas
pada jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, tulisan ini berusaha membahas pengembangan kota mega
(mega-urban) dan peran kota-kota kecil. Pembahasan ini diharapkan dapat dijadikan masukan bagi para
perencana kota dan aparatur pemerintahan di seluruh Indonesia dalam merumuskan perencanaan
pembangunan di wilayahnya masing-masing.
Kependudukan
Pakar kependudukan, Haryono Suyono menegaskan bahwa pada tahun 2000 sekitar 51,1% dari 6,3
milyar penduduk dunia bermukim di perkotaan. Perkembangan kota-kota metropolitan dan kota besar seperti
Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Palembang, Medan, dan Ujungpandang, dibarengi dengan
berkembang pesatnya kota-kota menengah di sekitarnya (Bogor, Tangerang, Bekasi, Purwakarta, Cimahi,
Padalarang, Ciwidey, Kendal, Gerbang Kertosusila) dan kota-kota kecil seperti Cileduk, Ciputat, Serpong,
Cibinong, Depok, Bumi Bekasi Baru, Tambun, dan Cikarang yang mengelilingi Jakarta.
Perkembangan kota menengah dan kota kecil yang pesat ini ternyata dipacu oleh meningkatnya
investasi industri di Tangerang (3000 Ha), Bekasi (3000 Ha), Karawang (13.000 Ha), dan Purwakarta (4000
Ha). Haryono juga melihat kecenderungan berkembangnya beberapa kota yang letaknya berdekatan, antara
lain Jabotabek, Purwasuka (Purwakarta, Subang, Karawang), Bandung Raya, Semarang dan sekitarnya, dan
Gerbang Kertosusila. Untuk menekan pertumbuhan penduduk perkotaan, masyarakat tidak boleh lupa
program keluarga berencana.
Pakar transportasi dan tata ruang, Budhy Tjahjati, menyorot reorganisasi sistem kota dan sebaran

61
kota, seperti yang diungkapkan Carol A. Smith (1990). Sebaran kota-kota di Indonesia dalam periode 1971-
1990 ternyata mengarah pada sistem kota yang terintegrasi dan tersebar. Karena itu, perkembangan dan
pertumbuhan kota prim at (urban primacy) cenderung ditekan. Disarankan agar kebijaksanaan desentralisasi
perkotaan berusaha mencapai pemerataan dan efisiensi ekonomi, untuk mengatasi dua masalah besar
perkotaan. yaitu tidak terkendalinya pertumbuhan kota primat, pertumbuhan kota-kota kecil yang belum
mandiri tetapi menimbulkan masalah bagi kota inti seperti masalah transportasi dan menurunnya fasilitas
pelayanan kota, institusi pengelolaan perkotaan yang kurang mendukung, kurang berfungsinya Badan-badan
kerjasama antar kota seperti Badan Kerjasama Pengembangan Jabotabek (makro) dan permasalahan
perumahan dan permukiman. efisiensi pelayanan prasarana perkotaan, menurunnya mutu lingkungan,
pencemaran dan kemiskinan (mikro).
Bertolak dari masalah pokok perkotaan seperti kondisi lingkungan yang kurang baik, jaringan transportasi
yang serba terbatas, serta kelembagaan dan pembiayaan pembangunan perkotaan yang kurang mendukung,
Budhy Tjahjati menyarankan perlunya kebijaksanaan tata ruang yang ketat, menyangkut pengembangan
kawasan prioritas, pengembangan kota-kota prioritas (pusat pertumbuhan wilayah, pusat pertumbuhan antar
wilayah, kota wisata baru, kota industri pengolahan, dan kota pertambangan), pengendalian perkembangan
metropolitan (Jabotabek, Gerbang Kertosusila, Bandung Raya, Medan-Belawan), kebijaksanaan dan strategi
tingkat makro (sistem transportasi intra dan interregional sebagai bagian dari sistem transportasi nasional,
jaringan transportasi yang menghubungkan kota inti dengan wilayah belakang, pemanfaatan koridor, sistem
transportasi kolektor dan angkutan penumpang intermoda, serta pengembangan dan pengelolaan sumber
daya alam dan pelestarian lingkungan) dan mikro (sektoral: perumahan, pendidikan, kesehatan, pariwisata),
dan pelestarian kawasan lindung.
Pelaksanaan
Dalam pelaksanaannya, rencana umum tata ruang wilayah propinsi dan rencana umum tata ruang
wilayah kabupaten/kotamadya hendaknya merupakan suatu hirarki perencanaan yang bersumber pada
Strategi Nasional Pengembangan Pola Tata Ruang (SNPPTR). Karena adanya kendala pembiayaan
pembangunan perkotaan, maka pelaksanaan RUTR di lapangan hendaknya mengacu pada pola kemitraan
(pemerintah, swasta, dan masyarakat) yang terarah dan terpadu dalam suatu pola pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan.
Ahmadin mengetengahkan kebijaksanaan Pemerintah DKI Jakarta dalam menghadapi fenomena
wilayah mega urban. Setiap wilayah di sekitar kota mega Jakarta atau Jabotabek, cenderung berkembang
menjadi kota pelayanan (service city), baik sebagai pusat pelayanan masyarakat, perdagangan dan distribusi
barang, keuangan, jasa, pariwisata, industri kecil, dan pusat iptek. UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang
Susunan Pemerintahan Daerah Khusus lbukota Negara Republik Indonesia Jakarta membuka peluang
penyusunan Rencana lnduk sebagai penyempurnaan dari RUTR DKI Jakarta 2005. Sejalan dengan itu, telah
digariskan kekhususan pembangunan di tiap wilayah kota (Jakpus, Jakbar, Jakut, Jaksel, dan Jaktim) serta
kebijaksanaan dalam rangka pembangunan Jabotabek (sistem angkutan massal, penyediaan air bersih,
pengendalian pencemaran, penataan jalan, pembangunan permukiman, pembangunan daerah pinggiran.
serta pembangunan kota-kota baru dan kota satelit di sekitar Jakarta. Dalam perkembangannya, Bogor,
Depok, Cibinong, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Parung, Bekasi, Tambun, Cikarang, Tangerang, Serpong,
Ciputat, Cileduk, cenderung masing-masing memantapkan sebagai kota pusat pelayanan.

Butir-butir
Kebijaksanaan pengembangan kota kecil dan wilayah perdesaan di sekitar metropolitan dibahas oleh
Parawansa, Dirjen Pembangunan Daerah Depdagri, dengan menyodorkan enam butir penting. Pertama. proses
globalisasi mempercepat perkembangan kota metropolitan (mega urban) yang mengakibatkan perbedaan makin
besar dengan kota-kota menengah dan kota kecil di sekitarnya. Sebagai contoh, perkembangan industri yang
cepat (Keppres Nomor 53 Tahun 1989 tentang Kawasan lndustri) ikut mengakibatkan perkembangan yang
sangat pesat bagi Jabotabek.
Kedua, kerjasama pembangunan kota mega dengan kota inti dan kota kecil di sekitarnya merupakan
kunci utama manajemen perkotaan. Kota inti dan kota kecil harus mempunyai strategi pembangunan yang

62
konsisten agar bisa turut berperan. Rencana tata ruang kota mti dan kota kecil ini haruslah mengacu pada
RUTR kota mega tadi. Program pembangunan infrastruktur kota inti dan kota kecil harus terintegrasi dan
kerjasama pembiayaan dalam pembangunan daerah perbatasan kota inti, kota kecil, dan kota mega, juga
harus terarah dan terpadu.
Ketiga, Pengelolaan lahan harus diatasi dengan ketat, karena sangat berpengaruh terhadap
pembangunan kota. Keempat, perlu dikembangkan pola pembangunan kota mandiri didukung kemitraan.
Contohnya adalah Citra Niaga di Samarinda, Bumi Serpong Damai, dan Bumi Bekasi Baru. Kelima, diperlukan
penataan kelembagaan dan koordinasi pembangunan.
Keenam, perlu dikembangkan program pengembangan wilayah terpadu (PPWT) dan program kawasan
terpadu (PPT) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kemampuan aparatur
Pemda Tingkat I, II dan Kecamatan, membuka daerah terisolir, terpencil, tertinggal, perbatasan, kritis, minus,
pusat produksi dan pemasaran, serta kawasan wisata (pantai Utara Bekasi dan Tangerang), menciptakan
keterbukaan masyarakat dan mendorong penciptaan lapangan kerja.
Ketergantungan
Mengacu pada pendapat pakar perkotaan McGee (1992), Gilbert dan Gugler (1989), Prakash Mathur
(1986), Rondinelli (1984), serta Hardoy dan Satterthwaite (1986), Hastu Prabatmodjo menyorot saling
ketergantungan kota inti dan kota kecil dengan kota meganya. Dalam perkembangan Jakarta dan Bandung,
terdapat tiga temuan. Adanya kecenderungan perubahan penggunaan lahan yang cepat di wilayah perbatasan
yang mendorong urbanisasi. Pada saat yang sama, terjadi urbanisasi dan migrasi desa-kota dan internal
migrasi antara satu kawasan ke kawasan lain. Berikutnya, terdapat interaksi yang makin kuat, arus
pertukaran, komunikasi, dan mobilitas penduduk antara kota inti dengan kota kecil di sekitar kota mega
(Depok, Cibinong, Parung, Ciputat, dan Cileduk di sekitar Jakarta; Cimahi, Padalarang, Lembang, Ciwidey,
Soreang, Majalaya, Cileunyi, di sekitar Bandung).
Peran kota kecil tidaklah sekedar tempat permukiman, tetapi mampu menekan pertumbuhan penduduk
di kota mega dan mempercepat pembangunan infrastruktur daerah perbatasan kota mega. Kota kecil dan
kota inti di sekitar kota mega akan menyatu dengan kota induknya, misalnya Jabotabek yang terus
berkembang sampai ke Tigaraksa dan Serang, Cicurug dan Jasinga, Jonggol, Tambun dan Cikarang.
Fenomena kota mega dengan kota inti dan kota kecil di sekitarnya perlu diteliti terus menerus dan koordinasi
di antara kota-kota ini mutlak diperlukan.
Ketua Bappeda Jabar, Arifin Yoesoef, membahas kebijaksanaan Pemda Jawa Barat dalam menghadapi
fenomena wilayah mega urban. Sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan
lbukota, maka kerjasama Pemda DKI Jakarta dengan Pemda sekitarnya makin ditingkatkan, antara lain
dengan Pemda Jabar, Jateng, DIY dan Jatim, serta Lampung dan Kalsel. Pembangunan kota-kota berdekatan
atau koridor cenderung terus berkembang, misalnya Botabek, Purwasuka, Cianjur-Sukabumi, Cimahi-
Padalarang, Soreang-Banjaran-Ciwidey, Merak-Cikande-Serang, Bekasi-Tambun-Cikarang-Lemah Abang,
Jakarta-Cikampek-Bandung, Jakarta-Bogor-Cianjur-Bandung, Karawang-Cikampek, Cikampek-Cirebon,
Cikampek-Purwakarta-Bandung, kesemuanya mendukung pengembangan kota mega.

Kondisi
Kondisi ini memperlihatkan pesatnya perkembangan simpul-simpul pertumbuhan di sekitar kota mega.
lni sebenarnya memperlihatkan model pengembangan wilayah jangka panjang (functional integraton) dengan
karakteristik sistem perwilayahan yang menyebar, keterkaitan kota mega dengan daerah belakangnya
(hinterland), keterkaitan internal dan eksternal. Bagi Jawa Barat sendiri, pusat-pusat pertumbuhan Botabek.
Cianjur, Purwasuka, Cirebon, serta Garut-Tasik, perlu terus dikembangkan menjadi satu koridor besar yang
saling berinteraksi.
Krishna Nur Pribadi mengamati implikasi pertumbuhan ekonomi dan industri di wilayah mega urban
Jakarta-Bandung. Koridor yang sekarang dikenal sebagai poros Jakarta-Cikampek-Bandung dan Jakarta-
Bogor-Cianjur-Bandung, pada masa yang akan datang akan berkembang pula Jakarta-Jonggoi-Cianjur-
Bandung lebih dikenal sebagai poros wisata agro. Perkembangan ini tidak dapat dilepaskan dari permasalahan

63
kependudukan, penyediaan lahan untuk industri dan permukiman, transportasi, dan lingkungan hidup.
Pengembangan kota inti dan kota kecil tidaklah harus dipusatkan pada kota-kota yang berada di sekitar kota
mega, melainkan pada kota-kota inti, kota kecil, dan kota pusat pertumbuhan yang berada di jalur koridor
Jakarta-Bandung dan koridor lainnya. Kasus koridor Jakarta-Bandung, juga terjadi pada kota-kota besar
lainnya seperti Semarang-Solo, Surabaya-Malang, Medan-Pematang Siantar, Palembang, Banjarmasin, dan
Ujungpandang. lmplikasi conurbation Jakarta-Bandung terhadap perubahan pengelolaan tata ruang dan
perancangan wilayah/kota, serta peran profesi arsitek, telah dibahas dalam seminar di Bandung tanggal 18
Desember 1993. Prospek dan masalah pembangunan rumah susun di kota kecil, dikemukakan oleh Uton
Rustan Harun. Saat ini belum dirasakan kepentingan membangun rumah susun di kota-kota kecil, karena
masih dipusatkan di pusat kota. Pada tahun 2000 nanti, lokasi rumah susun akan menyebar di sekitar kota
mega. Bahkan pakar perkotaan Ciputra menegaskan dalam Seminar Profesionalisme Pengelolaan
Pembangunan Perumahan dan Permukiman Layak Huni Dalam PJP II (Jakarta, 27 Desember 1993) bahwa
sudah saatnya rumah susun (apartemen, kondominium) dibangun tidak hanya di pusat kota Jakarta, tetapi di
Serpong dan bahkan sampai ke Cikarang (Lippo-City). lni disebabkan kemudahan jaringan transportasi dari
lokasi tersebut ke kota Jakarta. Waktu perjalanan Lippo City-Jakarta dan Bogor-Jakarta melalui jalan tol
ternyata lebih cepat dari waktu perjalanan Bekasi-Jakarta, Depok-Jakarta, dan Tangerang-Jakarta melalui
jalan lama.
Catatan Penutup
Gambaran di atas menunjukkan pentingnya peran kota inti dan kota kecil di sekitar kota mega.
Pengembangan koridor Jakarta-Bandung dan koridor-koridor lainnya serta pembangunan antar kota (segitiga
Botabek, Purwasuka, dan lain-lain) memperlihatkan perkembangan yang pesat dan saling keterkaitan di
antara kota-kota tersebut. Menyongsong pengembangan kota Jakarta sebagai kota mega pada tahun 2000-
an, maka tepatlah rasanya bagi kota Jakarta yang pada tanggal 2 Agustus 1993 yang lalu menjadi
penyelenggara Rapat Tahunan Koordinator Megacities VII yang membahas model-model pembangunan
perkotaan di negara maju dan keberhasilan model-model pembangunan di negara berkembang.
Masalah-masalah kependudukan, tenaga kerja, tata ruang, perumahan dan permukiman, infrastruktur
perkotaan, transportasi, kegiatan ekonomi, pariwisata, akan makin menonjol dalam konteks pengembangan
kota mega. Dalam mendukung perkembangan menuju kota mega, maka pengelolaan kota yang efektif dan
efisien makin diperlukan, yang ditandai oleh terciptanya lingkungan yang bersih, sehat, rapi, tertib, aman dan
nyaman serta tersedianya sarana dan prasarana perkotaan yang layak. Pengelolaan kota yang efektif ini
didukung pengembangan kualitas sumber daya manusia serta memandang manusia sebagai obyek dan
subyek pembangunan yang berperan aktif sebagai pelaku pembangunan, menumbuhkan kemitraan dalam
pembangunan, dan berusaha mewujudkan pembangunan perkotaan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan.
Suara Pembaruan, 14 Januari 1994

64
Pasca-Musyawarah Antarkota Seluruh Indonesia
Musyawarah Antarkota Seluruh Indonesia (MAKSI) XII telah diselenggarakan di Solo tanggal 15 Juli
1994. Melalui MAKSI, para Bupati!Walikotamadya me(lgadakan evaluasi terhadap pelaksanaan program-
program kerja yang telah dirumuskan bersama pada pertemuan tiga tahun sebelumnya. Pertemuan di Solo itu
juga membahas berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi kota-kota dalam PJP II serta upaya-upaya
yang perlu dilaksanakan dalam Repelita VI.
Beberapa butir penting pengarahan Presiden Rl pada pembukaan Maksi XI adalah sebagai berikut :
Pertama, akibat kemajuan masyarakat, peranan kota makin bertambah penting, karena itu pengelolaan
kota makin penting.
Kedua, kota merupakan pusat berbagai kegiatan (industri, perdagangan, ilmu pengetahuan, kebudayaan,
dan kegiatan pemerintahan), tempat konsentrasi modal dan tempat bermukimnya tenaga-tenaga terdidik dan
terampil, merupakan pusat modernisasi dan inovasi teknologi, pintu gerbang hubungan dengan dunia luar,
dan menjadi motor penggerak pembangunan.
Ketiga, arus globalisasi menuntut kita untuk pintar menggunakan kesempatan dalam menghadapi
berbagai tantangan, menuntut kita untuk makin mampu bersaing, memproduksi barang dan jasa yang
bermutu tinggi dan dengan harga yang murah atau berproduksi secara lebih efisien.
Keempat, sebagai pusat industri, pusat perdagangan dan pintu gerbang hubungan dengan dunia luar,
kota hendaknya dapat menyediakan fasilitas produksi yang diperlukan dengan cepat, mudah, dan dengan
harga murah.
Kelima, mengacu pada GBHN 1993, telah digariskan bahwa tujuan PJP II adalah mewujudkan bangsa
kita menjadi bangsa yang maju dan mandiri sejahtera lahir dan batin. Titik berat pembangunan dalam PJP II
diletakkan pada bidang ekonomi, yang merupakan penggerak utama pembangunan seiring dengan kualitas
sumber daya manusia (iptek merupakan pemacu pembangunan bangsa). Dalam Repelita VI, prioritas
pembangunan perlu diletakkan pada pembangunan sektor-sektor di bidang ekonomi, dengan keterkaitan
antara industri dan pertanian serta bidang pembangunan lainnya dan dengan meningkatkan kualitas sumber
daya manusia.
Keenam, perkembangan pesat daerah perkotaan dipacu oleh pesatnya pembangunan ekonomi,
industri, perdagangan dan jasa. lni mengakibatkan pesatnya urbanisasi sehingga penduduk perkotaan terus
meningkat: 20 persen (1980) menjadi 30 persen (1990) dan 40 persen (2000). Dampak negatif urbanisasi
adalah terus bertambahnya penduduk miskin di perkotaan.
Ketujuh, kecepatan peningkatan jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan kecepatan pembangunan
kota, akan menyebabkan tumbuhnya lingkungan permukiman kumuh, bertambahnya jumlah pengangguran,
meningkatnya angka kejahatan dan masalah sosiallainnya. Untuk menghindari dan menangani permasalahan
ini, diperlukan perencanaan kota yang baik.
Kedelapan, pemanfaatan sumber daya alam secara efektif dan efisien, rencana tata ruang yang makin
baik, perekonomian perkotaan yang mantap, produktivitas yang tinggi sehingga dapat meningkatkan kualitas
sumber daya manusia, pemerintahan yang mantap dan didukung oleh masyarakat, penyempurnaan dan
pemantapan fungsi dan struktur kelembagaan pemerintahan kota, peningkatan pelayanan perkotaan,
peningkatan pemerataan dan upaya-upaya menggerakkan pembangunan, perlu dibarengi dengan penyediaan
dana pembiayaan pembangunan perkotaan yang memadai.
Kesembilan, peranan teknologi dan penggunaan sistem informasi pembangunan perkotaan semakin
penting dan kerja sama antar kota dan antardaerah penyangga, dan kerja sama antar kota (internasional)
perlu terus ditingkatkan.
Kesepuluh, pemerintah kota harus selalu berpandangan jauh menjangkau ke depan, harus berwawasan
nasional dan selalu membaca kecenderungan perkembangan internasional.

65
Pengelolaan kota yang efektif
Perkembangan kota yang pesat menuntut pengelolaan kota yang efektif (Sivaramakrishnan dalam
bukunya Metropolitan Management - The Asian Experience, 1986), membutuhkan kebijaksanaan terpadu
peningkatan perekonomian perkotaan (Sukanto Reksoprodjo), pembentukan kota menuju modern metropolis
(Hans Blumenfeld dan Paul D. Spreingen, 1967), dan pengelolaan lingkungan hidup perkotaan (seminar
Megacities di Jakarta, 1-9 Agustus 1993, diikuti pengelolaan kota metropolitan Bangkok, Beijing, Bombay,
Buenos Aires, Delhi, Jakarta, London, Los Angeles, Mexico City, Moskwa, New York, Rio de Janeiro, Sao
Paulo, dan Tokyo).
Pertemuan MAKSI hendaknya selain membahas evaluasi pelaksanaan program tiga tahun sebelumnya,
juga saling bertukar pengalaman dalam mengelola kota. Misalnya, bagaimana menciptakan kota bersih
(mencontoh keberhasilan kota Kitakyushu dan kota-kota lainnya di Jepang dalam mengelola sampah),
meningkatkan peran PKK dan wanita dalam pembangunan kota, meningkatkan peran serta dan partisipasi
masyarakat, meningkatkan kemitraan (pemerintah, swasta, dan masyarakat), melaksanakan program-program
dengan model BOT (build, operate, transfer) dan BOO (build, operate, own), keberhasilan dalam penanganan
prokasih, keberhasilan dalam penanganan kawasan pantai dan wilayah pesisir, keberhasilan dalam
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), memobilisasi dana masyarakat untuk pembangunan kota,
pengalaman Wagiman (wali kota gila taman), pengalaman kerja sama antarkota sedunia melalui program
sister city, pengalaman kunjungan dan studi perbandingan ke kota-kota metropolitan di duina, pengalaman
melaksanakan pembangunan rumah susun untuk berbagai kelompok penghasilan masyarakat, pengalaman
melaksanakan program penanggulangan dan pengentasan kemiskinan, dan sebagainya.
Sepuluh hal yang perlu diperhatikan sebagai ungkapan kesepakatan Seminar Megacity di Jakarta
bulan Agustus 1993, perlu diperhatikan oleh para pengelola pembangunan kota.
Pertama, pada tahun 2000 nanti, sebagian terbesar penduduk dunia hidup di daerah perkotaan, tinggal
di 23 kota-kota berpenduduk di atas 10 juta jiwa yang dikenal sebagai megacity. Kedua, megacity ini, kay a
atau miskin, kapitalis atau sosialis, masing-masing dihadapkan pada permasalahan degradasi dan kerusakan
lingkungan yang bisa mengancam kehidupan manusia dan kelestarian lingkungan.
Ketiga, kaum migran yang terus bertambah dihadapkan pada tantangan untuk melepaskan diri dari
status kelompok miskin perkotaan. Keempat, permasalahan kota yang makin kompleks menuntut penerapan
teknologi di berbagai bidang atau sektor pembangunan perkotaan agar bisa diwujudkan kota yang produktif,
efektif, dan efisien. Kelima, diperlukan cara-cara kreatif untuk mendayagunakan sumber-sumber daya manusia,
alam dan pembiayaan perkotaan untuk meningkatkan tarat hidup masyarakat perkotaan.
Keenam, dalam situasi kesulitan mendapatkan tenaga ahli perkotaan, perlu didayagunakan pakar lokal
perkotaan baik dari kalangan pemerintah, swasta, perguruan tinggi, dan komunitas. Ketujuh, diperlukan
mekaniisme dan koordinasi pengelolaan perkotaan yang efektif dan efisien. Kedelapan, keberhasilan masa
depan ditentukan oleh keberhasilan pemecahan masa kini yang memadukan kegiatan antarsektor, komunitas,
dan menumbuhkembangkan peranserta masyarakat serta pembangunan yang berorientasi atau memihak
pada kepentingan masyarakat.
Kesembilan, makin kompleksnya permasalahan megacity menuntut adanya desentralisasi manajemen
perkotaan, peningkatan produktivitas sektoral informal termasuk peran wanita dan sistem sirkular selain
sistem linier dalam penanganan masalah air, sampah, saluran pembuangan, energi, pangan dalam menuju
kesinambungan dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (keserasian
megacity dengan kota-kota sekitar, kota baru, kota satelit).
Kesepuluh, diperlukan inovasi dan kreativitas, bekerja produktif, berorientasi iptek, mencontoh
keberhasilan megacity lain, memaksimumkan hasil pembangunan, mengefisienkan dan mengefektifkan cara
kerja, dan meminimumkan dampak pembangunan.

Berpandangan ke depan
Pengelola kota harus berpandangan ke depan dan menyiapkan kotanya menghadapi globalisasi.
Pakar perkotaan Prof. Alan Strout menegaskan, Jakarta in the 21st century: large, yes; great. why not.

66
Jakarta harus melihat pengalaman Mexico City, membandingkan perkembangan kota Bangkok dan Kuala
Lumpur, menjadikan city of diversity, city of trees, city for the future, service city. Mau tidak mau, Jakarta harus
segera menata transportasi kota menuju sistem angkutan massal, misalnya membangun underground Blok M-
Kota dengan beberapa persimpangan, dan harus cepat menindaklanjuti UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang
Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia DKI Jakarta.
Manajemen perkotaan harus bisa mewujudkan koordinasi pembangunan pada berbagai tingkatan
(Metropolitan Management should be able to identify a city's economic ills, research its economic advantages
and opportunities, and formulate relevant action programs that can be incorporated, in whole or in part, in
local, regional, national and international development plans).
Saran pakar perkotaan Renaud (1985), Rondinelli (1983), Hardoy dan Satterhwaite (1986), Prakash
Mathur dan Harry Richardson (1986) perlu diperhatikan, yaitu perlunya membangun kota-kota kecil, strategi
urbanisasi, pembangunan tata ruang, kota-kota menengah dan sedang di sekitar kota metropolitan, kota
multifungsi, dan mengaitkan bottom up approach dengan top down.
Selain itu harus dikembangmantapkan sistem pembangunan perkotaan, kelembagaan dan kemampuan
keuangan perkotaan, produktivitas kota, kemampuan sumber daya manusia, pengelolaan pembangunan
terarah, terencana dan terpadu, dan ditingkatkannya kualitas lingkungan fisik dan sosial-ekonomi perkotaan.
Kompas, 1 Agustus 1994

Menyongsong Seminar Proyek Megacity


Organisasi Proyek Megacity dipantau oleh Janice Perlman dari Universitas New York. Proyek Megacity
ini merupakan organisasi kesekretariatan di antara beberapa kota berpenduduk di atas 10 juta jiwa. Tercatat
pada tahun 2000 ada 23 kota di dunia yang jumlah penduduknya di atas 10 juta jiwa, 15 di antaranya di
negara-negara berkembang atau bukan di negara maju. Berdasarkan catatan Bank Dunia (1987), 13 kota
terbesar tahun 2000 adalah Mexico City (26 juta jiwa), San Paulo, Tokyo, Kalkuta, Bombay, New York City,
Shanghai, Seoul, Teheran, Rio de Janeiro, Jakarta, New Delhi, dan Buenos Aires. Sepuluh kota dibawahnya
adalah Karachi, Beijing, Dacca, Kairo, Manila, Los Angeles, Bangkok, London, Osaka, dan Moskow.
Perbandingan kota-kota terbanyak penduduknya tahun 1960, 1980 dan 2000 (UNCHS, 1987) dan penduduk
kota metropolitan tahun 1990, 1995 dan 2000 (UN, 1982) dapat dilihat pada tabel berikut.
Pertemuan megacity tahun 1990 di New York memilih tema Innovations for sustainable cities of the
21st century, sedangkan pertemuan di Jakarta tanggal1 0 Agustus 1993 memilih tema Pengentasan kemiskinan,
think tank demokrasi, jaringan capacity building, dan familiarisasi pembangunan Jakarta. Pada dasarnya proyek
megacity berusaha mencari pendekatan inovatif untuk menangani permasalahan kemiskinan dan lingkungan
hidup.

Megacity
Kota hampir selalu menjadi pusat pemerintahan, kebudayaan, dan berbagai kegiatan sosial-politik.
Juga merupakan magnit kegiatan masyarakat, ide, dan kewirausahaan. Sejalan dengan perkembangan kota
yang pesat, kota membutuhkan pengembangan kapasitas dan inovasi, kesiapan masyarakat dalam kehidupan
yang serba dinamis, peraturan perundang-undangan yang mendukung, dan manajemen perkotaan yang
efektif. Proyek Megacity merupakan hasil kesepakatan para pemimpin pemerintahan, bisnis, dan komunitas di
beberapa megacity. Proyek ini berusaha mengidentifikasi dan menyebarluaskan berbagai pendekatan
penanganan perkotaan, serta menekankan peran berbagai kelompok pemerhati perkotaan termasuk Lembaga
Swadaya Masyarakat.
Proyek memperhatikan dua pendekatan, teoritis dan praktis, menggabungkan keberhasilan dari
pengalaman dengan berbagai pendekatan baru yang sifatnya inovatif. Proyek Megacity yang dilahirkan tahun
1987, sekarang melibatkan 13 kota, yaitu Bangkok, Bombay, Buenos Aires, London, Mexico City, Nairobi,

67
New Delhi, New York, Rio de Janeiro, Sao Paulo, Tokyo, Los Angeles dan Moskow. Struktur organisasi
didasarkan atas koordinator lokal di tiap kota, bertemu dalam Tim Pengarah, merepresentasikan tokoh perkotaan
(dari kalangan pemerintah, swasta dan masyarakat), tokoh media masa dan perguruan tinggi.
Proyek megacity mengacu pada sepuluh argumen. Pertama, pada tahun 2000, sebagian besar penduduk
dunia hid up di daerah perkotaan, di antaranya tinggal di 23 kota berpenduduk di atas 10 juta jiwa yang
dikenal sebagai megacity. Kedua, megacity ini, kaya atau miskin, kapitalis atau sosialis, masing-masing
dihadapkan pada permasalahan degradasi dan kerusakan lingkungan yang bisa mengancam kehidupan
manusia dan kelestarian lingkungan. Ketiga, walaupun para pendatang (migran) berusaha dihindari dan kaum
miskin di perkotaan hidup tidak berkecukupan, pada kenyataannya golongan ini bisa mengatasi hidupnya
sendiri disesuaikan dengan kondisinya masing-masing. Keempat, menghadapi kenyataan kompleksitas
permasalahan megacity, pendekatan konvensional dalam sistem teknologi dan manajemen abad 19 tidak
cukup ampuh untuk menangani permasalahan kota yang semakin kompleks.
Kelima, diperlukan cara-cara kreatif untuk mendayagunakan sumber-sumber daya man usia, alam, dan
pembiayaan perkotaan untuk meningkatkan tarat hidup masyarakat perkotaan. Keenam, dalam situasi kesulitan
mendapatkan tenaga ahli perkotaan, perlu didayagunakan pakar lokal perkotaan baik dari pemerintah,
swasta, perguruan tinggi, dan komunitas. Ketujuh, didasari kecukupan energi dan kreativitas di perkotaan
untuk menangani masalah, tanpa mekanisme yang baik, akan menyulitkan pembuatan keputusan.
Kedelapan, keberhasilan masa depan ditentukan oleh prestasi dan pengalaman masa kini yang bisa
menerpadukan penanganan tiap sektor, komunitas, dan menumbuhkembangkan partisipasi masyarakat serta
pembangunan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat. Kesembilan, makin kompleksnya permasalahan
megacity menuntut adanya desentralisasi manajemen perkotaan, peningkatan produktivitas sektor informal
termasuk peran wanita, dan sistem sirkulasi selain sistem linier dalam penanganan masalah air, sampah,
saluran pembuangan, energi, pangan, dalam menuju kesinambungan dan mewujudkan pembangunan
berkelanjutan yang berwawasan lingkungan untuk megacity, serta kota besar, kota sedang, kota kecil, kota
satelit, dan daerah perdesaan di sekitar megacity. Kesepuluh, tantangan untuk menggali inovasi, bekerja
produktif, berorientasi iptek, mencontoh keberhasilan megacity lain, memaksimumkan hasil-hasil pembangunan
dan meminimumkan dampak pembangunan, merupakan tantangan masa depan megacity.
Proyek-proyek megacity yang telah diterapkan antara lain penanganan polusi udara, pengelolaan
sampah rumah tangga dan sampah industri, penyediaan air bersih, pengaturan sanitasi dan drainase,
pengelolaan lingkungan hidup, dan penerapan teknologi tepat guna.

Proyek Megacity Jakarta


Kota Jakarta berpartisipasi menyelenggarakan pertemuan Proyek Megacity pada tanggal 1 - 9 Agustus
1993. Misi megacity adalah mengurangi kesenjangan antara inovasi perkotaan dan implementasinya.
Megacity telah mendisain sekumpulan kriteria evaluasi suatu inovasi, meningkatkan nilai-nilai (secara sosial
equitable, ekonomi viable, politik participatory, ecologically berkelanjutan, dan culturally adaptable; menekan
dampak, melancarkan pengoperasian pembangunan. Konsentrasi megacity adalah pada regenerasi lingkungan
hidup, kemiskinan dan upaya peningkatan pendapat masyarakat, desentralisasi dan demokratisasi, serta
peningkatan peran wanita dalam pembangunan.
Proyek Megacity didukung oleh jaringan komunikasi dan informasi antar megacity (Bangkok, Beijing,
Bombay, Buenos Aires, Delhi, Jakarta, London, Los Angeles, Mexico City, Moskow, New York, Rio de
Janeiro, Sao Paulo, dan Tokyo), serta adanya komitmen masing-masing megacity untuk saling
menginformasikan penemuan inovatif pendekatan penanganan masalah perkotaan. Pertemuan Megacity di
Jakarta akan membahas empat bidang. Pertama, jaringan kemiskinan dan lingkungan hidup, membahas 12
studi kasus masalah kemiskinan dan lingkungan (9 dari Asia, Amerika Latin dan Afrika, serta New York, Los
Angeles, dan Tokyo), isu-isu lingkungan hidup, analisis siklus inovasi dan kemitraan pemerintah-swasta-
masyarakat.
Kedua, think tank demokrasi dan megacity membahas demokratisasi, desentralisasi dan partisipasi,
keterkaitan kepemimpinan dan inovasi, membahas proyek kepemimpinan Perusahaan Kellog, dan
mengintegrasikan pengalaman Manuel Castells ke dalam kerangka riset proyek megacity. Ketiga, pembentukan

68
kapasitas untuk jaringan megacity, membahas sistem komunikasi, membahas 15 tahap penyusunan jaringan,
evaluasi proyek-proyek, rencana strategis, dan memikirkan perencanaan pertemuan di Kairo dengan tema
Role of Megacities in the New World Order. Keempat. familiarisasi Jakarta, mencakup gambaran perkembangan
Jakarta dan Jabotabek, pertemuan Tim Pengarah, dan kunjungan ke lokasi proyek pemerintah lokal
(kelurahan) dan masyarakat lapisan bawah (grassroots) di Pisangan Baru dan Kayu Manis Jatinegara (pernah
dikunjungi Dirjen UNCHS tahun 1990) serta penghijauan dan penataan pinggiran Kali Ciliwung di sekitar
Kampung Melayu dan Manggarai. Pertemuan proyek megacity di Jakarta ini akan menerima pengarahan
Presiden Soeharto dan dihadiri oleh para tokoh perkotaan seperti Janice Perlman, Shabbir Cheema, Om
Prakash Mathur, Emil Salim, dan Adi Sasono.

Penutup
Keberhasilan manajemen perkotaan banyak ditentukan oleh adanya political will. Aparat pemerintah DKI
Jakarta perlu melakukan studi perbandingan ke megacity yang lain seperti Tokyo, New York, Los Angeles,
London, Mexico City, Rio de Janeiro, serta melihat pengelolaan kota Kinshasa Zaire dan Curitiba Brazil. Rene
Dubos menyarankan think globally, act locally dan symbiotic relationships mean creative partnership. lni
menunjukkan pentingnya desentralisasi, pembangunan pada tingkat wilayah kota kecamatan dan kelurahan,
serta perlu ditumbuhkembangkan kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat (public. private and people
partnerships).
Menyongsong pertemuan internasional Proyek Megacity, Jakarta harus sudah siap dengan pendekatan
inovatif dalam menuju manajemen kota metropolitan Jakarta yang efektif, menyangkut biaya, institusi, luas
kota, sumber daya manusia dan sumber daya alam, pertumbuhan kota menjadi megacity atau metropolitan
(megapolitan, megalopolitan), kesiapan warga ibukota, dan faktor-faktor pendukung.
Manajemen kota yang efektif harus bisa diciptakan pada semua tingkatan, mulai dari tingkat propinsi
DKI Jakarta sam~ai ke Kelurahan. Aparatur pemerintah harus mau belajar terus menerus, berorientasi iptek,
dan mengikuti diklat dalam usaha meningkatkan pelayanan perkotaan sesuai dengan kebutuhan yang pesat.
Manajemen kota metropolitan Jakarta yang efektif akan bisa menekan permasalahan kota, termasuk masalah
kemiskinan dan lingkungan hidup, dan pada saatnya nanti dapat diwujudkan Daerah Khusus lbukota Negara
Republik Indonesia Jakarta atau Jakarta Metro, sesuai dengan isi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1990
tentang Susunan Pemerintahan DKI NRI Jakarta.
Jayakarta, 2 Agustus 1993

69
Tabel1.
KOTA-KOTA TERBANYAK PENDUDUKNYA 01 DUNIA TAHUN 1960, 1980, DAN 2000 (JUTA)

1960 1980 2000


No.
Kota Pddk Kota Pddk Kola Pddk
1. New York/NE 14.2 Tokyo/ 17,7 Mexico City 25.8
New Jersey Yokohama
2. London 10,7 New York!NE 15,6 Sao Paulo 24,0
New Jersey
3. Tokyo/ 10,7 Mexico City 14,5 Tokyo/ 20,2
Yokohama Yokohama
4. Shanghai 10,7 Sao Paulo 12,8 Calcuta 16,5
5. Rhein-Ruhr 8,7 Shanghai 11 ,8 Greater Bombay 16,0
6. Beijing, New Jersey 7,3 London 10,3 New York!NE 15,8
7. Paris 7,2 Buenos Aires 10,1 Seoul 13,8
8. Buenos Aires 6,9 Calcuta 9,5 Teheran 13,6
9. Los Angeles/Long Beach 6,6 Los Angeles/ 9,5 Shanghai 13,3
10. Moscow, Janeiro 6,3 Rhein-Ruhr 9,5 Rio de Janeiro 13.3
11. Chicago/NE. Indiana, Jeneiro 6,0 Rio de Jenairo 9,2 Delhi 13,3
12. Tianjin 6,0 Beijing 9,1 JAKARTA 13,3
13. Osaka I Kobe 5,7 Paris 8,7 Buenos Aires 13,2
14. Calcuta 5,6 Osaka/Kobe 8,7 Karachi 12,0
15. Mexico City 5,2 Greater Bombay 8,5 Dhaka 11,2
16. Rio de Janeiro 5,1 Seoul 8,5 Cairo I Giza 11 '1
17. Sao Paulo 4,8 Moscow 8,2 Manila 11 '1
18. Milan , Long Beach 4,5 Tianjin 7,7 Los Angeles/ 11,0
19. Cairo I Giza 4,5 Cairo I Giza 6,9 Bangkok 10,7
20. Greater Bombay, Indiana 4,2 Chicago/NE 6,8 Osaka I Kobe 10,5
21. Philadelpia 3,7 JAKARTA 6,7 Beijing 10,4
22. Detroit 3,6 Milan 6,7 Moscow 10,4
23. Leningrad 3,5 Manila 6,0 Tianjin 9.1
24. Naples 3,2 Delhi 5,9 Paris 8,7
25. JAKARTA 2,8 Baghdad 3,9 Baghdad 7,4
Sumber:
United Nations Centre tor Human Settlements (UNCHS), Global Report on Human Settlement, New York: Oxford University Press, t9R7. p. 28
(dikutip dari Thesis Studi Program Master di Coral Gables, Florida. o/eh Dedy Supriady, Agustus 1991, him. 22).

70
Tabel 2.
PERKIRAAN URUTAN KOTA METROPOLITAN TAHUN 1990, 1995 DAN 200 (JUTA)

1990 1995 2000


No.
Kota Pdk Kola Pdk Kola Pdk
1. Mexico City 21,3 Mexico City 24,2 Mexico City 26,3
2. Sao Paulo 18,8 Sao Paulo 21,5 Sao Paulo 24,0
3. Tokyo 17,2 Tokyo/Yokohama 17,1 Tokyo/Yokohama 17,1
4. New York/NE NJ 15,3 New York/NE NJ 15,3 Calcuta 16,6
5. Calcuta 12,6 Calcuta 14,5 Greater Bombay i6,0
6. Shanghai 12,0 Greater Bombay 13,8 New York/NE NJ 15,5
7. Greater Bombay 11 ,9 Seoul 12,7 Seoul 13,5
8. G. Buenos Aires 11,7 Shanghai 12,5 Shanghai 13,5
9. Seoul 11,5 G. Buenos Aires 12,3 Rio de Janeiro 13,3
10. Rio de Janeiro 11 ,4 Rio de Janeiro 12,3 Delhi 13,3
11. Los Angles/LB 10,5 Cairo/Giza/lm 11 ,5 G. Buenos Aires 13,2
12. Cairo/Giza/lmb 10,0 Delhi 11 '1 Cairo/Giza/lmb 13,2
13. London 9,5 JAKARTA 11,0 JAKARTA 12,8
14. Beijing 9,5 Teheran 10,9 Baghdad 12,8
15. JAKARTA 9,3 Los Angeles/LB 10,9 Teheran 12,7
16. Moscow 9,2 Baghdad 10,8 Karachi 12,2
17. Delhi 9,2 Istanbul 10,2 Istanbul 11 ,9
18. Rhein-Ruhr 9,1 Karachi 10,1 Los Angeles/LB 11 ,2
19. Paris 9,0 Beijing 9,9 Dhaka 11 ,2
20. Teheran 9,0 Moscow 9,7 Manila 11 '1
21. Baghdad 8,9 Manila 9,7 Beijing 10,8
22. Istanbul 8,4 London 9,3 Moscow 10,1
23. Manila 8,3 Paris 9,1 Bangkok/Thonb. 9,5
24. Karachi 8,2 Rhein-Ruhr 8,9 Tianjin 9,2
25. Tianjin 8,0 Dhaka 8,6 Paris 9,2
26. Osaka/Kobe 7,8 Tianjin 8,5 Lima-Callo 9,1
27. Milan 7,3 Lima-Callo 8,0 London 9,1
28. Chicaco/NE NJ 6,9 Bangkok/Thonb. 7,8 Kinshasa 8,9
29. Lima-Callo 6,8 Osaka/Kobe 7,7 Rhein-Ruhr 8,6
30. Dhaka 6,5 Milan 7,5 Lagos 8,3
31. Bangkok 6,5 Kinshasa 7,3 Madras 8,2
32. Madras 6,1 Madras 7,1 Bangalore 8,0
33. Kinshasa 5,8 Chicago/NE Ind. 7,0 Osaka/Kobe 7,7
34. Hong Kong 5,6 Ban galore 6,5 Milan 7,5
35. Madrid 5,5 Lagos 6,4 Chicago/NE Ind. 7.2

Sumber:
United Nations. Estimates and Projections of Urban, Rural, and City Populations, 1950-2025: The 1982 Assessment, New York, January 1985
(Dikutip dari Metropolitan Management, The Asian Experience, K.C. Sivaramakhrishnan dan Leslie Green, New York, 1986).

71
UDKP, Model Pembangunan Kecamatan Terpadu

Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP) di tingkat kecamatan, mempertemukan perencanaan


pembangunan dari bawah ke atas (bottom up planning) dengan pembangunan dari atas ke bawah (top down
planning). UDKP juga berperan dalam meningkatkan koordinasi pembangunan desa. UDKP dikembangkan
menjadi suatu sistem pengembangan desa-desa dalam suatu kecamatan yang komprehensif, efektif dan
efisien. Lingkup UDKP adalah wilayah kecamatan, merupakan pelaksanaan pembangunan desa secara
intensif, terarah dan terkoordinasikan di bawah camat, memungkinkan koordinasi terpadu antar-instansi atau
dinas di tingkat kecamatan.

Model UDKP
UDKP merupakan sistem perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan evaluasi pelaksanaan
pembangunan wilayah kecamatan yang menyeluruh dan terpadu. Pada mulanya UDKP diterapkan di 1.045
kecamatan (Pelita Ill) yang tergolong miskin, minus, rawan, terbelakang, terpencil. daerah perbatasan, kepulauan
dan padat penduduk yang sebagian besar terdiri atas golongan masyarakat berpenghasilan rendah.
Dalam berbagai penyuluhan yang dilakukan oleh Ditjen Bangdes, ditegaskan adanya tiga pertimbangan
yang dijadikan dasar pelaksanaan UDKP pada wilayah kecamatan. Pertama, posisi strategis Pemerintah Wilayah
Kecamatan. UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah menetapkan bahwa
kedudukan Pemerintah Wilayah Kecamatan dalam sistem pemerintahan negara Rl merupakan perangkat
terbawah dari pelaksanaan asas dekonsentrasi. Penjelasan UU tersebut menyebutkan bahwa asas
desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi dengan memberi kemungkinan
pelaksanaan asas tugas perbantuan. Kecamatan juga merupakan unit pemerintahan dan pembangunan di
tingkat bawah dari wilayah kabupaten dan kotamadya DT II yang memiliki organisasi pemerintah dan unsur
aparatur relatif lengkap. Camat sebagai kepala wilayah, mempunyai wewenang untuk mengkoordinasikan
berbagai instansi vertikal dan instansi otonom tingkat kecamatan (UU Nomor 5/197 4, PP Nomor 6/1988 dan
lnmendagri 18/1989 tentang Koordinasi Kegiatan lnstansi Vertikal di Daerah).
Kedua, pengembangan wilayah kecamatan. Perkembangan suatu wilayah memerlukan persyaratan
adanya kegiatan yang dapat mendorong pertumbuhan wilayah. Pada tingkat desa dan kecamatan, perlu
ditumbuhkan dan dikembangkan kegiatan yang mendorong pertumbuhan wilayah kecamatan, tumbuhnya
pusat pengembangan lokal dan antar wilayah. Pusat-pusat ini dikenal sebagai Pusat Pengembangan Terpadu
Antar Desa (PPTAD), umumnya ibukota kecamatan. Mengingat kecamatan di Indonesia terdiri atas 15- 20
desa, maka perencanaan menyeluruh dan terpadu dalam suatu kecamatan akan mendorong pencapaian
desa-desa swasembada.
Ketiga, pengelolaan keterpaduan pembangunan, baik sektoral, daerah dan lnpres yang berasal dari
berbagai departemen, LPND, Pemda dan lembaga non pemerintah yang masuk desa, serta kegiatan
pembangunan yang dilaksanakan atas dasar swadaya murni masyarakat. Keadaan seperti ini memerlukan
sistem perencanaan yang memungkinkan terciptanya keterpaduan antara kegiatan pemerintah, swasta dan
masyarakat. UDKP, diharapkan merupakan perencanaan strategis untuk menjawab tantangan permasalahan
pembangunan di tingkat kecamatan.
Apakah sebenarnya model UDKP itu? UDKP adalah sistem manajemen pembangunan desa terpadu
tingkat kecamatan. Penjabarannya satu per satu adalah sebagai berikut. Sistem, merupakan rangkaian dari
berbagai organ yang secara bersama-sama merupakan suatu kesatuan untuk melakukan fungsi dalam
rangka mencapai tujuan tertentu. Prinsip sistem adalah kejelasan tujuan, keluaran, kegiatan, proses,
masukan dan umpan balik dari hasil evaluasi atas keluaran yang dicapai. Manajemen adalah cara atau teknik
mencapai tujuan melalui pengelolaan sumberdaya yang dimiliki.
Pembangunan desa adalah seluruh kegiatan pembangunan yang berlangsung di desa, meliputi
seluruh aspek kehidupan, dilaksanakan secara terpadu dengan mengembangkan swadaya gotong-royong.

72
Terpadu, diartikan bahwa dalam keg1atan pembangunan harus ada keterkaitan wilayah, fungsi, keharmonisan,
waktu dan sasaran. Rinciannya masing-masing, keterkaitan w1layah (desa satu dengan yang lain, kecamatan
satu dengan yang lain merupakan satu kesatuan yang utuh), fungsional (kegiatan antar sektor saling
mendukung dan tidak berdiri sendiri), keharmonisan (kesesuaian antara kebijaksanaan pemerintah dengan
aspirasi masyarakat), keterpaduan waktu (waktu pelaksanaan pembangunan mengacu pada jadwal yang
ditetapkan dan saling mendukung), sasaran (kesamaan tujuan tercapainya desa swasembada), dan lokasi
(memprioritaskan desa-desa yang memerlukan penanganan). Kecamatan, merupakan lingkungan kerja
perangkat pemerintah wilayah kecamatan yang meliputi beberapa desa/kelurahan.
UDKP mempunyai empat tujuan, yaitu: (1) mempercepat pencapaian desa swasembada yang mantap
di wilayah kecamatan; (2) mendorong tumbuhnya keswadayaan masyarakat; (3) memacu pertumbuhan dan
perkembangan wilayah kecamatan; dan (4) menopang terwujudnya Otonomi DT II secara nyata dan
bertanggungjawab. Dalam melaksanakan tugasnya, UDKP menyelenggarakan dua fungsi. Pertama, pengelolaan
informasi pembangunan di tingkat kecamatan (mengolah dan menganalisis data, memantau dan menjabarkan
kegiatan pembangunan di wilayah kecamatan), dan kedua, pengelolaan keterpaduan kegiatan pembangunan
di tingkat kecamatan (mulai dari perencanaan sampai evaluasi dan tindak lanjut).
Pada prinsipnya UDKP dimaksudkan untuk membantu camat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
sebagai administrator pembangunan. Metoda pendekatan sistem UDKP dapat dijabarkan atas komponen
masukan, proses, keluaran, dan umpan balik. Masukan antara lain data dan informasi, pengetahuan,
keterampilan, teknologi, paket program, proyek, dan paket UDKP. UDKP memerlukan masukan instrumental
yang terdiri atas kelembagaan yang mantap, pembinaan yang terus-menerus (kontinyu), dan landasan hukum
yang mantap, serta masukan environmental yang terdiri dari aparat yang memadai, sarana dan prasarana
penunjang, dana, dan situasi yang mendukung. Sebagai proses pembangunan desa terpadu tingkat
kecamatan, UDKP harus berfungsi dalam pendataan potensi kecamatan, perencanaan pembangunan.
pelaksanaan dan pengendalian pembangunan, evaluasi dan tindak lanjut pembangunan.
Keluaran dari UDKP adalah tersusunnya data dan informasi pembangunan tingkat kecamatan,
tersusunnya Pola Pengembangan Wilayah Kecamatan (PPWK) dan Rencana Pembangunan Tahunan
Kecamatan (RPTK), terwujudnya hasil-hasil pembangunan di wilayah kecamatan yang memberikan manfaat
dalam hal perluasan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, peningkatan kemandirian dan keswadayan,
perluasan pelayanan sosial dasar serta tumbuhnya sentra produksi dan pelayanan, terkendalinya pertumbuhan
penduduk serta diketahuinya keberhasilan pembangunan di wilayah kecamatan. Semua keluaran ini diarahkan
pada empat tujuan UDKP yang disebutkan di atas. Umpan balik merupakan tindakan perbaikan atau refleksi
terhadap hasil evaluasi, untuk menentukan langkah tindak lanjut berikutnya.
Mekanisme kegiatan UDKP dapat dibagi atas lima jenis kegiatan pokok, yaitu pendataan potensi
kecamatan, penyusunan PPWK, penyusunan RPTK, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan, evaluasi
dan tindak lanjut pembangunan. Proses pendataan potensi kecamatan dibagi atas perencanaan (penjelasan
teknis kegiatan pendataan, penetapan tim pendataan potensi kecamatan, dan penyiapan instrumen pengumpul
data) dan pelaksanaan (pengumpulan data, pengolahan data, pembahasan draft laporan, analisis singkat,
dan finalisasi laporan), dan tindak lanjut.
Langkah-langkah penyusunan PPWK terdiri atas pembentukan tim penyusun, penjelasan teknis,
pengumpulan bahan, penyusunan rancangan, pembahasan rancangan, dan finalisasi PPWK. Langkah-
langkah penyusunan RPTK sama dengan penyusunan PPWK, tetapi RPTK telah membagi kedalam tiga
bidang, yaitu umum, sosial budaya dan ekonomi. Kegiatan pelaksanaan dan pengendalian pembangunan
(lakdalbang) dimulai dari penjelasan teknis lakdal, inventarisasi proyek atau kegiatan yang dibiayai swadaya
masyarakat, pengorganisasian lakdalbang, teknis koordinasi, teknis pemantauan, pertemuan pemantauan,
dan tindak lanjut. ·
Evaluasi dan tindak lanjut kegiatan pembangunan terdiri atas kegiatan persiapan (penjelasan teknis
kegiatan evaluasi dan tindak lanjut serta pengumpulan bahan) dan pelaksanaan (pengumpulan bahan dan
data, tabulasi dan analisis data, penyusunan draft laporan, pembahasan hasil evaluasi, penyusunan rencana
tindak lanjut, dan finalisasi).

73
Prospek
Mengartikan UDKP sebagai sistem manajemen pembangunan desa terpadu tingkat kecamatan,
memang enak dikumandangkan. Tetapi pelaksanaannya di lapangan tidaklah semudah mengucapkannya.
LKMD di tiap desa dikembangkan untuk dapat menampung aspirasi masyarakat dan dapat menyampaikan
pesan pembangunan kepada masyarakat desa. Melalui koordinasi dalam UDKP, upaya pembangunan desa-
desa dapat diserasikan agar lebih efisien dan efektif.
Pelaksanaan UDKP cukup kompleks, karena paling sedikit harus dilalui lima kegiatan utama UDKP,
yaitu pendataan potensi kecamatan, penyusunan PPWK, penyusunan RPTK, lakdalbang, dan evaluasi dan
tindak lanjut kegiatan pembangunan di wilayah kecamatan. Terbatasnya aparat kecamatan dan kurang
tersedianya tenaga terampil yang membantu camat, mengakibatkan pelaksanaan model UDKP tersendat-
sendat. Pembinaan UDKP harus terus-menerus dilakukan, baik melalui pendidikan dan latihan aparat
kecamatan, dukungan untuk menyusun rencana pembangunan desa atau pun bimbingan dalam menyusun
rencana proyek pembangunan desa untuk bahan rapat koordinasi pembangunan desa di tingkat kecamatan.
Panduan Operasional UDKP, pendataan potensi kecamatan, penyusunan PPWK, penyusunan RPTK,
lakdalbang, dan evaluasi dan tindak lanjut kegiatan pembangunan di wilayah kecamatan telah disiapkan oleh
Ditjen Pembangunan Masyarakat Desa. Penyuluhan dan pelatihan camat dalam rangka pembangunan desa
terpadu telah dilaksanakan secara kontinyu. Persoalannya kembali kepada camat, instansi vertikal dan
otonom tingkat kecamatan serta aparat kecamatan (Sekwilcam, Kaur Pembangunan, Pemerintahan,
Administrasi, Mantri Polisi Pamong Praja, Kamawil Hansip, Juru Penerang, Kaur Kemasyarakatan, Kepala
Puskesmas. Kakandep Dikbud, Kepala Ranting Dinas Dikbud, Kepala KUA, PPLKB, Ketua Tim Penggerak
PKK Tingkat Kecamatan, Mantri Pertanian, Mantri Peternakan, Mantri Perikanan, Petugas PU, Mantri
Statistik). Danramil dan Kapolsek (dibantu oleh Ketua Bappeda Tingkat II dan Kepala Kantor Bangdes
Kabupaten atau Kotamadya), apakah mereka mau memantapkan kerjasama dalam proses perencanaan,
pelaksanaan. pengendlian dan evaluasi pelaksanaan pembangunan desa, dan antar-desa yang menyeluruh
dan terpadu pada tingkat kecamatan.
Angkatan Bersenjata, 16 Juli 1991

Jakarta Tempo Doeloe dan Tahun 2003


lJulu bernama Sunda Kelapa, kemudian menjadi Jayakarta. Tahun 1527, Pasukan Fatahillah berhasil
menduduki kota pelabuhan Sunda Kelapa. Ketika armada Portugis datang pasukan Fatahillah akan
menghancurkannya. Menandai kemenangannya, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta,
yang berarti "kemenangan berjaya" yang kemudian dijadikan lahirnya kota Jakarta.
Tahun ini diperingati pada umur 470 tahun dengan tema Jakarta 1527-1997: Dengan semangat
Jayakarta serta motto Teguh Beriman, kita rayakan Jakarta 470 tahun, dengan terus kembang mantapkan
Persatuan, Kesatuan dan Kekeluargaan untuk sukseskan Pemilu 1997, SEA Games XIX dan Sidang Umum
MPR 1998. Tema HUT Jakarta ke 470 ini mengandung tujuh kata kunci yang penting, yaitu Jakarta 470
tahun, Persatuan, Kesatuan, Kekeluargaan, Pemilu 1997, SEA Games XIX dan Sidang Umum MPR 1998.
Tanggal 30 Mei 1619 Jan Pieterszoon Coen menaklukkan Jayakarta sehingga Jayakarta diganti
menjadi Batavia (Batavieren) walaupun Coen menghendaki nama Noew Hoorn. Ketika Jepang merebut
kekuasaan dari tangan Belanda pada tahun 1942, Batavia diganti namanya Jakarta. Nama-nama tempat
yang sudah dikenal sejak penjajahan Belanda (buku "Jakarta Tempo Doeloe" oleh Abdul Hakim, 1989),
antara lain Pasar lkan, Taman Fatahillah, Pulau Onrust, Jacatreweg (daerah elite), Jalan Majapahit, Mester,
Kramat Bunder, Matraman, Gedung Arsip di Molenvliet (Jalan Hayam Wuruk-Gajah Mada), Harmoni,
Weltervreden (daerah yang lebih tinggi dan sehat), Koninsplein (Medan Merdeka), Waterlooplein (Lapangan
Banteng), Gedung Hooggerechtshof (Mahkamah Agung) dan Gedung Volksraad (sekarang Gedung Pancasila),
Gedung Putih 160 meter (sekarang Departemen Keuangan), Willemskerk (Gereja !manuel dekat Stasiun

74
Gambir), dan bekas kantor Konmklijke Paketvaart Maatschappi; atau KPM (sekarang Ditjen Perhubungan
Laut).
Juga dikenal Pa/veris rijswijk (sekarang lstana Negara), Paleis Koninsplein (sekarang lstana Merdeka),
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenshappen (sekarang Museum Nasional). Stadsschpburg
(sekarang Gedung Kesenian), Hoofdpostkantoor (sekarang Kantor Pos Pusat). Groote Zuiderweg (Gunung
Sahari), Gedung Aneta (Antara, Pintu Air Wilhelma Park (lstiqlal), Boplo dan Gondangdia, Matraman (Matraman).
Saat ini orang masih mengenal Luar Satang, Meriem Si Jagur, Roemah Gadjah (Museum), Glodok
(dari kosong menjadi rapat), Rawa Bangke, sepeda motor merk Hildebrand Und Wolfmuller (1893), kereta api
Stasiun Gambir ke Sawah Besar dan Senen ke Tanjung Priok, sado (dos a dos atau beradu punggung) di
Pintu Ketjil, lalu lintas Segitiga Senen, pangkalan taksi di Merdeka Barat dan Gondangdia, mandi cahaya di
Pasar Gambir, Kebun Binatang, mesjid tertua di Jalan Karet, Kebun Jeruk, Tanah Abang, dan Raden Saleh,
gereja di pintu Besi, bioskop pertama Talbot di Gambir yang bisa pindah-pindah, ambtenaar (pegawai negeri)
berpakaian jas putih-putih, topi helm keras seperti topi baja.
Sekarang, Kota Jakarta berpenduduk hampir 10 juta jiwa atau dikenal menjadi Kota Mega (megacity)
atau Metropolitan. Bersama dengan Bogor, Tangerang, dan Bekasi, dikenal sebagai Jabotabek, berpenduduk
sekitar 15 juta jiwa. Dengan jumlah pneduduk sebanyak ini, Jabotabek dapat disejajarkan luasnya dengan
kota-kota tersebar di dunia, yaitu Mexico City (25 juta), Sao Paulo (23), Tokyo (20), Calcuta (17), Bombay
(16), New York (15), Shanghai (14), Seoul (13), Teheran (13), Rio de Janeiro (13), Delhi (13), Buenos Aires
(13), Karachi (12) dan Beijing (12). Kota-kota yang menyusul di bawahnya adalah Dacca, Cairo, Manila, Los
Angeles, Bangkok, London, Osaka-Kobe, Moscow, Tianjin, dan Lima.
Dengan penduduknya yang sepuluh juta ini, banyak permasalahan yang dijumpa1 Kota Jakarta, yaitu
manajemen pemerintahan yang belum efektif, aparatur pemerintah yang belum siap bekerja profesional
dalam menghadapi globalisasi, manajemen modern belum operasional, masalah keterbatasan tanah,
perumahan, transportasi, pengelolaan sampah, penyediaan air bersih, jaringan drainase, kurang terarah dan
terpadu koordinasi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, masih banyaknya lingkungan
perumahan dan permukiman kumuh, banyaknya pengangguran, kurang tempat parkir, banjir tahunan, kurang
sarana dan prasarana olah raga, kurang ruang terbuka hijau dan masih terdapat cukup banyak kantong-
kantong permukiman miskin dan warga ibukota yang miskin serta migrasi desa-kota sulit ditahan.

Jakarta Saat lni


Jakarta masa datang ditandai dengan perubahan yang cepat di berbagai bidang pembangunan,
kehidupan dan penghidupan. Jakarta bersaing ketat dengan Kuala Lumpur, Bangkok, Manila, dan Singapura.
Sarana dan prasarana kota Jakarta terus dilengkapi dan disempurnakan. Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia DKI Jakarta, dituntut
penyelenggaraan pemerintahan umum dan pembangunan yang fleksibel, rasional dan dinamis.
Untuk mengisi keinginan Undang-undang ini, Jakarta telah menyiapkan proyek-proyek mega seperti
Reklamasi Pantai Utara (Pantura) Jakarta (Keppres 52/1995), pembangunan kawasan pantai (waterfront city)
seperti Darling Harbour di Sydney Australia, terminal terpadu Manggarai, pembangunan kereta Jabotabek,
pembangunan jaringan kereta api dan jalan tol triple decker, kereta bawah tanah (subway, underground).
penataan bawah tanah kawasan Jalan Merdeka, Monas dan sekitarnya (Keppres 25/1995), penataan pusat
perdagangan Mangga Dua dan Glodok, penyebaran pusat perbelanjaan (Citra Land, Mal Anggrek, Kelapa
Gading, Blok M, Pondok Gede, Lippo Cikarang, dan Lippo Karawaci), pembangunan berbagai segitiga
pertumbuhan (perkantoran Sudirman dan Kuningan, perdagangan Senen), peremajaan bus kola, penanganan
taksi secara terpadu, pembangunan kota baru Bandar Kemayoran, perluasan Taman lmpian Jaya Ancol,
perluasan TMII, serta berbagai sarana dan prasarana kota lainnya.
Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirdja yang berprestasi tinggi pada masa jabatannya tetapi tidak di
perpanjang untuk masa jabatan kedua, sudah menanamkan tonggak-tonggak penting bagi pemerintahan
ibukota dalam menghadapi perdagangan bebas Asean 2003 dan perdagangan bebas tahun-tahun berikutnya
2010 dan 2020. Program Jakarta Mengkilap (menjadikan ibukota bersih sepanjang hari dengan penanganan

75
sistem mekanis dan menggunakan kendaraan penyapu jalan yang mutakhir) dicanangkan oleh Abdul Kahfi,
Walikota Jakarta Pusat yang berpeluang menjadi Wakil Gubernur. Program trotoar indah segera menyusul
program kali bersih dan program udara bersih.
Gubernur Surjadi menekankan agar jajaran pegawai dan pejabat DKI Jakarta inovatif, menegakkan etika
moral, bertaqwa, konsisten dalam kebijakan, rendah hati dan tidak arogan, peka terhadap kepentingan
masyarakat dan mampu berfikir inovatif untuk meningkatkan pelayanan. lni sesuai Keppres 3/1995 tentang
Gerakan Disiplin Nasional dan In pres 1/1995 ten tang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan aparatur
Pemerintah kepada masyarakat. lbu Surjadi menyarankan agar wanita melalui PKK dan organisasi kewanitaan
lainya berperan serta dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan kota Jakarta, sebagai tindak lanjut lnpres
5/1995 tentang Peningkatan Peranan Wanita dalam Pembangunan di Daerah dan lnpres 4/1995 tentang
Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.
Ketua DPRD DKI Jakarta, Ritonga tidak bosan-bosan mengajak warga Jakarta melaksanakan ibadah
dengan tertib, berpuasa, silaturahmi dan meningkatkan siraman rohani, meningkatkan iman dan taqwa
sejalan dengan menguasai iptek, memperhatikan masjid, majelis taklim dan anak yatim, menegakkan
persatuan dan kesatuan. Dengan Teguh Beriman (teruskan gerakan untuk hidup bersih, indah menarik,
manusiawi dan aman), wujudkan persatuan dan kesatuan, mantapkan kekeluargaan, kebersamaan, dan
kepedulian sosial. Pemilu 1997 sudah sukses, tinggal SEA Games XIX diambang pintu dan puncaknya, Sidang
Umum MPR 1998 yang sangat penting bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi abad ke-21.
Berikut ini catatan Gubernur Surjadi menghadapi tahun 1997 yang bisa dijadikan catatan bagi
Gubernur berikutnya: Penayangan berita diimbau Gubernur agar selalu obyektif, positif dan konstruktif jangan
sampai merugikan masyarakat. Kritikan setajam apapun harus diterima aparat Pemda, asalkan didukung
fakta dan data. Pers harus sadar menginformasikan situasi dan kondisi sebenarnya mengenai kota Jakarta.
Semua lapisan warga ibukota harus ikut berpartisipasi dalam mewujudkan Jakarta Teguh Beriman.
Aparatur Pemerintah DKI Jakarta harus merumuskan, merencanakan, melaksanakan, mengawasi,
memantau dan mengevaluasi pembangunan ibukota dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang ada khususnya yang menyangkut DKI Jakarta, yaitu UU 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah, UU 11/1990 tentang Susunan Negara Republik Indonesia DKI Jakarta, Pola Dasar Pembangunan
Daerah dan RUTR 2005 (dan hasil revisi), Undang-undang 24/1992 tentang Penataan Ruang berikut
tindaklanjutnya seperti RTR, RTWK dan RTK, Repelita VI (disusul Repelita VII) DKI Jakarta, RUPTD
(Rencana Umum Pembangunan Tahunan Daerah), Mekanisme Anggaran (Nota Keuangan/RAPBD DKI
Jakarta), Renstra 1992-1997 (disusul Renstra 1997/1998-2002/2003), Pokok-pokok Pikiran DPRD DKI
Jakarta dan Pedoman lain mengacu pada UU, PP, Keppres, lnpres, SKB Menteri, Kepmen, lnmen, serta
Kepgub dan lngub. Operasionalisasi pembangunan, perlu mengacu pada kesepakatan Muspida dan upaya
menyejajarkan kota Jakarta dan kota-kota besar/metropolitan di dunia, dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarakat ibukota.
Aparatur Pemerintah DKI Jakarta di semua tingkatan, harus memahami, mengerti dan melaksanakan
program pembangunan. Masyarakat diharapkan berpartisipasi aktif dalam pembangunan ibukota. Swasta
dihimbau dan diharapkan bermitra dengan Pemerintah dalam memacu pembangunan kota metropolitan
Jakarta. Prestasi dan Masalah "ter" selama tahun 1996 antara lain Parasamnya Purnakarya Nugraha
(tertinggi), Adipura Kencana dan Adipura (terbersih), Kenduri Nasional 1995 (terbesar), Banjir 50 Tahunan
(terdahsyat), Peristiwa 27 Juli 1996 (terhebat), Hasil Pemilu 1997 (tersukses), lnvestasi Nasional (tertinggi),
Pembangunan Properti (tercepat), Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh (termaju), Pembangunan
Rumah Susun Sederhana (tercepat), Pembangunan kawasan Pantai (Terhebat), Kemacetan Lalulintas dan
Polusi Kendaraan (terberat), Migrasi Desa-Kota (tertinggi) dan Pembangunan Waserda (tergugah).
Penataan pasar (pasar lnpres, pasar lnduk Kramat Jati), pusat pertokoan, pusat perdagangan,
penyebaran lokasi mal, selesainya pembangunan 17 dari rencana 25 simpang susun (akan disusul 46-50
simpang susun lainnya), underpass atau terowongan, penataan lingkungan bersih dan hijau melalui Gerakan
Sejuta Pohon, penataan trotoar khususnya di sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman, perbaikan pelayanan
bus kota, dan penataan terminal, merupakan bukti keseriusan Pemerintah DKI Jakarta dalam membangun
Jakarta menjadi kota metropolitan. Penertiban bangunan, penanganan kamtibmas secara terpadu, kerukunan

76
hidup beragama, lndeks Pembangunan Manusia (IPM) yang tinggi, pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
keberhasilan mengentaskan kemiskinan dari 11% penduduk (1994) menjadi 5,7% (1995), struktur Jakarta
menuju kota jasa dan konvensi (services).
Sembilan sasaran prioritas Renstra 1992-1997 yang belum berhasil diwujudkan akan menjadi pekerjaan
rumah Gubernur pengganti Surjadi termasuk tugas-tugas baru yang dirumuskan sesuai dengan skala prioritas
di era perdagangan bebas pada abad 21, yaitu pembinaan aparatur (profesional, disiplin, bekerja efisien dan
efektif). Meningkatkan pelayanan yang cepat, mudah dan murah kepada masyarakat, menerpadukan
pembangunan sosial kemasyarakatan (GN OTA), penataan lingkungan kumuh, gerakan PKK, dana ZIS,
silaturahmi penyebarluasan Waserda KSU (Warung Serba Ada Koperasi Serba Usaha) di tiap Kelurahan dan
RT, pengendalian laju penduduk, penanganan permukiman kumuh (pembangunan rusun sederhana,
pelaksanaan SK Gubernur Nomor 540/1990), kebersihan, penghijauan dan kesehatan lingkungan, peningkatan
penerimaan daerah, penataan lalu lintas dan angkutan umum (akhir 1997 diharapkan dapat diselesaikan 25
simpang susun (fly over), rencana pembangunan triple-decker), Saumaja (Sistem angkutan umum massal
Jakarta) khususnya kereta bawah tanah Blok M-Kota (14,5 Km), serta pembinaan sektor informal dan
pengusaha kecil.
Di samping melaksanakan Renstra 1992-1997, Pemerintah DKI Jakarta juga melaksanakan program
nasional. di ibukota, antara lain berbagai pertemuan internasional di bidang industri, perdagangan, jasa,
pariwisata, politik, ekonomi, sosial budaya, olahraga, dan lain-lain, program PIN dan Balita, KB Lestari,
penghijauan, penanganan emisi kendaraan, lOT dan pembangunan keluarga pra sejahtera, sejahtera (1, 2, 3
dan 3 plus), gerakan nasional sayang ibu dari PKK, PON XIV 1996 dan rencana Sea Games XIX/1997.
Menyongsong 2003, APBD DKI Jakarta ditargetkan meningkat, aparatur pemerintah dididik dan dilatih
agar lebih profesional, kerjasama kota kembar (sister city) ditingkatkan, partisipasi masyarakat ditingkatkan,
kemitraan pemerintah swasta makin diwujudkan, koordinasi perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
makin terpadu, kawasan bangunan tua dilestarikan, pantura Jakarta (Jakarta waterfront city) makin tertata
dengan baik, mal makin tersebar, pusat perdagangan Mangga Dua makin menawan, kota mandiri di sekitar
Jakarta makin berperan. Penataan lingkungan kumuh dengan membangun rumah susun sederhana makin
baik, pemasyarakatan dan pembudayaan rumah susun makin intensif, terminal terpadu Manggarai dapat
diwujudkan dan terminal antar kota makin teratur, dan udara makin bersih, Saumaja bisa diwujudkan,
kerukunan beragama makin kokoh, gerakan disiplin nasional makin memasyarakat, migrasi desa-kota bisa
ditekan, kebersamaan dan kepedulian masyarakat makin tinggi, rakyat miskin makin sedikit, ibukota makin
aman, nyaman dan tenang.
Aparatur Pemerintah Metropolitan Jakarta makin profesional dan partisipasi masyarakat makin tinggi,
budaya iptek makin mantap, sistem manajemen modern makin dikuasai, kota jasa dan pusat belanja makin
bersih dan menarik, dan menghadapi perdagangan bebas Asean tahun 2003 makin siap.
Menyongsong 2003 perlu riset dan evaluasi pembangunan kota, perlu ditingkatkan penguasaan,
pengembangan, dan pemanfaatan iptek. Jakarta harus terus dibangun menjadi pusat kehidupan politik
nasional dan internasional, penyelenggaraan acara kenegaraan, kota industri, perdagangan, dan pariwisata,
kota wisata belanja, kota jasa, kota bersih, indah, hijau, manusiawi, aman dan nyaman. Jakarta 2003
walaupun barangkali belum dapat menyamai kemajuan Singapura, diharapkan dapat lebih menarik dan
atraktif dibandingkan dengan Bangkok, Kuala Lumpur, Manila dan kota-kota besar lainnya di Asia Tenggara
dan Asia. Jakarta harus belajar dari New York dan San Francisco (sebagai kota jasa dan wisata), Tokyo (kota
modern), Sydney (Darling Harbour waterfront city), Paris (kota wisata), Amsterdam dan Rotterdam (pemanfaatan
sungai), London (jaringan transportasi), dan hindari kemacetan lalulintas seperti terjadi di Bangkok dan
Manila.
Selamat Jalan kita ucapkan kepada Gubernur Surjadi Sudirdja (dan lbu Surjadi) serta para Pejabat
Pembantu beliau yang telah membangun DKI demikian pesat dan menyiapkan berbagai perangkat, sarana
dan prasarana di ibukota, sebagai modal yang sangat berharga dalam menghadapi perdagangan bebas
Asean 2003 dan perdagangan bebas Asia Pasifik 2010 dan 2020. Kepada Gubernur penerus atau pengganti
Gubernur Surjadi Soedirdja, kita ucapkan Selamat Bekerja, menjadikan kota metropolitan Jakarta seperti

77
yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara
Republik Indonesia DKI Jakarta.
Jayakarta, 28 Agustus 1997

Mengenal UU Nomor 4 Tahun 1982:

Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan


Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup, merupakan sistem yang meliputi lingkungan alam hayati, non-hayati, buatan, dan
lingkungan sosial yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta
makhluk hidup lainnya. lstilah lingkungan hidup dan lingkungan sering digunakan dalam pengertian yang
sama. Dalam rangka mengatur pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan yang terpadu dan
menyeluruh, telah ditetapkan UU Nomor 4/1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Undang-undang ini menetapkan ketentuan umum berupa definisi tentang lingkungan hidup, pengelolaan
lingkungan hidup, ekosistem, daya dukung lingkungan, sumber daya, baku mutu lingkungan, pencemaran
lingkungan, perusakan lingkungan, dampak lingkungan, analisis mengenai dampak lingkungan, konservasi
sumber daya alam, lembaga swadaya masyarakat, dan pembangunan berwawasan lingkungan.
Berdasarkan Wawasan Nusantara, lingkungan hidup mempunyai ruang lingkup yang meliputi ruang,
tempat Negara Rl melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, serta yurisdiksinya. Pembangunan berwawasan
lingkungan itu sendiri diartikan sebagai upaya sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumber
daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup.

Pengelolaan
Asas pengelolaan lingkungan hidup adalah pelestarian lingkungan yang serasi dan seimbang untuk
menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia. Tujuan
pengelolaan lingkungan hidup meliputi (1) tercapainya keselarasan hubungan antara man usia dengan
lingkungan hidup sebagai tujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya, (2) terkendalinya pemanfaatan
sumber daya secara bijaksana, (3) terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup, (4)
terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang,
dan (5) terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan
kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Dalam permasalahan lingkungan hidup, setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik
dan sehat, serta mempunyai hak dan kewajiban untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Sejalan dengan itu, setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta
menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan. Pemerintah berkewajiban menumbuhkan dan
mengembangkan kesadaran masyarakat akan tanggungjawabnya dalam pengelolaan lingkungan hidup
melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan penelitian tentang lingkungan hidup.
Hak menguasai dan mengatur sumber daya alam dan sumber daya buatan, memberikan wewenang
kepada Pemerintah untuk (a) mengatur peruntukan, pengembangan, penggunaan, penggunaan kembali, daur
ulang, penyediaan, pengelolaan, dan pengawasan sumber daya, (b) mengatur perbuatan hukum dan
hubungan hukum antara orang dan atau subyek hukum lainnya terhadap sumber daya, dan (c) mengatur
pajak dan retribusi lingkungan.
Ketentuan tentang perlindungan sumber daya alam non-hayati, konservasi sumber daya alam hayati,

78
dan ekosistemnya, perlindungan sumber daya buatan, perlindungan eagar budaya, pencegahan dan
penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup serta pengawasannya, diatur dan ditetapkan
dengan undang-undang berdasarkan baku mutu lingkungan. Pengelolaan lingkungan hidup dilakukan pada
tingkat nasional dan daerah. Di tingkat nasional, dilakukan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang
dipimpin oleh Menteri KLH. Keterpaduan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup
secara sektoral, dilakukan oleh Departemen/Lembaga Pemerintah Non-Departemen sesuai dengan tugas
dan fungsinya. Di Tingkat Daerah, pengelolaan lingkungan hidup dilakukan oleh Pemda Tingkat I dan
Tingkat II.
UU ini juga menegaskan peran serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam menunjang upaya
pengelolaan lingkungan hidup. LSM mencakup antara lain (a) kelompok profesi yang berdasarkan profesinya
tergerak menangani masalah lingkungan, (b) kelompok hobi, yang mencintai kehidupan alam dan terdorong
untuk melestarikannya, dan (c) kelompok minat, yang berminat untuk berbuat sesuatu bagi pengembangan
lingkungan hidup. Dalam menjalankan peranannya sebagai penunjang, LSM mendayagunakan dirinya
sebagai sarana untuk mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam mencapai tujuan
pengelolaan lingkungan hidup.
Ganti rugi dan biaya pemulihan, diatur dalam UU ini. Barang siapa merusak dan atau mencemarkan
lingkungan hidup berkewajiban memikul tanggungjawab dengan membayar ganti kerugian kepada penderita
yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta membayar biaya pemulihan
lingkungan hidup kepada Negara.
Tiga ketentuan pi dana diatur dalam UU ini. Pertama, barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan
menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan
hidup yang diatur dalam undang-undang ini atau undang-undang lain, diancam pidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100 juta.
Kedua, barangsiapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan
hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam undang-undang ini atau undang-undang lain
diancam pidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda sebanyak-
banyaknya Rp 1 juta. Ketiga, perbuatan sebagaimana butir pertama adalah kejahatan dan perbuatan
sebagaimana butir kedua merupakan pelanggaran.
Upaya
Pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya sistem terpadu yang meliputi perumusan,
pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan. PP No. 29/1986 tentang AMDAL, UU No. 5/1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem, PP No. 20/1990 tentang Pengendalian Pencemaran
Air, dan Keppres No. 23/1990 tentang BAPEDAL merupakan upaya mengamankan pelaksanaan UU No. 4/
1982.
Bapedal mempunyai tugas melaksanakan pengendalian dampak lingkungan yang meliputi upaya
pencegahan kerusakan, penanggulangan dampak serta pemulihan kualitas lingkungan dan fungsi-fungsi
perumusan kebijaksanaan pengendalian pencemaran lingkungan hidup, pengelolaan limbah bahan berbahaya
dan beracun, pemantauan dan pengendalian terhadap kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan
hidup, pengembangan laboratorium rujukan, pengolahan data dan informasi pencemaran lingkungan hidup,
dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan hidup.
Untuk mendukung dan mengamankan pelaksanaan UU No. 4/1982 dan peraturan perundang-
undangan tersebut di atas, paling sedikit lima Menteri telah mengeluarkan ketetapan yang menyangkut
pengelolaan lingkungan hidup. MenKLH menetapkan tujuh Kepmen/Surat Edaran, yaitu No. Kep-49/MenKLH/
6/87 tentang Pedoman Penentuan Dampak Penting, No. Kep-50/MenKLH/6/87 (Pedoman Penentuan Dampak
Lingkungan), No. Kep-51/MenKLH/6/87 (Pedoman Penyusunan Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan),
No. Kep. 52/MeKLH/6/87 (Batas Waktu Penyusunan Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan), No. Kep-53/
MenKLH/6/87 (Pedoman Susunan Keanggotaan dan Tatakerja Komisi), Surat Edaran No. 03/SE/MenKLH/6/
87 (Prosedur Penanggulangan Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup), dan Kep. No. 02/
MenKLH/88 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan. Kepmendagri No.8/1988 menetapkan

79
Pedoman Teknis Tatacara AMDAL bagi proyek-proyek PMA dan PMDN. Kepmentamben No. 1158/008/
M.PE/1989 menetapkan Ketentuan Pelaksanaan AMDAL dalam usaha pertambangan dan enegi, dan
Kepmen PU No. 45/PKT/90 menetapkan Pengendalian Mutu Air pada Sumber-sumber Air. Empat Surat
Keputusan Menperind yang merupakan upaya pengelolaan lingkungan hidup, terdiri atas SK No. 148/M/SK/4/
85 tentang Pengamanan Bahan Beracun dan Berbahaya di Perusahaan lndustri, No. 20/M/Sk/1/86 tentang
Lingkup Tugas Deperind Dalam Pengendalian Pencemaran lndustri terhadap lingkungan hidup, No. 134/M/
SK/4/88 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran sebagai akibat kegiatan usaha industri
terhadap lingkungan hidup, dan No. 135/M/SK/4/88 tentang Pembentukan Komisi Pusat AMDAL Deperind.
Seperangkat peraturan perundang-undangan tersebut baru bisa berjalan efektif jika dapat diwujudkan
koordinasi terpadu di antara berbagai pelaku pengelolaan lingkungan hidup. Selain koordinasi di antara lima
Menteri tersebut di atas dan dengan lnstansi terkait lainnya, koordinasi MenKLH/Ketua AMDAL dengan
Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Rl, Gubernur Kepala DT I, dan Bupati!Walikotamadya
Kepala DT. II, perlu lebih ditingkatkan.
Menyambut peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang tahun ini diselenggarakan pada tanggal 4
Juni 1991 dengan tema Pengembangan lndustri Berwawasan Lingkungan (yang diturunkan dari tema
internasional Perubahan iklim, mendorong kebutuhan mengembangkan kemitraan global atau Climate change,
need for global partnership), penting rasanya untuk mengutip pernyataan Emil Salim. Proses pembangunan
dapat menghasilkan dampak negatif berupa pencemaran dan perusakan lingkungan sebagai produk samping.
Sumber alam dan lingkungan hidup harus diolah tidak saja untuk meningkatkan kesejahteraan generasi masa
kini, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan generasi masa depan. Pengusaha dan seluruh masyarakat
diajak untuk berperanserta aktif mengembangkan industri yang berwawasan lingkungan agar masyarakat kita
menjadi semakin sejahtera. generasi demi generasi, dalam tanah air Indonesia yang hijau, utuh lingkungan
dan lestari. Semoga.
Neraca, 12 Juni 1991

BAPEDAL : Tugas Berat Kendalikan


Dampak Lingkungan Hidup
Lingkungan hidup adalah suatu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk
hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan
dan kesejahteran manusia serta makhluk hidup lainnya. UU Rl Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup menekankan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup
yang merupakan upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan dan pengembangan lingkungan
hidup.
Pembangunan yang semakin meningkat akan menimbulkan dampak yang semakin besar dan
memerlukan pengendalian sehingga pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan (sustainable
development). Mengingat pentingnya pengelolaan lingkungan hidup dan dampak lingkungan seperti tertuang
pada pasal 4 ayat (1) UUD 1945, UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah,
UU Nomor 4 Tahun 1982, dan PP Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan,
maka dibentuklah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (BAPEDAL) dengan tugas pokok membantu
Presiden dalam melaksanakan pengendalian dampak lingkungan hidup yang meliputi upaya pencegahan
kerusakan, penanggulangan dampak serta pemulihan kualitas lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

BAPEDAL
Dalam menganalisis dampak lingkungan perlu dibedakan dua hal. Pertama adalah Analisis Mengenai

80
Dampak Lingkungan (AMDAL), yaitu hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan
terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan. Yang kedua, Analisis
Dampak Lingkungan (ANDAL) sebagai telaahan secara cermat dan mendalam tentang dampak penting suatu
kegiatan yang direncanakan. Dampak Penting, merupakan perubahan lingkungan yang sangat mendasar
yang diakibatkan oleh suatu kegiatan.
AMDAL perlu didukung oleh tiga telaahan. Pertama, Penyajian lnformasi Lingkungan (PIL) yang
merupakan telaahan secara garis besar tentang rencana kegiatan yang akan dilaksanakan, rona lingkungan
tempat kegiatan, kemungkinan timbulnya dampak lingkungan oleh kegiatan tersebut dan rencana tindakan
pengendalian dampak negatifnya. Kedua, Penyajian Evaluasi Lingkungan (PEL) sebagai telaahan secara
garis besar tentang kegiatan yang sedang dilaksanakan, rona lingkungan pada saat penyajian ini dibuat,
dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh kegiatan tersebut, dan rencana tindakan pengendalian dampak
negatifnya. Ketiga, Studi Evaluasi Lingkungan (SEL) berupa telaahan secara cermat dan mendalam tentang
dampak penting suatu kegiatan yang sedang dilaksanakan.
PIL wajib dibuat jika setiap rencana kegiatan yang mempunyai dampak terhadap lingkungan hidup
merupakan (a) pengubahan bentuk lahan dan bentang alam, (b) eksploitasi sumber daya alam baik yang
terbaharui maupun yang tak terbaharui, (c) proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan
pemborosan, kerusakan dan kemerosotan pemanfaatan sumber daya alam, (d) proses dan kegiatan yang
hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan sosial dan budaya, (e) proses dan kegiatan yang hasilnya dapat
mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan atau perlindungan eagar budaya, (f)
introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan dan jasad renik, (g) pembuatan dan penggunaan bahan
hayati dan non-hayati, dan (h) penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk
mempengaruhi lingkungan.
Setiap rencana kegiatan yang disebutkan tadi wajib dilengkapi AMDAL apabila mempunyai dampak
penting terhadap lingkungan hidup yang ditentukan oleh jumlah manusia yang akan terkena dampak, luas
wilayah persebaran dampak, lamanya dampak berlangsung, intensitas dampak, banyaknya komponen
lingkungan lainnya yang akan terkena dampak, sifat kumulatif dampak, dan berbalik tidaknya dampak.
BAPEDAL, suatu badan yang mengendalikan dampak lingkungan hidup dibentuk berdasarkan Keppres
Nomor 23 Tahun 1990 tanggal 5 Juni 1990. BAPEDAL merupakan Lembaga Pemerintah Non Departemen,
seperti LIPI, BPP TEKNOLOGI, BAT AN, BPS, dan lain-lain. Dalam melaksanakan tugas pokoknya, BAPEDAL
menyelenggarakan fungsi-fungsi (a) membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan mengenai pelaksanaan
upaya pengendalian pencemaran lingkungan hidup, (b) melaksanakan upaya pengolahan limbah bahan
berbahaya dan beracun (83), (c) melaksanakan pemantauan dan pengendalian terhadap kegiatan yang
berdampak penting terhadap lingkungan hidup, (d) melaksanakan pengembangan laboratorium rujukan dan
pengolahan data dan informasi mengenai pencemaran lingkungan hidup, (e) melaksanakan peningkatan
partisipasi masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan hidup, dan (f) melaksanakan tugas lain yang
ditetapkan oleh Presiden.
Organisasi BAPEDAL dipimpin oleh Kepala (eselon Ia) yang dibantu oleh Deputi Bidang Pengendalian
Pencemaran Lingkungan (eselon lb-la), Deputi Bidang Pengembangan (eselon lb-la), dan Sekretaris (eselon
lla). Kepala diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri yang bertanggungjawab di bidang
pengelolaan lingkungan hidup, sedangkan Deputi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Kepala
BAPEDAL. Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan menangani pekerjaan di bidang pencegahan
dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup, penegakan olahan limbah bahan berbahaya dan
beracun. Fungsi Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan mencakup (a) pelaksanaan pengendalian
pencemaran air, tanah, udara, laut, dan kebisingan serta pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun,
(b) penegakan dan penerapan baku mutu lingkungan dalam rangka pelaksanaan UU Nomor 4 Tahun 1982,
(c) koordinasi pemulihan kemampuan lingkungan hidup serta pengembangan sistem pengendalian keadaan
darurat pencemaran lingkungan, (d) penyusunan dan penetapan baku mutu limbah untuk setiap jenis
kegiatan dan rencana pengendalian dampak kegiatan skala kecil, (e) penyusunan dan penetapan per-
syaratan pembuangan limbah, termasuk persyaratan bagi kegiatan penghasil limbah bahan berbahaya dan
beracun, pelaksanaan pengawasan pembuangan limbah dan pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan Kepala.

81
Deputi Bidang Pengembangan melaksanakan tugas di bidang pengembangan, pengendalian dan
pemantapan AMDAL, pembinaan teknis kemampuan pengendalian pencemaran, pengembangan laboratorium
rujukan dan pengolahan data serta informasi mengenai pencemaran lingkungan. Dalam melaksanakan
tugasnya, Deputi Bidang Pengembangan menyelenggarakan fungsi (a) pelaksanaan pengembangan sistem
dan penerapan AMDAL, (b) pemantauan pelaksanaan AMDAL dan pembuatan evaluasi mengenai dampak
penting kegiatan di berbagai bidang dan perubahan kualitas lingkungan, (c) persiapan keputusan persetujuan
terhadap kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, (d) pelaksanaan pembinaan teknis
kemampuan pengendalian pencemaran lingkungan hidup dan pemantauan pencemaran lingkungan hidup, (e)
pengembangan laboratorium rujukan dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan hidup, (f) pelaksanaan
pengumpulan dan pengolahan data dan informasi mengenai pencemaran lingkungan hidup, dan (g) pelaksanaan
tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala.
Dua Deputi tersebut masing-masing mempunyai tiga Direktorat. Deputi Bidang Pengendalian
Pengendalian Pencemaran Lingkungan membawahi Direktorat-direktorat (1) Pengendalian Pencemaran Air
dan Tanah, (2) Pengendalian Pencemaran Laut dan Udara, dan (3) Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun. Deputi Bidang Pengembangan membawahi Direktorat-direktorat (1) Pengembangan Pengendalian
dan Pemantauan AMDAL, (2) Pembinaan Teknis, dan (3) Pengembangan Laboratorium Rujukan dan
Pengolahan Data.
Pelaksanaan sebagian tugas penanggulangan pencemaran lingkungan hidup di Daerah dilaksanakan
oleh Pemda dengan bimbingan BAPEDAL. Kepanjangan organisasi BAPEDAL direncanakan sampai ke
propinsi dan kabupaten/kotamadya, pelaksanaan tugas berdasarkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi
baik dalam lingkup BAPEDAL sendiri maupun dalam hubungan antar lnstansi Pemerintah untuk kesatuan
gerak sesuai dengan tugasnya.

Harapan
Tujuh Kepmen KLH mendukung pelaksanaan tugas-tugas BAPEDAL, yaitu Kepmen KLH Nomor 49
Tahun 1987 tentang pedoman Penentuan Dampak Penting, Kepmen KLH Nomor 50 Tahun 1987 tentang
Pedoman Penentuan Dampak Lingkungan, Kepmen KLH Nomor 51 Tahun 1987 tentang Pedoman Penyusunan
Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan, Kepmen KLH Nomor 52 Tahun 1987 tentang Batas Waktu
Penyusunan Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan, Kepmen KLH Nomor 53 Tahun 1987 tentang Pedoman
Susunan Keanggotaan dan Tata Kerja Komisi, Surat Edaran Menteri Negara KLH Nomor 3 Tahun 1987
tentang Prosedur Penanggulangan Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup, dan Kepmen KLH
Nomor 2 Tahun 1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan.
Mendagri dalam Keputusannya Nomor 8 Tahun 1988 menetapkan Pedoman Teknis Tata Cara Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Bagi Proyek-proyek PMA dan PMDN, Menteri Perindustrian menetapkan tiga
keputusan, yaitu Nomor 148 Tahun 1985 tentang Pengamanan Bahan Beracun dan Berbahaya di Perusahaan
lndustri, Nomor 20 Tahun 1986 tentang Lingkup Tugas Departemen Perindustrian Dalam Pengendalian
Pencemaran lndustri Terhadap Lingkungan Hidup, dan Nomor 135 Tahun 1988 tentang Pembentukan Komisi
Pusat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Departemen Perindustrian. Menteri Pertambangan dan Energi
menetapkan Keputusan Nomor 1158 Tahun 1989 tentang Ketentuan Pelaksanaan AMDAL Dalam Usaha
Pertambahan dan Energi dan Nomor 45, sedangkan Menteri PU menetapkan Peraturan Nomor 45 Tahun
1990 tentang Pengendalian Mutu Air Pada Sumber-sumber Air.
Dengan terbentuknya BAPEDAL, segala kegiatan pengendalian dampak lingkungan hidup dilaksanakan
oleh BAPEDAL. Personil BAPEDAL harus kuat, karena banyaknya masalah pencemaran dan perusakan
lingkungan hidup yang harus ditangani. BAPEDAL harus selalu bekerjasama dengan Depdagri, Deperind,
Deppu, Deptamben, Dephut, dan Deptan, serta lnstansi terkait lainnya. Di samping itu yang menyangkut
penegakan hukum, Kepala BAPEDAL harus selalu berkoordinasi dengan Menteri Kehakiman, Jaksa Agung,
dan Kapolri.
Masyarakat mengharapkan agar BAPEDAL berperan dalam mengamankan pelaksanaan sanksi atas ·
pelanggaran perusakan lingkungan hidup. Barang siapa mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup
memikul tangungjawab dengan kewajiban membayar (a) ganti kerugian kepada penderita yang telah

82
dilanggar haknya atas lingkungan yang baik dan sehat, dan (b) biaya pemulihan lingkungan hidup kepada
negara. 8arang siapa melakukan perbuatan yang menyebabkan tercemarnya lingkungan hidup atau rusaknya
lingkungan hid up dian cam pi dana (a) apabila dengan sengaJa, dengan pi dana penjara selama-lamanya 10
(sepuluh) tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 100 juta, dan (b) apabila karen a kelalaiannya,
dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 1 juta.
Dalam menangani kerusakan lingkungan akibat industri, 8APEDAL harus selalu bekerjasama dengan
Deperind dalam upaya penanganan bahan beracun dan berbahaya (bahan beracun, peledak, mudah
terbakar, oksidator atau reduktor, gas bertekanan, bahan korosi!iritasi, dan bahan radioaktif) dan pengendalian
(pencegahan dan penanggulangan) pencemaran industri yang menimbulkan dampak kurang penting (wajib
PIL) dan industri yang menimbulkan dampak penting (wajib ANDAL, misalnya industri pellet besi baja, ingot
kuningan, pulp, semen, olefin, aromatik, dan pupuk kimia).
Sesuai tugas pokok dan fungsinya, 8APEDAL perlu didukung oleh lnstansi terkait, Swasta dan
masyarakat, untuk bersama-sama berusaha mencegah kerusakan lingkungan, memantau dan menanggulangi
dampak serta memulihkan kualitas lingkungan, berupaya mengelola limbah 83, mengembangkan laboratorium,
memantau Pemda dalam program Prokasih dan Udara 8ersih, serta kota bersih, menyongsong tahun 2000,
8APEDAL diharapkan turut mengamankan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
melalui pengelolaan total (total management) pelaksanaan pengendalian dampak lingkungan hidup. Sejalan
dengan itu pulalah, Peraturan Pemerintah tentang 83 diharapkan cepat ditetapkan.
Jayakarta, 11 Juni 1991

Pembangunan Berkelanjutan dan Berwawasan


Lingkungan

Dalam Seminar Pola Pembangunan 8erkelanjutan dan 8erwawasan Lingkungan yang diselenggarakan
di Jakarta, 3 Agustus 1993, oleh Yayasan Mitra Teknologi Indonesia, Sarwono Kusumaatmadja (1993)
menegaskan bahwa penerapan sain dan teknologi (iptek) dan segala usaha untuk meningkatkan produksi
dan pendapatan per kapita serta memperbaiki infrastruktur, perlu dilakukan secara serasi dan terpadu dengan
proses perubahan sosial budaya masyarakat, sehingga membuka kemungkinan tercapainya pemerataan
pendapatan (equitability), mengecilnya perbedaan (disparity) antara desa-kota, kaya-miskin, pria-wanita,
menjamin kemantapan (stability) dan keberlanjutan (sustainability) yang kesemuanya merupakan prinsip-prinsip
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (sustainable ecodevelopment).
Sejalan dengan itu, diharapkan dapat berkembang suatu pola pembangunan yang menggunakan
teknologi yang bersifat preventif dan bukan semata-mata teknologi end-of pipe treatment bel aka, yang mampu
memanfaatkan sumberdaya secara berkelanjutan, serta tidak merusak fungsi-fungsi lingkungan. Kebijaksanaan
dan penerapan iptek perlu diupayakan agar melindungi basis sumberdaya sekaligus meningkatkan produktivitas
dan kualitas hidup masyarakat, antara lain dalam pengelolaan tata guna lahan dan tata ruang, pengelolaan
air, agro ekoteknologi, agroforestry, bioteknologi, teknologi pascapanen, dan teknologi bersih.

Berwawasan Lingkungan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup mendefinisikan pengertian pembangunan berwawasan lingkungan sebagai upaya sadar dan berencana
menggunakan dan mengelola sumberdaya secara bijaksana (senantiasa memperhitungkan dampak kegiatan
tersebut terhadap lingkungan serta kemampuan sumberdaya untuk menopang pembangunan secara
berkesinambungan) dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup. Mengacu
pada The World Commission on Environment and Development, pembangunan industri berwawasan lingkungan
adalah proses pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi masa sekarang tanpa

83
mengesampingkan dan atau mengorbankan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya.
Berdasarkan batasan ini, UNIDO mengusulkan pembangunan industri yang berwawasan lingkungan
(ecologically sustainable industrial development, ESID) yang sering ditekankan sebagai Ecologically Sound
and Sustainable Industrial Development, ESSID sebagai Those patterns of industrialization that enhance
economic and social benefits for present and future generation without impairing basic ecological processes.
Menteri Perindustrian Tungky Ariwibowo mengatakan bahwa atas dasar definisi tersebut, maka
pembangunan industri berwawasan lingkungan harus memenuhi tiga kriteria. Pertama, dapat melindungi biosfir,
ini menyangkut pemeliharaan kualitas lingkungan hidup fisik untuk kehidupan yang sehat dan nyaman,
terutama cuaca, udara, daya dukung sistem sumberdaya serap maupun daya assimilasi sistem lingkungan
udara, air dan tanah terhadap pencemaran emisi maupun limbah. Kedua, harus mampu mendayagunakan
seefisien mungkin modal buatan dan modal alam (man made and natural capital). Penerapan prinsip ini dalam
kegiatan industri biasanya dijabarkan dalam penggunaan teknologi yang efisien, yaitu yang minimum dalam
pemakaian input (bahan baku, energi, dan sebagainya) per satuan output atau memaksimumkan output per
satuan input.
Ketiga, harus menerapkan prinsip adil atau pemerataan (equity) yang mencakup pengertian keadilan
dalam memikul beban, yaitu (a) keadilan dapat menikmati kesejahteraan dari hasil pembangunan antara
negara-negara industri maju yang telah banyak mengambil manfaat dari eksploitasi sumber alam di bumi dan
telah banyak membebani lingkungan biosfir dibandingkan dengan negara-negara berkembang, dan (b)
keadilan antar generasi umat manusia dan makhluk hidup lain dalam memanfaatkan sumberdaya alam.
Dalam konteks pembangunan industri, mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984, dianut
pengembangan industri berwawasan lingkungan, termasuk di dalamnya pembangunan kawasan industri
berwawasan lingkungan, yang mengandung makna dipeliharanya fungsi dan keseimbangan ekologi agar
kegiatan pembangunan dapat berkelanjutan tanpa menimbulkan gangguan, korban, kerugian dan kerusakan
terhadap lingkungan hayati dan non-hayati, terutama akibat pencemaran.
Menteri Kehutanan, Djamaludin mengutip hasil United Nations Conference on Human Environment di
Stockholm tahun 1972, yang menyatakan bahwa selain pengelolaan hutan yang tidak bijaksana, maka
kemiskinan dan kebodohan juga merupakan penyebab permasalahan lingkungan, dan oleh karena itu
penyebab-penyebab tersebut harus dilenyapkan dari muka bumi. Kemudian pada tahun 1980 dihasilkan
Strategi Konservasi Dunia yang menekankan perlunya keseimbangan antara perlindungan alam, pengawetan
biodiversity, dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Diharapkan tidak ada lagi persepsi
tentang pembangunan merusak lingkungan dan lingkungan menghambat pembangunan.
Dalam melihat hubungan antara pembangunan, kependudukan dan lingkungan, Djamaludin menyarankan
untuk melihat 27 Prinsip Deklarasi Rio sebagai hasil KTT Bumi yang menegaskan pentingnya perwujudan
kemitraan global, yang baru dan adil dengan mewujudkan tingkat kerjasama yang baru dan erat di antara
negara-negara yang merupakan pelaku utama dalam kehidupan dan pengenalan masyarakat dan bangsa-
bangsa, antara lain manusia yang merupakan perhatian utama pembangunan berkelanjutan, kedaulatan
memanfaatkan sumber alam di negeri sendiri dan tidak menyebabkan kerusakan di negara lain, kerjasama
dalam menghilangkan kemiskinan, kebijaksanaan di bidang demografi, penanganan masalah lingkungan
hendaknya mengikutsertakan semua pihak dan anggota masyarakat, tidak boleh melakukan diskriminatif
dalam perdagangan internasional. Amdal sebagai instrumen nasional, penduduk asli dan anggota masyarakat
serta masyarakat setempat mempunyai peranan penting dalam pengelolaan lingkungan, dan yang tidak kalah
pentingnya, negara dan anggota masyarakat dengan niat baik dan berdasarkan semangat kemitraan
bersama, dapat bekerjasama dalam mewujudkan dan melaksanakan pengelolaan lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan berwawasan lingkungan.
Pengelolaan hutan dan lingkungan hidup tidak hanya memberi manfaat ekonomi, lapangan kerja dan
menghasilkan devisa, tetapi menjadi harapan dan amanat meningkatnya kesadaran akan pentingnya
konservasi dan keanekaragaman hayati, meningkatnya kepedulian sosial, peran serta masyarakat luas dan
peran serta Pemda, serta meningkatnya manfaat dan kesejahteraan kepada lebih banyak pihak, lebih merata,
lebih memperhatikan usaha kecil dan lebih menyebar ke seluruh wilayah tanah air.
Adapun arah kebijaksanaan pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan adalah

84
meningkatnya kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang bertumpu pada Trilogi Pembangunan.
potensi sumberdaya nasional yang diarahkan menjadi kekuatan ekonomi, perlu diberikan perhatian pada
usaha kecil dan tradisional serta golongan ekonomi lemah, sumberdaya alam harus dijaga agar kemampuannya
untuk memperbaharui diri selalu terpelihara, pemerataan pembangunan di seluruh wilayah tanah air, dan
pembangunan iptek yang diarahkan agar pemanfaatan, pengembangan dan penguasaannya dapat
mempercepat peningkatan kecerdasan dan kemampuan bangsa, mempercepat proses pembaharuan.
meningkatkan produktivitas dan efisiensi, memperluas lapangan kerja, meningkatkan kualitas, harkat dan
martabat bangsa, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Partisipasi Masyarakat
Rosyid Hariyadi, Ketua Panitia Penyelenggara Seminar Nasional Pola Pembangunan Berwawasan
Lingkungan mengatakan bahwa pembangunan lingkungan hidup diarahkan pada terwujudnya kelestarian
fungsi lingkungan hidup dalam keseimbangan dan keserasian yang dinamis dengan perkembangan
kependudukan, agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pakar lingkungan, Otto
Soemarwoto, menyarankan pentingnya pertimbangan daya dukung dalam pembangunan nasional. Untuk itu,
diperlukan penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan.
Wiranto Arismunandar (1993), sebagai Rektor ITB dan Pengelola Yayasan Mitra Teknologi Indonesia,
menegaskan pentingnya pendidikan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. lptek yang berkembang
dengan pesat, haruslah bermanfaat dan meningkatkan kesejahteraan umat manusia. Manusia dan mesin
harus berfungsi serta dijalankan dan dirawat dengan baik, sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang
berlaku. Manusia harus ramah pada lingkungannya supaya lingkungan dapat menjamin kebutuhan hidupnya.
Manusia juga dapat membuat supaya lingkungan dapat menunjang keperluan hidupnya, sebaliknya teknologi
juga dapat dimanfaatkan untuk menciptakan lingkungan (buatan) yang memberikan rasa senang, aman dan
tenteram serta unsur lain yang memungkinkan tumbuhnya kreativitas, meningkatkan mutu dan produktivitas,
menghilangkan ketegangan, dan menciptakan suasana santai.
Wiranto Arismunandar juga menyodorkan beberapa kunci yang baik untuk digunakan sebagai pedoman
keselamatan lingkungan hidup yang mempunyai sifat langgeng, antara lain he mat dan sederhana, pembangunan
berkelanjutan, mutu, ramah dan mencintai, bersih dan tidak mengotori, disiplin, menaati peraturan dan
prosedur, hidup sehat dan kreatif, efektif, efisien dan ekonomis, asas manfaat tanpa kemubaziran, zero waste.
zero defect, dan zero accident. Pencemaran lingkungan harus dapat diatasi dan dicegah, antara lain melalui
pemilihan bahan dan proses, instalasi serta instrumentasi serta sistem kontrol, operasi dan perawatan yang
tepat, keamanan, dan kehandalan manusia yang bersangkutan. Penanggulangan pencemaran lingkungan
hendaknya sekaligus dapat memanfaatkan dan mendaur ulang barang bekas atau buangan.
Dengan asas manfaat, industri akan menuju proses tanpa buangan (zero waste). Buangan dikurangi
atau diperkecil tetapi tidak mengotori lingkungan atau boleh dibuang (disposable), tidak merusak lingkungan.
Yang kita inginkan adalah teknologi baru yang dibuat recyclable, bioegradible, dan dispocable. Teknologi
hendaknya dimanfaatkan untuk menciptakan lingkungan (buatan) yang memberikan rasa senang, aman dan
tenteram serta unsur lain yang memungkinkan tumbuhnya kreativitas, meningkatkan mutu dan produktivitas.
menghilangkan ketegangan, dan menciptakan suasana yang santai.
Pembangunan berwawasan lingkungan menurut Rosyid Hariyadi (1993) memerlukan tatanan agar
sumberdaya alam dapat secara berlanjut menunjang pembangunan, pada masa kini dan mendatang,
generasi demi generasi dan khususnya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Prinsip
pembangunan berkelanjutan mencakup pemikiran aspek lingkungan hidup sedini mungkin dan pada setiap
tahapan pembangunan, pengelolaan sumberdaya alam sebijaksana mungkin, pembangunan yang
memperhitungkan daya dukung lingkungan, dan pembangunan di bawah nilai ambang batas.
Menyongsong masa depan, Herman Haeruman (1993) mengingatkan banyaknya tantangan yang
meliputi permasalahan lingkungan hidup perkotaan (pemakaian energi yang berlebihan, penumpukan limbah
kota, kesemrawutan angkutan kota, perumahan dan permukiman yang tidak teratur) dan permasalahan di
pedesaan (kerusakan sumberdaya alam). Diperlukan upaya komprehensif yang memadukan penggunaan
instrumen regulasi, efisiensi pembangunan dalam mengurangi kerusakan ekosistem, adanya peraturan yang

85
efektif dan dilaksanakan, manfaat gerakan lingkungan hidup dan forum lingkungan hidup, tersedianya
informasi lingkungan yang memadai, serta tumbuhnya kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam
menangani berbagai permasalahan.
Angkatan Bersenjata, 5 Januari 1994

Mengintegrasikan Lingkungan Hidup Dalam


Pembangunan Nasional

lndustrialisasi dan lntegrasi Lingkungan Hidup dalam PJP II dan Pelita VI merupakan salah satu topik
bahasan dalam Seminar Ekonomi Menyongsong Pelaksanaan PJP II yang diselenggarakan oleh Suara
Pembaruan di Jakarta pada tanggal 18-19 Januari 1994. Masalah industrialisasi dibahas oleh Menko lndag
Hartarto, sedangkan masalah lingkungan hidup dikupas oleh Menneg LH Sarwono Kusumaatmadja. Tulisan
ini berusaha mengangkat butir-butir penting yang telah dilontarkan oleh dua orang pakar, bidang industri dan
lingkungan.
lndustrialisasi
Menurut Hartarto, tinggal landas adalah saat yang kritis, karena jika berhasil maka bangsa Indonesia
akan dapat mencapai kemajuan yang pesat, namun kalau gagal, kita akan menghadapi kesulitan yang
berkepanjangan. Berkat prestasi di bidang industri yang telah dicapai pada Pelita V, maka menyongsong
Pelita VI, industri sudah siap tinggal landas untuk menjadi penggerak utama pembangunan. Produk-produk
manufaktur Indonesia telah semakin didorong daya saingnya tidak saja pada keunggulan komparatif,
melainkan lebih pada keunggulan kompetitif baik di pasar dalam negeri maupun pasar global.
Penciptaan iklim usaha yang kondusif ditempuh melalui rangkaian langkah-langkah deregulasi dan
debirokratisasi yang dilaksanakan secara dinamis mencakup kebijaksanaan fiskal, moneter dan perbankan,
kepabeanan dan tata niaga, tata ruang, perijiinan dalam arti luas, dan standarisasi. Pengembangan ekspor
non-migas sebagai penggerak utama pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan momentum yang tepat,
yaitu memanfaatkan hasil putaran Uruguay, secara kontinu mendorong deregulasi sehingga daya saing
semakin kuat, mengembangkan industri yang berdaya saing kuat dengan memanfaatkan teknologi yang tepat
(industri yang mengolah sumber daya alam dengan peningkatan nilai tambah, industri yang memanfaatkan
sumber daya manusia, gabungan industri keduanya dan industri yang memanfaatkan dukungan teknologi
canggih, antara lain mesin-mesin elektronika, alat angkut, pabrik secara utuh dan lain-lain), serta mendorong
tumbuh dan berkembangnya Indonesia sebagai trading nation.
Di samping mendorong ekspor non-migas juga dikembangkan upaya penting dan strategis berupa
pengembangan usaha kecil dan koperasi, pengembangan industri barang modal dan industri hulu,
pengembangan kemampuan penguasaan teknologi dalam arti luas (rancang bangun, perekayasaan industri,
dan litbang terapan) dan pengembangan sumber daya manusia. Dengan laju pertumbuhannya yang tinggi,
peranan industri pada PDB pada Pel ita V mencapai 21% dan diharapkan pada akhir Pel ita VI mencapai 25%
serta peranan ekspornya sangat dominan. Kondisi ini memperlihatkan industri telah siap tinggal landas,
menjadi penggerak utama pembangunan yang menghela sektor ekonomi lainnya dan pada gilirannya
berdampak luas pada pembangunan nasional pada umumnya.
Lingkungan hidup
Menurut Sarwono, kondisi dan kecenderungan lingkungan saat ini mengarah pada tiga kesimpulan
dasar. Pertama, pertumbuhan dan pembangunan masa depan, termasuk proses industrialisasi akan sangat
bergantung kepada cadangan sumber daya alam utama Indonesia (tanah, air dan energi) dan keberlanjutan
tatanan lingkungan yang strategis (termasuk sumber air tanah di daerah perkotaan dan ekosistem pantai dan
lautan). Kedua, pertumbuhan sektor industri akan terus berlanjut terkonsentrasi di daerah perkotaan,

86
khususnya di Pulau Jawa. Jika kurang hati-hati melakukan pengawasan, maka pencernaran industri sulit
dicegah, kemacetan lalulintas hampir merata, efisiensi dan efektivitas pengelolaaan perkotaan rendah,
investasi asing sulit ditingkatkan dan ketimpangan antar daerah sulit dihindari. Ketiga, akibat dari pertumbuhan
ekonomi yang cepat, konflik pada penggunaan tanah dan akses pada sumber daya lainnya akan terus
meningkat dibarengi dengan meningkatnya jumlah masyarakat yang terkena pencemaran lingkungan,
sehingga mempengaruhi upaya peningkatan kualitas hidupnya.
Sebagai obat dari penyakit ini, maka perencanaan pembangunan jangka panjang dan perencanaan
program Pelita VI serta pelaksanaan tahunannya haruslah dilandasi oleh konsep Pembangunan Berkelanjutan
Yang Berwawasan Lingkungan (PBBL) yang bertumpu pada kondisi sumber daya alam, kualitas lingkungan
dan faktor kependudukan. PBBL menurut Soeriaatmadja, mempunyai ciri pertumbuhan ekonomi yang
mempunyai pembangkitan (penduduk yang masih miskin perlu disentuh), pertumbuhan ekonomi yang menuju
perubahan kualitas pertumbuhan, pemenuhan kebutuhan dasar akan lapangan kerja, air (sumber daya).
pangan, energi, dan kesehatan lingkungan, pelestarian dan pendayagunaan sumber alam, energ1 berkelanjutan,
dan daya serap biosfera, pendayagunaan iptek yang mampu mengelola dan mengendalikan resiko, dan
keterpaduan pertimbangan ekonomi dan ekologi dalam proses pengambilan keputusan.
Soeriaatmadja juga menyodorkan asas PBBL, yaitu keterkaitan dan ketergantungan antara manusia
dan lingkungan serta sumber daya alam di dalamnya menuntut perlunya keserasian dan keselarasan dalam
pendayagunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, kemitraan global dan nasional diperlukan untuk
mendorong PBBL atas dasar kepentingan bersama, diperlukan perubahan gaya hidup, pola konsumsi dan
pola produksi untuk menjamin kehidupan berkelanjutan, diperlukan pembinaan sistem kelembagaan untuk
keberhasilan PBBL, dan produk hijau adalah tujuan industrialisasi PBBL.
lntegrasi Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Nasional menurut pemikiran Sarwono adalah upaya
melibatkan delapan unsur dan melaksanakannya dalam pembangunan nasional, yaitu pengembangan tata
ruang, penetapan baku mutu lingkungan dan baku mutu limbah, analisis mengenai dampak lingkungan,
pengendalian pencemaran lingkungan, rehabilitasi dan reklamasi lingkungan, konservasi sumber daya hayati
melalui pendekatan ekonomi, peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan pendekatan
ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hid up (menginternalkan eksternalitas, retribusi untuk biaya sosial,
peratuan pemerintah tentang kualitas, mengeliminasikan distorsi harga, serta analisis manfaat dan biaya).
Pengembangan tata ruang mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang yang
ditindaklanjuti oleh Keppres Nomor 75 Tahun 1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional
yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) yang dipimpin oleh Menneg PPN/
Ketua Bappenas, Ginanjar Kartasasmita. Keppres Nomor 75 Tahun 1993 ini merupakan pembaruan
(penyempurnaan) dari Keppres Nomor 57 tahun 1989 tentang Tim Tata Ruang Nasional. Hirarki rencana tata
ruang terdiri atas Strategi Nasional Pembangunan Tata Ruang (SNPPTR), Rencana Struktur Ruang Propinsi
(RSTRP) dan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten/Kota/Wilayah (RUTRK/W), masing-masing berdimensi
waktu 25, 15 dan 10 tahun.
Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan (batas atau kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan
pencemar terdapat dalam media lingkungan sehingga dapat tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya)
dan baku mutu limbah (cair, bahan beracun dan berbahaya, B3) ditetapkan melalui PP. Keppres, atau
Kepgub, dimaksudkan untuk mengindari pencemaran dalam upaya pelestarian lingkungan untuk rnendukung
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. AMDAL yang diatur melalui PP nomor 51 Tahun
1993 (pengganti PP Nomor 29 Tahun 1986), memuat ketentuan analisis mengenai dampak lingkungan
kegiatan terpadu/multisektor, analisis mengenai dampak lingkungan kawasan, analisis mengenai dampak
lingkungan regional. AMDAL, adalah hasil studi mengenai dampak penting suatu usaha atau kegiatan yang
direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.
Baku mutu limbah ditetapkan dalam upaya pengendalian pencemaran dan industri yang membuang
limbahnya ke media lingkungan harus di bawah baku mutu limbah yang telah ditetapkan. Penanggulangan
pencemaran air, udara dan tanah mengutamakan penanggulangan bahan beracun dan berbahaya agar
limbah dapat dikendalikan dan tidak membahayakan masyarakat serta penanggulangan limbah padat
terutama di kota-kota agar tidak mengganggu kesehatan lingkungan. Sarwono menegaskan bahwa upaya
pengendalian pencemaran lingkungan diikuti oleh pentaatan (complience. upaya agar ketetapan tentang baku

87
mutu lingkungan, baku mutu limbah dan pengendalian pencemaran dilaksanakan) dan melakukan audit
lingkungan bagi kegiatan pembangunan yang dianggap melanggar ketentuan baku mutu lingkungan dan baku
mutu limbah.
Oi samping penataan ruang yang merupakan kebijaksanaan proaktif, dianut kebijaksanaan reaktif
berupa rehabilitasi dan reklamasi, yaitu pengendalian setelah timbul pencemaran lingkungan, antara lain
program reboisasi, Adipura (dengan lambang-lambang kota Teguh Beriman, Bersinar, Berseri dan sebagainya),
program kali bersih, program langit biru, program sinar bersih laut (Sibelut) dan program daur ulang Indonesia
(Peduli). Konservasi sumber daya alam yang hidup (tumbuhan, binatang dan mikro-organisme, serta unsur-
unsur non hayati dari lingkungan yang menjadi sandarannya), sangat penting bagi pembangunan. Taman
nasional, reboisasi, konservasi alam, penataan hutan tropik, merupakan upaya-upaya dalam mewujudkan
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Peran serta masyarakat dalam konservasi sangat diperlukan. Pembagian tugas dan tanggungjawab
kepada berbagai instansi dan institusi, sistem manajemen sumber daya alam berbasis komunitas, pengelolaan
lingkungan bertumpu pada masyarakat, serta koordinasi antar instansi dan institusi, akan mendukung
keberhasilan upaya pelestarian lingkungan. Peran serta masyarakat dibutuhkan tidak hanya untuk konservasi,
tetapi lebih luas lagi, peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Di samping peran serta
masyarakat, sangat diperlukan ditumbuhkembangkannya kemitraan (pemerintah, swasta dan masyarakat)
dalam pengelolaan lingkungan. Peraturan Pemerintah tentang peran serta masyarakat, sebagai tindak lanjut
UU Penataan Ruang, diharapkan dapat secara jelas dan tegas bentuk-bentuk peran serta masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan.
Berdasarkan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hidup, maka diupayakan
pendayagunaan sumber daya, diberikan perhatian terhadap mekanisme pasar, diupayakan pencegahan
eksploitasi, penekanan ongkos dan biaya pengelolaan lingkungan, efisiensi dan efektivitas organisasi, dalam
rangka pengelolaan mutu lingkungan (environmental quality management). Langkah-langkah yang ditempuh
antara lain menginternalkan externality (memasukkan biaya yang timbul untuk memperkecil dampak lingkungan),
retribusi untuk biaya sosial (retribusi limbah, retribusi sampah), Peraturan Pemerintah tentang kuantitas
(pelepasan limbah, ekstraksi sumber daya alam), mengeliminasikan distorsi harga (penetapan kebijaksanaan
yang mempertimbangkan aspek lingkungan hidup), serta analisis manfaat dan biaya (benefit cost analysis,
pada tingkat proyek, sektoral, regional, dan nasional).

Berwawasan Lingkungan
Keberhasilan pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam akan menjadi kunci untuk terpenuhinya
harkat hidup seluruh masyarakat dan pelestarian kualitas lingkungan sangat ditentukan oleh pelestarian
kualitas tata air, tata udara, serta ketersediaan kebutuhan dasar, meliputi pelestarian kawasan fungsi lindung,
pelestarian hutan tropis atau keberadaan tegakan pohon (canopy), pelestarian hutan bakau, dan usaha
swasembada pangan (Surna T. Djajadiningrat, 1992) serta penataan kawasan lahan pertanian, hubungan
struktural pola tata ruang perkotaan dan pedesaan, perwilayahan pembangunan sarana dan prasarana. Hal-
hal yang perlu diperhatikan antara lain kepekaan masyarakat terhadap aspek lingkungan fisik dan lingkungan
sosial, lemahnya gerakan yang memihak pada kepentingan masyarakat, dan lemahnya fungsi pengawasan.
Strategi pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi dalam pembangunan nasional memperhatikan
elemen-elemen lingkungan alam dan lingkungan buatan, pemantauan lingkungan hidup (berdasarkan indikator,
kriteria, dan daya dukung lingkungan), persepsi dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan,
pelanggaran (menghambat pembangunan, melampaui batas toleransi, dan timbulnya bencana), baku mutu
lingkungan hidup dan hukum lingkungan. Bertolak dari kenyataan bahwa pembangunan ekonomi telah
menimbulkan perubahan secara dinamis terhadap hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan
(perubahan alami dan perubahan antropogenik), Soeriaatmadja menekankan pentingnya dinamika
pembangunan ekonomi yang menuntut pembangunan ekonomi berimbang, pemenuhan kebutuhan pokok
dan peningkatan kualitas hidup, dan pemerataan, sebagai upaya perwujudan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan (pasca KTT Bumi Rio de Janeiro 1992).
Pakar LSM, M.S. Zulkarnaen (Direktur Eksekutif Walhi) mengingatkan pentingnya kekuatan rakyat dan
daya dukung lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan. Menurut pandangannya, pembangunan

88
berkelanjutan memuat tiga aspek demokrasi (politik, budaya, dan ekonomi) dan dua aspek etika (ekologi dan
kemanusiaan). Dalam konteks ini, pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan harus dilandaskan
pada gagasan lokal (karakter demokrasi dan etika harus sesuai dengan kondisi lokal), gagasan sesuai
dengan sumber daya alam yang tersedia baik kualitas dan kuantitas (sifat daur ulang) dan gagasan
merupakan karya sumber daya manusia pada tingkat lokal dan sesuai dengan sumber daya alamnya
(pemanfaatan sumber daya lokal).
Angkatan Bersenjata, 25 Maret 1994

Teknologi Berwawasan Lingkungan, Antara Arif


Lingkungan dan Mendukung Pembangunan
Berkelanjutan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup menyebutkan bahwa pengelolaan hidup berasaskan (Pasal 3) pelestarian kemampuan lingkungan
yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan
kesejahteraan manusia. Tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah tercapainya keselarasan hubungan
antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan membangun manusia lndoonesia seutuhnya,
terkendalinya pemanfaatan sumberdaya secara bijaksana, terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina
lingkungan hidup, terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang
dan mendatang, dan terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan
kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Selanjutnya ditegaskan pula bahwa pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan
berencana menggunakan dan mengelola sumberdaya secara bijaksana dalam pembangunan yang
berkesinambungan untuk meningkatkan mutu kehidupan. Kemajuan teknologi yang diikuti dengan
perkembangan industri memang menciptakan kenikmatan dan kesejahteraan materiil bagi manusia, tetapi
apabila tidak dikendalikan, dapat menimbulkan pencemaran berupa bahaya, kerugian dan gangguan bagi
manusia. Oleh karena itu penerapan teknologi haruslah arif lingkungan, berwawasan lingkungan dan
mendukung pembangunan berkelanjutan.

Teknologi
Teknologi merupakan kunci pembangunan ekonomi, kunci bagi orang yang bijaksana, permainan bagi
yang kaya, dan mimpi bagi si miskin (Nawas, Sharif: technology is a game for the rich, a dream for the poor.
but a key for the wise, it is the master key for economic development). Hyung Sup Choi (1989) mengatakan
bahwa keterlibatan pemerintah secara aktif dan terus-menerus sangat penting dalam pemanfaatan teknologi,
berpikir teknologis, tidak mengkhayal (Rabindranath Tagore), dan teknologi merupakan kunci yang menjembatani
kesenjangan, menyatukan komitmen bersama untuk menjalankan missi bersama (UN-ESCAP).
Teknologi akan mendorong peningkatan daya pikir manusia, menciptakan lingkungan lebih nyaman,
dan berusaha meningkatkan kualitas hidup manusia. Teknologi membutuhkan fasilitas, prasarana dan sarana
yang memadai, manusia yang trampil, dokumentasi dan informasi yang lengkap dan akurat, serta institusi dan
organisasi yang menunjang. Teknologi merupakan kombinasi dari fasilitas, kemampuan, fakta dan kerangka
kerja. Pemacuan teknologi harus ditunjang oleh perubahan sikap masyarakat yang statis ke pemikiran
intermediaris, aktif dan dinamis, peningkatan sinkronisasi dan koordinasi antara aparat pemerintah, sektor
swasta, konsumen dan profesional dan perlu ada komitmen sebagai landasan berpacu. Tidak kalah
pentingnya adalah perlu komitmen, dukungan administratif, pembiayaan dan peraturan perundang-undangan
pada tingkat nasional.

89
Tiga pilar pembangunan ekonomi saling mendukung, yaitu pendidikan, pengetahuan ilmiah kumulatif
dan penerapan teknologi. Pendidikan dapat meningkatkan ketrampilan, sedangkan pengetahuan dan teknologi
saling bergantung. Menyadari keterbatasan sumberdaya, dana dan ketinggalan dari negara maju, maka
spesialisasi keahlian bangsa Indonesia perlu diprioritaskan dan strategi membuat teknologi beberapa dan
membeli beberapa (make-some-and-by-some), merupakan strategi yang fragmatis untuk menjaga kelangsungan
pembangunan.
Pembangunan yang berorientasi pada teknologi dan lingkungan (technology and environment-based
development) memperhatikan hubungan antara teknologi dengan lingkungan, masyarakat, ilmu pengetahuan,
komponen, pengembangan, seni kepemimpinan, sumber alam, inovasi, strategi, pengkajian, kebijaksanaan,
tepat guna, pemindahan, ramalan dan pengkajian. Agar negara-negara berkembang bisa mengejar ketinggalan
teknologinya dari negara-negara maju, perlu disiapkan instrumentasi yang tepat dan peningkatan sikap
masyarakat dari sikap primitif dan statis ke dinamis.
Pemikiran masyarakat dalam penggunaan teknologi berkembang dari pengumpulan informasi sampai
ke analisis dan sintesis. Teknologi telah diakui sebagai faktor dominan dalam kehidupan masyarakat modern,
membuka kesempatan alternatif mana yang harus diambil oleh manusia, yaitu kelanjutan dari keadaan
sekarang, pengendalian dan perkembangan teknologi, serta pengelolaan pengembangan teknologi. Teknologi
selalu berorientasi praktis dan logis, menyangkut produksi dari bahan baku (know-how), sedangkan ilmu
pengetahuan bersifat fenomena yang menyangkut pengembangan pengetahuan (know-why).
Menu rut UN-ESCAP (1989), komponen teknologi terdiri atas peralatan dan fasilitas produksi (technoware),
ketrampilan dan pengalaman produksi (humanware), informasi dan fakta produksi (inforware), serta persiapan
dan jaringan produksi (orgaware). Tingkat kecanggihan suatu teknologi dapat dilihat antara lain dalam fasilitas
manual atau komputer, pengoperasian dan inovasi, ketersediaan data, serta ketersediaan organisasi
sumberdaya. Proses pembangunan yang berorientasi pada teknologi dan lingkungan, memerlukan penanganan
masalah technoware, humanware, inforware dan orgaware, peningkatan peran lembaga promosi teknologi,
peningkatan efisiensi dan efektivitas, peningkatan jaringan antara unit produksi dengan pengguna, serta
pemanfaatan sumber alam dan sumberdaya manusia.

Arif lingkungan
Teknologi yang arif lingkungan, berwawasan lingkungan, dan mendukung pembangunan berkelanjutan,
adalah teknologi yang tidak menimbulkan dampak negatif lingkungan. Teknologi ini antara lain akan
membatasi atau mengisolasi limbah, menetralisasi limbah dengan penambahan zat kimia tertentu sehingga
tidak membahayakan manusia serta makhluk hidup lainnya, mengubah proses untuk mencegah, mengurangi
volume limbah, menciptakan sistem daur ulang limbah, menggunakan bahan baku maupun bahan tambahan
lainnya yang kurang atau tidak menghasilkan limbah bahan beracun dan berbahaya (83). Untuk mencegah,
mengurangi dan memperbaiki kerusakan serta menanggulangi pemborosan sumber daya alam, dalam
melakukan pengelolaan lingkungan antara lain diupayakan pencegahan erosi dengan sistem terasering atau
penanaman tumbuhan penutup tanah, reklamasi erosi atau konvensi untuk kepentingan pembangunan lain,
dan peningkatan pendayagunaan bahan baku untuk mengurangi pemborosan penggunaan sumberdaya
alam.
Perkembangan industri dan kemajuan teknologi yang semakin meningkat dengan menerapkan proses
teknologi canggih, sering menimbulkan atau menghasilkan limbah bahan beracun dan berbahaya. Menteri
Perindustrian telah mengeluarkan SK Nomor 148/M/SK/4/1985 tentang Pengamanan Bahan Beracun dan
Berbahaya di Perusahaan lndustri. Ada pun 83 ialah bahan yang termasuk dalam salah satu golongan atau
lebih dari bahan-bahan berikut, yaitu bahan beracun, bahan peledak, bahan mudah terbakar atau menyala,
bahan oksidator dan reduktor, bahan yang mudah meledak dan terbakar, gas bertekanan, bahan korosi atau
iritasi, bahan radioaktif (90 jenis), serta bahan beracun dan berbahaya lainnya yang ditetapkan oleh Menteri
Perindustrian.
Untuk menghindari timbulnya dampak negatif akibat dipergunakannya 83 oleh perusahaan industri,
maka perusahaan industri bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pengelolaan 83 mulai dari pengadaan di
pabrik, penyimpanan, pengolahan, pengemasan dan pengangkutan sampai di distributor. Langkah-langkah

90
pengamanan teknis B3 mencakup perencanaan dan pembangunan industri (pemilihan lokasi, pemilihan
teknologi proses dan pemilihan desain serta peralatan) dan tahap operasi industri (pengadaan, penyimpanan,
pengolahan, pengemasan, pengangkutan B3, kearnanan dan keselamatan alat, proses, instalasi, serta
keselamatan dan kesehatan kerja para karyawan perusahaan).
UU Nomor 4 Tahun 1982 perlu dikaitkan dengan UU Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian dan
UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. Penataan perumahan dan permukiman
berlandaskan asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri,
keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup, bertujuan mewujudkan perumahan dan permukiman yang
layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur. Pembangunan perumahan, pembangunan
industri berlandaskan demokrasi ekonomi, kepercayaan pada kemampuan dan kekuatan sendiri, manfaat dan
kelestarian lingkungan hidup, salah satu tujuannya adalah meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat secara adil dan merata dengan memanfaatkan dana, sumberdaya alam dan atau hasil budidaya serta
dengan memperhatikan keseimbangan dan kelestarian lingkungan h1dup. Perusahaan industri berkewajiban
mencegah timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup akibat kegiatan industri yang
dilakukannya. Dalam mengembangkan bidang usaha industri, perusahaan industri menggunakan dan
menciptakan teknologi industri yang tepat guna dengan memanfaatkan perangkat yang tersedia dan telah
dikembangkan di dalam negeri. Jika perangkat teknologi yang diperlukan tidak tersedia, dilakukan pengalihan
atau pemindahan teknologi dari luar negeri.
Emil Salim (1990) menyatakan bahwa dalam menyongsong abad ke-21, proses tranformasi masyarakat
Indonesia dipengaruhi oleh lima perkembangan penting, yaitu kependudukan, teknologi, ekonomi, lingkungan
hidup dan politik. Perkembangan teknologi besar pengaruhnya terhadap perkembangan kehidupan manusia
dan lingkungannya. Pembangunan yang didukung penerapan teknologi arif lingkungan, hendaknya mengacu
pada pola pembangunan berkelanjutan yang memuat wawasan lingkungan dan mencakup keberlanjutan
lingkungan alam (environmental sustainability) maupun keberlanjutan sosial (social sustainability).
Angkatan Bersenjata. 13 Juli 1992

Administrasi Lingkungan Dalam Pengelolaan


Tata Ruang
Peringatan Hari Lingkungan Hidup tanggal 5 Juni 1990 ditandai dengan diterbitkannya buku Kualitas
Lingkungan Hidup di Indonesia 1990 oleh Kantor Menteri Negara KLH. Masalah dan penanggulangan isu
global lingkungan, tanah, air, udara, hutan, pesisir dan lautan, serta administrasi lingkungan menarik untuk
diketahui masyarakat apalagi dalam kaitannya dengan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Administrasi lingkungan menyangkut tata ruang, penataan ruang wilayah, kondisi kualitas tata ruang dan
penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan.

Tata Ruang
Kantor Menteri Negara KLH menegaskan bahwa permasalahan dalam penataan ruang antara lain
keterbatasan tersedianya luas lahan dan ruang, yang relatif tidak bertambah, tidak semua areal lahan dan
atau ruang cocok untuk suatu kegiatan manusia, terjadinya tubrukan dalam penggunaan lahan dan ruang
untuk berbagai keperluan, dan belum adanya pengaturan kelembagaan yang jelas untuk penanganan tata
ruang wilayah yang berwawasan lingkungan (belum lengkapnya perangkat peraturan perundang-undangan
tata ruang dan belum siapnya perangkat pengelolaan penataan ruang).
Penataan ruang yang tidak baik mengakibatkan berbagai dampak negatif seperti kerusakan berbagai
sumber daya alam (kerusakan hutan, pencemaran sumberdaya air, hilangnya plasma nuftah), tidak tertatanya
sumberdaya buatan (menimbulkan pencemaran tanah, udara dan perairan, kemacetan lalu lintas dan

91
bertambah luasnya daerah pemukiman kumuh), konflik penggunaan lahan yang tidak efisien (rusaknya hutan
lindung, tidak terkendalinya harga tanah), dan terhambatnya pembangunan wilayah akibat tidak terkoordinasinya
pembangunan.
Usaha pengelolaan penataan ruang dapat diartikan sebagai upaya pengelolaan lingkungan hidup
secara terpadu dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya alam melalui
peningkatan kualitas lingkungan fisik dan pemanfaatan ruang yang optimal, seimbang, serasi, terpadu dan
berlanjut. Penataan ruang sejauh mungkin memperhatikan usaha perlindungan terhadap proses ekologi dan
pendukung kehidupan, pelestarian keanekaragaman jenis dan plasma nuftah, dan pemanfaatan sumberdaya
alam yang berwawasan lingkungan.
Penataan ruang wilayah mencakup perencanaan tata ruang (penyusunan, penetapann, pengesahan
rencana tata ruag dengan mempertimbangkan aspek waktu, modal, dan optimasi penggunaan bumi, air,
angkasa dan keseimbangan daya dukung lingkungan), pembuatan rencana teknik dan pemanfaatan ruang,
serta pengendalian, pengaturan, pengawasan dan penertiban dalam pemanfaatan ruang. Menurut lsa
Karmisa dkk (1990), kawasan budaya ditujukan bagi kepentingan pemukiman beserta sarana penunjangnya,
pembangunan sektoral dan daerah dan overall revenue macro tingkat nasional, sedangkan kawasan non-
budidaya (mempunyai fungsi konservasi dan preservasi terhadap air, tanah, udara, flora, fauna, dan sejarah)
diperlukan untuk menyelamatkan sumber air, plasma nuftah, penyelamatan iklim dan cuaca, pencegahan
erosi serta perlindungan tumbuhan dan satwa langka.
Pada dasarnya Rencana Tata Ruang terdiri atas tiga tingkat berdasarkan skala cakupan dan
kedalamannya. Pertama, Strategi Pembangunan Pola Tata Ruang (SNPPTR) berupa kebijaksanaan
pengembangan pola tata ruang pada tingkat nasional dengan ruang lingkup kawasan yang harus dilindungi,
kawasan budidaya, dan kawasan industri. SNPPTR disusun oleh instansi pemerintah terkait di bawah
koordinasi Tim Tata Ruang, ditetapkan dengan Keputusan Pemerintah, mengacu pada GBHN dan Repelita.
Kedua, Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi (RSTRP) berupa penataan struktur ruang provinsi meliputi
kawasan yang harus dilindungi, pengembangan kawasan budidaya termasuk kawasan produksi dan pemukiman,
dan jaringan prasarana yang menghubungkan antar kawasan wilayah yang akan diprioritaskan
pengembangannya. RSTRP disusun dengan tingkat ketelitian minimal dalam peta skala 1 : 250.000 bagi
Pemda untuk menyusun program lima tahunan dan tahunan, disusun oleh Pemda Tingkat I dan ditetapkan
melalui Perda.
Ketiga, Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten/Kota/Wilayah (RUTRKIW) berupa penataan struktur
ruang Kabupaten/Kota/Wilayah dengan ruang lingkup kawasan yang harus dilindungi, pengembangan
kawasan budidaya termasuk kawasan produksi dan kawasan pemukiman, pola jaringan prasarana, dan
wilayah yang akan diprioritaskan pengembangannya. RUTRKIW digambarkan dalam peta Kabupaten skala 1
: 100.000 (luar pulau Jawa) dan skala 1 : 10.000 (pulau Jawa), serta peta kota/wilayah skala 1 : 10.000.
RUTRKIW mengacu pada RSTRP dan dijadikan pedoman bagi Pemda dalam menetapkan lokasi,
memanfaatkan ruang dalam program-program dan proyek pembangunan lima tahunan dan tahunan, dan
dasar dalam memberikan perijinan lokasi pembangunan. RUTRKIW disusun oleh Pemda Tingkat II dan
ditetapkan melalui Perda. Dimensi Perencanaan Tata Ruang, SNPPTR (25 tahun), RSTRP (15 tahun), dan
RUTRS/W (10 tahun). Setiap lima tahun sekali atau jika dianggap perlu, Rencana Tata Ruang dievaluasi
untuk mengakomodasikan perkembangan yang terjadi.
Untuk DKI Jakarta misalnya, dikenal adanya RUTR Jabotabek, Pola Dasar Pembangunan Daerah
(skala 1 : 50.000), Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005 (1 : 20.000), Rencana Peruntukan
Tanah/Rencana Bagian Wilayah Kota (1 : 5.000), Rencana Terinci Kota (1 : 1.000), dan Rencana Unsur Kota
Terperinci (1 : 1.000 atau 1 : 5.000).
Pola tata ruang pada dasarnya dibagi dua, yaitu perkotaan dan perdesaan. Pola tata ruang perkotaan
menampung kegiatan perdagangan dan jasa serta pemukiman. lni menggambarkan mobilitas manusia dari
tempat tinggal ke tempat kerjanya, kecenderungan penurunan jumlah penduduk di pusat kegiatan dan
peningkatan kepadatan penduduk di pinggiran kota, semakin berkurangnya lahan pertanian dan lahan
terbuka, dan terciptanya pemanfaatan ruang kota yang sangat kontras (antara gedung tinggi dengan
pemukiman kumuh di belakangnya). Pola tata ruang perdesaan lebih dikaitkan pada konservasi dan
preservasi sumber daya alam serta kelestarian lingkungan.

92
Kriteria pemanfaatan ruang mengklasifikasikan jenis-jenis kawasan lindung dan kawasan budidaya
yang dibedakan atas kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya (kawasan hutan
lindung, bergambut, resapan air), kawasan perlindungan setempat (sepadan pantai, sungai, sekitar danau/
waduk, sekitar mata air), kawasan suaka alam dan eagar budaya (kawasan suaka alam, pantai berhutan
bakau, suaka alam laut dan perairan lainnya, taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam,
eagar budaya dan ilmu pengetahuan), dan kawasan rawan beneana. Jenis-jenis produk reneana tata ruang
yang telah dihasilkan antara lain Reneana Umum Tata Ruang (RUTR), Penyiapan Program lnvestasi
Pembangunan Daerah (PPIPD), Reneana Umum Tata Ruang Perkotaan (RUTRP) dan Reneana Umum Tata
Ruang Kota (RUTRK), Studi Kesatuan Lahan Kota (SKLK), Reneana Detail Tata Ruang (RDTRK), Reneana
Teknik Ruang Kota (RTRK), lndikasi Program Pembangunan Kota (IPPK), Reneana Umum Tata Ruang
Daerah (RUTRD), Reneana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD), dan Reneana Teknik Ruang Daerah
(RTRD).
Penerapan PP Nomor 29 Tahun 1986 tentang AMDAL masih belum optimal. Penyebabnya antara lain
masih terjadinya penyimpangan, peraturan yang kurang operasional, dan kurang berjalannya pengawasan
yang efektif. Pelaksanaan pengolahan lingkungan yang terpadu dengan kebijaksanaan nasional, seeara
sektoral di tingkat Pusat dilakukan oleh Departemen/LPND sesuai bidang tugasnya dan di daerah dilaksanakan
oleh Pemda. Sejalan dengan itu, PP Nomor 29 Tahun 1986 menegaskan pembentukan Komisi AMDAL
Daerah. Pengaturan mengenai AMDAL mengaeu pada Kepmen KLH No. 53/MENKLH/6/1987 yang menonjolkan
pengutamaan peran Bappeda dalam proses pereneanaan pembangunan termasuk AMDAL dan Kepmendagri
Nomor 14 Tahun 1989 yang menambahkan peran Asisten Setwilda yang membawahi BKLH di samping
Bappeda. Keterbatasan tenaga yang bekerja tidak full time karena kebanyakan pinjaman dari universitas,
mengakibatkan Komisi AMDAL kurang berjalan lanear.
Di samping AMDAL, ada ketentuan mengenai kegiatan PIL dan ANDAL (ada kegiatan yang perlu PIL
dan ada yang langsung ANDAL). Pedoman teknis pelaksanaan ANDAL dibuat oleh Departemen Teknis,
sedangkan pedoman umum dapat mengaeu pada Kepmen KLH No. 50/MENKLH/6/87. Harus diakui bahwa
pada saat ini kualitas penyusunan AMDAL pada umumnya masih di bawah standar dan kemampuan Komisi
AMDAL dalam mengevaluasi hasil studi AMDAL juga masih terbatas. Untuk mengatasinya bisa ditempuh
pemberian lisensi (PP No. 29 Tahun 1986) dan meningkatkan kemampuan evaluator melalui pendidikan,
training dan lokakarya.
Menteri Negara KLH juga menetapkan batas waktu pengajuan SEMDAL untuk kegiatan yang
menggunakan bahan berbahaya dan beraeun (83) pada tanggal 5 Juni 1990, tetapi kenyataannya sulit
dilakukan. Penyebabnya antara lain waktu penilaian yang sangat terbatas dan beban kerja Komisi AMDAL
yang melampaui batas. Dalam upaya memprioritaskan kegiatan yang memerlukan SEL, Kantor Menneg KLH
dan Depdagri serta Departemen Teknis menginventarisasikan kegiatan yang ada di daerah. Dalam pemberian
perijinan, seharusnya berdasarkan atas RKL dan RPL, tetapi kenyataannya masih banyak penyimpangan
atas ketentuan yang berlaku. Beberapa daerah memanfaatkan persetujuan AMDAL untuk pemberian ijin
lokasi, tanpa harus memperhatikan RKL dan RPL.

Upaya
Berbagai peraturan perundang-undangan mengenai dampak lingkungan dan penataan ruang wilayah
telah ditetapkan. Pedoman teknis mengenai SNPPTR, RSTRP, RUTR, RUTRD, RUTRP, RUTRK, RUTRW,
RDTRK, dan lain-lain, dimaksudkan untuk menciptakan pembangunan yang berwawasan lingkungan. Persoalan
koordinasi muneul dimana-mana, baik antar Pemda maupun antara Pemda dengan Pemerintah Pusat. Salah
satu penyebab kurang lanearnya koordinasi antara lain tidak tersedianya tenaga ahli yang memadai dan tidak
tersedianya dana. Akibatnya sering terjadi kebijaksanaan di tingkat Pusat yang selalu berlainan atau sulit
dilaksanakan di tingkat Daerah.
Pelaksanaan RUTR Pengendalian Kawasan Puneak sebagai eontoh, banyak sekali hambatannya.
Banyak sekali pelanggaran pembangunan di kawasan Puneak karena berbagai alasan, antara lain kondisi di
lapangan yang sudah jauh berbeda dengan reneana peruntukannya, prosedur yang berbelit-belit, belum
memadainya aparat pengawasan, kurang ketatnya pengawasan, dan sering terjadinya negosiasi perijinan
dengan dalih untuk kepentingan umum.

93
Untuk menekan penyimpangan terhadap PP Nomor 29 Tahun 1986 tentang AMDAL dan penyimpangan
dalam bebagai kegiatan penataan ruang, perlu diwujudkan koordinasi terarah dan terpadu dalam penataan
ruang di tingkat Pusat dan Daerah serta pemantapan sarana/prasarana administrasi lingkungan di tingkat
Daerah. Menyongsong peringatan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 1991, hendaknya upaya penyebarluasan
pembangunan berwawasan lingkungan umumnya dan administrasi lingkungan dalam pengelolaan tata ruang
khususnya, perlu semakin digalakkan.
BAPEDAL sebagai lembaga baru yang mempunyai tugas pokok membantu Presiden dalam
melaksanakan pengendalian dampak lingkungan hidup yang meliputi upaya pencegahan kerusakan,
penanggulangan dampak serta pemulihan kualitas lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, akan sangat diharapkan perannya dalam menata administrasi lingkungan sebagai bagian dari
pembangunan berwawasan lingkungan. Antara lain melalui upaya-upaya perumusan kebijaksanaan
pengendalian perencanaan lingkungan hidup, pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, pemantauan
dan pengendalian terhadap kegiatan yang berdampak panting terhadap lingkungan hidup, pengembangan
laboratorium rujukan, pengolahan data dan informasi pencemaran lingkungan hidup, dan peningkatan
partisipasi masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan hidup.
Angkatan Bersenjata, 5 Juni 1991

Menyorot Pembangunan Berkelanjutan


Saat ini dimana-mana orang mudah mengatakan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan. Kita kenai pembangunan perumahan berkelanjutan dan pembangunan industri berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan, tetapi kenyataannya, masih jauh dari pemenuhan persyaratan berke/anjutan
dan persyaratan berwawasan lingkungan. Mengingat pentingnya motto berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan, maka dalam artikel ini penulis mencoba mengangkat pembangunan berkelanjutan, mengacu
pada pola pikir pakar lingkungan hidup Surna Tjahja (Pilihan kepada pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan, Majalah KP2L, Vol. 5 Maret 1992), Soeriaatmadja (Pembangunan Berkelanjutan
Berwawasan Lingkungan), dan Sarwono Kusumaatmadja (lntegrasi Lingkungan Hidup dalam Pembangunan
Nasional, Jakarta, 18 Januari 1994).

Berkelanjutan
Upaya yang perlu dilaksanakan dalam pembangunan berkelanjutan, meliputi upaya menggiatkan
kembali pertumbuhan, mengubah kualitas pertumbuhan, memenuhi kebutuhan manusia (lapangan kerja,
pangan, energi, air dan sanitasi), mengendalikan jumlah penduduk, menjaga kelestarian dan meningkatkan
sumber daya, mereorientasikan teknologi dan pengelolaan resiko, dan menggabungkan lingkungan dengan
ekonomi dalam proses pengambilan keputusan. Syarat keberhasilan pembangunan berkelanjutan antara lain:
adanya suatu sistem politik yang menjamin partisipasi efektif masyarakat dalam pengambilan keputusan,
suatu sistem ekonomi yang mampu menghasilkan surplus serta pengetahuan teknis berdasarkan kemampuan
sendiri dan bersifat berlanjut, suatu sistem sosial yang memberi penyelesaian bagi ketegangan yang muncul
akibat pembangunan yang tidak selaras, suatu sistem produksi yang menghormati kewajiban untuk melestarikan
ekologi bagi pembangunan, suatu sistem teknologi yang dapat menemukan terus menerus jawaban-jawaban
baru, suatu sistem internasional yang membantu perkembangan hak-hak perdagangan dan hubungan yang
berlanjut, dan suatu sistem administrasi yang luwes dan mempunyai k13mampuan memperbaiki diri.
Jadi pembangunan berkelanjutan adalah sebuah proses pemanfaatan sumberdaya, arah investasi,
orientasi pengembangan teknologi, serta perubahan kelembagaan yang konsisten dengan kebutuhan hari
depan dan hari ini, didukung oleh kemauan politik. Adapun prinsip pembangunan berkelanjutan adalah
pemerataan, partisipasi, keanekaragaman, ~;erta integrasi dan perspektif jangka panjang. Pembangunan
berkelanjutan menjamin partisipasi aktif pelaku pembangunan, baik pernerintah, swasta maupun masyarakat.
Keanekaragaman (diversity) menuntut pemeliharaan secara bijaksana dan berorientasi pada kepentingan
masa depan.

94
Pembangunan berkelanjutan memerlukan pendekatan integratif dan komprehensif, yang memadukan
sistem alam dan sistem sosial, dan harus berperspektif jangka panjang, dengan tujuan mewujudkan
keberlanjutan ekologis, ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Keberlanjutan ekologis diupayakan melalui upaya
memelihara atau mempertahankan integritas tatanan lingkungan (ekosistem) agar produktivitas, adaptabilitas,
dan pemulihan tanah, air, udara dan seluruh kehidupan menggantungkan keberlanjutannya. Untuk memelihara
integrasi tatanan lingkungan, perlu diperhatikan daya dukung lingkungan. daya asimilatif dan berkelanjutan
pemanfaatan sumber daya terpulihkan. Berkelanjutan, perlu diwujudkan dengan bukti memelihara dan
mempertahankan keanekaragaman hayati, antara lain pencegahan pencemaran lingkungan, rehabilitasi dan
pemulihan ekosistem dan sumberdaya alam yang rusak, serta meningkatkan kapasitas produksi dan
ekosistem alam dan binaan manusia.
Keberlanjutan ekonomi, perlu diwujudkan melalui keberlanjutan ekonomi makro, ekonomi sektoral, dan
ekonomi mikro (perusahaan). Keberlanjutan sosial dan budaya menyangkut stabilitas penduduk, memenuhi
kebutuhan dasar manusia (dengan memerangi kemiskinan absolut), mempertahankan keanekaragaman
budaya, serta mendorong partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan. Keberlanjutan politik
perlu diperlihatkan oleh sikap respek terhadap human right, demokrasi, kepastian ekologis, kepastian kesediaan
pangan, air dan permukiman.

Pokok-pokok
Proses pembangunan berkelanjutan (Surna Tjahja, 1994) menegaskan bahwa proses pembangunan
berkelanjutan bertumpu pada tiga faktor, yaitu kondisi sumberdaya alam, kualitas lingkungan dan faktor
kependudukan. Upaya pembangunan berwawasan lingkungan perlu memuat ikhtiar pembangunan yang
memelihara keutuhan fungsi tatanan lingkungan agar sumber daya alam dapat secara berlanjut menopang
proses pembangunan secara terus menerus, generasi demi generasi, meningkatkan kualitas manusia
Indonesia.
Surna Tjahja kembali menegaskan ada sembilan pokok kebijaksanaan yang mendukung pembangunan
secara berkelanjutan. Pertama, pengelolaan sumberdaya alam yang direncanakan sesuai dengan daya dukung
lingkungannya, pembangunan daerah disesuaikan dengan kondisi lingkungan, biogeofisik sosekbud, misalnya
zona industri, zona permukiman, zona perkebunan dan pertanian, melalui rencana tata ruang wilayah yang
ketat. Kedua, penerapan AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), studi kelayakan, studi ANDAL, dan
penyusunan RKL (rencana pengelolaan lingkungan) yang mengendalikan dampak negatif dan meningkatkan
dampak positif.
Ketiga, penanggulangan pencemaran air, udara dan tanah dengan mengutamakan penanggulangan
bahan beracun dan berbahaya agar limbah dapat dikendalikan dan tidak membahayakan masyarakat,
penanggulangan limbah padat terutama di kota-kota besar supaya tidak mengganggu kesehatan lingkungan,
penetapan baku mutu emisi dan efluen, dan pengembangan baku mutu air dan udara. Keempat, pengembangan
keanekaragaman hayati sebagai persyaratan bagi stabilitas tatanan lingkungan, serta kebijaksanaan pengelolaan
hutan tropis dan secara khusus melestarikan habitat flora dan fauna dalam taman nasional, suaka alam,
suaka margasatwa, eagar alam dan lain-lain serta pengelolaan wilayah pesisir dan lautan yang secara khusus
melestarikan keanekaragaman hayati di wilayah pesisir dan lautan.
Kelima, pengendalian kerusakan lingkungan melalui pengelolaan daerah aliran sungai, rehabilitasi dan
reklamasi bekas penambangan dan galian C, dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Keenam,
pengembangan kebijaksanaan ekonomi yang memperhatikan pertimbangan lingkungan, antara lain analisis
ekonomi yang memperhatikan manfaat dan biaya lingkungan, perhitungan pengelolaan sumberdaya alam
sebagai faktor produksi yang memperhatikan segi lingkungan, pengurusan sumberdaya alam (resource
deplection) perlu memperhatikan aspek lingkungan dan memasukkan pertimbangan lingkungan dalam
kebijaksanaan investasi, perpajakan dan perdagangan.
Ketujuh, pengembangan peran serta masyarakat, kelembagaan dan ketenagaan dalam pengelolaan
lingkungan hidup, dengan cara merangsang peranserta masyarakat dalam pengembangan lingkungan
melalui pembinaan kesadaran masyarakat (profesi, hobi dan minat), pengembangan lembaga daerah dan
lembaga Pusat Studi Lingkungan, pembinaan sarana informasi yang menunjang pengelolaan lingkungan.

95
pengembangan pendidikan dan pelatihan serta ketrampilan dalam pengelolaan lingkungan, dan pengembangan
peraturan perundang-undangan. Kedelapan, pengembangan hukum lingkungan yang mendorong peradilan
menyelesaikan sengketa melalui penerapan hukum lingkungan, dan Kesembilan, pengembangan kerjasama
luar negeri.

Pembagian peran
lntegrasi Lingkungan Hidup ke dalam Pembangunan Lingkungan, saran Men-LH Sarwono
Kusumaatmadja dalam Seminar Ekonomi Menyongsong Pelaksanaan PJP II yang diselenggarakan Suara
Pembaruan (18-19 Januari 1994). Dengan memperhatikan kondisi sumber daya alam, kualitas lingkungan,
dan faktor kependudukan, perlu diatur pengembangan tata ruang, penataan ruang wilayah, penetapan baku
mutu lingkungan dan baku mutu limbah, analisis mengenai dampak lingkungan, pengendalian pencemaran
lingkungan, rehabilitasi dan reklamasi lingkungan, peningkatan peranserta masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan, konservasi sumberdaya hayati melalui pendekatan ekonomi dan pendekatan ekonomi dalam
pengelolaan lingkungan hidup (menginternalkan, eksternalitas, retribusi, untuk biaya sosial, peraturan pemerintah
tentang kuantitas, mengetiminasikan distorsi harga, serta analisis manfaat dan biaya). Lima unsur pendekatan
ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hidup ini, menurut Surna Tjahja yang disampaikan dalam Seminar
Lingkungan Hidup di Kampus Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga (27 November 1991 ), perlu
diintegrasikan dalam keberlanjutan pembangunan ekonomi dan sosial yang mensyaratkan adanya tingkat
nilai ambang batas baku mutu lingkungan untuk meningkatkan pengelolaan mutu lingkungan hidup
(environmental quality management).
Soeriaatmadja, pakar lingkungan dari ITB yang menjadi pejabat di Kantor Men-LH, mengemukakan
bahwa pembangunan ekonomi telah menimbulkan perubahan secara dinamis terhadap hubungan timbal balik
manusia dengan lingkungan, perubahan alami dan perubahan antropogenik. Perubahan dinamis ini terdiri
atas perubahan yang terencana dan terancangkan berdasarkan tujuan Jakstra yang sudah digariskan, dan
perbahan yang tak terencana dan tercanangkan, sehingga dapat muncul tak terduga dan mengejutkan. lnilah
yang disebut dampak pembangunan (ekonomi).
Dampak pembangunan ekonomi menimbulkan akibat/konsekuensi ekonomi dan sosial juga, terutama
dampak yang menimbulkan kelangkaan dan kelestarian sumber daya alam dan kemerosotan kualitas dan
kemampuan daya dukung lingkungan. Dampak pembangunan terhadap sumber daya alam dan lingkungan
hidup ini sekarang sudah terjadi dalam: skala global, regional, nasional, fluvial (DAS) dan lokal. Selanjutnya
Soeriaatmadja mengatakan bahwa sebenarnya peringatan terhadap dampak pembangunan pada sumber
daya alam dan lingkungan hidup sudah diluncurkan sejak 25 tahun yang lalu. Pembangunan ekonomi di
Indonesia juga menerima amanat itu, sehingga muncul juga berbagai dinamikanya (konseptual) pembangunan
ekonomi berimbang, pembangunan pemenuhan kebutuhan pokok (Butsarman), pembangunan dan pemerataan,
dan pembangunan dengan peningkatan kualitas hidup, menuju Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan
Lingkugnan (PBBL) yang merupakan Pasca KTI Bumi Rio de Janeiro 1992.
Ada enam ciri PBBL menu rut Soeriaatmadja, yaitu (1) Pertumbuhan ekonomi yang mempunyai
Pembangkitan (Penduduk yang masih miskin perlu disentuh), (2) Pertumbuhan ekonomi yang menuju
perubahan kualitas pertumbuhan, (3) Pemenuhan kebutuhan dasar akan: lapangan kerja, air (sumber daya),
pangan, energi, dan kesehatan lingkungan, (4) Pelestarian dan pendayagunaan sumber daya alam (pelestarian
sumber alam, energi berkelanjutan, dan daya serap biosfera), (5) Pendayagunaan iptek yang mampu
mengelola/mengendalikan risiko, dan (6) Keterpaduan pertimbangan ekonomi dan ekologi dalam proses
pengambilan keputusan.
Adapun asas PBBL adalah (1) Keterkaitan dan ketergantungan an tara man usia dan lingkungan serta
sumber daya alam di dalamnya menuntut perlunya keserasian dan keselarasan dalam pendayagunaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup, (2) Kemitraan global/nasional diperlukan untuk mendorong PBBL
atas dasar kepentingan bersama, (3) Diperlukan perubahan gaya hidup, pola konsumsi dan pola produksi
untuk menjamin kehidupan berkelanjutan, (4) Diperlukan pembinaan sistem kelembagaan untuk keberhasilan
PBBL, dan (5) Produk Hijau adalah tujuan industrialisasi PBBL.
Pembangunan tidak mungkin dilakukan tanpa peranserta semua pihak dalam menangani dua masalah

96
pembangunan sekaligus, yaitu risiko lingkungan yang timbul dari kegiatan, perilaku, ·sikap dan kebiasaan
masyarakat tradisional, dan risiko modern yang tumbuh dari kebiasaan dan cara hidup yang datang bersama
dengan modernisasi. Karena itu salah satu isi UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan
Lingkugnan Hidup yang mengatur hak dan kewajiban masyarakat, perlu diaplikasikan. Setiap orang mempunyai
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Setiap manusia juga berkewajiban memelihara lingkungan
hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemaran, dan lebih jauh lagi, adanya hak dan
kewajiban untuk berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.
Pembangunan adalah proses pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia dengan
memanfaatkan teknologi, secara berkelanjutan, memperhatikan aspek lingkungan hidup, mengutamakan
prinsip-prinsip keberlanjutan ekosistem, ekonomi, sosial budaya, politik dan pertahanan keamanan, untuk
menjaga kelestarian kehidupan generasi masa kini dan masa yang akan datang.
Angkatan Bersenjata, 28 Februari 1994

97
Peremajaan Permukiman Kumuh
(Suatu Studi Kasus Angke, Pulogadung Dan Kampung Sawah)

DKI Jakarta yang pada tahun 1990 penduduknya 8,2 juta jiwa diharapkan pada tahun 2005 tidak
melampaui 12 juta jiwa. Perkiraan Bank Dunia, bahkan lebih dari itu, penduduk Jakarta akan mencapai 16,6
juta, sehingga merupakan satu megacity di antara 22 megacities di dunia. Pertambahan penduduk yang tinggi
di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, ternyata tidak dibarengi dengan menurunnya jumlah
lingkungan permukiman kumuh dan liar. Untuk menata lingkungan permukiman kumuh, telah dikeluarkan
lnpres Nomor 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Lingkungan Permukiman Kumuh di atas tanah negara.
Pelaksanaan program ini sangat menonjol di Jakarta, Medan, Bandung, Semarang, Surabaya, dan diharapkan
dapat diterapkan di kota-kota besar lainnya di Indonesia seperti Palembang, Bandarlampung, Banjarmasin,
Ujungpandang, dan lain-lain.
Peremajaan permukiman kumuh di Kelurahan Angke Kecamatan Tambora, Kelurahan Pulogadung,
dan Kampung Sawah, Jakarta, menarik untuk diangkat ke permukaan. Keunikan Angke adalah perpaduan
program MHT dengan PD Pembangunan Sarana Jaya, di mana penghuni lingkungan kumuh bisa ditampung
sementara di rumah susun yang telah tersedia. Yang menarik dari peremajaan lingkungan kumuh Pulogadung
adalah tanahnya milik negara dan koordinasi instansi terkait sangat menonjol. Peremajaan Kampung Sawah
yang letaknya strategis di awal jalan tal Jakarta - Tangerang - Merak, merupakan pintu gerbang Jakarta dari
arah Barat, menarik karena merupakan perpaduan program Pemerintah dan Swasta.

Rumah Sewa Angke


Peremajaan lingkungan permukiman kumuh Angke dilakukan oleh Bappem Proyek MHT DKI Jakarta
dengan tujuan meremajakan lingkungan kumuh dan menambah fasilitas permukiman. Sasaran yang ingin
dicapai adalah berkurangnya permukiman kumuh, bertambahnya perumahan dengan fasilitasnya, dan
terbangunnya rumah susun sewa sederhana di atas tanah RW 03 Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora,
Jakarta Barat. Kepadatan penduduk lingkungan permukiman kumuh Angke mencapai 700 jiwa/ha. Mengacu
pada RBWK dan RTK DKI, kawasan ini diperuntukkan bagi perumahan. SK Gubernur Nomor 1704/1988
tentang Penetapan Penguasaan Perencanaan/Peruntukan Bidang Tanah seluas 6 ha untuk pembangunan
rumah susun dengan fasilitasnya, sampai sekarang realisasinya tersendat-sendat.
Penerimaan uang sewa pada tahun 1990/1991 mencapai Rp 122 juta, sedangkan pengeluaran
mencapai Rp 104,9 juta, terdiri dari biaya utilitas listrik Rp 39 juta (37,2%), air PAM Rp 24 juta (29,9%),
perawatan Rp 29 juta (27,6%), upah dan honor karyawan serta petugas keamanan Rp 9,2 juta (8,8%), alat
tulis kantor dan sejenisnya Rp 1,5 juta (1 ,4%), serta pengelolaan sampah dan kebersihan Rp 2,2 juta (2, 1%).
Penghuni yang jumlahnya mencapai 439 kk (2.1 09 jiwa) terdiri dari karyawan, pedagang, buruh, mahasiswa,
pelajar, dan anak-anak. Personil pengelola terdiri dari 8 orang, masing-masing seorang penanggungjawab
lokasi (Penjalok), pembantu administrasi, dan petugas teknik, 2 orang petugas keamanan (Satpam) dibantu
tenaga Bimas, Babinsa Hansip RW, dan 3 orang petugas kebersihan.
Dari 482 unit rumah susun yang telah dibangun, telah diisi 322 unit terutama untuk warga yang lokasi
tanahnya dibebaskan. Sisanya 160 unit disiapkan untuk para penghuni bangunan yang akan dibebaskan
berikutnya. Sewa satu unit rumah susun per hari masing-masing Rp 1.300 (lantai 1), Rp 1.200 (lantai II), Rp
1.100 (Lantai Ill), dan Rp 1.000 (lantai IV), termasuk fasilitas air bersih PDAM dan listrik 55 Watt/Unit. Rumah
Susun ini dikelola oleh PO Pembangunan Sarana Jaya.
Rumah Sewa Bertingkat Tambora dibangun oleh Bappem MHT DKI Jakarta dengan anggaran APBD,
terdiri dari blok A, B, C, dan D dengan jumlah 482 unit tipe 16M2 dan 56 unit tipe 36M2 di atas tanah seluas
9.270 m2 dan bangunan 10.533 m2. Fasilitas umum terdiri atas kantor pengelola, balai pertemuan dan aula,
musholla, air PAM, dan penerangan listrik 55 Wattper unit hunian. Jumlah unit efektif disewakan 466 unit dan
tingkat penghunian (occupancy rate) 85%. Sebanyak 160 unit dicadangkan untuk penampungan warga RW
03 Kelurahan Angke yang terkena pembongkaran/pembebasan tanah untuk pembangunan rumah susun

98
Tahap II.
Dari rencana pembebasan tanah seluas 6 Ha, direncanakan akan dibangun 20 Blok Rumah Susun
Sewa Sederhana (Rumah Sewa Bertingkat, RSB) tipe 18m2 (1.320 unit, dihuni 1.320 kk atau 3.960 jiwa) dan
27 m2 (600 unit, dihuni 600 kk atau 3.000 jiwa). Pembebasan lokasi dilakukan tiga tahap. Tahap I (1986/
1987) seluas 4.685 m2, dibangun RSB Blok A (121 unit) dan Blok B (121 unit). Di luar 121 unit tadi, pada tiap
Blok disediakan masing-masing 1 unit ruang pengelola, warung, ruang serbaguna, dan pos kesehatan.
Karena kesulitan membebaskan tanah, maka pembebasan tanah Tahap Ill (1988/1989) seluas 4.567 m2
untuk pembangunan RSB Blok C dan D masing-masing 120 unit (termasuk masing-masing 1 unit ruang
panel, ruang pengelola, warung, ruang serbaguna, dan pos kesehatan), dilaksanakan mendahului Tahap II.
Pada tahap kesatu ini, dibangun dua blok rumah susun Tambora terdiri dari 242 unit, tipe 18 m2.
Tahap ketiga, dibebaskan tanah 4.567 m2 tahun 1986/1987 dari pemilik H. Mukri dkk dengan bangunan
tanpa 1MB, santunan Rp. 50.000/m2 atas bangunan. Tahun 1987/1988 dibangun dua blok rumah susun,
terdiri dari 240 unit tipe 18m2. Tahap kedua, diRT 09, RT. 14 RW 01 dibebaskan tanah pada tahun 1987
dari pemiliknya, Ny. H. Muksin dkk, ahli waris H. Abdul Manaf, sertifikat hak milik No. 2 Jembatan Lima
(Angke) seluas 7.295 m2, direncanakan akan dibangun Blok E (1 06 unit) dan Blok F (96 unit) serta ruko di
Blok G. Pengosongan bangunan terkatung-katung, karena warga tidak mau memperoleh penggantian Rp.
65.000/m2 bangunan, sesuai dengan lnsgub DKI Nomor 65/1989 tanggal 1 Maret 1989. Dari tanah seluas
7.295 m2 dengan rumah tanpa 1MB 92 buah (114 KK), sampai 1990 baru dibebaskan 16 bangunan seluas
1.424 m2. Sisanya 76 bangunan pada areal 5.871 m2 sampai dengan Juli 1991 belum dapat dikosongkan.
Pengosongan baru bisa dilakukan menjelang akhir tahun 1991, setelah dilakukan melalui berbagai cara
termasuk kekerasan tetapi masih tetap manusiawi.
Untuk melaksanakan program ini, Pemda DKI Jakarta telah melakukan penyuluhan dan pendekatan
kepada penghuni bangunan tanpa izin tersebut, baik secara langsung maupun melalui tokoh masyarakat
setempat. lnventarisasi pertama dilakukan 7 Februari 1990 dan inventarisasi kedua dilakukan 14 Agustus
1990. Tindak lanjut lnsgrub Nomor 65 Tahun 1989 adalah pemberitahuan untuk mengambil uang santunan/
pesangon melalui surat tanggal 25 September 1990, 20 Oktober 1990, dan 25 Oktober 1990. Tetapi warga
kelihatannya tidak mau tahu dengan anjuran tersebut.
Surat Perintah Bongkar pertama dikeluarkan 23 November 1990. Warga diperintahkan membongkar
sendiri bangunannya dan mengambil uang santunan. Untuk penampungan, mereka diberi hak menyewa
rumah susun di sebelah lokasi perumahan mereka. Surat Perintah Bongkar kedua dikeluarkan 17 Desember
1990 dan Ketiga 23 November 1991. Setelah surat perintah bongkar ketiga, penduduk masih tidak mau
membongkar bangunannya. Akhirnya sesuai dengan hasil rapat Muspika Jakarta Barat dengan instansi
terkait, diputuskan untuk membongkar secara paksa, walaupun dianggap kurang manusiawi. Pembongkaran
terpadu dilakukan 29 Mei 1991. Hari pertama mendapat reaksi dari penghuni, namun bisa diatasi dan
pembongkaran berjalan lancar. Wakil warga, Djunaedi, Wakil Ketua RW 03 membuat pernyataan bersedia
membongkar sendiri paling lambat 31 Mei 1991. Jika belum dilakukan sampai batas waktu tersebut, mereka
setuju rumahnya dibongkar petugas.
Hari kedua, Kamis 30 Mei 1991 ada sebagian warga terkena hasutan oknum tertentu. Empat puluh
warga dipimpin Dadang, diterima anggota DPR Rl. Hari ketiga, Jum'at 31 Mei 1991, pembongkaran sendiri
rumah dilaksanakan dengan bantuan buruh yang dikerahkan Pemda DKI, sehingga barang-barang milik
warga bisa diselamatkan. Setelah pembongkaran secara paksa mulai 29 Mei 1991, sebagian warga mulai
masuk ke rumah susun dan sebagian lainnya mengambil pesangon. Dibandingkan dengan saat dilakukan
inventarisasi, jumlah kk meningkat menjadi 157 kk, yaitu 68 kk pemilik bangunan dan 89 kk penyewa. Dari
160 unit hunian yang dicadangkan, pada bulan Juni 1991 tercatat 134 kk telah mendaftarkan untuk tinggal di
rumah susun. Yang mau masuk ke rumah susun 111 kk, yaitu 46 kk pemilik bangunan dan 65 kk penyewa
bangunan. Yang mengambil uang santunan sampai dengan 1 Juni 1991 ada 11 orang.

Pulogading Dan Kampung Sawah


Peremajaan lingkungan permukiman kumuh RW 01 dan RW 03 Kelurahan Pulogadung Jakarta Timur
seluas 3,47 Ha, dilakukan terhadap tanah negara (11.426 m2), PALAD (1.797 m2), dan DLLAJR DKI (21.455

99
m2). Penghuni lama sebanyak 154 kk pemilik rumah dan 90 kk penyewa akan ditampung di rumah susun
hasil peremajaan, DLLAJR dipindahkan ke Ujung Karawang di atas tanah seluas 2,1 Ha, dan PALAD
melepas tanahnya secara ruislag dan memperoleh 10 unit rumah berikut prasarana di lokasi lain. Pembangunan
lima blok rumah susun seluas 15.000 m2 dilengkapi pertokoan (796m2), masjid dan ruang serbaguna (531
m2), dan lahan komersil (16.000 m2) dengan nilai jual Rp 16 milyar. Biaya seluruh proyek peremajaan
sebesar Rp 12,5 milyar akan disediakan YDBKS. Peresmian tiang pancang pondasi pertama rumah susun
Blok C yang dilakukan Juni 1991 telah diresmikan penghuniannya pada tanggal 14 Maret 1992 sekaligus
peresmian pemancangan tiang pondasi pertama rumah susun Blok B.
Lingkungan permukiman kumuh Kampung Sawah Jakarta Barat seluas 5,3875 Ha (2,6505 Ha di
Kelurahan Kemanggisan dan 2,7370 di Kelurahan Tanjung Duren) diharapkan dapat dibebaskan dan
dikosongkan pada bulan Agustus 1992 sebelum KTT Non Blok. Penghuni dibebaskan memilih Kapling Siap
Bangun, Rumah Sangat Sederhana, atau mencari sendiri tempat permukimannya yang baru. Jika memilih
fasilitas RSS, pemerintah memberikan subsidi hampir setengahnya dari harga KSB (kapling siap bangun)
yang ditetapkan. Masih banyaknya penghuni yang mengakui memiliki hak atas tanah di atasnya, ketidakjelasan
pemilikan status hak tanah, belum disepakatinya pesangon atas bangunan rumah, dan musyawarah yang
belum mencapai kesepakatan, mengakibatkan program pengosongan lingkungan permukiman kumuh Kampung
Sawah tertunda.

Penutup
Satu hal bisa ditarik dari tiga kasus program peremajaan lingkungan permukiman kumuh di Angke,
Pulogadung, dan Kampung Sawah, yaitu diperlukannya perencanaan (fisik dan non-fisik) yang komprehensif
dan integratif, pengorganisasian yang baik, penggerakan, pengawasan, dan pengkoordinasian yang terpadu
di antara semua unsur/instansi terkait, serta perlu dilibatkannya partisipasi masyarakat penghuni lingkungan
kumuh sedini mungkin.
Pol a membangun tanpa menggusur perlu ditanamkan kepada penghuni lingkungan kumuh agar mereka
dengan sadar menerima, mendukung dan mengikuti program peremajaan lingkungan permukiman kumuh.
Sikap main gusur perlu dihilangkan dan aparat Walikota dan unsur terkait lainnya perlu memberikan
penyuluhan kepada masyarakat secara terus menerus dan manusiawi.
Suara Karya, 15 Juli 1992

Potret Lingkungan Kumuh di DKI Jakarta


Dalam papernya yang berjudul Timbulnya Permukiman-permukiman Liar Di Oaerah Perkotaan Sebagai
Akibat Dari Urbanisasi Yang Tinggi, Menpera Siswono Judohusodo menginformasikan empat kota di Indonesia
yang mempunyai lingkungan permukiman kumuh (slums) dan permukiman liar (squatters) persentase tinggi,
yaitu DKI Jakarta, (4.481,6 Ha dihuni 2.377.000 jiwa), 264 permukiman liar), Surabaya (2.196 Ha, dihuni
900.870 jiwa, 25), Semarang (2.244 Ha dihuni 438.688 jiwa. 23), dan Bandung (402 Ha dihuni 205.465 jiwa.
20). Lingkungan permukiman kumuh dan liar sukar diawasi (uncontroled settlements), karena kepadatan rumah
dan penduduk sangat tinggi, pencatatan kependudukan kurang teratur karena penghuni sering berpindah-
pindah, mata pencaharian tidak tetap sehingga penghuni sulit dijumpai. Siswono juga menyatakan bahwa
permukiman kumuh tidak selalu liar dan yang liar tidak selamanya kumuh. Lingkungan kumuh dikaitkan
dengan prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan hunian liar dikaitkan dengan status pemilikan, misalnya
bermukim di atas tanah negara. Dalam lingkungan kumuh dan liar, Siswono membedakan beberapa jenis
permukiman kumuh-liar, yaitu lingkungan permukiman kumuh tidak liar, liar tidak kumuh, kumuh, liar, dan
kumuh-liar.

Potret Kumuh
lnpres Nomor 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Permukiman Kumuh Di Atas Tanah Negara

100
menegaskan bahwa peremajaan permukiman kumuh yang perlu dilakukan secara terkoordinasi oleh instansi-
instansi terkait dan perlu mendorong keikutsertaan BUMN, BUMD, Yayasan, Perusahaan, dan masyarakat
luas, dilaksanakan dalam rangka mempercepat peningkatan mutu kehidupan masyarakat terutama bagi
golongan masyarakat berpenghasilan rendah (gmbr) yang berada di atas tanah negara. lnpres ini menugaskan
Menpera, Mennegrenbangnas/Ketua Bappenas, Menneg KLH, Mendagri, Menpu, Menkeu, Kepala BPN, Para
Gubernur Kepala DT I, dan Para Bupati/Walikotamadya Kepala DT II, untuk melaksanakan peremajaan
permukiman kumuh di daerah perkotaan terutama yang berada di atas tanah negara di seluruh Indonesia.
Peremajaan permukiman kumuh diartikan sebagai pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman
kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah negara dan kemudian ditempat yang sama
dibangun prasarana dan fasilitas lingkungan rumah susun serta bangunan-bangunan lainnya sesuai dengan
rencana tata ruang kota yang bersangkutan. Peremajaan lingkungan permukiman kumuh mempunyai tiga
tujuan. Pertama, meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan, harkat, derajat dan martabat masyarakat
penghuni permukiman kumuh terutama gmbr dengan memperoleh perumahan yang layak dalam lingkungan
permukiman yang sehat dan teratur. Kedua, mewujudkan kawasan kota yang ditata secara lebih baik sesuai
dengan fungsinya sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang kota yang bersangkutan. Ketiga,
mendorong penggunaan tanah yang lebih efisien dengan pembangunan rumah susun, meningkatkan tertib
bangunan, memudahkan penyediaan prasarana dan fasilitas lingkungan permukiman yang diperlukan serta
mengurangi kesenjangan kesejahteraan penghuni dari berbagai kawasan di daerah perkotaan.
Gambaran lingkungan kumuh (lingkungan buruk menu rut Bianpoen, 1991 ), adalah lingkungan
permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakan, luas rumah tidak sebanding
dengan jumlah penghuni, rumah berfungsi sekedar tempat istirahat dan melindungi diri dari panas, dingin dan
hujan, lingkungan dan tata permukiman tidak teratur, bangunan sementara, acak-acakan tanpa perencanaan,
prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan, listrik, gang, lingkungan jorok dan menjadi sarang
penyakit), fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan), mata pencaharian penghuni
tidak tetap dan usaha non-formal, tanah bukan milik penghuni, pendidikan rendah, penghuni sering tidak
tercatat sebagai warga setempat, rawan kebakaran, banjir dan rawan terhadap timbulnya penyakit.
Penanganan lingkungan permukiman kumuh di DKI Jakarta sudah dirasakan mendesak. Beberapa
pola peremajaan permukiman kumuh telah dan sedang dicoba diterapkan. Lingkungan kumuh Angke
diremajakan melalui keterpaduan Proyek yang ditangani Proyek Perbaikan Kampung (Bappem MHT) dan
Pembangunan Rumah Sewa Bertingkat (PD Pembangunan Sarana Jaya). Tanah dibebaskan, rumah digusur
(diusahakan membangun tanpa menggusur), penghuni ditampung sementara di rumah sewa yang telah ada,
rumah sewa bertingkat atau rumah susun dibangun, dan setelah pembangunan selesai, penghuni tadi pindah
ke rumah susun ini. Demikian seterusnya sehingga diciptakan sistem berantai (perantaian). Kawasan kumuh
Kemayoran diremajakan melalui pembangunan Kota Baru Bandar Kemayoran yang dikelola oleh BPKK
(Badan Pengelola Kawasan Kemayoran). Penghuni diusahakan masuk ke Rumah Susun Kemayoran yang
dibangun Perum Perumnas atau pindah ke Rumah Sederhana/Rumah San gat Sederhana di Tangerang, Depok
dan Bekasi.
Di Pulogadung, Perumnas membangun rumah susun (model Sombo Surabaya) di atas tanah negara
yang dikuasai DLLAJR (direncanakan termasuk tanah PALAD). Blok C sudah selesai dibangun di atas tanah
negara yang masih kosong. Sebanyak 26 kk penghuni kawasan kumuh di atas tanah DLLAJR dipersilakan
masuk ke rumah susun secara gratis, dengan luas yang proporsional terhadap luas rumah sebelumnya
(memilih 2-4 modul, 1 modul sekitar 11 m2). Pemerintah memanfaatkan tanah bekas hunian kumuh tadi untuk
rumah susun baru dan fasilitas komersial. Kampung Sawah yang berada di kiri-kanan awal jalan tal Jakarta-
Tangerang-Merak akan dibebaskan dan ditata. Penataan lingkungan kumuh ini diduga ada keterkaitannya
dengan memperindah wajah Jakarta menyongsong Konperensi Non-Biok.
Peremajaan lingkungan kumuh akan diteruskan ke beberapa wilayah kota yang benar-benar kumuh.
Jakarta Selatan sedikit lingkungan kumuhnya, yaitu terdapat di Kelurahan Manggarai Selatan (kepadatan
kelurahan 54,092 jiwa/km2). Bukit Duri (36.577), Menteng Atas (48.776), Pasar Manggis (35.142), Pela
Mampang (31.537), dan Kebayoran Lama Selatan (25.731 ), termasuk lingkungan kumuh yang berbatasan
dengan Jakarta Pusat dan Jakarta Timur. Lingkungan kumuh Jakarta Timur sedang diinventarisasi oleh
aparat Walikota. Yang mudah tampak terlihat di sepanjang kiri-kanan sungai Ciliwung, Kampung Melayu

101
(55.252 jiwa/km2), Pisangan Baru (41.4oSJ, Kayu Manis (45.275), Cipinang Besar Utara (44.664), dan Malaka
Jaya (34.774).
Kawasan kumuh Jakarta Pusat cukup luas, yaitu berada di kelurahan-kelurahan Kampung Rawa
(76.153 jiwa/km2), Galur (73.148). Tanah Tinggi (66.247jiwa/km2), Karang Anyar (57.959), Utan Panjang
Kemayoran (54.013), Duri Pulo (48.389). Harapan Mulya (48.360, Kartini Sawah Besar (46.636), Kemayoran
(43.387), Kramat (39.644), Kebon Mel a\! 139.531 ). dan Kebon Kacang (38.689). Tingkat kepadatan penduduk
tertinggi ada di Jakarta Barat yaitu di Kecamatan Tambora yang meliputi kelurahan-kelurahan Kali Anyar
(88.091) jiwa/km2), Krendang (76.509). Jembatan Besi (67.160), Duri Utara (55.588), Jembatan Lima
(51.578), Tanah Sa real (49.821 ). dan Angke (43.608). Kecamatan terpadat berikutnya adalah Tamansari,
yaitu di kelurahan-kelurahan Keagungan (64.950 jiwa/km2), Krukut (41 .731 ), dan Tangki (40.316), disusul
Kecamatan Palmerah di Kelurahan Kota Bambu (43.268).
Kepadatan penduduk tiap Kelurahan di Jakarta Utara memang tidak terlalu tinggi, karena penduduknya
jarang, tetapi mutu lingkungan peru mahan dan permukimannya sangat rendah dan banyak yang termasuk ke
dalam kategori lingkungan kumuh, misalnya di Kecamatan Cilincing (kelurahan Kali Baru dan Semper Barat),
Koja (Kelurahan Koja, Koja Selatan, Koja Utara dan Tugu Utara), Tanjung Priok (Kelurahan Warakas dan
Kebon Bawang), dan Pademangan (Kelurahan Pademangan Timur dan Pademangan Barat), serta Penjaringan
(Kelurahan Pejagalan dan Penjaringan). Lingkungan kumuh di Jakarta Utara ditandai dengan luas rumah
yang sempit, seringnya terjadi kebakaran. musibah banjir, sampah yang menumpuk, air sungai yang kotor
dan bau, dan berjangkitnya penyakit menular.
Dalam jangka pendek, Pemerintah Kotamadya Bandung merencanakan peremajaan di dua tempat,
yaitu Jalan lndustri Dalam (2,25 Ha, 250 kk, dana 5,0 milyar) dan kawasan Pasar Simpang (1 ,80 Ha, 208 kk
dan dana 8,6 milyar). Surabaya akan meremajakan lingkungan kumuh Jalan Semarang (0,92 Ha, 340 kk,
dana 5 milyar). Walikotamadya Semarang bekerjasama dengan Swasta akan meremajakan permukiman
kumuh di Kelurahan Pekunden (4,9 Ha, dihuni 88 kk, dengan dana 2,7 milyar, dibangun kawasan komersial),
Kelurahan Sekayu (6,3 Ha, 222 kk), dan Lokasi Jagalan. Manado juga akan meremajakan lingkungan kumuh
sepanjang pantai pada tanah milik negara (6.8 Ha, 650 kk, dana 7,4 milyar).

Pendekatan
Penghuni lingkungan kumuh beraneka ragam pandangan[lya. Ada yang sudah betah menyesuaikan
dirinya dengan lingkungan permukimannya, transisi dari belum punya rumah ke punya rumah atau tinggal di
rumah sewa yang kondisinya lebih baik, terpaksa karena tidak ada alternatif lain, dan bahagia dalam
kemiskinan. Dengan kondisi ini timbul pertanyaan, apakah lingkungan kumuh akan dilestarikan kekumuhannya,
ditata, diperbaiki, diremajakan menjadi rumah susun, atau digusur untuk kepentingan pembangunan sektor
lain. Apapun pilihan yang diambil, sebaiknya perlu ditempuh melalui pendekatan yang bersistem (system
approach), tidak main kuasa dan asal gusur, hindari protes warga, dan lakukan penyuluhan terpadu.
Penataan dan peremajaan lingkungan kumuh bisa ditempuh bermacam-macam caranya, antara lain
dikaitkan dengan program perbaikan kampung (MHT), diperbaiki sarana dan prasarana lingkungannya,
ditingkatkan partisipasi warganya dalam pengelolaan lingkungan mereka, disediakan kredit perbaikan rumah
dan penyediaan bahan bangunan, diubah fungsinya menjadi daerah komersial dengan ganti rugi yang
memadai, ditingkatkan daya tampungnya melalui pembangunan rumah sewa bertingkat. Semua program ini
perlu ditempuh melalui pendekatan bersistem dan manusiawi, sehingga permasalahan sosial bisa ditekan
dan bahkan diusahakan dapat dihilangkan. Tujuan akhir program ini tentunya diarahkan agar seluruh kepala
keluarga dan anggota masyarakat dapat menghuni rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat dan
teratur, baik dengan status pemilik atau penyewa rumah. Terpenuhinya kebutuhan papan (perumahan) di
samping sandang, pangan, pendidikan, dan kesehatan, akan meningkatkan produktivitas kerja dan mempercepat
perwujudan kesejahteran sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Merdeka, 16 Agustus 1992

102
PEREMAJAAN LINGKUNGAN PERMUKIMAN KUMUH

Studi Perbandingan Jakarta dan Semarang

Peremajaan lingkungan permukiman kumuh di atas tanah negara telah diatur melalui lnpres Nomor 5
Tahun 1990. Peremajaan lingkungan kumuh diatas tanah lainnya, masih memerlukan pengaturan lebih lanjut,
dengan kata lain diperlukan lnpres baru. Tulisan ini membandingkan program peremajaan lingkungan
permukiman kumuh di Pulogadung, Pekunden, Sekayu dan Jagalan Semarang, Kampung Sawah Jakarta
Barat, dan Kemayoran Jakarta Pusat.
Tujuan membandingkan beberapa lokasi peremajaan lingkungan kumuh ini adalah untuk menemukan
model-model peremajaan lingkungan kumuh yang bisa dijadikan masukan dalam penyusunan kebijaksanaan
nasional peremajaan lingkungan permukiman kumuh sebagai dasar pelaksanaan dan penerapan peremajaan
lingkungan permukiman kumuh di daerah perkotaan di Indonesia

Perbandingan
Dalam melaksanakan lnpres Nomor 5 Tahun 1990, Kantor Menpera bersama dengan Depsos telah
melakukan kerjasama dengan Pemda/para Walikota untuk melaksanakan Peremajaan Permukiman Kumuh
yang berada di atas tanah negara. Saat ini telah dirintis upaya peremajaan lingkungan permukiman kumuh
seluas 92,05 Ha tersebar di beberapa kota besar.
Di Pulogadung Jakarta Timur, tanah seluas 3,4 Ha yang dihuni 145 kk diremajakan menjadi 5 blok
hunian, dilengkapi 1 mesjid dan fasilitas umum, mulai dilaksanakan Juli 1990, mengikuti model Dupakl
Bangunrejo Surabaya. Kawasan kumuh seluas 7,8 Ha di Duri Utara Jakarta Barat dengan penduduk 874 kk
(4.650 jiwa) juga diremajakan. Demikian pula Pademangan Barat (6,4 Ha) dengan penduduk 978 kk (5.328
jiwa) juga akan diremajakan.
Bendungan Hilir Jakarta Pusat seluas 29 Ha (876 kk, 3.682 jiwa) telah diteliti, demikian pula 30,3 Ha di
Tanah Abang (354 kk, 1.753 jiwa) telah distudi kemungkinannya untuk dilakukan peremajaan lingkungan
kumuh. Permukiman kumuh Jalan Semarang di Surabaya seluas 0,92 Ha telah distudi, tanah 6,8 Ha (dihuni
600 kk, 3.000 jiwa) di sepanjang pantai Manado juga diremajakan, Pekunden, Sekayu dan Jagalan di
Semarang merupakan lokasi peremajaan lingkungan kumuh pertama di Jawa Tengah, dengan biaya Pemda
dan Swasta.
Bandung telah melaksanakan peremajaan di Jalan lndustri Dalam (pembangunan 224 unit rumah
susun ditambah 360m2 TK dan SO, 100M2 mesjid, sarana jalan lingkungan, saluran, serta prasarana listrik
dan air bersih PDAM) dan merencanakan peremajaan Pasar Simpang Dago. Koperasi Pedagang Kaki Lima
Panca Bhakti (Kopanti) di Bandung, merencanakan akan meremajakan lingkungan sekitar Pasar Simpang
Dago seluas 13.585 m2 (bisa diperluas menjadi 17.563 m2) dengan dana Rp 8,6 miliar, menjadi pusat
perbelanjaan koperasi dan permukiman.
Di Pekunden Semarang (4.975 m2 tanah negara) yang dihuni 88 kk (440 jiwa) dengan kepadatan 900
jiwa/Ha, akan dibangun 5 blok rumah susun (108 unit) 41antai dengan dana Rp 2,7 miliar (APBN, APBD, dan
YDBKS). Di Sekayu, akan dibangun 272 unit rumah susun pada 7 blok masing-masing 4 lantai, demikian pula
Jagalan akan diremajakan. Lingkungan kumuh di tiga lokasi ini memerlukan dana Rp 12 miliar, dengan
prioritas pembangunan di Pekunden didahulukan.
Secara detail, lingkungan kumuh Pulogadung yang diremajakan seluas 34.678 m2, terdiri dari tanah
negara (11.462 m2), PALAD (1.797 m2) dan DLLAJR DKI (21.455 m2). Penghuni terdiri atas 154 kk pemilik
rumah dan 90 kk penyewa. Fasilitas umum terdiri dari kantor kelurahan, musholla, dan mck.
Bangunan yang direncanakan, 5 blok rumah susun (3000 m2), termasuk pertokoan 796 m2, mesjid
dan gedung serbaguna 531 m2. Biaya yang dibutuhkan Rp 12,5 miliar. Tanah komersial seluas 16.000 m2
dengan harga tanah Rp 1 juta/m2 akan mempunyai nilai Rp 16 miliar.

103
Melalui program ini, kompleks DLLAJR akan dipindahken ke Ujung Karawang (2,4 Ha) dengan fasilitas
bangunan yang lebih memadai dan PALAD akan memperoleh tanah ruijslag (1 0 unit rumah) di lokasi lain.
Tahap pertama telah dibangun satu blok rumah susun Blok C yang dihuni 26 kk dengan biaya Rp 1,7 miliar,
diresmikan penghuniannya 14 Maret 1992 oleh Menko Kesra, sekaligus persemaian pemancangan tiang
pondasi pembangunan rumah susun Blok B. Sambi! berjalan, dilakukan perubahan atau penyempurnaan
tataletak blok-blok rumah susun agar pembangunarJ dipercepat dan pemanfaatan tanah dan ruang lebih
optimal.
Kampung Sawah akhirnya berhasil dikosongkan. Penghuni sebanyak 1.622 kk (7.039 jiwa) ditambah
500 kk penyewa atau pengontrak telah pindah ke ASS di Karawaci dan Depok. Lokasi Kampung Sawah yang
terbagi dua, 1.001 kk (4.349 jiwa) di kelurahan Kemanggisan dan 621 kk, 2.689 jiwa di Kelurahan Tanjung
Duren ini, sangat strategis di ujung jalan Tol Tomang-Tangerang-Merak. Kalaupun akan dibangun, tidak boleh
melebihi kepadatan 20%. Tetapi agar tidak menimbulkan gejolak sosial dan dampak negatif lainnya, di lokasi
ini sebaiknya tidak dibangun rumah susun, karena akan membikin iri para penghuni yang tergusur.
Kawasan Kebon Kosong Kemayoran dan Gunung Sahari Selatan seluas 37,5 Ha yang terdiri atas19,5
Ha Tanah Negara dan 18 Ha Tanah Hak Negara, sedang diremajakan. Pemanfaatan tanah terdiri atas 26,85
Ha untuk bangunan dan fasilitas lingkungan (3,0 Ha dikembalikan kepada masyarakat melalui konsolidasi dan
relokasi tanah, 17,5 Ha oleh Perum Perumnas, 3,5 Ha fasilitas lingkungan (mesjid, gedung serbaguna dan
lapangan olah raga), jalan dan saluran 2,85 Ha) dan 10,65 Ha lahan yang masih dapat dimanfaatkan (6,2 Ha
di kelurahan Kebon Kosong dan 4,45 Ha di Gunung Sahari Selatan).
Sudah dibebaskan 6,22 Ha tanah negara dan 8,5 Ha tanah penduduk, ditambah 3,45 Ha dalam proses
konsolidasi dan relokasi tanah. Jumlah warga mencapai 3.963 kk, masing-masing 3.283 kk di tanah negara
dan 680 kk di tanah hak masyarakat. Pembebasan sudah mencapai 1.570 kk, yaitu 1.163 kk (35,4%) di tanah
negara dan 407 kk (60%) di tanah hak masyarakat. Sebanyak 912 kk sudah mengambil rumah Perumnas/
BTN, yaitu 435 kk (KPR BTN) dan 477 kk mengambil rumah susun Kemayoran. Hanya karena ketidakmampuan
membayar cicilan di rumah susun dan menghendaki areal perumahan yang lebih luas, kebanyakan warga
memutuskan pindah ke RS/RSS T-21 Bumi Bekasi Baru (Bekasi 2000) di Rawalumbu Bekasi.
Biaya pembebasan kawasan Kemayoran ini mencapai Rp 118 miliar, dikurangi Rp 19 miliar karena
konsolidasi dan relokasi tanah. Dana diusahakan Rp 50 miliar dari Badan Pengelola Kawasan Kemayoran
(BPKK), Rp 30 miliar dari YDBKS, dan Rp. 20 miliar pinjaman Bank. Dengan harga tanah Rp 800.000/m2,
diharapkan YDBKS bisa memperoleh tanah 3.75 Ha di Jalan Arteri Utara-Selatan dan Timur Barat. Rumah
Susun Perumnas telah terbangun 1.454 unit.
Dari 576 unit yang disewakan, 477 unit dihuni warga Kemayoran, 61 unit masyarakat umum, dan 38
unit belum dihuni tetapi peminatnya sangat banyak. Fasilitas KPR ada 878 unit, masing-masing 435 unit
dihuni warga Kemayoran, 35 unit dari masyarakat umum, dan 408 unit belum dihuni (segera dihuni oleh
warga Kemayoran yang akan memperoleh ganti rugi).

Harapan
Semua program peremajaan lingkungan permukiman kumuh di atas mempunyai tujuan untuk
meningkatkan mutu kehidupan dan penghidupan, harkat, derajat dan martabat masyarakat penghuni
permukiman kumuh, mewujudkan kawasan kota yang ditata secara baik dan teratur, dan mendorong
penggunaan tanah secara lebih efisien dan produktif. Prinsip peremajaan permukiman kumuh adalah
berusaha memukimkan kembali penghuni lingkungan kumuh yang diremajakan, pada lingkungan yang sudah
diremajakan. Dengan kata lain, penghuni asli (lama) ditampung kembali di bangunan hasil peremajaan, baik
dengan cara memiliki ataupun menyewa.
Di samping itu sesuai dengan Pola Dasar Pembangunan Daerah, RUTR, atau RDTR/RDTRK, perlu
dilakukan pendekatan kepada masyarakat setempat agar mereka bisa berperan serta dan berpartisipasi aktif
dalam proses peremajaan lingkungan kumuh.
Prinsip subsidi silang juga perlu diterapkan, di mana areal komersial mensubsidi pembangunan rumah
susun murah untuk penghuni lingkungan kumuh yang kemampuan ekonominya lemah. Pola di DKI Jakarta

104
yang menerapkan ketentuan terhadap developer (pemegang SP3L, Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan
Lokasi/Lahan) yang membebaskan tanah seluas 5000 m2 atau lebih untuk pembangunan fisik kota di DKI
Jakarta, agar membangun rumah susun sederhana/murah di atas areal 20% dari tanah yang dibebaskannya,
patut ditiru oleh kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Jayakarta, 27 Nopember 1993

Masalah Dan Penanganan Kawasan Kumuh


Kawasan kumuh merupakan salah satu masalah di kota-kota besar negara berkembang. Di Indonesia,
kawasan kumuh mudah dijumpai di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Palembang, Medan, dan
Ujungpandang. Pentingnya penataan, penanganan, perbaikan, peremajaan, dan rehabilitasi daerah kumuh,
terbukti dari terjunnya Presiden Soeharto pada kegiatan HKSN (Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional) ke
lokasi lingkungan perumahan, perkampungan dan permukiman kumuh.
Kawasan kumuh dapat dilihat dari kondisi rawan fisik lingkungan (rawan banjir, kebakaran, prasarana
tidak memadai, sanitasi lingkungan buruk, tidak ada sumber air bersih, dan perumahan kurang layak huni
serta tempat hunian penduduknya sangat padat), kondisi ekonomi lemah (penduduknya berpenghasilan
rendah dan sangat rendah serta tingkat pengangguran tinggi), kondisi sosial rendah (tingkat pendidikan
rendah, tempat sumber kriminalitas, dan tingkat kesehatan rendah), serta aspek hukum (hunian tidak sesuai
dengan ketentuan dan peraturan).
Kawasan kumuh di Jakarta bisa dilihat di Kepa Duri, Petamburan, Teluk Gong, Krendang, Angke,
Jembatan Besi, Tanah Tinggi, Matraman, Pademangan, Mampang, Bendungan Hilir, Warakas, dan Cengkareng.
Penyebab tumbuhnya kawasan kumuh cukup banyak, antara lain tingkat urbanisasi yang tinggi (1-1 ,5% per
tahun), para pendatang umumnya tidak terampil dan berpendidikan rendah, kurangnya persediaan rumah
(kebutuhan lebih tinggi dari penyediaan) pengawasan tanah kurang ketat, kurangnya pengetahuan dan
kesadaran hukum dari sebagian besar masyarakat dan aparat pemerintah. Juga desakan ekonomi akibat
keterbatasan penghasilan sehingga golongan masyarakat berpenghasilan sangat rendah bermukim di
sembarang tempat, pada lingkungan perumahan dan permukiman kumuh (kumuh dan liar, slums dan liar
squatters).
Dari segi perencanaan kota, dikenal peruntukan lingkungan perumahan dan bukan lingkungan
perumahan, sedangkan dari segi penguasaan tanah dikenal pengertian diakui dan tidak diakui. Contoh
lingkungan kawasan perumahan dan permukiman kumuh yang diakui (hak milik dan hak garap), adalah
Tambora dan Karang Anyar Jakarta Barat. Dan yang tidak diakui adalah di Mandala Jakarta Timur,
sedangkan bukan lingkungan perumahan yang diakui di Kali Baru Jakarta Utara dan tidak diakui di Plumpang,
Kampung Sawah, Bantaran Kali, dan Bantalan Rei Kereta Api.

Upaya
Upaya penanganan kawasan kumuh menjumpai banyak hambatan. Urbanisasi sulit dibendung dan
dikurangi. Anggaran Pemerintah dalam bidang perumahan terbatas, sehingga penyediaan rumah baru jauh di
bawah kebutuhan rumah. Peremajaan perumahan kumuh dengan membangun rumah susun membutuhkan
dana yang besar, padahal kemampuan anggaran Pemerintah terbatas.
Mekanisme peremajaan permukiman kumuh belum jelas. lnpres Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Peremajaan Permukiman Kumuh Di Atas Tanah Negara, tidak didukung penyediaan. anggaran yang
memadai. Demikian pula, pedoman penanganan peremajaan permukiman kumuh dan peremajaan kota
belum dibuat. Pembangunan perumahan sederhana dan rumah sangat sederhana cenderung bersifat sosial
sehingga tidak menarik minat pengusaha swasta yang lebih berorientasi pada keuntungan.
Budaya hidup bersih dan sehat bagi golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah
masih kurang. Penyuluhan hukum dan ketentuan mengenai perumahan, rumah sehat, perizinan dan

105
sebagainya, kurang efektif dan kurang !ancar, disebabkan keterbatasa~1 dana dan keterbatasan personil.
Pengendalian lahan kurang efektir dan penguasaan lahan oleh pemerintah kurang ketat.
Pencatatan tanah kurang teratur sehingga sering terjadi sengketa tanah yang mengakibatkan kesulitan
dalam menata, memperbaiki, dan meremajakan lingkungan permukiman. Developer tidak tertarik untuk
membangun rumah sederhana dan rnembangun rumah susun murah, karena jelas tidak menguntungkan.
Masyarakat kurang berminat tmggai di rumah susun, karena sempit, tidak tersedia ruang bermain
anak-anak, dan sulit menyelenggarakan pesta keluarga. Permasalahan ini hanya bisa diatasi melalui
ketekunan aparat pemerintah bersama swasta dan masyarakat dalam bentuk kemitraan (partnership).
Dikenal beberapa upaya penanganan lingkungan kumuh, yaitu perbaikan kampung, bantuan penataan,
perbaikan dan rehabilitasi kawasan kumuh, serta peremajaan lingkungan dengan pembangunan rumah susun
dan pemindahan penduduk. Perbaikan kampung telah dilakukan melalui program MHT I (12.700 Ha;
membangun prasarana jalan dan saluran, penyediaan sarana mck, bak sampah, dan penyediaan air minum
deep well dan hidrant), MHT II (6.250 Ha; peningkatan kualitas fisik lingkungan perkampungan dan perbaikan
sanitasi), dan MHT Ill (7.206 Ha; bina fisik lingkungan), mendukung perwujudan asas tri-bina, yaitu bina
manusia, bina lingkungan, dan bina usaha.
Bina manusia bertujuan menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran akan kemampuan diri sendiri
dalam memenuhi kebutuhannya secara mandiri, bina lingkungan menuju pada terwujudnya perumahan layak
dalam lingkungan yang sehat dan teratur serta kehidupan dan penghidupan yang lebih sejahtera, dan bina
usaha diarahkan untuk memobilisasi sumber daya masyarakat dalam meningkatkan penghasilan mereka.
Bantuan perbaikan lingkungan kumuh dilakukan oleh Ditjen Bangdes Depdagri untuk meningkatkan
kondisi sosial-ekonomi penduduk, program ABRI Masuk Desa, Depsos melalui HKSN, Ditjen Cipta Karya
Dep-PU melalui program rumah sehat, Bappenas melalui penyediaan hydrant dan program PKT, serta
bantuan-bantuan lainnya.

Peremajaan
Peremajaan lingkungan dengan membangun rumah susun telah mencapai 5.728 unit (kk), yaitu di
Penjaringan Jakarta Utara (840 kk tahun 1986 oleh Cipta Karya untuk menampung warga setempat eks
kebakaran dan 480 kk tahun 1990 oleh Sarana Jaya untuk relokasi warga setempat), Tambora Jakarta Barat
(480 kk tahun 1986 oleh Bappem MHT untuk relokasi warga setempat dan 240 kk tahun 1992 oleh PT
Danayasa) untuk kompensasi SP3L (Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan) di Jalan Sudirman,
dan Karang Anyar Jakarta Pusat (480 kk oleh Bappem MHT untuk menampung warga setempat eks
kebakaran).
Juga Tanah Abang Jakarta Pusat (960 kk tahun 1982 oleh Perum Perumnas untuk relokasi warga
setempat). Kebon Kacang Jakarta Pusat (536 kk tahun 1984 oleh Perum Perumnas untuk relokasi warga
setempat), Pulogadung Jakarta Timur (240 kk oleh Perum Perumnas tahun 1992 untuk relokasi warga
setempat), dan Kemayoran Jakarta Pusat (1.472 unit tahun 1990 oleh Perum Perumnas untuk relokasi warga
setempat yang terkena pembebasan).
Peremajaan lingkungan permukiman kumuh dengan pola pemindahan penduduk telah dilakukan di
empat lokasi. Tahun 1992, disediakan 1.659 Rumah Sangat Sederhana (RSS) di atas tanah seluas 15 Ha di
Karawaci untuk menampung 1.621 kk relokasi warga Kampung Sawah Jakarta Barat. Tahun 1991,
pembebasan lokasi Jalan Sudirman terhadap 1.500 kk diberikan ganti rugi yang memadai oleh PT Danayasa
dan disediakan rumah susun sederhana/murah di Tambora.
Pemberian pesangon diberikan oleh Walikota Jakarta Utara/Pertamina pada tahun 1992 kepada 300
kk penduduk di lokasi seluas 160 Ha eks tanah Pertamina Plumpang. Mulai 1989, ganti rugi dan 400 kaveling
disediakan oleh PO Pembangunan Sarana Jaya kepada 372 kk yang tanahnya seluas 6 ha terkena proyek
peremajaan Segitiga Senen.
Terbatasnya kemainpuan pemerintah dan luasnya kawasan permukiman kumuh di ibukota, menuntut
pola penanganan kawasan kumuh yang komprehensif, terpadu, dan berencana. Peningkatan kualitas

106
lingkungan kumuh melalui perba1kan kampung (model MHT Iii) diharapkan merupakan upaya trans1si dalam
menuju peremajaan.
Peremajaan permukiman kumuh di atas tanah negara (lnpres Nomor 5 Tahun 1990) yang didukung
dana YDBKS/SDSB dan Swasta perlu ditingkatkan. Untuk itu, pedoman umum penanganan perumahan dan
permukiman kumuh serta pedoman umum peremajaan kota perlu segera ditetapkan.
Peremajaan lingkungan kumuh di DKI Jakarta dengan membangun rumah susun sederhanalmurah
yang mengacu pada Kepgub Nomor 540 Tahun 1990, Nomor 354 Tahun 1992, dan Nomor 640 Tahun 1992
serta lnsgub Nomor 281 Tahun 1992 kepada Kepala Dinas Perumahan untuk meningkatkan pelaksanaan tiga
Kepgub tersebut, perlu ditingkatkan. Demikian pula peremajaan lingkungan kumuh dengan pembanguanan
rumah susun untuk golongan menengah/sedang.

Dana Triliunan
Kawasan kumuh dengan kategori kawasan bukan peruntukan perumahan dan penguasaan tanah tidak
jelas (dalam sengketa), serta berbahaya, sebaiknya ditangani dengan merelokasi penduduk ke rumah susun
sederhana di lokasi lain atau relokasi ke RSS di pinggir kota. Agar pertumbuhan kawasan kumuh bisa
ditekan, perlu dilakukan penanganan hukum dan ketentuan serta peraturan perundang-undangan secara
konsisten dan berkesinambungan, peningkatan kesadaran masyarakat dan aparat pemerintah, kemitraan
pemerintah, swasta dan masyarakat, pengawasan ketat oleh aparat Kecamatan dan Kelurahan, serta upaya-
upaya untuk menekan atau mengurangi tingkat urbanisasi.
Menpera Siswono mengatakan bahwa diperlukan dana triliunan rupiah untuk melakukan perbaikan
permukiman kumuh di 643 kota dan 1.249 desa yang dihuni oleh 1.059.037 kk (Jayakarta, 30 Desember 1992).
Menghadapi kendala dana, maka program perbaikan lingkungan kumuh baik melalui penataan, pemugaran,
peremajaan, dan relokasi, perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi kota yang bersangkutan serta
ketersediaan dana. Bantuan HKSN dalam rehabilitasi daerah kumuh perlu dilihat sebagai pendorong atau
perangsang yang masih perlu ditindaklanjuti oleh program perbaikan lingkungan kumuh lainnya.
Sejalan dengan itu, Pemerintah Daerah Tingkat II (kabupaten/kotamadya) perlu secara teliti melakukan
inventarisasi dan klasifikasi (bahkan tipologi) kawasan kumuh di kotanya masing-masing. Kerja sama dengan
pihak swasta dan masyarakat melalui kemitraan dan pola pembangunan yang menumbuhkan partisipasi dan
peran serta masyarakat serta bertumpu pada kemandirian masyarakat, perlu diprioritaskan.
Harus dihindari jangan sampai perbaikan lingkungan kumuh tidak dapat mengurangi atau melenyapkan
kawasan kumuh, bahkan memunculkan atau merangsang munculnya lingkungan kumuh baru akibat daya
tarik yang besar dari kawasan yang telah diperbaiki. Dalam hal ini, kepastian hukum dan tertib hukum serta
aparatur pemerintah yang berwibawa sangat diperlukan agar penyerobotan tanah serta pembangunan rumah
kumuh dan liar bisa dihindari.
Pada semua alternatif penanganan di atas, dituntut adanya keterpaduan pola koordinasi dan penanganan
peremajaan kota serta peremajaan lingkungan permukiman kumuh yang disusun oleh Kantor Menpera
dengan pola penanggulangan lingkungan kumuh yang disusun oleh Pemerintah Daerah setempat, sehingga
bisa dicapai hasil yang optimal.
Suara Pembaruan, 6 Januari 1993

Profil dan Alternatif Perbaikan Lingkungan Kumuh


Lingkungan kumuh (kepadatan penduduk di atas 500 orang/Ha) bertebaran di kota-kota raya Jakarta,
kota besar Bandung, Surabaya, Semarang dan Medan. Rumah-rumah di lingkungan pemukiman kumuh
berukuran kurang dari 10 m2 dan dibangun secara liar di atas tanah negara, instansi, perorangan, badan
hukum atau yayasan. Jelas rumahnya tidak terdaftar, apalagi 1MB. Penghuninya dapat pemilik tanah dan

107
bangunan, sewa, atau penyerobotan tanah. Bangunan rumah digunakan untuk tempat hunian, dagang
makanan atau kegiatan campuran. Tanah yang mereka tempati menurut perencanaan kota pada umumnya
untuk taman, jalur hijau, daerah terbuka, dan jalur pengamanan. Prasarana dan fasilitas lingkungan hampir
tidak ada. Kondisi bangunan memprihatinkan, tidak teratur dan mudah terjadi kebakaran.
Sejalan dengan petunjuk Presiden yang disampaikan kepada Menpera pada tanggal 15 Januari 1990,
BPPT pada tanggal 1 Maret 1990 telah menyelenggarakan Diskusi Sehari perumahan dengan tema
Pemukiman Kumuh dalam kaitannya dengan Perbaikan Pemukiman Kumuh Perkotaan. Profil dan alternatif
pembangunan lingkungan kumuh merupakan bahasan seminar dan diskusi.

Protil
Kelompok Pengkajian Sistem Perkotaan BPP Teknologi telah melaksanakan survai lapangan perumahan
kumuh dengan menggunakan 1000 kuesioner di kelurahan-kelurahan terpadat penduduknya yang tersebar di
lima wilayah kota DKI Jakarta, yaitu Karang Anyar Jakpus (Kepadatan 655 orang/Ha), Warakas Jakut (415
orang/Ha), Kalianyar Jakbar (881 orang/Ha), Manggarai Selatan Jaksel (656 orang/Ha), dan Pisangan Baru
Jaktim (567 orang/Ha).
Mayoritas responden adalah pendatang (63,8%) dari luar Jakarta dan hanya 36,2% penduduk asli
Jakarta. Proporsi responden pendatang dan penduduk asli di tiap wilayah, masing-masing 60 : 40 (Jakpus),
73 : 27 (Jakut), 71 : 29 (Jakbar), 60 : 40 (Jaksel), dan 55 : 45 (Jaktim). Sifat tinggal responden pendatang
adalah 83% menetap dan 17% tidak tetap (musiman), sedangkan dari seluruh responden, 89% menetap dan
11 % musiman.
Pekerjaan penghuni lingkungan kumuh sebagian besar pedagang (33%), buruh harian (20%) dan
karyawan swasta (17%). lstri anggota keluarga (pedagang, buruh harian dan karyawan swasta) sebagian
besar bekerja, masing-masing 38% berdagang, 15% pegawai swasta dan 11 % buruh harian. Dari segi
pendidikan, 46% berpendidikan SO, 22% SLTP, 18% SLTA, dan 12% tidak sekolah. Dari 1000 responden,
hanya 984 bekerja, 71% diantarnya berpenghasilan dibawah Rp 150.000,- (12% di bawah Rp 50.000,-, 34%
antara Rp 50.000 - 99.999, dan 23% antara Rp 100.000 - 149.999). lni berarti permukiman kumuh didominasi
oleh warga yang tingkat pendidikan maupun penghasilannya rendah.
Tempat kerja mereka sebagian besar di pusat kota, 61% tetap dan 14% keliling, hanya 10% di pinggir
kota dan 15% di luar kota sebagai buruh bangunan. Jarak dari rumah ke tempat kerja, 52% (kurang dari 5
km), 12% (5-10 km), 19% (lebih dari 10 km) dan 17% (sulit mengukur jarak dari rumah ke tempat kerja).
Waktu perjalanan ke tempat kerja, 56% (kurang dari 1,5 jam), 16% (0,5-1 jam), 11% (lebih dari 1 jam), dan
17% sulit mengukur waktu perjalanannya karena sifat pekerjaan yang berpindah-pindah. Ada kecenderungan
lokasi rumah diinginkan berdekatan dengan tempat kerja.
Rumah yang ditempati adalah milik sendiri (64%), rumah sewa (27%), rumah dinas (10%), dan sisanya
menumpang. Yang tinggal di rumah sewa 75%, kontrak tahunan atau bulanan dan hanya 1,4% harian atau
mingguan. Uang sewa bulanan 81% kurang dari Rp 30.000,-, 299% (kurang dari 10.000) 37% (Rp10.000-
20.000), dan 15% (Rp 20.000 - 30.000).
Status tanah hanya 16% milik sendiri dan 84% tanah negara atau milik orang lain. Kondisi bangunan,
40% permanen, 43% semi permanen dan 18% sementara. Dari gambaran ini terlihat seolah-olah tempat
tinggal mereka tidak kumuh lagi. Luas lantai bangunan, 93% kurang dari 10 m2 dan 20% diantaranya di atas
50 m2. Umumnya bangunan berbentuk dua lantai walaupun sederhana. Jumlah kk dalam satu unit bangunan,
81% (1 kk), 13% (2 kk), 3% (3 kk), dan 2% (lebih dari 3 kk). Jumlah penghuni per unit bangunan 31% (lebih
dari 6 orang), masing-masing 23% (3 orang), 18% (4 orang), 10% (5 orang) dan 12% (6 orang).
Dari segi responden, 66% responden puas terhadap tempat tinggalnya. Hal ini barangkali karena tidak
ada pilihan lain kecuali tinggal di rumahnya sekarang. Jawaban responden memperlihatkan bahwa 70%
hubungan antar tetangga baik, 29% kamtibmas baik, dan 28% tempat kerja baik. Di samping itu 25%
menyatakan tempat tinggal mereka perlu diperbaiki. Cara membangun rumah 51% (bertahap), 20% (KPR-
BTN), 6% (rumah sewa), 1% (kredit pemilikan Kapling Siap Bangun), dan 18% (lain-lain, swadaya dan

108
bertahap, disesuaikan dengan kemarnpuan tabungan). Oi antara responden, 32% ing1n tetap di lokasi
sekarang, 15% ingin di pusat kota, 29% 1ngin di pinggir kota, dan 22% ingin di mana saja.

Alternatif Perbaikan
Paling sedikit 10 gambaran permukiman kumuh telah dikenal. Pertama, tempat tinggal hun ian
berdesakan, tidak seimbang dengan jumlah penghuni, hanya sebagai tempat istirahat, melindungi diri dari
pengaruh panas, dingin, hujan dan angin. Kedua, lingkungan dan tata pemukiman tidak teratur, tidak
direncanakan dengan baik, bangunan sementara, tidak sedap dipandang, dan berkesan acak-acakan. Ketiga,
fasilitas prasarana kurang atau tidak memadai (mck, air bersih, saluran air buangan, drainase, listrik, jalan
dan gang, berkesan jorok, tidak sehat, dan sarang penyakit).
Keempat, fasilitas sosial (sekolah, tempat ibadah, kesehatan, posyandu) kurang. Kelima, mata
pencaharian penghuni tidak tetap dan tarat hidup masyarakat rendah. Keenam, bidang usaha sebagian besar
informal. Ketujuh, jenis tempat tinggal biasanya rumah sewa di atas milik perorangan, swasta atau rumah di
atas tanah negara. Kedelapan, tingkat pendidikan dan keahlian penduduk rendah. Kesembilan, banyak penghuni
yang tidak tercatat sebagai penduduk setempat. Kesepuluh lingkungan permukiman mereka rawan terhadap
kebakaran dan penyakit.
Oari segi pembiayaan, BPO OKI Jakarta melihat ada lima alternatif perbaikan lingkungan kumuh, yaitu
(1) program seperti yang selama ini dijalankan (perbaikan kampung/MHT, JUOP, percontohan), (2) penataan
daerah kumuh dengan membangun rumah susun yang disewakan kepada penghuni lama (pola PO
Pembangunan Sarana Jaya), (3) penataan daerah kumuh dengan membangun rumah susun Perumnas
(subsidi silang seperti di Kebon Kacang), (4) pembebasan tanah dan pembangunan rumah susun sederhana
(Penghuni lama dibebaskan memilih apakah akan tinggal di rumah susun atau pindah membeli rumah yang
harganya masih murah, atau mencicil rumah KPR-BTN), dan (5) peremajaan kumuh oleh swasta (Pembangunan
rumah susun dikombinasikan dengan perkantoran dan perdagangan).

Kesimpulan Sementara
Oari seminar tersebut terlihat bahwa sebagian penduduk Jakarta tinggal di daerah kumuh karena
terpaksa dan tidak ada alternatif lain untuk tempat tinggalnya. Mereka belum mampu mencicil rumah
Perumnas atau fasilitas KPR-BTN, baik untuk membayar uang muka maupun cicilan bulanannya. Kalaupun
mampu, mencicil rumah BTN, harus diperhitungkan biaya transportasi harian dari rumah ke tempat kerja yang
cukup besar. Mahalnya biaya transportasi dibandingkan dengan cicilan rumah mengakibatkan banyak warga
tetap ingin tinggal di pusat kota walaupun berdesak-desakan dalam kamar yang sempit dan tidak memenuhi
persyaratan kesehatan maupun lingkungan.
Survai lapangan permukiman di lima wilayah kota OKI yang telah dilakukan oleh BPP Teknologi
diharapkan dapat memberi masukan kepada Pemda OKI Jakarta dalam upaya meremajakan lingkungan
pemukiman kumuh. Menentukan daerah mana yang perlu diprioritaskan untuk diremajakan, model peremajaan
lingkungan kumuh apa yang akan dipilih, subsidi silang yang bagaimana yang akan diterapkan, dan sejauh
mana peran swasta perlu dilibatkan dalam program peremajaan lingkungan kumuh.
Salah satu alternatif peremajaan lingkungan kumuh adalah meremajakan lingkungan kumuh tanpa
menggusur atau tanpa memindahkan penduduk asli ke tempat lain (memukimkan penduduk asli di tempat
yang telah diremajakan), mengkombinasikan rumah susun sederhana (pola Perumnas di Kebon Kacang),
rumah susun sewa sederhana (pola PO Pembangunan Sarana Jaya di Tambora, Karang Anyar, Penjaringan
dan beberapa lokasi lainnya), dan rumah susun sederhana beserta perkantoran, perdagangan, dan industri
kerajinan/rumah tangga (pola partisipasi swasta).
Pelita, 30 Juli 1990

109
Meremajakan Lingkungan Kumuh Tanpa
Menggusur Warganya
Belakangan ini program peremajaan kota dan peremajaan lingkungan kumuh sudah dirasakan
sebagai kebutuhan yang mendesak, terutama di kota-kota Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, dan
Medan. Pola peremajaan lingkungan kumuh apa pun yang ditempuh, perlu berpedoman pada prinsip
membangun tanpa menggusur warganya. Kalaupun mereka akan pindah semata-mata karena tidak
menghendaki tinggal di kawasan baru dan mereka pindah ke pinggiran kota agar bisa menyisihkan uangnya
untuk keperluan lain.

Lingkungan Kumuh
Peremajaan Kota merupakan segala upaya dan kegiatan pembangunan yang terencana untuk mengubah
atau memperbaharui suatu kawasan terbangun di kota yang sudah merosot fungsinya agar kawasan tersebut
fungsinya meningkat lagi sesuai dengan pengembangan kota (Suyono,1990). Peremajaan lingkungan kumuh
yang merupakan bagian dari peremajaan kota adalah peremajaan kawasan pemukiman kumuh menjadi
lingkungan terpadu dan fungsional (pemukiman, perkantoran, pertokoan, dan perdagangan). Dalam peremajaan
lingkungan kumuh, dianut pola tidak menggusur warga, bahkan harus meningkatkan pendapatan mereka.
Lingkungan kumuh yang diremajakan terdiri atas lingkungan pada lokasi strategis yang mendukung
fungsi kota, kurang strategis tetapi secara komersial punya potensi, kurang strategis tetapi cocok untuk
daerah permukiman, di daerah perdagangan, dan daerah berbahaya (banjir, jaringan listrik tegangan tinggi,
dan rei kereta api). Peremajaan lingkungan kumuh sering dikaitkan dengan pembangunan rumah susun dan
penerapan subsidi silang, si kaya membantu si miskin. Penghuni lama disubsidi oleh penghuni baru yang
akan tinggal di rumah susun, demikian pula penyewa fasilitas perkantoran, pertokoan dan perdagangan
memberikan subsidi kepada penduduk asli.
Kantor Menpera telah mengidentifikasi luas lingkungan kumuh di beberapa kota, yaitu 4.481 Ha
(22.377 juta jiwa) di Jakarta, 402 Ha (205.465 jiwa) di Bandung, 2.244 Ha (438.688 jiwa) di Semarang, dan
2.196 Ha (900.870 jiwa) di Surabaya. Langkah-langkah peremajaan lingkungan kumuh dimulai dengan
identifikasi permukiman kumuh, pemilihan investor, studi kelayakan, engineering design, dan pelaksanaan.
Dukungan lainnya antara lain penyuluhan, pemantauan, evaluasi, dan dokumentasi.
Ciri-ciri lingkungan kumuh ditandai dengan status tanah (milik negara, instansi, badan hukum, yayasan
atau milik orang lain), penghunian tanpa seijin pemilik, penggunaan bangunan tidak tentu dan tidak
memenuhi standar kesehatan, berdiri di atas jalur pengaman, ruang terbuka hijau dan sejenisnya, prasarana
lingkungan tidak memenuhi syarat teknis dan kesehatan, fasilitas lingkungan tidak lengkap, dan kondisi
bangunan mudah terbakar. Bank Pembangunan Daerah DKI Jakarta mendefinisikan lingkungan kumuh
berdasarkan kriteria jumlah penghuni minimum 500 orang/Ha, lingkungan dan bangunan tidak teratur, fasilitas
prasarana sangat kurang, dan fasilitas sosial tidak ada atau kurang.
Gambaran lingkungan permukiman kumuh memperlihatkan kondisi tempat tinggal atau tempat hunian
berdesakan (rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni, tempat tinggal berfungsi sekedar tempat
istirahat dan melindungi diri dari panas, dingin dan hujan), lingkungan dan tata permukiman tidak teratur
(bangunan sementara, acak-acakan, tanpa perencanaan), prasarana kurang (mck, air bersih, saluran
buangan, listrik, gang, lingkungan terkesan jorok dan menjadi sarang penyakit), fasilitas sosial kurang
(sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan) mata pencaharian penghuni tidak tetap, usaha non-formal, tanah
bukan milik penghuni, tingkat pendidikan rendah, tidak tercatat sebagai warga setempat, rawan kebakaran
dan rawan timbulnya penyakit.
Peremajaan lingkungan kumuh tanpa penggusuran bukan pekerjaan mudah. Penanganan masalah
lingkungan kumuh harus sederhana tetapi memerlukan pemikiran yang sophisticated. Hasan Poerbo (1990)
menegaskan peremajaan lingkungan kumuh menyangkut kesiapan sosial dan kelembagaan masyarakat,

110
pemecahan masalah lingkungan kumuh harus didasarkan atas kondisi setempat yang spesifik dan pendekatan
bersifat partisipatif. Partisipatif perlu diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat yang lingkungan permukimannya
akan diremajakan di dalam menentukan nasib sendiri.
Di pihak lain, Nugroho Sukmanto (REI, 1990) menyarankan empat pola peremajaan lingkungan
kumuh, yaitu relokasi (resettlement), pembebasan tanah, konsolidasi tanah (penataan kembali), dan partisipasi
masyarakat setempat dengan sistem bank tanah (land banking). Relokasi bisa dilakukan semacam transmigrasi
bedol desa, pembebasan tanah memberi peluang kepada warga setempat untuk tinggal di rumah susun atau
pindah ke daerah lain di pinggir kota, konsolidasi tanah adalah pengefektifan tanah dan wilayah perkotaan,
sedangkan bank tanah dapat mengendalikan harga tanah yang memperhatikan analisa biaya manfaat (cost
benefit analysis).
Dalam kaitannya dengan upaya melihat kondisi lingkungan pemukiman kumuh, Kelompok Pengkajian
Sistem Perkotaan BPPT (Siswanto Sewoyo dkk, 1990) mengidentifikasi lingkungan permukimnan kumuh di
DKI dengan melihat asal responden dan sifat tinggal di Jakarta, kondisi sosial ekonomi (pekerjaan,
pendidikan, dan pendapatan rumahtangga), lokasi pekerjaan, status rumah dan tanah, kondisi fisik rumah dan
penghuni rumah (klasifikasi bangunan, luas lantai bangunan, jumlah ruang, banyaknya keluarga/orang per
rumah), pendapat responden penghuni lingkungan kumuh (faktor positif dan negatif lingkungan perumahan
yang meliputi kondisi bangunan rumah, cukup tidaknya ruangan, air bersih, listrik, lokasi tempat kerja,
hubungan dengan tetangga, kualitas dan kuantitas fasilitas sosial, kamtibmas, kebersihan lingkungan dan
fasilitas transportasi, pilihan rumah dan cara membangun rumah).

Alternatif
Usaha peremajaan lingkungan kumuh harus dilakukan secara terpadu di antara pihak-pihak yang
terkait seperti Pemda, kalangan Swasta, lembaga keuangan/bank, termasuk warga setempat yang lingkungan
permukimannya akan diremajakan. Pemda melakukan kegiatan pencatatan luas tanah, status tanah, jumlah
penduduk, pemilikan tanah dan rumah, ijin bangunan, mata pencaharian warga, dan menyusun perkiraan
kebutuhan anggaran pembebasan. Pihak Swasta yang akan membangun kawasan tersebut memperhitungkan
jumlah pembiayaan dan perkiraan keuntungan yang akan diperolehnya dalam tenggang waktu tertentu. Jika
menguntungkan, Swasta akan melakukan peremajaan lingkungan kumuh seperti yang telah dan sedang
dilaksanakan di Kebon Kacang, Bendungan Hilir, dan Manggadua Selatan, Jakarta Pusat.
Dalam peremajaan lingkungan kumuh, perlu dilakukan penelitian tentang sikap, perilaku dan pandangan
masyarakat di lingkungan kumuh, terhadap usaha peremajaan lingkungan kumuh. Perlu dilakukan penyuluhan
intensif dan terus menerus sebelum, selama, dan setelah selesai pekerjaan fisik peremajaan tentang kepastian
pemilikan rumah, untung-rugi tinggal di rumah susun, dan tinggal yang lebih nyaman. Peremajaan lingkungan
kumuh harus dapat memecahkan masalah kumuh secara mendasar. Warga harus tidak tergusur, kecuali atas
kemauannya sendiri untuk pindah ke pinggiran kota atau mengontrak di tempat lain sehingga mereka akan
memiliki tabungan dari biaya pembebasan tanah akibat peremajaan lingkungan kumuh.
Paling sedikit dapat dikenal lima alternatif peremajaan lingkungan kumuh, yaitu (1) program perbaikan
kampung (MHT dan JUDP di Jakarta) dan GRIMP (Gradual Improvement Programme), (2) relokasi dan
penataan lingkungan permukiman kumuh dengan membangun rumah susun sederhana yang disewakan
kepada penghuni lama (pola PO Pembangunan Sarana Jaya di DKI Jakarta yang membangun rumah susun
sewa sederhana di Tambora, Karang Anyar, Cipinang, Pondok Kelapa, dan Penjaringan), (3) penataan
daerah kumuh dengan memasukkan Perumnas (penghuni lama menyewa dengan biaya murah sebesar
operating cost saja), (4) pembangunan rumah susun sederhana (Penghuni lama diberi ganti rugi, yang cukup
untuk membayar uang muka KPR), dan (5) pembebasan tanah dan melibatkan peran serta Swasta
(pembangunan lingkungan permukiman kumuh menjadi kawasan permukiman, pertokoan, perkantoran dan
perdagangan), dan (6) konsolidasi tanah perkotaan.
Betapa pun sukarnya melaksanakan prinsip peremajaan lingkungan kumuh tanpa menggusur warga
setempat, dalam setiap program peremajaan kota dan peremajaan lingkungan kumuh haruslah memperhatikan
kepentingan warga di samping kepentingan lainnya. Pengalaman pelaksanaan program peremajaan lingkungan
kumuh yang dilakukan oleh Perum Perumnas dengan membangun Rumah Susun Kebon Kacang pada tahun

111
1984 (dihuni oleh rumah tangga yang berpenghasilan per bulan Rp 350.000,- ke atas, hanya 20% penduduk
asli yang tinggal di rumah susun, selebihnya pindah ke pinggiran kota atau menyewa di rumah-rumah petak
sewa di sekitar rumah susun) dan pembangunan rumah susun sewa sederhana pola PO Pembangunan
Sarana Jaya untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dengan sewa Rp 900 s/d Rp 1.200,- per
hari, harus dijadikan masukan dalam program peremajaan lingkungan kumuh berikutnya.
Subsidi silang (cross subsidy) perlu diterapkan dalam peremajaan lingkungan kumuh dengan membangun
rumah susun. Semakin berkembangya rumah-rumah sewa dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi
Pemerintah untuk mengkaji penyediaan kredit rumah sewa (bagi para pembangun rumah sewa) dan kredit sewa
rumah (bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah yang akan menyewa rumah) di
samping KPR Rumah Sederhana dan KPR KSB (Kapling Siap Bangun). Untuk mendorong pembangunan
rumah sewa dan rumah susun, perlu diberikan kemudahan, antara lain pembebasan pajak atas nilai,
keringanan pembayaran PBB, dan keringanan dalam persyaratan perencanaan bangunan. Di sampiing itu,
perlu dilakukan pengawasan yang ketat terhadap ketaatan pihak Swasta dalam menyediakan sebagian dari
tanah proyeknya untuk pembangunan rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Pelita, 31 Agustus 1990

Koordinasi Penanganan Permukiman Kumuh


lnstruksi Presiden Nomor 5 Tahun 1990 tentang peremajaan permukiman kumuh yang berada di atas
tanah Negara ditetapkan setelah menimbang, (a) bahwa dalam rangka mempercepat peningkatan mutu
kehidupan masyarakat terutama bagi golongan masyarakat terutama bagi go Iongan masyarakat berpenghasilan
rendah yang bertempat tinggal di kawasan permukiman kumuh yang berada di atas tanah Negara, perlu
dilaksanakan peremajaan permukiman kumuh, (b) bahwa untuk mempercepat pelaksanaan peremajaan
permukiman kumuh tersebut, perlu didorong keikutsertaan BUMN, BUMD, Yayasan dan Perusahaan Swasta
serta masyarakat luas, (c) bahwa penanganan peremajaan permukiman kumuh tersebut perlu dilakukan
secara terkoordinasi oleh instansi-instansi yang terkait, dan (d) bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut
dipandang perlu untuk mengeluarkan lnpres.
lnpres ini menginstruksikan Menpera, Mennegrenbangnas/Ketua Bappenas, Menneg-KLH, Mendagri,
Men-PU, Mensos, Menkeu, Kepala BPN, Para Gubernur Kepala DT I, dan Para Bupati!Walikotamadya
Kepala DT II, untuk melaksanakan peremajaan permukiman kumuh di daerah perkotaan terutama yang
berada di atas tanah Negara di seluruh Indonesia. Yang dimaksud dengan Peremajaan Permukiman Kumuh
(PPK) di sini adalah pembongkaran sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar atau
seluruhnya berada di atas tanah Negara dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas
lingkungan rumah susun serta bangunan-bangunan lainnya sesuai dengan rencana tata ruang kota yang
bersangkutan.
Menpera menindaklanjuti lnpres Nomor 5 Tahun 1990 dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 04/
SE/M/1/93 tanggal 7 Januari 1993 yang dikirim kepada para Gubernur dan Bupati!Walikotamadya di seluruh
Indonesia perihal Pedoman Umum Penanganan Terpadu Perumahan dan Permukiman Kumuh. Data
perkembangan program peremajaan permukiman kumuh sampai dengan 1990 dapat dilihat pa.da Tabel 1.
Untuk meningkatkan koordinasi, maka tulisan ini berusaha menyampaikan pemikiran tentang koordinasi
penanganan peremajaan permukiman kumuh.

Koordinasi
Sebagai tindak lanjut dari lnpres Nomor 5 Tahun 1990, Menpera telah membentuk Tim Pembina dan
Tim Teknis Koordinasi dan Evaluasi In pres Nomor 5 Tahun 1990 melalui Kepmenpera Nomor 02/Kpts/1992
tanggal 2 Maret 1992. Tim Pembina yang dipimpin oleh Asmen II Menpera dan beranggotakan Dirjen Cipta

112
Karya, Dirjen Bina Kesejahteraan Sosial, Staf Ahli Mendagri, Dirjen Anggaran, Staf Ahli Kantor Menneg-KLH,
Deputi Bidang Pengaturan, Penguasaan dan Penatagunaan Tanah BPN, dan Banas Asmenpera Urusan
Peremajaan Kota dan Rumah Susun, bertugas (a) menyusun kebijaksanaan dan pedoman pelaksanaan
secara nasional untuk ditetapkan oleh instansi yang bersangkutan, (b) melakukan pembinaan secara
terkoordinir atas keikutsertaan dan peranan aktif Pemda, BUMN/BUMD, Yayasan, Perusahaan Swasta,
dalam program kegiatan peremajaan permukiman kumuh di daerah perkotaan terutama yang berada di atas
tanah negara, (c) melaksanakan monitoring, evaluasi dan pembinaan kegiatan peremajaan permukiman
kumuh yang diprogramkan oleh Pemda, dan (d) melaporkan hasil program peremajaan permukiman kumuh
secara periodik kepada Menpera selaku Koordinator lnpres Nomor 5 Tahun 1990.
Tim Teknis dipimpin oleh Banas II Menpera Urusan Peremajaan Kota dan Rumah Susun, beranggotakan
Direktur Perumahan, Banas Asisten I Menpera Urusan Kelembagaan, Karo Kesejahteraan Sosial dan
Perumahan Rakyat Bappenas, Kantor Menneg-KLH, Direktur Bina Pengembangan Perkotaan Depdagri,
Direktur Penyuluhan dan Bimbingan Sosial Depsos, Direktur lnvestasi Depkeu, Direktur Penyediaan Tanah
lnstansi Pemerintah BPN, dan Staf Banasrumta pada Asisten II Menpera, bertugas (a) menyiapkan materi
pedoman dan pelaksanaan operasional, (b) menyiapkan konsep-konsep pembinaan dan koordinasi kepada
instansi-instansi yang terkait dalam program kegiatan peremajaan permukiman kumuh, (c) membantu Tim
Pembina dalam melakukan monitoring dan evaluasi program peremajaan permukiman kumuh di daerah-
daerah, dan (d) membantu Tim Pembina menyiapkan laporan hasil program peremajaan permukiman kumuh
yang dilaksanakan.
Mengacu pada Kepmenpera Nomor 02/Kpts/1992, perlu segera dibentuk petunjuk teknis (juknis),

label 1 . Perkembangan Program Peremajaan Permukiman Kumuh

Jumlah Tahun
No. Lokasi Luas Pembangunan Pelaksana
(Ha) (Unit)

A. Yang telah selesai :


1' Kebon Kacang, Jakarta Pusat 2,00 536 81-83 Perumnas
2. Sukarame, Medan 5,00 400 85-87 Perumnas
3. llir Barat, Palembang 24,00 3.584 82·86 Perumnas
4. Penjaringan, Jakarta Utara 4,24 702 84·87 APBN/APBD
5. Kentingan, Solo 0,30 50 89-90 Cipta Karya
6. Bangunrejo, Surabaya 0,20 50 89-90 APBN/APBD

B. Sedang dalam Pelaksanaan :


1' Bangunrejo, Surabaya 0,50 100 89·90 APBN/APBD
2. Kampung Sombo, Surabaya 2,00 132 90·91 Swasta/ABPD
3. Kemayoran, Jakarta 30,00 6.432 90·93 Perumnas
4. Sukarame, Medan 3,32 400 90 Swasta
5. Muara Angke, Jakarta Barat . . 90 APBD
6. Karanganyar, Jakarta Pusat . . 90 PO Sarana Jaya

c. Sedang dalam persiapan :


1' Pulogadung, Jakarta Timur 3,00 428 90 YDBKS
2. Pejompongan, Jakarta Pusat 2,00 300 90 Swasta
3. Tanah Abang, Jakarta Pusat 2,00 960 90 Swasta
4. Kebon Melati, Jakarta Pusat 12,00 2.000 90 REI
5. Kalilio, Jakarta Pusat 3,00 400 90 Swasta
6. Duri Utara, Jakarta Barat 7,80 600 90 YDBKS
7. Pademangan, Jakarta Utara 6,30 1.000 90 YDBKS
Sumber: Kantor Menpera (1990), "Pokok-pokok Materi untuk dilaporkan pada Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekuin"
Tanggal 7 Nopember 1990.

113
petunjuk pelaksanaan Uuklak), pedoman teknis (domnis), pedornan pelaksanaan (domlak), dan pedoman
penanganan peremajaan permukiman kumuh (secara terpadu), pedornan koordinasi penanganan peremajaan
permukiman kumuh, pedoman pelaksanaan operasional peremajaan permukiman kumuh, pedoman pembinaan
terhadap instansi dan masyarakat dalam rangka peremajaan permukiman kumuh, pedoman monitoring
(pemantauan) dan evaluasi program peremajaan permukiman kumuh, dan pedoman pembuatan laporan hasil
program peremajaan permukiman kumuh, yang dapat digunakan oleh Pemerintah Daerah dalam melaksanakan
kegiatan yang terkait dengan peremajaan permukiman kumuh. ·
-

Tabel 2. Program Peremajaan Lingkungan Kumuh Berdasarkan lnpres Nomor 5 Tahun 1990
tentang Peremajaan Permukiman Kumuh di atas tanah Negara
LUAS JUMLAH BIAYA
NO. LOKASI (Ha) (KK) (Milyar Rp)
Sedang berjalan :
1. Jakarta
Duri Utara, Jakarta Barat 7,83 874 30,8
Pademangan, Jakarta Utara 6,40 987 21,2
Bendungan Hilir, Jakarta Pusat 3,30 876 15,1
Kebon Kacang, Jakarta Pusat 3,43 354 12,7
Pulogadung, Jakarta Timur 3,40 154 12,5
2. Bandung
Jalan lndustri Dalam 2,25 250 5,0
3. Surabaya
Jalan Semarang 0,92 340 5,0

Jumlah (*) 27,53 3.835 102,3

Direncanakan :
1. Jakarta
Kebon Kosong dan Gunung Sahari, 37,50 3.963 118,0
Jakarta Pusat
Kampung Sawah, Jakarta Barat 5,39 1.670 5,0
Pulogadung, Jakarta Timur 3,47 244 12,5
2. Bandung
Kawasan Pasar Simpang 1,80 112 8,6
Jalan lndustri Dalam 2,00 208 4,0
3. Semarang
Kelurahan Pekunden 4,90 88 2,7
Kelurahan Sekayu 6,30 222 -
Lokasi Jagalan - - -
4. Manado
Tanah Kotamadya 6,80 650 7,4

Keterangan: (*) belum termasuk lokasi Sombo di Surabaya dan Sukarame Medan.
Sumber: Diolah dari data pada Kantor Menpera, Mei 1992.

Berbagai pedoman ini harus sejalan dengan isi UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman serta UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang dan peraturan perundang-undangan
lainnya yang terkait. Dikaitkan dengan keterbatasan dana Pemerintah, maka seperti kebijaksanaan
pembangunan perumahan yang lainnya, penanganan PPK harus mengutamakan kegiatan yang bertumpu
pada kemandirian masyarakat (Soeroto, 1992) dan komunitas (Hasan Purbo, 1992).
Untuk menciptakan perumahan dan permukiman yang layak, sehat, aman, serasi, dan teratur dalam
menuju pembangunan yang berkelanjutan, berwawasan lingkungan dan kelestarian lingkungan hidup, serta

114
meningkatkan harkat dan martabat khususnya golongan masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat
rendah, mutu kehidupan dan kesejahteraan, kualitas kehidupan manusia Indonesia dalam berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka perlu ditingkatkan dan ditumbuhkembangkan penanganan
PPK secara terpadu, terarah, berencana dan berkesinambungan. Penanganan ini tetap harus mengacu pada
asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, dan
keterjangkauan.
PPK menyangkut pembangunan fisik dan pembinaan sosial-ekonomi masyarakat, melalui program
perbaikan, pemugaran, peremajaan, dan relokasi permukiman kumuh. Karena itu penanganan dan pembinaan
masyarakat yang terkena program PPK harus bisa menciptakan kebutuhan fisik dan manusianya. Peran serta
harus merata, baik Pemerintah Pusat, maupun Pemda Tingkat I, Pemda Tingkat II, BUMN, BUMD, Koperasi,
Yayasan, Perusahaan Swasta, dan Masyarakat (penghuni dan masyarakat umum). Dikaitkan dengan
keterjangkauan, maka program PPK perlu dikaitkan dengan pengadaan rumah sederhana, rumah sangat
sederhana, rumah inti atau rumah tumbuh, rumah susun sederhana/murah, rumah sewa, dan kapling siap
bangun.
Kegiatan yang terkait dengan pembinaan sosial-ekonomi masyarakat, meliputi pendekatan perilaku
dan kebiasaan masyarakat, kegiatan usaha, ketrampilan dan kerajinan, penyuluhan, bimbingan teknis dan
sosial, pengembangan kegiatan kelompok, arisan, jimpitan, budaya gotong royong, pembinaan kesejahteraan
keluarga melalui ujung tombak kelompok dasawisma ibu-ibu, karang taruna, LKMD, LSM, penyuluhan di
bidang pendidikan dan kesehatan, budaya hidup bersih dan sehat, penataan permukiman sehat, kesadaran
dan kemampuan teknik produksi, ilmu pengetahuan dan teknologi, kelembagaan, keterkaitan dengan
kegiatan proyek sektor lain, teknologi tepat guna, pemeliharaan dan pengelolaan fasilitas lingkungan.

Peran Pemda
Melalui Surat Edaran Mendagri Nomor 648/1703/PUOD tanggal 3 Mei 1991 kepada para Gubernur dan
Bupati/Walikotamadya, para Gubernur dan Bupati/Walikotamadya diminta menentukan pokok-pokok
kebijaksanaan dan strategi dibidang perumahan dan meningkatkan koordinasi pembangunan perumahan di
Daerah. Sebagai Pembina, diharuskan menyusun program yang didukung berbagai sumber dana,
menggerakkan kegiatan usaha Swasta dan Swadaya Masyarakat, memadukan penyelenggaraan program
APBN, APBD, dan Dana Swasta/Masyarakat, serta melakukan pemantauan dan evaluasi kegiatan
pembangunan perumahan, dalam hal ini penanganan perumahan dan permukiman kumuh. Data yang harus
selalu diperbaharui antara lain menyangkut keadaan dan masalah perumahan (kota dan desa), berbagai
kegiatan koordinasi, perkembangan proyek perumahan yang dibangun BUMN, BUMD, Swasta, dan Swadaya
Masyarakat, serta kebijaksanaan dan peraturan yang dibuat. Program peremajaan lingkungan kumuh yang
telah direncanakan di Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, dan Man ado dapat dilihat pad a Tabel 2.
Keberhasilan penanganan perumahan dan permukiman kumuh di kota-kota besar di seluruh Indonesia
banyak ditentukan oleh sejuah mana Bupati!Walikotamadya dapat memobilisasi dana dan sumber daya untuk
menangani secara terpadu perumahan dan permukiman kumuh, baik melalui perbaikan atau pemugaran,
peremajaan atau relokasi. Prinsip bina manusia, bina lingkungan, dan bina usaha haruslah diterapkan secara
bersamaan dalam menangani permukiman kumuh. Peran serta dan partisipasi Swasta dan Masyarakat harus
ditumbuhkan melalui pola kemitraan (pemerintah, swasta, masyarakat) dalam penanganan perumahan dan
permukiman kumuh secara terarah dan terpadu. Pemerintah, Swasta, Yayasan, LSM, Koperasi, PKK,
Gerakan melalui HKSN, pakar perumahan, tokoh masyarakat, kesemuanya perlu dikerahkan secara terpadu
dalam menangani permasalahan perumahan dan permukiman kumuh.
Suara Pembaruan, 4 Februari 1994

115
Relokasi Permukiman Kumuh Nelayan
Program pengadaan Perumahan Sangat Sederhana (Rumah Sangat Sederhana, RSS), yang semula
disediakan untuk pegawai negeri golongan I dan II, buruh pabrik, dan pekerja sektor informal, diperluas
sehingga menjangkau masyarakat nelayan yang sebagian besar tinggal di permukiman kumuh. Kantor
Menpera mencatat bahwa dari 62.061 desa di Indonesia ada 7.121 desa (11.4%) dengan jumlah penduduk
sekitar 2.4 juta kk yang mata pencahariannya di bidang perikanan atau pekerjaannya nelayan. Mereka dapat
dirinci menjadi 1.004.667 kk (41 ,5%) nelayan penangkap ikan di laut, 445.776 kk (18,5%) penangkap ikan di
perairan lepas, 11.269 kk (4,5%) petani tambak, dan 852.163 kk (35,5%) petani air tawar.
Sekitar 1,5 juta kk (65%) nelayan (petani tambak) bermukim di desa pantai yang letaknya pada
umumnya terpencil, sulit memperoleh bahan bangunan lokal dan sumber air bersih. Hasil penelitian yang
dilakukan Direktorat Perumahan, Ditjen Cipta Karya PU, mencatat hanya 0.4% dari perumahan masyarakat
nelayan yang kondisinya baik, 40,5% agak baik, dan 59% sisanya buruk serta tidak. memenuhi syarat
kesehatan. Desa nelayan berkembang secara spontan atas swadaya masyarakat, belum memperoleh
pembinaan dan pengaturan dari pemerintah. Lambat laun, permukiman mereka cenderung menjadi lingkungan
kumuh. Beberapa Pemda Tingkat II mulai memberikan perhatian terhadap permukiman nelayan, dengan
melakukan perbaikan lingkungannya, antara lain di Balikpapan, Asahan, Medan, Padang, Gorontalo, dan
Muna. Pengalaman di beberapa kota tersebut, dapat dijadikan masukan dalam merumuskan kebijaksanaan
pembangunan perumahan untuk nelayan.

Kebijaksanaan
Permasalahan desa nelayan yang menonjol antara lain lokasinya yang berada di atas tanah basah
atau rawa yang dipengaruhi air pasang surut. Tingkat pendapatan masyarakat nelayan umumnya rendah dan
sangat terbatas, padahal mata pencaharian di laut bertarung dengan nyawa serta merupakan pekerjaan yang
berat dan keras. Kurangnya bimbingan dan penyuluhan dari pemerintah, m'engakibatkan sikap negatif
masyarakat nelayan sukar dihilangkan, misalnya sikap acuh terhadap upaya pembaruan dan kemajuan,
mudah menyerah pada nasib, pasrah dan percaya kepada pertolongan Tuhan semata-mata, jarang menabung,
masih melekatnya budaya konsumtif Oika memperoleh rezeki atau panen ikan, digunakan untuk keperluan
konsumtif yang berlebihan).
Salah satu alternatif kebijaksanaan permukiman masyarakat nelayan adalah relokasi permukiman
kumuh masyarakat nelayan. Sidang Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional (BKPN) tanggal 24 September
1992 mencoba merumuskan enam langkah kebijaksanaan relokasi permukiman kumuh masyarakat nelayan.
Pertama, secara planologis, permukiman kumuh masyarakat nelayan ada yang sesuai dan ada juga yang
tidak sesuai dengan RUTR atau RDTR dan secara demografis kepadatannya berbeda-beda. Permukiman
yang sesuai dengan RUTR, dan kurang padat penduduknya, diperbaiki, dipugar, atau ditata kembali
(konsolidasi). Yang sesuai dengan RUTR tetapi sangat padat penduduknya, diremajakan atau direlokasi.
Yang tidak sesuai dengan RUTR, permukimannya direlokasi.
Kedua, pemrakarsa program relokasi pembangunan perumahan nelayan adalah Pemda Tingkat II,
didukung Pemda Tingkat I, Proyek sektoral di daerah, dan fasilitas RSS dari BTN. Ketiga, perhitungan harga
jual rumah bagi masyarakat nelayan tidak termasuk harga tanah dan pematangan tanah maupun biaya
pembangunan prasarana lingkungan. Keempat, standar teknis lingkungan dan konstruksi bangunan, maupun
kualitas dan jenis bahan bangunan RSS, didasarkan pada kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan,
tingkat penghasilan, kemampuan memberi, serta persediaan bahan bangunan lokal, terutama yang diusahakan
masyarakat desa setempat.
Kelima, pemerintah mengusahakan alternatif baru bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya,
seperti melalui industri rumahtangga, usaha tambak gotong-royong, dan sebagainya. Masyarakat nelayan
akan tetap miskin jika hanya mengandalkan mata pencaharian pencari ikan. Keenam, relokasi permukiman
kumuh masyarakat nelayan dilakukan melalui tiga penanganan kegiatan secara terpadu, yaitu pembangunan
lingkungan permukiman nelayan, pengadaan RSS. dan pembinaan masyarakat nelayan.

116
Operasionalisasi kebijak::;anaan relokasi permukiman kurr1uh masyarakat nelayan perlu mengacu pada
prosedur pengajuan dan persetujuan rencana pembangunan sebagai berikut. Menpera menetapkan Pedoman
Pengadaan RSS dan Pembangunan Permukiman Nelayan dalam rangka program Relokasi Permukiman
Kumuh Masyarakat Nelayan. Pemda Tingkat II menyusun Rencana Pengadaan RSS dan Pembangunan
Permukiman Nelayan secara terpadu dan mengajukannya kepada Menpera (mengacu pada Surat Mendagri
Nomor 648/PUOD/17 43 Tahun 1990) untuk mendapatkan persetujuan.
Menpera membentuk Tim Evaluasi beranggotakan unsur terkait, dengan tugas meneliti kelayakan
usulan rencana Pemda Tingkat II dan mengusahakan keterpaduan pelaksanaan perencanaan program dan
anggaran proyek sektoral terkait. Berdasarkan laporan Tim Evaluasi dan Bahan Pertimbangan lainnya.
Menpera dapat menyutujui atau menangguhkan usulan rencana Pemda Tingkat II.
Pembangunan lingkungan permukiman nelayan, dilakukan melalui keterpaduan perencanaan lingkungan
permukiman nelayan dengan pembangunan prasarana dan fasilitas lingkungan. Dalam merencanakan
lingkungan permukiman nelayan, Pemda Tingkat II memilih lokasi (pada tanah yang dikuasai negara dan
sesuai dengan RUTR) dan dengan mempertimbangkan luas tanah untuk menampung penduduk di lingkungan
permukiman kumuh yang akan dipindahkan. Pemda Tingkat II juga merencanakan dan menetapkan Perda
tentang Kawasan Permukiman Nelayan yang fungsional dan terpadu (termasuk Rencana Lingkungan
Permukiman Nelayan dan Rencana Kaveling Tanah Matang, didukung Pemda Tingkat I dan Pemerintah
Pusat), mengacu pada UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
Dalam membangun prasarana dan fasilitas lingkungan, Pemda Tingkat II melaksanakan dan menguasai
pengadaan tanah bagi relokasi permukiman kumuh masyarakat nelayan, serta mengusahakan kelancaran
proses sertifikasi tanah dan dengan biaya perizinan serendah mungkin. Pemda Tingkat I dan instansi sektoral
terkait mendukung Pemda Tingkat II dalam pembangunan prasarana dan fasilitas lingkungan. Pemda Tingkat
I dan instansi sektoral yang terkait, mendukung Pemda Tingkat II dalam membangun prasarana dan fasilitas
lingkungan serta prasarana usaha perikanan. Koordinasi dilakukan secara berjenjang, oleh Kantor Menpera
di Tingkat Pusat dan Pemda Tingkat I dan II di Tingkat Daerah.

Rumah Sangat Sederhana


Rumah Sangat Sederhana (RSS), dibangun di desa nelayan dalam upaya meningkatkan kondisi
lingkungan perumahan dan permukiman nelayan sekaligus meningkatkan tarat hidup mereka. Agar program
pengadaan RSS untuk nelayan berhasil mencapai .sasaran, perlu dilakukan inventarisasi desa nelayan,
tingkat pendapatan, keinginan dan aspirasi nelayan, penyuluhan, serta koordinasi. Menurut Depdagri ada
beberapa tipe desa nelayan, yaitu desa pantai tipe tanaman pangan, tanaman industri, usaha transportasi,
perdagangan, serta tipe nelayan dan tambak. Koordinaasi di daerah dilaksanakan sesuai dengan PP Nomor
6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan lnstansi Vertikal di Daerah yang petunjuk pelaksanaannya
ditetapkan melalui lnmendagri Nomor 18 Tahun 1989 (koordinasi dalam perencanaan, pelaksanaan, pelaporan,
pengawasan dan pembinaan).
Beberapa Pemda Tingkat II mulai menaruh perhatian terhadap perbaikan perumahan nelayan,
contohnya di Kabupaten Asahan, Kotamadya Medan, Kotamadya Gorontalo, dan Kabupaten Cilacap.
Caranya antara lain dengan memindahkan masyarakat nelayan ke permukiman baru yang tanahnya
disediakan oleh Pemda Tingkat II, prasarana lingkungan dibiayai APBD Tingkat II atau lnpres. Dari 1.137 Ha
tanah negara di Kotamadya Medan, 80 Ha akan dijadikan areal permukiman nelayan, 20 Ha fasilitas
pendukung permukiman, dan 1.037 Ha dijadikan kawasan industri. Tahap pertama akan dibangun 1.714 unit
rumah, masing-masing 1.200 unit T-27 dan 514 unit T-36. Langkah berikutnya, akan dibangun rumah sangat
sederhana (RSS) sesuai dengan yang disarankan Menpera.
Percontohan perumahan nelayan yang berjejer rapi dan berkesan bersih, terdapat di Desa Dahari,
Selebar, Kecamatan Tatawai, Kabupaten Asahan (126 km Tenggara Medan). Rumah 7x5 meter persegi
berbentuk kopel, atap rumbia, dinding papan, dicicil Rp 250 perhari selama 4 tahun. Sebanyak 30 kopel (60
rumah), dilengkapi satu unit Tempat Pelelangan lkan, rumah makan, kedai kopi, dan warung serba ada, serta
poskamling. Subsidi Pemda Tingkat II sebesar 65% dan 35% sisanya dicicil para nelayan melalui arisan atau
tabungan keluarga.

117
Pada Sidang BKPN tanggal 24 September 1992, Menpera menyatakan bahwa dari pengamatan di
beberapa daerah, disimpulkan bahwa pengadaan RSS dengan fasilitas KPR-BTN atau KP-RSS bagi para
nelayan, layak. Penanganannya bisa dilakukan bersama oleh Pemerintah Daerah Tingkat I dan II, BTN,
Perum Perumnas, Koperasi, dan jika mungkin BPD. Pengadaan rumah sargat sederhana untuk para nelayan
ini bisa saling mengisi dengan penerapan P2LDT, permukiman terpadu, pembinaan para nelayan, penerapan
asas tribina (bina manusia, usaha dan lingkungan fisik) yang bertumpu pada masyarakat dan berwawasan
lingkungan.
Sarana dan prasarana lingkungan ditangani Pemda Tingkat I dan II, pengadaan tanah dan
pernatangannya dilakukan Pemda Tingkat II, prasarana perikanan dilakukan Ditjen Perikanan, kegiatan
koperasi nelayan dibina Departemen Koperasi, dan keterpaduan berbagai progrnm ditangani Depdagri.
Pengadaan RSS mengikuti Ketentuan Menpera yang telah berlaku, yaitu mengacu pada Kepmenpera Nomor
03/Kpts/1992 tentang pengadaan perumahan dan permukiman dengan dukungan fasiitas Kredit Pemilikan
untuk Kapling Siap Bangun (KP-KSB) dan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) untuk rumah sederhana dan rumah
sangat sederhana.
RSS dapat dibangun oleh Perum Perumnas, developer swasta, koperasi atau masyarakat secara
perorangan, dengan dukungan KP-RSS. Jika RSS dibangun Perumnas, deVf~loper swasta atau koperasi,
diberlakukan KP-RSS dengan tarif sistem progresif (setelah 1-2 tahun, cicilan dinaikkan disesuaikan dengan
peningkatan pendapatan penghuni). Jika RSS dibangun sendiri oleh penghuni, diberikan pinjaman pembangunan
sebesar maksimum 90% dari maksimum harga jual RSS. Suku bunga 10% per tahun selama 20 tahun.
Sejalan dengan itu, Tabungan RSS dimasyarakatkan di kalangan masyarakat nelayan.
Mengingat pengadaan rumah sangat sederhana untuk nelayan dibantu oleh Pemda Tingkat II,
terutama dalam pengadaan tanah, maka maksimum KP-RSS yang semula Rp 3 juta berkurang menjadi
sekitar Rp 1,5 juta. Dengan demikian cicilan juga menjadi lebih rendah dibandingkan dengan cicilan RSS
yang selama ini telah berjalan di daerah perkotaan. Sejalan dengan program pengadaan rumah sangat
sederhana untuk para nelayan, perlu sedini mungkin dilakukan penyuluhan, penyebarluasan, dan
pemasyarakatan terpadu mengenai perumahan nelayan serta penggalangan dan pengorganisasiarr masyarakat
nelayan agar mereka mempunyai kesiapan fisik dan mental untuk tinggal di rumah sangat sederhana dengan
fasilitas KPR-BTN. Untuk itu, jalur LKMD harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, tokoh masyarakat nelayan
diinformasikan secepatnya, arisan masyarakat ditingkatkan, dan budaya menabung masyarakat ne!ayan perlu
makin dikembangkan.
Sejalan dengan pengadaan RSS untuk nelayan, perlu dilakukan pembinaan terhadap masyarakat
nelayan yang meliputi penyuluhan, pembentukan kelompok arisan perumahan, program kelompok belajar
usaha dan program Kejar Paket A (Depdikbud), pembinaan usaha ekonomi masyarakat (program usaha
per.ingkatan pendapatan, program bantuan kesejahteraan sosial, program usaha ekonomi desa, dan bantuan
sarana usaha perikanan), program rumah sehat, serta pembinaan masyarakat di bidang pengelolaan dan
pemeliharaan lingkungan permukiman, pemeliharaan fasilitas prasarana dan sarana desa.
Dengan upaya-upaya tadi, relokasi permukiman kumuh nelayan (di desa) yang identik dengan
peremajaan lingkungan permukiman kumuh di atas tanah negara (di kota) diharapkan dapat dilaksanakan
serentak di seluruh Indonesia, sehingga penyediaan rumah untuk seluruh masyarakat (housing for all to the
year 2000) seperti yang dikehendaki oleh UNCHS/Habitat dapat segera diwujudkan.
Angkatan Br.rsenjata, 13 Nopember 1992

Lingkungan Kumuh Menanti Peran Swasta


Tingkat urbanisasi yang tinggi dan pertambahan penduduk perkotaan 4,26% per tahun, mengakibatkan
pesatnya pertumbuhan kota. Rumah sebagai sala.h satu kebutuhan dasar manusia sangat penting artinya
bagi penduduk perkotaan. Hanya 15% dari kebutuhan rumah yang dapat disediakan oleh sektor formal

118
(Pemerintah, Perum Perumnas, BUMN, SUMO, Perusahaan Daerah, dan Swasta) dan 85% sisanya
disediakan oleh sektor informal di atas tanah yang legal maupun ilegal, tidak teratur, tidak ada saluran
pembuangan air hujan dan air limbah, fasilitas air bersih, pembuangan sampah dan jaringan listrik.
Mahalnya harga tanah dan kurang ketatnya pengawasan pembangunan kota menyebabkan tumbuhnya
rumah-rumah liar dan rumah siput berukuran 9-12 meter persegi. Ketidakmampuan golongan masyarakat
berpenghasilan rendah (GMBR) untuk mencicil rumah yang disediakan oleh Perumnas, KPR BTN, KPR KSB,
atau menyewa rumah susun sederhana yang disediakan BUMN (PO Pembangunan Sarana Jaya DKI
Jakarta), mengakibatkan banyaknya warga membangun rumah-rumah gubuk di atas tanah kosong milik
negara. Misalnya di bantaran kali, kanal, sepanjang tepi rei kereta api, pojok-pojok taman, kolong jembatan.
Rumah mereka dikenal sebagai rumah kumuh (slums) dan rumah-rumah yang tidak teratur (squatters).
Jelasnya lingkungan perumahan yang sangat padat penduduknya, tetapi tidak memiliki prasarana dan
sarana lingkungan yang memenuhi syarat teknik dan kesehatan.

Peremajaan
Menurut Menpera, lingkungan kumuh adalah salah satu unsur pendukung fungsi kota dan dapat dibagi
ke dalam lima jenis. Pertama, lingkungan kumuh di lokasi yang sangat strategis dalam mendukung ekonomi
kota. Lingkungan ini cocok untuk diremajakan melalui prinsip membiayai sendiri, mengembalikan modal
sendiri (cost recovery) atau subsidi silang (cross subsidy). Kedua, lingkungan kumuh yang kurang strategis
dalam mendukung fungsi ekonomi kota. Peremajaan kota pada daerah ini tidak memikirkan pengembalian
modal secara penuh. Ketiga, lingkungan kumuh di daerah tidak strategis yang dapat diremajakan untuk
perumahan. Keempat, lingkungan kumuh di lokasi bukan untuk perumahan yang jika diremajakan seluruh
penghuninya harus dipindahkan. Kelima, lingkungan kumuh di lokasi berbahaya (daerah pengamanan),
misalnya di sepanjang bantaran sungai, rei kereta api, dan kolong jembatan. Lingkungan seperti ini harus
dibongkar dan perlu dibersihkan. Contohnya, Tanah Abang Bongkaran dan sepanjang Banjir Kanal.
Data proyek perbaikan kampung menunjukkan bahwa lingkungan kumuh di empat kota besar di Pulau
Jawa cukup luas, masing-masing 4.481,6 Ha (dihuni 2.377.000 jiwa) di DKI Jakarta, 402,5 Ha (205.465 jiwa)
di Bandung, 2.244 Ha (438.688 jiwa) di Semarang dan 2.196 Ha (900.870 jiwa) di Surabaya. Demikian juga
lingkungan kumuh di kota-kota besar atau kota sedang lainnya seperti Medan, Palembang dan Ujung
Pandang.
Peremajaan lingkungan kumuh adalah bagian dari peremajaan kota. Peremajaan kota (Menpera,
1990) adalah segala upaya dan kegiatan pembangunan yang terencana untuk mengubah dan memperbaharui
suatu kawasan terbangun di kota yang sudah merosot fungsinya agar meningkat lagi sesuai dengan
pengembangan kota. Setelah diremajakan, diharapkan kawasan tersebut lebih efektif, efisien dan produktif,
baik fisik maupun tatanan sosial ekonomi masyarakatnya. Peremajaan lingkungan perumahan merupakan
bagian dari peremajaan kota di mana yang diremajakan adalah kawasan hunian atau lingkungan perumahan.
Apapun bentuk peremajaan lingkungan perumahan, sebaiknya harus dapat menampung atau
memukimkan kembali seluruh penduduk semula di dalam lokasi yang diremajakan. Peremajaan lingkungan
Kebon Kacang dengan pembangunan rumah susun Perumnas ternyata hanya dapat menampung 20%
penduduk asli, karena ketidakmampuan mereka untuk mencicil unit rumah susun. Kemudian, tanah di
sebelahnya yang semula akan dibangun rumah susun Perumnas, ternyata akan diremajakan menjadi
bangunan gedung bank dan perkantoran sambungan Jalan Thamrin, sehingga warga terpaksa lari ke
pinggiran kota.
Sementara itu, belakangan ini masyarakat lbukota disuguhi pula berita-berita mengenai peremajaan
lingkungan kumuh dan rencana pembangunan rumah susun sederhana. Mulai dari rencana pembangunan
7.300 unit rumah susun berbagai tipe dan jenis di Kemayoran, rumah susun sewa yang dibangun PO
Pembangunan Sarana Jaya dan rumah susun yang akan dibangun oleh perusahaan swasta. Siapa pun yang
akan membangun rumah susun, paling sedikit lima hal harus diperhatikan. Pertama, biaya pembebasan tanah
tinggi dan biaya pembangunan rumah susun sangat tinggi. Kedua, GMBR tidak mampu menjangkau cicilan
rumah susun dan mereka belum biasa tinggal di rumah susun. Karena itu pemasyarakatan, penyuluhan dan
pembudayaan hidup di rumah susun, perlu dilakukan.

119
Ketiga, masyaral\at belum menyukai tinggal di rumah su3un. Uari 3.584 unit rumah susun yang
dibangun di Palembang, sedikit sekali yang berminat tinggal di sana. Keempat, subsidi silang dalam
pembangunan rumah susun belum berjalan. Terbukti dari pembayaran yang sama oleh penghuni penduduk
asli dan pendatang baru. Ke!ima, peremajaan yang hanya membangun rumah susun kurang menguntungkan.

Pemecahan Masalah
Memperhatikan kendala-kendala di atas, ada dua alternatif penanganan lingkungan kumuh, yaitu
perbaikan kampung (untuk lingkungan yang tidak terlalu padat) dan peremajaan lingkungan padat penduduk.
Dalam perbaikan kampung, pemerintah memperbaiki sarana dan prasarana lingkungan seperti pengerasan
jalan, pembuatan saluran, pembuangan air hujan atau air limbah, penyediaan air bersih dan pembuangan
sampah. Pembangunan rumahnya sendiri diserahkan kepada para pemilik. Dalam peremajaan lingkungan
padat penduduk, kampung dibongkar dan dibangun prasarana dan sarana lingkungan, perumahan, perkantoran,
pertokoan dan fasilitas lingkungan. Contohnya, 960 unit rumah susun Perumnas di Tanah Abang, 536 unit
Kebon Kacang dan 7.800 unit yang akan dibangun di Kemayoran.
Untuk menangani lingkungan kumuh, pihak swasta juga dituntut untuk berperan serta. Jika saat ini
swasta telah berhasil menyediakan berbagai jenis rumah khususnya untuk masyarakat berpenghasilan
menengah ke atas, maka dalam Pelita V dan selanjutnya peran swasta ditunggu untuk bisa membantu
kalangan bawah masyarakat. Swasta jangan hanya membebaskan tanah untuk kepentingan sendiri, tetapi
sebagian tanah yang dibebaskan hendaknya dapat dihuni kembali oleh penduduk semula, baik berupa rumah
susun sederhana Perumnas maupun rumah susun sewa sederhana.
Pokok-pokok peremajaan lingkungan perumahan kota terdiri atas dua bagian, yaitu persiapan dan
pelaksanaan pembangunan. Persiapan antara lain berupa studi kelayakan. Pelaksanaan pembangunan terdiri
dari langkah-langkah pembentukan lembaga penanganan peremajaan (Pemda, BUMN/BUMD dan Developer),
perencanaan kawasan, penyiapan dan pengadaan anggaran, pembebasan lahan termasuk ganti rugi dan
penampungan sementara penghuni kawasan yang dibebaskan, pembangunan prasarana, dan penempatan
penghuni di kawasan baru.
Kantor Menpera telah mengajak swasta untuk berperan serta dalam meremajakan kota dan lingkungan
kumuh melalui lima tahap (sepuluh langkah) peremajaan lingkungan permukiman kumuh. Tahap pertama,
penentuan prioritas pembangunan pada tingkat bagian atau wilayah kota (RBWK) untuk memperoleh wilayah
atau kawasan yang akan diremajakan. Langkah 1, menentukan prioritas pembangunan wilayah kota
berdasarkan atas kebijaksanaan umum, rencana umum dan rencana detail tata ruang kota serta kajian
pembangunan kota yang menyeluruh. Langkah 2, menentukan batas wilayah kota yang akan diremajakan.
Tahap kedua, analisis wilayah perencanaan dan rencana peremajaan untuk mendapatkan gambaran
spesifik dari wilayah yang akan diremajakan dan kemungkinan pengembangannya. Langkah 3, menganalisis
potensi kota dan masyarakat, kendala dan masalah yang menonjol. Langkah 4, menyelenggarakan rembug
kampung untuk memperoleh kesepakatan warga yang daerahnya akan diremajakan.
Tahap ketiga, perencanaan peremajaan untuk mengembangkan rencana detail peremajaan. Langkah
5, menganalisis kemungkinan pengembangan terinci dan perencanaan definitif. Langkah 6, rembug kampung
untuk memperoleh kesepakatan rencana detail peremajaan dan rancangan fisik.
Tahap keempat, penyusunan program peremajaan yang terdiri atas kegiatan terinci. Langkah 7,
menyusun prioritas kegiatan secara terinci. Langkah 8, rem bug kampung untuk menyepakati jenis dan tahapan
kegiatan peremajaan. Tahap kelima, pelaksanaan peremajaan lingkungan perumahan untuk mewujudkan
lingkungan perumahan terpadu dan fungsional. Langkah 9, menata lahan dan melaksanakan pembangunan
baru. Langkah 10, melaksanakan pembangunan prasarana, unit hunian dan sarana perumahan.

Penutup
Penataan dan peremajaan lingkungan kumuh difokuskan di enam kota besar (kota raya/metropolitan),
yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan dan Palembang. Kehadiran swasta sangat dinantikan
dalam program peremajaan lingkungan kumuh. Agar tidak menimbulkan keresahan, swasta perlu

120
memperhatikan langkah-langkah peremajaan lingkungan kumuh, yaitu mengidentifikasi permukiman kumuh,
memilih investor yang tepat, melaksanakan studi pendahuluan, mencari developer yang berminat,
menyelenggarakan perundingan Pemda dengan developer dan masyarakat, melaksanakan studi kelayakan
dan engineering design, melaksanakan, memantau dan melakukan evaluasi proyek.
Sejalan dengan itu, pemerintah perlu melakukan ujicoba peremajaan lingkungan kumuh dan membentuk
Kelompok Kerja untuk menyusun pedoman atau petunjuk teknis pengelolaan lingkungan kumuh yang
beranggotakan wakil-wakil dari Kantor Menpera, KLH, Ristek!BPPT, PU, Depdagri, BPN, Depkeu, Depsos,
Bl, BPD, Perum Perumnas, BTN dan REI.
Bisnis Indonesia, 14 Mei 1990

Pemasyarakatan: Dari Permukiman Kumuh ke


Rusun
Untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan masyarakat berpenghasilan rendah dan
sangat rendah yang bertempat tinggal di perumahan dan permukiman kumuh perkotaan, perlu dilakukan
penanganan perumahan dan permukiman kumuh secara terpadu, dengan meremajakan lingkungan melalui
pembangunan rumah susun sederhana. Penataan permukiman kumuh dikenal berupa perbaikan kampung,
pemugaran, rehabilitasi, peremajaan, dan relokasi penghuni lingkungan permukiman kumuh, peremajaan
kota, serta penanganan dan koordinasi secara terpadu.
Agar lingkungan permukiman kumuh dalam waktu sesingkat-singkatnya berubah menjadi hunian di
rumah susun, maka perlu dilakukan pemasyarakatan, penyuluhan, dan pembudayaan rumah susun secara
terarah dan terpadu.

Peremajaan Permukiman Kumuh


Perumahan dan permukiman kumuh adalah lingkungan tempat tinggal yang keadaannya tidak
memenuhi persyaratan layak huni, antara lain tidak sesuai dengan rencana tata ruang, kepadatan bangunan
sangat tinggi, kualitas bangunan sangat rendah, prasarana lingkungan tidak memenuhi syarat dan rawan,
yang dapat membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuninya.
Maksud dan tujuan penanganan permukiman kumuh adalah (1) meningkatkan kualitas kehidupan dan
penghidupan penghuni perumahan dan permukiman kumuh dengan mengadakan perumahan dan permukiman
yang lebih baik, dan (2) mewujudkan lingkungan perumahan dan permukiman yang ditata secara tertib dan
memenuhi persyaratan pembangunan. Asas yang dipakai adalah manfaat, adil dan merata, kebersamaan
dan kekeluargaan, kesetiakawanan sosial, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan dan kelestarian
lingkungan hidup, serta diselenggarakan dengan pendekatan pembangunan bertumpu pada kemampuan
masyarakat, dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Penanganan permukiman kumuh dapat ditempuh melalui perbaikan atau pemugaran, peremajaan, dan
relokasi. Perbaikan atau pemugaran perumahan dan permukiman, adalah kegiatan tanpa membongkar secara
keseluruhan bangunan yang ada untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan masyarakat
penghuni, yang dapat dilaksanakan secara bertahap oleh masyarakat dengan bimbingan dan bantuan
pemerintah. Kegiatan ini dilakukan terhadap perumahan dan permukiman kumuh yang lokasinya sesuai
dengan rencana tata ruang dengan tingkat kepadatan penduduk dan bangunan yang tidak sangat tinggi.
Peremajaan perumahan dan permukiman kumuh adalah kegiatan pembongkaran seluruh bangunan
lama dan pembangunan baru untuk meningkatkan kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan masyarakat
penghuni, dilaksanakan oleh masyarakat dengan bimbingan dan bantuan pemerintah atau oleh pemerintah

121
bersama masyarakat. Berdasarkan lnpres 5/1990, Peremajaan Permukiman Kumuh adalah pembongkaran
sebagian atau seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah
Negara dan kemudian di tempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas lingkungan rumah susun serta
bangunan-bangunan lainnya sesuai dengan rencana tata ruang kota yang bersangkutan. Kegiatan ini
dilakukan terhadap perumahan dan permukiman kumuh yang lokasinya sesuai dengan rencana tata ruang
dengan tingkat kepadatan penduduk dan bangunan yang sangat tinggi.
Relokasi penghuni perumahan dan permukiman kumuh adalah pemindahan penghuni permukiman
kumuh ke lingkungan perumahan dan permukiman baru yang layak huni, yang lokasinya sesuai tata ruang,
demi meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni, dengan mengusahakan
kesinambungan mata pencaharian dan kesempatan peningkatan pendapatan. Penanganan perumahan dan
permukiman secara terpadu adalah upaya untuk menerpadukan kegiatan dan anggaran dari berbagai
program pembangunan sektoral dan pembangunan daerah serta masyarakat luas yang secara bersama-
sama menangani perumahan dan permukiman kumuh.
Rehabilitasi Sosial Oaerah Kumuh (Kepmensos Nomor 10/HUK/1997 tanggal 27 Maret 1997), adalah
kegiatan peningkatan kesejahteraan sosial keluarga berumah tidak layak huni, di daerah kumuh dengan
melakukan penyuluhan dan bimbingan sosial serta perbaikan rumah dan lingkungannya. Oaerah Kumuh adalah
daerah yang antara lain mempunyai kriteria (a) kondisi sasaran pelayanan sosial (keluarga): umumnya tingkat
kepadatan penduduk tinggi, semua anggota keluarga termasuk anak mencari nafkah, keterlambatan dalam
pendidikan bagi anggota keluarga, kesadaran warga untuk ikut serta memiliki dan memelihara lingkungan
umumnya rendah, dan perilaku hidup sehat umumnya rendah, (b) kondisi rumah tidak memenuhi syarat
kesehatan (pengap dan lembab), kekuatan dan kenyamanan, pembagian ruangan, pencahayaan sinar
matahari dan ventilasi, letak rumah tidak teratur dan berdempetan, dan tidak memiliki sumur/air bersih dan
kakus, dan (c) kondisi lingkungan: sangat kumuh, saluran pembuangan air limbah tidak memenuhi standar,
jalan setapak tidak teratur, MCK dan air bersih tidak memadai, dan sarana pelayanan sosial kurang memadai.
Tujuan rehabilitasi sosial daerah kumuh adalah menghilangkan sifat kekumuhan suatu daerah
sehingga masyarakat setempat dapat menempati perumahan yang layak huni dalam lingkungan yang sehat
dan teratur, dan sasaran rehabilitasi sosial daerah kumuh mencakup populasi (bertempat tinggal di daerah
kumuh, rumahnya tidak layak huni, dan mempunyai penghasilan rendah dan tidak tetap), lokasi (daerah
kumuh perkotaan), fisik (tidak layak huni, tidak memenuhi persyaratan kesehatan, teknis bangunan, dan
persyaratan sosial), dan lingkungan (saluran air limbah kurang baik, sarana pelayanan sosial tidak memadai,
jalan setapak tidak teratur, MCK dan air bersih tidak memadai).
Kebijaksanaan rehabilitasi daerah kumuh diarahkan pada upaya meningkatkan kualitas kehidupan
keluarga dan penghidupan masyarakat serta menciptakan suasana kerukunan hidup keluarga, kesetiakawanan
dan kepedulian sosial, serta pelestarian nilai budaya bangsa (pengelolaan sarana permukiman dan lingkungan
secara swadaya, peningkatan peran serta masyarakat dalam usaha perbaikan permukiman kumuh, keterpaduan
lintas sektoral, dan peningkatan pelayanan sosial). Langkah-langkah yang perlu ditempuh meliputi pemantapan
administrasi daerah kumuh, peningkatan kesadaran dan tanggungjawab sosial masyarakat, bimbingan dan
penyuluhan, penggalangan mobilisasi masyarakat, pemantapan koordinasi dan keterpaduan intra dan
intersektoral, bantuan sarana usaha, pemugaran rumah dan perbaikan sarana lingkungan permukiman, serta
pemasyarakatan budaya hidup bersih dan sehat. Koordinasi pelaksanaan rehabilitasi daerah kumuh
dilaksanakan pada Tingkat Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kotamadya, melibatkan unsur-unsur Depsos,
Kantor Menpera, Depdagri, Dep-PU, Depkes, Pemda, Swasta, Masyarakat, dan instansi terkait lainnya.
lnpres 5/1990 yang mengatur Peremajaan Permukiman Kumuh Di Atas Tanah Negara, menegaskan
bahwa penghuni lingkungan yang diremajakan ditampung kembali di rusun hasil peremajaan atau di lokasi
lain yang berdekatan dengan cara memiliki yang didukung fasilitas KPR maupun dengan cara menyewa.
Selama proses pembangunan rusun, pengembang (developer) menyediakan rumah penampungan sementara
bagi penghuni permukiman kumuh sepanjang diperlukan. Dalam menetapkan lokasi peremajaan permukiman
kumuh, di samping harus sesuai dengan RUTR atau ROTA, perlu dilakukan pendekatan kepada masyarakat
setempat agar masyarakat berperanserta aktif dalam proses peremajaan permukiman kumuh.
Peremajaan permukiman kumuh dilakukan dengan menerapkan subsidi silang antara pembangunan

122
rusun dengan areal komersil yang berada di aeral yang diremajakan. Rusun yang dibangun di lokasi
peremajaan berikut tanahnya menjadi milik negara dan Menteri Keuangan menyerahkan pengelolaan rusun
tersebut kepada Perum Perumnas. Sumber pembiayaan peremajaan permukiman kumuh disediakan Perum
Perumnas, Yayasan, dan pengembang swasta. Presiden menetapkan peremajaan permukiman kumuh di DKI
Jakarta sebagai proyek percontohan untuk dapat dikembangkan di kota-kota lain. Menpera ditugaskan
Presiden mengkoordinasikan instansi terkait dalam melaksanakan kegiatan peremajaan permukiman kumuh
(Menrenbangnas/Ketua Bappenas, Menneg LH, Mendagri, Men-PU, Mensos, Menkeu, Kepala BPN, para
Gubernur, dan para Bupati/Walikotamadya).
Pembangunan Rusun di DKI Jakarta diatur melalui Perda Nomor 1 Tahun 1991 dan Keputusan
Gubernur KDKI Jakarta Nomor 924 Tahun 1991 tentang Petunjuk Teknis Rumah Susun. Terkait dengan itu,
ditetapkan Kepgub KDKI Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Surat
Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan (SP3L) Atas Bidang Tanah Untuk Pembangunan Fisik Kota di
DKI Jakarta. Melalui Kepgub ini, diatur kewajiban pengembang yang membangun lahan 5.000 M2 atau lebih,
untuk membiayai dan membangun rusun murah beserta fasilitasnya seluas 20% dari areal manfaat secara
komersial dan atau ketentuan lainnya yang ditetapkan Gubernur KDKI Jakarta (penerapan subsidi silang).

Pemasyarakatan Rumah Susun


Pemasyarakatan rusun perlu dilakukan terhadap penghuni permukiman kumuh dan masyarakat
perkotaan calon penghuni rumah susun. Kantor Menpera bekerjasama dengan Depdagri, Depsos, Depkes,
Departemen PU, Perum Perumnas, dan Pemerintah Daerah, bersama-sama merumuskan pola pemasyarakatan
rusun. Dengan pola pemasyarakatan rusun yang dibuat, diupayakan keterlibatan masing-masing instansi
dalam kegiatan pemasyarakatan rusun. Sebagai contoh, Depdagri dan Pemda menginformasikan tata ruang
(RUTR, RDTR), Depsos memberikan bimbingan dan penyuluhan sosial, Dep-PU dan Perum Perumnas
menyampaikan masalah teknis pembangunan rusun dan pemanfaatan sarana-prasarana lingkungan, Depkes
memberikan percontohan hidup bersih dan sehat, dan Dinas Perumahan melakukan pencatatan berbagai
aspek kegitan di rusun. Tokoh masyarakat juga perlu dilibatkan dalam kegiatan pemasyarakatan dan
pembudayaan rusun.
Cara pelaksanaan pemasyarakatan rusun hendaknya dilakukan secara sederhana, mudah dicerna,
dan penyampaiannya menggunakan bahasa sehari-hari masyarakat perkotaan. Bagi penduduk Jakarta,
pemasyarakatan rusun sebaiknya melibatkan tokoh Betawi dan kalau memungkinkan, sebaiknya menggunakan
artis Betawi. Pemasyarakatan, penyuluhan, dan pembudayaan rusun harus dilakukan terus menerus dan
penuh kesabaran. Budaya hidup di rumah tunggal (biasa) tidak mudah diubah ke budaya hidup di rusun.
lbu-ibu yang tergabung dalam PKK sebaiknya diikutsertakan dalam kegiatan pemasyarakatan rusun,
karena PKK telah berpengalaman dalam pada berbagai kegiatan penyuluhan, antara lain penyuluhan
kebersihan rumah dan lingkungan (budaya hidup bersih dan sehat), budaya tertib, dan budaya kerja,
penyuluhan rumah sehat, dan penyuluhan keluarga berencana. Dalam kegiatan pemasyarakatan, sebaiknya
juga diikutsertakan kepala keluarga yang telah menghuni rumah susun sederhana, yang dapat
menginformasikan pahit-getir dan suka-dukanya tinggal di rusun.
Angkatan Bersenjata, 8 Agustus 1997

123
Penanganan Terpadu Perumahan Dan
Permukiman Kumuh

Ada tiga tujuan peremajaan permukiman kumuh. Pertama. meningkatkan mutu kehidupan dan
penghidupan, harkat, derajat dan martabat masyarakat penghuni permukiman kumuh terutama golongan
masyarakat berpenghasilan rendah dengan memperoleh perumahan yang layak dalam lingkungan permukiman
yang sehat dan teratur. Kedua, mewujudkan kawasan kota yang ditata secara lebih baik sesuai dengan
fungsinya sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang kota yang bersangkutan.
Ketiga, mendorong penggunaan tanah yang lebih efisien dengan pembangunan rumah susun,
meningkatkan tertib bangunan, memudahkan penyediaan prasarana dan fasilitas lingkungan permukiman
yang diperlukan serta mengurangi kesenjangan kesejahteraan penghuni dari berbagai kawasan di daerah
perkotaan.

Peremajaan Permukiman
Dalam melaksanakan peremajaan permukiman kumuh, beberapa prinsip perlu diperhatikan. Penghuni
Lingkungan yang diremajakan ditampung kembali di rumah susun hasil peremajaan atau di lokasi lain yang
berdekatan dengan lokasi peremajaan, baik dengan cara memiliki yang didukung dengan fasilitas Kredit
Pemilikan Rumah maupun dengan cara menyewa. Selama proses pembangunan rumah susun, Developer
menyediakan rumah penampungan sementara bagi penghuni permukiman kumuh sepanjang diperlukan.
Dalam menetapkan lokasi permukiman kumuh yang akan diremajakan, di samping memperhatikan
Pola Dasar Rencana Pembangunan Daerah dan atau Rencana Umum Tata Ruang Kota, perlu dilakukan
pendekatan kepada masyarakat setempat agar masyarakat berperan secara aktif dalam proses peremajaan.
Peremajaan dilakukan dengan menerapkan sistem subsidi silang antara pembangunan rumah susun dengan
areal komersial yang berada di kawasan yang diremajakan. Biaya yang dikeluarkan oleh developer untuk
pengosongan permukiman kumuh, penampungan sementara para penghuni permukiman kumuh, pembangunan
rumah susun lengkap dengan prasarana dan fasilitas lingkungannya (sesuai dengan UU Nomor 16 Tahun
1985 dan PP Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, serta Perda tentang rumah Susun), pemindahan
penghuninya ke rumah susun dan tingkat keuntungan yang wajar, memperoleh imbalan berupa areal
komersial yang senilai.
Rumah susun yang dibangun di lokasi peremajaan berikut tanahnya menjadi milik negara dan Menteri
Keuangan menyerahkan pengelolaan rumah susun ini kepada Perum Perumnas, contohnya adalah Rumah
Susun peremajaan permukiman kumuh di Pulogadung dan Kemayoran.
Sumber pembiayaan untuk pelaksanaan peremajaan permukiman kumuh adalah BUMN khususnya
Perum Perumnas, Yayasan khususnya Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (perlu dipertanyakan
apakah masih bisa menyediakan dana setelah SDSB dihapus), Developer Swasta, dan sumber-sumber dana
lainnya. Ratio lahan rumah susun dan areal komersial serta banyaknya satuan rumah susun yang dibangun
ditetapkan oleh Bupati/Walikotamadya (di DKI Jakarta ditetapkan oleh Gubernur) dan peremajaan permukiman
kumuh di DKI Jakarta ditetapkan sebagai proyek percontohan untuk dapat dikembangkan di kota-kota lain.

Pedoman Umum
lstilah lain yang ingin dipopulerkan adalah Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh Secara
Terpadu (P3KST). Menpera meminta perhatian (menghimbau) para Gubernur dan Bupati/Walikotamadya untuk
memperhatikan pedoman umum penanganan terpadu perumahan dan permukiman kumuh dalam rangka
meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan golongan masyarakat berpenghasilan rendah yang
menghuni perumahan dan permukiman kumuh.
Beberapa pengertian yang terkait dengan konteks ini antara lain perumahan dan permukiman kumuh,

124
rencana tata ruang (mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang), perbaikan atau
pemugaran perumahan dan permukiman (di perdesaan dikenal sebagai P2LDT, pembangunan perumahan
dan lingkungan desa secara terpadu, dan di perkotaan dikenal program perbaikan kampung), peremajaan
perumahan dan permukiman kumuh, peremajaan kota, relokasi penghuni perumahan dan permukiman
kumuh, penanganan terpadu perumahan dan permukiman kumuh, pemrakarsa, dan pelaku pembangunan
dalam penanganan terpadu perumahan dan permukiman kumuh.
Perumahan dan permukiman kumuh adalah lingkungan tempat tinggal yang keadaannya tidak
memenuhi persyaratan layak huni, antara lain tidak sesuai dengan rencana tata ruang, kepadatan bangunan
sangat tinggi, kualitas bangunan sangat rendah, prasarana lingkungan tidak memenuhi syarat dan rawan,
yang dapat membahayakan kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuninya.
Asas dan pendekatan penanganan terpadu perumahan dan permukiman kumuh adalah asas manfaat,
adil dan merata, kebersamaan dan kekeluargaan, kesetiakawanan sosial, kepercayaan pada diri sendiri,
keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan pendekatan pembangunan
yang bertumpu kepada kemampuan masyarakat luas. Pola pembangunan bertumpu pada kemandirian
masyarakat/komunitas menjadi pokok bahasan dalam Pra Loknas dan Loknas Perumahan dan Permukiman
1992 dan akan dikembangkan dalam Pelita VI.

Lebih Baik
Maksud dan tujuan penanganan ini adalah (1) meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan
penghuni perumahan dan permukiman kumuh dengan mengadakan perumahan dan permukiman yang lebih
baik, yaitu yang lebih layak, sehat, aman, serasi, dan teratur, demi meningkatkan harkat, derajat dan martabat
serta kesejahteraannya, dan (2) mewujudkan lingkungan perumahan dan permukiman yang ditata secara
tertib dan memenuhi persyaratan pembangunan yang berlaku. Kebijaksanaan penanganan disesuaikan
dengan kepadatan penduduk dan kondisi bangunan, prasarana dan sarana lingkungan serta utilitasnya dan
kesesuaian lokasi dengan rencana tata ruang dalam bentuk penanganan berupa perbaikan atau pemugaran,
peremajaan, dan relokasi.
Perbaikan atau pemugaran perumahan dan permukiman adalah kegiatan tanpa membongkar secara
keseluruhan yang ada untuk meningkatkan kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan masyarakat
penghuni, yang dapat dilaksanakan secara bertahap oleh masyarakat dengan bimbingan dan bantuan
pemerintah. Perbaikan atau pemugaran dilakukan terhadap perumahan dan permukiman kumuh yang
lokasinya sesuai dengan rencana tata ruang dengan tingkat kepadatan penduduk dan bangunan yang tidak
sangat tinggi.
Peremajaan perumahan dan permukiman kumuh adalah kegiatan pembongkaran seluruh bangunan
lama dan pembangunan bangunan yang baru untuk meningkatkan kualitas lingkungan kehidupan dan
penghidupan masyarakat penghuni, yang dilaksanakan oleh masyarakat dengan bimbingan dan bantuuan
pemerintah bersama dengan masyarakat. Peremajaan dilakukan terhadap perumahan dan permukiman
kumuh yang lokasinya sesuai dengan rencana tata ruang dengan tingkat kepadatan penduduk dan bangunan
yang sangat tinggi.
Relokasi penghuni perumahan dan permukiman kumuh adalah pemindahan penghuni permukiman
kumuh ke lingkungan perumahan dan permukiman baru yang layak huni, yang lokasinya sesuai dengan
rencana tata ruang, demi meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan masyarakat penghuni dengan
mengusahakan kesinambungan mata pencaharian dan kesempatan peningkatan pendapatan. Relokasi dari
perumahan dan permukiman kumuh yang lokasinya tidak sesuai dengan rencana tata ruang ke lokasi yang
telah dipersiapkan sesuai dengan peruntukannya, dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan kesempatan
kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat penghuni. Penanganan perumahan dan permukiman kumuh
secara terpadu (P3KST) adalah upaya untuk menterpadukan kegiatan dan anggaran dari berbagai program
pembangunan sektor dan program pembangunan daerah serta masyarakat luas yang secara bersama-sama
menangani perumahan dan permukiman kumuh.

125
Berbagi Peran
Untuk mewujudkan prinsip berbagi peran, dibedakan atas pemrakarsa, pelaku pembangunan, dan
koordinator. Pemrakarsa penanganan perumahan dan permukiman kumuh dapat terdiri dari Pemerintah
Pusat, Pemerintah DT I, Pemerintah DT II, Unit-unit Pemerintahan, BUMN, BUMD, Koperasi, Yayasan,
Organisasi Sosial, Organisasi Profesi, Badan Usaha Swasta, Masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat
dan berbagai Organisasi Kemasyarakatan.
Pemerintah DT II melakukan inventarisasi seluruh perumahan dan permukiman kumuh di wilayahnya,
klasifikasi penanganan perumahan dan permukiman kumuh (perbaikan atau pemugaran, peremajaan, dan
relokasi), penetapan prioritas penanganan perumahan dan permukiman kumuh secara terpadu, penyusunan
program P3KST, koordinasi anggaran program P3KST dengan Departemen/LPND dan lnstansi terkait,
usulan proyek kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah DT I atau penawaran usulan proyek kepada BUMN,
BUMD, Badan Usaha Swasta dan Masyarakat luas, pembinaan secara berkelanjutan melalui bina manusia,
bina lingkungan, dan bina usaha, pemilihan lokasi untuk program relokasi (sejauh mungkin memanfaatkan
tanah negara), pemberian kemudahan prosedur dan keringanan biaya perijinan, dan pencegahan timbulnya
perumahan dan permukiman kumuh kembali di atas tanah yang telah dikosongkan atau dibebaskan.
Pemerintah DT I melakukan inventarisasi perumahan dan permukiman kumuh di daerahnya, penetapan
prioritas penanganan perumahan dan permukiman kumuh di DT II di wilayahnya, pembinaan kemampuan
dan pengarahan program kepada Pemerintah DT II dalam mempersiapkan P3KST, pemberian bantuan dan
dukungan kepada para pelaku pembangunan program penanganan perumahan dan permukiman kumuh
secara terpadu, koordinasi dalam penanganan perumahan dan permukiman secara terpadu dengan berbagai
Departemen/LPND dan lnstansi terkait serta masyarakat luas, pembinaan secara berkelanjutan usaha-usaha
peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam rangka penanganan P3KST, pemberian kemudahan prosedur
dan keringanan biaya perijinan, dan pencegahan timbulnya perumahan dan permukiman kumuh kembali di
atas tanah yang telah dikosongkan atau dibebaskan.
Pemerintah Pusat melakukan pembinaan dan pengarahan kepada Pemerintah DT I dan Pemerintah
DT II dalam P3KST serta pemberian bantuan dan dukungan pendanaan melalui APBN atau sumber
pendanaan lain. BUMN, BUMD, Koperasi, Yayasan, Organisasi Profesi, Organisasi Sosial, Badan Usaha
Swasta dan Masyarakat serta Lembaga Swadaya Masyarakat berpartisipasi dan berperan serta dalam
P3KST sebagai pemrakarsa, penyandang dana, sponsor, motivator, mediator, penggerak partisipasi masyarakat
dan pelaksana pembangunan. Masyarakat penghuni berperan serta dalam P3KST di lokasinya dan menyalurkan
aspirasinya kepada Pemerintah melalui LKMD atau lembaga kemasyarakatan lainnya, sedangkan masyarakat
luas secara perorangan, kelompok atau lembaga, dapat berperan sebagai penyandang dana, motivator atau
penggerak partisipasi masyarakat. Hubungan pemerintah, swasta, dan masyarakat perlu diwujudkan dalam
bentuk kemitraan (partnership).
Menpera bertindak sebagai koordinator P3KST di tingkat Pusat, Gubernur sebagai koordinator di
tingkat DT I (pelaksana harian adalah Ketua Bappeda Tingkat I) dan Bupati/Walikotamadya menjadi
koordinator di tingkat DT II (Ketua Bappeda Tingkat II sebagai pelaksana harian). Koordinasi secara terpadu
dilakukan Kantor Menpera dengan Departemen PU (Direktorat Perumahan, Direktorat Air Bersih, Direktorat
Penyehatan Lingkungan Permukiman, Direktorat Bina Program, dan Puslitbang Permukiman), Departemen
Dalam Negeri (Direktorat Pembinaan Pemerintahan Daerah, Direktorat Pembinaan Pembangunan Perkotaan),
Departemen Sosial (Direktorat Bin a Rehabilitasi Sosial, Direktorat Penyuluhan dan Bimbingan Sosial),
Departemen Kesehatan (Direktorat Penyehatan Lingkungan Permukiman), BPN (Direktorat Pengaturan
Penguasaan Tanah, Direktorat Pengurusan Hak Atas Tanah), LPND (Kantor Menristek, BPPT, LIPI), lnstansi
Pemerintah yang terkait lainnya, Swasta dan Dunia Usaha, Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi
Kemasyarakatan lainnya.
Dalam program P3KST, kepada penghuni yang lingkungan perumahan dan permukimannya ditata atau
ditangani, disediakan perumahan dalam bentuk rumah sederhana, rumah sangat sederhana, kaveling siap
bangun (KSB), dan rumah sewa (rumah susun yang disewakan atau rumah sewa bertingkat) yang dibangun
oleh BUMN, BUMD, koperasi, yayasan, badan usaha swasta atau kelompok usaha bersama yang didukung
kredit kepemilikan rumah. Agar tipe-tipe perumahan ini terjangkau oleh golongan masyarakat berpenghasilan

126
rendah dan sangat rendah, pemerintah mengusahakan tanah negara serta biaya pembangunan sarana,
prasarana lingkungan dan utilitas umum dari APBN, APBD Tingkat I dan APBD Tingkat II. Standar teknis dan
rancang bangun disesuaikan dengan kemampuan masyarakat dan kondisi setempat.
Yang sama sekali tidak mampu, diusahakan pembinaan dan bantuan usaha serta upaya peningkatan
kegiatan ekonomi mereka agar pendapatannya secara berangsur dapat meningkat, misalnya melalui
LIPOSOS (lingkungan pondok sosial) dan BLK (balai latihan kerja).
Pembinaan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat secara berkelanjutan ditujukan agar dicapai
peningkatan kualitas perumahan dan permukiman, pendidikan, kesehatan dan usaha ekonomi, pengelolaan
lingkungan, pembentukan kelompok arisan dan usaha bersama perumahan melalui jalur LKMD.

Kepedulian
Keberhasilan pedoman umum P3KST dan berbagai program lainnya yang berusaha meniadakan
lingkungan perumahan dan permukiman kumuh, hanya akan berhasil jika didukung kepedulian sosial dan
kesetiakawanan sosial masyarakat untuk memberantas kemiskinan sehingga jurang yang Iebar antara si kaya
dan si miskin bisa diperkecil. Pembinaan masyarakat untuk mengubah kebiasaan dan perilaku mau enak
sendiri secara bertahap dialihkan ke rasa kebersamaan menikmati hasil-hasil pembangunan. Untuk itu,
pembinaan, penyuluhan, dan bimbingan sosial perlu dilakukan terus menerus. Presiden Soeharto minta dan
menganjurkan penghuni daerah kumuh di atas tanah negara untuk meninggalkan daerah itu atas kesadarannya
sendiri secara sukarela tanpa menunggu perintah dipindahkan. Kepada keluarga yang secara sukarela
pindah ini, Depsos mengusahakan untuk menyediakan dana bantuan Rp. 800.000 per keluarga, seperti yang
terjadi terhadap keluarga permukiman kumuh yang terkena musibah kebakaran di Balikpapan. Bantuan dana
dalam rangka kegiatan HKSN setiap bulan Desember hendaknya dapat memacu mobilisasi dana Swasta dan
Masyarakat dalam melakukan penataan lingkungan kumuh. Dengan model ini, Pemerintah DT II harus
melakukan inventarisasi dan klasifikasi lingkungan perumahan dan permukiman kumuh secara rinci di
wilayahnya masing-masing, agar tidak setaiap keluarga menyatakan dirinya penghuni permukiman kumuh
dan minta bantuan Rp. 800.000,-.
Saat ini telah banyak dilakukan program penanganan lingkungan perumahan dan permukiman kumuh,
baik perbaikan, pemugaran, rehabilitasi, peremajaan, dan relokasi. Misalnya, tindak lanjut lnpres Nomor 5
Tahun 1990 dan melalui program HKSN (Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional), serta yayasan/organisasi
kemasyarakat (lbu, Sosial, PKK, Dharma Wanita, LSM). Tetapi semua program ini masih terlihat berjalan
sendiri-sendiri dan belum memadukan upaya perwujudan tribina (bina manusia, bina usaha, dan bina
lingkungan). Prinsip subsidi silang ternyata masih dalam khayalan, terbukti dari belum lancarnya pembangunan
perumahan dengan lingkungan hunian yang berimbang dan belum patuhnya pihak swasta dalam menyediakan
rumah susun sederhana/murah di daerah perkotaan.
Program P3KST tidak dapat dilepaskan dari program pembangunan kota lainnya, baik di bidang
ekonomi, sosial, budaya, dan hankam. P3KST perlu didukung oleh penyuluhan sosial ekonomi dan budaya
masyarakat sedini mungkin, agar dampak negatif penanganan perumahan dan permukiman kumuh bisa
dihindari. Agar gaung P3KST cepat terasa di seluruh Indonesia, khususnya di kota-kota besar, maka perlu
dicanangkan secara nasional Gerakan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh seperti
juga Gerakan Perumahan dan Permukiman Sehat, Proyek Kali Bersih, Sapta Pesona Wisata, Gerakan
Keluarga Berencana Nasional, serta Gerakan Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat.
Suara Pembaruan, 25 Maret 1994

127
Memacu Pembangunan Rumah Susun
Dalam rangka peningkatan daya guna dan hasil guna tanah bagi pembangunan perumahan dan
permukiman, dan untuk lebih meningkatkan kualitas lingkungan permukiman terutama di daerah-daerah yang
berpenduduk padat tetapi hanya tersedia luas tanah terbatas, dirasa perlu membangun perumahan dengan
sistem lebih dari satu lantai, yang dibagi atas bagian-bagian yang dimiliki bersama dan satuan-satuan yang
masing-masing dapat dimiliki secara terpisah untuk dihuni dengan memperhatikan faktor sosial budaya yang
hidup dalam masyarakat.
Sejalan dengan pertimbangan tersebut, maka ditetapkanlah Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985
tentang Rumah Susun. Peraturan pelaksanaan Undang-undang ini ditetapkan tiga tahun kemudian, melalui
PP Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun. Selanjutnya ditetapkan pula peraturan perundang-undangan
dalam upaya memperlancar pembangunan rumah susun. Antara lain, Permendagri Nomor 60/PRT/1992
tentang Pedoman Teknik Pembangunan Rumah Susun, Permendagri Nomor 3 Tahun 1992 tentang Pedoman
Penyusunan Peraturan Daerah Ten tang Rumah Susun, Peraturan BPN Nomor 2 Tahun 1989 tentang Bentuk
dan Tata Cara Pengisian Pendaftaran Akte Pemisahan Rumah Susun, dan Peraturan BPN Nomor 4 Tahun
1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah Serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas
Satuan Rumah Susun.
Di atas semua peraturan ini, telah ditetapkan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan
dan Permukiman, yang akan segera. disusul oleh sembilan Peraturan Pemerintahnya. Pada Tingkat DKI
Jakarta, telah ditetapkan Perda Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Rumah Susun di DKI Jakarta dan Kepgub
Nomor 924 Tahun 1991 tentang Peraturan Pelaksanaan Rumah Susun di DKI Jakarta.
Dalam mendorong pembangunan rumah susun (murah), Gubernur telah mengeluarkan Kepgub Nomor
540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Lokasi!Lahan (SP3L) atas Bidang Tanah untuk
Pembangunan Fisik Kota di DKI Jakarta. Kepgub Nomor 354 Tahun 1992 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Pembangunan Rumah Susun Sederhana/Murah bagi pemegang SP3L, dan Kepgub Nomor 640
Tahun 1992 tentang Ketentuan terhadap Pembebasan Lokasi/Lahan tanpa izin dari Gubernur KDKI Jakarta.
Sehubungan dengan banyaknya perusahaan yang telah memperoleh SP3L tetapi belum melaksanakan
kewajibannya membangun Rumah Susun Sederhana/Murah sesuai ketentuan yang telah ditetapkan dan
dalam rangka mempercepat pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah,
maka dikeluarkan lnstruksi Gubernur KDKI Jakarta kepada Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta. lsinya,
untuk segera melaksanakan Kepgub DKI Jakarta Nomor 354 Tahun 1992 yang berkaitan dengan penerbitan
Persetujuan Prinsip Pembangunan Rumah Susun Sederhana/Murah (P3RSSM). Semua instansi terkait di
jajaran Pemerintah DKI Jakarta juga diminta membantu pelaksanaan instruksi ini.

Sulitnya Tanah .
Saat membuka Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman 1992 tanggal 16 Nopember 1992,
Presiden Soeharto menegaskan, salah satu kendala yang kini telah mulai kita rasakan dalam pembangunan
perumahan dan permukiman adalah makin sulitnya mendapatkan tanah dengan harga yang terjangkau,
khususnya di kota-kota besar.
Kecenderungan ini akan terus berlangsung di masa datang. Karena itu agar harga rumah tetap
terjangkau oleh mereka yang berpenghasilan rendah dan sedang, maka pembangunan rumah susun
hendaknya terus dimasyarakatkan. Apabila kita gaga! memasyarakatkannya, maka tidak lama lagi lahan-
lahan pertanian di sekitar kota-kota akan berubah menjadi tempat permukiman. Harga tanah pun akan terus
meningkat.
Dewasa ini, masyarakat kita memang belum terbiasa tinggal di rumah-rumah susun. Biaya pembangunan
rumah susun pun relatif masih lebih mahal daripada pembangunan rumah-rumah biasa. Namun sudah
saatnya kita mulai membangun dan menggunakan rumah-rumah susun, baik yang sederhana maupun yang

128
lebih mahal. Sebab, jika tidak segera kita mulai dari sekarang, masyarakat kita tidak akan terbiasa tinggal di
rumah-rumah susun. Yang juga tidak kalah penting adalah menekan biaya pembangunannya.
Pembangunan rumah susun hendaknya dipadukan pula dengan usaha memperbaiki kualitas perumahan
yang ada serta lingkungannya, terutama di daerah-daerah kumuh yang berada di sekitar pusat-pusat kegiatan
di kota-kota besar. Baik Gubernur DKI Jakarta Surjadi Soedirdja maupun Siswono Yudohusodo pada saat
menjadi Menpera, dan Enggartiasto Ketua Umum DPP REI, ketiganya menyatakan rumah susun merupakan
alternatif hunian penduduk perkotaan di masa datang.
Prospek pembangunan rumah susun cerah, menyangkut berbagai jenis, yaitu rumah susun mewah,
menengah, dan sederhana. Ketiga jenis rumah susun ini perlu dikaitkan dengan segmen penduduk Jakarta,
disesuaikan dengan kemampuan dan daya belinya terhadap tempat huniannya. Siswono Yudohusodo saat
masih Menpera, pada pembukaan Seminar Rumah Susun dan Condominium Expo di Jakarta tanggal 18
Februari 1993 menegaskan bahwa penyebutan kata-kata asing condominium, apartment, flat, sebenarnya
adalah rumah susun, disingkat rusun di mana didalamnya ada satuan rumah susun (sarusun).
Hal serupa dikemukakan lbu Try Sutrisno dalam memberikan sambutan pada Pameran Pemukiman
Modern-Trend Housing '94, di Jakarta tanggal 12 September 1993. Katanya, diharapkan dapat dibangun
komplek perumahan dan permukiman yang selalu menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan
dijalin kerjasama dengan Pemda setempat. Inti penting untuk menjamin keterpaduan dan keterkaitan
pembangunan perumahan dengan program-program lainnya, sehingga tercipta suatu komplek perumahan
dan permukiman yang sehat, aman, dan serasi dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Dalam pengertian
keserasian ini, termasuk pemakaian nama komplek perumahan agar menggunakan Bahasa Indonesia dan
pemilihan nama yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia.

Dua Belas Peristilahan


Berbicara tentang rumah susun, haruslah dimulai dengan mengerti duabelas peristilahan rumah susun
yang dituangkan dalam Pasal1 UU Nomor 16 Tahun 1985.
Rumah Susun adalah permukiman gedung betingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan. Terbagi
dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal, dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah. Terutama untuk
tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara
terpisah sebagai tempat hunian, yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.
Lingkungan, adalah sebidang tanah dengan batas-batas yang jelas, yang di atasnya dibangun rumah
susun termasuk prasarana dan fasilitasnya, yang secara keseluruhan merupakan kesatuan tempat pemukiman.
Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimiliki secara tidak terpisah untuk pemakaian
bersama dalam kesatuan fungsi dengan satuan-satuan rumah susun.
Benda bersama adalah benda yang bukan merupakan bagian rumah susun, tetapi yang dimiliki
bersama secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama.
Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah
yang diatasnya berdiri rumah susun dan ditetapkan batasnya dalam persyaratan izin bangunan.
Hipotek merupakan hak tanggungan yang pengertiannya sesuai dengan Pas aI 11 02 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata Indonesia. Yang selama pengaturannya belum dilengkapi dengan Undang-undang
sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, menggunakan ketentuan-
ketentuan tentang hipotik dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang belum ada
pengaturannya dalam Undang-undang ini.
Fidusia adalah hak jaminan yang berupa penyerahan hak atas benda berdasarkan kepercayaan yang
disepakati sebagai jaminan bagi pelunasan piutang kreditur. Pemilik adalah perorangan atau badan hukum
yang memiliki satuan rumah susun yang memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Penghuni

129
adalah perseorangan yang bertempat tinggal dalam satuan rumah susun. Perhimpunan penghuni adalah
perhimpunan yang anggotanya terdiri dari para penghuni. Badan pengelola adalah badan yang bertugas untuk
mengelola rumah susun.
Selanjutnya hal-hal yang harus diketahui dari Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985, adalah landasan
dan tujuan pembangunan rumah susun, yaitu berlandaskan pada asas kesejahteraan umum, keadilan dan
pemerataan, serta keserasian dan keseimbangan dalam perikehidupan, dengan dua tujuan.
Pertama, memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat
berpenghasilan rendah yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya, serta meningkatkan daya
guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan
menciptakan lingkungan permukiman yang lengkap, serasi, dan seimbang. Kedua, memenuhi kebutuhan untuk
kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat dengan tetap mengutamakan kepentingan
golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Juga harus dimengerti pengaturan dan pembinaan rumah susun, persyaratan pembangunan rumah
susun, pemilikan satuan rumah susun, pembebasan dengan hipotik dan fidusia, penghunian dan pengelolaan
rumah susun, pengawasan, dan ketentuan pidana. Dari Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988, dapat
dipelajari pengertian-pengertian tentang pengaturan dan pembinaan rumah susun (arah kebijaksanaan,
wewenang dan tanggungjawab, rumah susun untuk hunian dan bukan hunian), persyaratan teknis dan
administratif pembangunan rumah susun (persyaratan teknis, struktur, komponen dan bahan bangunan,
kelengkapan rumah susun, satuan rumah susun, bagian bersama dan benda bersama, kepadatan dan tata
letak bangunan, prasarana dan fasilitas lingkungan, persyaratan administratif). Selanjutnya mengenai izin
layak huni, pemilikan satuan rumah susun (pemisahan hak atas satuan rumah susun, batas pemilikan satuan
rumah susun, peralihan, pembebanan dan pendaftaran hak milik atas satuan rumah susun, perubahan dan
penghapusan hak pemilikan, serta kemudahan pembangunan dan pemilikan), penghunian dan pengelolaan
(penghunian, pengelolan, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga perhimpunan penghuni), pengawasan,
dan ketentuan pidana.

Berbagai Masalah
Sebagai sesuatu yang baru bagi kehidupan bangsa Indonesia, cukup banyak permasalahan yang
menyangkut rumah susun. Antara lain menyangkut aspek peraturan perundang-undangan, kebijaksanaan
umum, pertanahan, pembiayaan, investasi, keuangan, perbankan, pemasaran, pemilikan, perlindungan
konsumen, kelembagaan, lingkungan penghunian, pengelolaan, dan pemerataan.
Rincian permasalahan tersebut: masalah hak milik, hak pakai atas tanah Negara, hak guna bangunan,
dan hak pengelolaan, tanah tempat rumah susun dibangun, hak milik atas satuan rumah susun, sertifikat hak
milik atas satuan rumah susun. Lalu, dokumen yang terkait dengan penerbitan sertifikat, akte jual beli, ikatan
jual beli, pewarisan, kewajiban dan hak pemilik satuan rumah susun, hak dan kewajiban (penyelenggaraan
pembangunan rumah susun, pembeli, penyewa), hubungan antarpenghuni dan jaminan rumah susun.
Dari sisi Pemerintah Daerah, perlu diperhatikan aspek tata ruang dan tata guna tanah, sosial-ekonomi,
pembiayaan, dan pengawasan pembangunan, kebijaksanan pertanahan, kawasan strategis, peraturan
daerah, ketentuan dan kewajiban real estate, peningkatan sistem administrasi dan aparatur pelaksana. Dari
sisi developer dan pengusaha perlu diatur masalah pengelolaan, kemungkinan pemilii<an satuan rumah susun
untuk orang asing, dan strata title.
Pentingnya rumah susun di kota-kota besar khususnya di DKI Jakarta, mendorong Asia Pacific Institute
for Management Development untuk menyelenggarakan seminar Pemilikan, Pembangunan dan Peraturan
Terakhir Rumah Susun dan Sistem Strata Title di Indonesia, tanggal 11-12 Nopember 1992 di Jakarta.
Seminar yang dibuka Menpera Akbar Tanjung ini, akan membahas perkembangan terakhir sistem stata title di
Indonesia, pengembalian modal rumah susun, sertifikat hak milik atas satuan rumah susun, aspek pemilikan
rumah susun sebagai barang jaminan yang berhubungan dengan kredit konstruksi dan kredit pemilikan
rumah susun, segi hukum pemilikan rumah susun implication ownership of apartments for foreigner in Indonesia,
The Singapore experience in implementing the Land Title (Strata Title Act Chapter 158), aspek desain pokok

130
untuk strata type apartment, dan beberapa aspek penghunian rumah susun pada masa pasca huni
(pembentukan perhimpunan penghuni, dokumen rumah susun, badan pengelola, dan biaya pengelolaan).
Center for Management Technology juga akan menyelenggarakan seminar Strata Titles dan implikasi
pada Pengelolaaan Kondominium di Jakarta, tanggal 1 - 2 Desember 1993. Seminar ini akan membahas
investasi pembangunan kondominium (termasuk pembahasan kepemilikan oleh warga negara asing), sertifikat
hak milik atas satuan rumah susun dan proses sertifikasi hak milik rumah susun. Juga tentang pengelolaan
rumah susun, rencana pembangunan rumah susun berkaitan dengan perizinan, masalah yuridis praktis
dalam penjualan, pembebanan serta pengelolaan rumah susun, pajak atas tanah dan bangunan, aspek
pemasaran dan manajemen kondominium, serta prospek pasar pada pembangunan kondominium.
Dua seminar dengan pembayaran masing-masing Rp. 1,5 juta dan US$ 795 per orang ini, diharapkan
dapat memacu pembangunan rumah susun serta menjawab pertanyaan dan mengatasi permasalahan.
Misalnya tentang segi hukum penyelenggaraan rumah susun, strata title, penerbitan sertifikat, penghunian
dan pengelolaan, hak dan kewajiban (pemilik, penghuni, penyelenggara, penyewa), perizinan, nilai jual tanah
dan bangunan, hipotik dan fidus!a, peralihan hak, kredit konstruksi dan kredit pemilikan rumah susun.
Juga mengenai pengembalian modal, ketentuan peraturan perundang-undangan terakhir, barang
jaminan, hak atas tanah dan bangunan atas sertifikat hak milik satuan rumah susun, peninjauan pasar dan
kecenderungan masyarakat di masa datang, kemungkinan bagi orang asing untuk memiliki apartemen dan
implikasinya, nilai dan keuntungan rumah susun, aspek desain pokok rumah susun. Peningkatan pemahaman
terhadap rumah susun, akan besar manfaatnya dalam mengantisipasi dan menyelesaikan hal-hal yang
berkaitan dengan pembangunan rumah susun dan sistem strata title.

Mengubah Sikap
Rumah susun, bukan berarti hanya kondominium dan apartemen saja, tapi termasuk pula rumah susun
menengah untuk kalangan menengah ke bawah. Pemerintah Daerah (Jakarta, Bandung, Semarang, dan
Surabaya) telah membangun rumah susun sederhana murah untuk masyarakat berpenghasilan sangat
rendah. Yaitu 2.881 unit di Jakarta (Pondok Kelapa, Pondok Bambu, Cipinang Besar, Cengkareng, Tambora,
Penjaringan, Karang Anyar, dan Rawasari), Bandung (Jalan lndustri Dalam). Semarang (Pekunden,
direncanakan di Sekayu), dan Surabaya (Dupak dan Sombo).
Perum Perumnas telah membangun rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah sebanyak
8.344 unit. Di Sukarame Medan (400), llir Barat Palembang (3.584), Klender (1.280), Tanah Abang (960),
Kebon Kacang (600), Sarijadi Bandung (864), dan Mananggal Surabaya (656). Untuk golongan menengah di
Jakarta telah dibangun rumah susun di Pulo Mas dan Pluit.
Lebih dari 5.000 unit rumah susun mewah telah dan sedang dibangun di Jakarta. Seperti Park Royale,
Hilton Residence, Borobudur International, Palm Court, Menteng Park Apartments, Senayan Apartements,
Metro Sunter, Palace View, Greenview, Mangga Dua Court, Senopati, Warung Buncit, Emerald, Bintaro Jaya,
Citra Land, Pondok lndah, Park View, Sea View, Permata Hijau, Pavilion Park, dan lain-lain. Untuk
mempercepat pembangunan rumah susun, semua pihak yang terkait harus berkoordinasi secara terintegrasi,
menyeluruh dan terpadu. Para notaris, lawyer, developer, kontraktor, konsultan, perencana, insinyur, pakar
perumahan, dan pengusaha, dituntut bekerja sama dengan baik dalam menggalakkan pembangunan rumah
susun.
Kawasan rumah susun yang merupakan mixed development, memanfaatkan suatu lokasi untuk berbagai
kepentingan, perumahan, perkantoran, pelayanan sosial, kegiatan usaha, hiburan, kesenian, kebudayaan,
olahraga, perbelanjaan, fasilitas ibadah, gedung pertemuan, dan kegiatan sosial-kemasyarakatan.
Memperhatikan penegasan Presiden, maka pembangunan perumahan dan permukiman di daerah
perkotaan perlu memadukan dan mengintegrasikan berbagai program pembangunan. Gerakan Nasional
Perumahan dan Permukiman Sehat, yang dicanangkan Kepala Negara pada tanggal 16 Nopember 1992,
yang merupakan upaya dalam mengubah sikap, perilaku, dan kesadaran masyarakat guna meningkatkan

131
pengetahuan, pengertian, kepedul!an dan rasa membutuhkan terhadap perumahan dan permukiman yang
sehat, perlu kita barengi dengan upaya Pemasyarakatan Rumah Susun di Perkotaan.
Suara Pembaruan, 31 Desember 1993

Menelusuri Pembangunan Rusun di DKI Jakarta


Terbatasnya lahan di daerah perkotaan mengakibatkan pembangunan rumah vertikal (rumah susun,
disingkat rusun) merupakan salah satu alternatif pembangunan perumahan di perkotaan. Di Indonesia saat ini
dikenal beberapa tipe rumah susun, antara lain (a) rumah susun mewah yang penghuninya sebagian besar
tenaga kerja asing, (b) rumah susun golongan menengah yang dilluni oleh masyarakat berpenghasilan
menengah ke atas. (c) rumah susun sederhana yagn dihuni oleh masyarakat golongan berpenghasilan
menengah dan rendah, dan (d) rumah susun murah yang dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah ke
bawah. Tulisan ini berusaha mengindentifikasi pembangunan rumah susun di DKI Jakarta khususnya, dengan
cara menelusuri berbagai permasalahan rumah susun untuk selanjutnya diupayakan pemecahannya.

Rusun di Perkotaan
Sejak 1988 Perum Perumnas telah membangun 8.296 unit rumah susun di beberapa kota besar di
Indonesia, yaitu di Sukarame Medan (416 unit), llir Barat Palembang (3.585 unit), Klender Jakarta Timur
(1 .280 unit), Tanah Abang Jakarta Pusat (960 unit), Kebon Kacang Jakarta Pusat (536 unit), Sarijadi Bandung
(864 unit), dan Mananggal Surabaya (656 unit). Di Kota Baru Bandar Kemayoran, Perum Perumnas telah
membangun rumah susun sebagai elemen dari model permukiman modern kota baru. Untuk masyarakat
berpenghasilan menengah ke atas, telah dibangun rumah susun di Pulo Mas (596 unit) dan Pluit (480 unit).
PD Pembangunan Sarana Jaya di Jakarta telah membangun rumah susun sederhanalmurah yang dikenal
sebagai rumah sewa bertingkat, tersebar di Cengkareng, Karang Anyar, Tambora, Jati Rawasari, Penjaringan,
Cipinang, Pondok Kelapa, Pondok Bambu, dan Tebet.
Rusun mewah juga telah ada di Jakarta. REI menginformasikan bahwa di Jakarta telah ada 4000 unit
satuan rumah susun mewah yang sedang dipasarkan dan 4000-5000 unit lagi sedang dibangun. Pemerintah
Kotamadya Surabaya telah membangun rumah susun sewa untuk masyarakat miskin, yaitu di Sombo dan
Dupak (Johan Silas, 1991 ). Model ini yang dikenal sebagai model peremajaan lingkungan permukiman
kumuh, telah dikembangkan di Pulogadung dan akan dikembangkan di beberapa lokasi lainnya. Pemerintah
Kotamadya Semarang juga telah mulai membangun rumah susun sederhana, yaitu di Sekayu dan Pekunden
(Eko Budihardjo, 1992). Model pembangunan rumah susun sederhana dalam program peremajaan permukiman
kumuh juga dilakukan di Jalan lndustri Dalam Bandung.
Dari gambaran singkat ini terlihat adanya beberapa tipe rumah susun, yaitu rumah susun mewah,
menengah, dan sederhana, dan pelaku pembangunan yang berbeda, yaitu swasta penuh, perusahaan
daerah, dan pemerintah. Persoalan yang harus segera dijawab adalah perlu dicari model pembangunan
rumah susun yang bisa dih,uni oleh berbagai kelompok penghasilan masyarakat.

Permasalahan dan Analisis Rusun


Banyak permasalahan dalam pembangunan rumah susun. Permasalahan yang utama adalah dana,
disusul berbagai permasalahan lainnya seperti : (1) belum adanya standardisasi pembangunan rumah susun,
(2) belum adanya keringanan penyediaan sarana dan prasarana lingkungan rumah susun (air, listrik, PBB,
perijinan, dan sejenisnya), (3) belum adanya penyuluhan dan pemasyarakatan rumah susun, (4) keringanan
tarif langganan air bersih, listrik dan gas, dan (5) belum tersedianya fasilitas telepon, pelayanan pos, trayek
angkutan umum ke lokasi rumah susun, dan pemilihan lokasi yang strategis untuk lingkungan rumah susun.
Permasalahan lain yang lebih bersifat teknis antara lain belum menyebarnya informasi pembangunan
rumah susun, belum adanya pernasyarakatan rumah susun secara intensif, terbatasnya kemampuan

132
keuangan, dana, belum dimengerti status kepemilikan dan penghunian, belum jelasnya keseimbangan
kewajiban dan hak, pengelolaan, pemasaran, serta belum dimengertinya Undang-undang Nomor 16 Tahun
1985 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 ten tang Rumah Susun serta Keputusan Menteri PU
Nomor 60/PRT/1991 tentang pedoman petunjuk teknik pembangunan rumah susun. Pada dasarnya
permasalahan rumah susun dapat dikelompokkan menjadi permasalahan kebijaksanaan, pertanahan,
pendanaan, peraturan perundang-undangan, dan sosial-budaya masyarakat.
Pad a tahun 1990 lahan yang tersedia di OKI Jakarta adalah 143 juta m2• Oaerah efektif hanya 60 persen
atau 85 juta m2 dan luas dasar bangunan 60 persen atau 51 juta m2• Kebutuhan rumah sampai dengan tahun
2000 adalah 1,609 juta. Oengan target 4,23 jiwa per kepala keluarga dan luas rata-rata 68m2, maka kebutuhan
luas bangunan adalah 1.609 juga x 68 m2, yaitu 109,4 juta m2• lni berarti kebutuhan bangunan adalah dua kali
luas dasar bangunan yang tersedia. Oengan kata lain paling sedikit diperlukan bangunan bertingkat dua. Agar
masih dapat menampung pertambahan penduduk yang terus meningkat, maka rumah susun berlantai 4 ke
atas, sangat disarankan pembangunannya.
Rumah Susun di OKI Jakarta sudah merupakan salah satu alternatif hunian kota metropolitan. Oengan
demikian rumah susun yang dibangun tidak hanya disediakan untuk masyarakat berpenghasilan rendah saja,
tetapi semua kelompok penghasilan masyarakat. Rumah susun mewah (condominium) yang dibangun secara
mixed development yang pembayarannya dengan uang dolar telah mulai bermunculan, antara lain Park
Royale, Permata Hijau, Segitiga Kuningan, Kemang, Citra Land, dan lain-lain. Untuk golongan menengah,
model Pluit dan Pulo Mas akan dikembangkan di beberapa lokasi lain di Jakarta. Model Perum Perumnas di
Klender, Tanah Abang, dan Kebon Kacang, telah dimodifikasi menjadi model Kemayoran. Model rumah
susun sewa (rumah sewa bertingkat) yang dibangun oleh PO Pembangunan Sarana Jaya juga memerlukan
modifikasi seperlunya, sehingga kesan fasilitas rumah susun yang serba minimum, bisa dihapuskan. Oalam
melakukan peremajaan permukiman kumuh, di Pulo Gadung telah dicoba menerapkan model rumah susun
Sombo dan Oupak (Surabaya), dengan memanfaatkan tanah milik Pemerintah Oaerah.
Persyaratan teknis dan administratif pembangunan rumah susun telah diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 4 Tahun 1988. Secara rinci lagi, persyaratan teknis yang meliputi struktur bangunan, keamanan,
keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun termasuk
kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan diatur melalui Keputusan Menteri PU. Persyaratan administratif,
perijinan, dan sejenisnya, diatur oleh Peraturan OKI Jakarta.
Pemasyarakatan rumah susun melalui penyuluhan, pembuatan brosur, penyediaan fasilitas penerangan
umum, yang merupakan upaya penyebarluasan rumah susun, belum dilakukan secara intensif dan terpadu.
Lebih jauh lagi, pembudayaan hidup di rumah susun belum ada yang melakukan.
Hasil penelitian di rumah susun yang dibangun Perum Perumnas di Jakarta dan Bandung serta
penelitian di rumah susun sederhana PO Pembangunan Sarana Jaya di Penjaringan Jakarta Utara (Komarudin,
1991), memunculkan beberapa kesimpulan dan saran yang perlu dijawab dalam rangka pembudayaan hidup
di rumah susun yaitu :
(1) Keadaan rumah susun perlu disesuaikan dengan keinginan penghuni.
(2) Keadaan rumah susun sangat berbeda dengan harapan penghuni.
(3) Kekurangan fasilitas di rumah susun.
(4) Hambatan bermukim di rumah susun.
(5) Gangguan akibat kekurangan fasilitas dan keterbatasan luas satuan rumah susun.
(6) Usaha penghuni mengatasi hambatan.
(7) Kondisi yang menunjang di rumah susun.
(8) Prospek hunian di rumah susun.
(9) Status pemilikan dan penghunian di rumah susun.
(1 0) Saran penghuni tentang kondisi fisik rumah susun.

Prospek Rusun di DKI


Pada Pembukaan Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman 1992 tanggal 16 Nopember 1992,
Presiden Soeharto menegaskan bahwa salah satu kendala pembangunan perumahan adalah makin sulitnya

133
mendapatkan tanah dengan harga yang terjangkau, khususnya di kota-kota besar. Kecenderungan ini akan
terus berkembang di masa datang. Karena itu agar harga tanah tetap terjangkau oleh mereka yang
berpenghasilan rendah dan sedang, maka pembangunan rumah susun hendaknya terus dimasyarakatkan.
Presiden juga mengingatkan bahwa apabila kita gaga! menerapkan pembangunan rumah susun, maka tidak
lama lagi lahan-lahan pertaman di sekitar kota besar akan berubah menjadi tempat permukiman dan harga
tanah pun akan terus meningkat.
DKI Jakarta sebagai kota pusat pemerintahan, perdagangan, pariwisata, dan perkantoran nasional
maupun internasional, memerlukan fasilitas perkotaan modern. Salah satu fasilitas tersebut adalah permukiman
rumah susun di dalam suatu lokasi dengan pola mixed development. Di dalam lokasi ini segala fasilitas
perumahan dan permukiman tersedia, antara lain rumah susun dan satuan rumah susun, fasilitas parkir,
pertokoan, perkantoran, gedung perternuan umum, tempat hiburan, fasilitas olahraga dan rekreasi, serta
jaringan transportasi.
Rumah Susun sudah merupakan alternatif permukiman masa depan di DKI Jakarta. Pola ini
dikembangkan tidak hanya di pusat kota saja, tetapi dibangun di setiap lokasi permukiman mewah dan
menengah, tersebar di Jakarta Barat dan Jakarta Timur, sebagian di Jakarta Selatan dan Jakarta Utara. Di
Jakarta Pusat, mengingat sangat terbatasnya lahan, maka pembangunannya dilakukan seefisien dan
seefektif mungkin.
Prospek rumah susun di DKI Jakarta cerah. lni dapat ditunjukkan dengan kecenderungan sebagai
berikut : (a) Jumlah penduduk yang meningkat pesat mengakibatkan kebutuhan perumahan tiap tahun makin
tinggi; (b) Kebutuhan rumah per tahun mencapai 64.500 unit, sedangkan penyediaan tidak lebih dari 10
persen; (c) Tenaga karja asing yang berdomisili di DKI Jakarta, banyak yang membutuhkan tempat hunian di
pusat kota.; (d) Mobilitas penduduk yang tinggi membutuhkan tempat hunian berupa rumah susun yang
lokasinya di pusat kota.; (e) Tingkat penghunian di rumah susun PO Pembangunan Sarana Jaya tinggi dan
masih banyak keluarga yang belum tertampung masuk ke lingkungan rumah susun.
Pembangunan rumah susun mewah dan menengah diserahkan sepenuhnya kepada swasta. Pemerintah
menciptakan iklim usaha yang menunjang dan berbagai kemudahan dalam memperlancar proses
pembangunan. Pemerintah memprioritaskan pembangunan rumah susun murah. lni telah dilakukan melalui
Keputusan Gubernur DKI Jakarta yang mewajibkan pemegang SP3L untuk membangun 20% lokasi
pembangunannya untuk rumah susun. Tiga surat keputusan saling terkait, yaitu :
1. Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Pemberian Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan (SP3L) atas Bidang Tanah untuk
Pembangunan Fisik Kota di DKI Jakarta.
2. Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 354 Tahun 1992 tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Pembangunan Rumah Susun Sederhana/Murah Bagi Pemegang SP3L di Wilayah DKI Jakarta.
3. Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 640 Tahun 1992 tentang Ketentuan Terhadap
Pembebasan Lokasi/Lahan Tanpa ljin dari Gubernur KDKI Jakarta.
Sejalan dengan itu, Gubernur telah memerintahkan Kepala Dinas Perumahan DKI Jakarta (lnsgub
Nomor 281 Tahun 1992) perihal Pelaksanaan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 354 Tahun 1992
tanggal 29 Februari 1992 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembangunan Rumah Susun Sederhana
Murah Bagi Pemegang Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan (SP3L) di Wilayah DKI Jakarta.
Dalam usaha mempercepat pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah,
melalui Surat Keputusan ini gubernur menginstruksikan Kepala Din as Perumahan DKI Jakarta untuk (1)
segera melaksanakan Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 354 Tahun 1992, dan (2) instansi terkait
agar membantu pelaksanaan instruksi ini. Surat Keputusan Gubernur ini merupakan bukti besarnya perhatian
terhadap pembangunan rumah susun sederhana/murah yang disediakan untuk masyarakat berpenghasilan
rendah di DKI Jakarta.

Kesimpulan dan Saran


1. Memasyarakatkan rumah susun adalah usaha menjadikan masyarakat mau dan suka tinggal di

134
rumah susun. Memasyarakatkan rumah susun dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan kepada
mereka yang sudah tinggal di rumah susun, yang akan tinggal di rumah susun, dan kepada masyarakat luas.
2. Penyuluhan rumah susun dimaksudkan untuk mengubah pandangan dan sikap masyarakat dan
aparat pemerintah terhadap keberadaan rumah susun dan kehidupan di rumah susun. Masyarakat perlu
diyakinkan tentang berbagai keuntungan tinggal di rumah susun, misalnya tidak perlu memelihara pekarangan
yang luas, hidup dalam lingkungan yang bersih dan sehat, ada taman lingkungan, tersedia berbagai fasilitas
modern perkotaan, dan menuju pada kehidupan produktif.
3. Merumahsusunkan masyarakat merupakan upaya membangun rumah susun secara besar-besaran.
Merumahsusunkan masyarakat adalah menyediakan rumah susun sebanyak-banyaknya dan mengimbau
masyarakat untuk tinggal di rumah susun.
4. Program memasyarakatkan rumah susun dan merumahsusunkan masyarakat perlu dilakukan
bersamaan, agar pola hidup masyarakat perkotaan cepat berubah ke arah terciptanya lingkungan rumah
susun yang beraneka ragam bentuknya: mulai dari rumah susun sewa sederhana, rumah susun sederhana,
rumah susun murah, rumah susun golongan menengah, rumah susun golongan kaya, dan rumah susun
mewah serta rumah susun untuk orang asing (condominium).
5. Program memasyarakatkan rumah susun dan merumahsusunkan masyarakat perlu dilaksanakan
melalui koordinasi secara komprehensif, terarah dan terpadu di antara berbagai instansi Pemerintah dan
Swasta, antara lain Kantor Menpera, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Dalam Negeri, Departemen
Sosial, Departemen Kesehatan, Badan Pertanahan Nasional, Perum Perumnas, Departemen Penerangan,
Real Estate Indonesia, Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Perguruan Tinggi Lembaga
Penelitian Swasta, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan berbagai Lembaga Sosial dan Kemasyarakatan.
Jayakarta, 3- 4 September 1993

Bagaimana Tinggal Di Rumah Susun


Penduduk Kota Jakarta terus berkembang walaupun ada upaya menahan. Migrasi desa-kota terus
berlangsung walaupun telah ada Program Gerakan Kembali Ke Desa, Teknologi Masuk Desa, lndustrialisasi
Perdesaan, Pemasyarakatan dan Pemanfaatan Teknologi Tepat Guna di Perdesaan. Bahkan Pemerintah
segera meluncurkan program Gerakan Nasional Desa Cerdas Teknologi yang merupakan salah satu kegiatan
dalam meningkatkan kemampuan dan keterampilan pengusaha kecil di perdesaan, sebagai bagian dari
upaya mengentaskan kemiskinan dan mengatasi kesenjangan ekonomi (struktural, sektoral, dan spasial).
Terbatasnya lahan di kota Jakarta dan sangat mahalnya harga tanah di ibukota, mengakibatkan rumah
susun merupakan alternatif yang perlu diprioritaskan dalam mengatasi masalah perumahan bagi warga kota
metropolitan Jakarta. Biaya pembangunan rumah susun memang mahal, tetapi dengan kepadatan penduduk
yang tinggi di tanah rumah susun yang tidak terlalu luas, maka sudah saatnya dilakukan kegiatan
pemasyarakatan dan penyebarluasan informasi rumah susun, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan
rendah di kota Jakarta, khususnya dalam konteks meremajakan lingkungan permukiman kumuh menjadi
rumah susun.

Tinggal di Rumah Susun


Rumah, semula dikenal sebagai sangkar, kemudian berkembang menjadi tempat menyelenggarakan
kehidupan, dan bangunannya berkembang dari tunggal ke susun. Lingkungan perumahan dan permukiman
(Lawton, 1970) ditandai oleh lima komponen, yaitu individu, lingkungan fisik, lingkungan personal, lingkungan
supra-personal, dan lingkungan sosial, dapat dijabarkan dalam hubungan B =f(P.E), di mana B (behavior), P

135
(person), dan E (environment). Dampak rumah terhadap penl&ku oenghuni, d1pengaruhi oleh faktor ruang
(space), waktu (time), kegiatan (activity), dan kedudukan (status dan posisi), peranan (role), dan perilaku
(behavior).
Kegiatan manusia apa saja yang terjadi di lingkungan rumah susun, akan mempengaruhi perilaku
setiap penghuni, karena kedekatan antar penghuni rumah susun. Rumah Susun masih dirasakan sebagai
suatu bentuk budaya hunian yang tergolong baru. Rumah Susun yang terdiri atas beberapa lantai hunian,
merupakan bentuk perubahan hidup yang biasa melekat dengan tanah, bercocok tanam, berubah ke hunian
yang tidak memiliki tanah untuk ditanami. Davis mengungkapkan bahwa salah satu faktor stress penghuni di
rumah susun adalah kepadatan penghunian, sedangkan Mumfcrd menyimpulkan, tingkat gangguan suara
(gaduh, ribut) yang dialami individu, mengakibatkan stress. Di samping itu, faktor kepuasan tinggal di rumah
susun, akan menentukan nyaman tidaknya tinggal di rumah susun. Kepuasan, terkait dengan fasilitas di
rumah susun, nilai jual sarusun, status pemilikan, kedekatan dengan tetangga, ukuran sarusun, ruang bagi
perorangan, dan penggunaan ruang yang sempit untuk kehidupan keluarga.
Tayback mengklasifikasikan penyebab ketidaknyamanan tinggal di rumah susun, yaitu padatnya
penghuni, tidak sesuainya dapur (sempit), kurang baiknya instalasi listrik, kurangnya pencahayaan dan
penerangan, tidak stabilnya tangga, tidak kokohnya bangunan, dan tidak tersedianya tempat bermain anak.
Tinggal di rumah susun membutuhkan penyesuaian diri. Penyesuaian diri, dapat dilihat sebagai adjustment
(penyesuaian dengan tuntutan lingkungan) atau adaptatipn (adjustment yang efektif). Tingkah laku penghuni,
mengaitkan manusia dengan lingkungannya yang terdiri dari aspek-aspek fisik alamiah, sosial-ekonomi,
sosial-budaya, iptek, dan agama.
Maslow mencatat faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi perilaku manusia. Internal, meliputi
lima kebutuhan manusia (kebutuhan fisik, akan rasa aman, cinta, akan penghargaan diri, dan akan aktualisasi
diri) dan motivasi. Eksternal terdiri atas latar belakang kebudayaan seseorang dan latar belakang pendidikan.
Berbagai kegiatan di rumah susun, seperti gotong royong, kebersamaan, kepedulian, olah raga, penataan
lingkungan, pesta, rekreasi, penanganan musibah dan kematian, arisan, kegiatan keagamaan, peringatan
nasional, dan siskamling, akan menumbuhkan dan mempercepat hubungan antar penghuni. Ketersediaan
ruang tamu, ruang tidur, ruang belajar, ruang kerja, ruang keluarga, dapur, kamar mandi, tangga, listrik, air
bersih, gas, serambi/selasar, akan mewujudkan kenyamanan penghunian. Fasilitas umum di rumah susun,
tempat bermain, warung (Waserda), TK dan SO, taman, fasilitas olah raga, balai pertemuan, tempat ibadah,
tempat penampungan sampah, drainasi/saluran limbah, sangat diperlukan penghuni.

Pemasyarakatan Rusun
Puslitbang Permukiman pada Balitbang Pekerjaan Umum, telah sejak lama berupaya memasyarakatkan
rumah susun, di samping memasyarakatkan pembangunan perumahan bertumpu pada masyarakat,
pembangunan rumah sederhana dan sangat sederhana, pembangunan rumah tahan gempa, dan rumah
sehat. Pembangunan rumah susun di Indonesia telah dimulai sekitar duapuluh tahun yang lalu dan pada
awalnya terbatas pada pembangunan Rumah Dinas. Saat ini rumah susun telah banyak dibangun di kota-
kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, dan Ujung Pandang.
Pembangunan rumah susun dilaksanakan untuk meremajakan kota yang sudah tidak manusiawi (kumuh,
kotor) dan mengefisienkan penggunaan lahan di pusat kota. Agar dapat meningkatkan minat masyarakat
untuk tinggal di rumah susun, maka pembangunan rumah susun harus dibarengi dengan kegiatan
pemasyarakatan, penyebarluasan, dan pembudayaan hidup di rumah susun.
Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 1984 tentang Rumah Susun, yang dimaksud dengan rumah
susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam
bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horisontal maupun vertikal dan merupakan
satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara tepisah, terutama untuk tempat
hunian yang dilengkapi bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Contoh bagian bersama, yaitu ruang masuk, selasar, atap, pipa air kotor dan limbah, pipa air hujan,
pondasi, kolom, dinding, dan lantai. Benda Bersama di rumah susun berupa taman, tempat parkir, tempat
bermain, jalan kendaraari, saluran air hujan, dan saluran air kotor. Tanah Bersama adalah sebidang tanah

136
tempat berdirinya bangunan rumah susun. Satuan Rumah Susun adalah luas unit rumah susun yang dihuni,
sebagai contoh, Tipe 21, Tipe 36, Tipe 54 dan lain-lain.
Untuk memudahkan kelancaran mengurus warga atau penghuni rumah susun, maka dibentuk Ketua
RT dan Ketua RW, di samping dibentuk kelompok PKK, grup Olah Raga, kelompok pengajian, arisan, dan
lain-lain. Yang menjadi pertanyaan adalah, apa dan bagaimana hubungan Ketua RT dan Ketua RW dengan
Badan Pengelola Rumah Susun dan Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS), yang diamanatkan
Undang-Undang tentang Rumah Susun. Semua penghuni rumah susun diwajibkan menjadi anggota
Perhimpunan Penghuni Rumah Susun (PPRS), PPRS mengatur tata tertib penghunian serta mengatur
pemeliharaan dan perbaikan lingkungan, dan PPRS berbentuk Badan Hukum mempunyai AD dan ART.
Diperlukan saling pengertian antar warga penghuni rumah susun. Tinggal dii rumah susun sangat
berbeda dengan tinggal di perumahan biasa, karena kebebasannya terbatas, hidup tidak dapat seenaknya.
Sebagai contoh, duduk di luar satuan rumah susun (sarusun) atau di lorong dan halaman, menjemur pakaian
di luar sarusun, bercakap-capkap dengan tetangga, menyanyi, bercocok tanam di lantai dasar, berkebun,
memelihara binatang dan lain-lain. Untuk membina hubungan yang harmonis, diperlukan saling pengertian
antar penghuni. Sebaiknya penghuni menghindari penggunaan alat musik bersuara keras, tidak membuat
gaduh dan berisik serta tidak mengganggu kenyamanan tetangga. Hindari berbicara keras atau berteriak.
Hindari duduk-duduk di tangga, karena dapat mengganggu atau menghalangi orang lewat. Tidak
dibenarkan memelihara kucing, anjing, dan sejenisnya, karena dapat mengganggu tetangga. Nasehatilah
anak-anak agar jangan bermain seenaknya dan berisik di lorong atau halaman. Jika menyetel radio atau
televisi, suaranya jangan terlalu keras dan upayakan suaranya kecil atau secukupnya. Harus dihindari
memasak masakan yang baunya menyengat. Hati-hati memindahkan perabotan rumahtangga, sebaiknya
tidak membuat getaran keras yang dapat mengganggu penghuni di lantai bawah, kanan atau kiri. Hindari
tumbukan di tembok dan pukulan di tembok yang mengakibatkan getaran pada lantai dan dinding bangunan.
Setiap penghuni rumah susun harus menjaga kebersihan lingkungan. Untuk menjaga kebersihan dan
kesehatan lingkungan permukiman rumah susun, sebaiknya tidak membuang sampah sembarang sehingga
berserakan, berbau busuk atau dikerumuni lalat. Sampah sebaiknya dimasukkan ke dalam kantong-kantong
plastik, pisahkan sampah organik dan anorganik atau sampah basah dan kering, kemudian buanglah masing-
masing sampah tersebut ke tempat yang telah disediakan. Tidak dibenarkan membuang sampah dari
ruangan sarusun di atas atau dari jendela, dilarang meludah dari atas, apalagi buang air kecil (kencing) dari
jendela. Di depan pintu, sebaiknya disediakan tempat sampah. Sampah tidak boleh disapu melalui tangga.
Tegurlah anak-anak yang mengotori dan mencoret-coret dinding bangunan. Tidak diperkenankan
menaruh benda atau perabot rumah yang sudah rusak atau kotor di teras rumah, lebih baik dibuang agar
lingkungan tidak kotor. Tidak diizinkan menjemur atau menggantung pakaian atau barang lain di jendela, agar
tidak terkesan kumuh dan kotor. Rawatlah rumah dan kamar mandi agar jangan bocor ke lantai bawah, dan
agar tetangga tidak terganggu.
Penghuni berkewajiban menjaga dan memelihara taman lingkungan. Tam an sebagai sarana penghijauan
berfungsi sebagai penyedia udara bersih, serta membuat lingkungan sejuk dan nyaman. Peliharalah taman
dengan baik, tanamannya harus disiram terus menerus secara teratur, taman jangan digunakan untuk
tanaman pribadi, karena taman adalah milik bersama dan jagalah taman jangan sampai ada yang merusak.
Taman harus dipelihara secara gotong royong. Hindari menjemur cucian di pagar halaman, sebab akan
mengganggu pemandangan sehingga lingkungan tidak terkesan kotor dan kumuh.
Untuk menghijaukan lingkungan dianjurkan agar penghuni memelihara tanaman dalam pot asalkan
tidak mengganggu tetangga. Kendaraan bermotor roda empat (sedan dan lain-lain) harus diparkir di tempat
yang telah disediakan, agar tidak mengganggu kenyamanan orang lain. Penghuni berkewajiban menjaga
keamanan dan keselamatan. Bencana sering terjadi secara mendadak, antara lain gempa, kebakaran dan
lain-lain. Untuk menumbuhkan rasa aman kepada penghuni, diperlukan informasi tentang cara-cara
penanggulangan. Antara lain, anjuran agar jika terjadi gempa, penghuni tidak panik, matikan listrik dan gas.
Kemudian menghindar ke tempat yang dianggap aman, yaitu di bawah meja, tempat tidur, atau ke tempat
terbuka. Jika keadaan sudah aman, cepat lari ke luar. Demi keamanan dan keselamatan penghuni, sebaiknya

137
jendela dan pintu menggunakan teralis pengaman. Penghuni dilarang melempar atau membuang benda dari
jendela langsung ke bawah, karena mengganggu penghuni di bawahnya.
Untuk menghindari terjadinya kebakaran dan demi keselamatan bersama, perlu diperhatikan saran-
saran berikut. Hindari penggunaan bahan listrik terlalu banyak pada satu stop kontak. Jangan menyimpan
bahan-bahan kimia yang membahayakan. Jangan membuang puntung rokok yang masih menyala di
sebarang tempat dan nasehatilah anak-anak agar tidak bermain api. Rawatlah tangga darurat secara rutin,
agar tidak terganggu penggunaannya saat terjadi kebakaran.
Penghuni harus menyesuaikan dirinya agar berperilaku mengutamakan kebersamaan, kepedulian, dan
kepentingan bersama. Perilaku penghuni yang tidak bijaksana akan menimbulkan kesan negatif terhadap
lingkungan hunian rumah susun secara keseluruhan. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,
penghuni rumah susun tidak dibenarkan melakukan perbuatan asusila, berbuat maksiat, berjudi, dan mabuk-
mabukan. Berjualan minuman keras dan obat-obat terlarang, dilarang di rumah susun. Pertemuan di rumah
susun harus menggunakan ruang serbaguna yang telah disediakan dan dilarang memanfaatkan ruang
serbaguna untuk tujuan kriminal atau politik yang membahayakan negara. Jika ingin mengubah atau
memperbaiki ruangan, harus melaporkan kepada PPRS dan meminta persetujuan tetangga terdekat.
Kekhususan hunian di rumah susun adalah pada kepemilikan bersama, yang memberikan konsekuensi
untuk mematuhi ketentuan yang sudah ditetapkan. Penghuni tidak diizinkan menambah bangunan di teras
rumah, sehingga mengganggu lalulintas penghuni lain. Tangga adalah fasilitas untuk kepentingan umum,
milik bersama, karena itu harus dibersihkan dan dipelihara bersama-sama, jangan sampai kotor atau terkesan
tidak diurus. Lorong, gang atau koridor dalam bangunan rumah susun di luar sarusun masing-masing, harus
bebas dari penyimpanan berbagai barang, sehingga setiap penghuni dapat berjalan dan bergerak leluasa dari
satu tempat ke tempat lain. Fasilitas umum di rumah susun seperti musholla, ruang serbaguna, pos satpam,
tempat parkir, gandu listrik, dan lain-lain, harus dipelihara dan diamankan terhadap berbagai gangguan
kepentingan umum.
Butir-butir yang dibahas di atas, dapat dirangkum dan dirumuskan menjadi masukan untuk penyusunan
pedoman teknis atau petunjuk pelaksanaan pemasyarakatan rumah susun, disertai butir-butir yang terkandung
dalam perundang-undangan rumah susun (Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri dan
lnstruksi Menteri, Keputusan Gubernur dan Peraturan Daerah). Tempat tinggal warga Jakarta pada perdagangan
bebas ASEAN tahun 2003 dan seterusnya adalah rumah susun berbagai jenis dan tipe. Menyongsong era
rumah susun ini, perlu diintensifkan kegiatan pemasyarakatan dan pembudayaan rumah susun, bagi semua
kelompok masyarakat (penghuni lingkungan permukiman kumuh, pelajar, masyarakat umum, pegawai negeri,
pegawai swasta, khususnya yang berpenghasilan rendah). Tidak mustahil, jika pemasyarakatan rumah susun
ini ditingkatkan menjadi Gerakan Nasional Pemasyarakatan Rumah Susun, seperti juga Gerakan Nasional
Perumahan dan Permukiman Sehat, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh, Gerakan Nasional Pemasyarakatan
Kewirausahaan, dan lain-lain.
Angkatan Bersenjata, 29 Agustus 1997

Sulit, Membangun Dan Memasyarakatkan Rumah


Susun
Sejak 1988 Perum Perumnas telah membangun 8.296 unit rumah di beberapa kota besar di Indonesia,
yaitu di Sukarame Medan (416 unit), llir Barat Palembang (3.585 unit), Klender Jakarta Timur (1 .280 unit),
Tanah Abang Jakarta Pusat (960 unit), Kebon Kacang Jakarta Pusat (536 unit), Sarijadi Bandung (864 unit),
dan Mananggal Surabaya (656 unit). Di Kota Baru Bandar Kemayoran, Perum Perumnas telah membangun
rumah susun (rusun) sebagai elemen dari model permukiman modern kota baru. Golongan masyarakat
berpenghasilan menengah ke atas, dapat menikmati rusun di Pulo Mas (596 unit) dan Pluit (480 unit).

138
Rusun mewah (kondominium) di Jakarta diperkirakan telah mencapai 10.000 unit. Pemerintah DT II
Kotamadya Semarang membangun rusun di Sekayu dan Pekunden dan Pemerintah DT II Kotamadya
Surabaya membangun rusun di Dupak, Sombo, dan Mananggal. PD Pembangunan Sarana Jaya telah
membangun rusun sederhana sewa murah yang tersebar di lima wilayah kota Jakarta. Termasuk rusun yang
dibangun Perum Perumnas (di luar rusun mewah), di Jakarta tercatat ada 8.734 unit, yaitu di Jakarta Pusat
(3.564): Kebon Kacang (536), Tanah Abang (960), Kemayoran (832), Rawasari (152), Karang Anyar (360),
Benhil (296), dan Tanah Tinggi (428), Jakarta Utara [1.862]: Penjaringan (1.382) dan Pluit (480) Jakarta Barat
[849]: Tambora Angke (240), Tambora I & II (489), dan Cengkareng (120), Jakarta Timur [2.395]: Pulo Mas
(592), Pondok Bambu (125), Cipinang Besar (152), Pondok Kelapa (150), Pulo Gadung (160), dan Klender
(1.216), dan Jakarta Selatan [64]: Rawa Bilal (64).
Pada tahun 1994-1995 dibangun 2.687 unit, yaitu di Jakarta Pusat [1.039]: Benhil ex kebakaran (634),
Karet Tengsin (365), dan Jati Sunder (40), Jakarta Utara [192]: Penjaringan (192), Jakarta Barat [480]: BuJak
Wadon (480), Jakarta Timur [688]: Bindara Cina (688), dan Jakarta Selatan [288]: Tebet Barat (288). Sampai
dengan tahun 2000, Pemerintah DKI Jakarta mentargetkan pembangunan rusun sederhana sebanyak 27.568
unit, yang terdiri atas rusun di Jakarta Pusat [6.880]: Karet Tengsin (1.180), Benhil lanjutan (1.200), Jati
Sunder (520), Tanah Tinggi (780), Mangga Dua Selatan (540), Karang Anyar (460), Kampung Rawa (340),
Kwitang (320), Paseban (360), Petaburan (660), Utan Panjang (220), dan Menteng Sukabumi (3000), Jakarta
Utara [10.120]: Cilincing (5000), Kapuk (1200), Pluit (120), Lagoa (800), Semper Barat (880), Papanggo
(1 080), Sukapura (160), Tugu Utara (80), dan Sungai Bambu (800), Jakarta Barat [4.120]: Jati Pulo (320),
Kota Bambu (640), Kali Anyar (560), Duri Utara (80), dan masing-masign 360 di Jembatan Besi, Angke,
Pekojan, Meruya Selatan, Cideng Barat, Krukut, dan Maphar, di Jakarta Timur [4912]: Rawa Bunga (1800),
Bidara Cina (1752), Cipinang Besar (600), Cillitan (120), Klender (320), Pondok Bambu (80), dan Pisangan
Baru (240), dan di Jakarta Selatan [1.536]: Pela Mampang (1100), Mampang Prapatan (340), dan Tebet Barat
(96).
Pembangunan rusun ini dimaksudkan untuk menata dan meremajakan lingkungan permukiman kumuh
yang tersebar di Pisangan Baru, Pondok Bambu, Rawa Bunga, dan Bidaracina (Jakarta Timur), Pela
Mampang, Mampang Prapatan, dan Tebet Barat (Jakarta Selatan), Angke Tambora, Duri Utara, Kali Anyar,
Pekojan, Jembatan Besi, Meruya Selatan, dan Cengkareng Barat (Jakarta Barat), Cilincing, Sukapura, Tugu
Utara, Papanggo, Lagoa, dan Semper (Jakarta Utara), Karet Tengsin, Jati Sunder, Bendungan Hilir, dan
Tanah Tinggi (Jakarta Pusat).
Angka di atas dalam ribuan masih sangat kecil dibandingkan kebutuhan rumah di Jakarta sebanyak
70.000 unit/tahun. Persoalan yang harus dijawab adalah model pembangunan rusun yang bisa dihuni oleh
berbagai kelompok penghasilan masyarakat dan pelaksanaan pemasyarakatan dan penyuluhan rusun secara
terpadu, agar minat masyarakat untuk tinggal di rusun makin besar.

Anal isis
Mengapa rumah susun diperlukan di kota metropolitan Jakarta? Suyono (Asisten Menpera, 1994)
menegaskan bahwa dengan jumlah penduduk besar dan pertumbuhan penduduk tinggi mengakibatkan makin
besarnya pertambahan penduduk besar, kebutuhan rumah baru, dan kebutuhan tanah. Akibatnya kota
tumbuh melebar dan konversi tanah pertanian ke non-pertanian juga makin besar. Akibat dari keterbatasan
lahan perkotaan, biaya tinggi (prasarana kota, utilitas kota, pelayanan kota), kehilangan waktu lama dalam
membangun rumah tunggal/biasa, dan lokasi makin melebar, maka rumah susun menjadi pilihan utama
hunian di kota metropolitan.
Akibat biaya pembangunan tinggi dan kemampuan ekonomi masyarakat perkotaan aneka ragam,
maka perlu dibangun rumah susun berbagai jenis dan tipe, yaitu rusun mewah, untuk kelas menengah atas,
kelas menengah bawah, dan rusun sederhana baik sewa-beli atau sewa. Rusun mewah dan menengah
dibangun oleh Swasta dan rusun sederhana dibangun oleh Pemda BUMN/BUMD, dan melibatkan peranserta
aktif masyarakat.
Pentingnya rusun di kota metropolitan Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia, telah
ditegaskan oleh Presiden Soeharto pada saat membuka Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman

139
1992 tanggal 16 Nopember 1992 di lstana Negara. Bapak Presiden menegaskan, "Dewasa ini masyarakat
kita memang belum terbiasa tinggal di rumah susun. Biaya pembangunan rumah susun pun relatif masih lebih
mahal daripada pembangunan rumah biasa. Namun sudah saatnya kita mulai membangun dan menggunakan
rumah-rumah susun, baik yang sederhana maupun yang lebih mahal. Sebab, jika tidak segera kita mulai dari
sekarang juga, masyarakat kita tidak akan terbiasa tinggal di rumah-sumah susun".
"Yang juga tidak kalah pentingnya adalah menekan biaya pembangunannya. Pembangunan rumah
susun hendaknya dipadukan pula dengan usaha memperbaiki kualitas perumahan yang ada serta lingkungan,
terutama di daerah kumuh yang berada di sekitar pusat-pusat kegiatan di kota-kota besar. Apabila kita gagal
memasyarakatkan rumah susun, maka tidak lama lagi lahan-lahan pertanian di sekitar kota-kota akan
berubah menjadi tempat permukiman. Harga tanah pun akan terus meningkat".
Empat faktor utama harus diperhatikan dalam membangun perumahan termasuk rumah susun, yaitu
kebijaksanaan umum dan khusus, pertanahan, pembiayaan, serta kelembagaan dan peraturan perundang-
undangan. Di samping itu, beberapa aspek perlu diperhatikan dalam membangun rumah susun, yaitu aspek
hukum dan kepemilikan, pemasaran, perlindungan kosumen, dan keuangan. Undang-undang 16/1985 dan
Peraturan Pemerintah 4/1988 tentang Rumah Susun merupakan acuan dasar dalam membangun rusun.
lnpres 5/1990 merupakan acuan dalam meremajakan lingkungan kumuh yang berada di atas tanah negara
dengan membangun rumah susun. Aspek teknis mengacu pad a Peraturan Menteri PU Nomor 60/PRT/1990,
Kepmenpera, Kepmenagraria/Kepala BPN, Perda, dan petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis.
Aspek pemasaran menyangkut kemampuan membeli berbagai kelompok masyarakat (berpenghasilan
rendah, sedang, menengah, dan tinggi). Prinsip subsidi silang harus diperhatikan dalam membangun rumah
susun mewah dan rumah susun sederhana. Pelaksanaannya di lapangan mengacu pada Keputusan
Gubernur KDKI Jakarta Nomor 540 Tahun 1990. Bisnis rusun berisiko tinggi dan waktu pengembalian yang
panjang. Survai Pasar penting dilakukan untuk melihat kebutuhan akan rusun pada berbagai kelompok
penghasilan.
Perlindungan kosumen rusun perlu diupayakan, mulai tahap penawaran sampai dengan transaksi
rusun dan penghunian, meliputi hak-hak memperoleh keamanan dan keselamatan, informasi, hak untuk
didengar, hak memilih, dan hak mendapat lingkungan permukiman yang sehat. Dari sisi keuangan, perlu
diperhatikan aspek keterjangkauan (affordability), kenyamanan (convenience to work and leisure acivities),
keamanan (home and personal security), dan kualitas hidup (quality of life). Pembangunan rusun di kota
besar sudah merupakan pilihan yang tidak bisa ditolak kehadirannya.
Aspek pengelolaan rusun disorot dari dua sisi, yaitu pemerintah dan swasta pengusaha rusun.
Pemerintah DKI Jakarta telah mengintegrasikan pembangunan rusun hunian dan non-hunian untuk perkantoran
dan perdagangan, yaitu rumah sewa bertingkat (ruseb), rumah toko (ruko), dan rumah kantor (rukan), dan
maisonette. Dalam konteks pengelolaan rumah susun, perlu diperhatikan hubungan fungsional antara Badan
Pengelola dengan Perhimpunan Penghuni. Lingkup pengelolaan meliputi penghasilan penghuni, teknologi
konstruksi, status sosial, jenis pekerjaan, iuran penghuni, penerapan teknologi (lift, alat komunikasi),
pengoperasian penggunaan dan pemeliharaan benda bersama, bagian bersama, dan tanah bersama,
pencegahan kebakaran, keamanan, kebersihan, keuangan, dan administrasi.
Pembangunan rusun di kota Jakarta masih sulit dilakukan, penyebabnya antara lain harga tanah yang
mahal, sulit memperoleh tanah, belum terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah, subsidi silang
masih sulit dilaksanakan, pemasyarakatan dan penyuluhnan rumah susun belum efektif, dan minat masyarakat
untuk tinggal di rumah susun masih rendah. Namun dengan ditetapkannya Keputusan Gubernur KDKI
Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Surat Persetujuan Prinsip
Pembebasan Lokasi/Lahan (SP3L) Atas Bidang Tanah Untuk Pembangunan Fisik Kota di DKI Jakarta,
diharapkan pembangunan rumah susun dapat dipacu. Salah satu ketetapan dari Kepgub ini adalah sebagai
berikut: "Terhadap lokasi/lahan yang dimohon dengan kondisi lapangan dan atau rencana kota peruntukannya
adalah perumahan yang luasnya 5.000 M2 atau lebih, kepada pemohon diwajibkan membiayai dan membangun
rumah susun murah beserta fasilitasnya seluas 20% dari areal manfaat secara komersial, dan atau ketentuan
lainnya yang ditetapkan Gubernur KDKI Jakarta. Pembangunan rumah susun murah dimaksud, lokasi dan
persyaratan penjualannya ditetapkan kemudian oleh Gubernur KDKI Jakarta".

140
Perlu dipacu
Pengalaman menunjukkan, dijumpai banyak hambatan dalam membangun rumah susun. Contoh
aktual, akibat ganti rugi macet, maka Warga Karet Tengsin kecewa (Jayakarta, 31 Juli 1997). Sebagian besar
korban kebakaran RW 07 Kelurahan Karet Tengsin, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, kecewa.
Pasalnya, Pemerintah DKI Jakarta hingga kini belum membayar ganti rugi atas tanah dan bangunan, yang
rencananya dijadikan rusun. Walaupun pelaksanaan pembayaran ganti rugi dijanjikan sebelum Pemilu 1997,
sampai sekarang ganti rugi belum diterima warga.
Walaupun banyak hambatan, Pemerintah DKI Jakarta terus berusaha sekuat tenaga membangun
rumah susun khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (sebagian besar dibangun oleh PD
Pembagunan Sarana Jaya). Tiap tahun Pemerintah Daerah bersama BUMN/BUMD ditargetkan membangun
3.150 unit rusun sederhana dan 7.450 unit dibangun oleh Swasta dan berbagai pihak, sedangkan 10.500 unit
rusun murah dibangun sepenuhnya oleh Swasta (Dinas Perumahan DKI Jakarta, 1994). Angka 21.000 unit ini
menunjukkan 30% dari 70.000 unit per tahun, kebutuhan rumah penduduk DKI Jakarta, dan 70% dari 70.000
unit atau 49.000 unit adalah rumah biasa (bukan rusun).
Pemasyarakatan rusun pada dasarnya berisi informasi berbagai hal yang terkait dengan pengertian
rusun, perencanaan, pembangunan, penghunian, dan pengelolaan rusun, situasi dan kondisi rusun, sikap
hidup dan perilaku penghuni rusun, kebijaksanaan pembangunan rusun, perundang-undangan dan kelembagaan
rusun, kewajiban dan hak atas satuan rumah susun, benda bersama, bagian bersama, dan tanah bersama,
pertanahan, pembiayaan, proses perubahan kehidupan keluarga dari tinggal di permukiman kumuh atau
permukiman tidak teratur ke rusun, dan budaya masyarakat rusun. Butir-butir penting pemasyarakatan rusun
di kota metropolitan Jakarta adalah sebagai berikut.
Pertama, beberapa pengertian yang terkait dengan rusun, yaitu Rumah Susun, Benda Bersama,
Bagian Bersama, Tanah Bersama, Permukiman Kumuh dan lain-lain. Kedua, penyelenggara pembangunan
rusun, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN/BUMD, dan Swasta. Ketiga, bahan pemasyarakatan,
yaitu UU, PP, Kepmen/lnmen, Perda, Kepgub, lngub, Kepbup/Kepwlkt, Kebijaksanaan Rusun, Peremajaan
Permukiman Kumuh. Keempat, proses peremajaan permukiman kumuh, yaitu Rumah Sehat, Pendaftaran,
Penentuan Lokasi, Ganti Rugi, Penyuluhan, Penghunian, dan Pengelolaan.
Kelima, lokasi, antara lain Rencana Peruntukan, Permukiman Kumuh dan Liar, Penataan dan
Peremajaan. Keenam, lahan, yaitu penetapan lahan harus dilakukan 2 tahun sebelum pembangunan dan
terencana dengan baik, sesuai RUTR dan RBWK, kepadatan tinggi, eks kebakaran, membangun tanpa
menggusur, memprioritaskan penghuni yang lahannya digunakan rusun, dan tidak dalam keadaan sengketa
atau jelas status pemilikannya. Ketujuh, perencanaan fisik, antara lain Tipe 18, Tipe 21, Tipe 36, Lantai 4
sampai 8, lift, tangga, tempat parkir dan pemanfaatan bersama lantai dasar.
Kedelapan, pembangunan rusun, mengacu pada SK Gub. No. 501/1989, pembangunan cepat-murah,
koordinasi modular dalam pembangunan rusun. Kesembilan, fasilitas dalam gedung (air bersih, listrik, gas,
tempat bermain anak, fasilitas mekanikal dan elektrikal, kamar mandi dan dapur), dan luar gedung (masjid,
gardu listrik, taman, ruang serbaguna, dan telepon umum). Kesepu/uh, perijinan, meliputi Surat ljin Penunjukan
Penggunaan Tanah (SIPT), Rencana Kota, 1MB, ljin Membangun Prasarana Kota, ljin Layak Huni, ljin
Penggunaan Bangunan.
Kesebelas, penyuluhan, adalah upaya menyamakan persepsi tentang rusun, meningkatkan minat
tinggal di rusun, upaya pemasyarakatan sistematis, serius dan kontinu, koordinasi terarah dan terpadu.
Penyuluhan melalui media elektronika, media cetak, panel, bilboard, plakat, tatap muka, sarasehan
(memanfaatkan tokoh masyarakat dan artis), jalur agama, ormas, seniman, hiburan, film, sinetron, jalur
pendidikan.
Keduabelas, pembinaan masyarakat didahului penyiapan masyarakat untuk membina kesiapan calon
penghuni rusun (aspek sosial, budaya, dan ekonomi), budaya tinggal di rusun, dan cinta rusun. Pembinaan
masyarakat menyangkut pembinaan jiwa-raga, sosial, budaya, perilaku, untuk mengubah kebiasaan tinggal di
rumah biasa ke rusun (pembinaan perilaku, menjakartakan penghuni rusun, pelatihan, kebersamaan dan
gotong royong, kepedulian), pembinaan untuk meningkatkan pendapatan (pelatihan, kursus, kredit skala

141
kecil, pola bapak angkat, waserda, kursus keterampilan), pengaturan, bimbingan, dan bantuan kemudahan.
Ketigabelas, penghunian, memperhatikan kelompok sasaran (belum memperoleh rumah dinas, belum
memiliki rumah, berpenghasilan tetap, berpenghasilan rendah), sewa-beli atau sewa, perhimpunan penghuni,
dan badan pengelola. Keempatbelas, pengelolaan, meliputi pemeliharaan, perbaikan, pembangunan prasarana
lingkungan (fasum dan fasos), bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Kelimabelas, pembiayaan
oleh Pemerintah (APBN, Departemen, LPND, lnpres Rusun Dati II, lnpres 5/1990, APBD, Kepgub 540/1990),
mobilisasi dana masyarakat, BLN, kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat, kesetiakawanan sosial nasional,
harga sewa dan harga jual.
Keenambelas, kelompok sasaran pemasyarakatan, yaitu masyarakat berpendapatan rendah
(diutamakan), menengah dan tinggi, RT, RW, dan Warga Permukiman Kumuh , Pegawai Negeri, Anggota
ABRI, Pegawai Swasta, baik perorangan maupun kelompok. Ketujuhbelas, waktu penyuluhan dan
pemasyarakatan adalah pagi hari, siang hari, atau malam hari, baik pada jam kerja maupun hari libur.
Kedelapanbelas, cara penyuluhan dilakukan melalui diskusi, penerangan, kunjungan, publikasi, pameran, dan
peragaan. Kesembilanbelas, tempat pemasyarakatan bisa di gedung, kampus, sekolah, ruang terbuka/
tertutup, aula, atau di lapangan.
Keduapuluh, peralatan yang digunakan dalam penyuluhan terdiri atas overhead projector, transparan
sheet, leaflet, kaset video, film, melalui sinetron, pelawak di tv dan radio, lagu, buku panduan pemasyarakatan
dan penyuluhan rusun (seperti penyuluhan KB). Keduapuluh satu, pengawasan dan pemantauan serta evaluasi,
untuk melihat keberhasilan/kekurang berhasilan kegiatan pemasyarakatan dan penyuluhan rusun.
Keduapuluh dua, kegiatan riset, penelitian dan pengembangan, termasuk pengkajian dan penerapan
teknologi, antara lain koordinasi modular pembangunan rusun (efisiensi penggunaan bahan, elemen, dan
komponen bangunan), sosial-budaya, sosial ekonomi, psikologis, kelembagaan, hukum, sewa dan sewa-beli,
perilaku, kesiapan masyarakat, studi perbandingan, dan pengelolaan sampah. Keduapuluh tiga,
penyelenggaraan workshop, seminar dan lokakarya rumah susun.
Keduapuluh empat, pemberian penghargaan kepada penghuni teladan yang tinggal di rusun (disiplin,
kebersamaan, kepedulian, gotong royong, suasana tenang, budaya bersih dan sehat). Keduapuluh lima,
menumbuhkan kekeluargaan warga rusun yang tercermin dalam kehidupan keluarga dan tetangga yang
harmonis, saling menghargai dan menghormati, dan memelihara segala fasilitas rusun untuk kepentingan
bersama.
Duapuluh lima butir penyuluhan dan pemasyarakatan rusun ini perlu dilaksanakan secara serentak di
semua wilayah kota Jakarta, dalam upaya memacu pembangunan rusun dan mendorong minat masyarakat
ibukota untuk menyenangi tinggal di rusun.

Harapan
Penyuluhan dan pemasyarakatan rusun yang baik dan tepat, akan meningkatkan minat masyarakat
untuk tinggal di rusun. Sebaliknya, penyuluhan dan pemasyarakatan rusun yang kurang efektif dan tidak
terkoordinasi dengan baik, akan mengakibatkan tetap rendahnya minat warga metropolitan Jakarta untuk
tinggal di rusun. Dengan kata lain, pembangunan rusun di Jakarta gagal!
Harapan Pemerintah DKI Jakarta dan harapan kita semua, kiranya dalam waktu yang tidak terlalu
lama, bermunculan banyak rumah susun sederhana yang diminati masyarakat Jakarta, sehingga budaya
rusun tumbuh pada masyarakat ibukota yang sedang mempersiapkan diri menyongsong perdagangan bebas
pada tahun-tahun 2003 (Asean), 2010 (anggota maju di Kawasan Asia Pasifik), dan 2020 (semua negara di
Kawasan Asia Pasifik) di era globalisasi.
Angkatan Bersenjata, 7 Agustus 1997

142
Memasyarakatkan Rusun Di Jakarta
Penyelenggaraan pembangunan rumah susun haruslah berasaskan pembinaan manusia seutuhnya
dan menggunakan metode pendekatan ekonomi, sosial dan fisik secara komprehensif. Menjadi pertanyaan
apakah Pemda masih mampu menyediakan lahan di ibukota?
Rumah adalah salah satu kebutuhan dasar manusia, di samping sandang dan pangan. Sulitnya
memperoleh lahan di perkotaan mengakibatkan rumah susun yang merupakan pembangunan rumah hemat
lahan sebagai salah satu alternaif pemecahan masalah perumahan. Rumah susun bermacam-macam
jenisnya, mulai dari rumah susun mewah dalam bentuk kondominium (apartemen/flat), apartemen kelas
menengah (model Pluit, Kayu Putih) dan rumah susun sederhana (model Penjaringan, Pejompongan).
Perkembangan kota metropolitan Jakarta yang sangat cepat dan jumlah penduduknya yang akan
mencapai 10 juta pada periode tahun 2000-2005, tidak akan lagi bisa bertahan dengan hun ian bangunan
tunggal, tetapi sudah harus memasuki era rumah susun. Menghadapi era tersebut, maka pembangunan
rumah susun perlu dibarengi pemasyarakatan rumah susun, agar masyarakat ibukota siap dan tanggap, dan
akan memilih rumah susun sebagai tempat hunian.

Menuju Pembangunan Rumah Susun di DKI Jakarta


Pembangunan Perumahan dan Permukiman di DKI Jakarta telah tertuang dalam Pola Dasar
Pembangunan Daerah Rencana Umum Tata Ruang 1985-2005 dan RBWK, dan Renstra 1992-1997. Sesuai
RUTR dan RBWK, pembangunan rumah susun berpedoman pada rencana pembangunan fisik tata ruang DKI
Jakarta, yaitu pembangunannya berada di lokasi yang peruntukannya untuk perumahan dan permukiman,
dan pembangunan rumah susun ikut mendukung pengembangan pusat-pusat kegiatan sektor usaha lainnya.
Pembangunan rumah susun merupakan salah satu upaya penyediaan rumah bagi warga ibukota. Pelaksanaan
pembangunannya diharapkan pada lokasi menyebar, meliputi berbagai segmen rumah susun, dapat
dikombinasikan dengan program peremajaan lingkungan permukiman kumuh dan penertiban rumah ilegal.
Renstra Jakarta 1992-1997 menegaskan bahwa Jakarta dibangun agar sejajar dengan kota-kota besar
di dunia (Kualalumpur, Bangkok, Manila, dan lain-lain) dan dihuni oleh warga kota yang sejahtera, ditunjang
program pengentasan kemiskinan dan penanganan permukiman kumuh, serta pembangunan rumah susun
yang tepat guna, berhasilguna dan berdayaguna.
Penyelenggaraan pembangunan rumah susun haruslah berasaskan pembinaan manusia seutuhnya
dan menggunakan metode pendekatan ekonomi, sosial dan fisik secara komprehensif. Dalam hal ini
dilakukan bimbingan dan pelatihan agar masyarakat lebih produktif dalam memanfaatkan berbagai sumber
daya yang ada. Pendekatan sosial menyentuh faktor manusia warga Jakarta agar lebih mencintai kotanya,
memahami arti dan hakikat pembangunan, peranan dan tanggung jawab serta partisipasi aktif dalam
pembangunan rumah susun.
Rumah susun adalah segmen baru perumahan daerah perkotaan. Karena rumah susun merupakan
"barang baru", maka barang baru ini haruslah diperkenalkan kepada masyarakat luas, apa itu rumah susun,
bagaimana membangunnya, dari mana biaya pembangunannya, bagaimana hidup di rumah susun, status
penghunian, kewajiban penghuni, organisasi pengelola, apa itu satuan rumah susun, lahan itu milik siapa,
apa saja infrastruktur yang tersedia, bagaimana memperoleh air, gas, listrik, tempat pembuangan sampah
sementara, bagaimana tempat parkir, dan sebagainya.
Beberapa ketentuan tentang rumah susun perlu diketahui masyarakat penghuni atau calon penghuni,
antara lain UU Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, PP Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah
Susun, Peraturan Menteri PU Nomor 60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun,
Keputusan Gubernur KDKI Jakarta nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Surat
Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan (SP3L) Atas Bidang Tanah Untuk Pembangunan Fisik Kota di
DKI Jakarta.

143
Dalam memacu pembangunan rumah susun, dikenal beberapa pendekatan, yaitu pendekatan sosial
(masyarakat didorong untuk memahami arti pembangunan rumah susun), pendekatan ekonomi (rumah susun
dapat meningkatkan produktivitas rumah-tangga karena lokasinya di pusat kota atau dekat tempat kerja), dan
pendekatan fisik (pembangunan rumah susun diharapkan memenuhi kebutuhan berbagai kelompok masyarakat
disesuaikan dengan kemampuannya).
Kebutuhan rumah bagi penduduk Jakarta yang telah mencapai hampir 10 juta jiwa makin tinggi,
padahal lahan yang masih bisa dibangun perumahan makin sempit. Akibatnya, rumah susun merupakan
salah satu alternatif penyediaan perumahan bagi penduduk ibukota. Tetapi sampai saat ini pembangunan
rumah susun masih dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain sulitnya memperoleh lahan, bervariasinya
kelompok masyarakat (dari mulai yang paling kaya sampai ke yang sangat miskin), penyuluhan rumah susun
yang belum berjalan dengan baik, pengelolaan rumah susun yang belum efektif, dan koordinasi pembangunan
rumah susun yang belum terarah dan terpadu.
Hasil beberapa penelitian tentang perumahan menunjukkan bahwa kebutuhan rumah di DKI Jakarta
mencapai 64.000 unit/tahun (RUTR DKI Jakarta 1985-2005), 79.000 unit/tahun (BPPT), dan 70.000 unit/tahun
(konsultan). Dari angka-angka ini dapat disimpulkan bahwa kebutuhan rumah di DKI Jakarta per tahun adalah
70.000 unit. Kebutuhan rumah ini didasarkan atas perhitungan (a) pertambahan penduduk, perbaikan rumah
yang rusak atau tergusur, dan kekurangan rumah dari tahun sebelumnya, (b) target pengadaan 10 persen
masyarakat berpenghasilan tinggi, 40 persen berpenghasilan menengah, dan 50 persen berpenghasilan
rendah, (c) pengadaan rumah 75 persen oleh masyarakat dan 25 persen oleh sektor formal (pemerintah dan
bahan usaha), (d) 70 persen non-rusun dan 30 persen rusun dan flat.
Rumah susun yang diperlukan adalah 30 persen dari 70.000 unit atau 21.000 unit/tahun dan untuk
masyarakat berpenghasilan rendah adalah 50 persen atau 10.500 unit/tahun. Mengingat keterbatasan dana,
maka pemerintah daerah diperkirakan dapat menyediakan dana untuk pembangunan 30 persen atau 3.150
unit/tahun. Rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan menengah dan tinggi, dibangun melalui subsidi
silang (SK Gubernur Nomor 540 Tahun 1990), sumber dana lainnya, dan berbagai sektor formal (badan
usaha dan pembangunan). Dengan asumsi 1 unit rumah susun tipe 21 luasnya 35 m2, maka dibutuhkan
lahan 3.150 x 35 m2 atau 110.250 m2 (11 hektar). Berarti kebutuhan lahan selama lima tahun mencapai 55
hektar. Pertanyaan yang muncul, masih mampukah pemerintah daerah menyediakan lahan di ibukota untuk
pembangunan rumah susun ini?

Masyarakat ibukota masih senang tinggal di rumah-rumah tunggal walaupun kondisinya belum
memenuhi pemasyarakatan kesehatan.
Pembangunan rumah susun merupakan alternatif utama dari keseluruhan program pengadaan
perumahan di DKI Jakarta. Pembangunan rumah susun yang mempunyai daya tampung tinggi, dibangun
dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
perumahan yang terjangkau masyarakat luas. Pembangunan rumah susun, dapat mengoptimalkan penggunaan
lahan perkotaan. Kebijaksanaan yang ditempuh dalam membangun rumah susun di wilayah-wilayah kota
Jakarta, yaitu Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, Jakarta Timur dan Jakarta Utara.
Kebijaksanaan yang ditempuh meliputi penataan ruang dan bangunan (lokasi, lahan, perencanaan,
pembangunan, fasilitas dan perizinan), bimbingan dan penyuluhan, pembinaan masyarakat, penghuni dan
pengelolaan, serta pembiayaan dan penetapan harga. Strategi yang ditempuh adalah peningkatan koordinasi
berbagai instasi dan unit kerja terkait, peningkatan penyuluhan rumah susun, pemantapan sistem pembiayaan,
kelembagaan, pola pengelolaaan, peraturan, dan pemasyarakatan rumah susun.
Kebijaksanaan penataan ruang meliputi penataan kota, penanganan permukiman kumuh dengan
membangun rumah susun dan memperhatikan kepadatan penduduk yang ada, tata letak bangunan,
konstruksi, ventilasi, kepadatan bangunan, keadaan jalan, air bersih, pembuangan sampah dan limbah,
jaringan air minum, gas, dan listrik.
Dalam menggalakkan pembangunan rumah susun, dapat kita rumuskan melalui pola pikir yang terdiri
dari tujuh elemen. Pertama, melihat kondisi pembangunan rumah susun di kota metropolitan Jakarta saat ini

144
(rumah susun mewah, menengah, sederhana). Kedua, memperhatikan nilai-nilai dasar (Pancasila dan UUD
1945) dan nilai instrumental pembangunan (Wasantara, Tannas, GBHN, UU, PP, Keppres, lnpres, Kepmen,
lnmen), dan Petunjuk Operasional dan Petunjuk Teknik Pembangunan.
Ketiga, perkembangan lingkungan strategis internasional (pengaruh globalisasi terhadap pembangunan
rumah susun), regional (perbandingan dengan wilayah ASEAN, Kualalumpur, Bangkok, Manila), dan nasional
(dalam lingkup perkotaan di Indonesia). Dalam hal ini dibuat analisis SWOT (strength, weaknesses,
opportunities, threats atau kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman). Keempat, kotak kegiatan yang
terdiri dari kebijaksanaan, strategi, dan upaya (subyek, obyek, metoda), yaitu unsur manusia sebagai subyek
(aparatur pemerintah, swasta, dan masyarakat), obyek (mutu dan teknis bangunan), serta metode (aspek
teknis, sosial-budaya, sosial ekonomi, sosio-psikologis).
Kelima, kondisi lingkungan perumahan susun yang diinginkan, yaitu rumah susun berbagai jenis dan
tipe disesuaikan dengan kelompok pendapatan masyarakat. Keenam, pembangunan rumah susun sebagai
salah satu elemen pembangunan perumahan dan pemukiman dan sebagai salah satu bidang pembangunan
nasional. Ketujuh, keberhasilan pembangunan rumah susun yang mendukung keberhasilan pembangunan
perumahan dan pemukiman, akan turut berperan dalam mencapai tujunan nasional.
Akhir dari analisis pada tujuh elemen ini adalah dapat dirumuskannya kebijaksanaan, strategi, dan
upaya pembangunan rumah susun di kota metropolitan Jakarta. Upaya-upaya dapat dijabarkan ke dalam
langkah-langkah pencapaian tujuan dan sasaran, baik jangka panjang, menengah dan jangka pendek. Upaya
ini perlu dijabarkan lagi ke dalam kegiatan bulanan, mingguan, dan harian yang dapat dipantau terus
menerus, termasuk di dalamnya upaya pemasyarakatan rumah susun dalam mendukung keberhasilan
pembangunan rumah susun.

Perlu Pemasyarakatan Rumah Susun


Masyarakat ibukota masih senang tinggal di rumah-rumah tunggal walaupun kondisinya belum
memenuhi pemasyarakatan kesehatan. Upaya Pemerintah DKI Jakarta untuk meremajakan dan menata
lingkungan permukiman kumuh menjadi permukiman susun, tidak akan berhasil apabila hanya memperhatikan
aspek teknis pembangunan rumah susun. Pembangunan rumah susun hanya akan berhasil jika disertai atau
dibarengi dengan upaya-upaya pemasyarakatan rumah susun. Melalui pemasyarakatan rumah susun,
diharapkan agar warga ibukota dalam waktu sesingkat-singkatnya mau tinggal di rumah susun sebagai
pengganti rumah kumuh dan rumah liar yang tidak manusiawi.
Pemasyarakatan rumah susun dapat dilakukan sebagai berikut. Pemerintah pusat dalam hal ini kantor
Menpera menetapkan kebijaksanaan pembangunan rumah susun yang berisi pemasyarakatan rumah susun
pada tingkat nasional, setelah memperoleh masukan dari instansi terkait yang bekerja bersama-sama dalam
Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Pemukiman (BKP4N). Kebijaksanaan
yang dijabarkan oleh gubernur KDKI Jakarta ke dalam Kebijaksanaan Pembangunan Rumah Susun di DKI
Jakarta, termasuk di dalamnya kebijaksanaan pemasyarakatan rumah susun, bimbingan dan penyuluhan
rumah susun. Pemasyarakatan dilakukan terus menerus di tiap wilayah kota, dengan kelompok sasaran
masyarakat umum, calon penghuni rumah susun, aparatur pemerintah, para penyelenggara pembangunan
rumah susun, pelajar dan mahasiswa. Kegiatan penyuluhan melibatkan aparatur wilayah kotamadya,
dikoordinasikan oleh kepala Sub-Dinas Perumahan di Wilayah Kota.
Bentuk pemasyarakatan bisa ditempuh melalui diskusi-diskusi, seminar dan lokakarya, bimbingan dan
penyuluhan, penataran dan lokakarya, penyebarluasan informasi melalui televisi (iklan, promosi, informasi,
sinetron rumah susun), media cetak, media massa, media elektronika, brosur dan leaflet, dan Iomba
penulisan rumah susun. Dinas Perumahan mengevaluasi secara reguler/berkala kegiatan pemasyarakatan
rumah susun dan melaporkan kepada Gubernur tentang hasil-hasil yang dicapai, pengarahan gubernur
tentang hasil-hasil yang dicapai. Pengarahan gubernur dijadikan pegangan dalam melakukan kegiatan
pemasyarakatan rumah susun berikutnya. Kegiatan pemasyarakatan rumah susun disertai kunjungan ke
berbagai lokasi rumah susun, sehingga masyarakat bisa menilai situasi dan kondisi hunian di rumah susun
yang dikunjunginya.

145
Dinas Perumahan juga menyed1akan pusat informasi rumah susun yang bisa dilihat warga ibukota
setiap saat, termasuk informasi rumah susun yang bisa dilihat warga ibukota setiap saat, informasi beberapa
jumlah rumah susun yang sudah ada, sedang dibangun, dan yang akan dibangun. Di mana lokasinya, dan
berapa biaya pembangunannya, serta berapa biaya sewa atau sewa beli. Brosur rumah susun yang singkat
dan jelas, perlu dibuat lebih menarik, disertai gambar-gambar lucu tentang kehidupan di rumah susun.
Dengan melaksanakan pemasyarakatan rumah susun seperti ini dan melibatkan berbagai instansi
pemerintah dan swasta, maka dalam waktu sesingkat-singkatnya warga metropolitan Jakarta akan tumbuh
minatnya untuk tinggal di rumah susun, sebagai hunian masa depan kota metropolitan di era globalisasi.
Terbit, 29-30 Juli 1997

Memasyarakatkan dan Membudayakan Rumah


Susun di Kota Metropolitan
Terbatasnya lahan di daerah perkotaan mengakibatkan pembangunan rumah vertikal (rumah susun,
disingkat rusun) merupakan salah satu alternatif pembangunan perumahan di perkotaan. Di Indonesia saat ini
dikenal beberapa tipe rumah susun, antara lain (1) rumah susun mewah yang dihuni orang kaya dan orang
asing, (2) rumah susun yang dihuni golongan menengah ke atas, (3) rumah susun yang dihuni golongan
menengah bawah, dan (4) rumah susun yang dihuni masyarakat berpenghasilan rendah ke bawah.
Kota metropolitan Jakarta yang jumlah penduduknya mendekati 10 juta jiwa, diperkirakan menjadi 12
juta jiwa pada tahun 2000 (menempati urutan kota sebelas terbesar di dunia, jika disatukan dalam Jabotabek
mencapai 16 juta jiwa merupakan urutan kelima setelah Mexico City, Sao Paulo, Tokyo, Calcuta, dan
Bombay), sudah membutuhkan rumah susun untuk kepentingan warganya.

Rumah Susun Jakarta


Rumah Susun dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna hunian penduduk metropolitan. Melalui
rumah susun, Jakarta akan semakin cantik karena dengan banyaknya rumah susun, permukiman kumuh
akan berkurang jumlahnya. Rumah susun juga dapat menunjang pembangunan Jakarta sebagai Kota Jasa
(Service City). Mahalnya harga tanah dan sulitnya memperoleh tanah di kota metropolitan Jakarta,
mengakibatkan rumah susun merupakan alternatif utama pemecahan masalah pembangunan perumahan.
Sejak 1988 Perumnas telah membangun lebih dari 9000 unit rumah susun di beberapa kota di
Indonesia, yaitu di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Pemerintah DKI Jakarta, Pemerintah
Kotamadya Surabaya, juga telah memulai pembangunan rumah susun bagi warganya. Pelaksanaan
pembangunannya mengacu pada ketentuan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 dan Peraturan
Pemerintah nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun dan Peraturan Menteri PU Tahun 1990.
Dinas Perumahan DKI Jakarta telah menghitung kebutuhan rumah susun bagi masyarakat
berpenghasilan rendah adalah 3.150 unit/tahun yang dihasilkan dari perhitungan berikut. Kebutuhan tambahan
rumah per tahun adalah 70.000 unit, sehingga kebutuhan tambahan rumah susun selama 5 tahun mencapai
350.000 unit. Kebutuhan rumah susun ini diupayakan pemenuhannya melalui rumah tunggal (landed houses)
70% atau 49.000 unit/tahun dan rumah susun (flat, apartement) 30% atau 21.000 unit/tahun. Diasumsikan
kebutuhan rumah susun untuk masyarakat berpenghasilan rendah adalah 50% dari 21.000 unit atau 10.500
unit dan dari angka ini, diharapkan dapat dipenuhi oleh Pemerintah DKI Jakarta (Dinas Perumahan, PO
Pembangunan Sarana Jaya, Yayasan) sebanyak 30% atau 3.150 unit/tahun.
REI menginformasikan saat ini tidak kurang dari 10.000 unit rumah susun mewah telah terbangun di
DKI Jakarta. Perum Perumnas juga terus mencari lokasi di ibukota untuk pembangunan rumah susun,

146
sebagai perluasan dari rumah susun di Kemayoran Rumah Susun Sederhana (Sewa Murah atau Sewa Beli)
di Jakarta sampai dengan tahun 1994 telah mencapai 8.734 unit, tersebar di Jakarta Selatan (11okasi), Jakarta
Timur (6 lokasi), Jakarta Barat (3 lokasi), Jakarta Utara (2 lokasi), dan Jakarta Pusat (7 lokasi). Mulai tahun
1995 direncanakan pembangunan 2.687 unit yang tersebar di Jakarta Pusat (3 lokasi), Jakarta Utara (1
lokasi), Jakarta Barat (1 lokasi), Jakarta Timur (1 lokasi), dan Jakarta Selatan (1 lokasi). Sampai tahun 2000
diharapkan ada tam bah an lagi sebanyak dibangun di Jakarta Utara (1 0.120), disusul Jakarta Pusat (6.880
unit), Jakarta Timur (4.912 unit), Jakarta Barat (4.120 unit), dan Jakarta Selatan (1.536).
Dari gambaran terse but terlihat bahwa jenis rumah susun ada yang mewah, menengah dan sederhana,
pelaku pembangunannya terdiri atas Pemerintah Pusat, Pemerintah Deaerah, dan Swasta. Permasalahan
yang menonjol adalah dana, sulit dan mahalnya lahan, mahalnya biaya pembangunan, belum adanya
standarisasi pembangunan rumah susun, belum adanya keringanan penyediaan sarana dan prasarana
lingkungan rumah susun (air, listrik, telepon, PBB, perijinan), belum intensifnya penyuluhan dan pemasyarakatan
rumah susun dan belum terpadunya pembangunan rumah susun dengan sarana dan prasarana perkotaan
lainnya.
Permasalahan lain adalah belum tersedianya informasi pembangunan rumah susun secara akurat,
terbatasnya kemampuan dana pembangunan, belum tumbuhnya kemitraan, belum dimengertinya status
kepemilikan dan penghunian, belum jelasnya kewajiban dan hak penghunian, belum jelasnya status dan
pengelola dan belum adanya kesatuan pemahaman Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah tentang
Rumah Susun. Pemasyarakatan dan penyebarluasan informasi rumah susun belum dilakukan dengan baik
dan pembudayaan hidup di rumah susun hampir belum ada yang melakukannya.
Hasil penelitian di rumah susun Penjaringan dan Tanah Abang pada tahun 1991, mencatat sepuluh
butir yang terkait dengan upaya pemasyarakatan dan pembudayaan rumah susun.
Pertama, keadaan rumah susun perlu disesuaikan dengan keinginan penghuni. Kedua, rumah susun
yang dibangun saat ini terkesan berbeda dengan keinginan penghuni. Ketiga, masih terdapat cukup banyak
kekurangan fasilitas di rumah susun. Keempat, cukup besar hambatan bermukim di rumah susun. Kelima, luas
satuan rumah susun yang terlalu kecil (18 m2 dan 21 m2) sering meimbulkan stress para penghuninya.
Keenam, masih dijumpai kesulitan bagi penghuni untuk memecahkan berbagai permasalahan hunian di
rumah susun yang dihadapinya. Ketujuh, kondisi lingkungan rumah susun masih belum mendorong kehidupan
yang efisien dan produktif. Kedelapan, masih perlu waktu panjang untuk membudayakan rumah susun bagi
warga perkotaan. Kesembilan, sulitnya pengurusan status pemilikan satuan rumah susun. Kesepuluh, masih
kurangnya perhatian terhadap aspek sosial-ekonomi, sosial budaya, dan psikologis penghunian di rumah
susun.
DKI Jakarta yang diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Negara
Republik Indonesia Daerah Khusus lbukota Jakarta, sebagai kota pusat pemerintahan, perdagangan,
pariwisata, konvensi, dan perkantoran nasional dan internasional, memerlukan fasillitas perkotaan yang
modern. Salah satu fasilitas tersebut adalah permukiman di rumah susun dalam suatu lokasi mixed development.
Dalam konteks ini rumah susun berada dalam suatu lingkungan yang memiliki fasilitas parkir. pertokoan,
perkantoran, gedung pertemuan umum, tempat hiburan, fasilitas olahraga dan rekreasi, serta jaringan
transportasi.
Prospek rumah susun di kota metropolitan Jakarta cerah. lni dibuktikan dari penghasilan penduduk
ibukota yang terus meningkat mengakibatkan peningkatan daya beli satuan rumah susun, tingkat hunian di
rumah susun kelas menengah (Pulo Mas dan Pluit) dan rumah susun sederhana (Penjaringan, Pejompongan),
tinggi, sehingga hampir tidak ada satuan rumah susun yang kosong tidak ada penghuninya, mobilitas
penduduk yang tinggi membutuhkan hunian di pusat kota dan ini dapat dipenuhi oleh rumah susun. Rumah
susun memberikan kemungkinan dan peluang bagi penghuninya untuk bekerja sampai larut malam, karena
fasilitas yang memadai.

Perlu Pemasyarakatan Rumah Susun


Pembangunan rumah susun tanpa disertai pemasyarakatan tidak akan meningkatkan minat masyarakat
untuk tinggal di rumah susun. Memasyarakatkan rumah susun adalah usaha menjadikan masyarakat untuk

147
mau dan suka tinggal di rumah susun. Memasyarakatkan rumah susun harus dilakukan terus-menerus dan
dilaksanakan secara intensif, sabar dan tepat mengenai kelompok sasaran (target group).
Penyuluhan rumah susun diperlukan untuk mengubah pandangan dan sikap masyarakat ibukota dari
kurang mengerti rumah susun menjadi cinta rumah susun. Masyarakat perlu diyakinkan tentang berbagai
keuntungan tinggal di rumah susun, misalnya tidak perlu mernelihara pekarangan, membeli dan memiliki
perabotan rumah tangga seperlunya, hidup efisien, efektif, dan produktif, hidup dalam lingkungan yang bersih
dan sehat, waktu kerja dan istirahat diatur dengan baik dan selalu menghargai waktu.
Aspek sosio-psikologis hunian di rumah susun perlu diperhatikan disamping sosio-ekonomi dan sosial-
budaya. Hunian di rumah susun terkait erat dengan struktur sosial masyarakat, komunitas warga apartemen,
interaksi intra dan antar keluarga, tersedianya sarana pendidikan, tempat ibadah, olahraga, taman dan
rekreasi. Profesor Yaumil Chairiah Agoes Achir menyorot aspek sosial-budaya masyarakat penghuni rumah
susun. Rumah susun perlu diwujudkan sebagai home, bukan sekedar shelter, yang harus bermanfaat bagi
kepentingan sosial keluarga, dapat dinikmati oleh istri, anak, wanita, pemuda, dan manusia lanjut usia.
Kompleksnya tinggal dirumah susun menuntut pengelolaan rumah susun secara profesional yang
memperhatikan peraturan perundang-undangan yang ada.
Pemasyarakatan rumah susun perlu dilakukan sedini mungkin agar dapat menghindari dampak negatif
penghunian di rumah susun. Rumah Susun dengan berbagai permasalahannya, menarik untuk diteliti dan
dikaji. Karena itu para pakar perumahan dan permukiman, pakar sosial-ekonomi, pakar sosial-budaya, pakar
sisio-psikologis, secara sendiri-sendiri atau berencana, perlu melakukan kajian komprehensif tentang hunian
di rumah susun.
Pemasyarakatan rumah susun juga harus menginformasikan bahwa pembangunan rumah susun
disesuaikan dengan keperluan dan kemampuan masyarakat terutama berpenghasilan rendah, baik mengenai
jumlah, kualitas bangunan, lingkungan, maupun persyaratan dan tatacara memperolehnya. Rumah Susun
harus dibangun di lokasi yang sesuai dengan peruntukan dan keserasian lingkungan dengan memperhatikan
rencana tata ruang dan tata guna tanah yang ada. Rumah susun harus dibangun pada lokasi yang
memungkinkan fungsinya dengan baik, saluran pembuangan dalam lingkungan ke sistem jaringan pembuangan
air hujan dan jaringan air limbah kota.
Lokasi rumah susun harus mudah dicapai angkutan yang diperlukan baik langsung maupun tidak
langsung pada waktu pembuangan maupun penghunian serta perkembangan masa mendatang, dengan
memperhatikan keamanan, ketertiban, dan kemungkinan gangguan pada lokasi sekitarnya. Lokasi rumah
susun harus dijangkau pelayanan jaringan air bersih, listrik, dan gas. Dalam hal ini belum dapat dijangkau,
maka penyelenggara pembangunan rumah susun wajib menyediakan secara tersendiri sarana air bersih dan
listrik sesuai dengan tingkat keperluannya, dan dikelola berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Rumah Susun harus mempunyai kelengkapan sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4
Tahun 1988 tentang Rumah Susun, yaitu jaringan air bersih, jaringan listrik, jaringan gas, saluran pembuangan
air hujan, saluran pembuangan air limbah, saluran dan atau tempat pewadahan dan pembuangan sampah,
tempat pemasangan jaringan telepon dan peralatan komunikasi, alat transportasi berupa tangga, lift dan
eskalator, pintu dan tangga darurat kebakaran, tempat jemuran, alat pemadam kebakaran, penangkal petir,
alat dan sistem alarm, pintu kedap asap dan generator listrik.
Pemasyarakatan rumah susun harus memberikan informasi tentang pengaturan dan pembinaan rumah
susun. Pengaturan dan pembinaan rumah susun diarahkan untuk dapat meningkatkan usaha pembangunan
perumahan dan permukiman yang fungsional bagi kepentingan rakyat banyak. Pengaturan dan pembinaan ini
dimaksudkan untuk mendukung konsepsi tata ruang yang dikaitkan dengan pengembangan pembangunan
daerah perkotaan ke arah vertikal dan untuk meremajakan atau menata daerah kumuh, meningkatkan
optimasi penggunaan sumber daya lahan perkotaan, dan mendorong pembangunan perumahan dan
permukiman berkepadatan tinggi.
Jayakarta, 30 Juli 1997

148
Sampah di Rumah Susun
Pengelolaan sampah dapat dibagi ke dalam enam tahap, berawal dari timbulan atau produksi sampai
ke pembuangan akhir. Prosesnya yaitu (1) penampungan, pewadahan atau pemilihan, dan pengelolaan
sampai di tempat dengan pola individual (mengurangi volume, mengubah bentuk atau memusnahkan
sampah). (2) Pengumpulan (di dari rumah ke rumah), (3) pemindahan sampah ke TPS (tempat pembuangan
sementara) atau ke stasiun pemindahan (transfer), (4) pengangkutan (dengan berbagai jenis kendaraan), (5)
pengolahan (dibakar dalam mesin pembakar sampah atau incinerator), dan (6) pembuangan akhir sampah ke
TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Jenis-jenis sampah terdiri atas sampah dari pemukiman, pasar, pertokoan
dan pusat perdagangan, hotel, pabrik, rumah sakit, industri, dan sebagainya.
Tulisan ini mengupas pengumpulan sampah di rumah susun yang mengacu pada hasil penelitian yang
dilakukan pada tahun 1985 oleh Kelompok Sanitasi Lingkungan, Direktorat Riset Operasi dan Manajemen,
BPP Teknologi bekerjasama dengan P4L dan Dinas Kebersihan Pemerintah DKI Jakarta terhadap 100
responden penghuni rumah susun Kebon Kacang dan 10 responden penghuni rumah kumuh di sebelah
Selatan rumah susun.
RSKK (Rumah Susun Kebon Kacang) terdiri dari 536 unit, masing-masing 232 tipe F.21 160 tipee
I

F.42 172 tipe F.51 dan 70 tipe F.42 Gabungan. Penduduk asli Kebon Kacang yang menghuni rumah susun
I

ini sebanyak 35% dan 65%, sisanya adalah pendatang. Rata-rata jumlah jiwa per tempat hunian adalah 315
jiwa tipe F.51 316 tipe F.21, 419 tipe F.42 Gabungan dari 512 tipe F.42. Rata-rata jumlah jiwa per kkl masing-
I

masing 6,1 orang untuk penduduk kumuhl 513 orang penduduk aslil dan 316 orang penduduk pendatang.
Pekerjaan penduduk kumuh sebagian besar buruh dan usaha tidak tetapl penduduk asli RSKK adalah
pegawai negeri dan pedagangl sedangkan penduduk pendatang adalah pegawai swasta.
Timbulan sampah rata-rata per kepala keluarga per hari (dalam kg) masing-masing untuk penduduk
kumuh (1 116 sampah basah, 0,355 sampah kering, dan 1,471 sampah campuranl penduduk asli (0,959
I

sampah basahl 0,319 sampah keringl dan 1,278 sampah campuran dan penduduk pendatang (0 1561 sampah
basahl 01261 sampah kering, dan 0,822 sampah campuran.
Dihitung per kapital maka timbulan sampah rata-rata per kapita per hari, masing-masing untuk
penduduk kumuh (0~183 kg sampah basah, 0,058 sampah kering, dan 01241 sampah campuran)~ penduduk
asli (0, 181 kg sampah basah, 0,060 sampah kering, dan 0,241 sampah campuran)~ dan penduduk pendatang
(0, 156 sampah basah, 0,073 sampah keringl dan 0,229 sampah campuran).
Komposisi sampah RSKK terdiri dari 73121% sampah organik 1 11,56% kertas, 0168% plastik, 2,06%
logam, 1,96% gel as dan kaca, 1,06% kain, 0,32% karet dan kulit tiruan, dan 0,15% kayu. Perhitungan
karakteristik sampah RSKK memperlihatkan kadar air 57154% dan nilai kalor 1.257,11 kcal/kg.
Memperhatikan persyaratan sampah yang bisa dibakar di incinerator seperti yang terdapat di Ulu
Pandan Singapura (nilai kalor antara 955,4 dan 2.14916 kcal/kg dan kadar air 35-55% 1 berarti kadar air
sampah RSKK masih melebihi standar yang diperbolehkan. Sampah RSKK dan rumah susun lainnyal hotel,
bioskopl dan pertokoan masih perlu diteliti kembali kemungkinannya bisa dibakar di dalam mesin pembakar
sampah dan dijadikan tenaga listrik.
Saat ini ada tiga pola pengumpulan sampah di RSKK. Pertamal pewadahan sampah di unit rumah
susun menggunakan kantong plastik yang disediakan oleh Perum Perumnas. Penghuni membungkus
sampah dengan plastik, diambil oleh petugas sampah dan dimasukkan ke dalam gerobakl dan selanjutnya
dibawa dan dimasukkan ke dalam TSP kontainer 1 m2 1tiap blok rumah susun memiliki bak sampah beton.
Sebagian besar penghuni membuang sampah ke dalam bak sampah, sebagian lagi meletakkan
sampah di depan rumahnya baik dalam kantong ataupun bungkus atau kotak pembuangan lainnya. Petugas
pengumpul sampah mengambil sampah dari depan unit rumah susun dan dari bak sampah untuk selanjutnya
dibawa dan dimasukkan ke dalam TPS. Ketigal penghuni membawa sendiri sampah dan memasukkan ke
kontainer.

149
Sarana pengumpulan sampah terdiri dari 4 kontainer kapasitas masing-masing 1 m3, 2 gerobak
sampah kapasitas 1,584 m3, sapu lidi, pengki, kantong plastik, dan 2 bak sampah bertutup. Prasarana
pengumpulan sampah terdiri atas jalan gang Iebar 1,5 m, jalan lingkungan Iebar 10 m, lokasi penempatan bak
sampah dan kontainer, dan lokasi pemindahan dari gerobak ke kontainer seluas 20m3.
Beberapa masalah yang timbul antara lain kesulitan naik-turun tangga bagi penghuni maupun pengumpul
sampah, pembagian plastik yang tidak teratur (keterlambatan pembayaran cicilan rumah mengakibatkan
keterlambatan pembagian kantong plastik), kurangnya kesadaran warga dalam memelihara kebersihan
lingkungan, dan masih adanya penghuni yang menggunakan plastik untuk keperluan lain. Antara 80-97%
penghuni bersedia menggunakan kantong plastik, 11-28% penghuni pernah melaporkan masalah kebersihan
ke instansi yang berwenang (Dinas Kebersihan, Perum Perumnas, RW, dan RT), dan 67-70%) warga
menyatakan pengumpulan sampah sekarang sudah menjamin kebersihan lingkungan. Masih adanya warga
yang acuh terhadap kebersihan, memerlukan adanya penyuluhan oleh instansi yang berwenang.
Penghuni atau warga RSKK sebagian besar, 60-85% bersedia memisahkan sampah basah dan
sampah kering agar ada bagian sampah yang bisa dimanfaatkan dan bagian lainnya yang sama sekali harus
dibuang. Jadwal pengambilan sampah di bak sampah oleh petugas harus jelas, agar warga menyesuaikan
waktu pembuangan sampah sehingga bau busuk di bak sampah dapat dihindari.
Dari besarnya iuran sampah antara Rp. 3.000- Rp. 4.000,- setiap kk setiap bulan, 58--89% penduduk
asli yang penghasilannya rendah. Alasan keberatan juga disebabkan pengambilan sampah tidak teratur,
petugas terbatas dan gerobak sampah kurang memadai.

Alternatif Perbaikan
Pengumpulan sampah yang baik perlu ditunjang oleh kesadaran warga (mengumpulkan sampah
dalam plastik, membuang ke dalam bak sampah atau langsung ke kontainer, membayar iuran kebersihan),
tersedianya sarana dan prasarana persampahan yang memadai dan memenuhi persyaratan kesehatan
pengelola sampah, petugas kebersihan yang jumlahnya memadai, jadwal pengumpulan dan pengangkutan
sampah yang tepat (petugas pengumpul dan petugas pengangkut sampah dari kotainer dibuang ke TPA,
tempat pembuangan akhir).
Agar lebih estetis, bak sampah perlu dicat menyolok (misalnya merah, kuning atau oranye), gerobak
yang kokoh dengan cat yang rapih, petugas menggunakan pakaian uniform kebersihan, dan pencucian bak
sampah dilakukan secara periodik.
Di samping itu penyelenggaraan Iomba kebersihan unit rumah susun, Iomba kebersihan antar blok
rumah susun, dan Iomba tanaman dalam pot di setiap unit rumah susun akan dapat meningkatkan kesadaran
warga terhadap kebersihan pemukiman dan lingkungannnya.
Neraca, 18 April 1990

Memasyarakatkan Rumah Sehat


United Nations Centre for Human Settlements (UNCHS) atau Habitat pada tahun 1989 menekankan
pentingnya rumah sehat bagi keluarga (shelter, health, and the family). Para birokrat melihat rumah bisa dilihat
sebagai kata benda, seperti yang disampaikan Komarudin dengan berbagai angka dan target pembangunan
rumah (Workshop Kebutuhan Perumahan di DKI Jakarta, 29 Juli 1992), sedangkan pakar perumahan
melihatnya sebagai kata kerja, merupakan suatu on going process (Maria Hertiningsih, wartawan Kompas).
Sebaliknya Ketua Direksi Pelaksana Pengendalian Pembangunan Kompleks Kemayoran (dikenal sebagai
Kota Baru Bandar Kemayoran), Hindro Tjahjono Sumardjan, mengajak semua orang untuk melihat perbedaan
pandangan tersebut tak harus dipertajam, karena keduanya saling melengkapi. Aspek teknis dan sosial

150
perumahan seharusnyalah dipertemukan, sampai pada akhirnya diperoleh cara terbaik untuk memenuhi
kebutuhan rumah yang semakin tinggi pada berbagai tingkat pendapatan masyarakat.
Rumah sehat dalam lingkungan yang sehat, merupakan idaman setiap keluarga. Untuk mewujudkan
Rumah Sehat, perlu diperhatikan konstruksi b~ngunan, bahan bangunan, komponen dan elemen bangunan,
pengaruh lingkungan, jarak antar ruang, saranci dan prasarana yang mendukung, aspek psikologis, kesehatan,
keamanan, budaya atau kultur, dan kebiasaan penghuni yang dapat mendukung perwujudan penghunian
yang layak, aman, serasi dan tenteram.

Rumah Sehat
UNICEF menyatakan bahwa duapertiga kehidupan manusia berada di rumah dan sepertiga sisanya
berada di luar rumah. Rumah mempunyai paling sedikit tiga fungsi, yaitu tempat berlindung, tempat
pembinaan keluarga, dan tempat kegiatan keluarga. Dengan demikian fungsi rumah adalah menjaga dari
sengatan matahari, cuaca, gangguan binatang bua§. tempat pertumbuhan keluarga, pendidikan, berkreasi,
kerukunan dan kebahagiaan keluarga, pertemuan keluarga, dan tempat menjalankan berbagai kegiatan
dengan rasa senang, tenteram dan nyaman. Karena itu, rumah jangan digunakan untuk keperluan kehidupan
yang kurang menguntungkan, seperti ngobrol berkepanjangan, membicarakan hal-hal yang tidak pantas, ribut
dalam keuarga, atau dengan tetangga, berbuat yang mengakibatkan kebisingan dan sebagainya.
Direktorat Perumahan Ditjen Cipta Karya menegaskan ada empat persyaratan rumah sehat, yaitu
kesehatan, kekuatan bangunan, kenyamanan dan keterjangkauan. Pertanyaan muncul, apakah rumah sangat
sederhana atau RSS (yang saat ini dikembangkan), memenuhi persyaratan rumah sehat? Untuk menjawabnya,
perlu dikaitkan dengan ketentuan Menteri PU Nom or 20/Kpts/i 986 tentang Pedoman Teknik Pembangunan
Rumah Sederhana Tidak Bersusun, yang menyangkut persyaratan minimum rumah sehat, antara lain dinding
batako tras kapur, anyaman bambu yang dipasang pada rangka kayu atau tripleks, lantai tanah diperkeras,
plesteran tras kapur yang diaci semen atau plesteran semen pasir, tutup atap dari asbes semen gelombang
kecil, seng gelombang atau genteng sederhana, serta ·adanya ventilasi agar mendukung pertukaran udara
yang baik.
UNCHS bahkan telah menetapkan sebelas persyaratan rumah sehat, yaitu (1) proteksi terhadap
penyakit yang dapat menular, (2) proteksi terhadap kecelakaan dan gangguan pencemaran pada peralatan
rumahtangga, polusi udara, zat kimiawi, dan bangunan rumah untuk tempat kerja, (3) promosi kesehatan
mental. (4) penciptaan kesehatan lingkungan perumahan dan permukiman, (5) promosi kebersihan rumah
dan lingkungan yang mendorong penghuni untuk selalu menjaga kesehatan keluarga, (6) penciptaan
keamanan lingkungan dan upaya peniadaan gangguan terhadap ibu, wanita dan anak-anak, (7) penciptaan
kesehatan sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah dan swasta, (8) penciptaan kesehatan yang selalu
dikaitkan dengan daya dukung tanah, ruang terbuka hijau dan lingkungan, (9) rumah sebagai wadah proses
pengembangan sosial ekonomi, (1 0) tempat pendidikan kesehatan umum dan profesi bagi anggota keluarga,
dan (11) adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan rumah sehat dalam lingkungan yang
sehat. Semua persyaratan yang dikemukakan ini sebenarnya jika dilihat dengan teliti, terkandung di dalam
UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman.
Setiap petugas penyuluh perumahan harus menginformasikan aspek-aspek panting rumah sehat yang
meliputi aspek fisiologis yang dititikberatkan pada keadaan fisik bangunan yang bisa mempengaruhi perilaku
penghuni (ventilasi, penerangan alam dan buatan, kondisi lantai, dinding, langit-langit, dan atap rumah,
kelengkapan bangunan seperti WC, kamar mandi, tempat cuci, sumber air bersih, tempat sampah, serta
saluran air hujan dan pembuangan, perencanaan ruang), aspek psikologis, aspek menghindar dari penyakit
menular (perletakan bangunan, pengaruh hujan, saluran air buangan, penanggulangan sampah, dan
penyesuaian terhadap lingkungan), dan aspek administratif (persyaratan pembangunan, perijinan, pemilikan,
pendaftaran, pemilikan, bukti Buku Tanda Pemilikan Perumahan atau BTPP, bukti penghuninan rumah sewa
dan rumah kost, serta Surat Penetapan Petunjuk Penggunaan atau Penghunian Perumahan (SP5) sesuai
dengan hubungan hukum antara pemiilik dan penghuni.
Rumah sehat harus memenuhi persyGJ.ratan penyehatan lingkungan permukiman, ketertiban, dan
kesehatan lingkungan. Komponen yang perlu diperhatikan antara lain penyediaan prasarana lingkungan yang

151
memadab(par:i1 :sesuai dengan jumlah penghuni, pengamanan lingkungan perumahan terhadap pencemaran,
pemeliharan ·sumber air bersih, dan pengelolaan pembuangan sampah' rumah tangga dan lingkungan. Tertib
bangunan bisa menghindari kemungkinan bencana, runtuh, kebakaran, dan kepad;:1tan yang terlalu tinggi.
Kerjasama dalam keuarga dan antar keluarga dapat meriumbuhkan rumah sehat. Rasa kebersamaan dapat
menumbuhkan pembangunan rumah secara bersama, pemanfaatan tenaga kerja lokal, gotong royong, dan
rasa persaudaraan.
Pengertian warga terhadap rumah sehat menyebabkan keteraturan perletakan bangunan dan penyediaan
ruang kegiatan, pengurangan sinar matahari dan silau, tampias hujan, pengaturan ruang untuk kerja dan
usaha, penempatan perabot, pengaturan sirkulasi, penempatan anggota keluarga, pemeliharaan lantai kering,
ruang makan dan ruang tamu, fasilitas mck, dinding, pintu, jendela, lobang angin, langit-langit atap, saluran
air buangan dan air hujan, tempat pembuangan sampah, penyediaan air bersih dan penataan halaman
rumah. Pola tata letak lingkungan peru mahan yang sehat, perlu memperhatikan jarak antar rumah, jarak antar
rumah dengan jalan, letak perumahan, pemeliharaan kelestarian lingkungan, penyediaan ruang untuk
menampung kegiatan (istirahat, tidur dan santai keluarga, memasak, menjahit, bertanam, mencuci, mandi,
cuci dan warung) penyediaan ruangan dan pengaturan tata ruang. ·
Aspek-aspek rumah sehat perlu diperhatikan di semua jenis rumah. Khususnya bagi para penghuni
golongan masyarakat berpenghasilan rendah di daerah perkotaan yang tinggal di rumah-rumah gubuk, petak,
rumah sewa sederhana, rumah sewa bertingkat dan rumah susun, persyaratan rumah sehat perlu disesuaikan
dengan situasi dan kondisi huniannya. Artinya, persyaratan rumah sehat harus diterjemahkan ke dalam
kondisi perumahan serta lingkungan perumahan dan permukimannya. Misalnya pengaturan tanaman hijau
dalam pot bunga dari kaleng, dan bekas, dan pembuatan pagar sederhana di lingkungan permukiman kumuh,
tempat bermain anak, ruang terbuka hijau seadanya, fasilitas olahraga secukupnya (tempat bermain
bulutangkis dan senam) dan penyediaan pos keamanan.
Penyuluhan mengenai rumah sehat (dilakukan oleh Dinas Perumahan) yang dikaitkan dan dipadukan
dengan penyuluhan perumahan dan lingkungan yang bersih dan sehat (PKK), penyehatan lingkungan
perumahan dan permukiman (Direktorat PLP Departemen Kesehatan dan Departemen PU), dan kampanye
ibu sehat sejahtera yang mencakup pendewasaan usia perkawinan, pendidikan reproduksi sehat, penyuluhan
pra, .dan pasca-persalinan, pelayanan kontrasepsi, imunisasi dan penanggulangan diare, peningkatan
pen,ggunaan air susu ibu, gerakan bina keluarga balita, usaha perbaikan gizi keluarga, peningkatan
pefrdidikan dan ketrampilan ibu, bapak, wanita dan remaja, serta peningkatan dan pemanfaatan pelaksanaan
keluarga berencana (KISS oleh BKKBN dari Dharma Wanita), kita harapkan semuanya bisa bermuara
kepada satu tujuan, yaitu penciptaan lingkungan perumahan yang bersih dan sehat yang dihuni oleh keluarga
sehat seja,htera. . . . ~·
AfWka1ar1 Bersenjata, 6 Agustus 1992

lndikator Rumah Sehat di .Perkotaan


Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, Pasal 4, menyebutkan
bahwa penataan perumahan dan permukiman bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah
satu kebutuhan dasar man usia dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat, mewujudkan
perumahan dan permukiman yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur, memberi
arah pada pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional, dan menunjang pembangunan di
bidang ekonomi, sosial, budaya dan bidang-bidang lain. Dari keterituan ini tersirat pentingnya rumah sehat
dalam lingkungan yang sehat. Khususnya perumahan dan permukiman di kampung-kampung dan lingkungan
kurnuh perkotaan, harus benar-benar memperhatikan persyaratan rumah sehat.

152
lndikator
Oalam makalahnya yang berjudullndikator Pemukiman Sehat di Perkotaan pada Seminar Peru mahan,
Lingkungan dan Kesehatan tanggal 30 Juni 1990, Umar Fachmi Achmadi, menyodorkan beberapa indikator
rumah sehat. Pertama, perilaku hidup sehat penduduk kota. Membuang sampah ke sungai, buang hajat
besar di sungai, membiarkan selokan kotor dan air. tergenang di halaman, merupakan perilaku hidup tidak
sehat. Perilaku hidup sehat adalah budaya hidup bersih di rumah, halaman dan lingkungan. Kedua, yang
berkenaan dengan kondisi fisik perumahan, yaitu ukuran rumah dan pengaruhnya terhadap kesehatan,
lingkungan fisik perumahan, kualitas udara permukiman dan ventilasi, dan sarana kesehatan lingkungan
permukiman.
Hasil penelitian Oarrundono (1988) menyimpulkan bahwa 68% rumah-rumah di kampung perkotaan
mempunyai luas lantai kurang dari 50 m2, sebagian besar di bawah 30 m2 yang dihuni oleh 4-5 anggota
keluarga. lni berarti setiap orang menempati luas lantai rumah di bawah 6-7 m2. Penyakit menular seperti
infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) mudah berjangkit pada lingkungan perumahan dengan kepadatan
penduduk yang tinggi. Standar Oepkes (1988) menyebutkan bahwa satu orang memerlukan kamar ideal 4,5
m2. Anak-anak usia 1-10 tahun memerlukan 1,5 m2. Secara umum, ratio penghuni terhadap luas lantai
kamar adalah 1 orang 4,5 m2 atau 1,5 orang 7,0 m2.
Lingkungan fisik perumahan berupa pencahayaan dan kebisingan harus diperhatikan. Survai Rumah
Tangga Nasional yang dilakukan Oepkes tahun 1987 menyimpulkan bahwa 36% rumah di perkotaan tidak
mempunyai kamar tidur dan 34% tidak mempunyai ventilasi dan pencahayaan dinding. Kurangnya pencahayaan
akan mengakibatkan gangguan psikologis, antara lain stress, sulit konsentrasi dan sulit istirahat. Kualitas
udara permukiman meliputi udara dalam rumah (berkaitan dengan ventilasi) dan udara di sekitar rumah
(harus memenuhi syarat tidak melampaui ambang bcrtas). Kualitas udara yang jelek sering mengakibatkan
penyakit batuk, infeksi kuman, serta pencemaran udara dalam rumah dan lingkungan permukiman. Sarana
kesehatan lingkungan permukiman meliputi prasarana jalan, saluran air, pembuangan sampah, penyediaan
air bersih, fasilitas mck yang kesemuanya amat penting untuk menunjang kesehatan.
Sri Soewasti, ahli peneliti utama di Oepkes menegaskan bahwa kurangnya pencahayaan, terlalu
sempitnya luas rumah, dan lantai yang basah, sering mengakibatkan gangguan mental anggota keluarga,
teriris di dapur waktu memasaknasi, keracunan di dapur waktu menanak nasi, keracunan di dapur dan kamar
mandi, kebakaran, sesak nafas, jatuh karena lantai licin dan tersengat listrik akibat pemasangan stop-contact
tidak baik. Amir Karamoy, dari REI, me~yarankan pembudidayaan hidup bersih dan sehat sejak anak-anak
dan menegaskan motto kebersihpn dimulai dari rumah.
Mochamad S. Hidayat, Ketua Umuni REI, menekankan pentingnya fasilitas lingkungan dalam mendukung
perwujudan rumah sehat, yaitu prasarana jalan dan jembatan yang memadai, sa luran pembuangan air lim bah
dan air hujan, ultimatum umum (air bersih, listrik, telepon, pembuangan sampah dan pemadaman kebakaran),
taman kanak-kanak dan SO, puskesmas, klinik, apotik, pasar, toko, kios, poskamling, pos polisi, dan fasilitas
ibadah. Apa yang disodorkan Hidayat ini kelihatannya hanya dapat disediakan pada lingkungan perumahan
golongan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas yang dibangun oleh REI.
Adi Sasono, tokoh LSM memandang rumah sehat sebagai salah satu pesan konstitusi kita. Penyediaan
rumah sehat haruslah dilakukan dalam dimensi kemanusiaan. Untuk itu, partisipasi dan peran serta
masyarakat dalam penyediaan rumah sehat perlu dikembangkan. Forum Kelompok Kerja Swadaya Masyarakat
bersama-sama masyarakat lapisan terbawah, berusaha menyediakan rumah sehat menu rut ukuran kemampuan
mereka, didukung keterjangkauan dan kelayakan ekonomis mereka yang serba terbatas. Oari sisi penataan
perkampungan daerah perkotaan, Oarrundono (pakar perbaikan kampung, MHT), mengatakan bahwa Jakarta
dengan 8,3 juta penduduk pada tahun 1990 dan pertambahan 200.000 jiwa per tahun, 600 jiwa/hari, 120
keluarga/hari (1 kk =5 orang), 72 keluarga orang miskin/hari (sekitar 60% miskin), menyhasilkan kebutuhan
rumah paling sedikit 3 rumah/jam. Juga di Jakarta, dari 4000 ha lingkungan pemukiman kumuh yang dihuni
2,4 juta jiwa atau 480.000 keluarga, dibutuhkan biaya 480.000 x Rp 6 juta (tipe 18 m2 = Rp 2.880 milyar
untuk membangun rumah susun sederhana model Tambora dan Karanganyar yang dibangun PO Pembangunan
Sarana Jaya. Oengan dana hanya Rp 100 milyar per tahun, Pemerintah OKI Jakarta perlu 28 tahun
menuntaskan lingkungan permukiman kumuh menjadikannya lingkungan rumah sewa bertingkat yang sehat.

153
Program Perbaikan Kampung (MHT) di DKI Jakarta telah mendefinisikan dengan jelas lingkungan
permukiman yang sehat. Lingkungan permukiman sehat harus memenuhi tiga persyaratan, yaitu fisik
(tersedianya sarana air bersih yang memenuhi syarat fisik, bakteriologis dan kimia, sarana sanitasi,
pengelolaan sampah dan air limbah, serta perumahan sehat), biologis (lingkungan bebas dari binatang
serangga dan pengerat), dan sosial (periiaku hidup bersih dan sehat). lndikator penting adalah menurunnya
angka penyakit saluran pencernaan, pernafasan dan kulit. Rumah bagi penduduk, berfungsi sebagai tempat
melepas Ieiah dan beristirahat, tempat bergaul dan membina keluarga, tempat berlindung dari bahaya,
sebagai lambang status sosial, serta tempat penyimpanan dan peletakan barang-barang rumahtangga.
Rumah Sehat harus memenuhi 4 persyaratan. Pertama, memenuhi kebutuhan fisik penghuni, antara
lain suhu lingkungan dapat dipertahankan, cukup penerangan, mempunyai ventilasi yang sempurna, dan
terlindung dari gangguan bising. Kedua, memenuhi kebutuhan kejiwaan, menjamin privacy penghuni, menjamin
hubungan yang serasi, antar anggota keluarga, menyediakan sarana tanpa menimbulkan kelelahan, membina
dan menjamin kepuasan estetis dan sesuai dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Ketiga, dapat
melindungi penghuni dari kemungkinan penularan penyakit. Keempat, dapat melindungi penghuni dari
kemungkinan terjadinya bahaya atau kecelakaan.
Sehat tidaknya rumah ditentukan oleh sistem pengadaan air di rumah yang baik dan memenuhi syarat
kesehatan, fasilitas untuk mandi, cuci dan kakus, sistem pembuangan air bekas atau limbah, tersedianya
fasilitas pembuangan tinja dan kotoran, tersedianya ventilasi dan jendela untuk kelua~ masuk udara, dan
kekuatan bangunan rumah. Pentingnya ventilasi dan aliran udara adalah untuk menjaga kesegaran dan kadar
oksigen yang cukup, mempertahankan dan mengatur kelembaban (humidity) sesuai dengan yang diinginkan
dan suhu udara dapat diciptakan sedemikian rupa sehingga tubuh tidak banyak kehilangan panas. Cahaya
dan pencahayaan, baik buatan (listrik, lampu minyak tanah, dan lampu gas) maupun alamiah (cahaya
matahari, bulan dan bintang) sangat penting bagi mata guna melihat suatu obyek dengan jelas. Guna
mendapatkan cahaya yang cukup, diperlukan sekurang-kurangnya ukuran jendela 10-20% dari luas lantai.
Bunyi yang menyebabkan kebisingan atau gangguan lainnya (intensitas dan frekuensi serta lamanya
seseorang berada di dekat bunyi keras atau bunyi bising), tidak boleh melebihi 50 desibel.
Dari aspek kesehatan, ada delapan persyaratan rumah sehat. Pertama, tersedianya air bersih, ada
penampungan air bekas, ada tempat sampah, ada jamban, dan ada saluran pembuangan hujan. Kedua,
halaman rumah harus selalu dibersihkan. Pekarangan ditanami tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat. Ketiga,
ruangan rumah cukup luas dan tidak padat penghuninya. Keempat, kamar-kamar harus berjendela. Ada lubang
angin dan sinar matahari dapat masuk ruangan rumah. Kelima, dimanapun, tidak terdapat jentik-jentik nyamuk,
kecoa dan tikus. Keenam, dinding dan lantai harus kering serta tidak lembab. Ketujuh, ada jalan keluar untuk
asap dapur melalui lubang langit-langit. Kedelapan, kandang ternak terpisah paling tidak 10 meter jaraknya
dari rumah.

Perlu Mengubah Sikap


lndikator perumahan dan permukiman sehat di perkotaan mencakup kondisi kebersihan perumahan
dan lingkungan serta ketersediaan prasarana sanitasi, tumbuhnya perilaku hidup bersih dan sehat, dan
dipenuhinya indikator fisik perumahan, antara lain ratio (penghuni : luas lantai kamar) = 1 : 4,5 m2 dengan
memperhatikan kenyamanan keluarga (privacy), menjaga agar kebisingan permukiman NAB 45-60 dba,
pencahayaan ruangan rumah yang mencukupi, ruang baca dan dapur 300 luks, kamar tidur 100 luks, ventilasi
10-20% dari luas lantai, rendahnya angka kejadian infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), terpeliharanya
kualitas udara dalam rumah, dan kualitas air minum sesuai dengan Peraturan Menkes Nomor 01/Birhukmas/
1/1975. Di ibukota, harus dipenuhi SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 1608 Tahun 1988 tentang Peruntukan
dan baku mutu air sungai serta baku mutu air limbah di DKI Jakarta.
Persyaratan kesehatan pengelolaan sampah rumahtangga, haruslah mengacu pada Kepdirjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Permukiman (PPMPLP) Depkes Nomor 281-
11/PD.03:04.LP tanggal 30 Oktober 1989 yang mengatur penampungan dan pewadahan sampah, pengolahan
sampah setempat, pengumpulan dan pengangkutan sampah, pengolahan, dan pembuangan akhir sampah.
Penciptaan Rumah Sehat dalam Lingkungan yang Sehat hendaknya mengacu pada ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Direktur Penyehatan Lingkungan dan Direktur Perumahan Ditjen Cipta Karya Departemen PU

154
dan ketentuan mengenai kesehatan lingkungan permukiman yang ditetapkan oleh Direktur Penyehatan
Lingkungan Permukiman Ditjen PPMPLP Depkes.
Menurut pakar perumahan dari ITS, Johan Silas, dalam Repelita VI dan PJP II standar ruang perlu
ditingkatkan dari 12 m2 (Pelita V) menjadi 14 m2/orang (Repelita VI). Sasaran ini kelihatannya ambisius, karena
memperhitungkan kebutuhan ruang termasuk untuk keperluan kewanitaan, anak-anak, integrasi rumah
dengan ruang kerja dan usaha, padahal ketersediaan tanah makin kecil, harga bahan bangunan dan upah
kerja makin tinggi sehingga harga rumah makin mahal, dan peningkatan penghasilan masyarakat berpenghasilan
rendah sulit mengejar lonjakan harga jual rumah. Kondisi ini juga digarisbawahi oleh Presiden Soeharto saat
memberikan pengarahan pada pembukaan Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman 1992 tanggal
16 Nopember 1992 di lstana Negara, makin sulitnya mendapatkan tanah dengan harga yang terjangkau
mengharuskan dilakukannya pemasyarakatan rumah susun yang dipadukan dengan usaha memperbaiki
kualitas perumahan dan lingkungannya terutama di kawasan kumuh di sekitar pusat kegiatan di kota-kota
besar.
Presiden Soeharto juga menegaskan bahwa diperlukan upaya mengubah sikap, perilaku dan kesadaran
masyarakat, baik pengetahuan, pengertian, kepedulian dan rasa kebutuhan terhadap perumahan dan
permukiman sehat. Untuk itulah, Presiden mencanangkan Gera~an Nasional Perumahan dan Permukiman
Sehat. Gerakan ini perlu segera ditindaklanjuti dengan Pedoman Umum, Pedoman Teknis, dan Petunjuk
Pelaksanaan Perumahan dan Permukiman Sehat.
Angkatan Bersenjata, 13 Januari 1993

Perlu Redefinisi Pengertian Rumah Sehat


Prakarsa dan swadaya masyarakat diperlukan dalam mengembangkan rumah sehat dalam lingkungan
pemukiman yang sehat. Tahun 1989, United Nation Centre for Human Settlements (UNCHS) menekankan
pentingnya rumah sehat bagi keluarga (Shelter, Health and the Family).
Tantangan untuk mewujudkan rumah sehat muncul terutama pada lingkungan rumah sederhana dan
rumah sangat sederhana, kapling siap bangun (KSB), rumah inti, rumah tumbuh dan permukiman di
kampung-kampung perkotaan dan perdesaan.
Aparat Pemerintah yang tugas dan fungsinya terkait dengan rumah sehat, antara lain Direktorat
Perumahan Ditjen Cipta Karya, Puslitbang Pemukiman, Direktorat Penyehatan Lingkungan dan Pemukiman
(PLP) Ditjen Cipta Karya Deppu dan Direktorat PLP Ditjen Pemberantasan Penyakit Menular dan PLP
Depkes, Depsos, Depdagri, dan Pemda, perlu terus berusaha memberikan penyuluhan dan memasyarakatkan
program sehat.

Tempat Pertemuan
Rumah sebagai tempat pertemuan berbagai kegiatan keluarga, mempunyai arti penting dalam
memberikan ruang dan suasana yang menunjang kegiatan itu sendiri. Perlu dipersiapkan rumah sehat yang
dapat menampung anggota keluarga dan mewujudkan kesehatan serta keseimbangan jasmani-rohani setiap
anggota keluarga. Rumah yang sehat dan sejahtera akan menumbuhkan suasana hidup tenteram, aman dan
tertib. Karena itu Menneg Kependudukan Haryono Suyono mengusulkan RSS adalah Rumah Sehat Sejahtera,
bukan Rumah Sangat Sederhana. Dari rumah yang sangat sederhana pun dapat dibentuk menjadi rumah
sehat dalam lingkungan pemukiman yang sehat.
Direktorat Perumahan Ditjen Cipta Karya menegaskan bahwa rumah sehat harus memenuhi empat
persyaratan, yaitu aspek kesehatan, kekuatan bangunan, kenyamanan, dan keterjangkauan. Bagian-bagian
rumah yang mempengaruhi kesehatan keluarga hendaknya dipersiapkan dengan baik, terutama penerangan
dan peranginan yang cukup, penyediaan air bersih, pengaturan pembuangan air limbah dan sampah

155
sehingga tidak menimbulkan peneemaran, bagian-bagian ruang seperti lantai dan dinding tidak lembab, dan
tidak terpengaruh peneemaran seperti bau, rembesan air kotor, dan udara kotor.
Bagian-bagian bangunan rumah harus mempunyai konstruksi dan bahan bangunan yang menjamin
keamaan, seperti konstruksi bangunan yang eukup kuat, baik untuk menahan beratnya sendiri maupun
pengaruh luar (angin, hujan, gempa, dan lain-lain), pemakaian bahan bangunan yang bisa dijamin keawetan
dan kemudahan dalam pemeliharaan, dan penggunaan bahan tahan api (untuk bagian yang mudah terbakar)
dan bahan tahan air (untuk bagian yang selalu basah). Agar keluarga dapat tinggal dengan nyaman dan
dapat melakukan kegiatan dengan mudah, diperlukan rumah dengan penyediaan ruangan yang mencukupi,
ukuran ruangan yang sesuai dengan kegiatan penghuni di dalamnya, penataan ruangan yang eukup baik,
dekorasi dan warna ruang yang serasi, dan penghijauan halaman yang diatur sesuai kebutuhan.
Siswono (1991) menyatakan bahwa rumah sang at sederhana (pada saat diperkenalkan pertama kali,
harganya sekitar Rp 2,5 juta dan harganya meningkat menjadi Rp 3 juta pada saat dikeluarkan SK Menpera
tentang RSS) yang masih memenuhi persyaratan minimum rumah sehat dapat terdiri atas dinding batako tras
kapur, anyaman bambu yang dipasang pada rangka kayu atau tripleks, lantai tanah diperkeras, plesteran tras
kapur yang diaei semen pasir, penutup atap dari asbes semen gelombang kecil, sedang gelombang atau
genteng sederhana. Rumah seperti ini tetap harus memperhatikan persyaratan yang ditetapkan melalui
Pedoman Teknik Pembangunan Rumah Sederhana Tidak Bersusun (SK Menteri PU No. 20/Kpts/1986).
Beberapa ketentuan SK Menpu tersebut antara lain luas lantai maksimal 36 m2, ada aliran listrik, air
bersih minimal dari sumur, lantai rumah diberi perkerasan untuk memudahkan pembersihan dan mengurangi
kelembaban, khusus lantai kamar mandi dari plesteran semen pasir, bahan penutup dinding minimal dari
anyaman bambu (bilik) yang dipasang di atas dinding bata setinggi minimal 90 em dari muka lantai, dinding
kamar mandi dibuat dari pasangan tembok dan dinding kapur dilapis bahan tahan api (minimal sampai
ketinggian 150 em dari muka lantai).
Rangka atap dari kuda-kuda dan gordeng kayu, kaso dan reng boleh dari bambu, penutup atap dari
asbes semen gelombang, seng gelombang atau genteng sederhana, tidak perlu dipasang penutup langit-
langit, luas kapling minimum 54 m2 dan maksimum 200 m2. Prasarana lingkungan berupa jalan tanah yang
diperkeras dengan segala jenis batuan (minimal dari kerikil atau sirtu), Iebar jalan setapak minimal 3 m
(dilengkapi parit tanah sebagai saluran pembuangan air hujan). Kelompok rumah sangat sederhana dapat
dibangun tersendiri atau sebagai bagian dari kawasan perumahan yang lengkap dengan syarat warga
penghuni rumah sangat sederhana dapat memanfaatkan fasilitas lingkungan yang tersdia di sekitarnya.
UNCHS menetapkan sebelas persyaratan rumah sehat (Komarudin, Neraca, 23 Maret 1991), yaitu
proteksi terhadap keraeunan. Kebisingan mengakibatkan gangguan psikologis, antara lain stress, sulit
konsentrasi dan sulit istirahat. Kualitas udara pemukiman meliputi udara dalam rumah (berkaitan dengan
ventilasi) dan udara di sekitar rumah (harus memenuhi syarat tidak melampaui ambang batas). Kualitas udara
yang jelek sering mengakibatkan penyakit batuk, infeksi kuman, serta peneemaran udara dalam rumah dan
lingkungan pemukiman. Sarana kesehatan lingkungan pemukiman meliputi prasarana jalan, saluran air,
pembuangan sampah, penyediaan air bersih, fasilitas mek yang kesemuanya amat penting untuk menunjang
kesehatan.
Sri Soewasti, ahli peneliti utama di Depkes menegaskan bahwa kurangnya peneahayaan, terlalu
sempitnya luas rumah, dan lantai yang basah, sering mengakibatkan gangguan mental anggota keluarga,
teriris di dapur waktu memasak nasi, keraeunan di dapur dan kamar mandi, kebakaran, sesak nafas, jatuh
karena lantai liein, dan tersengat listrik akibat pemasangan stop-contact tidak baik. Amir Karamoy, dari REI,
menyarankan pembudidayaan hidup bersih dan sehat sejak anak-anak dan menegaskan motto kebersihan
dimulai dari rumah.
Moehamad S. Hidayat, Ketua Umum REI, menekankan pentingnya fasilitas lingkungan dalam mendukung
perwujudan rumah sehat, yaitu prasarana jalan dan jembatan yang memadai, saluran pembuangan air limbah
dan air hujan, utilitas umum (air bersih, listrik, telepon, pembuangan sampah, dan pemadaman kebakaran),
taman kanak-kanak dan SO, puskesmas, klinik, apotik, pasar, toko, kios, poskamling, pos polisi, dan fasilitas
ibadah. Apa yang disodorkan Hidayat ini kelihatannya hanya dapat disediakan pada lingkungan perumahan
golongan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas yang dibangun oleh REI.

156
Adi Sasono, tokoh LSM memandang rumah sehat sebagai salah satu pesan konstitusi kita. Penyediaan
rumah sehat haruslah dilakukan dalam dimensi kemanusiaan. Untuk itu, partisipasi dan peran serta
masyarakat dalam penyediaan rumah sehat perlu ditumbuhkembangkan. Forum Kelompok Kerja Swadaya
Masyarakat bersama-sama masyarakat lapisan terbawah, berusaha menyediakan rumah sehat menurut
ukuran kemampuan mereka, didukung keterjangkauan dan kelayakan ekonomis mereka yang serba terbatas.
Dari sisi penataan perkampungan daerah perkotaan, Darrundono (pakar perbaikan kampung, MHT),
mengatakan bahwa Jakarta dengan 8,3 juta penduduk pada tahun 1990 dan pertambahan 200.000 jiwa per
tahun, 600 jiwa/hari, 120 keluarga/hari (1 kk = 5 orang), 72 keluarga orang miskin/hari (sekitar 60% miskin),
menghasilkan kebutuhan rumah paling sedikit 3 rumah/jam. Juga di Jakarta, dari 4000 ha lingkungan
permukiman kumuh yang dihuni 2,4 juta jiwa atau 480.000 keluarga, dibutuhkan biaya 480.000 x Rp 6 juta
(tipe 18m2)= Rp 2.800 milyar untuk membangun rumah susun sederhana model Tambora dan Karanganyar
yang dibangun PO Pembangunan Sarana Jaya. Dengan dana hanya Rp 100 milyar per tahun, Pemerintah
DKI Jakarta perlu 28 tahun menuntaskan lingkungan permukiman kumuh menjadikannya lingkungan rumah
sewa bertingkat yang sehat.
Program Perbaikan Kampung (MHT) di DKI Jakarta telah mendefinisikan dengan jelas lingkungan
pemukiman yang sehat. Lingkungan pemukiman sehat harus memenuhi tiga persyaratan, yaitu fisik (tersedianya
sarana air bersih yang memenuhi syarat fisik, bakteriologis dan kimia, sarana sanitasi, pengelolaan sampah
dan air limbah, serta perumahan sehat), biologis (lingkungan bebas dari binatang serangga dan pengerat),
dan sosial (perilaku hidup bersih dan sehat). lndikator panting adalah menurunnya angka penyakit saluran
pencernaan, pernafasan dan kulit. Rumah bagi penduduk, berfungsi sebagai tempat melepas Ieiah dan
beristirahat, tempat bergaul dan membina keluarga, tempat berlindung dari bahaya, sebagai lambang status
sosial, serta tempat penyimpanan dan peletakan barang-barang rumahtangga.
Sehat tidaknya rumah ditentukan oleh sistem pengadaan air di rumah yang baik dan memenuhi syarat
kesehatan, fasilitas untuk mandi, cuci, dan kakus, sistem pembuangan air bekas atau limbah, tersedianya
fasilitas pembuangan tinja dan kotoran, tersedianya ventilasi dan jendela untuk keluar masuk udara, dan
kekuatan bangunan rumah. Pentingnya ventilasi dan ali ran udara adalah untuk menjaga kesegaran dan kadar
oksigen yang cukup, mempertahankan dan mengatur kelembabar) (humidity) sesuai .dengan yang diinginkan
dan suhu udara dapat diciptakan sedemikian rupa sehingga tubuh tidak banyak kehilangan panas. Cahaya dan
pencahayaan, baik buatan (listrik, lampu minyak tanah, dan lampu gas) maupun alamiah (cahaya matahari,
bulan dan bintang) sangat panting bagi mata guna melihat suatu obyek dengan jelas. Guna mendapatkan
cahaya yang cukup, diperlukan sekurang-kurangnya ukuran jendela 10-20% dari luas lantai, bunyi yang
menyebabkan kebisingan atau gangguan lainnya (intensitas dan frekuensi serta lamanya sese.orang berada
di dekat bunyi keras atau bunyi bising), tidak boleh melebihi 50 desibel.
Dari aspek kesehatan, ada delapan persyaratan rumah sehat. Pertama, tersedia air bersih, ada
penampungan air bekas, ada tempat sampah, ada jamban, dan ada saluran pembuangan air hujan. Kedua,
halaman rumah harus selalu dibersihkan. Pekarangan ditanami tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat. Ketiga,
ruangan rumah cukup luas dan tidak padat penghuninya. Keempat, kamar-kamar harus berjendela. Ada lubang
angin dan sinar matahari dapat masuk ruangan rumah. Kelima, dimanapun, tidak terdapat jentik-jentik nyamuk,
kecoa dan tikus. Keenam, dinding dan lantai harus kering dan tidak lembab. Ketujuh, ada jalan keluar untuk
asap dapur melalui lubang langit-langit. Kedelapan, kandang ternak terpisah paling tidak 10 meter jaraknya
dari rumah.

Catatan Penutup
Rumah Sehat harus memenuhi empat persyaratan. Pertama, memenuhi kebutuhan fisik penghuni, antara
lain suhu lingkungan dapat dipertahankan, cukup penerangan, mempunyai ventilasi yang sempurna, dan
terlindung dari gangguan bising. Kedua, memenuhi kebutuhan kejiwaan, menjamin privacy penghuni, menjamin
hubungan yang serasi antar anggota keluarga, menyediakan sarana tanpa menimbulkan kelelahan, membina
dan menjamin kepuasan estetis, dan sesuai dengan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Ketiga, dapat
melindungi penghuni dari kemungkinan penularan penyakit.
Keempat, dapat melindungi penghuni dari kemungkinan terjadinya bahaya atau kecelakaan. lndikator

157
perumahan dan permukiman sehat di perkotaan mencakup kondisi kebersihan perumahan dan lingkungan
serta ketersediaan prasarana sanitasi, tumbuhnya perilaku hidup sehat, dan dipenuhinya indikator fisik
perumahan, antara lain ratio penghuni : luas lantai kamar = 1 : 4.5 m2 dengan memperhatikan privacy atau
kenyamanan keluarga, kebisingan pemukiman NAB 45-60 dba, pencahayaan ruangan rumah yang mencukupi,
ruang baca dan dapur 300 luks, kamar tidur 100 luks, ventilasi 10-20% dari luas lantai, rendahnya angka
kejadian infeksi saluran nafas atas. terpeliharanya kualitas udara dalam rumah, dan kuaitas air minum sesuai
dengan Peraturan Menkes Nom or 01 /Birhukmas/1/1975. Di ibukota, harus dipatuhi SK Gubernur OKI Jakarta
Nomor 1608 Tahun 1988 tentang Peruntukan dan baku mutu air sungai serta baku mutu air limbah di DKI
Jakarta.
Persyaratan kesehatan pengelolaan sampah rumah tangga, haruslah mengacu pada Kepdirjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PPMPLP) Depkes Nomor 281-11/
PD.03:04.LP tanggal 30 Oktober 1989 yang mengatur penampungan dan pewadahan sampah, pengolahan
sampah setempat, pengumpulan dan pengangkutan sampah, pengolahan, dan pembuangan akhir sampah.
Penciptaan Rumah Sehat dalam Lingkungan yang Sehat hendaknya mengacu pada ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Direktorat Perumahan Ditjen Cipta Karya Departemen PU dan ketentuan mengenai kesehatan
lingkungan permukiman yang ditetapkan oleh Direktorat Penyehatan Lingkungan Pemukiman Ditjen PPMPLP
Depkes.
Ketentuan persyaratan satu orang memerlukan luas lantai kamar ideal 4,5 m2 dan anak usia 1-10
tahun memerlukan 2,5 m2 (Depkes, 1988) minimal 9 m2 per orang (Ditjen Cipta Karya, Deppu), dan rata-rata
nasional 12 m2/orang (perkotaan) dan 14 m2/orang (perdesaan) yang di akhir Pelita VI akan ditingkatkan
menjadi 14-15 m2/orang (perkotaan) dan 15-16 m2/orang di perdesaan (Johan Silas, 1992), perlu ditinjau
kembali. Peninjauan kembali definisi rumah sehat yang Iayak huni perlu dilakukan, karena RS dan RSS yang
luas bangunannya 18 m2 kenyataannya sangat memprihatinkan dan masih sulit disebut sebagai rumah
sehat, apalagi rumah sehat sejahtera.
Suara Pembaruan, 21 Januari 1994

Kampanye Gerakan Nasional Rumah Sehat


Persyaratan kesehatan, perencanaan fisik, dan kekuatan struktur rumah merupakan faktor-faktor
penting dalam mewujudkan rumah sehat. Sejak 1986 Ditjen Cipta Karya Departemen PU telah menentukan
persyaratan rumah sehat, sedangkan tahun 1988 Depkes juga menetapkan persyaratan rumah sehat.
Ditetapkannya target pembangunan perumahan rakyat yang disubsidi sebanyak 600.000 unit dalam Pelita VI,
terdiri atas 480.000 unit Rumah Sangat Sederhana (RSS), 115.000 Rumah Sederhana (RS), dan 5.000 unit
Kapling Siap Bangun (KSB), ternyata belum diikuti oleh upaya-upaya mewujudkan rumah sehat. lni terlihat
dari belum dilibatkannya unsur Depkes di dalam proses pembangunan perumahan rakyat, sehingga Depkes
baru masuk ke perumahan dan permukiman setelah ada wabah atau timbulnya penyakit.
Sebelum terlambat, dalam menyongsong Repelita VI pada bulan April 1994 nanti, pembangunan
perumahan rakyat perlu dibarengi dengan upaya-upaya untuk mewujudkan rumah sehat. Sejalan dengan itu,
penyebarluasan, pemasyarakatan, dan kampanye Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat
(yang dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada Pembukaan Lokakarya Nasional Perumahan dan Permukiman
1992 tanggal 16 Nopember 1992), perlu dilaksanakan di seluruh tanah air.

Rumah Sehat
Rumah berfungsi sebagai tempat berlindung, tempat pembinaan keluarga, dan membangun kehidupan
keluarga. Ada em pat faktor yang merupakan penentu rumah sehat, yaitu aspek fisiologis, psikologis, terhindar
dari penyakit menular dan kecelakaan, serta aspek administrasi (Dinas Perumahan, 1991 ). Aspek fisiografis
menitikberatkan pada keadaan fisik bangunan yang mana yang dapat mempengaruhi perilaku penghuni

158
dalam menentukan kegiatan bagi setiap keluarga. Aspek fisiologis meliputi unsur-unsur ventilasi, penerangan,
kondisi rumah, kelengkapan bangunan, dan pereneanaan ruang.
Ditjen Cipta Karya menetapkan persyaratan luas bukaan ventilasi 1 m2 atau minimal 1/9 luas lantai.
Penerangan terdiri atas penerangan alam dan penerangan buatan (malam hari). Untuk memperoleh
penerangan alam yang eukup, letak rumah haruslah sesuai dengan orientasi matahari, daerah kerja
ditempatkan pada arah Timur-Barat, daerah hunian pada arah Utara-Selatan, dan distribusi sinar matahari
merata. Ruang baea dan ruang kerja penerangan minimum 150 lux (10 watt lampu TL atau 40 Watt lampu
pijar).
Lantai rumah (panggung atau bukan panggung) harus kering dan tidak lembab. Tinggi lantai bukan
panggung 10 em pekarangan atau 25 em dari jalan. Dinding harus tidak tembus pandang dan dapat menahan
angin serta tidak tembus air (kedap air). Tinggi langit-langit minimum 240 em dan sudut kemiringan atap
harus disesuaikan dengan bahan penutup atas dan merupakan bidang rata.
Kelengkapan bangunan terdiri atas we/kamar mandi, tempat euci, sumber air bersih, tempat sampah,
dan saluran air hujan. Luas lantai we minimum 1 m2, kamar mandi 2,5 m2, dan sebuah kamar mandi/we
sebaiknya digunakan oleh maksimum 6 orang. Tempat euci pakaian dan alat-alat dapur untuk 10 orang
penghuni memiliki luas lantai 2 m2. Sumber air bersih bisa diperoleh dari paneuran air, air kali, air hujan,
sumur, sumur pompa, atau PAM. Lokasi sumur harus dekat kamar mandi atau tempat euci dengan jarak
sumber air ke kakus minimal 10 m, dan di sekeliling sumur diberi pengerasan agar air tidak tergenang.
Tempat sampah sebaiknya ada tutupnya dan saluran air hujan sebaiknyaa terbuka dan dapat mengalirkan air
hujan ke selokan di pinggir jalan. Pereneanaan ruang, minimal 9 m2 per orang dan pada setiap rumah
minimal harus terdapat kamar tamu dan kamar makan, kamar tidur, dapur dan fasilitas mek (we, dan kamar
mandi).
Aspek psikologis rumah berkaitan erat dengan kondisi penghuni dan lingkungan sekitarnya. Hubungan
antar keluarga dan hubungan dengan keluarga lain harus harmon is dengan memperhatikan sosio-kultur yang
melekat pada individu setiap keluarga. Seluruh anggota masyarakat hendaknya memperhatikan kelestarian
hubungan antar warga dan kelestarian lingkungan serta selalu mengupayakan terciptanya lingkungan yang
bersih, tertib, teratur, aman, dan nyaman.
Agar dapat terhindar dari penyakit menular dan keeelakaan, maka perletakan bangunan harus teratur,
tampias hujan perlu dihindari agar bangunan tidak mudah lapuk, saluran air buangan harus lanear (air hujan,
air bekas mandi dan euci, dan air kotor), pengumpulan, penampungan, dan pembuangan sampah harus
teratur (pengumpulan sampah seeara teratur, penyediaan tempat penampungan sampah sementara,
pengangkutan sampah, pemusnahan sampah, penimbunan sampah, didukung kesadaran keluarga serta
budaya hidup bersih dan sehat). Pembangunan rumah juga harus memperhatikan penyesuaian terhadap
lingkungan, yaitu serasi dengan rumah-rumah disekitarnya.
Aspek administrasi juga perlu diperhatikan, antara lain sesuai dengan penataan ruang kota (desa),
mempunyai surat ijin mendirikan bangunan, memenuhi berbagai persyaratan pembangunan, melakukan
pendaftaran perumahan, melakukan peneatatan jumlah penghuni dalam keluarga kepada RT dan RW
setempat, dan mematuhi berbagai peraturan lingkungan perumahan dan permukiman (RT, RW, dan Komplek
Peru mahan).
Lingkungan perumahan sehat menyangkut tata letak perumahan dan penyediaan ruang kegiatan yang
mendukung produktivitas keluarga. Lingkungan perumahan yang sehat merupakan kebutuhan bagi setiap
warga masyarakat yang tinggal pada suatu lingkungan perumahan. Lingkungan perumahan yang sehat perlu
dibarengi oleh terbinanya kerukunan kehidupan antar warga. Untuk mendukung pembinaan ini, harus
diperhatikan keserasian jarak antar rumah, jarak antara rumah dengan jalan, letak peru mahan dan kelestarian
lingkungan.
Jarak antar rumah yang terlalu dekat mengakibatkan penyinaran matahari berkurang. Jarak antara
rumah dengan jalan yang terlalu dekat menimbulkan masalah bagi anak-anak, menimbulkan kebisingan dan
banyaknya debu masuk rumah. Letak perumahan harus diatur sedemikian rupa sehingga tidak merugikan
rumah yang lain. Misalnya pada saat terjadi hujan tidak terjadi banjir dan rumah satu ke rumah lain. Upaya

159
pelestarian lingkungan dilakukan antara lain dengan melakukan tanaman rindang dan menyediakan pot
bunga serta penghijauan halaman.
Rumah juga merupakan tempat kegiatan istirahat, bekerja, membersihkan badan, sosial, dan kegiatan
khusus. Rumah sekaligus merupakan tempat bekerja, istirahat, dan santai, memasak, mencuci, menjahit,
berkebun, mandi, dan berfungsi juga sebagai tempat memperoleh mata pencaharian (berupa warung, toko,
tempat privat-les, kursus, dan bimbingan belajar, kegiatan olah raga seperti senam, dan latihan seni-budaya).
Penyediaan ruangan harus disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Terbatasnya ruang, memungkinkan
untuk menggunakan ruang tamu untuk ruang keluarga, dan ruang makan sebagai tempat belajar.
Penataan ruang pada rumah yang betapapun sempitnya, haruslah diupayakan agar tampak nyaman,
indah, bersih, penataan dekorasi yang baik dan menarik, adanya pemandangan ke luar yang enak,
penerangan yang cukup, ventilasi yang memadai, tempat tidur yang bebas dari kebisingan, air buangan yang
tidak menimbulkan bau tidak sedap, saluran yang memungkinkan lancarnya aliran air kotor, dan terciptanya
penataan bersama antar tetangga pada bagian-bagian tanah atau halaman yang besinggungan.

Menuju Rumah Sehat


Sedikit berbeda dengan ketentuan Ditjen Cipta Karya, Depkes (1988) menentukan persyaratan luas
lantai kamar ideal 4,5 m2 per orang dan 2,5 m2 untuk anak-anak usia 1-10 tahun. Rasio penghuni terhadap
luas lantai kamar adalah 1 orang berbanding 4,5 m2 atau 1,5 orang berbanding 7 m2. Dengan demikian untuk
satu keluarga (bapak, ibu, pembantu, dan 2 anak), dibutuhkan rumah dengan luas lantai bangunan 18,5 m2
(3 x 4,5 m2 ditambah 2 x 2,5 m2).
Mewujudkan rumah sehat di perdesaan lebih mudah dibandingkan dengan di perkotaan. lndikator
perumahan sehat di perkotaan meliputi kondisi kebersihan lingkungan pemukiman dan ketersediaan prasarana
sanitasi lingkungan, jumlah pelanggaran terhadap norma kehidupan komunal yang telah disepakati sebagai
manifestasi perilaku hidup sehat, dan diperhatikannya indikator rumah sehat (ratio penghuni : luas lantai
kamar = 1 : 4,5 M2 dengan memperhatikan privacy dan jumlah anggota keluarga, kebisingan permukiman
NAB 45-60 dba, pencahayaan ruang rumah, ruang baca, ruang tidur, dan dapur, yang cukup (ruang baca,
ruang keluarga, dapur 300 luks, dan ruang tidur 100 luks; ventilasi 10-20% luas lantai, angka kejadian infeksi
saluran nafas bagian atas, ISPA, rendah, kualitas udara dalam rumah memadai, dan kualitas air minum
terpelihara).
Maria Hartiningsih (Kompas, 1992} melihat rumah bukan hanya tempat tinggal, tapi rumah sebagai
kata kerja adalah suatu on going process. Rumah bukan sekedar shelter, tapi merupakan home. Hindro Tjahjono
Sumardjan, pembangunan Kota Baru Bandar Kemayoran yang telah membangun rumah susun Kemayoran,
menyarankan bahwa dalam mewujudkan rumah sehat, perlu diperhatikan konstruksi bangunan, bahan
bangunan, komponen dan elemen bangunan, pengaruh lingkungan, jarak antar ruang, sarana dan prasarana
yang mendukung, aspek psikologis. kesehatan, keamanan, budaya atau kultur, dan kebiasaan penghuni yang
dapat mendukung perwujudan penghunian yang layak, aman, serasi, dan tenteram.
UNICEF (1989) menegaskan bahwa paling sedikit ada tiga fungsi rumah, yaitu tempat berlindung,
tempat pembinaan keluarga, dan tempat kegiatan keluarga. Dalam menuju rumah sehat, sebelas persyaratan
perlu diperhatikan, yaitu (1) proteksi terhadap penyakit yang dapat menular, (2) proteksi terhadap kecelakaan
dan gangguan pencernaan pada peralatan rumahtangga, polusi udara, zat kimiawi, dan bangunan rumah
untuk tempat kerja, (3) promosi kesehatan mental, (4) penciptaan kesehatan lingkungan perumahan dan
permukiman, (5) promosi kebersihan rumah dan lingkungan yang mendorong penghuni untuk selalu menjaga
kesehatan keluarga, (6) penciptaan keamanan lingkungan dan upaya peniadaan gangguan terhadap ibu,
wanita, pemuda, dan anak, (7) penciptaan kesehatan sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah dan swasta,
(8) penciptaan kesehatan yang dikaitkan dengan daya dukung tanah, ruang terbuka hijau, dan lingkungan, (9)
rumah sebagai wadah proses sosial-ekonomi, (1 0) rumah sebagai tempat pendidikan kesehatan umum, dan
(11) tumbuhnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan rumah sehat dalam lingkungan yang
sehat.

160
Perlu Kampanye
Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat yang dicanangkan tahun 1992 perlu segera
disebarluaskan, dimasyarakatkan, dan dilaksanakan di seluruh tanah air. Untuk keperluan tersebut, oleh
Departemen PU, Departemen Kesehatan, Departemen Sosial, dan Kantor Menpera, perlu disiapkan bahan-
bahan dan brosur tentang rumah sehat. Kampanye Nasional Gerakan Rumah Sehat perlu dilakukan seperti
pada awal melakukan Kampanye Keluarga Berencana. Kampanye ini penting terutama bagi para penghuni
yang tinggal di kampung-kampung (perkotaan dan perdesaan), yang tinggal di atas kapling siap bangun, yang
tinggal di lingkungan permukiman perkotaan (baik yang telah menerima proyek perbaikan kampung maupun
yang masih kumuh), serta di lingkungan permukiman Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana.
Sejalan dengan itu, bekerjasama dengan PKK dan LSM, perlu ditumbuhkembangkan sejak kecil, sedini
mungkin, budaya hidup bersih dan sehat. Perlu dibudayakan dan dimasyarakatkan perlunya lingkungan hidup
yang bersih dan sehat, serta perlu terus dikumandangkan pentingnya perwujudan rumah sehat.
Penyuluhan kesehatan lingkungan dan penyuluhan rumah sehat serta pembinaan penghunian
perumahan, perlu dilaksanakan secara terintegrasi oleh unsur-unsur terkait seperti Depdagri dan Pemerintah
Daerah/Dinas Perumahan, Deppu, Depkes, Depsos, PKK, dan LSM.
Penyuluhan tentang rumah sehat ini dimaksudkan untuk lebih mendorong usaha pembangunan rumah
sehat, menumbuhkan partisipasi masyarakat, menciptakan lingkungan fisik perumahan yang memenuhi
persyaratan ketertiban, kesehatan, kebersihan, keindahan, dan pemilikan, menuju pada terciptanya perumahan
yang sehat bagi masyarakat perkotaan dan perdesaan.
Suara Pembaruan, 28 Januari 1994

161
Dekade Kunjungan Indonesia

Kepariwisataan Nasional, merupakan tatanan yang menyeluruh dari segala sesuatu yang berhubungan
dengan penyelenggaraan pariwisata, baik pariwisata mancanegara maupun Nusantara yang mencakup
berbagai aspek kehidupan dalam upaya menunjang pencapaian cita-cita nasional, yaitu terwujudnya masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penyelenggaraan negara,
kepariwisataan mempunyai makna politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam. Sifat yang dianut adalah
terbuka, pragmatis, ambeg paramaarta, multi upaya dan multi dimensi, selektif, serta berwawasan internasional.
Tahun Kunjungan Wisata Indonesia 1991 dan Tah,un Kunjungan Wisata ASEAN 1992 telah berhasil
meningkatkan arus kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Untuk lebih meningkatkan arus
kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dan mempererat persahabatan antar bangsa serta untuk
lebih memperkenalkan obyek dan daya tarik wisata di Indonesia, dipandang perlu menetapkan Tahun 1993-
2000 sebagai Dekade Kunjungan Indonesia. Untuk itulah, maka pada tanggal 21 Oktober 1992 ditetapkan
Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1992 tentang Dekade Kunjung~n Indonesia.

Dekade
Kebijaksanaan Nasional di Sektor Kepariwiiataan mengandung tujuh butir panting. Pertama,
kepariwisataan nasional harus mampu menjadi salah satu pendorong utama pembangunan terutama di
daerah atau tempat di mana sektor lain sulit dikembangkan. Kedua, harus bermanfaat sebesar-besarnya bagi
kesejahteraan rakyat. Ketiga, dalam mencapai tujuan nasional, harus menunjang dan memperhatikan
pertumbuhan dan perkembangan sektor permbangunan lainnya. Keempat, harus berwawasan politik, sosial-
ekonomi, sosial-budaya, dan hankam secara u1uh dan bulat. Kelima, harus mempelopori pengembangan kualitas
sumberdaya manusia Indonesia. Keenam, harus memberikan kesempatan berusaha dan menciptakan lapangan
kerja yang seluas-luasnya bagi perorangan ataupun kelompok masyarakat Indonesia. Ketujuh, harus mampu
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada wisatawan nusantara dan mancanegara tanpa
mengorbankan kehormatan bangsa dan kepentingan Nasional.
Untuk mencapai tujuan yang telah digariskan, kegiatan kepariwisataan nasional perlu didukung
sepenuhnya oleh komponen pelaku {pelaksana dan organisasinya), pranata (sarana, prasarana, dan
peraturan perundang-undangan), dan kegiatan (studi pasar, kawasan dan produk, penyediaan informasi,
pengelolaan obyek dan daya tarik wisata, aksesibilitas, pelayanan akomodasi, transportasi dan panduan,
peningkatan mutu produk, pengembangan kawasan pariwisata, pengembangan surnberdaya manusia, dan
pembinaan masyarakat. Koordinasi di antara kegiatan kepariwisataan dengan subsistem pelaku dan pranata
harus terintegrasi sehingga secara optimal dapat diarahkan untuk mencapai tujuan pembangunan
kepariwisataan sebagai bagian dari pembangunan nasional.
Tahun 2000 tinggal delapan tahun lagi. Menyongsong tahun 2000, perlu ditunjang oleh kegiatan
tahunan kepariwisataan. Tahun 1993 adalah tahun lingkungan hidup. Pada tahun ini diharapkan dapat
disebarluaskan dan ditumbuhkan pengertian berbagai aspek yang terkait dengan pengelolaan lingkungan
hidup, mulai dari UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup, AMDAL, ANDAL, PIL, SEL, SEMDAL, SNPTR, Penataan Ruang, Proyek Kali Bersih dan Gerakan Kali
Bersih, Proyek Udara Bersih, HKSN, BAPEDAL, Limbah 83, Lembaga Swadaya Masyarakat dan lain-lain.
Tahun 1994 merupakan tahun peranan wanita dalam pembangunan, pemuda dan olahraga. Peranan wanita
dalam pembangunan perlu ditunjukkan dengan keterlibatan wanita dalam pembangunan, pemuda dan
olahraga. Peranan wanita dalam pembangunan perlu ditunjukkan dengan keterlibatan wanita dalam
pembangunan, iptek, olahraga, seni-budaya, dan lain-lain. Kepemudaan, juga perlu ditandai oleh peran serta
dan partisipasi pemuda dalam pembangunan bangsa. Olahraga, perlu diwujudkan melalui peningkatan
prestasi olah raga nasional pada tingkat regional dan internasional.
Tahun 1995 merupakan peringatan 50 tahun Kemerdekaan Rl. Peringatan perlu didukung oleh

162
pengertian yang mendalam dan kesadaran bernegara dan berbangsa yang tinggi dari semua bangsa
Indonesia. Pada tahun ini, perlu diselenggarakan Pameran Produksi Indonesia 1995 secara besar-besaran,
sebagai kelanjutan dari PPI 1985 dan PPI 1990. Akan lebih baik lagi jika PPI 1995 selain dipusatkan di
Jakarta, juga diselenggarakan di tiap ibukota propinsi dan kabupaten/kotamadya di seluruh Indonesia.
Pada tahun 1996, merupakan tahun bahari dan dirgantara. Pada tahun ini akan diselenggarakan
Pameran Maritim Indonesia berskala internasional dan Pameran Kedirgantaraan (Indonesian Airshow II)
sebagai bukti kemajuan teknologi Indonesia di bidang maritim dan kedirgantaraan. Pameran Maritim,
Perkapalan dan Kelautan ini diharapkan dapat memperlihatkan kemajuan yang dicapai Indonesia di bidang
maritim, perkapalan, pelayaran, dan kelautan. Kita akan bisa melihat prestasi bangsa Indonesia dalam
memproduksi kapallaut, kapal barang, penumpang dan kapal perang. Kemajuan putra putri Indonesia dalam
produksi pesawat terbang, akan dipamerkan dalam pameran kedirgantaraan II, sebagai lanjutan dari pameran
serupa tahun 1986. Pada tahun ini juga akan dipamerkan kemajuan industri-industri strategis di Indonesia
yang disebut BUMNIS (Badan Usaha Milik Negara lndustri Strategis) dan BPIS (Badan Pengelola lndustri
Strategis), dengan produk-produknya seperti alat berat, rekayasa dan rancang bangun, motor diesel,
peralatan pertanian dan barang tempa, industri bahan peledak dan propellant, kereta penumpang, gerbong
barang, KRL dan KRD, sentral telepon digital, produk switching dan terminal, pesawat telepon elektronik,
pesawat transmisi, pesawat terbang N-250, sistem senjata, produk besi baja dan kawat baja, stasiun tv,
stasiun bumi kecill, produksi kapal niaga dan kapal perang, serta produk persenjataan.
Tahun telekomunikasi jatuh pada tahun 1997. Pada tahun ini akan digali dan digalakkan berbagai
kegiatan yang mendukung pengembangan telekomunikasi hasil bangsa Indonesia, khususnya melalui PT
INTI dan PT Telkom. Kegiatan seni dan budaya Indonesia akan makin dipasarkan pada tahun 1998, yang
mencakup berbagai nilai budaya bangsa Indonesia sejak jaman prakemerdekaan, kemerdekaan sampai
sekarang. Tahun 1999 ditentukan sebagai tahun karya (kriya) dan rekayasa, yaitu perwujudan hasil rancang
bangun dan rekayasa industri bangsa Indonesia dalam era tinggal landas dan industrialisasi.
Puncak dekade kunjungan wisata akan terjadi pada tahun 2000 yang dijadikan sebagai tahun
pemanfaatan teknologi untuk peningkatan kualitas hidup. Pada tahun ini diharapkan kemampuan bangsa
Indonesia dalam bidang teknologi dan pemanfaatannya telah benar-benar memasyarakat ke seluruh bangsa
Indonesia. Pada tahun ini akan dihasilkan berbagai inovasi teknologi yang dihasilkan putra putri Indonesia
dalam berbagai kegiatan industri.
Untuk mendukung keberhasilan setiap tahun selama Dekade Kunjungan Indonesia, dilakukan berbagai
pengisian program dan kegiatan. Pengisian program dan kegiatan untuk tahun-tahun yang bersangkutan,
dilaksanakan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang-bidang yang menjadi tema
Dekade Kunjungan Indonesia untuk tiap tahun. Menparpostel mempersiapkan program kepariwisataan
terpadu dengan penyelenggaraan program dan kegiatan .setiap tahun dalam rangka Dekade Kunjungan
Indonesia.
Dalam menyusun program kepariwisataan terpadu tersebut, Menparpostel mengambillangkah-langkah
yang dipandang perlu guna menunjang Dekade Kunjungan Indonesia, melalui (a) peningkatan promosi
pariwisata secara terpadu dengan mencurahkan kegiatannya pada pusat-pusat wisata di luar negeri, (b)
peningkatan citra dan mutu pelayanan pariwisata nasional (c) peningkatan aksesibilitas ke obyek dan daya
tarik wisata di seluruh pelosok tanah air, dan (d) peningkatan koordinasi dan kerjasama yang sebaik-baiknya
dengan Departemen, Lembaga Pemerintah Non-Departemen, Pemerintah Daerah, Usaha Swasta Nasional
serta organisasi masyarakat lainnya dalam rangka persiapan dan penyelenggaraan Dekade Kunjungan
Indonesia.

Peran Pemda
Jika kita telaah, di samping Departemen, LPND, Swasta, dan Masyarakat/Lembaga Swadaya Masyarakat,
peran Pemda akan sangat penting dalam mendukung keberhasilan setiap tahun selama Dekade Kunjugnan
Wisata. Tahun lingkungan hidup haruslah didukung oleh perwujudan kota-kota bersih, menurunnya pencemaran
dan kerusakan lingkungan dan tumbuh serta berkembangnya kesadaran bangsa Indonesia terhadap
pengelolaan lingkungan hidup. Peran wanita, pemuda dan olahraga, hendaknya dibuktikan dengan peningkatan

163
prestasi regional dan internasional dalam berbagai kegiatan wanita, pemuda dan olahraga. Peringatan 50
tahun kemerdekaan Rl perlu ditandai dengan kesatuan dan persatuan nasional, prestasi bangsa di berbagai
bidang, penguasaan iptek, peningkatan kualitas bangsa Indonesia dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Tahun Bahari dan Dirgantara, tidak dapat dilepaskan dari kesiapan Jakarta, Bandung, Surabaya, dan
kesiapan kota-kota pelabuhan lainnya di Indonesia serta kota-kota nelayan dalam menggalakkan kemampuan
produksi kapal dan produk kelautan lainnya. Seni dan Budaya, akan semakin menonjol di Medan, Danau
Toba, Ngarai Sianouk, Jakarta, TMII, Jakarta Convention Hall, Kepulauan Seribu, Bandung, Pangandaran,
Yogyakarta, Bali, Toraja, dan lain-lain. Tahun Kriya dan Rekayasa perlu menampilkan hasil-hasil rekayasa
dan rancang bangun karya putra-putri terbaik bangsa Indonesia. Puncak dekade kunjungan Indonesia pada
tahun 2000 perlu diperlihatkan oleh prestasi bangsa Indonesia dalam pemanfaatan iptek untuk peningkatan
kualitas hidup bangsa Indonesia.
Angkatan Bersenjata, 18 Oesember 1992

Kampanye Sadar Wisata Perlu Merakyat


lnstruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1989 tanggal4 April1989 yang diterima Menparpostel memuat lima
perintah. Pertama, mengambil langkah-langkah persiapan dan menyelenggara Tahun Kunju~gan Wisata
Indonesia 1991. Kedua, mengambil langkah-langkah yang dipandang perlu guna memantapkan persiapan
keikutsertaan lndonsia dalam penyelenggaraan Tahun Kunjungan Wisata ASEAN 1992. Ketiga,
menyelenggarakan Kampanye Sadar Wisata secara nasional guna menggalang seluruh potensi nasional,
baik sebagai upaya yang berkelanjutan guna mendorong pertumbuhan dan pengembangan pariwisata di
Indonesia pada umumnya maupun sebagai upaya yang secara langsung mendukung suksesnya pelaksanaan
Tahun Kunjungan Wisata Indonesia 1991 khususnya dan mendukung Tahun Kunjungan Wisata ASEAN
1992.
Keempat, meningkatkan pemahaman seluruh lapisan masyarakat tentang manfaat pariwisata dalam
pembangunan, citra dan mutu pelayanan pariwisata nasional, penyelenggaraan promosi Indonesia terutama
di luar negeri, dan mengadakan koordinasi dengan negara-negara ASEAN dalam upaya penyelenggaraan
promosi bersama. Kelima, melakukan koordinasi sebaik-baiknya dengan Departemen, LPND, Pemda, dan
Usaha Swasta Nasional serta organisasi masyarakat lainnya guna menyerasikan langkah dan upaya dalam
rangka keberhasilan penyelenggaraan Kampanye Sadar Wisata secara nasional.

Kampanye
Kampanye Nasional Sadar Wisata (1989-1990) bertujuan meningkatkan peran serta masyarakat,
menggalang sikap perilaku untuk menjadi tuan rumah yang baik serta meningkatkan citra, mutu produk dan
pelayanan pariwisata yang dilandasi atas meningkatnya penerapan Sapta Pesona (aman, tertib, bersih, sejuk,
indah, ramah tamah, dan kenangan). Sasarannya adalah suksesnya Tahun Kunjungan Wisata ASEAN 1992
umumnya. Kelompok sasaran terdiri atas kalangan pemerintah, usaha pariwisata dan usaha terkait lainnya,
cendekiawan, mahasiswa, pemuda dan pelajar, media massa, tokoh masyarakat, pemimpin atau pemuka
agama dan adat, serta lembaga swadaya masyarakat.
Pariwisata merupakan rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh manusia baik secara perorangan
maupun kelompok di dalam wilayah negara sendiri atau di negara lain dengan menggunakan kemudahan,
jasa, dan faktor penunjang lainnya yang diadakan oleh pemerintah dan atau masyarakat, agar dapat
diwujudkan keinginan wisatawan. Keberhasilan sektor pariwisata selama Pelita IV perlu disebarluaskan
kepada masyarakat. Kunjungan wisatawan pada tahun 1989 (akhir Pelita IV) mencapai 1.301.049 orang,
masing-masing 976.810 melalui Soekarno-Hatta, Ngurah Rai dan Polonia, 237.182 ke Batam dan 97.057 ke
pelabuhan lainnya. Wisatawan terbanyak selama lima tahun terakhir, mengunjungi Jakarta, Bali, Sumatera

164
Utara, Jawa Barat dan Yogyakarta. Perkembangan industri pariwisata dirasakan antara lain meningkatnya
fasilitas akomodasi, jumlah hotel yang mencapai 400 buah dan 30.990 kamar, restoran dan usaha jasa boga,
usaha perjalanan wisata (dari 502 perusahaan pada tahun 1986 mencapai 837 buah pada bulan Juli 1989),
angkutan wisata, obyek dan atraksi wisata.
Kampanye Sadar Wisata harus menginformasikan empat pokok kebijaksanaan pariwisata Repelita V.
Pertama, pematangan citra produk dan pelayanan wisata dengan upaya yang didasari Sapta Pesona, yaitu
keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan (lingkungan), keindahan, keramahtamahan, dan kenangan
(yang disebabkan oleh akomodasi yang nyaman, makanan yang lezat, budaya yang mempesona, dan
cinderamata yang murah dan menarik). Pelaksanaan kampanye dilakukan melalui berbagai media massa,
penyuluhan pemantapan citra sadar wisata, dan penyuluhan pariwisata kepada masyarakat luas.
Kedua, pengembangan daya tarik wisata melalui pengembangan kawasan atau obyek wisata potensial
yang berperan sebagai pusat pengembangan di daerah dan mengembangkan daya tarik wisata khas daerah
sebagai pemancing Utama. Misalnya, wisata rimba dan air deras (wildlife) di Aceh, Danau Toba dan Pantai
Cermin di Sumut, wisata Batam di Riau, wisata seni budaya di Jambi, taman dan seni-budaya di Sumbar,
wisata sungai di Sumsel, wisata berburu di Bengkulu, wildlife dan Krakatau di Lampung, rekreasi gunung dan
pantai di Jabar, TMII dan museum di Jakarta, Borobudur dan Prambanan di Jateng, seni-budaya dan festival
di Yogyakarta, Bromo di Jatim, wisata pantai di Bali, wisata tirta di NTB, komodo di NTT, wisata laut di
Maluku, wisata gunung di lrja, wisata bahari dan penyelaman di Sulut, taman nasional di Sulteng, wisata adat
dan Toraja di Sulsel, wisata tirta di Sultra, wisata rimba dan sungai serta wisata adat di Kalbar, Kalteng,
Kaltim, dan Kalsel dan wisata sejarah di Timtim.
Ketiga, pengembangan sentra-sentra daerah tujuan wisata seperti Lhokseumawe, Danau Toba,
Bukittinggi, Batam, TMII dan TIJA, Carita dan Pangandaran, Kepulauan Seribu, Borobudur dan Prambanan,
Pantai Senggigi di NTB, Maumere di NTT, Ambon, Biak, Bunaken di Manado, Bantimurung di Sulsel, dan
Tenggarong di Kaltim. Keempat, dorongan terhadap swasta dan masyarakat di lingkungan obyek wisata
untuk berperan serta dalam pengembangan pariwisata berwawasan lingkungan dan pengembangan budaya
bangsa. Upaya mendorong partisipasi swasta dan masyarakat dilakukan melalui kegiatan bina masyarakat
wisata, peningkatan kualitas kebudayaan bangsa, peningkatan fasilitas akomodasi, restoran, rekreasi dan
hiburan umum, investasi, pembinaan wisata remaja, penyediaan cinderamata yang mudah dibawa dan
murah, usaha perjalanan, pemimpin perjalanan dan pramuwisata, angkutan wisata jalan raya, kawasan
wisata, pengembangan wisata tirta, pemasaran dan pengaturan kelembagaan.
Pemasaran memperhatikan aspek teknologi canggih, tema produk wisata, pola pemasaran, peningkatan
aksesibilitas, kerjasama dengan bagian pemasaran dan promosi wisata pada KBRI, wisata konvensi,
peningkatan potensi wisata dalam negeri, tenaga kerja, diklat dan litbang, dan pengawasan. Pengaturan
kelembagaan antara lain penyusunan RUU Pariwisata, penyempurnaan organisasi Ditjen Pariwisata, organisasi
dan permodalan kawasan wisata, perluasan usaha BUMN Pariwisata, dan tataniaga industri pariwisata.
Langkah-langkah yang perlu ditempuh antara lain kampanye dan iklan pariwisata, pemasaran ke Jepang,
Australia, Eropa Barat, ASEAN, Hongkong, Taiwan, Korea Selatan dan Amerika Utara, optimasi pemanfaatan
sarana dan prasarana, wisata remaja dan seni budaya, peningkatan profesionalisme aparat industri pariwisata,
peningkatan peranan dan fungsi Bapparnas, peningkatan sistem informasi pariwisata, dan menciptakan
perangsang investasi di bidang pariwisata.
Kerjasama dan koordinasi antar instansi terkait dan dorongan terhadap upaya peningkatan peran serta
masyarakat perlu ditingkatkan, antara lain melalui kerjasama dan koordinasi lintas sektoral, memperjelas
kewenangan kelembagaan lintas sektoral, menggalang peran serta masyarakat (komponen pemerintah,
penyelenggara pariwisata, masyarakat penerima pariwisata, dan wisatawan).

Sapta Pesona
Sapta Pesona merupakan perwujudan tujuh pesona wisata. Keamanan (bebas dari rasa takut) dan
keselamatan jiwa, raga dan harta, sarana dan prasarana, serta terhindar dari tindakan kejahatan dan
kekerasan (penodongan, perampokan, pemerasan dan penipuan). Ketertiban mencerminkan kondisi dan
suasana teratur, tertib dan disiplin dalam semua kehidupan masyarakat (tertib peraturan, waktu, mutu

165
pelayanan, dan informasi). Kebersihan perlu diwujudkan melalui lingkungan yang bersih dan bebas dari
sampah, limbah, pencemaran limbah dan kotoran lainnya. Sejuk diciptakan melalui penataan lingkungan,
penghijauan, taman dan pemanfaatan pot-pot bunga di halaman. lndah dilihat dari tatawarna, keserasian
interior dan eksterior kota, penataan papan reklame dan slogan atau spanduk dan lingkungan yang memikat.
Ramah-tamah ditunjukkan oleh sikap dan perilaku masyarakat yang murah senyum, komunikatif dan
memberikan pelayanan dalam menyambut wisatawan. Kenangan dapat dilihat dari segi akomodasi yang
nyaman, atraktsi budaya yang mempesona, makanan khas daerah yang lezat, dan cinderamata yang mungil,
bermutu, menawan dan harga yang wajar.
Aparat Pemda menciptakan kondisi yang memungkinkan terwujudnya Sapta Pesona. Masyarakat lebih
mudah memahami apa yang mereka lihat dan rasakan, karenanya pelaksanaan kampanye jangan bersifat
teoritis. lntensifikasi dan ekstensifikasi usaha sapta pesona perlu dilakukan secara gencar dan terus menerus,
antara lain dengan memasang pesan-pesan sapta pesona melalui papan himbauan, spanduk, poster,
pengadaan dan penempatan fasilitas pelayanan kebersihan dan pariwisata (tong sampah, telepon umum,
tempat informasi wisata dan wartel), penertiban pemasangan spanduk dan papan reklame, dan penanaman
pohon atau bunga sepanjang kiri-kanan jalan, pekarangan kantor, pusat perbelanjaan, stasiun KA dan bus,
sekolah, universitas, ruang terbuka hijau dan taman umum.
Kelompok masyarakat yang bisa diajak berperan serta dalam melakukan penyuluhan sadar wisata dan
sapta pesona, antara lain pejabat pemerintah yang tugas-tugasnya terkait dengan bidang kepariwisataan,
kalangan industri pariwisata dan industri terkait, pemuka agama dan adat serta tokoh masyarakat, pelajar,
mahasiswa dan generasi muda lainnya, cendekiawan dan ilmuwan, masyarakat umum, organisasi kewanitaan
dan kemasyarakatan, organisasi politik, seniman dan budayawan, kalangan media massa (publikasi, leaflet,
radio, televisi dan berbagai wadah promosi serta informasi lainnya). Pemerintah harus memberikan contoh
teladan, mampu menggerakkan masyarakat, mendorong dan mengarahkan segala potensi daerah dalam
mendukung program kepariwisataan.

Terobosan
Kampanye Sapta Pesona harus merakyat. Sapta Pesona harus diterima masyarakat seperti program
Keluarga Berencana. Semua kelompok masyarakat, mulai dari mereka yang bekerja di instansi pemerintah
dan swasta sampai ke para pedagang dan buruh informal, harus berperilaku positif terhadap sapta pesona.
Obyek wisata dan lingkungan yang aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah dan kenangan,
merupakan dambaan kita bersama. Sejalan dengan upaya Menparpostel dan aparat Ditjen Pariwisata serta
lnstansi terkait lainnya, diperlukan berbagai upaya terobosan disesuaikan dengan kondisi daerah untuk
mewujudkan kesiapan kawasan wisata dan obyek wisata dalam menyambut Tahun Kunjungan Wisata Asean
1992.
Angkatan Bersenjata, 26 september 1992

Membangun Jakarta Melalui Sadar Wisata Dan


Sadar Lingkungan
Pada peringatan HUT DKI Jakarta ke-463, Wiyogo kembali menekankan sasaran Jakarta BMW melalui
upaya Menjakartakan Warga Jakarta atau Memanusiakan Manusia Jakarta agar bersikap mental dan berperilaku
sesuai dengan perkembangan kota Jakarta. Ditegaskannya pula warga Jakarta harus berdisiplin, taat kepada
peraturan, memiliki kesadaran hukum yang tinggi, dan dinamis sesuai dengan tata kehidupan masyarakat
modern. Pada kesempatan yang sama, Rudini mengatakan paling sedikit ada lima masalah DKI yang
menonjol, yaitu kependudukan, pertanahan, penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan, dan masalah
pemeliharaan hasil-hasil pembangunan.

166
Pemda DKI Jakarta sendiri pada tahun 1990/1991 ini telah mengelompokkan empat masalah pokok
Jakarta, yaitu (1) belum terkendali sepenuhnya laju pertumbuhan penduduk dan penyebarannya, (2) belum
adanya keserasian dalam usaha peningkatan kegiatan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja, (3) masih
rendahnya pemanfaatan sumber daya manusia dan disiplin sosial, dan (4) belum memadainya penyediaan
prasarana, sarana dan kualitas lingkungan. Pertanyaan yang muncul adalah apakah warga DKI (aparat
Pemerintah, Swasta, dan Masyarakat) sudah sadar akan hak dan kewajibannya serta mereka sudah ikut
berperan serta secara nyata dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan?

Pembangunan
Untuk mencapai tujuan pembangunan, kita buat perencanaan. Merencanakan adalah kegiatan memilih
alternatif, mengalokasikan sumber-sumber, untuk mencapai tujuan dan kepentingan masa datang melalui
pengaturan kegiatan yang diarahkan. Tokoh perencana pembangunan, Waterston (1965), mengatakan
bahwa planning is ... in essence, an organised, conscious and continual attempt to select the best available
alternatives to achieve specific goals. Perencanaan itu sendiri dapat diklasifikasikan berdasarkan orientasi tujuan
(perencanaan dalam keadaan perang atau darurat, perencanaan tataguna tanah, fisik perkotaan, kota, desa,
dan regional, perencanaan anti-siklus, dan perencanaan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat), lingkup disiplin dan profesionalisme (sektoral seperti pertanian, industri pertanian dan sebagainya),
tingkat ruang (keluarga, desa, kota kecil, kota sedang, kota besar, regional, nasional, dan internasional), dan
komprehensif (perencanaan dari atas dan dari bawah, terintegrasi, dan perencanaan proyek). Berdasarkan
waktu pelaksanaan, perencanaan dibagi atas jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
Boisier (1970) menyatakan bahwa perencanaan merupakan proses rasional, politis dan negosiasi di
antara para politisi, administrator pembangunan, perencana, dan masyarakat. lnterrelasi empat unsur
pembangunan ini dibahas oleh Peter Hits (1986) dalam bukunya An Introduction to Development Planning in
the Third World. Dalam bukunya yang berjudul An Introduction to Social Planning in the Third World, Conyers
(1986), menekankan pentingnya perencanaan sosial (social planning), keterlibatan masyarakat (participatory
planning or popular participation), informasi dan organisasi dalam proses perencanaan pembangunan.
Proses perencanaan dimulai dari pengumpulan data dan analisis, formulasi kebijaksanaan (penentuan
tujuan, sasaran dan target), dan penyiapan program, dengan memperhatikan potensi sumber daya dan dana,
aparat dan kelembagaan, dan kualitas serta kuantitas para pelaksana pembangunan. Partisipasi masyarakat
memegang peranan penting dalam menentukan keberhasilan pembangunan. Lima peluang partisipasi
masyarakat dalam proses perencanaan menurut Conyers, terdiri dari kegiatan survai dan konsultasi,
keterlibatan langsung dalam berbagai kegiatan, peran serta dalam perencanaan desentralisasi, keikutsertaan
dalam kegiatan di tingkat pemerintah lokal (Kecamatan dan Kelurahan), dan partisipasi langsung dalam kegiatan
pembangunan di tingkat komunitas (community development).
Tidak mudah mengajak masyarakat atau warga kota untuk berperan serta dalam pembangunan.
Beberapa pertanyaan harus dijawab, antara lain (1) apakah mereka benar-benar ingin berpartisipasi?, (2)
apakah warga kota mengetahui apa yang mereka inginkan?, (3) apakah sebenarnya yang dimaksudkan
dengan komunitas itu? Sering timbul masalah berupa kesenjangan komunikasi, harapan yang tidak terpenuhi,
konflik speed and efficiency dalam partisipasi, dan kepentingan yang berbeda di tingkat lokal, daerah,
regional, dan nasional. Agar hal-hal yang tidak kita harapkan dapat dihindari, jauh-jauh hari harus sudah
ditentukan ukuran pembangunan sosial, kriteria, indikator keragaan, sasaran dan tujuan yang jelas.
Ahli perencanaan pembangunan, Bintoro Tjokroamidjojo (1976), menegaskan bahwa berhasilnya
pencapaian tujuan pembangunan memerlukan keterlibatan aktif dari masyarakatnya, tidak saja dari pengambil
kebijaksanaan tertinggi, para perencana, administrator pemerintahan dan pembangunan, tetapi juga dari
petani, nelayan, buruh, pedagang kecil, pengusaha, pengemudi, dan tukang becak sekalipun. Bintoro
menegaskan pula bahwa the achievement of the development objectives is not possible without planning and
a high degree of participation by people dan participation is especially required in the formulation of the plans,
to ensure that the real aspiration of the people are embodied in them, and in plan implementation.
Partisipasi masyarakat haruslah dapat tercermin dalam (a) keterlibatan aktif dalam proses penentuan
arah, strategi dan kebijaksanaan pembangunan, (b) keterlibatan dalam memikul beban dan bertanggung

167
jawab dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan (mobilisasi sumber dana, kegiatan produktif yang serasi
dan pengawasan sosial), dan (c) keterlibatan dalam memetik hasil dan manfaat pembangunan secara
berkeadilan. Agar ini dapat diwujudkan, diperlukan adanya keterbukaan pemerintah (informasi dan peluang
bisnis), kesempatan secara merata (equal access to opportunity), adanya titik temu antara keterlibatan dari
atas (top-down) dengan oto-aktivitas, swadaya dan swakarya masyarakat (bottom-up).

Sadar Wisata dan Sadar Lingkungan


Partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota Jakarta tidak perlu muluk-muluk. Dengan target
Jakarta BMW sebenarnya siapa pun sebagai warga Jakarta (aparat, pengusaha swasta, dan masyarakat)
dapat memanusiakan dan mewibawakan dirinya melalui perwujudan partisipasi sadar wisata dan sadar
lingkungan. Penyuluhan sadar wisata bagi masyarakat Jakarta perlu dilakukan secara terus menerus sampai
dapat diwujudkannya kota Jakarta yang aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah, dan kenangan
(Sapta Pesona). Tujuh pesona wisata ini masih perlu didukung oleh akomodasi yang murah dan nyaman,
makanan yang lezat, budaya yang mempesona, dan cinderamata yang murah dan menarik.
Masyarakat Betawi yang sadar wisata adalah warga kota yang menghargai kebersihan dan keindahan
kota serta masing-masing berusaha berperan serta untuk mewujudkan sapta pesona wisata di ibukota. Peran
serta masyarakat diwujudkan melalui partisipasi yang terintegrasi di antara komponen Pemerintah,
penyelenggara kegiatan pariwisata, masyarakat penerima para wisatawan, dan wisatawan yang menghargai
daerah tujuan wisata Jakarta. Kesan kota Jakarta yang tidak aman karena banyak penodongan di bis kota
dan jalan umum, tidak tertib karena kotanya semrawut, tidak bersih karena sampah bertebaran di mana-mana
dan aparat Pemerintah juga tidak bersih, tidak sejuk karena kotanya gersang dan sukar ditemui taman yang
hijau dan berbunga, tidak ramah tamah karena masyarakatnya acuh dan kurang sopan, dan tidak dijadikan
kenangan karena tidak adanya sesuatu yang perlu dikenang, harus dihindari sedini mungkin.
Berdasarkan lnstruksi Presiden kepada Menparpostel untuk melakukan koordinasi sebaik-baiknya
dalam menyongsong Tahun Kunjungan Wisata Indonesia 1991 (lnpres No. 3 Tahun 1989), Menparpostel
telah mengkampanyekan Sadar Wisata dan Sapta Pesona, dan Dirjen Pariwisata telah membentuk Panitia
Pelaksana Harian Kampanye Nasional Sadar Wisata. Sadar Wisata perlu dibuktikan oleh tindakan warga
yang tidak melakukan hal-hal yang mengakibatkan suasana tidak aman atau menimbulkan terganggunya
keselamatan orang lain. Warga harus memelihara ketertiban umum, berusaha mematuhi peraturan dan tata
tertib baik di jalan raya maupun di tempat-tempat umum, disiplin dan sopan santun berlalulintas, menyeberang
di tempat yang disediakan, menghindari kemacetan lalulintas, mematuhi petunjuk rambu-rambu lalulintas, dan
membiasakan antri dalam kegiatan di tempat umum.
Warga perlu membudayakan hidup bersih dan sehat, secara sadar senantiasa berupaya menampilkan
dan menjaga kebersihan dimanapun berada (di rumah, tempat kerja, sekolah, rumah makan, bis dan
angkutan umum, kereta api, tempat hiburan, dan dalam kehidupan sehari-hari) sehingga pola hidup bersih
dan sehat benar-benar menjadi bagian yang utuh dan tidak terpisahkan dari cara hidupnya. Warga turut
membantu program penghijauan kotanya (menyediakan pot bunga dan menanam pohon di halaman
rumahnya), memperindah dan mempercantik kota (Lingkungan pemukiman, hotel dan restoran, perkantoran,
pertokoan, perbelanjaan jalur wisata dan taman). Warga harus ramah yang dicerminkan oleh tatacara
pergaulan yang baik dan sikap tuan rumah yang ramah dalam melayani wisatawan mancanegara. Warga
hendaknya turut menyajikan dan memelihara suasana, iklim, kesempatan dan pelayanan yang baik, yang
membuahkan kenangan yang indah dan manis, yang tidak mudah dilupakan oleh para wisatawan baik
wisatawan mancanegara maupun nusantara.
Sejalan dengan peningkatan peran serta warga tersebut, perlu dilakukan intensifikasi dan ekstensifikasi
penyediaan sarana dan prasarana pendukung, antara lain pemasangan pesan-pesan peringatan pada papan
himbauan (Jakarta Menuju BMW, Sudahkah kita membudayakan hidup bersih dan sehat, dan Jakarta
menanti partisipasi anda), pengadaan/penempatan fasilitas kebersihan kota (tong sampah, angkutan sampah
yang memadai, dan we umum), penertiban pemasangan reklame yang tidak teratur, pengaturan kembali
pohon-pohon di jalan umum, pemeliharaan kebersihan di tempat-tempat umum, dan pengelolaan taman kota.
Apa yang harus dilakukan oleh pejabat Pemerintah dalam mendukung sadar wisata? Mereka harus

168
memberi contoh teladan, menggerakkan dan mendorong serta mengerahkan bawahannya untuk mewujudkan
gerakan bersih dan sehat. Aparat harus senantiasa mengamankan pelaksanaan , program sadar wisaia dan
sapta pesona, tanggap, luwes, menolong, membimbing, membina, memberi petunjuk, memberi informasi, dan
mengawasi fasilitas kepariwisataan yang ada. Aparat Pemda DKI harus trampil, disiplin, mewujudkan satu
kata dan perbuatan, memelihara kebersihan lingkungan, menghargai petugas kebersihan, menegor bawahan
yang tidak patuh, dan berusaha menciptakan lingkungan yang indah, serasi dan alamiah.
Kalangan industri pariwisata jangan mementingkan keuntungan dari bisnis pariwisata, tetapi harus
mengutamakan pelayanan. Kemudahan pelayanan, keramahtamahan pemandu wisata, keamanan di hotel,
restoran dan angkutan, penyediaan life guard untuk mencegah bahaya, mematuhi standar operasi kebersihan
makanan dan minuman, penataan bangunan, ruangan dan komposisi warna yang menyejukkan, dan
penyediaan cinderamata yang murah, menarik, dan penuh kesan. Pemuka agama dan tokoh masyarakat juga
diharapkan partisipasinya dalam menunjang sadar wisata. Dalam ceramah perlu diselipkan budaya hidup
bersih dan sehat, hidup tolong menolong, gotong royong, memberi contoh dan teladan, menciptakan
kebersihan sebagai bagian dari iman, dan memelihara seni budaya masyarakat.
Pemuda, pelajar, dan mahasiswa harus mampu mengambil tindakannya yang mendukung penciptaan
kota yang aman, tertib, bersih, indah, sejuk, warga yang ramah, dan membawa kenangan bagi wisatawan.
Cendekiawan dan ilmuwan perlu memberikan sumbangan pemikiran baik melalui penulisan pariwisata,
mengikuti seminar, menyampaikan makalah, menulis buku dan publikasi pariwisata, melakukan penelitian
kepariwisataan, dan memberi masukan langsung kepada Pemerintah tentang dunia kepariwisataan dan
menjadi pelopor gerakan sadar wisata.
Masyarakat yang tinggal di jalur wisata harus ramah, bersahabat, cinta keindahan, berpakaian rapi dan
bertindak sopan, dan menjadi tuan rumah yang baik. Kalangan organisasi politik turut memikirkan penyusunan
Undang-Undang Pariwisata, memberi masukan kepada Pemerintah tentang berbagai upaya pembangunan
pariwisata, meningkatkan fungsi kontrol, dan bersedia menjadi juru-bicara pariwisata. Partisipasi ibu-ibu dan
peranan wanita perlu ditingkatkan, baik melalui partisipasi perorangan maupun melalui PKK dan organisasi
kemasyarakatan. Perilaku lbu atau Wanita pada umumnya gampang ditiru dan lebih komunikatif, sehingga
perannya cukup menentukan dalam meningkatkan jumlah wisatawan.
Kampanye Nasional Sadar Wisata perlu ditunjang oleh partisipasi berbagai lembaga kemasyarakatan
termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat. LSM sangat diharapkan perannya dalam menganjurkan masyarakat
untuk bersikap ramah dan menjadi tuan rumah yang baik, menggali, mengembangkan dan melestarikan
budaya, dan mencarikan sponsor di bidang kepariwisataan. Kalangan pengelola seni budaya tidak kalah
pentingnya dalam pengembangan sadar wisata, antara lain dalam upaya meningkatkan mutu dan produk
cinderamata, desain, memprakarsai paket wisata seni-budaya, menyediakan paket pagelaran seni tari,
pameran di dalam dan luar negeri, dan informasi budaya.
Di bidang peningkatan kualitas lingkungan, warga Jakarta perlu diajak berpartisipasi dalam pengamanan
kualitas tanah, kualitas air, pengendalian pencemaran udara, pengamanan wilayah pesisir dan lautan, dan
berpartisipsi dalam penataan administrasi lingkungan serta pelaksanaan anal isis mengenai dampak lingkungan.
Disesuaikan dengan tingkat pengetahuan dan ketrampilannya, warga Jakarta harus mengetahui berbagai isu
global kualitas lingkungan, seperti limbah berbahaya yang beracun, hujan asam dan pencemaran udara
regional, khlorofluorokarbon (CFC) dan lapisan ozon, radiasi ultraviolet yang memberi dampak pada
kesehatan, efek rumah kaca, dan upaya penangkalan pemanasan global.
Tanah Jakarta yang sempit (luasnya hanya 661 Km2) dibandingkan dengan penghuninya yang 9 juta
dan akan menjadi lebih dari 12 juta pada tahun 2005, perlu diamankan dan dipelihara dengan baik. Mahalnya
harga tanah mengakibatkan banyaknya sengketa tanah. Tanah dan rumah yang didiami, betapapun kecilnya,
perlu dipelihara dengan baik sehingga selalu bersih dan sehat. Air minum yang terbatas, air sungai yang
kotor, selokan yang airnya sangat kotor, sampah bertumpuk di mana-mana, banjir yang datang setiap tahun,
dan rembesan air laut, merupakan ancaman bagi warga kota.
Kualitas airsungai harus dijaga, pence~aran qerbagai bahan organik perlu dihindari, demikian juga
pencemaran bakteri coli, logam berat, dan pestistda. Kesehatari lingkungan yang disebabkan oleh menurunnya
: ' : - ' ' ·. . ' ' ~ ,' ' ' : : • ' ' - \ . ' ' .' :- ; ' • ; j ' • • .: ' ' ' • •. , ' . ' '

169
kualitas air perlu ditekan, seperti diare, hepatitis, infeksiosa, penyakit kulit dan mata, schistiosomiasis, dan
penyakit yang disebabkan oleh bahan beracun. Pengendalian pencemaran air perlu ditingkatkan, termasuk
pengendalian limbah dan sampah rumahtangga, limbah industri, pestisida, dan intrusi air asin. Warga harus
membantu upaya penanggulangan masalah debu dan gas pencemar, kadar 502 dan NOx dalam udara
karbon dioksida yang diakibatkan industrialisasi dan tingginya tingkat urbanisasi, tingginya kadar Nox dan
N02, kebisingan akibat kegiatan industri dan bunyi kendaraan bermotor. Warga hendaknya berpartisipasi
dalam upaya pengendalian pencemaran udara melalui penelitian dan pemantauan, pelaksanaan peraturan
dan perundang-undangan (industri, pertambangan, transportasi), teknologi pengendalian pencemaran,
pengendalian pencemaran debu, partikel, dan gas, dan pengendalian lingkungan.
Pesisir Pantai Utara Jakarta (Kamal, Marunda, dan Kepulauan Seribu) perlu ditata dengan baik.
Kegiatan pertambangan, perikanan, pengerukan, pengurukan, dan pengambilan koral perlu diawasi dengan
ketat, agar berbagai ancaman di Teluk Jakarta seperti abrasi pantai, sedimentasi, kekeruhan, sampah padat,
pencemaran minyak bumi, logam berat, air laut dan sedimen, biota, pestisida, bakteri, hendaknya diatasi
secara bersistem dan terpadu, melalui pelaksanaan segala peraturan perundang-undangan, konservasi laut,
dan pengendalian pencemaran laut yang didukung oleh partisipasi masyarakat.
Dari segi administrasi lingkungan, warga kota perlu diikutsertakan dalam pemikiran mengenai
pengembangan tata ruang, penataan ruang wilayah, penyusunan RUTR (Rencana Umum Tata Ruang),
RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota), RTK (Rencana Terinci Kota), RUPTD (Rencana Umum Pembangunan
Tahunan Daerah), dan berbagai perencanaan pembangunan lainnya. Pedoman kriteria pemanfaatan ruang
yang meliputi jenis kawasan, definisi janis kawasan, dan tujuan perlindungan, harus dipatuhi oleh semua
pihak. Dukungan administrasi pembangunan seperti PP Nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan, Komisi Amdal, Komisi Amdal Pusat dan Daerah, Kegiatan Wajib Pembuatan PIL dan
ANDAL, Pedoman Teknis ANDAL, Penyusunan SEMDAL, dan Proses Perijinan, perlu diketahui dan
dimengerti oleh masyarakat yang berkepentingan sehingga mereka dapat menentukan peran sertanya di
dalam berbagai kegiatan peningkatan kualitas lingkungan.

Harapan
Upaya mengatasi permasalahan yang dikemukakan oleh Rudini, Wiyogo, dan RUPTD DKI Jakarta
1990/1991 sebenarnya akan bermuara pada satu hal yang sama, yaitu perwujudan Jakarta sebagai kota
megapolitan yang didukung oleh aparat Pemda dan peran serta warganya yang dinamis. Peran serta
masyarakat dalam pembangunan kota bermacam-macam. Yang paling sederhana, wujudkanlah partisipasi
masyarakat dalam menunjang kegiatan sadar wisata, sapta pesona wisata, dan sadar lingkungan.
Dengan meningkatnya peran serta masyarakat dalam kegiatan sadar wisata, sapta pesona, dan sadar
lingkungan, kita harapkan bersama agar kota metropolitan dan megapolitan (megalopolitan) Jakarta BMW
(bersih, manusiawi, dan wibawa) dapat terwujud dalam waktu yang singkat. Ukuran keberhasilannya? Pada
tahun 1991, aparat Pemerintah makin wibawa, perencaanaan pembangunan, pelaksanaan dan pengawasannya
makin manusiawi, kotanya makin bersih (diraihnya piala Adipura oleh salah satu atau lebih Wilayah Kota di
DKI Jakarta), jumlah wisatawan Mancanegara dan Nusantara meningkat, munculnya peraih Kalpataru
(perintis, penyelamat, pengabdi, dan pembina lingkungan), dan diraihnya penyusunan Neraca Kependudukan
dan Lingkungan Hidup Daerah terbaik.
Neraca, 4 - 5 Juli 1990

Bogar Menyambut Kunjungan Wisata Tahun 1991


Bogar, kota hujan diiklankan oleh Walikotanya sebagai kota dalam taman siap menyongsong Kunjungan
Wisata Tahun 1991 (KWT '91) atau Kunjungan Indonesia Tahun 1991 (Visit Indonesia Year 1991, VIY '91 ).

170
Kesiapan ini ditunjang oleh pemantapan penyuluhan sadar wisata dan sapta pesona dan perkembangan
industri pariwisata yang cukup menggembirakan, antara lain akomodasi (jumlah hotel dan kamar), restoran
dan usaha jasa boga, usaha perjalanan wisata, angkutan wisata dan obyek atau atraksi wisata. Piala Adipura
yang telah lima kali diraih oleh Boger (kategori kota sedang, penduduk 100.000 - 500.000 jiwa) dan upaya
meraih Piala Adipura Kencana (lambang kota idaman terbersih peraih Adipura lima tahun berturut-turut
dengan nilai di atas 80) merupakan modal yang turut mendukung keberhasilan KWT '91.
Boger yang luasnya 21,56 Km2 dengan penduduknya yang berjumlah 269.959 jiwa dan tersebar di
lima Kecamatan (dan 1 Kemantren) dan 22 Kelurahan, 22 Km jalan arteri, 20 Km jalan kolektor/penghubung,
97 Km jalan lokal/lingkungan, 18 pasar (12 pasar harian, 2 pasar lnpres, 1 pasar induk, 1 pasar swalayan,
dan 2 pusat pertokoan), 239 toko besar, 1.499 toko sedang, 2.234 toko kecil, 21 hotel (6 besar, 8 sedang dan
7 kecil), 77 restoran (16 besar, 39 sedang, dan 22 kecil), 108 kantor (73 besar, 23 sedang dan 12 kecil), akan
menyongsong KWT '91 melalui koordinasi terpadu masyarakat sadar wisata (Pemda, lnstansi Terkait, Swasta
dan Masyarakat) untuk meningkatkan citra pariwisata daerah dan mewujudkan Sapta Pesona.

Sadar Wisata
Kegiatan Sadar Wisata dan Sapta Pesona kota dan warga Boger akan mendukung keberhasilan KWT
'91. Boger yang aman, tertib, bersih, sejuk lingkungannya, indah, ramah tamah warganya, penuh kenangan
yang disebabkan akomodasi yang nyaman, makanan yang lezat, budaya yang mempesona dan cinderamata
yang murah meriah dan bentuknya kecil, akan memikat wisnu (wisatawan nusantara) dan wisman (wisatawan
mancanegara). Walikota Boger Suratman tidak akan henti-hentinya memasyarakatkan unsur-unsur pelayanan
yang tercermin pada Sapta Pesona ke semua lapisan masyarakat dan dunia usaha. Langkah-langkah yang
ditempuh antara lain melalui kampanye tingkat kotamadya melalui berbagai media masa, radio, dan televisi,
penyuluhan pemantapan citra sadar wisata melalui sapta pesona sesuai dengan tahapan sasaran, dan
penyuluhan pariwisata kepada masyarakat luas.
Boger perlu mengembangkan kawasan atau obyek wisata potensial yang berperan sebagai pusat
pengembangan daerah dan mengembangkan daya tarik wisata khas daerah sebagai pemancing utama,
antara lain yang berorientasi pada rekreasi gunung, wildlife, wisata agro, hiking/trekking, konvensi, seni
budaya Sunda, wisata pendidikan dan pendukung rekreasi sekitar kawasan Puncak. Daya tarik wisata
pemancing utama adalah Kebon Raya Boger dan kesejukan lingkungan. Pemanfaatan dan pengembangan
kawasan dan obyek wisata potensial di Kotamadya Boger dikaitkan dengan sentra-sentra wisata di
Kabupaten Boger, antara lain jalur Bogor-Puncak, Bogor-Sukabumi - Pelabuhan Ratu, Taman Safari,
Cibodas, Lido, dan sirkuit Citeureup (Sentul).
Dalam mengembangkan obyek wisata, Pemerintah perlu mendorong swasta dan masyarakat untuk
berperan serta dalam pengembangan, pariwisata berwawasan lingkungan dan pengembangan budaya
Sunda. Dorongan Pemerintah paling sedikit meliputi empatbelas langkah. Pertama, menyelenggarakan kegiatan
bina masyarakat wisata (khususnya di lingkungan sentra dan kawasan wisata) untuk menumbuhkan suasana
aman, tertib, sejuk, indah, ramah dan kenangan.
Kedua, meningkatkan kualitas kebudayaan khususnya budaya Sunda dengan menciptakan suasana
yang mampu dirasakan oleh wisatawan sehingga dapat menyatu dalam budaya Indonesia umumnya dan
Sunda khususnya. lndustri pariwisata di Kotamadya Boger dianjurkan atau diwajibkan secara teratur
menampilkan berbagai bentuk kesenian daerah Sunda, antara lain seni pentas, seni ukur, seni gamelan, seni
tari (jaipongan), seni lukis dan sejenisnya.
Ketiga, meningkatkan mutu pelayanan akomodasi, restoran, rekreasi dan hiburan umum sehingga
memberikan suasana dan citra daerah serta terjalinnya sistem informasi antar pengusaha (besar, sedang dan
kecil). Makanan khas daerah juga perlu ditonjolkan agar menimbulkan kenangan bagi wisman dan wisnu,
misalnya ikan emas, sayur asam, dan asinan Boger. Keempat, menciptakan iklim kepariwisataan di tingkat
Kotamadya Boger, penanaman modal di bidang kepariwisataan di tingkat Kotamadya Boger, penanaman
modal di bidang kepariwisataan di tingkat Kotamadya Boger. Pemda Kotamadya Boger perlu memberikan
berbagai kemudahan yang mendorong tumbuhnya investasi pariwisata.

171
Kelima, membina kegiatan wisata remaja untuk menciptakan insan remaja yang berwawasan Nasional
dan berperan sebagai agen pembangunan (agent of development) dalam pengembangan pariwisata, sekaligus
menempatkan remaja sebagai obyek dan subyek kegiatan pariwisata. Keenam, menyediakan cinderamata yang
murah meriah, mudah dibawa, bermacam-mcam jenisnya sesuai dengan lingkungannya. Misalnya, hiasan
dari kenari dan kalung.
Ketujuh, meningkatkan pelayanan perusahaan perjalanan melalui peningkatan jumlah, peran serta,
profesionalisme, penguasaan bahasa dan budaya, penyediaan paket wisata, diversifikasi produk wisata dan
pengembangan paket-paket wisata baru (wisata agro, wisata tekno, wisata geo, wisata alam dan wisata
budaya). Kedelapan, meningkatkan jumlah, mutu dan profesionalisme pramuwisata melalui pelatihan pemimpin
perjalanan wisata (tour leader) dan pramuwisata (guide) dengan penguasaan bahasa asing yang prima, baik
di sektor pemerintah maupun swasta.
Kesembilan, memberikan bantuan pelayanan dokumen (bea cukai dan keimigrasian) disesuaikan
dengan wewenang yang ada pada tingkat Kotamadya dengan tetap memperhatikan kewaspadaan. Kesepuluh,
menyediakan pelayanan angkutan wisata jalan raya melalui peningkatan jumlah dan mutu sarana angkutan
wisata jalan raya, antara lain penyediaan bus pariwisata, kendaraaan terbuka wisata, (seperti di London),
penyediaan angkutan wisata lokal seperti delman dan nayor (delman dengan roda dari ban mobil) dan
penyediaan fasilitas informasi wisata. Kesebelas, mengembangkan kawasan wisata khususnya Kebun Raya
Bogor sebagai pusat rekreasi, ilmiah, studi tour, karyawisata dan konvensi. Keduabelas, meningkatkan
diversifikasi produk wisata, antara lain wisata alam, wisata ilmiah, wisata remaja, wisata agro, wisata tekno,
wisata geo, wisata konvensi, dan wisata budaya.
Ketigabelas, meningkatkan pemasaran produk wisata melalui pemanfaatan teknologi, penonjolan
budaya Sunda dan Siliwangi, informasi wisata (slogan, pamflet, leaflet, brosur, barang cetakan), daya tarik
khas (Kebun Raya, kota dalam taman, kota beriman), dan lingkup pemasaran (lokal, regional, nasional dan
internasional), peningkatan aksesibilitas (kemudahan angkutan bus Jakarta- Bogor, Bandung - Bogor, Bekasi
- Bogor, Sukabumi - Bogor, Jonggol - Bogor, Parung - Bogor dan Serang - Bogor), kerjasama antar kota
(sister city) misalnya perlu dilakukan dengan Leiden atau Keukenhof (pusat bunga tulip di Negeri Belanda),
peningkatan peran pelajar dan mahasiswa dalam memasarkan produk wisata, mengembangkan MICE
(Meeting Inventive Convention and Exhibition), peningkatan partisipasi masyarakat, pendayagunaan secara
optimal berbagai organisasi pariwisata daerah, peningkatan kesadaran masyarakat wisata, penyelenggaran
wisata rombongan (pelajar dan karyawan perusahaan), dan peningkatan diklat kepariwisataan untuk
meningkatkan profesionalisme tenaga kerja, produktif, kerja keras, cepat tanggap, berhasilguna dan
berdayaguna. Juga diupayakan peningkatan kegiatan litbang terpadu, penyediaan data dan informasi
pariwisata yang lengkap dan akurat, dan pengawasan untuk mewujudkan aparatur kepariwisataan yang
bersih dan berwibawa.
Keempatbelas, koordinasi terpadu antar instansi terkait di lingkungan Kotamadya Bogor dan lnstansi
lainnya yang menunjang kegiatan pariwisata di kota Bogor, seperti Lembaga Biologi Nasional, IPB, dan
berbagai Puslitbang (Tanah, Kehutanan, dan lain-lain).

Upaya
Kampanye sadar wisata dan sapta pesona perlu ditingkatkan. Sejalan dengan itu perlu dikaji hambatan
dan kendala dalam pemantapan masyarakat sadar wisata. Sapta Pesona hanya akan berhasil jika dilakukan
koordinasi terpadu antar berbagai instansi terkait di tingkat Kotamadya Bogor yang dikomandani oleh
Suratman, Walikota Bogor. Koordinasi diartikan sebagai pelaksana tugas berdasarkan fungsinya masing-
masing yang bermuara pada pencapaian program pengembangan pariwisata, khususnya sasaran sapta pesona
dan masyarakat sadar wisata.
Beberapa upaya perlu dilakukan terus menerus, antara lain pemasangan pesan-pesan peringatan
pada papan-papan himbauan (billboard), cetakan sapta pesona pada tas di toko swalayan, topi, kaos, dan
cinderamata pariwisata. Tulisan tersebut misalnya Bogor Beriman : Bersih, lndah, dan Nyaman, Patuhilah
Peraturan Lalu Lintas, Berjalanlah tidak di atas rumput (dalam bahasa Indonesia dan lnggris). Fasilitas dan
pelayanan kebersihan (tong sampah, gerobak sampah, dan kendaraan pengangkut sampah) perlu disediakan

172
di tempat-tempat tertentu. Pemasangan spanduk dan papan reklame harus teratur, demikian pula penanaman
pohon di sepanjang kiri-kanan jalan utama, pekarangan rumah. kantor, sekolah, dan universitas. Taman yang
bertebaran hampir di setiap sudut kota Bogor harus dipelihara bersama, oleh Pemda, Swasta dan Masyarakat.
Paling sedikit pemantapan Sapta Pesona dan Sadar Wisata diarahkan pada sepuluh kelompok
sasaran masyarakat. Pertama, kalangan pejabat Pemerintah terutama yang terkait dengan kegiatan
kepariwisataan. Pemda harus bersikap dan bertindak memberi contoh teladan, menggerakkan dan mendorong
serta mengarahkan warga kota Bogor dalam berbagai kegiatan yang mendukung pengembangan kepariwisataan
(lng Ngarso Sung Tulodo, lng Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani). Kedua, kalangan industri
pariwisata dan industri terkait lainnya yang berorientasi bisnis. Ketiga, kalangan pemuka agama, pemuka adat
dan tokoh masyarakat yang sangat vokal dan menjadi panutan masyarakat. Melalui kepemimpinan mereka,
kesadaran dan kegandrungan wisata dapat digulirkan bagaikan bola salju yang mudah menggelinding.
Keempat, kalangan pemuda, pelajar dan mahasiswa perlu dijadikan pelopor dan ujung tombak gerakan
bina masyarakat sadar wisata di lingkungannya. Kelima, kalangan cendekiawan dan ilmuwan perlu dilibatkan
dalam penyuluhan, seminar, workshop, lokakarya, pembuatan brosur, buku, penelitian dan pengembangan
bidang pariwisata. Keenam, masyarakat umum khususnya yang bertempat tinggal di kawasan atau obyek
wisata dan jalur wisata perlu dibina agar tercipta kondisi kehidupan yang nyaman dan bersahabat serta
berorientasi wisata. Ketujuh. kalangan organisasi politik yang besar peranannya dalam melakukan kampanye
sadar wisata.
Kedelapan, kalangan organisasi kemasyarakatan termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LKMD,
PKK, Organisasi Pemuda, Karang Taruna) dapat diikutsertakan dalam berbagai kegiatan seperti kebersihan
lingkungan, kelompok sadar bersih, dan berfungsi sebagai pelopor gerakan gotong royong masyarakat.
Kesembilan, kalangan pengelola seni-budaya yang sangat berperan dalam menyajikan seni-budaya daerah
dan menemukan cara pemasaran produk wisata yang paling tepat (buku, leaflet, folder, postcard, cinderamata
dalam bahasa lnggris dan bahasa asing lainnya). Kesepuluh, kalangan media massa, media tradisional/
pagelaran, media elektronika seperti TVRI, RCTI, RRI, Radio Pemda, Radio Swasta, ORARI (Organisasi
Amatir Radio Seluruh Indonesia), RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia), dan PRSSNI (Persatuan Radio
Siaran Swasta Niaga Indonesia), dan media angkutan seperti ORGANDA (Organisasi Angkutan Darat).
Neraca, 4 Oktober 1990

Program Pengembangan Potensi Wisata Bogor


Secara Terpadu
Dalam menyambut Tahun Kunjungan Wisata Indonesia 1991, perlu disusun program pengembangan
potensi wisata Bogor secara terpadu (P3WBT). Program ini memadukan upaya penciptaan iklim usaha yang
mendukung perkembangan industri pariwisata, peningkatan pembinaan dan pengembangan industri pariwisata,
peningkatan pembinaan dan pengembangan industri pariwisata, penciptaan sarana dan prasarana untuk
meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan, dan pengembangan potensi wisata kota Bogor yang meliputi
sumber alam, sumber daya manusia serta Bogor yang bersih, indah dan nyaman.
Penyuluhan sadar wisata dan pemasyarakatan sapta pesona perlu ditingkatknan intensitasnya
(keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan lingkungan, keindahan, keramahtamahan, dan kenangan).
Kenangan disebabkan oleh akomodasi yang nyaman (hotel dan taman), makanan yang lezat (makanan
daerah Sunda), budaya yang mempesona (tarian jaipongan dan kesenian angklung), dan cinderamata khas
Bogor yang menarik (kenari Bogar yang murah, sederhana, dan mudah dibawa).

173
Potensi Wisata
Menyambut Tahun Kunjungan Wisata Indonesia 1991 yang tinggal beberapa bulan lagi, Pemda
Tingkat II Kotamadya Boger perlu melipatgandakan pengembangan potensi wisata kotanya agar segala
sarana, prasarana dan masyarakat kota Boger siap menerima sebanyak-banyaknya kedatangan wisatawan
mancanegara (Wisman), wisatawan nusantara (wisnu) dan wisatawan domestik (wisdom).
Penyuluhan dan kampanye Sadar Wisata sebagai pelaksanaan SK Walikota dan Petunjuk Operasional
Dinas Pariwisata Kotamadya perlu ditingkatkan frekuensinya ke setiap Kelurahan di kota Boger. Kampanye
sa dar wisata ini sejalan dengan SK Dirjen Pariwisata No. Kep.11 /U/X/1989 dan SK Menparpostel No. KM.86/
OT.001/MPPT-89 yang mengacu pada lnpres No.3 Tahun 1989 tentang Tahun Kunjungan Wisata Indonesia
1991.
Tiga jenis kampanye perlu diprioritaskan. Pertama, Bidang Peningkatan Peran Serta Sektoral harus
melaksanakan kampanye sadar wisata yang ditujukan kepada aparat Pemerintah dan Swasta melalui
kegiatan temu wicara, forum komunikasi, konsultasi dan koordinasi serta wawancara dengan media massa
dan media lainnya.
Kedua, Bidang Peningkatan Citra, Mutu Produk dan Pelayanan harus melaksanakan kampanye sadar
wisata kepada kalangan industri pariwisata dan industri terkait laijnya serta aparat Pemerintah pemberi
pelayanan melalui temu wicara, latihan bersama, pemberian penghargaan, peningkatan profesionalisme,
pameran, festival, perlombaan, peningkatan sarana informasi, pagelaran budaya dan atraksi lainnya.
Ketiga, Bidang Penggalangan Masyarakat harus melaksanakan kampanye sadar wisata yang ditujukan
kepada masyarakat umum, termasuk pers, perguruan tinggi dan sekolah-sekolah, melalui temu wicara,
penyuluhan melalui media massa, gerakan massal, aneka Iomba sapta pesona, dan pemasangan out door
advertising. Tim ahli, cendekiawan dan ilmuwan serta pakar pariwisata perlu dimintakan pendapatnya agar
segala potensi wisata kota Boger dapat dimanfaatkan dan didayagunakan.
Sejalan dengan itu daya tarik wisata khas daerah sebagai pemancing utama (eye catcher), misalnya
Kebun Raya Boger dan berbagai Museum yang ada, ditingkatkan fasilitasnya, didukung oleh prasarana dan
sarana lingkungan yang memadai. Boger yang bersih, indah dan nyaman (beriman) merupakan modal utama
dan daya tarik bagi wisatawan. Penempatan bak sampah dan TPS (tempat penampungan sementara),
transfer depo, dan TPA (tempat penampungan akhir) sampah yang baik dan teratur, juga merupakan daya
tarik yang mencerminkan budaya hidup bersih dan sehat.
Swasta dan Masyarakat didorong untuk berperan serta dalam pengembangan pariwisata berwawasan
lingkungan dan pengembangan seni-budaya bangsa, melalui penyelenggaraan bina masyarakat wisata,
peningkatan kualitas kebudayaan, penyediaan akomodasi, restoran, rekreasi, atraksi dan hiburan umum,
menciptakan iklim investasi yang mendorong penanaman modal di bidang pariwisata, pembinaan wisata
remaja dan wisata ilmiah, penyediaan cinderamata khas Boger yang desainnya sederhana, mudah dibawa,
dan murah harganya, peningkatan jumlah dan profesionalisme dan peran perusahaan perjalanan wisata,
penyediaan paket wisata, peningkatan mutu dan profesi pramuwisata, swastanisasi penyediaan tenaga
pemimpin perjalanan wisata dan pramuwisata, penyediaan sarana dan fasilitas yang mampu memberikan
pelayanan secara cepat dan lancar serta keramah-tamahan petugas dengan tetap memperhatikan
kewaspadaan.
Belajar dari London, Amsterdam, Leiden, Bangkok, dan kota-kota menengah lainnya di dunia, Boger
perlu menyediakan bus wisata terbuka yang membawa wisman keliling kota, didukung oleh pramuwisata
yang berbahasa lnggris dengan baik dan menggunakan pakaian daerah Sunda. Agar program bus wisata
dapat berjalan dengan baik, perlu diciptakan penggalian dan pengembangan potensi kepariwisataan dalam
mendukung diversifikasi produk wisata, antara lain wisata alam, wisata nilai sejarah, pemancingan dan
pemeliharaan ikan, wisata agro skala mini, kerajinan rakyat, taman bunga (seperti taman bunga tulip di
Keukenhof, Belanda).
Dinas Pariwisata Kotamadya perlu mencari cara yang tepat dalam memasarkan produk wisata, baik
melalui pembuatan brosur, leaflet, penyebaran informasi wisata, penyediaan paket wisata, dan biro perjalanan

174
wisata. Peningkatan aksesibilitas dalam menarik wisatawan sebanyak-banyaknya, perlu didukung oleh
peningkatan pelayanan penerbangan, administrasi keimigrasian yang lancar, fasilitas angkutan kereta api,
KRD dan KRL, bis umum, taksi, dan angkutan umum kota Bogor. Delman atau andong, nayor (delman
dengan roda ban mobil), dapat dimanfaatkan sebagai alat angkutan wisata mengelilingi Kebun Raya Bogor.
Ciri khas Bogor sebagai kota pusat penelitian pertanian dan kehutanan memberi perluang wisata
konvensi (konperensi) dan wisata taman bunga. Bogor harus bisa meniru taman bunga Kuekenhof di Negeri
Belanda (dengan ribuan jenis bunga tulip), diisi dengan aneka ragam bunga yang sudah tumbuh di Indonesia.
lni penting, karena akan benar-benar menunjukkan kota Bogor sebagai Kota Dalam Taman. Sebaiknya
konperensi internasional di bidang-bidang sejenis (biologi, pertanian, kehutanan dan zoologi) diselenggarakan
di Bogor. Program-program MICE (Meeting Incentive Convention and Exhibition) yang melibatkan Pemerintah
dan Swasta sangat tepat untuk diselenggarakan di Bogor. Diklat pariwisata perlu dilakukan untuk membina
dan mengembangkan sumber daya manusia yang diarahkan pada peningkatan jumlah dan kualitas manusia,
melalui peningkatan profesionalisme, pemantapan organisasi dan peningkatan mutu diklat serta litbang
pariwisata. Tata niaga industri pariwisata perlu disusun, agar tercipta keharmonisan dan keterpaduan
pengelolaan dan pengembangan potensi wisata kota Bogor.

Partisipasi
Penduduk kota Bogor yang mencapai 300.000 orang (tercatat 269.959 jiwa pada bulan Maret 1990),
perlu berpartisipasi dalam mewujudkan kota Bogor untuk menyambut Tahun Kunjungan Wisata Indonesia
1991. Jika dalam olahraga kita kenai motto memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat,
maka dalam pariwisata perlu dikumandangkan memasyarakatkan pariwisata dan mempariwisatakan masyarakat
kota Bogor. Penyuluhan sadar wisata dan sapta pesona harus dilakukan seperti memasyarakatkan program
keluarga berencana, langsung ke rumahtangga dan penduduk kota Bogor. Pengalaman lima kali meraih
Adipura, harus memacu Pemda dan didukung semua warga kota untuk berusaha meraih Adipura Kencana,
lambang tertinggi kebersihan kota di Indonesia. Walaupun dalam kategori kota yang berlainan. Bogor (kota
sedang), Solo dan Padang (kota besar) berjuang meraih Adipura Kencana Tahun 1991.
Perkantoran, Perguruan Tinggi, Sekolah, Kebun Raya, Museum Zoologi dan Museum lainnya, Kantor
Pos sebagai tempat pelayanan umum, kantor telepon, hotel, restoran, stasiun kereta api, stasiun bis dan
stasiun angkutan umum kota, pasar, pertokoan, tempat perbelanjaan, tempat hiburan dan rekreasi, semuanya
menata lingkungannya, menciptakan kondisi bersih, sehat dan nyaman disertai ruang terbuka hijau dan
taman, agar menimbulkan kesan kenangan. Untuk mendukung penyuluhan sadar wisata dan sapta pesona
yang efektif, Pemda perlu menyediakan Kendaraan Penerangan Sapta Pesona seperti juga kendaraan untuk
penyuluhaan kebersihan kota yang selama ini digunakan oleh Walikota bersama Kepala Dinas Kebersihan.
Bogor kota hujan, kota dalam taman yang berkembang pesat dan berfungsi sebagai salah satu kota
penyangga ibukota, harus tetap mewujudkan citra Buitenzorg (kota yang tenang dan bersih dari keramaian)
dalam bentuk kota Bogor Beriman (bersih, indah dan nyaman). Alamnya yang indah perlu ditata agar dapat
dijadikan sebagai daerah wisata alam, pendakian tebing dan bukit, lari lintas alam, dan olahraga sungai.
Tempat peninggalan sejarah seperti Batutulis dan berbagai museum perlu dipelihara dan didukung oleh
sarana dan parasana lingkungan yang memadai. Kampung Wisata perlu dibangun, diisi dengan berbagai
fasilitas seperti kerajinan rakyat (pembuatan cinderamata kenari, anyaman topi, angklung), tempat dagang
makanan dan minuman khas Bogor (makanan kas Sunda, talas Bogor, asinan segar, ikan emas, sayur
asam), pemancingan ikan, seni-budaya (suling, kendang dan gamelan Sunda, jaipongan) dan berbagai
atraksi yang menjadi daya tarik wisata.
Jalan sekeliling Kebun Raya dan jalan protokollainnya perlu dipelihara sebagai daya tarik dan pesona
wisata Bogor, seperti jalan A. Yani, Otto lskandardinata, Pajajaran, Kapten Muslihat, Suryakencana dan
Sukasari. Kemacetan lalu lintas diatasi dengan pengaturan route kendaraan, jalan searah, dan penjadwalan
penggunaan ruas jalan. Terminal Bis dan Angkutan Umum Kota Baranang Siang, Stasiun kereta api Bogor,
Pasar Bogor, Tugu Kujang dan berbagai fasilitas lainnya harus dipelihara agar selalu bersih dan indah. Kantor
Information Center perlu disediakan di tempat strategis, dekat stasiun bis, kereta api, pertokoan Kapten
Muslihat, sekitar Kebun Raya, dan dekat Kantor Walikota.

175
Berbagai upaya pengembangan potensi wisata kota Bogor perlu dipadukan, antara lain peningkatan
pelayanan hotel (penginapan, restoran, bar, discotheque), penyediaan cinderamata, pemusatan tempat
perbelanjaan, makanan dan minuman khas Bogor. Kebun Raya dan pendukungnya (Museum Zoologi,
Biologi, Geologi, Pusat Penelitian Pertanian dan Kehutanan, Batutulis), perkampungan industri kecil, sanggar
wisata daerah (angklung dan jaipongan), pelayanan pos, telepon, telegram dan pelayanan warga, penyediaan
air minum dan listrik. Upaya penyebarluasan pemasyarakatan dan penyuluhan sadar wisata dan sapta
pesona sekaligus dikaitkan dengan pemantapan kebersihan kota untuk meraih Adipura Kencana melalui
berbagai sarana dan prasarana seperti tv umum, siaran radio, klompencapir, sekolah dan perguruan tinggi,
pesantren, wartawan, koresponden, penyewaan kaset video, ceramah, sarasehan, diskusi, anjangsana, temu
wicara, tatap muka, koordinasi, dan siaran dan penyuluhan keliling.
Agar upaya menjaring wisatawan dapat efektif, perlu dilakukan regionalisasi pengembangan potensi
kota Bogor. Caranya dengan membagi kota Bogor ke dalam beberapa kawasan wisata. Bogor Tengah
menampilkan Kebun Raya, Museum, lstana Presiden, IPB, Rumah Sakit, Terminal, Pasar, Hotel Perkantoran
Pemerintah dan Swasta, dan Tempat Perbelanjaan di jalan Suryakencana dan Kapten Muslihat. Bogor Timur
merupakan daerah pemukiman berbagai jenis, dari golongan menengah ke atas sampai golongan
berpendapatan rendah. Bogor Utara merupakan lokasi kegiatan olahraga, remaja, industri, dan pintu gerbang
dari Jakarta. Bogor Barat dilengkapi dengan fasilitas lapangan golf, olahraga alam dan sungai, sedangkan
Bogor Selatan merupakan pusat wisata alam dan nilai sejarah. Ruang Terbuka Hijau hampir tersebar secara
merata di seluruh wilayah kota, didukung oleh penyediaan taman, tanaman dan pot bunga di setiap halaman
dan pekarangan rumah.
Pengunjung Kebun Raya sekitar 700.000 orang per tahun diusahakan untuk ditingkatkan melebihi satu
juta pengunjung dan proporsi wisatawan mancanegara semakin besar. Pelaksanaan Perda Nomor 1 Tahun
1990 mengenai ketentuan umum kebersihan, keindahan dan ketertiban di wilayah Kotamadya Bogor, perlu
didukung oleh semua warga kota Bogor melalui partisipasi dalam penanganan kebersihan dan keindahan
kota, bangunan, jalan, jalur hijau dan taman, terminal, ketertiban (bangunan, jalan, trotoar, jalur hijau dan
taman, lingkungan hidup, penataan kota), dan pengawasan. Walikota Bogor, Suratman, akan bangga jika
semua aparat Pemda dan warga kotanya dapat berperanserta serta berpartisipasi dalam mewujudkan Bogor
sebagai Kota Beriman, Kota Oalam Taman, Lands Platentuin Buitenzorg atau Hortus Botanicum Bogoreiensis.
Target sudah jelas, peningkatan jumlah wisatawan mancanegara pada Tahun Kunjungan Wisata lndoensia
1991 dan Piala Adipura Kencana pada bulan Juni 1991. Semoga.
Merdeka, 6 Oktober 1990

Peran Arsitek Dalam Pembangunan Pariwisata


KEPPRES Nomor 60 Tahun 1992 dikeluarkan sebagai tindaklanjut dari Tahun Kunjungan Wisata
Indonesia 1991 dan Tahun Kunjungan Wisata Asean 1992 yang telah berhasil meningkatkan arus kunjungan
wisatawan mancanegara ke Indonesia. Untuk lebih meningkatkan arus kunjungan wisatawan mancanegara
ke Indonesia dan mempererat persahabatan antar bangsa serta untuk lebih memperkenalkan obyek dan daya
tarik wisata di Indonesia, maka Tahun 1993 sampai dengan Tahun 2000 dijadikan sebagai Dekade
Kunjungan Indonesia.
Dalam Dekade Kunjungan Indonesia ini, telah ditetapkan masing-masing Tahun 1993 (Tahun Lingkungan
Hidup), Tahun 1994 (Tahun Peranan Wanita Dalam Pembangunan, Pemuda dan Olah Raga), Tahun 1995
(50 Tahun Kemerdekaan Rl), Tahun 1996 (Tahun Bahari dan Dirgantara), Tahun 1997 (Tahun Telekomunikasi),
Tahun 1998 (Tahun Seni dan Budaya), Tahun 1999 (Tahun Kriya dan Rekayasa), dan Tahun 2000 (Tahun
Pemanfaatan Teknologi untuk Peningkatan Kualitas Hidup).
Bertolak dari tugas dan fungsinya serta Keppres tentang Dekade Kunjungan Indonesia ini, maka

176
Menteri Parpostel terus menerus mempersiapkan program kepariwisataan terpadu dengan penyelenggaraan
program-program dan kegiatan setiap tahun dalam rangka Dekade Kunjungan Indonesia. Langkah-langkah
yang perlu diambil antara lain peningkatan promosi kepariwisataan secara terpadu dengan mencurahkan
kegiatannya pada pusat-pusat pasar wisata di luar negeri, peningkatan citra dan mutu pelayanan pariwisata
nasional, peningkatan aksesibilitas ke obyek dan daya tarik wisata di seluruh pelosok tanah air, dan
peningkatan koordinasi dan kerjasama yang sebaik-baiknya dengan Departemen, Lembaga Pemerintah Non-
Departemen dan Lembaga Pemerintah lainnya, Pemerintah Daerah, usaha swasta nasional serta organisasi
masyarakat lainnya dalam rangka persiapan dan penyelenggaraan Dekade Kunjungan Indonesia.
Jika dalam skala makro, diharapkan jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia terus
meningkat dari tahun ke tahun, maka dalam skala mikro, misalnya pada lokasi tertentu, dalam hal ini
konurbasi Jakarta-Bandung, maka para arsitek diharapkan berperan nyata dalam meningkatkan jumlah
wisatawan mancanegara dan wisatawan domestik untuk mengunjungi kawasan Puncak, kawasan agroindustri
Cileungsi, kawasan wisata air Jatiluhur, kota hujan dan kebun raya Bogor dan Cibodas, kota kembang
Bandung, daerah sejuk Lembang, dan kawah Tangkuban Perahu.

Perkembangan
Tahun 1992, jumlah wisatawan dunia mencapai 476 juta dengan pengeluaran sekitar 279 miliar dolar
AS (Joop Ave, 1993). Tingkat petumbuhan kepariwisataan dunia sampai dengan tahun 2000 diperkirakan
3,7% per tahun sehingga akhir tahun 2000 terdapat 637 juta wisatawan dengan pengeluaran sekitar 527
miliar dolar AS. Diperkirakan wisatawan yang datang ke Asia pasifik 114 juta orang dengan pertumbuhan 4%
per tahun.
Jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia tahun 1992 adalah 3.060.200 orang dengan devisa
sebesar 3.271,2 juta dolar AS. Dilihat dari pintu masuk, pada tahun 1992 wisatawan mancanegara masuk
melalui Soekarno Hatta (978.000 orang), Ngurah Rai (741.000), Batam (678.000), Polonia (170.000 ribu), dan
lain-lain (497.000), masing-masing berasal dari Singapura (809.144), Jepang (394.693), Malaysia (338.043),
Australia (234.723), dan Taiwan (220.326).
Misi pembangunan pariwisata yang ditetapkan dalam GBHN 1993 menegaskan bahwa dalam
mengembangkan kepariwisataan sebagai sektor andalan perlu tetap dijaga terpeliharanya kepribadian
bangsa, kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup. Perlu diupayakan peningkatan kualitas budaya dan
daya tarik wisata dengan tetap menjaga nilai agama, kepribadian bangsa serta harkat dan martabat bangsa.
Sasaran per tahun jumlah wisatawan mancanegara dan devisa (rendah dan tinggi) selama Repelita VI,
masing-masing adalah tahun 1994 (3,8-3,95 juta orang; 5,33-5,43 miliar dolar AS), 1995 (4,30-4,56 juta
orang; 5,91-6,13 miliar dolar AS), 1996 (4,78-5,05 juta orang; 6,57-6,94 miliar dolar AS), 1997 (5,30-5,70 juta
orang; 7,28-7,83 miliar dolar AS), dan 1998 (6,00-6,50 juta orang; 8,5-8,94 miliar dolar AS). Jumlah
wisatawan nusantara dengan rata-rata lama tinggal 11 hari, pada akhir Repelita VI diperkirakan mencapai
83,7-84,2 juta orang.
Menurut Menparpostel, ada beberapa butir penting pembangunan pariwisata dan harapan terhadap
para arsitek dalam pembangunan kepariwisataan (Simposium Pembangunan Konurbasi Jakarta-Bandung,
Hotel Homan Ban dung, Januari 1994). Pertama, dari 10 strategi dasar pengembangan pariwisata dalam
Repelita VI, dinyatakan bahwa pembangunan pariwisata dilakukan menyeluruh dan berwawasan lingkungan
serta diversifikasi produk perlu ditingkatkan. Kedua, daya tarik wisatawan mengadakan perjalanan umumnya
disebabkan daerah yang dikunjungi memiliki perbedaan dan keunikan (kekhasan), baik karena wujud alam
maupun buatan manusia. Menurut UU Nomor 9 Tahun 1990, obyek dan daya tarik wisata meliputi ODTW
(obyek daerah tujuan wisata) ciptaan Tuhan yang berwujud keadaan alam, flora dan fauna, serta ODTW hasil
karya manusia yang berwujud antara lain museum, peninggalan purbakala, sejarah, seni budaya, berbagai
jenis wisata (wisata agro, tirta, buru, petualangan alam), taman rekreasi, dan tempat hiburan.
Ketiga, Bhinneka Tunggallka merupakan kebanggaan kita, yang dengan berbagai kebhinekaan alam,
budaya, etnis, dan agama, telah menyatu dalam Negara Kesatuan AI. Keempat, arsitektur sebagai suatu ilmu
dan sekaligus seni, harus mampu berperan secara aktif dan dinamis di dalam memperkaya hasanah
pembangunan pariwisata. Arsitektur Indonesia sebagai suatu hamparan mozaik percik-percik budaya bangsa

177
dan tradisi, perlu dilestarikan. Kelima, pelestarian arsitektur perlu diletakkan di dalam arti dan konsep yang
dinamis, bahwa pelestarian jangan/bukan diartikan sebagai usaha untuk memproteksi hasil-hasil budaya
secara kaku, melainkan sebagai usaha kepedulian bangsa untuk melindungi dan sekaligus mengembangkan.
Keenam, para arsitek harus mampu berperan secara aktif dan dinamis di dalam dunia rancang bangun
dan rekayasa dengan wawasan yang luas, yang mampu mengantisipasi perkembangan dunia masa depan.
Peran arsitek sangat diperlukan di dalam kreativitas pembangunan pariwisata, baik berupa pembangunan di
lingkungan obyek dan daya tarik kawasan, akomodasi (arsitektur perhotelan), dan non-hotel serta fasilitas
kepariwisataan lainnya. Ketujuh, kreativitas para arsitek diperlukan di dalam pembangunan fisik dan non-fisik,
khususnya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia - para arsitek dituntut melakukan kegiatan
rancang bangun dan perekayasaan serta menekankan konsep-konsep pembangunan berkelanjutan,
menghormati prinsip-prinsip keseimbangan lingkungan dan selalu bermuara pada tradisi dan jati diri bangsa
Indonesia. Kedelapan, pariwisata sebagai suatu fenomena lintas budaya dari bangsa-bangsa di dunia akan
memperkaya wawasan kita di dalam lebih menghormati budaya dan arsitektur antar bangsa yang pada
akhirnya akan memperkaya tradisi dan seni dalam pembangunan Indonesia. (Joop Ave, 1993).

Peran Arsitek
Arsitek sebagai tenaga profesional di bidang perencanaan dan perancangan dituntut peran aktifnya
dalam pengembangan pariwisata, baik dengan melestarikan bangunan dan kawasan bersejarah dan berpotensi
wisata maupun membentuk bangunan-bangunan baru yang berdaya tarik tinggi. Peran arsitek akan terlihat
baik sebagai perancang atau perencana (interior dan eksterior, designer, industrial designer), penunjang
profesi perencana (developer, kontraktor, pengelola proyek), dan profesi lain (birokrat, politisi, pejabat
pemerintah, pengusaha, dan sebagainya).
Jasa arsitek nasional sangat diperlukan dalam pengembangan dunia kepariwisataan, antara lain dalam
memilih lokasi yang sesuai sebagai kawasan wisata, kawasan pemukiman, kawasan rekreasi, pejabat,
kawasan rekreasi masyarakat luas, dan kawasan rekreasi ilmiah. Jasa Arsitek Nasional diharapkan dapat
meningkatkan nilai tambah suatu kawasan sehingga meningkatkan daya saing terhadap kawasan sejenis
lainnya. Akibatnya, jumlah wisatawan yang datang ke kawasan yang ditata olah para arsitek makin meningkat
dan terus berkembang menjadi suatu pusat pertumbuhan lokasi maupun regional. Pada masa yang akan
datang, jalur konurbasi Jakarta-Bandung bisa ditempuh melalui Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur-Bandung,
Jakarta-Cileungsi-Jonggoi-Cianjur-Bandung, atau Jakarta-Karawang-Cikampek-Purwakarta-Bandung, di mana
masing-masing jalur tersebut mempunyai keistimewaan dan kekhasan yang dapat menarik wisatawan.
Angkatan Bersenjata, 23 Februari 1994

Ciptakan Pasar ldaman yang Bersih, Aman dan


Nyaman
Rasanya sulit dipecaya informasi yang menyatakan bahwa 90% pasar di DKI tidak memiliki 1MB,
16.367 dari 81.026 kios atau 20% kios di pasar-pasar di DKI kosong atau non-aktif, pasar berubah fungsi dan
warga DKI lebih enak belanja di pasar pinggir jalan daripada masuk ke pasar lnpres. Tapi demikianlah
kenyataannya.
Cerita tentang pasar memang bukan sesuatu yang indah, kata Syamsul Bahri Nasution wartawan
Gala, Bandung. Ditegaskannya bahwa di Bandung banyak Pasar Amburadul, becek, pengap, kotor, kios yang
kosong, pasar mengalami stroke, retribusi tidak masuk, lokasi tidak cocok, pasar kalah bersaing dengan toko
swalayan, dan pedagang kakilima lebih menarik bagi pembeli. Kelihatannya gambaran seperti ini juga terjadi
di semua wilayah di ibukota DKI Jakarta. Pasar Kebayoran Lama, Pasar Pesing, Pasar Kebon Melati, Pasar

178
Pademangan, dan Pasar Klender memerlukan perhatian semua pihak agar menjadi pasar yang bersih. Untuk
mengatasi pasar yang tidak bersih, tidak aman dan tidak nyaman, sepantasnyalah jika semua warga DKI
memperhatikan himbauan Ciptakan Pasar ldaman yang Bersih, Aman dan Nyaman (BAN atau BERANYAM).

Menuju Pasar ldaman.


Pasar di DKI saat ini ada 213 buah (PD Pasar Jaya, 1988), tetapi berdasarkan RUTR DKI 1985-2005
dinyatakan bahwa jumlah pasar 312 buah dan sampai dengan tahun 2005 masih dibutuhkan 352 pasar yang
memerlukan tanah 155 Ha, Pasar dapat dibedakan atas Pasar lnpres dan pasar Non lnpres yang masing-
masing jumlahnya 59 dan 97 buah. Di samping itu ada sebuah Pasar lnduk (di Jakarta Timur), 2 buah Pasar
Regional (di Jakarta Timur dan Pusat), 21 Pasar Kota dan 33 Pasar Wilayah. Masih ada pasar-pasar jenis
lainnya yang dibuka pada saat tertentu atau menjual barang dagangan tertentu, misalnya Pasar Kaget, Pasar
Malam, Pasar Sayur Menjelang Subuh, Pasar Ular, dan sebagainya.
Permasalahan di setiap jenis pasar harus dilihat berdasarkan segmen pasar yang ditentukan oleh jenis
dan lokasinya (di pusat kota atau pinggir kota). Permasalahan di setiap segmen pasar dan cara mengatasinya
akan berlainan satu sama lain, misalnya Pasar lnpres di Pusat Kota, Pasar Sayur di Pusat Kota, dan Pasar
Buah di Pinggir Kota masing-masing mempunyai permasalahan yang berbeda dan cara penanganan yang
berbeda pula. Upaya perbaikan, peningkatan prasarana dan sarana pasar serta peningkatan pelayanan pasar
harus diarahkan pada perwujudan Pasar ldaman Beranyam sebagai bagian dari Kota Jakarta BMW.
Keberadaan pasar harus mendukung RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) DKI Jakarta 1985-2005,
Pol a Dasar Pembangunan Daerah, RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota), dan RTK (Rencana Terinci Kota).
Selain menuju pasar idaman yang beranyam, keberadaan pasar juga harus sesuai dengan peruntukan tanah
dalam bentuk Sentra Primer, Sentra Sekunder, Sentra Tersier, Sentra Lingkungan, Pengembangan Ribbon,
dan tempat pelayanan di daerah pemukiman baru.
Pasar di Sentra Primer antara lain merupakan pusat perbelanjaan utama, pasar, pertokoan, departemen
store, yang dilengkapi bank, kantor perusahaan, fasilitas olahraga dan rekreasi, sosial, kesehatan dan
pendidikan (standarnya adalah 90 Ha untuk menampung 46.000 tenaga kerja jasa dan 15.000 tenaga kerja
Pemerintah). Sentra Primer terdiri dari Pasar Glodok, Tanjung Priok, Senen, Tanah Abang, Jatinegara,
Manggarai, dan Sentra Primer Baru di bagian Barat (Puri Kembangan) dan Timur (Pulo Gebang) Jakarta.
Sentra Sekunder tersebar di seluruh Wilayah Kota. Sentra Tersier merupakan pasar di tingkat Kecamatan,
Sentra Lingkungan untuk Kelurahan, dan Pengembangan Ribbon adalah arah memanjang di sisi kiri-kanan
jalan.
Upaya menciptakan pasar beranyam bukan hanya menjadi tanggungjawab PD Pasar Jaya saja, tetapi
merupakan tanggungjawab semua pihak, yaitu pengelola pasar di samping PD Pasar Jaya, petugas
keamanan, pedagang di dalam pasar dan pedagang kakilima serta pedagang lainnya di kawasan pasar, kulit
dan penjual jasa lainnya yang mengandalkan penghasilannya dari pasar, aparat Pemda Tingkat Kecamatan,
Kelurahan, Lingkungan sampai ke aparat RW dan RT di mana pasar berada, pengunjung dan pembeli warga
DKI yang menetap, musiman, nglaju, tamu, turis lokal dan asing. Mereka menyatu dan saling berinteraksi
dalam suatu sistem pasar.
PD Pasar Jaya yang telah mencanangkan motto kerja SIM (Senyum, lmbauan, dan Mantap)
berkewajiban menyusun peraturan dan ketentuan perpasaran, membina, memberikan kursus, melatih, dan
meningkatkan kemampuan karyawannya serta pedagang, meremajakan pasar, mengarahkan pembentukan
koperasi pedagang di pasar, menyarankan pedagang dan pengelola pasar agar murah senyum, menghimbau
atau memperingatkan para pelanggar kebersihan, keamanan dan kenyamanan pasar, memberikan pelayanan
kepada masyarakat pengguna pasar secara mantap, dan melakukan berbagai upaya ke arah penciptaan
pasar yang bersih, aman, dan nyaman.
Pedagang perlu menjaga keamanan dan ketertiban tempat jualannya menyusun barang dagangan
dengan teratur agar disenangi calon pembeli, memelihara kebersihan tempat dagangnya, mematuhi pembayaran
retribusi, menyediakan alat pemadam kebakaran, menepati waktu buka dan tutup tempat usahanya, dan
mematuhi peraturan serta ketentuan berdagang di pasar. Kuli dan penjual jasa perlu berpakaian kaos
seragam dan perlu membantu petugas kebersihan. Pengelola pasar harus memberikan pelayanan sebaik-

179
baiknya, baik di tempat parkir, we umum, pelayanan telepon Uika ada), P3K, menerima pelaporan dan
keluhan pengunjung, dan berusaha semaksimal mungkin mewujudkan pasar yang beranyam.
Bersih harus dibuktikan dengan tidak ada sampah tercecer, tersedia bak atau tong sampah yang
ditempatkan secara merata di pasar, ada TPS (tempat penampungan sementara) sampah dan kontainer,
gang dan jalan di pasar tidak becek, penerangan cukup, bangunan pasar tidak mudah ambruk, dinding dan
tembok terhindar dari corat-coret, dan pewadahan, pengumpulan, pemindahan, dan pengangkutan sampah
dilakukan secara teratur.
Aman diwujudkan dengan tidak adanya copet dan gangguan kriminal lainnya, tersedia peralatan
pemadam kebakaran, kabel-kabellistrik terbungkus dan teratur (tidak menimbulkan kortsluiting dan kebakaran),
perasaan bebas dan lega pada saat berbelanja, tidak takut ditipu baik oleh pedagang atau kuli, dan bebas
pencongkel kendaraan di tempat parkir.
Nyaman perlu diperlihatkan oleh tersedianya tempat parkir yang cukup dan lalulintas di pasar lancar,
gang di dalam pasar tidak sempit dan tidak licin, ada taman walaupun kecil, tersedia pos keamanan dan P3K,
papan pengumuman pasar dan tempat memasang iklan barang dagangan, ada pertukaran udara di dalam
pasar, pedagang mengesankan, dan kuli serta penjual jasa harus bertindak sopan.
Kondisi pasar yang beranyam hanya bisa diciptakan jika semua warga DKI merasa memiliki dan
mencintai pasar. Tanpa rasa memiliki dan mencintai pasar, mustahil mereka akan berperan serta di dalam
menciptakan pasar yang kita idam-idamkan. Pemasangan spanduk dan papan himbauan hidup bersih dan
sehat, perlu dilakukan di halaman pasar. Pengelola pasar harus tidak henti-hentinya mengingatkan pegawainya
agar menghimbau atau memperingatkan para pedagang untuk meningkatkan pelayanan di pasar. Pasar yang
kurang baik pelayanannya tidak akan disenangi pengunjung, sebaliknya pasar yang ditata dengan baik dan
para pedagangnya sopan, tidak menggetok harga, dan melayani pengunjung dan calon pembeli dengan
senyum, pasti akan selalu dikunjungi banyak orang.
Aparat Pemda perlu secara teratur mengadakan Iomba-Iomba, antara lain Iomba kebersihan, keamanan,
dan kenyamanan pasar, Iomba satpam teladan, Iomba pedagang teladan, Iomba penataan kakilima kawasan
pasar, dan sejenisnya. Melalui Iomba-Iomba ini diharapkan agar pola hidup pengelola dan pedagang di pasar
akan mengarah pada peningkatan pelayanan, kebersihan, keamanan dan kenyamanan pasar. Dalam
penyelenggaraan Iomba-Iomba tersebut, juga dapat dipilih pasar yang jorok (tidak bersih), tidak aman, dan
tidak nyaman, sehingga masing-masing pasar akan berlomba untuk menghindari predikat yang ditakuti
tersebut. Pasar yang sudah memperoleh predikat jorok, tidak aman dan tidak nyaman, pasti akan kehilangan
pengunjung. lni berarti akan menutup dan bahkan bisa mematikan mata pencaharian mereka.
Pasar harus memiliki prasarana dan sarana kebersihan, keamaan dan ketertiban, taman dan ruang
terbuka hijau. Pedagang sayur di pagi buta menjelang subuh yang berdagang di sisi jalan yang menjaga
kebersihan tempat dagangannya, pengaturan sampah dan keamanan di pasar lnduk, penjagaan keamanan di
Pasar lnpres Senen dan Tanah Abang, petugas Hansip di pasar swalayan, petugas Dinas Kebersihan
dengan kendaraan compactor dan container-nya, tenaga PKK dengan peran bantunya dalam membudayakan
hidup bersih dan sehat, petugas Depkes yang memberikan penyuluhan kesehatan lingkungan dan persyaratan
kesehatan pengelolaan sampah, petugas PU dengan petunjuk penyediaan prasarana dan sarana kebersihan
kota, petugas Kecamatan dan Kelurahan yang selalu memantau kebersihan wilayahnya, pedagang kakilima
dan asongan yang berdagang secara teratur, akan mendukung penciptaan pasar idaman yang beranyam.
Pasar idaman yang beranyam dan BMW, ditunjukkan oleh bersih fisik pasarnya, pedagangnya,
pengelolanya dan peraturan serta ketentuan yang berlaku, manusiawi dalam pengelolaan pasar sehari-hari,
dan wibawa para petugas, pengelola, dan aparat Pemda-nya.
Neraca, 13 Januari 1990

180
Warga DKI, Cintailah Pasar
Sangat kontradiktif, makanan dan minuman kita yang bersih dibeli di pasar becek, pengap, tidak
nyaman dan banyak copet. Tugas kita bersama sebagai warga ibukota adalah turut berperan serta
menciptakan pasar yang bersih, aman, dan nyaman di kota Jakarta yang BMW.
Peran serta masyarakat bersama pedagang dan pengelola pasar beraneka ragam jenisnya disesuaikan
dengan tipe dan fungsi pasar, antara lain pasar kota, pasar wilayah, pasar lingkungan, pasar lnpres, pasar
induk, pasar regional, dan pasar-pasar liar di sepanjang jalan baik pada siang, sore, malam hari, menjelang
subuh, dan pagi hari.

Pasar
Pasar adalah tempat para penjual dan pembeli saling berhubungan dengan mudah untuk melakukan
transaksi perdagangan (Ensiklopedi Indonesia). Dalam pengertian terbatas, pasar ialah tempat tertentu atau
tetap, pusat memperjual-belikan, biasanya dan terutama barang-barang keperluan hidup. Ada pasar menu rut
kampung atau letaknya (Pasar Kebon Kacang, Pasar Cikini), hari ramainya (Pasar Senin, Pasar Minggu),
dagangan utama (Pasar Ular, Pasar Burung, Pasar Cipulir) dan kekhususan (Pasar Kaget, Pasar Ular).
Permasalahan tentang pasar tidak pernah berhenti. Pasar yang kotor, becek, saluran macet, gelap,
pengap, mudah terjadi kebakaran, copet dan tangan jahil, lalat dan sulit parkir hampir selalu dijumpai. Belum
lagi banyak kios yang kosong, tidak laku dan pedagangnya non-aktif, lokasi yang kurang strategis, bangunan
yang kualitasnya rendah, pedagang kakilima yang menghambat jalan masuk ke pasar, persaingan tidak sehat
dengan pasar swalayan dan pusat pertokoan, pembayaran retribusi yang tidak lancar, tidak memiliki 1MB,
kesemuanya turut menghambat upaya perwujudan pasar yang bersih, aman dan nyaman.
RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) DKI Jakarta 1980-2005 menegaskan bahwa pasar-pasar di
ibukota dibangun untuk menunjang pengembangan Sentra Utama (Primer), Sentra Sekunder, Sentra Tersier,
dan Sentra Lingkungan (Sentra Lokal). Sentra Primer terdiri atas enam lokasi (Giodok, Tanjung Priok, Senen,
Tanah Abang, Jatinegara, dan Manggarai) ditambah dua lokasi baru (Barat dan Timur). Sentra Sekunder
mempunyai jangkauan pelayanan lingkup Kecamatan, Sentra Tersier melayani kebutuhan penduduk pada
tingkat Kelurahan, dan Sentra Lokal menjangkau lingkungan (neighbourhood). Di samping itu ada daerah
pengembangan Ribbon (memanjang), yaitu pengembangan kegiatan jasa, komersial dan perkantoran di
sepanjang sisi jalan. RUTR dijabarkan ke dalam RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota) untuk tigapuluh
Kecamatan (tersebar di Lima Wilayah Kota: 7 di Pusat, 5 di Utara, 5 di Barat, 7 di Selatan, dan 6 di Timur).
Pengembangan Pasar Lokal disesuaikan dengan RTK (Rencana Terinci Kota) yang sekarang baru ada 30
lokasi (daerah kelurahan) dari 80 yang direncanakan.
Pembangunan Pasar sebagai bagian dari fasilitas umum bertujuan untuk mewujudkan pelayanan baik
fisik, sosial, mental maupun spiritual yang memadai, mencukupi dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat.
Sasarannya adalah pemenuhan fasilitas pasar secara bertahap, baik kuantitas maupun kualitasnya. Dari
kebutuhan pasar sebanyak 664 pada tahun 2005 dan saat ini jumlahnya 312 buah, maka masih dibutuhkan
352 pasar yang memerlukan tanah seluas 155 Ha. Data yang diperoleh dari PD Pasar Jaya menunjukkan
jumlah pasar saat ini hanya 213 buah yang terdiri dari 1 pasar induk, 2 pasar Regional, 21 pasar Kota, 33
pasar Wilayah, 59 pasar lnpres, dan 97 pasar Lingkungan atau Non-lnpres. Kios yang kosong ada 16.867
(21 %) buah dari jumlah kios sebanyak 81.206 buah.
Sampai dengan bulan Juni 1989 yang lalu, dari 154 pasar di DKI Jakarta ternyata hanya 15 (90%)
yang memiliki 1MB. Hal ini disebabkan pengurusan 1MB tidak dapat mengejar pembangunan pasar yang
semakin mendesak untuk mengejar standar penyediaan pasar 0,15 Ha bagi 5.000 penduduk. Pasar lnpres
semakin dipacu untuk berkembang menjadi pasar komersial, setelah melalui peremajaan. Peremajaan pasar
selain aspek fisik, juga aspek pembinaan dan bimbingan terhadap para pedagangnya. Upaya yang telah
dilakukan oleh PD Pasar Jaya selama ini yang bisa dikatakan merupakan langkah awal peningkatan pasar
dan pemeliharaan keberadaan serta kehidupan pedagang di pasar tradisional, antara lain penyelenggaraan

181
penataran pedagang (Peraturan dan ketentuan perpasaran, peningkatan pelayanan, penyajian barang dagangan
yang teratur, organisasi dan manjemen, administrasi dan keuangan, dan perkoperasian), informasi kredit,
peremajaan pasar, dan penciptaan pasar yang bersih, aman dan nyaman.

Rasa Memiliki dan Mencintai


Untuk menciptakan pasar yang bersih, aman, dan nyaman, kita harus melihat segmen pasar
berdasarkan lokasi pasar (di pusat kota dan pinggir kota) dan jenis pasar (pasar Kota, Wilayah, Lingkungan,
lnpres, lnduk Regional, dan pasar Sore, Malam, dan Subuh). Di semua pasar tersebut, Warga DKI
(pedagang, pengelola, aparat Pemerintah, dan masyarakat) dituntut tanggungjawab dan peran sertanya serta
rasa memiliki dan mencintai pasar, sehingga mendukung berbagai upaya untuk meningkatkan kebersihan,
keamanan dan kenyamanan pasar.
Agar bersih, prasarana dan sarana kebersihan harus memadai. Tempat parkir untuk kendaraan dan
sepeda motor harus cukup tersedia, tempat sampah harus disediakan mulai dari tong sampah, bin, tempat
pewadahan sampah, sekop, garu, gerobak, kontainer dan lokasi penempatannya. Petugas sampah di pasar
harus bekerjasama dengan petugas Dinas Kebersihan agar sampah yang dikumpulkan dalam kontainer
selalu cepat diangkut dan dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir). Kebersihan di halaman pasar, di
dalam gang, dan di tempat-tempat penjualan harus dipelihara dengan baik. Pembeli tidak boleh seenaknya
membuang sampah, pedagang harus menjaga kebersihan tempat dagangnya, dan petugas harus bekerja
dengan baik dan tidak segan-segan memperingatkan para pelanggar kebersihan pasar. Kebersihan pasar
juga termasuk menghindari pasar dari corat-coret dan pemasangan iklan barang dagangan yang tidak teratur.
Sebaliknya pasar menyediakan sebuah papan besar khusus untuk pemasangan iklan dan promosi barang
dagangan.
Keamanan perlu dijaga oleh petugas, dibantu oleh para pedagang, penjual jasa di pasar dan pembeli.
Di samping itu, juga bisa meliba,tkan tenaga keamanan dan Hansip Kelurahan. Untuk mengurangi ruang
gerak copet dan sejenisnya, para penjual jasa pembawa barang belanjaan dan pedagang kakilima sebaiknya
menggunakan kaos seragam pasar. Keamanan harus diciptakan mulai dari tempat parkir, taman, jalan ke
pasar, dan di dalam pasar. Perlu dipertimbangkan adanya tempat penitipan barang belanjaan.
Kenyamanan perlu diciptakan agar pembeli tertarik untuk datang. Tempat parkir harus mudah dan arus
lalu-lintas lancar, petugas pengelola pasar harus mudah dihubungi, taman pasar perlu ada walauupn kecil,
WC umum perlu tersedia, kantor pos pembantu perlu ada, P3K disediakan, gang tidak sempit dan becek,
penerangan di pasar memadai, barang dagangan ditata dengan baik, pelayanan oleh para pedagang harus
baik, jenis barang dagangan dikelompokkan, dan tersedia tempat untuk istirahat bagi para pengunjung.
Penciptaan suasana yang nyaman perlu dilandasi oleh rasa memiliki dan mencintai pasar bagi setiap warga
ibukota yang kemudian diwujudkan dalam peran serta dan partisipasi yang tinggi dari semua pihak.
Tiap pasar harus mempunyai daya tarik tersendiri, misalnya Cipulir, dengan Jeans-nya, Blok M dengan
Sarinah Jaya-nya, lnpres Senen dengan barang-barang yang harganya murah, Tanah Abang dengan tekstil-
nya, Glodok dengan elektronik-nya, Sawah Besar dengan onderdil kendaraan-nya, dan sebagainya. Kios-kios
yang kosong sebaiknya diisi dengan barang dagangan sejenis, misalnya mainan anak, kegiatan menjahit, dan
sejenisnya sehingga kesan pasar kosong bisa dihilangkan. Pada mulanya pasar lnpres Cipulir kosong, tetapi
setelah para pedagang jeans menyatu maka pasar tersebut berkembang sangat pesat. Bukan tidak mungkin
jika pasar-pasar lnpres lainnya juga dikembangkan misalnya menjadi pusat penjualan sepatu, mainan anak-
anak, dan sebagainya.
Kebersihan, keamanan dan kenyamanan di pasar-pasar sesaat (sore, malam, dan subuh) perlu
ditangani sendiri, karena lokasinya yang memang terbuka dan terletak di jalan umum. Jika para pedagang
sayuran yang berjualan menjelang subuh di sepanjang jalan Kebayoran Lama dan di jalan-jalan lainnya
menjaga kebersihan di tempat dagangannya, niscaya penanggulangan sampah akan berjalan lancar.
Demikian pula di pasar Regional dan pasar lnduk, pengangkutan sampah harus teratur sehingga penumpukan
sampah dapat dihindari. Lain halnya dengan pasar di pinggiran kota, penanganan masalah kebersihan,
keamanan dan kenyamanan tidak sesusah penanganan pasar di pusat kota.
Peran serta masyarakat harus dibuktikan dengan keikutsertaan pengunjung di dalam upaya-upaya

182
penciptaan pasar yang bersih, aman dan nyaman. Misalnya, pengunjung memarkir kendaraan secara teratur,
tidak membawa atau memakai perhiasan yang menyolok, membawa uang ke pasar secukupnya, tidak
membuang sampah sembarangan, ikut memelihara taman pasar, dan melaporkan kepada petugas jika terjadi
kecopetan, tidak senonoh atau tindakan kriminal lainnya. Pengunjung juga harus bersedia menyampaikan
saran atau pendapatnya yang disampaikan melalui kotak saran yang telah disediakan oleh pengelola pasar.
Agar disenangi pengunjung dan pembeli, pasar harus ditata secara teratur mulai dari pemasaran merek
pasar yang jelas, penempatan kontainer dan tempat penampungan sampah sementara yang tidak menimbulkan
bau tidak sedap, mudah parkir dan aman, penjual jasa atau tukang angkut barang belanjaan bertindak sopan
dan tidak pasang tarip, ada pos keamanan dan P3K, ada telepon pengelola pasar atau telepon umum,
penerangan di dalam pasar memadai, gang dalam pasar tidak sempit dan tidak becek, ada WC umum,
petugas dan pengelola pasar bertindak sopan dan informatif, barang dagangan diatur dengan baik dan
pelayanan para pedagang menyenangkan, harga barang dagangan tidak tinggi, pedagang tidak takut pada
copet dan harus membantu petugas keamanan.
Untuk merangsang peningkatan kebersihan, keamanan dan kenyamanan pasar, perlu diselenggarakan
Iomba kebersihan pasar, Iomba keamanan pasar, dan Iomba K3 atau kebersihan, ketertiban dan keindahan
pasar, pemilihan pengelola pasar teladan, pemilihan pedagang teladan, pemilihan satpam teladan, dan
sejenisnya. Penyelenggaraan Iomba-Iomba ini perlu dilakukan secara reguler dan teratur sehingga semua
pihak akan terus menerus memelihara pasarnya yang terutama didasarkan atas perasaan memiliki dan
mencintai pasarnya.
Pelita, 19 Januari 1990

Teknologi, dari Pencemar ke Arif Lingkungan


Teknik (dekat dengan kata teknologi) diartikan sebagai hal mengerjakan atau mengatur segala sesuatu
yang perlu membuat sesuatu (hasil kesenian atau kepandaian), membuat sesuatu berkenaan dengan
kerajinan, bangunan, dan sebagainya (Purwadarminta, 1952). Sedangkan Pringgodigdo (1973) mendefinisikan
teknik sebagai ilmu pengetahuan yang meliputi perencanaan, konstruksi dan jalannya bangunan, mesin dan
pesawat lain yang dipakai dalam industri dan kehidupan sehari-hari. Jadi teknologi bukanlah semata-mata
hardware, tetapi juga mencakup software. Belakangan ini teknologi juga diartikan sebagai kemampuan,
ketrampilan, dan nilai tambah dari suatu kegiatan tertentu.
Perilaku teknologi menurut Filino Harahap (1975), adalah harga masukan (in-put) tenaga kerja, harga
masukan modal, harga masukan wiraswasta (entrepreneur) dan managerial, harga teknik produksi, dan harga
teknologi yang mencakup kontrak bantuan teknik, know-know, persetujuan lisensi (trade mark), royalties, harga
pengadaptasian teknologi, harga litbang yang berkaitan dengan penciptaan teknologi, sewa riil ruang
produksi, harga berbagai sumberdaya, harga bahan baku, kualitas keluaran (out-put) per satuan waktu, derajat
fluktuasi dan keseragaman keluaran per satuan waktu, tingkat pemanfaatan teknik produksi, dan harga
informasi mengenai teknologi. Perilaku ini semua membawa konsekwensi pengaruh timbal balik dengan
lingkungan dimana teknologi itu diterapkan.
Teknologi arif lingkungan dapat diartikan sebagai teknologi yang menekan dampak negatif (pencemaran
dan kerusakan lingkungan) sampai sekecil-kecilnya. Arif lingkungan mempunyai implikasi luas, yaitu berwawasan
lingkungan dan mendukung pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan
Teknologi, dari mulai yang sederhana, madya, dan tepat guna untuk kegiatan kerajinan dan industri
kecil sampai ke teknologi canggih dalam pembuatan pesawat terbang, kesemuanya diterapkan untuk
membuat lingkungan lebih nyaman. Nawaz Sharif (UN-ESCAP, 1989) menegaskan (memanfaatkan dan

183
mengembangan sumber daya) secara realistis. Ditegaskannya pula bahwa negara-negara berkembang
memerlukan peralatan yang cocok untuk meneliti kelemahan teknologinya dan meningkatkan penguasaan
informasi dalam upaya menguasai pasar. lni didasarkan atas pentingnya peran teknologi dalam pembangunan,
yaitu perlunya pembangunan yang berorientasi teknologi, peran teknologi dalam pemacuan yang berorientasi
teknologi, peran teknologi dalam pemacuan nilai sosial, perwujudan integritas tekno-ekonomi, penerapan
teknologi dalam perusahaan dan industri, potensi dan iklim teknologi, kemajuan pembangunan akibat
penerapan teknologi, pemantapan institusi dan manajemen, penguasaan teknologi, dan kenyamanan lingkungan.
Pembangunan berusaha meningkatkan kesejahteraan sosial dan standar kehidupan, pendidikan,
kesehatan, kesempatan kerja dan berusaha bagi masyarakat. Keterkaitan erat antara teknologi, pembangunan
dan lingkungan hidup mulai dirasakan pentingnya sejak Konperensi lnternasional Lingkungan Hidup di
Stockholm (1970) dan ditegaskan kembali oleh UNEP pada Sidang di Nairobi (1982). Komisi Brundtland yang
dilahirkan dari sidang ini telah menyusun laporan berjudul Our Common Future (1987) yang melahirkan konsep
pembangunan berkelanjutan (sustaintable development: meeting the needs of the present). Landasan konsep
pembangunan berkelanjutan adalah interaksi antara pembangunan (via teknologi), lingkungan hidup,
kependudukan dan lingkungan sosial. Sebelumnya, Indonesia telah menerapkan konsep pembangunan
berkesinambungan, yaitu menghendaki berterusnya pembangunan dari generasi ke generasi dan pada
hakekatnya konsep ini merupakan perwujudan asas pemerataan serta solidaritas antar generasi (Kismadi, 1990).
Definisi sederhana pembangunan berkelanjutan di Indonesia adalah pembangunan yang dapat memenuhi
kebutuhan dan aspirasi masa kini maupun masa depan secara merata.
Pentingnya masalah pembangunan dan lingkungan hidup, diingatkan oleh Bank Dunia melalui
publikasi Bank Dunia Tahun 1992. Laporan ini menyebutkan keterkaitan yang sangat erat antara kegiatan
ekonomi sebagai kunci pembangunan dan lingkungan hidup. Kegiatan ekonomi (barang dan jasa yang
diproduksi), efisiensi (input yang digunakan per unit output dalam ekonomi), teknologi, dan substitusi
(kemampuan mengganti atau menyediakan sumber-sumber karena menjadi langka), akan turut menentukan
sejauh mana lingkungan terganggu. Penyebab kerusakan lingkungan bisa diakibatkan oleh teknologi, sikap
man usia, dan investasi yang keliru. Meningkatnya jumlah penduduk, pendapatan, dan pertumbuhan ekonomi,
mengakibatkan peningkatan kebutuhan pangan, sandang, dan papan serta meningkatkan timbulan (produksi)
emisi, sampah, limbah, pencemaran, dan menimbulkan dampak negatif, jika pengendalian tidak dilakukan
dengan baik.

Kebijaksanaan
Untuk melaksanakan dan mengamankan penerapan teknologi arif lingkungan yang berwawasan
berkelanjutan, Bank Dunia (1992) telah menyodorkan konsep keterkaitan kegiatan ekonomi dan lingkungan
(Lihat Tabel). Tabel ini memperlihatkan tiga sub-sistem, yaitu kebijaksanaan (tiga kotak di atas), keterkaitan
(lima kotak di tengah), dan manfaat lingkungan (tiga kotak di bawah). Kebijaksanaan ekonomi, lingkungan
dan investasi lingkungan merupakan acuan pembangunan. Skala ekonomi, struktur keluaran, efisiensi
masukan-keluaran, dan kerusakan lingkungan per unit masukan saling terkait dan menghasilkan kualitas
lingkungan. Penerapan teknologi arif lingkungan akan mewujudkan pembangunan berkelanjutan, dengan
terciptanya lingkungan yang baik dan nyaman, minimumnya dampak negatif kerusakan dan pencemaran
lingkungan, efisiensi tinggi, dan teknologi bersih lingkungan.
Pada tingkat makro, kebijaksanaan mengandung dua unsur, yaitu insentive (market-based policies)
dan restriksi kuantitatif (command-and-control policies). Standar harus realistis dan bisa diterapkan, pengawasan
harus konsisten dan sejalan dengan kebijaksanaan bidang lain, dan kombinasi berbagai kebijaksanaan
sangatlah diperlukan. Kebijaksanaan juga perlu difokuskan pada penciptaan komitmen politik, peningkatan
sistem informasi, pemantapan institusi dan koordinasi, penyempurnaan peraturan perundang-undangan, dan
peningkatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan.
Bank Dunia menyarankan tujuh butir penting yang harus diperhatikan yaitu masukan issue lingkungan
ke dalam proses pembuatan keputusan, pandang kepentingan manusia sebagai prioritas administrasi dan
manajemen, lakukan banding membanding (tradeoffs) dan minimumkan dampak negatif, lakukan penelitian
dan pengembangan serta kumpulan informasi selengkap mungkin, latih orang dan bentuk forum komunikasi

184
lingkungan, dan yang terakhir, pencegahan lebih murah dibandingkan penanganan masalah. Untuk masyarakat
internasional, perlu digali sumber-sumber dana pembangunan yang berorientasi lingkungan, investasi litbang,
dan perlu perhatian bersama terhadap upaya pelestarian lingkungan. Tanpa teknologi dan penerapannya
pada biaya yang tepat, perbaikan lingkungan sulit diwujudkan. Tetapi tanpa kebijaksanaan lingkungan yang
tepat penerapan teknologi juga tidak akan dapat menolong situasi.
Kelihatannya Indonesia perlu mengantisipasi konsep pembangunan ekonomi dan lingkungan yang
disodorkan Bank Dunia. Pembangunan khususnya untuk menangani kemiskinan merupakan keharusan yang
mutlak. Jumlah penduduk sekitar 210 juta pada tahun 2000 harus diimbangi dengan peningkatan kualitas
sumber daya manusia. Lingkungan sosial perlu ditata sebagai bagian dari sistem lingkungan hidup. Proses
pembangunan harus berada di bawah suatu ambang batas lingkungan, dinamis dan perlu dibina terus
menerus.
Dalam menerapkan teknologi arif lingkungan, harus diatur perencanan lokasi yang baik dan tepat,
pemilihan proses produksi (misalnya pengelolaan limbah), penggunaan teknologi yang tepat lingkungan atau
arif lingkungan, dan penentuan target group yang memperoleh manfaat dari penerapan teknologi tersebut.
Penggunaan sumber daya alam harus dilakukan sehemat dan seefisien mungkin, penyelamatan dan
pemulihan kualitas lingkungan perlu diprioritaskan, dan keseimbangan pengelolaan ketersediaan sumber
daya harus terjamin. Yang tidak kalah pentingnya adalah memadukan dan menyerasikan konsep dan metoda
ekonomi dengan lingkungan ke dalam konteks ekonomi pembangunan
Kehadiran BAPEDAL melalui Keppres Nomor 23 Tahun 1990 sangat tepat dalam menyongsong
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. BAPEDAL dan lnstansi terkait, perlu secara
bersama-sama melaksanakan pengendalian dampak lingkungan hidup yang meliputi upaya pencegahan
kerusakan, penanggulangan dampak serta pemulihan kualitas lingkungan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Lebih spesifik lagi, merumuskan kebijaksanaan pelaksanaan upaya pengendalian
pencemaran lingkungan, melaksanakan upaya pengelolaan limbah bahan beracun dan berbahaya, memantau
dan mengendalikan kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup, melaksanakan
pengembangan laboratorium (pengolahan data dan informasi mengenai pencemaran lingkungan), dan
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian dampak lingkungan hidup.
Neraca, 14 Juli 1992

185
Tabel. Kegiatan Ekonomi dan Lingkungan

Kebijaksanaan Kebijaksanaan lnvestasi lingkungan,


Ekonomi mempengaruhi lingkungan mengubah biaya dan
produktivitas dan insentif untuk menghasilkan manfaat
komposisi output penggunaan lingkungan

!''"\..

- ~f
I I

Skala ekonomi Struktur Efisiensi Kerusakan Kualitas


X X X =
(income per Output Input- Output lingkungan Lingkungan
capita X per unit
I'
penduduk output

It

Kebutuhan Efisiensi Teknologi bersih


peningkatan lebih besar menurunkan emisi,
lingkungan yang menurunkan limbah, degradasi,
lebih baik, kebutuhan dan kerusakan
tumbuhnya income untuk input lingkungan
per capita sumber-sumber

Sumber: World Bank Development Report: The Challenge of Development, 1992.

Taman-taman Di DKI Jakarta Akan Habis?

Sebagai lbukota Negara Republik Indonesia dan propinsi pintu gerbang Indonesia, Pemerintah DKI
Jakarta menyelenggarakan pemerintahan yang bersifat khusus (UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan
Pemerintah Daerah Khusus lbukota Negara Republik Indonesia Jakarta), antara lain tempat penyelenggaraan
Sidang Umum MPR, pusat kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara, pusat kegiatan kehidupan politik
nasional, tempat penyelenggaraan acara-acara kenegaraan, tempat kedudukan kedutaan, serta tempat
pengaturan dan pembinaan wilayah DKI NRI Jakarta sehingga mencerminkan citra masyarakat Indonesia
yang berkepribadian nasional. Pertamanan memegang peranan penting dalam meningkatkan daya tarik,
kenyamanan, keserasian, serta menciptakan wajah kota metropolitan Jakarta yang modern, bersih, manusiawi,
dan berwibawa.

186
Potret Taman
Pengelolaan pertamanan dikenal sebagai salah satu usaha untuk mewujudkan kota yang sejuk, hijau,
berbunga, dan nyaman. Kegiatannya menyangkut berbagai bentuk lingkungan permukiman, dari lingkungan
permukiman mewah (yang serba wah dengan rumah gedung putihnya), rumah di hotel, lingkungan rumah
sewa mewah dan sewa murah, rumah yang dibangun swasta, rumah yang dibangun dengan fasilitas KPR
BTN, rumah sangat sederhana, rumah kost, asrama mahasiswa, sampai ke lingkungan permukiman kumuh
(slums) dan rumah liar (squatters).
Dinas Pertamanan DKI Jakarta harus memeras otak, paling sedikit berusaha mempertahankan taman-
taman yang ada dan mencari upaya untuk menciptakan taman dan ruang terbuka hijau yang baru, sebagai
paru-paru lbu Kota. Buku Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah (NKLD) DKI Jakarta yang
tahun 1992 ini memperoleh juara pertama dinilai oleh Menteri Negara KLH (di atas Jawa Barat dan Jawa
Timur) menginformasikan bahwa ada delapan taman Peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu
Kompleks Mesjid lstiqlal (Wilhelmina Park), Taman di depan MBAD (Fromberg Park), Taman Monas
(Koningsplien), Taman lstana Merdeka (Oeca Park), Taman Suropati (Burgermeester Bisschopplein), Taman
Gondangdia (Piantsoen van Heutz Boulevard), TIM (Kebun Binatang Cikini), dan Taman di Selatan lstana
Negara (Taman Air Mancur Hotel Staats Spoor Wegen).
Ruang Terbuka Hijau (RTH) DKI Jakarta direncanakan 40% dari luas kota (650 Km 2), kira-kira 25.000
Ha. Angka ini cukup baik untuk luas pertamanan sekitar 10% atau 6.371 Ha. Pertambahan penduduk yang
cepat, kurang memadai tenaga kerja di bidang pertamanan, kurangnya dana pemeliharaan dan pengawasan,
mengakibatkan banyak taman di DKI Jakarta yang kurang terpelihara sehingga mendekati kehancuran.
Permasalahan pertamanan ditambah lagi dengan pembangunan prasarana dan sarana lingkungan fisik kota
yang pesat sehingga mengakibatkan berkurangnya RTH, beralih fungsinya taman menjadi hotel, perkantoran,
daerah perdagangan, pompa bensin, lapangan parkir, terminal bis, dan sebagainya, serta rendahnya
kesadaran, partisipasi dan peran serta masyarakat dan swasta dalam pemeliharaan taman yang ada.
Dalam dua puluh tahun yang akan datang, jika pemeliharaan, pemantauan dan pengawasan tidak ketat,
diperkirakan taman kota yang luas (makro) akan punah. lni ditunjukkan dengan semakin menurunnya luas
RTH, yaitu dari 32.110 Ha (1972) menjadi 30.900 Ha (1976) dan 27.014 Ha (1979). Yang akan bersisa
hanyalah taman-taman mikro berukuran kecil, seperti jalur hijau, jalan lingkungan, dan taman pekarangan.
Alih fungsi taman menjadi nontaman, terlihat misalnya taman menjadi Hotel Mandarin, pompa bensin di
Taman Pakubuwono VI dan Taman Mataram, Kantor Polisi Taman Puring, lapangan parkir Jalan Tebah,
lapangan tenis Bulungan, Kantor PAM Jakarta Utara, sekolah di Tirtayasa X, tempat perdagangan kakilima
Rajabasa, dan terminal bis Blok M. Pencatatan yang dilakukan Dinas Pertamanan pada tahun 1990 mencatat
182 kasus (1.723.146 m2) alih fungsi taman, yaitu 45 kasus (680.450 m2) di Jakarta Pusat, 21 kasus (328.580
m2) di Jakarta Utara, 28 ksus (43.480 m2) di Jakarta Barat, 60 kasus (630.306 m2) di Jakarta Selatan, dan 28
kasus (39.970 m2) di Jakarta Timur.
Pengusaha Real Estate dan para pemegang SIPPT (Surat ljin Pemegang Pembebasan Tanah) juga
tidak memperhatikan kewajiban melengkapi lingkungan perumahan dan permukiman dengan penyediaan
taman. lni terbukti dari lahan yang seharusnya hijau digunakan untuk bangunan, sengaja belum dibebaskan,
atau belum dibangun taman. Masih beruntung, di balik kelalaian pengusaha real estate ini masih ada para
pengusaha tanaman yang meyediakan berbagai jenis tanaman hias dan bunga baik untuk ditanam di
pekarangan maupun taman mikro. Demikian pula, konsultasi umum dan asistensi teknis pertamanan oleh
Dinas Pertamanan dan lnstansi terkait, cukup banyak dihadiri pengunjung yang berasal dari Jakarta dan luar
kota serta luar negeri.
Perda Nomor 9 Tahun 1982 tentang Struktur organisasi dan tata kerja Dinas Pertamanan serta
peraturan lainnya mengenai keharusan penduduk menanam pohon dan melarang menebang pohon tanpa
ijin, kewajiban pelajar membiakkan tanaman dan menghijaukan lingkungan sekolah, pemeliharaan ketertiban
umum (Perda Nomor 3 Tahun 1972 dan Perda Nomor 11 Tahun 1988), retribusi di bidang pertamanan,
prosedur pelayanan masyarakat di bidang pertamanan, larangan mengubah tanah bengkok, taman kota dan
lapangan olah raga untuk keperluan lain, dan pengelolaan kebersihan lingkungan (Perda 5 Tahun 1988),
diharapkan dapat dijadikan bemper untuk memelihara taman yang ada dan membangun taman yang baru.

187
Upaya Pengendalian
Selain dengan menerapkan berbagai peraturan di atas, dampak pertamanan bisa ditekan melalui
berbagai upaya. Sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 1990, Organisasi dan tatakerja Dinas Pertamanan perlu
ditinjau kembali. Diperlukan status hukum lahan taman dari usaha alih fungsi. Diharuskan kewajiban
menyediakan RTH dengan perbandingan tertentu bagi semua kapling rumah dan bangunan. Lahan-lahan
penunjang RTH seperti situ, danau, hutan kota, dan makam perlu dilindungi. Pengerjaan pertamanan perlu
mengacu pada RUTR 2005, RBWK, dan RTK. Honorarium petugas pertamanan perlu ditingkatkan, disertai
peralatan kerja yang memadai, dan pengawasan serta pembinaan dalam pengelolaan pertamanan juga perlu
ditingkatkan.
Dari luas lbu kota 655 km2, RUTR 1965-1985 mencatat luas daerah penghijauan 23.750 Ha dan luas
daerah pertamanan yang ditargetkan (taman, jalur hijau, dan jalur hijau umum) seluas 6.371 Ha dan RUTR
1980-2005 berusaha memelihara dan membangun taman kota di berbagai lokasi peruntukan tanah untuk
meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan yang nyata, segar, bersih, dan sebagai sarana pengembangan
lingkungan serta menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna untuk
kepentingan masyarakat luas (sesuai dengan lnmendagri Nomor 14 Tahun 1987 tentang Ruang Terbuka
Hijau Kota).
Pada tahun 1991, luas areal RTH yang dikelola Dinas Pertamanan meliputi 1.262 buah (1.931 Ha)
ditambah 4 buah kebun bibit (green house) dan oleh instansi lain dan Swasta ada 43 buah (1.351). Untuk
memelihara dan meningkatkan jumlah taman di ibukota, perlu dilakukan penyuluhan kepada masyarakat,
antara lain dengan membagikan pohon pelindung secara gratis untuk ditanam di lingkungan perumahan dan
permukiman, meningkatkan generasi muda terhadap cinta taman dan lingkungan nyaman, peningkatan
ketrampilan pertamanan, dekorasi tanaman, dan penataan taman di lingkungan kumuh.
Untuk mengatasi alih fungsi taman, dapat dilakukan secara preventif dan kuratif. Preventif dilakukan
dengan meningkatkan pengawasan terhadap RTH oleh petugas lapangan pengawas taman, pengawasan di
tingkat wilayah kota bekerjasama dengan aparat RTH dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar
dapat meningkatkan sadar lingkungan. Represif dilakukan melalui penertiban bekerjasama dengan unsur
terkait dan sepanjang memungkinkan, memfungsikan kembali taman yang selama ini telah beralih fungsi.
Beberapa upaya membebaskan taman dan RTH yang telah dilakukan seperti Taman Teluk Betung (7.015
m2), Taman Kwitang depan Depkes (1.000 m2), Taman Kramat Bunder (2.074 m2), Taman depan Sarinah
Jaya (600m2), Taman Sukapura (1.200 m2), Taman Jalan Kalibata (1.100 m2), dan Taman Jalan Hidup Baru
(12.500 m2), merupakan bukti nyata bahwa upaya memfungsikan kembali taman kota mungkin dilakukan.
Untuk meningkatkan kecintaan masyarakat terhadap pertamanan, sebaiknya penyuluhan pertamanan
kepada masyarakat mencakup pengetahuan tentang berbagai jenis tanaman hias dan bunga yang
dikembangkan, yaitu 6 jenis tanaman penutup tanah, 16 jenis tanaman berbunga penutup tanah, 27 jenis
tanaman dalam ruang (indoor plant), 45 jenis tanaman perdu (semak), 5 jenis tanaman pagar, 14 jenis
tanaman merambat, dan 4 jenis tanaman exotis, disertai kunjungan lapangan ke lokasi kebun pembibitan.
Jayakarta, 4 Agustus 1992

Pengelolaan Pertamanan di DKI Jakarta


Kebersihan kota ditandai dengan penghargaan Adipura, tetapi penilaian terhadap taman kota belum
ada. Pembangunan taman kota di Jakarta, seperti juga hutan kota, telah lama dilaksanakan. Rencana lnduk
Jakarta 1965-1985 sudah menekankan pentingnya pembangunan pertamanan dan RUTR OKI Jakarta 1985-
20051ebih tegas lagi mencantumkan pembangunan pertamanan khususnya Ruang Terbuka Hijau (RTH). Untuk
menciptakan lingkungan kota yang serasi, teratur, bersih, indah, teduh dan sehat. Dinas Pertamanan DKI

188
telah berusaha semaksimal mungkin mengkampanyekan penghijauan kota, membenahi administrasi
pertamanan, menanam pohon secara besar-besaran, mengelola 394 taman kota yang luasnya 1,8 juta M2,
mengelola 654 jalur hijau jalan seluas 4, 7 juta M2, memelihara 46 jalur hijau seluas 12 juta M2, menyediakan
bibit tanaman gratis, dan melaksanakan kegiatan penyuluhan.

Taman
Pembangunan kota Jakarta yang diprioritaskan ke arah Barat-Timur dan me nahan pembangunan ke
Selatan, menuntut Pemda untuk menyediakan sarana dan prasarana kota yang memadai ke arah Barat dan
Timur yang memadai. Pengembangan RTH di DKI Jakarta diprioritaskan pada empat program. Pertama,
pengamanan daerah pantai Barat Laut Jakarta yang diamankan sebagai daerah penahan instruksi air laut
dan abrasi pantai. Oaerah sekitar Muara Angke dijadikan hutan lindung, daerah pengembangan hutan wisata,
olah raga air, dan wisma taman. Kedua, bagian Selatan Jakarta difungsikan sebagai daerah resapan.
Kebijaksanaan pembangunan di daerah ini membatasi kemiringan setinggi-tingginya 10-25%. Ketiga, daerah
hijau pertanian di Wilayah Pengembangan Barat, Wilayah Pengembangan Timur, dan Wilayah Pengembangan
Tenggara.
Keempat, pengembangan RTH dilakukan di sepanjang sungai, sepanjang Cengkareng dan Cakung Drain,
sepanjang Banjir Kanal Timur, di waduk-waduk pengendalian banjir, sepanjang jalur jaringan jalan raya dan
jalan kereta api, dan di bawah atau sepanjang jalur listrik tegangan tinggi, serta pembuatan taman kota serta
tempat rekreasi.
Keempat program ini dipadukan dalam suatu perencanaan ruang terbuka hijau dan rekreasi yang
terdiri atas hutan lindung dan hutan wisata. Hutan pengaman terhadap lapangan terbang Cengkareng, hijau
lingkungan dan tempat rekreasi, daerah pertanian, daerah pengawasan ketat (pelabuhan pergudangan,
industri), daerah resapan air, daerah hijau pengaman sepanjang banjir kanal dan saluran pembuangan, hijau
pengaman sepanjang aliran sungai, dan hijau pengaman sepanjang jalan raya, kereta api, dan di bawah
jaringan listrik tegangan tinggi:
,,, ';. ~~bijaksanaan yang ditempuh didasarkan atas prioritas daerah Kritis (pantai, jalur ali ran sungai,
rEfS-~pan air, pengamanan tegangqn ti~ggi, pemanfaatan tataguna tanah, penyesuaian stan dar perencanaan,
p~a~~9ri~a0. peraturan. perundang~u·ndangan secara konsekuen. RTH OKI Jakarta dir€ncanakan 40% dari
lu9,s· k'dta; sekita( 25.QQO ·Ha. Luas taman ideal mencapai 10% dari total luas kota, yaitu sekitar 6.371 Ha
~~~an· p~ftam~uiar1. 1 '· 1' •· · · i ' · "

.. , \J\'alaupun Dinas Pertamanan dan Dinas-dinas terkait di lingkungan Pemda DKI'Jakarta telah berusaha
mel~ksanakan pembangunan pertamanan, ternyata masih dijumpai berbagai permasalahan. Biro Bina
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (BKLH) telah mengidentifikasi tiga permasalahan utama. Pertama, lahan
pertamanan semakin berkurang sebagai akibat perkembangan kota yang sangat cepat sehingga RTH
semakin sempit. Kedua, banyak dijumpai kerusakan taman kota akibat alih fungsi taman berubah menjadi
hotel, pampa bensin, perkantoran, lapangan parkir, terminal bis dan lain-lain. Ketiga, rendahnya tingkat
kesadaran dan peran serta masyarakat terhadap pemeliharaan taman-taman lingkungan.
Jika pengawasan atas taman-taman kota tidak diperketat dan kesadaran masyarakat terhadap
pemeliharaan taman masih tetap rendah, maka diperkirakan dalam waktu 20 tahun, taman kota di Jakarta
akan hilang dan hanyalah tinggal kenangan. Pengamanan RTH makro (kawasan Muara Angke dan Jakarta
Selatan) haruslah sejalan dengan RTH mikro (taman dan jalur hijau).
Kasus menarik bisa diingat, dengan dipindahkannya warga Senayan ke Tebet (yang ternyata untuk
jalur hijau). Warga digusur untuk keduakalinya dan dimukimkan di rumah susun sederhana PO Pembangunan
Sarana Jaya, tetapi ini pun masih belum sesuai dengan perencanaan lahan kota. Alih fungsi taman kota
menjadi bentuk-bentuk lain hampir terjadi di lima Wilayah Kota. Contoh-contoh bisa dikemukakan, antara lain
perubahan taman menjadi hotel (Mandarin), pampa bensin (Taman Pakubuwowno VI dan Taman Mataram),
kantor polisi (Taman Puring), lapangan parkir (Taman Tebah), kantor (PAM Jakarta Utara), lapangan tenis
(Taman Bulungan), sekolah (Taman Tirtayasa X), lokasi pedagang kakilima (Taman Rajasa), kantor PLN
(Taman Sukapura), dan terminal bis (Taman Blok M). Kasus-kasus alih fungsi taman di DKI pada tahun 1988
mencapai 161 kasus, yaitu 45 di Jakpus, 24 di Jakut, 28 di Jakbar, 60 di Jaksel, dan 4 di Jaktim.

189
Walaupun belum sampai pada tahap yang memuaskan, perhatian masyarakat terhadap pengelolaan
taman sudah meningkat. Terbukti dari pembangunan gedung perkantoran yang membangun taman, tempat
parkir yang ditumbuhi pohon rindang, meningkatnya permintaan bibit pohon, semakin banyaknya kursus-
kursus pertamanan, dan berkembangnya petani tanaman hias. Pemda dari 25 propinsi telah melakukan studi
perbandingan di DKI Jakarta dan mengadakan konsultasi pertamanan dengan Dinas Pertamanan DKI.
Asistensi teknis pertamanan telah dilakukan terhadap beberapa Pemda Tingkat II, Perusahaan, dan
Organisasi, serta studi perbandingan ke luar negeri.
Dalam kondisi keterbatasan tanah, sebenarnya diusahakan untuk menyediakan taman yang memenuhi
standar perencanaan lingkungan pemukiman kota, antara lain 250 M2 taman untuk setiap 250 penduduk
(standar 1 m2 taman per orang), 1.250 m2 taman (sekaligus berfungsi sebagai lapangan olahraga dan
letaknya berdekatan dengan pusat kegiatan RW dan lingkungan) untuk setiap 2.500 penduduk (standar 0,5
M2 per orang), taman dan lapangan olahraga untuk setiap 30.000 penduduk. Standar jalur hijau, 15 M2 per
orang, lokasinya diusahakan menyebar dan sekaligus merupakan filter dari daerah-daerah industri dan
daerah yang menimbulkan polusi.

Pengendalian
Warga kota perlu berpartisipasi dalam pelaksanaan empat program utama pengendalian dampak
pertamanan yang telah dieanangkan oleh Pemda DKI Jakarta. Pertama, penetapan kebijaksanaan dan peraturan
pertamanan yang berkaitan dengan pengendalian dampak. Selain Perda Nomor 9 Tahun 1982 tentang
Organisasi dan Tatakerja Dinas Pertamanan, beberapa produk hukum yang berkaitan dengan pertamanan
perlu dipatuhi, antara lain keharusan penduduk untuk menanam pohon dan larangan menebang, kewajiban
para pelajar membiakkan tanaman dan penghijauan lingkungan sekolah, larangan dan kewajiban tentang
ketertiban (termasuk taman kota, jalur hijau, air maneur, pemotongan pohon), retribusi daerah bidang
pembangunan, prosedur pelayanan masyarakat di bidang pertamanan, dan larangan perubahan tanah
bengkok, taman kota dan lapangan olahraga.
Sambil menunggu UU Pertamanan Kota, perlu diupayakan penyempurnaan susunan organisasi Dinas
Pertamanan, perlindungan status hukum lahan yang telah beralih fungsi dari taman, keharusan menyediakan
ruang terbuka hijau dengan perbandingan tertentu pada setiap kapling tanah, sanksi hukum dan denda yang
pantas, perlindungan terhadap situ, danau, hutan kota dan makam, pengawasan taman sesuai dengan RUTR
dan RBWK serta RTK, penentuan standar upah kerja pertamanan yang layak, dan pengawasan serta
pembinaan terhadap pengusaha taman dan tanaman hias serta fasilitas rekreasi.
Kedua, pembuatan taman kota. Dari target taman kota 6.371 Ha, baru dieapai 3.218 Ha, terdiri atas
pertamanan yang dikerjakan oleh Dinas Pertamanan (1.990 Ha) berupa taman (404 buah), jalur hijau jalan
(695 buah), dan jalur hijau (61 buah), dan taman swadaya (1.337 Ha). Hutan lindung dan eagar alam
dipertahankan, yaitu 50,80 Ha hutan lindung Angke Kapuk, 101 ,60 Ha hutan wisata Kamal Muara, 25,35 Ha
eagar alam Muara Angke, 45,00 Ha eagar alam Pulau Rambut, 15,00 Ha eagar alam Pulau Bokor, dan 10,47
Ha kebun bibit Kamal Muara.
Ketiga, penyuluhan kepada masyarakat tentang kegiatan pertamanan. Pembagian bibit pohon dan
pohon pelindung seeara gratis kepada masyarakat, dimaksudkan untuk merangsang warga kota agar
menghijaukan lingkungannya. Sampai bulan Maret 1988, Dinas Pertamanan telah membagikan 474.576
pohon, Kegiatan Bumi Perkemahan Ragunan bagi generasi muda, dimaksudkan untuk menanamkan einta
taman dan hutan bagi para pelajar, mahasiswa dan pemuda.
Dinas Kehutanan DKI menginformasikan bahwa pada tahun 1988 telah dilakukan penghijauan 31.600
pohon di enam lokasi, yaitu 5.000 pohon di kiri-kanan Jalan Sediyatmo, 5.000 pohon di sepanjang Kali
Cipinang dan Kawasan Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP), 4.500 pohon di Cakung Drain dan
Komplek Pemakaman Semper, 6.900 pohon di Kali Sunter dan Komplek Pemakaman Pondok Ranggon,
5.000 pohon di Marunda, dan 5.200 pohon di sepanjang Sungai Ciliwung. Pohon-pohon yang ditanam terdiri
atas trambesi (3.950), lamtoro gung (7.750), johar (2.520), flamboyan (1.830), asam kranji (2.500), pulai
(200), mahoni (800), saga(3.400), gumae (200), angsana (150), salam (900), aeasia mangium (1.200), asam
Jawa (600), kaliandra (600), dan bakau (5.000). Pohon pelindung (7.640 pohon) juga telah dibagikan kepada

190
masyarakat, yang terdiri atas flamboyan (1.200), asam kranji (1.635), saga (505), johar (295), mahoni (820),
acasia mangium (730), lamtoro gung (930), trambesi (735), bakau (5.000), casia glance (250), dan acalyptus
(20).
Penyelenggaraan kursus pertamanan dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan di bidang
pertamanan. Sampai saat ini kursus pertamanan telah meluluskan 8.320 peserta yang diharapkan dapat
menyebarluaskan dan memasyarakatkan penghijauan di lingkungan masing-masing. Penyuluhan kepada
masyarakat telah mencapai 2.400 obyek dan kegiatan dekorasi taman mencapai 4.885 kali.
Keempat, peningkatan pengawasan dan pengendalian penggunaan lahan hijau pertamanan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Warga kota harus mematuhi petunjuk dan pengarahan
yang diberikan oleh polisi khusus pertamanan dan prajaksa (penyidik), agar tujuan pengembangan dan
pemeliharaan taman kota berjalan lancar.
Upaya perlindungan hutan dan pelestarian alam yang berkaitan dengan pengelolaan pertamanan perlu
ditingkatkan, antara lain konservasi di dalam kawasan (habitat, populasi, dan pengamanan) dan di luar
kawasan (kerjasama dengan Kebun Binatang Ragunan, TMII, Taman lmpian Jaya Ancol, pengelola Bandara
Soekarno-Hatta), operasi gabungan, penertiban perburuan liar, pembinaan hutan lindung Muara Angke,
pembangunan Taman Nasional Kepulauan Seribu, pengembangan wisata alam dan bumi perkemahan,
pembinaan pencinta alam, penyuluhan dan penataran, pengkajian dampak lingkungan, dan perlindungnan
serta pengamanan hasil hutan kota.
Sejalan dengan itu, pengelolaan taman swadaya masyarakat akan sangat membantu dalam upaya
menciptakan lingkungan pemukiman yang bersih, hijau dan berbunga. Warga kota memanfaatkan bekas-
bekas kaleng, ban, drum dan sejenisnya untuk dijadikan pot bunga. Halaman rumah betapa pun kecilnya bisa
dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan pot-pot bunga dan tanaman lainnya yang ikut menciptakan
lingkungan bersih dan nyaman. Taman RW, Lingkungan maupun Kelurahan bisa dipilah-pilah penanganannya
menjadi tanggung jawab RT ataupun kelompok kegiatan PKK (Dasa Wisma) sehingga sekaligus bisa
dilombakan dalam lingkungan RW itu sendiri. Pemasyarakatan pot bunga swadaya masyarakat dapat kita
jumpai di perkampungan Manggadua Selatan, Keagungan dan Tamansari, Kebon Kelapa (dekat Pecenongan),
Cempaka Putih Barat, dan Pisangan Baru Jatinegara.
Taman-taman di jalan umum yang cukup luas sebaiknya dikelola oleh Swasta (dengan mencantumkan
iklan perusahaan di pojok taman), sehingga Pemda tinggal mengkoordinasikan taman-taman yang bertebaran
di ibukota. Berikan kebebasan pada Swasta untuk menata taman yang menjadi tanggungjawabnya dan
secara periodik, selenggarakan Iomba kebersihan taman. Pengelolaan taman oleh Swasta seperti yang
dilakukan di Bandar Lampung, patut ditiru. Seperti juga dalam pengelolaan sampah yang melibatkan peran
serta Swasta dan Masyarakat, maka pengelolaan taman pun bisa dilakukan oleh Pemda bekerjasama
dengan Swasta dan Masyarakat.
Pelita, 4 Agustus 1990

191
lntegritas Pembinaan Pemulung
Adalah wajar jika di tengah-tengah proses pembangunan, di kota besar muncul sektor informal. Suatu
sektor yang menunjukkan citra dinamika kota. Akan tetapi, pertumbuhan sektor informal yang terlalu cepat,
tentu akan mengganggu dinamika kota yang ada. Karena itu, usaha untuk menekan pertumbuhan sektor
informal merupakan suatu upaya yang mulia.
Tahap demi tahap Pemerintah "mengantisipasi" keberadaan sektor informal agar dapat meningkatkan
keharmonisan kehidupan kota. Di ibukota, hasil nyata yang telah dicapai adalah dikeluarkannya Perda Nomor
3 Tahun 1972 untuk menciptakan HASTA TERTIB dan peraturan lainnya untuk mengantisipasi gelandangan
dan pengemis di DKI Jakarta. Sedangkan antisipasi terhadap pedagang asongan adalah inventarisasi dengan
berbagai tindak lanjut agar mereka lebih berperan aktif.
Bagaimana dengan pemulung? Lapisan masyarakat yang dikenal dengan sebutan /askar mandiri telah
menggugah semua pihak untuk mengangkat harkat mereka. Bahkan, Presiden Soeharto pada tanggal 24
Oktober 1988 meminta Gubernur DKI dengan para Walikotanya agar dalam waktu 3 bulan sudah dapat
disusun model pembinaan para pemulung (perangkas, pemungut barang bekas). Suatu tugas mulia yang
berdampak luas. Karena di tengah-tengah proses pembangunan, sektor informal ini mendapat perhatian
langsung dari pemerintah. Bahkan lebih dari itu karena model mengantisipasi pemulung yang dihasilkan di
Jakarta akan dijadikan contoh untuk kota-kota besar lainnya dan dalam skala yang lebih besar. Skala
nasional, terutama kota-kota yang mempunyai kesamaan dalam mengantisipasi sektor informal. Model
penanganan pemulung DKI dinilai pantas untuk dijadikan contoh bentuk antisipasi kota-kota besar lainnya di
Indonesia.

Pemulung
Mengapa model penanganan pemulung DKI yang akan digunakan sebagai contoh? Wajar, karena
Jakarta merupakan barometer pembangunan bagi kota-kota besar di Indonesia. Di samping itu, dengan
memperhitungkan penduduk DKI yang hanya 6 juta jiwa saja (1987), setiap hari dapat terkumpul 8 juta kg
sampah atau 8.000 ton. Padahal, duapuluh persen dari sampah tersebut atau 2 juta kg dapat didaur ulang.
Dari sampah yang didaur ulang ini, 75% atau 1,5 juta kg (1.500 ton) bernilai ekonomis. Dalam setahun akan
dihasilkan 5 juta ton. Dengan nilai rata-rata sampah yang didaur ulang Rp175 per kg atau Rp 175.000 per
ton, maka 5 juta ton sampah dalam setahun berharga Rp 87,5 miliar. Jika sampah kantor pemerintah dan
swasta, hotel dan pasar dihitung, maka nilainya akan mencapai Rp 100 miliar.
llustrasi tersebut cukup memberikan motivasi peranan pemulung untuk dapat menciptakan suatu
kemandirian dalam memacu kehidupan. Belum lagi integritas pemulung terhadap pembangunan yang secara
implisit memberikan suatu peran serta yang tidak kecil dalam pembangunan, sehingga banyak kalangan
masyarakat yang tertarik menangani, mempelajari, memanfaatkan sampah secara optimal.
Karena itu, integritas pembinaan pemulung harus dimulai dengan legalitas mengatur subsistem di
sekelilingnya, khususnya pengusaha yang menampung, mengolah sampah dan barang bekas yang telah
didaur ulang oleh para pemulung. Kegiatan pemulung dan pengusaha daur ulang tidak saling mengganggu
sistem pengelolaan sampah, tetapi saling bersimbiose mutualism. Bahkan Prof. Dr. Didin Sastrapradja, Wakil
Ketua LIPI, menyatakan bahwa pemulung di Jakarta yang berpenghasilan sekitar Rp 300 ribu dan boss
pemulung berpenghasilan Rp 600 ribu per bulan, perlu diorganisir dan diintegrasikan dengan Dinas
Kebersihan DKI.
Pemulung sendiri tidak boleh kita manjakan, sebaliknya ruang gerak mereka tidak boleh dimatikan.
Karena itu, penanganan pemulung dapat diwujudkan melalui integritas pembinaan pemulung, antara lain : (1)
mengajak pengusaha untuk memperbaiki sistem kerja pemulung untuk lebih meningkatkan kesejahteraan
serta kesehatan pemulung, sehingga tidak mengganggu sistem operasional pengolahan sampah, dan (2)
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam meningkatkan efisiensi kegiatan pemulung dalam menunjang
proses daur ulang sampah.

192
Sesuai dengan permintaan Presiden, Pemerintah DKI Jakarta telah menyusun Pola Pembinaan dan
Pengendalian Pemulung di DKI Jakarta. Konon Bandung dan Surabaya juga sudah membuat pola sejenis.
Dalam pola ini terlihat identifikasi pemulung dan perilakunya. dengan integritas subsistem yang mendukung.
Termasuk di dalamnya pengusaha pabrik, dengan berbagai masalah terkait lainnya. Pola penanganan
diarahkan pada upaya penciptaan identitas pemulung, jaringan kerja yang harmonis, penyuluhan dan
pembinaan. Bahkan, penciptaan lapangan kerja dan kemungkinan alih profesi. Lebih jauh akan tercipta suatu
kehidupan dan penghidupan, permukiman dan pergaulan sosial yang manusiawi. Kebijaksanaan integritas
pembinaan pemulung harus melibatkan peran serta pemerintah, masyarakat, dan swasta serta LSM.
Penanganan pemulung harus menghindarkan suatu keresahan masyarakat, gangguan terhadap
ketertiban umum dan lingkungan, serta menempatkan mereka sebagai bagian dari kegiatan operasonal Dinas
Kebersihan. Dengan adanya pola tersebut, integritas pembinaan pemulung dapat tercipta. Bukan berarti
memanjakan mereka, tetapi merupakan upaya penciptaan ketenangan bekerja, ketrampilan dan penghasilan
yang stabil, penciptaan hidup bersih dan permukiman yang sehat. Dari sini, tercipta enam langkah integritas
pembinaan dan penanganan pemulung, yaitu bina wisma, bina usaha, bina sosial, bina kependudukan, bina
karya, dan bina lingkungan.
Pendekatan teknis terhadap pemulung dapat dilakukan secara konvensional, yaitu melakukan pemisahan
sampah seawal mungkin sejak sampah diperoleh dari sumbernya. Karena dengan usaha pemisahan sampah
makin awal, akan menunjukkan suatu hasil optimal. Karena berdasarkan hasil liputan menunjukkan bahwa,
sekitar 20% dari sampah dalam proses pengumpulan dan pengangkutan masing-masing dapat didaur ulang
(recyclingable). Sedangkan sampah yang sampai ke Lokasi Penampungan Sementara (LPS) sekitar 1,1 %. lni
menunjukkan bahwa dengan pemisahan sejak awal sumber sampah dapat meringankan beban pengangkutan
sampah sampai ke Lokasi Pembuangan Akhir (LPA).
Penelitian yang dilakukan oleh BPPT untuk melihat seberapa jauh kesediaan masyarakat untuk
memisahkan sampah rumahtangga, telah dilakukan sejak 1985. Pada tahun itu, dengan metoda wawancara
ternyata bahwa 42% dari 1.500 responden (kepala keluarga) di lokasi penelitian DKI Jakarta, bersedia
memisahkan sampah rumah tangga. Dua tahun kemudian, dengan metoda wawancara dan membagikan
kantong plastik 2 warna (untuk sampah basah dan kering) kepada 100 warga Rumah Susun Kebon Kacang
Jakarta Pusat, ternyata 72% bersedia memisahkan sampah sebelum dibuang ke LPS atau bak sampah.
Penelitian pada tahun 1989 dengan metoda pembagian kantong plastik 2 warna dan penyediaan
tempat sampah komunal 2 warna (kontainer komunal) terhadap penghuni Blok 7 dan 8 Rumah Susun Kebon
Kacang, ternyata menyimpulkan bahwa 89% warga bersedia memisahkan sampah basah dan kering. Jika
pemisahan sampah basah dan kering berjalan lancar, tahap berikutnya adalah memisahkan 5 atau 6 jenis
sampah, seperti yang telah dilakukan di Jepang dan Jerman Barat. Walaupun dengan pola konvensional,
usaha ini telah dapat menunjukkan hasil kerja yang optimal untuk terciptanya integritas pembinaan pemulung.

Potensi
Terlepas dari istilah penanganan, pembinaan, pengelolaan, pengawasan atau pengendalian pemulung,
sebenarnya kita sepakat agar pemulung atau laskar mandiri itu diperhatikan pola kerja dan kehidupannya.
Jangan sampai mereka ditindas oleh para lapak dan broker. lntegritas pembinaan pemulung harus mencakup
jenjang kerja pemulung yang lebih baik, jenjang kerja yang jelas dan dapat meningkat menjadi lapak dan
agen atau alih profesi. Dengan demikian dapat tercipta suatu lapangan kerja yang manusiawi, tidak terdapat
suatu pola kerja yang statis, tetapi suatu pola yang dinamis untuk menciptakan suatu kehidupan yang lebih
manusiawi. Di samping itu, penanganan pemulung jangan sampai menimbulkan kesan memanjakan. Jika hal
ini terjadi, berduyun-duyunlah orang-orang desa datang ke kota-kota besar sekadar untuk menjadi pemulung.
Di lain pihak, tanpa upaya integritas pembinaan pemulung yang dapat meningkatkan tarat hidup
pemulung sama dengan membunuh mereka pelan-pelan. Karena itu, pemulung, para pengumpul barang
bekas, harus menjadi bagian integritas pembinaan pemulung sampah di daerah perkotaan. Mereka memilah-
milah sampah dalam kegiatan pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pembuangan ke LPS dan
pembuangan ke LPA. Dengan integritas pembinaan pemulung dapat menciptakan lapangan kerja sendiri dan
keluarganya, memberikan masukan bahan-bahan untuk diolah kembali dalam industri, tanpa kenai putus asa.

193
Potensi ini yang perlu dikembangkan menuju suatu kehidupan yang manusiawi di tengah-tengah dinamika
kota.
Bahkan dalam perspektif yang lebih luas, pemerintah dapat meremajakan lingkungan kumuh yang
dihuni oleh para pemulung dengan memberikan legalitas pemulung sebagai bagian dari warga kota.
Contohnya, permukiman kumuh Kampung Sawah di ujung jalan tol Tangerang-Tomang menanti uluran
tangan pemerintah maupun swasta agar lingkungannya dapat diremajakan. Dinamika keharmonisan kehidupan
sosial masyarakat perkotaan pun dapat tercipta melalui integritas pembinaan pemulung.
Jayakarta, 12 Oktober 1990

Pengendalian Pemulung di DKI


Sulitnya memperoleh pekerjaan di lbukota menyebabkan banyak warga "rela" menjadi pemulung atau
laskar mandiri. Kondisi ini mendapat perhatian Presiden Soeharto tanggal 24 Oktober 1988 dengan memberikan
petunjuk kepada Gubernur DKI Wiyogo agar membina pemulung dengan tetap memperhatikan aspek
manusiawi, bersih, dan wibawa. Dengan petunjuk Presiden, Pemerintah DKI Jakarta mencoba menyusun
"Pola Pembinaan dan Pengendalian Pemulung" sebagai salah satu aspek dalam pembangunan. Pola ini
merupakan pedoman kerja terpadu antar instansi terkait yang bertujuan agar pemulung dapat berfungsi
sebagai salah satu kegiatan sektor informal dan dapat berperan serta dalam pembangunan.

Pemulung
Jika kita bicara pemulung (perangkas atau pemungut barang bekas menurut BPP Teknologi, 1982),
akan didapat 2 versi. Yaitu, Pemu/ung (versi Depsos) adalah pengumpul barang bekas seperti besi, plastik,
karton, kaleng, beling/kaca, tulang dan barang sejenisnya untuk didayagunakan menjadi sumber mata
pencaharian atau pendapatan melalui proses yang sehat dan teratur. Sedangkan versi BPP Teknologi (1982),
mendefinisikan bahwa pemulung sekaligus melakukan pekerjaan memilih atau memilah barang bekas yang
dipungut dari sampah atau barang yang tidak terpakai lagi sebagaimana fungsi semula.
Di samping itu, terdapat pelaku yang berkaitan dengan kegiatan pemulung antara lain lapak, agen,
broker, bandar atau pemasok, dan pabrik. Mereka merupakan rangkaian "tindak lanjut" suatu proses masalah
persampahan. Lapak, orang yang menerima atau menampung barang-barag bekas yang dikumpulkan oleh
pemulung (lapak bisa dikatakan juragan bagi pemulung). Broker adalah calo barang-barang bekas, serta
agen adalah orang atau badan yang mengkoordinasikan lapak-lapak. Agen dikoordinasikan oleh bandar atau
pemasok, sedangkan barang-barang bekas dari pemulung, agen, dan bandar dijual ke pabrik untuk dijadikan
bahan baku atau bahan jadi.
Pada tahun 1989 di Jakarta diperkirakan terdapat 37.000 pemulung, 6.000 diantaranya diorganisasikan
oleh lapak. Tem pat kerja pemulung 23 persen di LPS (Lokasi Pembuangan Sementara) dan LPA (Lokasi
Pembuangan Akhir) sampah, 7% di permukiman dan perumahan, 5% di perkantoran dan pasar, dan 65%
kombinasi antara keempat lokasi tersebut dan di tempat-tempat lain. Penghasilan perhari para pemulung
berkisar Rp 1.500,- sampai dengan 4.000,- atau lebih dari 10 jam kerja. Uang penghasilan ini digunakan
untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan ada yang dikirim kepada keluarganya di desa.
Status pendidikan pemulung kebanyakan lulusan SO (74%), SLTP (10%), SLTA (10%), Perguruan
Tinggi (3%), dan drop out (3%). Pemulung merupakan laskar mandiri produktif yang dinamis, bekerja di sektor
informal lapisan bawah, terdiri dari anak-anak, remaja, dan dewasa. Status kependudukan mereka, 53%
pemegang Kipem, 37% tanpa identitas, dan hanya 10% pemegang KTP DKI. Tempat tinggal mereka
terpencar di lingkungan pemukiman kumuh dan di sembarang tempat yang terlarang.
Masalah yang berkaitan dengan kehadiran pemulung antara lain tempat tinggal yang tidak layak,

194
dampak negatif terhadap kehidupan keluarga dan lingkungan, kurang menunjang penanganan teknis
operasioal kebersihan kota. Sikap negatif sebagian pemulung, suka mencuri atau mengambil barang-barang
milik keluarga, keterampilan yang rendah, dan belum jelasnya instansi mana yang mengelola pemulung.
Bicara soal pemulung, bisa dilihat dari berbagai aspek, ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya,
keamanan, ketenteraman dan ketertiban, orgnanisasi dan anggaran. Pada hakekatnya pemulung perlu
ditangani sesuai dengan ideologi Pancasila. Jika mereka tidak ditangani, dengan kepekaannya mereka akan
mudah dipengaruhi oleh kelompok tertentu untuk tujuan-tujuan tertentu. Dengan kemandiriannya, pemulung
merupakan salah satu pemecahan lapangan kerja pada lapisan bawah. Akan tetapi mereka tersisih dari
permukiman teratur. Hal ini disebabkan oleh tingkat kesehatan, pendidikan dan keterampilan mereka yang
rendah dan kesadaran serta tanggungjawab yang rendah.
Penanganan
Penanganan Uika perlu diistilahkan pembinaan) pemulung bisa dikaitkan dengan PP No. 31/1980
tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis. Gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam
keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak
mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat-
tempat umum.
Mereka ditertibkan, diproses. Bagi yang masih potensial di Liposos atau panti-panti sosial yang ada.
Yang tidak potensial, disalurkan ke sarana pelayanan sosial sesuai dengan masalah sosialnya (cacat dan
jompo). Di tingkat DKI, penanganan pemulung dikaitkan dengan program hasta tertib Perda No. 3/1972 (tertib
kakilima, tuna karya/tuna wisma, lalu lintas dan angkutan, bangunan, banjir, pelistrikan, perkeretaapian, dan
sosial-politik) untuk meningkatkan kepercayaan diri kepada masyarakat pemulung dan kepercayaan masyarakat
secara luas sehingga mewujudkan ketenteraman dan ketertiban.
Pola penanganan pembinaan dan pengendalian pemulung yang dilakukan oleh Pemda DKI diarahkan
pada upaya penciptaan permukiman yang layak, jaringan kerja yang harmonis (pemulung, lapak, agen,
bandar, pengusaha pabrik), perlu identitas pemulung (seragam kerja, tanda pengenal), penyuluhan, bimbingan
sosial, latihan keterampilan kerja, penciptaan lapangan kerja dan usaha serta kemungkinan alih profesi.
Kebijaksanaan
Kebijaksanaan penanganan pemulung (termasuk lapak, agan, dan bandar) melibatkan peran serta
pemerintah, swasta, dan LSM. Paling sedikit perlu mengatur pengakuan keberadaan pemulung, perlindungan
dan rangsangan, permukiman dan kesejahteraan, pembinaan, anggaran, dan pengendalian serta pengawasan.
Dasar hukum penanganan, perlu kartu identitas. Jalur tata niaga barang bekas perlu diperbaiki. Organisasi
para pemulung seperti koperasi, yayasan, asosiasi dirasakan perlu. Demikian pula penyediaan kredit dan
peningkatan keterampilan.
Atas bantuan lapak dan semua pihak, para pemulung dapat dimukimkan di rumah rumah sewa
sederhana, menyatu dengan warga kota, sehingga mereka menikmati fasilitas tempat tinggal, pelayanan
kesehatan dan kemudahan pendidikan bagi anaknya seperti warga lainnya. Penanganan perlu terpadu dan
terintegrasi antar instansi, pemerintah dan swasta, masyarakat dan LSM. Penyediaan anggaran dan
alokasinya perlu secara jelas dalam setiap langkah kegiatan pemulung apakah pengumpulan, pemilahan,
pengangkutan, tata niaga, atau bimbingan.
Penanganan pemulung dimaksudkan untuk menghindari keresahan masyarakat, gangguan terhadap
ketertiban umum dan lingkungan, serta menempatkan mereka sebagai bagian dari kegiatan operasinal Dinas
Kebersihan. Pola penanganan memperhatikan tiga aspek, yaitu arah dan langkah koordinasi, pendanaan,
dan pengawasan serta pengendalian. Pembinaan diarahkan pada penciptaan lingkungan permukiman yang
layak, ketenangan kerja, penciptaan BMW, peningkatan keterampilan dan penghasilan.
Enam langkah penanganan telah disarankan oleh Pemda DKI, yaitu bina wisma (peningkatan pemukiman
pemulung), bina usaha (lokasi usaha secara merata tiap wilayah kota), bina sosial (bantuan peralatan,
bimbingan, dan penyuluhan), bina kependudukan (pelayanan identitas), bina karya (latihan keterampilan, ethos
kerja, perlindungan tenaga kerja), dan bina lingkungan (pembudayaan hidup bersih dan sehat).

195
Asisten Setwilda Bidang Kesra mengkoordinasikan penanganan pemulung yang beranggotakan wakil-
wakil dari Biro Bangda, Biro Binsos, Kanwil Oepsos dan Oinsos, Kanwil Oepnaker dan Oinaker, BKLH, Oinas
Kependudukan, Kebersihan, Kesehatan, Perum Astek, Biro Ketertiban, PO Pasar Jaya, dan PO Pembangunan
Sarana Jaya.
Jangka panjang, pemulung perlu diikutsertakan dalam program Astek (kecelakaan kerja, kematian,
kesejahteraan tenaga kerja, pondok). Pendekatan pemulung perlu dilakukan agar informasi pemulung (latar
belakang, asal-usul jumlah, kelompok umur, keluarga, pendidikan, niat alih profesi, cara kerja, daerah kerja,
penghasilan) dapat digunakan sebagai dasar penentuan kebijaksanaan penanganan.
Akhirnya, penanganan, pembinaan dan pengendalian pemulung haruslah bersifat mendidik, sehingga
tidak menimbulkan kesan manja dan menyenangkan. Hal ini sangat panting agar tidak terjadi adanya orang-
orang desa yang berduyun-duyun pindah ke kota hanya untuk mengejar menjadi pemulung.
Jayakarta, 2 April 1990

Upaya Penanganan Pemulung di Surabaya


Di Surabaya dikenal ada tiga jenis pemulung. Ada pemulung yang berjalan keliling dari satu tempat ke
tempat lain untuk memungut atau memilih sampah barang bekas yang masih mempunyai nilai ekonomis atau
dapat dijual. Pemulung yang mencari sampah/barang bekas di lokasi pembuangan sementara (LPS) dan
pemulung yang bekerja di lokasi pembuangan akhir (LPA) sampah.
Sejalan dengan pengarahan Bapak Presiden Soeharto pada tanggal 24 Oktober 1988 yang meminta
perhatian Gubernur DKI Jakarta dan walikota untuk membina, memperhatikan dan memberikan kemudahan
bagi para pemulung dan jangan menganggap mereka sebagai gelandangan, Pemda Kotamadya Surabaya
pun merasa tergugah untuk merumuskan upaya penanganan pemulung.

Profil Pemulung
Ciri-ciri pemulung dapat dibedakan ke dalam empat macam. Pertama, menurut cara kerja pemulung
dan jenis kegiatannya. Pemulung jenis ini terdiri dari tiga kelompok, yaitu yang bekerja sambilan karena telah
mempunyai pekerjaan tetap, pemulung yang bekerja dari satu tempat ke tempat lain, dan pemulung yang
bekerja di LPS da LPA. Kedua, menu rut jenis peralatan yang digunakan, yaitu keranjang dengan supit bambu
panjang atau besi pengais, dan pemulung yang membawa gerobak dorong beroda dua atau becak.
Ketiga, menurut organisasi usaha. Pemulung jenis ini dapat dibedakan atas yang bekerja mandiri,
bergerak sendiri-sendiri, tidak bergabung dengan pemulang lain, dan ada pemulung yang bekerja berkelompok
khususnya yang berasal dari satu daerah. Keempat, menurut tempat tinggal. Tempat tinggal pemulung pun
bermacam-macam, yaitu di bedeng-bedeng di lingkungan LPA (Keputih dan Lakarsantri), di LPS (bertebaran
di tiap kelurahan), di sepanjang bantaran kali dan jalur hijau, dan di rumah-rumah sewa murah dekat lokasi
kerja mereka.
Jika di DKI Jakarta terdapat sekitar 37.000 pemulung, maka saat ini di Surabaya diperkirakan paling
sedikit terdapat 382 orang yang mudah dikenal. Oi antara mereka ini, 74 orang bekerja di LPS (20 orang di
Surabaya Utara, 7 orang di Surabaya Timur, dan 47 orang di Surabaya Selatan), 172 orang bekerja di LPA
(42 orang bekerja di Kenjeran, 34 orang di Keputih, dan 46 orang di Lakarsantri, dan 136 orang pemulung
keliling). Jika pendataan pemulung dilakukan dengan teliti, pasti jumlah pemulung akan lebih banyak lagi.
Jalur tata niaga mereka dimulai dari pemulung, terus ke pengepul atau lapak dan bandar untuk
seterusnya barang bekas dijual ke pabrik. Tumbuhnya jalur tata niaga sampah dan barang bekas ini atas
dasar permintaan dan penawaran (supply-demand) yang saling membutuhkan. Penanganan pemulung haruslah

196
memperhatikan jalur tataniaga di antara mereka mulai dari pemulung sampai ke bandar dan pengusaha
pabrik.
Hampir 34% pemulung adalah wanita dan 70% di antara wanita ini tidak sekolah atau tidak lulus SD.
Pemulung penduduk asli Surabaya hanya 16%, sisanya datang dari sekitar Surabaya. Usia sebagian besar
pemulung adalah 30-40 tahun. Lebih dari separuh jumlah pemulung bertempat tinggal di dekat timbunan
sampah dan tidak memenuhi persyaratan kesehatan dan keselamatan serta tidak manusiawi.

Strategi dan Pendekatan


Strategi penanganan dan pembinaan pemulung di Surabaya diarahkan atas prinsip-prinsip: (a) utuh
dan menyatu dengan penanganan masalah sampah dan kebersihan kota, (b) pemulung merupakan subsistem
pengurangan volume sampah kota secara produktif, dan (c) penanganan pemulung merupakan salah satu upaya
pembinaan dan peningkatan kualitas sumberdaya manusia.
Strategi tersebut disusul dengan pendekatan yang bersifat menyatu dengan sistem pengelolaan
sampah kota Surabaya dan upaya pembinaan sumberdaya manusia secara utuh melalui upaya peningkatan
daur ulang sampah, pemilahan dan pemanfaatan, peningkatan penghasilan pemulung dan pembinaan
keluarganya.
Kesemuanya itu diformulasikan dalam Enam Kebijaksanaan Pembinaan Pemulung yang terdiri atas
pemberian pengakuan keberadaannya, penanganaan tidak langsung, peningkatan penghasilan, pembuatan
kompos, pembinaan keluarga, dan menekan dampak. Kebijaksanaan itu telah diwujudkan dalam bentuk
pengakuan keberadaan pemulung antara lain diikutsertakan sebagai bagian dari sistem pengelolaan sampah
kota Surabaya, tidak dicap pencuri atau maling, bagian dari masyarakat kota, dan ikut serta dalam kegiatan
pembangunan.
Peranan mereka dalam memilah barang bekas dan menyeleksi sampah di LPS dan LPA jangan
diartikan sebagai penghambat bagi petugas Dinas Kebersihan. Penyediaan kartu identitas tempat tinggal
tidak tetap (T4) merupakan bukti dan pengakuan bahwa mereka adalah warga kota.
Di samping itu, masih terdapat pola penanganan tidak langsung. Artinya Pemda Kotamadya Surabaya
tidak melakukan intervensi terlalu jauh, tetapi bersifat mendorong, menunjang dan menanamkan motivasi
serta peluang agar mereka bisa beralih profesi. Dalam pola operasional, Pemda dibantu oleh LSM dan
lembaga penelitian perguruan tinggi dan pihak-pihak lainnya. Upaya peningkatan penghasilan bagi para
pemulung, terutama diarahkan agar mereka tidak ditindas oleh para pengepul atau lapak. Dengan adanya
paguyuban yang merupakan embrio koperasi, para pengepul tidak seenaknya menentukan harga barang
bekas yang dikumpulkan oleh para pemulung.
Salah satu alternatif pemanfaatan sampah adalah pembuatan kompos. Dengan memberikan bimbingan
tentang cara pembuatan sampah menjadi kompos, maka ketrampilan pemulung meningkat dan harga jualnya
juga dapat meningkat. Persoalan yang timbul adalah bagaimana memasarkan kompos tersebut dan
pembatasan pembuatan kompos di LPA atau tempat tertentu yang tidak mengganggu kebersihan dan
keindahan kota. Pembinaan kepada keluarga pemulung antara lain diberikan dalam bentuk kursus singkat
dan sederhana dengan bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti, bantuan pendidikan untuk anak-anak
pemulung dan mempercepat pembentukan koperasi serta partisipasi masyarakat lainnya.
Pemda mengharapkan agar jumlah pemulung semakin menciut, tetapi pengelolaan sampah bertambah
baik. Sejauh mungkin diusahakan agar pemulung dapat berteduh di tempat tinggal yang wajar walaupun
belum layak. Bantaran kali Surabaya, taman, jalur hijau, tanah terbuka, diusahakan agar bebas dari
pemulung.
Dengan dana terbatas, Pemda Kotamadya Surabaya berusaha menangani para pemulung melalui dua
tahap. Tahap pertama terdiri dari pembentukan satuan tugas pelaksana (tim pengarah dan paguyuban mitra
pasukan kuning), inventarisasi pemulung, pembentukan paguyuban sebagai embrio koperasi, pemberian
identitas, penyuluhan dan pembinaan, sarana baju seragam dan peralatan, koordinasi, pengendalian, dan
pemantauan, dukungan dana non-APBD yang diperoleh dari donatur, dan penggalangan keterlibatan LSM
dan organisasi sejenis.

197
Tahap kedua, pengembangan pembinaan. Pembinaan dilakukan antara lain melalui penyelenggaraan
latihan keterampilan dalam upaya meningkatkan kualitas dan produktivitas kerja pemulung, pembinaan usaha
dan jalur tataniaga usaha barang bekas, pengaturan tempat tinggal dalam bentuk rumah sewa murah, baik di
antara mereka maupun menyatu dengan warga sekitarnya. Di samping itu juga dilakukan penyuluhan
pembudayaan hidup bersih dan sehat yang dilakukan oleh Pemda, LSM, Organisasi Sosial, dan PKK.
Penanganan dan pembinaan pemulung pada tahap pertama dan kedua ini dilakukan dalam konteks
kedudukan mereka sebagai bagian dari sistem pengelolaan sampah kota, baik dalam proses pengumpulan
dan pemilahan sampah. Dengan upaya tersebut peran pemulung di Surabaya juga aktif untuk melakukan
pengangkutan ke LPS, penanganan di LPS, pengangkutan ke LPA dan pemanfaatan sampah di LPA. Suatu
upaya penanganan pemulung yang perlu dipertimbangkan. Karena keterkaitan segala aspek permasalahan
yang ada dapat diselesaikan dengan cukup berimbang.
Surya, 17 Mei 1990

Menangani Pemulung dengan Metoda ZOPP


Jakarta yang penduduknya telah mencapai 9 juta jiwa, tiap hari memproduksi sampah sekitar 21.000
m2. Pemulung atau perangkas (pemungut barang bekas), berperan pada setiap langkah sistem pengelolaan
sampah mulai dari pengumpulan, pewadahan, pemindahan, pengangkutan, pemilahan, pengangkutan,
pemilahan (daur ulang), pemanfaatan (pendayagunaan) dan pembuangan akhir.
Jumlah pemulung di Jakarta ditaksir 37.000 orang, bekerja mengambil sampah, memilah-milah barang
bekas dan menjualnya kepada lapak untuk diolah kembali, misalnya menjadi ember plastik. Peran pemulung
cukup penting dalam kehidupan perkotaan, terbukti dari pernyataan Kepala Negara, mereka bukan gelandangan,
pantas mendapat penghargaan, karena mereka merupakan laskar yang mandiri (Jayakarta, 25 Oktober
1988).

Metoda ZOPP
ZOPP, seperangkat alat-alat perencanaan yang sederhana adalah singkatan dari Zielorientatie
Projekplaning yang berarti perencanaan proyek yang beroritenasi pada tujuan. Tiga unsur dalam ZOPP terdiri
atas metoda (pendekatan dalam kegiatan kelompok perencanaan), perencanaan oleh kelompok (cara efektif
untuk mempelajari masalah multisektoral), dan teknik peragaan (rekaman sumbangan pemikiran dan hasil
pembahasan). ZOPP menyusun secara sistematis berbagai keterangan yang tersedia, memperoleh konsensus
dari berbagai pendapat, meringkas bagian penting dari perencanaan proyek, mengelola proses perencanaan
dan pelaksanaan, dan menjelaskan konsepsi proyek kepada pihak-pihak terkait.
Tahapan proses ZOPP terdiri dari analisis permasalahan (identifikasi masalah pembangunan, ruang
lingkup, dan sebab-akibat), analisis tujuan (identifikasi tujuan proyek, cara pencapaian dan sarana untuk
mencapai tujuan), analisis alternatif (identifikasi dan pengkajian alternatif strategi proyek, dan penentuan
alternatif), analisis peran atau partisipasi (identifikasi lembaga, kelompok, orang, pelaksana berdasarkan
institusi, potensi, keinginan dan kepentingannya), dan penyusunan matriks perencanaan proyek (kerangka
pengembangan rancangan proyek).
Analisis permasalahan merupakan suatu teknik untuk meneliti semua masalah yang terkait dengan
suatu kondisi masalah inti dan menggunakan informasi ini dalam suatu rangkaian sebab-akibat. Cara
melakukan analisis permasalahan dimulai dengan mengumpulkan orang dan tenaga ahli terkait, merumuskan
secara singkat masalah inti, melihat keterkaitan dengan masalah lain dan hubungan sebab-akibat. Analisis
tujuan merupakan teknik untuk menentukan tujuan yang akan dicapai melalui penggunaan metoda pemecahan
masalah, desain kriteria, tolok ukur, pernyataan negatif dan positif, kelayakan, tindakan dan perkiraan hasil.

198
Analisis alternatif, merupakan teknik untuk menentukan pilihan-pilihan terbaik yang mungkin terjadi
untuk mencapai kondisi tertentu yang dituju dengan memperhatikan hubungan tindakan dan hasil, strategi,
sarana proyek, anggaran, personil, peluang pencapaian tujuan, prioritas kebijaksanaan pemerintah,
kesinambungan, dampak terhadap lingkungan, dan p~rbandingnan keuntungan misalnya biaya-manfaat.
Analisis peran atau partisipasi merupakan gambaran mengenai semua orang, kelompok, organisasi dan
lembaga yang berhubungan atau berkepentingan dengan proyek dengan memperhatikan keinginan dan
harapan mereka dalam proses perencanaan proyek.
Matriks perencanaan proyek menunjukkan kerangka perencanaan proyek yang terdiri dari lima baris
(penjabaran strategi, tujuan. maksud, hasil kerja, dan kegiatan proyek) dan tiga lajur (indikator, sumber
pembuktian indikator, dan asumsi-asumsi penting). Di samping lima belas elemen matriks tersebut, juga
dicantumkan sarana proyek sebagai unsur penunjang dan pendukung keberhasilan proyek. Matriks perencanaan
proyek menjawab pertanyaan mengapa kita membuat proyek, apa yang ingin dihasilkan, bagaimana mencapai
tujuan, faktor-faktor di luar proyek yang berkaitan, bagaimana mencapai keberhasilan proyek, dan dari mana
diperoleh data yang akurat. Semua elemen matriks ini saling berkaitan dan penyusunan matriks perlu
dilakukan secara iterasi.
Penentuan strategi, maksud, tujuan, sasaran proyek, dan hasil atau keluaran proyek harus jelas. Perlu
dibuat asumsi-asumsi penting yang berkaitan dengan perkiraan keberhasilan atau ketidak berhasilan proyek.
lndikator perlu dibuktikan secara obyektif, mengandung ciri kuantitatif jumlah, mutu, waktu dan tempat.
Langkah-langkah tadi perlu didukung oleh sumber pembuktian dalam bentuk data statistik, hasil survai,
pengamatan, laporan penelitian, hasil diskusi, dan hasil wawancara.

ZOPP Untuk Pemulung


Agaknya tidak terlalu berlebihan jika kita menangani pemulung dengan menggunakan metoda ZOPP.
Segi positif pemulung adalah mampu menciptakan lapangan kerja, berpenghasilan cukup baik, dinamis dan
tidak mengenal jam kerja, dan cepat menyesuaikan dengan kondisi lingkungan. Segi negatif pemulung juga
ada, antara lain tidak ber-KTP, status sosial yang rendah, bekerja tanpa aturan, tidak terorganisasi, hidup di
lingkungan rumah yang tidak bersih dan tidak sehat.
Permasalahan pemulung secara umum bisa dilihat dari segi kebijaksanaan, sospol dan sosbud. Dari
segi kebijaksanaan, terlihat pembinaan pemulung yang belum jelas, pemulung tidak memperoleh kesempatan
bekerja, kurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap pemulung, dan pola pengendalian
pemulung belum operasional. Dari segi sospol, keberadaan pemulung belum diakui sepenuhnya, adanya
sikap negatif masyarakat, pemulung dianggap bukan merupakan bagian dari sistem pengelolaan sampah,
dan pemulung ditindas oleh lapak dan pengusaha, sedangkan dari segi sosbud terlihat dari ketidakpastian
status pemulung, kehidupannya terpisah dari masyarakat, pendidikan rendah, dan kadang-kadang pemulung
menjadi pencuri.
Analisis permasalahan menunjukkan bahwa program pemulung saat ini belum diimplementasikan,
kehidupan pemulung belum bertambah baik, program yang ada mempunyai resiko kegagalan, kurangnya
data kehidupan pemulung, infomasi, kesadaran, perhatian, pendekatan, dan koordinasi, belum adanya
perencanaan pembinaan pemulung, dan belum jelasnya instansi pengelola pemulung.
Analisis tujuan menjabarkan konsensus tentang status, fungsi dan peran pemulung, perencanaan
penanganan yang menyeluruh, kebijaksanaan, dan organisasi pelaksana. Analisis alternatif menunjukkan
pilihan kebijaksanaan yang akan ditempuh dalam menangani, membina dan mengendalikan pemulung.
Analisis partisipasi diuraikan atas tugas dan fungsi instansi terkait, harapan, sumbangan, kendala dan
masalah, dan konsekuensi terhadap pelaksanaan dari setiap instansi terkait, misalnya Dinas Sosial, Unit
Kesra, Polkam, Dinas Kebersihan, Dinas Pasar, Dinas Pertamanan, Bappeda dan Bappeko, Bank, Universitas,
Lembaga Penelitian, Lembaga Swadaya Masyarakat.
Dari analisiis permasalahan, tujuan, alternatif dan partisipasi disusunlah matriks perencanaan proyek.
Strategi proyek, membina dan mengendalikan pemulung sebagai salah satu sektor informal agar berperan
dalam pembangunan nasional. Tujuan nasional pengendalian pemulung adalah menciptakan kondisi kehidupan

199
pemulung yang baik dan sistem pengelolaan sampah yang teratur. lndikatornya antara lain naiknya standar
kehidupan pemulung, makin bersihnya lingkungan, adanya tempat penampungan sampah dan pembuangan
sampah yang teratur.
Tujuan proyek untuk menghasilkan perencanaan kerja dan juklak pengendalian pemulung yang
operasional. lndikator antara lain tersusunnya program ke~a. ada proposal, tor, jadwal kerja dan pola
koordinasi. Salah satu sumber pembuktian, ditetapkannya program kebijaksanaan pengendalian pemulung
oleh Gubernur dengan asumsi adanya dukungan politik pemerintah. Sasaran proyek antara lain berhasilnya
pelaksanaan program dengan baik, dengan indikator adanya organisasi pemulung, tidak berkeliarannya
pemulung, diakuinya pemulung sebagai salah satu unsur pengelola kebersihan kota. Pembuktian dapat
ditunjukkan dengan laporan proyek dan hasil survai tentang pemulung.
Hasil-hasiil yang diharapkan dari proyek antara lain diperolehnya informasi pemulung secara lengkap
dan menyeluruh, diakuinya keberadaan pemulung, peningkatan tarat hidup pemulung, koordinasi antar
instansi pengelola yang lebih baik, dan diperolehnya model pengendalian pemulung daerah perkotaan.
lnformasi penting antara lain daerah kerja dan permukiman pemulung, jumlah pemulung, daerah asal
pemulung, pendidikan keluarga para pemulung, pola kerjasama pemulung dengan lapak, adanya pilot plant
pemulung, terbentuknya koperasi pemulung, alih profesi pemulung dan tidak ada lagi pemulung yang
bertungsi sebagai pencuri.
Tindak lanjut matriks perencanaan proyek adalah kegiatan proyek yang dimulai dengan penyusunan
tor (terms of reference), studi kelayakan, metoda penelitian, survai lapangan, pengumpulan dan pengolahan
data, forum diskusi, dialog, pertemuan, seminar, penulisan laporan dan penyampaian rekomendasi pembinaan
dan pengendalian pemulung.

Harapan
Penanganan pemulung ·kelihatannya tidak jauh berbeda dengan penanganan pedagang asongan
(penanganan awal oleh Menko Polkam dan operasionalisasinya dilakukan oleh Pemda). Seminar
Pengembangan Proyek Terpadu untuk Pemulung Sampah Perkotaan dengan Metoda ZOPP yang
diselenggarakan oleh Biro KTLN Setkab di Ciloto tanggal 21-23 Maret 1990, merupakan langkah awal
penyusunan matriks perencana proyek penanganan pemulung.
Pembinaan dan Pengendalian Pemulung perlu diarahkan pada penyediaan permukiman yang layak
menurut ukuran pemulung, pengaturan tataniaga barang bekas (pemulung-lapak-agen-bandar), terciptanya
lingkungan yang bersih, identifikasi pemulung, peningkatan ketrampilan dan perlindungan kerja, dan terciptanya
kondisi yang aman, tertib, bersih dan sehat.
Langkah kegiatan dilakukan melalui bina wisma, bina usaha, bina sosial, bina kependudukan, bina
karya, dan bina lingkungan. Asisten Setwilda Bidang Kesra mengkoordinasikan pengendalian pemulung yang
melibatkan unit-unit kerja Kanwil Depsos, Biro Bina Sosial dan Dinas Sosial, Kanwil Depnaker dan Dinas
Tenaga Kerja, Biro Bina Pengembangan Produksi Daerah, Dinas Kependudukan, Kesehatan, Kebersihan,
Ketertiban, Pasar, BKLH, dan Perum Astek.
Tim Koordinasi ini harus operasional, mulai dari tingkat Propinsi, Wilayah Kota, Kecamatan sampai ke
Kelurahan. Pada akhirnya, pola pembinaan dan pengendalian pemulung perlu diintegrasikan dengan
penanganan sektor-sektor informallainnya seperti pedagang asongan, kakilima, dan pemusik jalanan.
Neraca, 21 Juli 1990

200
Persyaratan Baku Mutu Air Sungai Dan Limbah
DKI Jakarta
Empat Keputusan Gubernur DKI Jakarta sudah cukup memadai guna mengatur pencemaran kebisingan,
air sungai dan air limbah, asalkan semua pihak yang berkepentingan mematuhi ketentuan yang telah
ditetapkan. Pertama, Keputusan Gubernur No. 382 Tahun 1977 tentang kewajiban bagi Perusahaan lndustri
dan Bahan Dalam Wilayah DKI Jakarta memeriksakan hasil buangannya pada Laboratorium PPMPL (Pusat
Penelitian Masalah Perkotaan dan Lingkungan, sekarang P4L, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkotaan
dan Lingkungan) sebagai laboratorium yang ditunjuk.
Kedua, Keputusan Gubernur No. 220 Tahun 1978 tentang pelimpahan wewenang kepada PPMPL
memasuki perusahaan industri dan badan dalam wilayah DKI Jakarta guna keperluan pemeriksaan dan
penelitian hasil buangan industri. Ketiga, Keputusan Gubernur No. 587 Tahun 1980 tentang penetapan
kriteria ambient kualitas udara dan kriteria ambient bising dalam wilayah DKI Jakarta. Keempat, Keputusan
Gubernur No. 1608 Tahun 1988 tentang peruntukan dan baku mutu air sungai serta baku mutu air limbah di
DKI Jakarta.

Ketetapan
Perusahaan industri/Badan dalam Wilayah DKI Jakarta diwajibkan memeriksakan hasil buangan
industri tiga bulan sekali pada Laboratorium P4L. Cara pemeriksaan disesuaikan dengan pedoman, kriteria,
atau standar yang berlaku. Terhadap Perusahaan atau Badan (Pemerintah atau Swasta) yang tidak
mematuhi ketetapan tersebut, kegiatannya dapat dihentikan sementara oleh Gubernur.
Gubernur melimpahkan wewenang kepada PPMPL untuk dan atas nama Gubernur memasuki
perusahaan-perusahaan industri dan Badan dalam Wilayah DKI Jakarta guna melakukan pemeriksaan dan
penelitian hasil buangan industri. Kriteria Ambient Kualitas Udara dan Kriteria Ambient Bising sesuai dengan
peruntukannya yang telah ditetapkan, secara periodik dan bertahap dapat diperbaharui dengan Keputusan
Gubernur, guna mencapai kondisi setempat, menuju ke kriteria yang sudah ditetapkan.
Kriteria ambeint kualitas udara telah menetapkan nilai ambang batas maksimum yang diinginkan dan
maksimum yang diperkenankan. Nilai Ambang batas maksimum yang diinginkan adalah 0.02 ppm/24 jam
Nitrogen Oksida (NOx) dan 0,02 mg/m3 timah hitam (Pb). Nilai ambang batas maksimum yang diperkenankan,
masing-masing 20 ppm/8 jam Carbon Monooksida (CO), 0,1 ppm/1 jam Sulfur Dioksida (80 2), 0,05 ppm/24
jam Nitrogen Oksida (NOJ, 2 ppm/24 jam Amonia (NH 3), 0.06 mg/m 3 timah hitam (Pb), 0,03 ppm/30 menit
hidrogen sulfida (H 2S), 0,08 ppm/jam oxidant, 0,26 mg/m 3 debu, dan 0,24 ppm/3 jam hidrokarbon.
Kriteria ambient bising menetapkan derajat kebisingan maksimum yang diinginkan (dbA, decibel skala
A) masing-masing bagi perumahan (45), industri/perkantoran (70), pusat perdagangan (75), rekreasi (50), dan
campuran perumahan/industri (50). Derajat kebisingan maksimum yang diperkenankan adalah perumahan
(60), industri/perkantoran (70), pusat perdagangan (85), rekreasi (60), dan campuran perumahan/industri
(50).
Prokasih (program kali bersih) yang akan diterapkan di delapan propinsi (termasuk DKI Jakarta),
memperhatikan persyaratan baku mutu air sungai dan air limbah. Baku mutu air ialah batas kadar yang
diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar dan terdapat dalam air, namun air tetap berfungsi sesuai
dengan peruntukannya. Baku mutu limbah cair ialah batas kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan
pencemaran yang dibuang dari sumber pencemaran ke dalam air pada sumber air, sehingga tidak
mengakibatkan dilampauinya baku mutu air.
Peruntukan air sungai menu rut golongan air dibagi atas em pat golongan, yaitu (1) golongan A, air
sungai yang digunakan buat keperluan air minum, (2) golongan B, air sungai yang digunakan buat keperluan
perikanan, (3) golongan C, air sungai yang digunakan buat pertanian, dan (4) golongan D, air sungai yang
tidak digunakan buat keperluan A, B dan C tetapi kualitasnya masih memenuhi bagi kehidupan biota air (Biota

201
ialah jenis biota air yang mempunyai tungsi ekologis di luar tungsi perikanan).
Sepuluh sistem aliran air sungai di DKI Jakarta tersebar di empat wilayah pengembangan, yaitu 2 di
Wilayah Barat, 4 di Tengah, dan 4 di Timur, serta Situ-situ. Dua sistem aliran sungai di Wilayah Barat adalah
Sungai di Kamal dan Cengkareng drain (kali Mokervart, Angke, Pesanggrahan, Sepak, Grogol, dan Cakung
Drain). Em pat sistem ali ran sungai di Wilayah Pengembangan Tengah, yaitu (1) Sungai Angke (Angke,
Pesanggrahan, Mokervart, Sekretaris, Grogol, Krukut, Mampang, Cideng, Kalibaru, dan Ciliwung), (2) Kali
Muara Karang (Duri, Grogol, dan Kali Mati), (3) Waduk Pluit (sungai Ciliwung Gajahmada, Ciliwung Kota,
Surabaya dan Krukut), dan (4) Ciliwung Gunung Sahari.
Em pat sistem ali ran sungai di wilayah Pengembangan Timur terdiri dari (1) Ali ran Kali Sentiong
(Kalibaru Timur), (2) Banjir Kanal Timur (Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat dan Kanal Timur), (3) Sungai
Sunter (Cipinang, Sunter, Sunter Cakung, dan Saluran Pulomas), dan (4) Cakung Drain (Cakung, Buaran,
Jati Kramat, Marunda Drain dan Cakung Drain). Situ-situ masih terdapat di sekitar DKI Jakarta sebagai salah
satu sumber aliran air.
Persyaratan baku, mutu air sungai memperhatikan satuan parameter yang diinginkan dan diperbolehkan.
Parameter-parameternya terdiri dari (1) Fisis (daya hantar listrik, kekeruhan, suhu, warna dan material
terlarut, (2) kimiawi (nitrogen, air raksa, arsen, berium, besi, boron, tluorida, hidrogen sulfida, kadmium,
khlorida, khrom, kesadahan, mangan, nikel, nitrat, nitrit, perak, pH, phospat, selenium, seng, sulfat, tembaga
dan timbal, (3) organik (ekstrak karbon chloroform, senyawa aktif biru metilen, minyak dan lemak, cyanida,
phenol, pestisida, organochlorin, dan organophosporus), (4) khusus (BOD atau biochemical oxygen demand,
COD atau chemical oxygen demand, DO atau dissolved oxygen dan zat tersuspensi), dan (5) bakteriologis
(jumlah total bakteri dan coli tinja).
DO (konsentrasi oksigen terlarut di dalam air) mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan biota
air. Pada sungai yang jernih dan tidak tercemar, biasanya kandungan DO-nya tinggi, dan sebaliknya bila
sungai tercemar kandungan DO-nya rendah bahkan bisa nol. Limbah rumahtangga atau industri yang
menggunakan bahan organik, akan mempengaruhi BOD, yaitu banyaknya oksigen dalam air yang diperlukan
untuk menguraikan limbah organik di dalamnya. Sedangkan limbah yang mengandung bahan kimia akan
meningkatkan COD, yaitu banyaknya oksigen dalam air yang diperlukan untuk menguraikan bahan kimia
yang dimasukkan ke dalamnya, sehingga peningkatan BOD atau COD akan mengakibatkan berkurangnya
DO di dalam air.
Parameter-parameter baku mutu air limbah telah ditetapkan satuannya, yaitu menyangkut aspek (1)
fisik (kekeruhan, suhu dan warna), (2) kimiawi (air raksa, amonia, arsen, besi total, boron, fluorida, phospat,
kadmium, khlor bebas, khlorida, khrom total, khrom 6+, kesadaran total, nikel, nitrit, pH, seng, sulfat, sulfida,
tembaga, dan timbal, (3) organik (phenol, minyak dan lemak, senyawa aktif biru metilen, cyanida, dan organik
KMn0 4), dan (4) khusus (BOD, COD bichromat, padatan tersuspensi, padatan terlarut, padatan terendapkan,
pestisida dan radio aktif).

Pengawasan
Ketentuan kriteria ambient kualitas udara dan kebisingan serta baku mutu air sungai dan air limbah
telah ditetapkan oleh Gubernur. Yang paling penting adalah bagaimana mengamankan keputusan Gubernur
tersebut agar ditaati oleh semua pihak tanpa kecuali. Agar keputusan Gubernur tersebut dapat dilaksanakan
dengan baik, diperlukan pengawasan yang terus menerus dan tidak kenai kompromi. Sekali petugas atau
aparat Pemda berbuat curang, maka akan sia-sialah pelaksanaan dan penerapan keputusan Gubernur ini.
Sebaliknya, masyarakat dan swasta yang tidak bertanggungjawab terhadap pelestarian lingkungan sangat
tidak terpuji.
BMW-nya aparat dan warga DKI dalam mewujudkan kelestarian lingkungan akan turut diuji melalui
sejauh mana tindakan mereka dalam melaksanakan dan mengamankan empat SK Gubernur tentang
pelestarian lingkungan. Tantangan buat kita semua, dapatkah menjadikan sungai Ciliwung di ibukota agar
dapat dilalui perahu wisata seperti di Amsterdam, Paris, dan Bangkok misalnya. Mengapa tidak?
Jayakarta, 14 Maret 1990

202
Pengelolaan Air Di DKI Jakarta

Jakarta kekurangan air bersih, padahal paling sedikit 19 sungai mengalir di ibukota. Laporan Neraca
Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta Tahun 1990 menegaskan pentingnya pengamanan
kualitas air sungai untuk peruntukan air baku air minum, perikanan dan pertanian, industri, dan drainase.
Sejalan dengan itu, kualitas dan debit air sungai diperhatikan, pengelolaan situ ditingkatkan, kuantitas dan
kualitas air tanah dijaga, intrusi air laut dipantau, dan perairan wilayah pesisir dikendalikan.

Pengelolaan Air
SK Gubernur KDKI Nomor 484 Tahun 1977 menetapkan kriteria kualitas badan air untuk empat
peruntukan, yaitu (1) air baku air minum (Ciliwung, Kalibaru Barat, dan Tarum Barat); (2) perikanan dan
pertanian (Angke, Pesanggerahan, Mookervart, dan Kamal); (3) industri (Cakung, Buaran, dan Jati Kramat),
dan (4) drainase (Grogol, Sekretaris, Krukut, Mampang. Cideng, Kalibaru Timur, Cipinang, dan Sunter).
Hasil pemantauan P4L DKI menunjukkan bahwa Kali Cipinang dan Sunter yang peruntukannya adalah
drainase, kenyataannya dialihkan menjadi peruntukan air baku air minum. Debit air sungai Ciliwung di hulu
1,9 - 15,98 m2/det (musim kemarau) dan 7,35 - 222,86 m3/det (musim hujan), dipengaruhi oleh pintu air
Gadog, Ciawi dan Bogor. Debit air sungai Ciliwung di daerah hilir cenderung meningkat, 13,14 - 221 ,80 m3/
det (musim kemarau) dan 8,85 - 28,16 m3/det (musim hujan). Peningkatan debit disebabkan oleh ali ran
Tarum Barat, Kalibaru Barat, dan Krukut. Di muara, debit air sungai Ciliwung meningkat menjadi 43,02 m3/det
(musim kemarau) dan 53,01 m3/det (musim hujan), terutama disebabkan oleh bergabungnya Kali Angke
sebelum muara. Kecenderungan yang hampir sama, terjadi juga di aliran sungai Sunter dan Cipinang.
Parameter yang telah melampaui kriteria persyaratan air baku air minum, antara lain amonia, Chemical
Oxygen Demand (COD), Biological Oxygen Demand (BOD), detergen dan phenol. Kandungan amonia
berkisar antara 0,02 - 13,15 mg/ltr, kandungan tertinggi di muara sungai Ciliwung Banjir Kanal dan Sunter.
Kandungan terendah amonia terdapat di sungai Kalibaru Barat (0,02 mg/ltr pada musim kemarau) dan hilir
Ciliwung (0,08 mg/ltr pada musim hujan). Kandungan COD dalam air sungai berkisar antara 11 ,27 - 448,45
mg/ltr dengan kandungan tertinggi ada di muara kali Sunter (448,45 mg/ltr pada musim kemarau) dan
Cipinang (98,40 mg/ltr, musim hujan). Kandungan terendah terdapat di daerah hilir kali Sunter (11 ,90 mg/ltr,
musim kemarau) dan hilir Cipinang (11 ,27 mg/ltr, musim hujan).
Kandungan BOD dalam air sungai, 5,39 - 260,00 mg/ltr, kandungan tertinggi di muara Sunter (260,00
mg/ltr, musim kemarau) dan hilir sungai Cipinang (5,39 mg/ltr, musim hujan). Tingkat pencemaran air sungai
sebagai air baku air mimum diklasifikasikan sebagai tidak tercemar sampai dengan berat.
Situ, adalah suatu wadah genangan air di atas permukaan tanah yang terbentuk baik secara alami
maupun buatan (airnya berasal dari tanah atau air permukaan sebagai siklus hidrologis yang potensial).
Duapuluh situ seluas 65,040 Ha (termasuk waduk dan empang) tersebar di Lima Wilayah Kota. Kondisi situ
saat ini cenderng makin buruk, karena kurangnya upaya pelestarian. Duapuluh situ tersebut tersebar tiga
buah di Jakarta Pusat (1 ,01 Ha Situ Lembang, 1,40 Ha Situ Kebun Melati, dan 5,50 Ha Taman Ria Remaja),
lima di Jakarta Selatan (6,00 Ha TMP Kalibata, 117,15 Ha Siti Babakan, 10,00 Ha Rawa Ulujami, 5,40 Ha Situ
Mangga Balong, dan 6,74 Ha Waduk Setiabudi), dua situ di Jakarta Barat (Empang Grogol dan Rawa Kepa).
empat di Jakarta Utara (85,00 Ha Waduk Pluit, 40,00 Ha Waduk Sunter, 20,00 Ha Rawa Kendal, dan 14,00
Ha Rawa Papanggo), dan lima di Jakarta Timur (12,00 Ha Rawa Dongkal, 6,40 Ha Situ Kelapa Dua Wetan,
3,00 Ha Situ TMII, 30,00 Ha Rawa Rorotan, dan 9,00 Ha Waduk Pulomas.
Situ Lembang di Jakarta Pusat yang dikelilingi taman, tidak pernah kering. Selain memperoleh air dari
ali ran sekitarnya, diperkirakan situ ini memiliki mata air di tengahnya. Manfaat situ ini untuk taman lingkungan,
rekreasi dan arena pemancingan. Waduk Kebon Melati berfungsi sebagai penampungan air pengendali banjir.
Terbuka pula kemungkinan memanfaatkan waduk ini untuk kepentingan pariwisaa. Taman Ria Remaja,
digunakan sebagai tempat rekreasi bagi anak-anak dan remaja.

203
Situ TMP Kalibata di Jakarta Selatan. kondisinya cukup bersih dan tenang, digunakan untuk rekreasi
dan santai. Situ Babakan di Srengseng Sawah Pasar Minggu berfungsi sebagai daerah resapan dan
tangkapan air dan pertanian. Penggunaan lahan dan pembangunan di sekitar situ yang tidak terkendali, akan
merupakan ancaman bagi kelestarian situ pada masa yang akan datang. Rawa U/ujami dimanfaatkan sebagai
daerah resapan penampungan air, dan sumber air pada musim kemarau. Kondisinya saat ini memprihatinkan,
karena hampir tidak ada pemeliharaan sama sekali. Situ Mangga Bolong, digunakan untuk keperluan irigasi,
pertanian, perikanan, dan resapan air tanah. Banyaknya bangunan rumah di sekitar situ dan tanaman buah-
buahan di sekeliling situ, mengurangi fungsi situ. Waduk Setiabudi, berfungsi sebagai pengendalian banjir
dan pengelola limbah. Waduk Empang Grogol dan Waduk Rawa Kepa juga berfungsi sebagai pengendali
banjir.
Waduk Pluit di Jakarta Utara yang dikelilingi perkantoran, perumahan mewah, rumah susun dan rumah
kumuh serta pergudangan digunakan untuk rekreasi dan penampungan air, walaupun kualitas airnya buruk,
di beberapa tempat dijumpai bau yang tidak sedap, dan banyak sampah. Waduk Sunter, semakin menurun
fungsinya sebagai penampungan air, karena disekelilingnya sudah diisi dengan berbagai jenis bangunan
resmi dan liar. Rawa Kendal di Marunda besar peranannya sebagai tempat resapan dan tangkapan air,
penampungan air buangan irigasi, wisata rekreasi, dan perikanan. Rawa Papanggo perlu diamankan sebagai
penampung air buangan daerah permukiman.
Di Jakarta Timur, Rawa Dongkal yang merupakan rawa alam berfungsi sebagai daerah resapan air,
mengairi daerah pertanian (Cibubur, Munjul Setu dan Cilangkap), wisata dan perikanan. Tumbuhnya rumah-
rumah mewah di sekitar situ ini diharapkan bisa menjaga kelestarian situ. Situ Kelapa Dua Wetan mengairi
daerah pertanian Cipayung, Kelapa Dua Wetan, Ceger, Bambu Apus, dan daerah TMII. Sebagian dari situ
telah berubah fungsi menjadi perkebunan, rumah-rumah petak dan kolam ikan. Situ TM/1 selain untuk rekreasi
juga mengairi kebun-kebun di TMII. Rawa Rorotan di Cakung telah berkurang luasnya karena sebagian
digunakan untuk perumahan liar, dan Waduk Pulomas di kompleks perumahan mewah dikelola oleh Yayasan
Pulomas.
Air tanah merupakan sumber air bersih utama bagi penduduk DKI. Pemanfaatan air tanah meliputi air
tanah dalam (untuk keperluan hotel, kompleks perdagangan, industri) dan air tanah dangkal (untuk
rumahtangga). Pemantauan kualitas air tanah telah dilakukan terhadap sumur-sumur di Pondok Betung,
Senayan, Pulo Gadung, Grogol, Cengkareng dan Kebon Kacang. lndikasi pencemaran terhadap air sumur
dalam terlihat di Cengkareng (pencemaran oleh zat organik, amonium sulfat dan chlorida), Grogol (zat padat
terlarut, amonium, sulfat, dan chlorida), Gambir (zat organik, amonium, chlorida dan besi), dan Pasar Minggu
(zat nitrit dan amonium). Demikian pula kandungan kualitas sumur dangkal di Cengkareng (zat organik,
amonium, nitrit dan besi). Kebon Kacang (zat amonium, nitrit, besi dan sulfat). Pulo Gadung (zat amonium,
nitrit dan organik), pencemaran yang berasal dari septic tank beberapa tempat, dan sumur yang tercemar
oleh limbah industri di Palmerah, Ciracas dan Cipinang.
Perubahan sebaran zona air tanah payau dan asin, terlihat pada akifer dalam (perubahan kecil daerah
Salemba - Batuceper - Cengkareng - Grogol dan Sukapura - Babelan - Cibitung), pergeseran ke arah darat
(Grogol- Senen dan Senen- Rawamangun- Pulogadung, dan Cibitung). Pada kedalaman 40- 140m, terihat
indikasi tidak mengalami perubahan (Kamal- Cengkareng- Tambora), pergeseran paling besar (Grogol- Pasar
Baru- Tomang), dan pergeseran sekitar 1 Km (Kemayoran- Utara Sunter- Tanjung Priok), sedangkan pada
kedalaman di atas 140 m, pergeseran 3 Km (Kapuk - Cengkareng), 0,5-3 Km (Kapuk - Pedongkelan -
Tambora), dan sejauh 2 Km arah ke Timur (Piuit- Penjaringan).
Pengendalian wilayah pesisir Teluk Jakarta dan Kawasan Kepulauan Seribu semakin ditingkatkan
untuk melestarikan alam dan lingkungan. Pengelolaan kawasan pantai diprioritaskan pada pantai Cilincing,
Marunda dan muara Kali Bekasi, daerah pasang surut, dan Kamal Muara. Pemantauan terhadap faktor-faktor
yang mempengaruhi kondisi wilayah pesisir, seperti erosi dan abrasi, pasang surut, suhu, salinitas, dan
oksigen terlarut, kadar fosfat, nitrat dan kesuburan, kekeruhan air dan pH, logam berat, kadar logam berat
pada sedimen, kondisi bakteriologis (bakteri heterotrofik laut, bakteri halotoleran, bakteri heterotrofik dan
halotoleran, dan bakteri indikator pencemaran) semakin ditingkatkan.
Banjir di Jakarta, yang merupakan salah satu ancaman yang disebabkan oleh kondisi air yang tidak

204
terkendali perlu dikendalikan. Paling sedikit 31 lokasi di Wilayah Barat, 30 di Wilayah Tengah, dan 26 di
Wilayah Timur telah diidentifikasikan sebagai daerah rawan banjir. Di daerah Barat antara lain kompleks IKPN
Bintaro, Shangrila lndah, Meruya llir, kompleks Hankam Slipi, Daan Mogot dan Kapuk Kamal. Di daerah
Tengah, meliputi kompleks Polri Pondok Karya, Tegal Parang, Kali Pasir, Bunderan Air Mancur, Sarinah dan
sekitarnya, Manggadua Selatan, dan Penjaringan. Di daerah Timur, daerah banjir meliputi daerah Rajawali
Selatan, kampung Rawa Sawah, Penas, Kebon Nanas, dan Gang Pedati, Sumur Batu, dan Kampung Lagoa.

Penanggulangan
Penanggulangan masalah kualitas dan debit air sungai, air tanah, situ, intrusi air laut dan wilayah
pesisir perlu dipadukan dalam suatu sistem penanggulangan masalah kependudukan dan lingkungan hidup
yang antara lain melalui pengendalian laju pertumbuhan penduduk dan penyebarannya, penyuluhan agar
masyarakat meningkatkan disiplin, mentaati peraturan perundang-undangan, dan menghindari pencemaran,
perbaikan dan pemugaran lingkungan yang sudah terlanjur rusak, pelaksanaan program kali bersih secara
terpadu dan lintas sektoral, dan peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan yang berwawasan
lingkungan dan berkelanjutan (sustainable development).
Merdeka, 15 Juni 1991

Prokasih Perlu Peran Serta Masyarakat


Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup menyebutkan bahwa pengelolaan lingkungan hid up di daerah menjadi tanggungjawab Pemda. Dengan
demikian pengelolaan sungai sebagai komponen lingkungan hidup dengan sendirinya juga menjadi tanggung
jawab Pemda yang bersangkutan. Rapat Kerja Pengendalian Pencemaran Air di Daerah (Surabaya, 14-15
Juni 1988) menyepakati prioritas prokasih (program kali bersih) di de Iapan propinsi, yaitu (1) Sumatera Utara
(Sungai Deli, Asahan, dan Merbau), (2) Sumatera Selatan (Sungai Musi), (3) Lampung (Way Pengubuan dan
Way Seputih), (4) DKI Jakarta (Sungai Ciliwung, Cipinang, dan Mookervart), (5) Jawa Barat (Sungai Citarum,
Cisadane, Cileungsi Bekasi, dan Ciliwung), (6) Jawa Tengah (Sungai Bengawan Solo dan Kali Garang), (7)
Jawa Timur (Kali Brantas dan Sungai Bengawan Solo), dan (8) Kalimantan Timur (Sungai Mahakam dan
Karang Mumus).

Prokasih
Sasaran jangka pendek prokasih adalah perhatian terhadap sumber pencemar dari sektor industri
khususnya yang membuang limbah yang mengandung bahan berbahaya dan beracun (83). Sasaran jangka
panjang meliputi pengendalian melalui mekanisme kelembagaan atas limbah rumahtangga, kegiatan
pengembangan daerah aliran sungai, pengendalian erosi, sedimentasi dan non-point sources pollution seperti
pupuk dan pestisida. Langkah-langkah prokasih terdiri atas (a) identifikasi sumber pencemaran, (b) pertemuan
dengan penanggungjawab sumber pencemar, (c) penentuan mutu limbah cair yang boleh dibuang, (d)
pernyataan tertulis tentang kesanggupan penanggungjawab sumber limbah, (e) pemantauan kegiatan dan
hasilnya, dan (f) sanksi administratif atau tuntutan hukum jika dianggap perlu, dan (g) peningkatan
kemampuan aparat hukum dalam menangani pengaduan tentang pencemaran.
Penanggungjawab prokasih di tingkat Pusat adalah Menneg KLH dan Mendagri bekerjasama dengan
para Menteri terkait, sedangkan di tingkat Provinsi adalah Gubernur dibantu oleh lnstansi Terkait dan
pelaksana koordinasi adalah Wakil Gubernur. Pelaksanaan prokasih harus dibarengi oleh peningkatan
kesadaran dan partisipasi masyarakat. Tanpa peran serta dan partisipasi masyarakat, mustahil prokasih akan
berhasil sesuai dengan target atau sasaran yang telah ditentukan. Prokasih di DKI Jakarta dilaksanakan di
tiga sungai, yaitu Ciliwung, Cipinang dan Mookervart. Sebenarnya masih banyak lagi sungai-sungai kecil di
Jakarta yang tercemar, tetapi pencemaran di tiga sungai tersebut dianggap paling membahayakan.

205
Wagub bidang Ekbarg Pemda DKI Jakarta, Herbowo, menyatakan bahwa sampai dengan saat ini
telah ada beberapa kegiatan ya~g ~er.unjang prokasih. Gerakan Ciliwung Bersih telah diprakarsai dan
dikoordinasikan oleh PPSML-UI dengan melibatkan beberapa Universitas, antara lain Universitas Pancasila,
Trisakti, Nasional, lAIN, dan IKIP. BKPMD-DKI Jakarta telah melakukan inventarisasi dan pemantauan limbah
industri dengan fasilitas yang lokasinya berada di sepanjang sungai yang termasuk prokasih DKI. Di samping
itu telah dilakukan pertemuan dengan industri pencemar sungai Ciliwung, Cipinang, dan Mookervart,
menyepakati beban limbah, melakukan kunjungan ke industri, melatih personil, dan dibuatnya pernyataan
tertulis kesanggupan pengusaha industri. Pihak tim prokasih DKI telah melakukan pemantauan effluen (untuk
melihat kemungkinan adanya penyimpangan) dan kualitas ambient (bahan evaluasi kualitas air sungai sebelum
dan sesudah pelaksanaan prokasih DKI Jakarta).
Sungai Ciliwung bisa tercemar oleh hasil buangan banyak industri, antara lain Schering, Dupa, Bata,
Sita Express, pabrik ubin, Sinar Agape Press, Panda Elektronik, Lucky Print, Essence Indonesia, dan Bumi
Grafika. Sungai Cipinang menerima pencemaran dari sumber-sumber di pabrik Dumex, Kenrose, Bayer, Enka
Parahiangan. lndomilk, NGK Busi. Prem Botling, Transigani, Centex, Dipo Perum PPD, Jaya Konstruksi,
Wonderful, New Crown, Super Sinar, Lambang, Rosda Jaya, Menara Jaya, Supermie, Nelco, Mustika Ratu,
Foremost, Khong Guan, Guru Ind., Whellock, Ceiba Geigy, Delta Marina, Pfizer, National Gobel, dan Friesche
Flag. Pencemaran di sungai Mookervart asalnya dari Metro Utama Raya, Serindo Jaya, Jameshardi,
Gurcindo, Muroco, Winner, Sucaco, Hisotex, Pertamil, Peacock, Crown Porselin, Dragon PH, lndomachine,
Gamay Jaya, lnkabel, Pamada, dan lntercallin (Herbowo, 1989).
Kegiatan prokasih jangka pendek di DKI Jakarta didukung oleh enam Kelompok Kerja (Pokja) yaitu
Pokja yang dikoordinasikan P4L (identifikasi perusahaan dan industri di sepanjang kali Ciliwung, Cipinang,
dan Mookervart, termasuk pengumpulan data kualitas dan kuantitas limbah serta inventarisasi konsultan yang
bergerak dalam bidang rekayasa pengolahan limbah), dikoordinasikan BKPMD (pembakuan dan
penandatanganan surat pernyataan kesepakatan menurunkan limbah industri yang dibuang ke badan
sungai), Pokja Dinas Perindustrian (penyuluhan rekayasa dan rancang bangun sarana pengolahan limbah
cair industri), P4L (pemantauan air sungai dan limbah industri di tiga sungai), Pokja Biro Hukum (piranti
hukum dan penerapan sanksi), dan Pokja Biro BKLH (pembinaan peran serta LSM dan Pusat Pengkajian
Lingkungan). Kegiatan prokasih jangka panjang dituangkan ke dalam program dan proyek yang didukung
dana APBD, program perbaikan kampung terpadu, penyediaan mck, pengerukan sungai, normalisasi aliran
sungai, dan penyusunan kerangka acuan prokasih Jangka Panjang.
Diukur dari kebutuhan oksigen kimiawi atau COD (Chemical Oxygen Demand) maka beban pencemaran
dari 10 industri kepada sungai Ciliwung mencapai 1.654,85 kg/hari. Jika setiap industri mematuhi SK Gubernur
DKI Jakarta Nomor 1608 Tahun 1988 tentang peruntukan dan baku mutu air sungai serta baku mutu air
limbah DKI Jakarta, yaitu mengolah air limbah yang dihasilkannya sehingga memenuhi baku mutu air limbah
DKI Jakarta, maka beban limbah ke sungai Ciliwung turun menjadi 114,35 kg/hari (ada penurunan 93%).
Sungai Cipinang menerima beban pencemaran 32 industri dengan COD 10,658 kg/hari. Jika lim bah industri
memenuhi baku mutu limbah yang diperkenankan, maka beban limbah menjadi 1.139 kg/hari atau turun 89%.
Sungai tercemar di Jakarta Barat, Mookervart, menerima beban pencemaran 1.067,84 kg/hari yang akan
turun menjadi 441,11 kg/hari (turun 59%) jika persyaratan limbah dipenuhi.
Dari gambaran ini terlihat bahwa jika prokasih berjalan lancar, maka beban limbah di ketiga sungai
tersebut berkurang. Beban limbah tersebut masih belum diperhitungkan terhadap pencemaran dari permukiman
yang sebenarnya tidak sedikit jumlahnya. Prokasih memerlukan peran serta semua pihak, dari industri dan
pengusaha lainnya, warga DKI dan masyarakat pada umumnya. Pembudayaan hidup bersih dan sehat bukan
saja berusaha menciptakan lingkungan pemukiman, perkantoran dan fasilitas dalam prokasih tidak kalah
pentingnya dengan pembangunan sarana dan prasarana serta aspek teknis prokasih. Kebiasaan membuang
sampah tidak pada tempatnya, buang hajat di kali, mandi di kali, membuang limbah perumahan, kegiatan
industri rumahtangga dan kerajinan ke aliran sungai merupakan tindakan yang tidak terpuji.

Saran
Kegiatan Prokasih secara nasional diarahkan pada pencapaian sasaran penurunan BOD dan COD dari
kelebihan baku mutu air sungai tahun sebelumnya dan air buangan industri harus memenuhi persyaratan

206
baku mutu air buangan. Khususnya di DKI Jakarta, kegiatan prokasih selama sepuluh tahun (1989-1999)
difokuskan pada upaya pengamanan kualitas air sungai termasuk pengamanan mutu air asal Jawa Barat dan
penataan lingkungan fisik sungai.
Pelaksanaan kegiatan prokasih di DKI Jakarta mengacu pada Kepgub Nomor 1608 Tahun 1988,
Kepgub Nomor 1004 Tahun 1989, dan Kepgub Nomor 327 Tahun 1990. Hasil identifikasi sumber pencemaran
di tiga sungai menunjukkan ada 117 industri sumber pencemar (114 yang sudah menandatangani surat
pernyataan), terdiri atas 36 industri di sepanjang aliran kali Ciliwung, 57 industri di kali Cipinang, dan 24
industri di kali Mookervart. Tingkat pencemaran industri menunjukkan 10 industri tergolong pencemar paling
berat, 26 cukup be rat, 10 ringan, dan 15 bukan pencemar. Sepuluh industri pencemar be rat sudah
memperoleh peringatan dari Gubernur DKI Jakarta. Upaya penegakan hukum dalam kasus pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup yang melibatkan Mendagri, Menkeh, Menneg KLH, Jaksa Agung, dan Kepala
Kepolisian, mengacu pada Surat Edaran Menneg KLH Nomor 03/SE/MenKLH/6/87 tentang Prosedur
penanggulangan kasus pencemaran dan perusakan lingkungan hidup.
Kegiatan Prokasih perlu didukung oleh peningkatan peran serta dan partisipasi masyarakat, swasta,
perguruan tinggi, instansi pemerintah terkait, LSM dan Organisasi Kemasyarakatan lainya, pengelola majalah,
surat kabar, radio, televisi dan media elektronik, serta lembaga litbang melalui penyuluhan dan pemasyarakatan
program Prokasih, pembangunan mck, penelitian atau studi lingkungan, penghijauan, sarasehan, dan
pembuatan sinetron - Warisan Bumi atau Cinta Lingkungan. Forum Komunikasi Lingkungan pada tingkat
provinsi sangat besar peranannya dalam memobilisasi potensi masyarakat, swasta dan pemerintah untuk
mempercepat pencapaian sasaran penciptaan kali bersih.
Angkatan Bersenjata, 25 Agustus 1992

Pengelolaan Baku Mutu Udara Emisi Kendaraan


Bermotor di DKI Jakarta
Buangan zat-zat atau bahan-bahan sisa pembakaran yang terwujud sebagai emisi kendaraan bermotor
dapat menimbulkan pencemar yang sangat potensial yang pada akhirnya menyebabkan turunnya mutu
lingkungan hidup. Untuk meningkatkan keselamatan di jalan raya dan pelestarian lingkungan hidup, Gubernur
DKI Jakarta telah mengeluarkan ketetapan mengenai Baku Mutu Udara Emisi Kendaraan Bermotor melalui
SK Nomor 1222 Tahun 1990 tanggal 9 September 1990. Petunjuk Pelaksanaan Surat Keputusan ini
ditetapkan melalui SK Gubernur Nomor 1236 Tahun 1990 tanggal14 September 1990.
Dalam mengendalikan tata lingkungan hidup, khususnya penegakan hukum atas pelanggaran peraturan
lingkungan hidup berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan di wilayah DKI Jakarta, melalui SK
Gubernur Nomor 709 Tahun 1990 telah dibentuk Tim Koordinator Penegakan Hukum Lingkungan Hidup. SK
Gubernur ini merupakan penjabaran dari Surat Edaran Menneg KLH Nomor 03/SE/MENKLH/6/1987 tentang
Prosedur Penanggulangan Kasus Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup.

Baku Mutu Emisi


Kendaraan bermotor wajib uji adalah semua jenis kendaraan bermotor yang sudah beroperasi di jalan
raya dalam wilayah DKI Jakarta, yang meliputi kendaraan bermotor umum dan kendaraan bermotor bukan
umum, yaitu mobil penumpang, mobil bis, mobil barang, dan sepeda motor. Semua kendaraan bermotor wajib
uji, harus memenuhi persyaratan pengujian kelaikan jalan. Udara emisi kendaraan bermotor (emisi) merupakan
zat atau bahan pencemar yang dikeluarkan langsung dari kendaraan bermotor melalui pipa pembuangan
(knalpot) bahan bakar dalam mesin. Baku mutu udara emisi kendaraan bermotor (baku mutu emisi) adalah batas
kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan pencemar yang terkandung dalam emisi kendaraan bermotor

207
sehingga kadar zat atau bai1an tersebut tidak menimbulkan gangguan pada lingkungan. Hasil uji kendaraan
bermotor diberikan dalam bentuk tanda kelaikan emisi, yang menyatakan bahwa kendaraan bermotor
mempunyai emisi yang telah memenuhi baku mutu emisi, setelah dilakukan uji emisi. Jenis bahan bakar
kendaraan bermotor dapat berupa minyak dan gas sesuai spesifikasi yang ditetapkan Pemerintah.
Peraturan seperti ini untuk kendaraan bermotor khusus milik ABRI. Corps Diplomatik (CD) dan milik
Pemerintah, ditetapkan lebih lanjut. Parameter baku mutu emisi, ditentukan seperti tercantum pada Tabel.
Evaluasi terhadap baku mutu emisi dilakukan setiap 3 (tiga) bulan. lnstansi yang bertanggungjawab atas
pelaksanaan uji emisi kendaraan bermotor di DKI Jakarta, telah ditunjuk Dinas Lalu Lintas dan Angkutan
Jalan Raya (DLLAJR). Pelaksanaan uji emisi (diatur dalam petunjuk teknis) dilakukan bersama-sama dengan
pengujian kelaikan jalan dan atau terpisah dan kendaraan yang telah memenuhi ketentuan uji emisi, diberikan
Tanda Kelaikan Emisi (berlaku selama-lamanya enam bulan dan tidak kurang dari tiga bulan).
Pengendalian terhadap pelaksanaan uji coba emisi dan penertiban terhadap kelaikan emisi kendaraan
bermotor yang beroperasi di jalan raya dilakukan oleh lnstansi terkait (mengacu pada PP Nomor 6 Tahun
1988 dan lnmendagri Nomor 18 Tahun 1989 tentang Koordinasi Kegiatan lnstansi Vertikal di Daerah), yaitu
Bappeda, Biro Bina Kependudukan dan Lingkungan Hidup (BKLH), Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkotaan dan Lingkungan (P4L), Biro Pengembangan Sarana Perekonomian Daerah, Biro Ketertiban,
Badan Koordinasi Penanaman Modal Daerah (BKPMD), Dinas Kesehatan, Perindustrian, Pekerjaan Umum,
Tata Kota, dan Biro Hukum. Pelaksanaan pengendalian, meliputi kegiatan pemantauan dan pelaporan
terhadap pelaksanaan baku mutu emisi sesuai dengan fungsi dan wewenangnya. Penertiban terhadap emisi
kendaraan bermotor yang beroperasi di wilayah DKI Jakarta meliputi pemeriksaan langsung dan atau uji petik
terhadap kelaikan emisi. Pengendalian dan penertiban ini mengandung arti bahwa setiap kendaraan bermotor
yang emisinya tidak memenuhi baku mutu emisi, tidak diperbolehkan beroperasi di jalan raya.
Uji emisi, merupakan salah satu komponen dalam pengujian kelaikan jalan kendaraan bermotor.
Pelaksanaan baku mutu emisi mempunyai masa transisi, yaitu satu tahun terhitung sejak tanggal penetapan.
Untuk periode 3 (tiga) tahun pertama terhitung sejak berakhirnya masa transisi, setiap kendaraan bermotor
wajib uji harus memenuhi baku mutu emisi. Untuk periode selanjutnya, setiap kendaraan bermotor yang
beroperasi di DKI Jakarta harus memenuhi baku mutu emisi. Dalam persiapan dan pelaksanaan uji emisi ini,
ada empat butir penting tugas DLLAJR. Pertama, sejak ditetapkannya baku mutu emisi, DLLAJR bertugas (1)
melakukan penyuluhan dan pembinaan kepada pemilik kendaraan bermotor wajib uji emisi, (2) melakukan
pembinaan kepada pihak swasta yang akan berperan serta terhadap pelaksanaan uji emisi kendaraan
bermotor, (3) melengkapi prasarana dan sarana uji emisi kendaraan bermotor, dan (4) melakukan koordinasi
dengan lnstansi terkait, baik di lingkungan Pemerintah Daerah maupun di lingkungan Pemerintah Pusat.
Kedua, selama masa transisi, DLLAJR menetapkan pedoman pelaksanaan teknis uji emisi berdasarkan
ketentuan yang berlaku dan metode emisi yang sesuai, serta mengusulkan kebutuhan kelengkapan prasarana
dan sarana uji emisi. Ketiga, pada periode 3 tahun pertama, DLLAJR (1) melakukan penunjukkan kepada
pihak swasta untuk melakukan uji emisi, (melaksanakan pembakuan tehadap petunjuk teknis uji emisi
sebagai pedoman pengujian emisi oleh pihak swasta, dan (3) mengusulkan rencana biaya uji emisi yang
harus dipenuhi oleh pemilik kendaraan bermotor wajib uji emisi, yang besarnya akan ditentukan kemudian.
Keempat, pada peri ode selanjutnya terhitung sejak berakhirnya peri ode pertama DLLAJR bertugas (1)
menyelenggarakan uji emisi terhadap semua jenis kendaraan bermotor yang beroperasi di DKI Jakarta, (2)
melakukan pengendalian dan penertiban terhadap pelaksanaan uji emisi yang dilakukan oleh pihak swasta
(3) meningkatkan kualitas dan kuantitas prasarana ·dan sarana uji emisi kendaraan bermotor, dan (4)
melakukan evaluasi terhadap hasil pelaksanaan uji emisi dan melaporkan kepada Gubernur Kepala Daerah.
Evaluasi terhadap baku mutu emisi dikoordinasikan oleh P4L DKI Jakarta (penelitian dalam rangka
evaluasi parameter emisi), Biro BKLH DKI Jakarta (pengkajian dalam rangka evaluasi), dan Biro Hukum DKI
Jakarta (pengkajian dalam rangka evaluasi). Evaluasi terhadap baku mutu emisi ini dilakukan dengan
memperhatikan ketentuan yang berlaku secara mendayagunakan data dan informasi yang terkait.

Pengelolaan
Keberhasilan pelaksanaan, pengendalian, penertiban dan evaluasi baku mutu udara emisi kendaraaan

208
bermotor di wilayah DKI Jakarta perlu didukung oleh kesadaran warga Jakarta dan pengawasan yang ketat
oleh lnstansi terkait. Tim Koordinasi Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dalam wilayah DKI Jakarta yang
dibentuk melalui SK Gubernur Nomor 709 Tahun 1990 hendaknya benar-benar bekerja dengan baik dalam
menerima, menghimpun, meneliti dan menganalisis laporan penderita atau masyarakat sehubungan terjadinya
pencemaran dan kerusakan lingkungan, mengumpulkan bahan dan keterangan kebenaran laporan (tingkat
pencemaran, sumber pencemaran, perkiraan besarnya kerugian dan penilaian pencegahan), membuat
kesimpulan, memberikan saran dan petunjuk pengambilan langkah dalam menghadapi kasus pencemaran/
kerusakan lingkungan, mengambil langkah-langkah penindakan penegakan hukum, memantau terjadinya
pencemaran/kerusakan lingkungan, dan cepat melaporkan kasus yang terjadi kepada Gubernur.
Pengendalian, penertiban dan evaluasi terhadap baku mutu emisi kendaran bermotor merupakan
tugas pengelolaan lingkungan, seperti juga tugas-tugas pengelolaan lingkungan lainnya, antara lain tugas
P4L dalam memeriksa dan meneliti hasil buangan industri (Kepgub Nomor 382 Tahun 1977), penetapan
kriteria, ambient kualitas udara dan kriteria ambient bising (Kepgub Nom or 587 Tahun 1980), peruntukan dan
baku mutu air sungai serta baku mutu air limbah (Kepgub Nomor 1608 Tahun 1988), dan Tim Kerja
Pelaksana Program Kali Bersih (Prokasih) di Sungai Ciliwung, Cipinang dan Mookervart (Kepgub Nomor
1004 Tahun 1989).
Angkatan Bersenjata, 8 Juli 1992

Tabel. PARAMATER BAKU MUTU UDARA KENDARAAN BERMOTOR Dl WILAYAH DKI JAKARTA.
1-
Mutu Udara Emisi
No. Jenis Kenda- Jenis Bahan Bakar --------------------- ------- --------
raan Bermotor CO-% NO-ppm
HC-ppm Asap-%
-~------------
(volume) (volume) --------

1. Mobil Pe- - Bensin I Premix 4,50 1.200 1.200


numpang - Solar 1.200 1.200 50
- BBM 2-Tak 4,50 1.200 1.200 50
- Gas 3,00

2. Mobil Ba- - Bensin/Premix 4,50 1.200 1.200


rang - Solar 1.200 1.200 50
- Gas 3,00

3. Mobil Bis - Bensin/Premix 4,50 1.200 1.200


- Solar 1.200 1.200 50
- Gas 3,00

4. Sepeda Mo- - Bensin/Premix 4,50 2.800 2.400


tor - BBM 2 Tak 4,50 3.600 3.000

Sumber: Lampiran Kepgub DKI Jakarta Nomor 1222 Tahun1990.

209
Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Sampah
Pengelolaan sampah yang baik dan memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu upaya
mencapai derajat kesehatan yang mendasar. Masyarakat perlu dilindungi dari kemungkinan gangguan
kesehatan akibat pengelolaan sampah sejak pengumpulan, pengangkutan, sampai ke tempat pembuangan
akhir.
Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Depkes telah
mengeluarkan SK No. 281-II/PP.03.04.1P tanggal30 Oktober 1989 tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan
Sampah. Dengan SK ini, Kanwil Depkes melaksanakan bimbingan dan pengendalian terhadap penerapan
persyaratan kesehatan pengelolaan sampah, pembinaan teknis dilakukan oleh Dinas Kesehatan DT I
bersama lnstansi lain yang terkait, dan pengawasan dilakukan oleh Dinas Kesehatan DT II.
Kurangnya perhatian dalam pengelolaan sampah sejak sampah dihasilkan sampai ke pembuangan
akhir sangat merugikan kesehatan masyarakat secara langsung maupun sebagai akibat menurunnya kualitas
lingkungan. Dampak langsung bisa menimbulkan berbagai penyakit seperti diare, kulit, scrub typhus (tipus
bercak wabah), deman berdarah dengue, dan typhoid (tipus perut), dan kecacingan.

Persyaratan
Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Sampah adalah ketetapan terhadap seluruh proses pengelolaan
sampah yang memenuhi kriteria-kriteria fisik maupun biologik yang berhubungan dengan kesehatan sehingga
dapat menekan serendah mungkin risiko penularan penyakit dan gangguan kesehatan, dengan memperhatikan
enam jenis kegiatan. Pertama, penampungan atau pewadahan sampah. Setiap sampah yang dihasilkan
harus ditampung pada tempat sampah, baik dibungkus dengan plastik atau disimpan di bak sampah di
halaman rumah, atau langs·ung dibuang ke TPA (tempat pembuangan akhir). Sampah yang cepat
membusuk dan berbau, sebelum ditampung di tempat sampah, agar dimasukkan ke dalam kantong kedap air
dan diikat.
Tempat yang digunakan menampung sampah, harus terbuat dari bahan kedap air, tidak mudah
dilubangi tikus dan mempunyai permukaan yang halus pada bagian dalamnya. Tempat sampah harus
mempunyai tutup yang mudah dibuka dan ditutup tanpa mengotorkan tangan, mudah diisi dan dikosongkan,
serta mudah dibersihkan. Di daerah pemukiman, tidak dianjurkan membuat tempat sampah berupa bak beton
permanen. Sampah yang ditampung di tempat sampah, tidak boleh melebihi tiga kali 24 jam atau tiga hari.
Harus dihindari agar tempat sampah tidak menjadi tempat perindukan serangga dan binatang pengerat. Jika
kepadatan lalat di sekitar tempat sampah telah melebihi 20 ekor per blok grill, perlu dilakukan pemberantasan
dan perbaikan tempat sampahnya.
Kedua, pengelolaan sampah setempat (pola individual). Upaya untuk mengurangi volume, mengubah
bentuk atau memusnahkan sampah yang dilakukan pada sumber penghasil sampah, harus memperhatikan
ketentuan: (a) hanya dilakukan pada pemukiman yang kepadatannya kurang dari 50 jiwa/ha, (b) jika
dilakukan pembakaran, asap dan debu yang dihasilkan tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan
masyarakat sekitarnya, dan (c) jika sampah yang dihasilkan ditimbun atau ditanam pada lubang galian tanah,
jaraknya terhadap sumur atau sumber air bersih terdekat minimal 10 meter. Sampah berupa batere bekas
dan bekas wadah bahan berbahaya lainnya yang beracun harus ditangani secara khusus.
Ketiga, pengumpulan sampah. Siapapun tidak diperbolehkan mengumpulkan sampah di luar bangunan
TPS (tempat pengumpulan sampah sementara) yang telah disediakan. TPS harus kedap air, mempunyai
tutup dan selalu dalam keadaan tertutup jika tidak sedang diisi atau dikosongkan, dan mudah dibersihkan.
TPS tidak menjadi sumber bau dan berkumpulnya lalat sehingga mengganggu rumah terdekat, tidak
mengakibatkan tercecernya sampah ke dalam saluran air, dan tidak terletak pada tempat yang mudah
terkena luapan air atau banjir. Pengosongan sampah di TPS harus dilakukan paling sedikit satu kali dalam
sehari. Jika TPS berupa stasiun pemindahan (transfer station) di mana dilakukan proses pemadatan sampah,
maka tetap harus memperhatikan persyaratan tidak merupakan sumber bau, berkumpulnya lalat dan

210
mengganggu rumah terdekat, tidak bercecernya sampah ke dalam saluran air, tidak terkena luapan air atau
banjir, aman terhadap leachate. da11 cukup jauh dari keramaian umum. Jika tingkat kepadatan lalat melebihi
20 ekor per blokgrill atau terlihat tikus pada siang hari, maka TPS hampir tidak memenuhi syarat.
Jika TPS berupa area atau lokasi untuk pemindahan sampah (transfer depo) dari alat angkut kecil ke
alat angkut yang lebih besar, maka pengosongan sampah harus dilakukan secepat mungkin dan sampah
tidak diperbolehkan menginap, serta lokasi tersebut terjaga kebersihannya.
Keempat, pengangkutan sampah. Bagian dalam alat pengangkutan sampah harus mudah dibersihkan
dan mempunyai tutup, dan harus dalam keadaan bersih setiap keluar dari TPA (tempat pembuangan akhir
sampah). Petugas pengangkut sampah harus menggunakan pakaian kerja khusus, sarung tangan dari bahan
neophrene, masker, topi pengaman, dan sepatu boot atau laars.
Kelima, pengolahan sampah. Lokasi pengolahan sampah hendaknya tidak merupakan sumber bau,
asap, debu, kebisingan, lalat, dan binatang pengerat bagi pemukiman terdekat, tidak menimbulkan pencemaran
bagi sumber air baku untuk air minum, dan tidak terletak pada daerah yang mudah terkena luapan air atau
banjir. Jika teknik pengolahan sampah adalah pembakaran secara tertutup (insinerasi), maka emisi debu dan
gas yang keluar dari cerobong incinerator harus memenuhi persyaratan baku mutu lingkungan. Dalam hal
tertentu di mana populasi lalat melebihi 20 ekor per blok grill atau keberadaannya cukup mengganggu, harus
diusahakan pengendaliannya. Air bekas pencucian alat maupun leachate harus diamankan agar tidak
menimbulkan pencemaran.
Jika pengolahan sampah adalah daur ulang atau dimanfaatkan kembali, maka pengumpulan dan
penumpukan sampah yang dapat didaur ulang tidak merupakan tempat perindukkan serangga dan binatang
pengerat, serta harus memperhatikan estetika. Dalam proses pemisahan, diusahakan agar kecelakaan dapat
dihindarkan. Hasil akhir pendaur-ulangan sampah agar tidak membahayakan masyarakat. Jika sampah
dibuat pupuk atau kompos, maka pengumpulan dan penumpukan sampah yang akan dijadikan bahan pupuk
dan proses pematangan pupuk tidak merupakan tempat perindukan serangga dan binatang pengerat serta
harus memperhatikan estetika. Air bekas pencucian alat dan leachate harus diamankan agar tidak menimbulkan
pencemaran.
Keenam, pembuangan akhir sampah. Lokasi TPA tidak merupakan sumber bau, asap, debu kebisingan,
lalat, binatang pengerat bagi pemukiman, terdekat (minimal 3 km). TPA tidak merupakan sumber pencemaran
bagi sumber air baku umum, jaraknya paling sedikit 200 meter atau lebih tergantung pada struktur geologi
setempat dan jenis sampahnya, tidak terletak pada daerah banjir, tidak terletak pada lokasi yang permukaan
air tanahnya tinggi, tidak merupakan sumber bau, kecelakaan, dan memperhatikan estetika. Jarak terhadap
bandar udara tidak boleh kurang dari 5 km. Persyaratan pengolahan sampah di TPA antara lain, tidak
menimbulkan bau, diupayakan agar lalat, nyamuk, tikus, kecoa tidak berkembang biak, leachate tidak
menimbulkan pencemaran, memiliki drainase yang baik dan lancar. Lokasi TPA yang dipergunakan untuk
membuang bahan beracun dan berbahaya, harus diberi tanda khusus dan tercatat di Pemda. Jika populasi
lalat berlebihan, banyak tikus di siang hari, dan ditemukan nyamuk Aedes, harus dilakukan pemberantasan.
Alat keselamatan kerja yang harus disediakan di TPA adalah masker, topi pengaman, sarung tangan
dari neophrene sepatu kerja, dan pakaian khusus. TPA harus memiliki alat pemadam kebakaran baik berupa
tabung maupun hidran. Ruang kantor TPA harus memiliki perlengkapan P3K dan TPA harus memiliki fasilitas
mencuci kendaraan pengangkut sampah. Setelah tidak dipergunakan lagi, TPA tidak boleh dipergunakan
sebagai lokasi pemukiman dan siapapun tidak diperkenankan mengambil air dari tempat tersebut untuk
keperluan sehari-hari.
Di samping enam persyaratan tersebut, SK ini menegaskan pentingnya pemeliharaan kesehatan
petugas pengelola sampah. Petugas yang menangani sampah, harus diperiksa kesehatannya secara berkala
dan diberi makanan tambahan bergizi seperti susu, kacang hijau, dan sejenisnya. Pelaksanaan penerapan
persyaratan kesehatan pengelola sampah di lapangan akan sangat membantu dalam menciptakan dan
meningkatkan kebersihan kota-kota di Indonesia. Dengan ditetapkannya persyaratan kesehatan pengelolaan
sampah, upaya-upaya Pemda dalam menata kebersihan kotanya dan dalam mengejar piala kebersihan
Adipura khususnya, semakin jelas arahnya. Tinggal kita tunggu sejauh mana Pemda bersama warga kotanya

211
mematuhi, melaksanakan, dan menerapkan ketetapan persyaratan kesehatan pengelalaan sampah.
Jayakarta, 20 Maret 1990

Penyuluhan Kesehatan Lingkungan Menuju


Keluarga Sehat
Untuk menuju keluarga sehat, Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan
Pemukiman Depkes bekerjasama dengan Unicef telah menyusun Buku Pegangan Kader Penyuluhan
Lingkungan. Tujuannya adalah agrar Kader Kesling (Kesehatan Lingkungan) dapat memahami pentingnya
kesehatan lingkungan, perilaku hidup sehat, memberi mativasi dan menggerakkan masyarakat untuk
meningkatkan mutu lingkungan mereka dan melaksanakan hidup sehat.
Kesling meliputi tiga aspek, yaitu (a) pembuatan, penggunaan dan pemeliharaan sumber air bersih
(sumur gali, sumur pampa atau air pipa), jamban atau we, tempat sampah dan lubang pembuangan sampah,
dan tempat pembuangan air bekas dari dapur dan kamar mandi, (b) pemeliharaan kebersihan di dalam
rumah, di pekarangan, makanan dan minuman (pemilihan bahan makanan, pengalahan, penyiapan, penyajian,
dan penyimpanan), dan (c) penggunaan dan penyimpanan pestisida secara benar (seperti racun nyamuk dan
racun hama agar tidak meracuni manusia, hewan peliharaan atau lingkungan).

Penyuluhan
Kader Kesling adalah warga desa/kelurahan yang dipilih aleh masyarakat setempat, mau dan mampu
bekerja sukarela untuk kepentingan masyarakat, dan mau menggerakkan masyarakat untuk membina kesling
dan melaksanakan hidup sehat. Tugasnya adalah sebagai penyuluh yang mencatat semua masalah kesling
di desa/kelurahan, membicarakan cara mengatasi masalah kesling, memberi penyuluhan perarangan, dan
mencatat semua kegiatan penyuluhan yang telah dikerjakannya.
Sebagai penggerak masyarakat, Kader Kesling mengajak dan membantu masyarakat untuk membuat,
menggunakan, dan memelihara sumber air bersih, jamban atau we, tempat sampah dan lubang sampah,
serta tempat pembuangan air bekas. Kader Kesling berusaha membentuk pakja kesling dan membinanya
serta memberi teladan bagi warga masyarakat. Paling sedikit ada delapan kegiatan kader kesling.
Pertama, pengadaan air bersih. Kader Kesling harus mampu menjelaskan pengertian air bersih,
perlunya menjaga kebersihan air, terjadinya penularan penyakit melalui air, cara menjernihkan air, cara
memperaleh air minum yang sehat, cara menggunakan sumur pampa tangan yang benar, cara merawat
sumur pampa tangan agar tidak cepat rusak, sebab terjadinya pampa ngempas dan cara memperbaikinya,
perlu sumur pampa tangan dicat, cara agar masyarakat merasa memiliki sumur dan sumber air yang
dipergunakan, dan cara agar sumur pampa tangan selalu terawat.
Air bersih adalah air yang jernih, tidak berbau, tidak berwarna, dan tidak berasa atau tawar. Air bersih
belum tentu sehat. Air sehat adalah air bersih yang sudah dimasak dan tidak mengandung bibit penyakit atau
kuman penyakit. Air dapat diperaleh dari sumur pampa tangan, penampungan air hujan, mata air yang
dirawat, air perpipaan, atau dari sumur gali bertutup. Air yang tidak bersih dapat menyebabkan mencret,
muntaber, sakit kulit, sakit mata, dan cacingan.
eantah air yang tidak bersih misalnya air sungai yang bercampur dengan buangan sampah, kataran
manusia, dan kataran ternak. Menjernihkan air, bisa dilakukan dengan menggunakan tawas dan batu kapur
(2 sendak teh tawas dan 1 sendak makan batu kapur diaduk dengan 5 ember air), lapisan ijuk atau sabut
kelapa, lapisan pasir, batu kerikil, pecahan genting atau kaca, dan setengah sendak kaparit.
Kedua, penyediaan jamban keluarga. Kader Kesling harus mampu menjelaskan pengertian jamban

212
keluarga, syarat-syarat jamban keluarga yang sehat, cara menggunakan jamban sehat, cara memelihara
jamban, apa yang dilakukan bila jamban telah penuh, dan cara menyadarkan masyarakat agar membuat dan
menggunakan jamban sehat. Jamban atau WC adalah bangunan yang digunakan untuk buang air besar,
misalnya jamban atap rumbia, seng, genting dan asbes.
Syarat jamban sehat adalah cukup terang, cukup lubang angin, tidak menjadi sarang serangga
(nyamuk, lalat, lipas, kecoa, coro, kapuyuk), lubang jamban sekurang-kurangnya 10 m dari sumber air; dan
dan selalu dibersihkan agar tidak menimbulkan bau tidak sedap.
Ada dua jenis jam ban yang sehat, yaitu jam ban leher angsa dan jam ban cemplung. Jam ban cemplung
di sepanjang Banjir Kanal Jakarta sering disebut jamban terbang atau jamban helikopter. Bagian-bagian dari
jamban leher angsa adalah lubang jamban, air yang tertinggal di leher angsa gunanya untuk menahan bau
kotoran agar tidak keluar, penyalur kotoran, dan pipa udara untuk membuang bau kotoran.
Jamban cemplung terdiri atas lubang jamban dengan tutup dan lubang penampung kotoran. Kader
Kesling dan keluarganya harus memberi contoh menggunakan jam ban dan selanjutnya meyakinkan masyarakat
bahwa menggunakan jamban akan lebih sehat, membuatnya tidak sulit dan tidak mahal, apalagi jika
dikerjakan dengan gotong royong.
Ketiga, pengaturan pembuangan air bekas. Kader Kesling harus mampu menjelaskan pengertian air
limbah atau air bekas, agar air bekas tidak mengganggu kesehatan, pembuangan air bekas yang cocok untuk
pedesaan, bentuk pembuangan air bekas untuk rumah kolong, bentuk pembuangan air bekas untuk
memelihara lele, cara merawat pembuangan air bekas, cara merawat parit atau saluran air bekas, dan
mengajak tetangga untuk membuat pembuangan air bekas.
Keempat, pengelolaan sampah. Kader Kesling harus mampu menjelaskan kepada masyarakat tentang
pengertian sampah, gangguan yang dapat ditimbulkan oleh sampah, keuntungan dari cara pembuangan
sampah yang benar, penyakit yang dapat ditimbulkan oleh sampah, cara pembuangan sampah yang benar,
alat-alat yang diperlukan untuk membuang sampah, kewajiban kader membuang sampah di rumah, kewajiban
kader terhadap tetangganya mengenai kebiasaan membuang sampah, dan kewajiban kader di masyarakat
mengenai kebiasaan membuang sampah.
Bertumpuknya sampah memberi keleluasaan hidup bagi tikus, lalat, dan kecoa yang bisa mencari
makanan dan mengakibatkan mencret, muntaber, disentri dan tipus. Nyamuk mengakibatkan penyakit
demam berdarah dan kaki gajah. Bermain di dekat sampah menyebabkan gatal-gatal, kudis, koreng, dan
kurap. Alat pengumpulan dan pembuangan sampah sederhana di rumah-rumah antara lain kantung kertas
atau plastik, keranjang sampah dan tong sampah bertutup, sapu lidi, sapu ijuk, penyendok sampah, pengki,
dan serok. Dengan membuang sampah di tempat sampah, kita sudah membantu menjaga kebersihan.
Kelima, penanganan kesehatan perumahan. Kader Kesling perlu memberikan menjelaskan perlunya
warga memperhatikan kesehatan rumah, syarat rumah sehat, adanya jendela dan lubang angin yang dibuka
siang hari, lubang untuk asap dapur, kamar dijaga agar tidak lembab, kamar cukup luas dan tidak dihuni
terlalu padat, bebas dari jentik nyamuk dan tikus, dan kandang ternak terpisah dari rumah.
Syarat rumah sehat antara lain (a) tersedia air bersih, penampungan air bekas, tempat sampah,
jamban, dan saluran pembuangan air hujan, (b) kandang ternak jaraknya paling dekat 10m dari rumah, (c)
ada jalan keluar untuk asap dapur melalui lubang langit-langit, (d) dinding dan lantai harus kering dan tidak
lembab, (e) halaman rumah harus selalu dibersihkan dan pekarangan ditanami tumbuh-tumbuhan yang
bermanfaat, (f) ruangan rumah cukup luas dan tidak terlalu padat penghuninya, (g) kamar harus berjendela,
ada lubang angin dan sinar matahari dapat masuk ruangan rumah, dan dimanapun tidak terdapat jentik-jentik
nyamuk, kecoa dan tikus.
Keenam, penyediaan makanan dan minuman yang tidak kotor. Warga perlu diberikan penjelasan
mengenai kesehatan makanan dan minuman, penyebab makanan dan minuman yang menimbulkan penyakit
atau keracunan, makanan dan minuman yang tidak tercemar atau terkotori, perlunya mencuci tangan dengan
sabun sebelum mengolah, menyajikan atau makan, penyimpanan makanan tidak sembarang tempat,
makanan kemarin perlu dipanaskan, dan anak-anak tidak boleh jajan sembarangan.

213
Ketujuh, terhindar dari pestisida. Kader perlu menjelaskan pengertian pestisida, cara pestisida masuk
ke tubuh manusia, cara menjaga lingkungan agar terhindar dari pestisida. cara menyimpan pestisida yang
benar, cara menggunakan pestisida yang aman, cara membuang pestisida yang rusak, dan cara menolong
keracunan pestisida. Pestisida adalah obat pemberantas hama, racun untuk serangga (nyamuk, lalat, kecoa
dan tikus).
Pestisida juga merupakan racun bagi man usia. Pestisida bisa masuk ke dalam tubuh manusia melalui
mulut, kulit atau jalan pernafasan. Jika ada orang keracunan pestisida, usahakan agar penderita memuntahkan
pestisida yang tertelan. Caranya dengan memijat pipinya sehingga ibu jari dan telunjuk pada pipi mengganjal
rahang penderita. Kemudian sodoklah langit-langit mulut penderita dengan telunjuk tangan yang lain agar
penderita dapat muntah. Secepatnya bawalah segera penderita ke dokter atau Puskesmas terdekat. Jangan
lupa, wadah pestisidanya dibawa untuk memudahkan pemeriksaan dokter.
Kedelapan, pemeliharaan kesehatan perorangan. Kader hendaknya memberikan penjelasan kepada
warga tentang cara menjaga kebersihan diri dan menjaga kesehatan dengan makanan bergizi. Menjaga diri
agar tetap sehat dilakukan dengan mandiri rnenggunakan sabun dan menyikat gigi secara teratur, keramas,
dan selalu mencuci tangan dan pakaian dengan bersih. Makanan bergizi harus memperhatikan makanan
pokok (nasi, jagung, ubi rambat, sagu, roti), lauk pauk (tempe, tahu telur, udang, ikan, hati, daging, daging
ayam), dan sayur dan buah-buahan (daun singkong, kangkung, bayam wortel, tomat, jeruk, pepaya, mangga,
dan nenas).

Cara Penyuluhan
Penyuluhan adalah penyampaian pesan kepada orang lain secara perorangan atau kelompok agar
mereka tahu, mau dan mampu mengerjakan sesuatu, sesuai dengan isi pesan, disampaikan kepada pamong
desa/kelurahan, pemuka masyarakat, guru, LKMD, RW, RT, ulama, Keluarga Binaan, Kelompok Masyarakat
pengajian, persekutuan doa, arisan, PKK, Karang Taruna, dan Pramuka. Kader Kesling bekerjasama dengan
Kelompok PKK Tingkat Kecamatan dan Kelurahan membina Kelompok PKK, RW, RT, dan Dasa Wisma (10-
20 kk anggota di tiap RT), dalam membudayakan hidup bersih dan sehat.
Penyuluhan harus memahami isi pesan yang disampaikan, sopan, berbicara jelas, akrab dan komunikasi
dua arah. Pesan harus jelas, singkat, sederhana, menarik penyajiannya dengan urutan yang jelas. Alat bantu
penyuluhan harus menarik perhatian seperti gambar, contoh, dan bagan, penerima pesan harus tidak me rasa
dipaksa, berminat dan berani memberikan tanggapan. Penyuluhan yang menarik bisa dilakukan dengan
permainan simulasi, belajar sambil berbuat, menunjukkan gambar-gambar yang jelas dan memberi contoh
teladan.
Neraca, 10 April 1990

Koordinasi Program Penyehatan Lingkungan


Perlu Ditingkatkan
Dari segi keciptakaryaan, unsur-unsur PLP (Penyehatan Lingkungan Pemukiman) terdiri atas sistem
pembuangan sampah, sistem pembuangan atau penyaluran air hujan, pemantusan atau drainase, sistem
pembuatan air limbah atau air kotor, dan usaha-usaha lain untuk menciptakan lingkungan yang sehat, bersih,
tertib, aman dan nyaman (Darmawan Saleh, 1989). Tulisan ini akan mengulas program PLP yang meliputi
pengelolaan persampahan, drainase, air limbah, dan kesehatan.

Program
Sasaran Program PLP PU meliputi perbaikan sarana pengelolaan persampahan di 450 kota, perbaikan

214
sarana drainase di 135 kota, penyediaan parasarana dan sarana pembuangan air limbah rumahtangga di 200
kota besar, sedang dan kecil serta 5.000 desa atau daerah pemukiman yang rawan air, endemis penyakit,
pemukiman baru, daerah pariwisata dan kawasan kumuh, penyelenggaraan training dan penyuluhan di 50
kota dan peningkatan partisipasi masyarakat melalui motivator PKK, pembina Pramuka, organisasi pemuda,
dan pedoman penyusunan pedoman, peraturan dan peningkatan peran serta masyarakat.
Kebijaksanaan operasional Pel ita V meliputi empat pokok, yaitu (1) pembangunan dan pemeliharaan,
(2) perencanaan, penyusunan program dan penentuan prioritas investasi (desentralisasi, dekonsentrasi dan
keterpaduan), (3) peningkatan kemampuan personil dan kelembagaan, dan (4) koordinasi dan konsultasi dengan
instansi terkait. Strategi Pembangunan bidang PLP dalam Pelita V terdiri atas (a) persampahan, (b) drainase,
dan (c) air limbah.

Persampahan
Strategi persampahan meliputi (1) institusi atau kelembagaan, (2) teknis, (3) keuangan, (4) lingkungan,
(5) peran serta masyarakat, dan (6) hukum dan peraturan perundang-undangan. Pemantapan lnstitusi Pemda
Tingkat II meliputi peningkatan dan penyempurnaan personil, tenaga kerja, sistem dan prosedur administrasi
pengelolaan persampahan, informasi manajemen dan sistem retribusi. Bentuk pengelola persampahan antara
lain berupa Sub-seksi, Seksi, UPTD, Suku Dinas, Dinas, Perusahaan Daerah, Kerjasama Pemda dengan
Swasta, Koperasi dan Organisasi Non Pemerintah atau LSM, LKMD, RW dan RT serta swadaya masyarakat.
Peningkatan kemampuan Pemda diperlihatkan dengan penyusunan pedoman teknis, penyelengyaraan
training, pelaksanaan proyek percontohan atau perintisan, stimulasi kepada Pemda, dan upaya pencapaian
Adipura.
Segi teknis diarahkan pada pemilihan teknologi tepat guna yang didasarkan atas pertimbangan kondisi
setempat, biaya investasi, suku cadang yang tersedia, pengoperasian peralatan, tersedianya lahan,
kemungkinan daur ulang, .dan pengendalian dampak lingkungan. Pengelolaan keuangan memperhatikan
pengembalian biaya (cost recovery), retribusi, subsidi silang, sistem berantai. Strategi lingkungan berdasarkan
atas pembangunan yang berwawasan lingkungan. Strategi peran serta masyarakat berupa pengadaan dan
pemeliharaan sarana pewadahan oleh individu masyarakat, pemeliharaan dan pemanfaatan sarana dan
prasarana persampahan kota, pembudayaan hidup bersih dan sehat, dan peningkatan retribusi.
Aspek hukum dan peraturan perundang-undangah memperhatikan kelengkapan Perda, peraturan dan
ketentuan mengenai sampah dan law enforcement untuk mendidik masyarakat.

Drainase
Strategi pembangunan drainase meliputi (a) pembagian wewenang dan tanggungjawab, (b) perencanaan,
pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan, (c) institusi, (d) finansial. Pembagian wewenang dan tanggungjawab
dalam strategi drainase adalah desentralisasi di mana peran Pemerintah Pusat terutama pada pemberian
stimulans dan perintisan. Sistem drainase di daerah pemukiman baru ditangani oleh perusahaan pembangunan
perumahan (developer). Pada dasarnya tanggungjawab organisasi dan manajemen drainase ditangani
Pemda Tingkat II dan sistem drainase lokal merupakan tanggungjawab masyarakat.
Perencanaan, pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan drainase memperhatikan pedoman, panduan,
spesifikasi teknis, garis sepadan sungai, saluran dalam kota, pembangunan berwawasan lingkungan,
terintegrasi dengan pengendalian banjir, pengelolaan persampahan, dan jalan-jalan kota di dalam kerangka
master plan. Prioritas diberikan pada penduduk padat, kawasan strategis, dan daerah yang terpengaruh
pengempangan (back water) air laut atau sungai, rehabilitasi dan penanganan daerah khusus. Peran serta
masyarakat perlu semakin ditingkatkan.
Sejalan dengan pemantapan institusi pengelolaan drainase di tingkat Pemda Tingkat II, kampanye
kesadaran hidup bersih dan sehat perlu terus digalakkan, misalnya program kali bersih dan kebersihan
lingkungan.
Pendanaan tetap memperhatikan pengembalian biaya, pendayagunaan potensi daerah, dan bantuan
Pemerintah Pusat dibatasi pada percontohan dan perintisan, pembiayaan, dan promosi. Secara teknik,

215
dilakukan penyelesa1an proyek-proyek sewerage, rehabilitasi dan penyelesaian sewerage yang telah ada,
pelaksanaan proyek sewerage b3ru. r;engope•asia:-1 dan pemeliharaan agar tidak terjadi penurunan daya
guna, bimbingan teknis. pembangunan fasllitas jamban komunal, dan peningkatan pemenuhan persyaratan
kesehatan pengelolaan sampah dan iingkungan.
Organisasi kelembagaan yang sudah ada diperkuat, peranan Pemda Tingkat II ditingkatkan, training
diaktifkan, action plant diutamakan, integrasi dengan P3KT dan penanganan air limbah yang sudah ada,
mendorong partisipasi masyarakat, dan perusahaan untuk memperhatikan persyaratan baku mutu air sungai
dan air limbah.
Pembiayaan memperhatikan cost recovery, investasi perusahaan dan masyarakat, bimbingan teknis,
iuran secara komunal. Promosi secara nasional dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
akan pentingnya penanganan air limbah, sanitasi yang baik dan sehat yang dilaksanakan melalui program
social marketing agar masyarakat memiliki dan menggunakan fasilitas pembuangan air limbah yang lebih baik
dan sehat.
Pengaturan dan penyuluhan diarahkan untuk memperjelas peranan kelembagaan PLP di tingkat
Pemda Tingkat II, penyiapan pedoman teknis (pengelolaan persampahan, pengelolaan drainase, perencanaan
drainase, pengadaan peralatan persampahan, pengelolaan sanitasi sederhana, pengelolaan sanitasi terpusat,
dan pemeliharaan plumbing rumah serta bangunan, pembinaaan aparat PLP, peningkatan kerjasama antar
instansi, dan penyiapan pedoman peningkatan peran serta masyarakat dan swasta.

Kesehatan
Dari segi Penyehatan Lingkungan Pemukiman Depkes, sasaran program diarahkan pada (a) upaya
peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya penjagaan kebersihan lingkungan, (b) gotong royong
dan swadaya masyarakat pedesaan untuk menyehatkan rumah dan lingkungannya, (c) peran Pemda dalam
pengawasan pengelolaan pestisida, (d) pengawasan Pemda atas tempat-tempat pengelolaan makanan, (e)
pengawasan limbah industri/industri kecil, percemaran udara dan suara, (f) pengendalian endemis demam
berdarah dengue, pengawasan penyemprotan hama dan penderita keracunan pestisida, dan (g) pengembangan
sistem informasi kesehatan lingkungan (Repelita V, Buku Ill, halaman 193-198).
Kebijaksanaan yang ditempuh dua macam, yaitu peningkatan kesehatan lingkungan dan penajaman
sasaran program. Yang pertama, terdiri dari upaya perluasan sanitasi penyehatan (perumahan, pembuangan
kotoran, dan makanan), dan pengendalian vektor, pengawasan mutu lingkungan (tempat umum, tempat
pengelolaan makanan dan pemukiman), pengendalian pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh
pestisida, limbah industri, pencemaran udara dan pembuangan sampah, peningkatan peran serta aktif
masyarakat (melalui Posyandu dan kelompok keluarga dalam kegiatan penyehatan lingkungan pemukiman),
dan peningkatan keterpaduan dengan upaya pengelolaan lingkungan secara nasional.
Penajaman sasaran ditujukan pada kelompok masyarakat yang mempunyai resiko tinggi terhadap
penyakit dan gangguan kesehatan akibat lingkungan yang tidak sehat, daerah rawan penyakit akibat
lingkungan yang tidak sehat, daerah pengembangan industri, daerah pariwisata, daerah kumuh, pemukiman
khusus dan pemukiman baru, pengembangan sistem pengawasan dengan memperhatikan AMDAL, dan
pemantapan sarana penunjang seperti perundang-undangan, fungsi laboratorium teknis dan koordinasi lintas
sektoral.
Kegiatan pokok yang dilakukan terdiri atas tiga macam. Pertama, pembinaan penyehatan lingkungan
pemukiman. Enam jenis kegiatan telah ditentukan untuk dilaksanakan, yaitu (a) pembinaan pemugaran
rumah dan pengembangan unit percontohan sarana pembuangan sampah di lokasi pemukiman baru, di
daerah kumuh dan padat penduduk yang berpenghasilan rendah di perkotaan, (b) percontohan dan
pengembangan sistem pembuangan kotoran di kecamatan dan daerah tujuan wisata, (c) penanggulangan
bahaya keracunan, (d) pengendalian vektor terutama di daerah rawan demam berdarah dengue dan malaria,
(e) pengembangan percontohan sarana pembuangan limbah industri rumahtangga, dan (f) pembinaan
terhadap perusahaan pemberantasan hama dan pengelola pestisida teratas.
Kedua, pengawasan kualitas lingkungan, meliputi (a) pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium

216
contoh makanan, (b) pemeriksaan kadar residu pestisida, (c) pemeriksaan sanitasi industri dan pemantauan
limbah industri, (d) pemantauan pencemaran di kota-kota besar dan kawasan industri, dan (e) pengawasan
sampah dan pengendalian vektor.
Ketiga, pengembangan sarana penunjang yang mencakup (a) pemantapan sistem informasi kesehatan
lingkungan, (b) pembinaan dan pengembangan sumberdaya melalui peningkatan diklat (c) pemenuhan
peralatan teknis di DT II dan Puskesmas, (d) pemanfaatan iptek tepat guna, dan (e) pemantapan kerjasama
lintas program sektoral serta peran serta aktif masyarakat

Kesimpulan
Keterlibatan masyarakat dalam program PLP (persampahan, drainase dan air limbah), sangat diperlukan.
Upaya peningkatan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan lingkungan perlu dilakukan secara
nasional, melalui kampanye kebersihan kota dan lingkungan. Sangat diharapkan adanya partisipasi Pemda
Tingkat I dan II dalam pemeliharaan fasilitas penyehatan lingkungan pemukiman, perlu ditingkatkan perencanaan
terpadu antar sektor pembangunan dengan memperhatikan dampak lingkungan. Kemampuan managerial
dan profesionalisme para pengelola sangat menentukan keberhasilan program penyehatan lingkungan
pemukiman untuk lebih berdaya guna, berhasil guna dan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan
masyarakat luas.
Pelita, 11 April 1990

217
Mengenai Pokja-pokja Dalam PKK
Gerakan PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) dengan 10 Program PKK (penghayatan dan
pengamalan Pancasila, gotong royong, pangan, sandang, perumahan dan tata laksana rumahtangga,
pendidikan, kesehatan, pengembangan kehidupan dan berkoperasi, pelestarian lingkungan hidup, dan
perencanaan sehat), senantiasa disesuaikan dengan kondisi daerah dan kebutuhan masyarakat setempat,
baik di perkotaan maupun di pedesaan, mendasarkan pada azas musyawarah dan mufakat disesuaikan
dengan program Pemerintah yang berkaitan dalam Pelita V. Pedoman Pelaksanaan tentang Peningkatan
Kegiatan Pokja I, II, Ill, dan IV merupakan pemikiran lanjutan dari Rakernas II PKK 1984, Rakon PKK 1986,
dan Rakernas Ill PKK 1988.
Melalui Surat Keputusan Ketua Umum Tim Penggerak PKK Pusat, Ny. Rudini, No. 05/SK/PKK.PST/
Vlll/89 tanggal 28 Agustus 1989 ditetapkan Pedoman Pelaksanaan Hasil Keputusan Rakernas Ill PKK Tahun
1988 yang meliputi Pedoman Pelaksanaan tentang (1) Peningkatan Kegiatan Pokja, I, II, Ill, dan IV, (2)
Peningkatan Jumlah dan Mutu Kader PKK, (3) Peningkatan Pemasyarakatan Gerakan PKK, (4) Usaha
Peningkatan Pendapatan Keluarga, (5) Pembudayaan Hidup Bersih dan Sehat. Di samping itu juga
ditetapkan petunjuk pelaksanaan administrasi PKK. Tulisan ini akan membahas Pokja dan tugas-tugasnya
dalam Pelita V.

Pokja-pokja PKK
Pokja PKK yang jumlahnya empat, bertugas merencanakan, melaksanakan dan menentukan kegiatan
pelaksanaan program yang menjadi tanggungjawabnya sesuai dengan maksud dan tujuan dari program yang
bersangkutan dengan berpedoman pad a 10 Program Pokok PKK. Kegiatan pelaksanaan 10 Program PKK
merupakan upaya untuk membangun masyarakat dari bawah agar mampu mewujudkan kesejahteraan
keluarganya. Setiap kegiatan pelaksanaan 10 Program Pokok PKK ditujukan untuk meningkatkan sasaran
pembangunan PKK, yaitu (a) mental spiritual (sikap perilaku hidup sebagai insan hamba Tuhan dan warga
masyarakat atau negara yang bermanfaat berdasarkan Pancasila, dan (b) fisik material (pangan, sandang,
perumahan dan tata laksana rumah tangga, kesehatan, kehidupan berkoperasi, lingkungan hidup yang
lestari, melalui peningkatan pendidikan dan ketrampilan serta perencanaan sehat).
Urutan 10 Program Pokok PKK tidak merupakan urutan prioritas, tetapi satu kesatuan sebagai pola
kehidupan kesejahteraan keluarga. Pelaksanaan program harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi
setiap desa dan disesuaikan serta diserasikan dengan program Pemerintah, mendukung dan membantu
program Pemerintah serta LKMD setempat. Kita bisa melihat pendekatan PKK sebagai perencanaan
pembangunan dari bawah (bottom up planning) yang digabungkan dengan program Pemerintah yang besifat
dari atas (top down planning).
Pokja I menangani penghayatan dan pengamalan Pancasila serta gotong royong. Tugasnya
meningkatkan mental sriritual serta perilaku hidup keluarga berdasarkan Pancasila dan melestarikan budaya
Bangsa Indonesia. Pokja II yang menangani pendidikan, ketrampilan, dan pengembangan kehidupan
berkoperasi, bertugas meningkatkan pengetahuan atau ketrampilan untuk meningkatkan pendapatan keluarga,
kerjasama dalam bentuk usaha bersama (koperasi) untuk mencukupi kebutuhan keluarga sejahtera. Masalah
pangan, sandang, dan papan dikerjakan oleh Pokja Ill. Pokja ini berusaha meningkatkan mutu gizi makanan
keluarga, pembuatan dan pemakaian sandang yang serasi, pengaturan rumah yang rapi dan nyaman.
Prioritas kegiatan PKK dalam Pel ita V yang berkaitan dengan pelaksanaan 10 Program Pokok PKK
adalah upaya meningkatkan (1) jumlah, jenis dan mutu kader PKK, (2) pendapatan keluarga, (3) dan
menciptakan pembudayaan hidup sehat dan bersih, (4) penerapan Pancadharma Wanita, dan (5) pelayanan
dan pengadaan Posyandu. Keterpaduan antar Pokja semakin ditingkatkan dan pelaksanaan program
disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah setempat. Peningkatan peran bantu PKK telah menentukan
prioritas kegiatan, antara lain menurunkan angka kelahiran dan kematian bayi serta balita, menurunkan angka
kematian ibu bersalin dan nifas, meningkatkan kualitas manusia Indonesia (bina keluarga dan balita),

218
kemampuan dan kemandirian wan ita, pendapatan keluarga, ekspor non-migas termasuk pariwisata, perbaikan
menu makanan rakyat, mendukung terciptanya iklim yang mendorong peningkatan prakarsa dan swadaya
gotong royong masyarakat, penanganan remaja sedini mungkin, penanggulangan kenakalan remaja dalam
keluarga, dan pelaksanaan PKK di daerah transmigrasi. Masing-mang Pokja berusaha menyerasikan 10
Program PKK dengan prioritas program tersebut dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah yang
be rsang kutan. ·
Peningkatan dan pengembangan Pokja-Pokja, terlihat sebagai berikut: Pokja I meliputi peningkatan
peranan lbu atau Wanita dalam keluarga dan rumahtangga, meningkatkan pengetahuan wanita tentang
hukum dan peraturan perundang-undangan, pemahaman gerakan PKK, dan penanganan remaja sedini
mungkin serta penanggulangan kenakalan remaja dalam keluarga.
Tugas Pokja II ditingkatkan untuk meningkatkan UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga)
melalui pendidikan dan ketrampilan, meningkatkan jumlah, jenis dan mutu kader PKK, dan menanamkan
pengetahuan BKB (Bina Keluarga dan Balita). Pokja Ill bertugas memasyarakatkan teknologi tepat guna
dalam rangka pengadaan air bersih dan hemat energi, meningkatkan pembinaan industri rumahtangga, dan
menggalakkan produksi khas daerah untuk mendukung usaha pariwisata. Tugas Pokja IV ditingkatkan untuk
menciptakan pemerataan pengadaan dan pemantapan Posyandu, meningkatkan kesejahteraan ibu hamil
atau nifas, memasyarakatkan penggunaan ASI, dan pembudayaan hidup bersih dan sehat.

Pelita
Kegiatan Pokja I dalam Pelita V antara lain (a) menyelenggarakan permainan simulasi P4, (b)
menyelenggarakan kelompok pengajian, kerokhanian, majelis ta'lim, (c) menggalakkan hidup gotong royong
dan tolong menolong, (d) mengkoordinasikan dan membina kelompok sosial (arisan, kematian, dan jimpitan),
(e) menyelenggarakan ceramah tentang pengetahuan umum dan peraturan perundang-undangan (UU
Perkawinan) dan pemahaman gerakan PKK, (f) membudayakan Pancadharma Wanita bagi ibu rumahtangga,
dan (g) melakukan pembinaan remaja sedini mungkin dan penanggulangan kenakalan remaja dalam
keluarga. Tujuh kegiatan Pokja II, yaitu (a) menyelenggarakan Kejar Paket A, (b) menyelenggarakan kursus
ketrampilan yang berguna bagi UP2K, (c) menyelenggarakan kursus dan latihan kader PKK, (d) membentuk
.dan mengelola prakoperasi dan koperasi, (e) membina Kelompok UP2K dan Kelompok Bel ajar Usaha, (f)
membina taman bacaan dan perpustakaan PKK Desa/Kelurahan, dan (g) membudayakan Bina Keluarga dan
Balita.
Enam kegiatan Pokja Ill dalam Pelita V terdiri dari upaya-upaya (a) menggalakkan dan memantau
pemanfaatan tanah pekarangan (tanaman dan ternak dalam rangka meningkatkan mutu gizi dengan
keluarga), (b) menggalakkan dan memantau peningkatan tata laksana rumahtangga (rumah sehat), (c)
menggalakkan pembuatan dan pemakaian sandang produksi dalam negeri sesuai dengan kepribadian
bangsa, (d) membina kelompok-kelompok usaha rumahtangga (konfeksi, jasa boga atau catering, pertanian,
peternakan, kerajinan dan sebagainya), (e) memasyarakatkan teknologi tepat guna dalam rangka usaha
pengadaan air bersih dan hemat energi, dan (f) menggalakkan produksi khas daerah untuk mendukung
usaha pariwisata.
Kegiatan Pokja IV dalam Pelita V, yaitu (a) mengelola dan menyelenggarakan Posyandu (KIA,
lmunisasi, gizi, penanggulangan diare, dan KB), (b) melakukan penyuluhan kesehatan dalam keluarga
(perawatan keluarga, Balita, ibu hamil, P3K, pengetahuan obat tradisional dan sebagainya, (c) meningkatkan
kesadaran mengenai pentingnya program keluarga berencana dan arti NKKBS (Norma Keluarga Kecil,
Bahagia, dan Sejahtera), (d) membudayakan hidup bersih dan sehat, (e) meningkatkan kesadaran wanita
untuk memiliki sikap hidup berencana, hemat, dan menabung, dan (f) meningkatkan kesehatan ibu hamil dan
nifas serta pembudayaan penggunaan ASI.
Masing-masing Pokja memberikan petunjuk dan pembinaan terhadap Pokjanya masing-masing ke
bawah berdasarkan Juklak atau Pedoman yang dikeluarkan oleh Tim Penggerak PKK Pusat, disesuaikan
dengan situasi dan kondisi daerah setempat serta diserasikan dengan program Pemerintah. Pemantauan dan
penilaian pelaksanaan program juga harus dilakukan oleh setiap Pokja untuk mengetahui sejauh mana
keberhasilan pelaksanaan program-program PKK Pelaporan disampaikan secara berkala sesuai dengan

219
bidang tugas masing-masing Pokja dengan merinci ura:an dan laporan kegiatan agar diketahui
perkembangannya.
Dana yang digunakan Pokja untuk melaksanakan pembinaan dan pemantauan program PKK, diperoleh
dari ganjaran yang ada pada tiap-tiap jenjang kepengurusan PKK Pusat sampai dengan Kecamatan dan dari
sumber-sumber lain yang tidak mengikat. Kegiatan di Desa/Kelurahan, menggunakan Dana lnpres Bantuan
Desa dan Swadaya Masyarakat, sedangkan dana untuk melaksanakan kegiatan peran bantu terhadap
program-program Pemerintah diperoleh dari lnstansi yang bersangkutan.
Keberhasilan Pokja-Pokja dalam melaksanakan kegiatannya, banyak ditentukan oleh koordinasi yang
baik antar Pokja dan kerjasama Pokja dengan kepengurusan PKK di Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II,
Kecamatan, dan Kelurahan. Di tingkat Kelurahan, perpanjangan tangan atau kegiatan Pokja harus tercermin
dalam kerjasama yang baik di antara Kelompok PKK, RW, RT, dan Dasa Wisma.
Merdeka, 21 Oesember 1989

Bagaimana Mengelola PKK yang Baik


Pola Umum Pembinaan Gerakan PKK yang merupakan gerakan pembangunan masyarakat yang
tumbuh dari bawah dan telah mampu menggugah kreativitas masyarakat, memerlukan pemantapan dalam
usaha menumbuhkan kesadaran lbu atau Wanita untuk mewujudkan keluarga sejahtera. Gerakan PKK yang
semakin mengakar dalam masyarakat dan berkembang di seluruh Indonesia, masih belum dilakukan secara
merata dan mendasar sehingga masih diperlukan upaya-upaya pembentukan Kelompok PKK tingkat RW, RT,
dan Dasa Wisma (1 0-20 kepala keluarga) di tiap daerah secara me rata.

Pengelolaan
Tim Penggerak PKK Pusat telah mengidentifikasi de Iapan permasalahan PKK, yaitu (1) pengertian
peran bantu PKK, (2) pembentukan Kelompok PKK Dusun/Lingkungnan, RW, RT, dan Dasa Wisma, (3) batas
waktu Kepengurusan Tim Penggerak PKK, (4) Jabatan Ketua Tim Penggerak PKK, (5) Kewajiban pembuatan
memori kegiatan dalam rangka akhir masa jabatan, (7) serah terima jabatan Ketua Tim Penggerak PKK
kepada lsteri Pejabat sementara Kepala Daerah!Wilayah, dan (8) pembentukan Kelompok Khusus UP2K
(Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga). Untuk menjawab permasalahan tersebut, Rakernas Ill PKK pada
tanggal 18 Februari 1988 menetapkan Penyempurnaan Pedoman Pengelolaan Gerakan PKK melalui SK No.
02/Rakernas Ill PKK/11/1988.
Peran Bantu PKK adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh Tim Penggerak PKK atau Kader PKK
yang sifatnya membantu pelaksanaan program atau tugas pihak lain (yang menunjang pelaksanaan 10
Program PKK), sesuai dengan peranannya sebagai motivator dan penggerak. Tanggungjawab terhadap
pembiayaan dan keberhasilan program, tetap berada di tangan lnstansi yang dibantu. Tim Penggerak PKK
atau Kader PKK mempunyai enam tugas, yaitu pertama, memberikan informasi tentang kegiatan atau program
yang akan dilaksanakan. Kedua, membantu memberikan penyuluhan tentang manfaat program atau kegiatan
yang akan dilaksanakan. Ketiga, menggerakkan masyarakat agar mau melaksanakan program yang
bersangkutan. Keempat, membantu menghimpun data serta mengindentifikasikan masalah yang dihadapi
oleh keluarga sasaran kegiatan program dan memberikan informasi kepada lnstansi Pemilik Program.
Kelima, pembuatan laporan atau pengisian format laporan mengenai pelaksanaan kegiatan yang bersangkutan
tetap menjadi tanggungjawab lnstansi pemilik program. Keenam, Tim Penggerak PKK atau Kader PKK yang
melaksanakan peran bantu tersebut hanya membuat laporan kepada Tim Penggerak PKK di atasnya sesuai
jalur yang telah ditentukan.
Urutan Kelompok PKK di bawah Tim Penggerak PKK Desa/Kelurahan adalah Kelompok PKK Dusun/

220
Lingkungan, Kelompok PKK RW, Kelompok PKK RT, dan Kelompok PKK Dasa Wisma yang dibentuk
berdasarkan pendekatan Kewilayahan. Di daerah tertentu yang situasi dan kondisi wilayahnya spesifik,
setelah Kelompok PKK Dusun/Lingkungan dapat langsung ke Kelompok PKK Dasa Wisma (tanpa tingkat RW
dan RT) atau setelah Ke!ompok PKK Dusun/Lingkungan. Wanita atau laki-laki tidak!belum beristeri, maka
penunjukan Ketua Tim Penggerak PKK diserahkan kepada Pembina yang bersangkutan.
Posyandu (Pos Pelayanan Terpadu) adalah suatu kegiatan lintas sektoral dalam lingkup LKMD dengan
mengikutsertakan PKK dalam rangka menurunkan angka kematian bayi dan menurunkan tingkat kelahiran
untuk mewujudkan NKKBS (Norma Keluarga Kecil, Bahagia, dan Sejahtera). Kegiatan Posyandu adalah
mengadakan pelayanan kesehatan paripurna sebagai peningkatan fungsi Pos Timbang Balita, Pos Vaksinasi,
Pos Oralit, Pos KB Desa, dengan rincian kegiatan KIA, pelayanan KB, penyuluhan gizi, imunisasi, dan
penanggulangan diare.
Kewajiban membuat Memori, ditugaskan kepada Ketua Tim Penggerak PKK dalam rangka akhir masa
jabatannya. Memori kegiatan diatur atas susunan sebagai berikut : pendahuluan, maksud dan tujuan,
program kerja selama masa jabatan, pelaksanaan kegiatan (di tingkat yang bersangkutan dan di wilayah
bawahannya), hal-hal yang belum terselesaikan, hambatan, kesimpulan usul dan saran, dan penutup disertai
lampiran (keadaan keuangan, neraca keuangan, dan inventaris). Memori kegiatan disampaikan kepada
Pembina yang bersangkutan (baru), Tim Penggerak PKK setingkat lebih atas, dan Ketua Tim Penggerak PKK
yang baru (apabila diganti). Apabila ada pergantian Kepala Daerah/Wilayah, maka jabatan Ketua Tim
Penggerak PKK diserahterimakan kepada lsteri Pejabat Sementara Kepala Daerah/Wilayah yang bersangkutan.
Pembentukan Kelompok Khusus UP2K (Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga) dilakukan mulai
tingkat Desa/Kelurahan sampai dengan tingkat Pusat. Di tingkat Desa/Kelurahan, tugasnya membentuk
kelompok pelaksana UP2K, membimbing, mengarahkan, mengaktifkan dan dukungan langsung ke Kelompok
PKK RT dan kemudian Kelompok PKK Dasa Wisma (tanpa tingkat RW).
Batas waktu penugasan Tim Penggerak PKK di tiap tingkatan Pemerintahan adalah 5 tahun terhitung
dari tanggal Surat Keputusan. Jika masih diperlukan, dapat diangkat kembali sesuai dengan kesanggupan
yang bersangkutan. Selesai masa penugasan, Ketua Tim Penggerak PKK, Wakil Ketua, dan Ketua Pokja
wajib membuat Memori pelaksanaan tugas selama masa tugasnya. Jika ada penggantian personalia sebelum
habis masa jabatannya, dilakuknan serah terima yang disaksikan oleh Ketua Tim Penggerak PKK setempat.
Masa tugas yang menggantikan disesuaikan dengan sisa masa tugas kepengurusan yang digantikannya. Jika
terjadi penggantian Ketua Tim Penggerak PKK sebelum berakhir masa jabatannya, harus diadakan serah
terima dan pelantikan bagi Ketua yang baru oleh Ketua Tim Penggerak PKK setingkat di atasnya, sedangkan
bagi pengurus lain tetap melaksanakan tugas sampai berakhir masa jabatannya.
Sesuai dengan Pasal13 Kepmendagri No. 28 Tahun 1984 tentang PKK, Ketua Umum Tim Penggerak
PKK Pusat adalah isteri Mendagri. Ketua Tim Penggerak PKK di Daerah adalah isteri Kepala Daerah/Wilayah
yang bersangkutan dan Ketua Tim Penggerak PKK Desa/Kelurahan adalah isteri Kepala Desa/Kelurahan.
Apabila terjadi sesuatu hal, misalnya isteri Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 13 tadi tidak dapat melaksanakan
tugas karena sesuatu hal, (sakit yang tidak sembuh-sembuh atau sakit jiwa, dinyatakan dengan Surat
Keterangan Dokter), maka Ketua Tim Penggerak PKK bersangkutan diwajibkan menunjuk salah seorang dari
Anggota Tim Penggerak PKK untuk melaksanakan tugas sebagai Ketua atas persetujuan Pembina
bersangkutan. Di tingkat Kecamatan, Kelompok Khusus UP2K membina dan memantau pelaksanaan UP2K,
mengadakan konsultasi bersama Lembaga Masyarakat melalui Tim Pembina LKMD, memberikan penyuluhan
dan pendidikan kewiraswastaan, membantu mempromosikan dan memasarkan hasil usaha. Di Kabupaten/
Kotamadya, tugasnya adalah membina dan memantau pelaksanaan UP2K, mengadakan koordinasi dengan
lntansi terkait melalui Tim Pembina LKMD, membantu mempromosikan dan memasarkan hasil usaha. Di
tingkat Propinsi, tugas Kelompok Khusus UP2K adalah membina dan memantau pelaksanaan UP2K,
mengadakan koordinasi dengan lnstansi atau lembaga Swadaya Masyarakat terkait melalui Tim Pembina
LKMD. Di tingkat Pusat, kelompok ini merencanakan, memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kegiatan
UP2K, mengusahakan bantuan dana dari lnstansi Pemerintah atau Lembaga-lembaga Luar Negeri, menyusun
pedoman dan petunjuk pelaksanaan UP2K, dan membuat laporan kepada Pemerintah atau Lembaga-
lembaga Luar Negeri yang menjadi sumber dana.

221
Untuk pelaksanaan UP2K di tingkat Desa/Kelurahan, dibentuk Kelompok Pelaksana UP2K yang terdiri
dari Keluarga-keluarga yang melaksanakan Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga dengan bantuan Dana
Pemerintah atau Lembaga-lembaga Luar Negeri. Kepengurusan Kelompok Pelaksana UP2K terdiri dari
Ketua, Sekretaris, dan Bendahara yang dipilih dari Anggota Kelompok tersebut.
Di samping Surat Keputusan tentang Penyempurnaan Pengelolaan Gerakan PKK, juga ditetapkan
Penyempurnaan Administrasi PKK melalui Surat Keputusan No. 03/Aakernas Ill PKK/11/1988. Penyempurnaan
Administrasi PKK meliputi data umum dan data kegiatan pokja-pokja (data umum, Pokja I sampai dengan IV),
12 buku administrasi PKK, buku-buku administrasi Kelompok PKK Dusun/Lingkungan, AW, AT, dan Dasa
Wisma yang terdiri dari buku data Keluarga setiap warga Dasa Wisma, buku catatan data dan kegiatan warga
serta buku catatan kelahiran/kematian untuk Kelompok PKK Dusun/Lingkungan, AW, AT, dan Dasa Wisma,
dan administrasi Posyandu yang terdiri dari data penunjang Posyandu Uumlah Balita, lbu hamil, dan lain-lain)
dan data hasil kegiatan Posyandu (imunisasi, KB, dan lain-lain).
Bersamaan dengan dua Surat Keputusan tersebut, juga ditetapkan Surat Keputusan tentang Prioritas
Kegiatan PKK yang terdiri dari sembilan kegiatan, yaitu (1) peningkatan jumlah dan mutu Kader PKK, (2)
peningkatan pendapatan keluarga, (3) pembudayaan hidup sehat dan bersih, (4) peningkatan peranan ibu/
wanita dalam keluarga dan masyarakat, (5) pemerataan pembentukan Dasa Wisma, (6) pemerataan dan
pemantapan pelaksanaan Posyandu, (7) peningkatan kegiatan Pokja I, II, Ill, dan IV, (8) pemantapan
administrasi PKK, dan (9) pemasyarakatan gerakan PKK.

Penutup
Dengan adanya tiga Surat Keputusan yang dikeluarkan secara bersamaan, masing-masing mengenai
prioritas kegiatan PKK, penyempurnaan pedoman pengelolaan gerakan PKK, dan penyempurnaan administrasi
PKK, diharapkan gerakan PKK semakin cepat berkembang dan menumbuhkan kesadaran lbu dan Wanita
untuk mewujudkan Keluarga Sejahtera. PKK dituntut untuk terus menerus melakukan penilaian terhadap
tananan organisasi dan pola pendekatan yang luwes dalam mendekatkan program kepada tujuan yang
hendak dicapai.
Pelita, 28 Desember 1989

Peranserta PKK Dalam Menciptakan Kebersihan


Kota
Salah satu ketetapan dalam Surat Keputusan Ketua Tim Penggerak Penggerak PKK Pusat No. 05/SK/
PKK.PSTNIII/89 tanggal28 Agustus 1989 tentang Pedoman Pelaksanaan Hasil Keputusan Aapat Konsultasi
Ill PKK Tahun 1989 adalah ditetapkannya Pedoman Pelaksanaan tentang Pembudayaan Hidup Bersih dan
Sehat. Pembudayaan hidup bersih dan sehat adalah upaya secara terus menerus dan berkesinambungan
untuk menjadikan hidup bersih dan sehat sebagai budaya bangsa.
Sasarannya adalah individu sebagai anggota keluarga dan masyarakat agar terbentuk sikap mental
yang positip terhadap hidup dan perikehidupan yang bersih dan sehat lahir-batin, makin tebalnya iman dan
ketaqwaan, serta makin tumbuhnya kecintaan pada lingkungan yang bersih dan sehat.
Tim Penggerak PKK Jakarta Pusat membantu Pemerintah dalam mengajak peran serta masyarakat
untuk mengisi pembangunan, khususnya dalam menciptakan kebersihan dan keindahan kota serta masyarakat
yang sehat.

222
Peran PKK
Pokja I (penghayatan dc.n pengamalan Pancasila serta gotong royong telah secara aktif membina
warga dalam meningkatkan penghayatan dan pengamalan Pancasila dan program gotong royong. Pembentukan
kader khusus PKK yang bermutu, benman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Mahaesa semakin ditingkatkan.
Kelompok permainan simulasi P4 eli tiap RW dimanfaatkan untuk menyebarluaskan penyuluhan kebersihan
lingkungan. Pengarahan dan bimbingan mental kepada kelompok pengajian kaum wanita di tiap kelurahan
dikaitkan dengan pembentukan kader khusus PKK.
Pokja II (pendidikan dan ketrampilan, serta pengembangan kehidupan berkoperasi) telah berusaha
meningkatkan pengetahuan dan pendapatan keluarga serta kegiatan koperasi. Sejalan dengan itu, ketrampilan
yang dimiliki dapat dilibatkan pu!a dalam menunjang kegiatan kebersihan. Pokja Ill (pangan, sandang, dan
papan) berusaha menigkatkan gizi keluarga, penggunaan sandang produksi dalam negeri, dan pengaturan
rumah yang rapi dan nyaman. Kegiatan papan, berkaitan dengan penataan kebersihan rumah, pekarangan,
dan lingkungannya.
Pokja IV (kesehatan, lingkungan hidup, dan perencanaan sehat) bertanggung jawab atas upaya
peningkatan derajat kesehatan keluarga/balita, kesehatan lingkungan hidup dan suasana. hid up yang aman,
tenang, dan tentram, membiasakan hidup berencana, menabung, melaksanakan KB dan NKKBS (Norma
Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera).
Tim Penggerak PKK Jakarta Pusat melakukan bimbingan yang terus menerus dalam mensukseskan
program pemerintah di bidang kebersihan dan kesehatan, melalui perbaikan gizi keluarga, pemberantasan
penyakit menular, penyuluhan air bersih dan mck. Warga lingkungan kumuh dan MHT dirangsang untuk
menggalakkan penghijauan dan menjaga kebersihan.
Dalam salah satu laporan kebersihan kota pada bulan Oktober 1989, Walikota menegaskan sembilan
kegiatan yang telah dilaksanakan oleh PKK dalam menangani masalah kebersihan. Pertama, mengadakan
penyuluhan kebersihan kepada masyarakat, khususnya kaum wanita di kelurahan-kelurahan untuk meletakkan
dasar-dasar kesadaran yang kuat akan arti penting kebersihan bagi kehidupan kota dan lingkungan hidup.
Kedua, melaksanakan cara membuang sampah dengan sistem daur ulang pada setiap rumah tangga yang
dilakukan oleh ibu rumah tangga. Daur ulang maksudnya adalah memisahkan atau memilah sampah
sehingga ada bagian sampah yang bisa dimanfaatkan (dijual) dan sampah yang benar-benar harus dibuang.
Ketiga, menganjurkan dan mengusahakan dengan sungguh-sungguh agar setiap anggota masyarakat,
khususnya ibu rumah tangga untuk dapat menyediakan tempat sampah di rumah masing-masing menggunakan
plastik atau fiberglass. Keempat, memasyarakatkan kebersihan lingkungan melalui Iomba kebersihan antar
Posyandu, antar dasa wisma (kelompok 10-20 kk dalam kegiatan PKK) yang dititikberatkan kepada usaha
peningkatan kebersihan dan penghijauan di lingkungan masing-masing. Kelima, mengadakan Iomba cerdas
cermat masalah kebersihan bagi kader dan anggota PKK.
Keenam, mengadakan Iomba pidato kebersihan antar kader dan anggota PKK secara berjenjang,
mulai tingkat Kelurahan, Kecamatan, dan Wilayah Kota. Ketujuh, menyisihkan dana PKK untuk membeli
peralatan kebersihan seperti sapu, pengki, tong sampah, gerobak sampah dan lain-lain untuk membantu
masyarakat yang kurang mampu.
Kedelapan, ikut dalam setiap kegiatan kerja bakti yang diadakan di tiap RT, RW, dan Kelurahan.
Kesembilan, ikut serta dalam sukarelawan kebersihan untuk memasyarakatkan budaya kebersihan dan
menegur orang-orang yang membuang sampah sembarangan.
Banyak hambatan yang dijumpai di lapangan. Masalah intern PKK antara lain masih kurangnya tenaga
kader PKK, kesibukan anggota PKK sebagai ibu rumahtangga, terbatasnya sarana dan prasarana yang
dimiliki PKK, dan kurangnya dana pembinaan dan penyuluhan.
Masalah ekstern organisasi PKK antara lain kurangnya kesadaran masyarakat akan makna kebersihan,
banyaknya (35%) daerah kumuh yang penduduknya pada umumnya sulit diajak membudayakan hidup bersih
dan sehat, kurangnya sarana dan prasarana kebersihan kota, kurangnya dana operasional PKK untuk
mendukung program kebersihan lingkungan, dan mobilitas penduduk dan aktivitasnya yang sangat tinggi
pada siang hari sehingga menambah volume sampah.

223
Berdasarkan pengalaman dan hambatan d1 atas, Tim Penggerak PKK perlu melakukan pertemuan
periodik bersama dengan tokoh masyarakat, LKMD, RW, RT dan generasi muda dalam suatu forum
komunikasi tingkat Kelurahan dan Kecamatan untuk mengevaluasi dan memecahkan masalah atau hambatan
dalam penanggulangan kebersihan lingkungan. Di samping itu dimaksudkan agar upaya penciptaan kota
yang bersih sebagai perwujudan BMW dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain penyelenggaraan
seminar, lokakarya, dan peragaan kebersihan yang melibatkan unsur Pemerintah, Swasta, llmuwan, dan
tokoh Masyarakat.
Program
Tim Penggerak PKK Wilayah Kota Jakarta Pusat telah menentukan tigabelas program penanggulangan
kebersihan. Pertama, penyuluhan untuk memantapkan arti kebersihan yang lebih mendasar bagi segenap
pengurus dan anggota PKK di tingkat Wilayah, Kecamatan, dan Kelurahan yang dilakukan melalui tatap muka
dan pembuatan brosur. Kedua, kerja bakti yang dilakukan oleh kelompok PKK Dasa Wisma (1 0-20 kk) dan 3
kelompok dasa wisma di tiap RT untuk berperan serta dalam pembuatan sarana kebersihan lingkungan.
Ketiga, penghijauan untuk menjadikan gedung, kantor, lokasi posyandu, dan kondisi lingkungan lebih
sejuk dan nyaman. Keempat, perlombaan kebersihan di tiap Kecamatan, Kelurahan, RW dan RT untuk
membudayakan budaya hidup bersih dan sehat serta memperebutkan piala dan piagam kebersihan Walikota
dan Ketua Tim Penggerak PKK Jakarta Pusat.
Kelima, perlombaan pidato kebersihan dan cerdas cermat untuk mengevaluasi sejauh mana peningkatan
mutu kader PKK dan penyuluh kebersihan. Di samping itu dilakukan pengobatan cuma-cuma dan kerja bakti
masyarakat. Keenam, pelaksanaan aksi sosial untuk mengubah pemukiman kumuh menjadi bersih, indah,
dan nyaman malalui penyediaan bantuan sarana kebersihan (cat, kwas, sapu) dan kerjasama dengan LKMD
serta Swasta.
Ketujuh, peingkatan pelayanan Posyandu untuk menanamkan arti kebersihan bagi Balita/lbu melalui
peragaan dan simulasi. Kedelapan, penyelenggaraan diskusi, anjangsana, dan tatap muka agar dapat
diciptakan keterbukaan dan timbal balik di antara berbagai unsur sehingga ditemukan pemecahan masalah
sampah dengan baik. Kesembilan, pemisahan sampah dengan cara daur ulang dan pembuatan kompos
untuk digunakan sebagai pupuk tanaman pekarangan dan tanaman lainnya.
Kesepuluh, pengawasan untuk melihat kelancaran pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, dan
pembuangan sampah. Pengawasan meliputi sejauh mana keberhasilan proses daur ulang, pengumpulan
sampah dari rumah ke rumah, sistem jali-jali, pemindahan, pengangkutan ke TPS, dan pengangkutan ke
TPA. Kesebelas, peningkatan pengumpulan dana dan swadaya masyarakat melalui pengumpulan sumbangan
barang bekas, botol, jimpitan beras, dan bazaar. Keduabelas, penyelenggaraan silaturahmi kekeluargaan
antara LKMD, PKK, dan petugas kebersihan (sopir dan crew) untuk mengenal lebih dekat dan saling
membantu, terutama di tingkat Kelurahan sebagai ujung tombak penanggulangan kebersihan kota.
Ketigabelas, peningkatan aksi kebersihan di tingkat rumahtangga (penggunaan kantong plastik,
pemisahan dan pemilahan sampah, partisipasi warga, sistem jali-jali, door to door, penyuluhan kepada
kelompok PKK Dasa Wisma, dan penanganan sampah kakilima) yang dilaksanakan oleh LKMD, PKK,
Karang Taruna, Organisasi Kepemudaan secara terpadu.
Tim Penggerak PKK Jakarta Pusat dengan berbagai kelompok kegiatannya (Pokbang, Posyandu,
UPGK, P2K, P2WKSS, Kelompok Arisan, Dasa Wisma, dan sebagainya) khususnya dan warga Jakarta Pusat
pada umumnya, setelah berusaha sekuat tenaga membersihkan kotanya, mengharapkan agar Jakarta Pusat
pada bulan Juni 1990 bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia dapat meraih lambang kebersihan
kota, yaitu piala Adipura.
Neraca, 8 Januari 1990

224
Peran PKK Surakarta Dalam Kebersihan Kota
Surakarta yang dibangun melalui program Tri Krida Utama (kota budaya, pariwisata, dan olah raga),
oleh Walikota Hartomo bersama masyarakatnya telah dibuktikan dengan keberhasilan tiga kali meraih
Adipura sebagai lambang kebersihan kota dan meningkatkan jumlah wisatawan. Di bidang olahraga, salah
satu prasarana dan sarana kegiatan renang dan loncat indah telah disiapkan untuk digunakan sebagai tempat
pemusatan latihan nasional.
Program Surakarta Berseri (Bersih, Sehat, Rapi, dan lndah), sebagai sasaran antara sebelum
mencapai sasaran akhir Tri Krida Utama, mengandung aspek-aspek kebersihan, kesehatan, kerapihan, dan
keindahan yang harus dilaksanakan oleh setiap warga kota Surabaya atau juga dikenal sebagai kota Sala
(lnstruksi Walikotamadya Kepala DT. II Surakarta No. 660/8/3/1985 tanggal 4 Maret 1985 tentang Pedoman
Pelaksanaan Kota Surakarta Berseri). Dalam menuju kota Berseri, Hartomo setiap Jum'at malam mengunjungi
Kelurahan untuk melakukan sarasehan kebersihan kota sehingga dalam setahun 51 Kelurahan yang ada di
Sala habis dikunjunginya.
Kota Sala yang luasnya 40 km2, penduduknya 511.585 jiwa, kepadatan 11.616 jiwa per km2, 5
Kecamatan (Laweyan, Serengan, Pasar Kliwon, Jebres dan Banjarsari), 51 Kelurahan (beberapa diantaranya
mempunyai lingkungan kumuh), 558 RW, 2.496 RT, 111.742 kk, 200 jiwa tiap RW dan 45 jiwa tiap RT, sudah
didatangi oleh Hartomo sampai ke pelosok-pelosok kampungnya. Lurah dan warga kota Solo mudah
menemui Walikotanya tanpa harus melalui berbagai birokrasi. Peran serta PKK (Pendidikan Kesejahteraan
Keluarga) dalam pogram Berseri sangat besar dan hasilnya terbukti dari tingginya partisipasi masyarakat dan
meningkatnya retribusi.

Peran PKK
Ketua Tim Penggerak PKK Kotamadya DT II Surakarta, Siti Wuryani Hartomo, sejak 1985 telah
berusaha meningkatkan Peran Serta PKK dalam program Berseri yang dituangkan ke dalam lima program.
Pertama, pemantapan kesekretariatan yang meliputi pembuatan jadwal kerja tahunan, triwulanan dan
bulanan, penyelenggaraan rapat rutin pleno dan rapat inti, penerbitan administrasi yang meliputi penertiban
papan nama, pengisian buku wajib dan buku khusus, monografi PKK, peningkatan mutu siaran PKK di RRI
dan Radio Swasta, pembuatan dokumentasi, pemanfaatan surat kabar dan media lainnya dalam
menyebarluaskan program PKK, inventarisasi jumlah PKK kelompok Dusun/Lingkungan, RW, RT dan Dasa
Wisma.
Kedua, pemantapan bidang keuangan yang meliputi penertiban buku administrasi keuangan PKK,
petunjuk teknis pelaksanaan proyek dan peran serta PKK serta sistem pelaporan, pemantauan dan evaluasi
kegiatan yang tertib. Ketiga, peningkatan kegiatan di empat Pokja PKK.
Pokja I (penghayatan dan pengamalan Pancasila dan program gotong royong) melaksanakan pembinaan,
menyelenggarakan simulasi, temu remaja, dan kelompok pengajian serta kebaktian, memasyarakatkan P-4
melalui seni budaya, olahraga dan pembudayaan hidup bersih, dan sehat, meningkatkan gerakan gotong
royong melalui kegiatan produktif warga, peran bantu remaja, jimpitan, dan menyelenggarakan Iomba-Iomba.
Pokja II (pendidikan dan ketrampilan, serta pengembangan kehidupan berkoperasi) meningkatkan
pembinaan, menyediakan beasiswa, mengembangkan perpustakaan desa dan merangsang minat baca,
meningkatkan kader PKK, orangtua asuh, dan membentuk koperasi serta mengusahakan kelancaran UP2K
(Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga). Pokja Ill (pangan, sandang, perumahan dan tatalaksana
rumahtangga) berusaha meningkatkan mutu pangan dan menganekaragamkan makanan non-beras,
meningkatkan kesadaran penggunaan produksi dalam negeri, air bersih, dan menciptakan rumah bersih dan
sehat.
Pokja IV (kesehatan, lingkungan hidup, dan perencanaan sehat) berusaha membudayakan hidup
bersih dan sehat dalam suatu lingkungan yang nyaman melalui penyuluhan, Iomba penanggulangan penyakit
menular, kegiatan kelestarian lingkungan hidup, dan pemanfaatan pekarangan dengan pembuatan taman.

225
Keempat program terpadu P2WKSS (Peningkatan Peran Wanita menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera)
dilaksanakan melalui keterpaduan program sektoral, peningkatan pengetahuan anak balita dan remaja,
penurunan angka kematian bayi dan anak balita serta turunnya angka kelahiran. Sasaran yang terutama
diarahkan kepada wan ita berusia 10-45 tahun diusahakan pencapaiannya melalui pembentukan kelompok
kegiatan dasar (pemberantasan buta huruf, penyuluhan pertanian, pemasyarakatan P-4, penyuluhan dan
pelayanan KB, peningkatan swadaya, gotong royong dan pemeliharaan kesehatan lingkungan), kelompok
kegiatan lanjutan (peningkatan berbagai kegiatan), dan kegiatan penunjang (kursus, penataran, temu wicara,
sarasehan). Kelima, program lain-lain yaitu BKB (Bina Keluarga dan Balita) dan penataran pendayagunaan
ASI (Air Susu lbu).

Pelaksanaan
Pelaksanaan kegiatan PKK dibagi atas kegiatan di tingkat Kotamadya dan di tingkat Daerah. Di tingkat
Kotamadya meliputi kegiatan umum, khusus, dan pelaksanaan 10 Program Khusus PKK. Rapat Kerja PKK
tingkat Kotamadya diselenggarakan sekali dalam setahun yang diikuti oleh semua Tim Penggerak PKK
Kecamatan dan semua Kepala Urusan Bangdes Kecamatan. Program Tim Penggerak PKK Provinsi
dijabarkan dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi Sala. Rapat koordinasi dengan instansi sektoral dan
terkait diselenggarakan periodik triwulanan. Penataran, kursus, latihan, temu wicara, temu remaja, sambung
rasa, bimbingan, bulan bakti LKMD, Iomba-Iomba dilaksanakan secara teratur.
Penyelenggaraan penataran P-4 yang dilakukan bekerjasama dengan BP-7 telah menatar 5.156 orang
(program pola pendukung 17 jam), 5.363 orang (pola pendukung 25 jam), dan 1.534 orang (pola pendukung
45 jam) di lima Kecamatan dan 51 Kelurahan yang ada di kota Sala. Simulasi, kunjungan rutin ke lokasi
dilakukan secara bergiliran ke kelompok ibu warga PKK, generasi muda, karang taruna, dan kelompok
pembauran. Materi penataran antara lain mengenai P-4, UU Perkawinan, Panca Dharma Wanita, pengajian
dan kebaktian, upaya-upaya peningkatan gerakan gotong royong (jimpitan beras, pengumpulan koran bekas,
uang, kaleng bekas, pembuatan taman lingkungan, RW dan RT).
Di bidang pangan, sandang dan perumahan diupayakan peningkatan motivasi warga atas makanan
yang sehat dan penyelenggaraan ceramah penggunaan pewarna makanan. Di bidang pemukiman, dianjurkan
pemanfaatan halaman dalam meningkatkan produktivitas pekarangan, pengawetan makanan, Iomba memasak
kue, dan demonstrasi pembuatan kue, dan aneka ragam makanan dari tahu dan tempe, kursus jahit menjahit,
penyuluhan berbusana yang baik, pengembangan industri kecil dan rumahtangga, peragaan busana, dan
penataan rumah serta tatalaksana rumahtangga.
Pendidikan dan peningkatan ketrampilan, dilaksanakan secara berjenjang yang meliputi pelajaran 10
Program Pokok PKK, kursus administrasi dan perpustakaan, Iomba kliping, kejar Paket A dan Kejar Usaha,
satgas pendidikan, dan peningkatan kader (42.798 orang kader umum, 45.615 kader khusus, 37 Uper SO
pada tahun 1989, 339 kelompok Kejar Paket A, 1.410 warga belajar pria, 2.256 warga bel ajar wan ita, 717
kelompok Kejar Usaha, dan 78 kelompok paguyuban aksara).
Untuk menunjang kegiatan kesehatan, dilakukan Iomba-Iomba Desa, UPGK, Balita, Kader UPGK, UKS,
Dokter Kecil, PKB dan KB Perusahaan. Di bidang perkoperasian, telah dibentuk 1.454 pra koperasi, 109
warung PKK, 105 kelompok usaha yang bersifat UP2K, dan 1.271 kelompok industri rumahtangga.
Kelestarian lingkungan hidup diupayakan melalui pembudayaan hidup bersih dan sehat, Iomba Berseri dan
Iomba taman swadaya masyarakat, Perencanaan sehat dilakukan melalui pemanfaatan halaman dan
pekarangan, pemasyarakatan gerakan menabung, kegiatan KB dan perwujudan NKKBS. Di tingkat Daerah,
dilaksanakan keterpaduan program sampai ke tingkat Dusun/Lingkungan, RW, RT dan Dasa Wisma menuju
peningkatan peran wanita dalam mewujudkan keluarga sehat dan sejahtera.
Hasil yang sangat n~tnonjol antara lain terlihat dalam bentuk tertib administrasi PKK, penciptaan
kebersihan kota dan lingku"gan pemukiman, peningkatan kader kesehatan PKK, peran serta PKK dalam
peningkatan kerapian dan keindahan, peningkatan retribusi kebersihan kota. Peran serta PKK dalam
penarikan RKK (retribusi kebersihan kota) dilakukan melalui langkah-langkah berikut: (a) pilot proyek dimulai
di Kelurahan Baluwarti, (b) PKK membantu menarik RKK (Retribusi Kebersihan Kota) di seluruh wilayah, (c)
pengumpul RKK adalah Kelompok PKK RT dibantu oleh Kelompok Dasa Wisma dan dikoordinasikan oleh

226
PKK Kelompok RW, (d) uang RKK disetorkan kepada petugas Dispenda yang ada di Kelurahan, (e)
pengaturan insentif (1 0%) dibagikan 8% kepada PKK Kelompok RT, 1% PKK RW, 0,8% PKK Kelurahan, dan
0,2% PKK Kecamatan.
Gerakan PKK mendapat dukungan yang besar dari pihak ketiga, pengusaha sebagai dermawan,
organisasi wanita dan masyarakat, sehingga berbagai upaya penciptaan kebersihan kota dan lingkungan
berjalan lancar. Ide penataan lingkungan kumuh, model tong sampah, peran serta masyarakat, pembuatan
kantong (dompet) semacam asbak untuk abu rokok, pemilihan kota terbersih, sampai ke pembuatan
monumen Adipura di pintu gerbang kota Sala dari lapangan terbang, semuanya lahir di Sala.
Program P2WKSS secara umum telah meningkatkan kebersihan dan keindahan rumah, kelangsungan
hidup anak balita, menurunnya kenakalan remaja, meningkatnya derajat kesehatan, pengetahuan dan
ketrampilan warga, tumbuhnya usaha industri rumahtangga dan kerajinan serta peningkatan status sosial-
ekonomi warga binaan. Secara khusus, warga Kelurahan Tipes, Bondakan, Jajar, Gilingan menikmati
manfaat industri kecil konveksi, usaha batik, penataan, penataan rumah sub-inti bagi warga berpendapatan
sangat rendah, dan penataan bantaran Kali Anyar.
Hasilnya menggembirakan, Juara I Tingkat Karesidenan, Harapan II Tingkat Provinsi, hadiah pompa
air dari Depkes dan bangunan WC umum dari Ditjen Cipta Karya, dan kesempatan mempresentasikan
kegiatan penataan rumah dan lingkungan kumuh dihadapan Bapak Presiden dan lbu. Pelaksanaan program
PKK bukan tidak ada masalah, di sana sini masih dijumpai permasalahan seperti kemandirian yang masih
perlu ditingkatkan, kebun gizi yang belum selesai pembangunannya, dan Iomba komplencapir yang belum
lancar. Hambatan yang dijumpai antara lain urbanisasi dan migrasi yang tinggi, hasil kursus belum
memuaskan, kesulitan pemasaran industri rumahtangga, dan PKK Dasa Wisma belum semuanya aktif.
Prospek
Pelaksanaan program PKK 1985-1990 telah meletakkan landasan yang kuat dalam upaya meningkatkan
peran serta dan partisipasi masyarakat dalam penataan kebersihan lingkungan, pelaksanaan 10 Program
PKK secara utuh dan terpadu, dan koordinasi yang baik di antara semua pihak yang terlibat dalam program
kota bersih, pariwisata, dan budaya.
Jangka pendek, Surakarta menargetkan untuk meraih piala kebersihan Adipura keempat tahun 1990,
kelima tahun 1991 sehingga bisa meraih piala tetap Adipura Kencana, dan meningkatkan jumlah wisata
dalam rangka Visit Indonesia Year 1991. Jangka panjang, menjadi kota bersih teladan di Indonesia. Semoga.
Merdeka, 16 Januari 1990

Gerakan PKK Perlu Dimasyarakatkan


Dicantumkannya PKK dalam TAP MPR No. IV/MPR/1978, TAP MPR No. 11/MPR/1983, dan TAP MPR
No. 11/MPR/1988 membuktikan bahwa PKK telah mendapat kepercayaan dan diakui sebagai gerakan
nasional untuk meningkatkan peranan wanita menuju terwujudnya keluarga sejahtera. PKK sebagai gerakan
pembangunan masyarakat dari bawah yang dimotori oleh ibu atau wanita, perlu diketahui dan dipahami oleh
masyarakat luas, termasuk instansi pemerintah, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat,
bahkan lembaga-lembaga luar negeri, agar terdapat keserasian gerak dan dapat berpartisipasi dalam
gerakan PKK (Ny. Rudini, Agustus 1989). Perlu digarisbawahi bahwa gerakan PKK sesungguhnya adalah
untuk keluarga dan masyarakat.

Pemasyarakatan
Tujuan dan sasaran gerakan PKK adalah mengubah masyarakat yang tidak sejahtera menjadi suatu
masyarakat yang terdiri dari keluarga sejahtera. Wadah organisasi Tim Penggerak PKK dibentuk pada setiap

227
tingkatan pemerintahan dari pusat sampai ke desa kelurahan. Administrasi dan pengaturannya diseragamkan
di seluruh Indonesia. Manajemen atau pengelolaan PKK diisi oleh tokoh-tokoh atau pemuka-pemuka
masyarakat setempat secara perorangan, sukarela dan disetujui pembina. Kepemimpinan dijabat secara
fungsional oleh isteri Mendagri, isteri KDH DT I, DR II, kecamatan dan desa/kelurahan.
Kepengurusan Tim Penggerak PKK terdiri atas ketua dan wakil ketua, sekretaris, bendahara, dan
em pat Pokja. Pokja I menangani bidang (1) penghayatan dan pengamalan Pancasila, dan (2) gotong rayon g.
Pokja II menangani bidang (1) pendidikan dan ketrampilan, dan (2) pengembangan kehidupan berkoperasi.
Pokja Ill menangani bidang (1) sandang (2) pangan, dan (3) perumahan dan tata laksana rumahtangga.
Pokja IV menangani bidang (1) kesehatan, (2) kelestarian lingkungan hidup, dan (3) perencanaan sehat.
Mekanisme pembinaan PKK memperhatikan hubungan yang tegas berupa garis pembinaan, bimbingan,
laporan, dan konsultasi di antara LKMD dan PKK dengan Mendagri sampai ke kepala desa atau lurah.
Pemasyarakatan gerakan PKK dimaksudkan untuk menyebarluaskan dan menanamkan pengertian
yang benar tentang PKK kepada masyarakat luas, sesuai dengan Kepmendagri No. 28 Tahun 1984 dan
ketentuan-ketentuan lainnya sesudah itu yang dikeluarkan oleh Tim Pengg.erak PKK Pusat, antara lain
Rakernas II PKK 1984, Rakon PKK 1986, Rakernas Ill PKK 1988, serta Pedoman Pelaksanaan Hasil
Keputusan Rakon Ill PKK 1989 (SK No. 05/SK/PKK.PSTNIII/89). PKK atau Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga (bukan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga), merupakan gerakan pembangunan masyarakat dari
bawah dengan wanita sebagai motor penggeraknya. Menyebarluaskan hasil kegiatan gerakan PKK akan
menunjukkan sudah sejauh mana peran PKK dalam pembangunan nasional.
Memasyarakatkan gerakan PKK dapat dilakukan melalui komunikasi langsung, media masa, dan
macam-macam Iomba. Komunikasi langsung dapat dilakukan melalui tatap muka, penyuluhan atau penerangan
langsung, ceramah, panel diskusi, simposium, lokakarya, simulasi, dan membawa missi PKK dalam kegiatan
dinas lainnya. Media Massa untuk memasyarakatkan gerakan PKK, antara lain media cetak (koran, majalah,
tabloid, koran dinding, leaflet, brosur, buku), media elektronik (tv, radio, video, kaset, film, dan iklan di
bioskop), media panggung (wayang, teater, kesenian daerah, kreasi gerak, tari, puisi, dan seni suara).
Lomba-lomba dapat dilakukan di tingkat pelajar, mahasiswa, dan umum atau masyarakat.
Materi penyuluhan dalam memasyarakatkan gerakan PKK, antara lain tentang peranan wanita dalam
pembangunan (TAP MPR No. 11/MPR/1988), penyempurnaan dan peningkatan LSD menjadi LKMD (Keppres
No. 28 Tahun 1980), pembinaan kesejahteraan keluarga (Kepmendagri No. 28 Tahun 1984), Keputusan
Rakernas II PKK di Jakarta, Pedoman Pelaksanaan Hasil Rakon PKK Tahun 1986, Keputusan Rakernas Ill
PKK di Jakarta tahun 1988, Pedoman Pelaksanaan Hasil Keputusan Rakernas Ill PKK, semua keputusan
ketua umum PKK, mekanisme gerakan PKK, kepengurusan Tim Penggerak PKK, Pokja-pokja dalam PKK,
upaya-upaya peningkatan jumlah dan mutu kader PKK, Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (UP2K),·
pembudayaan hidup bersih dan sehat, administrasi PKK, mekanisme pembinaan PKK, gerakan PKK di desa/
kelurahan, dan pelaksanaan gerakan PKK mulai tingkat pusat sampai ke desa/kelurahan, kelompok PKK RW,
RT, dan dasa wisma.
Memasyarakatkan gerakan PKK harus dapat menyebarluaskan 10 program pokok PKK dan
kegunaannya. Sepuluh program pokok PKK ini terdiri dari (1) penghayatan dan pengamalan Pancasila, (2)
gotong royong, (3) pendidikan dan keterampilan, (4) pengembangan kehidupan berkoperasi, (5) pangan, (6)
sandang, (7) papan, (8) kesehatan, (9) lingkungan hidup, dan (10) perencanaan sehat.
Tugas-tugas Pokja adalah sebagai berikut : (a) Pokja I bertugas meningkatkan mental spiritual dan
perilaku hidup keluarga berdasarkan Pancasila dan melestarikan budaya bangsa Indonesia, (b) Pokja II,
bertugas meningkatkan pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan pendapatan keluarga, kerjasama
dalam bentuk usaha bersama (koperasi) untuk mencukupi kebutuhan keluarga sejahtera, (c) Pokja Ill
bertugas meningkatkan mutu gizi makanan keluarga, pembuatan dan pemakaian sandang yang serasi,
pengaturan rumah yang rapi dan nyaman, dan (d) Pokja IV bertugas meningkatkan derajat kesehatan
keluarga/balita, kesehatan lingkungan hidup dan suasana hidup yang aman, tenang, tenteram, serta
membiasakan hidup berencana, menabung, mengikuti program KB (keluarga berencana) dan NKKBS (Norma
Keluarga Kecil, Bahagia, dan Sejahtera).
Prioritas kegiatan gerakan PKK perlu dimasyarakatkan, yaitu meningkatkan jumlah, jenis dan mutu

228
kader PKK, meningkatkan pendapatan keluarga, membudayakan hidup sehat dan bersih, meningkatkan
penerapan pancadharma wanita (wanita sebagai pendamping suami, pengeloia rumahtangga, penerus
keturunan dan ibu pendidik anak. pencari natkah, tambahan, dan warga masyarakat), dan meningkatkan
pelayanan dan pengadaan Posyandu. Di samping itu juga perlu dimasyarakatkan peran bantuan PKK dalam
usahanya untuk menurunkan angka kelahiran dan kematian bayi/balita, menurunkan angka kematian ibu
bersalin/nifas, meningkatkan kuaiitas manusia Indonesia, meningkatkan kemampuan dan kemandirian wanita,
meningkatkan pendapatan keluarga, meningkatkan ekspor non-migas termasuk menunjang kegiatan pariwisata,
meningkatkan perbaikan menu makanan rakyat, mendukung terciptanya iklim yang mendorong peningkatan
prakarsa dan swadaya gotong royong masyarakat, menangani permasalahan remaja sedini mungkin dan
menanggulangi kenakalan remaja dalam keluarga, dan melaksanakan kegiatan PKK di daerah transmigrasi.
Cara pemasyarakatan gerakan PKK hendaknya dilakukan secara luwes dengan memanfaatkan media
massa, media elektronik, atau media panggung. Melalui kegiatan seni-budaya, juga bisa dilakukan
pemasyarakatan gerakan PKK. Dengan memasyarakatkan gerakan PKK diharapkan adanya persepsi tentang
PKK yang benar, menumbuhkan pengertian dan pemahaman serta rasa memiliki sehingga dapat menggerakkan
peranserta masyarakat untuk mengikuti gerakan PKK dalam upaya mencapai kesejahteraan keluarga.
Memasyarakatkan gerakan PKK dapat menggunakan kader PKK umum atau khusus. Kader PKK
umum adalah relawan yang memiliki pengetahuan ke-PKK-an yang mau dan mampu mengabdikan dirinya
untuk pembangunan di bidang PKK. Kader PKK khusus adalah kader PKK umum yang mendapat tambahan
pengetahuan khusus dan bertugas mengelola kegiatan pelaksanaan 10 program PKK, misalnya kader
kesehatan, tutor, fasilitator P4, dan sebagainya. Di sampiing itu ada kader PKK, yaitu kader kelompok PKK
RW, RT, dan dasa wisma. Kelompok PKK dasa wisma dibentuk di lingkungan tempat tinggal penduduk yang
berjumlah 10-20 kepala keluarga di dalam suatu wilayah RT. Kelompok ini dipimpin oleh seorang kader dasa
wisma dan apabila perlu dapat dibantu oleh sekretaris dan bendarara.
Pelaksanaan gerakan PKK adalah keluarga dalam rumahtangga, baik di pedesaan maupun perkotaan,
agar dapat mewujudkan keluarga sejahtera. Peserta kegiatan pelaksanaan 10 program khusus PKK terdiri
dari warga masyarakat yang masih perlu dikembangkan pengetahuan dan kemampuannnya agar dapat
mewujudkan keluarga sejahtera. Penggerak dan pengurus gerakan PKK serta pembina pelaksanaan 10
program khusus PKK adalah Tim Penggerak PKK yang ketentuan dan pengaturannya ditetapkan dengan
Kepmendagri No. 28 Tahun 1984. Keberhasilan pemasyarakatan gerakan PKK akan turut mendukung
peningkatan peran wanita dalam pembangunan, yang dalam GBHN 1988 telah disebutkan antara lain
berperan aktif di berbagai bidang pembangunan mewujudkan keluarga sejahtera, dan membina generasi
muda. Wanita perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan Pancadharma Wanita dalam
rumah dan masyarakat.
Perlu dukungan
Memasyarakatkan gerakan PKK tidak dapat dilakukan oleh PKK sendiri. Tim Penggerak PKK Pusat
sampai ke Tim Penggerak PKK di tingkat daerah, sampai ke kelompok PKK RW, RT, dan dasa wisma harus
bekerjasama dengan aparat pemerintah di tingkat kepengurusannya dan swasta dalam berbagai kegiatan
PKK, khususnya dalam hal ini adalah pemasyarakatan kegiatan PKK. Pengertian PKK harus dipahami oleh
semua pihak, yaitu gerakan pembangunan masyarakat yang tumbuh dari bawah dengan wanita sebagai
motor penggeraknya untuk membangun keluarga sebagai unit atau kelompok terkecil dalam masyarakat guna
menumbuhkan, menghimpun, mengarahkan, dan membina keluarga guna mewujudkan keluarga sejahtera.
Tujuan pemasyarakatan gerakan PKK diarahkan pada tumbuhnya pengertian, kesadaran, dan
pemahaman akan manfaat gerakan PKK dengan 10 program pokoknya, prioritas kegiatannya, dan peran
bantunya sebagai wahana dan sarana untuk mencapai kesejahteraan keluarga dalam rangka mewujudkan
masyarakat sejahtera berdasarkan Pancasila. Untuk mencapai tujuan ini, Tim Penggerak PKK di semua
tingkatan kepengurusan harus melakukan pemasyarakatan gerakan PKK secara terpadu, minat masyarakat
untuk berpartisipasi dalam gerakan PKK, baik sebagai obyek (sasaran) maupun subyek (penggerak atau
kader PKK) semakin tinggi, dan materi kegiatan PKK yang diinformasikan dan dimasyarakatkan harus benar.
Angkatan Bersenjata, 30 Apri/1990

229
Peran PKK dan Dharma Wanita Dalam
Pembangunan
Gerakan PKK dengan pelaksanaan 10 Program PKK senantiasa disesuaikan dengan kondisi daerah
dan kebutuhan masyarakat, baik di perkotaan maupun perdesaan. Di samping berorientasi dari bawah
(bottom up planning), kegiatan PKK juga seirama dengan program Pemerintah (top down planning) dan bersifat
mendukung serta membantu LKMD. Sepuluh Program PKK dikelompokkan ke dalam empat kelompok kerja,
yaitu Pokja I (penghayatan dan pengamalan Pancasila, gotong royong), Pokja II (pendidikan dan ketrampilan,
pengembangan kehidupan berkoperasi), Pokja Ill (pangan, sandang, papan atau perumahan dan tatalaksana
rumahtangga), dan Pokja IV (kesehatan, kelestarian lingkungan hidup, perencanaan sehat).
Dharma Wanita selaku organisasi istri pendamping suami, ibu, pendidik patra-putrinya, dan warga
negara berjiwa Pancasila yang berdayaguna bagi pembangunan bangsa dan negara, berusaha melaksanakan
program kerja organisasi (konsolidasi, pengembangan, dan pembinaan), kesejahteraan (pembinaan mental
agama, kesejahteraan sosial, dan sosial budaya), pendidikan (non-formal dan formal), penerangan (penerangan
dan humas, penerbitan, dokumentasi, dan perpustakaan), umum (pemupukan dana, manajemen usaha,
kewiraswastaan, pemasaran, dan koperasi), kependudukan dan keluarga berencana (pelembagaan dan
pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera, NKKBS, perluasan jangkauan program KB
Nasional, pembinaan program KB Nasional), pendidikan dasar, bantuan susu bagi anak sekolah, pembinaan
penghayatan dan pen gam alan Pancasila, dan konsultasi pelaksanaan PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang
perkawinan. Jika diteliti secara detail, akan terlihat banyak kesamaan program kerja PKK dan Dharma
Wanita, walaupun pendekatannya dilakukan dari sisi yang agak berbeda.

Orang puncak Dharma Wanita, adalah lbu Soepardjo Rustam, isteri Menko Kesra, dan orang puncak
PKK adalah lbu Rudini, isteri Mendagri. Hirarki organisasi Dharma Wanita berlanjut ke instansi-instansi
pemerintah, sedangkan PKK digerakkan oleh Depdagri khususnya Ditjen Bangdes dengan segala aparatnya.
PKK dan Dharma Wanita, masing-masing telah menyusun Program Kerja Pelita V. Menjelang tahun kelima
saat ini tepat waktunya untuk mengevaluasi pelaksanaan program kerja sebagai bahan masukan dalam
merumuskan kebijaksanaan dalam Repelita VI dan PJPT II. Untuk keperluan tersebut, Kantor Menteri Negara
Urusan Peranan Wanita serta Kantor Menteri Negara Pemuda dan Olahraga, sebenarnya diharapkan peran
koordinasinya agar program kerja yang komprehensif bisa dirumuskan.

PKK
Program penghayatan dan pengamalan Pancasila dimaksudkan untuk meningkatkan mental spiritural
bagi perilaku hidup keluarga berdasarkan Pancasila dan melestarikan budaya Bangsa Indonesia yang mulia.
Pendidikan dan ketrampilan serta pengembangan kehidupan koperasi, diarahkan untuk meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilan dalam meningkatkan pendapatan keluarga, kerjasama dalam bentuk usaha
bersama (koperasi) untuk mencukupi kebutuhan keluarga sejahtera. Kegiatan pangan, sandang, dan papan,
diarahkan untuk meningkatkan mutu gizi makanan keluarga, pembuatan dan pemakaian sandang yang
serasi, serta pengaturan rumah yang rapi dan nyaman. Kegiatan kesehatan dan lingkungan hidup berusaha
meningkatkan derajat kesehatan keluarga dan balita, kesehatan lingkungan hidup dan suasana hidup yang
aman, tenang dan tenteram. Melalui perencanaan sehat diharapkan dapat membiasakan hidup berencana,
menabung, melaksanakan keluarga berencana, dan mewujudkan NKKBS.

Prioritas 10 Program Pokok PKK ialah meningkatkan jumlah dan jenis serta mutu kader, meningkatkan
pendapatan keluarga, membudayakan hidup sehat dan bersih, meningkatkan penerapan Pancadharma
wanita (isteri sebagai pendamping suami, pengelola rumahtangga, penerus keturunan dan ibu pendidik anak,
pencari nafkah tambahan, dan warga masyarakat), serta meningkatkan pelayanan dan pengadaan posyandu).
Sepuluh Program PKK perlu dibarengi oleh Sepuluh Peran Bantu PKK, yaitu menurunkan angka kelahiran
dan kematian bayi/balita, menurunkan angka kematian ibu bersalin/nifas, meningkatkan kualitas manusia

230
Indonesia melalui program bina keluarga dan balita, kemampuan dan kemandirian wanita, pendapatan
keluarga, ekspor non-migas termasuk pariwisata, perbaikan menu makanan rakyat, mendukung terciptanya
iklim yang mendorong peningkatan prakarsa dan swadaya gotong royong masyarakat, menangani remaja
sedini mungkin dan menanggulangi kenakalan remaja dalam keluarga dan melaksanakan kegiatan PKK di
daerah transmigrasi.

Selama Pelita V, telah diupayakan peningkatan dan pengembangan kegiatan Pokja-pokja PKK, antara
lain meningkatkan peranan ibu dan wanita dalam keluarga dan rumahtangga, pengetahuan wanita tentang
hukum dan perundang-undangan, penanganan masalah remaja, meningkatkan UP2K (usaha peningkatan
pendapatan keluarga) melalui pendidikan dan ketrampilan, meningkatkan jumlah dan jenis serta mutu kader
PKK, menanamkan pengetahuan bina serta membudayakan hidup bersih dan sehat.

Upaya-upaya tersebut dilakukan melalui penyelenggaraan permainan simulasi P4, kelompok pengajian,
kerohanian, majelis taqlim, tolong menolong, gotong royong, pembinaan kelompok sosial, arisan, kematian,
dan jimpitan, penyelengggaraan ceramah pengetahuan umum, ketrampilan, peraturan dan perundang-
undangan, kejar Paket A, kursus ketrampilan, latihan dan kursus kader, kelompok pra koperasi dan koperasi,
kelompok belajar usaha, taman bacaan dan perpustakaan PKK Desa dan Kelurahan, pembudayaan bina
keluarga balita, pemanfaatan tanah pekarangan, peningkatan tatalaksana rumahtangga, penggalakan
pembuatan sandang produksi rumahtangga, pembinaan kelompok usaha rumahtangga, pemasyarakatan
teknologi tepat guna, pengelolaan posyandu termasuk kegiatan kesehatan ibu dan anak, imunisasi, gizi,
penanggulangan diare, dan keluarga berencana, penyuluhan kesehatan keluarga, kesadaran KB dan
NKKBS, kesadaran wanita untuk memiliki sikap hidup berencana, hemat dan menabung, serta peningkatan
kesehatan ibu hamil dan nifas serta pembudayaan penggunaan ASI.

Sejalan dengan itu dilakukan peningkatan pembinaan (supervisi), pemantauan, penilaian, dan pelaporan.
Pemasyarakatan gerakan PKK dilakukan melalui komunikasi langsung antara lain tatap muka, penyuluhan,
penerangan, ceramah, panel diskusi, simposium, lokakarya, simulasi, dan membawa misi PKK dalam
sambutan-sambutan resmi, komunikasi lewat media massa antara lain media cetak berupa koran, majalah,
tabloid, koran dinding, leaflet, buku, dan brosur, media elektronika berupa televisi, radio, video, kaset, film,
dan multi media, media panggung seperti wayang, teater, kesenian daerah, tari, puisi, dan seni suara, serta
macam-macam Iomba dan pameran.

Kelompok PKK RW, kelompok PKK RT, dan kelompok dasawisma (10-20 kepala keluarga di
lingkungan tempat tinggal yang berdekatan di wilayah RT), merupakan ujung-ujung tombak gerakan PKK.
Pemerintah Daerah perlu mendayagunakan Gerakan PKK terutama dalam menggalang gotong royong dan
rasa kebersamaan, menumbuhkan prakarsa dan swadaya masyarakat, peran serta dan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan di tingkat lokal, antara lain dalam gerakan kebersihan lingkungan dan kebersihan kota,
pemupukan dana masyarakat, Iomba anak dan remaja.

Keputusan Rakernas Ill PKK Nomor 01/Rakernas Ill PKK/11/1988 tentang Prioritas Kegiatan PKK Untuk
Kurun Waktu Rakernas Ill PKK Rakernas IV PKK merupakan titik tolak perumusan Program PKK Pelita V.
Pokok-pokok yang dibahas dalam Rakernas Ill ini banyak tertampung dalam perumusan Program PKK Pelita
V. PKK mulai dari tingkat Pusat, Regional, Lokal, sampai ke Kelompok PKK RW, Kelompok PKK RT, dan
Kelompok Dasa Wisma dituntut profesionalisme gerakannya.

Dharma Wanita
Para isteri pegawai negeri sebagai anggota Dharma Wanita dituntut menciptakan suasana keluarga
yang harmonis, mendorong suami menjadi aparatur negara yang bersih dan berwibawa, menciptakan
suasana yang menunjang pertumbuhan anak secara wajar dan terarah, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, percaya diri sendiri, panutan dan keteladanan dalam membentuk ahlak dan moral yang baik, meningkatkan
kesadaran organisasi, menggalang persatuan dan kesatuan yang mantap, meningkatkan pengabdian dalam
pelaksanaan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila, menata organisasi dan administrasi Dharma
Wanita secara mantap, mengembangkan organisasi Dharma Wanita sesuai dengan pengembangan struktur

231
kedinasan dan peraturan yang bc:·!ai'.L:. oerr~b:1:aan, pemantauan dan evaluasi secara periodik, pendidikan
kepemimpinan secara berkesinarnbur~~an. pemhinaan mental dan agama, kesejahteraan sosial, kegotong
royongan, meningkatkan tarat ke~;enatan umum dan peningkatan mutu gizi keluarga dan masyarakat,
membudayakan pelestarian lingk:.mgan hid·~rp, meningkatkan peran serta dalam pendidikan formal dan non-
formal, penerangan dan kehumasan. pemupukan dana dan r.·anaJemen usaha, kewiraswastaan, pemasaran
dan koperasi, perluasan jangkauan program KB Nasional melalui komunikasi, informasi dan edukasi (KIE),
pasangan usia subur (PUS), Bakti Kencana Dharma Wanita, program KB kesehatan terpadu, pemantapan
dan pemerataan posyandu, pelembagaan dan pembudayaan NKKBS melalui pelestarian akseptor,
pengembangan KB Mandiri, pembinaan pendidikan dasar, pemasyarakatan P4 dan konsultasi tentang
Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan pelaksanaannya.
Melalui Dharma Wanita, isteri dituntut selaku pendamping suami agar mampu menunjang tugas suami
dengan menciptakan suasana keluarga yar.g harmonis, menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan
ideologi Pancasila dan turut membentuk suami menjadi aparatur negara yang bersih dan berwibawa. lbu
diharapkan menjadi pendidik utama di lingkungan keluarga, menciptakan suasana keluarga yang menunjang
pertumbuhan dan perkembangan anak secara wajar dan terarah, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
mempunyai tanggungjawab yang besar dan menjadi generasi penerus yang tangguh, ibu hendaknya
meningkatkan peran sebagai pengendali unit terkecil dalam masyarakat, merupakan wadah pembentukan
pribadi, ahlak dan moral sejak din1 sehingga tampil menjadi suri teladan dan panutan masyarakat sekitarnya,
meningkatkan kesadaran organisasi dan menjadi kekuatan besar dalam mendukung program pemerintah,
serta meningkatkan pengabdian dan pelaksanaan pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.
Keputusan Musyawarah Nasionallll Dharma Wanita Nomor Kep.04/MN Ill DW/IV/1988 tanggal 7 April
1988 tentang Program Kerja Nasion a! iII Dharma Wan ita dan Petunjuk Pelaksanaan Nomor 01 /Juklakl
Pres.DWNII/1988 tanggal 30 Juli 1988 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Kerja Dharma Wanita Tahun
1988-1993 merupakan acuan dalam melaksanakan kegiatan dan program Dharma Wanita selama Pelita V.
Acuan seperti ini perlu segera dirumuskan secepatnya dalam menyongsong Pelita VI dan PJPT II.

Evaluasi
Baik dalam kegiatan PKK maupun Dharma Wanita, disadari berbagai kesulitan dan hambatan, antara
lain rendahnya pendidikan dan pengetahuan, penghasilan keluarga, belum memasyarakatnya budaya hidup
bersih dan sehat, belum mantapnya Pancadharma Wanita, sulitnya komunikasi, belum meratanya posyandu,
dan belum dipahaminya secara transparan gerakan PKK dan kegiatan Dharma Wanita. Pengertian konsep
diri, konsep diri ibu, dan konsep d1ri ibu menuju keluarga sejahtera perlu dipahami dulu, sebelum melakukan
kampanye ibu sehat sejahtera (KISS) menuju Keluarga Sehat Sejahtera (KSS), demikian pula dalam
mewujudian NKKBS. Peningkatan jumlah, jenis dan mutu kader, pendapatan keluarga, budaya hidup bersih
dan sehat, peran ibu/wanita dalam keluarga dan masyarakat, kelompok dasa wisma, pemerataan dan
pemantapan posyandu, peningkatan kegiatan pokja-pokja dalam PKK, pemantapan administrasi dan
pemasyarakatan gerakan PKK. perlu dipadukan dan diselaraskan dengan program-program Dharma Wanita
yang meliputi program umum dan program khusus yang meliputi program organisasi, kesejahteraan, pendidikan,
penerangan, usaha, kependudukan dan keluarga berencana, pembinaan pendidikan dasar, bantuan susu
bagi anak sekolah, pembinaan pengamalan dan pengamanan Pancasila, serta konsultasi PP Nomor 10
Tahun 1983 mengenai UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Evaluasi pelaksanaan program perlu dilakukan melalui penanganan khusus, evaluasi sarana, dan
evaluasi penanganan kasus, sebagai masukan dalam perumusan program ke-PKK-an, ke-Dharmawanitaan,
keibuan, dan kewanitaan dalam Pelita VI dan PJPT II yang ditujukan pada pembinaan dan peningkatan
kualitas sumber daya man usia didukung kemampuan dan ketrampilan di bidang penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Kelompok-kelompok PKK RW, RT, Dasa Wisma, dan Kelompok PKK lainnya dalam masyarakat
dan pemerintah, serta 3,95 juta isteri pegawai negeri yang tergabung dalam Dharma Wanita, yaitu 614.021
isteri-isteri PNS golongan I, 2,66 juta golongan 11, 639.809 golongan Ill, dan 35.371 golongan IV, merupakan
tenaga penggerak pembangunan dan diharapkan peranserta dan partisipasinya dalam mewujudkan kemitraan
(partnership) pemerintah, swasta dan masyarakat dalam pembangunan nasional.
Angkatan Bersenjata, 17 September 1993

232
Peran Wanita Dalam Mengentaskan Kemiskinan Di
DKI Jakarta
GBHN 1993 menyebutkan bahwa pembinaan peran wanita untuk meningkatkan peran serta aktif
dalam proses pembangunan nasional sesuai dengan kodrat serta harkat dan martabatnya sebagai mitra
sejajar pria, telah berhasil menjangkau sebagian besar kaum wanita. Tetapi masih perlu diperhatikan
peningkatan kualitasnya dan iklim sosial budaya yang lebih mendukung bagi wanita untuk mengembangkan
diri dan perannya dalam berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam era
tinggal landas, wanita sebagai mitra sejajar pria harus lebih dapat berperan dalam pembangunan dan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta ikut melestarikan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena
itu perlu terus dikembangkan iklim sosial budaya yang mendukung agar mereka dapat menciptakan dan
memanfaatkan seluas-luasnya kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya melalui peningkatan
pengetahuan, keahlian, dan keterampilan dengan tetap memperhatikan kodrat serta harkat dan martabat
kaum wanita.
Jika diteliti dengan seksama, dalam GBHN 1993 ada sebelas butir penting peranan wanita dalam
pembangunan bangsa, yaitu wanita sebagai warganegara dan sumberdaya insani pembangunan, mitra
sejajar dengan pria dalam pembanguan, mewujudkan keluarga sehat, sejahtera dan bahagia: mengembangkan
anak, remaja dan pemuda dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya:· meningkatkan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, keterampilan serta ketahanan mental dan spiritual: mampu
menghadapi perubahan di dalam masyarakat dan di dunia internasional, mengembangkan iklim sosial
budaya, menggalakkan kegiatan PKK dan gerakan keluarga kecil, bahagia dan sejahtera (NKKBS): menangani
berbagai masalah sosial dan ekonomi dalam rangka pemerataan hasil pembangunan, pengembangan
sumberdaya manusia yang berkualitas, dan pemeliharaan lingkungan: dan meningkatkan keterampilan,
produktivitas, kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja wanita, termasuk yang bekerja di luar negeri,
terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja, perkembangan karier serta jaminan
pelayanan sosial bagi tenaga kerja wanita dan keluarganya.

Partisipasi
Dalam upaya mewujudkan setiap warga negara memperoleh kesempatan berperan dan menikmati
hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga tidak ada
lagi kemiskinan, peran serta wanita sangat penting artinya. Wanita bisa berperan serta aktif paling sedikit
dalam tujuh bidang pembanguan, yaitu ekonomi: kesejahteraan rakyat, pendidikan dan kebudayaan: agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa: iptek; hukum; politik, aparatur negara, penerangan,
komunikasi dan media massa, serta pertahanan keamanan. Khususnya dalam bidang iptek, wanita pada
masing-masing tempat kerjanya dan keahliannya bisa berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan teknik
produksi (meningkatkan penguasaan proses produksi, produktivitas, kemampuan, keterampilan, serta
kemampuan rancang bangun dan perekayasaan), teknologi budaya iptek, program konkrit, alih teknologi,
integrasi dan penciptaan teknologi baru), ilmu pengetahuan terapan (litbang, pengembangan dan penguasaan
ilmu pengetahuan, kreatif dan inovatif), ilmu pengetahuan dasar (mendukung peningkatan mutu dan
kemampuan sumberdaya manusia), dan kelembagaan iptek (kemitraan pemerintah swasta dan masyarakat,
produktif, kreatif, inovatif, penyediaan informasi, dan penghargaan).
Jika dalam olahraga dikenal motto memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat,
maka dalam kegiatan wanita, juga bisa diwujudkan kegiatan mempartisipasikan wanita dan mewanitakan
partisipasi dalam mengentaskan kemiskinan. Mempartisipasikan wanita dalam mengentaskan kemiskinan
adalah mengikutsertakan dan memeransertakan wanita dalam berbagai kegiatan pembangunan dalam
rangka turut mengentaskan kemiskinan, misalnya partisipasi dalam pengelolaan kebersihan lingkungan,
penataan rumah sehat dan lingkungan sehat, gerakan keluarga berencana, dan kesetiakawanan sosial.
Sedangkan mewanitakan partisipasi adalah menumbuhkan partisipasi pada kaum wanita, agar tumbuh

233
pembangunan yang partisipatif.
Untuk ukuran Jakarta yang akan berkembang menjadi megacity pada tahun 2000, partisipasi wanita
haruslah ditandai dengan penguasaan iptek, yaitu bekerja dengan menggunakan pendekatan ilmiah, berpikir
logis, kreatif, rasional, dan obyektif. Upaya meningkatkan kecintaan wanita terhadap iptek bisa didukung oleh
keingintahuan, minat dan perhatian wanita terhadap kegiatan-kegiatan iptek. lptek diharapkan dapat
memecahkan permasalahan kaum wanita/ibu seperti persamaan hak, harkat, martabat, kewajiban dan
kesempatan yang sama dengan pria dalamberbagai bidang pendidikan dan lapangan kerja.
Banyak cara meningkatkan peran wanita dalam pembangunan perkotaan, antara lain melalui seminar
peranan wanita dalam pembangunan, peran serta wanita dalam manajemen, dan partisipasi wanita/ibu dalam
berbagai kegiatan iptek. Tingginya peran serta wanita dalam penguasaan iptek dan peran sertanya dalam
pembangunan, terlihat dari telah banyaknya jabatan pemimpin perusahaan, kegiatan antariksa, Perdana
Menteri, Presiden, dan berbagai pimpinan kegiatan ilmiah lainnya yang dipegang oleh kaum wanita.
Beberapa hal perlu diperhatikan dalam menerapkan iptek kaum wanita. Pertama, pemilihan bentuk teknologi
yang diperlukan haruslah diputuskan oleh para warga desa sendiri. Kedua, adat, kebiasaan, agama dan sosial
budaya wanita pedesaan harus diperhatikan. Jika teknologi yang diperkenalkan bertentangan dengan tata
nilai yang berlaku, kemungkinan kaum wanita tidak akan menggunakannya.
Ketiga, perlu diperhatikan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dan biasanya sukar diubah baik
oleh kaum ibu. Keempat, pemilihan teknologi yang diperkenalkan haruslah ditentukan dengan memperhatikan
keadaan lingkungan masyarakat yang akan menggunakannya. Kelima, terjaminnya perlengkapan yang
diperlukan, jasa perawatan, penyediaan suku cadang dan pengawasan terhadap pengoperasiannya. Keenam,
para perencana dan pelaksana tidak boleh terlalu cepat kecewa seandainya wanita atau ibu-ibu tidak begitu
menghargai bantuan teknologi yang diperolehnya.
Ketujuh, perlu ada jaminan kesinambungan alat agar dapat menjamin peningkatan produksi dan
memberi kemungkinan komersial. Kedelapan, keselamatan wanita/ibu-ibu yang mengoperasikan teknologi
harus terjamin sehingga keselamatan kerja dapat dijaga. Kesembi/an, memperbaiki alat-alat dengan melibatkan
peranan wanita sebesar-besarnya sehingga keterampilannya dapat ditingkatkan. Kesepuluh, teknologi yang
telah diperkenalkan kepada wanita di suatu desa hendaknya dapat disebarluaskan ke desa-desa lainnya
(sistem berantai, seperti yang terjadi pada program P2LDT, pembangunan perumahan dan lingkungan desa
secara terpadu).
Teknologi tepat guna diartikan sebagai teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bersifat
dinamis, sesuai dengan kemampuan, tidak merusak lingkungan dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
dalam meningkatkan nilai tambah. Memasyarakatkan teknologi tepat guna akan membantu meningkatkan
mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat pedesaan melalui pengembangan sumberdaya manusia dan
sumberdaya alam dengan memperhatikan kelestariannya. Kegiatan memasyarakatkan teknologi tepat guna
dapat ditempuh melalui lima cara. Yang pertama, inventarisasi berbagai jenis dan bentuk teknologi tradisional
yang bisa ditingkatkan dan memberi nilai tambah kepada usaha perekonomian masyarakat serta perbaikan
kualitas kehidupan. Kedua, mempersiapkan masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan yang dapat
meningkatkan ketrampilkan dan wawasan teknologi tepat guna kepada aparatur, petugas lapangan, dan
kelompok masyarakat. Ketiga, mempersiapkan pelatihan keliling teknologi tepat guna yang berasal dari
tenaga lokal atau melalui Kader Pembangunan. Tenaga Kerja Sukarela Terdidik, dan Sarjana Penggerak
Pembangunan. Keempat, mengembangkan keanekaragaman atau diversifikasi usaha masyarakat dari sektor
pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri kerajinan tangan, bahan bangunan, perbengkelan,
dan sektor penunjang kebutuhan dasar manusia. Kelima, melaksanakan pelayanan berbagai jenis teknologi
tepat guna melalui media komunikasi, media cetak, media elektronika, pameran dan peragaan pembangunan
sesuai dengan tipologi wilayah dan permasalahannya.
Aspek koordinasi memegang peranan penting. Agar koordinasi yang terarah dan terpadu bisa
diwujudkan, para Bupati!Walikotamadya hendaknya memperhatikan PP Nomor 6 Ta.,!Jun 1988 dan lnmendagri
Nomor 18 Tahun 1989 tentang Koordinasi Kegiatan lnstansi Vertikal di Daerah. Jika ketentuan peraturan
perundang-undangan ini dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat, maka pembangunan daerah, dalam hal ini
pembangunan pedesaan, pasti akan lancar. Naluri kewanitaan akan memperkuat kaum wanita dan ibu-ibu

234
dalam memasyarakatkan informasi iptek kepada masyarakat, antara lain melalui perpustakaan keliling,
pameran lptek, pusat rekreasi iptek, Iomba penulisan dan karya cipta iptek, pengelolaan lingkungan hidup,
peningkatan kemampuan Bahasa Indonesia yang benar, dan karyawisata iptek.
Partisipasi kaum wanita dalam kegiatan iptek perlu didukung oleh sarana dan prasarana yang
memadai, antara lain adanya museum iptek, publikasi iptek, brosur. leaflet, booklet, informasi teknologi
canggih, penyelenggaraan ceramah iptek, peragaan dan pameran iptek, workshop iptek, penghargaan
prestasi ilmiah, bimbingan teknis, dan penyuluhan iptek. PKK dengan Dasa Wismanya merupakan kelompok
terkecil dalam masyarakat yang bisa menumbuhkan, menghimpun, mengarahkan, dan membina keluarga
guna mewujudkan keluarga sejahtera. Kampanye lbu Sehat Sejahtera yang dipopulerkan oleh BKKBN,
diarahkan pada perwujudan keluarga sehat sejahtera dan keluarga kecil sejahtera. Pembinaan lptek bagi
kaum wanita dapat dilakukan melalui penyebarluasan iptek, koordinasi iptek dan penyiapan tenaga terampil
bidang iptek.
Pembinaan dan pengembangan wanita serta peningkatan peranannya dalam pembangunan nasional
dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan penguasaan di bidang iptek. Dengan iptek, tenaga kaum
wanita dapat ditingkatkan menjadi suatu sumber daya yang bernilai tinggi dan keterbukaan. Sesuai dengan
GBHN 1993, ekonomi berperan sebagai penggerak pembangunan, sedangkan iptek merupakan pemacu
pembangunan bangsa.

DKI Jakarta
Penduduk Jakarta sebanyak 8.222.525 jiwa (Sensus Penduduk 1990), terdiri atas 4.150.055 laki-laki
dan 4.072.460 perempuan. lni berarti jumlah wanita sebagai potensi pembangunan sangat besar. Wanita
dimanapun dia berada, bisa didayagunakan sebagai subyek pembangunan. Dalam membentuk kelompok-
kelompok kegiatan bersama masyarakat, peran wanita sangat menonjol. Demikian juga dalam menumbuhkan
gerakan kesenian dan olahraga, serta upaya-upaya menumbuhkembangkan kegotongroyongan masyarakat.
Dalam kegiatan Posyandu, pengumpulan dana sosial masyarakat, kesetiakawanan sosial, kebersihan
kampung, penerangan kampung, perbaikan jalan kampung, kursus-kursus penyuluhan, pendidikan dan
pelatihan singkat, dan sejenisnya, banyak diperankan oleh wanita.
Wanita melalui berbagai organisasi kemasyarakatan hendaknya berperan serta dalam proses
perencanaan pembangunan di DKI Jakarta mulai temu karya di tingkat kelurahan, sampai ke kecamatan,
wilayah kota, dan tingkat DKI Jakarta. Cara seperti ini akan menumbuhkan pembangunan dari bawah (bottom
up approach) yang benar-benar menyalurkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat.
Cara lain, wanita pada tingkat kemampuannya yang lain, juga diharapkan berpartisipasi mulai dari atas
(top down approach), yaitu mereka yang duduk dalam DPRD, Pemerintah DKI Jakarta, serta lnstansi
Pemerintah dan swasta lainnya. Pendekatan dari bawah dan dari atas masih perlu didukung oleh adanya
kemitraan pemerintah swasta masyarakat, sehingga masing-masing secara bersama-sama mengusulkan,
merencanakan, melaksanakan, membiayai, berpartisipasi dalam upaya mewujudkan pembangunan yang
berhasilguna dan berdaya guna.
Angkatan Bersenjata, 23 September 1993

Arah Kegiatan Dharma Wanita Dalam Repelita VI


Dharma Wanita selaku isteri pendamping suami, ibu, pendidik putra-putrinya, dan warga negara
berjiwa Pancasila. Ia berdayaguna bagi pembangunan bangsa dan negara. Berusaha melaksanakan program
kerja organisasi (konsolidasi, pengembangan dan pembinaan), kesejahteraan (pembinaan mental agama,
kesejahteraan sosial, dan sosial budaya), pendidikan (non-formal dan formal), penerangan (penerangan dan

235
humas, penerbitan, dokumentas1. dan perpustakaan). umum (pemupukan dana, manajemen usaha,
kewiraswastaan, pemasaran, dan kc1perasi). kependudukan dan keluarga berencana (pelembagaan dan
pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera, NKKBS, perluasan jangkauan program KB
Nasional, pembinaan program KB Nasional), pendidikan dasar, bantuan susu bagi anak sekolah, pembinaan
penghayatan dan pengama!an Pancasila, dan konsultasi pelaksanaan PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang
Perkawinan.
Orang puncak Dharma Wan ita adalah lbu Soepardjo Rustam, istri Menko Kesra ·dan hirarki organisasi
Dharma Wanita berlanjut ke instansi-instansi pemerintah. Dharma Wanita telah menyusun Program Kerja
Pelita V dan sekarang sedang menyusun Program Kerja Repelita VI. Menjelang tahun kelima saat ini tepat
waktunya untuk mengevaluasi pelaksanaan program kerja sebagai bahan masukan untuk mengevaluasi
pelaksanaan program kerja sebagai bahan masukan dalam merumuskan kebijaksanaan dalam Repelita VI
dan PJPT II. Untuk keperluan tersebut. Kantor Menteri Negara Urusan Peranan Wanita serta Kantor Menteri
Negara Pemuda dan Olahraga, diharapkan peran koordinasinya agar program kerja yang komprehensif bisa
dirumuskan.
Baik dalam kegiatan PKK maupun Dharma Wanita, disadari berbagai kesulitan dan hambatan, antara
lain rendahnya pendidikan dan pengetahuan, penghasilan keluarga, belum memasyarakatnya budaya hidup
bersih dan sehat, belum mantapnya Pancadharma Wanita, sulitnya komunikasi, belum meratanya posyandu,
dan belum dipahaminya secara transparan gerakan PKK dan kegiatan Dharma Wanita. Pengertian konsep
diri, konsep diri ibu, dan konsep diri ibu menuju keluarga sejahtera perlu dipahami dulu, sebelum melakukan
kampanye ibu sehat sejahtera (KISS) menuju Keluarga Sehat Sejahtera (KSS), demikian pula dalam
mewujudkan NKKBS.
Peningkatan jumlah, jenis dan mutu kader, pendapatan keluarga, budaya hidup bersih dan sehat,
peran ibu/wanita dalam keluarga dan masyarakat, kelompok dasa wisma, pemerataan dan pemantapan
posyandu, peningkatan kegiatan pokja-pokja dalam PKK, pemantapan administrasi dan pemasyarakatan
gerakan PKK, perlu dipadukan dan diselaraskan dengan program-program Dharma Wanita yang meliputi
program umum dan program khusus yang meliputi program organisasi, kesejahteraan, pendidikan, penerangan,
usaha, kependudukan dan keluarga berencana, pembinaan pendidikan dasar, bantuan susu bagi anak
sekolah, pembinaan penghayatan dan pengamalan Pancasila, serta konsultasi PP Nomor 10 Tahun 1983
mengenai UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Menuju Repelita VI
Menyongsong Repelita VI, Dharma Wanita telah siap dengan pemikiran baru yang menyangkut dua
hal, yaitu Kebijaksanaan Umum dan Program Kerja. Kebijaksanaan Umum pada prinsipnya mengacu pada
GBHN 1993 dan Repelita VI yang disusun oleh Bappenas. Program Umum Dharma Wanita Tahun 1993/1998
terdiri dari tujuh bidang, yaitu sekretariat umum, bendahara, organisasi, kesejahteraan, pendidikan, ekonomi,
dan khusus. Program ini menunjukkan adanya upaya peningkatan manajemen organisasi Dharma Wanita.
Program ini merupakan penyederhanaan dari program umum sebelumnya, yaitu Program Umum Dharma
Wanita Pelita V Tahun 1988-1993 yang terdiri dari sembilan bidang, yaitu organisasi, kesejahteraan,
pendidikan, penerangan, usaha, BKKB, BPPD, BP4, dan BKP PP 10 Tahun 1983.
Untuk mendukung kelancaran penyusunan dan pelaksanaan tujuh program kerja ini telah disiapkan
pedoman sekretariat umum (Administrasi umum, penerangan yang terdiri dari humas, dokumentasi, dan
penerbitan), organisasi (pembinaan organisasi dalam dan pembinaan hubungan keluar), pendidikan (pembinaan
tenaga kependidikan dan perpustakaan, kesejahteraan (agama, mental, sosial, norma keluarga kecil bahagia
dan sejahtera. NKKBS, lingkungan hidup sehat, dan konsultasi keluarga), pendidikan dan pelatihan sesuai
dengan keperluan seksi lain), ekonomi (usaha dan koperasi), dan khusus (generasi penerus, pembinaan
warakawuri dan istri pensiunan Korpri, kegiatan-kegiatan di luar program Dharma Wanita).
Pedoman program tersebut hendaknya dijadikan acuan dalam merancang program kerja Dharma
Wanita Tahun 1993-1998 di semua instansi. Rancangan Program Kerja harus memperhatikan pokok-pokok
pemikiran sebagai berikut: Sekretariat Umum terdiri atas administrasi umum dan penerangan. Administrasi
Umum mencakup manajemen, administrasi organisasi, pengadaan dan pemeliharaan. Penerangan terdiri

236
atas humas yang meliputi informasi kegiatan organisasi dan kerjasama dengan media massa elektronik dan
media cetak, dokumentasi kegiatan Dharma Wanita, dan penerbitan dalam bentuk bulletin, leaflet, edaran,
peragaan, dan sejenisnya.
Program kerja bendahara terutama menyangkut pengelolaan keuangan organisasi. Program Kerja
Organisasi mencakup pembinaan organisasi ke dalam dan pembinaan hubungan keluar. Ke dalam, mencakup
penataan organisasi, peningkatan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, pendidikan
pendahuluan bela negara, peningkatan kesadaran hukum, dan kaderisasi, sedangkan ke luar, meliputi
peningkatan dan pemeliharaan hubungan dengan organisasi lain yang sehaluan.
Program kerja Kesejahteraan meliputi empat hal. Pertama, agama, mental dan sosial yang meliputi
program kerja mental keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, melestarikan nilai-nilai luhur
bangsa, serta meningkatkan kepedulian dan kesejahteraan sosial. Kedua, NKKBS, melalui upaya pembinaan
KB, meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak (KIA), komunikasi informasi dan edukasi (KIE) tentang KB
Kesehatan Terpadu, memantau peserta KB anggota pasangan usia subur (PUS), kampanye ibu sehat
sejahtera (KISS), meningkatkan bina keluarga balita (KB), dan menyelenggarakan tempat penitipan anak
(TPA). Ketiga, lingkungan hidup sehat, melalui upaya memasyarakatkan kesadaran akan pentingnya
keseimbangan lingkungan hidup yang sehat dengan menggunakan teknologi tepat guna. Keempat, konsultasi
keluarga dengan cara memberi penyuluhan dan menyediakan pelayanan konsultasi bagi anggota-anggota
keluarganya untuk mendapatkan pengayoman dan pemecahan masalah, yang perlu didukung oleh pembinaan,
konsultasi, dan evaluasi.
Program Kerja Pendidikan meliputi upaya pembinaan tenaga kependidikan sekolah dan luar sekolah,
perpustakaan (meningkatkan penyelenggaraan dan pengelolaan perpustakaan serta minat baca), serta
pendidikan dan pelatihan sesuai dengan keperluan seksi-seksi lain. Program kerja Ekonomi menyangkut
usaha dan koperasi. Program Usaha antara lain mengusahakan dana yang tidak mengikat, meningkatkan
pengelolaan UUPK, menyediakan atribut orang dan barang-barang lain, menampung dan memasarkan hasil-
hasil ketrampilan anggota, serta meningkatkan dan mengembangkan kejar usaha. Program koperasi dilakukan
dengan memasyarakatkan kehidupan berkoperasi di kalangan anggota.
Program Khusus mencakup generasi penerus, warakawuri dan istri pensiunan Korpri, dan kegiatan di
luar program Dharma Wanita. Program generasi penerus berupa pembinaan dan peningkatan wawasan di
semua bidang kehidupan ibu (orang tua efektif, menciptakan suasana keluarga yang mendukung perkembangan
potensi anak), kehidupan anak, remaja dan pemuda (meningkatkan kualitas generasi penerus dalam
kehidupan beragama, berbudipekerti dan cinta tanah air, disiplin, hidup sehat dan berprestasi, tanggungjawab,
dan percaya diri sendiri), serta membina kegiatan (kualitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, orientasi jenis peluang pekerjaan di masa yang akan datang, dan menumbuhkan kesetiakawanan
sosial dan kepedulian terhadap lingkungan).
Pembinaan warakawuri dan istri pensiunan Korpri diarahkan agar mereka berprestasi dan
ditumbuhkannya kegotongroyongan dan kesetiakawanan, kegiatan yang mendukung peningkatan kesejahteraan,
serta peningkatan pengetahuan dan pengalaman. Kegiatan di luar program kerja Dharma Wanita sifatnya
selektif, sepanjang menyangkut kepentingan umum dan berusaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Penutup
Kebijaksanaan Umum dan Program Kerja Dharma Wanita pada Repelita VI yang merupakan
penyederhanaan dan penajaman pemikiran program umum dan program kerja Dharma Wanita dalam Pelita
V, diharapkan lebih cepat mencapai sasaran. Tujuh Program Kerja Dharma Wanita Tahun 1993-1998 yang
mengacu pada GBHN 1993 dan Repelita VI, merupakan perwujudan peran wanita dalam pembangunan
bangsa. Jika ekonomi merupakan penggerak pembangunan bangsa, maka penguasaan iptek di kalangan
kaum wanita akan merupakan pemacu pembangunan bangsa Indonesia dalam menuju era tinggal lantas.
Angkatan Bersenjata, 4 Oktober 1993

237
Program Dharma Wanita 1993-1998

Musyawarah Nasional IV Dharma Wanita (DW) dengan tema Dilandasi semangat persatuan dan
kesatuan, Dharma Wanita siap menyongsong Pembangunan Jangka Panjang Tahap II dengan turut serta
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, telah diselenggarakan di Jakarta 12-14 April 1993, yang dihadiri
oleh 350 orang, yaitu Presidium Lama dan Baru (70 orang), pengurus harian (80), utusan Unit tingkat Pusat
(75), dan utusan Daerah (135 orang), telah berhasil menyusun Program Kerja Dharma Wanita Tahun 1993-
1998.
Berdasarkan Keputusan Munas IV Dharma Wanita Nomor Kep. 04/MN IV DW/IV/1993, Rencana
Program Dharma Wanita Tahun 1993-1998 terdiri atas pendahuluan, kebijaksanaan umum, pembidangan
program kerja, dan penutup. Program Kerja ini dijadikan pedoman bagi Dharma Wanita untuk melakukan
kegiatan selama tahun 1993-1998.

Program Kerja
Sebagai warganegara, wanita mempunyai kemampuan dan potensi bagi pembangunan, mempunyai
hak dan kewajiban serta kesempatan yang sama dengan pria di segala bidang kehidupan. Anggota Dharma
Wanita pasangan muda semakin banyak yang meniti karir untuk menampilkan jati dirinya serta mampu
berkarya sejajar dengan pria dan meningkatkan keadaan ekonomi keluarga. Kebijaksanaan Umum Dharma
Wanita mengandung dua hal. Pertama. mengacu pada GBHN 1993, bahwa berhasilnya pembangunan
nasional sebagai pengamalan Pancasila tergantung pada peran aktif masyarakat serta sikap mental, tekad
dan semangat serta ketaatan dan disiplin para penyelenggara negara serta seluruh rakyat Indonesia.
Sehubungan dengan itu, organisasi kemasyarakatan Dharma Wanita perlu menyusun program dalam
rangka melaksanakan GBHN 1993. Program Dharma Wanita 1993-1998 secara bertahap menumbuhkan
sikap dan tekad kemandirian, meningkatkan kualitas kesejahteraan lahir batin bagi anggota keluarga dan
masyarakat sekitarnya. Program Kerja ini dituangkan dalam kegiatan sesuai situasi dan kondisi kepengurusan
dan daerah masing-masing.
Pembidangan Program Kerja terdiri dari tujuh unsur, yaitu sekretariat umum, bendahara, seksi
organisasi, seksi kesejahteraan, seksi pendidikan, seksi ekonomi, dan seksi khusus. Seketariat Umum
mencakup administrasi umum (pelaksanaan manajemen dan pelayanan administrasi organisasi,
pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan administrasi umum, serta pengadaan dan pemeliharaan aset/barang
milik organisasi) dan penerangan (humas, menyebarluaskan informasi mengenai kegiatan organisasi dan
penyelenggaraan kerjasama dengan mass media elektronik dan cetak; dokumentasi kegiatan organisasi
Dharma Wan ita; dan penerbitan, (menerbitkan buletin, brosur, leaflet tentang kegiatan organisasi).
Bendahara bertugas mengelola keuangan organisasi. Seksi organisasi bertugas meningkatkan
kesadaran, kemampuan berorganisasi dan meningkatkan kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
serta mempersiapkan kader organisasi, meliputi pembinaan ke dalam (pembinaan anggota, penataan struktur
dan tatakerja organisasi sesuai dengan peraturan yang berlaku, peningkatan kesadaran bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, peningkatan kesadaran hukum, dan kaderisasi) dan pembinaan hubungan ke luar
(peningkatan dan pemeliharaan hubungan dengan organisasi yang sehaluan).
Seksi Kesejahteraaan melaksanakan usaha-usaha menuju terwujudnya peningkatan kesejahteraan
anggota beserta keluarganya dan masyarakat, melalui empat kegiatan. Pertama, agama, mental dan sosial,
dengan cara meningkatkan keimanan dan ketaqwan kepada Tuhan Yang Maha Esa, melestarikan nilai-nilai
luhur budaya bangsa, dan meningkatkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial. Kedua, Norma Keluarga Kecil
Bahagia dan Sejahera (NKKBS) melalui pembinaan Keluarga Berencana, peningkatan pembinaan dan
pelaksanaan bina keluarga balita (BKB), dan penyelenggaraan tempat penitipan anak.
Ketiga, lingkungan hidup sehat dengan cara memasyarakatkan kesadaran akan pentingnya kebersihan
dan penggunaan sumberdaya alam secara efisien dengan menggunakan teknologi tepat guna dan

238
mengendalikan pencemaran lingkungan. Keempat, konsultasi keluarga dengan cara memberikan penyuluhan
dan pelayanan konsultasi bagi anggota dan keluarganya untuk mendapatkan pengayoman dan pemecahan
permasalahan.
Seksi Pendidikan melaksanakan peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap mental anggota
dalam segala segi kehidupan, dengan cara menyelenggarakan pendidikan dan latihan dalam hal pembinaan
tenaga kependidikan (peningkatan kemampuan tenaga kependidikan bagi pendidikan sekolah dan luar
sekolah) dan peningkatan pengelolaan perpustakaan/sudut baca (mendidik tenaga pengelola perpustakaan
dan sudut baca, meningkatkan minat baca, dan mengembangkan perpustakaan agar dapat menjadi pusat
dokumentasi dan informasi), dan menyelenggarakan pendidikan dan latihan sesuai dengan kebutuhan bidang
lain.
Seksi Ekonomi, melaksanakan usaha untuk mendapatkan dana bagi organisasi dan peningkatan
pengetahuan serta ketrampilan anggota untuk menambah penghasilan keluarga serta memasyarakatkan
kehidupan berkoperasi melalui dua kegiatan. Pertama, usaha, (mengusahakan dana yang tidak mengikat
bagi kepentingan kegiatan organisasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku, meningkatkan pengetahuan
dan ketrampilan anggota dalam pengelolaan suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan keluarga,
menyediakan barang-barang berupa atribut organisasi maupun barang-barang lainnya, menampung dan
memasarkan hasil ketrampilan anggota, serta mengembangkan dan meningkatkan pembinaan kejar usaha).
Kedua, memasyarakatkan Koperasi, dengan cara memasyarakatkan kesadaran berkoperasi di kalangan
anggota.
Pekerjaan rumah bagi Pengurus Dharma Wanita periode 1993-1998 adalah hal-hal yang belum
terselesaikan selama periode berikutnya, antara lain program penyuluhan penggunaan kartu asuransi
kesehatan bagi peserta Askes (Keluarga PNS dan ABRI), penyuluhan hemat energi rumahtangga bagi
anggota dalam rangka konservasi penggunaan energi rumahtangga, penyuluhan hukum dalam rangka
meningkatkan kesadaran hukum bagi anggota, kursus kepemimpinan di seluruh jajaran Dharma Wanita
dengan modul kursus kepemimpinan yang sudah tersedia, dan berperan nyata dalam pembangunan di
lingkungan tempat tinggalnya.

Beberapa Pandangan
Dharma Wanita sebagai organisasi kemasyarakatan yang merupakan wadah perhimpunan para istri
Pegawai Rl, harus menyadari sepenuhnya akan tanggungjawab dalam ikut serta menyukseskan pelaksanaan
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Munas IV Dharma Wanita memutuskan lkrar Dharma
Wanita berdasarkan Kepmunas Nomor Kep. 06/MN IV DW/IV/1993, yang isinya memasyarakatkan hasil-hasil
Sidang Umum MPR 1993, menyukseskan peran serta Dharma Wanita dalam pembangunan sumberdaya
manusia dengan menggalakkan peran serta keluarga dalam pendidikan dan berkepribadian nasional serta
membina lingkungan sosial yang bertanggungjawab, dan menggalang persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada pembukaan Munas IV Dharma Wanita, Presiden Soeharto menegaskan ada paling tidak tiga hal
yang bisa dilakukan Dharma Wanita dalam meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Pertama, meningkatkan
kualitas anggota-anggotanya sehingga dapat memberi sumbangan yang makin besar bagi kelanjutan
pembangunan. Kedua, sebagai pimpinan masyarakat di lingkungan perumahannya, Dharma Wan ita diharapkan
menjadi panutan dalam berpartisipasi dalam pembangunan serta dalam mengikuti perkembangan dan
kemajuan jaman, dan membangkitkan disiplin masyarakat sekitarnya. Ketiga, kerjasama dengan organisasi-
organisasi wanita lainnya dalam rangka mendukung pembangunan, perlu makin ditingkatkan.
lbu Tien Soeharto mengatakan bahwa setiap perubahan dalam pembangunan membawa pengaruh.
Yang harus dijaga adalah agar arah pembangunan masyarakat tetap menuju pada terbentuknya masyarakat
yang maju, sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila, masyarakat yang berkepribadian Indonesia.
Dharma Wanita bisa berperan melalui pendidikan dalam rangka meningkatkan kecerdasan anak dan para
remaja, generasi bangsa yang sedang tumbuh. Dharma Wanita hendaknya berperan lebih nyata, yang benar-
benar dirasakan manfaatnya oleh anggotanya, didukung ketekunan dan keikhlasan, serta perlu menggalang
kerjasama dengan berbagai organisasi wanita dan organisasi kemasyarakatan lain.
Mendagri Yogie SM menghimbau agar terjadi mekanisme Munas yang menjunjung tinggi semangat

239
kekeluargaan dan kebersamaan yang efektif, rr:engutamakan musyawarah untuk mufakat dalam mengambil
keputusan, dan memegang teguh konstitusi organisasi dan kesepakatan yang telah ditetapkan. Dharma
Wanita harus lebih berperan dalam membangun kemitraan dengan pemerintah dalam rangka melancarkan
dan mempercepat pelaksanaan pembangunan.
Menneg UPW Mien Sugandhi mengingatkan bahwa kerjasama yang baik yang didasari oleh saling
pengertian antara suami-istri akan menolong anak dalam membentuk pribadinya. Dalam mengasuh dan
membimbing anak supaya berkembang menjadi pribadi yang tangguh, mandiri dan berkualitas, perlu
diperhatikan beberapa hal, yaitu dukungan dalam menjaga kebutuhan semangat anak, jangan terlalu banyak
menuntut, pengakuan terhadap pribadi anak yang khas dan menerima keadaan anak seperti adanya, berikan
kesempatan yang cukup untuk berkembang, berikan rasa aman dan dorongan agar anak bersikap mandiri,
dan berikan pujian dan teguran serta hukuman tanpa rasa dendam. Tantangan kemajuan ke arah modernisasi
mengharuskan kita semua untuk melihat peranan pria dan wanita dalam satu tatanan kemitraan sejajar yang
saling melengkapi.
Meneg UPW juga menyatakan pentingnya peranan orang tua dan keluarga dalam pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya. Perlu lebih mendapat perhatian kita semua upaya untuk meningkatkan
pengetahuan, pengalaman dan kemampuan orang tua, suami dan istri, dalam hal yang berkaitan dengan
pembangunan keluarga sejahtera. Sebagai wahana strategik, Dharma Wanita haruslah berperan dalam
meningkatkan ketahanan keluarga terhadap berbagai pengaruh dari pergeseran nilai budaya bangsa serta
perubahan dalam kehidupan masyarakat.

Penutup
Menurut Ketua Umum Presidium Dharma Wanita Pusat, Ny. Soepardjo Rustam, saat ini 60% dari
anggota Dharma Wanita belum berpeluang untuk memaksimalkan partisipasinya dalam pembangunan.
Sebagai anggota Dharma Wanita, mereka diharapkan untuk lebih mandiri, dapat memenuhi kedudukan
sebagai istri pendamping suami, dan sebagai ibu pendidik putra-putrinya. Selaku istri, mereka diharapkan
dapat menjadi pendorong dan penopang semangat pengabdian suami sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat. Sebagai pendidik, mereka diharapkan mampu menyiapkan putra-putrinya menjadi generasi
penerus yang bersemangat tinggi, siap serta mampu menyongsong masa depan yang lebih maju, modern
dan serba canggih.
Dari luar organisasi Dharma Wanita, tidak jarang ada komentar sinis terhadap Dharma Wanita dan
adanya beberapa ungkapan yang tidak menyenangkan seperti Dharma Wanita adalah organisasi elit,
organisasi wanita kurang kerja, menjadi boss suami di kantor, lebih galak dari bapaknya di kantor, dan
sebagainya. Untuk menangkal pandangan tersebut, anggota Dharma Wanita perlu meningkatkan partisipasinya
dalam pembangunan pada Repelita VI dan PJP-11 ini dalam rangka meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia, khususnya peningkatan kualitas anggota Dharma Wanita sebagai pendamping suami, pendidik
dalam keluarga dan masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Dharma Wanita hendaknya benar-benar bisa berperan membentuk keluarga bahagia, sehat, sejahtera
dan kekal, didukung pendidikan dan pembinaan kehidupan beragama. Pembinaan ketahanan keluarga yang
dilakukan oleh suami istri, perlu diarahkan pada terbinanya ketenangan lahir batin, kerukunan, tenteram,
bahagia dan kasih sayang. Dharma Wanita haruslah bisa berperan dalam mewujudkan keharmonisan
keluarga yang merupakan refleksi dari kemitraan sejajar pria dan wanita dan kemitraan dengan pemerintah.
Sesuai dengan amanat GBHN 1993, wanita berhak dan wajib berpartisipasi dalam pembangunan bangsa,
sebagaimana halnya dengan pria. Untuk itu, perlu diciptakan kerjasama pria-wanita dalam upaya menciptakan
kondisi yang menguntungkan dalam keluarga dengan kerjasama yang saling menghargai. Semoga.
Jayakarta, 22 Oktober 1.993

240
PKK DKI Jakarta Mengentaskan Kemiskinan
Daerah Tertinggal
Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) besar peranannya dalam membangun suatu wilayah kota.
Ditetapkannya lnpres Nomor 5 Tahun 1993 tentang Peningkatan Penanggulagnan Kemiskinan (lnpres Desa
Tertinggal), makin mendorong PKK untuk berperan dalam mengentaskan kemiskinan masyarakat, antara lain
melalui program Dasa Wisma PKK. Untuk lebih mengenal PKK dan program-programnya terutama dalam
meningkatkan peran serta masyarakat dalam rangka pengentasan kemiskinan di ibukota, maka tulisan ini
akan diawali dengan melihat sejarah PKK.

Sejarah PKK
PKK merupakan gerakan pembangunan masyarakat, bermula dari Seminar Home Economic di Bogor
tahun 1957, yang menghasilkan rumusan 10 Segi Kehidupan Keluarga yang kemudian ditetapkan sebagai
kurikulum Pendidikan Kesejahteraan Keluarga yang diajarkan di sekolah-sekolah dan pendidikan masyarakat
pad a Kementerian P & K. Pad a tahun 1967, Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dilaksanakan secara
intensif di Jateng dalam upaya menanggulangi keterbelakangan dan kesengsaraan masyarakat dengan jalan
meningkatkan pengetahuan serta ketrampilan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga.
Dari keberhasilan di Jateng, Presiden Soeharto menganjurkan kepada Menteri Dalam Negeri agar PKK
dilaksanakan di daerah-daerah seluruh Indonesia dengan nama Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Anjuran tersebut dituangkan dalam Surat Kawat Mendagri Nomor SUS.3/6/1 tanggal 27 Desember 1972.
Sejak itu dilaksanakanlah Gerakan PKK di seluruh Indonesia dengan nama yang seragam. Selanjutnya
gerakan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) diatur dan dibina oleh Depdagri dan dikaitkan dengan
pembinaan Lembaga Sosial Desa.
Pada tahun 1978 gerakan PKK di Jateng mulai diperkenalkan di luar negeri, yaitu pada Konperensi
International Council of Woman di Seoul. Dan sejak itu, PKK Jateng selain menjadi pusat percontohan PKK
juga mendapat kunjungan tamu-tamu luar negeri. Dengan ditetapkannya Peranan Wan ita dalam Pembangunan
pada GBHN (Tap MPR No. IV Tahun 1978), maka Mendagri mengeluarkan lnstruksi Nomor 10 Tahun 1980
agar dibentuk Tim Penggerak PKK pada setiap jenjang Pemerintahan, guna meningkatkan peranan PKK
yang dikaitkan dengan ketetapan MPR tersebut.
Setelah terbentuk di semua daerah, baru dibentuk tim Penggerak PKK di Pusat. Sejak itu gerakan PKK
di seluruh Indonesia mendapatkan pembinaan yang seragam dari Tim Penggerak PKK dengan sistem
rentang kendali. Kemudian pada Sidang Umum MPR Tahun 1983, PKK ditetapkan dalam GBHN (Tap MPR
No. II Tahun 1983), sebagai salah satu wahana untuk meningkatkan Peranan Wanita dalam Pembangunan
Bangsa. Guna meningkatkan pembinaan warga dalam melaksanakan 10 Program Pokok PKK, maka pad a
tahun 1987 atas restu Bapak Presiden, dibentuk kelompok-kelompok PKK Dusun/Lingkungan, RW, RT, dan
Dasawisma di Desa/Kelurahan seluruh Indonesia. Duapuluh satu tahun sudah, Gerakan PKK dilaksanakan
secara nasional di seluruh Indonesia, dengan tanpa terasa PKK telah sampai ke penghujung REPELITA V
dan memasuki REPELITA VI dan siap memasuki Era PJP II.

Repelita VI
Sampai saat ini telah dua dasawarsa lebih gerakan PKK setia berdharmabakti di seluruh pelosok tanah
air, ikut mewujudkan kesejahteraan keluarga dan mewujudkan keluarga sejahtera. Kualitas keluarga sangat
penting artinya dalam meletakkan landasan yang kuat bagi keluarga dalam memasuki PJP II. Gerakan PKK
telah memperlihatkan keberhasilan, antara lain 2.216.113 kelompok dasawisma, 281.404 tutor, 729.892 kader
khusus, 754.440 kader umum, 370.000 kelompok simulasi P4, dan 21.002 kelompok BKB (Bina Keluarga
Balita). Angka kematian bayi menurun, juga diakibatkan peran serta PKK. Penghargaan banyak diterima,
antara lain Maurice Pare Award dari PBB, Sasakawa Health Prize dari WHO, Asian Management Award dan

241
Penghargaan Program Lingkungan PBB.
Walaupun demikian masih banyak masalah yang dijumpai PKK, antara lain adanya keluarga yang
kebutuhan pokoknya belum terpenuhi, pengetahuan dan ketrampilkan relatif masih rendah serta masih belum
cukupnyaa kader PKK yang memiliki kualitas yang memadai. Memasuki Repelita VI, beberapa prioritas
program PKK adalah sebagai berikut : (1). Pembudayaan P4, peningkatan keimanan dan ketaqwaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kepedulian dan kesetiakawanan sosial, serta pola asuh anak dalam
keluarga; (2). Meningkatkan pendidikan melalui pelatihan, kursus, peningkatan pendapatan keluarga, dan
home industry, dalam menunjang pariwisata; (3). Memasyarakatkan pemanfaatan tanah pekarangan, rumah
layak huni, makanan yang bergizi, pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga, serta hemat energi; dan
(4). Meningkatkan kesehatan keluarga, kualitas posyandu, dan perencanaan sehat untuk mewujudkan
kehidupan keluarga sebagai wahana persemaian nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya bangsa.
Hari PKK 27 Desember 1993 sangat penting artinya, karena pada acara peringatan ini Presiden Rl
Soeharto ditetapkan sebagai Bapak Gerakan PKK dan tanggal 27 Desember ditetapkan sebagai Hari
Kesatuan gerak PKK. Dalam pidato sambutannya, Presiden Soeharto menegaskan bahwa pelaksanaan
lnpres Desa Tertinggal (lnpres 5 Tahun 1993), peran PKK, dan LKMD sangat penting. lni berarti bahwa PKK
dengan 10 Program Pokoknya, dinilai perlu ditingkatkan. Dusun/lingkungan sampai dasawisma diharapkan
mampu dan serasi untuk meningkatkan partisipasi masyarakat di segala aspek kehidupan dalam melaksanakan
pembangunan.
Amanat Presiden tersebut perlu diwujudkan dengan pengabdian yang dinyatakan bahwa Tim Penggerak
PKK tidak hanya sekadar berperan bantu, tetapi sebagai mitra kerja pemerintah di baris depan. Untuk itu PKK
perlu menumbuhkan sikap dan tekad mandiri dalam meningkatkan sumber daya manusia, untuk mewujudkan
keluarga sejahtera, berpedoman pada kaidah penuntun, sebagai pedoman penentuan kebijakan.
Dengan usaha ini tujuan pembangunan nasional sebagai pengamalan semua sila Pancasila secara
serasi dan sebagai kekuatan yang utuh, mudah-mudahan tercapai. Juga dicanangkannya Gerakan HATINYA
PKK (halaman, asri, teratur, indah dan nyaman), dengan tujuan agar tercipta kegotongroyongan, disiplin,
meningkatnya pendapatan, makanan bergizi bagi keluarga serta hidup bersih dan sehat yang membudaya.
Untuk melengkapinya, segera akan diterbitkan buku Sejarah Gerakan PKK. Pada peringatan ini pula, PKK
mempersembahkan Lencana Agung PKK dari Tim Penggerak PKK seluruh Indonesia kepada Bapak
Soeharto, Presiden Rl, sebagai tanda bahwa Bapak Soeharto adalah Bapak Gerakan Pembina Kesejahteraan
Keluarga.

Penanggulangan Kemiskinan
Gerakan PKK dengan 10 programnya senantiasa disesuaikan dengan kondisi daerah dan kebutuhan
masyarakat. Di samping berorientasi dari bawah (bottom up) gerakan PKK juga seirama dengan program
Pemerintah dari atas (top down) dan bersifat mendukung serta membantu LKMD. Sepuluh Program PKK
dikelompokkan ke dalam empat Pokja, yaitu Pokja I (penghayatan dan pengamalan Pancasila, gotong
royong), Pokja II (pendidikan dan ketrampilan, pengembangan kehidupan berkoperasi), Pokja Ill (pangan,
sandang, papan atau perumahan dan tatalaksana rumahtangga), dan Pokja IV (kesehatan, kelestarian
lingkungan hidup, perencanaan sehat).
Kegiatan PKK berusaha meningkatkan pendapatan keluarga, membudayakan hidup bersih dan sehat,
menerapkan Panca Dharma wanita (isteri sebagai pendamping suami, pengelola rumah tangga, penerus
keturunan dan ibu pendidik anak, pencari nafkah tambahan, dan menjadi anggota masyarakat yang baik),
PKK mendukung dan mendorong peningkatan prakarsa dan swadaya gotong royong serta kesetiakawanan
masyarakat, menangani remaja sedini mungkin dan menanggulangi kenakalan remaja, menangani remaja
putus sekolah, dan juga berperan nyata dalam pembinaan kehidupan masyarakat daerah transmigrasi.
Melalui program usaha peningkatan pendapatan keluarga dalam bentuk kegiatan pendidikan dari
keterampilan (UP2K), posyandu, bina keluarga balita (BKB), PKK terus berjuang mewujudkan norma keluarga
kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS), melakukan kampanye ibu sejahtera (KISS), dalam menuju keluarga
sehat sejahtera (KSS). Kelompok Dasa Wisma (10-20 kepala keluarga yang tinggal di lingkungan berdekatan
dalam wilayah RT) merupakan pendorong tumbuhnya prakarsa dan swadaya masyarakat, peran serta dan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan pada tingkat lokal, antara lain dalam gerakan kebersihan

242
lingkungan, penciptaan lapangan kerja, pemupukan dana masyarakat, serta Iomba anak dan remaja.
Daerah Tertinggal DKI Jakarta yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin, antara lain di lingkungan
permukiman kumuh, permukiman nelayan dan wilayah pesisir, Kepulauan Seribu, kampung-kampung daerah
perbatasan DKI Jakarta dengan Botabek, perkampungan di belakang gedung-gedung bertingkat jalan
Jenderal Sudirman, permukiman liar di sekitar stasiun kereta api, dan sebagainya, memerlukan sentuhan ibu-
ibu dalam menumbuhkan rasa kesetiakawanan sosial dan kegotong royongan. Di wilayah-wilayah seperti
inilah peran PKK tampak menonjol, melakukan kunjungan kepada setiap keluarga, memberikan bimbingan
dan penyuluhan, dan menggerakkan rasa kebersamaan.
Melalui gerakan dari RT ke RT dan kampung ke kampung, kelompok Dasa Wisma PKK terus
menumbuhkan kegotongroyongan penduduk dan mengangkat mereka agar tidak terus hidup dalam kemiskinan.
Bantuan dana dan peralatan dari atas tidaklah ada artinya bagi masyarakat, jika tidak dilakukan pemantauan
terus menerus. Mengatasi kemiskinan haruslah sampai ke akarnya, mengatasi penyebab kemiskinan itu
sendiri. Masalah pendidikan, kesehatan, lapangan kerja, keahlian dan keterampilan, kesemuanya saling
terkait dalam suatu kehidupan masyarakat lapisan bawah. Penghasilan kelompok miskin yang sangat rendah,
tinggal di rumah-rumah kecil yang dihuni sangat padat, pengap tanpa fasilitas pertukaran udara sehingga
menjadikan rumah tidak sehat, masih dihadapkan pada pengeluaran untuk membeli air bersih, membersihkan
saluran pembuangan air kotor, dan ancaman terhadap kebakaran.
Masalah yang mendasar adalah sempitnya lapangan kerja, sehingga para migran yang berdatangan
ke kota besar dengan tingkat pendidikan yang rendah, harus tahan hidup berbulan-bulan menganggur
sebelum mereka memperoleh penghasilan. Urbanisasi yang tinggi ke DKI Jakarta, misalnya tinggal menumpuk
di Pondok Gede, perbatasan dengan Bekasi dan Tangerang, di kawasan industri, di pusat-pusat kota
mengadu nasib, adalah contoh masyarakat ibukota yang miskin. Data masyarakat miskin yang tercatat di
BPS, masih perlu diteliti kembali di lapangan karena masyarakat miskin di ibukota ternyata hampir merata
tersebar di seluruh kota.
Program-program pengentasan kemiskinan baik yang direncanakan dari atas (Pemerintah) maupun
diusulkan dari bawah (swadaya masyarakat), perlu dipadukan dengan program pendidikan anak sedini
mungkin. PKK berperan nyata dalam mendidik anak untuk mewujudkan Asta Citra Anak Indonesia, delapan
pembinaan, yaitu rajin beribadat, hormat dan berbakti kepada orang tua dan guru, jujur dan cakap dalam
membawakan diri serta peka akan seni, pandai membaca dan menulis serta rajin belajar dan bekerja,
terampil dan penuh prakarsa, rajin berkarya mengejar prestasi dan berjiwa gotong royong, mandiri penuh
semangat dan berdisiplin serta bertanggung jawab, sehat dan berhati riang, penuh keyakinan dan usaha
menghaapi masa depan, dan cinta tanah air.
lbu-ibu tidak henti-hentinya berpartisipasi dalam pembinaan dan pembudayaan hidup bersih dan sehat,
menjadi pelopor pembangunan lingkungan, melakukan penyuluhan rumah sehat, membudayakan hidup
bersih dan sehat, dan menumbuhkan kesetiakawanan sosial dan kegotong royongan. Dalam mewujudkan
kebersihan kota misalnya, ibu-ibu berperan nyata dalam menciptakan kebersihan lingkungan sehingga
Jakarta Pusat meraih Piala Adipura. Tahun depan wilayah kota ini diharapkan bisa meraih Adipura Kencana,
lambang kebersihan kota terbersih.
PKK berperan mendorong tumbuhnya kegiatan ekonomi masyarakat miskin, antara lain melalui
kegiatan rumahtangga, arisan, penciptaan lapangan kerja, pemanfaatan barang bekas, kerajinan, usaha
warung dan barang-barang keperluan rumahtangga, dan kegiatan lainnya pada tingkat lingkungan RT.
Kegiatan PKK yang telah tumbuh, disuntik dengan bimbingan dan penyuluhan oleh Pemerintah, diharapkan
bisa memacu perkembangan lingkungan permukiman miskin. Berkat dorongan ibu-ibu PKK, lingkungan
kumuh menjadi bersih, indah dan nyaman, hijau dan asri.
Kombinasi antara kegiatan PKK dengan program Pemerintah, program-program LSM, lembaga sosial
kemasyarakatan dan lembaga keagamaan, akan secara bertahap meningkatkan kualitas hidup masyarakat
miskin sehingga pada akhirnya akan menekan jumlah anggota masyarakat yang hidup di bawah garis
kemiskinan. Peran serta masyarakat di semua lapisan sangatlah dibutuhkan dalam membangun suatu
kawasan daerah tertinggal, baik yang letaknya di pusat kota maupun di daerah-daerah tertinggal ibukota.
Yang harus dihindari adalah jangan sampai program pengentasan kemiskinan di daerah tertinggal

243
justru dinikmati bukan oleh kelompok miskin itu sendiri, tetapi dinikmati oleh kelompok menengah dan kaya.
Sebagai contoh, perbaikan kampung dan lingkungan, yang sebenarnya diarahkan untuk memperbaiki
perumahan dan permukiman kelompok miskin, ternyata pada beberapa lokasi, sebagian besar dinikmati oleh
kelompok pemilik rumah yang bukan miskin.
Program-program pengentasan kemiskinan hendaknya perlu dibarengi dengan pencatatan detail
tentang lingkungan miskin itu sendiri. Data masyarakat miskin sebelum menerima program pengentasan
kemiskinan perlu dicatat, demikian pula selama dan sesudah program ini diterapkan. Dengan demikian
melalui pelaporan yang baik, pemantauan, evaluasi, pengawasan, dan pengendalian yang ketat, maka
program pengentasan kemiskinan di daerah tertinggal baik melalui tindak lanjut pelaksanaan lnpres Nomor 5
Tahun 1993 (lnpres Desa Tertinggal) maupun program lainnya berdasarkan swadaya dan peran serta
masyarakat, khususnya PKK, kelompok masyarakat miskin di DKI Jakarta akan terus berkurang jumlahnya
dan kota metropolitan Jakarta Teguh Beriman bisa diwujudkan menjadi ibukota idaman yang kita dambakan
bersama.
Jayakarta, 22 Juli 1994

KISS Menuju Keluarga Sehat Sejahera


Gerakan Keluarga Berencana Nasional telah memberikan hasil yang menggembirakan, baik ditinjau
dari aspek kuantitas maupun kualitas. Dalam memantapkan landasan pembangunan Keluarga Sejahtera,
mulai digalakkan Kampanye lbu Sehat Sejahtera (KISS) dalam menuju Keluarga Sehat Sejahtera (KSS).
Deputi Bidang Pembinaan Operasional Program BKKBN telah menyusun Kebijaksanaan dan Strategi KISS
yang memuat pengertian, tujuan, kebijaksanaan, strategi, pokok-pokok kegiatan dan langkah pelaksanaan,
pemantauan (monitoring), dan evaluasi. Persoalan kemudian adalah bagaimana menerjemahkan Kebijaksanaan
dan Strategi KISS ini agar mudah dicerna oleh remaja, ibu dan wanita, sehingga mereka dapat berperan
dalam membangun diri dan potensi keluarganya menuju terciptanya Keluarga Kecil Sejahtera dalam upaya
mempercepat proses pelembagaan dan pembudayaan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera
(NKKBS).

KISS
BKKBN menegaskan bahwa tujuan tindak lanjut Gerakan KB Nasional perlu diperhatikan. Pertama,
kita harus memelihara dan bahkan mengembangkan komitmen yang tinggi dari semua pihak secara lebih
berkelanjutan sampai dengan tingkat terbawah, bahkan sampai pada tingkat anggota keluarga. Kedua, kita harus
tetap membina organisasi manajemen yang semakin handal, profesional, fleksibel dan akomodatip terhadap
berbagai inovasi disertai dengan mutu yang semakin ditingkatkan. Ketiga, semangat, membangun masyarakat
yang semakin berbentuk Gerakan KB, perlu ditingkatkan dengan pengelolaan yang bersemangat tinggi, serba
siap dan mulai mampu menerima informasi yang semakin dinamis dan global sesuai dengan dinamika
masyarakat dan kemajuan teknologi yang ada, tetapi harus tetap diupayakan agar memiliki daya tahan yang
mantap tangguh terhadap kemungkinan pengaruh budaya asing.
Keempat, gerakan harus menghidupkan jalur dan arus informasi timbal balik yang sehat, sehingga
anggota masyarakat dan pengelola serta pelaksana semakin menyatu menjadi satu jajaran dalam melaksanakan
kegiatan gerakan serta menerima tanggung jawabnya. Kelima, pelayanan yang dijamin oleh dukungan jaringan
logistik yang dinamis, baik berasal dari bantuan pemerintah maupun hasil swadaya dan swadana masyarakat
sendiri. Keenam, tingkat partisipasi masyarakat harus dapat ditingkatkan secara akrab dan penuh rasa
kekeluargaan menjadi gerakan dengan saling memberikan penghargaan dan penuh pengertian. Ketujuh,
umpan balik yang jujur untuk dijadikan pegangan dalam membangun keluarga serta sebagai upaya
menghilangkan kekurangan yang masih ada.
Kesejahteraan lbu (safe motherhood), merupakan upaya untuk mencegah terjadinya berbagai resiko

244
kesakitan dan kematian pada lbu-ibu hami!, me!at:irk':!,, cn1 ;-. da r'l.'lS2 nifas (WHO: safe motherhood iniciative
is all effort to help women particularly mother 1o 'X:'ierstar;c. .!17l' IJ'mrrehend it's own condition and risk they
face evety time they are pregnant). Pengert1an !<er~ra'ga i<E<: Sr~Jahtera (KKS) mengacu pada UU Nomor 10
Tahun 1992 tentang Perkembangan Kcperducuhan dan h:r·bar1gunan Keluarga Sejahtera. Keluarga adalah
unit terkecil dalam masyarakat yang terdi~i dan suatT: ·'·:,tr: 11?:: suami-isteri dan anaknya, atau ayah dan
anaknya, atau ibu dan anaknya. Kelua·g2 Ssj::Jhter'e . 'u keiL:arga yang dibentuk berdasarkan atas
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan hidup so:r1tual dan materiil yang layak, bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, memiliki hubungan yang serasi. saiaras. dan seimbang antar anggota keluarga dan
antara keluarga dengan masyarakat dan l!ngku;lgan.
Keluarga Sejahtera terkait erat dengan !<eluarga E>:Hencana. Keluarga Berencana adalah upaya
peningkatan kepedulian dan peran serta masyarakat melo.lui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan
kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga peningkatar kese;ahteraan keluarga untuk mewujudkan keluarga
kecil, bahagia dan sejahtera. KKS merupakan SIJatu bx,gJ,lan :,eluarga kecil (nuc/eous family) yang mempunyai
2 anak yang hubungan antara anggota kelua~ganya ma 1pun hubungan antar keluarga kecil tersebut
menganut norma dan tata nilai keluarga luas (extended family).
Tujuan khusus KISS adalah menumbuhkan dan meningk.atkan kesadaran anggota masyarakat khususnya
anggota keluarga untuk membangun KKS, meningkatKan kesehatan dan kemandirian ibu, meningkatkan
pendapatan keluarga dalam membangun KKS dan NKKf3S, memberikan pendidikan dan keterampilan
kepada para ibu dan kaum wanita untuk meningkatkan prod~ktivitas keluarga dan meningkatkan kepedulian
serta peran serta masyarakat dalam menuJu KKS dan ~·JKKB.3. Sasaran KISS ditujukan pada daerah dengan
pencapaian kesertaan KB rendah, tingkat fertil1tas tingg1. l!r1gkat laJU pertumbuhan penduduk tinggi, pasangan
usia subur muda yang belum ber-KB, usia 15 34 t~1hun dan pendidikan rendah, para pengelola dan
pelaksana Gerakan KB Nasional, dukun beranak dar kaner pembangunan desa, pelaksana pembangunan
lintas sektoral terkait, serta institusi pemenntah, SIJ.'c,sta d.:.~1 r-nasyarakat luas.
Ruang lingkup KISS mencakup hal-hai yang bukaltan dengan ibu, kesehatan, dan keluarga, yaitu
Pasangan Usia Subur Muda Usia Dengan Pantas Rerda:l ~~)USMUPAR), generasi siap kawin, keterpaduan
kegiatan yang spesifik terhadap kelompok lbu hai ·~:: muJa., hami! tua, dengan balita, dan ibu menyusui,
dukungan lnstansi Pemerintah terkait, swasta dan masyarakat. pemanfaatan Posyandu, perilaku reproduksi
sehat, peningkatan dan Penggunaan ASI (PP-ASI), Bina Keluarga Balita (BKB), dan Usaha Peningkatan Gizi
Keluarga (UPGK), khususnya bagi lbu hamil, lbu menyusu1, serta bayi dan balitanya. Dari segi isi atau
substansinya, KISS meliputi kegiatan-kegiatan pendewasaan usia perkawinan, pendidikan reproduksi sehat,
penyuluhan dan pelayanan sebelum dan sesudah (pre dan pasca) persalinan, pelayanan kontrasepsi,
immunisasi, PP-ASI, UPGK, gerakan Bina Keluarga Bal:ta (BKB), peningkatan pendidikan dan keterampilan
lbu, peningkatan peran ganda Bapak!Pria, usaha penirgkatan pendapatan keluarga akseptor (UPPKA), serta
peningkatan dan pemantapan kelembagaan KB.
Kualitas keluarga mencerminkan kondis1 keluarga vang mencakup aspek pendidikan, kesehatan,
ekonomi, sosial-budaya, kemandirian, dan mental spiritual serta nilai-nilai agama yang merupakan dasar
untuk mencapai keluarga sejahtera. Delapan Dimensi. dikembangkan dalam KISS. Pertama, Pendidikan, meliputi
aspek pengajaran, pendidikan keterampilan dan pendidikan kepribadian sesuai dengan dasar negara
Pancasila. Kedua, Kesehatan, meliputi aspek-aspek sehat Jasmani, rohani, sosial dan kemampuan untuk
berkembang dan meningkatkannya. Ketiga, Ekonom1. d1faktualisasikan dalam aspek-aspek mempunyai mata
pencaharian, hidup berkecukupan secara layak. produkt1f dan mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk
dirinya sendiri, keluarganya maupun masyarakat.
Keempat, Sosial Budaya, diwujudkan oleh kri'.iarga yang mengerti, menghargai dan memperhatikan
kaidah-kaidah nilai sosial dan norma sosial yang berlakL' pada masyarakat dan negara serta mampu
memanfaatkan teknologi tepat guna bagi keluarga, masvarakat dan bangsanya. Kelima, Psikologis yang dalam
kehidupan keluarga dan kehidupan masyarakat tercerm:n da!am aspek-aspek keharmonisan, kerukunan dan
keakraban, tenggang rasa, bertanggungjawab, dinamis. kr~atif dan inovatif serta kekeluargaan dengan
menerapkan azas musyawarah dan mufakat. Keenam Kemaqdirian. baik kemandirian fisik, material maupun
psikis dan mental. Contoh kemandirian psikis antara la~n akt;~alisasi diri, percaya diri, ketergantungan pada

245
diri sendiri, bertanggung jawab terhadap diri sendiri, menilai diri sendiri dan inkuiri (aktif menanyakan atau
memeriksa sesuatu).
Ketujuh, Agama, difaktualisasikan ke dalam keimanan, ketaqwaan dan perwujudan tingkah laku dalam
kehidupan bermasyarakat sebagaimana diajarkan oleh agama dan kepercayaannya masing-masing. Kede/apan,
Ketahanan, yaitu kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan, ketegaran, keteguhan, serta
ketangguhan fisik materiil dan psikis spiritual untuk selalu mampu mengatasi berbagai hambatan agar dapat
berkembang secara harmonis, dalam meningkatkan kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin keluarga.
Sejalan dengan Gerakan KB Nasional, kebijaksanaan KISS adalah mengarahkan berbagai kegiatan
dalam meningkatkan serta memperluas komitmen politis dan operasional untuk bersama-sama berupaya
meningkatkan kesejahteraan ibu dan keluarganya, meningkatkan dan memantapkan kesadaran dan perbaikan
kesehatan ibu serta keluarganya, meningkatkan pendapatan keluarga, dan memantapkan gerakan masyarakat
secara terpadu dalam berbagai bidang guna memperkokoh pembangunan keluarga kecil sejahtera serta
mandiri. Strategi KISS adalah peningkatan kualitas, koordinasi, dan keterpaduan. Perangkat dan instrumen
pemantauan (monitoring) dan evaluasi disiapkan untuk melihat dan menganalisis sejauh mana keberhasilan
pelaksanan program KISS, antara lain menyangkut indikator perubahan sikap dan perilaku masyarakat
terhadap KISS, dukungan dan partisipasi masyarakat, peningkatan kesehatan ibu dan keluarga, pendapatan
keluarga, proporsi wanita yang dapat membaca dan menulis, serta yang terlibat dalam kegiatan kerajinan dan
keterampilan di rumah.

Sebelas Langkah
Ada sebelas langkah pelaksanaan KISS yang perlu diketahui oleh lbu-ibu, yaitu (1) pendewasaan usia
perkawinan, (2) pendidikan perilaku reproduksi sehat, (3) pelayanan pemeliharaan pre, ante dan post natal,
(4) pelayanan kontrasepsi, (5) pelayanan immunisasi dan penanggulagnan diarhea, (6) peningkatan penggunaan
AS!, (7) UPGK, (8) BKB, (9) pendidikan keterampilan ibu dan wan ita, (1 0) peningkatan peran ganda Bapakl
pria, dan (11) peningkatan dan pemantapan kelembagaan KB.
KISS merupakan upaya untuk membantu para ibu/wanita (dan potensi remaja) dalam mengatasi
hambatan di dalam maupun di luar dirinya agar bisa berperan aktif membangun diri dan potensi keluarganya
dalam mewujudkan Keluarga Kecil Sejahtera (KKS) dan untuk mempercepat pelembagaan dan pembudayaan
Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). Melalui penyuluhan KISS diharapkan kesadaran
masyarakat dalam membangun KKS dapat ditumbuhkan dan ditingkatkan, juga dapat dikembangkan suasana
kekeluargaan yang semakin akrab dan kondusif dalam membentuk kemandirian, ibu sehat dan keluarga
sehat, diciptakan keterpaduan gerak dan langkah, diberikan pendidikan dan keterampilan kepada para ibu-ibu
agar dapat meningkatkan produktivitas kerja, diciptakan peluang peningkatan pendapatan keluarga dan pada
akhirnya Keluarga Kecil Sejahtera dapat diwujudkan.
Angkatan Bersenjata, 2 Oktober 1992

246
Tokyo, Sebuah Refleksi Penanganan Sampah
Untuk Jakarta
Tokyo dan Jakarta yang telah membentuk suatu tali persahabatan, sewajarnya saling tukar informasi
mengenai penanganan berbagai masalah yang ada. Salah satunya adalah masalah sampah, di mana di
Jakarta masih merupakan sesuatu yang masih belum terselesaikan. Sosial budaya masyarakat masih
merupakan kendala untuk antisipasi masalah sampah, menjadi kendala yang belum berakhir.
Sampah selalu berkonotasi kurang baik. Karena sampah merupakan hasil samping yang kurang
bermanfaat dari suatu produk. Dan keberadaannya bukan menjadi monopoli negara berkembang yang
memacu proses pembangunan dengan industrialisasi, tetapi negara maju pun mengalami "perang" untuk
mengantisipasi masalah sampah. Pertambahan penduduk yang kurang terkontrol, faktor sosial budaya
masyarakat setempat pun menjadi sebab masalah sampah makin menumpuk.
Seperti halnya Tokyo sebagai salah satu kota terpadat di dunia, masih mempunyai masalah pertambahan
timbulan sampah, karena keterbatasan lahan pembuangan sampah (sanitary landfill). Akan tetapi masalah
tersebut justru menjadikan Tokyo dikenal sebagai kota yang bersih, jalan-jalan bebas sampah. Hal ini wajar
terjadi, karena Tokyo telah menemukan suatu sistem pengelolaan sampah yang sangat efektif. Seperti apa
yang dikatakan oleh Masaru Tanaka, Kepala Seksi Pengelolaan Sampah pada lnstitut Kesehatan Masyarakat
Departemen Teknik Penyehatan bahwa Tokyo telah berbuat banyak dalam mengelola sampah kota (Majalah
Look Japan, Maret 1990).
Gambaran tentang usaha mengantisipasi masalah sampah di Tokyo ada baiknya untuk dikaji, sebagai
bahan acuan penanggulangan masalah sampah yang makin meningkat di kota-kota besar di Indonesia,
terutama Jakarta yang mempunyai kedudukan sebagai sister city dari Tokyo.

Volume Sampah
Seperti halnya manusia, untuk hajat hidupnya memerlukan sesuatu untuk mendapatkan dan menikmati
produk dengan hasil buangan yang lazim disebut sampah. Karena itu tidak mengherankan kalau dalam
kenyataannya, mereka menghasilkan sampah dalam jumlah yang besar. Setiap hari rata-rata rumah tangga
di Tokyo menghasilkan 1 kg sampah per orang, yang akhir-akhir ini cenderung meningkat. Selama empat
tahun terakhir, volume sampah di 23 kecamatan di Tokyo telah naik 1 juta ton, cukup untuk mengisi 3
bangunan Tokyo Dome (Senayan-nya Tokyo).
Sedangkan, rumah tangga modern Tokyo menghasilkan 1.600 gram sampah per orang per hari,
sehingga 4,8 juta ton sampah dikumpulkan di kota setiap tahun. Tempat penampungan dan pengelolaan
sampah (Incineration Plant) yang ada tidak dapat menampung atau mengolah produksi sampah yang terus
meningkat. Sebagai akibatnya, pertumbuhan jumlah sampah yang dibuang ke tempat penampungan sampah
telah menjadi masalah dalam penyediaan lahan.
Di samping masalah tersebut di atas, tingginya tingkat pendapatan per kapita penduduk Tokyo, ikut
menjadi sebab makin menumpuknya sampah. Keadaan ini menurut Tanaka mempunyai dampak terhadap
perubahan nilai dan cara hidup masyarakat konsumtif yang terus meningkat, sehingga produksi sampah ikut
pula meningkat. Sebagai akibatnya adalah upaya-upaya mengurangi volume sampah melalui daur ulang
(recycling) mengalami penurunan, sehingga pendaurulangan sampah yang kurang berhasil menyebabkan
biaya pengelolaan sampah meningkat.

Masalah Sampah
Ada beberapa masalah sampah yang menonjol, antara lain fasilitas incinerator yang tidak mampu
mengimbangi peningkatan produksi sampah. Kedua lokasi sanitary landfill/ cukup jauh dari pusat kota dengan
daya tampung yang hampir habis, sehingga alternatif tempat pembuangan yang baru perlu dibangun.

247
lronisnya, pemerintah kota sendiri menghadapi kesulitan dalam memperoleh lahan untuk sanitary landfill.
Sebagai contoh adalah fasilitas pengelolaan kebersihan kota di Chiba tidak dapat menanggulangi seluruh
sampah kota. Pemerintah Chiba mencoba membuang sampah kota sejauh 600 km di wilayah Tago (Aomori
Prefecture), akan tetapi penduduk setempat tidak menyetujui pembuangan sampah dari kota lain.

Prospek
Prioritas tertinggi adalah mengusahakan agar masyarakat mengurangi produksi sampah secara
drastis. Kampanye kebersihan kota dengan tema Slim 90 ditujukan untuk mengurangi sampah kota melalui
peningkatan kerjasama antar masyarakat dengan pemerintah dan berbagai organisasi sosial. Kampanye
kebersihan kota yang didukung oleh dana 530 juta yen dilakukan melalui penulisan yel-yel, go-mi-zero (5-3-0;
gomi juga berarti sampah) mempunyai arti bahwa dengan dana 530 juta yen, harus dapat mewujudkan
kawasan bebas sampah garbage zero. Demikian juga halnya dengan Jakarta, di mana terdapat beberapa
kelurahan yang memproklamirkan Kelurahan Bebas Sampah.
Perjalanan sampah sebelum dikumpulkan oleh petugas kebersihan kota, dilakukan dengan berbagai
cara dan petunjuk pemerintahan. Cara dan petunjuk harus diterapkan oleh rumahtangga, asosiasi masyarakat
perkotaan, kelompok anak dan remaja, perkumpulan orang tua dan organisasi lainnya untuk memisah-misahkan
sampah rumah tangga. Kemudian pengumpul dan pemisah sampah swasta mendatangi rumah-rumah
penduduk mengumpulkan bekas koran dan majalah. Kelompok lainnya juga ada yang mengumpulkan
aluminium, besi, baja, gelas, kertas dan fiber. Taksiran 10 juta ton kertas atau 50% dari sampah kertas dan
200.000 ton sampah fiber dikumpulkan setiap tahun.
Banyak cara pengolahan kembali sampah diterapkan sebelum sampah dibuang ke tempat pembuangan
akhir. Seperti halnya, pendaur-ulangan sampah merupakan salah satu cara mengurangi jumlah sampah yang
akan dibuang. Pemerintah lokal mendaurulang logam dan barang-barang yang masih berharga lainnya
seperti material yang dapat digunakan untuk bahan pembuat kompos dan makanan ternak. Botol kosong dan
kontainer LPG bekas juga ditampung oleh para petugas untuk diolah kembali dan dimanfaatkan untuk
keperluan yang sama. Pengumpul memperoleh 90% botol bekas yang akan digunakan kembali untuk industri
bir dan minuman karbon at dan 10 juta ton gel as kontainer kosong dikumpulkan tiap tahun. Demikian juga
40% dari kaleng minuman kosong dikumpulkan dan didaurulang. Lemari es (refrigerator) dan peralatan
elektronik yang tidak diperlukan lagi, dapat ditampung oleh dealer.
Kegiatan daur ulang dan pemanfaatan sampah serta barang bekas, ini bisa mencapai hampir 50% (40
juta ton), sehingga dari produksi sampah 1.600 gram per orang per hari, hanya 1 kg saja yang dibuang ke
tempat pembuangan akhir (setengah dari Amerika Serikat).
Plastik, kulit, karet, kaleng minuman dan kontainer gelas adalah contoh sampah yang tidak layak
dibakar (incombustible). Barang bekas ini dikumpulkan sekali dalam seminggu. Taksiran kasar, 40% dari
sampah jenis ini diangkut ke lokasi pembuangan akhir, sedangkan sampah khusus besi dan baja masih dapat
dimanfaatkan. Untuk mengurangi volume plastik dilakukan proses penghancuran dan kemudian dibakar,
sisanya 60% dibakar tanpa treatment, sementara itu cara pembakaran yang lebih efektif sedang diteliti.
Incinerator khusus sedang dibangun untuk mengatasi jenis sampah kalori tinggi.
Sampah besar (bulky) seperti kursi, televisi, radio, lemari es dikumpulkan, dipilih dan dibuang ke lokasi
pembuangan akhir sampah khusus untuk dihancurkan. Besi dan baja dapat dijual kembali, sampah yang bisa
dibakar (combustible) dilakukan di incinerator dan sampah yang tidak layak untuk dibakar, dibuang dan
dibakar di sanitary landfill.
Incinerator sangat populer di Jepang, karena dapat menekan volume sampah 5% dan menurunkan
berat sampah menjadi 85-90%. Sedangkan pembakaran merupakan suatu cara yang efektif untuk
mengeliminaasi bakteri dan pencemaran bau busuk. Pemerintah Jepang memberikan subsidi konstruksi
fasilitas incenerator baru sebesar 70 miliar yen setiap tahun. Dari produksi sampah 120.000 ton setiap hari,
75% (90.000 ton) dibakar di incinerator. Jepang mempuyai 1.900 incineration plants dan 29 fasilitas pembuat
kompos. Jepang boleh berbangga, karena sampah saat ini Jepang mempunyai angka penggunaan incinerator
tertinggi di dunia, sehingga layaklah bila Jakarta menengok penggunaan alat ini guna menanggulangi
masalah sampah.

248
Dalam pembangunan tempat pembuangan akhir sampo.b. perhatian khusus diberikan terhadap dampak
lingkungan dari lokasi pembuangan akh1r sarnpah, karE,flc1 seb3gian besar lokasinya masih berdekatan
dengan pemukiman. Dalarr. mendesain dan mengorerosikan incineration plants, pandangan dan saran
penduduk setempat sangat diperhatikan. Bahaya po!usi udma. ka.ndungan dari nitrogin dioksida, sulfur oksida,
hydrogen oksida, dioxinx dan bahasa kimia lainnya per 1u dipertimbangkan secara matang. Berbagai jenis
sampah mempengaruhi mutu lingkungar: dan set1ap pemba~·gunan baru incinerator perlu menganalisis penilaian
risiko secara kualitatif dan kuantitatif. Suatu kearifan tersendiri guna terwujudnya suatu tata lingkungan yang
bersih dan sehat
Sistem pengelolaan sampah Tokyo te!ah dapat berialan lancar, sebagai hasil kesadaran masyarakat
tentang cara-cara membuang sampah sudah tinggi. Mulai dan jenis sampah yang akan dibuang, kapan
dibuangnya, daur ulang atau pemisahan kertas koran dan rnajalah, bekas radio, ac, lemari es dan sejenisnya
telah merupakan bagian daripada budaya hidup masyarakat Tokyo. Kesadaran yang telah menciptakan
budaya masyarakat tersebut didasari oleh semakin meningkatnya produksi sampah, serta perluasan
pembangunan fasilitas incinerator yang tida.k mudah dilakukan. maka penduduk lokal diajak berperan serta
untuk membangun fasilitas pembuangan sampah di lingkungan pemukimannya.
Nampak banyak kesamaan antara Tokyo dan Jakarta dalam penanganan sampah, akan tetapi
perbedaan yang mencolok pun bisa kita temukan. Misalnya kesadaran masyarakat yang tinggi akan masalah
sampah yang dapat mengganggu lingkungan dan kesehatan, keterbatasan lahan untuk tempat pembuangan
akhir, seharusnya dapat menciptakan kesadaran masyarakat Jakarta untuk membuang sampah pada waktu
dan tempat-tempat yang telah disediakan. Tanpa kesadaran yang tinggi dari masyarakat, usaha-usaha
Pemerintah DKI menyediakan tempat penampungan awal sampai penampungan akhir akan mubazir, karena
penanganan sampah tidak dapat hanya ditangani oleh Pemerintah DKI secara terpisah, tetapi merupakan
suatu usaha terpadu antara masyarakat, pemerintah, dan organisasi-organisasi sosial.
Jayakarta, 29 Mei 1990

Persatuan Pengelola Sampah Perkotaan Indonesia

Dari Kitakyushu ke Perlaspi


Seminar lnternasional Peningkatan Pengelolaan Sampah Perkotaan (International Expert Group Seminar
on Policy Responses Towards Improving Solid Waste Management in Asian Metropolises) yang diselenggarakan
di Bandung pada tanggal 6-8 Februari 1991 mempunyai arti penting bagi Indonesia. Pada seminar tersebut,
para pengelola sampah perkotaan di Indonesia menyepakati dukungan pembentukan Perlaspi, singkatan dari
Persatuan Pengelola Sampah Perkotaan Indonesia. Pembentukan Perlaspi didorong oleh keinginan mengikuti
keberhasilan pemerintah kota-kota metropolitan di Asia dalam pengelolaan sampah, antara lain Tokyo,
Nagoya, Kitakyushu, Seoul, Beijing dan Kuala Lumpur.

Pengelolaan Sampah
Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan paling sedikit terdiri atas lima subsistem, yaitu organisasi
(bentuk, struktur, person alia, tatalaksana kerja, pendidikan dan latihan), teknis operasional (tingkat pelayanan,
daerah pelayanan, pengumpulan, pemindahan, pemilahan, pengangkutan, pembuangan akhir, dan
pemanfaatan), pembiayaan (sumber pendanaan, struktur pembiayaan, pola dan prosedur retribusi), pengaturan
hukum (pedoman pembentukan Perda, pembentukan organisasi pengelola, aturan ketertiban umum, dan
struktur tarif), dan partisipasi masyarakat (aspek kesehatan, bentuk partisipasi, peranan anak, remaja dan
wanita, metode dan program penyuluhan, pemantauan, evaluasi dan pemeliharaan). lstilah retribusi masih
selalu diperdebatkan, apakah sekadar iuran atau penggantian biaya (The American Heritage Dictionary

249
menyebutkan bahwa retribution is something given or demanded in repayment).
UNCRD (United Nations Centre for Regional Development) di Nagoya Jepang, telah menyusun suatu
model pengelolaan sampah kota metropolitan negara-negara Asia. Model tersebut dibagi atas dua elemen.
Pertama, tinjauan atas masalah dan kendala pengelolaan sampah. Latar belakang sosial-ekonomi penduduk
tingkat urbanisasi yang tinggi menyebabkan adanya peningkatan volume timbulan (produksi) sampah dan
diversifikasi komposisi sampah perkotaan, serta berbagai masalah perkotaan seperti kekurangan rumah,
kepadatan lalu lintas, sanitasi, polusi, banjir, dan penurunan efisiensi pengelolaan limbah. lni semua turut
mempengaruhi penurunan pelayanan pengelolaan sampah, degradasi lingkungan hidup perkotaan, khususnya
pada kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah yang lebih dikenal sebagai lingkungan
pemukiman kumuh (slums and squatters).
Kedua, menuju kebijakan peningkatan pengelolaan sampah perkotaan. Kebijakan bersifat komprehensif
yang terbentuk dalam suatu kerangka kebijakan pengelolaan (peran pemerintah, swasta dan partisipasi
masyarakat, mengandung aspek pembiayaan, personalia, organisasi, institusi, status, dan litbang). Kebijakan
ini merupakan bagian dari kebijakan nasional, usaha untuk meningkatkan pengelolaan sampah pada tingkat
lokal khususnya kota metropolitan, mengikutsertakan peran swasta dan pengusaha serta masyarakat.
Kerangka kebijakan pengelolaan sampah kota metropolitan tersebut telah dibahas dalam seminar
UNCRD di Jepang tahun 1989 yang menghasilkan Deklarasi Kitakyushu. Masalah dan issu pengelolaan sampah
perkotaan, perlu dilihat dalam konteks urbanisasi yang cepat dan keterkaitannya dengan sektor pembangunan
perkotaan lainnya. Peningkatan pelayanan pengelolaan sampah perkotaan, perlu dipelajari oleh pemerintah
kota-kota menengah dan kota kecil, dengan memperhatikan implikasi potensi daerah dan lingkungan sosial.
Sejalan dengan upaya penciptaan pengelolaan sampah perkotaan yang efektif, efisien dan seimbang
diperlukan pola hidup yang kondusif untuk menekan timbulan sampah, memperkenalkan sistem daur ulang
(recycling) dan pemanfaatan sampah.
Tujuh butir Deklarasi Kitakyushu dijadikan acuan Seminar Sampah di Bandung. Pertama, sistem
pengelolaan sampah harus fleksiblel untuk mengakomodasikan dan mengatasi kondisi sosial ekonomi lokal
yang berkembang pesat. Kedua, pengelolaan sampah harus melayani kelompok masyarakat berpenghasilan
rendah, pemukiman yang tidak teratur, memperhatikan keterjangkauan (affordability) dan subsidi silang.
Ketiga, pengelolaan sampah perkotaan harus efisien dan efektif, sistematis dan merupakan penjabaran
dari kebijaksanaan nasional. Keempat, pemerintah harus memperhatikan efek pengembalian biaya (cost
recovery). Kelima, pemerintah harus mempromosikan keterlibatan atau keikutsertaan masyarakat secara aktif
dalam proses pengambilan keputusan dan melaksanakan program yang berkelanjutan antara lain melalui
penyediaan fasilitas dan pendidikan masyarakat dalam pengelolaan sampah, proteksi lingkungan, kesehatan
masyarakat, pengurangan timbulan sampah, dan pemasyarakatan daur ulang. Keenam, peran serta swasta
dan sektor informal perlu ditingkatkan khususnya dalam kegiatan daur ulang sampah. Ketujuh, kerjasama
teknis pengelolaan sampah perlu dilakukan di antara kota-kota metropolitan Asia.

Perlaspi
Perlaspi, suatu organisasi yang merupakan wadah pengelolaan sampah perkotaan Indonesia perlu
segera dibentuk. Perlaspi beranggotakan badan, lembaga, organisasi, asosiasi dan perorangan yang menu rut
tugas, fungsi, keahlian, profesi dan pekerjaannya erat hubungannya dengan pengelolaan sampah. Direktorat
Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PLP), Ditjen Cipta Karya, berinisiatif mengumpulkan Dirut PO Kebersihan
dan Kepala Dinas Kebersihan di Indonesia, serta menyusun konsep anggaran dasar dan anggaran
rumahtangga. Konsep ini diharapkan cepat digodok dan disetujui oleh Menteri sesuai dengan UU Nomor 8
Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Peraturan Pelaksanaannya.
Tugas Perlaspi antara lain (a) menyelenggarakan pembinaan dan pengembangan hubungan serta
kerjasama antar anggota, (b) mengembangkan kemampuan anggota untuk meningkatkan pengelolaan
sampah perkotaan, (c) melakukan penelitian dan pengkajian di bidang persampahan, (d) menyelenggarakan
pertemuan, seminar, simposium, lokakarya, presentasi, percontohan, pendidikan dan latihan di bidang
persampahan, dan (e) membantu Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam usaha meningkatkan

250
peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah perkotaan.
Dikaitkan dengan ukuran peraih piala kebersihan Adipura, maka kota-kota raya seperti DKI Jakarta,
Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan, perlu secepatnya memikirkan mekanisme kerja Perlaspi agar
kehadiran perkumpulan ini cepat membawa manfaat. Kota-kota besar Padang, Solo, Bandarlampung,
Malang, dan Ujungpandang perlu mengantisipasi pengelolaan sampah kotanya agar efektif dan efisien. Kota-
kota sedang seperti Bogor, Manado, Magelang dan lain-lain juga perlu meningkatkan pengelolaan sampah
disesuaikan dengan kondisi daerahnya masing-masing.
Kehadiran Perlaspi pasti dinanti-nantikan oleh kota-kota di seluruh Indonesia. Melalui Perlaspi, para
ahli persampahan bisa menyumbangkan pemikirannya baik melalui tulisan, artikel, kegiatan percontohan,
penyuluhan maupun diskusi. Melalui wadah ini pula bisa dijalin kerjasama dan hubungan kerja antar kota
khususnya dengan kota-kota metropolitan di Asia, antara lain Tokyo, Nagoya, Kyoto, Kitakyshu, Seoul,
Fusan, Beijing, Hong Kong, Manila, Bangkok, New Delhi, Kuala Lumpur, dan Singapura.
Perlaspi akan turut membantu upaya peningkatan pengelolaan kebersihan kota agar terhindar jadi kota
terjorok, bertujuan membantu dan mengembangkan anggota di dalam memperbaiki sistem pengelolaan
kebersihan kota (aspek teknis, hukum administrasi, keuangan, kesehatan, peran serta masyarakat, pengusaha
dan swasta). Perlaspi, wadah tukar menukar informasi kegiatan persampahan, termasuk penelitian dan
pengkajian ilmu pengetahuan dan teknologi persampahan dengan segala dampaknya.
Jayakarta, 26 Februari 1991

Sistem Pengelolaan Persampahan di Perkotaan


Program Penyehatan Lingkungan Pemukiman bertujuan meningkatkan derajat kesehatan lingkungan
permukiman penduduk baik di daerah perkotaan maupun pedesaan melalui penanganan air limbah,
persampahan dan drainase. Penanganan persampahan meliputi kegiattan pengumpulan (pewadahan dan
pemilahan), pemindahan (dari sumber sampah ke TPS, Tempat Penampungan Sementara atau transferdepo)
pengangkutan (dari transfer depo atau TPS ke TPA), pengolahan (daur ulang, pembakaran, pembuatan
kompos), dan pembuangan (ke TPA, Tempat Pembuangan Akhir).
Dalam Pelita V, penanganan persampahan akan diprioritaskan pada 450 kota dan pembuangan akhir
persampahan disarankan tidak lagi menggunakan lokasi pembuangan terbuka (open dumping), tetapi
menggunakan metoda controlled landfill (gali uruk terkendali), sanitary landfill (gali uruk), improved sanitary
landfill (gali uruk yang ditingkatkan), pengelolaan sampah guna dibuat kompos, daur ulang, dan pembakaran.
Pengelolaannya melibatkan Pemda, Swasta dan Masyarakat, sedangkan Pemerintah Pusat memberi bantu an
teknis dan perintisan.

Pengelolaan
Kota-kota besar di Indonesia saat ini memprioritaskan program pengelolaan atau penanggulangan
persampahan. Ditjen PPM & PLP (Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman)
Depkes telah menetapkan Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Sampah melalui SK Nomor 281-II/PD.03.04.LP
tanggal 30 Oktober 1989 yang meliputi persyaratan kesehatan pengelolaan sampah dalam (a) penampungan
atau pewadahan, (b) pengelolaan sampah setempat dengan pola individual, (c) pengumpulan sampah, (d)
pengangkutan sampah, (e) pengolahan sampah, dan (f) pembuangan akhir sampah. Ditjen Cipta Karya
De parte men PU juga telah menyusun Petunjuk Penyusunan Perencanaan Teknis Persampahan yang
meliputi pendekatan sistem, komponen pengelolaan, pola pemecahaan masalah, strategi dan pendekatan
perencanaan, analisa dan pengembangan sub-sub sistem (organisasi, operasional, pembiayaan dan retribusi,
serta pengaturan atau aspek hukum) serta aspek peran serta masyarakat. Diinformasikan pula data dasar

251
yang diperlukan dalam menyusun Perencanaan Teknis Persampahan Kota. PKK (Pembinaan Kesejahteraan
Keluarga) guna meningkatkan peran bantunya dalam pembangunan juga telah menyusun Pedoman
Pelaksanaan Tentang Pembudayaan Hidup Bersih dan Sehat.
Persyaratan kesehatan pengelolaan sampah dimaksudkan melindungi masyarakat terhadap gangguan
kesehatan seperti merosotnya mutu lingkungan (banyak lalat, tikus, nyamuk, kecoa, pencemaran udara,
tanah dan air, dan rendahnya nilai estetika) dan menghindar dari penyakit menular (diare, kulit, tipus scrub,
demam berdarah dengue, typhoid, dan cacingan). Penampungan sampah harus menggunakan plastik atau
tempat sampah, kantong plastik harus kedap air dan diikat buat menghindari bau busuk. Tempat sampah
dibuat dari bahan kedap air dan bertutup, tutupnya mudah dibuka dan ditutup atau mudah diisi atau
dikosongkan. Tempat sampah sebaiknya mudah dipindahkan dan bak beton permanen di daerah pemukiman
tidak dianjurkan. Pewadahan sampah di tempat sampah tidak boleh melebihi 3 x 24 jam, meniadakan
serangga, lalat dan tikus. Pengolahan sampah di tempat dapat dilakukan dengan pemisahan sampah,
pembakaran sepanjang asap dan debunya tidak mengganggu tetangga, ditimbun atau ditanam (paling dekat
10 m dari sumber air), dan memisahkan sampah beracun pada tempat khusus).
Pengumpulan sampah mulai dari rumah-rumah, pengumpulan dan pemindahan oleh rumahtangga
atau petugas kebersihan ke truk kompaktor atau TPS yang berbentuk bak beton atau kontainer. TPS harus
kedap air, bertutup dan mudah dibersihkan. Penempatannya tidak menjadi sumber bau dan lalat, tidak
terkena luapan air, menghindari sampah masuk got, dan pengosongan satu kali sehari. Pengangkutan sampah
harus teratur, menghindari sampah berserakan, dan petugasnya berpakaian khusus dengan masker, sarung
tangan, topi pengaman, dan sepatu boot.
Pengolahan sampah dilakukan di lokasi yang tidak cemar air, tidak banjir, dan tidak menimbulkan
asap, bau, debu dan mencegah kehidupan lalat dan tikus. Teknik pengolahan bisa dilakukan dengan
pembakaran (incinerator), daur ulang, kompos, dan pemanfaatan lainnya. Pembuangan akhir sampah memilih
lokasi yang tidak mencemari sumber air, tidak banjir, muka air tanah cukup dalam, jenis tanah cukup kedap
air, permukaan tanah rendah, paling dekat 5 km dari bandar udara dan di luar rencana perluasan, kurang
lebih 3 km dari pemukiman, estetis, dilindungi tanaman pelindung, dilengkapi prasarana pendukung antara
lain bangunan untuk petugas termasuk kamar mandi dan we, masker, topi pengaman, sarung tangan, sepatu
kerja, pakaian kerja khusus, alat pemadam kebakaran, P3K, cuci kendaraan. Petugas harus diperiksa
kesehatannya secara berkala.
Subdit Persampahan Direktorat PLP (Penyehatan Lingkungan Pemukiman) Ditjen Cipta Karya telah
membuat pedoman pendekatan pengelolaan sampah yang bersifat multi aspek dengan menganalisis dan
mengembangkan subsistem dan interaksinya, melihat multi parameter, dan menerapkan dua pendekatan
(dari atas atau top down approach dan dari bawah atau bottom up approach). Komponen sistem pengelolaan
sampah terdiri dari subsistem organisasi dan manajemen, operasional, pembiayaan dan retribusi, dan
pengaturan hukum ditambah satu aspek komponen lingkungan internal peran serta masyarakat.
Subsistem organisasi dan manajemen terdiri atas bentuk organisasi, struktur organisasi dan manajemen,
kuantitas dan kualitas personalia, organisasi dan tatalaksana kerja, dan diklat. Subsistem operasional meliputi
tingkat dan daerah pelayanan, penampungan dan pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, dan pembuangan
akhir (termasuk di dalamnya pewadahan dan pengolahan). Subsistem pembiayaan dan retribusi mencakup
sumber pendanaan, struktur pembiayaan, pola atau prosedur retribusi. Subsistem pengaturan hukum terdiri
dari Perda dan produk pengaturan lainnya, ketertiban umum, dan struktur tarif. Aspek peran serta masyarakat
antara lain bentuk partisipasi masyarakat, metode pembinaan masyarakat di bidang kebersihan, program
penyuluhan, dan pemeliharaan kondisi lingkungan.
Pola pemecahan masalah persampahan didasarkan atas penentuan sasaran, identifikasi masalah,
penentuan kriteria desain atau perancangan, penanggulangan, dan pemantauan serta evaluasi pengelolaan.
Beberapa analisis bisa digunakan, misalnya masukan-keluaran (input-output analysis), hubungan sebab-akibat,
SWOT (Strength - Weakness - Opportunity - Threat atau kekuatan - kelemahan - peluang - ancaman),
deskripsi, dan metoda lainnya yang cocok. Strategi dan pendekatan perencanaan memperhatikan deskripsi
objektif, pencapaian sasaran secara berjenjang, pembinaan sistem tertutup, pembobotan prioritas, penentuan
kuantitas yang diikuti kualitas, desentralisasi dengan pola rumah tumbuh, penentuan lokasi pelayanan,

252
penyederhanaan proses, peningkatan peran serta masyarakat dan swasta, setiap subsistem diarahkan pada
pencapaian sasaran, cara pengelolaan fleksibel, aplikatif dan mudah dipahami, dan diakhiri dengan pemantauan
dan evaluasi.
Analisis organisasi meliputi ruang lingkup kegiatan, kendala, organisasi yang ada, aspek dan jenjang
strategis, jenjang manajerial dan operasional, struktur organisasi, personalia, organisasi dan tatalaksana, dan
diklat. Bentuk organisasi pengelola sampah di kota besar sebaiknya berbentuk Dinas atau Perusahaan
Daerah kota sedang 1 (penduduk 250.000-500.000 jiwa) diarahkan berbentuk Perusahaan Daerah, kota
sedang 2 (100.000-250.000), Dinas tersendiri, dan kota kecil ditangani Unit di bawah Dinas PU yang
mempunyai wewenang dan tanggungjawab memadai. Operasional menyangkut tingkat pelayanan (100
persen daerah komersial dan pasar dan 50 persen daerah pemukiman yang secara bertahap akan
ditingkatkan menjadi 100 persen) dan daerah pelayanan (pemukiman, komersial, fasilitas umum, penyapuan
jalan, pembersihan saluran).
Langkah-langkah perancangan operasional persampahan mulai dari penentuan sasaran, kriteria,
pengembangan sistem, ruang lingkup daerah pelayanan, pendataan daerah, pemilihan pola pengelolaan,
pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, prasarana dan sarana, uji coba, pemantauan dan evaluasi,
penyempurnaan perancangan, dan implementasi. Pengumpulan dilakukan secara individual dan komunal,
pemindahan sampah merupakan kegiatan antara pengumpulan dan pengangkutan, stasiun pemindahan yang
luasnya 50 m2 dan 200 m2 merupakan tempat penyimpanan alat kebersihan, bengkel sederhana, dan kantor
pengendali. Pengangkutan terdiri dari tiga jenis yaitu dari lokasi pemindahan ke TPA, dari grup lokasi
pemindahan ke TPA, dan pengangkutan langsung dari sumber sampah atau rumah-rumah ke TPA. TPA di
darat dapat berbentuk tempat pembuangan terbuka (open dumping), gali uruk terkendali (controlled landfill),
gali uruk (sanitary landfill), gali uruk yang disempurnakan (improved sanitary landfill), pembuangan di laut
dilakukan di dekat pantai (reklamasi) dan di tengah laut.
Dana pengelolaan sampah berkisar sekitar 5-10 persen dari APBD, sebagian besar atau 80 persen
diharapkan diperoleh dari masyarakat, dan biaya pengelolaan sampah kota berkisar antara Rp 1.500,- dan
Rp 2.000,- per orang per tahun. Retribusi merupakan bentuk konkrit partisipasi masyarakat dalam membiayai
program pengelolaan persampahan. Pengaturan dan Perda dimaksudkan buat memperlancar pengelolaan
persampahan.
Peran serta swasta dan masyarakat sangat membantu kelancaran pengelolaan sampah. Tokoh
masyarakat, LKMD, generasi muda, organisasi pemuda, Karang Taruna, PKK perlu menanamkan dan
menyebarluaskan budaya hidup bersih dan sehat, aktif dalam penanganan kebersihan, menuju perwujudan
kota yang bersih, indah dan nyaman.
Pembuatan perencanaan teknis persampahan kota perlu memperhatikan data dan informasi yang
menyangkut gambaran umum kondisi kota, aspek fisik (geografi, topografi, hidrologi, klimatologi, geologi, dan
peta orientasi kota sampai ke batas kelurahan), aspek sosial-ekonomi (pemerintahan, penduduk dan tenaga
kerja, karakteristik kota yang menonjol, pelayanana umum, industri, anggaran, dan pendapatan per kapita
penduduk), aspek penyehatan lingkungan pemukiman (air limbah, air bersih, persampahan, air minum, dan
perbaikan kampung), rencana induk kota (rencana umum tata ruang, rencana bagian wilayah kota, dan
rencana terinci kota), kondisi pengelolaan sampah saat ini (aspek kelembagaan, operasional pembiayaan dan
retribusi, peraturan dan perundang-undangan, peran serta masyarakat), dan program pembangunan
persampahan.

Kota Bersih
Kota yang bersih dapat diciptakan dengan memadukan semua komponen sistem pengelolaan sampah,
yaitu organisasi dan manajemen, teknik operasional (pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan,
pengolahan, pembuangan), pembiayaaan dan retribusi, hukum, peran serta masyarakat (umum dan peran
bantu PKK), dan kesehatan.
Salah satu tolok ukur kota bersih adalah keberhasilan suatu kota dalam meraih piala kebersihan
Adipura, antara lain Surabaya dan Bandung (kota raya), Surakarta dan Padang (kota besar), Bogor, Jambi,
Ambon, dan Samarinda (kota sedang), dan Bukittinggi, Magelang, Temanggung, Solok dan Wonosobo (kota

253
kecil). Contoh kota-kota lainnya yang sudah bersih tetapi belum meraih Adipura (baru memperoleh sertifikat
penghargaan kota bersih) antara lain Balikpapan, Bandarlampung, Pekanbaru, Tanjungpinang, Sukabumi,
dan Tasikmalaya.
Jayakarta, 21 Februari 1990

Pengelolaan Sampah Perkotaan Secara Efisien

UNCRD (United Nations Centre for Regional Development) telah dua kali menyelenggarakan Seminar
Menuju Kebijaksanaan Pengelolaan Sampah Perkotaan Negara-negara Asia. Pertama, September 1988 di
Beijing, Cina, membahas masalah dan isu pengelolaan sampah sejalan dengan proses urbanisasi yang
cepat, kendala dan peluang penanganan sampah, pengembangan sumberdaya manusia, dan sikap masyarakat
dalam pengelolaan sampah. Kedua, Oktober 1989 di Kitakyushu Jepang, membahas kebijakan pengelolaan
sampah kota metropolitan sebagai bagian dari pembangunan kota, peran pemerintah dan non-pemerintah,
peran pemerintah lokal dan peran serta masyarakat.
Seminar ketiga di Bandung tanggal 4-8 Februari 1991 bekerjasama dengan Departemen PU (International
Expert Group Seminar on Policy Responses Towards Improving Solid Waste Management in Asian
Metropolises), membahas aspek ekonomi, pembiayaan, dalam konteks administrasi pemerintahan kota,
institusi baik pemerintah maupun non-pemerintah, peran serta masyarakat, sikap masyarakat, pendidikan dan
penyuluhan dalam pengelolaan sampah kota-kota metropolitan negara-negara Asia, seperti Tokyo, Nagoya,
Seoul, New Delhi, Manila, Kuala Lumpur dan kota-kota lainnya seperti Surabaya; Bandung, dan Kitakyushu.
Lima belas makalah dari sepuluh negara, akan dibahas dan tiga tema telah dipilih dalam seminar ini, yaitu (1)
aspek ekonomi dan pembiayaan, (2) aspek pendekatan hukum, dan (3) aspek peran serta masyarakat dan
pendidikan dalam pengelolaan sampah perkotaan.

Deklarasi Kitakyushu
Seminar para ahli persampahan kota-kota metropolitan yang diselenggarakan di Kitakyushu telah
membahas berbagai masalah, isu, kendala, dan peluang pengelolaan sampah perkotaan. Tujuh butir temuan
pada seminar Kitakyushu akan dijadikan acuan bagi seminar di Bandung kali ini. Masalah dan isu
pengelolaan sampah perkotaan, dilihat dalam konteks urbanisasi yang cepat dan keterkaitannya dengan
sektor pembangunan perkotaan lainnya. Peningkatan pelayanan pengelolaan sampah perkotaan di kota-kota
metropolitan Asia, telah diperkenalkan untuk diperhatikan oleh kota-kota besar dan sedang serta kota kecil,
dengan memperhatikan implikasi potensi daerah dan lingkungan sosial. Perlu adanya komitmen untuk
melaksanakan pengelolaan sampah perkotaan dalam upaya menciptakan pelayanan yang efisien, efektif dan
seimbang. Dirasakan adanya kebutuhan untuk menciptakan pola hidup yang kondusif untuk menekan
timbulan (produksi) sampah, memperkenalkan sistem daur ulang (recycling) dan pengendalian sumber-sumber
yang ada.
Pemerintah kota merasakan adanya kebutuhan untuk memperkenalkan pemanfaatan yang seimbang
dari sumber dan penggunaan teknologi antarnegara dan antardaerah dalam suatu negara. Juga kebutuhan
pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menyusun kebijaksanaan dan program penunjang pelayanan
pengelolaan sampah perkotaan. Di samping itu juga dirasakan adanya kebutuhan bagi masyarakat untuk
menghargai nilai jasa yang disediakan oleh tenaga kerja pengelolaan sampah perkotaan dan kegiatan
pendaurulangan sampah.
Bertolak dari temuan seminar, para ahli persampahan sepakat menyusun tujuh butir Deklarasi Kitakyushu.
Pertama, sistem pengelolaan sampah perkotaan harus dibangun fleksibel untuk mengakomodasikan atau
mengatasi kondisi sosio-ekonomi lokal di kota-kota negara Asia yang berkembang sangat pesat. Kedua,

254
pengelolaan sampah perkotaan yang merupakan suatu pelayanan penting harus diperluas ke masyarakat
berpenghasilan rendah, pemukiman masyarakat yang tidak teratur dan tidak mampu dengan melihat aspek
keterjangkauan (affordability) dan status hukum dari pemilikan tanah 'dan rumah serta lingkungannya. Ketiga,
pemerintah negara-negara Asia harus lebih terikat kepada upaya pengelolaan sampah yang sistematis dan
perlu adanya formulasi program kegiatan pengelolaan sampah secara nasional untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas.
Keempat, pemerintah suatu negara harus menjamin kecukupan dari basis finansial dari otoritas
metropolitan dan ketersediaan hukum untuk mengatur masyarakat dan memperhatikan efek pengembalian
biaya pengelolaan sampah (cost recovery). Kelima, pemerintah harus mempromosikan keterlibatan atau
keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan dan melaksanakan program
yang berkelanjutan untuk menyediakan fasilitas pendidikan masyarakat dalam pengelolaan sampah perkotaan,
proteksi lingkungan, kesehatan masyarakat, pengurangan timbulan sampah, daur ulang dan pengendalian
sumber-sumber daerah.
Keenam, pemerintah kota metropolitan Asia harus mengakui adanya kebutuhan daur ulang untuk
mengurangi jumlah timbulan sampah yang dihasilkan dan secara aktif menyediakan fasilitas serta
mengusahakan berbagai upaya pendaurulangan sampah yang dikerjakan oleh sektor informal perkotaan.
Ketujuh, kerjasama teknis dalam pengelolaan sampah perkotaan harus dilakukan di antara pemerintah
kota metropolitan dan kota besar di Asia yang didukung oleh pemerintah pusat masing-masing negara dan
badan-badan pembangunan multilateral serta bilateral.

Kesepakatan Bandung
Seminar lima hari pengelolaan sampah kota metropolitan negara-negara Asia yang diselenggarakan di
Bandung diharapkan menghasilkan kesepakatan yang lebih rinci dan operasional dibandingkan dengan
Deklarasi Kitakyushu. Seminar di Bandung yang juga diisi dengan kunjungan lapangan ke lokasi pembuangan
sampah akhir dengan sistem sanitary landfill (gali uruk) di Sukamiskin, tempat transfer depo dan daur ulang
sampah di Nyengseret, dan pembuangan sampah dengan sistem komposting di Leuwigajah Cimahi, ditujukan
untuk dapat menyusun formulasi kebijakan pengelolaan sampah perkotaan yang memperhatikan berbagai
aspek, seperti dana, hukum, partisipasi masyarakat, dan pemanfaatan sumber serta penggunaan teknologi.
Seminar ini juga merupakan arena pertukaran informasi pengelolaan sampah kota metropolitan negara-
negara Asia seperti Beijing, Tokyo, Seoul, New Delhi, Manila, dan Kuala Lumpur serta kota-kota besar
lainnya. Dari seminar ini, diupayakan pembentukan jaringan informasi pengelolaan sampah antar kota-kota
metropolitan negara-negara Asia, dapat disusunnya kerangka kebijakan operasional yang didahului dengan
tersusunnya garis besar petunjuk operasional (guideline), menuju pada peningkatan pengelolaan sampah
perkotaan yang efisien dan efektif.
Harapan penyelenggara seminar dan harapan kita semua, memuat tiga hal. Pertama, kerangka isu dan
identifikasi prospek peningkatan pengelolaan sampah perkotaan yang disusun berdasarkan saran-saran
seminar. Kedua, pendekatan komprehensif dan strategi pemantapan kemampuan pemerintah kota dan
masyarakat pada setiap tahap pengelolaan sampah, mulai dari pengumpulan sampah, pemilahan, pemindahan,
pengangkutan, pengolahan, daur ulang, pembakaran dan pembuangan akhir sampah.
Ketiga, analisis dan sintesis temuan seminar dan penyusunan rekomendasi dalam bentuk petunjuk
garis besar kebijakan dan strategi pengelolaan sampah perkotaan negara-negara Asia yang merupakan
kelanjutan dan penjabaran tujuh butir Deklarasi Kitakyushu.
Bagi masyarakat Bandung khususnya, seminar pengelolaan sampah perkotaan negara-negara Asia
yang merupakan kelanjutan dan penjabaran tujuh butir Deklarasi Kitakyushu, hendaknya semakin mendorong
pemerintah daerah bersama warga kotanya untuk terus berupaya menciptakan Bandung Berhiber, kota yang
bersih, hijau dan berbunga, semakin memiliki daya tarik bagi wisatawan mancanegara.
Gala, 6 Februari 1991

255
Mengenal Peralatan Sam·pah di Kota Bandung

Jenis-jenis peralatan persampahan di daerah perkotaan dapat disesuaikan dengan keperluannya atas
sub-sub sistem pengelolaan sampah, yaitu penyimpanan di tempat, penyapuan dan pengumpulan, pemindahan,
pengangkutan, pembuangan dan pengolahan. PO Kebersihan Kotamadya Bandung yang telah membawa
kotanya tiga kali (1987, 1989 dan 1990) meraih pial a kebersihan kota Adipura kategori kota ray a (penduduk di
atas 1 juta jiwa) telah mencoba mengumpulkan data dan informasi peralatan sampah sebagai bahan
standarisasi peralatan sampah di perkotaan.

Peralatan Sampah
Peralatan pengelolaan persampahan dapat dibagi menjadi 6 jenis. Pertama, alat penyimpanan di tempat
antara lain container plastik 40 liter. Kedua, alat penyapu dan pengumpulan yaitu sapu lidi, bin plastik 30 ltr,
container fibreglass 120 ltr, gerobak berisi container sebanyak 8 x 120 ltr, dan gerobak biasa 1,50 ltr. Ketiga,
alat pemindahan sampah berupa container sites dan container 10 m3 serta transfer depot.
Keempat, alat pengangkutan sampah yang terdiri dari divisional depot, sub districk depot, armroll truck,
dump truck, standard truck, dan compactor truck. Kelima, alat pembuangan sampah antara lain wheellloader
dan bulldozer. Keenam, alat pengolahan sampah yang terdiri atas peralatan teknologi canggih dan sederhana.
Data pengelolaan sampah Kotamadya Bandung tahun 1987 memperlihatkan gambaran sebagai
berikut. Sapu lidi yang harganya Rp 300 digunakan oleh ibu rumahtangga atau petugas kebersihan di jalan
raya. Bin plastik 40 ltr bertutup (jumlahnya mencapai 64.287 buah) yang harganya Rp 3.500 per buah
disimpan di halaman rumah. Lebih praktis jika di bagian dalamnya dilapisi kantong plastik sebagai penampung
sampah. Bin plastik tetap 30 ltr seharga Rp 52.000 konstruksi permanen yang dipasang di trotoar, khusus
disediakan untuk sampah pejalan kaki. Contohnya lebih dari 50 buah berterbaran di sepanjang jalan
perdagangan sepatu Cibaduyut. Rendahnya kesadaran masyarakat menyebabkan banyaknya bin yang tetap
kosong, sementara sampah tetap bertebaran di sekitar bin.
Bin plastik 120 ltr beroda dan bertutup seharga Rp 43.000 jumlahnya mencapai 1.217 buah, dipasang
permanen di tepi jalan protokol. Kurangnya kesadaran masyarakat, terbukti dari adanya beberapa penutup
bin yang dicuri orang. Gerobak sampah dengan bin 8 x 120 ltr yang harganya Rp 502.000,- dan jumlahnya
mencapai 211 buah digunakan di lingkungan pemukiman yang tanahnya datar. Petugas menarik gerobak
sampah yang isinya delapan buah bin untuk menampung sampah rumahtangga.
Gerobak tarik biasa volume 1.250 ltr, harganya Rp 385.000 digunakan ditiap RW secara swadaya.
Kesan kurang sehat dan kurang nilai estetika dapat diatasi dengan mengecat gerobak dan petugas
menggunakan pakaian seragam. Container yang harganya Rp 2,5 juta dengan volume 10.000 ltr mencapai
78 buah ditempatkan di pinggir jalan besar dengan radius tertentu terhadap container lainnya, dibuat dari
konstruksi besi dan baja. Alat ini dapat menampung sampah dari 5.000 jiwa/unit/rit.
Transfer depot seluas 200 m2 yang harganya Rp 28 juta telah dipasang di delapan tempat, dapat
dibangun di daerah pemukiman yang tanahnya memungkinkan untuk penempatan peralatan ini. Konstruksi
dari beton, batu bata, dan kayu. Satu unit transfer depot dapat melayani sampah 30.000 jiwa atau sampah
dari sekitar satu kelurahan. Bandung telah memiliki dua buah divisi depot yang lebih luas dari transfer depot,
harganya mencapai Rp 160 juta per buah dan dapat melayani sampah 500.000 jiwa/hari. Fasilitas ini dapat
melayani perbaikan dan perawatan kendaraan operasi, truk, loader dan menyediakan bengkel. Delapan
subdistrict yang masing-masing harganya Rp 30 juta dibangun di lahan terdekat dengan daerah pelayanan
sampah dan dapat melayani sampah 84.000 jiwa/hari serta menyediakan fasilitas perbaikan dan perawatan
kecil alat-alat operasi kebersihan.
Duapuluh lima container truck (arm-roll) volume .1 0.000 ltr dan harga perbuahnya Rp 23 juta merupakan

256
truck pengangkut container secara hidraulis. Truk mudah dioperasikan, praktis dan cepat bergerak, bersih
dan sehat, dan estetika tinggi. Cocok digunakan pada lokasi penduduk padat dan produksi sampah tinggi.
Dump truck volume 8.000 ltr seharga Rp 7,5 juta jumlahnya ada 35 buah adalah truk yang baknya dapat
digerakkan, tetapi kurang praktis dibandingkan dengan arm-roll truck.
Truk standar seharga Rp 9,7 juta dengan volume 6.000 ltr jumlahnya 37 buah merupakan truk dengan
bak konstruksi kayu atau plat besi. Kurang sehat karena sampah sering berserakan, waktu pengoperasian
lama dan estetika kurang. Tetapi karena anggaran terbatas, maka truk jenis ini masih banyak digunakan.
En am buah compactor truck volume 11.500 ltr yang harganya per buah Rp 32 juta ini dilengkapi dengan alat
pemadat sampah, lebih bersih dan hygienis, estetis, praktis dalam pengoperasian dan cocok untuk pengumpulan
sampah dan pengangkutan secara komunal.
Sembilan buah whee/loader tipe 60 kw dengan harga Rp 50 juta/buah dan em pat buah bulldozer tipe
104 kw yang masing-masing harganya Rp 180 juta, digunakan di lokasi pembuangan akhir (LPA) Cicabe,
Cieunteung, Cisurupan Oago, Pasir lmpun dan Leuwigajah. LPA ini menampung sampah kota Bandung yang
komposisinya terdiri dari 75,5% sayuran, 8,8% kertas, 4,8% plastik atau karet, 4,6% sampah sukar terbakar,
3,8% sampah mudah terbakar dan 2,5% tekstil.
Jika penduduk Bandung pada tahun 1989 adalah 1,8 juta dan produksi (timbulan) sampah adalah
4.500 m3/hari, maka diproyeksikan pada tahun 1995 adalah 2,5 juta penduduk dan 6.000 m3/hari timbunan
sampah. Alokasi anggaran pengelolaan sampah saat ini digunakan untuk gerobak dorong (38,2%), domestic
container (7,7%), loader (3,1 %), bulldozer (1 0,5%), disposal site (11,1 %), load truck (14,5%), load container
(5, 1%) dan load site (9,8%). Oi sam ping itu biaya rutin pengelolaan sampah terdiri dari belanja pegawai
(49,3%), belanja bbm (11,8%), reparasi dan pemeliharaan (6,6%), alat-alat penyapuan (1,4%), administrasi
dan umum (11,2%), asuransi (3,8%), cicilan utang dan bunga (14,5%), dan pengeluaran untuk investasi
(1,4%). Anggaran PO Kebersihan terhadap APBO dari tahun 1982 sampai dengan 1987 berkisar antara 5 dan
7%, mendekati standar nasional 10%.

Pendayagunaan
Peralatan pengelolaan persampahan PO Kebersihan Kotamadya Bandung digabung dengan personil
yang tersedia dan partisipasi masyarakat serta swasta diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan sampah
sehingga berdayaguna dan berhasilguna. Pengelolaan personil secara kuantitatip (jumlah dan penugasan
karyawan) dan kualitatip (disiplin pegawai dan hasil yang dicapai), pengelolaan material, pengelolaan
finansial atau keuangan, dan peningkatan pengawasan merupakan aspek-aspek pengelolaan sampah yang
tidak boleh diabaikan.
Oi luar itu sangat diperlukan sekali tingginya partisipasi dan peran serta masyarakat dalam mengelola
kebersihan kota. Pelajar dan mahasiswa, pemuda, pegawai negeri, pegawai perusahaan swasta, ABRI, ibu
rumahtangga melalui PKK dan berbagai organisasi kemasyarakatan dituntut untuk membantu pemeliharaan
dan pencapaian perwujudan kebersihan kota.
Kelompok petugas kebersihan Surya Medal di pagi hari dan Embun Pagi yang bekerja di tengah
kelelapan warga kota Bandung yang tidak kenai Ieiah selalu menjaga kebersihan di jalan-jalan umum,
haruslah dibantu oleh kesadaran warga untuk selalu turut menjaga kebersihan kota dan lingkungan
permukimannya.
Jika Walikota Bandung, Ateng Wahyudi, sudah berhasil mengajak warga kota Bandung untuk meraih
Juara Sepakbola Perserikatan Tahun 1990 dan warga kotanya sadar mendukung Persib kesayangannya,
membangun pertokoan jeans Cihampelas, dan mengembangkan pertokoan sepatu Cibaduyut, tidaklah
mustahil jika Pak Ateng pun bisa mengajak warga kota Bandung untuk segera bekerja bakti massal
membersihkan kota Bandung menyongsong Adipura 1991, meningkatkan jumlah wisatawan mancanegara,
serta mewujudkan Bandung sebagai kota ldaman yang bersih, hijau dan berbunga (BERHIBER).

Standarisasi
Berbagai jenis peralatan sampah di kota Bandung yang disebutkan tadi ditambah peralatan sampah

257
yang digunakan di kota raya sejenis seperti Surabaya, lima Wilayah Kota di DKI Jakarta, Semarang dan
Medan, dapat dikaji untuk dijadikan standar peralatan pengelolaan sampah. Dari berbagai peralatan sampah
tersebut, juga akan dapat dikenal peralatan mana yang juga dapat dijadikan standar bagi kota-kota besar,
kota sedang, dan kota kecil.
Standarisasi ini penting untuk melihat sejauh mana efisiensi dan efektivitas pengelolaan sampah,
setelah dikaitkan dengan jumlah personil pengelola sampah, dana yang digunakan, dan waktu kerja, serta
unsur-unsur lain yang terlibat dalam sistem pengelolaan sampah.
Angkatan Bersenjata, 3 Apri/1991

Mengatasi Sampah Dengan Sistem Modul:


Kasus Bogor

Sistem pengelolaan sampah saat ini dapat dibagi ke dalam subsistem teknis operasional, organisasi,
dan manajemen, pembiayaan dan retribusi, peraturan, dan peran serta masyarakat.
Sebagai peraih empat kali piala kebersihan Adipura, wajarlah jika Boger berusaha terus memperbaiki
sistem pengelolaan sampah. Salah satu cara dilakukan dengan melakukan perintisan persampahan dengan
sistem modul. Penerapan sistem ini diharapkan dapat meningkatkan sistem pengumpulan sampah yang
dilakukan oleh masyarakat dan LKMD, pemindahan sampah dari transfer depo ke tempat pembuangan akhir
(TPA), penggantian bak sampah rangka kayu dengan gerobak sampah rangka besi, dan mengganti truk biasa
dengan dump truk.

Gambaran Kota
Kotamadya Boger luasnya 2.156,2 Ha (akan diperluas menjadi 10.550 Ha) terdiri dari 5 kecamatan dan
22 kelurahan. Penduduknya pada tahun 1987 adalah 262.213 jiwa dengan pertambahan per tahunnya 2,2
persen. Kepadatan penduduk rata-rata 121 jiwa/Ha. Prasarana dan sarana kota relatif cukup memadai.
Panjang jalan 130 km, kapasitas air bersih 420 liter per detik dengan jumlah konsumen 19.228 sambungan.
Penduduk sebagian besar menyalurkan limbah ke saluran-saluran atau drainase, sedangkan untuk
pengelolaan kotoran manusianya digunakan septic tank atau cubluk. Tingkat pelayanan persampahan saat ini
mencapai 84 persen, yaitu sampah terangkut per hari 1.024 m3 dari produksi sampah 1.128 m3. Daerah
pelayanan pengelolaan persampahan kota saat ini mencapai 78 persen dari wilayah administratif yang
meliputi daerah komersial, pemukiman, kantor, jalan, dan tempat umum.
Pendapatan per kapita penduduknya adalah Rp 360.000, sebagian besar pegawai negeri dan swasta,
dengan komposisi 14 persen berpenghasilan tinggi, 60 persen menengah, dan 26 persen rendah. APBD
Kodya Boger tahun 1987/88 besarnya Rp 7,2 milyar, terdiri dari Rp 1,7 milyar anggaran pembangunan dan
Rp 5,5 milyar anggaran rutin. Anggaran untuk pengelolaan kebersihan adalah Rp 670 juta atau 9,3 persen
dari APBD.
Sistem pengelolaan sampah saat ini dapat dibagi ke dalam sub-sistem teknis operasional, organisasi
dan manajemen, pembiayaan dan retribusi, peraturan, dan peran serta masyarakat. Dalam segi teknis
operasional, kita kenai proses pengelolaan sampah mulai dari membagi daerah pelayanan, tingkat pelayanan,
pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan akhir.
Daerah pelayanan mencapai 78 persen dari wilayah administratif kota yang meliputi daerah komersial,
pemukiman, kantor, jalan, tempat umum, dan lain-lain. Tingkat pelayanan menunjukkan 84 persen dari jumlah
penduduk, artinya dari total sampah 1.128 m3/hari dapat terangkut 1.024 m3/hari.

258
Pewadahan dilakukan antara lain dengan menggunakan bin (40 liter), bak sampah permanen, tong
sampah, keranjang sampah, kantong plastik bekas, kotak kayu, dan lain-lain.
Pengumpulan sampah dilakukan secara individual dan komunal. Pengumpulan sampah secara
individual diterapkan di daerah pemukiman teratur, kantor, hotel, dan pasar yang dilayani secara door to door
baik dengan menggunakan gerobak ataupun truk untuk kemudian dibawa ke TPS (tempat penampungan
sementara) atau dibawa langsung ke TPA (tempat pembuangan akhir).
Pengumpulan secara komunal dilakukan di daerah pemukiman yang tidak teratur, misalnya di daerah
terjal dan tidak dapat dilalui gerobak, masyarakat membuang sendiri sampahnya ke TPS-TPS terdekat atau
ke gerobak yang lewat di jalan-jalan tertentu. Pengumpulan sampah di daerah pemukiman sebagian besar
dilakukan oleh swadaya masyarakat (80 persen), sedangkan 20 persen sisanya dilakukan oleh Dinas
Kebersihan. Di daerah pasar, pengumpulan dan pengangkutan sampah dilakukan oleh IKWP.
Pengangkutan sampah dilakukan dengan truk biasa yang ditinggikan baknya, sehingga mencapai
volume 10 m3 dengan frekuensi 2-3 rit/hari. Lokasi pembuangan akhir terletak di daerah Rancamaya, di
sebelah Selatan ujung jalan tol Jagorawi, cukup untuk menampung selama 15 tahun, letaknya cukup jauh dari
pemukiman dan ali ran sungai. Metoda yang digunakan adalah controlled landfill, yaitu setelah sampah mencapai
tinggi tertentu, diratakan atau dipadatkan oleh buldozer dan kemudian ditutup dengan lapisan tanah.
Dinas Kebersihan sebagai Organisasi Pengelola Kebersihan, terdiri dari Kasubag Tata Usaha dan lima
seksi, yaitu perencanaan, pengangkutan dan pembuangan akhir, kebersihan dan pengumpulan, retribusi, dan
pembinaan masyarakat. Personalia sebanyak 538 orang, masing-masing terdiri dari 61 staf dan 303 ienaga
operasional Dinas Kebersihan dan Pasar, dan 174 orang tenaga swadaya masyarakat yang bertugas sebagai
tenaga pengumpul sampah mencapai 80 persen dari subsistem pengumpulan.
Biaya pengelolaan sampah pada tahun 1987/88 mencapai Rp 790 juta, masing-masing Rp 670 juta
dari APBD dan Rp 120 juta biaya swadaya masyarakat. Dari segi operasi dan pemeliharaan, penggunaannya
16 persen gaji stat, 72 persen operasi dan pemeliharaan, 12 persen investasi/depresiasi, sedangkan
persubsistem pengelolaan menunjukkan 46 persen pengumpulan dan penyapuan jalan, 45 persen
pengangkutan, dan 9 persen TPA.
Biaya satuan memperlihatkan Rp 970,-/m3 pengumpulan, Rp 950,-/m3 angkutan. dan Rp 190,-m3
TPA. Dari aspek pendanaan, retribusi sampah yang diterima oleh Dinas Kebersihan telah mencapai 70
persen dari target yang telah ditetapkan. Pembayaran retribusi dilakukan dengan menitipkan pembayarannya
bersama-sama dengan pembayaran di PDAM dan PLN.
Walaupun penerapan sanksi masih sangat terbatas, tapi menekankan kesadaran masyarakat, beberapa
Perda telah ditetapkan yaitu Pembentukan Dinas Kebersihan, Struktur Organisasi Dinas Kebersihan, dan
Penetapan Tarif Retribusi No. 7 Tahun 1981.
Peran serta masyarakat dalam kebersihan cukup tinggi yang diperlihatkan oleh penerimaan retribusi
sampah mencapai 70 persen dan kegiatan pengumpulan sampah 80 persen dilakukan oleh swadaya
masyarakat. lni bisa terjadi berkat adanya penyuluhan secara intensif ke tiap kelurahan dan diselenggarakannya
perlombaan kebersihan antar RW, Kelurahan, Kecamatan, dan antar organisasi kemasyarakatan.

Perintisan
Beberapa permasalahan telah terjadi sebelum diterapkannya perintisan dengan sistem modul, antara
lain kualitas pelayanan masih kurang walaupun tingkat pelayanan mencapai 89 persen, pola operasional
individual dan komunal masih menjumpai hambatan, pewadahan kurang dipatuhi masyarakat sepenuhnya,
pelayanan door to door tidak teratur, frekuensi pengangkutan sampah dengan menggunakan truk tidak tetap,
dan sampah di TPA tidak teratur pembuangannya.
Di samping itu, masyarakat dan petugas kurang disiplin, sehingga bak sampah TPS selalu penuh dan
tidak terangkut, sampah rumahtangga kotor dan mengganggu lingkungan serta estetika, dan kondisi truk tidak
terawat serta aparat Dinas Kebersihan kurang bertanggungjawab.
Perintisan dengan sistem modul memilih lokasi di Kelurahan Cibogor seluas 53 Ha, daerahnya cukup

259
landai sehingga mudah dilalui gerobak sampah. Jumlah pendud'Jknya 8.848 jiwa atau 1.922 kepala keluarga,
kepadatan 167 jiwa per Ha, dan sebagian besar penduduknya berpenghasilan menengah ke atas. Dengan
sistem modul ini, tingkat pelayanan mencapai 100 persen, dan tirnbunan sampah 16 m3.
Sistem individual dilakukan pada jalan atau gang yang dapat dilalui gerobak, dan bin 40 liter di
halaman rumah. Sampah dari rumah dibawa ke dump truk untuk selanjutnya diangkut ke TPA. Sistem
komunal dilakukan di lokasi terjal, dan bin 40 liter secara kelompok. Sampah dibawa ke dump truk dan
selanjutnya diangkut ke TPA. Sampah yang terkumpul setiap hari diangkut, sehingga transfer depo tidak ada
sampahnya.
Di transfer depo juga dilakukan perbaikan ringan gerobak atau truk dan penyelesaian administrasi
retribusi. Peralatan yang tersedia terdiri dari 655 unit pewadahan masing-masing bin 40 liter, 10 unit gerobak
1 m3, 1 unit transfer depo ukuran 200 m2, dan 1 unit dump truk dengan volume 7 m3.
Organisasi pengelola, merupakan gabungan dari RW, LKMD, dan Dinas Kebersihan. Tenaga kerja
terdiri atas 1 orang koordinator, 1 orang pengemudi, 11 orang penarik gerobak, dan 3 orang kru kendaraan.
Tarif retribusi dibagi menjadi dua bagian, yaitu retribusi pengumpulan sampah yang ditarik melalui LKMD atau
RW dan retribusi pengangkutan dan TPA yang ditarik oleh Dinas Kebersihan melalui PDAM.

Manfaat
Empat manfaat telah dirasakan dengan penerapan perintisan persampahan sistem modul. Pertama,
kegiatan pengumpulan sampah yang dilakukan oleh LKMD lebih teratur, tertib, dan mudah diawasi. Kedua,
kegiatan pemindahan dan pengangkutan sampah dari transfer depo ke TPA yang dilakukan oleh Dinas
Kebersihan lebih mudah dan praktis, sehingga tidak ada sampah tercecer atau tersisa di transfer depo.
Ketiga, TPS lama yang dibuat dari gerobak kayu yang sering mengganggu kenyamanan lingkungan
diganti dengan gerobak rangka besi dan truk biasa yang sulit dalam pemuatan dan pembongkaran sampah
diganti dengan dump truk yang lebih praktis. Keempat, sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah yang
baru lebih teratur, tertib, mudah diawasi, praktis lebih higienis, dan lebih murah.
Merdeka, 28 Nopember 1989

Pengelolaan Sampah Kota Surabaya

Pengelolaan sampah kota Surabaya memperhatikan dua aspek, yaitu budaya dan kesehatan. Aspek
budaya menyangkut masalah disiplin warga kota, rasa cinta dan senang untuk tinggal di lingkungan yang
bersih serta malu terhadap kehadiran dan keberadaan masyarakat di sekitar yang selalu mengamati perilaku
kita. Aspek kesehatan meliputi rasa bersih itu sehat dan bersih menciptakan keindahan.
Surabaya walaupun telah dua kali meraih Adipura Kota Raya, masih dihadapkan pada permasalahan
kebersihan, antara lain daerah pertokoan kurang menghargai kebersihan, pengusaha rumah makan membuang
sampah seenaknya, kontraktor bangunan dan masyarakat seenaknya membuang sisa-sisa bangunan di jalan
umum, pedagang kakilima mengotori jalan, dan angkutan umum tidak menyediakan tempat sampah.

Pengelolaan
Pemda Tingkat II Kotamadya Surabaya telah menentukan enam target pengelolaan sampah. Pertama,
mempertahankan dan meningkatkan kebersihan daerah-daerah yang sudah ditata rapih dan indah. Kedua,
mengubah daerah pemukiman yang tidak teratur menjadi teratur rapih, indah dan layak huni. Ketiga, menjaga
daerah-daerah yang sudah bersih terhadap gangguan banjir dan sejenisnya. Keempat, menciptakan budaya

260
bersih dan sehat. Kelima, menciptakan Surabaya Berseri (bersih, sehat, rapih, dan indah). Keenam, mencari
upaya dan terobosan dalam penanggulangan sampah di TPA (tempat pembuangan akhir).
Kebijaksanaan Pengelolaan Sampah memperhatikan en am langkah, yaitu (1) perlu adanya lembaga
atau institusi Dinas Kebersihan yang mandiri, (2) perlu adanya penyempurnaan peraturan yang menyangkut
kedisiplinan masyarakat dan retribusi sampah, (3) perlu adanya peningkatan prestasi kerja aparat Dinas
Kebersihan, (4) perlu adanya kampanye kebersihan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
pentingnya kebersihan, (5) perlu menggalang sumber dana, dan (6) perlu kerjasama yang baik dengan
Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian.
Pengelolaan sampah juga perlu memperhatikan penataan perangkat lunak (kerjasama antar aparat
Pemda), penataran dan peningkatan sarana dan prasarana (perhitungan timbulan sampah, cara pewadahan,
pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, penyapuan jalan, pengolahan, dan pembuangan akhir), dan
peningkatan peran serta masyarakat (kampanye melalui media massa, majalah, radio, televisi, dan selebaran,
penerangan di pasar, pusat perbelanjaan dan pertokoan, temu muka langsung, mobil unit penerangan, dan
pendidikan formal/informal).
Sistem Pengelolaan kebersihan kota Surabaya dapat dibagi atas tiga sub-sistem, yaitu manajemen
dan organisasi (pola kebijaksanaan, aspek perundang-undangan, kelembagaan, organisasi dan tatalaksana
kerja, anggaran pembiayaan, pendapatan, dan belanja), operasional teknik (pewadahan, pengumpulan.
pemindahan, pengangkutan, perawatan kebersihan jalan, daerah pelayanan, tingkat pelayanan, pengawasan,
pengolahan, dan pembuangan akhir), dan peran serta masyarakat (aspek-aspek dan program peran serta
masyarakat).
Perda Nomor 4 Tahun 1980 tentang Dinas Kebersihan merupakan penyempurnaan SK Walikotamadya
DT II Surabaya Nomor 476/K Tahun 1972. Pedoman pelaksanaan operasionalisasi pengelolaan kebersihan
diatur melalui Perda Nomor 6 Tahun 1986. Aspek perundang-undangan yang diatur dalam Perda yang
terakhir ini terdiri atas ketentuan pemeliharaan kebersihan, ketentuan pembuangan sampah (pewadahan,
pengumpulan dan pemindahan sampah ke TPS - tempat penampungan sementara dilakukan oleh warga dan
pengangkutan dari TPS ke TPA - tempat pembuangan akhir dilakukan oleh Pemda), ketentuan larangan
(dilarang membakar sampah di pekarangan atau di tempat yang bisa menimbulkan kebakaran), retribusi
kebersihan, pembebasan atau keringanan retribusi, ketentuan pidana, penyidikan, dan penjelasan tentang
Perda mengenai kebersihan.
Aspek kelembagaan Dinas Kebersihan terdiri atas Kepala Dinas, Kepala Sub-Bagian Tata Usaha dan
Kepala-kepala Seksi sebagai unsur pelaksana. Di samping itu perkantoran dibagi atas Kantor Pusat, rayon
Utara, rayon Timur, rayon Selatan yang membawahi cabang-cabang, dan Bidang Khusus yang membawahi
Unit Angkutan, Unit Bengkel, dan LPA di Asemrowo, Keputih, Kenjeran, dan Lakarsantri. Karyawan Dinas
Kebersihan pada tahun 1988 sebanyak 1.851 orang, terdiri dari 939 pegawai negeri sipil, 55 PP 31/54, 13
honor ABRI, 1 honor Sipil, 403 Honor Daerah, dan 440 tenaga harian lepas.
Tatalaksana kerja menyangkut penyelenggaraan tugas pokok Dinas Kebersihan. Pembiayaan
pengelolaan sampah diperoleh sebagian besar dari anggaran rutin dan sebagian kecil dari anggaran
pembangunan. Penarikan retribusi sampah pada tahun 1988/1989 melampaui target sebagai akibat dari
kesadaran masyarakat yang semakin tinggi.
Pewadahan sampah sebagai salah satu kegiatan dalam teknik operasional sampah, dilakukan oleh
kepala keluarga di rumahnya masing-masing dengan menggunakan tong sampah, keranjang sampah atau
kantong plastik bekas. TPS disediakan oleh Pemda. Sarana pengumpulan sampah yang disediakan oleh
Pemda antara lain sebuah tong sampah untuk setiap rumahtangga yang tidak mampu, kereta dorong untuk
setiap RW, lahan TPS berupa depo sampah 200-300 m2 untuk melayani 30.000 penduduk dan 2 petugas
Dinas Kebersihan, dan landasan kontainer.
Pengangkutan sampah rumahtangga ke TPS menggunakan kereta dorong yang dikelola oleh warga
dan pasukan kuning kebersihan. Pengangkutan sampah dari TPS ke TPA dilakukan oleh petugas Dinas
Kebersihan dengan menggunakan truk hidrolik (untuk mengangkut kontainer sampah), dump truk (untuk
mengangkut sampah dari TPS ke TPA yang tidak dilengkapi dengan kontainer sampah), compactor truck

261
(untuk mengangkut kontainer 1 m3), dan truk bak (dengan menggunakan crew pasukan kuning). Armada
Dinas Kebersihan menangani 2.400 m3 setiap harinya. Di samping itu Swasta atau Rekanan membantu
pengangkutan sampah dengan menggunakan dump truck dan truk bak terbuka (bertutup terpal) yang dapat
mengangkut sampah rata-rata 2.000 m3 per hari.
Perusahaan atau industri yang menghasilkan sampah 2,5 m3 atau lebih setiap harinya berkewajiban
membuang sendiri sampahnya ke TPA. Sampah yang dibuang oleh perusahaan atau industri mencapai 400
m3 per hari. Sampah bahan buangan berbahaya (8-3) dilarang dibuang ke TPA.
Pemeliharaan kebersihan jalan dilakukan dengan penyapuan jalan yang dilakukan di jalan primer kota,
jalan arteri primer dan sekunder, jalan konektor atau penghubung kota, jalan lokal kota, wilayah pusat
perbelanjaan, pertokoan dan perkantoran, terminal, pasar dan pusat keramaian lainnya. Penyapuan jalan
dilakukan dalam empat gelombang, yaitu pukul 06.00-12.00, 12.00-18.00, 18.00-24.00, dan 01.00-06.00.
Sistem pembuangan akhir sampah dilakukan dengan cara open dumping (hampar padat) dan
uncontrolled sanitary landfill. TPA terdapat di empat tempat, yaitu 40,5 Ha di Keputih (menampung 2.000 m3
sampah per hari), 30 Ha di Kenjeran (menampung 2.000 m3 sampah perhari), 11,7 Ha di Asemrowo (awal
tahun 1990 diperkirakan sudah penuh sampah), dan 6 Ha di Lakarsantri (akan diperluas menjadi 9 Ha)
dengan sistem controlled landfill (gali urug) menampung 1.000 m3 sampah per hari.
Tingkat pelayanan mengangkut kualitas dan kuantitas, fasilitas umum dan pasar (100%) dan daerah
pemukiman (70%). Jumlah penduduk Surabaya pada tahun 1988 sebanyak 1,5 juta. Sampah yang ditangani
pada tahun 1988 adalah 6.295 m3 per hari yang terdiri dari 2.400 m3 diangkut Dinas, 2.000 m3 oleh Swasta
atau Rekanan, 650m3 sampah pasar, 200m3 dari Pusat Perdagangan dan Pertokoan, dan 400m3 sampah
Perusahaan atau lndustri. Daerah pelayanan meliputi 19 kecamatan seluas 21.954 Ha (75,6%) dari luas kota
Surabaya dengan tingkat pelayanan kebersihan 80%.
Pengawasan dilakukan secara administratif bagi petugas kebersihan, fisik teknis meliputi pemeriksaan
kebersihan di jalan, saluran, riol, selokan, taman, tempat umum, pasar, pusat perdagangan, pertokoan, pasar,
daerah perbelanjaan, perkantoran, dan daerah pemukiman. Cara pengawasan dilakukan secara incognito oleh
Walikota atau pejabat yang ditunjuk, secara teratur oleh Kepala-kepala Seksi pada Dinas Kebersihan, dan
tidak langsung oleh masyarakat melalui surat, telepon, atau media massa.
Untuk meningkatkan peran serta masyarakat, dilakukan penyuluhan kebersihan, dibuat proyek
percontohan, dan diselenggarakan Iomba kebersihan antar Kelurahan. Peran serta masyarakat yang telah
berjalan saat ini adalah adanya 10.000 pasukan kuning kebersihan di masing-masing RW dan RT,
membuang sampah ke tempat yang disediakan, membayar retribusi sampah, memberikan sumbangan
peralatan kebersihan, mengikuti kegiatan kerja bakti, menyebarluaskan budaya bersih dan sehc:t menuju kota
berseri (bersih, sehat, rapih dan indah).
Program peningkatan peran serta masyarakat dilakukan melalui pola pendekatan persuasif dan
edukatif, polisional non-yustisi, dan pendekatan polisional yustisi.

Harapan
Pengelolaan kebersihan kota Surabaya dengan motto aku berkarya bukan untuk sebuah nama, bukan
pula hanya untuk bergaya, namun ini adalah panggilah hatiku, karena berseri adalah gaya hidupku telah diresapi
oleh warga Surabaya sebagai salah satu kebutuhan hidupnya. Hasil nyata, Surabaya telah meraih Adipura
tahun 1987 dan 1989 dalam kategori kota raya (penduduk di atas 1 juta jiwa). Memasuki pemilihan Adipura
tahun 1989/1990, Surabaya bersaing dengan Semarang, Bandung, Lima Wilayah Kota di DKI Jakarta, dan
Medan. Harapan Walikotamadya DT II Surabaya dan warganya tidaklah berlebihan, yaitu terciptanya kota
Surabaya Berseri dalam jangka pendek, meraih Adipura pada bulan Juni 1990.
Merdeka, 21 Februari 1990

262
Sampah Jakarta Tahun 2000

Sampah saat ini merupakan salah satu masalah di DKI. Di tiap kelurahan, sela!u dijumpai masalah
sampah. Pelayanan sampah oleh Dinas Kebersihan belum mencapai seluruh daerah di DKI. Dari produksi
atau timbulan sampah 2.950 ton/hari dapat diangkut 2.160 ton/hari. Pengumpulan sampah saat ini, 85%
menggunakan handcart (gerobak dorong) dan 15% sistem jali-jali atau dari rumah ke rumah.
Sampah dengan menggunakan Handcart diangkut ke LPS yang berbentuk handcart pool, communal
concrete bin, bak terbuka, communal container, dan depot. Sampah di daerah tertentu atau jalan protokol
disapu dengan tangan atau diisap dengan menggunakan truck sweeper (kendaraan pengisap sampah dan
mencapai panjang jalan 751 km). TPA (lokasi atau tempat pembuangan akhir sampah) berada di Srengseng,
Kapuk Kamal, dan Cakung dan kondisinya masih merupakan open dumping (tempat pembuangan sampah
terbuka).
Sampah yang terkumpul di DKI sangat beragam. Ada sampah rumah tangga, pasar, industri,
komersial, jalan, dan sampah campuran. Studi BPP Teknologi tahun 1982 menunjukkan bahwa berdasarkan
volumenya, jumlah sampah di DKI pada tahun 1981 adalah 6 juta m3/tahun dan proyeksinya pada tahun
1995 dan 2005 mencapai 10,4 dan 13,9 juta m3/tahun. Berdasarkan beratnya, pad a tahun-tahun terse but
be rat sampah naik dari 1,2 ke 1,9 dan 2,3 juta ton/tahun.
Khusus di Jakarta Pusat, sebagian besar sampahnya berupa sisa makanan atau bahan organik
dengan karakteristik kadar air 63%, kadar abu 9% dan nilai kalor 4.500 kilo Joule/kg di musim hujan, dan
kadar air 58%, kada.r abu 12%, dan nilai kalor 6.152 kilo Joule/kg di musim kemarau. Karakteristik ini sangat
menentukan dalam penanganan selanjutnya. Yaitu apakah sampah tersebut memenuhi syarat atau tidak
untuk dibakar di dalam suatu incinerator (mesin pembakar sampah).

Pengangkutan
Komposisi sampah terdiri atas sampah organik, kertas, kayu, kain dan tekstil, karet dan kulit tiruan,
plastik, logam, gelas dan kaca, batu, pasir, tanah, dan lain-lain. Tempat penampungan sampah rumah tangga
atau pewadahan pada umumnya berupa tong sampah atau bak sampah, sebagian tidak tertutup dan terbuat
dari bermacam-macam bahan seperti logam, kayu, karton, drum, atau keranjang. Ada juga rumah tangga
yang membuang sampah di atas tanah terbuka, pojok jalan, saluran air, selokan atau sungai di dekat
rumahnya.
Sampah pasar dikumpulkan dalam bak sampah terbuka atau container (bak sampah tertutup dari baja),
sampah perkantoran diangkut dengan menggunakan compactor (kendaraan pemadat sampah), sampah
rumahtangga diangkut dengan menggunakan gerobak sampah, compactor, atau truk terbuka, dan sampah
jalan kumpulkan dalam gerobak atau diisap dengan menggunakan truck sweeper (truk pengisap sampah).
Berbagai macam cara pengumpulan sampah telah dikenal saat ini, antara lain sistem jali-jali
(menggunakan musik jali-jali pada saat petugas pengumpul sampah mendatangi rumah-rumah penduduk
yang dilalui kendaraan), door to door (mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah dengan menggunakan
gerobak sampah), daur ulang (memilah sampah menjadi kumpulan kaca, kaleng, plastik, kertas koran, dan
lain-lain), galvanis (tong sampah yang diletakkan di ujung gang, contohnya di Cikini), tong sampah fiberglass
(terutama di daerah elite dan di jalan-jalan protokol).
Sampah diangkut ke TPS (tempat penampungan sementara) dan kemudian ke TPA (tempat pembuangan
akhir) menggunakan kendaraan truk terbuka atau compactor. Pada tahun 1988 di DKI ada 738 truk sampah,
masing-masing 130 di Jaksel, 124 di Jaktim, 199 di Jakpus, 132 di Jakbar, 94 di Jakut, dan 59 di Dinas
Kebersihan. TPS terdiri atas 74 bak sampah, 205 pool gerobak sampah, 310 bak terbuka, 625 bak container,
117 transite, 74 depo, dan 2.930 galvanis (container 1 m3). Berkaitan dengan pengelolaan sampah, saat ini
ada 7.245 gerobak sampah, 1.058 gerobak celeng, 301 gerobak lumpur, 100 truk tinja, 48 gerobak dorong
tinja, 6 mobil toilet, dan 3 truk tangki air.

263
Alat-alat besar yang dikelola Di11as Kebersihan terdiri atas 13 bulldozer, 27 soveldizer dan swampsovel
loader, 34 whee/loader, 3 trans mastar. 1 vibration rolies, 1 derek, 1 trailer, 3 excavator, dan 22 street sweeper
(kendaraan penyapu jalan). Persentase komposisi sampah terdiri atas 74% sampah organik, 8% kertas, 5%
plastik, 4% kayu, 3% kain, dan sisanya adalah karet. logam, kulit tiruan, gelas, kaca, dan lain-lain. Perkiraan
volume sampah pada tahun 1988 adalah 7,338 juta m3.

Tahun 2005
Perkiraan timbulan sampah dan pengelolaannya pada tahun 2005 dapat dilakukan dengan menghitung
kondisi sampah saat ini, proyeksi penduduk, dan timbulan sampah per orang per hari. Sistem pengelolaan
sampah akan merupakan kombinasi dari berbagai subsistem antara lain ja/i-jali, container kecil, container depo,
handcart, pengumpulan sampah dari rumah ke rumah, stasiun transfer besar, sanitary landfill (gali uruk
terkendali), pengolahan untuk leachate, open dumping (pembuangan terbuka), dan incinerator (pembakaran
sampah).
Studi PU dan JICA (Japan International Cooperation Agency), memperkirakan proyeksi sampah tahun
2005 (satuan ton/hari) yang harus diangkut adalah 10.220 terdiri atas 5.110 sampah rumahtangga (3.540
diangkut ke LPS dan 1.570 ke transfer dengan sistem jali-jali), 620 sampah pasar sementara (semuanya
diangkut ke LPS), 1.090 sampah pasar resmi (diangkut ke transfer), 1.790 sampah komersial (960 diangkut
keLPS dan 830 diangkut ke stasiun transfer), 1.510 sampah industri (450 keLPS, 130 ke transfer, dan 930
ke pengolahan khusus), dan 100 sampah jalan. Sampah di transfer 9.290 diangkut ke TPA sanitary landfill,
masing-masing 4.080 di Tangerang dan 5.210 di Bantar Gebang Bekasi.
Dengan memperhitungkan jumlah penduduk di tiap wilayah, asumsi timbunan sampah per penduduk,
dan sumber-sumber sampah, dihasilkan perhitungan timbulan sampah di DKI tahun 1984, 1985 dan 2005
masing-masing 4.930, 7.360, dan 10.200 ton/hari. Studi JICA juga menyimpulkan bahwa pada tahun 2005
diperlukan 2.852 tenaga Dinas Kebersihan profesional dan kebutuhan peralatan pengumpulan dan
pengangkutan sampah yang terdiri dari 1.138 unit communal container 10 m2, 57 4 unit large arm roll, 6.582
unit communal conainer 1 m3, 176 unit kendaraan compactor 4 m3, 36 unit tipper 6 m3, 2.491 unit handcart,
dan 162 unit depo.
Untuk itu, Stasiun transfer perlu dibangun sebanyak 13 buah, masing-masing di Jakarta Utara, Jakarta
Barat, dan Jakarta Timur. Rencana penyapuan jalan sepanjang 1.693 km yang menggunakan truck sweeper
akan dilakukan di jalan protokol dan daerah tertentu dengan 23 unit truck sweeper dan 2.753 petugas
kebersihan profesional. Sampah yang dibuang ke TPA di Bekasi dan Tangerang masing-masing 6.050 ton/
hari dan 5.380 ton/hari.
Di samping sistem pengumpulan dan pengangkutan, perlu dilakukan perbaikan sistem organisasi dan
manajemen antara lain pemeliharaan, penyempurnaan organisasi, peningkatan biaya pengelolaan, kelengkapan
hukum dan kelembagaan, dan peningkatan pelayanan. Dalam periode 1989-1995 disarankan peningkatan
sistem pengumpulan sampah di kampung-kampung dengan berbagai cara, melaksanakan pengumpulan
sampah di daerah pemukiman baru, membangun stasiun pemindahan sampah di Sunter, membangun lokasi
gali uruk di Bekasi dan Tangerang, mempromosikan retribusi sampah, dan memasyarakatkan gerakan
kebersihan.
Tahap selanjutnya, 1996-2000 dan 2001-2005 dilakukan penyempurnaan sistem pengelolaan sampah
yang ditunjang oleh peran serta dan partisipasi masyarakat yang tinggi dan penciptaan kelancaran pengumpulan,
pengangkutan, dan pembuangan serta kemungkinan pembakaran sampah dengan menggunakan incinerator.
Jaringan pelayanan dan pengelolaan sampah akan diperluas ke setiap pelosok kota dan persentase sampah
yang terangkut terhadap timbulan sampah akan ditingkatkan.

Saran
Upaya mengatasi masalah persampahan di DKI Jakarta haruslah dimulai dengan meningkatkan sistem
pengumpulan, pengolahan, dan pembuangan sampah ke TPA, meningkatkan pembiayaan dan peran serta
masyarakat. Gerakan kebersihan harus dilaksanakan secara merata di setiap RT, RW, dan Kelurahan di DKI

264
dan cara-cara pengelolaan sampah disesuaikan dengan kond1s1 dan kemampuan masyarakat. Pengumpulan
sampah rumahtangga, penggunaan tong galvanis, fiberglass atau plast1k. gerobak sampah dari kayu atau dari
rangka besi, dan keterpaduan antara pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan sampah perlu diwujudkan,
serta upaya pengamanan terhadap persyaratan kesehatan pengeloiaan s&mpah perlu dilakukan.
Pengoperasian kendaraan sampah Dinas Kebersihan, kewalikotaan, kecamatan, dan kelurahan perlu
ditingkatkan. Personil Dinas Kebersihan perlu ditambah jumlahnya dan ditingkatkan kemampuannya. Peran
serta masyarakat dalam pengelolaan sampah akan menentukan keberhasilan penciptaan kota yang bersih.
Partisipasi pihak swasta dalam pengelolaan sampah juga perlu ditingkatkan, terutama di daerah-daerah
tertentu di mana pihak swsta tersebut memang mempunyai minat.
Pengelolaan sampah yang baik dan teratur dimulai dari tingkat rumahtangga, RT, RW, kelurahan,
kecamatan, dan kewalikotaan. Sampah pasar, pabrik, industri, perkantoran, pertokoan, taman, tempat
rekreasi dan sejenisnya, dikelola oleh unit kerja di lingkungan kerja yang bersangkutan dan pengangkutannya
ke TPS atau TPA dilakukan oleh Dinas Kebersihan. Gubernur dan Walikota perlu terus menerus menggalakkan
gerakan kebersihan kota, memantau dan mengevaluasi kemajuan pengelolaan persarnpahan dan kebersihan
kota di tiap wilayah, kecamatan, dan kelurahan, serta meningkatkan peran serta masyarakat dan swasta
dalam menciptakan kebersihan kota. Upaya semua ini akan mempercepat perwujudan kota Jakarta yang
BMW (bersih, manusiawi, dan berwibawa).
Salah satu alat ukur kebersihan kota dalam jangka pendek adalah keberhasilan dari salah satu atau
lebih kewalikotaan di DKI Jakarta. Kalau upaya ini dapat tercapai, maka dampak yang pasti akan terwujud.
Yaitu dapat meraih piala kebersihan Adipura yang pengumuman pemenangnya dilakukan setiap tanggal 6
Juni bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup. Semua warga DKI tentu mendukung aktif Pemerintah
Daerahnya untuk melaksanakan berbagai upaya penciptaan kebersihan kota dan mengharapkan agar DKI
meraih piala Adipura 1990 tanpa satupun wilayah di DKI Jakarta yang dinilai sebagai kota terjorok. Semoga.
Jayakarta, 28 April 1990

Pengelolaan dan Pendayagunaan Sampah


DKI Jakarta

Langkah-langkah pengelolaan sampah dimulai dari pewadahan menggunakan kantong plastik atau bak
sampah, pemisahan sampah menjadi bagian yang bisa dimanfaatkan dan yang dibuang, pengumpulan
sampah baik oleh warga maupun petugas kebersihan Pemda atau swadaya masyarakat, pengangkutan ke
TPS (tempat penampungan sementara) menggunakan gerobak sampah, pengangkutan ke TPA (tempat
pembuangan akhir) dengan menggunakan truk terbuka, tertutup, atau truk kontainer. Di samping itu juga
digunakan truk compactor untuk menghancurkan dan memadatkan sampah. TPA bisa berbentuk tempat
terbuka (open dumping), lokasi pembuangan sampah terkendali (controlled landfill), lokasi gali uruk (sanitary
landfill). Sampah juga bisa diangkut ke tempat pembuatan kompos dan dibakar di dalam suatu mesin
pembakar sampah (incinerator).
Menjelang pemilihan kota terbersih yang ditandai dengan piala Adipura bulan Juni 1990, lima Walikota
di DKI Jakarta didukung oleh Swasta dan warga kotanya sudah berusaha sekuat tenaga menciptakan
kebersihan kotanya agar dapat meraih Adipura atau meraih sertifikat penghargaan kota bersih karena belum
memenuhi syarat memperoleh Adipura, dan menghindar dari julukan terjorok.

Pengelolaan dan Pendayagunaan


Masalah pengelolaan dan pendayagunaan sampah dapat dibagi atas tiga bagian, yaitu pengumpulan,

265
pengangkutan, dan pembuangan akhir. Timbulnya masalah pengumpulan diakibatkan oleh produksi sampah
yang semakin meningkat, kurangnya kesadaran warga kota akan kebersihan lingkungan, tidak dipatuhinya
peraturan persampahan, dan kurang lancarnya pembayaran retribusi sampah. Terbatasnya Ia han
mengakibatkan kurang memadainya TPS (tempat pembuangan sementara) sehingga banyak sampah tidak
terangkut dan berceceran, armada truk sampah belum effektif pengoperasiannya, dan pelayanan oleh Dinas
Kebersihan masih belum menjangkau semua bagian kota. Masalah di TPA dirasakan terutama di lokasi
pembuangan terbuka (open dumping) berupa bau busuk dan pencemaran lingkungan, jumlah TPA terbatas,
dan lokasinya yang jauh dari kota. TPA di Bantar Gebang Bekasi dan yang direncanakan di Tangerang,
selain menimbulkan masalah biaya transportasi dan waktu angkut juga perlu dijaga agar tidak mengotori
lingkungan sekitarnya.
Bertolak dari permasalahan tersebut dan dikaitkan dengan pembangunan di sektor lainnya, sistem
pengelolaan sampah di DKI Jakarta berusaha memadukan berbagai subsistem antara lain sumber dan tipe
sampah, lokasi sumber sampah, pewadahan dan penampungan awal, pengolahan sebelum pembuangan
dengan melakukan pemisahan sampah, pengumpulan, pengangkutan ke TPS, pengangkutan dari TPS ke
TPA, dan pengolahan akhir atau pendayagunaan sampah dengan sistem daur ulang, pembuatan kompos,
maupun membakarnya menjadi energi. Di samping itu koordinasi di antara berbagai kelembagaan seperti
Dinas Kebersihan dan Sub-sub Dinasnya, PO Pasar Jaya, Dinas PU, Dinas Pertamanan dan lnstansi terkait
lainnya perlu ditingkatkan. Peran serta Swasta dan swadaya masyarakat mulai dari tingkat Wilayah,
Kecamatan, Kelurahan, RW, RT, Organisasi Kepemudaan dan Wanita, LKMD, PKK, LSM, dan Organisasi
Kemasyarakatan lainnya akan menentukan keberhasilan penciptaan kebersihan kota.
Pendayagunaan sampah dengan sistem daur ulang dibagi atas daur ulang sampah organik dan
anorganik. Sampah organik dapat dijadikan kompos atau biogas. Masalah yang dihadapi adalah bagaimana
memanfaatkan dan memasarkan kompos (seperti yang dialami oleh pabrik kompos di Lenteng Agung/Pasar
Minggu) serta menemukan teknologi yang tepat untuk membuat biogas. Sampah anorganik yang berupa
barang bekas dan masih bisa dimanfaatkan, dapat diolah dengan re-use (proses perolehan kembali sampah
menjadi produk yang sama, misalnya barang-barang plastik dan kertas) atau recycling (sampah diolah kembali
menjadi barang baru yang lain, misalnya botol atau piring). Sampah juga dapat diubah menjadi energi, antara
lain melalui pembakaran biasa (sampah sebagai bahan bakar ketel dapat menghasilkan uap pemutar turbin
yang selanjutnya diubah menjadi tenaga listrik misalnya pada incinerator atau mesin pembakaran sampah),
melalui proses pirolisa (sampah dibakar pada suhu dan tekanan tinggi yang menghasilkan gas atau senyawa
hidrokarbon dan selanjutnya diubah menjadi bahan bakar cair), dan melalui proses degradasi atau peruraian
secara bakteriologi yang menghasilkan gas metan (bahan bakar gas).
Beberapa studi telah dan sedang dilakukan oleh BPP Teknologi mulai tahun 1981 sampai dengan
1989, antara lain Pengelolaan dan Pendayagunaan Sampah, Karakteristik dan Komposisi Sampah,
Pengumpulan Sampah di Kampung-kampung, Studi Pra-Kelayakan Incineration Plant, dan Pengumpulan
Sampah di Rumah Susun Kebon Kacang, kesemuanya dimaksudkan membantu dan memberikan masukan
kepada Pemerintah DKI Jakarta dalam menyusun kebijaksanaan pengelolaan sampah jangka pendek dan
jangka panjang. Produksi sampah DKI sekitar 20.000 m3 per hari menuntut sistem pengumpulan yang baik,
jumlah TPS yang memadai, pengangkutan yang lancar, TPA yang layak, organisasi dan manajemen yang
mendukung, dan peningkatan peran serta Swasta dan Masyarakat.
Sistem pengumpulan sampah rumahtangga perlu disesuaikan dengan kondisi perumahan dan
pemukiman. Cara pengumpulan di daerah Menteng dan jalan protokol akan lain dengan yang harus dilakukan
di pemukiman kumuh. Sistem daur ulang, tong sampah galvanis, tong sampah fiberglass, gerobak kayu, dan
gerobak celeng hendaknya diterapkan di daerah yang sesuai. Tersedianya tong-tong sampah fiberglass di
sepanjang jalan protokol harus ditunjang oleh pengangkutan sampah yang teratur. Stasiun transfer sampah
yang akan dibangun di Sunter diperlukan untuk mengepres atau memadatkan sampah sebelum dibuang ke
TPA. lni dimaksudkan mereduksi sampah sehingga sampah yang dibuang ke TPA berkurang atau sekecil
mungkin. Setiap Kelurahan hendaknya memiliki satu atau lebih TPS yang memenuhi persyaratan fisik dan
kesehatan pengelolaan sampah.
Persyaratan kesehatan pengelolaan sampah harus mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Dirjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman Depkes melalui SK No. 281

266
Tahun 1989 tanggal 30 Oktober 1989. Ketentuan tersebut mengatur persyaratan kesehatan pengelolaan
sampah mulai dari pewadahan atau penampungan awal, pemisahan sampah atau pengolahan, pengumpulan,
pengangkutan ke TPS, pengangkutan dari TPS ke TPA, dan pengolahan sampah di TPA.

Saran
Guna meningkatkan sistem pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan serta pendayagunaan
sampah, disarankan untuk menyusun sistem pengelolaan sampah yang effektif dan effisien. Enam belas
kegiatan disarankan dalam meningkatkan pengelolaan dan pendayagunaan sampah. Pertama, kampanye
kebersihan kota perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran warga akan kebersihan kota dan lingkungannya.
Kampanye bisa dilakukan melalui radio, televisi, brosur, kerja bakti, seminar, ceramah, penyuluhan, dan
kunjungan ke setiap RT, RW, dan Kelurahan. Kedua, penyebaran informasi mengenai pengelolaan sampah
perlu dilakukan antara lain untuk menggugah masyarakat agar ikut mendukung upaya Pemda dalam meraih
piala kebersihan Adipura 1990. Ketiga, subsidi tempat penampungan sampah, tong sampah, gerobak sampah,
atau plastik kepada setiap rumahtangga. Subsidi jangan hanya diberikan kepada rumahtangga di pemukiman
yang teratur, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana membantu rumahtangga di daerah kumuh dan
masyarakat berpenghasilan rendah.
Keempat, peraturan dan sanksi atas pelanggaran perlu ditegakkan. Tertib membuang sampah harus
diipatuhi oleh setiap warga Jakarta. Peraturan persampahan perlu dibarengi dengan penyebar!uasan
informasi kepada masyarakat. Kelima, perlu disediakan sistem hadiah dan penghargaan kepada mereka yang
berprestasi dalam penciptaan kebersihan, misalnya di tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Wilayah,
pasar, perkantoran, tempat hiburan dan sarana rekreasi, serta perusahaan angkutan umum. Keenam, pungutan
retribusi sampah harus masuk ke kas daerah dan dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan sampah.
Ketujuh, pengaturan standar bangunan di lingkungan permukiman masyarakat berpenghasilan rendah.
Program perbaikan kampung perlu dibarengi dengan penerapan sistem pengelolaan sampah di kampung-
kampung. Kedelapan, pengelolaan sampah di kampung-kampung, perlu memperhatikan kondisi kampung.
Cara-cara pengumpulan sampah di kampung-kampung seperti Kayumanis, Cikini, Pademangan, dan lain-lain
dengan menggunakan plastik, tong sampah swadaya, tong sampah gavanis, dan daur ulang, bisa ditiru oleh
kampung lainnya yang sejenis. Jika di Surabaya ada pasukan kuning kebersihan dan di Bandung ada kelompok
surya medal, maka Jakarta perlu mengerahkan kelompok si Dul anak Betawi untuk memerangi sampah dan
mewujudkan kebersihan kota.
Kesembilan, perlu diberikan perhatian yang besar kepada pemulung atau laskar mandiri. Studi tentang
pola kerja pemulung atau perangkas (pemungut barang bekas) akan bisa memperoleh gambaran sejauh
mana peran mereka di dalam menunjang penciptaan kebersihan kota. Kesepuluh, peningkatan organisasi dan
manajemen Dinas Kebersihan dan aparat kebersihan terkait. Unsur ini termasuk penataan hukum, kelembagaan,
pembiayaan, dan teknis operasional (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi).
Kesebelas, peningkatan sistem pengangkutan sampah melalui penambahan armada sampah, penambahan
personil petugas kebersihan, pemeliharaan kendaraan, pengaturan route dan waktu pengangkutan sampah,
dan mengurangi penggunaan sampah untuk keperluan penjualan sampah.
Keduabelas, pengumpulan sampah dari rumah ke rumah dengan sistem jali-jali menggunakan truk
compactor perlu digalakkan. Cara ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap
waktu pengumpulan dan pelayanan sampah oleh petugas kebersihan. Ketigabelas, peningkatan teknik
pengelolaan sampah di TPA melalui open dumping, controlled landfill, sanitary landfill, pembakaran, pembuatan
kompos, pengolahan dan pendayagunaan sampah dan reklamasi. Keempat be/as, peningkatan peran serta
masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sampah. Kelimabelas, peningkatan kesehatan masyarakat
dengan memperhatikan persyaratan kesehatan pengelolaan sampah.
Keenambelas, upaya-upaya lain yang mendukung perwujudan kebersihan dan kenyamanan kota,
antara lain melakukan penghijauan dan membuat hutan kota. membuat taman kota, mengelola air bersih, air
hujan, saluran, drainasi, dan mengendalikan banjir, menata tempat wisata dan rekreasi dengan teratur,
menempatkan patung dan apotik hidup di persimpangan jalan untuk menyemarakkan kota, melakukan
pembibitan dan penanaman bunga di jalur jalan tertentu, menghimbau masyarakat untuk membuat taman

267
rumah tinggal, mengatur pagar rumah bukan sekedar sarana pembatas tetapi menjadi pagar hijau berbunga.
Enambelas upaya ini merupakan program dan kegiatan Pemda yang perlu didukung oleh Swasta dan
warga kotanya untuk menciptakan kota metropoiitan atau megalopolitan DKI Jakarta yang BMW (bersih,
manusiawi, dan berwibawa). Jangka pendek, mudah-mudahan paling sedikit salah satu Wilayah di DKI
Jakarta dapat meraih piala kebersihan Adipura kota raya pada tanggal 6 Juni 1990. Semoga
Jayakarta, 20 Desember 1989

Menelusuri Pengelolaan Sampah di Wilayah


Kota Jakarta

Penilaian Adipura 1990 tahun ini telah dilakukan tanggal 5 Juni 1990. Wilayah Kota DKI Jakarta belum
berhasil meraih Adipura 1990, kecuali Jakarta Pusat yang berhasil meraih piagam kota bersih 1990 kategori
kota raya. Posisi Jakarta Pusat berada di bawah Surabaya dan Bandung yang meraih Adipura dan di atas
empat Wilayah Kota di DKI Jakarta, Semarang dan Medan. Walaupun penentuan pemenang Adipura 1991
masih sembilan bulan lagi, yaitu 5 Juni 1991, setiap Wilayah Kota di DKI harus lebih giat lagi mengelola
kebersihan wilayahnya agar tidak menjadi kota terjorok.

Pengelolaan
Gambaran kota Jakarta pada akhir 1989 ditunjukkan dengan data luas (663 Km 2), penduduk (tercatat 7
juta, pada kenyataannya hampir mencapai 9 juta), kepadatan penduduk (12,462 orang per Km 2), 1,51 juta KK,
28.519 RT, 2.450 RW, 260 Kelurahan, dan 43 Kecamatan (termasuk 13 perwakilan kecamatan), produksi
(timbulan) sampah 21.234 m3/hari, (terangkut 16.769 m3/hari, tidak terangkut 4.465 m3/hari).
Tugas pokok Dinas Kebersihan ialah menyelenggarakan usaha-usaha kebersihan dalam rangka
menciptakan Kota Jakarta yang bersih, manusiawi dan berwibawa. Dari satu segi khususnya peraturan,
pengelolaan sampah di DKI Jakarta masih terpusat, tetapi dalam banyak hal diurus oleh masing-masing
Wilayah Kota. Misalnya Dinas Kebersihan pada tingkat Pemda DKI dan Sudin Kebersihan dibantu para
Camat, Lurah, Swasta dan Warga Kota pada tingkat Wilayah Kota sampai ke Kecamatan, Kelurahan, RW
dan RT.
TPA (Tempat Pembuangan Akhir) dipusatkan di Bantargebang Bekasi dan sebagian di Budi Dharma
Cakung, sedangkan sistem pengelolaan sampah tiap Wilayah Kota disesuaikan dengan kebijaksanaan
Walikotanya masing-masing.
Fasilitas pengelolaan sampah di tiap Wilayah Kota DKI Jakarta dituangkan pada Tabel. Dari tabel ini
terlihat bahwa fasilitas prasarana kebersihan hampir merata di tiap Wilayah Kota, padahalluas tiap Wilayah
Kota berlainan satu dengan lainnya. Persoalannya adalah bagaimana Walikota merangsang kesadaran dan
partisipasi warganya untuk ikut bersama-sama Pemda dan Swasta mengelola kebersihan kotanya, disesuaikan
dengan kondisi dan permasalahan sampah di daerahnya masing-masing. Misalnya, mengelola sampah di
Jakarta Selatan seharusnya lebih mudah dibandingkan dengan Jakarta Pusat, Barat, Timur dan Utara. Tetapi
kenyataannya sampah di Pasar Minggu dan Kebayoran Lama sulit diatasi.
Partisipasi PKK dan warga pemukiman kumuh di Jakarta Barat yang cukup menonjol, perlu dicontoh
oleh semua warga Jakarta Barat dalam mendukung upaya Pemda untuk meraih piagam kota bersih atau
Adipura 1991. Sebagai pintu gerbang keluar-masuknya wisatawan macanegara, Jakarta Barat harus selalu
tampak aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah-tamah dan membawa kenangan. Warga Jakarta Pusat dan
mereka yang sehari-harinya di jalan protokol, gedung pusat pemerintahan, dan perkantoran mewah di pusat

268
ibukota, harus secara sadar ikut berpartisipasi menjaga kebersihan kota agar bisa mempertahankan status
peraih piagam kota bersih dan berusaha untuk meraih Adipura 1991.
Warga kota sangat diharapkan partisipasinya dalam pengelolaan sampah mulai dari pewadahan,
pemilahan, pengumpulan, pemindahan, penyapuan, pengangkutan, pembuangan, pembakaran di tempat,
pengolahan, pemusnahan, penanganan selokan, saluran, dan air kotor, mck, mengikuti kegiatan penyuluhan,
mematuhi peraturan, membayar retribusi kebersihan, menata kebersihan rumah dan lingkungan,
mengembangkan dan mengendalikan kebersihan, serta membudayakan hidup bersih dan sehat.
Tiap Walikota di DKI telah mulai turun ke lapangan untuk membangkitkan semangat warga kota dalam
meningkatkan kebersihan kota dan sekaligus mengejar Adipura 1991. Abdul Munir keliling kecamatan di
Jakarta Pusat, menyampaikan duplikat piagam kota bersih Jakarta Pusat 1990 untuk selanjutnya ditunjukkan
kepada warga kota sebagai bukti prestasi, mengajak warga untuk mempertahankan prestasi dan bertekad
meraih Adipura.
Sejalan dengan itu, pembangunan MCK untuk mengganti WC gantung (helikopter) diteruskan dan
operasi yustisi kebersihan mulai diterapkan di sekitar Kali Sentiong dan Kali Hitam Cempaka Putih. Walikota
Jakarta Selatan melaksanakan gerakan kebersihan terpadu (Juni-Agustus 1990) untuk menggugah warga
Jaksel agar berbudaya hidup bersih dan sehat. Walikota Jakarta Timur bergelut dengan ulah pedagang
kakilima di terminal bus Cililitan dan Pulogadung yang berdagang tidak teratur dan tidak menjaga kebersihan
terminal. Walikota Jakarta Utara sulit menolak kiriman sampah dari Wilayah Kota lainnya melalui kali yang
bermuara di bagian Utara kota Jakarta.

Program
Pewadahan, pemilahan dan pengumpulan sampah harus dilakukan oleh setiap warga DKI. Sampah
yang dikumpulkan dalam plastik, pengki, ember, dan tong sampah, dengan menggunakan gerobak sampah
dipindahkan oleh petugas di tingkat RT/RW ke TPS atau truk yang datang (sistem jali-jali). Penyapuan
sampah di jalan lingkungan dilakukan oleh warga kota, di jalan umum oleh petugas dinas kebersihan, dan di
jalan tertentu oleh petugas penyapu jalan dari perusahaan swasta yang ditunjuk, atau menggunakan mesin
pengisap sampah (truck street sweeper). Tenaga penyapu jalan dari dinas Kebersihan ada 2.179 orang
(1.200 orang produktif dan sisanya sudah berumur lanjut). Panjang jalan yang disapu sepanjang 4.000 Km
memerlukan tenaga penyapu sebanyak 2.000 orang.
Sampah dari TPS ke TPA diangkut oleh kendaraan Dinas Kebersihan dan Dinas Pasar. Dari produksi
sampah 16.769 M3 per hari, diangkut oleh Dinas Kebersihan 15.387 m3 dan oleh PO Pasar/Swasta sebanyak
1.382 M3. Dari sekitar 700 truk sampah, hanya 519 buah yang umurnya di bawah 6 tahun, 22% berumur di
atas 10 tahun, dan sebagian digunakan untuk menertibkan becak, kakilima, operasi gelandangan, dan WTS.
TPA (tempat pembuangan akhir) sampah berada di Budi Dharma Cakung (Kelurahan Semper
Kecamatan Cilincing) seluas 36 Ha di atas tanah milik masyarakat. TPA di Bantargebang seluas 100 Ha
direncanakan dengan sistem sanitary landfill. Pemusnahan 83, bahan beracun berbahaya, dilakukan di tiga
lokasi, yaitu 3 Ha (daya tampung 300 m3/hari) di Pulo Gebang Jakarta Timur, 200 M2 (menampung 60 M3) di
Penas Jakarta Timur), dan 648 M2 (menampung 1.500 M3) diGudang B3 Pulogebang. Tanah seluas 3 Ha
dengan daya tampung 300 M3/hari sudah dibebaskan di Duri Kosambi Jakarta Barat untuk menampung air
kotor dari Jakbar, Jaksel, dan Jakut.
Penanggulangan air kotor dan tinja juga dikerjakan oleh Dinas Kebersihan. Tinja penduduk ditampung
dalam bentuk septic tank, cubluk, dan bak penampungan sementara. Setelah penuh, kotoran disedot dengan
menggunakan kendaraan penyedot tinja. Dari perkiraan produksi tinja 530 M3/hari, Dinas Kebersihan rata-
rata menyedot 5.692 M3 per hari dan melayani 2.098 orang. Fasilitas MCK (mandi, cuci, kakus) ada 342
buah, masing-masing 162 di Jakpus, 45 di Jakut, 40 di Jakbar, 68 di Jalsel, dan 27 di Jaktim. Pengelolaannya
dilakukan oleh masyarakat melalui LKMD. PU sedang membangun sistem sanitasi air buangan dan
pengolahan air kotor di Waduk Setia Budi dan beberapa tempat Pemda DKI menyediakan septic tanklcub/uk
dengan pembayaran kredit oleh masyarakat. Di samping We cemplung diganti dengan bangunan we di tepi
sungai, banyak terdapat di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat.

269
Kesejahteraan pegawai Dinas Kebersihan perlu diperhatikan, antara lain pembagian beras, pakaian
dinas, gaji yang teratur, uang insentif, alat pelindung operasional, asrama pegawai dan pelayanan kesehatan.
Peningkatan pengelolaan kebersihan antara lain dilakukan melalui traning karyawan (pengemudi, swastanisasi,
dan kerjasama dengan konsultan), pelaksanaan studi (dengan BPPT, lnstansi lain dan konsultan), perencanaan
detail, penyuluhan (PKK, P2WKSS, training kader penyuluhan, mahasiswa, pelajar, organisasi masyarakat,
pembuatan film dokumenter, pameran, brosur), dan kerja bakti kebersihan.
Retribusi kebersihan perlu ditingkatkan. Jakarta yang penduduknya 8 juta jiwa hanya mengumpulkan
retribusi sampah Rp 1,2 miliar, padahal Medan, Bandung dan Surabaya dengan penduduknya yang di bawah
setengah dari Jakarta mengumpulkan retribusi lebih banyak. Retribusi kebersihan bisa dilakukan melalui
pembayaran air minum, PLN, Bank atau PKK.
Peran serta swasta dapat dilakukan antara lain melalui penyelenggaraan pendidikan dan training,
pemantauan, studi, swastanisasi, dan kerjasama internasional. Pengawasan perlu ditingkatkan, baik terhadap
perusahaan, pasar, toko, kendaraan dan sumber penghasil sampah lainnya. Operasi yustisi kebersihan
secara bertahap perlu diterapkan di beberapa bagian kota, dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat
akan kebersihan lingkungan.

Tabel. Prasarana Kebersihan Kota di DKI Jakarta Tahun 1989

Prasarana Jakpus Jakut Jakbar Jaksel Jatim

- Pencluduk (juta jiwa) 1,17 1,05 1,36 1,76 1,67


- Luas Wilayah (KM 2) 49 154 126 145 187
- Kepadatan penduduk per Km 2 23.741 6.779 10.782 12.142 8.867
- KK 254.379 226.910 287.518 376.032 373.800
- RT 5.052 4.569 5.658 6.545 6.695
-RW 390 380 486 575 619
- Kelurahan 44 35 52 64 65
- Kecamatan 8 7 8 10 10
- Produksi sampah per hari (M 3) 3.886 3.135 4.126 5.201 4.886
- Sampah terangkut per hari (M 3) 3.245 2.723 3.397 3.738 3.666
- Sisa sampah per hari (M 3) 641 412 729 1.463 1.220
- Gerobak sampah, dinas (buah) 661 536 1.124 120 1.216
- Transfer depo 12 14 14 18 16
-Transite 18 41 47 14 19
- LPS terbuka 38 35 38 22 48
- Pool Gerobak 85 12 61 43 34
- Container 69 61 103 21 80
- Galvanis 590 353 786 514 770
- Container Compactor 3 3 3 5 3

Sumber: Diolah dari berbagai sumber data (Statistik Wilayah DKI1989 dan Dinas Kebersihan Pemda DKI Jakarta 1989).

Program pengelolaan sampah dapat diidentifikasikan atas peningkatan disiplin pegawai, peremajaan
kendaraan angkutan sampah, peningkatan partisipasi masyarakat, peningkatan pelayanan kebersihan,
penyempurnaan peralatan, peningkatan penyuluhan, efisiensi pengelolaan sampah, pemusnahan sampah,
dan pemantapan sistem pengelolaan sampah termasuk di dalamnya pengendalian pemulung. Jangkauan
pelayanan kebersihan oleh Pemda DKI Jakarta saat ini telah mencapai 86% dari warga kota. Walaupun
pelayanan tinggi, tingkat pelayanan masih rendah, terbukti dari masih banyaknya sampah menumpuk di
pinggir jalan dan angkutan sampah tidak teratur. Sistem pengumpulan sampah dengan cara swadaya

270
masyarakat, penggunaan kantong plastik, dari rumah ke rumah (door to door), jali-jali (truk sampah keliling
kampung menggunakan lagu jali-jali), dan TPS yang dilengkapi container galvanis, perlu selalu dikaji
kemampuannya. TPS terbuka dan bak sampah terbuka secara bertahap dihapuskan.
Efisiensi pengangkutan sampah perlu ditingkatkan, container galvanis perlu ditambah, pembangunan
tempat pembuangan akhir sampah di Bantargebang perlu dipercepat (baru 43 Ha dibebaskan dari rencana
108 Ha), pembangunan transfer station untuk menampung sampah sebelum dibuang ke TPA perlu segera
dilaksanakan (melibatkan peran serta swasta), dan lokasi TPA di bagian Barat Jakarta perlu segera
disediakan. Disiplin dan efisiensi pegawai perlu ditingkatkan melalui penataan, kursus, pengawasan, penyediaan
insentif bagi pengemudi, crew truk dan tukang sapu, dan penyediaan asrama pegawai.
Sistem pengelolaan kebersihan kota perlu didukung oleh keterpaduan Pemda, Swasta dan Masyarakat.
Peran serta swasta dan masyarakat dalam pengelolaan sampah perlu ditingkatkan. Kawasan bebas sampah
di tiap kelurahan harus selalu diawasi oleh Camat, Lurah dan Sudin Kebersihan. Menata kebersihan kota
jangan hanya mengacu pada keinginan memperoleh piala Adipura atau piagam kota bersih, tetapi harus
dilakukan terus menerus melalui upaya pembudayaan hidup bersih dan sehat bagi semua warga DKI Jakarta
untuk menuju Kota Jakarta BMW. Semoga.
Jayakarta, 12 September 1990

Taati Perda Nomor 5 Tahun 1988 tentang


Kebersihan Lingkungan

Pada hakekatnya pengelolaan kebersihan lingkungan bukan hanya kewajiban Pemda, tetapi merupakan
kewajiban masyarakat. Penanganan kebersihan tidak hanya menyangkut masalah teknis dan sistem
pengelolaannya saja, tetapi menyangkut perilaku kehidupan masyarakat sehingga upaya penanggu!angan
tidak akan tuntas tanpa peran serta masyarakat dalam menjaga kebersihan lingkungannya.
Perda Nomor 5 Tahun 1988 tentang Kebersihan Lingkungan di Wilayah DKI Jakarta (yang tidak dapat
dilepaskan dari Perda Nomor 3 Tahun 1972 tentang ketertiban umum), mengatur kewajiban masyarakat
untuk memelihara kebersihan lingkungan pekarangan rumah sampai ke selokan dan bahu jalan di depan
pekarangan rumahnya serta kebersihan lingkungan dimanapun mereka berada. Agar Perda ini berjalan
lancar, diperlukan pematangan sikap mental warga kota dan keteladanan aparat Pemda, pimpinan dan tokoh-
tokoh panutan.

Perda 5/1988
Perda ini mendefinisikan jalan (jalan dalam bentuk apapun beserta kelengkapannya antara lain
selokan, bahu jalan dan sebagainya) yang terbuka untuk umum, jalur hijau (setiap jalur tanah yang terbuka
sesuai rencana kota), taman (jalur hijau yang dipergunakan dan diolah untuk pertamanan), sampah (semua
jenis buangan atau kotoran padat yang berasal dari rumah tempat tinggal, perkantoran, rumah penginapan,
hotel, rumah makan, restoran, pasar, bangunan umum, pabrik, industri, termasuk puing-puing sisa bahan
bangunan dan besi-besi tua, barang bekas kendaraan bermotor dan lainnya yang sejenis), dan air buangan
(semua cairan yang dibuang yang berasal dari air domestik dan air industri).
Setiap penduduk, pemilik, penghuni dan penanggung jawab bangunan wajib memelihara kebersihan
lingkungan rumah dan pekarangan serta batas bahu jalan di sekitar pekarangan masing-masing. Perda 5/
1988 paling sedikit menetapkan sepuluh larangan.

271
Pertama, mengotori dan merusak jalan, jalur hijau, taman dan tempat umum kecuali oleh petugas
untuk kepentingan dinas. Kedua, membuang dan menumpuk sampah di jalan, jalur hijau, taman, sungai,
saluran dan tempat umum kecuali di tempat-tempat yang telah ditetapkan oleh Gubernur. Ketiga, membakar
sampah di jalan, jalur hijau, taman dan tempat umum di sekitar pekarangan, sehingga mengganggu
ketertiban umum. Keempat, buang air besar (hajat besar) dan buang air kecil (hajat kecil) di jalan, jalur hijau,
taman, sungai, saluran dan tempat umum kecuali di tempat-tempat yang telah ditetapkan oleh Gubernur.
Kelima, menjemur, memasang, menempatkan atau menggantungkan benda-benda di jalan, jalur hijau, taman
dan tempat umum kecuali di tempat-tempat yang telah ditetapkan oleh Gubernur.
Keenam, mengeruk atau mengais sampah dari tempat penampungan sampah sementara, kecuali oleh
petugas untuk kepentingan dinas. Ketujuh, menutup selokan di sekitar pekarangan tanpa ijin Gubernur.
Kedelapan, membuang sampah di luar lokasi pembuangan yang telah ditetapkan tanpa ijin tertulis dari
Gubernur. Kesembilan, mencoret-coret, menempel, menulis, mengotori pada dinding tembok, pilar, tiang,
pohon, pagar dan jembatan kecuali dengan ijin Gubernur. Kesepuluh, setiap pemilik!penghuni rumah tinggal,
kantor, rumah sakit, bangunan/sarana kepentingan umum lainnya, rumah makan, restoran, hotel, rumah
penginapan, apotek, bioskop dan bangunan lain yang sejenis, dan industri/pabrik, diwajibkan menyediakan
tempat untuk penampungan sampah dan air buangan. Terhadap air buangan yang melebihi ambang batas
pencemaran, air buangan yang menimbulkan bau busuk, sampah dan air buangan yang mengandung bahan
beracun dan atau berbahaya, sebelum dibuang ke saluran umum harus terlebih dahulu diproses sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pedagang atau penjaja diwajibkan menyediakan tempat penampungan sampah yang berasal dari
kegiatan usahanya, demikian juga setiap organisasi, badan atau pengelola kompleks peru mahan, perkantoran,
pertokoan, perpasaran dan bangunan sejenis lainnya wajib memelihara kebersihan atas jalan, saluran, taman
dan jalur hijau yang ada di lingkungannya. Juga mereka yang menyelenggarakan kegiatan keramaian, wajib
memelihara kebersihan lingkungan di daerah kegiatannya. Bentuk dan penempatan tempat sampah dan air
buangan diatur dan ditetapkan oleh Gubernur.
Kendaraan pengangkut sampah, tanah, pasir dan bahan bangunan lainnya harus ditutup dengan baik,
agar barang-barang yang dibawa tadi tidak berserakan ke jalan umum. Pemilik atau pengemudi
bertanggungjawab atas sampah-sampah yang berserakan di sepanjang jalan yang jatuh dari kendaraannya.
Setiap kendaraan pribadi atau angkutan umum wajib menyediakan tempat sampah di dalam kendaraannya.
Perda ini juga mengatur perijinan pengelolaan kebersihan, retribusi kebersihan, pelayanan, pembayaran,
penagihan, keberatan, pembebasan, pengawasan, ketentuan pidana, dan penyidikan. Retribusi kebersihan
didasarkan atas pelayanan yang meliputi pengangkutan dan pembuangan sampah dan air buangan/tinja,
penyediaan lokasi pembuangan atau pemusnahan sampah dan air buangan/tinja penggunaan tempat buang
air kecil atau buang air besar, dan ijin atas penyelenggaraan pengelolaan kebersihan.
Besarnya retribusi berkisar dari Rp 150/hari sampai Rp 15.000/bulan, misalnya pengangkutan sampah
dari rumah makan kecil sampah 0,2 M3 (Rp 600/hari), sampah melebihi 0,2 M3 (Rp 900/hari/M3), sampah
industri 2,5 M3 (Rp 4.000/M3), pengangkutan sampah bangunan tempat tinggal di daerah protokol (Rp
10.000/bulan/kk), penggunaan tempat buang air kecil (Rp 100/sekali penggunaan) dan buang air besar Rp
200/sekali penggunaan).
Jika terjadi pelanggaran, dilakukan penyidikan sebagai berikut, (a) penyidik menerima laporan atau
pengaduan, (b) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan, (c) menyuruh
berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal, (d) melakukan penyitaan benda dan atau surat,
(e) mengambil sidik jari dan memotret seseorang, (f) memanggil orang untuk didengar atau diperiksa sebagai
tersangka atau saksi, (g) mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan,
tersangka, (h) mengadakan penghentian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik bahwa terdapat
cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik
memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka dan keluarganya, dan (i) mengadakan
tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam melaksanakan tugasnya, penyidik
tidak berwenang melakukan penangkapan dan atau penahanan.

272
Setiap tindakan penyidik disertai dengan Berita acara pemeriksaan tersangka, pemasukan rumah,
pemeriksaan benda, surat, sakit, atau di tempat kejadian, dan mengirimkannya kepada Pengadilan Negeri
melalui penyidik Polri.
Penyidikan ini dilakukan sebenarnya untuk mendidik warga kota dan menumbuhkan motivasi anggota
masyarakat guna meningkatkan penanaman disiplin dan kadar kesadaran serta sikap hidup dan perilaku
budaya hidup bersih dan sehat, yang akhirnya diharapkan mengarah pada satu kondisi, di mana setiap orang
dan anggota masyarakat dapat turut berperan serta membina anggota masyarakat lainnya dalam memelihara
kebersihan lingkungan.

Pelaksanaan
Perda Nomor 5 Tahun 1988 tentang kebersihan lingkungan ini harus dilaksanakan oleh semua
anggota masyarakat, aparat Pemda, Swasta, dan warga kota. Sejalan dengan Perda ini, Gubernur
menginstruksikan Kepala Badan Pengelola Perparkiran, Kepala Wilayah Perparkiran dan Petugas Parkir
untuk berperan serta dalam memelihara kebersihan lingkungan di wilayah kerjanya masing-masing.
Kewajiban setiap penduduk untuk memelihara kebersihan, berlaku dimanapun tempatnya, dimanapun
seseorang berada maka ia harus memelihara kebersihan, misalnya di rumah, kantor, jalan, taman, bis kota,
tempat umum, dan tempat-tempat lain. Mereka harus menciptakan kebersihan kotanya yang mencerminkan
keindahan, keteduhan, kenyamanan dan kelestarian lingkungan.
Jika setiap warga kota mematuhi Perda 5/1988 dan aparat Pemda memberi contoh teladan yang patut
ditiru warganya, niscaya upaya menciptakan Jakarta yang bersih bukanlah suatu angan-angan atau khayalan.
Kebersihan Jakarta Pusat meraih piagam kota bersih 1990 kategori kota raya, perlu dipertahankan dan
ditingkatkan menjadi peraih Adipura 1991, dan ditiru oleh Wilayah Kota lainnya di DKI. Harus dihindari,
Wilayah Kota DKI Jakarta meraih predikat kota terjorok 1991. Mematuhi Perda 5/1988 berarti mendukung
upaya meraih Adipura dan memasyarakatkan sapta pesona wisata (aman, tertib, bersih, sejuk, indah,
ramahtamah, dan kenangan).
Kebersihan pengelolaan kebersihan kota DKI Jakarta dan lingkungannya, akan tergantung pada aparat
Pemda yang memberi contoh, warga kota yang mentaati peraturan, peran serta PKK dalam pembudayaan
hidup bersih dan sehat, dan partisipasi semua lapisan warga kota (pegawai negeri, ABRI, buruh, karyawan
swasta, tukang becak, dan pemulung) di dalam sistem pengelolaan sampah kota Jakarta.
Neraca, 18 Mei 1991

Jakarta, Evolusi Dari BEMO Menuju BMW

Tahun 1989 penulis menyarankan agar warga DKI harus me rasa memiliki dan mencintai Jakarta
(Merdeka, 4 Juni 1989). Salah satu ukuran keberhasilan Jakarta BMW hendaknya pada tahun 1990 piala
Adipura dapat diraih oleh salah satu Wilayah Kota di DKI Jakarta. Tem a HUT DKI Jakarta ke-463 tahun 1990,
"Dengan semangat pengabdian kita bangun Jakarta bagi masa depan yang Jebih baik", perlu didukung oleh
pemikiran dan tindakan warga kota sebagai jawaban atas pertanyaan apa yang dapat disumbangkan warga
dalam pembangunan kota Jakarta.
BEMO yang penulis maksudkan di sini bukan kendaraan angkutan umum roda tiga. Bemo, penulis
artikan sebagai belum effektif mengatur orang, suatu pertanda bahwa partisipasi warga kota dalam
pembangunan kota Jakarta masih perlu ditingkatkan. Kegiatan Pemda mulai dari Musyawarah Pembangunan
(Musbang) Tingkat Kelurahan, Temu Karya Pembangunan Tingkat Kecamatan, Rapat Koordinasi Pembangunan
(Rakorbang II), Rapat Teknis Intern Dinas, Kanwil dan Unit Tingkat Provinsi DKI Jakarta, dan Rakorbang I

273
dalam periode Juni-September setiap tahun dimaksudkan untuk menyusun usulan program/proyek
pembangunan tahun berikutnya. Hasilnya berupa Rencana Umum Pembangunan Tahunan Daerah (RUPTD)
yang dijadikan sebagai pedoman bagi instansi atau unit kerja di lingkungan Pemda DKI Jakarta dan dapat
dipergunakan sebagai pedoman bagi masyarakat dalam ikut berpartisipasi pada pembangunan kota Jakarta.
RUPTD tahun 1990/1991 yang merupakan penjabaran tahun kedua Pelita V DKI Jakarta diharapkan
merupakan titik temu antara pendekatan perencanaan pembangunan dari atas (top-down planning approach)
dengan pendekatan dari bawah (bottom-up planning approach). RUPTD ini juga diharapkan dapat mengatasi
paling sedikit em pat masalah Jakarta yang menonjol saat ini, yaitu (1) belum terkendali sepenuhnya laju
pertumbuhan penduduk dan penyebarannya, (2) belum adanya keserasian dalam usaha peningkatan
kegiatan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja, (3) masih rendahnya pemanfaatan sumberdaya manusia
dan disiplin sosial, dan (4) belum memadainya penyediaan prasarana/sarana kota dan kualitas lingkungan.
Kesadaran dan partisipasi masyarakat Jakarta dalam pembangunan kota Jakarta masih rendah. Untuk
menciptakan Kota Jakarta BMW masih perlu waktu dan saat ini boleh kita katakan lbukota masih Jakarta
BEMO. Terbukti dari pertambahan penduduk per tahun masih tinggi, orang seenaknya migrasi masuk
Jakarta, penyebaran penduduk masih mengarah ke Selatan padahal RUTR menentukan ke arah Barat-Timur.
Tingkat pendapatan masyarakat, sekitar 60% berpenghasilan rendah, 30% menengah dan hanya 10%
berpenghasilan tinggi. Yang berpenghasilan rendah, banyak yang tidak mampu mencicil rumah Perumnas
apalagi fasilitas BTN.
Sektor ekonomi lemah dan informal masih mengalami banyak hambatan (pedagang, kakilima, eceran,
kios, asongan tidak tenang), sadar wisata dan sapta pesona Jakarta belum berhasil menarik wisatawan,
tingkat pengangguran tinggi dan sulit memperoleh pekerjaan, dan pedagang di pasar lnpres terdesak oleh
munculnya pasar swalayan. Pengamalan ajaran agama masih bersifat semu, jenis-jeins pendidikan belum
mengarah pada kebutuhan, generasi muda belum berkembang ke arah pembentukan manusia yang
berkualitas tinggi, kreatif, terampil, produktif, dan mandiri, derajat kesehatan masyarakat di pemukiman
kumuh masih rendah, masih banyak masalah sosial kota yang sulit ditangani, kesadaran dan partisipasi aktif
masyarakat terhadap pembangunan masih rendah.
Sarana dan prasarana kota kurang memadai, jalan lingkungan khususnya di bilangan pemukiman
kumuh dan diperbatasan kota Jakarta dengan Botabek kurang baik, angkutan umum kota belum dapat
menampung arus penumpang di segala penjuru kota, sanitasi lingkungan kurang memadai, pencemaran
udara, air dan tanah meningkat, peremajaan lingkungan pemukiman kumuh selain masih bersifat uji coba
ternyata belum dapat dinikmati oleh masyarakat, pengembangan kota ke Selatan sulit dibendung, dan tanah
untuk pengembangan kota ke arah Barat-Timur sudah diserobot oleh calo tanah.
Dalam situasi banyaknya permasalahan kota Jakarta, kita tidak perlu bernafsu melakukan revolusi dari
BEMO ke BMW. Kebijaksanaan umum wilayah kota, pelaksanaan, pembiayaan dan anggaran pembangunan
yang telah digariskan oleh Pemda DKI Jakarta perlu didukung oleh semua pihak, aparat, swasta dan warga
kota dan koordinasi serta kerjasama yang harmonis antara Pemda DKI Jakarta dengan Pemda Jabar,
Botabek dan Pemda lainnya yang terkait.
Setahap demi setahap, lambat tapi pasti, setelah kesadaran masyarakat meningkat niscaya Jakarta
BMW akan dapat diwujudkan. Terbukti misalnya Jakarta yang semula kotor, tahun ini sudah bisa bersih.
Jakarta Pusat telah meraih piagam kota bersih 1990 kategori kota raya (nilainya 806 hanya terpaut sedikit di
bawah Bandung yang meraih Adipura dengan nilai 817). Penggusuran becak, pengaturan kios di tepi jalan,
pedagang kakilima, pedagang asongan, dan proses pembebasan tanah untuk peremajaan lingkungan sudah
dilakukan lebih manusiawi. Aparat Pemda yang semula dianggap angker, sekarang sudah lebih berwibawa
dan informasi perencanaan pembangunan kota lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan tahun lalu.

Jakarta Menuju BMW


Cukup bijaksana hasilnya jika prioritas pembangunan kota Jakarta diarahkan pada usaha peningkatan
prasarana dan sarana kota serta peningkatan kualitas lingkungan. Partisipasi warga kota terhadap pembangunan
kotanya, bisa diwujudkan mulai dari tahap pengumpulan data dan informasi, penentuan tujuan dan sasaran,

274
penentuan program analisis, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan. Jika RUTR dirinci ke
dalam RBWK dan RTK, maka sudah sepantasnyalah jika RUPTD juga dijabarkan ke dalam RUPTD wilayah
kota, kecamatan dan kelurahan sehingga potret RTK akan bisa dilihat bersama dengan RUPTD kelurahan
dan swasta serta masyarakat bisa menemukan peransertanya.
Mengingat potensi dan permasalahan di tiap wilayah kota berbeda-beda, maka program dan proyek
pembangunan masing-masing wilayah kota (Jakpus, Jakbar, Jaksel, Jaktim dan Jakut) juga berbeda-beda.
Jakarta Pusat misalnya, menonjolkan citra wisata Monas, Jalan Thamrin dan Sudirman, arena PRJ, hotel
mewah dengan Sogo-nya, Lapangan Banteng, Pasar Baru, Museum, lstana Negara, Sarinah, peremajaan
kota, dan upaya mengatasi kemacetan lalulintas. Jakarta Barat sebagai pintu gerbang Jakarta dan Pelud
Cengkareng berusaha meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kebersihan kota, meremajakan lingkungan
kumuh, membuka daerah pemukiman baru sekitar Kedoya dan Kebon Jeruk, industri kecil dan kerajinan, dan
pengelolaan pusat perbelanjaan.
Jakarta Selatan dijaga sebagai daerah resapan, pengendalian pembangunan diperketat, produksi
pertanian hortikultura dipelihara, dan jaringan jalan dan angkutan umum ke batas kota, Depok dan Tangerang
diperluas. Jakarta Timur sebagai kawasan industri dikendalikan agar tidak mencemari lingkungan. Gerbang
Jakarta ke bagian Timur ini didukung oleh pengembangan kota satelit di Kelapa Gading, Pula Gebang, dan
daerah sekitar Bekasi. Jakarta Utara perlu menciptakan keseimbangan lingkungan, khususnya kawasan
wilayah pesisir dan pantai serta Kepulauan Seribu. Pengamanan daerah dengan nilai historis seperti Sunda
Kelapa, tempat rekreasi Ancol dan pembukaan daerah baru di Barat Laut dan Timur Laut diprioritaskan.
Berpedoman pada tujuh be/as prioritas program RUPTD, penulis sarankan menjadi duapuluh program
partisipasi warga OK/ dalam pembangunan kota Jakarta. Pertama, peningkatan prasarana dan sarana kota
dengan penekanan pad a penyediaan jalan arteri, kolektor dan lokal terutama ke arah Barat-Timur.
Pengembangan di Barat dipusatkan sekitar Kebon Jeruk dan Kedoya yang akan tumbuh dengan sendirinya
dengan daerah pemukiman baru di Cileduk, Cipondoh, Serpong, dan Bumi Serpong Damai yang termasuk ke
dalam daerah Tangerang. Di Timur, dikembangkan Pula Gebang, Kelapa Gading, Ujung Menteng, Cakung
arah Babelan, dan kawasan pemukiman Pondok Gede dan sekitarnya. Daerah ini tumbuh cepat karena
bersama-sama dengan pengembangan di beberapa daerah di kota Bekasi. Pengembangan kota baru Bumi
Serpong Damai di Barat dan Bekasi Terpadu di Timur diharapkan dapat membendung migrasi ke Jakarta dan
bahkan menyebarkan penduduk Jakarta.
Kedua, pengelolaan angkutan umum kota yang tertib, lancar dan efisien. lni termasuk angkutan bis
kota, Kopaja dan Metro Mini, mikrolet, bajaj dan taksi. Sementara belum ditemukan kendaraan pengganti
becak, maka diharapkan agar bajaj masuk kampung. Secara bertahap diteliti kemungkinan penerapan sistem
angkutan umum massal tahun 2000 yang mengkombinasikan berbagai mode angkutan modern yang ada.
Ketiga, warga perlu dilibatkan dalam pengadaan perumahan khususnya bagi kelompok masyarakat
berpenghasilan rendah. Pekerja informal (buruh, tukang, dan pengusaha bahan bangunan) dapat berperanserta
dalam membangun rumah susun sewa sederhana dan rumah-rumah sewa untuk masyarakat tidak mampu.
Keempat, peningkatan upaya pengelolaan kebersihan kota dan kualitas lingkungan. Penanganan
kebersihan dan sanitasi perlu ditingkatkan. Prokasih perlu dilaksanakan di seluruh Jakarta. Tidak mustahil jika
sebagian dari ali ran Ciliwung di Jakarta bisa dijadikan temp at wisata perahu seperti di Amsterdam. Tekad
meraih Adipura dan menghindar dari julukan kota terjorok harus ada pada setiap warga kota Jakarta. Kelima,
penyediaan dan pemeliharaan taman dan ruang terbuka hijau dan pengendalian pencemaran. Taman yang
terlantar segera dipelihara baik oleh pemerintah, swasta maupun swadaya masyarakat. Tanah terbuka
diusahakan dapat ditanami pohon atau bunga agar menimbulkan kesan hijau dan tidak gersang. Keenam,
peningkatan aktivitas ekonomi dan industri. Dengan deregulasi dan kebijaksanaan lainnya, diharapkan
pengerahan modal untuk investasi meningkat dan penganekaragaman industri khususnya industri kecil bisa
diwujudkan.
Ketujuh, peningkatan peranan golongan ekonomi lemah melalui penyediaan tempat usaha, penataan
pasar, dan penciptaan iklim usaha yang sehat. Peran koperasi perlu ditingkatkan dalam mendukung
pengembangan golongan ekonomi lemah. Kedelapan, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan kualitas
angkatan kerja sehingga dapat memenuhi persyaratan kebutuhan tenaga kerja. Dimungkinkan juga adanya

275
alih profesi seperti pengemudi becak menjadi pedagang roti dan pedagang kakilima pindah menetap di pasar
lnpres. Remaja putus sekolah dan pelajar yang sedang menunggu kesempatan mengikuti pendidikan yang
lebih tinggi, hendaknya dapat memanfaatkan waktu luangnya dengan mengikuti berbagai kursus keterampilan
seperti bahasa, komputer, tata buku, kesekretariatan, atau mengikuti kegiatan lain yang bermanfaat.
Kesembilan, pengembangan pariwisata untuk meningkatkan jumlah wisatawan lokal maupun
mancanegara melalui pemantapan sapta pesona (aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah tamah, dan
kenangan). Aman, perlu diwujudkan oleh warga kota yang harus turut berpartisipasi dalam menciptakan kota
yang aman (keadaan yang memberi suasana tenang, tenteram, bebas dari rasa takut dan khawatir akan
keselamatan jiwa, raga, dan harta milik, bebas dari gangguan kekerasan dan kejahatan, dan aman dalam
menikmati fasilitas perkotaan).
Tertib merupakan kondisi teratur dan masyarakatnya disiplin. Tertib meliputi aspek peraturan yang
konsisten, waktu yang tepat, mutu pelayanan wisatawan yang tinggi, dan informasi yang mudah diperoleh.
Bersih berkaitan dengan sehat dan indah, terhindar dari bakteri dan hama penyakit. Lingkungan yang bersih
harus bebas sampah, limbah, pencemaran dan kotoran. Kota yang sejuk harus berkesan segar dan nyaman
yang dilengkapi dengan taman, penghijauan, ruang terbuka hijau, dan dilengkapi pot-pot tanaman atau
bunga.
Jakarta harus indah, teratur, tertib, dan serasi. Wajah kota, hotel, bangunan bersejarah, jalur wisata
harus terkesan indah dan enak dilihat. Warga kota harus bersikap ramah. Ramah tamah warga kota perlu
diwujudkan dalam tindakan yang akrab, sopan, berkomunikasi, memberikan pelayanan dan ringan kaki untuk
membantu tanpa pamrih. Kenangan artinya Jakarta nyaman, sukar dilupakan, meliputi aspek akomodasi,
atraksi budaya, perilaku warga Jakarta, makanan khas daerah, dan cinderamata kota Jakarta. Upaya
mewujudkan sapta pesona Jakarta perlu dilakukan secara berencana, terkoordinasi dan terarah dalam suatu
pola. Langkah kampanye sadar wisata dan sapta pesona dapat dilakukan secara perorangan, kelompok
masyarakat, kalangan swasta dan pemerintah.
Lebih rinci lagi, langkah-langkah upaya perwujudan sapta pesona meliputi (1) kalangan pejabat
pemerintah terutama yang terkait dengan kegiatan kepariwisataan (aparat harus bersikap dan bertindak
memberi contoh teladan, menggerakkan, mendorong, dan mengarahkan orang disekitarnya, (2) kalangan
industri pariwisata dan industri lainnya yang terkait, (3) kalangan pemuka agama, adat dan tokoh masyarakat,
(4) kalangan pemuda, pelajar dan mahasiswa (5) kalangan cendekiawan dan ilmuwan, (6) masyarakat umum,
khususnya yang bertempat tinggal di kawasan, obyek dan jalur wisata (7) kalangan organisasi politik, (8)
kalangan organisasi kemasyarakatan termasuk LSM (9) kalangan pengelola seni budaya, dan (10) kalangan
media massa dan media tradisional.
Kesepuluh, pengendalian pertumbuhan penduduk dari 3,7% per tahun menjadi 3,5% (1 ,6% alamiah
dan 1,9% migrasi). Upaya ini harus dibarengi dengan penyuluhan, pembukaan kota-kota baru dan satelit di
sekitar Jakarta sebagai daerah penyangga, kerjasama dengan pemerintah Botabek, penyediaan lapangan
kerja secara merata di sekitar Jakarta khususnya di batas kota, pelaksanaan program KB, menunda
perkawinan usia muda, transmigrasi, pemindahan pusat perkantoran ke pinggir kota (seperti yang dilakukan
oleh Mabes ABRI), memperluas jaringan angkutan umum dan Kebijaksanaan kota tertutup. Kesebelas
pengendalian penyebaran penduduk ke arah Barat-Timur. Tanpa pengembangan prasarana dan sarana kota
di arah Barat-Timur, pengendalian harga tanah, pengawasan pembangunan yang ketat, penyediaan angkutan
umum yang memadai jangan mengharapkan kawasan Barat-Timur berkembang cepat.
Keduabelas, peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan perlu ditingkatkan, kualitas guru,
dosen, dan pengajar kursus juga perlu ditingkatkan, disiplin murid harus dipelihara, dan waktu luang anak
sekolah harus diisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Kenakalan remaja, minuman yang memabukkan, dan
tempat hiburan yang kurang mendidik, perlu dihindari oleh para pemuda. Ketigabelas, pemantapan kerukunan
antar umat beragama. Pembinaan mental dan moral keagamaan dapat dilakukan melalui penyuluhan,
penataran, keikutsertaan dalam kegiatan pengajian dan pertemuan keagamaan, dan pengamalan ajaran
agama di dalam masyarakat. Keempatbelas, pemeliharaan dan pengembangan seni-budaya agar tidak
punah. Kesenian Betawi ondel-ondel yang merupakan daya tarik wisata kota Jakarta perlu dipertahankan.
Pasar lkan, Sunda Kelapa, Museum, dan berbagai tempat budaya lainnya perlu dijaga dengan baik dan

276
dilestarikan.
Kelimabelas, peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui tindakan promotif, preventif dan
kuratif. Di samping itu juga dilakukan upaya rehabilitatif melalui peningkatan sarana puskesmas, rumah sakit
dan rumah sakit pembantu, posyandu, peningkatan gizi masyarakat, pelayanan dokter 24 jam, dan
pemberantasan penyakit menular. Kesemrawutan pelayanan Puskesmas dan rumah sakit terhadap peserta
asuransi kesehatan pegawai negeri, perlu disederhanakan. Keenambelas, peningkatan kegiatan yang bersifat
memulihkan, melayani, dan memelihara kesejahteraan sosial bagi perorangan dan keluarga penyandang
masalah sosial sebagai bagian daripada upaya mewujudkan kesejahteraan sosial. Ketujuhbelas, peningkatan
disiplin sosial, kesadaran masyarakat terhadap peraturan, hukum, dan perundang-undangan. Caranya dapat
dilakukan dengan meningkatkan kegiatan penerangan dan penyuluhan, pendidikan dan kursus mengenai
hukum, dan penciptaan iklim yang menunjang penegakan hukum.
Kedelapanbelas, penciptaan aparatur pemerintah yang berdayaguna, berhasilguna, bersih dan
berwibawa. Tanpa aparat yang jujur, jangan diharapkan partisipasi dan peranserta masyarakat dalam
pembangunan kota akan meningkat. Tindakan aparat yang kurang terpuji dalam proses pembebasan tanah,
petugas razia becak yang over-acting, pemberian informasi perencanaan ketatakotaan yang harus menggunakan
uang, pengurusan izin bangunan yang berbelit-belit, dan sulitnya memperoleh data dan informasi dari
pejabat, harus tidak terjadi lagi jika aparat ingin dipercaya warga kota. Keteladanan aparat Pemda sangat
didambakan oleh semua warga kota, apalagi oleh masyarakat kelas terbawah di lbukota.
Kesembilan belas, penanganan kegiatan yang bersifat khusus seperti peningkatan peran serta
masyarakat dalam meningkatkan gotong royong, masalah peningkatan citra wisata Monas, pengelolaan
kawasan Kepulauan Seribu, peningkatan pelayanan Taman Mini Indonesia lndah, operasi bebas becak,
penyaluran tenaga kerja pengemudi becak, penciptaan pasar yang bersih dan pengisian pasar lnpres yang
kosong, keamanan di perempatan jalan, dan partisipasi warga dalam kegiatan siskamling. Keduapuluh,
penanganan permasalahan yang strategis ditinjau dari kepentingan nasional. Yang termasuk ke dalam
penanganan ini antara lain kegiatan pedagang asongan, pemulung, perampokan di bis kota, taksi dan
kendaraan angkutan umum lainnya, kerawanan sosial, dan berbagai kegiatan lainnya yang menyangkut
aspek ipoleksosbudhankam.

Target
Apalah artinya program yang muluk-muluk jika tidak dilaksanakan. Sebaiknya ditentukan target RUPTD
tiap wilayah secara jelas, misalnya menjelang HUT DKI ke-464 telah dilakukan peremajaan lingkungan
pemukiman kumuh seluas 2.500 Ha, rumah susun sewa sederhana telah dibangun 3.000 unit, kegiatan
prokasih sudah dilaksanakan di 5 sungai, stasiun transfer sampah dapat dibuang di Cakung, areal tempat
pembuangan sampah akhir dengan sistem sanitary landfill di Bantar Gebang meningkat dari 48 Ha menjadi
108 Ha, Jakarta Pusat atau Jakarta Barat (atau wilayah kota Jakarta lainnya) meraih pi ala Adipura 1991,
jumlah wisatawan mancanegara tahun 1991, meningkat berkat keberhasilan program sadar wisata dan sapta
pesona, dan sebagainya.
Jika partisipasi warga kota (yang berdomisili di Jakarta, yang penduduk musiman, penduduk nglaju,
dan cendekiawan serta kalangan ilmiah dari luar Jakarta yang menjual keterampilannya di Jakarta) dapat
ditingkatkan dalam berbagai bidang pembangunan kota Jakarta, maka percayalah tidak akan lama lagi BEMO
Jakarta akan berubah bentuknya menjadi Jakarta BMW.
Angkatan Bersenjata 28-29 Juni 1990

277
Jakarta: Dengan Teguh Beriman Mengentaskan
Kemiskinan

Jakarta telah berubah dari Jakarta BMW (Bersih, Manusiawi, dan ber-Wibawa) ke Jakarta Teguh
Beriman (teruskan gerakan untuk hidup bersih, indah menarik, manusiawi, dan aman). Kemajuan pembangunan
Jakarta yang pesat ternyata masih dibarengi oleh peningkatan luas kawasan permukiman kumuh, peru mahan
penduduk yang makin sempit dan kurang nyaman, ketimpangan antara gedung perkantoran mewah dan
pusat perbelanjaan yang aduhai dengan Pasar lnpres yang menyedihkan, kendaraan mewah yang selalu
didekati oleh pedagang asongan, berderetnya di tepi jalan para pedagang kakilima dan pemulung.
Urbanisasi terus meningkat dan sulit ditahan, kehidupan kota Jakarta makin keras, kenyamanan di perjalanan
makin menurun, dan keselamatan di dalam angkutan umum makin tidak terjaga.
Menghadapi ketimpangan, ketidakmerataan, kemiskinan, dan segalanya yang sebenarnya tidak
diinginkan ini, memerlukan pemikiran serius, membutuhkan perumusan untuk merumuskan kebijaksanaan
dan strategi Uakstra) 25 tahun dan rencana strategi/strategis (renstra) pembangunan DKI Jakarta 5 tahun
(1992-1997), melalui analisis SWOT yang teliti dan akurat (SWOT adalah singkatan dari strength, weaknesses,
opportunities, dan threats atau KEKEPAN (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman). Renstra 1992-1997
telah menetapkan 9 sasaran prioritas yang terdiri atas sasaran strategis pembinaan aparatur, peningkatan
pelayanan kepada masyarakat, keterpaduan pembangunan sosial kemasyarakatan, pembinaan kependudukan,
penanganan permukiman kumuh, kebersihan dan penghijauan, peningkatan penerimaan daerah, lalulintas
dan angkutan umum, dan pembinaan sektor informal. Melalui Jakarta Teguh Beriman, diharapkan ketimpangan
dan ketidakmerataan dapat ditanggulangi, setidaknya diupayakan peningkatan kesejahteraan masyarakat
dalam kehidupan ibukota yang sedang menuju kota metropolitan.
Prioritas Program Pemda DKI Jakarta ditetapkan pada empat kegiatan, yaitu mengendalikan laju
pertumbuhan penduduk serta penyebarannya, meningkatkan kegiatan ekonomi dan memperluas kesempatan
kerja, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan disiplin sosial, dan mengembangkan prasarana dan
sarana kota serta meningkatkan kualitas lingkungan. Dalam upaya mewujudkan Citra Jakarta, dari 1967
sampai dengan 1994, motto lbukota Jakarta terus disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan permasalahan
yang timbul, yaitu dari Jakarta Kota Tertutup (Gubernur Ali Sadikin) 1967-1977, menjadi Jakarta Religious
(Gubernur Tjokropranolo) 1977-1982, GMK3LH (Gerakan memasyarakatkan kebersihan, ketertiban,
kesejahteraan dan lingkungan hidup) 1982-1987 (Gubernur Soeprapto), Jakarta BMW (bersih, manusiawi,
dan berwibawa) 1987-1992 (Gubernur Wiyogo) dan Jakarta Teguh Beriman 1992-1997 (Gubernur Suryadi
Sudirdja).

Teguh Beriman
Motto Teguh Beriman dimaksudkan sebagai pendekatan sistem (system approach), himbauan moral,
ajakan berpartisipasi, dan sekaligus pedoman yang terarah kepada seluruh aparat pemerintah DKI Jakarta
khususnya dan warga ibukota umumnya untuk menciptakan Jakarta sebagai kota yang bersih, indah, tertib,
nyaman, aman dan sekaligus juga modern, dinamis dan religius. Dengan kata lain, Jakarta Teguh Beriman
bertujuan mewujudkan masyarakat DKI Jakarta yang Pancasilais, dengan ciri sejahtera, adil dan makmur
yang merata, material dan spiritual, tertib, bersih, indah, aman, dinamis, serasi, dan seimbang dengan
lingkungan alam dan sekitarnya. Teguh Beriman ini juga merupakan upaya dalam rangka pembangunan kota
Jakarta berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Ada enam landasan Jakarta Teguh beriman, yaitu landasan ldiil (Pancasila), konstitusional (UUD
1945), operasional (Pola Dasar Pembangunan Daerah), historis (berdirinya kota Jakarta, Proklamasi
Kemerdekaan Rl), hukum (UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, UU
Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan DKI Negara Republik Indonesia Jakarta dan PP

278
Nom or 45 Tahun 1992 tentang Otonomi DT II), dan landasan normatif (ajaran agama, etika, tata nilai dan
tradisi luhur yang hidup dan berlaku dalam masyarakat).
Motto Jakarta Teguh Beriman mencakup berbagai aspek kehidupan, moral dan institusional, individual
dan sosial, kultural dan struktural, fisik dan non-fisik, memiliki muatan multidimensional: dimensi manusia,
dimensi pranata sosial, dan dimensi fisik berupa tata kotanya. Yang menjadi sasaran atau obyek motto ini
adalah aparat pemerintah DKI Jakarta dan warga DKI Jakarta, termasuk mereka yang tinggal di Jakarta tetapi
memperoleh penghasilan dari kehidupan di ibukota. Teguh Beriman mengandung dua pengertian, yaitu
pengertian umum (harfiah) dan pengertian khusus. Dari segi harfiah, teguh berarti kukuh kuat, erat kuat, tetap
tidak berubah, diartikan secara psikologis sebagai orang yang berjiwa teguh, yang tidak mudah goyah dalam
memegang suatu pendirian atau keyakinan. Pribadi seperti ini senantiasa bersikap konsisten, tabah, ulet dan
istiqamah, tidak mudah terbawa arus yang belum jelas asal-usul dan arahnya.
lman, berarti sikap percaya dan mempercayakan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. lmplikasi
psikologis dan praktis dari iman melahirkan pribadi yang teguh dalam prinsip, senantiasa menjaga amanah
yang dipikulkan kepadanya. Orang yang teguh beriman, selalu memelihara amanah karena ia yakin apa pun
yang diperbuatnya tidak pernah luput dari penglihatan Tuhan, dan lebih dari itu, hanya kepada Tuhan Maha
Esalah pada akhirnya segala urusan hidup ini dimintakan ridla-Nya, Kepada-Nya kita berserah diri, dari-Nya
kita berasal dan kepada-Nya kita akan kembali.
Pemerintah DKI Jakarta menegaskan bahwa dalam pengertian yang luas, sikap beriman melibatkan
tiga unsur yang bekerja secara terpadu, yaitu hati, lisan, dan perbuatan. Kemauan tidak cukup hanya
dinyatakan dalam hati (niat, i'tiqad), tetapi harus tercermin di dalam ucapan (lisan, tutur kata) dan
dipraktekkan dalam sikap dan perilaku {perbuatan). Jadi, teguh beriman mengisyaratkan suatu citra dan cita
kualitas orang atau masyarakat yang senantiasa religius, pribadi yang kukuh, ulet, tahan uji dan darinya
terpancar sifat-sifat mulia karena hati, pikiran, ucapan dan tindakannya senantiasa didasari niat pengabdian
pada Tuhan dan wujud pengabdiannya itu adalah berupa pelayanan kepada sesama manusia serta
memelihara hubungan harmonis dan santun terhadap sesama mahluk-Nya.
Dalam pengertian khusus (operasional), teguh beriman merupakan kependekan dari kalimat Te (ruskan)
g(gerakan) u(untuk) h(hidup ber(sih) i(indah menarik) m(anusiawi) (am)an. Maksud dari kata-kata tersebut
adalah teruskan (lanjutkan, pelihara) gerakan (usaha, kegiatan, perbuatan, aktivitas), untuk (buat, bagi,
menuju) hidup (bergerak, bekerya, berkreasi, tumbuh, berkembang), bersih (bebas dari kotoran dan pencemaran,
baik lahir maupun batin, /ingkungan sosial maupun a/am), indah menarik (bagus, baik, penuh pesona, serasi,
tidak menjemukan), manusiawi (peri/aku individu dan sosial yang senantiasa mencerminkan sifat atau kualitas
nilai luhur yang senantiasa menjadi dambaan manusia yang bersifat fitri, yang se/alu berorientasi pada
kebaikan, keindahan,dan kebenaran serta kesucian), dan aman (tenteram, tenang, terbebas dari rasa takut
dan khawatir baik dari gangguan mental maupun fisik).
Dalam penjabarannya yang lebih luas, motto teguh beriman mempunyai cakupan makna serta pesan
yang dalam dan luas, mengajak warga DKI Jakarta untuk memiliki kualitas pribadi yang religius, kukuh
pendirian, ulet, serta tidak mudah tergoda dan terbawa oleh perkembangan zaman dan situasi yang
menjauhkan dari derajat taqwa kepada Tuhan. Lebih khusus, motto ini merupakan tiga gerakan nyata yang
bersifat konkrit-operasional. Pertama, gerakan hidup bersih lahir dan batin, lingkungan pergaulan ataupun
lingkungan alam, dalam kehidupan birokrasi ataupun sosial sehingga tercipta suasana yang manusiawi dan
memberikan kenyamanan, serta ketenangan hidup warga DKI Jakarta.
Kedua, usaha dan gerakan yang berkesinambungan dalam rangka menjadikan Jakarta sebagai kota
yang ideal, yang memenuhi standar internasional baik dalam kapasitasnya sebagai ibukota Rl maupun
sebagai kota metropolitan yang merepresentasikan harkat dan martabat bangsa Indonesia di tengah
pergaulan dunia internasional. Ketiga, kesungguhan dan keteguhan hati untuk senantiasa memelihara dan
menghidupkan suasana religius sehingga warga DKI Jakarta tetap teguh beriman, tidak mudah tergoda oleh
ekses-ekses negatif dari laju modernisasi dan globalisasi.
Gubernur DKI Jakarta, Suryadi Sudirdja, dan Wagub Bidang Pemerintahan, ldrus, menegaskan bahwa
antara pengertian umum dan pengertian khusus motto Teguh Beriman terjadi hubungan yang dialektis, yang

279
satu menjelaskan dan memperkukuh (memperkokoh) yang lain. Teguh Beriman memberikan spirit, dasar
moral dan agama dan memberikan kerangka operasional yang fragmatis. lman memberikan arah, orientasi
dan dimensi transendental dari kehidupan manusia. Tanpa iman, hidup tidak jelas ujung pangkalnya, dangkal
dan kehilangan makna. lman tanpa amal adalah iman yang kosong, tidak berbuah dan tidak fungsional.
Realisasi iman adalah hidup bersih, indah menarik, manusiawi dan aman.
Bersih ditandai oleh bebas dari kotoran dan pencemaran (lahir dan batin), bebas pencemaran
lingkungan, udara, air dan tanah. Bersih adalah tidak kotor, jernih, suci, murni, terbebas dari kotoran
kesalahan dan dosa. Bersih dan kebersihan merupakan indikasi sikap beriman, menuju hidup sehat sejahtera
lahir dan batin. Bersih meliputi kebersihan badan, pakaian, tempat tinggal, peralatan, lingkungan halaman,
jalan, sekolah, tempat bekerja, tempat ibadah, kampung, dan sebagainya. Bersih batin ditandai oleh hati dan
pikiran yang jernih, terhindar dari dengki, dendam, curang dan fitnah. Juga bersih dari hal-hal yang cenderung
merusak mental masyarakat, seperti poster, majalah, iklan, dan film yang meracuni mental masyarakat.
Bersih lingkungan psikologikal dan spiritual selalu berusaha memelihara dan menghidupkan tradisi dan ajaran
keagamaan.
lndah menarik diartikan sebagai elok, mempesona, peduli (mengindahkan, mempedulikan), mempunyai
daya tarik mengesankan sifat serasi, selaras, dan seimbang sehingga mendatangkan rasa aman, nyaman,
dan lega bagi yang melihatnya. Keindahan menyangkut karya seni, benda, pemandangan, dan kualitas
pribadi seseorang serta perilaku sosial masyarakatnya. Warga Jakarta harus berusaha menjadikan kota
Jakarta sebagai wilayah yang indah menarik, perlu diupayakan mulai lingkungan terkecil (keluarga, lingkungan
kerja, pergaulan) melalui tutur kata, sikap, karya, dan perbuatan.
Manusiawi merupakan sikap, kualitas hidup, perilaku individu maupun sosial yang ideal, yang
memberikan orientasi kehidupan manusia menuju kehidupan yang bermartabat, baik di mata sesama
manusia maupun menurut ajaran agama. Manusiawi merupakan perwujudan manusia religius, didasari iman
yang teguh, berusaha selalu mendapatkan ridla-Nya, memelihara jaringan interaksi moral dan sosial,
memperhatikan kaidah moral, bisa membedakan hak dan kewajibannya.
Aman diartikan bebas dari rasa takut (gelisah, khawatir), tenteram, lepas dari bahaya (kerusuhan,
kekacauan, perang), bebas dari segala jenis atau bentuk gangguan dan ancaman fisik, mental, material,
sosial, dan lingkungan, bebas dari bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi, angin topan),
kesemuanya mendukung pertahanan keamanan yang stabil dan mantap. Dari sisi pertahanan-keamanan,
perlu diperhatikan bahwa penanganan masalah keamanan dan ketertiban merupakan tanggungjawab seluruh
anggota masyarakat, pemeliharaan keamanan dan ketertiban erat hubungannya dengan pembinaan stabilitas
nasional, keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan salah satu tujuan pembangunan, agar rakyat
merasa aman lahir dan batin, bebas dari ketakutan akan ancaman luar dan bebas dari kecemasan akan
gangguan dari dalam.

Kemitraan
Teguh Beriman mengintegrasikan lingkungan hidup ke dalam pembangunan nasional dan pembangunan
daerah dalam konteks pembangunan perkotaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang
memperhatikan pengembangan dan penataan ruang, kepatuhan terhadap baku mutu lingkungan dan baku
mutu limbah, konsistensi terhadap analisis mengenai dampak lingkungan, pengendalian pencemaran lingkungan,
rehabilitasi dan reklamasi lingkungan, program pencapaian kota bersih yang meraih Adipura dan Adipura
Kencana, program kali bersih, program langit biru, program siar bersih laut (SIBELUT), dan program daur
ulang Indonesia (PEDULI), konservasi sumber daya hayati, peningkatan peran serta masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan, dan melakukan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Untuk mewujudkan Jakarta Teguh Beriman, diperlukan kemitraan (pemerintah, swasta, dan masyarakat)
dalam berbagai bidang pembangunan. Koordinasi pembangunan pada tingkat daerah perlu terus ditingkatkan.
Peran serta masyarakat dalam pembangunan ibukota Jakarta perlu ditumbuhkembangkan. Semua aparat
pemerintah DKI Jakarta harus berperan nyata dalam menanamkan, menumbuhkan, mengembangkan dan
menerapkan motto Jakarta Teguh Beriman. Kalangan Swasta dan Dunia Usaha perlu berperanserta dan
berpartisipasi nyata dalam melaksanakan motto Jakarta Teguh Beriman. Peran serta bukan hanya dalam

280
bentuk bimbingan dan pengawasan, tetapi dalam semua tahap pembangunan, mulai dari perencanaan
sampai ke pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, pengendalian, dan yang tidak kalah pentingnya adalah
keteladanan.
Pelaksanaan motto Teguh Beriman merupakan tanggungjawab semua pihak, keluarga, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, masyarakat, swasta, dan pemerintah. Para ulama dan
pemuka agama, key person, pakar, figur kunci, pemimpin opini, dituntut untuk berperan nyata dalam
mewujudkan motto Teguh Beriman. Aparat Pemerintah DKI Jakarta, pada tingkat Wilayah Kota, Kecamatan,
Kelurahan, bahkan sampai ke RW dan RT, perlu menjabarkan program-program motto Teguh Beriman
disesuaikan dengan situasi dan kondisi wilayahnya masing-masing.

Pengentasan kemiskinan
Upaya mengentaskan kemiskinan di DKI Jakarta sebagai tindak lanjut lnpres Nomor 5 Tahun 1993
tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan (Program lnpres Desa Tertinggal, IDT), perlu diarahkan
untuk mengatasi ketertinggalan dan kemiskinan permukiman nelayan, permukiman wilayah yang berbatasan
dengan Jabar/Botabek, permukiman kumuh, permukiman sepanjang kanal dan bantaran sungai, kiri-kanan rei
kereta api, kawasan yang tinggal di taman dan ruang terbuka hijau, serta kawasan Kepulauan Seribu. Peran
serta masyarakat secara sendiri-sendiri maupun berkelompok, pada tahap perencanaan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi, maupun pengendalian, hendaknya didayagunakan Pemda DKI Jakarta (aparat
Dinas/Biro sampai ke tingkat wilayah Kota, Kecamatan, dan Kelurahan).
Partisipasi berbagai kelompok LSM dan kelompok sosial dalam upaya pengentasan kemiskinan perlu
disalurkan ke tiap daerah. Pemerintah DKI Jakarta perlu membagi habis program pengentasan kemiskinan di
tiap kampung/kelurahan, siapa melakukan apa dan dengan target yang jelas. Pokja-pokja PKK (penghayatan
dan pengamalan Pancasila serta gotong royong: pendidikan, ketrampilan, dan kehidupan berkoperasi;
pangan, sandang, dan papan; kesehatan, lingkungan hidup, dan perencanaan hidup bersih dan sehat),
program LSM, yayasan sosial, dan organisasi kemasyarakatan/keagamaan (bimbingan, penyuluhan, dan
bantuan keterampilan/sosial). UDKP (Unit Daerah Kerja Pembailgunan) dan LKMD (Lembaga Ketahanan
Masyarakat Desa: dalam hal ini Masyarakat Kelurahan), dan Koperasi perlu secara aktif melaksanakan
program pengentasan kemiskinan, antara lain dalam memperbaiki lingkungan permukiman dan ikut membantu
program penyediaan rumah sangat sederhana dan rumah susun sewa sederhana.
Jika Jakarta berhasil dibangun menjadi service city, niscaya lambat laun kemiskinan akan berkurang,
dan masyarakat Jakarta akan terbiasa hidup produktif, efisien, dan efektif, mendayagunakan waktu sebaik
mungkin, hidup dinamis, dan selalu ingin maju. Perwujudan Jakarta Teguh Beriman, Jakarta service city, Jakarta
Megapolitan, membutuhkan partisipasi aktif warga kotanya. Partisipasi masyarakat disesuaikan dengan
kemampuan dan keahlian masyarakat itu sendiri, misalnya partisipasi swasta (teknologi, percontohan,
permodalan, bantuan), tenaga ahli (penelitian, bimbingan, penyuluhan, seminar, workshop, perencanaan
pembangunan), tokoh masyarakat (keteladanan, rasa kebersamaan, gotong royong), tokoh keagamaan
(hidup beragama, tolong menolong), PKK (pengelolaan kebersihan kota dan pembinaan ketrampilan).
Departemen dan Lembaga Pemerintah Non-Departemen (penyediaan infrastruktur, tenaga instruktur, program
sektoral), media massa (publikasi dan dokumentasi yang sehat), tenaga pengajar (pendidikan dan
pembudayaan), generasi muda (pembinaan dan pengembangan kegiatan kepemudaan dan olahraga), dan
peran wanita (peningkatan peran wanita dalam pembangunan).
Partisipasi masyarakat ini bisa dilakukan secara bebas dan spontan, didorong oleh lingkungan,
partisipasi umum, langsung atau tidak langsung, terorganisasi atau tidak terorganisasi, intensif atau ekstensif,
lingkup terbatas atau tidak terbatas, sangat efektif atau asal ikut berpartisipasi, aktif atau pasif, pada tiap
tingkatan (keluarga, lingkungan masyarakat, kelurahan, kecamatan, wilayah kota atau DKI Jakarta).
Angkatan Bersenjata, 21 Juli 1994

281
Selamat Jalan Wiyogo, Selamat Datang Surjadi,
Selamat Bekerja Basofi
Menghadapi kepergian Wiyogo dan kehadiran Surjadi sebagai Gubernur DKI Jakarta, serta pada saat
Basofi masih Wakil Gubernur DKI Jakarta, kelihatannya saat yang paling tepat untuk melihat kembali
permasalahan lbu Kota dan apa yang perlu diprioritaskan oleh Gubernur baru. Rencana Umum Pembangunan
Tahunan Daerah (RUPTD) DKI Jakarta 1992/1993 mengidentifikasi empat masalah pokok kota Jakarta, yaitu
(1) belum terkendali sepenuhnya laju pertumbuhan penduduk dan penyebarannya, (2) belum adanya
keserasian dalam usaha peningkatan kegiatan ekonomi dan perluasan kesempatan kerja, (3) masih
rendahnya pemanfaatan sumber daya manusia dan disiplin sosial, dan (4) belum memadainya penyediaan
prasarana dan sarana kota serta kualitas lingkungan.
Sapta Pesona Wisata dan Gerakan Sadar Wisata cukup berhasil, Prokasih dan Gerakan Ciliwung
Bersih telah memasyarakat, DKI juara pertama penulisan NKLD (Neraca Kependudukan dan Lingkungan
Hidup) tahun ini, penataan taman Monas, Jakarta Pusat meraih Piala Adipura dan Jakarta Selatan meraih
Piagam Kota Bersih, Stasiun Transfer Sampah di Cakung mulai beroperasi, Pemilu 1992 dan KTT Non Blok
X telah berjalan lancar. Di samping itu, pembebasan lingkungan pemukiman kumuh Angke dan Tambora
berjalan lancar dan pembebasan lingkungan kumuh Kampung Sawah akhirnya tuntas pada waktunya.
Pembangunan Terminal Blok M dan Blok M Mall yang merupakan salah satu ciri kota metropolitan juga telah
mulai digunakan. lni merupakan gambaran keberhasilan kepemimpinan Wiyogo selama masa jabatannya
memimpin Jakarta BMW.
Pekerjaan rumah buat Surjadi masih cukup banyak, antara lain permasalahan sosial, ketimpangan
pendapatan penduduk, migrasi dan tingkat urbanisasi yang tinggi, kemacetan lalulintas, disiplin sosial, masih
rendahnya tanggung jawab masyarakat, angkutan umum yang kurang aman, masih banyaknya penodongan
terhadap sopir taksi, pemindahan terminal bis Cililitan ke Kampung Rambutan, dan mencari alternatif
pemindahan terminal Pulogadung, pembangunan yang harus sesuai dengan tata ruang, RUTR, RWBK, dan
RTK, menghindari kasus dan polemik pembangunan Pantai lndah Kapuk, dan berbagai masalah
ketenagakerjaan.
Tugas lain di depan mata adalah menyiapkan dan meningkatkan fasilitas olah raga menuju kemungkinan
penyelenggaraan Olimpiade 2008 di Jakarta dan mendukung upaya perwujudan pengarahan Presiden pada
pembukaan Raker Depparpostel 1991 agar dasawarsa 1990-an dijadikan sebagai Dasawarsa Kunjungan
Indonesia. Pengarahan Presiden tersebut melibatkan Menparpostel, Meneg KLH, Menristek, Menpora.
Meneg UPW, untuk bersama-sama mengkaji persiapan menghadapi tahun-tahun lingkungan hidup,
telekomunikasi, 50 tahun kemerdekaan Rl, tahun bahari dan dirgantara 1996 yang diisi dengan Indonesia Air
Show dan Indonesia Maritime Show 1996 (sepuluh tahun setelah Air Show 1986), tahun remaja dan olah
raga, tahun peranan wanita, boga dan busana, tahun seni, karya dan rekayasa, serta tahun pemanfaatan
teknologi untuk peningkatan kualitas hidup dalam periode 1993-2000. Satu hal lagi yang tidak kalah
pentingnya adalah merampungkan Peraturan Pemerintah yang menjabarkan UU Nomor 11 Tahun 1990.

UU Nomor 11 Tahun 1990


UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus lbukota Negara Republik
Indonesia Jakarta (DKI NRI Jakarta) mempunyai arti sangat panting bagi Gubernur DKI Jakarta, karena itu di
tahun 1992 ini dan dalam menyongsong RepelitaV I, PP Pemerintahan DKI NRI Jakarta harus diselesaikan.
UU ini menetapkan Jakarta sebagai lbukota NRI mengemban fungsi-fungsi pusat kegiatan kehidupan
ekonomi dan politik, penyelenggaraan pemerintahan Negara, penyelenggaraan acara kenegaraan dan acara
resmi lainnya yang diselenggarakan Pemerintah Pusat, pusat penyelengggaraan kegiatan-kegiatan nasional,
regional dan internasional di Indonesia, serta mempunyai nilai panting dalam sejarah perjuangan bangsa
maupun ketatanegaraan Indonesia.

282
UU Nomor 11 Tahun 1990 betisi beberapa ketentuan penting yang perlu dijabarkan lebih lanjut dalam
PP. Pertama, ketentuan yang cukup menarik adalah pernyataan bahwa Jakarta yang disebut sebagai DKI
NRI Jakarta, mengingat pertumbuhan dan perkembangannya dapat mempunyai dalam wilayahnya susunan
pemerintahan dalam bentuk lain yang sejauh mungkin disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam UU
ini, yang pengaturannya ditetapkan dengan UU. Penjabarannya sudah tentu harus mengacu pada UU Nomor
5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah dan prinsip desentralisasi serta Otonomi Daerah
Tingkat II. Dengan ketentuan tadi, Pemerintah DKI Jakarta dapat membentuk dan mengemban perangkat
Daerah dan Wilayah yang lebih luwes dan dinamis sesuai dengan kebutuhan nyata dengan tetap memperhatikan
prinsip daya guna dan hasil guna.
Kedua, pengaturan tentang kedudukan, pembagian wilayah, penyelenggaraan pemerintahan dan
pembiayaannya. Jakarta merupakan pusat kegiatan pemerintah Negara yang juga merupakan daerah
khusus. Tegasnya, pemerintahan kota Jakarta berbentuk Pemerintah DKI NRI Jakarta. Ketiga, dengan UU
11/1990 ini kelihatannya terbuka peluang peninjauan kembali batas-batas wilayah lbu Kota. Tidak tertutup
kemungkinan Kotip (suatu saat Kotamadya Tangerang, Bekasi, dan Depok) masuk ke dalam DKI NRI
Jakarta, atau bahkan termasuk Kotamadya Bogor. Keempat, Wilayah DKI NRI Jakarta dibagi dalam Wilayah-
wilayah Kotamadya, Kecamatan, dan Kelurahan. Pembentukan, perubahan, nama batas, dan penghapusan
Wilayah Kotamadya dan Kecamatan ditetapkan dengan PP, sedangkan pembentukan, nama dan batas
Kelurahan diatur dengan Perda sesuai dengan pedoman yang ditetapkan Mendagri.
Kelima, Gubernur DKI NRI Jakarta di samping menyelenggarakan hak, wewenang, kewajibannya
(pasal 22 dan Pasal 81 UU 5/1974), juga menyelenggarakan pemerintahan yang bersifat khusus sebagai
akibat langsung dari kedudukan Jakarta sebagai lbukota Negara. Sifat khusus, ditujukkan dengan tempat
penyelenggaraan Sidang Umum MPR, pusat kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara, pusat kehidupan
politik nasional, tempat penyelenggaraan acara-acara kenegaraan, tempat kedudukan kedutaan negara lain,
dan tempat pengaturan dan pembinaan wilayah DKI Jakarta sehingga mencerminkan citra masyarakat
Indonesia yang berkepribadian nasional.
Keenam, Gubernur DKI NRI Jakarta bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dalam melaksanakan
tugas pemerintahan dan pembangunan, Gubernur Kepala Daerah mendapatkan petunjuk dan bimbingan dari
Mendagri. Dengan ketentuan ini tepat sekali pernyataan Basofi (Jayakarta, 30 September 1992) yang
menyatakan bahwa Gubernur Jakarta sebaiknya dipilih dan ditentukan langsung oleh Presiden, di samping
mengikuti tatacara yang berlaku tentunya. lni beralasan, karena Gubernur DKI NRI Jakarta akan selalu
mendampingi kegiatan kenegaraan dan pemerintahan, bahkan akan selalu duduk di samping Presiden dalam
menghadapi tamu-tamu penting dari negara lain. Ketujuh, perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan
pembangunan DKI Jakarta dilaksanakan berdasarkan Rencana lnduk Pembangunan DKI Jakarta 2005, perlu
segera direvisi menjadi RIK DKI NRI Jakarta Penyusunan RIK ini mempertimbangkan masukan dan
bimbingan Departemen, Lembaga, dan badan-badan Pemerintah lainnya serta masukan dari hasil koordinasi
dengan Pemda tetangga, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, Sumsel dan Kalsel.
Koordinasi ini penting, terutama yang menyangkut pembangunan daerah perbatasan dan pembangunan pada
sektor-sektor yang saling mempengaruhi antar daerah.
Kedelapan, Gubernur dibantu 5 Wakil Gubernur. Sebaiknya Basofi tetap membantu Gubernur baru,
kecuali ia diberikan jabatan yang lebih tinggi, misalnya Gubernur Jawa Timur atau bahkan Gubernur Jawa
Barat. Kesembilan, Wilayah Kota yang ada sekarang akan berubah menjadi Wilayah Kotamadya. Dalam
menampung aspirasi masyakat dan sebagai wadah komunikasi timbal balik pada tingkat Kotamadya,
dibentuk Lembaga Musyawarah Kota (LMK) yang keanggotaannya terdiri dari organisasi kekuatan sosial
politik, ABRI, dan unsur Pemerintah yang selanjutnya diatur Mendagri.
Kesepuluh, pembentukan dan pengembangan perangkat wilayah dan daerah di lingkungan Pemerintah
DKI NRI Jakarta, dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan, kedudukan dan fungsinya sebagai lbukota Negara.
Pembentukan dan pengembangan perangkat wilayah dan daerah yang sesuai dengan kebutuhan, diartikan
bahwa DKI Jakarta mengingat kekhususannya dapat membentuk perangkat baru dan mengembangkan
perangkat yang sudah ada, untuk menampung dan mengatasi dinamika beban tugas yang demikian berat
dan kompleks. Kesebelas, adanya perhatian yang besar terhadap pembangunan di daerah perbatasan yang

283
sifatnya menyangga DKI Jakarta, yaitu Boger, Citeureup, Cileungsi, Jonggol, Cibarusah, Tangerang, Jagakarsa,
Legok, Serpong, Balaraja, Bekasi, Tambun dan Cikarang.

Pemasyarakatan
Menyelesaikan PP yang menjabarkan UU 11/1990 merupakan tugas Gubernur DKI Jakarta yang baru,
Surjadi (Bang Yadi atau Bang Dirja, kelihatannya lebih enak didengar daripada panggilan Bang Sur). Sejalan
dengan itu, UU Nom or 11/1990 perlu dimasyarakatkan, baik di kalangan aparatur pemerintah di lingkungan
Pemerintah DKI Jakarta maupun Departemen/LPND, Lembaga, Badan, lnstansi lainnya, dan masyarakat.
Aparatur Pemerintah DKI Jakarta perlu lebih siap menyongsong posisi DKI NRI Jakarta menuju kota
metropolitan.
Sejalan dengan itu, segudang permasalahan lbu kota harus cepat diantisipasi upaya pemecahannya,
antara lain permasalahan tanah untuk perumahan, pengelolaan air, pembangunan rumah sewa bertingkat,
rumah susun sederhana/murah (sesuai Kepgub DKI Jakarta Nomor 540/1990, 354/1992, dan 640/1992),
peningkatan cinta BMW dan cinta Jakarta, dorongan untuk mempertahankan dan meraih Piala Adipura,
prokasih, gerakan Ciliwung bersih, dan gerakan udara bersih, pelaksanaan ketertiban umum (Perda 11/1988),
menjakartakan warga ibukota, memasyarakatkan Perda, menumbuhkan budaya hidup bersih dan sehat, cinta
kebersihan (Perda 5/1988), penyebarluasan dan pemasyarakatan produk perencanaan (RUTR, RBWK, RTK,
dan rencana pembangunan tahunan kecamatan), mengatasi masalah transportasi, mengajak pakar kota
berpikir membantu gubernur, menginformasikan organisasi dan tatalaksana pemerintahan, meningkatkan
partisipasi dan peran serta masyarakat dalam pembangunan ibukota, meningkatkan sadar wisata dan sadar
lingkungan, serta menghimbau seluruh aparat pemerintah dan warga kota untuk bekerja profesional.
Jayakarta, 6 Oktober 1992

Swastanisasi Pengelolaan Sampah Perkotaan

Pengelolaan sampah perkotaan di Indonesia sudah populer sejak dimulainya penilaian kebersihan kota
(Adipura) pada tahun 1986. Berturut-turut tiap kota meraih Adipura dari 2 kota (1986), menjadi 4 kota (1987),
7 kota (1988), 12 kota (1989), 12 kota 1990), 16 kota (1991), 136 kota Adipura dan 18 Kencana (1996), 176
Adipura dan 24 Adipura (1997). Jika pada tahun 1996, diberikan penghargaan 18 Adipura Kencana, 136
Adipura, maka pada tahun 1997 penghargaan yang diberikan terdiri atas 24 Adipura Kencana, 176 Adipura,
dan 63 Sertifikat Kota Bersih. Adapun penilaian kebersihan kota meliputi kondisi fisik kebersihan kota,
manajemen dan kelembagaan, kesehatan, peran serta masyarakat umum dan PKK dan penataan ruang
(penghijauan, hutan kota).
Pengelolaan sampah yang efektif akan sangat membantu pemerintah kota dan masyarakatnya. Akibat
dana pengelolaan sampah yang terbatas, maka belakangan ini, terdapat kecenderungan menerapkan
swastanisasi pengelolaan sampah. Dengan cara yang dikenal sebagai kemitraan ini, beban pemerintah
berkurang dan peran swasta meningkat, sedangkan masyarakat menikmati hasil kemitraan ini berupa
penanganan dan pengelolaan sampah yang lebih baik.
Kemitraan bisa dilakukan pada semua kegiatan pengelolaan sampah atau pada satu beberapa
segmen pengelolaan sampah antara lain produksi atau timbulan sampah, pengumpulan sampah rumah
tangga, pemindahan, pembuangan ke tempat penampungan sementara (TPS), pemindahan ke transfer depo,
dan pembuangan akhir ke tempat penampungan/pembuangan akhir (TPA) sampah.

Privatisasi
Saat ini sudah saatnya sampah tidak hanya dilihat sebagai ancaman bagi kehidupan manusia.

284
Sampah bisa dimanfaatkan bagi kehidupan manusia, antara lain melaiui pemilahan sampah yang dibuang
dan yang masih bisa dimanfaatkan, daur ulang (memilah-ml!ah sampah yang masih bisa didayagunakan),
dibakar menghasilkan abu untuk pupuk, sampah organik dibuat kompos dan pupuk, menggunakan cacing
bisa mengubah sampah organik menjadi pupuk dan obat, menggunakan incinerator membakar sampah
menjadi energi, dan memadatkan sampah menjadi elemen dan bahan bangunan.
Apakah yang dimaksud dengan privatisasi? Privatisasi adalah pengurangan peranan pemerintah
dalam kegiatan pengelolaan sampah, baik dalam kegiatan pelayanan atau pemilikan dalam komersialisasi
pengelolaan sampah (Privatization is a reduction in government activity or ownership within a given service
and industry). Kegiatan pengelolaan sampah perkotaan mulai dari pengumpulan sampah rumah tangga,
pemilahan dan pemindahan, daur ulang, pemanfaatan, dan pembuangan.
Kegiatan pengelolaan sampah meliputi pemilahan, pengumpulan, dan pembuangan sampah (rumah
tangga, pabrik, rumah sakit, pasar, toko, kantor, jalan raya, dan lain-lain). Bank Dunia bekerjasama dengan
UNDP dan UNHCS (1994) menyimpulkan bahwa privatisasi pengelolaan sampah umumnya mencakup
kegiatan-kegiatan kontrak (contracting), konsesi (concession), zonasi dan berbagi peran (zoning, franchise),
dan kompetisi bebas (open competition).
Adapun isu-isu kontekstual privatisasi atau partisipasi swasta dalam pengelolaan sampah meliputi
konteks-konteks pengembalian biaya (cost recovery), efisiensi (efficiency), akuntabilitas umum (public
accountability), manajemen pendanaan, skala ekonomi, pengaturan, kelembagaan, dan pembiayaan.
Cost Recovery Contex memperhitungkan pengembalian biaya dalam pengelolaan sampah. Misal,
pembuatan kompos memanfaatkan sampah menjadi energi melalui proses incinerator dan tempat pembuangan
sampah terkendali (sanitary landfill), peralatan pengumpulan sampah (gerobak, alat pengumpulan sampah
dari rumah ke rumah, dan kendaraan), dan daur ulang (recycling). Penetapan pembayaran dalam pengelolaan
sampah yang dikenal sebagai retribusi, disesuaikan dengan pelayanan jasa yang diberikan sehingga tidak
memberatkan masyarakat.
Pengelolaan sampah harus menganut asas efisiensi, misalnya terlalu banyaknya pasukan pengumuplan
sampah (dikenal sebagai pasukan kuning), sementara itu tenaga supervisi dan manajer masih sedikit.
Demikian pula, daerah-daerah yang dikelola swasta harus ditetapkan baik berdasarkan zonasi ataupun
wilayah permukiman tertentu (kaya, menengah, miskin). Studi Bank Dunia (1991) mempertanyakan efisiensi
pengelolaan sampah di Lagos (Nigeria), Bogota, Bangkok, dan Manila, sedangkan di Indonesia sejak 1986
telah dilakukan penilaian Adipura untuk mendorong kota-kota dalam meningkatkan kebersihan kota.
Pengelolaan sampah pada akhirnya harus terasa sampai kepada upaya menyejahterakan masyarakat
melalui kota yang bersih, semangat kerja yang meningkat, produktivitas dan efisiensi kerja meningkat. Biaya
pengelolaan sampah jangan sampai mengganggu pengeluaran pembangunan di bidang-bidang lain. Peran
serta swasta dan masyarakat sangat diharapkan dalam pengelolaan sampah perkotaan. Masalah yang
dihadapi dalam pengelolaan sampah adalah pembiayaan pemerintah yang menurun, partisipasi swasta dan
masyarakat meningkat, dan swastanisasi atau privatisasi pengelolaan sampah terus bertambah.
Dari aspek manajemen, harus dapat dicapai manajemen pengelolaan sampah yang efektif, keseimbangan
pengelolaan aspek-aspek fisik, organisasi dan manajemen, kesehatan, kelembagaan dan peran serta atau
partisipasi swasta dan masyarakat. Pertanyaan yang muncul, sejauh mana kualitas sumber daya pengelolaan
sampah (pemerintah dan swasta), seberapa besar efisiensi pembiayaan, peralatan, dan pengoperasian,
berapa luas wilayah yang dikelola yang dikaitkan dengan tenaga kerja dan peralatan yang digunakan, dan
sebagainya.
Pendanaan yang bersumber baik dari pemerintah, swasta, masyarakat, dan bantuan asing, harus
dihitung secara cermat dan penggunaannya haruslah seefektif mungkin. Tenaga pengelolaan kebersihan kota
harus memberikan contoh keteladanan dalam mengoperasikan peralatan dan memeliharanya, aparatur
pemerintah harus memberi contoh kepada masyarakat tentang bagaimana sebaiknya mengelola kebersihan
kota, dan masyarakat harus berpartisipasi aktif dalam pengelolaan sampah, baik di lingkungan perumahan
dan permukiman maupun di tempat kerjanya.

285
Pengelolaan sampah harus memperhitungkan skala ekonomi, antara lain dalam menetapkan luas
wilayah pengumpulan sampah bagi kelompok masyarakat (kaya,. menengah, miskin), peralatan pengelolaan
sampah yang digunakan, waktu pengoperasian, penerapan lokasi stasiun transfer atau transfer depo,
penetapan lokasi dan model sanitary landfill atau improved landfill, penetapan metoda kompos, daur ulang,
penggunaan cacing dalam mengolah sampah organik, pengepresan sampah menjadi bahan dan elemen
bangunan dan pembakaran sampah menjadi energi listrik.
Aspek pengaturan memegang peranan penting dalam pengelolaan sampah. Tanpa pengaturan yang
baik dan tertib hukum dalam pengelolaan sampah, jangan diharapkan disiplin masyarakat dan warga kota
meningkat. Penerapan pengaturan harus dibarengi dengan uji coba, kampanye, dan penyuluhan sampah.
Sejalan dengan itu, kelembagaan pengelolaan sampah perlu dimantapkan, apakah masih berada di bawah
Dinas Pekerjaan Umum, apakah berbentuk Dinas Kebersihan atau Perusahaan Daerah Kebersihan (BUMD)
atau bentuk lain.
Dari Aspek pembiayaan timbul pertanyaan, bagaimana ukuran biaya pengelolaan sampah yang
murah? Biaya pengelolaan sampah mencakup biaya pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, dan
pembuangan ke TPS dan TPA. Juga harus dihitung biaya organisasi dan manajemen pengelolaan sampah,
uji coba, kampanye, studi perbandingan, workshop, semiloka, dan penyuluhan.
Metoda Partisipasi Sektor Swasta
Kontrak merupakan metoda yang sering dilaksanakan. Dalam metoda ini, perusahaan swasta diberi
kewenangan antara lain dalam menangani jasa pengumpulan sampah rumahtangga atau sampah pabrik,
pelayanan jasa kebersihan di jalan raya (street sweeping service), pengumpulan sampah yang bisa didaur
ulang (sampah pasar dan toko), pengoperasian stasiun transfer (depo), lokasi pembuangan akhir sampah
(TPA) atau armada pengelolaan sampah. Swasta menerima uang kontrak dari pemerintah dalam menangani
beberapa bagian pengelolaan sainpah tersebut.
Contoh-contoh kontrak antara lain kontrak studi dan kajian pengelolaan sampah pra studi kelayakan,
kajian desain dasar pembangunan incinerator, kontrak pengelolaan sampah di kawasan tertentu (daerah
protokol, perumahan mewah, daerah pusat perdagangan), swastanisasi di transfer depo dan TPA, kemitraan
pemerintah dan swasta dalam menangani wilayah tertentu (lihat buku Solid Waste Collection Practice terbitan
American Public Solid Waste Management Association, Amerika Serikat), dan leasing peralatan pengelolaan
sampah, evaluasi, pemantauan, pengawasan dan pengendalian dalam pengelolaan sampah.
Pemberian kewenangan kepada pengusaha lokal melalui sistem franchise bisa ditempuh antara lain
dalam pengumpulan sampah baik di kawasan kumuh maupun di permukiman mewah, pengumpulan sampah
oleh sektor informal, keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat, peranserta PKK dan Karang Taruna, dan
daur ulang baik swadaya masyarakat maupun melalui kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Dalam model franchise, pemerintah menetapkan monopoli zonasi pengelolaan sampah. Melalui cara
ini, biaya pengelolaan sampah rumahtangga diatur dan biasanya lebih mahal dari kondisi biasa, karena
ditunjukkan perusahaan yang menangani pengelolaan sampah. Pemerintah melakukan pemantauan dan
pengawasan pelaksanaan model ini, antara lain melalui kompetisi pengelolaan sampah, pemantauan dan
pengawasan, dan pengaturan harga atau tarip pengelolaan sampah (retribusi).
Konsesi diberikan oleh Pemerintah kepada perusahaan swasta antara lain dalam menangani material
untuk didaur ulang atau dibuang (kertas, plastik, logam, gelas) untuk dibuat kompos, energi listrik. Konsesi
dilakukan dalam jangka panjang, lahan disediakan pemerintah dan swasta membangun sarana dan prasarana.
Melalui cara ini dikenal dalam bentuk BOT (built, operate, transfer), BOO (built, own, operate) atau BOOT (build,
own, operate, transfer).
Kompetisi bebas memungkinkan persaingan sehat antar perusahaan yang melakukan kontrak
pengelolaan sampah dengan pemerintah kota. Kompetisi bisa dilihat, baik dalam pengumpulan, pengangkutan,
daur ulang, pemanfaatan maupun pembuangan. Suatu kota dapat memiliki lebih dari satu TPA dan
melibatkan banyak perusahaan yang ingin bermitra. Selain Pemerintah memberikan lisensi, melakukan
pengawasan dan pemantauan, Pemerintah berhak memberikan sanksi terhadap perusahaan yang ditunjuk
tetapi lalai melaksanakan pekerjaan yang telah disepakati.

286
Penutup
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa catatan penting. Pertama, diperlukan adanya kebijaksanaan
pengelolaan sampah perkotaan yang jelas mudah dimengerti dan mudah dilaksanakan. lni berarti harus
dapat memperjelas pengertian pengelolaan sampah wilayah, tenaga pengelolaan sampah, biaya yang
tersedia, tujuan dan sasaran pengelolaan, efisiensi dan efektivitas, kapabilitas peraturan, resiko dari
pengelolaan yang kurang terarah dan terpadu, akuntabilitas dan mobilisasi sektor swasta dan masyarakat.
Kedua, tahap-tahap pengelolaan sampah harus ada kaitannya dengan wilayah yang menjadi ruang
lingkup pelayanan, antara lain di wilayah perumahan dan permukiman, pusat perdagangan, perkantoran,
jalan protokol, dan lain-lain. Ketiga, harus cepat melihat isu-isu penting, antara lain tenaga pengelola
persampahan, efisiensi dan produktivitas tenaga kerja, kendala birokrasi, biaya pengelolaan sampah, resiko
pengaturan dan lain-lain.
Keempat, pengelolaan sampah bisa memperhitungkan cost benefit dan cost efektif, tergantung pada
wilayah mana yang dilayani. Jika perlu pemerintah kota dapat mengontrak tenaga ahli perguruan tinggi atau
konsultan dalam menangani kasus-kasus tertentu pengelolaan sampah (aspek sosial-budaya, sosial ekonomi,
teknis dan teknologi, desain, perekayasaan, dan rancang bangun peralatan pengelolaan sampah). Kelima,
sampah hendaknya tidak lagi dianggap sebagai ancaman tetapi harus sudah dilihat sebagai potensi ekonomi
yang dapat diubah menjadi uang, antara lain dibuat kompos, pupuk, bahan dan elemen bangunan, energi
listrik, dan bahkan dijadikan obat.
Jayakarta, 11 Agustus 1997

287
Mengejar Adipura, Menghindar Jadi Kota Terjorok

Bulan Juni 1988 Mendagri Rudini di Semarang mengatakan bahwa untuk tahun ini persyaratan
memperoleh Adipura akan lebih diperketat. Kalau ada Bupati atau Walikota yang malas mengembalikan
angket atau kuesioner Adipura, mereka akan mendapat hadiah dan predikat kota terjorok. Untuk kota terjorok,
Rudini akan memberikan hadiah khusus.
Dengan pernyataan Rudini tersebut, setiap Pemerintah Kabupaten dan Kotamadya tergugah untuk
melakukan berbagai upaya terobosan dalam menciptakan kebersihan kota. Kota-kota di pulau Sumatera
bertekad meningkatkan kebersihan kota, Banda Aceh Beriman (bersih, indah dan nyaman), Padang yang
selalu bersih sepanjang tahun diikuti jejaknya oleh Bukittinggi dan Solak, Jambi Beradat (bersih, aman dan
tertib), Bandar Lampung Tapis Berseri (tertib, aman, patuh, iman, sejahtera, bersih, sehat, rapih, dan indah).
DKI Jakarta dengan BMW (bersih, manusiawi dan berwibawa, "bukan berani memihak wongcilik"
menurut Sutjipto Wirosardjono) mulai tahun ini diwakili oleh Lima Wilayah Kewalikotaan, yaitu Jakarta Pusat,
Utara, Barat, Selatan dan Timur. Jakarta Pusat mengelola sampah dengan gerakan pengelolaan sampah
oleh Swasta, galvanis, daur ulang, tong fiberglas dan swadaya masyarakat, partisipasi PKK, dan penggantian
we gantung (helikopter) dengan we umum. Jakarta Utara dengan ciri khasnya daerah pantai bertekad
meraih Adipura. Jakarta Barat membersihkan hunian di bantaran sungai dan sepanjang rei kereta api,
memasyarakatkan pembuatan pot bunga dan tanaman hijau bagi warga di lingkungan kumuh, serta
partisipasi PKK.
Jakarta Selatan dengan kondisi lingkungannya yang lebih baik dibandingkan empat Wilayah lainnya
mengkonsentrasikan pada penciptaan pasar yang bersih. Jakarta Timur pusing dengan kebersihan di terminal
eililitan, Kramat Jati, dan Polo Gadung. Bogar mengejar Adipura kelima atau Adipura Kencana, Sukabumi,
eianjur, Tasikmalaya, Garut, Kuningan dan lndramayu menata kota yang bersih. Bandung Berhiber (bersih,
hijau dan berbunga) berusaha mempertahankan Adipura yang diraihnya tahun lalu. Di Jawa Tengah,
Surakarta peraih angka penilaian tertinggi tahun lalu berusaha tetap bersih, diikuti oleh Magelang, Temanggung,
Wonosobo dan pendatang baru Banjarnegara, Tegal, Boyolali, Wonogiri, eilacap dan Karanganyar.
Di Jawa Timur, Surabaya dengan gerakan kebersihan pasukan kuningnya, mengejar Adipura bersama
Malang, Magetan, dan kota-kota lainnya. Di luar pulau Jawa, hendaknya Denpasar kota wisata, kota-kota di
NTB, NTT dan Timor Timur bertekad juga untuk memperoleh Adipura. Di Kalimantan, Samarinda, Balikpapan,
Pontianak, Banjarmasin dan Samarinda perlu diperhitungkan. Manado, Gorontalo, Palu, Ujungpandang
Bersinar (bersih, sehat, indah, aman dan rapih) dan kota lainnya di Sulawesi tidak boleh diabaikan. Ambon
peraih Adipura tahun lalu diintip jejaknya oleh Jayapura.
Kota-kota peraih Adipura kota raya (berpenduduk di atas 1 juta jiwa), kota besar (penduduk 501.000
s.d. 1 juta), kota sedang (100.001 s.d. 500.000), dan kota kecil (20.000 s.d 100.000) dapat dilihat pada Tabel.
Dari tabel tersebut terlihat bahwa kota peraih Adipura dan sertifikat penghargaan kota bersih baru
berada di 9 propinsi, sedangkan 18 propinsi lainnya belum tergiur dengan Adipura. Di samping itu terdapat
kecenderungan pengelompokan kota-kota peraih Adipura (Surakarta dan sekitarnya serta Padang dan
sekitarnya) dan belum ada kejutan kota yang banyak lingkungan kumuhnya bisa meraih Adipura.
Kuesioner penilaian Adipura 1990 sudah diedarkan dan waktu penilaian tinggal 4-5 bulan lagi (sampai
dengan penentuan peraih Adipura tanggal 5 Juni 1990 bertepatan dengan Peringatan Hari Lingkungan Hidup
Sedunia). Walikotamadya, Walikotatip, dan Bupati Kepala Daerah Tingkat II sudah pasang kuda-kuda untuk
meningkatkan (a) pengelolaan sampah kota (organisasi dan manjemen) yang meliputi pemantapan
kelembagaan, pelaksanaan pengaturan dan ketentuan, pengaturan pembiayaan pengelolaan, retribusi, teknis
operasional (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan atas daerah dan tingkat pelayanan, pewadahan,
pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan akhir sampah), sarana dan
prasarana, serta effisiensi, (b) peran serta masyarakat umum (LKMD dan lain-lain) dan peran serta PKK, (c)

288
kebersihan fisik kota Galan umum, fasilitas umum, pemukiman berbagai tipe, pasar, sarana dan prasarana
pengelolaan sampah), dan (d) kesehatan yang memperhatikan persyaratan kesehatan pengelolaan sampah.
Dalam kategori kota raya, sembilan kota berusaha menghindar jadi kota terjorok, yaitu lima Wilayah di
DKI Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya dan Medan. Untuk kota besar, enam kota akan bersaing yaitu
Surakarta, Ujung Pandang dan Bandar Lampung. Kategori kota sedang diikuti oleh kota bersih Ambon,
Balikpapan, Bogar, Jambi, Pakanbaru, Samarinda, Bukittinggi, dan Magelang. Di samping itu juga akan diikuti
oleh Banda Aceh, Banjarmasin, Bengkulu, Cimahi, Cirebon, Denpasar, Dili, Jayapura, Jember, Kediri,
Kendari, Kupang, Mataram, Manado, Palangkaraya, Palu, Pontianak, Yogyakarta, Bekasi dan Tangerang
serta kota-kota lainnya yang berpenduduk 100.001 s.d. 500.000 jiwa.
Kota kecil akan diwakili oleh 3 kota terbersih dari setiap propinsi. Dalam kategori ini kelihatannya
Cianjur, Kuningan, dan lndramayu di Jawa Barat akan bersaing dengan Boyolali, Banjarnegara, dan Tegal di
Jawa Tengah serta Magetan di Jawa Timur, serta kota-kota kecil lainnya di luar Pulau Jawa.
Jika pada tahun 1989 persaingan Adipura terdiri dari 5 kota raya, 5 kota besar, 26 kota'sedang dan 54
kota kecil, maka sudah bisa diperhitungkan para pesaing Adipura 1990 terdiri atas 9 kota raya, 6 kota besar,
paling sedikit 30 kota sedang (ditambah 4 kota peraih Adipura 1989 dan 3 kota peraih penghargaan kota
bersih 1989), dan 78 kota kecil (ditambah 5 kota peraih Adipura 1989 dan 3 kota peraih penghargaan kota
bersih 1989). Keberhasilan mewujudkan kebersihan kota sekaligus akan turut menunjang upaya peningkatan
jumlah wisatawan dengan motto Visit Indonesia Year 1991.
Jayakarta, 24 Januari 1990

Tabel: KOTA PERAIH ADIPURA TAHUN 1989

JENIS/KOTA 1986 1987 1988 1989 BERAPA KALI

KOTA RAYA:
1. SURABAYA - 1 1 2X
2. BANDUNG - 1 - 2 2X
KOTA BESAR:
1. SURAKARTA - 1 1 1 3X
2. PADANG 1 - 2 2 3X
KOT A SEDANG :
1. BOGOR 1 1 2 1 4X
2. JAMBI - 2 1 3 3X
3. AMBON - - - 2 1X
4. SAMARINDA - - - 4 1X
KOTA KECIL:
1. BUKITIINGGI - - 1 2 2X
2. MAGELANG - 2 1 2X
3. TEMANGGUNG - - - 3 1X
4. SOLOK - - - 4 1X
5. WONOSOBO - - - 5 1X
CATATAN : Peraih sertHikat penghargaan kola bersih tahun 1989 (belum memenuhi syarat untuk meraih Adipura), terdiri dari kota·kota Semarang (kota raya),
Malang (kola besar), Balikpapan, Bandar Lampung, dan Pekanbaru (kola sedang), dan Tanjung Pinang, Sukabumi, dan Tasikmalaya (kota kecil).
SUMBER : Diolah dari data Tim Adipura Kantor Menneg KLH, 1989

289
Kejutan: Adipura 1990 Vs Kota Terjorok

Adipura lambang kebersihan, diperebutkan oleh Walikotamadya, Walikotatif, dan Bupati sejak 1986.
Jika tahun 1986 dan 1987 peraih Adipura hanyalah kota raya atau metropolitan (penduduk di atas 1 juta jiwa),
kota besar (penduduk 500.001 s.d. 1 juta jiwa) dan kota sedang (1 00.001 s.d 500.000 jiwa), maka tahun 1988
dan 1989 termasuk kota kecil (20.000 s/d 100.000 jiwa).
Bahkan pada tahun 1989 diberikan Piagam Penghargaan Kota Bersih kepada beberapa kota yang
sudah bersih tetapi belum memenuhi syarat sebagai peraih Adipura.
Tahun 1990 akan ada kejutan. Adipura tidak diraih oleh kota yang itu-itu juga, tetapi muncul kota-kota
muka baru yang bisa mengalahkan kota Adipura sebelumnya. Sebaliknya, bukan tidak mungkin kota yang
pernah meraih Adipura, pada tahun ini akan terseok posisinya. Takut pada ancaman Mendagri, semua kota
berusaha tidak menjadi kota terjorok.

Kejutan Adipura
Kriteria penilaian kebersihan Adipura tingkat Pusat terdiri atas pengelolaan sampah (organisasi dan
manajemen), peran serta (masyarakat umum dan PKK) dalam penangulangan sampah, fisik dan kesehatan.
Peraih Adipura berdasarkan tipe kota sejak 1986 adalah sebagai berikut. Adipura Kota Raya diraih masing-
masing 2 kali oleh Bandung (urutan pertama tahun 1987 dan urutan kedua tahun 1989) dan Surabaya (urutan
pertama tahun 1988 dan 1989).
Adipura Kota Besar diraih masing-masing 3 kali oleh Surakarta (urutan pertama tahun 1987, 1988, dan
1989) dan Padang (urutan kedua tahun 1987, 1988 dan 1989). Adipura Kota Sedang diraih 4 kali oleh Boger
(urutan pertama 1986, 1987, 1989, dan urutan kedua tahun 1988), 3 kali oleh Jambi (urutan kedua tahun
1987, pertama tahun 1988, dan ketiga tahun 1989), dan masing-masing 1 kali pada tahun 1989 oleh Ambon
(urutan kedua) dan Samarinda (urutan keempat).
Sedangkan Adipura Kota Kecil diraih masing-masing 2 kali oleh Bukittinggi (urutan pertama tahun 1988
dan urutan kedua tahun 1989) dan Magelang (urutan kedua tahun 1988 dan urutan pertama tahun 1989), dan
masing-masing 1 kali pada tahun 1989 oleh Temanggung (urutan ketiga), Solok (urutan keempat) dan
Wonosobo (urutan kelima).
Diberikannya Piagam Penghargaan Kota Bersih kepada beberapa kota pada tahun 1989 yaitu Semarang
(kota raya), Malang (kota besar), Balikpapan, Bandarlampung, dan Pakanbaru (kota sedang), dan Tanjung
Pinang, Tasikmalaya, dan Sukabumi (kota kecil) semakin merangsang tiap kota untuk meningkatkan
pengelolaan kebersihan kota dan berusaha meraih Adipura atau memperoleh predikat kota bersih.
Yang dinilai dalam organisasi dan manajemen terdiri atas institusi atau kelembagaan pengelola
kebersihan, pengaturan hukum, pembiayaan, teknis operasional pengelola sampah (perencanaan, pelaksanaan
yang terdiri atas pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pengawasan dan efisiensi).
Peran serta masyarakat berpegang pada Keppres Nomor 28 Tahun 1980 tentang LKMD dan peran
serta PKK mengikuti Kepmendagri Nomor 28 Tahun 1984, dan keputusan Rakornas serta Rakon PKK. Fisik
kota termasuk kawasan permukiman, jalan, tempat umum, fasilitas umum, perairan terbuka, TPS (tempat
penampungan sementara), dan TPA (tempat pembuangan akhir).
Penilaian kesehatan memperhatikan SK Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan Permukiman Depkes No. 281 tanggal30 Oktober 1989 tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan
Sampah.
Setelah empat tahun berjalan (1986-1989), terlihat kecenderungan kota bersih Adipura itu-itu juga.
Buktinya? Bandung (2x) dan Surabaya (2x) meraih Adipura kota raya, Surakarta (3x) dan Padang (3x) untuk
kota besar, Boger (4x) dan Jambi (3x) untuk kota sedang (Ambon dan Samarinda muka baru peraih Adipura

290
1989), Bukittinggi {2x) dan Magelang {2x) untuk kota kecil (Temanggung, Solak, dan Wonosobo muka baru
peraih Adipura 1989). Prestasi Ambon di urutan kedua Adipura kota sedang pada tahun 1989 cukup
mengagetkan, karena bisa di atas Jambi.
Bagaimana perkiraan tahun 1990? Kita coba analisis sekilas. Adipura kota raya akan diperebutkan
oleh sembilan kota, yaitu Surabaya, Semarang, Bandung, Medan, dan Lima Wilayah Kota di DKI Jakarta
(Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Selatan, dan Jakarta Timur).
Surabaya dan Bandung yang telah dua kali meraih Adipura, tidak aneh jika keduanya meraih Adipura
1990. Tetapi jika salah satu atau keduanya menjadi kota terjorok, ini baru kejutan. Semarang jangan puas
dengan predikat kota bersih yang diraihnya tahun-tahun lalu. Medan perlu berpacu dan jika perlu bikin
kejutan, asalkan jangan kejutan sebagai kota terjorok.
Masing-masing Wilayah Kota di DKI Jakarta telah berusaha sekuat tenaga untuk bisa meraih Adipura
atau predikat kota bersih, dan menghindar jadi kota terjorok. Untuk memacu tiap Wilayah, ~onon Gubernur
tiap hari minggu mengecek langsung kebersihan tiap kelurahan dan menegur Lurah, Camat, dan Walikotamadya
jika ditemukan daerah yang masih kotor dan semrawut. Jika satu atau lebih Wilayah Kota di DKI meraih
Adipura atau predikat kota bersih, merupakan kebanggaan ibukota. Apalagi dikaitkan dengan Visit Indonesia
in the Year 1991. Bandung juga berkepentingan dengan Adipura, karena keberhasilan Adipura akan banyak
artinya bagi Bandung yang menjadi tuan rumah Konferensi ATF (Asean Tourism Federation 1991).
Persaingan di kota besar semakin tegang. Surakarta dan Padang yang telah 3x meraih Adipura tidak
akan menang dengan mudah. Mereka akan dihadang oleh Malang dan Bandarlampung yang akan bikin
kejutan. Palembang dan Ujungpandang juga tidak ingin menjadi kota terjorok tentunya.
Calon peraih Adipura kota sedang sangat banyak, paling tidak 30 kota atau lebih. lbarat ada juara
bertahan dan penantang, maka Bogor (bertekad meraih 5x Adipura atau Adipura Kencana). Ambon, Jambi,
Samarinda, Bukittinggi, dan Magelang yang kotanya bersih berusaha mempertahankan Adipura.
Balikpapan sangat yakin untuk membawa piala Adipura tahun ini. Para penantang terdiri dri Banda
Aceh, Banjarmasin, Bengkulu, Cimahi, Cirebon, Denpasar, Dili, Jayapura, Jember, Kediri, Kendari, Kupang,
Mataram, Manado, Palangkaraya, Palu, Pontianak, Yogyakarta, Purwokerto, Bekasi, dan Tangerang.
Dalam kategori kota kecil, tidak aneh jika Bukittinggi, Temanggung, Solok, dan Wonosobo meraih
Adipura. Kejutan akan terjadi dengan kemungkinan tampilnya Cianjur, Kuningan, lndramayu, Boyolali,
Banjarnegara, Tegal, Cilacap, Wonogiri, Karanganyar, Magetan dan dua kota lainnya di Jawa Timur, serta
kota-kota kecil di luar pulau Jawa sebagai calon peraih Adipura kota kecil.
Tahun kuda 1990 akan membuka lembaran baru. Peraih Adipura bukan lagi kota-kota sejuk dan itu-itu
juga. Kota pantai akan bikin kejutan. Jika semua kota ingin Adipura, kota mana yang terjorok? Pengalaman
meraih Adipura belum menjamin mendapat Adipura lagi. Setiap kota punya peluang meraih Adipura dan
harus siaga menghindar jadi kota terjorok. Jika Emil Salim menyediakan Piala Adipura dan Piagam Kota
Bersih, maka Rudini telah menyiapkan hadiah istimewa untuk kota terjorok.
Media Indonesia, 21 Februari 1990

Mengejar Adipura: Belajar dari Surabaya

Surabaya yang penduduknya sekitar 3 juta dan kota terbesar kedua di Indonesia, pusat pengembangan
ekonomi di wilayah Indonesia Timur, kota industri, maritim, perdagangan, dan pendidikan, membawa
konsekuensi logis bagi kota dan warganya untuk menata kebersihan kota. Semakin sesaknya kota,
terbatasnya tanah, sulitnya mengatur transportasi, adanya perubahan sikap dan perilaku budaya warganya,

291
memerlukan penanganan kebersihan kota oleh aparat Pemerintah yang didukung oleh partisipasi dan peran
serta masyarakatnya.
Dimulai dengan Menuju Surabaya Bersih dan kemudian dengan kebersamaan menuju cita-cita Surabaya
Berseri (Walikotamadya, 1989), Surabaya berusaha sekuat tenaga untuk meraih pemenang Adipura (kelompok
Kota Raya yang penduduknya di atas 1 juta jiwa). Keberhasilan Surabaya meraih piala kebersihan Adipura
1988 dan 1989 adalah berkat perjuangan dari semua lapisan masyarakat yang ikut berperan aktif dalam
berbagai kegiatan kebersihan untuk mewujudkan Surabaya kota yang bersih.
Adipura tak dapat diraih dengan harta atau kekayaan, tetapi dengan peran serta masyarakat dan peran
Walikotanya dalam mengerahkan partisipasi warga kota dalam kegiatan pengelolaan kebersihan, keikutsertaan
lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan, warga pengusaha, dan pelaksanan operasi yustisi kebersihan.
lkatan Keluarga Alumni Unair, alumni UGM, Universitas Petra, Bakti Sosial Kebersihan Mahasiswa APK, dan
unit-unit kegiatan kemahasiswaan lainnya mendukung dan membantu langsung pengelolaan sampah.
Walikota Poernomo Kasidi tidak henti-hentinya keliling kota ke Kecamatan-kecamatan yang jumlahnya
16 untuk memberi semangat pada warga kota dalam mengelola kebersihan di lingkungannya masing-masing.
Surabaya memiliki 10.000 pasukan kuning swadaya masyarakat. Walikota dan warga Surabaya melakukan
berbagai upaya untuk menempatkan Adipura tetap langgeng di Surabaya dalam rangka mencapai tinggal
landas menuju budaya bersih yang ditunjang oleh perilaku berbudaya bersih.
Partisipasi Swasta sangat tinggi dan kaum ibu memegang peranan penting dan sangat mendasar
untuk mempercepat proses budaya bersih dengan basis rumahtangga dan lingkungan.

Partisipasi Masyarakat
Keberhasilan Surabaya meraih Adipura diakibatkan oleh partisipasi masyarakat dan pengusaha yang
sangat tinggi, terciptanya komunikasi dan pengertian yang sama di antara Pemerintah dan warganya, dan
dimilikinya 10.000 pasukan kuning. Walikota Surabaya meletakkan dasar-dasar penciptaan kebersihan kota
melalui lima prinsip.
Pertama, penanganan kebersihan tidak hanya tergantung dari pemerintah saja, atau warga saja, tetapi
harus ada kerjasama yang sederajat dan sadar akan hak dan tanggungjawab masing-masing. Kemampuan
ini effektif jika masyarakat ikut aktif mengelolanya.
Kedua, keikutsertaan Pemerintah dalam menggerakkan kemampuan masyarakat harus menjadi
penunjang yang tidak memanjakan. Ketiga, tugas dan keempat, tanggungjawab Pemerintah terhadap kebersihan
yang berskala makro terhadap kota yang memerlukan penanganan jangka panjang. Hal ini tidak dapat
dibebankan kepada masyarakat, sebab untuk itu masyarakat sudah membayar retribusi kebersihan.
Keempat, usaha kebersihan harus dalam wawasan menciptakan lingkungan hidup yang aman,
nyaman, dan menyenangkan. Usaha ini tidaklah berdiri sendiri, tetapi meliputi aspek yang lebih luas. Kelima,
penanganan kebersihan tidak bisa dikelola sebagai usaha sosial, tetapi prinsip ekonomi harus dikembangkan
agar usaha ini bisa mandiri.
Lomba puisi diselenggarakan untuk memasyarakatkan kebersihan kota. Salah satu puisi mengemukakan
".... Di antara keramaian kota, terdengar derap langkah di pembersih kota. Tampak pula wajah berseri
menyambutnya, seiring hati yang sedang gembira. Di sana sini selalu ada, mengotori kotaku tercinta. Di
sungai, taman, bahkan di jalan raya, engkau selalu berada di mana-mana."
"Sampah, itulah pengganggu keasrian kotaku. Pergi, itulah keinginan Surabaya. Hai para masyarakat
Surabaya, singkirkan lengan bajumu, besihkan alam lingkunganmu, bagi kotamu tercinta." Berkat usaha dan
kesadaran masyarakat, tercapailah apa yang masyarakat dambakan, Adipura.
Kebersihan lingkungan bisa diatasi melalui dua jalur. Pertama, melalui RT, RW, PKK, Karang Taruna,
dan kedua, melalui Badan Pelaksana Kebersihan Warga, Paguyuban Pendidikan Cinta Bersih. Penanganan
kebersihan dimulai dari pengumpulan berbagai sampah dan kotoran, lalu diangkut ke tempat-tempat yang
sudah ditentukan. Penyelesaian akhirnya merupakan tanggungjawab Dinas Kebersihan Kota.

292
Pengelolaan sampah perlu melibatkan partisip::1si dan peran serta masyarakat. Pembangunan yang
hanya dilaksanakan oleh dana-dana Pemerintah, hasilnya kurang cepat dapat menjangkau kepentingan
seluruh rakyat. Jika seluruh warga kota 1kut aktif bersama Pemerintah Daerah dalam melakukan pembangunan,
maka sudah barang tentu kepentingan rakyat akan terjangkau dan kemakmuran pun akan segera dapat
dinikmati warga kota seluruhnya.
Motto Surabaya Berseri, yaitu hidup dalarn !ingkungan yang bersih, sehat, rapi, dan indah. Lingkungan
yang memadai dan ditata rapih serta kebers1han yang terjaga dengan baik akan mampu memacu semangat
warga kota, untuk tetap mempunyai tekad melaksanakan pembangunan yang sudah digalakkan oleh
Pemerintah. Menciptakan kebersihan kota gampang-gampang susah. Gampangnya, sebab kesadaran
masyarakat pada umumnya tinggi dan partisipasi Swasta makm meningkat. Susah, karena sampah diproduksi
atau ditimbulkan setiap saat, padahal pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, dan pengelolaan serta
pembuangannya kurang lancar.
Simulasi P-4 haruslah dikaitkan dengan kebersihan kota. Paguyuban fasilitator permail'lan simulasi P-4
perlu ditingkatkan aktivitasnya. Demikian juga program kerja dan belajar. Kesadaran warga yang tidak
merasa ditekan atau ditakut-takuti sangat berarti dan berpengaruh di dalam pengelolaan kebersihan. Mereka
berpartisipasi dan berperan serta atas kesadarannya sendiri untuk menciptakan lingkungan bersih. Bersih itu
Sehat. Masyarakat perlu secara sadar membuang sampah ke tempat yang telah disediakan. Lebih baik lagi
kalau sampah itu dibungkus terlebih dahulu dengan kantong plastik agar sampah tidak dikerubung lalat, dapat
mengurangi bau busuk, dan memudahkan petugas dan pasukan kuning dalam mengumpulkan dan mengangkut
sampah.
Kebersihan meraih Adipura juga ditentukan oleh mental manusianya. Walikota memberikan contoh
ironis, di mana pasukan kuning ngotot membersihkan sampah yang berserakan di jalan, di sebelahnya ada
pelari pagi dekat mobil bagus yang sopirnya dengan seenaknya membuang kantong plastik bekas tempat
makanan dan gelas plastik minuman. Terhadap orang seperti ini, mau diapakan? Pemda mengajak kalangan
universitas dan lembaga pendidikan untuk menanggulangi kebersihan. Partisipasi telah diberikan oleh
Universitas Airlangga, ITS, dan alumni Kagama yang berdomisili di Surabaya.
Perda No. 6 Tahun 1986 ten tang pengelolaan kebersihan perlu dipatuhi dan ditegakkan. Setiap
pelanggar dikenakan hukuman yang setimpal. Berbagai organisasi kemasyarakatan telah ikut ambil bagian di
dalam pengelolaan kebersihan kota, antara lain Lions Club. Lomba Kebersihan dan Kerapihan tingkat
Kecamatan selalu diselenggarakan. Lomba ini dimaksudkan untuk mendorong dan menumbuhkan pola hidup
dan budaya bersih warga kota.
Dharma Wanita juga berperan dalam pengelolaan kebersihan kota. Semua warga Surabaya mendukung
pola hidup bersih menuju budaya bersih. Pengusaha perbankan ikut seta dalam penciptaan kebersihan kota.
Bank Niaga, Bank Pemerintah dan Bank Swasta lainnya ikut berpartisipasi di dalam upaya menciptakan
kebersihan kota. Pengusaha taksi, organda, pengemudi angkutan umum, warga PJKA, semua berpartisipasi
dalam menciptakan kebersihan kota.
Peran serta setiap warga kota di bidang kebersihan, tidak hanya terbatas pada dukungan tenaga dan
moral, tetapi juga dalam bentuk material, berupa peralatan, prasarana, dan sarana kebersihan. Perda No. 6
Tahun 1986 dan Operasi Yustisi Kebersihan dimaksudkan untuk mendidik warga kota untuk mendisiplinkan
diri, berlaku tertib dan bersih di manapun ia berada, di rumah, di jalan umum, mereka harus tampak bersih.
Meskipun piala Adipura bukan merupakan tujuan akhir dari pembangunan bidang kebersihan, masyarakat
kota Surabaya bertekad untuk mendisiplinkan diri menjaga lingkungan agar tetap bersih. Perjalanan panjang
telah dilakukan oleh Pemda untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan rapih. Upaya intensifikasi,
dilakukan ke dalam tubuh Pemda dan aparatnya agar diperoleh peningkatan mutu aparat. Upaya ekstensifikasi,
menyangkut kegiatan intern Pemda dan inter Pemda.
Di Surabaya, di samping hampir seluruh warga telah mendukung dan berpartisipasi dalam pembudayaan
kebersihan, pada kenyataannya masih ada saja warga kota yang tidak mau tahu atau acuh tak acuh terhadap
kondisi yang dihadapi. Membuang sampah seenaknya dari kendaraan, melalui jendela mobil ber-AC, dari
becak atau sepeda motor atau kendaraan lainnya. Bahan material bekas perbaikan trotoar yang tidak diatur

293
rapih, akan memberikan kesan kotor dan semrawut.
Dengan operasi Yustisi, Pemda tidak menitikberatkan pada segi menghukum yang salah, tetapi
mendidik, mengingatkan, menyadarkan, dan menangkal adanya pelanggar-pelanggar kebersihan. Operasi
Yustisi diberlakukan di seluruh wilayah kota, pelaksanaannya dibantu lnstansi di luar Pemda, seperti
Kepolisian, Kejaksaan, Korem, Garnizun, dan lain-lain.
Sampai saat ini Operasi Yustisi telah berjalan untuk ke 13 kalinya, sejak 17 Januari 1989. Operasi
Yustisi terdiri atas tahapan persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi, dan pelaksanaan sanksi atas pelanggar
mengikuti ketetapan lnstruksi Walikotamadya No. 22 Tahun 1988. Semua usaha ini, mulai dari program
Pemda, partisipasi masyarakat, pengusaha, dan Swasta, serta operasi yustisi, diarahkan untuk menciptakan
kota Surabaya yang berseri, bersih, sehat, rapi dan indah.
Jika tahun 1988 Walikotamadya Surabaya menerbitkan buku Menuju Surabaya Bersih, maka tahun
1989 telah menerbitkan buku Dengan Kebersamaan Menuju Cita-cita Surabaya Berseri yang be.risi berbagai
kegiatan di bidang kebersihan kota, antara lain (a) kunjungan Walikotamadya ke Kecamatan, Kelurahan, AW,
dan AT, (b) bentuk partisipasi masyarakat, (c) partisipasi warga kota di 16 Kecamatan, (d) peran serta
lembaga pendidikan, (e) partisipasi organisasi kemasyarakatan, (f) keikutsertaan warga pengusaha, dan
pelaksana operasi Yustisi kebersihan.
Neraca, 13 Desember 1989

Kebersamaan Menuju Surabaya Berseri

Pemilihan kota terbersih di Indonesia ditandai dengan pemberian piala kebersihan Adipura setiap
tanggal 5 Juni bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup se-Dunia yang dibagi atas kota raya (penduduk di
atas 1 juta), kota besar (500.000- 1 juta), kota sedang (1 00.000- 500.000) dan kota kecil (20.000- 100.000).
Sejak tahun 1986, terdapat tigabelas kota yang telah meraih Adipura, yaitu Surabaya (dua kali, 1988 dan
1989) dan Bandung (dua kali, 1987 dan 1989) untuk kota raya, Surakarta (tiga kali, 1987, 1988 dan 1989) dan
Padang (tiga kali, 1986, 1988 dan 1989) untuk kota besar, Boger (4 kali, 1986 s.d 1989), Jambi (3 kali, 1987,
1988 dan 1989), Ambon (satu kali, 1989) dan Samarinda (satu kali 1989) untuk kota sedang, Bukittinggi (dua
kali, 1988 dan 1989), Magelang (dua kali, 1988 dan 1989), Temanggung, Solak dan Wonosobo (masing-
masing satu kali, 1989).
Di samping itu, terdapat kota-kota yang belum meraih Adipura, tetapi kotanya sudah bersih, sehingga
memperoleh sertifikat penghargaan, yaitu Semarang untuk kota raya, Malang untuk kota besar, Balikpapan,
Bandarlampung dan Pakanbaru untuk kota sedang, Tanjungpinang, Sukabumi dan Tasikmalaya untuk kota
kecil. Sebagai kota raya peraih Adipura, Surabaya berusaha terus sekuat tenaga menciptakan Kota Pahlawan
menjadi kota yang bersih dan berseri, melalui pengelolaan sampah kota yang baik, meningkatkan partisipasi
dan kesadaran masyarakat akan kebersihan kota, mengajak lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan
dan warga pengusaha untuk mewujudkan kebersihan kota.

Partisipasi
Berbagai kegiatan partisipasi masyarakat telah terus dilakukan di setiap AT, AW, kelurahan di
enambelas kecamatan di Surabaya, yaitu Wonokromo, Krembangan, Gubeng, Sukolilo, Tegalsari, Tambaksari,
Genteng, Sawahan, Simokerto, Benowo, Tandes, Kenjeran, Karangpilang, Aungkut, Bubutan, dan Wonocolo.
Sepuluh ribu pasukan kuning kebersihan merupakan ujung tombak penciptaan kebersihan kota. Partisipasi
masyarakat antara lain dilakukan dalam bentuk penyelenggaraan Iomba kebersihan, Iomba paduan suara dan
baca puisi kebersihan, swadaya pembangunan jalan lingkungan, penyediaan bingkisan untuk pasukan
kuning, sumbangan pakaian seragam kebersihan dan jas hujan, sumbangan kantong plastik sampah,

294
penyelenggaraan seminar dan sarasehan persampahan, sumbangan gerobak sampah, tong sampah, kontainer
mini, ceramah Adipura dan pelestarian, kebersihan kota, bantuan sarana kebersihan, sapu lidi, tanaman dan
bibit penghijauan, penyebarluasan pembudayaan hidup bersih, sekop, helm, sepatu, ganco atau garu,
keranjang sampah, penyuluhan terpadu, obat pembunuh jentik-jentik demam berdarah, dan gerakan kerja
bakti masyarakat untuk membersihkan lingkungan pemukimannya.
Walikotamadya DT II Surabaya, Poernomo Kasidi, bersama para aparat pembantunya tidak henti-
hentinya keliling ke pelosok kota untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat akan pentingnya
kebersihan kota. Di Wonokromo, walikota menegaskan bahwa kebersihan kota jangan hanya tergantung
pada pemerintah atau warga saja, tetapi harus dikelola secara bersama-sama oleh pemerintah, masyarakat
dan swasta. Pemerintah merencanakan pengelolaan sampah secara makro, tidak memanjakan masyarakat,
dan menciptakan wawasan lingkungan hidup yang aman, nyaman dan menyenangkan, serta pengelolaan
sampah harus diartikan sebagai kegiatan ekonomi (bukan sebagai usaha sosial semata-mata).
Bakti sosial dilakukan di mana-mana. Di Krembangan, warga dengan cara swadaya membangun jalan
lingkungan sepanjang 3 km, taman kota, dan saluran pembuangan air. Masyarakat membentuk Paguyuban
Pendidikan Cinta Bersih dan Kerukunan Cinta Bersih, di samping partisipasi LKMD, RW, RT, Karang Taruna
dan PKK. Di Gubeng dilakukan penghijauan kota. Warga Sukolilo membangun balai RW berkat peranserta
masyarakat dan gema Adipura disebarluaskan ke setiap RT. Warga Tegalsari yang tinggal di kawasan
strategis kota dan kantong elite pemukiman, dituntut untuk selalu menjaga kebersihan. Mantan Gubernur
Jatim, Mochammad Noer berpartisipasi aktif dalam mewujudkan kebersihan Tegalsari.
Tambaksari berusaha sekuat tenaga menciptakan daerahnya agar tetap berseri (bersih, sehat, rapidan
indah). Mewujudkan kebersihan di pusat pertokoan dan perbelanjaan Genteng gampang-gampang susah.
Susahnya, timbulan atau produksi sampah di daerah tersebut sangat melimpah. Gampangnya, peranserta
dan partisipasi masyarakat dan swasta dalam penciptaan kebersihan kota sangat tinggi. Dengan kebersamaan,
niscaya Surabaya Berseri bisa diwujudkan. Dengan bantuan swasta, camat Sawahan menyelenggarakan
Iomba kebersihan antar kelurahan dan RW untuk mengukur sejauh mana perbuatan nyata dan karya
masyarakat dalam memelihara kebersihan kota sudah merupakan bagian hidupnya sehari-hari. Pasukan
kuning Kecamatan Simokerto berbahagia dengan diterimanya sumbangan kontainer mini dan jas hujan dari
swasta.
Di Kecamatan Benowo, walikota menegaskan bahwa bukan karena Adipura warga Surabaya berupaya
hidup bersih, tetapi pola hidup bersih merupakan satu tuntutan hidup yang harus dilaksanakan secara total.
Adipura berfungsi sebagai perangsang warga kota untuk berbudaya bersih dan sehat. Di Tandes, simulasi
P-4 dimanfaatkan untuk menyebarluaskan pentingnya kebersihan kita yang memerlukan koordinasi yang baik
dari semua pihak. Kegiatan lawak juga dimanfaatkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan
kebersihan kota. Warga Kenjeran sudah sadar bahwa bersih itu sehat. Pembuatan jalan dengan swadaya
masyarakat, neonisasi dan bantuan pakaian seragam pasukan kuning menandai tingginya kesadaran warga.
Peran pemuda dalam kebersihan kota dengan budaya bersih dan budaya tertibnya sangat menonjol di
Karangpilang. Swasta membantu kontainer mini, gerobak sampah, pakaian, tong sampah, sekop, tas plastik,
helm, sepatu, garu, keranjang sampah, dan jas hujan untuk menciptakan Karangpilang yang bersih.
Di Rungkut dilakukan rehabilitasi saluran dengan cara padat karya dan pemugaran perumahan dan
lingkungan desa secara terpadu. Warga Bubutan merelakan sebagian tanah halaman rumahnya untuk
keperluan SUTP (Surabaya Urban Transportation Project). Operasi Yustisi Kebersihan didukung oleh semua
lapisan masyarakat, tokoh masyarakat, RW, RT, Karang Taruna, Remaja Masjid, alim ulama, PKK dan
organisasi kemasyarakatan lainnya. Wonocolo sebagai pintu gerbang Surabaya dari Selatan dijaga
kebersihannya dan aparat pemerintah tidak henti-hentinya memotivisir warga untuk menciptakan kebersihan
kota.
Mengikutsertakan lembaga pendidikan dalam penataan kebersihan kota, dimaksudkan untuk
mempercepat pembentukan sikap mental manusia yang berbudaya bersih. Pakar universitas diharapkan
dapat memberikan penyuluhan kepada warga Surabaya, seperti telah dilakukan oleh Rektor Unair dan lkatan
Alumni Unair dan Kagama se Jawa Timur. Kesan walikota selalu ngomef tentang sampah, sebenarnya
merupakan perwujudan keinginan walikota agar Piala Adipura selalu diraih oleh Surabaya. Bakti kebersihan

295
mahasiswa dan pelajar juga sangat membantu perwujudan kebersihan kota, demikian pula peran organisasi
Lions Club.
Swasta dan kalangan dunia usaha dihimbau dan diajak berpartisipasi dalam kebersihan kota.
Beberapa perusahaan ikut serta menata taman kota. Pengusaha taksi dan para pengemudinya ikut menjaga
kebersihan dalam kedaraannya, demikian juga di lapangan terbang, Pelabuhan Tanjung Perak, stasiun kereta
api, dan terminal bus. Kendaraan menyediakan tong sampah di dalam kendaraannya dan pengemudi dapat
mengingatkan penumpang agar tidak membuang sampah ke jalan melalui jendela mobil.
Rencana Operasi Yustisi Perda No. 6 Tahun 1986 tentang Penyelenggaraan Kebersihan Kotamadya
DT II Surabaya, ditetapkan oleh walikota pada tanggal 9 Januari 1989. Pelaksanaan Operasi Yustisi
Kebersihan dilakukan di seluruh kawasan kota, didahului oleh tahap persiapan (pemantapan personil dan
sarana serta usaha memasyarakatkan isi Perda), tahap pelaksanaan (operasi preventif, represif, non-yustisi,
represif yustisi, sasaran terhadap anggota masyarakat, tokoh masyarakat, pelanggar kebersihan yang
membuang sampah di sungai, selokan, got, rial, jalan umum dan tujuh jalur utama dan sekitarnya), dan tahap
evaluasi melalui penyelenggaraan rapat melibatkan berbagai unsur pemerintahan. Pelaksanaan sanksi Perda
No.6 Tahun 1986 dituangkan melalui lnstruksi Walikotamadya No. 22 Tahun 1988 dan Tenaga Operasional
Tim Operasi Yustisi ditetapkan melalui Keputusan Walikotamadya No. 13 Tahun 1989 tanggal 16 Januari
1989, dan Operasi Yustisi telah dimulai tanggal17 Januari 1989.
Dengan memperbaiki aspek organisasi dan manajemen, teknis operasional, pelayanan, peraturan
perundang-undangan, fisik, peranserta masyarakat dan PKK, dan kesehatan masyarakat serta pelaksanaannya
yang serasi, seimbang, terpadu dan berkelanjuan, warga Surabaya menanti Piala Adipura 1990. Semoga.
Angkatan Bersenjata, 9 Maret 1990

Bandung Bersih, Hijau Dan Berbunga Menuju


Kota ldaman
Upaya mengembalikan citra kota Bandung sebagai kota kembang dalam rangka mewujudkan kondisi
Bandung Atlas (aman, tertib, lancar, dan sehat) memerlukan peran serta secara aktif seluruh warga kota
Bandung. Walikotamadya DT II Bandung, Ateng Wahyudi, telah mencanangkan gerakan berhiber (bersih, hijau,
dan berbunga) melalui Surat Edaran Nomor 48 Tahun 1983 dan mengajak semua warga kota untuk berperan
serta dalam gerakan kebersihan.
Salah satu hasil gerakan berhiber yang tidak dapat dilepaskan dari tibmanra (ketertiban, keamanan, dan
kesejahteraan) Pemda Tingkat I Jawa Barat, Bandung Atlas, Opsih I, II, dan Ill, dan K3 (ketertiban,
kebersihan, dan keindahan) adalah diraihnya penghargaan Adipura tipe kota raya pada tahun 1988 dan 1989
yang merupakan perwujudan kota yang bersih, suatu prestasi yang juga dicapai oleh Surabaya. Gerakan
Berhiber saat ini sasarannya antara lain untuk menciptakan kebersihan kota dan meraih Adipura ketiga
kalinya serta mewujudkan Bandung sebagai kota wisata.

Berhiber
Bersih diartikan sebagai perwujudan kebersihan mulai dari halaman rumah, saluran atau drainase,
gorong-gorong (berm), selokan dan sungai, taman, pasar, fasilitas umum, dan kegiatan usaha. Hijau
dimaksudkan agar setiap rumahtangga yang mempunyai halaman dan yang halaman rumahnya luas,
menanam pohon-pohon tanaman keras, pohon hias atau buah-buahan. Juga diminta agar masyarakat ikut
bertanggungjawab memelihara dan mengamankan pohon-pohon yang ditanam oleh Pemda, Swasta, atau
Swadaya Masyarakat. Peran serta masyarakat dan gotong royong hendaknya sejauh mungkin melibatkan

296
RW, AT, Pokja Gerakan Kebersihan Melati, Organisasi Kepemudaan (FKPPI, KNPI, AMPI, BKTK atau
Taruna Karya, AMS, Wirakarya), Organisasi Pencinta Lingkungan, Pramuka, dan sejenisnya. Peran serta
LKMD dan peran bantu PKK sangat diperlukan dalam mewujudkan kebersihan lingkungan. Berbunga adalah
upaya menciptakan Bandung sebagai kota kembang yang segar dan asri. Tanah hal am an dan pekarangan
diusahakan dapat ditanami bunga sehingga kesan kota kembang seperti Keukenhof di Negeri Belanda dapat
diwujudkan.
Setelah meraih Adipura dua kali, program Bandung Berhiber diikuti gerakan Sapta Krida Pasca Adipura
dengan tujuan jangka pendek meraih Adipura ketiga kalinya dan jangka panjang melestarikan kebersihan
kota dan lingkungan serta menarik minat wisatawan asing dan domestik untuk berkunjung ke kota kembang
Bandung. Butir pertama, penyempurnaan produk hukum yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan hidup.
Kedua, peningkatan profesionalisme perangkat kerja yang secara substantif menangani kebersihan kota.
Ketiga, peningkatan peran serta masyarakat umum. Keempat, peningkatan peran bantu PKK sampai ke pos-
pos terdepan.
Kelima, peningkatan gerak dan kegiatan jajaran perangkat kerja kesehatan di bidang sanitasi lingkungan.
Keenam, percepatan proses dan peningkatan kualitas pelayanan di bidang kebersihan fisik melalui Proyek
Pengembangan Kota Bandung Dewi Sartika. Ketujuh, peningkatan pelaksanaan Operasi Bersih yang diharapkan
menjadi pendorong. Tatangan yang dihadapi dalam menciptakan kebersihan kota antara lain kota yang perlu
dihijaukan, taman kota yang langka, pembibitan tanaman yang kurang memadai, kurang diperhatikannya
pertamanan di daerah pemukiman baru, kurang teraturnya penataan kota, kurang lancarnya media promosi
kebersihan, pembinaan petugas kebersihan dan penyuluhan kepada masyarakat dan masyarakat yang
kurang teratur.
Menyadari adanya permasalahan ini, maka Pemerintah Kotamadya DT II Bandung berusaha sekuat
tenaga melaksanakan lima be/as program yang berkaitan dengan Bandung Berhiber. Pertama, membuat taman
swadaya masyarakat yang dilakukan dengan melakukan penanaman pohon di ruas jalan dan ruang terbuka
kota. Lamtoro gung ditanam di pinggir kali Citepus, taman Cibeunying ditata kembali, taman Sukajadi -
Cipaganti diisi dengan patung konstruksi besi dan tanaman rambat, taman sepanjang rei kereta api Braga
dipelihara, taman Cilaki diatur dengan swadaya masyarakat, dan taman Pajajaran diatur dengan melibatkan
peran serta masyarakat dan PKK.
Kedua, mengembalikan Bandung menjadi kota kembang dan Parijs van Java. Jika sekitar tahun 1896
Asisten Residen Kota Bandung, R.A.A. Martanegara sudah menghimpun wadah partisipasi masyarakat yang
juga didukung oleh Pieter Sijthoff dengan nama Vereeniging tot nut van Bandoeng en Omstreken (Perkumpulan
Kesejahteraan Masyarakat Bandung dan Sekitarnya), maka alangkah tidak terpujinya jika pada tahun 1989/
1990 ini warga kota Bandung tidak ikut berperan serta dalam mewujudkan kebersihan kotanya. Kahumas
Kodya Bandung, Nooryakin Kusumahatmadja, menegaskan bahwa mengembalikan citra Bandung Kota
Kembang tidaklah terlalu sukar asalkan kita mampu mengobarkan kembali semangat menghijaukan kota
bagaikan mengobarkan semangat Bandung Lautan Api dan setiap warga Bandung menjiwai keinginan
penciptaan Bandung yang bersih, hijau, dan berbunga.
Ketiga, Pemda meningkatkan penyediaan dan pelayanan air bersih, memperbaiki kampung, mengelola
sampah, memanfaatkan air hujan dan mengendalikan banjir, mengatur sanitasi dan drainasi, dan mengatur
transportasi kota. Keempat, menanam pohon-pohon pelindung di sepanjang jalan seperti kenari (Canarium
commune), mahoni (Switenia mahagoni), dan pohon trembesi atau kihujan (Samanea saman) yang indah dan
kokoh. Penempatan pohon memperhatikan shift dan fungsi pohon, Iebar jalan, instalasi yang ada baik di atas
maupun di bawah tanah, jarak penanaman, dan arah cahaya matahari, pemeliharaan, penyuluhan, penebangan
atau pemangkasan, dan pengamanan pohon.
Kelima, menata taman hutan raya dan kebon penelitian lr. H. Djuanda sebagai tempat rekreasi seperti
Kebun Raya Bogar dan Cibodas. Di kawasan ini juga terdapat peninggalan sejarah berupa gua Jepang, gua
Belanda, dan kolom rekreasi Dago seluas 1,8 Ha sebagai sumber tenaga listrik. Keenam, menanggulangi
sampah dalam menuju Bandung bersih. Jika di Surabaya dikenal pasukan kuning tenaga kebersihan, maka
Bandung memiliki kelompok Surya Medal. PO Kebersihan bersama lnstansi Pemerintah terkait lainnya,
Swasta dan Masyarakat bersama-sama menanggulangi permasalahan sampah.

297
Tempat sampah 40 liter dan 120 liter, gerobak sampah ukuran 120 liter, kontainer 10 m3, truck load
haul untuk mengangkut kontainer, dan tempat pembuangan akhir di lima lokasi (8 Ha di Leuwigajah sebelah
Barat Bandung, Cieunteung di Selatan, Cisurupan Dago di Utara yang sekarang sudah ditutup, Cicabe di
Timur, dan 14 Ha di Pasir lmpun sebelah Timur Laut), kesemuanya mendukung penciptaan Bandung
Berhiber.
Daerah pelayanan diklasifikasikan atas tiga jenis, yaitu daerah pelayanan tinggi, sedang, dan rendah.
Kelompok tenaga kebersihan penyapu jalan bekerja 4 shift, yaitu Surya Medal, Surya Terang, Sandhya Kala,
dan Embun Pagi masing-masing bekerja pada pagi hari, siang dan sore, malam, dan menjelang subuh.
Pengelolaan sampah dari pemukiman (61%) melibatkan peran serta Swasta dan Masyarakat, sampah pasar
(8%), pusat perdagangan (4%), sepanjang jalan (5%), dan industri (2%) dibersihkan dan diangkut oleh
petugas PO Kebersihan bekerjasama dengan petugas kebersihan setempat.
Peralatan kebersihan yang terdiri dari 7 buldozer, 1 kendaraan penyapu jalan, 4 loader, 83 truk, 7
compact truck, bak sampah di jalan umum dan tempat umum, container, gerobak sampah, tong sampah,
kesemuanya didayagunakan agar kebersihan kota dapat diwujudkan. Lomba K3 diselenggarakan tiap tahun
untuk merangsang dan meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab aparat Pemda dan warganya terhadap
kebersihan kotanya.
Ketujuh, mengembangkan dan memperluas kota Bandung dari 8.098 Ha menjadi 17.000 Ha akan
menambah beban pemikiran Pemda. Foto Ateng Wahyudi yang bingung menandakan betapa sukarnya
mengelola Bandung, sebaliknya fotonya dalam keadaan tertawa menandakan Bandung bahagia meraih
Adipura. Kedelapan, mengembangkan Bandung menjadi tempat wisata dan rekreasi. Perhatian yang besar
Walikota terhadap pengembangan pusat jeans Cihampelas yang memberi lapangan kerja kepada 2.000
tenaga muda dan menarik wisatawan asing serta pengembangan Cibaduyut sebagai pusat industri kerajinan
sepatu dengan merk Oval dan Diana sampai ke Bally Cibaduyut benar-benar telah menjadikan dua kawasan
ini menjadi daerah bisnis-wisata. Tari jaipongan sebagai nilai seni, sebenarnya perlu dikembangkan dan
disebarluaskan sebagai salah satu daya tarik wisatawan.
Kesembilan, mengembangkan kota Bandung melalui proyek BUDP (Bandung Urban Development
Project) yang mengatur perbaikan kampung, persampahan, pembuangan air hujan dan pengendalian banjir,
pembuangan air kotor, penyediaan tanah matang dan rumah inti, perbaikan prasarana kota kecil, penyediaan
air bersih, dan pengembangan daerah metropolitan. Kepadatan rata-rata penduduk Bandung yang 188 jiwa
per Ha dan hanya kalah padat oleh Jakarta Pusat yang 238 jiwa per Ha, mengakibatkan Pemda harus
memutar otak bagaimana mengatur pemukiman mereka dan menyediakan prasarana dan sarana perkotaan
yang memadai.
Kesepuluh, mengembangkan kota Bandung melalui proyek BUTP (~andung Urban Transporation Project)
yang menambah jaringan jalan, pembangunan koridor, peningkatan jalan di pusat kota, penataan sebelas
persimpangan, perbaikan jalan lingkungan, pengadaan peralatan pemeliharaan jalan, penggantian traffic light,
dan pengaturan sistem angkutan kota, diarahkan untuk menciptakan sistem angkutan kota yang teratur.
Kesebelas, melestarikan patung sebagai karya seni untuk menyemarakkan kota. Patung yang indah
telah berdiri di lingkungan perumahan Sumbersari, patunglolypop di jalan Pajajaran, patung Dasa Sila
Bandung di Prapatan Lima, dan patung konstruksi besi yang semarak, mencerminkan nilai seni-budaya
Indonesia yang tinggi menambah daya tarik kota Bandung sebagai kota wisata.
Keduabelas, melakukan pembibitan untuk menghijaukan Bandung yang dilakukan di lima tempat
seluas 5 Ha, yaitu jalan Seram, Sumbawa, Cibeunying, Ciumbulleuit, dan Surapati. Pembibitan meliputi
tanaman pelindung mahoni, angsana, kirai payung, bungur, tanaman hias, dan tanaman berbunga seperti
bugenvile. Di samping dilakukan oleh Pemda, pembibitan juga dilakukan oleh masyarakat seperti terlihat di
sepanjang jalan terusan Pasteur.
Ketigabelas, menganjurkan setiap warga kota agar membuat taman rumah tinggal bukan sedekar
bercocok tanam secara indah, tetapi merupakan penataan dan pemanfaatan halaman sebagai ruang gerak di
luar rumah sesuai dengan kebutuhan penghuni, pemeliharaan keseimbangan dan kelestarian lingkungan.
Keempatbelas, membuat pagar rumah bukan sekedar sarana pembatas, tetapi merupakan pagar hidup yang

298
hijau, sebagai peredam suara, penahan debu, penambah oksigen atau berfungsi sebagai apotik hidup.
Kelimabelas, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemikiran, perencanaan, pelaksanaan,
tanggungjawab, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi pengelolaan kebersihan kota.

Bandung ldaman
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemda dalam melaksanakan program Bandung Berhiber menuju
kota Bandung ldaman, antara lain peningkatan penyuluhan, peningkatan penyediaan dana (APBD Murni,
peran serta Swasta dan Masyarakat), dan peningkatan partisipasi masyarakat. Dinas Pertamanan Kodya
Bandung menegaskan bahwa menuju Bandung ldaman yang Berhiber bukanlah hanya sekedar ceritera
menggantang asap.
Semuanya memerlukan perjuangan, dedikasi, dan bekerja tanpa patah semangat. Walikotamadya
Bandung telah menetapkan berbagai kerangka rencana dan pelaksanaan kegiatan terpadu dari seluruh
aparatnya dalam mencapai Kota Bandung ldaman, antara lain kerja bakti KORPRI, generasi muda, LKMD
dan UDKP, PKK, dan Iomba-Iomba kebersihan antar Kecamatan dan Kelurahan.
Hasil yang diharapkan dari semua upaya di atas adalah diraihnya Adipura untuk ketigakalinya pada
bulan Juni 1990, perwujudan kebersihan dan keindahan kota, bertambahnya wisatawan asing dan domestik,
dan diwujudkannya kota Bandung ldaman yang Berhiber dalam kondisi Atlas.
Merdeka, 19 Desember 1989

HUT ke-377 Manado:

Meraih Adipura Dan Melestarikan Bunaken


Menado Bersehati (bersih, sehat, aman, tertib, dan indah), salah satu kota dari IBT atau INTIM (Indonesia
Bagian Timur), atau KTI (Kawasan Timur Indonesia), merupakan muka baru peraih Adipura 1990 (kota
sedang) di samping Magetan dan Tanjung Pinang (keduanya kota kecil). Keberhasilan Walikota Menado, lr.
NH Eman, meraih Pataka Anugerah Parasamya Purnakarya Nugraha Pelita IV dan Adipura 1990 merupakan
modal besar untuk bersaing meraih jabatan Wa/ikota Manado Periode Kedua. Tantangan berikutnya akan
muncul, yaitu bagaimana melestarikan taman laut Bunaken yang indah.
Lampu bertuliskan Selamat Adipura 1990 yang terpampang di atas Balai Kota Manado merupakan
lambang keberhasilan Pemda Tingkat II Walikotamadya Manado bersama warganya dalam menata kebersihan
kota. Manado bersih, terbukti mulai dari bandara Sam Ratulangi sampai batas kota Manado sulit dijumpai
sampah. Memasuki kota Manado juga tetap bersih, kecuali di daerah pelabuhan, jalan sepanjang pantai yang
sedang dibangun, lokasi pasar senggol, dan sekitar jalan Lembong. Dibandingkan dengan kota Manado
keseluruhan, daerah-daerah yang kotor ini relatif kecil.
Walikota Eman telah berhasil mengelola kebersihan kota melalui partisipasi dan kesadaran masyarakat
yang tinggi, retribusi kebersihan kota, peran serta PKK, derajat kesehatan yang baik, dan fisik kota yang
bersih. Kesan sepintas, kotanya hampir mirip Bogar. Bedanya Bogar di perbukitan sedangkan Manado di
daerah pantai. Jika Eman ingin meraih Adipura kedua kalinya tahun 1991 (tidak seperti Ambon yang hanya
meraih sekali tahun 1989) dan tidak ingin kalah oleh Magelang dan Bogar, serta tidak ingin dikejar oleh Tegal,
Cianjur, Jambi, Pekanbaru, Pontianak, Samarinda, Ambon dan kota-kota sedang lainnya (penduduk 100.000-
500.000 jiwa), maka sejak sekarang harus sudah mulai menata kembali kebersihan kotanya.
Bunaken
Manado terdiri dari lima kecamatan, yaitu Wenang (19 kelurahan), Sario (12 kelurahan), Malalayang (5
kelurahan), Mapanget (1 0 desa), dan Molas (21 desa/kelurahan). Penggunaan tanahnya, 63,6% sawah,

299
ladang dan perkebunan, 20,73% ruang terbuka, 13,20% perumahan, dan 1,89% daerah perdagangan,
industri dan rekreasi. Penduduknya 278.074 jiwa, Wenang penduduknya paling banyak tetapi Sario paling
padat. Penduduk kotamadya sebagian besar pegawai negeri, ABRI dan pensiunan dan warganya paling
banyak beragama Kristen Protestan.
Manado dan sekitarnya termasuk ke dalam salah satu Daerah Tujuan Wisata di Sulut, memiliki
beberapa lokasi strategis yang berhubungan dengan taman laut, yaitu (1) Manado sebagai pusat wisata, (2)
Tanjung Pisek, Tongkeina, Meras, Molas, Lima Pulau yang indah (Bunaken, Manado Tua, Mantehage,
Siladen, dan Nain), dan (3) Tasik Ria dan Malayang yang merupakan kawasan wisata bahari atau wisata
pantai (seperti Bin a Ria di Jakarta). Tiga lokasi ini bisa kita sebut sebagai Segitiga Emas atau Segitiga Wisata.
Pengembangan segitiga wisata ini sejalan dengan survai pasar yang dilakukan oleh Ditjen Pariwisata, konsep
Rencana Teknik Ruang Pemukiman oleh Ditjen Cipta Karya, dan survai UNDP tentang pengembangan Molas
dan Meras untuk mendukung Bunaken. Tanjung Pisok!Tongkeina berada 10 Km Barat Daya Manado dan
Bunaken berada 20 Km di Utara Tasik Ria.
Di kawasan Tasik Ria sedang dibangun hotel dengan 200 kamar yang diharapkan bisa menampung
wisatawan mancanegara dan penumpang transit di Manado setelah bandara Sam Ratulangi dibuka sebagai
jalur langsung ke luar negeri. Tasik Ria dengan pantainya yang indah diharapkan menjadi Ancolnya Manado.
Dari Tasik Ria, kita akan bisa menggunakan perahu bermotor ke Bunaken, Tanjung Pisek dan Manado.
Pantai di dekatnya, Kelase, yang juga tidak kalah indahnya, saat ini dikelola oleh PKK Tingkat Kecamatan.
Molas, Meras dan Tongkeina saat ini dijadikan sebagai pangkalan diving club, seperti NDC (Nusantara
Diving Club) dan Barracuda. Dari Molas dan Meras kita hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk
mencapai taman laut Bunaken. Tanjung Pisok!Tongkeina merupakan daerah belum terbangun, kecuali jalan
raya yang baru dibangun. Konen di sekitar Tanjung Pisok dan Tongkeina ini akan dikembangkan menjadi
pusat rekreasi pantai/laut, puslit kelautan, perkemahan, kegiatan olahraga !aut termasuk golf, hotel dan
penginapan, dan dermaga. Bunaken tidak dibangun, karena dikawatirkan dapat mengganggu kelestarian
lingkungan dan ekosistem yang ada. Tetapi pemukiman penduduk akan ditata kembali dengan memindahkannya
ke lokasi di tengah pulau yang dilengkapi dengan kerajinan pembuatan tepung ikan dan pembuatan perahu.
Jadi di Tasik Ria sedang dibangun hotel dengan 200 kamar atas biaya Pemda dan MTDC (Manado
Tourist Development Center) Ditjen Pariwisata, maka kawasan Tanjung Pisok!Tongkeina dan Wori (sekitar 5-
10 Km di Utara Tanjung Pisek) seluas 215 Ha lebih telah direncanakan untuk juga dibangun hotel dan sarana
serta prasarana pendukung wisata lainnya. Ada sedikit perbedaan antara Tasik Ria dengan Tongkeina, Tasik
Ria pantainya landai tidak ditumbuhi tanaman bakau sedangkan pantai Tongkeina dikelilingi tan am an bakau.
Dengan demikian timbul pertanyaan apakah pembangunan fasilitas pariwisata di sekitar Tanjung Pisek/
Tongkeina tidak akan mengganggu kelestarian alam dan lingkungan hidup? Demikian pula, dengan akan
dibangunnya dermaga ijetty, perahu motor dan tempat penyewaan peralatan selam) di Tanjung Pisek,
apakah tidak mencemari !aut sekitar Bunaken yang jaraknya hanya sekitar 4-5 Km?
Rencana Teknik Ruang yang sedang disusun oleh Cipta Karya dan pengamatan Pemda Tingkat I Sulut
sendiri, kelihatannya cenderung memprioritaskan pemeliharaan taman !aut sekitar Bunaken, pembangunan
hotel sekitar Tanjung Pisok tanpa mengganggu kelestarian lingkungan, perlindungan dan pembatasan/
pengketatan pembangunan fisik di Pulau Bunaken, pembangunan pusat penelitian kelautan, pembangunan
fasilitas rekreasi sekitar Tanjung Pisek dan Tongkeina, pembangunan sarana perkemahan, dermaga perahu
motor, dan rehabilitasi serta peremajaan pohon kelapa.
Gambaran di atas memperlihatkan pada kita betapa panting artinya Adipura bagi Manado untuk
menciptakan kota Bersehati (bersih, sehat, aman, tertib, dan indah) dan sekaligus melestarikan lingkungan
dan menekan pencemaran terhadap kawasan wisata !aut Bunaken. Pemda, Swasta dan warga kota Manado
harus bertekad meraih Adipura 1991.
Sungai Tondano yang airnya jernih dari Danau Tondano, tidak lagi jernih setelah memasuki kota Manado,
apalagi sungai Tikala yang agak kotor sejak aliran dari Banjer. Bagaimana pengaruh kota Manado, teluknya
yang indah, dan kawasan wisata bahari Tasik Ria, Tanjung Pisok!Tongkeina pada tahun 2000 terhadap
kawasan taman !aut Bunaken? Jika kualitas lingkungan Manado dan sekitarnya tidak dikelola dengan baik

300
sedini mungkin, kita kawatirkan ikan-1kan aneka warga di taman laut Bunaken akan kabur mencari tempat
yang lebih nyaman untuk hidupnya. lni berarti Bunaken yang kita banggakan sebagai salah satu kekayaan
nasional, akan tiada lagi menjelang tahun 2005 nanti.
Kita semua harus berusaha menjaga kelestarian kawasan wisata laut Bunaken dan pulau-pulau
sekitarnya. Pengembangan marina sekitar Tanjung Pisok jangan sampai merusak hutan bakau dan biota Iaut.
Tampaknya perencanaan pembangunan di kawasan ini masih berjalan sendiri-sendiri, tumpang tindih,
pengembangan pemukiman di Tongkeina tidak nyambung dengan pengembangan kawasan wisata Mol as
dan Meras, dan nelayan di pulau-pulau Bunaken, Manato Tua, Mantechage, Siladen, dan Nain semakin
sempit daerah usahanya.
Pekerjaan rumah buat Pemda tingkat I Sulut, Kabupaten DT II Minahasa dan Kotamadya DT II Manado
serta pakar-pakar pariwisata, pakar lingkungan hidup, dan perencana kota. Pada peringatan HUT Kota
Manado ke 377 pantas dicanangkan Gerakan Matarpinaken Bersih (Manado-Tasik Ria-Tanjung Pisok-Bunaken)
di samping Manado Bersehati. Pengembangan kota Manado dan kawasan segitiga wisata ·(Manado-Tasik
Ria-Tanjung Pisok/Bunaken) dan sekitarnya harus menyatukan kepentingan pelestarian hutan, pengembangan
pariwisata, perikanan, pemukiman, pengembangan kota Manado, pengendalian pertambahan penduduk,
penataan kawasan industri, pembangunan tanpa mengusir penduduk, pengelolaan sampah dan kebersihan
kota, proyek kali bersih Tondano, dan pelestarian lingkungan hidup.
Neraca, 11 Juli 1990

Jakarta Pusat Mengejar Piala Adipura


Sampah, tidak menarik untuk dilihat tetapi telah menarik perhatian warga DKI. Pemerintah DKI Jakarta
yang mencanangkan program kotanya menuju kota BMW (bersih, manusiawi, dan wibawa) telah menempatkan
penanggulangan sampah sebagai salah satu prioritas pembangunan. Setiap walikota di lima wilayah diminta
menanggulangi sampah untuk menciptakan kota yang bersih. Bahkan semua kelurahan di Jakarta Pusat
diwajibkan melaksanakan sistem daur ulang sampah. Masalah sampah di Jakarta Pusat sangat kompleks,
ada sampah rumahtangga, pasar, industri, komersial atau pertokoan, jalan, dan sampah campuran. Melalui
penanganan sampah yang bersistem, Jakarta Pusat berusaha meraih piala Adipura tahun 1990 yang
merupakan lambang kota bersih.

Pengelolaan Sampah
Dengan asumsi 2,5 liter atau 0,5 Kg sampah/orang/hari, produksi sampah di DKI Jakarta tahun 1981
adalah 1,2 juta ton per tahun, sedangkan untuk tahun yang sama produksi sampah Jakarta Pusat 270.000 ton
per tahun. Produksi sampah Jakarta Pusat tahun 1985 dan perkiraan tahun 1995 dan 2005 adalah 300.000,
400.000, dan 470.000 ton. Sampah di Jakarta Pusat dikumpulkan mulai dari sumbernya baik dari rumahtangga,
pasar, daerah perdagangan, industri rumahtangga dan jalan, kemudian ditampung dalam tong sampah atau
karung plastik yang beraneka ragam bentuknya. Sebagian besar dari tong sampah ini tidak bertutup. Di
beberapa daerah dapat kita lihat sampah dibuang di tempat terbuka atau di sungai.
Sampah dikumpulkan dan diangkut dari sumbernya dengan menggunakan gerobak menuju lokasi
penampungan sementara (LPS) dan selanjutnya diangkut dengan truk sampah yang berbeda-beda tipenya
menuju ke lokasi pembuangan akhir (LPA). Di samping itu masih ada juga cara pengumpulan dan
pengangkutan sampah lainnya, yaitu yang dilakukan dari rumah ke rumah dengan menggunakan truk
compactor yang langsung dibuang ke LPA. Cara yang terakhir ini yang dilaksanakan di Jakarta Pusat dapat
melayani sekitar 7% penduduk Jakarta.
Studi yang dilakukan oleh Kelompok Pengelolaan Sampah BPP Teknologi tahun 1982 telah memberikan

301
gambaran sampah Jakarta Pusat. Komposisi sampah terdiri atas sampah organik, kertas, kayu, kain dan
tekstil, karet, kulit tiruan, plastik, logam, gelas dan kaca, tanah, batu, pasir, dan lain-lain. Produksi sampah
Jakarta Pusat yang banyaknya 868 ton/hari, oleh Sudin Kebersihan Jakarta Pusat dan PD Pasar Jaya hanya
terangkut 490 ton/hari (56,6%). Dari 143 truk yang beroperasi tahun 1982 hanya 15% saja yang umurnya
kurang dari 5 tahun dan selebihnya truk tua. Dari waktu kerja 8 jam per hari, armada truk sampah hanya
dapat beroperasi rata-rata 1,75 rit per hari. Hal ini disebabkan oleh kondisi jalan dan lalulintas yang padat
serta route dari LPS ke LPA yang tidak pasti. Sistem pengumpulan dan pengangkutan sampah belum
optimal. Penyebabnya antara lain peralatan yang digunakan belum memadai, jumlah tenaga dinas kebersihan
terbatas, dan kesadaran serta partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah masih rendah.
Dengan dicanangkannya kota Jakarta yang BMW, maka sistem pengelolaan sampah disusun ke dalam
berbagai sub-sistem yang ada. Antara lain pengumpulan sampah yang dilakukan oleh rumahtangga dengan
menggunakan plastik, fiberglass, tong sampah terbuka atau tertutup, dan galvanis. Petugas kebersihan
menggunakan truk compactor, 'container, dan disertai lagu Betawi (sistem jali-jali) pada saat mMgumpulkan
sampah.
Perencanaan sistem pengelolaan sampah harus mencakup subsistem pengumpulan, pengangkutan,
pengolahan, dan pembuangan. Perencanaan sistem pengelolaan sampah memerlukan data produksi sampah
saat ini, sebelumnya, dan proyeksinya. Pengumpulan sampah merupakan subsistem terdepan yang sangat
menentukan kelancaran sistem secara keseluruhan. Subsistem pengumpulan sampah langsung berhubungan
dengan masyarakat, sehingga keberhasilannya dipengaruhi oleh perilaku masyarakat.
Sampah rumahtangga ditampung dalam tong sampah atau dimasukkan ke dalam kantong plastik.
Sampah kemudian diangkut atau dipindahkan ke bak-bak sampah, kontainer, atau langsung dimasukkan ke
dalam truk sampah compactor. Proses pengumpulan dan pengangkutan ini harus berjalan periodik agar
penumpukan sampah bisa dihindari. Pengelolaan sampah perlu memperhatikan segmentasi penghasil
sampah, misalnya rumahtangga di gedongan Menteng, rumahtangga di pemukiman MHT, rumahtangga di
kompleks pemukiman rumah susun mewah, menengah, dan sederhana, pasar, bioskop, pertokoan dan
swalayan, perkantoran, dan pemukiman kumuh. Pengelolaannya perlu melibatkan partisipasi masyarakat, RT
dan RW, serta swasta. Kesemuanya perlu memiliki ciri-ciri pengumpulan dan pengangkutan sampah yang
tentu ada perbedaannya satu dengan yang lainnya.
Walikota Jakarta Pusat telah melaksanakan uji coba tiga model pengelolaan sampah, yaitu dengan
sistem galvanis di Cikini, tong sampah fiberglass di Petojo Utara, dan daur ulang di Bungur. Di daerah Cikini
sampah rumahtangga dikumpulkan di sebuah galvanis yang diletakkan di ujung gang. Pada jam-jam tertentu
galvanis diangkut ke LPS, dipadatkan dengan compactor, kemudian dijual ke para lapak (penampung
sampah dari pemulung), dibuang ke LPA di lokasi gali urug (sanitary landfill) di Bantar Gebang Bekasi atau
tempat terbuka (open dumping) di Cakung atau Srengseng. Di Petojo Utara dipasang 32 bak fiberglass.
Dengan sistem fiberglass, jenis-jenis sampah mudah dilihat sehingga pembuangannya juga mudah. Sistem
daur ulang melibatkan pemulung. Dengan sistem ini setiap rumahtangga memilih sampah yang masih bisa
dijual seperti kertas dan majalah, botol, kaleng, plastik. Dengan daur ulang, plastik bisa dijual Rp 250 per kg,
koran dan kaleng Rp 350/kg, dan majalah Rp 150/kg. Bila memungkinkan, sampah dibakar dan sampah yang
akan dibuang dibungkus plastik.

Adipura
Jakarta Pusat pantas menargetkan piala Adipura. lstana Negara, Balai Kota, Monas, Kedutaan, dan
Perkantoran harus bersih. Swasta sudah diikutsertakan mengatur sampah di sembilan kelurahan. Kriteria
penilaian Adipura yang terdiri atas kebersediaan sistem pengelolaan sampah, peran serta masyarakat dan
swasta, PKK, kesehatan, dan kondisi kebersihan kota sudah lebih baik. Untuk menciptakan Jakarta Pusat
yang bersih perlu dilakukan penyuluhan, dipasang spanduk himbauan pentingnya kebersihan dan keindahan
kota, dan ditingkatkan pengawasan kebersihan di sepanjang jalan. Tong sampah perlu dipasang di sepanjang
jalan dan petugas mengangkut sampah secara periodik sepanjang hari. Sungai-sungai dibersihkan dari
sampah. Camat dan Lurah diwajibkan mengawasi kebersihan daerahnya dari sepanjang masih tersedia tanah
disediakan LPS di setiap kelurahan.

302
Harapan
Jakarta Pusat yang terdiri atas 7 kecamatan, yaitu Tanah Abang, Menteng, Senen, Cempaka Putih,
Sawah Besar, Gambir, dan Kemayoran, dan 41 kelurahan bukan tidak mungkin untuk meraih piala Adipura
1990. Syaratnya perlu ditanggulangi bersama. Aparat Sudin Kebersihan harus bekerja dengan baik, armada
sampah harus memadai dan jumlah petugas yang memelihara kebersihan perlu ditingkatkan. Perkantoran
dan tempat hiburan harus memelihara kebersihan. Pertokoan seperti Tanah Abang, Senen, dan Pasar Baru
harus mengelola kebersihan dengan baik. Retribusi sampah harus dibayar oleh setiap rumahtangga. Sistem
daur ulang yang melibatkan para pemulung perlu dilaksanakan secara serentak di tiap kelurahan sampah ke
RW dan RT. Lomba kebersihan antar kelurahan di Jakarta Pusat perlu diselenggarakan. Kelurahan terbersih
menerima hadiah dan Kelurahan terkotor menerima peringatan. Lurah memegang komando kebersihan di
daerahnya dibantu oleh para RW, RT, ibu-bu PKK, Karang Taruna dan warganya untuk menciptakan
lingkungan yang bersih dan sehat.
Jayakarta, 20 Juli 1989

Menumbuhkan Cinta Kebersihan Warga DKI


Kota Jakarta berpacu pesat dalam berbagai bidang pembangunan, namun di balik itu Jakarta
dihadapkan pada permasalahan yang rumit, antara lain sampah dan limbah. Untuk dapat mengatasi masalah
pengumpulan, pengangkutan, dan pembuangan sampah, perlu dimantapkan organisasi Dinas Kebersihan
ditingkatkan koordinasi antar instansi yang ditugaskan ikut mengelola kota, penyuluhan dalam rangka
menumbuhkan peran serta masyarakat dalam penataan kebersihan, penanganan kebersihan secara terpadu,
menuju pada perwujudan Kota Jakarta BMW (Bersih, Manusiawi, dan Wibawa).

Kendala
Kepala Dinas Kebersihan DKI Jakarta, Budihardjo, menegaskan, paling sedikit ada tujuh kendala dan
permasalahan sampah di ibukota. Pertama, peran serta dan disiplin masyarakat di dalam penanganan
kebersihan masih kurang memadai dan perlu ditingkatkan. Kedua, jumlah LPA masih terbatas dan sistem
pengelolaan LPA masih jauh dari norma-norma sanitasi lingkungan. lni mengakibatkan inefisiensi pengoperasian
di LPA, sehingga berpengaruh terhadap jumlah ritasi pengangkutan dari LPS (Lokasi Penampungan
Senentara) ke LPA (rata-rata 1,6 rit/hari). Ketiga, akibat terbatasnya dana, maka sarana dan personil kebersihan
hanya mencakup sebagian areal DKI. Di beberapa tempat tertentu, pengelolaan sampah masih dilakukan
oleh masyarakat sendiri. Sarana truk angkutan sampah yang efektif hanya 645 buah, sedangkan kebutuhan
ideal untuk seluruh DKI 1,064 buah.
Keempat, berkembang pesatnya areal pemukiman baru yang tidak dilengkapi fasilitas penampungan
sampah yang memenuhi persyaratan, menambah beban Dinas Kebersihan DKI. Kelima, retribusi sampah masih
sangat rendah disebabkan mekanisme penarikan dan data wajib retribusi kurang mendukung. Keenam,
pengangkutan sampah dari LPS ke LPA masih rendah ritasinya, disebabkan kemacetan jalan, jauhnya jarak
dari LPS ke LPA, kendaraan truk yang sudah tua, transfer station sebagai stasiun antara sebelum sampah
dibuang ke LPA, belum bisa diwujudkan. Ketujuh, organisasi Dinas Kebersihan sesuai Perda No. 15 Tahun
1981, sudah menuntut penyesuaian.
Terbatasnya dana mengakibatkan pengelolaan sampah dengan cara open dumping masih dilakukan,
antara lain di LPA Srengseng Kelapa Dua (menampung sampah 2.500 m3/hari), Kapuk Kamal (3.000 m3/hari),
dan Budi Dharma Cakung (8.800 m3/hari). Penyuluhan pengelolaan sampah diprioritaskan dan intensifikasi
pengelolaan sampah di tiap kelurahan makin berkembang, dari 140 kelurahan (1989) berkembang menjadi
170 kelurahan (1990) dan 200 kelurahan (1991), dan akan dikembangkan menjadi 230 kelurahan (1992) dari
261 kelurahan yang ada di DKI.

303
Pengelolaan
Din as Kebersihan OKI Jakarta dibentuk berdasarkan SK Gubernur OKI Jakarta No. Ob.4/1 /7/1967 jo.
Keputusan Gubernur No. B.VIII-1498/a/1/1976 dalam rangka pemberian pelayanan masyarakat di bidang
kebersihan. Oganisasi dan Tatakerja Dinas Kebersihan ditetapkan berdasarkan Perda No. 15 Tahun 1981.
Dinas Kebersihan bertanggungjawab secara teknis administratif kepada Gubernur KDKI Jakarta atas
terselenggaranya pengelolaan kebersihan di seluruh wilayah kota. Walikota mengkoordinir dan mengawasi
pelaksanaan operasional pengangkutan sampah dari LPS ke LPA di wilayah kota masing-masing dan
dibantu Kepala Suku Dinas Kebersihan sebagai penanggungjawab harian. Camat mengkoordinir dan
mengawasi pelaksanaan operasional pengumpulan sampah dari tiap wilayah kelurahan ke LPS serta dari
LPS ke LPA, dibantu Kepala Seksi Kebersihan Kecamatan sebagai pelaksana harian. Lurah bertanggungjawab
atas terselenggaranya kebersihan di wilayah kelurahan yang meliputi pelaksanaan pengumpulan sampah dari
tiap RT/RW ke LPS baik secara swadaya maupun dilaksanakan oleh Sub Seksi Kebersihan Kelurahan.
Penanganan sampah perlu dimulai dari sumbernya, yaitu pembuang sampah yang berada di lingkungan
pemukiman, lingkungan kerja, perdagangan, dan pendidikan. Pengelolaan sampah menuntut koordinasi antar
instansi, keterlibatan masyarakat dan swasta agar berperan-serta dalam mewujudkan kebersihan lingkungannya,
dan perlu program penanganan kebersihan terpadu, dilaksanakan secara bertahap, berlanjut dan
berkesinambungan. Masyarakat harus dilihat tidak lagi sebagai objek, tetapi sebagai subjek penanganan
kebersihan.
Dinas Kebersihan DKI (1990) menginformasikan bahwa produksi (timbulan) sampah di Jakarta sebesar
2,67 ltr/kapita/hari, terdiri atas 73,99% sampah organik dan 26,01% sampah non-organik yang meliputi
sampah (8,28%), kayu (3,77%), kain-kainan (3, 16%), karet, kulit dan sejenisnya (0,56%), plastik (5,44%),
logam/metal (2,08%), kaca/gelas (1 ,77%), dan lain-lain (0,95%). Volume sampah setiap hari 21.671 M3. Yang
tertanggulangi per hari 17.331 M3 (79%) dan sisanya digunakan oleh masyarakat untuk menguruk tanah legok
atau empang, pupuk, terserap alam, dan berserakan.
Jumlah kendaraan pengangkut sampah pada tahun 1990 ada 736 buah dan yang efektif beroperasi
ada 645 buah (87,6%). Sarana LPS yang telah ada di DKI meliputi 74 dipo, 272 pool gerobak, 187 transito,
188 bak container, 1.220 galvanis, dan 474 LPS terbuka berupa bak sampah dari beton. Sarana pengumpulan
tinja/air kotor dan sampah, terdiri atas 7.231 gerobak sampah, 810 gerobak celeng, 98 gerobak lumpur, 111
truk tinja air kotor, 2 gerobak dorong tinja, 6 mobil toilet, dan 5 truk tangki air. Alat-alat besar yang dimiliki
terdiri atas 12 buldozer, 20 shovel dozer, 33 whee/loader, 3 transh master, 1 vibration roller, 1 derek, 1 trailler,
5 excavator, dan 25 street sweeper.
Jumlah pegawai Dinas Kebersihan menurun dari 6.804 orang (1986) menjadi 5.989 orang (1990).
Tenaga lapangan penyapu jalan sebagian besar adalah pekerja swasta dan tenaga swadaya masyarakat.
Dari 5.989 orang, terbagi atas 3.014 orang (golongan 1), 2.829 orang (golongan II), 141 orang (golongan Ill),
dan 5 orang (golongan IV). Mereka tersebar 1.262 orang (Kantor Dinas Kebersihan), 1.573 orang (Sudin
Kebersihan Jakpus), 580 orang (Sudin Kebersihan Jakut), 790 orang (Sudin Kebersihan Jakbar), 871 orang
(Sudin Kebersihan Jaksel), dan 913 orang (Sudin Kebersihan Jaktim). Selain Kantor Dinas dan Suku Dinas
Kebersihan, juga dimiliki 24 Kantor Penilik Kebersihan Tingkat Kecamatan, 2 Oxidation Pond, 6 bengkel, tempat
pencucian kendaraan dan laboratorium kebersihan.
Realisasi retribusi telah meningkat dari Rp 600 juta (1988) menjadi Rp 1,2 milyar (1989) dan Rp 1,3
milyar (1990), dan realisasi anggaran pada tahun 1990 mencapai Rp 13,6 milyar (DKI) dan Rp 10,9 milyar
(01 P). Dari segi peraturan perundang-undangan, telah ditetapkan Perda No. 3 Tahun 1972 tentang Ketertiban
Umum dalam Wilayah DKI Jakarta (disempurnakan menjadi Perda No. 7 tahun 1977), Perda No. 5 Tahun
1988 tentang Kebersihan Lingkungan, Keputusan Gubernur DKI No. 559 Tahun 1988 tentang Pelaksanaan
Pelayanan dan Pungutan Retribusi Kebersihan, lnstruksi Gubernur DKI No. 298 Tahun 1987 tentang
Pengendalian dan Pengawasan Kebersihan, dan lnstruksi Gubernur DKI No. 8 Tahun 1988 tentang
Peningkatan Program Kebersihan, serta Keputusan Gubernur No. 1042 Tahun 1985 tentang Pola Perlombaan
Pembinaan Wilayah Kecamatan dan Kota di DKI Jakarta.
Penanganan kebersihan oleh swasta pada tahun 1988 telah dilakukan di delapan Kelurahan (Pasar

304
Baru, Kebon Sirih, Gondangdia, Menteng, Sunter Jaya, Mangga Besar, Melawai, Bali Mester, Monas dan
sekitarnya), tahun 1989 di sembilan Kelurahan (Gambir, Kebon Kelapa, Pegangsaan, Kelapa Gading Timur,
Jelambar, Selong, Palmeriam, Rawa Bunga, dan Kramat Jati), tahun 1991 di sepuluh Kelurahan (Pejagalan,
Sunter Agung, Kemanggisan, Jati Pula, Roa Malaka, Kramat Pela, Cipete Utara, Gunung, Cipulir, dan
Klender).
Pentingnya penyehatan lingkungan pemukiman, menyebabkan dikeluarkannya Keputusan Dirjen
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman No. 281-IIIPD.03.04.LP tanggal
30 Oktober 1989 tentang Persyaratan Kesehatan Pengelolaan Sampah. Keputusan ini menetapkan persyaratan
kesehatan pengelolaan sampah di tempat penampungan atau pewadahan sampah, pengelolaan sampah
setempat {pola individual), pengumpulan sampah, pengangkutan sampah, pengolahan sampah, dan
pembuangan akhir sampah, termasuk pemeriksaan secara reguler kesehatan petugas pengelola sampah.
Gambaran umum pengelolaan sampah antara lain meliputi aspek pembiayaan dalam PSP, evaluasi
sosial ekonomi konsep pengelolaan sampah kota, peran pemerintah, swasta dan LSM, penir'lgkatan institusi
dan model organisasi pengelolaan sampah, peran serta masyarakat, kerjasama dan pendidikan yang
mendukung kebijaksanaan PSP dan perspektif perencanaan sebagai bagian dari PSP terpadu. Studi kasus
PSP mengetengahkan PSP di beberapa kota metropolitan dan kota besar di dunia, antara lain Delhi, Tokyo,
Beijing, Seoul, Bangkok, Kuala Lumpur, Manila, Kitakyushu, Kathmandu, Nagoya, Surabaya, Jakarta dan
Bandung. Pengelolaan sampah harus memperhitungkan kembali biaya operasi dan investasi peralatan,
memprioritaskan pelayanan pada masyarakat miskin (yang didukung oleh inovasi, partisipasi masyarakat,
sumberdaya masyarakat dan pengelolaan sampah yang berkelanjutan), privatisasi melalui kontrakting atau
subkontrakting, franchise, dan kompetisi bebas, dan daur ulang (recycling).
Sejalan dengan RUTR Jakarta 2005 yang mengembangkan pembangunan poros Barat-Timur Jakarta,
maka di Tangerang dan Bekasi perlu dibangun Lokasi Pembuangan Akhir (LPA) sampah. Di Bekasi sudah
dibangun LPA dengan sistem Sanitary Landfill di Bantar Gebang. Bahkan telah dilengkapi dengan tempat
penampungan Bahan Buangan Beracun dan Berbahaya (B3). Sistem pembuangan dan pemusnahan sampah
yang lain perlu dikembangkan, yaitu pemusnahan dengan sistem incinerator, pemanfaatan sampah sebagai
kompos, dan rekalamasi !aut (di Marunda). Pada prinsipnya dalam pengelolaan sampah, perlu dikembangkan
sistem manajemen, peran serta masyarakat, kesehatan, dan penataan fisik kota.

Cinta Kebersihan
Mengacu pada Perda No. 5 tahun 1988 tentang Kebersihan Lingkungan di Wilayah DKI Jakarta, warga
kota Jakarta dihimbau untuk menanamkan Aku Cinta Kebersihan Kota. Perda tersebut mewajibkan setiap
penduduk dan pemilik/penghuni/penanggungjawab bangunan, rumah makan, restoran, hotel, penginapan,
apotek, bioskop dan pembangunan sejenis, industri/pabrik, untuk memelihara kebersihan lingkungan,
menyediakan tempat untuk penampungan sampah dan air pembuangan. Ditetapkan juga larangan mengotori
dan merusak serta membuang dan menumpuk sampah, membakar sampah, buang air besar, buang air kecil,
menjemur, memasang, menempatkan atau menggantungkan benda-benda, di jalan, jalur hijau, taman dan
tempat umum. Juga dilarang mengeruk atau mengais sampah dari tempat penampungan sampah sementara,
menutup selokan di sekitar pekarangan tanpa izin gubernur, membuang sampah sembarangan, mencoret-
coret, menempel, menulis, mengotori dinding tembok, pilar, tiang, pohon, pagar dan jembatan, kecuali izin
gubernur.
Pengelola komplek perumahan, perkantoran, pertokoan, dan perpasaran wajib memelihara kebersihan
lingkungan, jalan, saluran, taman dan jalur hijau di lingkungannya. Penyelenggaraan keramaian wajib
memelihara kebersihan di tempat diadakannya keramaian. Kendaraan pengangkut sampah, tanah, pasir dan
bahan bangunan jangan mengotori jalan dan lingkungan. Pemilik dan atau pengemudi kendaraan umum dan
perorangan wajib menyediakan satu atau lebih tempat penampungan sampah di dalam kendaraannya.
Pelayanan kebersihan bukanlah semata-mata tugas pemerintah, tetapi juga masyarakat dan swasta.
Kebijaksanaan peningkatan pengelolaan sampah perlu memadukan berbagai subsistem yang antara lain
terdiri atas keterpaduan antar-instansi, pengumpulan sampah di rumah-rumah (pemilahan sampah dan daur
ulang), pengangkutan ke LPS, pemilahan sampah di LPS, pemanfaatan di LPS, pengangkutan ke LPA,

305
pemilahan di LPA, pembuangan, penghancuran dan pemanfaatan sebagai kompos maupun pemanfaatan
lainnya, serta peningkatan sistem manajemen operasional yang efisien. Lokasi LPA selain Bantar Gebang,
perlu dicari lokasi lainnya di arah Barat Jakarta dengan luas sekitar 100 Ha. Pembuangan transfer station perlu
diprioritaskan, sebagai stasiun antara sebelum sampah dibawa ke LPA dengan kendaraan berkapasitas
besar (trailler). Selain pembuangan sampah dengan sanitary landfill, perlu dipertimbangkan sistem reklamasi,
komposting, dan pembakaran dengan sistem incinerator.
Penanggulangan sampah dalam mendukung Jakarta BMW dan meningkatkan cinta warga kota
terhadap Jakarta, bisa dilakukan dengan menambah armada truk sampah, memperluas areal swastanisasi
kebersihan, menyediakan tempat pembakaran sampah di tiap kecamatan, menyediakan tong sampah fiberglas
dan gerobak sampah, meningkatkan kesadaran masyarakat melalui penyuluhan (oleh PKK, tokoh masyarakat,
dan instansi terkait), membentuk kelompok pengawas kebersihan kota, melaksanakan kerja bakti berkala dan
massal, melakukan tindakan preventif (publikasi, penyuluhan, peran serta, Iomba kebersihan, sarana dan
prasarana) dan represif (operasi bersih, kerja bakti berkala, pembudidayaan hidup bersih dan sehat, satgas
kebersihan, dan operasi yustisi), penataan kebersihan pasar, terminal, shelter, stasiun bis dan kereta, sungai,
penghijauan, penertiban taman, Iomba pidato mengenai kebersihan, aksi sosial, posyandu, diskusi, tatap
muka, anjangsana, sarasehan, silaturahmi, dan aksi kebersihan door to door.
Beberapa kesimpulan dapat ditarik dalam pengelolan sampah di DKI, antara lain perlunya keterpaduan
pengelolaan sampah (Pemda, instansi terkait, swasta dan masyarakat), retribusi sampah perlu ditinjau
kembali (ditingkatkan), peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah perlu ditingkatkan, dan aparat
Dinas Kebersihan perlu meningkatkan semangat kerjanya. Dengan jiwa dan semangat kebersamaan, peran
serta masyarakat dalam menangani kebersihan kota, motivasi untuk meningkatkan semangat kerja, kemampuan
dan keterampilan petugas pengelola kebersihan (melalui penataran, kursus, latihan workshop, diklat dan
kunjungan ke luar negeri), kita tingkatkan kecintaan warga kota terhadap kebersihan dan keindahan kota
yang sedang menuju Jakarta BMW.
Angkatan Bersenjata, 8 Juli 1991

Antara Adipura Dan Adipura Kencana


Penilaian kota terbersih Adipura telah dilakukan enam kali, dari 1986 ke 1991, oleh Menteri Negara
KLH (dan Kepala BAPEDAL mulai tahun 1991) bekerjasama dengan beberapa lnstansi, antara lain Depdagri,
Deppu, Depkes, BPPT, dan Tim Penggerak PKK Pusat. Jenis kota dibagi atas kota raya (penduduknya di
atas 1 juta jiwa), kota besar (500.001 sampai 1 juta jiwa), kota sedang (1 00.001 sampai 500.000 jiwa), dan
kota kecil (20.000 sampai 100.000 jiwa). Cara penilaian dilakukan dengan menggunakan daftar isian
(kuesioner) dan peninjauan lapangan untuk melihat kebenaran angka di dalam kuesioner dan fisik kebersihan
kota. Kuesioner berisi unsur-unsur manajemen (kelembagaan, hukum, pembiayaan, dan teknis operasional),
peran serta masyarakat umum dan PKK, fisik kebersihan kota, dan kesehatan. Kepada kota terbersih
diberikan Piala Adipura dan kepada kota bersih diberikan sertifikat kota bersih. Satu lagi piala yang paling
menarik adalah Adipura Kencana.

Adipura
Peraih Adipura dan Sertifikat Kota Bersih sejak 1986 berturut-turut: 2 Adipura (1986), 4 Adipura (1987),
7 Adipura (1988), 13 Adipura dan 8 Sertifikat (1989), 12 Adipura dan 9 Piagam (1990), serta 18 Adipura dan
13 Piagam, termasuk di dalamnya 2 Adipura Kencana, masing-masing untuk Solo dan Padang (1991). Pada
tahun 1991 (lihat Tabel), Jawa Tengah menggondol piala terbanyak (7 Adipura dan 4 Sertifikat), Jawa Timur
(3 Adipura dan 2 Sertifikat), Sumatera Barat (2 Adipura dan 3 Sertifikat). Jawa Barat (2 Adipura dan 1
Sertifikat), disusul Lampung, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Jambi (masing-masing 1 Adipura) serta
DKI Jakarta, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan (masing-masing 1 Sertifikat).

306
Dari tabel terlihat bahwa pada 1991 banyak peraih Adipura muka baru. Dari 18 Adipura, ada 8 muka
baru yaitu Semarang, Malang, Bandarlampung, Cianjur, Balikpapan, Cirebon, Boyolali, dan Kudus. Padahal
tahun 1990, dari 12 Adipura hanya ada tiga muka baru yaitu Manado, Magetan dan Tanjungpinang, Prestasi
yang patut dibanggakan dicapai oleh Semarang, Cirebon, dan Kudus, yang meraih Adipura tanpa harus
meraih Sertifikat lebih dulu.
Sebaliknya Bogar, Bandung, Ambon, Samarinda, Solak, dan Tanjungpinang prestasinya menurun.
Sedangkan kota-kota Cilacap, Purwokerto, Pematangsiantar, Bangii/Pasuruan, Pare-pare, dan Batusangkar
bisa menjadi kuda hitam untuk tahun 1992. Secara umum terlihat bahwa peraih Adipura kebanyakan pernah
satu atau dua kali meraih Sertifikat. Misalnya Malang, Bandarlampung, Cianjur, Balikpapan, Boyolali.
Sukabumi dan Tasikmalaya yang pernah meraih sertifikat pada tahun 1989, kurang berprestasi pada tahun
1990 dan 1991. Kota peraih Adipura enam kali berturut-turut, Bogar, pada tahun 1991 prestasinya dinilai
anjlok, yaitu tidak berhasil meraih Adipura Kencana, tidak berhasil mempertahankan Piala Adipura, dan juga
tidak meraih Sertifikat Kota Bersih. Sudah demikian jelekkah prestasi kota Bogar?
Penilaian kota terjorok yang telah dicanangkan oleh Mendagri pada tahun 1990 rupanya karena suatu
dan lain hal, belum bisa dilaksanakan. Dalam kelakarnya sebenarnya sudah ada tanda-tanda kota-kota mana
saja yang harus hati-hati untuk tidak menjadi kota terjorok atau kota belum bersih.

Tabel: Peraih Adipura dan Piagam Kota Bersih Tahun 1986-1991

Adipura 1986 1987 1988 1989 1990 1991

Kota Raya:
1. Surabaya 1 1
2. Bandung 2 2
3. Semarang 2
Kota Besar:
1. Surakarta 1 1 1 1
2. Padang 2 2 2 2
3. Bandarlampung 4
4. Malang 3
Kota Sedang :
1. Bogor 1 2 1 3
2. Jambi 2 1 2 5
3. Ambon 3
4. Samarinda 4
5. Manado 1 2
6. Magelang 2 1
7. Cianjur 3
8. Balikpapan 4
9. Cirebon 6
Kota Kecil:
1. Bukittinggi 1 2
2. Magelang 2 1
3. Temanggung 3 1 3
4. Solok 4 5
5. Wonosobo 5 3 2
6. Magetan 2 4
7. Tanjungpinang 4
8. Boyolali 5
9. Kudus 6

Catatan :
Piagam Kota Bersih: 1989 (8 kota: Semarang, Malang, Balikpapan, Bandarlampung, Pakanbaru, Tanjungpinang,
Sukabumi, dan Tasiklamaya), 1990 (9 kota: Jakarta Pusat, Bandarlampung, Tegal, Cianjur, Banjarnegara, Bukittinggi,
Padangpanjang, Boyolalli, dan Situbondo, dan 1991 (13 kota: Bandung, Jakarta Pusat, Tegal, Cilacap, Purwokerto,
Pematangsiantar, Bangli/Pasuruan, Padangpanjang, Solok, Situbondo, Banjarnegara, Parepare, dan Batusangkar).

307
Adipura Kencana
Piala Adipura Kencana disediakan bagi kota terbersih yang telah beberapa kali meraih Adipura dengan
nilai tinggi. Pada mulanya persyaratan beberapa kali berturut-turut meraih Adipura, sangat ditekankan
sebagai syarat meraih Adipura Kencana. Menjelang Juni 1991, semua kota berusaha meraih Adipura atau
sertifikat Kota Bersih, dan beberapa kota mengincar Adipura Kencana.
Konon pada 1990, Bogor yang telah empat kali berturut-turut meraih Adipura (1986 sampai 1989) dan
lima kali meraih Adipura (1986 sampai 1990), mengincar Adipura Kencana. Tapi rupanya Bogor hanya bisa
kembali meraih Adipura 1990. Kriteria penilaian Adipura Kencana 1991 kelihatannya sudah disempurnakan
atau mungkin diperlunak. Akibatnya timbul sedikit kekeliruan-informasi yang ditunjukkan oleh dua informasi
berikut. Pertama, Bapak Emil Salim, maupun Bapak Presiden dalam sambutannya pada peringatan Hari
Lingkungan Hidup Sedunia tanggal 4 Juni 1991 di lstana Negara, menyatakan bahwa pada tahun 1991
disediakan Piala Adipura Kencana bagi kota yang lima kali berturut-turut meraih Adipura. Kutipan dari
Laporan Emil Salim kepada Presiden adalah sebagai berikut: "... Kemudian perkenankan saya laporkan
bahwa untuk pertama kali telah berhasil direbut Adipura Kencana, sebagai lambang kegigihan masyarakat
dalam meningkatkan kebersihan kota selama lima tahun berturut-turut, oleh Kotamadya Surakarta dengan
angka 846 dan Kotamadya Padang dengan angka 839". Jika ketentuan ini diikuti, Padang rasanya tidak
memenuhi persyaratan Adipura Kencana (lihat tabel: Padang meraih Adipura tahun 1986, 1988, 1990, dan
1991 ).
Kedua, buku Peringatan Hari Lingkungan Hidup 1991 yang dibagikan kepada para undangan yang
hadir di lstana Negara tanggal 4 Juni 1991 halaman 33) menyebutkan sebagai berikut: "... Selain Adipura,
pada tahun 1991 Pemerintah memberikan penghargaan Adipura Kencana dengan kriteria sebagai berikut :
sudah 4 (em pat) kali meraih Adipura, setiap aspek dan Manajemen dan Peran Serta Masyarakat (termasuk
PKK dan Kesehatan) harus mempunyai nilai 80 persen dari nilai maksimum setiap aspek tersebut, dan Nilai
Fisik harus lebih besar atau sama dengan 80 persen dari nilai maksimum". Adanya perbedaan dari dua
pernyataan tersebut tampak dalam "lima kali berturut-turut" dan "sudah empat kali".
Melihat Solo (sudah empat kali berturut-turut meraih Adipura) dan Padang (sudah empat kali meraih
Adipura) tahun 1991 meraih Adipura Kencana, berarti persyaratan lima kali berturut-turut meraih Adipura ini
digunakan. Kriteria penilaian juga belum menjelaskan apakah persyaratan yang ketat (angka penilaian dan
kuestioner dan fisik kota) ini setiap tahun selama lima tahun penilaian atau hanya tahun terakhir saja.
Menyongsong penilaian Adipura 1992, sangat mudah diduga bahwa Surabaya punya peluang besar meraih
Adipura Kencana 1992. Bandung kehilangan peluang meraih Adipura Kencana 1992, Bogor walaupun sudah
lima kali meraih Adipura dan mengincar Adipura Kencana 1992, amat perlu diteliti lagi angka-angka yang
telah dicapainya. Jambi walaupun telah empat kali Adipura, jangan harap bisa meraih Adipura Kencana 1992
karena persyaratan nilai yang ketat tadi. Yang paling menarik adalah apakah Jakarta Pusat yang telah dua
kali meraih Sertifikat Kota Bersih bisa meraih Adipura 1992? Kita tunggu hasilnya.
Merdeka, 26 Juni 1991

Peraih Adipura 1986 - 1997

Penghargaan kota terbersih dalam bentuk Adipura (sertifikat Adipura, Piala Adipura, dan Adipura
Kencana) yang bermakna kota indah dan agung telah diberikan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kota
(kota rayalmetropolitan, kota besar, kota sedang dan kota kecil) sejak tahun 1986. Klasifikasi kota tersebut
didasarkan atas jumlah penduduk, yaitu penduduk di atas 1 juta jiwa (kota raya), penduduk 500.001 - 1 juta
jiwa (kota besar), penduduk 100.001-500.000 jiwa (kota sedang), dan penduduk 20.000-100.000 jiwa (kota
kecil).

308
Sertifikat Adipura diberikan kepada Pemerintah Kota yang belum mencapai angka minimum persyaratan
Adipura, sedangkan Adipura Kencana diberikan setiap aspek manajemen dan peran serta masyarakat
(termasuk PKK dan Kesehatan) di atas 80% dari nilai maksimum setiap aspek tersebut dan nilai Fisik harus
lebih besar atau sama dengan 80% dari nilai maksimum (81% untuk Adipura Kencana).
Yang bertanggung jawab dalam penilaian kota bersih adalah Kantor Menneg Lingkungan Hidup/
Bapedal, dibantu instansi terkait, yaitu Depdagri, Deppu, Depkes, Kantor Menneg Ristek/BPP Teknologi, dan
Tim Penggerak PKK Pusat. Aspek-aspek penilaian meliputi kelembagaan, hukum, pembiayaan, teknis
operasional, peran serta masyarakat umum peran serta PKK, tata ruang. Tim Penggerak PKK Pusat. Aspek-
aspek penilaian meliputi kelembagaan, hukum, pembiayaan, teknis operasional, peran serta masyarakat
umum peran serta PKK, tata ruang.
Penghargaan diberikan bertepatan dengan peringatan Hari Lingkungan Hidup yang jatuh pada akhir
minggu pertama bulan Juni. Bertepatan dengan pemberian penghargaan Adipura, juga diberikan penghargaan
kalpataru, perintis lingkungan, pengabdi lingkungan, pembina lingkungan, penulisan Neraca Kualitas Lingkungan
Hidup (NKLD), Prokasih dan program peringkat kinerja perusahaan (proper).

Adipura 1986-1991
Pada kategori kota raya, Surabaya, Bandung dan Semarang berlomba meraih Adipura. Surabaya
meraih Adipura pada tahun 1988, 1989, 1990 dan 1991, Bandung meraih pada tahun 1987, 1989 dan 1990,
sedangkan Semarang mulai meraih pada tahun 1991. Kota-kota yang bersaing pada kategori kota besar
adalah Bogar, Jambi, Ambon, Samarinda, Manado, Magelang, Cianjur, Balikpapan, dan Cirebon. Bogar
meraih Adipura mulai tahun 1986 sampai 1990, gagal tahun 1991, Jambi berhasil pad a tahun 1987, 1988,
1989, dan 1991. Ambon dan Samarinda berhasil tahun 1989, Magelang tahun 1990 dan 1991, Manado,
Cianjur, Balikpapan, dan Cirebon meraih pada tahun 1991.
Pada kategori kota-kota kecil, Bukittinggi meraih Adipura (1988, 1989, dan 1991), Magelang (1988 dan
1989), Temanggung (1989, 1990 dan 1991), Solo (1989 dan 1990), Wonosobo (1989, 1990 dan 1991),
Magetan (1990 dan 1991), Tanjungpinang (1990), Boyolali dan Kudus (1991).

Adipura 1992-1996
Pada tahun 1992 sampai dengan 1996 peraih Adipura klasifikasi kota raya menurut urutan perolehan
angka terbaik adalah sebagai berikut: Surabaya (1, 1, 3, Kencana, Kencana), Semarang (2, 2, 1, Kencana,
Kencana), Bandung (3, 4, -, -, 3), Jakarta Pusat (4, 3, 2, 1, Kencana), Jakarta Barat (-, -, -, 2, 5), Jakarta
Timur (-, -, -, 3, 6), Jakarta Selatan (·, -, -, 4, 7), Ujungpandang (-, -, -, 5, 8), Medan (-, -, -, -, 1), Palembang
(-, -, -, -, 2), dan Jakarta Utara (-, -, -, -, 4). Empat kota Besar peraih Adipura pada tahun 1992-1996 terdiri
atas Surakarta (1, 1, 2, Kencana, 1), Malang (2, 2, 1, Kencana, 2), Padang (3, 4, Kencana, Kencana,
Kencana) dan Bandarlampung (4, 3, 3, Kencana, Kencana).
Ada 60 kota sedang yang memperoleh Adipura pada tahun 1992 sampai dengan 1996. Delapan kota
meraih Adipura pada tahun 1992, yaitu Magelang, Manado, Tegal, Jambi, Purwokerto, Cirebon, Balikpapan,
dan Cianjur. Pada tahun 1993 peraih Adipura meningkat menjadi 19 kota, yaitu delapan kota tersebut
ditambah Pematang Siantar, Blitar, Sidoarjo, Banyuwangi, Sukabumi, Jember, Tasikmalaya, Pontianak,
Cilacap, Pekanbaru dan Metro.
Pada tahun 1994, tiga kota meraih Adipura Kencana, yaitu Magelang, Manado dan Jambi, sedangkan
peraih Adipura ada 29 kota, yaitu 19 kota di atas minus Pontianak dan Pekanbaru yang gagal, ditambah Batu,
Mojokerto, Yogyakarta, Denpasar, Tulungagung, Tebingtinggi, Ambon, Banjarmasin, Jombang, Madiun,
Pemalang, Mataram, Probolinggo, Gresik, Klaten, dan Cimahi.
Tahun 1995, Magelang, Jambi, Cirebon, dan Cianjur meraih Kencana, Pontianak, Pekanbaru, Madiun,
dan Probolinggo gagal peraih Adipura mencapai 38 kota dengan munculnya muka-muka baru peraih Adipura,
yaitu Nganjuk, Bengkulu, Lubuklinggau, Kediri, Samarinda, Ngawi, Salatiga, Kupang, Binjai, Gorontalo,
Pekalongan, Palangkaraya, dan Bogar. Pada tahun 1996, Kencana diraih oleh Magelang, Purwokerto,
Cirebon, Balikpapan dan Cianjur, kota-kota yang gagal adalah Manado, Ambon, Probolinggo, Cimahi,

309
Sertifikat Adipura diberikan kepada Pemerintah Kota yang belunt m(mc;:tpai angka minimum persyaratan
Adipura, sedangkan Adipura Kencana diberikan setiaJ:~ aspek manajemf!n dan peran serta masyarakat
(termasuk PKK dan Kesehatan) di atas 80% dari nilai ma:.;simum F-iGt:ap a~;jek tersebut dan nilai Fisik harus
lebih besar atau sama dengan 80% dari nilai maksimum {81% untuk. Adip1..1ra Kencana).
Yang bertanggung jawab dalam penilaian kota bP.rsih adalah Kantor Menneg Lingkungan Hidup/
Bapedal, dibantu instansi terkait, yaitu Depdagri, Deppu, Depkes, Kantor Menneg Ristek!BPP Teknologi, dan
Tim Penggerak PKK Pusat. Aspek-aspek penilaian meliputi kelembagaan, hukum, pembiayaan, teknis
operasional, peran serta masyarakat umum peran serta PKK, tata ruang. Tim Penggerak PKK Pusat. Aspek-
aspek penilaian meliputi kelembagaan, hukum, pembiayaan, tekni~ operasional, peran serta masyarakat
umum peran serta PKK, tata ruang.
Penghargaan diberikan bertepatan dengan peringatan Hari Lmgkungan Hidup yang jatuh pada akhir
minggu pertama bulan Juni. Bertepatan dengan pemberian penghargaan Adipura, juga diberikan penghargaan
kalpataru, perintis lingkungan, pengabdi lingkungan, pembina lingk•Jnga:'l, penulisan Neraca Kualitas Lingkungan
Hidup (NKLD), Prokasih dan program peringkat kinerja parusahaan (proper).

Adipura 1986·1991
Pada kategori kota raya, Surabaya, Bandung dan Semarang berlr)mba meraih Adipura. Surabaya
meraih Adipura pada tahun 1988, 1989, 1990 dan 189 i, Bandung rneraih pada tahun 1987, 1989 dan 1990,
sedangkan Semarang mulai meraih pada tahun 1991. f·:ota-kota yang bersaing pada kategori kota besar
adalah Bogar, Jambi, Ambon, Samarinda, Manado, MaQelang, Ci;:v1jt:··, Ba!ikpapan, dan Cirebon. Bogar
meraih Adipura mulai tahun 1986 sampai 1990, gagal tahun 1991, Jambi bmhasil pada tahun 1987, 1988,
1989, dan 1991. Ambon dan Samarinda berhasil tahun 1989, M:~jelang !ahun 1990 dan 1991, Manado,
Cianjur, Balikpapan, dan Cirebon meraih pada tahun 1991.
Pada kategori kota-kota kecil, Bukittinggi meraih Ajipl~ia (1988, 1989, dan 1991), Magelang (1988 dan
1989), Temanggung (1989, 1990 dan 1991), Solo (1989 dan 1990), Wonosobo (1989, 1990 dan 1991),
Magetan (1990 dan 1991), Tanjungpinang (1990), Boyolali dan Kudus (1991).

Adipura 1992·1996
Pada tahun 1992 sampai dengan 1996 peraih Adipura klasifikasi kota raya menurut urutan perolehan
angka terbaik adalah sebagai berikut: Surabaya (1, 1, 3. Kencana, Kencana), Semarang (2, 2, 1, Kencana,
Kencana), Bandung (3, 4, -, -, 3), Jakarta Pusat (4, 3, 2, 1, Kenc::,na), Jakarta Barat (-, -, -, 2, 5), Jakarta
Timur (-, -, -, 3, 6), Jakarta Selatan (-, -, -, 4, 7), Ujungpandang (-, -, -, 5, 8), Medan (-, -, -, -, 1), Palembang
(-, -, -, -, 2), dan Jakarta Utara (-, -, -, -, 4). Empat kota Besar peraih Adipura pada tahun 1992-1996 terdiri
atas Surakarta (1, 1, 2, Kencana, 1), Malang (2, 2, 1. Kencana, 2), Padang (3, 4, Kencana, Kencana,
Kencana) dan Bandarlampung (4, 3, 3, Kencana, Kencar.a).
Ada 60 kota sedang yang memperoleh Adipura pada tahun 1392 sc-,mpai dengan 1996. Delapan kota
meraih Adipura pada tahun 1992, yaitu Magelang, M~nado, Tegal, vambi ?urwokerto, Cirebon, Balikpapan,
dan Cianjur. Pada tahun 1993 peraih Adipura meninijkat meniadi 19 kota, yaitu delapan kota tersebut
ditambah Pematang Siantar, Blitar, Sidoarjo, Banyuw'-t:,gi, Sukabumi. Jernber, Tasikmalaya, Pontianak,
Cilacap, Pekanbaru dan Metro.
Pada tahun 1994, tiga kota meraih Adipura Kencc:, ·!a, yaitu '.:,,gelancJ Man ado dan Jambi, sedangkan
peraih Adipura ada 29 kota, yaitu 19 kota di atas minus P;.ntiana:~ Jan Pel:.::tni.Jaru yang gagal, ditambah Batu,
Mojokerto, Yogyakarta, Denpasar, Tulungagung, Teb:n~':nggi, ;\!·.1bon, Banjarmasin, Jombang, Madiun,
Pemalang, Mataram, Probolinggo, Gresik, Klaten, dan C11~1ahi.
Tahun 1995, Magelang, Jambi, Cirebon, dan Cianjur meraih Kencana, Pontianak, Pekanbaru, Madiun,
dan Probolinggo gagal peraih Adipura mencapai 38 kota dengan mu.·,culnya muka-muka baru peraih Adipura,
yaitu Nganjuk, Bengkulu, Lubuklinggau, Kediri, Samarinda, Ngaw:. Saiatiga, Kupang, Binjai, Gorontalo,
Pekalongan, Palangkaraya, dan Bogar. Pada tahun 1896, Kenca:1a diraih oleh Magelang, Purwokerto,
Cirebon, Balikpapan dan Cianjur, kota-kota yany gaQal adalah Mllnado, Ambon, Probolinggo, Cimahi,

310
Dl Yogyakarta meraih 5 Adipura yaitu Yogyakarta, Sleman, Bantu!, Wates, dan Wonosari.
Jawa Timur meraih 7 Kencana (Surabaya, Malang, Blitar, Lumajang, Situbondo, Jombang, Batu,
Sumenep, Pamekasan, Gresik, Nganjuk, Tulungagung, Ponorogo, Kendiri, Mojokerto, Pasuruan, Madiun,
Ngawi, Probolinggo, Caruban, Pacitan, Kraksaan, Mojosari, Sampang, Pare, dan Bangkalan.
Propinsi Bali meraih 3 Kencana (Tabanan, Negara, Bangli), dan 10 Adipura (Denpasar, Gianyar, Kuta,
Amlapura, Singaraja, Semarapura, Tampaksiring, Ubud, Mengwi, dan Kintamani). Nusa Tenggara Barat
meraih 2 Adipura (Mataram, Sumbawabesar) dan 5 sertifikat (Raba, Praya, Selong, Gerung, Dompu). Nusa
Tenggara Timur hanya meraih 2 Adipura, yaitu Kupang dan So'e dan Timor-Timur hanya meraih 1 Adipura
yaitu Dili.
Kalimantan Barat meraih 2 Adipura (Pontianak, Mempawah) dan 4 sertifikat (Sanggau, Singkawang,
Sintang, Ketapang). Kalimantan Tengah memperoleh 2 Adipura (Palangkaraya, Sampit) dan 2 sertifikat
(Pangkalan Bun, Muarateweh). Kalimantan Selatan meraih 9 Adipura yaitu, Banjarmasin, Tanjung, Barabai,

Tabel 1. Kota-kota Peraih Adipura Kencana

~
K
'86 '87 '88 '89 '90 '91 '92 '93 '94 '95 '96 '97

Kota Raya:
1. Surabaya - - A A A A A A A KEN KEN KEN
2. Semarang - - - s - A A A A KEN KEN KEN
3. Jakarta Pusat - - - - s s A A A A KEN KEN
Kota Besar:
1. Surakarta - A A A A A A A A KEN A A
2. Malang - - - s - A A A A KEN A KEN
3. Padang A - A A A A A A KEN KEN KEN A
4. Bandarlampung - - - s s A A A A KEN KEN KEN
Kota Sedang :
1. Magelang - - A A - - A A KEN KEN KEN KEN
2. Manado - - - - - A A A KEN A s s
3. Jambi - A A A - A A A KEN KEN A A
4. Purwokerto - - - - - s A A A A KEN KEN
5. Cirebon - - - - - A A A A KEN KEN KEN
6. Balikpapan - - - s - A A A A A KEN KEN
7. Cianjur - - - - s A A A A KEN KEN KEN
8. Sragen - - - - - s A A A A A KEN
9. Blitar - - - - - - A A A A A KEN
Kota Kecil:
1. Magetan - - - - A A A A KEN A KEN KEN
2. Banjarnegara - - - - s s A A A A KEN KEN
3. Bukittinggi - - A A s A A A KEN A A A
4. Kudus - - - - - A A A A A KEN KEN
5. Situbondo - - - - s s A A A A KEN KEN
6. Wonosobo - - - A A A A A KEN A KEN A
7. Boyolali - - - - s A A A A KEN A A
8. Padangpanjang - - - - s s A A A A KEN A
9. Tabanan - - - - - - A A A A KEN KEN
10. Temanggung - - - A A A A A KEN KEN KEN KEN
11. Wonogiri - - - - - - A A A A A KEN
12. Negara - - - - - - - - A A A KEN
13. Bangli - - - - - s - A A A A KEN
14. Lumajang - - - - - - - A A A A KEN
15. Kuningan - - - - - s - A A A A KEN
16. Tub an - - - - - - - A A A A KEN

Keterangan :
Data diolah dari Data Peraih Adipura 1986 s.d. 1997
KEN = Adipura Kencana; A = Adipura; S = Sertifikat adipura

Amuntaim, Kandangan, Marabahan, Banjarbaru, Rantau, dan Pelaihari. Kalimantan Timur memperoleh 1
Kencana (Balikpapan), 1 Adipura (Tenggarong) dan 4 sertifikat (Samarinda, Tarakan, Tanjungselor, Bontang).

311
Sulawesi Utara memperoleh 4 Adipura (Gorontalo, Bitung, Tondano, Tabuna) dan 5 sertifikat (Manado,
Tomohon, Limboto, Amurang, dan Kawangkoan). Sulawesi Tengah meraih 1 Adipura (Luwuk) dan 3 sertifikat
(Palu, Tolitoli, Poso). Sulawesi Selatan meraih 9 Adipura (Ujungpandang, Parepare, Watansopeng, Enrekang,
Pangkajene, Palopo, Sangguminasa, Pinrang, dan Watampone) dan 4 sertifikat (Sengkang, Majene, Bantaeng,
Pangkajene). Sulawesi Tenggara memperoleh 2 Adipura (Unaha, Baubau) dan 1 sertifikat (Kolaka). Maluku
hanya memperoleh 2 Adipura (Ambon, dan Ternate) dan Irian Jaya meraih 2 Adipura (Jayapura dan Fakfak)
dan 1 sertifikat (Manokwari).

Adipura 1998
Kriteria dan persyaratan penilaian Adipura 1998 perlu diperketat, sehingga diperlukan upaya besar
untuk meraih piala Adipura, apalagi Adipura Kencana. Kota yang telah berhasil 5 kali meraih Adipura
Kencana, apakah terus-menerus harus mengejar atau mempertahankan Adipura Kencana?
Barangkali perlu dibuat penilaian yang lain, misalnya Super Kencana atau Kencana Lestari. Mungkin
perlu ditambah kriteria keterlibatan dana swasta (BOT, BOO dan lain-lain) dan swastanisasi, pengelolan
kebersihan kota.
Demikian pula perlunya dicantumkan visi kota bersih, pelestarian atau konservasi bangunan tua,
koordinasi pelaksanaan pembangunan (galian saluran air, listrik, drainase), dan profesionalisme penduduk
kota. Tentang gapura Adipura dan gapura Adipura Kencana, perlu dievaluasi sejauh mana manfaatnya dalam
meningkatkan pengelolaan kebersihan kota.
Selamat kepada kota-kota peraih Adipura Kencana, Adipura, dan muka-muka baru peraih piala
kebersihan Adipura. Kota-kota yang semua pernah meraih Adipura dan bahkan Adipura Kencana, tetapi
gaga! pada tahun 1997, hendaknya sedini mungkin bangkit sehingga pada tahun 1998 nanti kembali masuk
ke dalam jajaran kota-kota peraih Adipura dan Adipura Kencana.
Jayakarta, 11 Juni 1997

Setelah Adipura Kencana, Adipura Lestari?


Kata Adipura berasal dari bahasa Sansekerta yang bermakna "kota indah dan agung". Adipura
merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan Pemerintah kepada kota-kota yang berprestasi dalam
pengelolaan kebersihan kota sejak tahun 1986. Kota-kota yang berprestasi lebih baik dari kriteria Adipura,
memperoleh penghargaan Adipura Kencana, sedangkan kota-kota yang hampir mendekati Adipura, memperoleh
penghargaan Sertifikat Kota Bersih. Kota-kota tersebut dikategorikan atas "kota raya" (penduduk > 1 juta
jiwa), "kota besar" (500.001-1 juta), "kota sedang" (100.001-500.000), dan kota kecil (s.d.100.000 jiwa).
Penanggungjawab dalam penentuan peraih Adipura adalah Menteri Negara Lingkungan Hidup/Ketua Bapedal,
melibatkan beberapa instansi, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen
Kesehatan, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dan PKK.
Penghargaan Adipura diberikan kepada kota yang masyarakatnya mampu membina lingkungan kota
menjadi bersih, sehat, dan indah. Empat aspek yang dinilai, yaitu (1) manajemen (kelembagaan, hukum,
pembiayaan, dan teknis operasional), (2) peranserta masyarakat (umum dan PKK), (3) fisik (kebersihan dan
penghijauan/keteduhan), (4) kesehatan, dan (5) tata ruang dan penghijauan/keteduhan. Untuk memperoleh
Adipura Kencana, kriterianya adalah (a) sudah empat kali berturut-turut meraih Adipura atau dalam lima tahun
hanya sekali tidak mendapat Adipura, dan (b) setiap aspek yang dinilai harus mempunyai nilai minimum 80
persen dari nilai maksimum yang harus dicapai.

312
Adipura Kencana
Peraih Adipura Kencana terus berkembang, dari dua kota pada tahun 1991 (Surakarta, Padang),
menjadi 3 kota pada tahun 1992 (Surabaya, Surakarta, Magelang), 5 kota tahun 1993 (Surabaya, Surakarta,
Bukittinggi, Wonosobo, Temanggung), 7 kota tahun 1994 (Padang, Magelang, Manado, Jambi, Magetan,
Wonosobo, Temanggung), 12 kota tahun 1995 (Surabaya, Semarang, Surakarta, Malang, Padang,
Bandarlampung, Magelang, Jambi, Cirebon, Cianjur, Boyolali, Temanggung), 18 kota tahun 1996 (Surabaya,
Semarang, Jakarta Pusat, Padang, Bandarlampung, Magelang, Purwokerto, Cirebon, Balikpapan, Cianjur,
Magetan, Banjarnegara, Kudus, Situbondo, Wonosobo, Padang Panjang, Tabanan, Temanggung).
Dari data tersebut terlihat bahwa peraih terbanyak Adipura Kencana adalah Temanggung (5x berturut-
turut), Surabaya dan Magelang (Sx terputus), disusul peraih 4x (Surakarta, Padang), 3x (Semarang,
Bandarlampung, Cirebon, Cianjur, Magetan, Wonosobo), 2x (Jakarta Pusat, Balikpapan, Malang, Jambi,
Purwokerto, Banjarnegara, Kudus, Situbondo, Tabahan), dan 1x (Manado, Sragen, Blitar, Bukittinggi,
Boyolali, Padang Panjang, Wonogiri, Negara, Bangli, Lumajang, Kuningan, dan Tuban).
Berdasarkan klasifikasi kota, perolehan Adipura Kencana adalah 32 kota dalam periode 1991-1997,
yaitu 3 kota raya (Surabaya, Semarang, dan Jakarta Pusat), 4 kota besar (Padang, Surakarta, Bandar
Lampung, dan Malang), 9 kota sedang (Magelang, Cianjur, Cirebon, Purwokerto, Jambi, Balikpapan, Manado,
Sragen, dan Blitar), dan 16 kota kecil (Temanggung, Wonosobo, Magetan, Banjarnegara, Kudus, Situbondo,
Tabanan, Bukittinggi, Boyolali, Padang Panjang, Wonogiri, Negara, Bangli, Lumajang, Kuningan, dan
Tuban).

Adipura per Propinsi


Perolehan penghargaan kota bersih yang diberikan pada bulan Juni 1997 mencapai 263, terdiri atas 24
Adipura Kencana, 176 Adipura, dan 63 Sertifikat Kota Bersih. Enam propinsi memperoleh 24 Piala Adipura
Kencana (18 Adipura Kencana tahun sebelumnya), terbanyak diraih Jawa Timur (8), disusul Jawa Tengah
(7), Jawa Barat dan Bali (masing-masing 3), serta DKI Jakarta dan Lampung (masing-masing 1). Dari 176
Piala Adipura, peraih terbanyak adalah Jawa Timur (30), Jawa Tengah (26), dan Jawa Barat (20), dan paling
sedikit diraih oleh Propinsi Timor Timur, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tengah (masing-masing 1 Adipura).
Kota-kota peraih Sertifikat (Piagam) Kota Bersih mencapai 63, diraih terbanyak oleh Jawa Barat (1 0) dan
Sumatera Utara (6).
Berdasarkan jumlah perolehan penghargaan (Adipura Kencana, Adipura, dan Sertifikat Kota Bersih),
peraih terbanyak adalah Jawa Timur (37, terdiri atas 7 Kencana dan 30 Adipura), Jawa Tengah (35: 8
Kencana, 26 Adipura, dan 1 Sertifikat), Jawa Barat (33: 3 Kencana, 20 Adipura, dan 10 Sertifikat), Bali (13: 3
Kencana, 10 Adipura), Sumatera Utara (17: 11 Adipura, 6 Sertifikat), Sumatera Barat 1(3: 11 Adipura, 2
Sertifikat), dan Sulawesi Selatan (9 Adipura, 4 Sertifikat).
Kota-kota peraih Adipura Kencana tersebut adalah 8 di Jawa Tengah (Semarang, Magelang, Purwokerto,
Sragen, Banjarnegara, Kudus, Temanggung, Wonogiri), 7 di Jawa Timur (Surabaya, Malang, Blitar, Magetan,
Situbondo, Lumajang, Tuban), 3 di Jawa Barat (Cirebon, Cianjur, Kuningan), dan Bali (Tabanan, Negara,
Bangli), dan masing-masing 1 di Lampung (Bandar Lampung), DKI Jakarta (Jakarta Pusat), dan Kalimantan
Timur (Balikpapan). Surakarta, Padang, Jambi, Manado, Bukittinggi, Wonosobo, Boyolali, dan Padangpanjang,
yang sebelumnya pernah berhasil meraih Adipura Kencana, pada tahun 1997 prestasinya menurun. Bahkan
Manado yang pernah meraih Kencana pada tahun 1994, prestasinya anjlok, meraih Adipura 1995 dan hanya
meraih Sertifikat Kota Bersih pada tahun 1996 dan 1997. Daftar peraih penghargaan kota bersih tahun 1997
dapat dilihat pada tabel terlampir.

Prestasi Kota Dalam Kebersihan


Pada tahun 1997 ini, ada 24 kota peraih Adipura Kencana (18 pada tahun 1996), 38 kota peraih
Adipura yang pertama kali (tahun 1996 ada 43 kota), dan 140 kota peraih Adipura kedua kalinya atau lebih
(tahun 1996 ada 89 kota) dan 63 kota peraih Sertifikat Adipura. Kota-kota peraih Adipura terus meningkat dari
160 kota (1995) menjadi 176 kota (1996) dan 200 kota (1997).

313
label1. Peraih Adipura 1997 Berdasarkan Propinsi label 2. Kota-kota Peraih Adipura Kencana
1991-1997
Tahun
NO. PRIPINSI KENCANA ADIPURA SERTIF. JUMLAH '86 '87 '88 '89 '90 '91 '92 '93 '94 '95 '96 '97
Kola

1. ACEH 2 3 5 Kota Raya:


2. SUMUT 11 6 17 1. Surabaya A A A A KEN KEN A KEN KEN KEN
3. SUM BAR 11 2 13 2. Semarang s A A A A KEN KEN KEN
4. RIAU 4 4 8 3. Jakarta Pusat s s A A A A KEN KEN
5. JAMB! 4 6
6. SUMSEL 5 3 8 Kota Besar:
7. BENGKULU 3 1 4 I. Surakarta A A A A KEN KEN KEN A KEN A A
8. LAMPUNG 2 2 5 2. Malang s A A A A KEN A KEN
9. DKI JAKARTA 4 5 3. Padang A A A A KEN A A KEN KEN KEN A
10. JABAR 3 20 10 33 4. Bandar!ampung s s A A A A KEN KEN KEN
11. JATENG 8 26 35
12. Dl YOGYA 5 5 Kota Sedang :
13. JATIM 7 30 37 1. Magelang A A A A KEN A KEN KEN KEN KEN
14. BALl 3 10 13 2. Manado A A A KEN A 5 5
15. NTB 2 5 7 3. Jambi A A A A A A KEN KEN A A
16. NTI 2 2 4. Purwokerto 5 A A A A A KEN KEN
17. TIMTIM 1 1 5. Cirebon A A A A KEN KEN KEN
18. KALBAR 2 4 6 6. Balikpapan s A A A A A KEN KEN
19. KALTENG 2 2 4 7. Cianjur s A A A A KEN KEN KEN
20. KALSEL 9 9 8. Sragen s A A A A A KEN
21. KALTIM 1 4 6 9. Blitar A A A A A KEN
22. SULUT 4 5 9
23. SULTENG 1 3 4 Kota Keel!:
24. SULSEL 9 4 13 1. Magetan A A A A KEN A KEN KEN
25. SULTRA 2 1 3 2. Banjarnegara s s A A A A KEN KEN
26. MALUKU 2 2 3. BukiHinggi A A s A A KEN A A A A
27. IRJA 2 3 4. Kudus A A A A A KEN KEN
5. Situbondo 5 s A A A A KEN KEN
JUMLAH 24 176 63 263 6. Wonosobo A A A A KEN KEN A KEN A
7. Boyolali s A A A A KEN A A
8. Padangpanjang s s A A A A KEN A
9. Tabanan A A A A KEN KEN
10. Temanggung A A A A KEN KEN KEN KEN KEN
11. Wonogiri A A A A A KEN
12. Negara A A A KEN
13. Bangli s A A A A A A KEN
14. Lumajang A A A A KEN
15. Kuningan s A A A A KEN
16. Tuban A A A A KEN

Keterangan :
Data dioolah dari Data Peraih Adipura 1986 s.d. 1997
KEN = Adipura Kencana; A= Adipura; S = Sertifikat Adipura

Kota-kota Bojonegoro, Cilacap, legal, Banyuwangi, lasikmalaya, Padang, Sukabumi, Sidoarjo, Boyolali,
Wonosobo, Padangpanjang, Jember, Bangil, Pematang Siantar, Metro, Blora, Surakarta, Solok, Bukittinggi,
Sleman, Jambi, Batusangkar, dan Muara Enim, hendaknya makin gigih lagi pada tahun 1998 agar
prestasinya meningkat dari Adipura ke Adipura Kencana. Sedangkan kota-kota yang turun dari peraih Adipura
(1996) menjadi Sertifikat (1997), yaitu Padang Sidempuan, Sengkang, dan Sintang, dan kota-kota yang turun
dari Adipura Kencana (1996) ke Adipura (1997) adalah Padang, Wonosobo, dan Padangpanjang, harus
berusaha sekuat tenaga agar kembali meraih Adipura 1998.
Beberapa penyebab ketidakberhasilan pencapaian prestasi Adipura maupun Adipura Kencana, antara
lain kurang bersihnya pasar, terminal, saluran, gorong-gorong, perumahan dan permukiman (kumuh atau
tidak adanya fasilitas penampungan sampah) lPS (tempat pembuangan sementara sampah) dan lPA
(tempat pembuangan akhir sampah) yang belum berfungsi dengan baik. Unsur ketidak berhasilan ini secara
keseluruhan menyangkut aspek-aspek pengelolaan kebersihan kota (bersih, indah, sehat, aman, nyaman)
menuju manajemen pengelolaan kebersihan kota yang efektif, yaitu manajemen (kelembagaan, hukum,
pembiayaan, teknis operasional), peranserta masyarakat (Umum dan PKK), fisik kota (kebersihan dan
keindahan, penghijauan, keteduhan), kesehatan, dan penataan ruang kota (perencanaan, penataan,
pemantauan dan evaluasi, pengawasan).

314
Catatan Penutup
Gubernur, Bupati, dan Walikotamadya berlomba mewujudkan kota bersih. Berbagai usaha dilakukan
agar kota meraih Sertifikat Kota Bersih, meningkat menjadi Adipura dan Adipura Kencana. Sejalan dengan
itu, untuk makin memacu pengelolaan kota bersih, setiap kota berusaha mempunyai motto kota yang
dikaitkan dengan visi kota bersih, antara lain Bertaqwa, Bertauhid, Berhias, Teguh Beriman, Tegar Beriman,
Suroboyo-ku Hijau dan Bersih, Berseri, Berintan, Asri, Berhiber, dan sejenisnya. Salah satu manfaat meraih
Adipura Kencana dan Adipura, barangkali sebagai catatan positip untuk berpeluang menjabat pada periode
berikutnya. ldealnya, perolehan penghargaan kota bersih juga sejalan dengan perolehan piagam lainnya,
antara lain Upakarti, kota dengan penataan transportasi terbaik, kota dengan penataan ruang terbaik, kota
dengan pengendalian penduduk terbaik, dan kota yang dibangun dalam konteks pembangunan berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan.
Pertanyaan muncul, piala apa yang patut diberikan setelah beberapa kali (4-5 kali) memperoleh Piala
Adipura Kencana? Beberapa pemikiran muncul, antara lain kriteria penilaian harus diperketat, perlu dimasukkan
unsur penilaian kegiatan pembinaan pengusaha kecil (industri kecil), dikaitkan dengan penyediaan fasilitas
olahraga, dikaitkan dengan penataan lingkungan hidup (penanaman sejuta pohon), dikaitkan dengan
program/proyek kali bersih (prokasih), dikaitkan dengan pengendalian pencemaran udara dan emisi gas
buangan kendaraan dan pabrik, dan bahkan penataan lingkungan pemukiman kumuh. Kota-kota terbersih ini
kemudian perlu memperoleh Piala Adipura Kencana Plus (Adipura Kencana Lestari, Adipura Kencana Super,
atau sebutan lain). Hal ini tidak mudah dilakukan, karena selama ini pelaksanaan pembangunan lebih kuat
aspek regional (wilayah)nya. Tim Pengarah Penilaian Adipura dan Tim Teknis Adipura perlu segera
menyempurnakan kuesioner penilaian, dan masukan pemikiran dari Tim Penilai Lapangan serta dari instansi
terkait Pemerintah Pusat dan dari Pemerintah Daerah sangat diharapkan.
Sebagai catatan -tambahan, perbandingan perolehan penghargaan di KBI dan KTI menunjukkan angka
sebagai berikut, 24 Adipura Kencana (23 KBI, 1 KTI), 176 Adipura (137 KBI, 39 KTI), dan 63 Sertifikat Kota
Bersih (34 KBI, 29 KTI), dan total 263 penghargaan (194 KBI, 69 KTI). KTI adalah 13 propinsi di luar Pulau
Sumatera, Jawa, dan Bali, yaitu propinsi-propinsi NTB, NTT, Timtim, Maluku, lrja, 4 propinsi di Sulawesi, dan
4 propinsi di Kalimantan. Dari data ini terlihat bahwa propinsi dan kota-kota di KTI perlu melipatgandakan
upayanya untuk mewujudkan kota bersih.
Herman Latif, menyarankan penilaian kota bersih di Kota Baru dan Kota Mandiri Yang Berwawasan
Lingkungan, seperti Bumi Serpong Damai, Lippo Karawci, Lippo Cikarang, Driorejo Gresik-Surabaya, dan
kota-kota baru yang lain. Johan Silas menyarankan perlunya konsistensi program, pengembangan cara-cara
pengelolaan lingkungan dalam menuju kota bersih dan kota idaman, menuju kualitas hidup yang lebih baik
(better quality of life) sesuai Agenda Habitat dan Deklarasi Istanbul, menyangkut mutu lingkungan yang baik,
tersedianya sarana dan prasarana yang layak, dan terwujudnya pengelolaan kota yang berkelanjutan.
Dengan kata lain, proses urbanisasi yang terkendali, ekosistem yang mantap, dan kesempatan yang merata
bagi wargakota dalam menikmati pekerjaan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Banyak pakar perkotaan
beranggapan, suatu saat kelak, Adipura tidak perlu lagi dilombakan. Kota Bersih diciptakan oleh aparat
pemerintah dan warga kotanya, tidak didasarkan atas penilaian dan penghargaan, tetapi atas kesadaran
bersama untuk menciptakan kotanya yang bersih, indah, sehat, aman, dan nyaman.
Angkatan Bersenjata, 27 Agustus 1997

315
Menjakartakan Warga lbukota

Warga DKI, cintailah Jakarta. Sejalan dengan menikmati hak sebagai warga ibukota, kita berkewajiban
menanamkan rasa cinta terhadap Jakarta BMW, memantapkan, dan meningkatkannya. Dalam beberapa
artikel menyambut HUT DKI ke-462 tahun 1989 yang bertemakan Dengan tekad, semangat dan kerja keras,
Jakarta siap melaksanakan Pelita V, penulis mengajak warga ibukota untuk menanamkan rasa memiliki dan
mencintai Jakarta, memahami soal pembangunan kota, siap melaksanakan Pelita V, mengejar Piala Adipura,
menelusuri permasalahan DKI dan mencari cara pemecahannya, melihat perkembangan pembangunan
rumah sederhana, melihat pembangunan rumah susun, dan menyusun konsep pembangunan perumahan
terpadu.
Menyongsong HUT DKI ke-463 tahun 1990 yang bertemakan Dengan semangat pengabdian kita bangun
Jakarta bagi masa depan yang lebih baik, penulis menekankan pentingnya partisipasi warga kota dalam
pembangunan kota, pengabdian masyarakat kunci keberhasilan pembangunan, mengajak warga DKI meraih
Adipura, mengupas pembangunan Jakarta (evolusi dari Bema, belum efektif mengatur orang, menuju BMW,
bersih, manusiawi, dan wibawa), membangun Jakarta dengan sadar wisata dan sadar lingkungan,
menjakartakan warga ibukota, dan mewujudkan pengabdian warga Jakarta dengan menaati peraturan,
menjaga dan memelihara hasil pembangunan, dan melaksanakan pembangunan Jakarta yang berwawasan
lingkungan.
Peringatan HUT DKI ke-464 tahun 1991 yang bertemakan dengan semangat pengabdian dan peran
serta masyarakat dalam pembangunan, Jakarta siap menuju tinggallandas, seyogyanyalah semua warga DKI
ikut merasa memiliki Jakarta, menanamkan, memantapkan, meningkatkan cinta kita terhadap Jakarta BMW,
berperan serta dan berpartisipasi dalam pembangunan Jakarta BMW menyongsong tinggal landas, didukung
oleh pemantapan pendayagunaan aparatur negara. Menjakartakan warga ibukota diartikan sebagai upaya
mengajak dan mendorong semua warga ibukota untuk mencintai Jakarta.

RUTR 2005
Warga DKI perlu mengetahui Pola Dasar Pembangunan Daerah dan RUTR 2005 yang menggambarkan
perencanaan umum tata ruang ibukota dalam periode 1985-2005. Dari RUTR bisa diketahui permasalahan
pokok Jakarta, antara lain masalah perkembangan regional, perkembangan penduduk dan lapangan pekerjaan,
arah dan perkembangan fisik kota, lahan untuk pembangunan, perumahan, transportasi umum dan jaringan
jalan, penyebaran pusat-pusat kegiatan, fasilitas umum, dan air minum. RUTR ini juga berisi tujuan, sasaran,
dan landasan pengembangan tata ruang serta rencana dan pelaksanaan umum tata ruang itu sendiri. Setelah
RUTR, warga DKI harus mengetahui RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota) yang merupakan rencana
peruntukan tanah, RTK (Rencana Terinci Kota) sebagai rencana detail, dan RUKT (Rencana Unsur Kota
Terperinci) yang merupakan elemen detail rencana kota.
Perencanaan pembangunan tahunan dituangkan ke dalam RUPTD (Rencana Umum Pembangunan
Tahunan Daerah) sebagai acuan bagi setiap aparat pemerintahan dan warga kota di dalam menyusun
rencana pembangunan tahun yang akan datang. Sekarang sedang disusun RUPTD 1992/1993 yang
kelihatannya tidak banyak berbeda dengan RUPTD 1991/1992 dan RUPTD 1990/1991. Mengacu pada
RUPTD, warga kota perlu mengetahui mekanisme perencanaan pembangunan tahunan dari bawah ke atas
(bottom up) dan dari arah atas ke bawah (top down) yang dimulai dari Musbang (Musyawarah Pembangunan
di Tingkat Kelurahan, diselenggarakan sebelum Juni), Temu Karya Pembangunan Tingkat Kecamatan (Juni-
Juli), Rakorbang II (Rapat Koordinasi Pembangunan di Tingkat Wilayah Kota, Juli-Agustus), Rapat Teknis
Intern Dinas/Kanwii/Unit Propinsi DKI Jakarta (Agustus), Rakorbang I di Tingkat Propinsi DKI Jakarta
(September), Rapat Konsultasi Regional Pembangunan (sekitar Oktober), dan Rapat Konsultasi Nasional
Pembangunan (Oktober-Nopember). Warga ibukota diminta untuk berperanserta dan berpartisipasi dalam
proses perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pengawasan, dan evaluasi pembangunan kota Jakarta, baik
dalam proses bottom up maupun top down.

316
RUTR, ROTA, RBWK, RTK, RUPTD, dan Program/proyek Pembangunan di DKI Jakarta jangan
disembunyikan, tetapi harus disebarluaskan dan dimasyarakatkan. Pemasyarakatannya bisa dilakukan
melalui berbagai cara, antara lain brosur, informasi sejenis koran, radio, tv, dan buletin, dibarengi penyuluhan
oleh aparat Pemda kepada masyarakat ibukota mengenai berbagai program pembangunan dan informasi
hasil-hasil pembangunan.

RUT PO
Untuk menanamkan, memantapkan dan meningkatkan cinta warga Jakarta terhadap Kota Jakarta,
RUPTD perlu disebarluaskan kepada masyarakat agar mereka bisa berpartisipasi memberikan pemikiran dan
masukan dalam musyawarah Pembangunan Tingkat Kelurahan dan musyawarah atau rapat koordinasi
lainnya. Ruang lingkup RUPTD berupa penjabaran Repelita V DKI Jakarta yang memuat pokok-pokok
kebijaksanaan pembangunan sebagai kerangka umum pembangunan tahun berikutnya. RUPTD dimaksudkan
untuk memberikan pedoman pada lnstansi dan Unit perangkat jajaran Pemda DKI dan masyarakat ibukota di
dalam menyusun usulan program/proyek dan kegiatan tahun yang akan datang. RUPTD bertujuan menciptakan
keterpaduan perencanaan dan ketajaman prioritas pembangunan.
Pada dasarnya program Pemda DKI dalam Repelita V mengacu pada empat masalah pokok
pembangunan, yaitu (1) belum terkendali sepenuhnya laju pertumbuhan penduduk dan penyebarannya
sebagaimana ditetapkan dalam RUTR 2005, (2) belum adanya keserasian dalam usaha peningkatan kegiatan
ekonomi dan perluasan serta pemerataan kesempatan kerja, (3) masih rendahnya kualitas sumber daya
manusia dan disiplin sosial, dan (4) belum memadainya penyediaan prasarana dan sarana kota serta kualitas
lingkungan. Dalam hal kependudukan walaupun Sensus Penduduk 1990 menunjukkan pertambahan penduduk
rata-rata per tahun dalam periode 1980-1990 hanya 2,41% (penduduk meningkat dari 6,48 juta menjadi 8,2
juta jiwa), pada kenyataannya migrasi sulit ditekan, sehingga jumlah penduduk 8,2 juta ini masih ditambah
lagi dengan penduduk musiman dan yang tidak terdaftar sehingga bisa mencapai 10 juta jiwa.
Berdasarkan evaluasi tahunan pembangunan di DKI yang dilakukan oleh Bappeda DKI Jakarta
bekerjasama dengan Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat ITS (1991), permasalahan pembangunan di
DKI dikelompokkan atas empat bidang yaitu sosial budaya, ekonomi, fisik lingkungan (ekosistem) dan
aparatur (institusi). Pertama, ada tiga masalah pokok sosial budaya yang menonjol, yaitu kependudukan,
kerawanan sosial, dan kualitas manusia. Pertambahan penduduk relatif masih tinggi, penyerahannya belum
me rata, dan pengembangan poros Barat-Timur ban yak mengalami hambatan (terutama karena banyaknya
calo tanah di Kedoya dan Pula Gebang mengakibatkan harga tanah melonjak). Kerawanan sosial nampak
meningkat, misalnya disiplin sosial masyarakat yang rendah, banyaknya pelanggaran atas peraturan,
perkelahian pelajar, pelanggaran perijinan, tertib lalulintas yang rendah, pelanggaran terhadap Perda dan
ketertiban umum, banyaknya penodongan, dan perkosaan.
Kualitas sumber daya manusia yang rendah berakibat produktivitas kerja pun rendah. Dari aspek
mental, terlihat kurangnya prasarana dan sarana pendidikan, kurang guru, bangunan sekolah tidak layak, dan
semangat juang murid yang rendah. Aspek fisik dan jasmani, tercermin oleh prasarana dan saran a kesehatan
dan olahraga yang belum memadai, pelayanan kesehatan masih kurang memuaskan dan belum merata di
tiap Wilayah Kota, pelayanan akses pegawai negeri kurang manusiawi, serta pembinaan dan pengembangan
olahraga masih belum berjalan lancar.
Kedua, masalah bidang ekonomi yang meliputi ketimpangan pendapatan, kesempatan kerja yang
langka, pembinaan dan pengembangan industri kecil yang tersendat-sendat. Ketiga, banyaknya permasalahan
bidang fisik lingkungan, seperti pencemaran, kemacetan lalulintas, pemukiman yang tidak dapat dinikmati
orang miskin, banjir tahunan yang selalu mengancam, pusat kegiatan (perkantoran, perdagangan dan jasa)
masih terkonsentrasi, dan pembangunan tata ruang tidak sesuai dengan rencana. Keempat, masalah aparatur
dan institusi tercermin pada pelayanan masyarakat yang minim, pengetahuan dan keterampilan aparat yang
masih rendah, dan aparat yang tidak wibawa, serta delapan program pemacu pendayagunaan aparatur
negara berjalan lancar (pengawasan melekat, analisis jabatan, jabatan fungsional, mutu kepemimpinan
aparatur, prosedur kepegawaian, pelayanan umum, sistem informasi administrsi pemerintahan, dan
penitikberatan otonomi di DT II).

317
Menjelang tahun terakhir Repelita V beberapa peristiwa penting dapat mendukung atau mempengaruhi
jalannya pembangunan, antara lain Pemilu 1992 (membutuhkan kondisi aman, tenteram, tertib dan tenang),
menurunnya fasilitas sanitasi lingkungan, fasilitas umum, dan kualitas lingkungan, tertib hukum yang jangan
hanya dikenakan pada kelompok miskin (penarik becak, kaki lima, dan pedagang asongan), tetapi harus
diterapkan pada semua lapisan masyarakat. Pekan Raya 1992 di Kemayoran akan membuka suasana baru
bagi warga ibukota. Tahun Kunjungan Wisata ASEAN akan berpengaruh terhadap daerah tujuan wisata DKI
Jakarta. Program kali bersih (Ciliwung, Cipinang dan Kali Mookervaart) perlu diprioritaskan dan program
udara bersih perlu dilaksanakan untuk menekankan polusi. Keterkaitan industri besar, sedang, dan kecil
masih belum dapat diwujudkan.
Pelaksanaan pembangunan Jakarta masih perlu difokuskan pada usaha peningkatan prasarana dan
sarana kota serta peningkatan kualitas lingkungan yang lebih lanjut dapat mendorong upaya menggerakkan
kegiatan ekonomi masyarakat. Pengendalian laju pertambahan penduduk, keluarga berencana, kerjasama
Jabotabek dan Bakoppur (Badan Koordinasi Penertiban dan Pengendalian Urbanisasi), upaya menekan
migrasi, peningkatan mutu pendidikan, pemantapan wajib belajar tingkat SD dan perintisan wajib belajar
tingkat SLTP, pemantapan kerukunan beragama, peningkatan derajat kesehatan masyarakat melalui tindakan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, kegiatan pemulihan, pelayanan, dan pemeliharaan kesejahteraan
sosial, peningkatan disiplin sosial, pembangunan politik, dan peningkatan peran wanita dalam pembangunan,
perlu dilaksanakan di seluruh Wilayah Kota.
Di bidang ekonomi, perlu ditingkatkan kegiatan perdagangan dan jasa serta penciptaan iklim yang
mendukung perkembangan industri, keterkaitan industri kecil, sedang dan besar, pembinaan usaha koperasr,
peningkatan ekspor non-migas, pengembangan pariwisata (untuk meningkatkan jumlah, lama tinggal, dan
belanja wisatawan), penataan ruang terbuka hijau, taman, perluasan kesempatan kerja, peningkatan mutu
diklat, dan peningkatan produktivitas kerja, etos kerja, dan perlindungan serta pengendalian pekerja sektor
informal.
Di bidang lingkungan, perlu diprioritaskan pembangunan jalan, kereta api, jalan layang (khususnya
menghindari persimpangan) jalan arteri, kolektor dan lokal, penyusunan sistem transportasi terpadu,
pembangunan terminal, penyediaan angkutan umum yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan, keterpaduan
stasiun kereta api dan terminal bis, penanganan kebersihan dan keindahan kota, penciptaan kelestarian
lingkungan, penyediaan air bersih, pengelolaan sanitasi, dan penerangan jalan umum secara merata. Di
bidang aparatur, perlu diarahkan pada pelaksanaan delapan program pemacu pendayagunaan aparatur
negara, peningkatan kualitas dan disiplin, dan peningkatan pelayanan pada masyarakat.

Mencintai Jakarta
Warga DKI tidak akan mencintai kotanya jika mereka tidak mengenal dan memahami pembangunan
kota, serta tidak mempunyai rasa memiliki segala persoalan kotanya. Setelah mengenal, mengerti, memahami,
memiliki dan tumbuh kesadaran, maka lambat laun tetapi pasti, warga ibukota akan mencintai kota Jakarta.
lni memerlukan proses yang cukup panjang, membutuhkan kesabaran aparat pemerintahan kota, keteladanan
dan perilakunya yang penuh wibawa untuk dicontoh oleh warga kota. Rasa memiliki dan mencintai Jakarta
perlu dimulai dari aparat Pemda DKI sebagai pelopor keteladanan dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Wagub DKI Bidang Ekbang, lr. Herbowo, menyatakan bahwa untuk menciptakan aparat Pemda
DKI Jakarta yang bersih dan berwibawa perlu diawali dengan sikap mental yang bersih serta memelihara
moral aparat pelaksana secara konsisten. Untuk itu perlu dilanjutkan dengan kebijaksanaan pembangunan
yang manusiawi.
Sejalan dengan upaya menuju perwujudan Jakarta BMW, mantan Wagub Bidang Ekbang (Bunyamin
Ramto, 1991) yang baru menyelesaikan program doktornya dengan predikat cum laude, menekankan
pentingnya sistem pengambilan keputusan kebijaksanaan publik yang integralistik. Lima butir penting dapat
dikutip dari disertasinya. Pertama, hakekat kebijaksanaan yang arif adalah kebijaksanaan yang menggunaan
ketiga perangkat lunak (akal, kalbu dan nafsu) dan kedua perangkat keras (kata dan karya) manusia secara
integralistik. Kedua, interaksi antara sistem sosial dengan sistem lingkungan pada umumnya menimbulkan
berbagai ketegangan kepentingan dan berbagai masalah, sehingga memerlukan kebijaksanaan publik yang
integralistik untuk meredakan ketegangan atau menyelesaikan masalahnya secara optimal pada waktu itu.

318
Ketiga, kebijaksanaan publik yang integralistik dapat dihasilkan dalam sistem pengambilan keputusan
kebijaksanaan yang mengakomodasikan unsur-unsur domain dan waktu secara konsisten pada perumusan,
pelaksanaan, dan penilaian kembali kebijaksanaan. Keempat, kebijaksanaan publik umumnya dirumuskan
dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan dapat distratifikasikan menu rut hierarki abstraksinya, mulai
dari kebijaksanaan puncak, umum, khusus, teknis, sampai pada tata-laksana operasional. Kelima, suatu negara
(atau kota) ibarat sebuah kebun yang indah yang diisi oleh lima jenis pepohonan yang serasi, yaitu ilmu
pengetahuan para pakar yang bermanfaat, pemimpin yang adil, pedagang yang jujur, karyawan yang
berdisiplin, dan rakyat yang taat. Dalam pembangunan kota Jakarta, Bunyamin Ramto menyarankan adanya
perpaduan esensi pemikiran (akal) perasaan (kalbu) dan kehendak (nafsu) pada setiap aktor pembangunan
sebagai abdi atau hamba Allah, khalifah (pemimpin) dan pemikul amanah (tanggungjawab) untuk
mengakomodasikan kebenaran, keadilan, kemudahan, kemakmuran, dan kebahagiaan dalam pengambilan
keputusan kebijaksanaannya.
Pendekatan pengambilan keputusan yang integralistik di atas bisa kita terapkan dalam upaya
menjakartakan warga ibukota. Beberapa ajakan agar warga ibukota mencintai Jakarta, antara lain meningkatkan
kesadaran bermasyarakat, menjaga kebersihan rumah dan lingkungan, ikut berperanserta dan berpartisipasi
dalam kegiatan pembangunan, mematuhi peraturan daerah, dan menjaga hasil-hasil pembangunan. Sedangkan
agar warga ibukota cinta Jakarta dilakukan antara lain dengan memasyarakatkan cinta Jakarta pada seluruh
warga ibukota melalui penyuluhan dan penerangan pembangunan di tiap Kelurahan di seluruh DKI.
Penyuluhan dilakukan bukan hanya dilakukan Pemerintah Daerah, tetapi di seluruh lnstansi Pemerintah dan
Swasta, Perguruan Tinggi, Sekolah, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan berbagai Yayasan.
Meningkatkan cinta warga ibukota terhadap Kota Jakarta, sebaiknya dimulai dari tingkat terkecil, yaitu
rumahtangga. Tim Penggerak PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) dan LSM akan bisa banyak
berperan dalam mengajak warga ibukota untuk mencintai DKI Jakarta. Sesuai dengan Pokja-pokja yang ada,
PKK dapat berperan dalam pembinaan, penghayatan dan pengamalan P4, pendidikan dan keterampilan serta
pengembangan koperasi, program pangan, sandang, perumahan d~n tatalaksana rumahtangga, kesehatan,
kelestarian lingkungan dan perencanaan hidup dan rumah sehat. Program-program yang menumbuhkan cinta
warga kota terhadap Jakarta BMW, antara lain penyuluhan, tatap muka, kerja bakti, penghijauan, perlombaan
kebersihan, Iomba pidato dan cerdas cermat, aksi sosial, posyandu, anjangsana, sarasehan, silaturahmi, dan
aksi kebersihan dari rumah ke rumah (door to door) menggunakan lagu Jakarta BMW atau Aku Cinta Jakarta
BMW.
Program yang lebih manusiawi sekaligus meningkatkan cinta warga kota antara lain penataan
pedagang kakilima, pedagang asongan, pedagang-pedagang di pinggir jalan dan trotoar, pengamen, penjual
jasa (tukang parkir, kenek dan kondektur cadangan, tukang semir sepatu, tukang bawa barang belanjaan di
dalam pasar, tukang buah di areal pasar, dan sejenisnya), agar mereka menata kebersihan dan keindahan
tempat usaha atau kerjanya. Pedagang kakilima dan warung-warung Tegal sebaliknya dianjurkan untuk
mengecat bangunannya seragam (merah untuk Jakarta Pusat, kuning Jakarta Barat, hijau Jakarta Selatan,
biru Jakarta Timur dan Oranye Jakarta Utara). Dengan cara ini terlihat warna mana yang jorok dan warna
mana yang selalu bersih. Lingkungan kumuh perlu menata kebersihannya dengan swadaya masyarakat
misalnya dengan penyediaan pot bunga di setiap rumah, taman bunga mini di Kantor RT dan RW, dan pintu
gerbang yang menarik di jalan masuk Kelurahan atau RW. Penataan lingkungan kumuh yang hijau dan
menarik dapat kita jumpai di Manggadua, Kebon Kelapa, Kampung Bali, Matraman dan Cideng.
Tempat-tempat pelayanan umum sebaiknya dapat disediakan dalam jumlah yang memadai, misalnya
telepon umum dan kantor pos pembantu. Kurangnya tanggungjawab sebagian warga kota, mengakibatkan
rusaknya fasilitas pelayanan umum. Misalnya dari empat fasilitas telepon umum di Jalan Kebayoran Lama
dekat Kantor Cabang Telkom Sukabumi llir, hanya sebuah yang normal tetapi tidak bisa digunakan. Tiga
lainnya, masing-masing gagang telepon lenyap, tinggal box-nya saja, dan tidakbisa digunakan. Masih untung
bangunan telepon umum tersebut tidak diangkut untuk dijadikan tempat berdagang rokok atau dikilo untuk
dijual.
Tim Khusus Walikota, misalnya Kamtibsihdu (Jakarta Pusat) dan Pokdarsih (Jakarta Barat), perlu
bekerja terus menerus dalam membina masyarakat setempat untuk semakin sadar meningkatkan peran-serta
dan partisipasinya dalam pembangunan wilayah kota. Walikota, camat, dan lurah, harus keliling daerahnya

319
untuk menggerakkan kerja bakti massal, melakukan sarasehan, diskusi dan silaturahmi dengan warga
kotanya, sekaligus menampung aspirasi mereka. Tumbuhnya rasa memiliki dan mencintai Jakarta pada
tingkat kelurahan, kecamatan dan wilayah kota, pada akhirnya akan menumbuhkan cinta pada kota Jakarta
BMW.
Jakarta BMW
Bagaimanapun pesatnya perkembangan pembangunan kota, daerah dan masyarakat, lebih-lebih
masyarakat daerah metropolitan Jakarta (menuju megapolitan atau mega city), senantiasa menghadapkan
pemerintah dan aparatnya serta warga kotanya terhadap berbagai macam masalah, kendala, dan tantangan
yang semakin berkembang rumit dan kompleks yang penanganannya perlu didukung oleh segenap aparatur
pemerintahan daerah dan seluruh lapisan masyarakat DKI Jakarta, mengacu pada Jakarta BMW (Bersih-
Manusiawi-Wibawa). Agar warga kota Jakarta semakin mencintai kotanya, dirasakan perlu bagi segenap
jajaran Pemerintah DKI Jakarta, khususnya jajaran Pemerintah Wilayah Kota, kecamatan, dan kelurahan
untuk senantiasa menumbuh-kembangkan suasana keterbukaan, kebersamaan, dan ketaatan atas asas
tugas dan fungsinya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, sehingga sesuai dengan Sapta Prasetya
Korpri, pada gilirannya akan menghasilkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan tugas.
Kepala Wilayah Kota berkewajiban memimpin penyelenggaraan pembangunan, mengkoordinasikan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta membina kehidupan masyarakat dalam segala bidang.
Aparat harus mengerti tugas dan kewajiban serta kebijaksanaan yang telah ditetapkan, antisipatif terhadap
permasalahan, kendala dan tantangan yang kian tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Walikota dan
aparatnya dituntut untuk memanfaatkan potensi wilayah seoptimal mungkin, mengutamakan kemandirian
daerah, efisiensi dan efektiitas anggaran, prioritas dan disiplin anggaran, dan mengacu pada Program Sapta
Matra, yaitu mengarahkan program-program yang mempunyai pengaruh besar pada perekonomian, mendorong
sektor swasta, memperluas lapangan kerja, upaya pemerataan, pembinaan pengusaha ekonomi lemah,
penggunaan produksi dalam negeri, komoditi ekspor dan pariwisata. Kesadaran warga kota ditumbuhkan
melalui penyuluhan dan penyediaan brosur, informasi pembangunan, ringkasan RUTR, RBWK, RTK,
RUPTD, dan program-program di setiap Unit Kerja di lingkungan Pemerintah DKI Jakarta yang disebar-
luaskan kepada masyarakat. Kesadaran warga ibukota yang semakin tinggi, akan meningkatkan peranserta
dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan serta memahami misi Pemda dalam menyelenggarakan
pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan.
Sejalan dengan RUPTD 1992/1993 dan upaya menciptakan Jakarta BMW, kerjasama internasional perlu
ditangani serius. Antara lain belajar dari Tokyo dalam transportasi kota, pembakaran sampah (incinerator), dan
rumah susun; Kitakyushu dalam pengelolaan sampah; Rotterdam dalam pengembangan pelabuhan dan
pengelolaan limbah; Singapura dalam transportasi dan kebersihan kota; Amsterdam dan Paris dalam
pengelolaan pelabuhan udara; Los Angeles dalam penataan transportasi kota; New York City dalam
pengembangan kota dan daerah sekitarnya (menuju megacity Jabotabek); dan Mexico City sebagai kota
terpadat di dunia. BKS AKSI (Badan Kerjasama Antar Kota Seluruh Indonesia) akan sangat besar peranannya
dalam menyusun program kerjasama internasional Kota Jakarta dan kota-kota tersebut.
Jakarta BMW jangan hanya slogan. BMW harus dijabarkan arti dan tujuannya. Melalui brosur singkat
mengenai Jakarta BMW yang dibagikan kepada seluruh penduduk DKI (penduduk menetap, musiman, nglaju,
dan pendatang yang numpang cari nafkah di Betawi) serta melalui kaset lagu Jakarta BMW yang diputar di
dalam bis umum dan tempat-tempat umum, akan banyak membantu dalam menumbuhkan cinta warga kota
terhadap Jakarta. Di lingkungan pemukimannya masing-masing, secara fisik dan sosial warga kota harus
menata rumah dan lingkungannya agar hijau dengan tanaman dan bunga, bersih selokannya, toleransi tinggi
sesama anggota masyarakat, patuh pada berbagai peraturan daerah, dan berperan-serta dalam pembangunan
wilayah. Aparat pemerintah harus menegakkan disiplin kerja dan mewujudkan kewibawaan dalam tindakannya
serta manusiawi dalam pelaksanaan tugasnya. Dengan semangat kebersamaan dan semangat berperan-
serta dalam pembangunan, kita tingkatkan cinta warga ibukota terhadap pembangunan Jakarta BMW.
Menyongsong 1992, Jakarta harus menargetkan Juara I penilaian NKLD (Norma Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Daerah) dan meraih Piala Adipura, lambang kota terbersih. Semoga.
Angkatan Bersenjata, 4-5 Juli 1991

320
Memfungsikan Forum Komunikasi Lingkungan

Akhir-akhir ini semakin dirasakan pentingnya pembangunan berkelanjutan (sustainable development)


berwawasan lingkungan. Biro Bina Lingkungan Hidup, semula Biro Bina Kependuduikan dan Lingkungan
Hidup sebagai perpanjangan tangan Kantor Menneg KLH atau mitra kerja Bapedal (Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan) di tingkat Propinsi, Pusat Studi Lingkugnan (PSL), dan Forum Komunikasi Lingkungan,
merupakan perangkat pengelolaan lingkungan hidup. Di samping itu, peran serta masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup perlu makin ditumbuhkan, sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Forum
Pasal5 sampai dengan Pasal10 Bab Ill UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup, menetapkan hak, kewajiban, dan wewenang setiap warga negara dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,
berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan
pencemarannya. Setiap orang juga mempunyai hak dan kewajibannya untuk berperan serta dalam rangka
pengelolaan lingkungan hidup. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup, diatur dengan
peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya ketentuan UU Nomor 24 Tahun 1992 Pasal 4, 5, dan 6 menetapkan bahwa setiap orang
berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang dan
setiap orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang, berperan serta dalam penyusunan rencana tata
ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang, dan memperoleh penggantian yang layak
atas kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
rencana tata ruang. Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara kualitas ruang dan
berkewajiban menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Ketentuan mengenai pelaksanaan hak dan
kewajiban ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan
seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.
Tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah (1) tercapainya keselarasan hubungan antara man usia dengan
lingkungan hidup sebagai tujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya, (2) terkendalinya pemanfaatan
sumber daya secara bijaksana, (3) terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup, (4)
terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang,
dan (5) terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan
kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Setiap orang yang menjalankan suatu bidang usaha, wajib memelihara kelestarian lingkungan hidup
yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Kewajiban tersebut
diwujudkan dalam setiap ijin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang dan ketentuannya ditetapkan
dengan peraturan perundang-undangan. Pemerintah menggariskan kebijaksanaan dan melakukan tindakan
yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan lingkungan hidup, berkewajiban menumbuhkan
dan mengembangkan kesadaran masyarakat akan tanggungjawabnya dalam pengelolaan lingkungan hidup
melalui penyuluhan, bimbingan pendidikan, dan penelitian tentang lingkungan hidup.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang merupakan organisasi yang tumbuh secara swadaya atas
kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat, serta berminat dan bergerak dalam bidang lingkungan
hidup, berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup. Dalam menjalankan peranannya
sebagai penunjang, lembaga swadaya masyarakat mendayagunakan dirinya sebagai sarana untuk
mengikutsertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan

321
hidup. LSM mencakup antara lain, kelompok profesi (tergerak menangani masalah lingkungan), kelompok
hobi (mencintai kehidupan alam dan terdorong melestarikannya), dan kelompok minat (berminat untuk
berbuat sesuatu bagi pengembangan lingkungan hidup).
Pengalaman di lapangan dengan berbagai kasus penyimpangan dalam pengelolaan lingkungan hidup,
menuntut adanya wadah komunikasi antara pemerintah, swasta/industri, dan masyarakat. Forum ini yang kita
sebut sebagai Forum Komunikasi Lingkungan (FKL) berperan menjembatani kepentingan Pemerintah,
kalangan Swasta/lndustri, dan Masyarakat. Forum ini hendaknya dibentuk berdasarkan Surat Keputusan
Gubernur, dengan tugas antara lain memberikan masukan kepada Pemerintah Daerah tentang berbagai
upaya pengelolaan lingkungan hidup.
Fungsi forum ini sebagai think-thank Gubernur, seyogianya berada dalam lingkup Bappeda atau Biro
Bina LH. Gubernur atau Wagub berfungsi sebagai pengarah, Ketua Bappeda sebagai Koordinator, Kepala
Biro BLH sebagai Sekretariat, dan para pengusaha serta tokoh lingkungan hidup menjadi Anggota. Dana
kesekretariatan diusahakan secara swadaya dan mandiri, dari perusahaan dan sponsor.
PSL harus dilibatkan dalam Forum ini. Pakar PSL perlu diikutsertakan, misalnya dalam diskusi kasus
pencemaran dan perumusan bahan penyuluhan lingkungan hidup. Melalui forum, para pakar lingkungan bisa
menyarankan antara lain penggunaan teknologi, efisiensi biaya, dan penataan administrasi lingkungan dalam
pengelolaan tata ruang. FKL menjadi perantara Pemerintah, PSL, dan kalangan Swasta/lndustri.
lsu-isu penanganan Andal juga bisa dibahas dalam forum ini. Harus dihindari jangan sampai PSL yang
bikin Andal juga menilai Andal. PJP II Daerah misalnya, bisa diseminarkan oleh FKL. FKL juga dapat
berperan dalam menyusun Garis Besar Haluan Daerah Bidang Pengelolaan Lingkungan Hidup, membantu
memberikan penyuluhan lingkungan, dan sekaligus berperan menangani law enforcement atas pelanggaran
norma-norma lingkungan hidup. Sekretariat berada di Biro BLH gunanya antara lain, agar kegiatan FKL selalu
terkait dengan kegiatan Biro BLH. Rapat FKL tidak selalu harus diselenggarakan di kantor, tetapi bisa
diselenggarakan di tempat perusahaan yang punya masalah, bahkan di lapangan. Biro BLH juga perlu selalu
memantau pergerakan organisasi FKL. Sekretariat FKL berkewajiban menyusun notulen rapat, melaporkan
hasil kegiatan kepada Gubernur dan menyebarluaskan informasi hasil-hasil yang dicapai FKL kepada
kalangan industri dan masyarakat.
Yang masih perlu dipikirkan adalah bagaimana mekanisme yang baik supaya tujuan FKL bisa tercapai.
Bagaimana juknis dan juklak FKL. Walaupun Menteri Negara LH menganjurkan pendirian FKL, mengenai
juklak dan juknis diserahkan kepada daerah yang bersangkutan, disesuaikan dengan situasi dan kondisi
masing-masing daerah. FKL harus ada di setiap propinsi untuk menangani berbagai permasalahan tentang
pengelolaan lingkungan. Terutama di propinsi-propinsi yang sudah terancam ancaman pelestarian dan
degradasi lingkungan, seperti DKI Jakarta, Jabar, Jateng, Jatim, dan Lampung. FKL haruslah benar-benar
dapat berfungsi dengan baik. FKL hendaknya bisa merupakan wadah penyaluran atau aspirasi masyarakat
yang peduli terhadap lingkungan. Forum ini diharapkan dapat menumbuhkan, mengembangkan atau
menumbuhkembangkan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengelolaan lingkungan hidup.
FKL jangan hanya berbentuk wadah organisasi, tetapi harus benar-benar berfungsi. FKL harus rapat
sedikitnya sekali dalam seminggu, rapat rutin terus menerus, dan para pakar bertemu untuk mengidentifikasi
permasalahan serius lingkungan hidup di daerah. FKL harus memiliki potret kependudukan dan lingkungan
hidup daerah. FKL juga perlu berperan dalam meningkatkan penulisan Neraca Kependudukan dan Lingkungan
Hidup Daerah (NKLD). Bappeda harus memback-up kegiatan FKL dan FKL harus memanfaatkan organisasi
yang telah ada seperti Pusat Studi Kependudukan, Pusat Studi Lingkungan, Kadin, Lembaga Konsumen, dan
Pers. Lahirnya FKL diharapkan dapat menekan sengketa hukum dalam pengelolaan lingkungan hidup,
menumbuhkan kesadaran masyarakat, dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup.
Peranan pers sangat penting dalam menyebarluaskan kegiatan FKL dan mengajak masyarakat untuk
mencintai lingkungan. Acara-acara di televisi dan RCTI yang selama ini diisi dengan berbagai kuiz Lifebouy,
diskusi ekonomi dan teknologi, perlu ditambah dengan kuiz dan diskusi lingkungan hidup dan penyebarluasan
FKL. Selain melalui televisi, penyebarluasan FKL juga bisa melalui RRI, radio (Prambors) majalah, surat
kabar, brosur dan melalui temu muka dengan masyarakat.

322
Harus dihindari agar FKL tidak menjadi pressure power dan arena tuding menuding. FKL perlu diarahkan
agar menjadi wadah komunikasi timbal balik di antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Pak Emil minta
agar potensi masyarakat yang besar digerakkan melalui FKL dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. FKL
hendaknya harus lebih berfungsi dalam menyadarkan masyarakat, seperti halnya Jakarta Promotion Board,
Lembaga Konsumen, Gerakan Swadaya Masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
Pada tahap awal pembentukannya, FKL harus memprioritaskan konslidasi organisasi, pemanfaatan
pers dalam menyebarluaskan informasi FKL dan kegiatannya, serta memperkuat unit kehumasan FKL.
Langkah berikutnya mengidentifikasi permasalahan daerah yang diikuti dengan upaya mencari pemecahannya.
Selanjutnya, disusun prioritas penanganan masalah lingkungan hidup. Kesemuanya ini tidak dapat dilepaskan
dari Kebijaksanaan dan Strategi (Jakstra) dan Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan Daerah. Pola
Dasar Pembangunan Daerah, Repetada (Rencana Pembangunan Lima Tahun Deaerah), dan Rencana
Umum Pembangunan Tahurian Daerah.
Adanya FKL diharapkan semakin meningkatkan mutu pembuatan NKLD (Neraca Kependudukan dan
Lingkungan Hidup Daerah), dan buku serta informasi KLH lainnya, seperti SNPPTR (Strategi Nasional
Pembangunan Pola Tata Ruang), RSTRP (Rencana Struktur Tata Ruang Propinsi), ANDAL, AMDAL,
SEMDAL (Studi Evaluasi Mengenai Dampak Lingkungan), PIL (Penyajian lnformasi Lingkungan), PEL
(Penyajian Evaluasi Lingkungan). SEL (Studi Evaluasi Lingkungan), RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan),
RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan), RUTR, RUTRD, RUTRP, RUTRK, RUTRW, RDTRK, dan LKKLD
(Laporan Kualitas Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah).

Memfungsikan
Keberadaan FKL di Jakarta Teguh Beriman (Teruskan, Gerakan Untuk Hidup Bersih lndah Menarik,
Manusiawi, dan Aman) sangat penting artinya. FKL mengidentifikasi jumlah industri yang ada di DKI, yang
patuh, yang mencemari lingkungan, dan yang harus diberi peringatan. Saran pemikiran FKL disampaikan
kepada Gubernur untuk selanjutnya diteruskan kepada Menteri KLH dan lnstansi terkait lainnya Jika perlu,
dilaporkan kepada Presiden (sesuai dengan UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Pemerintahan lbukota).
FKL merupakan think-thank Gubernur di bidang kependudukan dan lingkungan hidup, merupakan
data-base kependudukan dan lingkungan hidup daerah. FKL juga merupakan interface, pertemuan antara model
pembangunan dari atas (top down) dengan pembangunan dari bawah (bottom up). FKL akan menampung
pemikiran dan aspirasi swasta dan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk diteruskan kepada
pemerintah melalui Gubernur. FKL juga menjadi perantara dalam penyelenggaraan musyawarah antara
pemerintah dengan swasta dan masyarakat dalam mengatasi kasus lingkungan hidup. Akhirnya, selamat
datang FKL sebagai salah satu instrumen pengelolaan lingkungan hidup di daerah di samping Bappeda,
BKLH, PSK, PSL. dan Bapedalda.
FKL pulalah yang mencatat terus menerus segala permasalahan lingkungan termasuk penataan ruang
di Daerah, menyangkut pembinaan daerah pantai, pembinaan dan pengelolaan lingkungan hid up, penyelamatan
hutan, tanah, dan air, rehabilitasi lahan kritis, pengendalian pencemaran lingkungan hidup, inventarisasi dan
evaluasi sumber daya darat, penataan ruang (perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian
pemanfaatan ruang) wilayah Nasional, Propinsi DT I, Kabupaten/Kotamadya DT II, kawasan lindung,
kawasan budi daya, kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, dan kawasan tertentu serta penataan
pertanahan.
Jayakarta, 17 Maret 1994

323
Mengintegrasikan Lingkungan Hidup Dalam
Pembangunan Nasional
lndustrialisasi dan lntegrasi Lingkungan Hidup dalam PJP II dan Pelita VI merupakan salah satu topik
bahasan dalam Seminar Ekonomi Menyongsong Pelaksanaan PJP II yang diselenggarakan oleh Suara
Pembaruan di Jakarta pada tanggal 18-19 Januari 1994. Masalah industrialisasi dibahas oleh Menko lndag
Hartarto, sedangkan masalah lingkungan hidup dikupas oleh Menneg LH Sarwono Kusumaatmadja. Tulisan
ini berusaha mengangkat butir-butir penting yang telah dilontarkan oleh dua orang pakar, bidang industri dan
lingkungan.

lndustrialisasi
Menurut Hartarto, tinggal landas adalah saat yang kritis, karena jika berhasil maka bangsa Indonesia
akan dapat mencapai kemajuan yang pesat, namun kalau gagal, kita akan menghadapi kesulitan yang
berkepanjangan. Berkat prestasi di bidang industri yang telah dicapai pada Pelita V, maka menyongsong
Pelita VI, industri sudah siap tinggallandas untuk menjadi penggerak utama pembangunan. Produk-produk
manufaktur Indonesia telah semakin didorong daya saingnya tidak saja pada keunggulan komparatif,
melainkan lebih pada keunggulan kompetitif baik di pasar dalam negeri maupun pasar global.
Penciptaan iklim usaha yang kondusif ditempuh melalui rangkaian langkah-langkah deregulasi dan
debirokratisasi yang dilaksanakan secara dinamis mencakup kebijaksanaan fiskal, moneter dan perbankan,
kepabeanan dan tata niaga, tata ruang, perijinan dalam arti luas, dan standarisasi. Pengembangan ekspor
non-migas sebagai penggerak utama pembangunan dilakukan dengan memanfaatkan momentum yang tepat,
yaitu memanfaatkan hasil putaran Uruguay, secara kontinu mendorong deregulasi sehingga daya saing
semakin kuat, mengembangan industri yang berdaya saing kuat dengan memanfaatkan teknologi yang tepat
(industri yang mengolah sumber daya alam dengan peningkatan nilai tambah, industri yang memanfaatkan
sumber daya manusia, gabungan industri keduanya dan industri yang memanfaatkan dukungan teknologi
canggih, antara lain mesin-mesin elektronika, alat angkut, pabrik secara utuh dan lain-lain), serta mendorong
tumbuh dan berkembangnya Indonesia sebagai trading nation.
Di samping mendorong ekspor non-migas juga dikembangkan upaya penting dan strategis berupa
pengembangan usaha kecil dan koperasi, pengembangan industri barang modal dan industri hulu,
pengembangan kemampuan penguasaan teknologi dalam arti luas (rancang bangun, perekayasaan industri,
dan litbang terapan) dan pengembangan sumber daya manusia. Dengan laju pertumbuhannya yang tinggi,
peranan industri pada PDB pad a Pelita V mencapai 21% dan diharapkan pad a akhir Pel ita VI mencapai 25%
serta peranan ekspornya sangat dominan. Kondisi ini memperlihatkan industri telah siap tinggal landas,
menjadi penggerak utama pembangunan yang menghela sektor ekonomi lainnya dan pada gilirannya
berdampak luas pada pembangunan nasional pada umumnya.

Lingkungan Hidup
Menurut Sarwono, kondisi dan kecenderungan lingkungan saat ini mengarah pada tiga kesimpulan
dasar. Pertama, pertumbuhan dan pembangunan masa depan, termasuk proses industrialisasi akan sangat
bergantung kepada cadangan sumber daya alam utama Indonesia (tanah, air dan energi) dan keberlanjutan
tatanan lingkungan yang strategis (termasuk sumber air tanah di daerah perkotaan dan ekosistem pantai dan
lautan). Kedua, pertumbuhan sektor industri akan terus berlanjut terkonsentrasi di daerah perkotaan,
khususnya di Pulau Jawa. Jika kurang hati-hati melakukan pengawasan, maka pencemaran industri sulit
dicegah, kemacetan lalulintas hampir merata, efisiensi dan efektivitas pengelolaan perkotaan rendah,
investasi asing sulit ditingkatkan dan ketimpangan antar daerah sulit dihindari. Ketiga, akibat dari pertumbuhan
ekonomi yang cepat, konflik pada penggunaan tanah dan akses pada sumber daya lainnya akan terus
meningkat dibarengi dengan meningkatnya jumlah masyarakat yang terkena pencemaran lingkungan,
sehingga mempengaruhi upaya peningkatan kualitas hidupnya.

324
Sebagai obat dari penyakit ini, maka perencanaan pembangunan jangka panjang dan perencanaan
program Pelita VI serta pelaksanaan tahunannya haruslah dilandasi oleh konsep Pembangunan Berkelanjutan
Yang Berwawasan Lingkungan (PBBL) yang bertumpu pada kondisi sumber daya alam, kualitas lingkungan
dan faktor kependudukan. PBBL menurut Soeriaatmadja, mempunyai ciri pertumbuhan ekonomi yang
mempunyai pembangkitan (penduduk yang masih miskin perlu disentuh), pertumbuhan ekonomi yang menuju
perubahan kualitas pertumbuhan, pemenuhan kebutuhan dasar akan lapangan kerja, air (sumber daya),
pangan, energi, dan kesehatan lingkungan, pelestarian dan pendayagunaan sumber daya alam (pelestarian
sumber alam, energi berkelanjutan, dan daya serap biosfera) pendayagunaan iptek yang mampu mengelola
dan mengendalikan resiko, dan keterpaduan pertimbangan ekonomi dan ekologi dalam proses pengambilan
keputusan.
Soeriaatmadja juga menyodorkan asas PBBL, yaitu keterkaitan dan ketergantungan antara manusia
dan lingkungan serta sumber daya alam di dalamnya menuntut perlunya keserasian dan keselarasan dalam
pendayagunaan sumber daya alam dan lingkungan hidup, kemitraan global dan nasional diperlukan untuk
mendorong PBBL atas dasar kepentingan bersama, diperlukan perubahan gaya hidup, pola konsumsi dan
pola produksi untuk menjamin kehidupan berkelanjutan, diperlukan pembinaan sistem kelembagaan untuk
keberhasilan PBBL, dan produk hijau adalah tujuan industrialisasi PBBL.
lntegrasi Lingkungan Hidup dalam Pembangunan Nasional menurut pemikiran Sarwono adalah upaya
melibatkan delapan unsur dan melaksanakannya dalam pembangunan nasional, yaitu pengembangan tata
ruang, penetapan baku mutu lingkungan dan baku mutu limbah, analisis mengenai dampak lingkungan,
pengendalian pencemaran lingkungan, rehabilitasi dan reklamasi lingkungan, konservasi sumber daya hayati
melalui pendekatan ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hidup (menginternalkan eksternalitas, peran
serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan pendekatan ekonomi, retribusi untuk biaya sosial, yang
dilakukan oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional peraturan pemerintah tentang kualitas, mengeliminasikan
distorsi harga, serta analisis manfaat dan biaya).
Pengembangan tata ruang mengacu pada UU Nomor 24 tahun 1992 tentang Tata Ruang yang
ditindaklanjuti oleh Keppres Nomor 75 Tahun 1993 tentang Koordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional
yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (BKTRN) yang dipimpin oleh Menneg PPN/
Ketua Bappenas, Ginanjar Kartasasmita. Keppres Nomor 75 Tahun 1993 ini merupakan pembaruan
(penyempurnaan) dari Keppres Nomor 57 tahun 1989 tentang Tim Tata Ruang Nasional. Hirarki rencana tata
ruang terdiri atas Strategi Nasional Pembangunan Tata Ruang (SNPPTR), Rencana Struktur Ruang Propinsi
(RSTRP) dan Rencana Umum Tata Ruang Kabupaten/Kota/Wilayah (RUTRKJW), masing-masing berdimensi
waktu 25, 15 dan 10 tahun.
Ketentuan mengenai baku mutu lingkungan (batas atau kadar yang diperbolehkan bagi zat atau bahan
pencemar terdapat dalam media lingkungan sehingga dapat tetap berfungsi sesuai dengan peruntukannya)
dan baku mutu limbah (cair, bahan beracun dan berbahaya, 83) ditetapkan melalui PP, Keppres, atau
Kepgub, dimaksudkan untuk menghindari pencemaran dalam upaya pelestarian lingkungan untuk mendukung
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. AMDAL yang diatur melalui PP nomor 51 Tahun
1993 (pengganti PP Nomor 29 Tahun 1986), memuat ketentuan analisis mengenai dampak lingkungan
kegiatan terpadu/multisektor, analisis mengenai dampak lingkungan kawasan, analisis mengenai dampak
lingkungan regional. AMDAL, adalah hasil studi mengenai dampak panting suatu usaha atau kegiatan yang
direncanakan terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan.
Baku mutu limbah ditetapkan dalam upaya pengendalian pencemaran dan industri yang membuang
limbahnya ke media lingkungan harus di bawah baku mutu limbah yang telah ditetapkan. Penanggulangan
pencemaran air, udara dan tanah mengutamakan penanggulangan bahan beracun dan berbahaya agar
limbah dapat dikendalikan dan tidak membahayakan masyarakat serta penanggulangan limbah padat
terutama di kota-kota agar tidak mengganggu kesehatan lingkungan. Sarwono menegaskan bahwa upaya
pengendalian pencemaran lingkungan diikuti oleh penaatan (complience, upaya agar ketetapan tentang baku
mutu lingkungan, baku mutu limbah dan pengendalian pencemaran dilaksanakan) dan melakukan audit
lingkungan bagi kegiatan pembangunan yang dianggap melanggar ketentuan baku mutu lingkungan dan baku
mutu limbah.

325
Di samping penataan ruang yang merupakan kebijaksanaan proaktif, dianut kebijaksanaan reaktif
berupa rehabilitasi dan reklamasi, yaitu pengendalian setelah timbul pencemaran lingkungan, antara lain
program reboisasi, Adipura (dengan lambang-lambang kota Teguh Beriman, Bersinar, Berseri dan sebagainya)
program kali bersih, program langit biru, program sinar bersih !aut (Sibelut) dan program daur ulang Indonesia
(Peduli). Konservasi sumber daya alam yang hidup (tumbuhan, binatang dan mikroorganisme, serta unsur-
unsur non hayati dari lingkungan yang menjadi sandarannya), sangat panting bagi pembangunan. Taman
nasional, reboisasi, konservasi alam, penataan hutan tropik, merupakan upaya-upaya dalam mewujudkan
pembagunan berkelanjutan berwawasan lingkungan.
Peran serta masyarakat dalam konservasi sangat diperlukan. Pembagian tugas dan tanggungjawab
kepada berbagai instansi dan institusi, sistem manajemen sumber daya alam berbasis komunitas, dan
pengelolaan lingkungan bertumpu pada masyarakat dan koordinasi antar instansi dan institusi, akan
mendukung keberhasilan upaya pelestarian lingkungan. Peran serta masyarakat dibutuhkan tidak hanya
untuk konservasi, tetapi lebih luas lagi, peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan. Di samping
peran serta masyarakat, sangat diperlukan ditumbuhkembangkannya kemitraan (pemerintah, swasta dan
masyarakat) dalam pengelolaan lingkungan. Peraturan pemerintah tentang peran serta masyarakat, sebagai
tindak lanjut UU Penataan Ruang, diharapkan dapat secara jelas dan tegas bentuk-bentuk peran serta
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan.
Berdasarkan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hidup, maka diupayakan
pendayagunaan sumber daya, diberikan perhatian terhadap mekanisme pasar, diupayakan pencegahan
eksploitasi, penekanan ongkos dan biaya pengelolaan lingkungan, efisiensi dan efektivitas organissi, dalam
rangka pengelolaan mutu lingkungan (environmental quality management). Langkah-langkah yang ditempuh
antara lain menginternalkan externality (memasukkan biaya yang timbul untuk memperkecil dampak lingkungan),
retribusi untuk biaya sosial (retribusi limbah, retribusi sampah), Peraturan Pemerintah tentang kuantitas
(pelepasan limbah, ekstraksi sumber daya alam), mengelliminasikan distorsi harga (penetapan kebijaksanaan
yang mempertimbangkan aspek lingkungan hidup), serta analisis manfaat dan biaya (benefit-cost analysis,
pada tingkat proyek, sektoral, regional, dan nasional).

Berwawasan Lingkungan
Keberhasilan pelestarian dan pengelolaan sumber daya alam akan menjadi kunci untuk terpenuhinya
harkat hidup seluruh masyarakat dan pelestarian kualitas lingkungan sangat ditentukan oleh pelestarian
kualitas tata air, tata udara, serta ketersediaan kebutuhan dasar, meliputi pelestarian kawasan fungsi lindung,
pelestarian hutan tropis atau keberadaan tegakan pohon (canopy), pelestarian hutan bakau, dan usaha
swasembada pangan (Surna T. Djajadiningrat, 1992) serta penataan kawasan lahan pertanian, hubungan
struktural pola tata ruang perkotaan dan pedesaan, perwilayahan pembangunan sarana dan prasarana. Hal-
hal yang perlu diperhatikan antara lain kepekaan masyarakat terhadap aspek lingkungan fisik dan lingkungan
sosial, lemahnya kemampuan perencanaan perkotaan, lemahnya gerakan yang memihak pada kepentingan
masyarakat dan lemahnya fungsi pengawasan.
Strategi pengelolaan lingkungan hidup yang terintegrasi dalam pembangunan nasional memperhatikan
elemen-elemen lingkungan alam dan lingkungan buatan, pemantauan lingkungan hidup (berdasarkan indikator,
kriteria, dan daya dukung lingkungan), persepsi dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan,
pelanggaran (menghambat pembangunan, melampaui batas toleransi, dan timbulnya bencana), baku mutu
lingkungan hidup dan hukum lingkungan. Bertolak dari kenyataan bahwa pembangunan ekonomi telah
menimbulkan perubahan secara dinamis terhadap hubungan timbal balik manusia dengan lingkungan
(perubahan alami dan perubahan antropogenik), Soeriaatmadja menekankan pentingnya dinamika
pembangunan ekonomi yang menuntut pembangunan ekonomi berimbang, pemenuhan kebutuhan pokok
dan peningkatan kualitas hidup, dan pemerataan, sebagai upaya perwujudan pembangunan berkelanjutan
yang berwawasan lingkungan (pasca KIT Bumi Rio de Janeiro 1992).
Pakar LSM, M.S. Zulkarnaen (Direktur Eksekutif Walhi) mengingatkan pentingnya kekuatan rakyat dan
daya dukung lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan. Menurut pandangannya, pembangunan
berkelanjutan memuat tiga aspek demokrasi (politik, budaya, dan ekonomi) dan dua aspek etika (ekologi dan

326
kemanusiaan). Dalam konteks ini, pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan harus dilandaskan
pada gagasan lokal (karakter demokrasi dan etika harus sesuai dengan kondisi lokal), gagasan sesuai
dengan sumber daya alam yang tersedia baik kualitas dan kuantitas (sifat daur ulang) dan gagasan
merupakan karya sumber daya manusia pada tingkat lokal dan sesuai dengan sumber daya alamnya
(pemanfatan sumber daya lokal).
Angkatan Bersenjata, 25 Maret 1994

Menuju Warga DKI yang Berbudaya Kerja dan


Disiplin
Tahun 1996 merupakan tahun keberhasilan pemerintah DKI Jakarta, karen a pad a tahun inilah untuk
pertama kalinya lima wilayah kota di DKI Jakarta meraih Piala Adipura dan Jakarta Pusat lebih berhasil lagi
dengan meraih Piala Adipura Kencana. Tugas berikutnya adalah bagaimana mempertahankan dan
meningkatkan prestasi kota Jakarta sebagai kota bersih atau kota Adipura. Tidaklah ringan tugas
mempertahankan prestasi kota bersih dan bahkan meningkatkan prestasi agar lebih dari satu wilayah kota
dapat meraih Piala Adipura Kencana. Beberapa cara dapat ditempuh untuk mempertahankan status kota
bersih, antara lain pemantapan dan peningkatan budaya disiplin kerja serta peningkatan upaya pemeliharaan
keindahan dan kebersihan lingkungan.
Dalam menciptakan ibukota Jakarta menjadi kota modern dan kota metropolitan, telah diperkenalkan
berbagai motto DKI Jakarta oleh Gubernur pada masa jabatannya. Mulai dari Jakarta Religius ke Jakarta
BMW (bersih, manusiawi, wibawa) sampai ke Jakarta Teguh Beriman (teruskan gerakan untuk hidup bersih,
indah, menarik dan aman).

Budaya Kerja
Kantor Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara pada tahun 1991 memperkenalkan Budaya
Kerja, yaitu sikap hidup yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang telah menjadi sifat,
kebiasaan dan kekuatan pendorong yang membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat/
organisasi, yang kemudian tercermin dalam perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang
terwujud sebagai "kerja" atau "bekerja". Landasan budaya kerja adalah Pancasila dan UUD 1945 serta
budaya-budaya kreatif yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Budaya kerja dalam aparatur pemerintah adalah budaya pengelolaan administrasi pemerintah dan
administrasi pemerintahan dan administrasi pembangunan yang menghasilkan pengembangan, perencanaan,
produksi dan pelayanan suatu produk yang berkualitas dalam arti optimal, ekonomis, bermanfaat dan
memuaskan. Pengertian budaya kerja dalam kehidupan masyarakat mengandung makna upaya peningkatan
produktivitas, efisiensi dan efektivitas kerja sehingga dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
berdaya saing. Budaya kerja mempunyai arti panting, terutama bagi bangsa Indonesia dalam menyongsong
era perdagangan bebas ASEAN (AFTA) tahun 2003, negara maju di Asia Pasifik tahun 2010, dan semua
negara di kawasan Asia Pasifik tahun 2020.
Pemantauan budaya kerja perlu dimulai dengan Kelompok Budaya Kerja didukung program budaya
kerja yang nyata, siklus pengendalian mutu, aktualisasi kehidupan dalam pekerjaan, dan perwujudan nilai-
nilai luhur (gotong royong, musyawarah, mufakat, kebersamaan, keterbukaan, keserasian, keselarasan dan
keseimbangan, keteladanan, kreativitas, partisipasi, tanggung jawab, ikut memiliki, mawas diri, dan berani
mengambil risiko untuk kebenaran. Melalui program budaya kerja akan ditumbuhkan pengakuan dan
penghargaan serta kebanggaan kerja, peran serta aktif, aktualisasi diri, rasa ikut memiliki, tanggung jawab,
berorientasi keberhasilan, dorongan ke~asama, bekerjasama, bekerja dalam kelompok, mendorong kemampuan

327
bekerja mandiri dan profesional, mempererat hubungan bawahan-atasan, dan selalu berusaha bekerja
selaras-serasi-seimbang.
Gerakan disiplin nasional mulai dicanangkan Presiden Republik Indonesia pada tahun 1995. Tahap
pertama difokuskan pada budaya tertib, budaya bersih dan budaya kerja. Hal-hal yang menyangkut budaya
tertib, antara lain tertib hukum, tertib di lingkungan kerja, tertib di jalan raya, tertib di tempat umum, dan tertib
mengikuti segala peraturan dan ketentuan yang berlaku. Budaya bersih, meliputi segala tindakan yang
menyangkut kebersihan pribadi, dalam keluarga, lingkungan, tempat kerja dan dalam kehidupan bermasyarakat.
Budaya kerja adalah sikap hidup menepati waktu, bekerja menggunakan perencanaan, dan berorientaasi
pada hasil yang produktif, efisien dan efektif.
Tidak mudah menanamkan gerakan disiplin kepada warga DKI Jakarta yang heterogen (berbagai
keahlian, berbagai jenis pendapatan, berbagai tingkat pendidikan, dan berbagai suku bangsa), agar mereka
dengan sadar mencintai kota Jakarta (Aku Cinta BMW, Aku patuh pada motto Teguh Beriman). Diperlukan
kerja keras dalam menanamkan budaya disiplin kerja, bekerja tepat waktu, bekerja produktif dan berbudaya
memelihara keindahan dan kebersihan lingkungan.

Kota Bersih
Setiap warga DKI Jakarta diharapkan mengerti bahwa sampah yang dihasilkan dari aktivitas penduduk
apabila tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan pencemaran lingkungan yang pada gilirannya akan
merugikan kesehatan manusia. Karena itu harus ditempuh berbagai cara pengelolaan kebersihan kota, yaitu
pengelolaan sampah (pewadahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan sampah),
penyediaan tempat sampah dan alat pengolahan sampah, penyiapan perangkat kelembagaan, peraturan,
tenaga operasional, pembiayaan dan dukungan (peran serta dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan
sampah, dan lain-lain yang berkaitan dengan pengelolaan sampah).
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup, mengatur pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, pengelolaan lingkungan hidup,
hak dan kewajiban memelihara lingkungan hidup, serta berbagai hallainnya yang terkait dengan pengelolaan
lingkungan hidup. Kota bersih sebagai salah satu perwujudan undang-undang tersebut, mengandung makna
penciptaan lingkungan hidup yang berkualitas, lingkungan permukiman yang bersih dan sehat, peningkatan
kemampuan pemerintah daerah dalam pengelolaan sampah, peningkatan kesehatan masyarakat, serta
peningkatan peran serta masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sampah dan terwujudnya pola hidup
bersih, indah, aman, nyaman dan sehat.
Dalam upaya mempertahankan Jakarta Kota Bersih, banyak tantangan dihadapi, antara lain pemantapan
sistem kebersihan kota (dikelola oleh Dinas Kebersihan atau PO Kebersihan, dibantu Swasta dan Masyarakat),
kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat, prioritas program pengelolaan kebersihan kota, penerapan dan
pengembangan program minimisasi sampah (pengurangan sampah, penggunaan kembali dan pemanfaatan
sampah, daur ulang sampah, dan perolehan kembali sampah (menjadi barang yang bermanfaat, menjadi
energi dan lain-lain), kualitas sumber daya manusia dalam pengelolaan sampah, pengkajian dan penerapan
teknologi pengelolaan sampah (incinerator, sanitary landfill), pelaksanaan hukum di bidang pengelolaan sampah,
dan "cost recovery" pengelolaan sampah. Tantangan masa depan bagi DKI Jakarta adalah bagaimana
meningkatkan peran serta/partisipasi swasta dalam pengelolaan sampah.
Agar status Kota Bersih bisa dipertahankan, elemen kebersihan kota perlu terus menerus dipantau
penanganannya, yaitu manajemen (kelembagaan, hukum, pembiayaan, dan teknis operasional), peran serta
masyarakat (umum, PKK), fisik kota (kebersihan, penghijauan, keteduhan kota, taman), kesehatan, dan
penataan ruang dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Sejalan dengan
itu, enam elemen fisik kota perlu ditingkatkan keberhasilannya. Pertama, kawasan permukiman mewah, sedang
dan rendah, perumahan kompleks, rumah susun, rumah dinas, rumah kost, asrama dan lain-lain. Kedua, tempat-
tempat umum, meliputi pasar, terminal, stasiun, pelabuhan (udara, laut), pertokoan, taman kota dan alun-
alun, rumah sakit, restoran/warung makan, tempat hiburan, kolam renang, hotel, motel, losmen dan
penginapan, tempat ibadah, serta sarana dan prasarana pendidikan (sekolah, perguruan tinggi).

328
Ketiga, perairan terbuka yang meliputi saluran pembuangan (pabrik, perkantoran, perumahan), selokan,
sungai, anak sungai, jembatan, gorong-gorong, danau dan kolam pantai. Keempat, jalan-jalan protokol (utama),
kolektor (penghubung), dan lokal (lingkungan). Kelima, sarana dan prasarana persampahan yang meliputi
transfer dipo, tempat pewadahan, penampungan sementara, dan penampungan/pembuangan akhir. Keenam,
tatalaksana keindahan yang meliputi papan reklame, poster, papan nama, rambu-rambu, lampu dan
penerangan jalan, serta pemanfaatan lahan.
Untuk meningkatkan peran serta swasta dan masyarakat dalam pengelolaan kebersihan kota, perlu
diinformasikan kepada mereka bagaimana upaya pemerintah DKI Jakarta meraih Adipura sejak 1986,
bertahap dari meraih sertifikat kota bersih, kemudian meraih Adipura (tipe kota raya atau sering disebut kota
metropolitan yang penduduknya di atas 1 juta jiwa) dan Adipura Kencana. Wilayah Kota DKI Jakarta mulai
meraih sertifikat kota bersih pada tahun 1990, Adipura tahun 1992, dan Adipura Kencana tahun 1996 (Lihat
Tabel). Di sisi lain, jika pada tahun 1990 dan tahun 1991 diberlakukan penilaian "kota terjorok", maka diduga

Tabel : Prestasi Kota Bersih Kategori Kota Raya

Panilaian
Tahun
Adipura Kancana Adipura Sartifikat Kola Barsih

1986 - - -
1987 - Bandung -
1988 - Surabaya -
1989 - Surabaya Semarang
Bandung
1990 - Surabaya Jakarta Pusat
Bandung
1991 - Surabaya Bandung
Semarang Jakarta Pusat
1992 - Surabaya Jakarta Selatan
Semarang Palembang
Bandung
Jakarta Pusat
1993 Surabaya Semarang Palambang
Jakarta Pusat Jakarta Selatan
Bandung Jakarta Barat
Madan
Ujungpandang
(Kola besar)
1994 - Samarang Jakarta Selatan
Jakarta Pusat Jakarta Timur
Surabaya Medan
Palembang
Bandung
Ujung Pandang
Jakarta Barat
Jakarta Utara
1995 Samarang Jakarta Pusat Bandung
Surabaya Jakarta Barat Madan
Jakarta Timur Palembang
Jakarta Salatan Jakarta Utara
1996 Semarang Madan
Surabaya Palambang
Jakarta Pusat Bandung
Jakarta Utara
Jakarta Barat
Jakarta Timur
Jakarta Salatan
Ujungpandang

Sumber: Diolah dari Buku Peringatan Lingkungan Hidup Tahun 1994, 1995 dan 1996 serta berbagai informasi lainnya.

329
Jakarta Utara dan Jakarta Timur akan termasuk ke dalam kelompok kota terjorok di samping Palembang dan
Ujungpandang.

Sumbang Saran
Dalam upaya mempertahankan dan meningkatkan Jakarta sebagai Kota Adipura, membudayakan
disiplin kerja tepat waktu, memelihara keindahan dan kebersihan lingkungan, berikut ini penulis sampaikan
sumbang saran. Wadah Perlaspi (Persatuan Pengelola Sampah Perkotaan Indonesia) yang dibentuk pada
tahun 1991 perlu difungsikan dan dibangkitkan kembali, sehingga mempunyai arti dalam pembinaan kota
bersih. Pengelolaan sampah hendaknya diintegrasikan dengan pengelolaan lingkungan permukiman kumuh
(lnpres Nomor 5 Tahun 1990), sehingga lambat-laun lingkungan permukiman makin indah dan bersih.
Penataan Ruang Wilayah Kota harus dipatuhi agar penggunaan ruang kota dapat tertata dengan baik.
Administrasi pengelolaan lingkungan perkotaaan haruslah dimulai dari tingkat kelurahan sampai ke kecamatan
dan wilayah kota (bottom up).
Pengelolaan air perkotaan perlu ditingkatkan agar pemanfaatan dapat dilakukan secara efektif,
pencemaran air bisa ditekan, dan banjir bisa dikendalikan. Motto cinta kota dan upaya menjakartakan warga
Jakarta harus digalakkan, yaitu Aku dukung Jakarta Teguh Beriman, gerakan disiplin warga kota harus
dibarengi dengan keteladanan pejabat, percontohan, bimbingan dan penyuluhan. Budaya tertib umum (Perda
Nomor 11 Tahun 1988) perlu ditegakkan, dalam upaya menuju kota Jakarta yang tertib, teratur, nyaman, dan
tenteram (tertib di jalan raya, tertib jalur hijau dan taman, tertib sungai, saluran dan kolam, tertib menangkap
atau memburu binatang tertentu, tertib usaha, tertib bangunan, tertib pemilikan rumah, tertib sosial, dan tertib
kesehatan). Sejalan dengan itu, budaya iptek dan budaya imtaq (iman-taqwa) perlu dimantapkan secara
bersamaan.
Gubernur dan aparatnya harus terbuka terhadap saran dan kritik warga ibukota. Ajaklah pakar kota
berpikir membantu Gubernur. Tumbuhkan jiwa wirausaha warga ibukota dan dorong mereka agar siap
menghadapi persaingan dengan bangsa-bangsa tetangga dalam era perdagangan bebas nanti. Undang-
undang nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Daerah Khusus lbukota
Jakarta perlu secepatnya ditindaklanjuti dengan peraturan pemerintah, peraturan pelaksanaan dan petunjuk
pelaksanaan, agar Jakarta sebagai kota pemerintahan, kota bisnis, kota jasa, kota pariwisata, makin terlihat
jelas.
Pembangunan mega proyek seperti Saumaja (sistem angkutan umum masal Jakarta) terminal terpadu
Manggarai, jalan tiga tingkat (triple-decker) yang menggabungkan jalan raya, jalan tol, dan jalan kereta rei
ringan, pembangunan pantai utara Jakarta (pantura, Jakarta Waterfront City), jalan layang, kota baru dalam
kota, kawasan pusat bisnis, kawasan pusat perdagangan, kawasan pusat pariwisata, kawasan pusat industri
kecil dan lain-lain, perlu dikoordinasikan dan diintegrasikan secara terarah dan terpadu, sehingga memperoleh
manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat ibukota.
Sejalan dengan itu, perlu secepatnya diupayakan bimbingan dan penyuluhan yang menyangkut
kedisiplinan kehidupan masyarakat perkotaan, antara lain budaya antri, budaya tidak corat-coret di sembarang
tempat, budaya tidak merusak telepon umum, budaya tidak merokok di tempat umum, budaya mendahulukan
penyeberang jalan, budaya mematuhi peraturan lalu lintas, dan berbagai bentuk kedisiplinan lainnya. Semua
budaya kerja ini secara langsung atau tidak langsung akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
daya saing. Harapan kita, megacity Jakarta pada tahun 2000-an nanti akan makin modern, tetapi bersih,
indah, aman, nyaman dan aman. Semoga.
Angkatan Bersenjata, 2 September 1996

330
Budaya Bersih Dan Gerakan Disiplin Nasional
Warga DKI Jakarta

Pada tahun 1996, lima wilayah kota di lbukota Jakarta meraih piala Adipura, lambang kebersihan kota.
Bahkan Jakarta Pusat meraih Adipura Kencana. Ada pepatah, merebut itu mudah, tetapi mempertahankan
jauh lebih sulit. Untuk mempertahankan Jakarta sebagai kota Adipura, maka pada tahun 1996 dan
menyosong tahun 1997 ini, harus dilakukan berbagai kegiatan dalam rangka membudayakan disiplin, kerja
tepat waktu, memelihara keindahan dan kebersihan lingkungan. Kegiatan berupa pemantapan budaya bersih
yang merupakan salah satu bagian dari disiplin nasional, perlu ditanamkan dan dimasyarakatkan ke seluruh
warga ibukota.

Kebersihan Kota
Dalam upaya mempertahankan Adipura, Pemerintah Wilayah Kota haruslah melakukan penyuluhan ke
setiap kecamatan dan kelurahan, tentang pengelolaan persampahan, penghijauan dan keteduhan kota.
Penyuluhan ini meliputi lima aspek kebersihan kota, yaitu pengelolaan persampahan (kelembagaan, hukum,
pembiayaan dan teknis operasional), peran serta masyarakat, kesehatan, PKK, serta tata ruang dan
penghijauan/keteduhan kota.
Rincian lima hal dalam pengelolaan persampahan tersebut, meliputi pelaksanaan pengelolaan sampah,
struktur organisasi dan personil pengelola, instansi yang berperan dalam pengelolaan, instansi yang berperan
dalam pengelolaan sampah, dasar hukum, penerapan sanksi, sarana penerapan hukum, perysaratan
kesehatan pengelolaan sampah, perda pembakaran sampah, sumber dana pembiayaan pengelolaan sampah,
bantuan hibah atau pinjaman luar negeri, dana pembangunan sarana dan prasarana, bantuan pemerintah
pusat, perencanaan dan peningkatan pelayanan, pengumpulan dan pengangkutan, pengolahan, pembuatan
sampah, perairan terbuka, serta pengawasan dan pengendalian.
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan kebersihan kota, meliputi bentuk usaha, sarana penyuluhan,
pemasyarakatan peraturan-peraturan daerah kebersihan kota, partisipasi masyarakat di luar retribusi sampah,
pengaduan masyarakat, jenis Iomba kebersihan lingkungan, lokasi percontohan kebersihan lingkungan, dan
kelurahan bebas sampah, serta penataan bantaran sungai.
Aspek kesehatan meliputi penyakit menular yang berkaitan dengan kebersihan, pemantauan pengelolaan
sampah, tingkat kepadatan lalat, angka bebas jentik, pengelolaan sampah rumah sakit, fasilitas kesehatan
dan keselamatan kerja, dan hasil laboratorium kualitas air sungai dekat tempat pembuangan akhir sampah
(TPA), pemeriksaan laboratorium kualitas air, dan hasil pemeriksaan kualitas udara dan debu di permukiman
dekat TPA.
Aspek PPK meliputi sasaran budaya hidup bersih, sehat dan indah, pola hidup bersih, rumah sehat,
pewadahan sampah rumahtangga, kesehatan lingkungan, Iomba kebersihan antar kelurahan dan kecamatan,
gerakan dasawisma dalam pengelolaan sampah, tanaman penghijauan, pemasyarakatan teknologi pengelolaan
sampah, pemanfaatan tanaman penghijauan, pemasyarakatan teknologi pengelolaan sampah, barang bekas
atau daur ulang sampah, pemasyarakatan teknolgi dan pengelolaan air bersih, pelestarian lingkungan
pemukiman, dan budaya hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-hari.
Penataan Ruang, meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian RUTR, RDTR,
atau RDTRK, penyebarluasan informasi produk perencanaan, penghijauan, penataan lingkungan, peran
instansi pemerintah dan swasta, jenis tanaman yang ditanam, gerakan sejuta pohon, dan hutan kota.
Pemerintah Daerah harus secara rutin mengawasi pelaksanaan hukum pengelolaan kebersihan kota,
memeriksa sarana dan prasarana kebersihan kota (tong sampah, bin untuk pewadahan, tempat pemindahan,
pengangkutan, pemeliharaan sarana persampahan, lokasi yang tepat untuk depo, penampungan sampah,

331
dan pembuangan akhir, pengomposan, instalasi pembakaran, metoda pembuangan sampah (open dumping,
sanitary landfill, improved landfill), sarana dan prasarana di tempat pembuangan akhir, dan fasilitas
pengelolaan air kotor. Pesan Serta Masyarakat dalam pengelolaan kebersihan kota harus dilihat mulai skala
terkecil di rumahtangga, di tempat kerja, di pasar, di tempat umum, dan di berbagai sarana dan prasarana
kota.
Dari sisi kesehatan, perlu dilihat jumlah timbulan sampah, tempat pembakaran, pembuangan dan
pengelolaan limbah cair. Melalui program PKK, kelompok dasawisma harus secara aktif berperan mendorong
peran serta aktif ibu-ibu dan anggota masyarakat dalam gerakan kebersihan kota. Dari aspek tata ruang,
diharapkan adanya keseimbangan peruntukan, antara lain pejalan kaki, penyeberangan, halte bis, terminal,
pertokoan, pasar, ruang terbuka hijau dan lain-lain.
Pengelolaan kebersihan kota ini haruslah dilakukan melalui suatu sistem pengelolaan sampah secara
terpadu, mulai dari pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan dan pembuangan, yang menuuntut
disiplin masyarakat di rumahnya, di lingkungan kerjanya, dan di dalam kehidupan sehari-hari di ibukota
tercinta Jakarta Teguh Beriman (teruskan gerakan untuk hidup bersih, indah, menarik dan aman).

Disiplin Nasional
Sikap dan perilaku yang baik dan benar dari para penyelenggara negara dan masyarakat DKI Jakarta
dalam mematuhi dan melaksanakan hukum serta norma kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
mempunyai peranan panting dalam pewujudan kebersihan kota. Disiplin adalah kesadaran untuk menaati
atau mematuhi semua peraturan dan norma yang berlaku di dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Gerakan Disiplin Nasional telah dicanangkan pada bulan Mei 1995 oleh Presiden Rl dan Presiden
telah menunjuk Menko Polkam (Keppres Nomor 33 tahun 1995) sebagai Ketua Panitia Disiplin Nasional,
beranggotakan 13 Menteri dan Pangab, dengan sekretarisnya adalah Sesmenkopolkam. Pada tingkat DKI
Jakarta, diharapkan dapat diikuti pola nasional ini, di mana Panitia Disiplin bertugas merumuskan konsepsi,
rencana dan program gerakan disiplin nasional secara terpadu, serentak dan komprehensif, menyampaikan
usulan kebijaksanaan dan saran tindak, mengkoordinasikan rencana, menggerakkan seluruh potensi masyarakat
serta mengawasi dan mengendalikan rencana program dan pelaksanaan gerakan disiplin nasional di DKI
Jakarta.

Budaya Bersih dan Disiplin Nasional


Sejak 1986 telah dilakukan penilaian kebersihan kota yang dikenal sebagai penilaian Adipura, berbagai
kegiatan yang dikenal antara lain Iomba kebersihan kelurahan, kerja bakti masyarakat, pencanangan motto
kota bersih, gerakan hidup sehat, gerakan keluarga sejahtera, gerakan hatinya PKK, dan gerakan Jum'at
bersih. Jika budaya bersih dimaksudkan untuk memacu kehidupan yang bersih dan sehat bagi seluruh warga
(dalam hal ini DKI Jakarta) dalam rangka peningkatan kualitas hidup manusia yang mandiri dan produktif,
maka disiplin nasional dimaksudkan untuk mewujudkan kadar disiplin warga yang handal dan mantap
sehingga pembangunan dapat berjalan lancar, aman dan sukses, serta kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara berlangsung lebih baik, tertib dan sejahtera.
Budaya bersih dan Gerakan Disiplin Nasional, dimaksudkan agar mencakup aspek kejiwaan yang
tumbuh dari dalam diri manusia, yang mendasari tingkah laku dan kebiasaan (psikologis), aspek perbuatan
nyata atau tingkah laku dan perbuatan yang tampak di permukaan (kinetis) dan aspek hasil kerja nyata dalam
bentuk materiil. Dari uraian tersebut, yang dimaksudkan dengan Budaya Bersih adalah keseluruhan cara
hidup seseorang dan atau masyarakat yang mendasari sikap, pandangan dan nilai-nilai yang tinggi dan layak,
yang diwujudkan dalam perbuatan, tingkah laku dan kebiasaan, serta hasil perbuatan yang nyata dalam
kehidupan sehari-hari di bidang kebersihan.
Budaya bersih ini mengandung tiga hal, yaitu pemahaman dan kesadaran terhadap nilai-nilai kebersihan,
adanya pembuatan dan tingkah laku serta kebiasaan sehari-hari yang merupakan perwujudan hidup bersih
dan sehat, serta adanya hasil kerja dalam bentuk materiil di bidang kebersihan. Pengertian ini telah
ditegaskan oleh Menteri Kesehatan pada tahun 1995, diintegrasikan dengan Gerakan Jum'at Bersih yang

332
dicabangkan oleh Menko Kesra. Terkait dengan itu adalah lnstruksi Presiden Nomor 1 tentang perbaikan
dand peningkatan mutu pelayanan aparat pemerntah kepada masyarakat.
Budaya bersih yang dilakukan oleh perorangan, keluarga dan masyarakat, termasuk pengelolaan
kebersihan, perlu diwujudkan di lingkungan rumahtangga, sekolah dan madrasah, tempat kerja, tempat-
tempat umum, tempat ibadah, lingkungan permukiman jalan umum, perairan terbuka (sungai, anak sungai,
selokan, laut, pantai, kolam dan danau), angkutan umum, asrama, pondok, panti, dan lain-lain. Budaya bersih
dan Disiplin Warga lbukota, perlu ditanamkan melalui tatap muka, penggunaan media elektronika dan televisi,
media cetak, bersama tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, tokoh orsospol, yang intinya mengajak masyarakat
untuk berbudaya bersih dan disiplin.
Perlu dibentuk kader penggerak budaya bersih dan disiplin. Kader adalah seseorang yang diakui di
dalam kelompok yang dapat memberikan ketauladanan dan dorongan pada lingkungannya untuk bersama-
sama berusaha mencapai tujuan kelompok, sedangkan penggerak adalah orang yang secara langsung atau
tidak langsung dapat berpengaruh terhadap kelompoknya dalam upaya pengelolaan kebersihan dan penanaman
disiplin.
Menghadapi era globalisasi atau perdagangan bebas pada tahun 2003 (Asean), 2010 (anggota negara
maju Asia Pasifik), dan 2020 (negara-negara Asia Pasifik), Jakarta sebagai ibukota negara Rl menjadi
incaran berbagai bangsa dalam kegiatan bisnisnya. Hal ini menuntut pelayanan yang baik dari berbagai
sarana dan prasarana perkotaan. Dalam mengelola sampah, perlu diupayakan penerapan teknologi pengelolaan
sampah yang dibarengi dengan penelitian persampahan (produksi, komposisi dan karakteristik sampah,
sosial budaya, sistem pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan akhir serta penelitian
manajemen yang meliputi teknis operasional, finansial dan hukum).
Sejalan dengan itu, perlu diterapkan konsep sistem pengelolaan sampah secara terpadu. Dalam
memilih teknologi, perlu dilakukan seleksi obyektif terhadap jenis teknologi yang akan diterapkan. Sebagai
contoh, sampah dapat dikelola melalui kombinasi teknologi pengelolaan dengan kompos, daur ulang,
incinerator dan sanitary landfill.
Sistem pengelolaan sampah terpadu antara sistem pembakaran, pengkomposan dan daur ulang,
secara teoritis akan memberikan hasil yang optimal. Misalnya dari 100 ton sampah, 80 ton organik dan 20 ton
non organik. Pengkomposan dilakukan terhadap sampah organik (48 ton menguap, 20 ton kompos, 12 ton
sisa), sedangkan dari 20 ton sampah non organik, 6 ton sisa dan 14 ton daur ulang. Sisa sampah sebanyak
18 ton (12 ton dari sampah organik dan 6 ton dari non-organik) dibakar dan dari pembakaran, ternyata 14,4
ton dapat dibakar dan 3,6 ton masih menjadi sisa yang juga masih bisa dimanfaatkan untuk berbagai
keperluan.
Disiplin pada umumnya dimulai dari diri sendiri, merupakan cermin kepribadian, kunci keberhasilan,
disiplin lemah kita musnah, adalah disiplin untuk semua orang, orang disiplin berbudaya malu, orang disiplin
tidak banyak bicara. Pada tahap awal, disiplin dapat kita lihat dalam bentuk budaya tertib, budaya bersih dan
budaya kerja. Contoh-contoh budaya tertib, antara lain hidup tertib bagian dari iman, antri itu sopan, agama
mengajari hidup tertib, lingkungan tertib dambaan keluarga, suasana tertib terwujud dari perilaku warga, tertib
lalulintas menjamin keselamatan bersama, tidak tertib-konyol semua, sudah tertibkah saya, sopan di jalanan
selamat sampai tujuan, tertib hukum merupakan kebutuhan bersama.
Disiplin aparatur pemerintah, swasta dan masyarakat dalam proses administrasi pemerintahan dan
pembangunan, perlu diwujudkan dalam konteks penerapan budaya kerja dan sistem manajemen modern, di
mana pemerintah memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat (lnpres Nomor I Tahun 1996),
sedangkan masyarakat berperan aktif dalam pembangunan.
Contoh-contoh slogan budaya bersih, antara lain hidup bersih-sebagian dari iman, bersih cermin
budaya keluarga, tertib dan bersih awal keluarga sejahtera dan bahagia, kebersihan simbol keteraturan,
bersih cermin manusia berbudaya. Dalam budaya kerja, dapat dikenal pesan atau slogan tepatilah rencana
waktu anda, jangan tunda pekerjaan tanpa alasan yang jelas, jangan tunda kerjakan sekarang, dengan kerja
keras hari esok lebih baik, bekerjalah dengan benar walau sekecil apapun, bekerja adalah ibadah, tiada hari
tanpa prestasi kerja, apakah prestasi kerja anda hari ini, hargailah waktu, ingin sukses-kerja keras, dan

333
profesionalisme kunci keberhasilan.
Gerakan Disiplin Nasional yang dicanangkan Presiden Rl pada tanggal 20 Mei 1995, merupakan
program Nasional yang perlu dijabarkan lebih rinci pada setiap pola pikir-pola sikap-pola tindak warga negara
Indonesia. Di DKI Jakarta, gerakan disiplin ini hendaknya dilakukan melalui pendekatan komunikatif,
pendekatan dari atas dan dari bawah, menggunakan metode edukatif, persuasif, praktis, pragmatis, kuratif,
dan represif atau representatif, untuk mengupayakan perubahan sikap, perilaku dan kesadaran masyarakat
guna meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan kepedulian terhadap perwujudan suasana dan kondisi
disiplin nasional.
Gerakan Budaya Bersih sebagai bagian dari Gerakan Disiplin Nasional, perlu dilaksanakan oleh semua
lapisan masyarakat DKI Jakarta, khususnya dalam mempertahankan Adipura dan umumnya dalam menciptakan
hidup bersih dan sehat. Agar gerakan budaya bersih dapat ditanamkan pada seluruh warga ibukota, maka
perlu ditegaskan secara jelas tujuan dan sasaran, kebijaksanaan, strategi dan pengorganisasian, pelaksanaan
kegiatan budaya bersih, pemantauan, evaluasi, pengawasan, dan pengendalian.
Tujuannya adalah mewujudkan budaya bersih bagi seluruh warga ibukota, dengan memacu pertumbuhan
sikap dan perilaku masyarakat serta suasana dan kondisi lingkungan yang bersih dan sehat, untuk
meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang mandiri dan produktif. Sasarannya adalah kegiatan
perorangan dan masyarakat yang didasari kesadaran dan disiplin terhadap kebersihan diri dan lingkungan,
pemanfaatan sarana dan prasarana kebersihan, dan tegaknya peraturan perundang-undangan tentang
pembudayaan hidup bersih dan sehat di masyarakat.
Jayakarta, 11 September 1996

Jakarta: Kota Bersih Metropolitan Indonesia

Tujuh tahun lalu, penulis membuat artikel berjudul "Jakarta Pusat Mengejar Piala Adipura" (Jayakarta,
20 Juli 1989). Walikota Jakarta Pusat saat itu Bapak Abdul Munir, memfotocopy artikel tersebut dan
memberikannya kepada para Camat dan Lurah se Jakarta Pusat. Antara percaya dan tidak, tinggal menunggu
waktu, Jakarta Pusat meraih sertifikat kota bersih dan kemudian disusul Piala Adipura dan Adipura Kencana.
Untuk mewujudkan motto kota Jakarta adalah kota BMW (bersih, manusiawi dan wibawa), maka
sistem pengelolaan sampah dibagi ke dalam sub-sub sistem pengumpulan sampah, mulai dari pengumpulan
sampah di rumahtangga (menggunakan plastik, fiberglass, tong sampah terbuka atau tertutup, dan galvanis).
Petugas kebersihan menggunakan truk sampah (compactor, container) diiringi lagu Betawi (sistem Jali-jali),
sampai ke pembuangan air. Tepatnya, perencanaan sistem pengelolaan sampah mencakup subsistem
pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pembuangan.
Abdul Munir melakukan uji coba tiga model pengelolaan sampah, yaitu dengan sistem galvanis di
Cikini, tong sampah fiberglass di Petojo Utara, dan daur ulang di Bungur. Sampah yang dikumpulkan di
galvanis diangkut ke lokasi penampungan sementara, dipadatkan menggunakan compactor, kemudian dijual
ke para lapak (penampungan sampah dan pemulung), di buang ke lokasi pembuangan akhir di lokasi gali
urug (sanitary landfill) di Bantar Gebang Bekasi atau ke tempat terbuka di Cakung dan Srengseng.
Melalui tulisan yang lain berjudul "Mengajak Warga DKI Meraih Adipura" (Jayakarta, 25 Juni 1990),
penulis mengamati sistem pengelolaan sampah di lima wilayah kota Jakarta. Dengan adanya sarana dan
prasarana pengelolaan sampah yang tersedia di Dinas Kebersihan dan Suku Dinas Kebersihan, disertai
tekad aparatur kebersihan, didukung partisipasi masyarakat dan peran serta swasta atau dunia usaha,
kesemuanya menyatu pada satu tujuan untuk menciptakan kota Jakarta yang bersih, indah, manusiawi, dan
berwibawa. Model-model partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah bermunculan, antara lain pot

334
bunga di depan rumah warga, pengelolaan taman kota olah Swasta, gerakan kebersihan lingkungan melalui
majelis taklim, dan sebagainya.
Setelah meniadakan becak, saat itu Pemerintah DKI Jakarta mulai bertekad mengelola sampah sebaik
mungkin (pewadahan, pengumpulan, pemindahan, pengangkutan, pembuangaan, pembakaran, pemusnahan,
dan pemanfaatan), melakukan sistem daur ulang, sisa sampah yang tidak diolah diupayakan sesedikit
mungkin, drainase teratur kasus penyakit menular rendah, derajat kesehatan masyarakat meningkat,
lingkungan kota semakin sejuk, indah, bersih, nyaman, tertib dan aman.
Apakah hasil jerih payah warga DKI tersebut? Tahun 1990, Jakarta Pusat baru meraih sertifikat kota
bersih (belum dapat meraih Adipura), tahun 1991 Jakarta Pusat juga baru mampu meraih sertifikat kota
bersih. Tahun 1992, saat Jakarta Pusat meraih Adipura, Jakarta Selatan meraih sertifikat kota bersih, dan
pada tahun 1993 sertifikat kota bersih diraih Jakarta Selatan dan Jakarta Barat).
Buah jerih payah Walikota Abdul Munir dan aparatnya benar-benar dirasakan pada tahun 1992 dan
1993, saat Jakarta Pusat dipimpin Walikota Abdul Kahfi dengan gigih bersama warganya bekerja siang
malam membersihkan lingkungan kumuh, pasar kotor, dan jalan lingkungan yang tidak teratur. Tahun-tahun
berikutnya, persaingan positip antar walikota se-DKI Jakarta dalam pengelolaan sampah makin tajam dan
hasilnya, pada tahun 1996 lima wilayah kota DKI Jakarta meraih Adipura dan salah satu di antaranya meraih
Adipura Kencana.

Prestasi 1994, 1995 dan 1996


Prestasi Jakarta Pusat sebagai peraih Adipura pada tahun 1992, walaupun berada pada urutan
keempat di bawah Surabaya, Semarang, dan Bandung, sudah patut dibanggakan. Tahun 1993, Jakarta Pusat
menyalib Bandung, yaitu menempati urutan ketiga, masih di bawah Surabaya dan Semarang. Prestasi ini
ditiingkatkan terus dan terbukti pada tahun 1994 menempati urutan kedua di bawah Semarang dan tahun
1995 menempati urutan teratas dan puncaknya lagi, tahun 1996 meraih Piala Adipura Kencana (Lihat Tabel
I).
Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan tidak mau ketinggalan, demikian pula si buncit
Jakarta Utara (yang medannya terlalu berat untuk ditangani), kesemuanya berjaya pada tahun 1996. Pada
tahun 1994, pada saat Jakarta Pusat sudah meraih Adipura, Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat,
dan Jakarta Utara meraih sertifikat kota bersih. Pada tahun 1995, empat wilayah kota DKI Jakarta, yang
Jakarta Pusat, Jakarta Barat, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan meraih Adipura, sementara si Buncit masih
meraih sertifikat kota bersih. Rupanya di buncit tidak mau ketinggalan pada tahun 1996, meraih Adipura untuk
pertama kalinya.
Keberhasilan meraih Adipura, belum dapat diikuti oleh keberhasilan meraih piala Kalpataru (perintis
lingkungan, pengabdi lingkungan, dan penyelamat lingkungan), tetapi masih cukup baik dalam pembuatan
Neraca Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah. Sebagai contoh, pada tahun 1994, 1995, dan 1996,
dalam penulisan NKLD, DKI Jakarta menempati lima besar di antara 27 propinsi se Indonesia.

Disiplin Kerja
Dicanangkannya Gerakan Disiplin Nasional pada tahun 1995 ternyata belum menggugah aparatur
pegawai negeri, dalam hal ini dilingkungan jajaran Pemerintah DKI Jakarta. Saat ini masih terlihat PNS yang
disiplin kerjanya rendah, kurang memperhatikan pelayanan umum, bekerja tidak tepat waktu (datang
terlambat dan pulang cepat), kurang baik dalam memberikan pelayanan umum dan bahkan terkesan minta
dilayani, serta belum menjiwai sepenuhnya budaya tertib, budaya bersih, dan budaya kerja. Walaupun
demikian, PNS Pemerintah DKI Jakarta tidak terlalu cemas, karena berbagai kelemahan ini juga tampak pada
sebagian besar PNS lainnya, termasuk juga di kantor di mana penulis bekerja.
Budaya disiplin kerja, budaya bekerja tepat waktu, dan budaya memelihara keindahan dan kebersihan
lingkungan, masih perlu terus menerus ditanamkan kepada setiap warga ibukota, baik melalui bimbingan,
penyuluhan, penataran, dan jika perlu melalui pendidikan dan pelatihan. Perda Nomor 5 Tahun 1988 tentang
Kebersihan Lingkungan, kelihatannya perlu ditinjau kembali, diperbaiki dan disempurnakan, disesuaikan

335
dengan perkembangan ibukota itu sendiri.
Pembangunan yang berjalan cepat dan modernisasi di sana-sini (pertokoan modern, jalan tol, kereta
layang, transportasi kota yang cepat), menuntut kesiapan warga ibukota berupa disiplin kerja dan budaya
kerja untuk mematuhi segala ketentuan yang berlaku.
Menyongsong perdagangan be bas khususnya kawasan Asean (AFTA) tahun 2003, DKI Jakarta akan
siap dengan berbagai gedung untuk konvensi (termasuk berbagai jenis kondominium di segitiga-segitiga
pertumbuhan pusat kota), berbagai jenis hotel mewah, lapangan terbang yang nyaman, jalan tol dan jalan
layang digabung kereta rei ringan yang diharapkan dapat "diintegrasikan" dengan kereta bawah tanah serta
sarana dan prasarana transportasi lainnya, terminal terpadu Manggarai yang "aduhai" (kombinasi pelayanan
kereta dengan angkutan bus umum, taksi, industri kecil, pengusaha lemah, dan pertokoan, hotel, serta
kondominium).
Sejalan dengan itu, kawasan Pantai Utara Jakarta (Pantura) akan segera selesai menyongsong era
perdagangan bebas tadi, didukung kesiapan warga ibukota dalam berbagai jenis pekerjaan (perhotelan,
hubungan masyarakatlpublik relations, penterjemah, ahli komunikasi, ahli komputer, dan dunia usaha).

Tabel : Peraih Adipura dan Sertifikat Kota Bersih, serta peningkatan penulisan Neraca
Kependudukan dan Lingkungan Hidup Daerah, Tahun 1994, 1995 dan 1996

PENILAIAN 1994 1995 1996

Adipura Kencana Semarang Semarang


Surabaya Surabaya
Jakarta Pusat

Adipura Semarang Jakarta Pusat Medan


Jakarta Pusat Jakarta Barat Palembang
Surabaya Jakarta Timur Bandung
Jakarta Selatan Jakarta Utara
Jakarta Barat
Jakarta Timur
Jakarta Selatan
Ujung Pandang

Sertifikat Kota Bersih Jakarta Selatan Bandung


Jakarta Timur Medan
Medan Palembang
Palembang Jakarta Utara
Bandung
Ujung Pandang
Jakarta Barat
Jakarta Utara

NKLD Jabar Jabar Bali


Jateng Jatim DKI Jakarta
Sumatera Utara Sumatera Utara Sumatera Utara
DKI Jakarta Bali Dl Yogyakarta
Bali DKI Jakarta Jambi
Sumatera Barat Kalimantan Timur Kalimantan Timur
Bengkulu Jawa Tengah Lampung
Kalimantan Barat Sumatera Barat Jawa Tengah
Kalimantan Timur Nusa Tenggara Barat Jawa Barat
Maluku Nusa Tenggara Timur Jawa Timur
dst dst dst

Sumber : Buku Perolehan ........... .

336
Apa yang digambarkan di atas menuntut disiplin kerja warga ibukota, disiplin kerja dalam berbagai
kehidupan bermasyarakat. Disiplin kerja yang dimaksud, termasuk kemauan untuk menuntut ilmu, bekerja
keras, dan berusaha meningkatkan penguasaan, pengembangan, dan penerapan serta pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Melalui sentuhan teknologi, akan dapat ditingkatkan mutu produksi dan peningkatan daya saing, dan
dibarengi dengan penguasaan pemasaran dan jiwa bisnis, maka tidaklah berlebihan bahwa warga DKI
Jakarta khususnya dan bangsa Indonesia umumnya, siap menghadapi persaingan dalam perdagangan bebas
Asean (AFTA) di tahun 2003 nanti.
Baik untuk mempertahankan dan meningkatkan Jakarta sebagai kota Adipura (perlunya penerapan
iptek dan pengelolaan sampah, antara lain incinerator, compactor, dan penerapan teknologi lainnya) maupun
untuk memantapkan Jakarta Teguh Beriman (teruskan gerakan untuk hidup bersih, indah, manusiawi, dan
aman), dibutuhkan disiplin kerja dan budaya kerja penguasaan iptek.
Pentingnya iptek dalam menyongsong perdagangan bebas ini, telah ditegaskan oleh Bapak Presiden
Soeharto, antara lain pada bulan Januari 1995 dan pada saat membuka acara peringatan Hari Kebangkitan
Teknologi Nasional tanggal10 Agustus 1996.
Pertama, mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap, bangsa Indonesia telah masuk ke dalam
sistem perdagangan bebas dunia. Sikap kita terhadap arus keterbukaan dunia itu harus positif. Kedua,
bangsa kita harus dapat mengembangkan kemampuannya dan harus dapat menjawab tantangan dan
peluang yang terbuka dihadapannya. Ketiga, memasuki era tinggal landas pada PJP II, dalam abad ke-21,
nanti hanya bangsa yang menguasai iptek yang akan dapat mengikuti kemajuan zaman dan memanfaatkan
peluang-peluang yang terbuka. Bangsa-bangsa yang tidak mampu menguasai ilmu pengetahuan dan
memanfaatkan teknologi, akan tertinggal dan sulit menghadapi tantangan zaman. Karena itu, kita harus
berusaha sekuat tenaga untuk menjadi bangsa yang menguasai iptek demi kesejahteraan bangsa Indonesia.
Dalam upaya mempertahankan Jakarta sebagai kota bersih, ada baiknya agar aparatur pemerintah
daerah memelopori perwujudan motto-motto lingkungan hidup, antara lain motto tiga tahun terakhir yang
menegaskan "bumi adalah satu keluarga besar" kemitraan dalam kebersamaan menuju ekosistem lestari",
"kita umat manusia bersatu padu untuk membangun tanpa merusak lingkungan hidup," dan "bumi kita
merupakan tempat hidup dan rumah kita". lni semua dipadukan dalam konteks pembangunan berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan.
Sebagai catatan penutup, Pemerintah DKI Jakarta bersama Masyarakat dan Swasta/Dunia Usaha
harus bekerjasama berusaha mempertahankan dan meningkatkan Jakarta sebagai Kota Adipura, kota bersih,
membudayakan disiplin kerja (budaya tertib. budaya bersih, dan budaya kerja) dalam kehidupan sehari-hari di
rumah, di kantor, dan di dalam kehidupan bermasyarakat, bersama-sama memelihara keindahan dan
kebersihan lingkungan (perumahan, RT, RW, kelurahan, kecamatan, wilayah kota, dan DKI Jakarta), untuk
menciptakan Jakarta sebagai Kota Bersih Metropolitan Jakarta, sebagai salah satu bentuk pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia Daerah
Khusus lbukota Jakarta. Dirgahayu Kota Jakarta.
Jayakarta, 8 Agustus 1996

Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan


Sangat Sederhana
Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sangat Sederhana yang ditetapkan oleh Menteri PU
memuat empat ketentuan, yaitu ketentuan umum (pengertian, maksud, tujuan, ruang lingkup, dan persyaratan
umum), lingkungan perumahan sangat sederhana (umum, kriteria pemilihan lokasi, persyaratan teknis kapling,

337
prasarana lingkungannya, dan fasilitas sosial), rumah sangat sederhana, (umum dan persyaratan teknis rumah),
dan ketentuan penutup. Perumahan Sangat Sederhana (PSS/RSS) adalah sekelompok tempat kediaman yang
pada tahap awalnya dibangun dengan menggunakan bahan bangunan berkualitas sangat sederhana dan
dilengkapi dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial. Lingkungan Perumahan Sangat
Sederhana (LPSS) merupakan sebidang tanah dengan batas-batas yang jelas, di mana diatasnya dibangun
rumah sangat sederhana, termasuk prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial, yang seeara
keseluruhan merupakan kesatuan tempat pemukiman.
Pedoman ini dimaksudkan sebagai landasan pereneanaan, pelaksanaan dan pengawasan serta
memudahkan proses pengadaan dan pembangunan perumahan sangat sederhana beserta lingkungannya.
Tujuan pedoman ini adalah untuk menjadi ukuran dan batasan penentuan kebutuhan sekurang-kurangnya
dalam rangka usaha pembangunan rumah sangat sederhana, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan
rendah dan sangat rendah, dan selanjutnya dapat ditingkatkan kualitasnya menjadi rumah sederhana.
Pembangunan RSS harus memperhatikan persyaratan lingkungan. RSS harus dibuat pada daerah
yang dalam jangka menengah dapat dikembangkan sebagai lingkungan perumahan sederhana dan atau
perumahan yang mempunyai tingkat lebih tinggi sehingga dapat membentuk satu kesatuan lingkungan atau
kawasan yang utuh. Dalam suatu kawasan industri atau kawasan lainnya yang memerlukan RSS dapat
dibangun lingkungan RSS yang prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosialnya menjadi satu
kesatuan dengan kawasan yang didukungnya.
Pereneanaan dan pengembangan lingkungan RSS harus selalu mempertimbangkan kemungkinan
penggabungan dan pemanfaatan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial kawasan yang telah
ada dengan tidak mengurangi kualitas pelayanan kawasan seeara menyeluruh, serta mempertimbangkan
kesempatan untuk membina individu dan keluarga sejahtera.
Lokasi RSS harus berada pada daerah yang peruntukannya dapat dikembangkan sebagai lingkungan
perumahan sederhana sesuai dengan reneana tata ruang yang berlaku. Luas tanah yang tersedia harus
cukup bagi pembangunan RSS sekurang-kurangnya 50 unit rumah dan dilengkapi prasarana lingkungan,
utilitas umum dan fasilitas sosial. Lokasi RSS harus bebas dari peneemaran air, udara dan gangguan suara
atau gangguan lainnya, baik yang ditimbulkan sumberdaya buatan manusia maupun sumberdaya alam.
Menjamin tereapainya tingkat kualitas lingkungan hidup yang sehat bagi pembinaan individu dan masyarakat
penghuni, mempunyai kondisi bebas dari banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-15%, dan menjamin adanya
kepastian hukum atas status penguasaan tanah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Luas kapling tidak boleh kurang dari 54 M2 dan tidak lebih dari 200 m2. Penggunaan kapling
diperhitungkan sesuai dengan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) yang berlaku pada daerah setempat. Jalan
lingkungan untuk kendaraan harus berfungsi sebagai jalan kendaraan roda empat yang dapat masuk ke
tempat pemberhentian yang menyatu dengan tempat parkir di lokasi khusus atau dengan perkerasan di sisi-
sisi jalan, berfungsi sebagai jalan umum kendaraan dalam keadaan darurat (mobil pemadam kebakaran),
mempunyai daerah manfaat jalan (damaja) dengan Iebar penampang maksimum 6 meter yang mempunyai
Iebar perkerasan sekurang-kurangnya 3 meter dengan konstruksi dari bahan bangunan lokal yang layak
sebagai jalan lingkungan (menggunakan jenis batuan, kerikil, pasir batu) sehingga tidak beeek. Lebar
penampang bahu jalan sekurang-kurangnya 40 em yang dapat digunakan untuk penempatkan tiang listrik,
jaringan prasarana dan utilitas umum lainnya.
Jalan lingkungan untuk pejalan kaki harus berfungsi sebagai tempat pejalan kaki (antar rumah atau
dari rumah ke jalan lingkungan kendaraan), berfungsi sebagai jalan untuk kendaraan pengangkut (gerobak
sampah, gerobak sayur, dan gerobak roti), dan mempunyai daerah manfaat jalan dengan Iebar penampang
280-360 em), Iebar perkerasan 120-200 em dengan konstruksi dari bahan bangunan lokal. Lebar penampang
bahu jalan sekurang-kurangnya 40 em dan dapat digunakan untuk penempatan tiang listrik, jaringan utilitas
dan prasarana lainnya.
Sistem pembuangan air limbah lingkungan mengikuti ketentuan pedoman teknik pembangunan
perumahan sederhana tidak bersusun. Saluran pembuangan air hujan dibuat sehingga meneegah genangan
air, sekurang-kurangnya Iebar atas 30 em, Iebar bawah 20 em dan tinggi 30 em. Saluran harus dibuat di
sepanjang jalan, di satu tepi sisi atau di kedua tepi sisi jalan. Air bersih sekurang-kurangnya dari sumur untuk

338
umum dengan kran umum, sebelum ada sambungan ke rumah-rumah. Sistem pembuangan sampah
lingkungan mengikuti peraturan dan ketentuan yang berlaku. Jaringan listrik harus disediakan sampai masuk
dalam lingkungan dan sambungan ke rumah dapat diberikan pada setiap rumah atau setiap kelompok rumah.
Fasilitas MCK harus memenuhi persyaratan pada tahap awal sekurang-kurangnya seeara terpusat
untuk umum, untuk 50 unit rumah paling sedikit harus ada 8 kakus, 4 kamar mandi dan 4 tempat euci, dibuat
dengan dinding setinggi 150 em tanpa atap. Tempat bermain anak-anak harus direneanakan sedemikian rupa
sehingga dapat menjamin keselamatan bagi anak-anak, berfungsi sebagai tempat rekreasi dan tempat
komunikasi antar masyarakat. Fasilitas lain dapat disediakan sesuai kebutuhan penghuni dan sejauh mungkin
memanfaatkan fasilitas yang telah ada.
RSS harus memenuhi persyaratan kesehatan. lni berarti RSS harus merupakan rumah sehat.
Spesifikasi bahan bangunan harus memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI). Ukuran vertikal
maupun horizontal harus berpedoman kepada Koordinasi Modular. Luas bangunan yang disediakan sekurang-
kurangnya 12 m2 dan seluas-luasnya 36 m2. Ventilasi harus menjamin sirkulasi udara bersih dan penerangan
alami dan buatan harus disediakan sesuai kebutuhan. Pembuangan air limbah keluarga tidak boleh
meneemari yang lain dan harus menyambung ke pembuangan air limbah lingkungan. Setiap rumah harus
menyediakan tempat sampah rumahtangga.
Bahan bangunan lokal digunakan untuk konstruksi. Permukaaan lantai harus rata dan lebih tinggi 20
em dari halaman tertinggi, kering, mudah dibersihkan, tidak menimbulkan debu dan dapat diperkeras (tanah
dilapisi air semen atau soil cement dan tras). Dinding dapat dibuat agar melindungi penghuni dari terik
matahari, antara lain anyaman bambu yang dipasang 90 em di atas dinding dengan bahan tembok. Tinggi
dinding dapur, kamar mandi dan kakus dengan bahan tembok sekurang-kurangnya 150 em. Kerangka atap
harus mempunyai kekuatan menahan beban sendiri dan beban lain, didukung antara lain dari bahan kayu
atau bambu. Penutup atap disesuaikan dengan kekuatan kerangka atapnya, antara lain genteng plentong,
keramik rakyat, seng gelombang atau asbes gelombang. Langit-langit dapat ditiadakan dengan membuat
kerangka atap dan penutupnya lebih rapi.

Prospek
Prospek pembangunan RSS eerah. Tahun 1991, Perumnas telah menjual 160 unit RSS di Karawaei,
disusul pembangunan 500 unit. Di Bekasi dibangun RSS dalam jumlah yang banyak. Di Yogyakarta dibangun

Tabel1. Tabel 2.
Ketentuan Kredit berdasarkan SK Menpera Nomor 05/KPTS/1993 Rencana Pembangunan RS dan RSS dalam Pelita VI
Maximum Harga Jatra KP-KSB, KP-RSS RS/RSS Pelita VI 1994/1995 - 1998/1999
Asal (Rp juta) Uang Suku KP-RS dan KP-Rusun
Wila dan Jumlah
Muka Bunga Minimum (Rp juta)
Mulia PELAKSANA 1994/95 1995196 1996/97 1997/98 1998199
WiL Wil Wil Land
I II Ill % % WiLl WiLli WiLIII
(Tx) RSS
Perum Perumnas 40.000 44.000 48.000 52.000 56.000 240.000
KSB: 192.000
Swasta Developer 32.000 35.200 38.400 41.600 44.800
54m2 2,45 2,20 2,00 10 10 20 2,20 1,98 1,80
Koperasi 8.000 8.800 9.800 10.400 11.200 48.000
60m2 2,70 2,40 2,20 10 10 20 2,43 2,16 1,98
72m2 3,30 3.06 2,80 10 10 20 2,97 2,75 2,52 Jumlah 80.000 88.000 96.000 104.000 112.000 480.000

RSS: RS
18 3,70 3,80 3,80 10 10 20 3,33 3,40 3,40 Perum Perumnas 10.000 11.000 12.000 13.000 14.000 60.000
21 4,50 4,60 4,60 10 10 20 4,05 4,14 4,14 48.000
Swasta Developer 8.000 8.800 9.600 10.400 11.00
27 4,90 5,50 5,50 10 10 20 4,91 4,95 4,95
Koperasi 2.000 2.200 2.400 2.600 2.800 12.000
36 6,10 6,40 6,40 10 10 20 5,49 5,76 5,76
Jumlah 20.000 22.000 24.000 26.000 282.000 10.000
RS:
T-12 10 12 20 5,20 5,50 7,60 RS dan RSS 100.000 110.000 120.000 130.000 140.000 600.000
T-15 10 12 20 6,30 6,60 9,10
T-18 10 12 20 7,50 7,90 10,90
T-21 10 12 20 8,50 9,00 12,50

RUSUN:
T-12 10 12 20 6,08 6,90 11,40
T-15 10 12 20 7,28 8,10 12,60
T-18 10 12 20 8,48 9,30 13,80
T-21 10 12 20 9,68 10,50 15,00

339
100 unit. lnduk Koperasi Karyawan (lnkopkar) membangun ASS di enambelas lokasi di seluruh Indonesia dan
mencapai 15.844 unit. Pemda Kotamadya Semarang dan Koperasi Karyawan PT Djarum Kudus telah
membangun ASS untuk karyawannya. REI pada dasarnya sudah menyatakan minatnya untuk berpartisipasi
dalam pembangunan ASS, tetapi masalahnya adalah sulit memperoleh tanah yang murah harganya.
Koperasi Binakarya di Bandung telah membangun 1.400 unit rumah sejenis ASS. Sejak diperkenalkannya
ASS pada bulan Agustus 1991, ternyata banyak diminati oleh pegawai negeri golongan I dan II, anggota
ABRI, pensiunan pegawai negeri dan ABRI, karyawan pabrik, dan golongan masyarakat berpenghasilan
rendah dan sangat rendah lainnya. Pada Repelita VI Kantor Menpera memrogramkan pembangunan 480.000
unit ASS. 5.000 unit Kapling Siap Bangun, dan 115.000 unit RS, dengan total kebutuhan dana Rp 5 triliun.
Masalah yang dihadapi adalah kesulitan mendapatkan tanah dengan harga Rp 5.000 per m2 yang bisa
digunakan untuk pembangunan rumah sangat sederhana. Target pembangunan 600.000 unit ini akan
dibangun oleh Perum Perumnas (300.000 unit). Swasta/Developer (240.000 unit), dan Koperasi (60.000 unit).
Berdasarkan target ini penulis mencoba menjabarkan rencana pembangunan rumah per tahun (Lihat Tabel
2).
Adanya dana Taperum PNS (tabungan permahan Pegawai Negeri Sipil) yang dikumpulkan mulai
Januari 1993 memberikan dukungan bagi pegawai negeri golongan I dan II berupa bantuan uang muka atau
bantuan sebagian biaya pembangunan perumahan sederhana dan perumahan sangat sederhana. Sejalan
dengan penyebarluasan pembangunan rumah sangat sederhana, kiranya perlu dilakukan penelitian dan
pengkajian bahan bangunan yang dipergunakan untuk membangun rumah sangat sederhana, disesuaikan
dengan situasi dan kondisi daerah, sehingga terjadi penurunan harga bahan bangunan tetapi kualitasnya
tetap bisa dipertahankan, bahkan ditingkatkan.
Juga perlu terus dilakukan persyaratan rumah sehat dalam lingkungan yang sehat, aman, nyaman,
serasi, dan seimbang, melalui Gerakan Nasional Perumahan dan Pemukiman Sehat yang telah dicanangkan
oleh Presiden Soeharto pada tanggal 16 Nopember 1992 bertepatan dengan pembukaan Seminar Nasional
Perumahan dan Permukiman 1992.
Suara Pembaruan, 1 Juli 1994

SKB TIGA MENTERI :

Pedoman Pembangunan Perumahan dan


Pemukiman dengan Lingkungan Hunian yang
Berimbang
Menjelang akhir tahun 1992 ditandai oleh berbagai kebijaksanaan tentang peru mahan dan permukiman
serta kegiatan yang terkait. Antara lain UU Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, UU
Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, digalakkannya pembangunan Rumah Sangat Sederhana.
SKB Tiga Menteri (Mendagri, Menpu, dan Menpera) Nomor 648-384 Tahun 1992, Nomor 739/Kpts/1992, dan
Nomor 09/Kpts/1992 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dengan Lingkungan
Hunian Yang Berimbang.
SKB Tiga Menteri ini merupakan tindak lanjut dari hasil kesepakatan dalam Sidang Badan Kebijaksanaan
Perumahan Nasional (BKPN) tanggal 24 September 1992 mengenai Pembangunan Permukiman Dengan
Lingkungan Hunian Yang Berimbang. SKB Tiga Menteri didasarkan atas Lima Pertimbangan. Pertama, bahwa
pembangunan perumahan dan permukiman bertujuan untuk memenuhi kebutuhan rumah sebagai salah satu
kebutuhan dasar manusia. Mewujudkan perumahan yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi

340
dan teratur, memberi arah pada pertumbuhan wilayah. Menunjang pembangunan di bidang ekonomi, sosial,
budaya dan bidang-bidang lain, dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat menuju
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Kedua, bahwa untuk mencapai tujuan pembangunan perumahan dan permukiman yang serasi seperti
tersebut di atas, perlu diwujudkan lingkungan perumahan yang penghuninya terdiri dari berbagai profesi.
Tingkat ekonomi dan status sosial yang saling membutuhkan dengan dilandasi oleh rasa kekeluargaan,
kebersamaan dan kegotongroyongan, serta menghindari terciptanya lingkungan perumahan dengan
pengelompokan hunian yang dapat mendorong terjadinya kerawanan sosial. Ketiga, bahwa pembangunan
perumahan dan permukiman pada hakekatnya adalah pemanfaatan tanah yang berdayaguna dan berhasilguna
sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang.
Keempat, bahwa pelaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman perlu terus didorong
dengan dilandasi kesetiakawanan sosial di antara berbagai kelompok masyarakat di mana yang lebih mampu
membantu kelompok masyarakat yang kurang mampu. Kelima, bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di
atas, perlu diatur pedoman pembangunan perumahan dan permukiman dengan lingkungan hunian yang
berimbang, dikaitkan dengan ketentuan perijinan penggunaan tanah bagi keperluan badan usaha di bidang
pembangunan perumahan.

SKB Tiga Menteri


SKB Tiga Menteri tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman Dengan Lingkungan
Hunian yang Berimbang diputuskan mengacu pada beberapa Undang-undang (Tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, Pokok-pokok Pemerintah di Daerah, Rumah Susun, Perumahan dan Permukiman,
Penataan Ruang). Peraturan Pemerintah (Tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang PU
Kepada Daerah, Rumah Susun, Koordinasi Kegiatan lnstansi Vertikal di Daerah, Penyelenggaraan Otonomi
Daerah Dengan Titik Berat Pada Daerah Tingkat II). Keppres (Tentang Badan Kebijaksanaan Perumahan
Nasional, Pembentukan Kabinet Pembangunan V), Permendagri (Tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai
Penyediaan Dan Pemberian Tanah Untuk Keperluan Perusahaan, Penyediaan dan Pemberian Hak Tanah
Untuk Keperluan Perusahaan, Pembangunan Perumahan Sederhana/Perumahan Murah Yang Diselenggarakan
Dengan Fasilitas Kredit Pemilikan Rumah dari BTN, serta Penyediaan dan Pemberian Hak Atas Tanah Untuk
Keperluan Perusahaan Pembangunan Perumahan). Permenpu (Tentang Pedoman Teknik Pembangunan
Perumahan Sangat Sederhana, Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun, Pedoman Teknik
Pembangunan Rumah Susun, Pedoman Teknik Pembangunan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun,
Pengesahan 33 Standar Konstruksi Bangunan Indonesia, dan Pedoman Teknik Pembangunan Kaveling Siap
Bangun atau KP-KSB, Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana atau KP-RSS, Kredit Pemilikan Rumah
Sederhana atau KP-RS, dan Kredit Pemilikan Rumah Susun Sederhana atau KP-RUSUN). Dan lnmendagri
(Tentang Pengaturan dan Pengendalian Secara Proporsional Pembangunan Rumah Tinggal di Wilayah
Perkotaan).
SKB Tiga Menteri menegaskan bahwa pembangunan perumahan dan permukiman diarahkan untuk
mewujudkan kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang,
meliputi rumah sederhana, rumah menengah dan rumah mewah dengan perbandingan dan kriteria tertentu,
sehingga dapat menampung secara serasi antara kelompok masyarakat dari berbagai profesi, tingkat
ekonomi dan status sosial. Kawasan perumahan dan permukiman adalah wilayah yang ditetapkan dengan
fungsi utama sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian. Sedangkan lingkungan perumahan dan
permukiman adalah kawasan perumahan dan permukiman yang mempunyai batas-batas dan ukuran yang
jelas dengan penataan tanah dan ruang, prasarana serta sarana lingkungan yang terstruktur.
Perbandingan dan kriteria tertentu yang dimaksudkan di atas adalah sebagai berikut. Perbandingan
tertentu adalah perbandingan jumlah rumah sederhana, berbanding rumah menengah, berbanding rumah
mewah, sebesar 6 (enam) atau lebih, berbanding 3 (tiga) atau lebih, berbanding 1 (satu). Kriteria tertentu,
menyangkut empat hal. Pertama, Rumah Sederhana adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas
kaveling antara 54 m2 sampai 200 m2 dan biaya pembangunan per m2 tidak melebihi dari harga satuan per
m2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas pemerintah kelas C yang berlaku. Kedua, rumah menengah

341
adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling antara 200 m2 sampai 600 m2 dan/atau
biaya pembangunan per m2 antara harga satuan per m2 tertinggi untuk pembangunan perumahan dinas
pemerintah kelas C sampai kelas A yang berlaku.
Ketiga, rumah mewah adalah rumah yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling antara 600 m2
sampai dengan 2000 m2 dan/atau biaya pembangunan per m2 di atas harga satuan per m2 tertinggi untuk
pembangunan perumahan dinas kelas A yang berlaku. Keempat, dalam hal luas kaveling atau harga satuan
pembangunan per m2 masing-masing memenuhi kriteria yang berlainan, sebagaimana dimaksud di atas,
maka kualitas ditentukan sesuai dengan kriteria yang tinggi.
Pernbangunan suatu kawasan atau lingkungan perumahan dan permukiman oleh badan usaha di
bidang pembangunan perumahan dan permukiman, wajib diselenggarakan untuk mewujudkan permahan dan
permukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang dengan perbandingan seperti tersebut di atas. Hal-
hal khusus untuk mendorong badan usaha di bidang pembangunan perumahan dan permukiman dalam
membangun rumah sederhana dan memenuhi ketentuan di atas sepanjang berdasarkan rencana tata ruang,
dapat diijinkan apabila, (a) pembangunan lingkungan perumahan dan permukiman tersebut diwujudkan
seluruhnya melalui pembangunan rumah sederhana pada satu lokasi, dan (b) pembangunan lingkungan
perumahan dan permukiman tersebut diwujudkan seluruhnya melalui pembanguan rumah susun.
Pembangunan lingkungan perumahan dan permukiman tersebut hanya diperuntukkan bagi lingkungan
hunian dengan tipe rumah menengah dan atau tipe rumah mewah dengan batasan. (a) pembangunan tipe
rumah menengah saja sebanyak-banyaknya 900 unit pada setiap lokasi dianjurkan membangun 2 (dua) tipe
n.~11ah sederhana untuk setiap 1 (satu) tipe rumah menengah di lokasi lain, (b) pembangunan tipe rumah
mewah saja sebanyak-banyaknya 100 unit pada satu lokasi, dan (c) pembangunan tipe rumah mewah antara
100 unit sampai dengan 300 unit pada satu lokasi diwajibkan membangun 6 (enam) tipe rumah sederhana
untuk setiap 1 (satu) tipe rumah mewah, dan dianjurkan membangun 3 (tiga) tipe rumah menengah di lokasi
lain. Pelaksanaan pembangunan rumah sederhana tersebut, dapat dilakukan secara mandiri oleh badan
usaha dibidang pembangunan perumahan dan permukiman atau bekerjasama dengan badan usaha lain dan
atau Perum Perumnas, dengan dukungan kredit konstruksi dan kredit pemilikan rumah dari BTN dan atau
lembaga keuangan lainnya.
Pembangunan kawasan atau lingkungan perumahan dan permukiman dengan lingkungan hunian yang
berimbang dapat dilakukan oleh satu badan usaha dibidang pembangunan perumahan oleh beberapa badan
usaha di bidang pembangunan perumahan dalam ikatan kerja sama operasi (kso). Pemberian ijin lokasi untuk
pembangunan kawasan atau lingkungan perumahan dan permukiman dilakukan oleh kepala daerah yang
bersangkutan sesuai dengan kewenangannya, dengan memperhatikan ketentuan dalam SKB ini. Koordinasi
pengendalian pelaksanaan SKB ini secara nasional dilakukan oleh Menpera. Gubernur Kepala DT I, Bupati/
Walikotamadya Kepala DT II secara berjenjang melakukan koordinasi, pengendalian, dan pengawasan
terhadap pelaksanaan dari Surat Keputusan Bersama ini di wilayah masing-masing.
Ketentuan-ketentuan dalam SKB wajib digunakan sebagai acuan dalam penataan ruang wilayah DT I
maupun DT II. Hal-hal yang belum diatur dalam SKB secara nasional akan ditetapkan lebih lanjut oleh para
Menteri yang bersangkutan, sedangkan ketentuan-ketentuan operasional di tingkat daerah akan diatur lebih
lanjut oleh Gubernur Kepala DT I dan/atau Bupati/Walikotamadya Kepala DT II masing-masing sesuai dengan
kebutuhan.

Harapan
Masyarakat mengharapkan agar SKB ini dipatuhi oleh semua pihak yang terkait dalam pembangunan
perumahan dan permukiman. Ditetapkannya SKB Tiga Menteri ini diharapkan agar pembangunan perumahan
dan permukiman terus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah, berencana dan
berkesinambungan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, kawasan dan lingkungan perumahan dan
permukiman dapat makin ditingkatkan dan dikembangkan sehingga merupakan satu kesatuan fungsional
dalam wujud tata ruang fisik, kehidupan ekonomi, dan sosial budaya untuk mendukung ketahanan nasional,
mampu menjamin kelestarian lingkungan hidup dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia Indonesia
dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, melalui suatu lingkungan perumahan dan

342
permukiman yang layak, sehat, aman, serasi, dan teratur, berlandaskan pada asas manfaat, adil dan merata,
kebersamaan dan kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan
hidup, sesuai dengan isi UU Tentang Perumahan dan Pemukiman.
Angkatan Bersenjata, 9 Desember 1992

Perlu Gerakan Nasional Untuk Memasyarakatkan


Rumah Susun

Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat telah dicanangkan oleh Bapak Presiden
Soeharto pada saat membuka Lokakarya Nasional Perumahan dan Pemukiman tanggal 16 Nopember 1992.
Tahun-tahun berikutnya disusul gerakan nasional pengentasan kemiskinan (lnpres 5 Tahun 1993) dan
pembangunan keluarga sejahtera dalam rangka peningkatan penanggulangan kemiskinan (lnpres 3 Tahun
1996), gerakan disiplin nasional (Keppres 33 Tahun 1995), gerakan nasional memasyarakatkan dan
membudayakan kewirausahaan (lnpres 4 Tahun 1995), perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan aparatur
pemerintah kepada masyarakat (lnpres 1 Tahun 1995), peningkatan peranan wanita dalam pembangunan
daerah (lnpres 5 Tahun 1995), dan hari kebangkitan teknologi nasional (Keppres 71 Tahun 1995).
Khususnya di kota-kota besar yang cenderung berkembang menjadi kota metropolitan seperti Jakarta,
Bandung, Semarang, Surabaya, Palembang, Medan dan Ujung Pandang, sudah saatnya dicanangkan
Gerakan Nasional Pemasyarakatan Rumah Susun, mengingat lahan metropolitan tidak lagi mampu mendukung
pembangunan rumah biasa (tunggal) yang membutuhkan lahan cukup luas.

Pembangunan Rumah Susun


Pembangunan Rumah Susun mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1985 tentang Rumah
Susun, Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun, mengacu pada Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992
Perumahan dan Permukiman, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Di
samping itu pembangunan rumah susun juga terkait dengan lnpres 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan
Permukiman Kumuh yang berada di Atas Tanah Negara, Peraturan Menteri PU Nomor 60/PRT/1992 tentang
Persyaratan teknis Pembangunan perumahan, Keputusan Menteri Agraria/Kepala BPN tentang Hak Milik
Atas Sarusun, berbagai Keputusan Menpera tenang pembangunan perumahan sederhana dan sangat
sederhana serta rumah susun, dan berbagai Keputusan Gubernur dan Bupati!Walikotamadya pada tingkat
wilayah propinsi dan kotamadya/kabupaten.
Pembangunan rumah susun di DKI Jakarta, bagi masyarakat berpendapatan menengah ke atas
dilaksanakan oleh Swasta, Yayasan Pulo Mas dan Pluit (contohnya Rumah Susun dalam bentuk apartemen
dan kondominium yang bertebaran di lima wilayah kota, Rumah Susun Pulo Mas, Rumah Susun Pluit), dan
Dunia Usaha, untuk masyarakat berpendapatan menengah bawah dan sedang, dilaksanakan oleh Perum
Perumnas (Kiender, Kebon Kacang, Tanah Abang, Kemayoran, Cengkareng), sedangkan pembangunan
rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah dibangun oleh PO Pembangunan
Sarana Jaya dan melibatkan Dinas Perumahan DKI Jakarta.
Paling sedikit ada lima ·ketetapan Gubernur pada tingkat DKI Jakarta yang merupakan dasar
pembangunan rumah susun. Pertama Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 1991 tentang Rumah
Susun di DKI Jakarta. Kedua, Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 540 Tahun 1990 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemberian Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan (SP3L) Atas Bidang Tanah
Untuk Pembangunan Fisik Kota di DKI Jakarta. Ketiga, Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 924 Tahun

343
1991 tentang (Petunjuk Teknis Rumah Susun). Keempat, Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 354
Tahun 1992 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pembangunan Rumah Susun Sederhana/Murah bagi
pemegang SP3L di wilayah DKI Jakarta. Kelima, Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 640 tahun 1992
tentang Ketentuan Terhadap Pembebasan Lokasi/Lahan Tanpa ljin dari Gubernur KDKI Jakarta.
Dinas Perumahan DKI Jakarta telah menganalisis keterbatasan lahan untuk perumahan di ibukota.
Dari luas DKI Jakarta 660 Km2 (600 Km2) di luar kepulauan Seribu), 55% (33.000 Ha) Peruntukan
perumahan dan 45% untuk lain-lain. Dari 33.000 Ha tersebut 40% sarana dan prasarana, hanya 60% (19.800
Ha) yang efektif untuk perumahan. Dari 19.800 Ha lahan ini, KDB hanya 60% (11.880 Ha) dan 40% untuk
halaman dan taman. Perhitungan selanjutnya memperlihatkan angka-angka, rata-rata jumlah lantai adalah
1,52 lantai, kebutuhan luas bangunan 12 M2, penduduk Jakarta pada tahun 2005 mencapai 12 juta jiwa dan
kebutuhan luas bangunan 18.000 Ha.
Kebutuhan rumah 64.500 unit/tahun (RUTR DKI Jakarta 1985-2005), dapat dibagi menjadi 70% rumah
tinggal atau 49.000 unit (landed houses) dan 30% rumah susun/flat/apartemen atau 21.000 unit. Dengan
asumsi 50% untuk masyarakat berpenghasilan rendah, maka diperoleh angka 10.500 unit/tahun.
Pembangunannya 70% atau 7.350 unit/tahun dilaksanakan oleh Swasta, sedangkan 30% atau 3.150 unit/
tahun diharapkan dapat dibangun oleh Pemerintah Daerah. Pelaksanaan pembangunan rumah susun
diprioritaskan di daerah-daerah lingkungan perumahan dan permukiman kumuh yang luasnya mencapai
446,19 Ha, yaitu 21,37 Ha di Jakarta Pusat, 206,31 Ha di Jakarta Utara, dan 24,39 Ha di Jakarta Timur,
menyangkut 291.003 penduduk atau 63.163 rumah tangga (Kepala Keluarga).
Penanganan perumahan mengacu pada Peraturan Perundangan yang ada, Kebijaksanaan Pemerintah
Pusat, dan Kebijaksanaan Pemerintah Daerah yang dituangkan ke dalam Kebijaksanaan Pemerintah Daerah
yang dituangkan ke dalam Kebijaksanaan Umum dan Khusus serta petunjuk teknis pelaksanaan pembangunan
perumahan baik rumah tunggal maupun rumah susun. Program pembangunan perumahan dilaksanakan
berupa program khusus di atas lahan terkena bencana banjir, gempa, kebakaran dan program pembangunan
perumahan dan permukiman di lokasi yang peruntukannya telah disediakan di dalam RUTR, RDTR, dan
RBWK.
Pembangunan perumahan dan permukiman termasuk pengendalian dan pendukung dilaksanakan
antara lain dalam bentuk-bentuk pembangunan rumah sederhana, menengah dan mewah, relokasi pemanfaatan
Taperum PNS, pembangunan perumahan terpadu, penanganan dan penertiban lingkungan permukiman
kumuh, pengembangan kota secara terpadu, pembangunan perumahan model pusat pertumbuhan (segitiga
Kuningan, segitiga Semanggi/Sudirman, kawasan Pluit), penanganan perijinan pembangunan perumahan
(1MB), penertiban bimbingan dan penyuluhan, studi perencanaan, penelitian dan pengembangan serta
pengkajian perumahan dan permukiman kajian aspek legalitas dan peraturan perundang-undangan, kajian
tentang perumahan yang dimiliki/sewa-beli dan rumah sewa, koordinasi pembangunan perumahan dan
pembinaan aparatur pemerintah di bidang perumahan dan permukiman.
Rumah Susun baik yang dibangun Yayasan (Pula Mas dan Pluit) Perum Perumnas maupun PO
Pembangunan Sarana Jaya bekerjasama dengan Dinas Perumahan DKI Jakarta, pada umumnya berusaha
memanfaatkan tanah negara, mengganti lingkungan permukiman kumuh dengan rumah susun sederhana,
dan membangun di atas lahan kosong atau lahan yang selama ini kurang difungsikan pemanfaatannya.
Di atas lahan permukiman kumuh yang lokasinya sesuai dengan rencana kota, dibedakan atas lokasi
strategis (peremajaan permukiman kumuh melalui lnpres 5 Tahun 1990, Kepgub Nomor 540 Tahun 1990,
dan pembangunan rumah susun dan Perum Perumnas), lokasi kurang strategis (perbaikan kampung,
pembangunan perumahan terpadu, pemugaran ABRI Masuk Desa, Hari Kesetiakawanan Sosial), dan lokasi
yang berbahaya di bantaran sungai atau bawah jaringan listrik (penataan lahan, pembuatan taman kota).
Pada tiga segmen ini diperlukan upaya pembinaan, bimbingan dan penyuluhan agar perilaku masyarakat bisa
berubah dari kebiasaan hidup di rumah kumuh dan liar ke budaya hidup di rumah susun.
Di atas lahan permukiman kumuh yang lokasinya tidak sesuai dengan rencana kota, baik di lokasi
strategis, kurang strategis maupun berbahaya, kegiatan pembinaan, bimbingan, dan penyuluhan perlu lebih
ditingkatkan intensitasnya, disertai penegakan dan tertib hukum (law enforcement), menuju pada relokasi,
penyesuaian dengan rencana kota, dan pengakuan hak atas tanah jika memungkinkan, dan penduduknya

344
pengentasan kemiskinan dan pembangunan keluarga dari pra sejahtera, keluarga I, II dan Ill ke sejahtera
plus dan keluarga mandiri.
Juga perlu dimasyarakatkan peristilahan yang muncul di rumah susun, antara lain rancang bangun
rumah susun, lingkungan rumah susun, satuan rumah susun, rumah susun, prasarana dan sarana lingkungan
rumah susun tempat parkir dan fasilitas umum, utilitas umum, fasilitas lingkungan, rumah susun hunian,
rumah susun bukan hunian, rumah susun campuran pertelaan, dan nilai perbandingan proporsional.
Aspek teknis pembangunan rumah susun harus diketahui masyarakat calon penghuni, yaitu ruang,
struktur, komponen dan bahan bangunan, kelengkapan rumah susun, satuan rumah susun, bagian bersama
dan benda bersama, kepadatan dan tata letak bangunan, prasarana lingkungan dan fasilitas lingkungan.
Ruang menyangkut penghawaan alami dan buatan, pencahayaan alami dan buatan suara dan bau (sedap
dan tidak sedap).
Struktur, komponen dan bahan bangunan harus mempunyai ketahanan baik terhadap beban mati,
beban bergerak, beban gempa, beban angin, beban tambahan, pengaruh hujan, maupun banjir, ancaman
kebakaran, daya dukung tanah, dan gangguan lain. Kelengkapan rumah susun haruslah memadai yaitu alat
transportasi bangunan (tangga, lift, eskalator), pintu dan tangga darurat kebakaran, alat dan sistem alarm
kebakaran, alat pemadam kebakaran, penangkal petir, jaringan air bersih, saluran pembuangan air hujan,
saluran pembuangan air limbah, tempat untuk memungkinkan pemasangan jaringan telepon dan alat
komunikasi lainnya sesuai tingkat keperluan.
Alat dan sistem alarm kebakaran harus tersedia dan dapat difungsikan, detektor kebakaran spring ker,
hidran gedung, hidran halaman, pemadam api ringan, penangkal petir konvensional dan non konvensional,
tangki penampungan, rumah pampa, saluran pembuangan air hujan dan air limbah, tempat pewadahan
sampah dan sistem pembuangan sampah, tempat jemuran, jaringan listrik, generator listrik, harus dapat
mengakomodasikan kepentingan penghuni rumah susun yang banyak jumlahnya.
Satuan Rumah Susun harus mempunyai ukuran standar dan kebutuhan ruang minimum 18 M2 dengan
Iebar muka 3 meter, kamar mandi, dapur, permukaan atas lantai struktur, bagian dalam dinding pemisah,
bagian bawah langit-langit struktur, koridor, selasar, ruang tangga jangan sampai menimbulkan masalah bagi
para penghuni. Tempat parkir dan atau tempat penyimpanan barang, fasilitas perniagaan (misalnya untuk
waserda, warung, tempat perbelanjaan), lapangan terbuka, fasilitas pendidikan, kesehatan, peribadatan,
fasilitas pemerintahan (fungsi Badan Pengelola sebagai pengganti RW dan RT), fasilitas pelayanan umum,
serta ruang serbaguna (tempat penyimpanan sementara untuk mayat, acara perkawinan/pernikahan) dan
taman, harus tersedia disesuaikan dengan keperluan minimal para penghuni.
Melalui gerakan nasional memasyarakatkan rumah susun, penyediaan rumah susun di metropolitan
Jakarta makin cepat dan permukiman kumuh terus berkurang, selain dengan upaya pengentasan kemiskinan
dalam mewujudkan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin. Gerakan nasional ini akan menunjang
landasan pembangunan rumah susun yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang
Rumah Susun yaitu asas kesejahteraan umum, keadilan dan pemerataan, serta keserasian dan keseimbangan
dalam perikehidupan, serta asas penataaan perumahan dan permukiman (Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1992 tentang Perumahan dan Permukiman), yaitu asas manfaat, adil dan merata, kebersamaan dan
kekeluargaan, kepercayaan pada diri sendiri, keterjangkauan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Jayakarta, 29 Juli 1997

Memasyarakatkan Rumah Susun Secara Terpadu


di Metropolitan Jakarta
Peringatan HUT ke-470 Kota Jakarta dan HUT ke 52 Kemerdekaan Republik Indonesia Tahun 1997,
ditandai dengan motto "Dengan semangat Jayakarta serta motto Teguh Beriman, kita rayakan Jakarta 470

347
tahun dengan terus kembangmantapkan persatuan, kesatuan dan kekeluargaan untuk sukseskan Pemilu
1997, Sea Games dan Sidang Umum MPR 1998". Sejalan dengan motto tersebut, khususnya dalam
membangun hunian modern warga metropolitan Jakarta, sangatlah tepat jika dicanangkan Gerakan
Memasyarakatkan Rumah Susun Secara Terpadu. Bahkan gerakan ini penulis sarankan bisa dilaksanakan
secara nasional, yaitu berupa "Gerakan Nasional Memasyarakatkan Rumah Susun Secara Terpadu Bagi
Kota Besar dan Metropolitan".
Contoh gerakan nasional sudah ada, antara lain Gerakan Disiplin Nasional (1995) yang diisi Budaya
Tertib, Budaya Bersih, dan Budaya Kerja, Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat (1992),
Gerakan Nasional Orang Tua Asuh, dan Gerakan Nasional Memasyarakatkan Jiwa Kewirausahaan (1995).
Tulisan ini difokuskan pada upaya memasyarakatkan rumah susun secara terpadu bagi warga metropolitan
Jakarta.

Perkembangan Kota Jakarta


Kota Jakarta berkembang pesat dari tahun ke tahun. Pada usianya ke 470 tahun 1997 ini, jumlah
penduduknya mendekati 10 juta jiwa dan sudah bisa kita sebut kota metropolitan atau megacity. Menu rut
perhitungan pakar perkotaan Richard Dunn dan Stanley Brunn (1993), penduduk Jakarta tahun 2000 akan
mencapai 13-14 juta (urutan 11 terbesar di dunia), padahal RUTR DKI 1985-2005 memperkirakan penduduk
Jakarta 12 juta pada tahun 2005.
Dengan penduduk di atas 10 juta orang ini, luas kota tidak berubah yaitu 660 Km persegi, gedung
perkantoran dan pusat perdagangan terus dibangun, lahan kota makin sempit, dan orang sulit membangun
rumah tunggal yang perlu lahan luas. Akibatnya banyak penduduk Jakarta pindah ke pinggiran kota, ke
Botabek atau hidup di pusat kota berhimpitan satu sama lain dengan kepadatan sangat tinggi. Ketidakmampuan
membeli rumah, mengakibatkan bermunculannya rumah-rumah kumuh dan liar hampir di tiap wilayah kota.
Saat ini dapat dicatat 2.885 Ha lingkungan perumahan dan permukiman kumuh di kota Jakarta, dihuni
1,5-2 juta orang. Melalui lnpres Nomor 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Permukiman Kumuh Yang Berada
Di atas Tanah Negara, Presiden menginstruksikan Menpera dan beberapa Menteri lain, Gubernur, dan
Bupati/Walikotamadya, untuk meremajakan lingkungan kumuh dengan membangun rumah susun.
Setelah tujuh tahun berjalan, ternyata sudah cukup banyak rumah susun sederhana yang dibangun,
antara lain di Penjaringan, Pulo Gadung, dan Pejompongan (Jakarta), Sarijadi dan Jalan lndustri Dalam
(Bandung), Pekunden dan Sekayu (Semarang), Mananggal, Dupak dan Sombo (Surabaya), llir Barat
(Palembang), dan Sukarame (Medan). Perum Perumnas dan SUMO menjadi pelaksana atau penyelenggara
pembangunan rumah susun sederhana tersebut. Pola pembangunannya mengacu pada prinsip "membangun
tanpa menggusur".
Di samping rumah susun sederhana yang disewakan, disewa-beli, dan dibeli (dimiliki), masih terdapat
segmen rumah susun yang lain di perkotaan, yaitu rumah susun/apartemen kelas menengah (contohnya Pulo
Mas, Pluit, dan Kemayoran di Jakarta), apartemen kelas menengah atas (Park Royale, Kemayoran), dan
apartemen/kondominium mewah. Masyarakat metropolitan Jakarta yang berpenghasilan per bulan di bawah
Rp 250.000,- saat ini tidak mampu tinggal di rumah susun yang dibangun Perum Perumnas. Mereka hanya
mampu tinggal di rumah susun sederhana/murah yang dibangun BUMD/PD Pembangunan Sarana Jaya yang
dikenal sebagai Rumah Sewa Bertingkat. Mengingat keterbatasan lahan di ibukota dan sangat mahalnya
harga tanah, maka tidak dapat dihindari pilihan rumah bagi warga kota Jakarta, tidak lagi rumah tunggal yang
membutuhkan lahan luas, tetapi beralih ke rumah susun dengan hunian kepadatan tinggi. Pembangunan
rumah susun di ibukota sudah semarak dan hampir menyebar di seluruh pelosok kota. Walaupun demikian
masih belum tampak tumbuhnya kemauan dan keinginan warga ibukota untuk tinggal di rumah susun dan
juga belum tumbuh budaya hidup di rumah susun. Mereka yang sudah tinggal di rumah susun terkesan
karena terpaksa tidak ada alternatif lain untuk tempat tinggalnya. Untuk meningkatkan kecintaan warga
ibukota terhadap rumah susun dan untuk mengggalakkan pembangunan rumah susun di metropolitan
Jakarta, maka perlu segera dilakukan "pemasyarakatan rumah susun secara terpadu bagi warga metropolitan
Jakarta".

348
Memasyarakatkan Rumah Susun
Pemasyarakatan Rumah Susun adalah upaya menyampaikan atau menyebarluaskan informasi tentang
rumah susun kepada seluruh warga ibukota Jakarta. Pemasyarakatan bisa dilakukan dalam bentuk brosur,
leaflet, penerangan, sinetron, diskusi, penyuluhan, pameran, peragaan, dan lain-lain. Maksud pemasyarakatan
adalah menumbuhkan minat warga ibukota untuk tinggal di rumah susun. Tujuannya adalah agar sebagian
besar penduduk kota Jakarta dapat tinggal di rumah susun. Adapun sasarannya adalah agar masyarakat
ibukota, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah dapat berubah huniannya dari tinggal di rumah
kumuh dan liar yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, beralih ke rumah susun sederhana yang bersih,
indah, aman, nyaman, dan sehat.
Kegiatan pemasyarakatan rumah susun secara terpadu, dipersiapkan dengan baik, dikoordinasikan
secara terarah dan terpadu, dilaksanakan secara teratur, mengenai kelompok sasaran yang tepat, didukung
peralatan yang sesuai dan dana yang memadai, serta dipantau dan dievaluasi untuk melihat perkembangannya
dan umpan balik, dan dicari upaya-upaya perbaikan pelaksanaan pemasyarakatan.
"Membangun Tanpa Menggusur", kasus Pulo Gadung dan Angke!Tambora. Masyaraka~ berpenghasilan
rendah di Pulo Gadung yang lingkungan perumahannya akan dipugar atau diremajakan menjadi permukiman
rumah susun, dipindahkan sementara ke lokasi yang berdekatan. Pada saat rumah susun selesai dibangun,
maka kelompok masyarakat tadi pindah ke rumah susun. Proses ini berjalan terus sehingga makin banyak
lingkungan permukiman kumuh yang ditata dan diremajakan, dan rumah susun yang dibangun terus
bertambah.
Elemen kegiatan memasyarakatkan rumah susun secara terpadu yang penulis sarankan terdiri atas
tiga belas butir indikator, yaitu pengertian rumah susun (rusun), pelaku, materi, kelompok sasaran, mekanisme
koordinasi, waktu pelaksanaan, tatacara, tempat pemasyarakatan, peralatan pendukung, riset serta kegiatan
penelitian dan pengembangan, pemantauan dan evaluasi, dan pembiayaan.
Pertama, pengertian tentang rumah susun (rusun) dan yang terkait dengan itu menurut Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun.
Beberapa pengertian tersebut, yaitu Rusun, Satuan Rumah Susun (Sarusun), lingkungan, bagian bersama,
benda bersama, tanah bersama, hipotik, fidusia, pemilik, penghuni, perhimpunan penghuni, badan pengelola,
penyelenggara pembangunan, akta pemisahan, kesatuan sistem pembangunan, persyaratan teknis, persyaratan
administratif, nilai perbandingan proporsional.
Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang
terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk
tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Sarusun
adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian,
yang mempunyai sarana penghubung ke jalan umum.
Kedua, pelaku pemasyarakatan, yaitu Aparatur Pemerintah (Pusat dan Daerah), Lembaga Litbang,
Swasta, Yayasan, LSM, Organisasi Kemasyarakatan, dan PKK. Koordinasi pemasyarakatan rumah susun di
tingkat Pusat dilakukan oleh Kantor Menpera!BKP4N (Badan Kebijaksanaan dan Pengendalian Pembangunan
Perumahan dan Permukiman Nasional), di tingkat propinsi oleh BP40 Tingkat I dan di tingkat kabupaten/
kotamadya oleh BP40 Tingkat II dengan motornya adalah Dinas Perumahan dan Perum Perumnas. PKK
sesuai tugas dan fungsinya, ikut berperan dalam memberikan penyuluhan dan pemasyarakatan rumah susun,
dikaitkan dengan pelaksanaan 10 Program PKK, meliputi gotong royong, kebersamaan, dan kepedulian, serta
pembinaan mental spiritual dan sikap perilaku penghuni rumah susun; pendidikan, keterampilan, dan
pengembangan kehidupan berkoperasi (pemasyarakatan Waserda sebagai prioritas program Pemerintah DKI
Jakarta di samping motto Jakarta Teguh Beriman); penanganan pangan, sandang, dan papan dalam
kehidupan di rumah susun; peningkatan peran ibu dan wanita dalam keluarga, pemasyarakatan teknologi
tepat guna, hemat air bersih dan hemat energi, pembinaan industri rumahtangga dan kerajinan, pemantapan
posyandu, serta pembudayaan hidup bersih dan sehat.
Ketiga, materi pemasyarakatan atau penyuluhan, meliputi isi UU 16/1985 tentang Rumah Susun, PP 4/

349
1988 tentang Rumah Susun, UU 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman, UU 24/1992 tentang
Penataan Ruang, lnpres 5/1990 tentang Peremajaan Permukiman Kumuh Yang Berada Di Atas Tanah
Negara, Keputusan Menteri, lnstruksii Menteri, Perda, Kepgub, Keputusan Bupati/Walikotamadya, persiapan,
penghunian dan pengelolaan, rumah sehat, kebijaksanaan pembangunan rumah susun, pertanahan,
pembiayaan, kelembagaan, perilaku, disiplin, kebersamaan, dan kepedulian.
Juga perlu dibuat Buku Panduan Pemasyarakatan Rumah Susun, yang berisi Pendahuluan (latar
belakang, dasar pemikiran, tujuan dan sasaran program, ruang lingkup, pendekatan, dan organisasi
pelaksana program), Koordinasi dan Keterpaduan Program (program pembangunan rusun, unsur-unsur
program, kepedulian dan komitmen pemasyarakatan, mekanisme koordinasi dan keterpaduan, dan keterpaduan
kebijaksanaan), Kelompok Sasaran (perorangan, keluarga, masyarakat, pegawai negeri dan swasta),
Perencanaan Kegiatan (prinsip dasar, jenis kegiatan, rincian kegiatan), Pembiayaan (dana Pemerintah,
Swasta, dan Masyarakat), Pelaporan, Pemantauan, dan Evaluasi. Contoh Buku Panduan, antara lain Buku
Panduan Program lOT (lnpres 5/1993) dan Buku Panduan Pembangunan Keluarga Sejahtera (lnpres 3/
1996). Mengingat pentingnya pemasyarakatan rumah susun, maka dapat diusulkan untuk ditetapkan lnpres
tentang Pemasyarakatan Rumah Susun Secara Terpadu di Kota Besar dan Metropolitan.
Keempat, kelompok sasaran, terdiri atas perorangan, kepala keluarga, masyarakat, pegawai negeri,
pegawai swasta, kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah, ibu-ibu, pemuda, RT, RW,
warga permukiman kumuh, dan penghuni baru rusun. Kepada warga permukiman kumuh perlu diyakinkan
bahwa lingkungan permukiman mereka yang kumuh akan diremajakan menjadi permukiman rumah susun,
dengan menggunakan "pola pembangunan tanpa menggusur". Kelima, mekanisme koordinasi, baik dalam
perencanaan, pelaksanaan, serta pemantauan, pengawasan/pengendalian, dan evaluasi. Koordinasi dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip hubungan organisasi vertikal, horizontal, dan diagonal, baik sektoral maupun
fungsional.
Keenam, waktu pelaksanaan penyuluhan dan pemasyarakatan, yaitu pagi, siang, sore, atau malam,
baik pada hari kerja maupun hari libur, jam kantor maupun di luar jam kantor. Waktu yang digunakan untuk
melakukan penyuluhan sebaiknya dalam suasana santai, relaks, dan tidak tegang. Jika waktu memungkinkan,
sebaiknya dilakukan kunjungan ke lokasi rumah susun untuk melihat dengan jelas situasi dan kondisi hunian
di rumah susun. Ketujuh, tatacara pemasyarakatan, bisa dilakukan melalui penyajian materi, pameran,
peragaan, diskusi, percontohan, dan kunjungan lapangan.
Kedelapan, tempat pemasyarakatan, dapat dilakukan di ruang terbuka, ruang tertutup, aula, lapangan,
gedung serbaguna, halaman masjid, dan lain-lain. Lingkup penyuluhan dapat dilakukan pada tingkat RT, RW,
Kelurahan, Kecamatan, maupun Kabupaten, Kotamadya, dan Wilayah Kota. Kesembilan, peralatan yang
digunakan dalam kegiatan pemasyarakatan dapat terdiri atas overhead projector, transparan sheet, brosur,
leaflet, film, kaset video, radio dan televisi, multi media, dan lagu. Juga dapat dilakukan melalui sinetron dan
· menggunakan pelawak.
Kesepuluh, riset dan litbang, antara lain bahan bangunan, elemen, dan komponen bangunan,
koordinasi modular, sosial-ekonomi, sosial-budaya, sosio-psikologis, hukum, kelembagaan, sewa-beli,
pengelolaan sampah, lingkungan, teknologi tepat guna, dan teknik produksi pembangunan rumah susun.
Kesebelas, persiapan dan pelaksanaan pemasyarakatan, disusun dengan memperhatikan prinsip-prinsip
efisiensi waktu, tenaga, dan pembiayaan.
Keduabelas, kegiatan pemantauan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi, untuk melihat sejauh
mana pelaksanaan pemasyarakatan rumah susun sehingga dapat diketahui keberhasilan atau
kekurangberhasilan pemasyarakatan rumah susun. Dengan demikian dapat diupayakan perbaikan
pemasyarakatan berikutnya. Melalui pemantauan dan evaluasi, dapat diketahui jumlah rumah susun sederhana
yang sudah dibangun di DKI Jakarta (8.734 unit), yang sedang dibangun (2.687 unit), dan yang akan
dibangun sampai dengan tahun 2000 (27.568 unit), dengan target pembangunan tahunan sebanyak 10.500
unit (7.350 unit oleh Swasta dan 3.150 unit oleh Pemerintah Daerah). Demikian pula lokasi-lokasi permukiman
kumuh yang membutuhkan peremajaan segera, yaitu Tanah Tinggi, Bendungan Hilir, Karet Tengsin, dan Jati
Bunder di Jakarta Pusat, Angke Tambora, Kali Anyar, Jembatan Besi, Duri Utara, Pekojan, Meruya Selatan,
dan Cengkareng Barat·di Jakarta Barat, Papanggo, Semper, Lagoa, Sukapura, Tugu Utara, dan Cilincing di

350
Jakarta Utara, Bidaracina, Rawa Bunga, Pisangan Baru, dan Pondok Bambu di Jakarta Timur, serta Tebet
Barat, Pela Mampang, dan Mampang Prapatan di Jakarta Selatan. Ketigabelas, pembiayaan pemasyarakatan
rumah susun, baik yang menggunakan dana lnpres Dati I, lnpres Dati II, lnpres Pemasyarakatan Rumah
Susun, APBN dan APBD, dana Swasta, mobilisasi dana masyarakat, dan sumber dana lainnya.
lnpres tentang Pemasyarakatan Rumah Susun seyogyanya dikeluarkan. lnpres ini sebagai kelanjutan
dari lnpres 5/1990 yang menugaskan Menpera, Men-PPN/Ketua Bappenas, Men-LH, Mendagri, Men-PU,
Mensas, Menkeu, Kepala BPN, para Guberur dan para Bupati/Walikotamadya, untuk melaksanakan kegiatan
sesuai tugas dan fungsinya dalam rangka peremajaan permukiman kumuh di atas tanah negara. Peremajaan
Permukiman Kumuh (dilakukan dengan menerapkan sistem subsidi silang antara pembangunan rumah susun
dengan areal komersial yang berada di kawasan yang diremajakan) adalah pembongkaran sebagian atau
seluruh permukiman kumuh yang sebagian besar atau seluruhnya berada di atas tanah negara dan kemudian
di tempat yang sama dibangun prasarana dan fasilitas lingkungan rumah susun serta bangunan lainnya
sesuai rencana tata ruang kota. Ada tiga tujuan peremajaan permukiman kumuh. Pertama, meningkatkan mutu
kehidupan dan penghidupan, harkat, derajat dan martabat masyarakat penghuni permukiman kumuh
terutama golongan masyarakat berpenghasilan rendah dengan memperoleh perumahan yang layak dalam
lingkungan permukiman yang sehat dan teratur. Kedua, mewujudkan kawasan kota yang ditata secara lebih
baik sesuai dengan fungsinya sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang kota yang bersangkutan.
Ketiga, mendorong penggunaan tanah yang lebih efisien dengan pembangunan rumah susun, meningkatkan
tertib bangunan, memudahkan penyediaan prasarana dan fasilitas lingkungan permukiman yang diperlukan
serta mengurangi kesenjangan kesejahteraan penghuni dari berbagai kawasan di daerah perkotaan.

Catatan penutup
Pembangunan kota metropolitan Jakarta harus mengacu pad a UU 11/1990 tentang Susunan Negara
Republik Indonesia DKI Jakarta, PP, Keppres, lnpres, Kepmen, lnmen, Perda, RUTR 1980-2005 (revisi),
RBWK, Juklak, Juknis, Jakstra, Renstra (1992-1997,1998-2003), dan memperhatikan motto "Jakarta Teguh
Beriman". Dalam membangun rumah susun, harus mengacu pada Pola lnduk Pembangunan Rumah Susun.
Pembangunan Rumah Susun hendaknya terintegrasi dengan berbagai megaproyek Jakarta, yaitu Triple-
Decker, Subway, Pantura Jakarta, Terminal Terpadu Manggarai, Segitiga Kuningan dan Sudirman, dan Pusat
Pertumbuhan Lima Wilayah Kota Metropolitan Jakarta.
Bagi kota Jakarta, lahan sulit diperoleh dan harganya sangat mahal. Akibatnya, rumah susun
merupakan kebutuhan mendesak. Permukiman kumuh seluas 2.885 Ha dihuni oleh sekitar 1,5 juta penduduk,
dari 9-10 juta penduduk ibukota. Pembangunan rumah susun skala besar (1 0.500 unit per tahun), merupakan
30% dari kebutuhan rumah 70.000 unit per tahun) di metropolitan Jakarta, perlu dibarengi dengan kegiatan
"pemasyarakatan rumah susun". Pelaksanaan SK Gubernur KDKI Jakarta Nomor 540/1990 sebagai kelanjutan
lnpres 5/1990, pelaksanaannya belu efektif. Subsidi silang belum berjalan lancar. Pembangunan kondominium
dan apartemen mewah menjamur, sementara itu pembangunan rumah susun sederhana tersendat. Sebenarnya,
prinsip hun ian berimbang 1:3:6 untuk rumah tunggal, bisa diterapkan dalam kehidupan di rumah susun.
Pemasyarakatan dan pembudayaan rumah susun secara komprehensif dan terpadu perlu dilaksanakan
lebih intensif dan berkelanjutan, dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan,
melibatkan semua pihak, didukung prinsip kemitraan (pemerintah, swasta, masyarakat luas, pengembang,
pengelola), agar warga ibukota suka, senang, cinta, menerima, menyukai, terbiasa, tertarik pada rumah
susun, dan berminat tinggal di rumah susun.
Badan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Daerah (BP4D) di DKI Jakarta perlu
difungsikan, sebagai perpanjagan tangan BKP4N. BP4D perlu mendorong dan memacu pembangunan rumah
susun dan memasyarakatkannya. Perlu diupayakan penerapan teknologi tepat guna dalam pembangunan
rumah susun. Dinas Perumahan mengawasi dan mengendalikan pembangunan perumahan dan permukiman,
dan koordinasi dengan instansi terkait terus ditingkatkan. Akhirnya, melalui hunian di rumah susun, penduduk
metropolitan Jakarta dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas kerjanya, dan siap menghadapi
perdagangan be bas 2003, 2010, dan 2020 pada era globalisasi.
Gerakan Nasional Perumahan dan Permukman Sehat (1992) perlu disusul dengan Gerakan Nasional

351
Memasyarakatkan Rumah Susun, seperti juga Gerakan Disiplin Nasional, Gerakan Nasional Orang Tua
Asuh, serta Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan, dalam upaya memacu
pembangunan rumah susun di metropolitan Jakarta.
Angkatan Bersenjata, 25 Agustus 1997

Perumahan: Agenda Habitat Dan Deklarasi


Istanbul
Pertemuan HABITAT II diselenggarakan pada tanggal 3-14 Juni 1996 di Istanbul, duapuluh tahun
setelah HABITAT I di Vancouver. Dua ide yang dibahas, yaitu "pembangunan bersama" dan "ide inovatif".
Konperensi ini menyepakati mekanisme formal antar aktor perumahan dan kerjasamanya dengan pemerintah.
Sekitar 800 orang dari 2400 organisasi menghadiri pertemuan Forum NGO yang dilaksanakan berkaitan
dengan HABITAT II dan 2500 representatif NGO menghadiri pertemuan HABITAT II.
Visi HABITAT II telah dilontarkan oleh Boutros-Ghali, Sekjen PBS, yang pernyataan aslinya sebagai
berikut : "We hava come a long way from Vancouver and the first United Nations Conference on Human
Settlements. In the last 20 years, the world has changed in dramatic ways. But the problems we faced in the
1970s have not disapeared. Poverty, hunger, disease, population imbalances, the lack of equity are still with
us .. . Human settlements, and especially cities, are a key factor in the complex equations of growth and
development, environment issues, human rights and of the radication of poverty ... Our Collective response,
the Habitat Agenda, embodies our vision of human settlements for cities, towns and villages that are viable,
safe prosperous, healthy and equitable. This is our vision of the common future, this must be the spirit of
Istanbul".
Tujuan HABITAT II dikumandangkan melalui dua tema, yaitu "kecukupan rumah untuk semua orang"
dan "pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan di dunia yang terus berkembang" (rumah
sehat dan produktif dalam kehidupan harmonis dengan alam sekitar). Ketidakcukupan sanitasi, drainase, air
bersih, infrastruktur, dan pengelolaan sampah terus diupayakan perbaikannya. Keputusan The UN Conference
on Human Settlements (HABITAT I) di Vancouver, 1976, dan Agenda 21 yang diputuskan The UN Conference
on Environment and Development (The Earth Summit, Rio de Janeiro, Brazil, 1992) dijadilan acuan.
The Global Startegy for Shelter to the Year 2000 (1988) yang menekankan kebutuhan peningkatan
produksi dan penyebaran perumahan, revisi kebijaksanaan nasional perumahan, strategi pemberdayaan,
merupakan acuan dalam mewujudkan keinginan menyediakan rumah untuk semua orang pada abad 21.
Konferensi terkait setelah itu, tentang Wanita (Beijing, 1995), Pembangunan Kepulauan Kecil Yang
Berkelanjutan (Barbados, 1994), Penanganan Bencana Alam (Yokohama, 1994), Hak Asasi Manusia
(Vienna, 1993) Anak (New York, 1994), Pendidikan Untuk Semua (Jomtien Thailand, 1990), juga dijadikan
acuan HABITAT II.
Di samping itu, hasil persidangan perumahan dan permukiman dalam rangka peringatan Hari Habitat
Sedunia juga dijadikan pegangan, antara lain "kebijaksanaan perumahan" (Nairobi, 1979)", pendanaan,
perumahan perdesaan, perbaikan permukiman kumuh" (Mexico City, 1980), "industri konstruksi dalam
perumahan", (Manila, 1981 ), "transportasi yang mendukung peru mahan" (Moskow, 1982), "pendekatan
sistematik dan informasi perumahan" (Libneville, 1984), "perumahan di kota kecil, sedang, dan pusat
pertumbuhan" (Kingston, 1985), "peran serta masyarakat dan produksi bahan bangunan" (Istanbul, 1986),
"perspektif masa depan" dengan tema Tahun Papan lnternasional (Nairobi, 1987), "berbagi peran" (New
Delhi, 1988), "The Global Strateg for Shelter to the Year 2000" (Cartagena, 1989), "Shelter, Health and the
Family" (Jakarta, Oktober 1989), dan tahun-tahun berikutnya sampai dengan 1995.

352
Lima Belas Butir Deklarasi
Limabelas butir merupakan hasil HABITAT II. Pertama, tujuan umum untuk menyediakan rumah bagi
semua orang untuk membuat permukiman lebih aman, sehat, manusiawi (liveable), seimbang (equitable),
berkelanjutan (sustainable), dan produktif. lni menyangkut upaya pada tingkat nasional, regional, dan lokal
untuk memperbaiki kualitas lingkungan kehidupan dan penghidupan.
Kedua, menyadari penurunan kondisi peru mahan dan permukiman pada saat kota besar dan kota kecil
berkembang pesat dan perlunya perhatian masalah sosial, ekonomi, budaya, spiritual serta ilmu pengetahuan
dan teknologi. Ketiga, komitmen terhadap standar peru mahan yang lebih baik, sesuai kesepakatan International
Year of Shelter for the Homeless dan The Global Strategy for Sheller to the Year 2000.
Keempat, untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di perkotaan dan perdesaan, perlu ditempuh
upaya komprehensif penanganan hal-hal yang diharapkan tidak berkelanjutan (unsustainable), antara lain pola
konsumsi dan produksi, perubahan penduduk (struktur, distribusi, konsentrasi, homelessness, kemiskinan,
pengangguran, masalah sosial, ketidakstabilan keluarga, ketidakcukupan sumber daya, ketidcrktersediaan
infrastruktur dan jasa, ketidaksiapan perencanaan, pertumbuhan yang tidak aman dan keberingasan (violence),
degradasi lingkungan, dan ketidakseimbangan atau ketidakstabilan yang mengakibatkan kerugian.
Kelima, kebutuhan pembangunan yang lebih intensif dan kerjasama semua aktor pembangunan
perumahan di kota besar, kota kecil, pedesaan, melalui globalisasi dalam proses pembangunan, menghindari
resiko dan ketidakpastian, dan upaya pencapaian tujuan Agenda Habitat melalui aksi positif dalam pembiayaan,
pinjaman, perdagangan internasional dan alih teknologi.
Keenam, pembangunan perdesaan dan perkotaan saling terkait, karena itu harus diciptakan
keseimbangan penyediaan infrastruktur, pelayanan umum dan kesempatan kerja agar pembangunan perumahan
lebih atraktif, jaringan informasi perumahan lebih terintegrasi, migrasi desa-kota dapat diminimumkan, serta
pembangunan kota menengah dan kecil diprioritaskan.
Ketujuh, disadari kebutuhan lingkungan perumahan yang aman nyaman, dan sehat bagi keluarga,
bapak, ibu, wanita, anak, dan remaja, dibarengi pengentasan kemiskinan, kebersamaan, kepedulian,
keterbukaan, dan tersedianya fasilitas pendidikan, kesehatan, serta kecukupan rumah untuk keluarga.
Kedelapan, komitmen pada penyediaan rumah secara progresif dengan menumbuhkan kemitraan
pemerintah, swasta, masyarakat, dan LSM, dalam pemilikan rumah, keterjangkauan, dan kelayakan jenis dan
tipe rumah untuk keluarga. Kesembilan, penyediaan rumah besar-besaran yang layak secara ekonomis,
sosial dan lingkungan di samping kelayakan lainnya.
Kesepuluh, keberlanjutan pola produksi, konsumsi, transportasi dan pengembangan perumahan skala
besar, pencegahan polusi, dan perhatian terhadap ekosistem. Juga perlu diwujudkan perumahan sehat di
dalam lingkungan hidup yang sehat, khususnya melalui penyediaan air bersih yang mencukupi dan
manajemen pengelolaan sampah yang efektif.
Kesebelas, memperhatikan konservasi, rehabilitasi dan pemeliharaan bangunan, monumen ruang
terbuka, landscape dan pola permukiman gedung bersejarah, bernilai budaya dan arsitektur tinggi, alami,
agamis, dan bernilai spiritual.
Keduabelas, penekanan pada strategi pemberdayaan (enabling strategy), kemitraan, dan partisipasi
(peran serta) aktif, meningkatkan peran lokal dan desentralisasi, transparancy, pembiayaan yang mendukung,
dan responsif. Sejalan dengan itu ditingkatkan kerjasama pada tingkat pemerintahan dan organisasi
internasional serta peningkatan peran wanita dalam pembangunan perumahan.
Ketigabelas, mobilisasi sumber-sumber pembiayaan pada skala nasional dan internasional, serta
sumber-sumber pembiayaan lainnya (multilateral dan bilateral, pemerintah dan swasta). Juga perlu didorong
penerapan teknologi tepat guna di bidang perumahan dan komitmen terhadap Agenda 21 untuk mendukung
pembiayaan dan alih teknologi.
Keempatbelas, pendefinisian yang baik tentang tujuan, sasaran dan langkah-langkah konkrit pemecahan
masalah perumahan dan permukiman. Motto "berfikir global dan bertindak lokal" (think globally, act locally),

353
perlu diimplementasikan.
Kelimabelas, kesepakatan tentang era baru kerjasama dan era budaya solidaritas. Menyongsong abad
21, semua negara mempunyai visi positif tentang pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan,
harapan pada permukiman nyaman, semua orang dapat menikmati bangunan perumahan yang aman dan
nyaman, bersih, sehat, tenang, membahagiakan dan memberi harapan pada kesejahteraan lahir dan batin.

Agenda Aksi
Limabelas deklarasi HABITAT II di atas diikuti Rencana Global Aksi dan Strategi lmplementasi yang
meliputi kecukupan rumah untuk semua orang, pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan
dalam dunia yang terus berkembang, pengembangan kapasitas dan institusi koordinasi dan kerjasama
internasional serta implementasi dan tindak lanjut Agenda HABITAT II.
Walaupun pertumbuhan penduduk selama 20 tahun terakhir bisa ditekan, antara lain dengan program
keluarga berencana, kenyataannya penduduk berkembang dari 4,2 miliar menjadi 5,7 miliar, sepertiga
penduduk berumur 15 tahun ke bawah dan makin banyak orang tinggal di perkotaan akibat migrasi desa-kota
yang tinggi. ·
Pada abad ke 21, diperkirakan penduduk perkotaan dan pedesaan berimbang atau 50% penduduk
akan bermukim di perkotaan, kota mega, kota metropolitan, kota besar, kota menengah dan kecil. Pemerintah
pada semua tingkatan bersama Swasta dan Masyarakat, berusaha mencapai dua tujuan, yaitu ''Adequate shelter
for all" dan "Sustainable human settlements development in an urbanizing world".
Strategi perencanaan global berdasarkan atas pemberdayaan transparancy dan partisipasi yaitu peran
pemerintah didasarkan atas pemantapan kerangka legislatif, eksekutif, yudikatif, institusi dan pembiayaan
yang memberdayakan sektor swasta, LSM dan komunitas (masyarakat) agar berkontribusi penuh untuk
mencapai dua tujuan di atas. Pemerintah pada semua tingkatan menetapkan visi dan missi, tujuan dan
sasaran, nilai-nilai dasar dan nilai operasional, lingkungan strategis, kebijaksanaan dan strategis, rencana
strategis serta upaya dan langkah-langkah pencapaian tujuan.
Pemberdayaan menciptakan situasi yang mendorong pemanfaatan potensi dan sumberdaya aktor
pembangunan perumahan ke dalam proses produksi dan distribusi serta perbaikan perumahan, peningkatan
peran serta wanita sebagai mitra sejajar pria dalam pembangunan perumahan, peran serta dan partisipasi
aktif semua aktor dalam menciptakan perumahan dan permukiman sehat dalam lingkungan yang bersih dan
sehat, kondisi organisasi dan institusi yang mantap, jaringan informasi yang kuat, kemitraan yang berkelanjutan,
menumbuhkan pembangunan perumahan bertumpu pada masyarakat dan menumbuhkan kerjasama
internasional dan regional dalam pembangunan dan permukiman.
Deklarasi lstanbul1996 yang mengandung limabelas butir, diprioritaskan pada upaya pemecahan tujuh
prioritas yaitu (1) ketidakberlanjutan pola konsumsi dan produksi khususnya di negara-negara industri, (2)
ketidakberlanjutan perubahan penduduk yang pesat, (3) orang yang tidak memiliki rumah homelessness
termasuk rumah kumuh dan liar atau slums and squatters settlements, (4) pengangguran, (5) ketidakcukupan
infrastruktur dan pelayanan umum, (6) timbulnya ketidakamanan dan kebringasan dan (7) ketidakpastian dan
ketidakpercayaan diri yang dapat membahayakan. Pemerintah perlu memberikan perhatian terhadap
pertumbuhan kota (mega, metropolitan, besar, menengah, kecil) menggerakkan ekonomi perkotaan
memperhatikan aspek sosial, budaya, spiritual dan ilmiah (scientific).
Sembilan (tujuan dan prinsip) HABITAT merupakan tujuan, prinsip dan komitmen HABITAT II yang
perlu ditindaklanjuti secara operasional di tiap negara, yaitu (1) keseimbangan peru mahan permukiman di
mana semua orang berhak atas kesamaan perolehan rumah, ruang terbuka, pelayanan pendidikan dan
kesehatan, (2) pengentasan kemiskinan dalam konteks pembangunan berkelanjutan, (3) pentingnya kualitas
hidup (kondisi fisik dan karakteristik khusus kota besar, kota kecil dan perdesaan), (4) kebutuhan penekanan
keluarga sebagai unit dasar kehidupan masyarakat, (5) hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan
kewajiban (6) kemitraan di antara semua negara dan semua aktor dalam pembangunan perumahan dan
permukiman, (7) solidaritas terhadap kelompok yang tidak berkesempatan dan tidak siap, (8) peningkatan
sumber-sumber pembiayaan dan (9) pelayanan kesehatan, termasuk reproduktif dan pelayanan yang terkait

354
dengan upaya peningkatan kualitas hidup.
Kecukupan Perumahan Untuk Semua Orang (Adequate shelter for all) selagi kelanjutan dari Deklarasi
HAM (Declaration of Human Rights 1948) untuk mengatasi rumah substandar, tidak cukup air bersih, sanitasi
miskin, listrik kurang, dan sampah menumpuk. Komitmen kesepakatan meliputi penyediaan dan kemudahan
dalam perolehan bukti pemilikan rumah dan tanah untuk semua orang, penyediaan air bersih dan siap
diminum dan kecukupan sanitasi dan drainase, penyediaan perumahan, ukuran rumah yang luasnya
manusiawi dan peningkatan penyediaan rumah yang harganya terjangkau. lni sesuai dengan hasil Seminar
Nasional Perumahan dan Permukiman di Jakarta 16-18 Nopember 1992, yaitu mencakup pembangunan
perumahan dan permukiman berkelanjutan dan berwawasan lingkungan didukung pemantapan kebijaksanaan
umum, pertanahan, pembiayaan serta kelembagaan dan peraturan perundang-undangan.
Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan, menyangkut kualitas air dan udara, pengelolaan sampah
yang efektif (sudah kita buktikan dengan penilaian kota bersih Adipura sejak 1986), konsumsi energi (listrik),
dan kecukupan cahaya. Saat ini 600 juta penduduk di Asia, Afrika dan Amerika Latin tinggal di rumah-rumah
yang belum bersih, sehat, aman dan nyaman.
Komitmen HABITAT II meliputi penciptaan pemberdayaan lingkungan untuk pengembangan ekonomi
dan sosial serta proteksi lingkungan yang atraktif untuk investasi, mendorong potensi sektor informal dan
swasta dalam penciptaan kesempatan kerja, promosi perbaikan rumah bertumpu pada komunitas, penanganan
rumah kumuh dan liar, peningkatan akses ke pekerjaan, perolehan barang dan jasa, serta pelayanan umum
meliputi promosi pembangunan kota yang efisien dan efektif didukung transportasi kota yang berwawasan
lingkungan dan eliminasi dampak penggunaan bahan bakar kendaraan (emisi gas).
Partisipasi dan Pemberdayaan dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan meliputi promosi
kebersamaan, kepedulian dan keterbukaan dalam mewujudkan manajemen perkotaan yang efektif,
desentralisasi otoritas (sejalan dengan perwujudan Otonomi Daerah) dan mobilisasi sumber-sumber yang
tersedia (sumber daya manusia, sumber daya alam dan manajemen modern), dan peningkatan fasilitas
pendidikan formal dan nonformal (ketrampilan).
Gender atau Wanita Sebagai Mitra Sejajar, didukung bimbingan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan
serta keterkaitan wanita dalam penerapan teknologi pembangunan perumahan dan permukiman, penguatan
kebijaksanaan, strategi, dan tindaklanjut praktis yang makin mendorong peran serta dan partisipasi aktif
gender/wanita dalam perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan.
Pembiayaan Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan komitmen penguatan manajemen
pembiayaan pada semua tingkat pembangunan perumahan dan permukiman serta promosi akses yang
seimbang dalam memperoleh kredit bagi semua orang atau lapisan masyarakat.
Kerjasama lnternasional, dengan komitmen partisipasi dalam program multilateral, bilateral dan regional
untuk mencapai tujuan dan sasaran HABITAT II, promosi pertukaran teknologi tepat guna di bidang
perumahan dan permukiman (koordinasi modular, bahan bangunan, konstruksi) dorongan untuk mencapai
0, 7% GNP dari negara maju untuk bantuan terhadap negara berkembang, dan promosi kerjasama internasional
di antara unsur pemerintah, swasta, non-profit, LSM/NGO, dan berbagai organisasi internasional yang
perhatiannya besar terhadap pembangunan perumahan dan permukiman.
Untuk mewujudkan Deklarasi HABITAT II ke dalam bentuk operasional pembangunan perumahan dan
permukiman di tiap negara, telah disepakati bahwa implementasi Deklarasi HABITAT II di tiap negara didukung
pemantauan dan evaluasi terus menerus serta sistem informasi dan pengumpulan data yang menggunakan
berbagai metoda aktual, dan pengkajian terus menerus sejalan dengan upaya revitalisasi organisasi
HABITAT, UNCHS atau United Nations Centre for Human Settlements yang berkantor pusat di Nairobi Kenya.
Strategi pelaksanaan Agenda 15 Deklarasi HABITAT II mencakup lima butir. Pertama, aksi perlu diambil
untuk meningkatkan penyediaan rumah yang cukup dan pembangunan perumahan dan permukiman di dunia
·yang berkembang pesat, cara-cara mempromosikan pasar tanah dan tata guna tanah yang berkelanjutan,
cara-cara mobilisasi pembiayaan dan fasilitas akses pada tanah dan pemilikan, aksi peningkatan sistem
penyediaan dan penyaluran perumahan pada tiap kelompok pendapatan masyarakat (keterjangkauan), dan
aksi bahwa pemerintah dapat mengintegrasikan kebijaksanaan perumahan skala makro ekonomi dengan

355
kebijaksanaan pembangunan sosial-ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan hidup dalam konteks pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Catatan Penutup
Penerapan Deklarasi HABITAT II di Indonesia, khususnya pad a Repelita VII diharapkan agar penyediaan
perumahan dan permukiman khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (RS dan RSS) makin
ditingkatkan. Target Pelita VI hanya 500.000 unit perlu ditingkatkan menjadi "Program Penyediaan Sejuta
Rumah" (seperti Program Sejuta Pohon, Program Penerapan Listrik Tenaga Surya Untuk Sejuta Rumah, dan
Program Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektar Untuk Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah).
Peran swasta dalam pengadaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah terus ditingkatkan, rumah
sewa khususnya diperkotaan makin diperhatikan, rumah susun khususnya bagi masyarakat berpenghasilan
rendah makin banyak dibangun, proses perijinan dan pemilikan makin disederhanakan, harga rumah dan
tanah terus ditekan, penataan ruang makin diperhatikan, pembangunan perumahan dengan pola hunian
berimbang makin dimantapkan, kelembagaan perumahan (Kantor Mennegpera barangkali menjadi Menneg
Permukiman dan lnfrastrukrur, BKP4N dan BP4D makin mantap, Dinas Perumahan makin berperan),
peraturan perundang-undangan makin mendukung.
Peraturan Pemerintah sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nemer 4 Tahun 1992 tentang Perumahan
dan Permukiman diharapkan segera dapat ditetapkan. Ketetapan tentang Kasiba dan Lisiba (Kawasan Siap
Bangun, Lingkungan Siap Bangun) perlu ditetapkan, pembiayaan diperoleh dari berbagai sumber koordinasi
di Tingkat Pusat dan Daerah makin terarah dan terpadu pembangunan infrastruktur makin terintegrasi, serta
pembangunan perumahan dan permukiman berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dapat diwujudkan.
Jayakarta, 8 Agustus 1997

Mendorong Tumbuhnya Pasar Perumahan


Judul : Housing Enabling Market To Work with Technical Supplements; Penulis: Stephen K. Mayo; Penerbit:
Bank Dunia; Tahun : Penerbitan pertama, April1993; Halaman : 159.

Buku baru tentang perumahan yang diterbitkan oleh Bank Dunia ini, membahas empat butir panting,
yaitu tinjauan tentang sektor perumahan, pengertian tentang bagaimana kerjasama sektor perumahan,
strategi pendorong dalam perumahan (enabling strategy), dan peranan Bank Dunia. Ia mengupas kebijaksanaan
Bank Dunia dalam sektor perumahan, dalam tahun 1980-an dan 1990-an, antara lain menyangkut tanah,
pembiayaan, bahan bangunan, infrastruktur, dan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah harus menyusun kebijaksanaan yang mendorong bekerjanya pasar perumahan. Ada tujuh
instrumen kebijaksanaan pendorong tumbuhnya pasar perumahan, tiga dari sektor permintaan, tiga dari
penyediaan, dan satu dari aspek manajemen. Tiga sektor permintaan adalah property rights, mortage finance,
dan rationalizing subsidies. Unsur panting aspek penyediaan infrastruktur untuk permukiman, pengaturan
tanah untuk perumahan, dan dorongan terhadap industri bahan bangunan. Aspek manajemen berupa
pemantapan kelembagaan yang mendorong koordinasi, mendayagunakan berbagai lembaga yang terkait
dengan perumahan dan permukiman, meningkatkan partisipasi sektor swasta dan lembaga swadaya
masyarakat (LPSM), pembangunan bertumpu pada komunitas (community based organizations), perhatian yang
besar terhadap masyarakat miskin dan meningkatkan partisipasi kelompok ini dalam pembangunan perumahan
yang bertumpu pada kemandirian masyarakat.
Bagian pertama, membahas sektor perumahan. Pada bagian ini dibahas perumahan sebagai sektor
ekonomi, dimensi demografis, sektor perumahan sebagai pasar, dan fungsi-fungsi sektor perumahan. Pada
bagian ini diperlihatkan model sektor perumahan yang terdiri atas empat elemen, yaitu housing demand, housing

356
supply, housing outcomes dan socio-economic impacts. Berfungsinya sektor perumahan dengan baik, perlu
diwujudkan dalam bentuk sejauh mana perumahan memberi manfaat bagi yang membutuhkan, bagi
penyedia, bagi kelembagaan perumahan, bagi pemerintah lokal, dan bagi pemerintah pusat.
Bagian kedua, berisi pengertian bagaimana bekerjanya sektor perumahan. Dibahas permintaan dan
penyediaan, kualitas, kuantitas, dan harga rumah, perumahan dan kemiskinan di perkotaan, perumahan dan
makro ekonomi, serta biaya-biaya yang harus dipikul atas kegagalan kebijaksanaan perumahan. Pembangunan
perumahan di negara-negara berkembang mulai tumbuh sejak 1970-an dan 1980-an. Pada tahun 1988, UN
Centre for Human Settelements memperkenalkan Global Strategy for the Year 2000. Strategi ini mengandung
dua tujuan kunci, yaitu meningkatkan kinerja sektor perumahan dan membatasi peran pemerintah dalam
pembangunan perumahan atau dengan kata lain mendorong partisipasi dan peran serta masyarakat dalam
pembangunan perumahan.
Bagian ketiga, menguraikan instrumen operasional dari kebijaksanaan perumahan dan prioritas
strategis kebijaksanaan perumahan pada beberapa negara berkembang. Bagian ini berisi contoh-contoh
pembangunan perumahan informal di Bela Horizonte Brazil, Cote d'ivoire Abidjan, lingkungan kumuh Kalkuta,
program MHT di Jakarta, penyediaan kredit perumahan di Bangkok Thailand, dan Meksiko City.
Bagian keempat, peranan Bank Dunia dalam pembangunan perumahan suatu negara, yang diuraikan
atas evolusi kebijaksanaan perumahan, pelajaran utama yang harus diperhatikan, peranan Bank dalam
sektor perumahan, prioritas pemberian kredit, dan prioritas riset perumahan. Sejak 1972 sampai dengan
1990, Bank Dunia telah terlibat dalam 116 proyek perumahan di 55 negara, dengan rata-rata biaya per proyek
sebesar US$ 26 juta. Dalam masa sekitar 20 tahun tersebut, kebijaksanaan Bank Dunia pun terus
diperbaharui. Kebijaksanaan tahun 1970-an adalah penyediaan tanah dan rumah yang terjangkau oleh orang
miskin (affordable), pengembalian biaya (cost recovery), penciptaan sistem berantai atau replicability,
penekanan pada penyediaan langsung tanah dan perumahan untuk mendorong pembangunan yang bertumpu
pada kemandirian (progressive development of housing conditions by project beneficiaries), dan proyek
percontohan (sites and services).
Tahun 1980-an, kebijaksanaan difokuskan pada self-supporting financial, penyediaan kredit,
restrukturisasi subsidi, peningkatan kesiapan bank, dan penekanan pada interest rate reform. Kebijaksanaan
tahun 1990-an ditekankan pada upaya memfungsikan sektor perumahan dan menumbuhkan pasar peru mahan
yang melibatkan penyedia, pembeli, penyedia biaya, serta pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
rangka memacu pembangunan, mengentaskan kemiskinan, dan mendorong pembangunan berkelanjutan
berwawasan lingkungan, yang melestarikan lingkungan, meningkatkan koordinasi, pemantapan mekanisme,
dan meningkatkan sistem pengelolaan sektor perumahan yang komprehensif dan terintegrasi.
Jayakarta, 11 Nopember 1993

Gerakan Kembali ke Desa di Jawa Timur

Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur memperkenalkan program Gerakan Kembali ke
Desa (GKD) pada tahun 1995. Program ini kelihatannya mirip dengan program One Village, One Product
yang dilaksanakan oleh Gubernur Hiramatsu di Propinsi Oita (Oita Prefecture, Jepang) sejak 30 tahun yang
lalu. GKD didukung Tim Pelaksana dan Tim Satuan Tugas. GKD secara spesifik berupaya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi disertai peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam rangka penanggulangan
(pengentasan) kemiskinan melalui pengembangan komoditas andalan (unggulan) sehingga tercapai peningkatan
pertumbuhan desa, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta tumbuhnya ciri khas daerah. Secara
singkat GKD mengandung unsur-unsur pengusaha masuk desa atau pengembangan perekonomian desa,
pasar desa, teknologi masuk desa dan industrialisasi perdesaan.

357
Keberhasilan GKD perlu didukung perwujudan lng Ngarso Sung Tulodo (masyarakat hendaknya
diberikan wawasan dan tuntutan apa perlunya teknologi tepat guna di perdesaan), lng Madya Mangunkarso
(berusaha mencari dan memberi teknologi yang diharapkan), dan Tut Wuri Handayani (keteladanan).
Teknologi yang akan diterapkan dalam rangka memacu Pembangunan Daerah (di samping ekonomi)
yang menggerakkan Pembangunan Daerah, adalah teknologi yang bercirikan mudah untuk mendukung
produk unggulan di daerah, dapat mendukung teknologi penguatan dan kelestarian sumber bahan baku,
mampu meningkatkan pemasaran produk unggulan, dan mudah mendukung peningkatan sumber daya
manusia (Basofi Sudirman, 1995).
Kegiatan Forum Orientasi· Penerapan dan Pengembangan Teknologi untuk Pembangunan Daerah
(FOPPTPD) di Daerah Tingkat I dan Fasilitas Teknologi Pembangunan Daerah (Fastekbangda) yang
dilakukan Ditjen Pembangunan Daerah bekerjasama dengan Kedeputian Bidang Analisis Sistem BPP
Teknologi dan Pemerintah DT I dan Pemerintah DT II, diharapkan dapat memilih produk unggulan apa yang
diandalkan di daerah masing-masing, apakah itu industri, pertanian atau lain-lain, teknologi apa yang
sekarang dipakai, indikator teknologi yang diperlukan, indikator penyediaan bahan baku dan prospek
pemasaran.
Dari kegiatan FOPPTD dan Fastekbangda di Jawa Timur pada tahun 1995 dan 1996, telah dapat
diidentifikasi produk-produk unggulan dari industri, pertanian dan pariwisata, yaitu mangga (Probolinggo),
rambutan (Biitar), tasbeh, tenun sutera dan kopi racik (Kediri), songkok dan bandeng asap (Gresik), kerajinan
kulit dan bandeng (Sidoarjo), cor logam dan sarang burung (Pasuruan), krupuk ikan dan tempe (Probolinggo),
meubel rotan dan tempe (Malang), sambel pecel dan krupuk lempeng (Madiun), pisang Cavendish (Mojokerto),
tenun gedog (Tuban), bawang merah dan alat perontok padi (Nganjuk), kulit dan susu sapi (Magetan), pisang
agung dan nangka (Lumajang), kerajinan kerang dan ikan (Situbondo), pande besi dan tape (Bondowoso),
tenun gedog dan mete (Bangkalan), tembakau dan sapi (Sumenep), tembakau (Pamekasan), serta jambu air
dan mete (Sampang), pariwisata (Sarangan, Pandaan, Pacet, Batu, dan Bromo, senibudaya Ponorogo dan
Madura).

Teknologi Masuk Desa


Berbicara teknologi masuk desa tidak dapat dipisahkan dari istilah teknologi tepat guna. Menurut
Habibie (1996), teknologi tepat guna (approproate technology) adalah hasil penerapan gabungan multidisiplin
ilmu dasar dan ilmu terapan, spektrumnya multidisiplin, didukung kualitas sumberdaya manusia.
Penjabaran dari pendapat tersebut, menurut Depdikbud (1985), teknologi tepat guna adalah teknologi
yang dapat dioperasikan dengan mudah oleh anggota masyarakat yang masih rendah tarat pendidikan dan
ketrampilannya, dapat dengan mudah merangsang pertumbuhan ketrampilan masyarakat yang bersangkutan,
sarana dan prasarana pendukung bagi pengoperasian teknologi dapat disediakan dengan mudah dan dalam
· penerapannya sangat memperhatikan keseimbangan dan keserasian dengan lingkungan, serta ekonomi
masyarakatnya.
Muhamadi Siswosoedarmo (1985) menyatakan bahwa teknologi tepat guna memenuhi empat syarat,
yaitu dapat dipertanggungjawabkan secara teknis, dapat dimanfaatkan dan dikelola secara ekonomis, dapat
diterima oleh masyarakat, dan serasi dengan lingkungan masyarakat. Teknologi tepat gun a di perdesaan
harus sesuai dengan kondisi setempat, tidak rumit pengoperasiannya, murah pendanaannya, menyerap
banyak tenaga kerja, mudah disebarluaskan, paling tepat digunakan untuk memecahkan masalah, teknologi
dapat bersifat sederhana maupun teknologi maju (canggih).
Penerapan teknologi tepat guna harus memperhatikan persyaratan kelayakan ekonomi, kelayakan
teknis, dukungan pembiayaan, serta penerimaan masyarakat sosial-budaya masyarakat. Definisi teknologi
tepat guna menurut OECF (1983) appropriate technology is related to low investment cost per work-place
simplicity, high adaptability to a particular social or cultural environment, sparing use of natural resources, low
cost of final product or high potential for employment, sedangkan menurut Hisashi Ogawa (UNCRD, 1989)
appropriate techniology is defined as hardware or software or a combanination of both which provides a
socially, environmentally, politically, and economically acceptable level of service to communities, Technology

358
appropriate to an urban/rural setting will most probably be a combination of hardware/sofware, which planners
and decision makers in the cities/villages have to balance carefully in order that an optimal services is
provided.
Dalam melihat teknologi, harus dilihat kesatuan dari empat elemen atau sub-sistem, yaitu technoware,
humanware, inforware, orgaware (UNESCAP, Bangkok, 1989). Technoware menyangkut peralatan atau mesin
yang merupakan perwujudan fisik dari teknologi (peralatan manual), penggunaan sumberdaya penggerak,
fasilitas automatik, penggunaan kontrol komputer, dan fasilitas yang terintegrasi).
Humanware, merupakan ketrampilan dan pengetahuan yang merupakan perwujudan yang melekat
pada manusia yang terkait dengan teknologi (kemampuan, mengoperasikan, memasangflnstalasi, memelihara,
memproduksi, adaptasi, memperbaiki dan inovasi).
Infoware, informasi dan fakta yang merupakan perwujudan yang melekat pada dokumen yang relevan
dengan pengoperasian teknologi. Orgaware, pengoperasian dan keterkaitan sistem sistem yang memungkinkan
pengaturan ketiga komponen di atas secara efektif melaksanakan fungsi transformasi.
Program penerapan teknologi perdesaan dapat dilihat berupa rangkaian kegiatan (umumnya mendapat
dukungan dari luar desa atau desa tetangga), berkesinambungan dan bersifat pemicu pembangunan
swadaya masyarakat dan kemandirian, perlu ditunjang akar yang kuat dan kondisi lingkungan yang
mendukung (antara lain komitmen Pemerintah Daerah dan adanya kesiapan masyarakat).
Dalam memacu penerapan teknologi perdesaan, dimulai dengan melihat potensi desa (hasil pertanian,
perkebunan, perikanan, peternakan, hutan, hasil industri dan pertambangan, hasil pariwisata, menetapkan
tujuan dan sasaran penerapan teknologi, mengidentifikasi sarana dan prasarana yang tersedia, menyiapkan
sumberdaya manusia, kemudian berusaha melihat kemungkinan kemitraan (Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, Swasta sebagai mitra usaha, Koperasi Unit Desa, Pengusaha Menengah, Pengusaha Kecil, Petani
sebagai anggota Koperasi).
Pemikiran berikutnya adalah pengolahan produk antara dari bahan baku menjadi barang setengah jadi,
dan dilanjutkan dengan proses pengolahan menjadi produk akhir, didukung pengemasan dan penyimpanan.
Hasil akhir yang diharapkan adalah produk berdaya saing tinggi yang siap diekspor dan dinikmati konsumen.
Grosir, distributor serta pedagang besar dan pedagang kecil/eceran, mempunyai andil yang besar dalam
penyaluran di samping Koperasi. Produksi yang berdaya saing tinggi hanya bisa dicapai melalui penerapan
teknologi sebagai kelanjutan dari proses penelitian, pengembangan dan pengkajian, pendidikan dan pelatihan,
bimbingan dan penyuluhan.
Bagaimana penerapannya dalam program GKD? GKD memadukan pendekatan "dari atas" dengan
"dari bawah" (top-down and bottom up approach), didukung Tim Pelaksana GKD dan Tim Satuan Tugas.
GKD mengandung empat unsur, yaitu membangun dan memantapkan perekonomian desa (pengusaha
masuk desa, menumbuhkan pengusaha desa), pasar desa, satu desa satu produk unggulan, teknologi masuk
desa, dan industrialisasi perdesaan. GKD merupakan upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
desa, meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, memanfaatkan sumberdaya alam, mengembangkan
komoditas unggulan di kawasan andalan, meningkatkan pertumbuhan desa, menumbuhkan dan
mengembangkan ciri khas daerah, mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Penerapan teknologi dalam program GKD diupayakan agar mudah untuk mendukung pengembangan
produk unggulan, memanfaatkan bahan baku yang tersedia, mendukung pengembangan sumberdaya
manusia, dan mampu meningkatkan pemasaran produk unggulan. Koordinasi antar berbagai unit kerja di
lingkungan Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Timur sampai ke tingkat Kabupaten/Kotamadya,
Kecamatan, dan Desa/Kelurahan, dengan berbagai lnstansi Vertikal yang ada di Jawa Timur, serta instansi
Penelitian dan Pembangunan Pemerintah dan Swasta (Lembaga Riset, Universitas, Swasta, LSM, PKK) perlu
dibina dan dikembangkan.

lndustrialisasi Perdesaan
lndustrialisasi Perdesaan adalah industri (bermuatan iptek) berbasis pada pengolahan dan pemanfaatan
hasil sumberdaya alam (pertanian, perkebunan, hasil hutan, dan/atau ketrampilan sumberdaya manusia

359
setempat, kerajinan rakyat dan kerajinan (rumah tangga), teknologi sangat sederhana (umumnya industri
rumah), bersifat padat karya dan menggunakan tenaga kerja setempat dan sekitarnya, pemasaran bisa skala
lokal, wilayah, nasional, bahkan internasional, dikerjakan sendiri atau bermitra, modal terbatas dan manajemen
masih lemah.
Sasaran industrialisasi perdesaan adalah pengembangan industri kecil dan menengah yang sudah
ada, penerapan dan pengembangan teknologi untuk meningkatkan produktivitas, daya saing dan nilai
tambah, mengembangkan kualitas sumberdaya manusia setempat, meningkatkan efisiensi dan efektivitas,
motivasi dan inovasi masyarakat setempat, sejauh mungkin menggunakan bahan baku lokal dan sumberdaya
manusia setempat, terjadi penyerapan tenaga kerja setempat, penggunaan teknologi yang sudah ada atau
dengan cara mengembangkan teknologi yang ramah lingkungan, menghemat atau mendatangkan devisa,
dan memungkinkan kemitraan dengan BUMN, BUMD, lndustri Besar dan Menengah.
lndustrialisasi Perdesaan didukung penerapan teknologi tepat guna di perdesaan yang berkelanjutan,
perlu ditunjang oleh "pohon kesinambungan" yang mengandung tujuh elemen. Pertama, iklim yang mendukung
(stabilitas, kondisi sosial ekonomi yang menguntungkan, peraturan yang mendukung, (paling tidak kestabilan
skala desa/kecamatan dan kabupaten). ·
Kedua, dukungan dari luar desa (banuan keuangan, keteknikan, supervisi, pendidikan dan pelatihan,
penyuluhan, bimbingan, pendampingan, kesemuanya merupakan pupuk yang menyuburkan penerapan
teknologi perdesaan. Ketiga, pemanfaatan sumberdaya lokal, yaitu pemanfaatan sumberdaya manusia dan
sumberdaya alam semaksimal mungkin, dan menumbuhkan kegiatan perekonomian perdesaan. Keempat,
kontribusi masyarakat yang kuat meliputi keswadayaan, peran serta dan partisipasi aktif masyarakat.
Ke/ima, mempunyai akar yang kuat, berupa motivasi, evaluasi diri, percaya diri, mengacu pada
pengalaman, menumbuhkan kreativitas, inovasi, serta kemandirian. Keenam, berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan (penerapan teknologi tepat guna di perdesaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara
lingkungan hidup, dan selalu berusaha melestarikan lingkungan.
Ketujuh, merupakan enam butir cabang pohon kesinambungan. Pertama, orientasi pada masyarakat
kelompok sasaran (penerapan teknologi harus merupakan bagian dari kehidupan sosial-ekonomi dan sosial-
budaya masyarakat). Kedua, mempunyai kemampuan organisasi (penerapan teknologi dikelola oleh organisasi
lokal desa yang mengerahkan potensi sumberdaya manusia yang ada, melalui kelembagaan tingkat desa).
Ketiga, biaya dan keuntungan yang memadai (biaya operasi dan perawatan serta biaya-biaya lainnya) tidak
memberatkan atau mengakibatkan kerugian.
Keempat, penyesuaian dan ketepatan teknologi (teknologi yang diterapkan secara sosial/material
cocok dengan kondisi setempat secara ekonomis layak, secara politis menguntungkan dan secara ekonomis
bisa dipertanggungjawabkan. Kelima, penyesuaian dengan kebijaksnaan pembangunan (penerapan teknologi
perdesaan harus sesuai dengan pola dasar serta kebijaksanaan dan strategi pembangunan desa, kecamatan,
kabupaten, propinsi dan nasional). Keenam, perumusan program yang realistis (program penerapan teknologi
harus direncanakan dengan tepat, baik pada konsep awal maupun tahap pelaksanaan, adanya peranserta
dan partisipasi aktif masyarakat, serta dilakukannya pemantauan, evaluasi pengendalian dan pengawasan
secara regular dan terus menerus.

Penutup
Teknologi tepat gun a di perdesaan adalah teknologi yang secara ekonomis layak, secara teknis dapat
dipertanggungjawabkan, adanya dukungan pembiayaan, penerimaan sosial budaya masyarakat, sesuai
dengan kondisi setempat, tidak rumit pengoperasiannya, mudah merangsang ketrampilan masyarakat,
mudah menyediakan sarana dan prasarana pendukung, memperhatikan kemampuan ekonomi masyarakat,
berkelanjutan dan berwawaasan lingkungan.
Teknologi Tepat Gun a secara kesehatan aman (tidak menimbulkan penyakit, mempromosikan budaya
hidup sehat, mencegah bibit penyakit, dan layak ergonomik), secara teknis dan ilmiah layak (mudah
dioperasikan, diperbaiki, dan dipelihara, secara teknis efisien dan efektif, bebas dari kecelakaan, fleksibel,
dan mudah dilakukan perubahan atau modifikasi), secara sosial dan budaya diterima (memenuhi kebutuhan

360
masyarakat, padat karya tenaga lokal, meningkatkan kualitas tenaga kerja lokal, secara estetis memadai),
secara lingkungan, layak (mencegah polusi, tidak menimbulkan gangguan ekologis, melestarikan lingkungan,
ekonomis menggunakan sumberdaya tidak terbarukan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan), secara
ekonomis viable (efektif biaya, biaya rendah, layak pendanaan, mendorong industri lokal, menggunakan
bahan baku lokal, hemat energi).
GKD di Jawa Timur merupakan contoh kegiatan memacu pembangunan desa melalui pemantapan
perekonomian desa, menciptakan pasar desa, penerapan teknologi perdesaan, dan pengembangan industri
perdesaan. Melalui GKD, akan ditemukan produk unggulan yang diolah dan dipasarkan pada skala lokal,
wilayah regional, nasional, dan bahkan internasional. Dengan tumbuhnya kegiatan ekonomi di perdesaan,
maka niat masyarakat untuk migrasi dari desa ke kota menurun dan dengan demikian urbanisasi bisa
ditahan.
Jawa Timur dan propinsi lainnya di Indonesia perlu banyak belajar dari pengalaman Oita Prefecture
dekat Fukuoka Jepang dalam menerapkan program One Village, One Product. Program ini diperkenalkan di
Oita tahun 1979. Ide pasar adalah perubahan lokal tetapi global, tidak tergantung pada pihak lain dan mandiri,
kreatif, dan ide orisinil membantu masyarakat untuk membangun komunitasnya. Program ini mempromosikan
produk pertanian, industri, pariwisata dan sektor pembangunan lainnya, termasuk budaya dan berbagai
kegiatan tahunan.
Oita meningkatkan kepercayaan diri masyarakatnya dalam berhubungan orang dengan orang, desa
dengan kota, dan kota dengan luar negeri. Penduduk, kota dan negara mempertukarkan ide. Kontak ini
membawa keberhasilan dalam bentuk peningkatan pendapatan masyarakat perdesaan. Setiap orang harus
menyadari pentingnya hubungan bisnis desa dengan pihak luar, melalui motto membawa spirit desa ke kota
(bringing the spirit of the village into the city).
Jayakarta, 5 September 1997

Pemberdayaan Waserda-KSU di DKI Jakarta

Waserda-KSU (Warung Serba Ada - Koperasi Serba Usaha) sebagai Unit Usaha yang dimiliki warga
Kelurahan mempunyai fungsi dan peranan panting dalam menciptakan ketahanan ekonomi Kelurahan dan
ketahanan ekonomi Jakarta pada umumnya. Perkembangan dan pertumbuhan Waserda-KSU di DKI Jakarta
dirasakan masih lambat. Penyebabnya ada empat faktor, yaitu belum terlibatnya warga elit kota dalam
Waserda-KSU, masih lemahnya manajemen Waserda-KSU, masih lemahnya kemitraan Waserda-KSU
dengan para Distributor dan belum efektifnya peranan Badan Pembimbing dan Pelindung KSU.
Untuk menumbuhkembangkan Waserda-KSU perlu dilakukan upaya terpadu baik oleh Warga Kelurahan,
para Pengusaha dan Pemerintah, yang disusun dalam suatu program terpadu yang disebut Program
Pemberdayaan Waserda-KSU. Berdasarkan kondisi tersebut, Gubernur DKI Jakarta menetapkan Keputusan
Gubernur KDKI Jakarta Nomor 1462 tahun 1996 tanggal 15 Oktober 1996 tentang Pedoman Pemberdayaan
Warung Serba Ada (Waserda) Koperasi Serba Usaha (KSU) di Wilayah DKI Jakarta.
Keputusan Gubernur ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan di Daerah, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah
Khusus lbukota Negara Republik Indonesia Jakarta, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha
Kecil, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan lnstansi Vertikal di Daerah
(serta lnmendagri Nomor 18 Tahun 1989 tentang Petunjuk Pelaksanaannya), lnstruksi Presiden Nomor 4
tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan, Kepmenkop
dan PPK Nomor 63/Kep/IV/1994 tentang Pembinaan dan Pengembangan Koperasi dan Pengusaha Kecil
dalam Repelita VI, Kepmendagri Nomor 13 tahun 1994 tentang Sepuluh Sukses, Perda DKI Jakarta Nomor

361
10 Tahun 1993 tentang Pol a Dasar Pembangunan Daerah DKI Jakarta tahun 1994/1995·1998/1999, Kepgub
KDKI Jakarta Nomor 444 Tahun 1985 tentang Pedoman Kerja Badan Pembimbing dan Pelindung Koperasi
Serba Usaha (BPP-KSU) di DKI Jakarta dan lnstruksi Gubernur KDKI Jakarta Nomor 159 Tahun 1996
tanggal 6 Mei 1996 tenta[1g Pembentukan Warung Serba Ada di Lingkungan Rukun Warga (RW). Keputusan
Gubernur KDKI Jakarta ini juga memperhatikan Surat Menkop dan PPK Nomor 179/M/IX/1994 tanggal 30
September 1994 perihal Koordinasi Pelaksanaan Pembinaan dan Pengembangan Koperasi dan Pengusaha
Kecil dalam Repelita VI di Daerah oleh Gubernur KDH Tingkat I dan lnstruksi Gubernur KDKI Jakarta tanggal
29 September 1995 pada Sambutan Peresmian 11 Gedung Waserda KSU bertempat di KSU Sinar Jaya
Cipinang Jakarta Timur, tentang Perluasan dan Penyebaran Waserda KSU sampai ke tingkat Rukun Warga.

Pemberdayaan Waserda-KSU
Waserda-KSU adalah Warung Serba Ada milik Koperasi Serba Usaha (KSU) yang berdomisili di
Kelurahan. Waserda KSU berfungsi (1) melayani kebutuhan barang primer dan sekunder para anggota dan
warga Kelurahan dan (2) sebagai sub-grosir, sedangkan Waserda milik anggota KSU, baik yang berupa
warung maupun gerobak dorong, berfungsi sebagai pengecer. Waserda-KSU berkedudukan di Kelurahan,
sedangkan Waserda di Kelurahan milik anggota KSU berada di RW dan RT.
KSU adalah badan hukum berbentuk koperasi primer yang berkedudukan di Kelurahan. KSU dapat
melakukan usaha-usaha di bidang perdagangan (Waserda), produksi, jasa dan simpan pinjam. Program
pemberdayaan Waserda-KSU dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan dan memperkuat fungsi dan
peranan Waserda-KSU, dengan melibatkan elit kota dalam kegiatan Waserda-KSU dan meningkatkan
kemitraan antara Waserda-KSU dan para distributor dan pemasok. Ada tiga tujuan program pemberdayaan
Waserda-KSU. Pertama, menciptakan sistem jaringan distribusi barang kebutuhan masyarakat sampai ke
tingkat RW dan RT. Kedua, menciptakan kepedulian aparat dan warga masyarakat untuk memajukan Waserda·
KSU. Ketiga, menciptakan wahana untuk berkomunikasi antara warga dan warga, antara warga dan aparat
Pemerintah, untuk memelihara semangat persatuan dan kesatuan serta suasana paguyuban.
Waserda-KSU dikembangkan dalam satu kesatuan sistem. Antara satu Waserda-KSU dengan Waserda·
KSU lainnya disusun jaringan usaha koperasi. Hubungan antara Waserda-KSU dan para distributor atau
pemasok dibangun dengan semangat kemitraan, saling menguntungkan dan saling memperkuat, sehingga
terjadi sinergi bisnis. Hubungan antara Waserda-KSU dan para pemilik warung dan gerobak dorong disusun
dalam suasana ekonomi kekeluargaan. Pemberdayaan Waserda-KSU dilakukan secara terpadu melalui Tiga
Strategi. Pertama, penggerakan peranserta masyarakat (community based development). Kedua, pembaharuan
manajemen Waserda-KSU. Ketiga, pengembangan pusat distribusi melalui kemitraan.
Dalam memberdayakan Waserda-KSU di wilayahnya pemerintah DKI Jakarta mempunyai empat tugas
pokok. Pertama, memberikan himbauan dorongan dan panutan agar elit kota dan warga Kelurahan menjadi
·anggota KSU, sehingga terkumpul modal untuk membangun Waserda-KSU. Kedua, memberikan bimbingan
dan perlindungan agar Waserda-KSU dapat dikelola secara modern dan profesional, serta disenangi oleh
anggotanya dan warga lainnya. Ketiga, berperan sebagai fasilitator dalam membangun kemitraan dengan
para pemasok atau distributor, sehingga terwujud sinergi bisnis. Keempat, meningkatkan kemampuan aparat
wilayah dan stat teknis untuk memberdayakan Waserda-KSU.
Penggerakan peran serta masyarakat mencakup tiga kegiatan, yaitu mendorong dan menghimbau,
sosialisasi dan membangkitkan semangat. Pemerintah DKI Jakarta (bersama warga Jakarta) mendorong dan
menghimbau elit kota dan kelompok menengah untuk ikut serta dalam Waserda-KSU sehingga mencapai
jumlah yang cukup banyak. Kegiatan ini merupakan kegiatan gerakan masyarakat yang dikenal sebagai
Gerakan Sejuta Anggota Waserda-KSU. Dapat juga dibandingkan dengan Gerakan Sejuta Pohon,
Pembangunan Lahan Sejuta Hektar untuk Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah, Gerakan Pembangkit
Listrik Tenaga Sqrya Sejuta Rumah, Gerakan Orang Tua Asuh, Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan
Membudayakan Kewirausahaan, Gerakan Nasional Perumahan dan Permukiman Sehat, Gerakan Nasional
Desa Cerdas Teknologi, dan barangkali memasuki Repelita VII akan ada Gerakan Nasional Pembangunan
Sejuta Rumah Untuk Keluarga Miskin, Pra Sejahtera dan Sejahtera I.
Sosialisasi Waserda-KSU perlu dilakukan di tingkat Kelurahan bagi aparat dan anggota KSU.

362
Membangkitkan semangat komunitas, dilaksanakan antara lain dengan menyelenggarakan Iomba Waserda-
KSU dan memberikan hadiah atau penghargaan (Social Reward) untuk elit kota yang berjasa memajukan
Waserda-KSU. Pembaharuan manajemen Waserda-KSU mencakup kegiatan analisis profil Waserda-KSU
dan menyusun program pemberdayaan, pelatihan bagi pengurus Waserda-KSU dan menyusun program
pemberdayaan, pelatihan bagi Waserda-KSU dan KSU, standarisasi pembangunan gedung Waserda-KSU
dan standarisasi Logo dan peningkatan organisasi, tata laksana dan modal kerja serta perluasan unit usaha.
Pengembangan pusat distribusi melalui kemitraan dilakukan melalui upaya menciptakan kerjasama
Pemerintah DKI Jakarta dan para distributor dan pemasok untuk mendukung dan melaksanakan program
pemberdayaan Waserda-KSU dalam jangka panjang dan membangun pusat distribusi yang diwakili Waserda-
KSU secara bertahap. Pembinaan Program Waserda-KSU dilakukan oleh BPP-KSU. Gubernur KDKI Jakarta
membentuk Badan Pembimbing dan Pelindung KSU dan BPP-KSU di tingkat Kelurahan, Walikota dan
Propinsi masing-masing diketuai oleh Kepala Kelurahan, Walikotamadya dan Gubernur. Pertanyaan muncul,
bagaimana fungsi Camat dalam mendukung kelancaran tugas Badan Pembimbing dan Pelindung? Anggota
BPP-KSU adalah para elit kota di masing-masing tingkat wilayah.
Gubernur KDKI Jakarta membentuk Kelompok Kerja (Pokja) yang tugasnya mengkoordinasikan dan
mengendalikan Program Pemberdayaan Waserda-KSU sampai dengan BPP-KSU mampu berfungsi dan
mandiri. Penanggungjawab Program adalah Wakil Gubernur Bidang Ekonomi dan Pembangunan, sedangkan
sub-program dikoordinasikan oleh para Asisten Sekwilda dan Kakanwil Koperasi. lni mencakup Sub-Program
Penggerakan Masyarakat (dikoordinasikan oleh Asisten Tatapraja), Sub-Program Pembaharuan Manajemen
Waserda-KSU (dikoordinasikan oleh Kakanwil Koperasi dan PKK), dan Sub-Program Distribusi dan Kemitraan
(dikoordinasikan oleh Asisten Administrasi Pembangunan). Sekretariat Pokja Program dilakukan oleh Bappeda
(Tingkat I danTingkat 11/Wilayah Kota) dan Kantor Pembangunan Masyarakat Desa.
Di Tingkat Kotamadya, Walikotamadya membentuk Pokja yang melibatkan antara lain Asko dan
Bagian Perekonomian Kotamadya, Bappekotamadya, PMD Kotamadya, Kakandep Koperasi dan PPK, dan
Kecamatan. Para Walikotamadya menyampaikan laporan kepada Gubernur KDKI Jakarta setiap bulan,
tentang kemajuan dan hasil-hasil pemberdayaan Waserda-KSU. Sebelum Waserda-KSU mampu memiliki
sendiri gedung, maka Pemerintah DKI Jakarta dapat meminjamkan assetnya atas dasar ikatan pinjam atau
sewa menyewa dalam waktu terbatas.
Pembiayaan para Pengusaha dan Waserda-KSU dilakukan bersama oleh Pemerintah DKI Jakarta,
para Pengusaha dan Waserda-KSU sendiri. Pernbiayaan pembangunan Waserda-KSU dilakukan dari modal
KSU sendiri, dan simpanan sukarela dan penyertaan modal para anggotanya, khususnya anggota elit kota,
dari pinjaman lunak yang diberikan oleh para pengusaha dan perusahaan ventura capital, dan dari dana program
sosial kemasyarakatan yang disinkrokan dengan program pemberdayaan Waserda-KSU, misalnya dana lOT
(lnpres 5 Tahun 1993), MHT Ill, Takesra/Kukesra (lnpres 3 Tahun 1996), Hari Kesetiakawanan Sosial
Nasional (HKSN) dan UEP.
Memacu Waserda-KSU
Gubernur KDKI Jakarta bersama jajarannya terus-menerus berusaha memacu pembangunan pembinaan
dan pengembangan Waserda-KSU di DKI Jakarta. Brosur-brosur dan informasi Waserda-KSU disebarluaskan
dan masyarakat DKI Jakarta dihimbau untuk berpartisipasi dan berperan serta aktif dalam
menumbuhkembangkan Waserda-KSU.
Gubernur KDKI Jakarta, Surjadi Soedirdja berusaha memasyarakatkan Waserda-KSU, antara lain
melalui pembuatan brosur dan pengiriman blanko keanggotaan. Kenalilah dan Cintailah Komunitas Anda!
Anda warga Jakarta, dibutuhkan untuk membangun Komunitas Anda! Maju bersama Waserda-KSU. Waserda-
KSU: Jalan Untuk Maju Bersama. Bergabunglah dan Nikmati Keuntungannya. Demikian ajakan dan anjuran
kepada warga Jakarta untuk bersama-sama membangun Waserda-KSU.
Bila anda termasuk warga Jakarta yang terkemuka berpendidikan, maju, sukses dan cukup.berpengaruh,
jadilah pelopor pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di lingkungan anda. Komunitas
anda perlu keteladanan dan uluran tangan anda supaya menjadi komunitas yang aman, tenteram, sejahtera
dan akrab.

363
Perekonomian Jakarta tumbuh dan berkembang dengan amat pesat. Pembangunan berlangsung di
seluruh pelosok kota. Gedung pencakar langit bertebaran mempercantik wajah ibukota.
Kota megapolitan Jakarta merupakan gelar yang sudah sewajarnya disandang Jakarta. Jakarta telah
makin maju dan semarak, serta makin penuh dengan pusat perdagangan, pertokoan, mal, hotel dan berbagai
sarana lain yang canggih dan modern. Fasilitas ini meningkatkan gengsi dan citra kota serta dimanfaatkan
dan dinikmati oleh sebagian warga Jakarta.
Jumlah penduduknya terus meningkat, tetapi tidak semua warga kota Jakarta menikmati hasil-hasil
pembangunan kota Jakarta. Masih banyak penduduk Jakarta yang belum dapat menikmati sarana dan
prasarana kota yang serba mewah ini.
Mereka harus bekerja keras untuk mendapatkan uang yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya dan pendidikan dasar anak-anaknya. Sebagian lagi bahkan masih belum mempunyai kesempatan
bekerja dan lapangan usaha tetap. Keadaan yang tidak seimbang ini dapat menciptakan kesenjangan sosial
yang pada gilirannya akan menghambat kemajuan kita bersama. Ketertinggalan menuntut upaya untuk maju
bersama.
Untuk menghindari maka sebagai salah satu atau seorang tokoh masyarakat atau terkemuka di
lingkungan anda, bantulah komunitas Anda untuk dapat maju meningkatkan kesejahteraan. Dengan demikian
anda akan menjadi pelopor pembangunan dan pelaku ekonomi yang turut menciptakan keberhasilan,
keamanan dan kemajuan komunitas Anda.
Jakarta akan bertambah indah, aman dan nyaman .bila warganya punya semangat kebersamaan
komunitas yang tinggi dan saling membantu mengatasi berbagai permasalahan. Warga yang mampu dan
berkecukupan harus membantu meningkatkan keberdayaan warga yang lain, untuk mengatasi kesenjangan
ekonomi dan memupuk solidaritas sosial. Pada akhirnya suasana harmonis dan semangat kebersamaan ini
dapat meningkatkan produktivitas semua pihak.
Jakarta akan menghadapi tantangan ekonomi global dan arus perdagangan dan investasi luar negeri
yang tak terbendung di abad 21. Gejolak sosial dan ekonomi serta dinamika masyarakat di masa mendatang
harus dihadapi dengan kesiapan matang.
Masalah yang dihadapi Jakarta, tidak bisa diselesaikan oleh Pemerintah saja, tetap harus diatasi
bersama oleh warganya secara bersama-sama. Bila warga Jakarta mempunyai semangat gotong-royong dan
mempunyai solidaritas komunitas yang tinggi. Jakarta akan mampu mengatasi berbagai gelombang dan
dinamika kemajuan zaman yang seperti apapun, dan warga Jakarta akan senantiasa berhasil mengatasi
kesulitan komunitasnya secara mandiri.
Untuk itu Jakarta perlu banyak penggerak yang mempunyai kecintaan komunitas, kemampuan
ekonomi dan jiwa kepeloporan. Anda adalah salah satu penggerak tersebut. Untuk menjawab tantangan arus
globalisasi memasuki abad 21. Jakarta memiliki dua potensi ekonomi, yaitu anda dan Waserda-KSU.
KSU adalah badan usaha milik masyarakat yang beranggotakan warga kelurahan dengan melandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi, berazas kekeluargaan. Permodalan KSU diperoleh dari simpanan
pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela anggota serta modal hibah dan pinjaman. Unit Usaha KSU
terdiri atas Waserda, Simpan Pinjam, Jasa dan Produksi.
Waserda-KSU adalah Warung Serba Ada untuk Koperasi Serba Usaha yang ada di setiap komunitas
anda, yang bergerak di bidang pedagang eceran dan sub-grosir dalam rangka menyediakan kebutuhan
primer dan sekunder dan atau kebutuhan lain yang dibutuhkan oleh anggota Waserda-KSU dalam unit usaha
Warung Serba Ada.
Waserda-KSU bukan hanya berfungsi sebagai tempat pemenuhan hasil produk masyarakat sekitarnya.
Anda dan Waserda-KSU adalah kunci kekuatan ekonomi ibukota Jakarta menghadapi abad 21.
Banyak keuntungan yang Anda peroleh dari keanggotaan Waserda-KSU. Pertama, pelayanan dan mutu
barang yang memuaskan. Waserda-KSU memberikan pelayanan dan menyediakan barang kebutuhan
rumahtangga bermutu dengan harga murah dan terjamin. Kedua, lokasi Waserda-KSU mudah dijangkau, karena

364
berada di lingkungan sekitar rumah warga (Waserda-KSU didirikan di setiap kelurahan diseluruh wilayah DKI
Jakarta). Ketiga, potongan harga bagi setiap anggota KSU untuk semua produk yang ditawarkan. Keempat,
setiap anggota KSU berhak mendapatkan pelayanan simpan pinjam dengan bunga rendah dan mudah
prosedurnya. Kelima, setiap tahun anggota KSU berhak mendapatkan Sisa Hasil Usaha (SHU). Semakin
banyak belanja di Waserda-KSU semakin besar SHU yang diperoleh.
Persyaratan menjadi anggota KSU adalah warga Jakarta yang memiliki KTP DKI, mengajukan
permohonan keanggotaan KSU, membayar simpanan pokok dan simpanan wajib (dan membayar simpanan
sukarela) dengan nilai nominal yang telah ditentukan, dan sanggup melaksanakan hak dan kewajiban
sebagai anggota KSU. Hak dan Kewajiban anggota KSU meliputi: mematuhi dan melaksanakan AD-ART dan
Keputusan Rapat Anggota, aktif dalam kegiatan yang dilaksanakan, menghadiri dan menyatakan pendapat
serta memberikan suara dalam rapat anggota, memilih dan atau dipilih menjadi pengurus atau pengawas,
meminta diadakan rapat anggota sesuai dengan AD-ART, serta memanfaatkan dan mendapatkan pelayanan
yang sama. Anggota adalah pemilik sekaligus pelanggan.
Peresmian "Gerakan Sejuta Anggota KSU dan Gelar Logo Waserda-KSU" dilakukan di Jakarta pada
tanggal 29 Januari 1997. Pada saat ini jumlah anggotanya baru mencapai 47.583 sehingga belum
memperlihatkan kekuatan ekonomi yang nyata untuk dapat menjadi kekuatan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi di Jakarta telah memperlihatkan kemajuan nyata. Peranan sektor swasta sangat menonjol,
sedangkan sektor koperasi masih ketinggalan. Koperasi di komunitas Anda juga masih ketinggalan. Pada 265
Kelurahan yang ada di Jakarta terdapat 269 Unit Koperasi Serba Usaha. Sayangnya jumlah anggotanya
hanya 47.583, sehingga sangat sulit dikembangkan menjadi pusat gerakan masyarakat. Maka langkah
pertama untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam membangun ekonomi Jakarta adalah dengan
memberdayakan koperasi serba usaha yang ada di kelurahan-kelurahan. Caranya adalah dengan meningkatkan
jumlah anggotanya meningkatkan profesionalisme pengelolaan dan meningkatkan kepedulian komunitas di
Kelurahan seluruh wilayah Jakarta.
Upaya memberdayakan Waserda-KSU di ibukota DKI Jakarta kini dilakukan secara all out oleh
Pemerintah DKI Jakarta, dalam upaya memperkokoh ekonomi kelurahan Jakarta. Kemajuan Waserda-KSU di
Jakarta diyakini akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sekaligus perekonomian tingkat
kelurahan makin kokoh. Ketua Bappeda DKI Jakarta, Budihardjo Soeksmadi menegaskan, Pemerintah DKI
Jakarta sangat serius mengembangkan Waserda-KSU.
Jayakarta, 11 September 1997

Petunjuk Bagi Calon Penulis llmiah Populer

Menjadi penulis ilmiah populer sebenarnya mudah. Pekerjaannya hanya mengumpulkan, menyusun
bahan, membaca, mengerti, menceritakan dan mengedit. Bahkan menulis ilmiah populer lebih gampang
ketimbang menulis ilmiah murni. Mengapa? Karena sifatnya hanya mengubah ilmiah murni agar bisa
dimengerti khalayak. Tampak di sini, posisi ilmiah murni sebagai hulu dan ilmiah populer sebagai hilirnya.
Menulis ilmiah populer di koran harus bisa mengajak pembaca untuk memperhatikan dan membaca
tulisan tersebut. Selain memberikan informasi, tulisan di koran harus berisi interpretasi, promosi, menghibur
dan membangkitkan minat pembaca atas isi tulisan.

Sepuluh Casar
Carl Geuller dalam bukunya How to Communicate (dikutip oleh Umar Hasan Basri, Harian Neraca, 1988),
merumuskan 10 dasar yang perlu diikuti oleh penulis, yaitu (1) adanya bah an untuk diceritakan, (2) mengetahui
siapa yang akan menjadi pembaca, (3) mempelajari penerbit, (4) membuat outline/planning, (5) merencanakan

365
lead yang afdol, terkuat pengaruhnya, (6) menentukan bidang yang akan diliput, (7) menyiapkan ilustrasi,
contoh, anekdot, foto, grafik, karikatur, dan lain-lain, (8) mengusahakan penuturan conversational dan intelektual,
(9) aline a penting, dan (1 0) editing yang seksama. Sepuluh dasar patokan penulis diuraikan sebagai berikut.
Pertama, harus ada bahan untuk diceritakan. Gunakan metoda gunung es dalam menulis, yaitu : dari 100
materi hanya 10 saja yang dimunculkan ke permukaan. Jadi, tulislah apa yang perlu saja. Jangan serakah
untuk menuliskan segalanya sehingga tidak karuan isinya.
Kedua, siapa pembacanya? Tiap tulisan mempunyai audiensinya sendiri-sendiri. Tulisan untuk rakyat
umum akan lain dengan untuk kelompok intelektual tinggi. Tingkat intelektual pembaca akan menentukan
pula tingkat readibilitas tulisannya. Dengan mengetahui budaya dan kebutuhan pembaca yang jadi sasaran,
pendekatan penulis akan lebih tepat. Ketiga, mengenal penerbitan. Tiap media massa, koran dan majalah
mempunyai kebutuhan sendiri dalam usahanya melayani kepentingan pembaca secara eksklusif. Kompas,
Suara Pembaruan, Republika, Media Indonesia, Angkatan Bersenjata, Bisnis Indonesia, Neraca, Merdeka,
Tempo, Editor, Kartini, Pos Kota dan Jayakarta, masing-masing mempunyai ciri tulisan. Tetapi secara umum,
tulisan yang aktual dan memenuhi syarat, akan Welcome di setiap media publikasi.
Keempat, membuat outline. Untuk tulisan sepanjang 4-8 halaman folio atau kuarto ketik dua spasi,
isinya perlu dibagi-bagi atas heading dan sub-heading, pembuka, isi dan penutup. Menulis, seperti juga yang
dilakukan pedagang kakilima yang harus mengatur barang dagangannya, cara penyimpanan, tempat
penyimpanan, dan bagaimana menjajakan dagangan. Kelima, menulis lead. menurut Peter Farago dalam
bukunya Science and the Media, suatu lead harus memuaskan selera intelektual dan emosional pembaca,
terhindar dari menjemukan. Leads harus mendorong minat pembaca. Paradigma penulisan popular harus
cukup readable, understandable, simpati, persuasif hingga kemajuan ilmu mendapat perspektif yang layak di
mata pembaca. Kalau bisa, lead hendaknya semudah, seindah dan senikmat membaca tulisan novel romantis.
William Zinser dalam bukunya On Writing Well: An Informal Guide to Writing Nonfiction, menyarankan
lima metoda penulisan lead, yaitu (1) pilihlah fakta yang paling menarik yang bisa dilihat secara visual oleh
pembaca, (2) gunakan pengalaman pribadi Anda, (3) jalinlah cerita ilmiah di seputar seseorang lain, (4)
hubungkan fakta ilmiah tak popular dengan fakta popular, hingga ilmiah tidak populer itu berkesan popular di
mata pembaca, dan (5) menulis sebagai orang non-ilmiah. PWI menegaskan pentingnya fakta yang paling
menarik, mencolok, paling bernilai.
Sebaliknya Carl Gueller menyarankan ABC, yaitu accuracy (terjamin kebenarannya), brevity (singkat dan
padat), dan clarity Uelas dan jernih). Sejalan dengan itu lima hal perlu diperhatikan, yaitu timelines (bertepatan
waktu), proximity (dekatnya dengan peristiwa), prominence (akibat berita bagi pembaca), dan human interest
(kebutuhan visual manusia). Subagyo dalam Sinar Harapan (1970) mendefinisikan be rita yang bernilai adalah
berita yang memenuhi kebutuhan dan selera masyarakat terbanyak. Berita itu harus beraspek future oriented
yang bermanfaat bagi pembaca. Tanpa ini koran tak akan mendapat banyak pembaca dan ia akan bangkrut.
Keenam, menentukan bidang-bidang liputan. Bidang apapun yang akan diliput, harus memperhatikan
data masa lampau, masa kini dan perkiraan yang akan datang. Bahan bisa diperoleh dari survai, interviu
kepada para ahli, majalah, publikasi, koran, dan sumber-sumber lainnya. Data yang digunakan hanyalah yang
secara langsung menunjang lead tulisan Anda. Ketujuh, menyediakan contoh dan ilustrasi. Untuk tulisan
ilmiah populer non-opini, ilustrasi berupa toto, grafik atau kartun amat dibutuhkan. Untuk tulisan beropini, tidak
harus menggunakan toto. Alternatif pengganti toto, misalnya penyajian tabel atau grafik.
Kedelapan, menulis dengan teknik percakapan. Menulis dengan teknik percakapan (conversational)
umumnya dilakukan penulis yang menggunakan metoda narrative yang menceritakan peristiwa menu rut urutan
kejadiannya. Dr. Rudolf Flesch memberikan 12 resep bahasa informasi, yaitu (1) gunakan kata saya di mana
mungkin, (2) sebutlah nama-nama, tanggal dan tempat, rinci, ilustrasi dan kutip beberapa kasus, (3) gunakan
kalimat pendek, (4) garisbawahi atau cetak tebal kata panting, (5) gunakan angka agar singkat, (6) hindari
penggunaan kama yang berlebihan, (7) gunakan tandatanya atau tandaseru, (8) gunakan tanda kurung untuk
persamaan arti, (9) gunakan singkatan kata, (1 0) gunakan sebanyak mungkin dialog, (11) gunakan alinea
singkat, dan (12) gunakan simbol seperti $ dan %.
Kesembilan, alinea penutup yang berimpresi dominan. Kalimat penutup hendaknya berkesan kuat dan

366
lama, didukung data yang akurat. Sebagai calon penulis jempolan, lebih baik Anda melatih diri dalam bentuk
analisis yang akurat diakhiri penutup yang tepat. Kesepuluh, editing yang seksama. Editing perlu dilakukan
agar tulisan readable, more accurately, greater brevity, dan clearer, serta lebih informal dan conversational.
Editing sifatnya mencari kesalahan, membetulkan, memotong, menambah, membegal kalimat atau alinea
yang terlalu panjang, menerjemahkan kata asing agar mudah dimengerti oleh orang awam. Tulisan harus
. ringkas, padat, ekonomis, dan mudah dimengerti.
Dalam dunia penulisan dikenal adanya unique sophisticated journalism (USJ). Untuk menciptakan tulisan
bermutu, diperlukan 6 persyaratan, yaitu (1) bebas kejahatan atau cacat (zero defect), (2) ketepatan memilih
bentuk tulisan yang sesuai dengan sasaran dan materi (analisis atau feature), (3) berbobot emas dan
komprehensif didukung data mutakhir, andal dan lengkap, (4) organisasi dan sistematika penulisan teratur,
(5) bahasanya mudah dimengerti (readibilitas), dan (6) berunsur seni atau estetis.
Tulisan yang banyak cacatnya adalah tulisan yang (1) panjang Iebar tetapi hampa, (2) gagah-gagahan,
berlagak sok pintar dengan banyaknya kata-kata asing tetapi sulit dimengerti, (3) tulisan meinbuta tuli tanpa
memperhatikan sasaran pembaca, (4) gaya bahasa kedodoran, menjemukan, jauh dari gaya yang lincah
sesuai dengan percakapan sehari-hari, (5) kurang memperhatikan kondisi lingkungan, dan (6) tersebarnya
pemikiran negatif yang meracuni pembaca.
Agar tulisan cukup efektif dan bermanfaat bagi pembaca, maka tulisan haruslah (1) mampu
membangkitkan semangat pembaca, (2) gaya bahasa segar, lincah, singkat, dan padat, (3) jelas urutan
masalah dan pemecahannya, (4) jangan menulis yang tidak perlu ditulis, (5) tulisan harus ringkas, (6) kalimat
harus pendek, dan (7) sebelum tulisan dikirim ke media massa, hendaknya dikoreksi 4-5 kali dan diskusikan
dengan teman terdekat.

Bentuk Tulisan
Tulisan bisa berbentuk spot/straight news, hardnews, depthnews, atau comprehensive. Ada 6 teknik
tulisan feature, yaitu teknik narasi (disusun berdasarkan urutan peristiwa), deskripsi (melukiskan peristiwa
dengan fakta), dialog (materi diuntaikan dengan tanya jawab), interior monolog (si pelaku berbicara sendiri
tentang apa yang dialaminya), teknik berdasarkan kesan orang lain, dan teknis aksi (menceritakan sebanyak
mungkin aksi seseorang dalam suatu peristiwa yang diliputi.
Dalam membuat lead feature itu sendiri, dikenal adanya the summary lead (sama dengan bentuk lead
ilmiah murni, hipotesa atau premise), the narrative lead (berdasarkan urutan peristiwa), the descriptive lead
(melukiskan peristiwa), the quotation lead (dimulai dengan kalimat kutipan), the question lead (dimulai dengan
kalimat tanya), the direct address lead (langsung menyapa pembaca), the teaser lead (sinis, mengejek dan
bergurau), the freak lead (menampilkan hal aneh, ajaib atau ganjil), dan the combination lead (gabungan dari
semua lead tersebut). Penutup tulisan bisa berbentuk the summary ending (ringkasan), the stinger (diakhiri tiba-
tiba secara mengejutkan), the climax (klimaks), dan the un-ending (masalah yang perlu dijawab).

Saran Menjadi Penulis


Pembaca koran umumnya orang sibuk, sebab itu penulisan harus singkat, mudah dan enak dibaca
serta menarik. Sepuluh persen perlu diperhatikan untuk menjadi penulis yang baik, yaitu : (1) Manfaatkanlah
kata sandang, depan dan kata penghubung untuk memudahkan pembaca membaca cepat, (2) Gunakan kata
ganti nama, mengganti kata benda. Contohnya: Peristiwa Bintaro yang mengerikan .... dig anti dengan ....
Musibah itu ...... , (3) Jangan menggunakan kata berulang. Contoh: hasil operasi dan biaya operasi ... ditulis
... hasil dan biaya operasi, (4) Gunakan kata kerja, Contoh: kita harus melaksanakan perjuangan mati-matian
... ditulis ... kita harus berjuang mati-matian, (5) Gunakan singkatan. Contoh: ABRI, Mendikbud, Golkar,
Menristek, (6) Gunakan nama singkat. Contoh: Emil, bukan Prof. Dr. Emil Salim (7) Gunakan angka, simbol
dan singkatan, (8) Manfaatkan penggunaan tanda baca seperti koma, kurung, tanda kutip, seperlunya, (9)
Potong kata-kata yang tidak perlu. Hindari repetisi penggunaan kata, dan (1 0) Utamakan penggunaan bentuk
aktif ketimbang pasif.
Setelah tulisan selesai, lalukanlah editing seteliti dan seksama mungkin. Dengan mengikuti saran
tersebut, hasilnya akan banyak menolong Anda untuk bisa menulis secara cepat, tepat dan memenuhi syarat.

367
Bagi calon penulis yang masih berstatus pemula, jangan malu-malu untuk konsultasi pada yang sudah
menjadi penulis. Setelah bisa menulis, selalu ingin menulis, seperti air mengalir.
Demikianlah petunjuk singkat ini. Siapa saja yang mau dan ingin menulis, menulis itu tidak sukar.
Bahkan sangat mudah. Yang penting, mulailah praktek. Tulislah apa yang ingin ditulis. Baca kembali,
perbaiki, dan benahi kelemahannya. Lama kelamaan Anda akan bisa menulis. Latihan, latihanlah secukupnya
bila Anda ingin menjadi penulis. Praktek, praktek dan praktek terus. Untuk menjawab pertanyaan How to Write?
Carl Gueller menjawab, Write, write, and write anything.
Jayakarta, 3 Nopember 1993

368
Benang Merah Upaya Pengentasan Kemiskinan
Dimulai dengan langkah Presiden Soeharto memanggil empatbelas Menteri untuk mengentaskan
kemiskinan, momentum ini makin lama makin kuat gaungnya dan melibatkan pemerintah, swasta dan
masyarakat serta lembaga swadaya masyarakat dalam memerangi kemiskinan. Dimulai dengan pernyataan
27,2 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan (Mubyarto, 1993), disusul saran Nasikun
(1993) untuk meredefinisikan kemiskinan, dan Adi Sasono yang melihat persoalan kemiskinan dalam
perspektif peningkatan keunggulan kompetitif.
Pembahasan masalah kemiskinan terus bergulir. Majelis Ulama Indonesia (MUI) bekerjasama dengan
Universitas Mereu Buana dan Pusat Pengembangan Pedesaan dan Kawasan Universitas Gadjah Mada telah
menyelenggarakan Seminar Peningkatan Kesejahteraan Umat Melalui Pemberantasan Kemiskinan di Jakarta,
18-20 Juni 1993. Padatnya materi yang dibahas dalam seminar ini mendorong penulis untuk menyajikan ke
dalam rangkaian benang merah upaya pengentasan kemiskinan. Makalah inti Mubyarto m·enekankan adanya
peluang dan tantangan pengembangan ekonomi umat dan mengingatkan bahwa kail bagi si miskin adalah
pekerjaan yang kontinu, sedangkan Loekman Soetrisno mengajak semua orang untuk memahami kemiskinan
dan orang miskin di Indonesia. Makalah penunjang membahas upaya mengentaskan kemiskinan umat
(Sjamsoe'oed Sadjad) dan faktor-faktor penyebab kemiskinan serta penanggulangannya melalui transmigrasi
(Tarso Djojoprapto).
Makalah inti tersebut didukung profil desa miskin dan orang miskin. Profil Desa Miskin ditunjukkan
melalui hasil berbagai penelitian di Jlagran, kampung miskin di perkotaan (Wiwik Widyastuti), Kahelaan,
sebuah desa miskin- di kaki pegunungan Meratus (Yuli Nugroho), desa transmigrasi Bumi Asih di Kalimantan
Selatan (Agnes Mawarni), kelurahan baru, potret sebuah desa pinggiran. (Kus Dwiwahyuni), profil desa
Neglasari (Susapto), profil sebuah dusun perkebunan Cipedes (Winahyu dan Yulius), profil permukiman
kumuh di Kelurahan Kebon Melati Jakarta Pusat (Endah Pratiwi dan lsmaryati), Glinggangan, profil desa
pegunungan yang miskin (Shanta Curanggana), Worawari, desa perbukitan yang terisolasi (San Afri Awang),
Angkatan Lor, sebuah profil desa lahan kering (Putu Sudira), serta profil desa dan penduduk miskin di
Kalimantan Barat (Edhie Jatmiko).
Profil orang miskin diperlihatkan oleh Sulistyo dan Sri Rejeki (Walimun, kisah nelayan miskin),
Syahbudin Latief (sampai mati tidak mengenal sugih), Sylvia lsmawan (keluarga Ujuk, kemiskinan yang tidak
kentara), Shinta Herindastri (keluarga Miing bertahan di tengah modernisasi), Otok Pamuji (mencoba
bertahan dalam kekurangan), Kus Dwi Wahyuni (Suyadi buruh bangunan yang ulet), Dallan Daniel Sulekale
(ldeng, darki petani menjadi pemulung), Yulius (Ppak Etcek, korban kemiskinan struktur), Dewi Linggasari
(keluarga tukang sampah), Endah Pratiwi (Suleman, gerobak mandiri), dan Retno Winahyu (Pak Endang
profil buruh tebu yang kehilangan harapan).
Selanjutnya lsmaryati memperlihatkan kajiannya tentang Hermanto si ulet yang gagal, Bambang
Ertanto menceritakan pengalaman lyus dan Haryono yang semangat dalam kemiskinan, Shanta Curanggana
(Parmin, petani miskin tanpa pengalaman merantau), Mutiah Amini (kisah hidup keluarga Rakiban, buruh tani
di sawah tadah hujan), San Afri Awang (sudah berusaha namun tetap miskin dan mengapa nelayan menjadi
miskin), Sri Haryati Mubyarto (liku-liku perjalanan hidup Halimah ke pemukiman kumuh di Jakarta), Ita
Setiawai (Wang Tian Xi, profil seorang buruh Gina), Santiasih (nasib seorang buruh tani, kasus di dusun
miskin dalam perkebunan jeruk), Syahbudin Latief (kisah keluarga pak Diro, seorang transmigran pecahan
kepala keluarga), dan Edhie Djatmiko (Petrus, profil penduduk desa miskin di Kalimantan Barat).
Para ahli tidak ketinggalan memberikan tanggapan terhadap makalah yang disajikan. Johan Silas,
pakar perumahan dan permukiman dari Surabaya mengupas masalah kemiskinan dari pengalaman lima
kasus di Surabaya, disusul identifikasi pengembangan desa miskin dalam rangka pengentasan kemiskinan
(Mochtaram Karyudi, Planologi ITB), masalah kemiskinan (Sayogyo, IPB), kail bagi si miskin (Sarif Alqadrie),
perilaku menyimpang dan budaya kemiskinan (Ronny Nitibaskara), jembatan dalam upaya mengentas
kemiskinan (Totoh Abdul Fatah), penanganan usaha kecil sebagai bagian dari penanggulangan kemiskinan

369
(Rijanto Sastroatmodjo), tanggapan terhadap desa miskin dan orang miskin serta konsep sosial budaya
masyarakat dalam konteks lingkungan hidup dan pengentasan kemiskinan (Mattulada), dan tanggapan
terhadap makalah inti (Pulungan).

Kemiskinan
Mubyarto menyatakan bahwa mengurus orang miskin jauh lebih rumit dibandingkan mengurus orang
kaya dan berpendidikan. Penjajahan menyebabkan munculnya perilaku masyarakat perdesaan yang dikenal
sebagai involusi yang tampak sebagai sifat pribumi yang statis, malas, dan tidak ingin maju. Usaha kecil dan
menengah di Indonesia, perekonomian rakyat, telah menjadi sektor yang tahan bantingan dalam berhadapan
dengan ekonomi modern yang kapitalistik. Orde Baru memberi peluang untuk maju karena berkembangnya
kebebasan ekonomi pasar, namun dalam perkembangannya dipaksa berlomba, sehingga banyak diantaranya
yang hancur berantakan.
Mubyarto juga menegaskan bahwa di perkotaan ada dua kelompok warga yang miskin dikenal melarat,
sedangkan warga miskin penduduk asli memiliki rumah yang lumayan tetapi tidak terjamin kebutuhan dasar
hidupnya. Diperlukan gerakan moral bangsa, yaitu tindakan serentak seluruh masyarakat menuju kemajuan
kehidupan ekonomi dan sosial bangsa didasarkan Pancasila.
Orang miskin menurut Loekman Soetrisno mudah dikenal, dari rumah yang reot dan terbuat dari bahan
bangunan bermutu rendah, perlengkapan sangat minim, tidak memiliki MCK sendiri, dan pendapatannya tidak
menentu dan dalam jumlah yang tidak memadai. Kemiskinan sejalan dengan ketidakberuntungan, kondisi
fisik yang lemah, kerentanan, keterisolasian, dan ketidakberdayaan (Chambers, 1983). Keluarga miskin
kesrakat perlu dibantu dengan beras dan sekadar uang untuk menolong mereka agar dapat hidup lebih
manusiawi, sedangkan terhadap orang miskin potensial, perlu disediakan kail, seperti terhadap pedagang
kakilima, pedagang eceran, pemulung dan sejenisnya, untuk diangkat ke tingkat hidup yang lebih tinggi.
Sjamsoe'oed Sadjad membedakan dengan tegas melarat dan miskin. Melarat, apabila kehidupan sesat
(a certain moment of period of time) kurang memenuhi kebutuhan wajar, sedangkan miskin apabila melarat
itu berlarut-larut dan tidak mempunyai harapan untuk masa depan dengan kehidupan wajar. Pemulung dan
abang becak tergolong miskin meskipun tidak melarat, karena punya rumah, pekerjaan, tetapi tidak
mempunyai masa depan yang cerah. Sebaliknya, sarjana dapat melarat tetapi tidak miskin.
Sangat menarik pernyataan Sjamsoe'oed Sadjad seperti berikut : GBHN mengamanatkan kita untuk
memerangi kemiskinan. Dengan upaya mengentaskan umat dari kemiskinan, akan mengurangi dengan
sendirinya kemelaratan. Sebaliknya, kurang tepat apabila upaya mengentaskan umat dari kemiskinan hanya
dilakukan pada pengurangan kemelaratan semata. Dengan perkataan lain, mengurangi kemelaratan belum
tentu akan mengurangi kemiskinan, walaupun demikian, maka garis kemiskinan Sayogyo yang setara beras
360 kg atau Rp 198.000 (Rp 550/kg) per tahun per kapita mungkin harus disebut garis kemelaratan kalau
kejadian tersebut hanya sesaat.
Kalau petani bisa memanfaatkan lahannya untuk berproduksi, maka petani mampu mengatasi
kemelaratannya. Apabila ini dapat dilakukan terus menerus, maka petani ini tidak akan merasa miskin.
Demikian pula sarjana dengan ijazahnya. Pegawai negeri yang melarat tidak merasa miskin, karena ada
harapan untuk terjamin di masa tuanya. Tiga hal perlu diperhatikan dalam pengentasan kemiskinan, yaitu
pendidikan, kesehatan, dan peran asuransi hari tua bagi si miskin. Setelah fasilitas pendidikan dan kesehatan
memadai, barulah si miskin diarahkan untuk bisa hidup layak di dalam lingkungan perumahan dan
permukiman yang sehat.
Tarsi Djojoprapto membuat formula kemiskinan yang merupakan fungsi dari personality, environment,
dan opportunity. Miskin didefinisikan sebagai sejumlah pemilihan dalam bentuk bendawi atau visual dengan
kondisi kurang dari memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) yang bersifat umum. Faktor personality terdiri
atas keimanan, ketaqwaan, kemauan pendidikan, ketrampilan, fisik dan kesehatan, inisiatif, kreatif, otoakivitas,
inovatif, kejelian, kepedulian, daya serap iptek, kemampuan mengambil keputusan. Environment terdiri atas
lingkungan manusia, fauna, dan flora, termasuk iptek, kemandirian, kepemimpinan, dan falsafah bangsa dan
negara. Sifat dan perilaku manusia meliputi partisipasi, responsif, kepedulian dan kesetiakawanan, gotong

370
royong, perikemanusiaan, homo hominilupus, kesadaran hukum dan lingkungan, wawasan orientasi hidup ke
masa depan, dan budaya masyarakat.

Tanggapan
Pakar perumahan dari ITS, Johan Silas, memaparkan lima kasus kemiskinan di Surabaya, yaitu
pedagang kakilima, angkutan serbaguna (angguna), penghuni rumah susun Sombo dan Dupak, mitra
pasukan kuning pengelola kebersihan kota, dan pengamen. Angkutan serbaguna pengganti becak adalah
pengangkut orang dan barang yang digerakkan oleh motor 1000 cc (truk mini) dengan tarif 10% lebih murah
dari taksi. Adanya kesamaan pada lima segmen kemiskinan ini adalah tumbuhnya koperasi di antara mereka,
tumbuhnya model pembangunan self propeling growth, dan besarnya peranan guru dan tokoh agama dalam
menumbuhkan kepedulian, kesetiakawanan, kegotongroyongan, dan kebersamaan.
Ahli perencana wilayah dari ITB, Mochtaram Karyoedi, mencari alternatif pengembangan desa dan
kawasan miskin, yaitu dengan cara menetapkan desa miskin melalui .kriteria yang jelas, identifikasi masalah,
melihat faktor-faktor yang berpengaruh, mencari titik pangkal penanggulangan masalah, melihat faktor-faktor
yang berpengaruh, mencari titik pangkal penanggulangan masalah, penyusunan strategi pengembangan
ekonomi dan sumberdaya manusia kuratif, dan bantu, dan penyusunan program yang menyangkut prasarana,
penyediaan lapangan kerja, penyiapan pemasaran, koperasi, sistem perhubungan, pelatihan, bimbingan dan
introduksi sistem dan teknologi baru. Sayogyo menekankan pentingnya delapan jalur pemerataan, kemampuan,
asset, dan kebiasaan orang miskin yang harus digali dan dikembangkan, dan perlu ditumbuhkan penghidupan
yang berkelanjutan. Ditegaskan pula pentingnya partisipasi, hidup dalam sapu lidi yang terikat, mengurangi
kesan tanpa kekuatan, menumbuhkan kepemimpinan, mengaitkan kegiatan informal dalam kegiatan formal,
dan membina serta menumbuhkan kemandirian.
Syarif Alqadrie dari Universitas Tanjungpura Pontianak, mengemukakan empat paradigma atau
perspektif kemiskinan, yaitu budaya, mental dan psikologis (cultural, mental psychological perspective),
demografi (demographical perspectif), ekologik dan sumber daya (ecological, resources perspective), budaya
dan mental psikologis (non-cultural, mental psychological perspective) atau perspektif struktural (structural
perspective).
Syarif mengajukan tiga pertanyaan tentang kemiskinan. Pertama, apakah sistem nilai, orientasi nilai
budaya yang tidak berorientasi ke depan, faktor mental psikologis yang negatif, fatalisme, rendahnya
pendidikan dan motivasi menimbulkan kemiskinan suatu kelompok masyarakat? Atau tidakkah sebaliknya
justru kemiskinanlah yang menimbulkan sistem nilai, orientasi nilai budaya, faktor mental psikologis,
rendahnya pendidikan dan tingkat motivasi semacam itu. Pertanyaan kedua adalah apakah besarnya jumlah
penduduk atau banyaknya jumlah anak dalam tiap keluarga merupakan akibat dari kemiskinan. Ketiga,
apakah sumberdaya alam yang miskin, sumberdaya manusia yang tidak unggul menimbulkan kemiskinan
atau bukan sebaliknya, kondisi miskin menyebabkan mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi
atau mencegah berkurang atau hancurnya sumberdaya alam di sekitar mereka dan untuk meningkatkan
sumberdaya manusia, atau tidak memiliki kemampuan dan akses ke dalam sumberdaya alam yang kaya itu
sehingga pada akhirnya sumberdaya alam itu sendiri akan berkurang dan tidak dapat menikmatinya.
Syarif menyodorkan konsepnya berupa persyaratan dalam upaya pengentasan kemiskinan, yaitu
tersedianya lapangan kerja pada semua sektor bagi semua lapisan masyarakat, menampung tenaga kerja
lapisan bawah sampai ke pedalaman, padat karya dengan berbagai jenis teknologi, sistem upah dan gaji
yang memadai, lapangan kerja dengan tingkat kontinuitas tinggi, dan terciptanya keamanan dan jaminan
keselamatan buruh. Juga ditekankan, arah pembangunan yang kurang berorientasi ke bawah, kurang
menciptakan kemandirian bagi rakyat kecil, dan menggunakan model atau pendekatan pembangunan satu
arah, akan mengakibatkan kemiskinan. Disarankannya agar penanggulangan dan pengentasan kemiskinan
dilakukan bertahap, jangka pendek, menengah, dan jangka panjang, didukung kemitraan pemerintah-swasta,
dan masyarakat.
Dari tujuh kasus yang diamatinya, Ronny Nitibaskara, ahli kriminologi, menyimpulkan bahwa kemiskinan
telah membawa dampak sosial yang merupakan faktor potensial kriminogen yang cukup besar, kemiskinan
merupakan suatu gejala yang bersifat dinamis dan merupakan proses yang berlangsung terus, dan

371
mengatasi kemiskinan merupakan kewajiban nasional bagi seluruh umat manusia. Mengutip Sudjatmoko
(1980), ilmu sosial secara lebih terperinci ditantang untuk menerangkan dimensi kemiskinan struktural dan
proses pemelaratan yang dialami sebagian besar penduduk.
Kemiskinan untuk sebagian besar disebabkan oleh pengaruh negatif iklim terhadap kegiatan dan daya
prestasi manusia (Huttington, 1979), tiadanya hasrat berprestasi (need of achievement) menyebabkan
keterbelakangan suatu masyarakat (David Clefland, 1967), kemajuan suatu bangsa disebabkan ajaran
agama yang menganjurkan kerja keras, hemat dan sifat-sifat ingin maju (pendapat tokoh agama),
penanggulangan kemiskinan struktural merupakan upaya terpadu yang harus didukung berbagai pihak
termasuk si miskin (Presiden Soeharto), kepapaan itu dekat kepada kekafiran (sabda Nabi Muhammad
SAW), dan akil bagi si miskin adalah pekerjaan yang kontinyu (Mubyarto).
Masjid sebagai Baitullah, pusat ibadah dan pembinaan umat, didukung peranan imam dan khatib
sebagai panutan, dapat dijadikan sebagai tempat pengentasan kemiskinan. Perpustakaan masjid, BPR
Syariah, Puskesmas, pelayanan kesehatan lokal, pendidikan dan pelatihan swadaya masyarakat, merupakan
upaya-upaya pengentasan kemiskinan. Muttulada mengutarakan sebab-sebab kemiskinan, yaitu kemalasan,
kebodohan, ketidakmampuan fisik atau mental (cacat), kemampuan pribadi seseorang yang terbatas,
kelemahan atau kebobrokan struktural yang berada di luar kemampuan pribadi seseorang, dan sebab
struktural yang tumbuh dari satu sistem nilai budaya yang menghargai cara-cara kehidupan yang menghindari
kesenangan hidup duniawi.
Dengan demikian penyebab kemiskinan bersifat kualitatif dan kuantitatif, yang paling umum adalah
ketidakmampuan individu mengatasi kesulitan karena tekanan dari luar. Kualitas hidup manusia yang
terhindar dari kemiskian, akan terbina dari lingkungan biofisik yang terpelihara, lingkungan sosial yang
seimbang, dan lingkungan budaya yang menumbuhkan kreativitas dalam kehidupan. Pulungan membahas
kemiskinan dengan menyorot UUD 1945 pasal 27 ayat 2 (Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi manusia) dan pasal 34 (fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara
oleh negara). Islam mengakui adanya kemiskinan dan memerintahkan penanggulangannya, baik ekstern
(sukkriyya) maupun intern (daabbah).
Syekh Muhammad Yusuf AI Oardlawi merinci enam jalan untuk mengatasi kemiskinan, yaitu bekerja,
mencukupi keluarga yang lemah, zakat, dana, bantuan, perbendaharaan. Islam dari berbagai sumbernya,
keharusan memenuhi hak-hak selain zakat, dan sadaqah sukarela dan kebajikan individu. Pulungan juga
melihat bahwa program-program bantuan kepada rakyat miskin selama ini bersifat forward looking (bagaimana
memperbaiki nasib di masa mendatang) dan kurang bersifat inward /oooking (bagaimana si miskin memecahkan
utang yang bertumpuk).
Di samping pemikiran di atas, pemberantasan kemiskinan memerlukan tindakan konsepsional yang
sistematis serta program konkrit yang cepat, tepat dan mengakar, dengan mengikutsertakan seluruh lapisan
masyarakat, dari Pusat sampai ke Daerah di seluruh pelosok tanah air. Try Sutrisno menegaskan bahwa
pemberantasan kemiskinan akan sulit mencapai hasil, apabila hanya dilakukan dengan memberikan ikan,
tetapi tidak memberikan kail, serta tidak diberikan latihan keterampilan tentang bagaimana menggunakan kail.
Begitu kompleksnya masalah kemiskinan, sehingga diperlukan konsistensi, sehingga diperlukan
kecerdikan dan keuletan serta kearifan dalam mencari dan menemukan akar masalahnya, menentukan
prioritas penanganan serta merumuskan alternatif pemecahan secara tepat, baik secara konsepsional
maupun operasional.
Jayakarta, 9 September 1993

372
Evolusi Pengentasan Kemiskinan di DKI Jakarta
Masalah kemiskinan di Indonesia mencuat setelah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/
Ketua Bappenas Ginanjar Kartasasmita mengangkat permasalahan ini. Padahal Bank Dunia telah menyorot
masalah kemiskinan dalam World Development Indicators (World Development Report: Poverty, 1990) dan
laporan berjudullndonesia: Poverty Assessment and Strategy Report (Mei 1990). Masalah kemiskinan sangat
kompleks, karena itu penanggulangan dan pengentasannya tidak bisa dilakukan secara mendadak atau
revolusi, tetapi evolusi, bertahap perlahan-lahan, terintegrasi antara satu program satu dengan yang lain,
antara lain menyangkut pendidikan, kesehatan, gizi, penyediaan air bersih dan pengaturan sanitasi, pengelolaan
sampah, perbaikan kampung; pembangunan perumahan dan permukiman untuk orang miskin, kelembagaan,
dan lembaga swadaya masyarakat.
Distribusi pendapatan penduduk Indonesia secara kasar terdiri atas 40% penduduk berpenghasilan
rendah, 40% berpenghasilan sedang, dan 20% berpenghasilan tinggi. Di DKI Jakarta, gambaran ini tidak jauh
berbeda, yaitu mendekati 50% berpenghasilan rendah dan perbedaan paling kaya dan paling miskin sangat
mencolok. Walaupun menurut BPS di DKI Jakarta pada tahun 1993 hanya ada 4 kelurahan miskin, dan 256
selebihnya tidak miskin, kenyataannya hampir di setiap .kelurahan terdapat kantong-kantong kemiskinan.

Kemiskinan Perkotaan
MUI-P3PK UGM dan Universitas Mereu Buana telah menyelenggarakan seminar. Peningkatan
Kesejahteraan Umat Melalui Pemberantasan Kemiskinan. Seminar menyimpulkan perlunya Gerakan Masal
yang luas dan secara nasional mengenai pengentasan kemiskinan, tanpa harus menunggu petunjuk-petunjuk
dari atas, tetapi secara sadar berusaha mengatasi ketimpangan ekonomi, kesenjangan sosial dan kemiskinan
masal yang tidak boleh dibiarkan berkepanjangan.
Pembangunan selama PJPT I tidak dapat dipungkiri telah membawa kemajuan besar, tetapi
pembangunan yang mentargetkan pertumbuhan ekonomi cenderung bersifat kapitalistik, memojokkan dan
tidak mampu mengakomodasi kepentingan rakyat tak mampu, sehingga menumbuhkan kemiskinan perkotaan.
Kemiskinan perkotaan dapat dibedakan atas kemiskinan nyata (kelompok yang saat ini mengalami kemiskinan,
tetapi melalui proses upaya tertentu bisa menjadi tidak miskin) dan kemiskinan potensial (kelompok yang
sebetulnya belum miskin tetapi bisa menjadi miskin akibat kebijaksanaan pemerintah, misalnya yang dialami
pedagang kakilima, tukang becak, pedagang asongan, dan sejenisnya. Hal mendasar yang diperlukan adalah
perlunya ada pemihakan pada orang miskin, sehingga secara implisit terjadi peru bah an sikap atau pandangan
terhadap orang miskin.
Orang miskin tidak mampu secara mandiri melakukan aktivitas mengentaskan dirinya, karena itu
mereka memerlukan pendamping, yaitu bisa pemerintah, LSM, forum komunikasi, atau universitas, Kelompok
miskin, umumnya bekerja pada sektor informal yang sering dihadapkan pada perlakuan tidak adil seperti
penggusuran, pemerasan, dan ketidaktenangan dalam berusaha. Agar pengentasan kemiskinan tidak salah
arah, diperlukan data dan informasi lengkap tentang peta kemiskihan kota sampai ke kelurahan, termasuk
data keberhasilan dan ketidak berhasilan program yang telah dijalankan terhadap lokasi-lokasi miskin.
Pengentasan kemiskinan menuntut keterbukaan Pemda, agar diketahui potensi dan kelemahan aparat
pemerintah, sejauh mana peran LSM dan universitas, serta ada tidaknya keterkaitan antar proyek di
lapangan. Pemukiman kumuh merupakan perangkap kemiskinan mantap dan perangkap manusia rendah diri,
yang harus diberantas secara tegas dan segera. Tetapi penanganannya harus dilakukan secara manusiawi.
Program penanganan lingkungan kumuh yang berhasil dengan baik, secara psikologis akan meningkatkan
rasa percaya dan tumbuhnya diri mereka yang semula diremehkan kemudian masuk ke dalam kehidupan
normal.
Pemberian penghargaan yang layak kepada golongan pekerja berisiko tinggi, seperti penyapu jalan,
pengangkut sampah, petugas parkir, pembersih gedung tinggi, tenaga Satpam, dan sejenisnya, perlu

373
dilakukan dalam bentuk insentif, asuransi kesehatan dan rasa bangga akan profesinya. Pemberian ganti rugi
harus dilakukan secara adil, agar kesan membangun tanpa menggusur bisa dihindari. Perencanaan
pembangunan kota diharapkan menghindarkan dislokasi dan perubahan fungsi yang merugikan pertambahan
nilai pembangunan dan bahkan menimbulkan kemiskinan baru. Pengenaan pajak progresif sudah saatnya
diterapkan, agar terjadi keadilan kaya-miskin dalam menikmati hasil pembangunan. Pendapatan Asli Daerah
(PAD) harus diupayakan agar tidak merugikan si miskin.

Evolusi
Seperti diutarakan di atas, pengentasan kemiskinan di DKI Jakarta harus dilakukan secara evolusi,
bukan revolusi. Siapapun yang menikmati hidup dan kehidupan di Jakarta, baik ber-KTP DKI maupun bukan,
wajib berpartisipasi dalam pembangunan kota Jakarta, khususnya dalam ikut berperan serta mengentaskan

KELURAHAN Dl DKI JAKARTA YANG TERPADAT PENDUDUKNYA


TAHUN 1990 (JIWAIKM2)

No. Kelurahan Kepadatan Kecamatan Wilayah Kota

1. Kali Anyar 88.091 Tambora Jakarta Barat


2. Krendang 76.509 Tambora Jakarta Barat
3. Kampllng Rawa 76.153 Johar Baru Jakarta Pusat
4. Galur 73.148 Johar Baru Jakarta Pusat
5. Jembatan Besi 67.160 Tambora Jakarta Barat
6. Tanah Tinggi 66.247 Johar Baru Jakarta Pusat
7. Keagungan 64.950 Taman Sari Jakarta Barat
8. Karang Anyar 57.959 Sawah Besar Jakarta Pusat
9. Duri Utara 55.588 Tambora Jakarta Barat
10. Kampung Melayu 55.252 Jatinegara Jakarta Timur
11. Manggarai Selatan 54.092 Tebet Jakarta Selatan
12. Utan Panjang 54.013 Kemayoran Jakarta Pusat
13. Jembatan Lima 51.578 Tam bora Jakarta Barat
14. Tanah Sareal 49.821 Tam bora Jakarta Barat
15. Menteng Atas 48.776 Setia Budi Jakarta Selatan
16. Duri Pulo 48.389 Gambir Jakarta Pusat
17. Harapan Mulya 48.360 Kemayoran Jakarta Pusat
18. Pisangan Baru 47.465 Matraman Jakarta Timur
19. Kartini 46.636 Sawah Besar Jakarta Pusat
20. Kayu Manis 45.275 Mat raman Jakarta Timur
21. Cipinang Besar Utara 44.664 Jatinegara Jakarta Timur
22. Warakas 43.678 Tanjung Prick Jakarta Utara
23. Angke 43.608 Tambora Jakarta Barat
24. Kemayoran 43.387 Kemayoran Jakarta Pusat
25. Kota Bambu 43.268 Palmerah Jakarta Barat
26. Krukut 41.731 Taman Sari Jakarta Barat
27. Tangki 40.316 Taman Sari Jakarta Barat
28. Kramat 39.644 Senen Jakarta Pusat
29. Kebon Melati 39.531 Tanah Abang Jakarta Pusat
30. Lagoa 39.438 Koja Jakarta Utara
31. Serdang 39.079 Kemayoran Jakarta Pusat
32. Kebon Kacang 38.689 Tanah Abang Jakarta Pusat
33. Cempaka Baru 37.234 Kemayoran Jakarta Pusat
34. Bukit Duri 36.577 Tebet Jakarta Selatan
35. Koja Selatan 35.770 Koja Jakarta Utara
36. Manggarai 35.385 Tebet Jakarta Selatan
37. Pasar Manggis 35.142 Setia Budi Jakarta Selatan
38. Malaka Jaya 34.774 Duren Sawit Jakarta Timur
39. Pela Mapang 31.537 Mampang Prapatan Jakarta Selatan
40. Kebon Bawang 31.113 Tanjung Prick Jakarta Utara

Sumber : Kantor Sensus Propinsi DKI Jakarta, Penduduk DKI Jakarta, Hasil Sensus Penduduk 1990,
Kepadatan Penduduk rata-rata (Jiwa/Km2) DKI Jakarta (12.435), Jakarta Pusat (22.437), Jakarta Barat
(14.390), Jakarta Selatan (13.105), Jakarta Timur (10.997), dan Jakarta Utara (8.844).

374
kemiskinan. Mulailah dengan aparatur pemerintah DKI Jakarta di semua jajarannya, mulai dari Gedung
Balaikota sampai ke Kecamatan dan Kelurahan, semua harus punya tekad menumpas kantong-kantong
kemiskinan di lima wilayah kota. Pegawai negeri berbagai instansi yang ada di Jakarta, haruslah mendukung
dan berperan serta aktif dalam kegiatan pengentasan kemiskinan. Paling sedikit dengan mematuhi berbagai
peraturan dan ketentuan Pemda, demi kelancaran pelaksanaan pembangunan. Para pegawai yang tempat
tinggalnya tidak di Jakarta, yaitu di Botabek bahkan Karawang, Cianjur, Sukabumi, Bandung dan Serang,
harus mencintai kotanya sendiri. Berbuatlah sedikit kebaikan untuk warga Jakarta, karena mereka mencari
nafkah juga di kota Jakarta.
Pegawai asing yang berdomisili di Jakarta, baik pegawai Kedutaan, Swasta dan Tenaga Ahli/
Konsultan, dihimbau ikut berperan nyata dalam pembangunan kota Jakarta, antara lain dengan mengikuti
kegiatan sosial melalui Lions Club dan sejenisnya, Para pekerja yang tiap hari bolak-balik dari rumahnya di
Botabek dan mencari nafkah di ibukota, diharapkan berpartisipasimemelihara hasil-hasil pembangunan kota
dengan menjaga kebersihan kota dan menaati segala peraturan Pemda dan perundang-undangan yang ada.
Berdasarkan Statistik Perumahan dan Lingkungan Tahun 1989, penghasilan per bulan penduduk DKI
Jakarta terdiri atas : 32,66% berpenghasilan Rp 200.000,- ke atas (hanya 10,21% berpenghasilan Rp 500.000
ke atas) dan 67,34% berpenghasilan Rp 200.000 ke bawah (ada 39,68% yang berpenghasilan di bawah Rp
150.000). Untuk ukuran Jakarta, sebenarnya 67% penduduk Jakarta inilah yang perlu dimasukkan ke dalam
kategori orang miskin, yang tidak mempunyai rumah sendiri, tinggal di rumah kontrakan yang sempit, rumah
sewa sederhana, dan bahkan di rumah-rumah kumuh.
Dari 260 kelurahan di DKI Jakarta dan 43 kecamatan di DKI Jakarta, penulis mencoba melihat 40
kelurahan terpadat (Lihat Tabel). Di kelurahan-kelurahan yang padat penduduknya inilah sebenarnya
berkumpulnya orang-orang miskin di Jakarta. Di kelurahan Kali Anyar dan Krendang Jakarta Barat hampir
sulit dinikmati kenyamanan, karena kebisingan siang-malam dan bau air sungai serta tidak adanya fasilitas
sanitasi. Demikian pula Kampung Rawa dan Galur di sekitar Senen Jakarta Pusat, merupakan perkampungan
yang tidak pernah tidur siang dan malam. Selanjutnya Jembatan Besi di Tambora Jakarta Barat dan Tanah
Tinggi di ·dekat Senen Jakarta Pusat, juga merupakan lokasi-lokasi padat penduduk yang sering disertai
berbagai tindakan kriminal dan kejahatan.
Upaya Gubernur DKI Jakarta dengan mengeluarkan Kepgub Nomor 540 Tahun 1990 tentang Juklak
Pemberian Surat Persetujuan Prinsip Pembebasan Lokasi/Lahan atas bidang tanah untuk pembangunan fisik
kota di DKI Jakarta, yang ditindaklanjuti dengan Kepgub Nom or 354 Tahun 1992 tentang Juknis pelaksanaan
pembangunan rumah susun sederhana/murah bagi pemegang SP3L, dan Kepgub Nomor 640 Tahun 1992
tentang ketentuan terhadap pembebasan lokasi/lahan tanpa ijin dari Gubernur, serta perintah Gubernur
kepada Kepala Dinas Perumahan untuk memantau pelaksanaan Keputusan Gubernur ini, merupakan bukti
besarnya perhatian Gubernur terhadap perumahan kelompok miskin di ibukota.
Selanjutnya, pembangunan perumahan dan permukiman dengan lingkungan hunian yang berimbang
(1 : 3 : 6) dan pelaksanaan pedoman umum penanganan terpadu perumahan dan permukiman kumuh
(perbaikan atau pemugaran, peremajaan dan relokasi) yang menonjolkan kemitraan, sebagai realisasi lnpres
Nomor 5 Tahun 1990 tentang peremajaan permukiman kumuh di atas tanah negara, juga merupakan contoh
kebijaksanaan pengentasan kemiskinan.

Upaya
Upaya pengentasan kemiskinan di DKI Jakarta perlu dikaitkan dengan upaya mewujudkan Jakarta
BMW yang pada dasarnya harus dipecahkan oleh tiga unsur, yaitu aparat Pemda DKI Jakarta (dan aparat
Pemerintah Pusat di DKI Jakarta), warga ibukota (partisipasi dan peran serta Swasta dan Masyarakat) dan
Pemda tetangga (khususnya Jabar, Jateng, Jatim, Lampung, dan Kalsel).
Secara makro, mulailah dengan perangkat perencanaan pembangunan, yaitu penguasaan pengertian
terhadap UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia DKI Jakarta,
Repelitada, Pola Dasar Pembangunan DKI Jakarta, RUTR (Rencana Umum Tata Ruang), RBWK (Rencana
Bagian Wilayah Kota), RTK (Rencana Terinci Kota), RUPTD (Rencana Umum Pembangunan Tahunan

375
Daerah), RPTK (Rencana Pembangunan Tahunan Kecamatan/Kelurahan), mulai musbang tingkat kelurahan,
temu karya pembangunan tingkat kecamatan, dan rakorbang tingkat wilayah kota dan propinsi. Secara mikro,
berupa kebijaksanaan khusus dan kebijaksanaan operasional yang menyangkut berbagai sektor pembangunan,
baik dibiayai pemerintah, swasta, maupun swadaya masyarakat atau kemitraan (pemerintah-swasta-
masyarakat).
Kota Jakarta yang sedang menuju megapolitan atau megacity pada tahun 2000 menuntut aparatnya
yang serba profesional. Pegawai Pemda DKI Jakarta haruslah dinamis, mau terus meningkatkan kemampuan
dan keterampilannya dalam rangka melaksanakan manajemen kota yang efektif. Koordinasi dengan Pemda
sekitarnya harus diwujudkan atas kepentingan bersama. Kelembagaan Jabotabek jika perlu ditingkatkan lagi
ke tingkat Mendagri atau Bappenas, dikaitkan dengan penataan ruang. Lembaga Musyawarah Kota hendaknya
bukan sekedar pajangan dan pelengkap bagi Walikota, tetapi harus bisa memberikan masukan pemikiran dan
pemecahan masalah pembangunan di wilayah kota, dalam hal ini yang terkait dengan permasalahan
kemiskinan.
Secara operasional, pemerintah kota Jakarta harus belajar dari keberhasilan pemerintah kota-kota
metropolitan di dunia dalam menata kotanya, seperti Tokyo, Amsterdam, Den Haag, Paris, Bonn, London,
New York, Mexico City, Shanghai dan lain-lain. Manajemen kota yang efektif akan memberi peluang
keberhasilan pelaksanaan berbagai program pembangunan, termasuk pula program pengentasan kemiskinan.
Angkatan Bersenjata, 26 Juli 1993

Peran Wanita Dalam Mengentaskan Kemiskinan di


DKI Jakarta
GBHN 1993 menyebutkan bahwa pembinaan peran wanita untuk meningkatkan peran serta aktif
dalam proses pembangunan nasional sesuai dengan kodrat serta harkat dan martabatnya sebagai mitra
sejajar pria, telah berhasil menjangkau sebagian besar kaum wanita. Tetapi masih perlu diperhatikan
peningkatan kualitasnya dan iklim sosial budaya yang lebih mendukung bagi wanita untuk mengembangkan
diri dan perannya dalam berbagai dimensi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam era
tinggal landas, wanita sebagai mitra sejajar pria harus lebih dapat berperan dalam pembangunan dan
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara serta ikut melestarikan nilai-nilai Pancasila. Oleh karena
itu perlu terus dikembangkan iklim sosial budaya yang mendukung agar mereka dapat menciptakan dan
memanfaatkan seluas-luasnya kesempatan untuk mengembangkan kemampuannya melalui peningkatan
pengetahuan, keahlian, dan keterampilan dengan tetap memperhatikan kodrat serta harkat dan martabat
kaum wanita.
Jika diteliti dengan seksama dalam GBHN 1993 ada sebelas butir penting peranan wanita dalam
pembangunan bangs~.· yaitu wanita sebagai warganegara dan sumberdaya insani pembangunan, mitra
sejajar dengan pria dalam pembangunan, peran aktif dalam kegiatan pembangunan, mewujudkan keluarga
sehat, sejahtera dan bahagia: mengembangkan anak, remaja dan pemuda dalam rangka pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya; meningkatkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, keterampilan
serta ketahanan mental dan spiritual; mampu menghadapi perubahan di dalam masyarakat dan di dunia
internasional, mengembangkan iklim sosial budaya, menggalakkan kegiatan PKK dan gerakan keluarga kecil,
bahagia dan sejahtera (NKKBS); menangani berbagai masalah sosial dan ekonomi dalam rangka pemerataan
hasil pembangunan, pengembangan sumberdaya manusia yang berkualitas, dan pemeliharaan lingkungan;
dan meningkatkan keterampilan, produktivitas, kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja wan ita, termasuk
yang bekerja di luar negeri, terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan kerja, perkembangan
karier serta jaminan pelayanan sosial bagi tenaga kerja wanita dan keluarganya.

376
Partisipasi
Dalam upaya mewujudkan setiap warga negara memperoleh kesempatan berperan dan menikmati
hasil-hasil pembangunan secara adil dan merata sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, sehingga tidak ada
lagi kemiskinan, peran serta wanita sangat penting artinya. Wanita bisa berperan serta aktif paling sedikit
dalam tujuh bidang pembangunan, yaitu ekonomi; kesejahteraan rakyat, pendidikan dan kebudayaan; agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa; iptek; hukum; politik, aparatur negara, penerangan,
komunikasi dan media massa, serta pertahanan keamanan. Khususnya dala bidang iptek, wanita pada
masing-masing tempat kerjanya dan keahliannya bisa berpartisipasi aktif dalam kegiatan-kegiatan teknik
produksi (meningkatkan penguasaan proses produksi, produktivitas, kemampuan, keterampilan, serta
kemampuan rancang bangun dan perekayasaan), teknologi (budaya, iptek, program konkrit, alih teknologi,
integrasi dan penciptaan teknologi baru), ilmu pengetahuan terapan (litbang, pengembangan dan penguasaan
ilmu pengetahuan, kreatif CJan inovatif), ilmu pengetahuan dasar (mendukung peningkatan mutu dan
kemampuan sumberdaya manusia), dan kelembagaan iptek (kemitraan pemerintah swasta dan masyarakat,
produktif, kreatif, inovatif, penyediaan informasi, dan penghargaan).
Jika dalam olahraga dikenal motto memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat,
maka dalam kegiatan wanita, juga bisa diwujudkan kegiatan mempartisipasikan wanita dan mewanitakan
partisipasi dalam mengentaskan kemiskinan. Mempartisipasikan wanita dalam mengentaskan kemiskinan
adalah mengikutsertakan dan memeransertakan wanita dalam berbagai kegiatan pembangunan dalam
rangka turut mengentaskan kemiskinan, misalnya partisipasi dalam pengelolaan kebersihan lingkungan,
penataan rumah sehat dan lingkungan sehat, gerakan keluarga berencana, dan kesetiakawanan sosial.
Sedangkan mewanitakan partisipasi adalah menumbuhkan partisipasi pada kaum wanita, agar tumbuh
pembangunan yang partisipatif.
Untuk ukuran Jakarta yang akan berkembang menjadi megacity pada tahun 2000, partisipasi wanita
haruslah ditandai dengan penguasaan iptek, yaitu bekerja dengan menggunakan pendekatan ilmiah, berpikir
logis, kreatif, rasional, dan obyektif. Upaya meningkatkan kecintaan wanita terhadap iptek bisa didukung oleh
keingintahuan, minat dan perhatian wanita terhadap kegiatan-kegiatan iptek. lptek diharapkan dapat
memecahkan permasalahan kaum wanita/ibu seperti persamaan hak, harkat, martabat, kewajiban dan
kesempatan yang sama dengan pria dalam berbagai bidang pendidikan dan lapangan kerja.
Banyak cara meningkatkan peran wanita dalam pembangunan perkotaan, antara lairi melalui seminar
peranan wanita dalam pembangunan, peran serta wanita dalam manajemen, dan partisipasi wanita/ibu dalam
berbagai kegiatan iptek. Tingginya peran serta wanita dalam penguasaan iptek dan peran sertanya dalam
pembangunan, terlihat dari telah banyaknya jabatan Antariksa, Perdana Menteri, Presiden, dan berbagai
pimpinan kegiatan ilmiah lainnya yang dipegang oleh kaum wanita. Beberapa hal perlu diperhatikan dalam
menerapkan iptek kaum wanita. Pertama, pemilihan bentuk teknologi yang diperlukan haruslah diputuskan
oleh para warga desa sendiri. Kedua, adat, kebiasaan, agama dan sosial budaya wanita pedesaan harus
diperhatikan. Jika teknologi yang diperkenalkan bertentangan dengan tata nilai yang berlaku, kemungkinan
kaum wanita tidak akan menggunakannya.
Ketiga, perlu diperhatikan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dan biasanya sukar diubah baik
oleh pria mauupn oleh kaum ibu. Keempat, pemilihan teknologi yang diperkenalkan haruslah ditentukan
dengan memperhatikan keadaan lingkungan masyarakat yang akan menggunakannya. Kelima, terjaminnya
perlengkapan yang diperlukan, jasa perawatan penyediaan suku cadang dan dan pengawasan terhadap
pengoperasiannya. Keenam, para perencana dan pelaksana tidak boleh terlalu cepat kecewa seandainya
wanita atau ibu-ibu tidak begitu menghargai bantuan teknologi yang diperolehnya.
Ketujuh, perlu ada jaminan kesinambungan alat agar dapat menjamin peningkatan produksi dan
memberi kemungkinan komersial. Kedelapan, keselamatan wanita/ibu-ibu yang mengoperasikan teknologi
harus terjamin sehingga keselamatan kerja dapat dijaga. Kesembilan, memperbaiki alat-alat dengan melibatkan
peranan wanita sebesar-besarnya sehingga keterampilannya dapat ditingkatkan. Kesepuluh, teknologi yang
telah diperkenalkan kepada wanita di suatu desa hendaknya dapat disebarluaskan ke desa-desa lainnya
(sistem berantai, seperti yang terjadi pada program P2LDT, pembangunan perumahan dan lingkungan desa
secara terpadu).

377
Teknologi tepat guna diartikan sebagai teknologi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bersifat
dinamis, sesuai dengan kemampuan, tidak merusak lingkungan dan dapat dimanfaatkan oleh masyarakat
dalam meningkatkan nilai tambah. Memasyarakatkan teknologi tepat guna akan membantu meningkatkan
mutu kehidupan dan penghidupan masyarakat perdesaan melalui pengembangan sumberdaya manusia dan
sumberdaya alam dengan memperhatikan kelestariannya. Kegiatan memasyarakatkan teknologi tepat guna
dapat ditempuh melalui lima cara. Yang pertama, inventarisasi berbagai jenis dan bentuk teknologi tradisional
yang bisa ditingkatkan dan memberi nilai tambah kepada usaha perekonomian masyarakat serta perbaikan
kualitas kehidupannya. Kedua, mempersiapkan masyarakat melalui pendidikan dan pelatihan yang dapat
meningkatkan keterampilan dan wawasan teknologi tepat guna kepada aparatur, petugas lapangan, dan
kelompok masyaraka:t. Ketiga, mempersiapkan pelatihan keliling teknologi tepat guna yang berasal dari
tenaga lokal atau melalui Kader Pembangunan, Tenaga Kerja S4karela Terdidik, dan Sarjana Penggerak
Pembangunan. Keempat, mengembangkan keanekaragaman atau diversifikasi usaha masyarakat dari sektor
pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industri kerajinan tangan, bahan bangunan, perbengkelan,
dan sektor penunjang kebutuhan dasar manusia. Kelima, melaksanakan pelayanan berbagai jenis teknologi
tepat guna melalui media komunikasi, media cetak, media elektronika, pameran dan peragaari pembangunan
sesuai dengan tipologi wilayah dan permasalahannya.
Aspek koordinasi memegang peranan panting. Agar koordinasi yang terarah dan terpadu bisa
diwujudkan, para Bupati/Walikotamadya hendaknya memperhatikan PP Nomor 6 Tahun 1988 dan lnmendagri
Nomor 18 Tahun 1989 tentang Koordinasi Kegiatan lnstansi Vertikal di Daerah. Jika ketentuan peraturan
perundang-undangan ini dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat, maka pembangunan daerah, dalam hal ini
pembangunan perdesaan, pasti akan lancar. Naluri kewanitaan akan memperkuat kaum wanita dan ibu-ibu
dalam memasyarakatkan informasi iptek kepada masyarakat, antara lain melalui perpustakaan keliling,
pameran lptek, pu·sat rekreasi iptek, Iomba penulisan dan karya cipta iptek, pengelolaan lingkungan hidup,
peningkatan kemampuan Bahasa Indonesia yang benar, dan karyawisata iptek.
Partisipasi kaum wanita dalam kegiatan iptek perlu didukung oleh sarana dan prasarana yang
memadai, antara lain adanya museum iptek, publikasi iptek, brosur, leaflet memberikan, dan membina
keluarga guna mewujudkan keluarga sejahtera. Kampanye lbu Sehat Sejahtera yang dipopulerkan oleh
BKKBN, diarahkan pada perwujudan keluarga sehat sejahtera dan keluarga kecil sejahtera. Pembinaan lptek
bagi kaum wanita dapat dilakukan melalui kegiatan menyebarluaskan iptek, koordinasi iptek dan penyiapan
tenaga terampil bidang iptek.
Pembinaan dan pengembangan wanita serta peningkatan perannya dalam pembangunan nasional
dapat dilakukan antara lain dengan meningkatkan penguasaan di bidang iptek. Dengan iptek, tenaga kaum
wanita dapat ditingkatkan menjadi suatu sumber daya yang bernilai tinggi dan keterbukaan. Sesuai dengan
GBHN 1993, ekonomi berperan sebagai penggerak pembangunan, sedangkan iptek merupakan pemacu
pembangunan bangsa.

DKI Jakarta
Penduduk Jakarta sebanyak 8.222.525 jiwa (Sensus Penduduk 1990), terdiri atas 4.150.055 laki-laki
dan 4.072.460 pere,mpuan. lni berarti jumlah wanita sebagai potensi pembangunan sangat besar. Wanita
dimanapun dia berada, bisa didayagunakan sebagai subyek pembangunan. Dalam membentuk kelompok-
kelompok kegiatan bersama masyarakat, peran wanita sangat menonjol. Demikian juga dalam menumbuhkan
gerakan kesenian dan olahraga, serta upaya-upaya menumbuhkembangkan kegotongroyongan masyarakat.
Dalam kegiatan Posyandu, pengumpulan dana sosial masyarakat, kesetiakawanan sosial, leaflet, booklet,
informasi teknologi canggih, penyelenggaraan ceramah iptek, peragaan dan pameran iptek, workship iptek,
penghargaan prestasi ilmiah, bimbingan teknis, dan penyuluhan iptek. PKK dengan Dasa Wisma-nya
merupakan kelompok terkecil dalam masyarakat yang bisa menumbuhkan, menghimpun, mengarahkan, dan
membina keluarga guna mewujudkan menghimpun, mengarahkan kebersihan kampung, penerangan kampung,
perbaikan jalan kampung, kursus-kursus penyuluhan, pendidikan dan pelatihan singkat, qan sejenisnya,
banyak diperankan oleh wanita.
Wanita melalui berbagai organisasi kemasyarakatan hendaknya berperan serta dalam proses

378
perencanaan pembangunan di DKI Jakarta mulai temu karya di tingkat kelurahan, sampai ke kecamatan,
wilayah kota, dan tingkat DKI Jakarta. Cara seperti ini akan menumbuhkan pembangunan dari bawah (bottom
up approach) yang benar-benar menyalurkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat setempat. Cara lain, wanita
pada tingkat kemampuannya yang lain, juga diharapkan berpartisipasi mulai dari atas (top down approach),
yaitu mereka yang duduk dalam DPRD, Pemerintah DKI Jakarta, serta lnstansi Pemerintah dan swasta
lainnya. Pendekatan dari bawah dan dari atas ini masih perlu didukung oleh adanya kemitraan pemerintah-
swasta-masyarakat, sehingga masing-masing secara bersama-sama mengusulkan, merencanakan,
melaksanakan, membiayai, berpartisipasi dalam upaya mewujudkan pembangunan yang berhasilguna dan
berdayaguna.
Angkatan Bersenjata, 23 September 1993

Partisipasi Masyarakat Dalam Pengentasan


Kemiskinan
Pembangunan yang efektif membutuhkan partisipasi masyarakat dalam berbagai tahapan pembangunan.
Partisipasi adalah segala upaya untuk meningkatkan pengawasan terhadap pemanfaatan sumber-sumber
dan pelaksanaan peraturan pada situasi sosial tertentu. Secara umum, partisipasi dikenal sebagai keikutsertaan
dalam pembuatan keputusan dari semua yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan tersebut.
Partisipasi melibatkan banyak pelaku, antara lain individu dan kelompok pada tingkat nasional, regional, lokal,
dan kemasyarakatan.
Partisipasi didefinisikan: as active and meaningful involvement of the masses of people at different
levels, (a) in decision making process for the determination of societal goals and the allocation of resources to
achieve them, and (b) in the voluntary execution for resulting programmes and projects.
Em pat tipe partisipasi telah dikenal, yaitu (1) partisipasi dalam pembuatan keputusan (membuat
beberapa pilihan dari banyak kemungkinan dan menyusun rencana-rencana yang bisa dilaksanakan, dapat
atau layak dioperasionalisasikan), (2) partisipasi dalam implementasi (kontribusi sumber daya, administrasi
dan koordinasi, kegiatan yang menyangkut tenaga kerja, biaya dan informasi), (3) dalam kegiatan yang
memberikan keuntungan (material, sosial, dan personal) dan (4) dalam kegiatan evaluasi termasuk keterlibatan
dalam proses yang berjalan untuk mencapai tujuan tertentu yang telah ditetapkan (John M. Cohen dan
Uphoff, d~lam Cheema, 1987).
Partisipasi masyarakat ditujukan oleh keterlibatan penduduk lokal secara aktif dalam proses pembuatan
keputusan suatu proyek atau pelaksanaan proyek, atau keterlibatan komunitas/masyarakat dalam kegiatan
kolektif dan mobilisasi potensi serta sumber daya masyarakat, disertai penyebarluasan informasi dan
penyuluhan, yang bertujuan meningkatkan tingkat hidup dan kondisi lingkungan hidup.

Peluang dan Kendala


Ada tiga pandangan partisipasi masyarakat dalam penyediaan rumah dan pelayanan umum di
perkotaan. Pertama, ketergantungan orang miskin terhadap orang kaya dalam penyediaan rumah. Kedua,
pentingnya partisipasi masyarakat dalam menentukan: is shaped more by governmental constraints and
needs than by local or settlement conditions. Ketiga, partisipasi aktif sangat penting dalam pembangunan
rumah. Beberapa metoda penting dalam meningkatkan partisipasi masyarakat yang perlu dikembangkan,
antara lain reduksi biaya, perluasan pelayanan pada semua komunitas, mobilisasi sumber daya masyarakat,
identifikasi kegiatan masyarakat dalam proyek, identifikasi kebutuhan, penggunaan keterampilan lokal,
akumulasi pengalaman masyarakat lokal, peningkatan kepedulian masyarakat, dan akumulasi informasi
tentang karakteristik sosial-ekonomi masyarakat. Penerapan metoda-metoda ini baik langsung maupun tidak

379
langsung, akan berperan dalam meningkatkan tarat hidup masyarakat sehingga mereka tidak lagi menjadi
kaum miskin.
Pendekatan partisipatif dalam pembangunan perumahan dan pelayanan perkotaan dapat mengakibatkan
penurunan dalam biaya pembangunan. Biaya akan turun jika masyarakat berpartisipasi dalam salah satu
kegiatan, misalnya dalam penyediaan tenaga kerja dan penyediaan material. Pemecahan teknis yang sesuai
dengan kebutuhan, juga akan menurunkan biaya pembangunan. Contohnya dalam program penyediaan
kapling tanah matang dan kapling siap bangun, jika masyarakat berpartisipasi maka akan menurunkan biaya
pelayanann dasar.
Penurunan biaya melalui partisipasi masyarakat akan memungkinkan pemerintah memperluas program
pengadaan rumah dan pelayanan umum untuk golongan masyarakat tidak mampu. Partisipasi masyarakat
juga dapat memobilisasi sumber pana dan sumber daya masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pembiayaan,
tenaga kerja dan manajemen dapat diwujudkan di lokasi proyek, juga dalam pemilihan tenaga pelaksana,
pimpinan, seleksi, perhitungan keuntungan atau manfaat, dan alokasi sumber daya. Partisipasi masyarakat
juga dapat mengidentifikasi kebutuhan nyata proyek, pengadaan peralatan dan pemeliharaannya. Partisipasi
juga dapat menekan dan memprediksi kemungkinan kegagalan, karena memperhatikan kebutuhan lokal.
Partisipasi akan dapat meningkatkan kemampuan dan keahlian masyarakat serta mendayagunakannya
sesuai kebutuhan. Pengalaman partisipasi masyarakat dalam kegiatan lingkungan akan sangat berharga
untuk ditingkatkan ke level yang lebih luas (lingkungan, kelurahan, kecamatan, dan wilayah kota). Partisipasi
dapat meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab masyarakat terhadap lingkungannya.
Pembangunan peru mahan dalam rangka memperbaiki kondisi hunian golongan miskin dapat membantu
dalam penyediaan informasi karakteristik sosial-ekonomi penduduk. Tetapi hambatan masih ban yak dijumpai
dalam menumbuhkan partisipasi masyarakat. Hirarki sosio-politis internal seperti kelas, seks, usia, agama
dan orsospol, dapat menyebabkan hambatan partisipasi. Ketidakmampuan orang miskin dalam berpartisipasi,
terlihat nyata dalam keterbatasan waktu dan ketrampilan teknis. Pendekatan dari bawah (bottom-up approach)
belum berjalan lancar, birokrasi pemerintah tumbuh sampai ke tingkat lokal dan kurang profesionalnya aparat
pemerintah, dapat merupakan penyebab lemahnya partisipasi masyarakat.
Modus partisipasi menurut Hollsteiner ada enam, peran yang dominan dalam tahap perencanaan,
pengaruh pimpinan lokal, penentuan rencana final, konsultasi dalam formulasi rencana, representasi masyarakat
dalam pembuatan keputusan, dan kontrol masyarakat terhadap pengeluaran anggaran. Nawawi (1984)
mengatakan ada empat modus partisipasi, yaitu partisipasi individual (voting, campaigning, contracting
government official), partisipasi komunal (common interest, mutuality and interaction), partisipasi relational atau
kemitraan (patron-client relationship), dan partisipasi organisasi (position in organization). UNICEF membuat
checklist partisipasi, yang memuat identifikasi masalah, kebutuhan, mobilisasi sumber daya, identifikasi
tenaga kerja proyek, pengembangan kemampuan dan ketrampilan sosial dan teknis, implementasi proyek,
serta pemantauan dan evaluasi secara periodik. Sedangkan Gilbert menyatakan ada tiga unsur partisipasi,
yaitu dominasi pimpinan lokal, institusionalisasi, serta kemitraan masyarakat dan pemerintah. UNCRD telah
mengidentifikasi enam modus partisipasi, yaitu keterlibatan masyarakat dalam kegiatan proyek, pemilihan
tenaga kerja yang tepat, keikutsertaan dalam berbagai kegiatan, serta kontribusi sesuai dengan keahlian
masing-masing.
Pengalaman di lapangan memperlihatkan bahwa partisipasi diwujudkan melalui kehadiran pada
pertemuan masyarakat, keterlibatan dalam berbagai kegiatan, partisipasi dalam negosiasi dan pendekatan,
serta keikutsertaan dalam pekerjaan kemasyarakatan. Turner merinci empat alternatif partisipasi masyarakat
dalam kegiatan perumahan. Sponsor menentukan dan user menyediakan. Sponsor menyeleksi lokasi,
merencanakan bangunan, dan mempersiapkan prosedur administrasi dan keuangan sebelum menyeleksi
partisi. Kedua, user memutuskan dan user menyediakan. Ketiga, user memutuskan dan sponsor menyediakan,
dan keempat, perencanaan pusat dan pengawasan lokal (what needs to be done and procedural lines to be
followed are specified, and a limit to what may be done is established and actors have flexibility within those
limits).
Perencanaan dan pembuatan keputusan di negara-negara berkembang telah menyadari pentingnya
partisipasi dalam program perbaikan lingkungan permukiman kumuh (slums) dan liar (squatters). Para ahli

380
berpendapat bahwa keberhasilan partisipasi didukung oleh beberapa faktor kondusif: kelompok kecil,
kepemimpinan yang kuat dan wibawa, kemauan komunitas yang tinggi dan gigih, adanya dukungan
pemerintah, pendekatan yang fleksibel, homogenitas masyarakat, pengalaman gotong royong yang baik,
adanya kesamaan kebutuhan, alur informasi yang jelas, penyuluhan dan latihan singkat, keteladanan, dan
terpeliharanya kesinambungan.

Prospek
Pengalaman di negara-negara berkembang menunjukkan manfaat partisipasi dalam pengadaan
perumahan, khususnya perbaikan lingkungan permukiman kumuh dan liar. Tanggung jawab, otoritas, dan
sumber daya dalam penyediaan pelayanan dasar perumahan harus didesentralisasikan dan didelegasikan ke
pemerintah lokal. Selanjutnya, perlu disiapkan organisasi masyarakat, pendidikan dan pelatihan bagi pelaksana
dan pimpinan lokal, serta pemarifaatan jaringan sosial. Promosi pelayanan perlu diintegrasikan pada semua
tingkatan masyarakat. Dialog yang regular perlu diciptakan, baik di lingkungan pemerintah, masyarakat,
formal dan informal sektor. Prosedur perencanaan perlu dipahami bersama dan para pelaksana proyek perlu
meningkatkan enthusiastic.
Usaha-usaha kontinyu perlu dilakukan untuk mendorong dan menciptakan konsensus. Bekerja dengan
beberapa kelompok akan lebih baik. Kriteria penilaian perlu dipertegas, peran masyarakat perlu diciptakan
dan konsultasi perlu terus menerus dilakukan. Mobilisasi sumber daya masyarakat sangat panting untuk
menumbuhkan pelayanan yang partisipatif. Mobilisasi dana dan sumber daya masyarakat meliputi keterlibatan
pimpinan formal dan informal, penyediaan informasi, peningkatan kontribusi masyarakat secara langsung
maupun tidak langsung. Kegiatan proyek haruslah dilaksanakan dan di bawah pengawasan serta supervisi
masyarakat.
Pendidikan dan pelatihan yang memadai diperlukan bagi pimpinan lokal dan masyarakat yang meliputi
metoda dasar, manajemen pembiayaan, komunikasi, pemantauan proyek dan evaluasi. Ide dan pemikiran
tentang partisipasi masyarakat dalam pembangunan perumahan ini bisa diterapkan di DKI Jakarta dalam
rangka mengentaskan kemiskinan, khususnya yang terkait dengan masalah perumahan kumuh dan liar.
Penerapannya tidak mudah, memerlukan kesabaran aparatur pemerintah dan kesiapan masyarakat untuk
berperan serta dan berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan perumahan dengan swadaya masyarakat
serta adanya kemitraan pemerintah, swasta dan masyarakat.
Di DKI Jakarta, segala bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan perumahan ini akan
berperan nyata dalam mengentaskan kemiskinan. Antara lain terlihat dalam penanganan, peremajaan, dan
permukiman kembali lingkungan kumuh, contohnya di Karang Anyar, Penjaringan, dan Pulogadung, perbaikan
rumah di kampung-kampung dengan swadaya masyarakat, misalnya di Bidaracina dan kawasan penghijauan
sepanjang aliran kali Ciliwung. Melalui partisipasi masyarakat dalam pembangunan perumahan, keterlibatan
masyarakat yang berarti penyediaan lapangan kerja ditingkatkan, adanya peluang yang lebih besar untuk
mempunyai tempat tinggal yang lebih baik, serta diwujudkannya kondisi rumah yang atapnya tidak bocor,
pencahayaan dan sirkulasi udara cukup, serta lantai tidak berbau dan lembab. Dengan kata lain dapat
diwujudkan rumah sehat dalam lingkungan yang sehat.
Peran serta dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan perumahan dalam rangka mengentaskan
kemiskinan, hendaknya diwujudkan dengan cara menanamkan, memupuk, menumbuhkembangkan kemitraan
(masyarakat-pemerintah-swasta), dan mengikutsertakan masyarakat dalam proses pembangunan (mulai
perencanaan sampai dengan pengawasan dan evaluasi) serta menumbuhkan pembangunan yang aspiratif
dari bawah, sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
setempat.
Angkatan Bersenjata, 23 September 1993

381
Partisipasi Masyarakat DKI Jakarta Dalam
Mengentaskan Kemiskinan
Berbicara kemiskinan di ibukota, maka terpaut sembilan juta penduduk DKI Jakarta yang lebih dari
separuhnya berpenghasilan di bawah Rp 200.000 per bulan, dengan rata-rata 5 jiwa per keluarga, maka
penghasilan per hari sekitar Rp 1.500 per orang. Apa artinya ini? Artinya adalah sebagian besar penduduk
ibukota Negara Republik Indonesia DKI Jakarta adalah kelompok miskin. Tidak lebih dari 40% penduduk
Jakarta yang berpenghasilan menengah ke atas. Uraian tulisan yang berjudul Partisipasi Masyarakat DKI
Jakarta dalam Mengentaskan Kemiskinan ini dibagi atas tiga bagian utama, yaitu kemiskinan masyarakat DKI
Jakarta, partisipasi, dan mengentaskan kemiskinan.

Kemiskinan
Garis kemiskinan telah ditetapkan BPS berdasarkan konsumsi pangan 2.100 kalori ditambah konsumsi
non-pangan sebesar 15,92-17,96% (daerah perkotaan) dan 6,12-6,52% (daerah perdesaan). Mengikuti
metoda ini maka penduduk Indonesia yang miskin sebanyak 54,2 juta orang (40,0%) pada tahun 1976, turun
menjadi 27 juta orang (15,12%) pada tahun 1990, masing-masing 4,56% di perkotaan dan 20,26% di
perdesaan. Kelemahan metoda ini adalah ketidak mampuannya mengukur dimensi relatif kemiskinan.
Padahal kemiskinan tidaklah selalu merupakan kemiskinan absolut, tetapi sebagai kemiskinan relatif.
Kelemahan lain, ketidak mampuan mengungkapkan dimensi lain dari kemiskinan seperti aspek kesehatan,
pendidikan, perlakuan di depan hukum, kerentanan terhadap kriminal, ketakberdayaan di hadapan kekuasaan,
dan sebagainya. ·
Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam kekurangan pangan dan tingkat pendapatan yang
rendah saja, akan tetapi juga tingkat kesehatan yang rendah, pendidikan yang rendah, perlakuan yang tidak
adil di muka hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan,
dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidup sendiri (Sackrey, 1973). Semua aspek ini jalin-menjalin
saling berpengaruh menghasilkan siklus kemiskinan.
Nasikun (1993) mengusulkan adanya redefinisi kemiskinan, paling tidak dua kali ukuran definisi di atas.
Dengan cara ini, jumlah masyarakat miskin tidak lagi 27 juta jiwa, tetapi meningkat menjadi sekitar 120 juta
jiwa (66,94%). Demikian pula untuk DKI Jakarta, perlu dibuat seca:ra khusus definisi kemiskinan, karena
berpenghasilan per bulan Rp 200.000 di Jakarta bisa disebut miskin padahal di luar Jakarta termasuk
berpendapatan sedang. Atau dengan membagi golongan masyarakat menjadi bermacam-macam jenis, mulai
dari yang sangat miskin (papa), miskin, hampir miskin, dan tidak miskin.
Masyarakat DKI Jakarta yang menjadi pokok bahasan tulisan ini adalah mereka yang terdiri dari warga
DKI Jakarta, para pendatang yang bekerja di DKI Jakarta tetapi belum mempunyai kartu tanda penduduk DKI,
para pekerja musiman yang mencari nafkah di DKI Jakarta, dan siapa saja yang dalam kehidupannya
memperoleh manfaat dari ibukota.
Partisipasi
Ahli sosiologi Be Ianda, van Dusseldorf (1981) menegaskan bahwa partisipasi warga kota terdiri atas
(1) partisipasi bebas yang spontan atau diajak (spontaneous or induced free participation), (2) partisipasi
didorong (forced participation), dan (3) partisipasi biasa (customary participation). Pelaksanaannya dapat
dilakukan secara langsung (direct), terorganisasi (organized), dan tidak terorganisasi (unorganized), dapat dilihat
dari intensitas dan frekuensinya (intensif dan ekstensif), ruang lingkupnya (terbatas dan tidak terbatas),
keefektifannya (efektif dan tidak efektif), dan keterlibatan masyarakatnya (penduduk kaya, penduduk miskin,
pegawai negeri, pegawai swasta, pegawai kedutaan asing di DKI, pelajar, mahasiswa, pemuda, penduduk di
tingkat RT, RW, l«!lurahan, kecamatan, dan wilayah kota, Karang Taruna, Kelompok PKK, Dasa Wisma,
Kelompok Kampanye lbu Sehat Sejahtera, kelompok Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera, dan lain-
lain).

382
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dalam hal ini dalam kaitannya dengan upaya-upaya
pengentasan kemiskinan, harus dilihat paling sedikit pada salah satu langkah di antara enam langkah proses
perencanaan pembangunan, yaitu formulasi masalah (termasuk tujuan dan sasaran), riset (survai, pengumpulan
data, dan analisis), penyiapan perencanaan, penentuan perencanaan, pelaksanaan (pengoperasian, dan
pemeliharaan), dan evaluasi (pengawasan, pengendalian, pemantauan, evaluasi, dan saran tindak lanjut).
Dikaitkan dengan hirarki pemerintahan, partisipasi ini dilakukan dalam skala (internasional, nasional, regional,
dan lokal), lokasi (pusat kota, pinggir kota, perdesaan, kota besar, kota sedang dan kota kecil), jenis (sektoral
dan proyek), dan model pembangunan (top-down dan bottom-up planning).
Dari kerangka teori tersebut dapat dilihat perilaku, tindakan partisipasi dan bentuk-bentuk pengabdian
masyarakat warga ibukota, orang tua, anak, pelajar, pemuda, wanita, pegawai, semuanya secara masing-
masing, perorangan dan bersama-sama, mempunyai kewajiban berpartisipasi dalam pembangunan ibukota
DKI Jakarta, dalam konteks ini adalah dalam upaya mengentaskan kemiskinan.
Cara lain melihat partisipasi masyarakat dalam pembangunan khususnya pengentasan kemiskinan
penduduk DKI Jakarta adalah dengan melihat 6 langkah proses perencanaan (van Dusseldorf) dan 18
kegiatan pembangunan (atau lebih) yang ditetapkan dalam RUPTD (Rencana Umum Pembangunan Tahunan
Daerah), yaitu pembangunan jalan arteri, kolektor dan lokal di samping jalan tol; peningkatan pelayanan
angkutan kota yang tertib, lancar, efisien dengan mengkombinasikan berbagai jenis angkutan yang ada;
penyediaan perumahan bagi semua kelompok masyarakat, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan
rendah dan sangat rendah; pemantapan sistem pengelolaan kebersihan kota dan sanitasi kota; penyediaan
taman dan ruang terbuka hijau; penciptaan iklim usaha yang seimbang; peningkatan peran serta masyarakat
dalam pembangunan; penciptaan kesempatan kerja sesuai dengan kebutuhan; peningkatan jumlah wisatawan,
pengendalian pertumbuhan penduduk; pengendalian, penambahan penduduk ke arah Barat-Timur; peningkatan
sumberdaya manusia; pemantapan kerukunan antar umat beragama, pengembangan dan pembinaan seni
budaya, peningkatan derajat kesehatan masyarakat, peningkatan kesejahteraan sosial, peningkatan kemampuan
aparatur pemerintah dan peningkatan kesadaran hukum.
Juga perlu ditingkatkan kegiatan-kegiatan khusus yang sebagian besar menyangkut golongan masyarakat
miskin, antara lain peningkatan peran serta masyarakat dalam menumbuhkan gotong royong, citra wisata,
budaya bersih, tertib bangunan, penanggulangan kemacetan lalulintas, pedagang asongan, pedagang
kakilima, penanganan pemulung, pengendalian keamanan dan ketertiban kota, penciptaan pasar yang bersih,
aman dan nyaman, program kali bersih dan udara bersih, serta peningkatan aparatur Pemda yang bersih,
manusiawi dan berwibawa.
Hubungan antara 6 langkah proses pembangunan dengan 18 kegiatan dalam RUPTD menghasilkan
Matrisk Partisipasi Warga Kota dalam pembangunan kotanya, dengan 108 elemen (Komarudin, Partisipasi
Membangun Warga Kota, Pelita, 23 Juni 1990). Setiap elemen matriks dapat diisi dengan program atau
tindakan yang dapat dilakukan warga kota untuk turut memecahkan pemecahan masalah kota khususnya
dalam rangka pengentasan kemiskinan. Melalui matriks ini akan dipertemukan pendekatan pembangunan
dari atas (top down) dengan pembangunan yang tumbuh dari aspirasi masyarakat (bottom up), sehingga dapat
dicapai efisiensi dan efektivitas pembangunan kota.
Pola ini memerlukan dukungan dan komitmen Pemda dan aparatnya yang mampu, disiplin, jujur,
wibawa dan penuh pengabdian. Kesadaran mewujudkan Jakarta BMW bukanlah semata-mata tugas warga
ibukota, tetapi merupakan tugas aparat Pemda bersama Swasta dan Masyarakat serta siapa pun yang dalam
hidupnya menikmati manfaat dari ibukota.

Mengentaskan Kemiskinan
Untuk mengentaskan kemiskinan di DKI Jakarta, mulailah dari pemimpin tertinggi, yaitu Gubernur DKI
Jakarta. Gubernur bersama aparat Pemda DKI Jakarta perlu mencanangkan komitmen politis gerakan
pengentasan kemiskinan. Komitmen ini kemudian disampaikan pada DPRD untuk mendapatkan dukungan.
Langkah selanjutnya, upaya pengentasan kemiskinan haruslah dijadikan program-program pembangunan
tahun pertama Repelita VI, yaitu 1994/1995. Untuk itu, pemikiran mengenai program pengentasan kemiskinan
perlu didorong dari atas, sekaligus ditumbuhkan dari bawah. Dari bawah, ditumbuhkan melalui musyawarah

383
pembangunan tingkat kelurahan, forum temu karya pembangunan tingkat kecamatan, Rakorbang II tingkat
wilayah kota, dan Rakorbang I tingkat propinsi.
lni harus menyangkut program yang didukung dana pemerintah, baik melalui APBN maupun APBD.
Kegiatan pengentasan kemiskinan yang didukung oleh dana swasta dan partisipasi masyarakat, perlu
disiapkan dengan baik, karena program ini merupakan bentuk dan perwujudan aspirasi masyarakat. Swasta
perlu diminta berpartisipasi membiayai program pengentasan kemiskinan. Lembaga Swadaya Masyarakat,
Yayasan dan Lembaga Sosial Kemasyarakatan lainnya perlu dihimbau untuk bersama-sama berperan serta
dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan.
Di samping upaya pengentasan kemiskinan dengan dana pemerintah dan swastalmasyarakat tadi,
masih ada lagi program pengentasan kemiskinan yang sifatnya crash program. Program seperti ini perlu
dijual atau ditawarkan kepada pihak-pihak tertentu yang memang berniat berperan serta atas berbagai alasan
khusus. Misalnya saja, pengentasan kemiskinan masyarakat nelayan, pedagang kaki lima, pedagang
asongan, pengamen, dan sebagainya.
Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan umum dan pembangunan,
dalam hal ini dalam rangka mengentaskan kemiskinan, mutlak diperlukan. Partisipasi dapat dilakukan dari
dalam sistem organisasi atau dari luar sistem tersebut. Partisipasi masyarakat harus tampak pada berbagai
tahapan pembangunan, mulai dari persiapan, peninjauan lapangan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
pengendalian, pengawasan, dan evaluasi. Partisipasi dari dalam organisasi menyangkut peran serta dan
keikutsertaan, sedangkan dari luar organisasi, bersifat kontrol yang berusaha memperbaiki pola kerja untuk
mencapai keberhasilan pencapaian tujuan.
Dalam mengentaskan kemiskinan, pada dasarnya dituntut partisipasi aktif warga DKI Jakarta, baik
aparat pemerintah, swasta, dan masyarakat. Partisipasi dapa_t berupa mobilisasi dana dan sumber daya
masyarakat dan merupakan upaya saling menunjang. Partisipasi dapat dilakukan secara bebas, spontan atau
melalui percontohan atau keteladanan. Dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung, tergantung
permasalahan yang dihadapi. Partisipasi dapat dilakukan pada satu atau lebih tahapan pembangunan baik
secara utuh maupun sebagian. Dapat dilakukan secara perorangan maupun organisasi atau kelembagaan.
Juga dibedakan atas partisipasi aktif dan pasif, intensif dan ekstensif, terbatas dan tidak terbatas, efektif dan
kurang efektif, tingkat perumahan, komunitas, lokal, dan wilayah kota, dilakukan oleh penduduk asli atau
pendatang.
Pemerintah DKI Jakarta bisa membuat Matriks Pengentasan Kemiskinan yang barisnya terdiri dari 20-
30 elemen program pembangunan DKI Jakarta (pengendalian penduduk, penyediaan sarana dan prasarana,
peningkatan kegiatan ekonomi, pembinaan dan pengembangan ekonomi lemah, dan lain-lain) dan kolomnya
terdiri dari jenis-jenis partisipasi yang disebutkan di atas. Matriks ini dilengkapi dengan pelaku pembangunan
dan siapa saja yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Matriks Pengentasan Kemiskinan harus tampak
menonjol pada tingkat Kelurahan, karena di kelurahan sebenarnya bisa terlihat kemiskinan yang sesungguhnya
dibandingkan dengan kemiskinan tingkat Kecamatan.
Matriks ini harus dimengerti oleh semua aparat kelurahan dan ditawarkan kepada berbagai pihak,
pengusaha, kalangan bisnis, orang-orang kaya, yayasan dan sebagainya. Sejalan dengan itu, unit data dan
informasi di tingkat kelurahan harus selalu siap menginformasikan program pengentasan kemiskinan kepada
siapa yang memerlukan informasi kemiskinan di kelurahan. Dengan cara ini, lambat tapi pasti, kemiskinan di
tiap kelurahan di ibukota DKI Jakarta secara berangsur-angsur berkurang jumlahnya. Dengan kata lain
Gerakan Mengentaskan Kemiskinan membawa keberhasilan. Semoga.
Angkatan Bersenjata, 31 Juli 1993

384
Menelusuri Partisipasi Masyarakat Jakarta Dalam
Mengentaskan Kemiskinan
Kemiskinan mutlak (absolute poverty) diartikan sebagai ketidakcukupan kebutuhan dasar hidup.
Sedangkan secara relatif, kemiskinan diartikan sebagai suatu tingkat konsumsi- atau pendapatan yang berada
di bawah konsumsi atau pendapatan tertentu yang nilainya relatif masih tinggi. Kemiskinan bisa diartikan
secara sederhana atau kompleks. Secara sederhana, memandang orang miskin sebagai orang-orang yang
berpenghasilan rendah, di DKI Jakarta, keluarga yang penghasilan per bulannya di bawah Rp 200.000.
Sebagai sesuatu yang kompleks, kemiskinan dikaitkan dengan fertilitas, mortalitas, pola struktur keluarga,
dan pertumbuhan penduduk.
Gutkind (1983) melihat kemiskinan secara obyektif dan subyektif. Keamanan dan persepsi masyarakat
dilihat sebagai faktor obyektif, sebaliknya reaksi dan sifat-sifat individu dapat dilihat sebagai faktor subyektif.
Penyebab kemiskinan bermacam-macam (Andre Bayo Ala, 1979), ada yang dari luar (alamiah berupa
sumber daya alam yang miskin, iklim yang tidak menguntungkan, dan sering terjadi bencana; dan buatan
berupa akibat dari kebijaksanaan (ipoleksosbudhankam) dan dari dalam (berupa sikap malas, tidak mau
bekerja, dan tidak punya keinginan maju).
Kemiskinan penduduk dan penyebabnya dapat diuraikan sebagai berikut. Rendahnya tingkat pendapatan
(1) merupakan penyebab kemiskinan (2) mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan (3) kecilnya akumulasi
modal (4) dan buruknya kesehatan dan gizi (5) kemiskinan. selanjutnya akan menyebabkan meningkatnya
tingkat fertilitas (6) karena bagi mereka yang miskin, tenaga kerja merupakan satu-satunya modal yang
dimiliki sehingga cenderung menambah jumlah anak. Rendahnya tingkat pendidikan (3) dan modal produksi
(4), berakibat pada rendahnya penguasaan terhadap teknologi produksi (9) dan selanjutnya menyebabkan
rendahnya produktivitas (1 0).
Tingkat fertilitas yang tinggi (6) menyebabkan jumlah penduduk meningkat (7) yang kemudian
berakibat kecilnya penguasaan pada sumber daya (terutama tanah) per kapita (8). Sementara itu tingkat
kesehatan dan gizi yang buruk (5) menyebabkan rendahnya produktivitas (1 0), kemudian bersama-sama
dengan rendahnya penguasaan sumberdaya (8) menyebabkan rendahnya total produksi (12). Rendahnya
tingkat pendidikan (3) dan tingginya jumlah penduduk (7) berakibat pada rendahnya kesempatan kerja di luar
sektor pertanian (11) yang pada gilirannya akan kembali pada rendahnya tingkat pendapatan (1 ). Proses ini
berlangsung terus menerus, sehingga penduduk miskin terus terbelenggu dalam lingkaran kemiskinan Lihat
gambar).
Kemiskinan ada dimana-mana, di daerah perkotaan dan perdesaan. Juga di lima wilayah kota DKI
Jakarta, di samping kemajuan pembangunan perkantoran dan pusat perbelanjaan seperti Kawasan Blok M,
Kelapa Gading, Citra Land, Pondok lndah Mall, kawasan Thamrin dan Sudirman, masih sulit membendung
tumbuhnya lingkungan permukiman kumuh seperti di Krendang, Angke, Kalianyar, Karanganyar, Penjaringan,
Pademangan, Koja, Bidaracina, Mangggarai, Galur, Senen, dan lingkungan permukiman kumuh lainnya.

Partisipasi Masyarakat
Patut dihargai upaya Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasionai/Ketua Bappenas membuat
peta kantong-kantong kemiskinan per kecamatan, dengan menggunakan data desa miskin yang dikumpulkan
BPS. Meskipun ada perbedaan kecil antara desa miskin versi BPS dan jumlah kecamatan miskin buatan
Bappenas, namun pada hakekatnya kita ingin mengenali keberadaan orang atau penduduk miskin yang
berjumlah paling sedikit 27 juta jiwa di Indonesia. Di DKI Jakarta sendiri, walaupun menurut BPS ada 4·
kelurahan miskin dan 256 kelurahan tidak miskin, pada kenyataannya warga Jakarta yang miskin masih
cukup banyak.
Kemiskinan di kota Jakarta diakibatkan dua fenomena, yaitu pembangunan kota-kota dan desa-desa
sekitar Jakarta, termasuk daerah Jawa Tengah, Dl Yogyakarta, dan Jawa Timur yang kurang cepat dan sulit

385
SKEMATIS KEMISKI~N PENDUDUK DAN PENYEBA~YA

Fasilitas Jumlah Penduduk


Tinggi (6) Meningkat (7)

Pendidikan - - - - - - - - - - - - - - - { r-----__~
Rendah (3)

Teknologi Sumberdaya
Rendah (9) per kapita
Rendah (8)
Miskin (2)
Modal
Rendah (4)

Kesehatan Produktivitas
dan Gizi Rendah (10)
Buruk (5)

Pendapatan _____. Kesempatan Kerja


Rendah (1) Total Produksi Non Pertanian
Rendah (12) Rendah (11)

membendung arus penduduk ke Jakarta dan industrialisasi sekitar Jakarta yang terlalu cepat sehingga
menarik penduduk desa menuju Jakarta. Untuk mengatasi hal ini; diperlukan kebijaksanaan ekonomi makro
yang didukung kebijaksanaan yang lebih desentralistik.
Perumusan kebijaksanaan Pemerintah DKI Jakarta dalam Repelita VI khususnya program anti
kemiskinan, haruslah disusun berorientasi dan bersasaran orang (people· oriented) dan haruslah dilaksanakan
semakin besar oleh aparat Pemerintah Daerah Tingkat II ke bawah. Jadi harus dilakukan oleh Walikota
bersama dengan jajarannya, yaitu aparat Walikota, Kecamatan, dan Kelurahan, serta didukung partisipasi
masyarakat dan swasta dalam berbagai bidang pembangunan. Tidak kalah pentingnya, peran berbagai
organisasi sosial kemasyarakatan, seperti LSM, Walhi, Lions Club, Gerakan KB, Gerakan PKK, NKKBS,
Kampanye lbu Sehat Sejahtera, Posyandu, Karang Taruna, dan gerakan kesetiakawanan sosial nasional.
Upaya mengentaskan kemiskinan tidaklah dapat dilakukan terpisah dari kegiatan pembangunan
lainnya. Pengentasan kemiskinan harus dapat diwujudkan dalam RUTR (Rencana Umum Tata Ruang) dan
RTRK (Rencana Terinci Ruang Kota), dan RUPTD (Rencana Umum Pembangunan Tahunan Daerah) dan
dibahas secara seksama oleh kemitraan tiga unsur (pemerintah-swasta-masyarakat) mulai Musbang
(musyawarah pembangunan) tingkat kelurahan, Forum Temu Karya tingkat Kecamatan, Rakorbang II Tingkat
Wilayah Kota, dan Rakorbang I Tingkat DKI Jakarta.
Sejalan dengan itu, sediakan informasi secukupnya, buat papan pengumuman untuk warga kota, ajak
warga DKI Jakarta untuk hidup dinamis, berbudaya iptek, dan menuju kehidupan profesional, lakukan
penyuluhan tentang upaya-upaya pengentasan kemiskinan di kelurahan-kelurahan, RW, dan RT. Karena

386
upaya pengentasan kemiskinan menyangkut sebagian besar lapisan bawah masyarakat Jakarta, maka
diperlukan upaya yang serius dan terus menerus untuk mengubah posisi kelompok miskin menjadi tidak
miskin. Selenggarakan berbagai bentuk kursus ketrampilan pada tingkat kelurahan agar para remaja putus
sekolah bisa mengarahkan dirinya menjadi pekerja dan terhindar dari pengangguran.
Jika dalam program keluarga berencana digalakkan Gerakan Nasional KB dan dalam mengejar piala
Adipura digalakkan gerakan Bebas Sampah, maka dalam mengentaskan kemiskinan perlu dikumandangkan
Gerakan Nasional Pengentasan Kemiskinan, yang untuk DKI Jakarta disebut saja Gerakan Penanggulangan
Kemiskinan. Gerakan ini dilakukan pada tingkat makro dan mikro. Pada tingkat makro, perlu dituangkan ke
dalam produk perencanaan pembangunan dari tingkat DKI Jakarta sampai ke tingkat Kelurahan, dilakukan
oleh semua jajaran Pemda DKI Jakarta. Pada tingkat mikro, ditingkatkan partisipasi masyarakat dan swasta
dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan.
Camat dan Lurah akan berperan sebagai ujung tombak pelaksanaan gerakan penanggulangan
· kemiskinan. Misalnya, dengan melakukan penataan lingkungan kumuh, mewujudkan kondisi rumah sehat
dalam lingkungan yang sehat, menyelenggarakan kursus-kursus ketrampilan masyarakat, menata tempat
dagang para pedagang kakilima, menumbuhkan kegotongroyongan, memobilisasi dana masyarakat, dan
menumbuhkan subsidi silang (si kaya diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi si miskin). RPTK
(Rencana Pembangunan Tahunan Kecamatan) dan RPTD (Rencana Pembangunan Tahunan Desa atau
Kelurahan) haruslah dimasyarakatkan. RPTK dan RPTD inilah, yang menampung aspirasi rencana
pembangunan tahunan kelurahan dan merupakan penjabaran rencana pembangunan tahunan wilayah kota
serta menyalurkan aspirasi warga dan masyarakat, secara jelas berisi program-program nyata pengentasan
kemiskinan, menyangkut besarnya dana yang tersedia, aparat pelaksana, lokasi dan pelaksanaan proyek,
dan tujuan serta sasaran yang ingin dicapai.
Walikota hendaknya membentuk kelompok-kelompok kerja penanggulangan kemiskinan di tingkat
kotamadya dan kecamatan. Kelompok kerja ini dibantu para pakar perkotaan, secara bersama-sama
memikirkan dan merumuskan program-program penanggulangan kemiskinan. Bisa juga dilakukan seminar
kecil membahas kasus-kasus tertentu, dihadiri tokoh masyarakat setenipat. Lakukan kunjungan ke lapangan
secara kontinu, sehingga benar-benar dapat dilihat kondisi kemiskinan yang sebenarnya, bukan kemiskinan
semu.
Ajak warga masyarakat miskin untuk berusaha meningkatkan tarat hidupnya dan jangan dibiasakan
mereka manja. Budaya selalu memberikan bantuan sudah saatnya dihindari. Mulailah dengan bantuan
berupa upaya peningkatan pendidikan, kemampuan, dan ketrampilan masyarakat, jiwa usaha, kewiraswa.staan
atau enterpreneurship, sehingga kelompok miskin dapat terangkat dari sekedar berpenghasilan pas-pasan
menjadi berkecukupan.
Buatlah peta atau potret kemiskinan per kelurahan dan kampung, kalau memungkinkan sampai RW
dan RT. Dengan cara ini akan diketahui penduduk miskin wilayah kota yang sebenarnya. lni akan
memudahkan Pemda dalam merumuskan program pembangunan kota, baik berupa penataan lingkungan,
perbaikan kampung, peremajaan bagian wilayah kota, dan program pengentasan kemiskinan.
Adakan Iomba pembuatan peta kemiskinan antar kelurahan. Dengan cara ini, Camat akan berusaha
agar Kelurahan di bawahnya meraih pembuat peta kemiskinan terbaik. Dengan pembuatan peta kemiskinan
yang baik, akan memudahkan Walikota dan aparatnya mencari upaya~upaya untuk mengatasi kemiskinan
tersebut. Kebijaksanaan untuk mengentaskan kemiskinan dan mengurangi kesenjangan antar wilayah kota,
antar golongan maupun antar sektor, memerlukan tersedianya data dan informasi yang lengkap dan akurat.
Untuk itulah aparat Kecamatan dan Kelurahan di ibukota perlu menyediakan peta dan profil masyarakat atau
daerah miskin.
Berbagai program dan proyek pengentasan kemiskinan harus terintegrasi dengan baik, jangan berjalan
sendiri-sendiri. Semua ingin memberantas kemiskinan, tetapi kenyataannya, kemiskinan makin meningkat.
Segala sumber daya untuk memberantas kemiskinan perlu diintegrasikan agar hasilnya lebih efisien dan
efektif. Koordinasi antar unit kerja di lapangan perlu ditingkatkan. Dalam hal ini peran Walikota sangat penting,
khususnya dalam melaksanakan PP Nomor 6 Tahun 1988 dan lnmendagri Nomor 18 Tahun 1989 tentang

387
Koordinasi Kegiatan lnstansi Vertikal di Daerah. Demikian pula, DPRD harus berperan lebih nyata lagi dalam
program pengentasan kemiskinan.
lnpres atau lnstruksi Kepala Daerah, sangat diperlukan dalam mendorong. mobilisasi sumber daya
yang ada untuk mengentaskan kemiskinan. Dengan instruksi ini, akan digerakkan segala potensi yang ada
dalam rangka mengurangi ketimpangan ekonomi dan memberantas kemiskinan. lnspres Desa Miskin
diharapkan dapat diarahkan lansung pada kepentingan masyarakat miskin. BUMN yang diwajibkan
mengalokasikan 1-5% dari keuntungan bersihnya untuk membantu masyarakat kecil, dapat diarahkan untuk
mendukung program pengentasan kemiskinan. Akhirnya, tidak kalah pentingnya adalah memadukan program
pengentasan kemiskinan dengan program-program pembangunan lainnya, sehingga dicapai efisiensi dan
efektivitas pembangunan.
Jayakarta, 28 Juli 1993

Partisipasi Swasta Dan Masyarakat Dalam


Pengentasan Kemiskinan di DKI Jakarta
Presiden Soeharto (Agustus 1989) menegaskan bahwa kita harus senantiasa menghilangkan hambatan-
hambatan yang membatasi inisiatif dan kreativitas masyarakat, yang pada gilirannya akan mengurangi peran
serta masyarakat dalam pembangunan. Kita juga akan terus m~ningkatkan peran dan kemampuan pemerintah
untuk mengarahkan pelaksanaan pembangunan dan mengawasi serta menerapkan ketentuan-k~tentuan
yang adil bagi seluruh rakyat. Mengentaskan kemiskinan bukanlah merupakan tugas pemerintah sendiri,
tetapi merupakan tugas bersama antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Dengan demikian, partisipasi
masyarakat dalam program pengentasan kemiskinan, mutlak diperlukan. Untuk itulah maka tulisan ini
berusaha mengangkat pentingnya partisipasi swasta dan masyarakat dalam pengentasan kemiskinan di DKI
Jakarta.

Kemiskinan
Dari 8,2 juta penduduk DKI Jakarta (1990), hampir 2 juta tinggal di lingkungan permukiman kumuh.
Mereka bisa kita sebut kelompok miskin. Di samping itu, 60% atau 5 juta jiwa atau sekitar 1 juta rumah
tangga, berpenghasilan per bulan di bawah Rp 150.000. Kelompok ini, untuk ukuran Jakarta, bisa juga kita
masukkan ke dalam orang-orang miskin. lni berarti kelompok miskin di ibukota sebenarnya masih cukup
banyak jumlahnya.
Kemudian jika kita mengelilingi kota Jakarta, akan dijumpai kantong-kantong kemiskinan yang ditandai
dengan kepadatan penduduk yang tinggi, rumah kumuh (sumpek, sempit, tanpa sanitasi, kurang penerangan),
dan tidak manusiawi. Di Jakarta Barat, dijumpai di Kecamatan Tambora, Tamansari, dan Palmerah, di
Kelurahan Kalianyar, Krendang, Jembatan Besi, Keagungan, Duri Utara, Jembatan Lima, Tanah Sareal,
Angke, Kota Bambu, Krukut, dan Tangki. Di Jakarta Selatan, dijumpai di Kecamatan Tebet, Setiabudi, dan
Mampang Prapatan, Kelurahan Manggarai Selatan, Menteng Atas, Bukit Duri, Manggarai dan Pasar Manggis.
Di Jakarta Timur, dijumpai di Kecamatan Jatinegara, Matraman, dan Duren Sawit, di Kelurahan
Kampung Melayu, Pisangan Baru, Kayu Manis, Cipinang Besar Utara, dan Malaka Jaya. Di Jakarta Utara,
dapat dilihat di Kecamatan Tanjung Priok dan Koja, Kelurahan Warakas, Lagoa, Koja Selatan, dan Kebon
Bawang. Jakarta Pusat juga mempunyai kantong-kantong kemiskinan, yaitu di Kecamatan Johar Baru,
Sawah Besar, Kemayoran, Gambir, Senen, Tanah Abang, di Kelurahan Kampung Rawa, Galur, Tanah Tinggi,
Karanganyar, Utanpanjang, Duri Pulo, Harapan Mulya, Kartini, Kemayoran, Kramat, Kebon Melati, Kebon
Kacang dan Cempaka Baru.

388
Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan, termasuk dalam pengentasan kemiskinan, akan dapat
meningkatkan efektivitas dan efisiensi. Partisipasi masyarakat memberikan kontribusi pada upaya pemanfaatan
sebaik-baiknya sumber dana yang terbatas. Partisipasi masyarakat membuka kemungkinan keputusan
diambil didasarkan pada kebutuhan, prioritas dan kemampuan masyarakat. lni akan menghasilkan rancangan
rencana, program, dan kebijaksanan yang lebih realistis. Selain itu, memperbesar kemungkinan masyarakat
bersedia dan mampu menyumbangkan sumber daya mereka seperti uang dan tenaga pelaksanaan serta
pengoperasian dan pemeliharaan. Partisipasi masyarakat juga menjamin penerimaan dan apresiasi yang
lebih besar terhadap segala sesuatu yang dibangun (prasarana dan sarana perkotaan). lni akan merangsang
pemeliharaan yang baik, bahkan menimbulkan dan menumbuhkan kebangggaan.
Setiap warga masyarakat mempunyai hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat untuk berperan
serta dalam program pengentasan kemiskinan, baik pada tahap perencanaan maupun tahap peJaksanaan
dan penilaian. Dengan peranserta tersebut, anggota masyarakat mempunyai motivasi yang. kuat untuk
bersama-sama mengatasi masalah kemiskinan kotanya dan mengusahakan berhasilnya kegiatan pengentasan
kemiskinan. Partisipasi masyarakat akan membangkitkan semangat kemandirian dan kerjasama di antara
masyarakat, meningkatkan keswadayaan yang pada gilirannya mengurangi ketergantungan pada pemerintah.
Kegiatan yang partisipatif meliputi inventarisasi pengalaman masyarakat, studi kasus secara komparatif
mengenai partisipasi masyarakat, survai dan analisis kebijaksanaan serta peraturan, perumusan kerangka
dan pendekatan konseptual mengenai pembangunan yang bertumpu pada partisipasi masyarakat. Hasan
Poerbo (1989) dan Rondinelli (1990) adalah pakar perkotaan yang menganjurkan ditumbuhkembangkannya
partisipasi masyarakat dalam pembangunan perkotaan.

Partisipasi Swasta
Kerjasama Pemerintah-Swasta dalam pembangunan perkotaan makin diperlukan. Peranserta Swasta
akan lebih mendorong efisiensi dan efektivitas pembangunan kota, didukung pertumbuhan kota-kota menengah
dan kota kecil serta kota satelit di sekitarnya secara berimbang. Sejak 1989 Saleh Afiff telah mendorong
peransreta Swasta dalam pembangunan kota, antara lain dalam pembangunan jalan tal, kawasan industri,
fasilitas tenaga listrik dan telekomunikasi, pengelolaan sampah, penyediaan air bersih, pembangunan kota
baru, perumahan dan permukiman baru, dan pembangunan kawasan wisata.
Jika diteliti, ada enam jenis partisipasi swasta dalam pembangunan kota (Hendropranoto Suselo, 1993)
dalam Nana Rukmana (1993). Pertama konsep butt, operate, and transfer, dimana swasta membangun,
mengoperasikan dan memperoleh pendapatan dari suatu fasilitas selama jangka waktu tertentu yang
disepakati. Kedua konsep diverstiture, di mana fasilitas atau badan usaha pemerintah dijual kepada swasta
untuk bersaing melalui tender pekerjaan (konstruksi maupun jasa) yang semula hanya diperuntukkan
pemerintah. Ketiga konsep leasing, di mana badan usaha swasta menyewa suatu fasilitas pemerintah selama
jangka waktu tertentu yang disepakati dan memperoleh pemasukan. Setelah akhir batas waktu perjanjian,
fasilitas dikembalikan kepada pemerintah.
Keempat, konsep contract operations, di mana pemerintah tetap mengendalikan badan usahanya dan
meminta kontraktor untuk memberikan jasa manajemen atau jasa-jasa lainnya selama periode tertentu.
Kontraktor dibayar langsung oleh Pemerintah atas jasa-jasa yang diberikannya. Kelima, penerapan konsep
kerjasama pemerintah-swasta yang meliputi kegiatan pembangunan kota yang kompleks, seperti kota baru,
peremajaan kota dan kawasan industri, di mana pemerintah membantu penyediaan lahan dan swasta
merupakan pelaksana utama pembangunannya. Keenam, sektor informal yang telah berperan dalam
penyediaan pelayanan kota secara murah.
Proyek-proyek pembangunan yang didukung oleh partisipasi swasta ternyata menumbuhkan terobosan-
terobosan baru dan memberikan peluang kesempatan kerja, mobilisasi dana, mendukung ekonomi daerah,
serta memacu pertumbuhan lokal. Karena itu perlu dilakukan analisis dalam bidang apa saja swasta
dibutuhkan untuk memacu pembangunan kota.

389
Strategi
Dalam mengentaskan kemiskinan di DKI Jakarta, pertama-tama perlu dibuat peta atau potret daerah
miskin di tiap kelurahan dan kecamatan pada masing-masing Wilayah Kota (Kotamadya). Sejalan dengan UU
Nom or 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia DKI Jakarta, tiap Lurah
dan Camat, hendaknya berkompetisi mengejar prestasi termasuk dalam program pengentasan kemiskinan.
Pada tingkat DKI Jakarta, perlu dibuat Kebijaksanaan dan Strategi Pengentasan Kemiskinan, seperti yang
pernah dibuat misalnya, Kebijaksanaan dan Strategi Pembinaan Pemulung dan Pedagang Asongan, serta
Pedagang Kakilima. Kebijaksanaan dan strategi ini perlu dijabarkan ke dalam program-program pengentasan
kemiskinan antar lnstansi Pemerintah di lingkungan Pemda DKI Jakarta, Pemda Jawa Barat (dan propinsi
tetangga DKI yang lain), dan juga lnstansi di Tingkat Pusat. Sesuai dengan UU 11/1990, dalam PE?rencanaan,
Pemda DKI Jakarta bekerjasama dengan lnstansi-instansi tersebut, termasuk dengan swasta.
Dengan adanya berbagai'program pengentasan kemiskinan ini dan berbagai instansi pelaksana, dapat
dibuat Matriks Pengentasan Kemiskinan di DKI Jakarta. Lakukan koordinasi triwulan antar berbagai instansi
ini, untuk memantau sejauh mana perkembangan pelaksanaannya. Bentuk Sekretariat Program Pengentasan
Kemiskinan di DKI Jakarta, misalnya di bawah Wagub Kesra, Bappeda, atau Dinas Perekonomian. Menyadari
perkembangan Jakarta yang pesat dalam menuju megacity dan megapolitan pada tahun 2000 dengan
berbagai permasalahannya maka perlu dilakukan upaya pengentasan kemiskinan dengan pendekatan
bersistem.
Pendekatan ini mengacu pada pengalaman negara maju dalam menangani kemiskinan di kota-kota
metropolitannya (Kreshaw, 1970; Lampman, 1971; dan Levitan, 1976; dalam Nasikum, 1993), yaitu
mengidentifikasi dan merumuskan empat strategi penanganan masalah kemiskinan yang secara sendiri-
sendiri atau berkombinasi dapat dipilih pada beragam konteks dan bagi segmen penduduk miskin yang
berbeda, yaitu (1) membuat pasar bekerja dengan baik, (2) menyerasikan sistem terhadap kepentingan
penduduk miskin, (3) menyelaraskan penduduk miskin terhadap tuntutan dan dinamika pasar, dan (4)
memberikan santunan bagi penduduk miskin.
Strategi pertama menekankan pada pendekatan ekonomi makro, melalui regulasi dan deregulasi
lembaga-lembaga serta ekonomi, untuk mendorong dan memelihara tercapainya full employment sehingga
jumlah penduduk yang menganggur dan setengah menganggur dapat ditekan atau dieliminasi atau diturunkan.
Asumsi yang mendasari strategi ini adalah argumen expansionist di hadapan argumen structuralist (tidak ada
pasar tenaga kerja yang tidak sensitif terhadap permintaan agregat apabila permintaan mencapai skala yang
cukup tinggi). Misalnya, aplikasi kebijaksanaan moneter dan fiskal untuk menurunkan tingkat pengangguran
melalui ekspansi ekonomi. Dengan cara ini, apabila bisnis dapat menjual barang-barang mereka pada tingkat
harga yang terbeli oleh karena pertumbuhan skala permintaan yang besar, ia pada akhirnya akan
menguntungkan untuk mempekerjakan semua tenaga kerja yang pada waktu yang lalu terlalu mahal. Sejalan
dengan kebijaksanaan ini, perlu ditempuh kebijaksanaan pengembangan sumberdaya manusia dan pendidikan
yang siap kerja dan siap pakai.
Strategi kedua, penyesuaian sistem pasar yang ada untuk dapat melayani secara lebih baik kepentingan
penduduk miskin. Contohnya, pengaturan pasar tenaga kerja untuk memberikan kemungkinan dan mendorong
penawaran tenaga kerja kolektif, penetapan upah buruh minimum, ·pengembangan organisasi buruh,
penyediaan perumahan murah, kebijaksanaan harga barang-barang produk pertanian, sistem perpajakan
progresif, pajak pendapatan negatif, dan sebagainya. Dalam strategi ini juga ditingkatkan penyediaan
prasarana dan sarana perkotaan, khususnya di daerah-daerah yang berbatasan dengan wilayah Botabek.
Misalnya angkutan umum, penyediaan air bersih, pembangunan sanitasi dan drainase, fasilitas pendidikan
dasar dan menengah, puskesmas dan posyandu, pasar lokal, serta fasilitas umum lainnya.
Strategi ketiga, perwujudan program-program ketenagakerjaan (manpower programs). Landasan teoritik
yang mendasari adalah argumen structuralist( ... bahkan pada masa "boom" ekonomi sekalipun, senantiasa
akan dihadapi kemiskinan; pertama oleh karena adanya pengangguran struktural, dan kedua karena di dalam
full employment sekalipun akan selalu terdapat pekerjaan-pekerjaan yang hanya mampu memberikan upah di
bawah garis kemiskinan). Program ketenagakerjaan pada umumnya berusaha melakukan dua hal berikut :
pertama, menjamin terjadinya permintaan agregat melalui full employment di dalam ekonomi nasional, dan

390
kedua, menjamin agar sementara pertumbuhan ekonomi terjadi, penduduk miskin melalui berbagai program
pelatihan kerja dapat memasuki lapangan kerja.
Contoh program dalam strategi ketiga antara lain, kerjasama antar pemda, bimbingan dan penyuluhan,
pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat, bimbingan dan percontohan bagi tenaga kerja wanita,
pendayagunaan tukang dalam pembangunan rumah sangat sederhana, partisipasi masyarakat dalam
program perbaikan kampung, program sarjana penggerak pembangunan kelurahan, penataan lingkungan
kumuh, penyuluhan pendidikan dan kesehatan, penyuluhan dalam perkoperasian, pendidikan dan pelatihan
tentang informasi, komunikasi, pendataan, pengetahuan komputer, dan manajemen perkotaan, partisipasi
masyarakat dan swasta dalam program P3KT (program pembangunan prasarana kota terpadu), sistem
pengumpulan sampah di kampung-kampung, kampanye ibu sehat sejahtera, program norma keluarga kecil
bahagia sejahtera (NKKBS), program dasawisma PKK, Karang Taruna dan program kesetiakawanan sosial.
Tidak kalah pentingnya adalah pencanangan Gerakan Masal Pengentasan Kemiskinan yang perlu dilaksanakan
di seluruh kecamatan.
Strategi keempat, berupa program bantuan atau penyantunan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Strategi ini paling tipikal untuk menolong kaum "papa" atau kelompok the
distitude,_ yang tidak berdaya untuk mengambil keuntungan dari program pembangunan yang diselenggarakan
di atas mekanisme pasar. Untuk mengangkat mereka dari lembah kemiskinan, diperlukan serangkaian
kebijaksanaan pengembangan program santunan (relieve programs, food stamp program, atau free food
rationing. program). Walaupun programnya didesain untuk menolong orang miskin, sering terjadi yang
menikmati adalah lapisan yang bukan miskin. Misalnya dalam program perbaikan kampung, peremajaan
lingkungan kumuh, pengembangan kecamatan terpadu, subsidi pangan, subsidi pendidikan, subsidi kesehatan,
perbaikan jalan lingkungan, dan sebagainya, orang miskin makin tergusur, sementara orang yang tidak miskin
menikmati kenyamanan dari program-program ini.
Strategi yang mana yang dipilih untuk mengentaskan kemiskinan penduduk Jakarta, masih harus
diteliti dengan cermat dan seksama. Diperlukan agenda penelitian kantong-kantong miskin di DKI Jakarta,
anatomi lapisan penduduk sangat miskin dan penduduk miskin, karakteristik penduduk miskin, perilaku
penduduk miskin, tanggapan mereka terhadap program pengentasan kemiskinan, penelitian sosiokultur, dan
sosio-antropologis penduduk miskin. Secara lebih detaillagi, perlu dilakukan penelitian terhadap tata nilai dan
gaya hidup kelompok miskin, sikus kehidupan dan gender (maskulin dan feminin), psikologi manusia dalam
lingkungan miskin, konservasi warisan budaya, interaksi dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.
Dari aspek perumahan penduduk miskin, perlu dilakukan penelitian yang memberi gambaran jelas dan
aktual tentang keadaan dan potensi perumahan miskin di wilayah tertentu, penelitian potensi sumberdaya
perumahan (untuk mengetahui prioritas dan pembagian peran yang lebih tepat dan kena sasaran), aspek
non-fisik (yang berpengaruh terhadap dan terkait dengan aspek fisik rumah yang dapat mempengaruhi
perilaku penghuni), pengaruh pembangunan terhadap kerusakan lingkungan masyarakat miskin, dan perlunya
dukungan ristek terhadap pembangunan perumahan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, yang
bertumpu pada kemandirian masyarakat.
Akhirnya, kita harapkan bersama agar dalam menyongsong Repelita VI pada 1 April 1994 (tahun
anggaran 1994/1995), selain produk perencanaan seperti Pola Dasar Pembangunan Repelita VI, Repelitada,
RUPTD (Rencana Umum Pembangunan Tahunan Daerah), sebagai hasil musyawarah pembangunan tingkat
kelurahan (musbang), temu karya pembangunan tingkat kecamatan, dan rakorbang, pemerintah DKI Jakarta
juga telah mempunyai (1) Kebijaksanaan, Strategi, dan Program Pengentasan Kemiskinan, (2) Proyek-proyek
Pengentasan Kemiskinan Tahun Anggaran 1994/1995, (3) Matriks Proyek Pengentasan Kemiskinan, dan (4)
Brosur dan lnformasi Program Pengentasan Kemiskinan yang siap disebarluaskan dan dimasyarakatkan.
Angkatan Bersenjata, 29 Juli 1993

391
Pengentasan Kemiskinan Dan Partisipasi
Masyarakat
(Kasus DKI Jakarta)

Masyarakat negara-negara maju telah memberikan contoh pengalaman yang baik dalam perumusan
pilihan-pilihan kebijaksanaan penanganan masalah kemiskinan (Kershaw, 1970; Lampman, 1971; dan Levitan,
1976; dalam Nasikun, 1993). Para ahli ini mengidentifikasi empat strategi penanganan masalah kemiskinan
yang secara sendiri-sendiri atau· di dalam kombinasi dapat dipilih pada beragam konteks dan bagi segmen
penduduk miskin yang berbeda : (1) membuat pasar bekerja dengan baik (make the market work), (2)
menyerasikan sistem terhadap kepentingan penduduk miskin (adapt the system to the needs of the poor), (3)
menyelaraskan penduduk miskin terhadap tuntutan dan dinamika pasar (adapt the poor to the market), dan
(4) memberikan santunan bagi penduduk miskin (relieve the distress of the poor).
Strategi pertama, menekankan pendekatan ekonomi, melalui pendekatan ekonomi, regulasi dan
deregulasi lembaga-lembaga serta mekanisme ekonomi untuk mendorong dan memelihara tercapainya full ·
employment, sehingga jumlah penduduk yang menganggur dan setengah menganggur dapat ditekan,
dieliminasi atau diturunkan. Strategi kedua, dilakukan melalui penyesuaian-penyesuaian sistem pasar yang
ada untuk dapat melayani secara lebih baik kepentingan penduduk miskin. Misalnya, pengaturan pasar
tenaga kerja untuk memberikan kemungkinan dan mendorong penawaran tenaga kerja kolektif, penetapan
upah buruh minimum, pengembangan organisasi buruh, perumahan murah, kebijaksanaan harga barang-
barang produk pertanian, sistem perpajakan progresif, pajak pendapatan negatif, dan sejenisnya.
Strategi ketiga, memperoleh bentuk pengungkapannya yang paling tipikal melalui program-program
ketenagakerjaan (manpower programs). Misalnya mewajibkan perusahaan menggunakan tenaga kerja lokal,
adanya jaminan lapangan kerja bagi tenaga kerja wanita, dan adanya kesempatan program pelatihan kerja
bagi golongan miskin untuk dapat memasuki lapangan kerja. Strategi keempat, program-program bantuan
atau penyantunan, merupakan strategi penanganan masalah kemiskinan yang paling tipikal yang menyangkut
kesejahteraan sosial bagi orang-orang miskin yang termasuk ke dalam kelompok the destitude yang tidak
berdaya untuk mengambil keuntungan dari program-program pembangunan yang diselenggarakan di atas
mekanisme pasar.
Strategi mana yang paling tepat dipilih untuk menangani segmen kemiskinan yang mana, di dalam
konteks sistem sosial-ekonomi dan sosial-budaya yang mana, masih harus diteliti dengan cermat. Untuk itu
perlu agenda penelitian masalah kemiskinan, antara lain identifikasi dan anatomi lapisan penduduk miskin,
karakteristik golongan miskin, pola perilaku dan tanggapan kelompok miskin terhadap beragam program
pembangunan, serta aset ekonomi, politik dan budaya. Tanpa semua ini, program-program anti kemiskinan
dan untuk mengentaskan kemiskinan hanyalah akan menguntungkan lapisan penduduk yang berada di atas
garis kemiskinan. Dengan kata lain, program pengentasan kemiskinan mengalami kegagalan.

Kemiskinan
Kemiskinan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan seseorang atau kelompok orang untuk memenuhi
kebutuhannya yang paling mendasar sesuai dengan tata nilai dan norma-norma yang berlaku pada suatu
masyarakat dalam waktu tertentu. Parsudi Suparlan (1990) menggolongkan kebutuhan manusia untuk dapat
hidup lebih baik ke dalam tiga bentuk. Pertama, kebutuhan utama atau primer yang kemunculannya bersumber
pada aspek-aspek biologi atau organisme tubuh manusia, antara lain makanan dan minuman, zat asam,
buang air, perlindungan dari iklim, istirahat, pelepasan dorongan seksual, dan kesehatan yang baik.
Kedua, kebutuhan sosial atau sekunder yang terwujud sebagai akibat usaha-usaha untuk dapat
memenuhi kebutuhan yang tergolong primer, yang membutuhkan keterlibatan orang lain, antara lain
kebutuhan berkomunikasi dengan sesama, kegiatan bersama, kepuasan akan benda material, sistem

392
pendidikan dan keteraturan sosial. Ketiga, kebutuhan integratif yang muncul dari hakekat manusia sebagai
makhluk pemikir dan bermoral, antara lain perasaan benar salah, adil-tidak adil, sentimen, keyakinan diri,
ungkapan estetika dan keindahan, rekreasi dan hiburan.
Berdasarkan pengertian di atas, keragaman nilai yang terkandung dalam suatu masyarakat terus
mengalami perubahan sehingga kemiskinan mempunyai banyak dimensi. Andre Bayo Ala (1979) mengatakan
paling sedikit ada 10 dimensi kemiskinan, yaitu miskin kekuasaan, harta, kesehatan, pendidikan atau
pengetahuan, ketrampilan, cinta kasih, keadilan, penghargaan, keamanan dan kebebasan. Agar lebih jelas
lagi, diperlukan batas kemiskinan yang lebih operasional. Bank Dunia melihat kemiskinan ditandai dengan
ketidakcukupan gizi, rendahnya derajat kesehatan, dan rendahnya tingkat pendidikan.
Penyebab kemiskinan ada dua macam. Dari dalam man usia sendiri, berupa sikap mal as dan tidak mau
bekerja. Kemiskinan bukan 1,1asib atau takdir Tuhan. Faktor luar dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang
bersifat alamiah (sumber daya alam yang miskin, iklim yang tidak menguntungkan dan sering terjadi bencana)
dan buatan (dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik, sosial-budaya). Geerts (1983) melihat faktor-faktor
penyebab kemiskinan tidak berdiri sendiri, tetapi membentuk suatu lingkaran yang tidak berujung pangkal.
Karena itu Geertz menyebutnya sebagai proses involusi, di mana kemiskinan menjadi penyebab sekaligus
akibat dari kemiskinan.
Rendahnya tingkat pendapatan merupakan penyebab kemiskinan, kemudian mengakibatkan rendahnya
tingkat pendidikan, kecilnya akumulasi modal, dan buruknya tingkat kesehatan dan gizi. Selanjutnya
kemiskinan akan menyebabkan meningkatnya tingkat fertilitas karena bagi mereka yang miskin, tenaga kerja
merupakan satu-satunya modal yang dimiliki sehingga cenderung menambah jumlah anak. Rendahnya
tingkat pendidikan dan modal produksi, berakibat pada rendahnya penguasaan terhadap teknologi produksi
dan selanjutnya menyebabkan rendahnya produktivitas.
Tingkat fertilitas yang tinggi menyebabkan jumlah penduduk meningkat yang kemudian berakibat
kecilnya penguasaan pada sumber daya (terutama tanah) per kapita. Sementara itu tingkat kesehatan dan
gizi yang buruk menyebabkan rendahnya produktivitas, kemudian bersama-sama dengan rendahnya
penguasaan sumber daya menyebabkan rendahnya total produksi. Rendahnya tingkat pendidikan dan
tingginya jumlah penduduk berakibat pada rendahnya kesempatan kerja di luar sektor pertanian yang pada
gilirannya akan kembali pada rendahnya tingkat pendapatan. Proses ini berlangsung terus menerus,
sehingga penduduk terus terbelenggu dalam lingkaran kemiskinan.
Karena definisi kemiskinan tidak jelas maka saat ini masalah siapa yang termasuk ke dalam kelompok
miskin masih terus dipertentangkan. Nasikun menggarisbawahi perlunya redefinisi kriteria batas ambang
kemiskinan berwawasan martabat manusia, agar ambang tingkat kemiskinan bewawasan martabat manusia,
agar dapat dilihat dan dibedakan mana yang benar-benar miskin. Batas ambang tingkat kemiskinan setara
dengan konsumsi pangan 2.100 kalori ditambah konsumsi non-pangan 15,92-17,96% untuk daerah perkotaan
dan 6,12-6.52% untuk daerah perdesaan yang selama ini dipakai oleh Biro Pusat Statistik, perlu diredefinisi.
Jika ini dilakukan, maka jumlah penduduk miskin 27 juta orang (4,56% diperkotaan dan 20,26% di perdesaan)
bisa meningkat menjadi lebih dari 100 juta, bahkan 120 juta orang (Nasikun, 1993). Contoh lain, saat ini di
DKI Jakarta hanya ada 4 kelurahan yang masuk ke dalam kategori miskin. Padahallebih dari setengah rumah
tangga di DKI Jakarta berpenghasilan di bawah Rp 150.000 per bulan yang sebenarnya bisa disebut
golongan miskin.

Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam pembangunan kota mutlak diperlukan. Masyarakat cenderung ikut
berpartisipasi pada tahap pelaksanaan, pengoperasian dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan, jika mereka
telah diberi kesempatan untuk berpartisipasi pada tahap-tahap sebelumnya. Partisipasi adalah tindakan
warga dalam suatu kegiatan (the action or state of taking part in an activity), menurut Webster (1976), yang
dapat dilakukan secara perorangan maupun kelompok.
Bentuk partisipasi bermacam-macam, ada partisipasi .bebas, diajak atau didorong, dan partisipasi
biasa. Partisipasi bebas, dapat berbentuk partisipasi spontan atau karena ajakan. Partisipasi didorong, dapat

393
diakibatkan oleh adanya aturan hukum atau peraturan perundang-undangan dan kondisi sosial-ekonomi
masyarakat. Partisipasi masyarakat dapat diiakukan secara langsung atau tidak langsung, komplit atau
parsial, terorganisasi atau tidak terorganisasi, intensif atau ekstensif, terbatas atau tidak terbatas, efektif atau
tidak efektif, dilakukan pada tingkat propinsi, wilayah kota, kecamatan, kelurahan, kampung, RW dan RT,
pada tahap perencanaan, pelaksanaan, atau pemantauan pembangunan di bidang ekonomi, sosial, politik,
budaya, dan pertahanan keamanan (Theodorson, 1969, Uphoff dan Vershaagen, 1979).
Perwujudan partisipasi masyarakat Jakarta dalam pembangunan kota Jakarta, dalam hal ini untuk
mengentaskan kemiskinan, dapat berbentuk keikutsertaan anggota masyarakat dalam kelompok, keterlibatan
perorangan dalam diskusi, tindakan warga dalam suatu organisasi masyarakat, berperan serta dalam proses
pengambilan keputusan (merumuskan bersama suatu tujuan dan target, menyarankan cara mencapai tujuan
dan mengalokasikan sumber-sumber yang tersedia, memilih tenaga yang cocok, menilai efisiensi dan
efektivitas suatu program).

DKI Jakarta
Dengan demikian partisipasi warga DKI Jakarta haruslah tampak dalam penyusunan RUTR (Rencana
Umum Tata Ruang), RDTR (Rencana Detail Tata Ruang), RBWK (Rencana Bagian Wilayah Kota), RTK
(Rencana Terinci Kota), dan· RUPTD (Rencana Umum Pembangun~n Tahunan Daerah). Di samping itu,
harus lebih menonjol dalam program-program penanggulangan kemiskinan, seperti penataan dan peremajaan
lingkungan kumuh, perbaikan kampung, pembinaan dan pengembangan para pemulung dan pedagang
asongan, pembinaan para pedagang kakilima dan pekerja informal.
Program-program subsidi bahan pangan, program bantuan pangan, program pembagian catu pangan,
subsidi kesehatan, dan subsidi pendidikan merupakan contoh menarik. Juga program pengembangan
kecamatan terpadu (PPKT) dan program pembangunan parasarana kota terpadu (P3KT), perbaikan kampung,
pembinaan dan pengembangan pengusaha ekonomi lemah, serta penyediaan perumahan sangat sederhana
untuk masyarakat miskin. Jika benar-benar menghendaki penanganan masalah kemiskinan secara lebih
mendasar, diperlukan koreksi dan penyesuaian terhadap program-program ini secara lebih mendasar dan
dilakukan di atas perspektif teoritik yang lebih handal pula.
Migrasi yang tinggi bagi kelompok berpendidikan rendah untuk mencari pekerjaan di ibukota,
menumbuhkan lingkungan permukiman kumuh. Di sepanjang sungai, sebagian besar diisi pendatang baru,
para kelompok miskin. Orang-orang seperti ini belum bisa ditingkatkan tarat hidupnya, karena masih berada
pada tahap memberi pekerjaan atau menyalurkan pada bidang pekerjaan yang mendatangkan hasil.
Terhadap mereka, Pemda bisa menempuh cara dengan mengajak kelompok mampu gun a membantu
kelompok miskin, melalui kontak langsung dan menyediakan bantuan nyata berupa dana, bahan bangunan,
peralatan, dan fasilitas.
Terhadap kelompok miskin di atasnya, dapat dilakukan penyuluhan, pendidikan singkat, pelatihan, dan
percontohan ketrampilan teknis. Sekarang sudah saatnya pemerintah menyediakan Balai atau Pusat
Pendidikan dan Pelatihan bagi lulusan SMPT yang tidak bisa melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih
tinggi. Adanya peninjauan kembali gaji minimum buruh kasar di DKI Jakarta, merupakan langkah yang patut
dihargai. Penyediaan warung-warung kakilima yang mendapat ijin berusaha di kompleks perkantoran modern,
misalnya sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman, merupakan perwujudan pembangunan yang didukung oleh
kemitraan pemerintah-swasta-masyarakat.
Adanya bazar yang diisi oleh para pedagang ekonomi lemah, secara rutin berpindah-pindah dari satu
lokasi ke lokasi lainnya, misalnya hari Minggu di Senayan, Senin di Ragunan, Selasa di Pulo Mas, Rabu di
Monas, dan sebagainya, merupakan upaya dalam meningkatkan kemampuan kelompok lemah. Depdikkbud,
Depnaker, Deperind, serta Kantor Menpora dan Men-UPW, dapat menyusun program kerja bersama dalam
rangka meningkatkan partisipasi dan peran serta pemuda dan wanita dalam pembangunan untuk mengentaskan
kemiskinan.
Para pengusaha dan kalangan industri disarankan agar menyediakan perumahan bagi karyawannya
melalui koperasi karyawan. Dengan cara ini, para buruh pabrik tidak harus tidur bedesak-desakan di tempat

394
tinggal yang sumpek dan kumuh. Program-program penge(ltasan kemiskinan haruslah diwujudkan mulai
tingkat makro sampai mikro dan pada tingkat lokal. Kemiskinan nelayan di Jakarta Utara, buruh di kawasan
Tanjung Prick, buruh pabrik di Pulogadung, pedagang kakilima dan pedagang asongan di pusat-pusat
keramaian kota, pengumpul sampah yang masih sering dirugikan oleh para lapak, pengecer koran yang perlu
tempat dagang, kesemuanya membutuhkan penanganan secara komprehensif dan terpadu.
Dalam memberi peran pada Tahun Lingkungan Hidup 1993, menuju Megacity Jakarta Tahun 2000,
didukung pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia
DKI Jakarta, dan sejalan dengan Dekade Kunungan Indonesia (Dekuni) 2000, marilah kita bersama-sama
mengentaskan kemiskinan, melalui partisipasi aktif pemuda dan wanita, serta seluruh warga ibukota, dalam
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan yang diwujudkan melalui kemitraan pemerintah-
swasta-masyarakat pada semua tingkatan.
Angkatan Bersenjata, 4 Agustus 1993

Dari Renstra ke Pengentasan Kemiskinan di


DKI Jakarta
Kebijaksanaan dan Strategi (Jakstra) 25 tahun dan Rencana Strategis (Renstra) Pembangunan 5
tahun merupakan perangkat pembangunan di samping acuan GBHN, Repelita, Master Plan, Rencana Umum
Tata Ruang, Pola Dasar Pembangunan, Repelitada, dan Rencana Umum Pembangunan Tahunan. Renstra
Pembangunan DKI Jakarta 1992-1997 ditetapkan melalui Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 811
Tahun 1993 disusul Pedoman Penyelenggaraan Renstra yang ditetapkan melalui Kepgub KDKI Jakarta
Nomor 941 Tahun 1993. Jakstra Pembangunan DKI Jakarta adalah terwujudnya tujuan pembangunan
nasional di daerah dan terwujudnya Jakarta sebagai lbukota Negara yang representatif, dihuni oleh
masyarakat yang sejahtera dan Teguh Beriman (Teruskan gerakan untuk hidup bersih, · indah, menarik,
manusiawi, dan aman). Posisi Renstra dalam Repelita VI DKI Jakarta dapat dilihat dari lima keterkaitan.
Pertama, GBHN 1993, Repelitanas, Pola Dasar Pembangunan Daerah, Repelitada, dan Rencana Pembangunan
Tahunan Daerah. Kedua, missi Jakarta sebagai ibukota, menuju Citra Jakarta, sejajar dengan ibukota-ibukota
lain yang dihuni oleh masyarakat yang sejahtera.
Ketiga, didukung sistem informasi perkotaan, dikembangkan pemikiran untuk menjadikan kota Jakarta
sebagai kota jasa, menumbuhkan pembagunan komunitas, dan menata manajemen kota yang efektif (service
city, community development, and effective urban management). Keempat, Renstra sebagai pemacu
pembangunan pilihan prioritas yang memberikan demonstration effect yang besar. Kelima, pendekatan sistem
yang menyangkut fisik dan non-fisik. Maksud dan tujuan Renstra adalah sebagai pedoman umum dan
sebagai pemacu pembangunan. Jakarta dengan multi permasalahan yang serba kompleks, besar dan rumit,
dituntut menjadi pusat penyelenggaraan pemerintahan dan service city, mengatasi kerawanan dan kesenjangan
sosial yang cukup tinggi, dan meningkatkan kinerja aparatur daerah yang masih kurang optimal.
Renstra Pembangunan DKI Jakarta 1992-1997 mempunyai em pat prioritas, yakni : (1) Peningkatan
kinerja Pemda, utamanya di bidang aparatur, penerimaan daerah dan pelayanan kepada masyarakat yang
mendesak, (2) Meningkatkan iklim dunia usaha dan pendapatan masyarakat, utamanya bina sektor informal
dan lancarnya lalulintasnya dan angkutan umum, (3) Peningkatan peran serta masyarakat dan kualitas
penduduk, utamanya mengurangi permukiman kumuh, keterpaduan program sosial kemasyarakatan dan
kependudukan, (4) Peningkatan daya dukung tata ruang dan lingkungan, utamanya meningkatkan kebersihan
dan penghijauan.
Penyelenggaraan Renstra 1992-1997 diupayakan agar dilakukan konsisten, secara integral,
komprehensif, terpadu, mengerahkan potensi swasta dan masyarakat, memandang APBD dan APBN

395
sebagai stimulan, dan didukung aparat yang profesional. Renstra 1992-1997 mempunyai 9 sasaran prioritas,
yaitu sasaran strategi pembinaan aparatur, peningkatan pelayanan kepada masyarakat, keterpaduan
pembangunan sosial kemasyarakatan, pembinaan kependudukan, penanganan permukiman kumuh, kebersihan
dan penghijauan,· peningkatan penerimaan daerah, lalulintas dan angkutan umum, serta pemblnaan sektor
informal.
Keberhasilan mencapai 9 sasaran prioritas, langsung atau tidak langsung akan bisa menangani
permasalahan kemiskinan di ibukota sebagai akibat dari pemerintahan yang bersih, adanya pemihakan
kepada kelompok miskin, tersedianya infrastruktur secara merata di seluruh wilayah kota, dan tersedianya
lapangan kerja yang memadai. Masalah pembinaan aparatur adalah produktivitas pegawai yang masih
rendah, disebabkan oleh kinerja manajemen kepegawaian yang masih perlu ditingkatkan, organisasi dan
tatalaksana kurang memadai, kinerja dan job performance pegawai masih belum memadai, dan kinerja sarana
kerja pirantilperangkat lunak dim perangkat keras kurang memadai. Sasaran yang ingin dicapai adalah
peningkatan produktivitas kerja pegawai dari 65% menjadi 85%, mantapnya organisasi dan tatalaksana,
meningkatnya pendelegasian wewenang ke tingkat kotamadya, kecamatan dan kelurahan, serta peningkatan
disiplin dan keterampilan personil. Yang perlu diprioritaskan antara lain, upaya meningkatkan waskat dan
disiplin kerja, perbaikan insentif dengan prestasi kerja, memantapkan pola karir pegawai, menyempurnakan
uraian tugas, menyelenggarakan diklat yang mengarah pada perubahan sikap, diklat koordinasi pelayanan ·
terpadu, dan menyempurnakan sistem pengadaan pegawai.
Masalah pelayanan kepada masyarakat berupa kualitas pelayanan kepada masyarakat yang belum
memuaskan, misalnya pelayanan umum pembangunan dan pelayanan kesehatan, perlu diatasi antara lain
dengan upaya meningkatkan pelayanan 1MB yang didukung oleh pelayanan SIPPT, hak tanah, penertiban,
dan pembuatan rekomendasi, serta meningkatnya pelayanan Puskesmas, kemudahan mendapatkan obat-
obatan dan semakin bermutunya obat-obatan yang tersedia. Yang perlu diprioritaskan adalah kemudahan
pengurusan 1MB, pengadaan dan pemeriharaan piranti keras, pengadaan dan review piranti lunak, peningkatan
kemampuan aparat dan motivasi kerja, peningkatan peran serta masyarakat, serta penyuluhan dan penertiban,
peningkatan pemasyarakatan Posyandu, pelayanan Puskesmas, peningkatan sarana pelayanan kesehatan,
serta peningkatan kemampuan dan motivasi kerja aparat.
Permasalahan keterpaduan pembangunan sosial kemasyarakatan, antara lain meningkatnya kesenjangan
dan kerawanan sosial, masih rendahnya peran serta masyarakat, dan lemahnya ikatan sosial terutama
komunitas spasial (ruang), perlu diatasi melalui upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam segala
bidang kehidupan, terutama dalam pembangunan DKI Jakarta, meningkatnya ikatan sosial dalam komunitas
spasial, dan makin disiplinnya masyarakat Jakarta. Yang perlu diprioritaskan adalah kegiatan pembinan peran
serta masyarakat (peningkatan kualitas aparat di bidang teknis peran serta, stimulasi dan bimbingan kepada
satuan kelompok sosial, pendekatan sosial secara formal dan informal, pembentukan pusat komunitas di tiap
wilayah, dan peningkatan potensi RT, RW, LKMD, dan LKMK), pembinaan disiplin terpadu penyuluhan dan
penertiban (contohnya, pada 20 titik rawan sosial, 10 kelurahan kumuh per tahun, dan jalur Blok M-Kota), dan
pembinaan kegiatan strategis sosial kemasyarakatan (pembinaan kelompok sosial primordial, pembinaan
kelompok sosial spasial, dan pembinaan kelompok sosial okupasional).
Permasalahan pembinaan kependudukan berupa laju pertumbuhan penduduk yang masih tinggi,
penyebaran penduduk belum serasi dengan daya tampung lingkungan, dan pengelolaan administrasi
kependudukan yang masih kurang efektif, perlu diatasi melalui upaya menurunkan CBR (27,5% menjadi
25%), turunnya angka migrasi (0,5% menjadi 0,4%), dan meningkatnya jumlah pengiriman transmigran
spontan (1 0.000 kk menjadi 11.000 kk). Yang perlu diprioritaskan adalah upaya meningkatkan KB di 8
kecamatan yang tingkat partisipasinya rendah, meningkatkan manajemen penerangan trasmigrasi, meningkatkan
pola swakarsa jasa, industri, dan jasa mandiri, pelimpahan kewenangan administrasi kependudukan ke
wilayah kotamadya, dan peningkatan kerjasama antar daerah.
Penanganan permukiman kumuh (pelaksanaan lnpres No.5 Tahun 1990) dan Surat Edaran Menpera
tentang Penanganan Terpadu Peremajaan Permukiman Kumuh, diarahkan pada upaya pemecahan
permasalahan kawasan permukiman kumuh yang sangat luas (2.885,5 Ha dihuni 1.595.727 jiwa), kondisi dan
prasarana lingkungan permukiman yang kurang memadai, penghuni daerah kumuh umumnya penyandang

396
masalah sosial (tidak normatif), dan penghuni daerah kumuh yang tidak merasa kumuh. Upaya penanganan
diarahkan pada pencapaian tiga sasaran, yaitu menurunnya jumlah permukiman kumuh dari -2.885,20 Ha
menjadi 1.700 Ha dan dari 1.595.727 jiwa menjadi 940.000 jiwa, menambah jumlah rumah susun untuk
masyarakat golongan menengah ke bawah, dan memperbaiki lingkungan permukiman kumuh secara mandiri.
Yang perlu diprioritaskan adalah pembangunan rumah susun yang diintegrasikan dengan SIPPT, penerbitan
permukiman kumuh yang ilegal, menetapkan juklak dan juknis peremajaan, melanjutkan program MHT (bina
lingkungan, bina sosial dan bina ekonomi), dan peningkatan pembinaan sosial dan peran serta masyarakat
serta perguruan tinggi.
Empat masalah pokok kebersihan dan penghijauan, yaitu produksi (timbulan) sampah meningkat,
sedangkan kemampuan angkut hanya 83%, kualitas tenaga lapangan dan sarana serta prasarana kebersihan
dan penghijauan belum memadai, peran serta masyarakat dan swasta masih rendah, vegetasi hijau makin
menurun, dan ruang terbuka hijau masih rendah. Pemecahan masalah perlu diarahkan agar terjadi
peningkatan data angkut sampah sampai dengan 95%, integrasi institusi penanganan kebersihan, peningkatan
peran serta masyarakat dan swasta dalam kegiatan strategi kebersihan dan penghijauan, peningkatan jumlah
vegetasi lahan di Jakarta dari 2,5 juta menjadi 5 juta pohon, dan menambah areal ruang terbuka hijau
menjadi 30%. Yang perlu diprioritaskan adalah upaya menambah sarana dan prasarana kebersihan,
melanjutkan program khusus (Prokasih - program kali bersih, prodasih - program udara bersih dan sibelut -
program siar bersih laut, dan peduli - program daur ulang Indonesia), meningkatkan peran serta masyarakat
dan swasta, refungsionalisasi taman, dan meningkatkan pembinaan flora dan fauna di eagar alam hutan
lindung serta pembangunan hutan kota.
Permasalahan peningkatan penerimaan daerah, yaitu pendapatan darah yang belum optimal, disebabkan
oleh landasan hukum belum memadai, manajemen pengelolaan masih belum memadai, produktivitas sumber
daya mam.isia masih rendah, dan partisipasi masyarakat masih kurang. Upaya yang perlu dilakukan adalah
peningkatan pendapatan daerah rata-rata 20% per tahun selama 5 tahun dan peningkatan pajak non PKB
sebesar 40%. Yang perlu diprioritaskan meliputi upaya meningkatkan pajak (utamanya Non PKB, antara lain
reklame dan hiburan), meningkatkan retribusi (utamanya parkir, rencana kota, 1MB dan kebersihan),
meningkatnya laba BUMD, menunjang intensifikasi sistem dan mekanisme PBB, menggalakkan kerjasama
dengan swasta untuk optimalisasi asset Pemda dan meningkatkan sumber dari pemerintah pusat (hubungan
keuangan pusat-daerah).
Hambatan Lalulintas dan Angkutan Umum, antara lain sarana dan prasarana masih kurang memadai
dan tidak berfungsi secara optimal, sistem jaringan dan manajemen lalulintas belum berfungsi, dan disipplin
pemakai jalan masih rendah. Yang ingin dicapai adalah meningkatnya kelancaran lalulintas dan menurunnya
waktu perjalanan (travel time), meningkatnya pelayanan angkutan umum dan meningkatnya penumpang
angkutan umum (20%), dan meningkatnya ketertiban masyarakat pemakai jalan serta berkurangnya pelanggaran
lalulintas. Prioritas kegiatan, antara lain terbangunnya 25 buah flyover dan underpass, terbangunnya sistem
satu arah di 6 kawasan, pembangunan lajur khusus bus dan 2 kawasan, pembangunan ATCS pada 6 zona,
optimasi kapasitas jalan yang ada, penyuluhan dan tindakan law enforcement, meningkatnya jumlah bus,
pembangunan penyeberangan jalan, pembangunan awal mass rapid transit (angkutan massal: p·rioritas
utama, penanganan jalur Blok M-Kota didukung persimpangan Hilton, Karet menuju Manggarai, Monas/
Harmoni ke Senen, Gambir dan Grogol, Manggabesar arah ke Timur, dan Gadjahmada arah ke Duri),
berfungsinya sistem terminal bus, swastanisasi pengujian kendaraan bermotor, dan moda angkutan umum
disesuaikan dengan hirarki jalan.
Permasalahan pembinaan sektor informal adalah kurang terkendalinya kegiatan pedagang informal,
kurang terpadunya pembinaan, dan kurangnya ruang usaha bagi pedagang informal. Yang kita inginkan
adalah terbinanya pedagang kakilima (7 4.000), terkendalinya pedagang asongan (2.000), dan terbinanya
pemulung (9.000). Delapan kegiatan perlu diprioritaskan, yaitu membina lokasi 15.000 pedagang kakilima
resmi supaya . bersih, tertib dan jumlahnya tidak bertambah, serta disiplin dalam membayar retribusi,
mengendalikan daerah operasi secara bertahap, khususnya di jalan protokol, menata lokasi lapak pemulung,
membentuk Badan Koordinasi Pengendalian Pedagang Informal dan memantapkan sistem dan mekanisme
pembinaan, mengatur tata ruang untuk pedagang informal, membuka pasar terjadwal (seperti Sunday Market
di Senayan), yaitu 10 lokasi di Jaksel, 81okasi di Jakbar, 7 lokasi di Jakut, dan 5 lokasi di Jaktim, membuka

397
klinik usaha dan pelayanan kesehatan untuk konsultasi golongan usaha skala kecil, serta alih profesi
pemulung dan pedagang asongan.

Peran Serta Masyarakat


Oari 9 sasaran strategi dan 13 pelaku, yaitu Gubernur, Wagub Pemerintahan, Wagub Kesra, Wagub
Ekbang, Setwilda, lnspektur, Ketua Bappeda, Asisten Pamongpraja, Asisten administrasi pembangunan,
kelompok sosial, asisten pembinaan dan pengaturan, asisten administrasi, dan kepala dinas serta instansi
vertikal di daerah (penanggungjawab umum, penanggungjawab kegiatan strategis, koordinator pelaksana
kegiatan strategis, pengawas kegiatan strategis, koordinasi perencanaan dan pelaksanaan, koordinator
penyelenggaraan kegiatan strategis wilayah, penanggungjawab, pelaksana harian kegiatan strategis,
penanggungjawab administrasi, dan penanggungjawab kegiatan), dapat dibentuk matriks renstra dengan 108
unsur yang masing-masing dapat diisi dengan berbagai kegiatan yang lebih detail.
Renstra tingkat propinsi DKI Jakarta perlu dijabarkan lebih lanjut oleh masing-masing Unit Kerja tingkat
Propinsi, Kotamadya, Kecamatan, dan Kelurahan, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. setempat.
Keberhasilan pelaksanaan Renstra Pembangunan DKI Jakarta 1992-1997 sangat ditentukan oleh kemampuan
aparat, baik teknis dan manajerialnya serta penempatan personil yang tepat sesuai dengan pe·ngalaman,
bakat, minat dan juga keterlibatan dukungan seluruh masyarakat ibukota. Renstra Pembangunan DKI Jakarta
1992-1997 yang merupakan hasil perumusan maksimal dapat ditinjau kembali berdasarkan perubahan serta
akselerasi yang timbul dan berkembang, disesuaikan sewaktu-waktu dengan kebutuhan.
Untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan Renstra 1992-1997, diperlukan kemitraan (pemerintah,
swasta, dan masyarakat) dalam setiap tahap pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian pemantauan dan evaluasi dan mendorong pembangunan bertumpu pada masyarakat/komunitas
dalam konteks pembangunan perkotaan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan yang mengintegrasikan
lingkungan hidup dalam pembangunan nasional (memperhatikan pengembangan tata ruang/penataan ruang
wilayah, baku mutu lingkungan dan baku mutu limbah, analisis mengenai dampak lingkungan, pengendalian
pencemaran lingkungan, rehabilitasi dan reklamasi lingkungan, konservasi sumber daya hayati melalui
pendekatan ekonomi, meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan, dan melakukan
pendekatan ekonomi dalam pengelolaan lingkungan hidup).
Pembangunan daerah-daerah tertinggal di DKI Jakarta yang umumnya terdiri dari kawasan permukiman
kumuh, kawasan permukiman nelayan, kawasan permukiman industri kecil dan kerajinan rumahtangga,
kawasan wilayah berbatasan dengan propinsi Jawa Barat/Botabek (sekitar Marunda, Pondok Gede, Gandui-
Cinere, Ciputat, Meruya-Joglo, Rawabuaya dan Semanan, serta kawasan Kepulauan Seribu), perlu
diprioritaskan. Upaya peningkatan penanggulangan kemiskinan pada kawasan-kawasan ini, yang dikenal
melalui lnpres Nomor 5 Tahun 1993 (Program lnpres Desa Tertinggal, lOT), perlu melibatkan berbagai unsur
Tingkat Pusat yang ada di Jakarta dan unsur Pemda DKI Jakarta. Mengacu pada UU Nomor 11 Tahun 1990
tentang Susunan Pemerintahan Negara Republik Indonesia Daerah Khusus lbukota Jakarta, maka perencanaan
pembangunan DKI Jakarta perlu melibatkan berbagai instansi di tingkat pusat (Departemen dan Lembaga
Pemerintahan Non-Departemen).
PKK dengan Dasa Wismanya, LSM dengan pasukan swadayanya, dan tenaga muda pelopor
pembangunan desa, secara bersama-sama perlu dikerahkan dalam program pengentasan kemiskinan,
terutama berupa upaya menciptakan lapangan kerja, meningkatkan keahlian melalui training dan kursus
ketrampilan, memperbaiki lingkungan permukiman baik dengan cara perbaikan, rehabilitasi atau relokasi,
maupun pembangunan rumah susun sederhana. Melalui pengelolaan kota yang bersih, efisien, dan efektif,
didukung peran serta semua lapisan masyarakat ibukota (termasuk para pendatang yang mencari mata
pencaharian di kota Jakarta), kita yakin DKI Jakarta atau Jakarta Metro akan benar-benar merupakan Kota
Metropolitan yang kita dambakan. Semoga.
Angkatan Bersenjata, 20 Juli 1994

398
Ketenagakerjaan: Perspektif Pengentasan
Kemiskinan di Perkotaan
Menteri Tenaga Kerja Abdul Latif menyatakan bahwa masalah ketenagakerjaan di Indonesia ditandai
oleh terbatasnya kesempatan kerja akibat pertumbuhan penduduk yang sangat cepat, kondisi dan kualitas
angkatan kerja yang rendah (pengangguran, setengah penganggur, mutu), penyebaran tenaga kerja yang
tidak seimbang, pertumbuhan ekonomi yang tidak mampu menyerap seluruh pertambahan angkatan kerja,
lapangan kerja yang terbatas, banyaknya pekerja anak, distribusi tenaga kerja dan angkatan kerja yang tidak
seimbang, kebijaksanaan di berbagai bidang yang belum terpadu, serta hubungan Industrial Pancasila dan
perlindugan tenaga kerja yang belum memadai (Seri Dialog Pembangunan. Politik, CIDES, Jakarta, 8
Desember 1993).
Berdasarkan permasalahan tersebut, kebijaksanaan ketenagakerjaan dalam Pelita VI meliputi upaya
perluasan kesempatan kerja, penyebaran tenaga kerja, pendidikan dan pelatihan, dan pembinaan hubungan
industrial. Menyongsong Pelita VI dalam PJP II, kebijaksanaan pokok ketenagakerjaan yang ditetapkan oleh
Menaker Abdul Latif dikenal sebagai Sapta Karyatama Pelita VI Depnaker, yaitu perencanaan tenaga kerja
nasional (national manpwer planning), sistem informasi dan bursa tenaga kerja terpadu, tenaga kerja pemuda
mandiri profesional, pemagangan, hubungan industrial Pancasila dan perlindungan tenaga kerja, ekspor jasa
tenaga kerja, dan pengembangan organisasi (organizational development).
Melalui Sapta Karyatama Pelita VI Depnaker, pengembangkan sumberdaya manusia ditujukan untuk
mampu menjalankan fungsi sebagai manusia seutuhnya, mampu bekerja secara produktif, inovatif dan
kreatif, yang berkualitas sebagai modal dasar pembangunan. Pendayagunaan tenaga kerja, bukan saja
sebagai subyek, tetapi juga sebagai obyek pembangunan, yang kualitas hidupnya dan kesejahteraannya
harus ditingkatkan, sejalan dengan arah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Dalam memecahkan
permasalahan ketenagakerjaan, peranan pendidikan dan pelatihan yang dilakukan melalui prinsip kemitraan
pemerintah, swasta, dan masyarakat (public private partnership) sangat menentukan.
Strategi yang ditempuh adalah melalui pembuatan perencanaan tenaga kerja yang komprehensif,
terarah, dan terpadu, serta kelembagaan sebagai fondasi pendukung program (informasi tenaga kerja),
reformasi pelatihan, dan pemantapan pusat produktivitas nasional). Khususnya dalam mengurangi
pengangguran, perlu ditempuh upaya-upaya pengembangan usaha mandiri profesional, pengembangan usaha
keluarga, dorongan dan insentif bagi pengembangan usaha serta investasi baru yang banyak menyerap
tenaga kerja, penempatan langsung, peningkatan ekspor jasa kerja, pengembangan usaha agro-bisnis, dan
penggunaan sistem teknologi padat karya.
Para perbaikan kampung DKI Jakarta, Darrundono menyorot pekerja formal dan informal dalam
dinamika pembangunan di perkotaan dan industrialisasi. Proyek perbaikan kampung merupakan pendekatan
dan subsistem pembangunan kota yang paling tepat, karena murah (masyarakat mampu membayar iuran
pengembalian dana proyek, affordable, dan cost recovery), menggunakan teknologi tepat guna (mudah
digandakan dan berlanjut (sustainable). Proyek perbaikan kampung merupakan kegiatan pembangunan
prasarana dan sarana perkotaan skala kecil, sedangkan dalam skala besar dilakukan melalui P3KT (Proyek
Pembangunan Prasarana Kota secara Terpadu).
Kinerja koperasi karyawan, pengupahan, produktivitas dan kesejahteraan pekerja di Indonesia, disorot
oleh Agus Sudano yang telah berhasil menggalakkan peran koperasi karyawan dalam menyediakan
perumahan. Berdasarkan pengalamannya, Agus Sudano menyimpulkan bahwa selama Pelita V, koperasi
karyawan di Indonesia telah menunjukkan transisi dari sekedar usaha routine dan pelengkap menjadi mitra
kerja dengan perusahaan, koperasi lain, lembaga pemerintah, dan swasta, serta serikat kerja. Bahkan telah
mampu memperbaiki keunggulan kompetitif perusahaan melalui peningkatan (produktivitas kerja, menurunkan
ongkos dan memperbaiki citra usaha).
Kopkar, lnkopkar, dan Puskopkar telah berperan nyata dalam penyediaan peru mahan bagi masyarakat

399
berpenghasilan rendah, khususnya bagi pekerja industri, tersebar di 16 lokasi di seluruh Indonesia yang
mencapai 15.844 unit rumah. Dalam Pelita VI, dan lnkopkar menargetkan pembangunan 75.000 rumah
sederhana dan rumah sangat sederhana. Target ini masih bisa ditingkatkan lagi menjadi 100.000 unit.
Berdasarkan pengamatan Agus Sudano, terdapat kenaikan penghasilan pekerja industri setelah mereka
menghuni rumah-rumah yang disediakan oleh Kopkar. Pekerja industri lebih mantap, motivsi meningkat,
disiplin, inovasi, dan berkurang keinginan mogok, demonstrasi, berkeluh kesah.
Melalui kopkar, terkandung dua keinginan, pertama dalam pemilikan saham perusahaan sehingga ada
motivasi untuk meningkatkan keunggulan kompetitif dan profit, dan kedua, keikutsertaan pekerja kopkar
dalam desain, perencanaan, dan implementasi usaha guna kelangsungan hidup perusahaan dalam jangka
panjang. Karena keterbatasan yang dihadapi Kopkar, seperti modal, akses terhadap tanah, kesulitan dalam
pengurusan perijinan, teknologi, dan lain-lain, maka informasi, pelayanan, dan kemudahan yang diberikan
pemerintah sangat dibutuhkan. · ·
Dari pengalamannya menggeluti pembangunan perkotaan, pakar LSM Achmad Rofi'ie dari Lembaga
Studi Pembangunan (LSP) mencatat lima rembug tentang fenomena perkotaan yang pada akhirnya berpengaruh
terhadap upaya pengentasan kemiskinan, yaitu ekspansi demografis, heterogenitas warga kota yang cukup
tinggi, ikatan tradisional (gotong royong) meluntur diganti sifat-sifat kekerasan, ekspansi bisnis besar/moderen
yang bertentangan dengan ekonomi rakyat, dan perencanaan kota yang cenderung kurang tanggap terhadap
dinamika pembangunan perkotaan (perlunya pengelolaan pertumbuhan, pengelolaan perubahan, dan
pengelolaan konflik). Rofi'ie menekankan pentingnya rencana tata ruang kota terpadu yang menyatukan
perencanaan komunitas sosekbudpol, perencanaan sumber daya (manusia, alam, lingkungan), dan
perencanaan fisik dan spasial (spatial).
Urbanisasi yang cepat tampaknya sulit dibendung. Kota-kota kecil dan kota mandiri tumbuh pesat di
pinggiran kota besar, untuk menciptakan keseimbangan pembangunan kota besar, menengah, dan kota kecil
dalam suatu megapolitan atau konurbasi, beberapa unsur berikut perlu diperhatikan, yaitu pertumbuhan
ekonomi dan diversifikasi, kebijaksanaan dan strategi pembangunan perkotaan, perencanaan DT I dan DT II,
pemberantasan kemiskinan, perbaikan aspek fisik daerah perkotaan, manajemen lingkungan, sistem
pembiayaan pembangunan, kemitraan, peran serta dan partisipasi masyarakat dan swasta, pembangunan
bertumpu pada masyarakat/komunitas, koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan
pengendalian pembangunan, serta pengembangan dan penataan kelembagaan.
Sebagai refleksi dari pengalaman di lapangan, Rofi'ie menyarankan perhatian serius terhadap masalah
pertanahan dan penataan ruang perkotaan, perbaikan kampung serta pembangunan prasarana dan sarana
perkotaan, data dasar dan sistem informasi perkotaan yang handal. Model pemecahan masalah harus bisa
mendorong pengembangan peranserta aktif masyarakat dan penerapan asas keterbukaan dalam pelaksanaan
kegiatan, melalui upaya-upaya reposisi ketidakpastian keadaan yang memacu perlunya diselenggarakan
pembangunan, pembagian kewenangan di antara anggota masyarakat, penerimaan tanggungjawab di kalangan
masyarakat, nilai-nilai kesejahteraan, dan peranan lembaga masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat.
Segitiga emas sinergi menurut Rofi'ie (pelaku, katalis serta sumber daya dan kelembagaan) perlu
didukung oleh lima ciri model pembangunan yang berkelanjutan dan mandiri, yaitu mempromosikan kegiatan
yang berkesinambungan yang bertumpu pada keterjangkauan lokal, mengembangkan peranserta masyarakat
dalam kerangka proses pembangunan yang bertumpu pada masyarakat/komunitas, menggerakkan potensi
yang ada menuju gerakan yang berkeswadayaan, meluaskan proses pembangunan hingga menjangkau
pendekatan yang berasas kemitraan multisektoral dan multi-tataran, dan mengandung elemen replikatif untuk
penggandaan selanjutnya di tempat lain dengan penyesuaian lokal.

Konseptual
Upaya memberantas dan mengentaskan kemiskinan memerlukan pemikiran konsepsional yang
mendayagunakan segala potensi dan sumber daya lokal. Pejabat pemerintah (pusat dan daerah), aktivis
LSM, pemimpin informal (ulama, pemimpin adat, dan lain-lain) maupun tokoh masyarakat, diharapkan
memainkan perannya sebagai katalis pembangunan yang mengacu pada prinsip-prinsip secara falsafah
harus memegang etika kerja yang jelas dengan mengacu kepada kepentingan dan konteks nasional, adanya

400
pemihakan kepada kelompok masyarakat kecil, berorientasi nilai kerakyatan, keadilan dan kebangsaan.
Mampu menciptakan proses yang berorientasi kepada pengembangan kerjasama dan kemitraan yang
konstruktif antar masyarakat dengan pelaku pembangunan lainnya dengan semangat kesetaraan (kemitraan).
Memiliki kompetensi teknis dalam mengembangkan berbagai sumber daya pembangunan secara profesional.
Secara sosial dan politis dapat diterima oleh pihak-pihak yng bersangkutan atau berkepentingan, baik
secara legal maupun fungsional. Yang terakhir, sejauh mungkin katalis dapat bersikap independen secara
ekonomis terhadap tarik-menarik kepentingan yang ada, sehingga bisa berfungsi secara efektif untuk
menggerakkan pembangunan.

Temuan
Achmad Rofi'ie menyirt:~pulkan bahwa upaya pengentasan kemiskinan pada dasarnya adalah peningkatan
kualitas sumber daya manusia dan lingkungannya, dengan cara mengembangkan peranserta aktif masyarakat
luas (melalui skema kemitraan yang setara) agar dicapai rasa kepemilikan, keikutsertaan tanggungjawab
untuk kemudian menuju kemandirian dan kesinambungan. Program pembangunan haruslah mengintegrasikan
masyarakat ke dalam kegiatan pembangunan dan menjadikannya sebagai bagian dari pengembangan
kehidupan masyarakat.
Beberapa aspek penting perlu dipertimbangkan, yaitu tradisi lokal (yang berkaitan dengan strategi
perubahan, cara dan pengalaman lokal yang pernah ada), bentuk organisasi lokal (pengumpulan informasi
dan proses pengambilan keputusan), pembagian peran (kelamin, status sosial, kewenangan), dan motivasi
(cara mengatasi hambatan, inovasi, dan perencanaan ke masa depan). Kesinambungan pembangunan
berkaitan dengan kehandalan organisasi, didukung oleh sistem administrasi yang efektif dan efisien, cara dan
alat untuk pengembangan kerjasama (perencanaan, pelaksanaan, evaluasi), dan pengembangan kapasitas
organisasi melalui berbagai pendidikan dan pelatihan (menuju kematangan dan kemantapan organisasi
sebagai lembaga pelaksanaan pembangunan yang handal).
Beban biaya dan keuntungan pembangunan perlu dihitung dengan cermat. Beberapa aspek yang perlu
diperhatikan antara lain kemungkinan dan keterbatasan situasi ekonomi lokal (ekonomi keluarga, produksi,
dan pasar), biaya jangka panjang (pelaksanaan, pemeliharaan dan pengerahan biaya lanjutan), kebutuhan
akan sistem keuangan yang tangguh dan ketepatgunaan cara. Pembangunan yang lestari juga membutuhkan
ketepatgunaan pemecahan masalah teknis material (fisik) dan sosial (non-fisik), dengan memperhatikan
keterampilan teknis yang sudah ada, kehandalan aspek keteknikan dan kemudahan pemeliharaan, kemampuan
jangkau keuangan, dukungan sosial-ekonomi masyarakat setempat, dan keterkaitan dengan struktur keuangan
politik.
Model pembangunan yang rasional perlu didukung oleh keterkaitan program dengan strategi
pembangunan (nasional, regional, lokal), dukungan penting oleh struktur kekuasaan politik, keterkaitan
program dengan sektor teknis pemerintah dan swasta, dan formulasi program yang relalistis. Perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi, merupakan rangkaian tidak terputus dengan memperhatikan aspek-
aspek kajian tentang penetapan tujuan kualitatif dan kuantitatif dari perencanaan yang partisipatif, kejelasan
penetapan waktu dan tahapan program, keluwesan terhadap perubahan yang sulit diramal, dan penerapan
sistem pemantauan dan evaluasi yang benar-benar melekat untuk mencapai keragaman kerja yang tinggi.
Pembangunan perkotaan yang partisipatif diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan nyata dan
kemiskinan potensial. Program pengentasan kemiskinan perlu didukung oleh adanya pemihakan pada orang
miskin. Dalam melaksanakan program pengentasan kemiskinan di perkotaan, perlu didahului oleh penyusunan
peta kemiskinan di perkotaan. Keterbukaan dan koordinasi antar pemerintah daerah, mutlak diperlukan.
Penyediaan peru mahan melalui koperasi merupakan salah satu upaya menghilangkan perangkap kemiskinan
di perkotaan (permukiman kumuh), sehingga lambat laun setiap keluarga dapat tinggal dalam rumah yang
layak, sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Pendapatan Asli Daerah, pungutan pajak, retribusi,
dan sistem pembiayaan pembangunan perkotaan perlu ditingkatkan.
lnpres Desa Tertinggal diharapkan dapat dikaitkan dan diintegrasikan dengan program-program
peningkatan pendapatan masyarakat. Potensi LSM dan perguruan tinggi yang ada di daerah harus benar-

401
benar didayagunakan. Survai Nasional Potret Kemiskinan perlu dilaksanakan, untuk menetapkan program
pengentasan kemiskinan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi daerah yang bersangkutan. Kualitas
sumber daya manusia mutlak perlu ditingkatkan, agar manusia bisa lebih produktif, efisien dan bekerja efektif,
menuju masyarakat maju dan mandiri, dan menjadi tenaga karja yang siap melaksanakan program
pengentasan kemiskinan dalam pola pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.
Angkatan Bersenjata, 27 Juli 1994

Mengentaskan Kemiskinan Melalui Program


MPMK
Selama PJP I Pemerintah Republik Indonesia telah berhasil menurunkan jumlah penduduk yang hidup
di bawah garis kemiskinan. lni terlihat dari jumlah penduduk miskin 70 juta (1970) menurun. menjadi 27,7 juta
(1990), 25,9 juta (1993) dan 22 juta (1997) dan ditargetkan menjadi 11 juta pada akhir Pelita VI, Maret 1999.
Target yang lebih tegas lagi diharapkan mendekati 2003-2004, pengentasan kemiskinan sudah bisa
dituntaskan. Upaya yang ditempuh adalah dengan melaksanakan program MPMK (Memantapkan Program
Menghapus Kemiskinan).
Kegiatan MPMK dipantau langsung oleh Presiden Republik Indonesia dan setiap Departemen, Kantor
Menteri Negara, dan Lembaga Pemerintah Non Departemen diharuskan berperan aktif dalam mengisi
kegiatan-kegiatan program MPMK.

Sekllas Gambaran MPMK


Tujuan program MPMK adalah mewujudkan rakyat Indonesia untuk maju, mandiri, tangguh dan
sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut Presiden menyelenggarakan Sidang Kabinet Terbatas 3 (tiga)
bulanan membahas perkembangan yang dicapai dalam Pelaksanaan program MPMK, melihat kendala yang
muncul dan mencari upaya pemecahan. Program MPMK difokuskan pada (1) peningkatan program
kesejahteraan rakyat, yang mencakup (a) kelompok usaha bersama (KUBE), (b) lnpres Nomor 5 Tahun 1993
tentang Peningkatan Penanggulangan Kemiskinan (lnpres Desa Tertinggal, IDT) dan (c) lnpres 3 Tahun 1996
tentang Pembangunan Keluarga Sejahtera dalam rangka Pengentasan Kemiskinan (Takesra, Kukesra), (2)
Pengembangan Usaha Kecil, Menengah dan Koperasi, dan (3) Pembangunan daerah di luar Jawa dan Bali
yang mencakup (a) kerjasama Ekonomi Sub Regional (KESR), (b) kawasan pengembangan ekonomi terpadu
(KAPET) dan (c) kerjasama Australia-Indonesia (AIDA).
Dari berbagai masukan Menteri terkait, Menke Produksi dan Distribusi telah merumuskan (1) langkah-
langkah pelaksanaan program peningkatan kesejahteraan rakyat, (2) langkah pembinaan dan pengembangan
usaha kecil, menengah dan koperasi dan (3) langkah-langkah pembangunan di luar Jawa dan Bali. Ada tiga
kelompok sasaran program peningkatan kesejahteraan rakyat. Pertama, Kelompok Usaha Bersama (KUBE)
ditujukan kepada kelompok masyarakat penyandang kesejahteraan sosial. Kedua, IDT. Pemerintah telah
menyalurkan dana selama tiga tahun berturut-turut dan untuk 1997/1998 hanya dialokasikan dana kepada
daerah IDT yang belum menerima selama tiga tahun penuh. Ketiga, pembangunan keluarga sejahtera melalui
Takesra dan Kukesra. Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan kehidupan keluarga prasejahtera dan
sejahtera I menjadi sejahtera melalui kegiatan usaha yang tergabung dalam koperasi.
Pembinaan dan pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi mencakup dua hal. Pertama, dasar
pelaksanaan mengacu pada Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, yang mengatur iklim
usaha, pembinaan dan pengembangan serta koordinaasi dan pengendalian. Rincian kebijaksanaan, strategi
dan program, sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil.
Agar lebih rnempercepat pengembangan usaha kecil, menengah dan koperasi diperlukan empat dukungan.

402
Pertama, dukungan pendanaan perlu dilakukan penyempurnaan (pelaksanaan dan sasaran) skim kredit
seperti Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Koperasi Primer Untuk Anggota (KKPA), Dana Bergulir dan Kredit
Usaha Kecil (KUK).
Kedua, dukungan peluang usaha (pencadangan bidang/jenis usaha di mana 37 bidang usaha tertutup
untuk pengusaha besar yang diatur melalui Keppres Nomor 31 Tahun 1995, pengusaha besar bermitra
dengan pengusaha menengah dan kecil, pencadangan lokasi usaha, pembatasan lokasi usaha di Daerah
Tingkat II, dan pengadaan barang pemerintah/BUMN.
Ketiga, dukungan kemitraan usaha (pelaksanaan kemitraan ushaha nasional di Tingkat Pusat dan
Daerah, berdasarkan prinsip "saling menguntungkan"). Keempat, dukungan pengembangan sumber daya
manusia dan pembinaan manajemen (menggerakkan jalur pendidikan umum dan kejuruan untuk ikut
membina kualitas sumber daya manusia usaha kecil, mendorong dunia usaha agar mampu menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan berupa sekolah magang, diklat keterampilan, manajemen agar tercipta jumlah
tenaga terlatih yang besar, tenaga profesi dan wirausahaan, pembentukan Lembaga Konsultasi Bisnis dan
Klinik Bisnis dan mendorong kegiatan inkubator dalam bentuk kemitraan oleh usaha besar.
Langkah-langkah dalam memacu pembangunan luar Jawa dan Bali menyangkut dua hal. Pertama, untuk
Kawasan Timur Indonesia (KTI), telah diprogramkan pembentukan Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET) yang perlu dikembangkan secara bertahap sesuai kelayakan ekonominya dengan mendorong
dunia usaha. Tahap awal akan dibentuk satu kapet untuk satu propinsi, sehingga akan terbentuk 13 kapet di
KTI. Pengembangan Kapet akan saling mendukung dengan pengembangan 56 wilayah pusat pertumbuhan di
KTI yang telah diidentifikasi oleh Bappenas. Untuk memacu pembangunan KTI, telah ditetapkan Keppres
Nomor 120 Tahun 1993 tentang Dewan Pengembangan KTI, Keppres Nomor 89 Tahun 1996 tentang Kapet
dan Keppres Nom or 90 Tahun 1996 tentang Kapet Biak, Kapet-Kapet ini akan segera disusul Kapet Sanggau
Kalimantan Barat), Kapet DAS Kakab atau Kahayan, Kapuas, Barito (Kalimantan Tengah), Kapet Sasamba
atau Samarinda, Sanga-sanga, Muara Jawa, Balikpapan (Kalimantan Timur), Kapet Batulicin/Sakupangbalaut
(Kalimantan Selatan), Kapet Manado-Bitung (Sulawesi Utara), Kapet Batui (Sulawesi Tengah), Kapet
Parepare dan sekitarnya (Sulawesi Selatan), Kapet Bukari atau Buton, Kolaka, Kendari (Sulawesi Tenggara),
Kapet Seram (Maluku), Kapet Benaviq atau Betano, Natarbora, Viqueque (Timor-Timur), Kapet Mbay (Nusa
Tenggara Timur), dan Kapet Sima (Nusa Tenggara Barat).
Kedua, dalam memacu pertumbuhan daerah di luar Jawa dan Bali sekaligus menyiapkan seluruh
wilayah Indonesia dalam memanfaatkan peluang pasar bebas ASEAN 2003, pasar bebas anggota maju
APEC 2010 dan pasar bebas 2020 dibentuk Kerjasama Sub-Regional Asean (IMT-GT berdasarkan Keppres
Nomor 26 Tahun 1994 dan disempurnakan melalui Keppres 28/1996 dan 7211996; IMS-GT berdasarkan
Keppres Nomor 27 Tahun 1995 dan diperbaharui melalui Keppres 31/1996 dan Keppres 74/1994; BIMP-
EAGA berdasarkan Keppres Nomor 28 Tahun 1994 dan diperbaharui melalui Keppres Nomor 29/1996 dan
Keppres 73/1996; Kerjasama Pariwisata lndonesia-Singapura berdasarkan Keppres Nomor 79/1994 dan
diperbaharui melalui Keppres Nomor 30/1996), Tim Koordinasi Pembangunan Propinsi Riau (Keppres 49/
1993, diperbaharui melalui Keppres 27/1996 dan Kerjasama Australia-Indonesia (AIDA).

·Pembinaan dan Pengembangan


Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil mengandung tiga butir penting. Pertama,
Pemerintah menumbuhkan iklim usaha yang sehat untuk usaha kecil dengan menetapkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan dalam aspek-aspek pendanaan (perluasan sumber pendanaan,
peningkatan akses, memberikan kemudahan), persaingan (peningkatan kerjasama sesama usaha kecil,
pencegahan bentuk pasar yang mengakibatkan persaingan tidak sehat, pencegahan terjadinya penguasaan
pasar dan pemusatan usaha oleh kelompok tertentu), prasarana (penyediaan prasarana umum, keringanan
tarif prasarana tertentu), informasi (pemanfaatan bank data, menyebarluaskan informasi), kemitraan (usaha
besar-menengah-kecil), perijinan usaha (penyederhanaan tatacara dan jenis perijinan) dan perlindungan
(peruntukan tempat usaha, pencadangan bidang dan jenis usaha, mengutamakan produk usaha kecil,
pengaturan pengadaan barang dan jasa dan pemborongan kerja Pemerintah dan bantuan konsultasi hukum).
Kedua, Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat melakukan pembinaan dan pengembangan usaha

403
kecil dalam bidang-bidang produksi dan pengolahan (peningkatan kemampuan manajemen, rancang bangun
dan perekayasaan, pengadaan sarana dan prasarana), pemasaran (penelitian dan pengkajian, pemasaran,
peningkatan kemampuan manajemen dan teknik pemasaran, dukungan promosi dan uji coba pasar,
pengembangan lembaga pemasaran, pemasaran produk industri kecil), sumberdaya manusia (pemasyarakatan
dan pembudayaan kewirausahaan, ketrampilan teknis dan manjerial, pengembangan lembaga pendidikan
dan pelatihan serta konsultasi usaha kecil, dan penyediaan tenaga penyuluh dan konsultan usaha kecil), dan
teknologi (peningkatan kemampuan di bidang teknologi produksi dan pengendalian mutu, peningkatan
kemampuan penelitian untuk pengembangan desain dan produk baru, pemberian insentif, peningkatan
kerjasama alih teknologi, peningkatan kemampuan memenuhi standarisasi .teknologi dan upaya
menumbuhkembangkan lembaga penelitian dan pengembangan di bidang desain dan teknologi bagi usaha
kecil).
Ketiga, koordinasi dan pe'llgendalian program pembinaan dan pengembangan usaha keciil, menengah
dan koperasi. Sebagai contoh, IDT dan Pembangunan Daerah (Kantor Menneg PPN/Bappenas), Takesra,
Kukesra (Kantor Menneg Kependudukan/BKKBN, Kemitraan Usaha (Depkop · & PPK), Penyisihan Laba
BUMN 1-5% (Depkeu), Kredit Perbankan (81), Pencadangan Usaha dan Pengerahan Kemitraan melalui
Perijinan Usaha Plasma dan Inti (Kantor Menneg Penggerak Dana lnvestasi/BKPM), Penggunaan Produk
Dalam Negeri (Kantor Menneg Menko Ekku-Wasbang), Peran lptek dalam pembangunan KTI (kantor Menneg
Ristek/BPPT/BPIS), Kerjasama sub-Regional (Kantor Menko Prodis), KUBE (Depsos), Pembangunan SDM
(Depnaker, Depdikbud), dan program-program Pengentasan Kemiskinan melalui pembinaan usaha kecil,
menengah dan koperasi (Departemen Koperasi, Kantor Menteri Negara dan Lembaga Pemerintah Non
Departemen lainnya).
Depkop dan PPK telah menetapkan kebijaksanaan dan strategi pembinaan dan pengembangan
koperasi dan pengusaha kecil dalam Pelita VI yang dituangkan melalui Kepmenkop dan PPK Nomor 63/Kep/
M/IV/1994 dan lnmenop & PPK Nomor 01/lns/IV/1994 sebagai tindak lanjut Keppres Nomor 17/1995 tentang
Repelita VI, khususnya Bab 12 (Pengembangan Usaha Nasional) dan Bab 13 (Koperasi). Landasan
kebijaksanaan adalah Pancasila, UUD 1945, GBHN 1993, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang
Perkoperasian dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan Peraturan perundang-
undangan lainnya yang terkait.
Kendala yang dihadapi adalah kualitas sumber daya manusia yang rendah mengakibatkan lemahnya
akses dan pangsa pasar, permodalan teknologi, organisasi dan manajemen dan kemitraan. Juga terlihat iklim
yang kurang kondusif, sarana dan prasarana kurang, pembinaan kurang terpadu, kurangnya pemahaman,
kepercayaan dan dan kepedulian masyarakat terhadap koperasi. Peluang yang perlu dimanfaatkan adalah
kemauan politik dan kehendak masyarakat untuk melaksanakan demokrasi ekonomi, pertumbuhan ekonomi
dan peningkatan daya beli, transformasi globalisasi ekonomi, demokrasi dan keterbukaan. Melalui analisis
SWOT atau KEKEPAN (kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman) diupayakan memperoleh kebijaksanaan
dan strategi yang tepat dalam membina dan mengembangkan usaha kecil dan koperasi.
Kondisi pada awal Pelita VI masih kurang memuaskan antara lain terlihat dari 42.061 koperasi
(933. 188 Non-KUD dan 8.873 KUD), anggota 24.614 juta orang, 4.934 KUD Mandiri, Modal baru 3,5 triliun
dan nilai usaha 9,5 triliun dan terdapat 33,45 juta pengusaha kecil yang perlu dibina dan dikembangkan.
Tujuan yang hendak dicapai adalah koperasi yang mandiri dan pengusaha kecil yang tangguh dan modern,
koperasi dan pengusaha kecil menjadi kekuatan ekonomi rakyat, dan barakar dalam masyarakat, koperasi
dan pengusaha kecil mampu memperkokoh struktur perekonomian nasional.
Sasaran yang ingin dicapai pada akhir Pelita VI dibedakan atas sasaran terhadap koperasi dan
pengusaha kecil. Pertama koperasi diharapkan makin memiliki daya saing yang tinggi, maju, mandiri,
berperan utama dalam perekonomian rakyat dan mengakar kuat dalam masyarakat serta terwujudnya 2.700
KUD Mandiri baru, 3.000 Koperasi Karyawan Mandiri, mantapnya 5.000 KUD Mandiri, 300 KUD Mandiri Inti,
tumbuhnya 8.000 Koperasi Karyawan baru, tumbuhnya 209 KUD baru, terkonsolidasinya 4.000 Koperasi
Pegawai Negeri dan di lingkungan ABRI 1.500 KSU, 24.000 Unit Jasa Keuangan/Koperasi Jasa Keuangan,
566 Kopinkra, 55 Koperasi Kelistrikan, 350 Kappas, 344 Koperasi Angkutan dan 76 Koperasi Jasa Profesi.
Kedua, meningkatnya jumlah pengusaha kecil yang memiliki daya saing tinggi, maju, mandiri, dan

404
tangguh. Dan terwujudnya 7.820.000 pengusaha kecil menjadi pengusaha kecil yang tangguh dan terwujudnya
50.000 pengusaha kecil tangguh menjadi pengusaha menengah.
Kebijaksanaan operasional menyangkut dua hal, yaitu (1) meningkatkan prakarsa, kemampuan dan
peran serta gerakan koperasi dan masyarakat pengusaha kecil melalui peningkatan kualitas sumber daya
manusia dalam rangka mengembangkan dan memantapkan kelembagaan dan usaha untuk mewujudkan
peran utamanya di segala bidang ekonomi rakyat, dan (2) menciptakan iklim usaha yang makin kondusif bagi
koperasi dan pengusaha kecil. Kebijaksanaan operasional ini dituangkan ke dalam lima kebijaksanaan dasar,
yaitu (1) meningkatkan akses pasar dan memperbesar pangsa pasar, (2) meningkatkan kemampuan akses
terhadap sumber modal dan memperkuat struktur modal, (3) meningkatkan kemampuan organisasi dan
manajemen, (4) meningkatkan akses dan pengusahaan teknologi, dan (5) meningkatkan kemitraan yang
man tap.
Dari kebijaksanaan operasional dan kebijaksanaan dasar tersebut maka telah disusun lima program
pembinaan dan pengembangan pengusaha kecil, menengah dan kopera$i. Pertama, dalam meningkatkan akses
pasar dan pangsa pasar diupayakan peningkatan promosi, penyediaan informasi pasar, peningkatan daya
tarik investasi, mencadangan usaha, pengaturan alokasi resiko usaha yang adil, penyediaan usaha dan
prasarana usaha, dan pengembangan jaringan usaha.
Kedua, dalam meningkatkan akses terhadap permodalan diupayakan peningkatan peran sektor jasa
keuangan, baik milik Pemerintah maupun Swasta dan Koperasi, peningkatan peran pemerintah, melanjutkan
kredit program dan pinjaman lunak luar negeri, peningkatan simpanan anggota koperasi, penyediaan modal
awal, pemanfaatan modal ventura, pemanfaatan dana dari sebagian laba BUMN, pemanfaatan daria yang
berasal dari masyarakat dan pengembangan usaha keuangan koperasi.
Ketiga, di bidang organissi dan manajemen diupayakan peningkatan kewirausahaan, profesionalisme
dan kemampuan teknis bekerjasama dengan perguruan tinggi, pengembangan sistem organisasi dan
manajemen yang dinamis sesuai kebutuhan koperasi dan pengusaha kecil, peningkatan partisipasi anggota,
penataan status hukum koperasi dan pengusaha kecil, penataan kelembagaan secara vertikal dan horisontal,
pengembangan PKL dan pengiriman tenaga terampil ke Kawasan Timur Indonesia.
Keempat, dalam meningkatkan akses dan penguasaan tekno1ogi diupayakan peningkatan inovasi,
renovasi, rehabilitasi dan penemuan teknologi tepat, penyebarluasan teknologi tepat, dan peningkatan
kemampuan dan penguasaan teknologi. Kelima, dalam meningkatkan kemitraan diupayakan pengembangan
dan kemantapan pola kemitraan, peningkatan pemilikan saham perusahaan besar oleh koperasi, pengembangan
informasi kemitra:an, promosi dan temu usaha kemitraan, dan pemberian insentif. ·

Posisi Agustus 1997


Saat menyampaikan Pidato Kenegaraan 16 Agustus 1997, Presiden Soeharto menegaskan bahwa
dengan daya upaya yang lebih terpadu dan terarah, dengan koordinasi yang lebih baik, maka segenap
sumber daya dicurahkan dalam berbagai program pemerataan dan penanggulangan kemiskinan akan
mencapai hasil yang lebih optimal. Program MPMK, Program Makanan Tambahan untuk Anak Sekolah
(lnpres 1/1997), lOT (lnpres 5/1993) Takesra, Kukesra (lnpres 5/1996), KUK, KKU, KIK/KMKP, KUT, KUBE,
KKPA, Kupedes, Modal Kerja bergulir, PPUK, Proyek Hubungan Bank dengan Kelompok Swadaya Masyarakat
(PHBK), Proyek Kredit Mikro (PKM), kesemuanya merupakan upaya-upaya untuk memacu pengentasan
kemiskinan. Program penanggulangan kemiskinan bukanlah satu-satunya program pemerataan. Yang tidak
kalah pentingnya adalah upaya membangun Usaha Kecil dan Koperasi, agar menjadi usaha yang kuat,
tangguh dan mandiri.
KUD Mandiri sebanyak 5.100 unit (1993) telah berkembang menjadi 6.500 (1997), terse bar di 3.500
kecamatan (97% dari seluruh kecamatan yang memerlukan fungsi KUD). Di setiap kabupaten telah ada
paling sedikit satu KUD Mandiri Inti berfungsi sebagai kekuatan pendorong pertumbuhan koperasi menonjol
dalam meningkatkan kesejahteraan karyawan. Di perkotaan telah bergerak lebih dari 3.300 Koperasi Mandiri
(1.900) koperasi karyawan dan 1.400 koperasi perkotaan lainnya. Di setiap kotamadya telah berdiri paling
sedikit satu koperasi Perkotaan Mandiri Inti. Julah anggota koperasi telah meningkat dari 24,6 juta (1993)
menjadi 27 juta (1997) dan volume usaha meningkat dari 9,5 triliun (1993) menjadi 12,5 triliun (1996).

405
Dalam membina dan mengembangkan usaha kecil, menengah dan koperasi, tidak kalah pentingnya
adalah membangun sumber daya manusia yang produktif, terampil, sehat jasmani-rohani, beriman dan
taqwa, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, memiliki sikap budaya yang sesuai tuntutan kehidupan modern
dan jaman yang penuh persaingan, berbudaya iptek, dinamis, profesional, bekerjasama dan gotong royong,
dan siap menghadapi persaingan atau perdagangan bebas Asean 2003, mengambil manfaat dari perdagangan
bebas anggota maju APEC 2010, dan siap menghadapi perdagangan APEC 2020.
Jayakarta, 15 September 1997

Menuju Gerakan Nasional Desa Cerdas Teknologi


Perdagangan bebas pada Era Globalisasi yang penuh dengan berbagai tantangan, membutuhkan
penerapan iptek agar produk-produk yang dibuat dan dipasarkan mempunyai daya saing yang tinggi. Untuk
itu, Kebijaksanaan dan Strategi, Rencana Strategis Penerapan Teknologi perlu disusun dan dilaksanakan
dengan baik dalam upaya mencapai sasaran yang telah ditetapkan dan pada akhirnya iptek dapat berperan
sebagai pemacu pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
GBHN 1993 menegaskan bahwa ekonomi merupakan penggerak pembangunan, sedangkan lptek
merupakan pemacu pembangunan berkelanjutan dan ber~awasan lingkungan. lptek sebagai Asas
Pembangunan mengandung pengertian agar pembangunan nasional dapat memberikan kesejahteraan rakyat
lahir batin yang setinggi-tingginya, penyelenggaraannya perlu menerapkan nilai-nilai iptek, serta mendorong
pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek secara saksama dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Dicantumkannya iptek sebagai asas dan bidang pembangunan pada Pelita VI, memperlihatkan
pentingnya peran iptek dalam pembangunan nasional. Sasaran yang ingin dicapai dalam pembangunan iptek
pada:
PJP II : tercapainya kemampuan nasional dalam pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek
yang dibutuhkan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing
bangsa yang diperlukan untuk memacu pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
menuju masyarakat yang berkualitas, maju, mandiri serta sejahtera, yang dilandasi nilai-nilai spiritual, moral,
dan etik didasarkan nilai luhur budaya bangsa serta nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
Pelita VI : peningkatan kemampuan memanfaatkan, mengembangkan, dan menguasai iptek dilaksanakan
dengan mengutamakan peningkatan kemampuan alih teknologi melalui perubahan dan pembaharuan
teknologi yang didukung oleh pengembangan kemampuan sumber daya manusia, sarana dan prasarana
penelitian dan pengembangan yang memadai, serta peningkatan mutu pendidikan sehingga mampu mendukung
upaya penguatan, pendalaman, dan perluasan industri dalam rangka menunjang proses industrialisasi
menuju terwujudnya bangsa Indonesia yang maju, mandiri, dan sejahtera.
Untuk mencapai sasaran tersebut, diperlukan Kebijaksanaan dan Strategi, Rencana Strategis, dan
Aplikasi (Penerapan) Teknologi yang tepat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Jakstra dan Renstra Penerapan Teknologi


Untuk mencapai sasaran pembangunan pada PJP II dan Pelita VI di atas, kebijaksanaan pembangunan
iptek pada Pelita VI mencakup empat hal. Pertama, kegiatan produksi barang dan jasa yang dibutuhkan
masyarakat terus ditingkatkan dan diusahakan untuk mengembangkan produk unggulan yang mampu
menerobos pasar internasional.
Sejalan dengan itu perlu dikembangkan sumber daya manusia sebagai tenaga ahli dan terampil yang

406
mampu melaksanakan alih berbagai jenis teknologi, termasuk mampu memilih teknologi tepat serta menerapkan,
menguasai, dan mengembangkannya sebagai teknologi hasil sendiri yang serasi dengan perkembangan
budaya masyarakat agar dapat lebih mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan pendapatan
masyarakat.
Kedua, pembangunan iptek yang dilaksanakan oleh pemerintah maupun masyarakat, termasuk
kalangan akademisi dan pengusaha, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya ketangguhan dan keunggulan
bangsa. Pembangunan iptek harus ditunjang oleh pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan teknik
produksi, teknologi, ilmu pengetahuan terapan dan ilmu pengetahuan dasar secara seimbang dalam
hubungan yang dinamis dan efektif antara pembinaan sumber daya manusia, pengembangan· sarana dan
prasarana iptek, pelaksanaan penelitian dan pengembangan, serta rekayasa dan produksi barang dan jasa.
Ketiga, penguasaan ipt~k terus ditingkatkan dan diarahkan untuk menaikkan tingkat kesejahteraan dan
kualitas hidup bangsa yang harus selaras dengan nilai-nilai agama, nilai luhur budaya bangsa, kondisi sosial
budaya, dan lingkungan hidup. ·
Keempat, pembangunan kelembagaan iptek perlu ditingkatkan untuk tnencapai produktivitas, efisiensi,
dan efektivitas penelitian dan pengembangan yang lebih tinggi dalam rangka pemanfaatan dan penguasaan
teknologi yang memberikan nilai tambah serta memberikan pemecahan masalah konkret dalam pembangunan.
Dalam Pelita VII, pokok-pokok pikiran pembangunan iptek merupakan kelanjutan, peningkatan,
perluasan, dan pembaharuan dari apa yang dilakukan pada Pelita VI, untuk menjawab dan memenuhi
berbagai peningkatan kebutuhan dan harapan masyarakat serta menghadapi dinamika perkembangan
pembangunan. Kesadaran masyarakat terhadap iptek makin tinggi dan peran iptek sebagai pemacu
pembangunan makin dirasakan. Transformasi iptek di industri telah mendorong penggunaan teknologi yang
mempunyai nilai tambah tinggi, integrasi teknologi, dan pengembangan teknologi, didukung sumber daya
manusia yang selalu berusaha menguasai teknologi dan pemantapan kelembagaan serta koordinasi
kelembagaan yang makin terarah dan terpadu.
Sasaran yang ingin dicapai pada Pelita VII adalah berkembangnya kemampuan nasional dalam
pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek yang ditandai dengan meningkatnya efisiensi, produktivitas
prestasi nasional, nilai tambah, daya saing, dan percepatan laju pembangunan yang berkelanjutan dan
berwawasan (ramah) lingkungan. Peranan iptek makin diperlukan dalam mewujudkan sektor industri yang
kuat didukung pertanian yang tangguh. Peran iptek tidak saja sebagai pemacu pembangunan dan memberikan
nilai tambah pada proses produksi yang menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, tetapi juga
meningkatkan keampuhan dan tulang punggung pelaksanaan pembangunan bidang-bidang lain.
Pembangunan iptek menyangkut upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengembangan
produk unggulan melalui peningkatan kemampuan rancang bangun dan rekayasa, kemitraan pemerintah dan
swasta/dunia usaha, pemasyarakatan dan pembudayaan iptek, penguasaan teknik produksi, pengembangan
teknologi, pengembangan ilmu pengetahuan terapan dan ilmu pengetahuan dasar, dan transformasi teknologi
untuk mengembangkan produk unggulan dan andalan di pasar global, didukung kelembagaan iptek yang
mantap, kesadaran dan peran serta aktif masyarakat sehingga dapat ditingkatkan produktivitas, efisiensi, dan
efektivitas dalam pemanfaatan, pengembangan, dan penguasaan iptek.
Kebijaksanaan dan Strategi Pengkajian dan Penerapan Teknologi (Jakstra PPT) perlu disusun dengan
memperhatikan keadaan dan masalah perkembangan iptek, analisis hakikat, peluang dan kendala (analisis
kekepan: kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman atau SWOT), prinsip penerapan iptek, tujuan dan
sasaran, arah kebijaksanaan dan strategi pelaksanaan.
Beberapa prinsip dasar penerapan iptek (Habibie, 1984) yaitu : Perlunya diselenggarakan diklat di
dalam dan luar negeri di berbagai bidang iptek yang relevan untuk keperluan pembangunan bangsa.
Diperlukan konsep yang jelas, realistis, dan dilaksanakan secara konsekuen tentang masyarakat yang ingin
dibangun di masa depan serta teknologi yang diperlukan untuk mewujudkannya. Ukuran tepat tidaknya
teknologi bagi Indonesia adalah sejauh mana kegunaannya dalam memecahkan permasalahan nyata di
dalam negeri.
Teknologi hanya dapat dialihkan, diterapkan dan dikembangkan lebih lanjut jika benar-benar diterapkan

407
pada pemecahan masalah yang konkret. Bangsa yang ingin mengembangkan dirinya secara teknologis harus
bertekad untuk berusaha sendiri memecahkan masalahnya. Jika ingin maju, Indonesia harus sanggup
mengembangkan sendiri teknologinya. ·Pada tahap permulaan transformasi dirinya menjadi ban gsa berteknologi
maju, Indonesia harus melindungi perkembangan kemampuan nasionalnya di bidang teknologi hingga saat
tercapainya kemampuan bersaing secara internasional.
PPT dilaksanakan oleh unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat yang ditujukan untuk mempercepat
terwujudnya ketangguhan dan keunggulan bangsa melalui penguasaan, pemanfaatan, dan pengembangan
teknologi untuk menciptakan industri yang unggul dan berdaya saing tinggi. ·PPT dilakukan secara konsisten
melalui tahapan transformasi industri dan teknologi (berawal dari akhir, berakhir di awal): (1) penggunaan
teknologi yang telah ada di dunia untuk proses nilai tambah dalam rangka produksi barang-barang yang telah
ada di pasaran; (2) tahap integrasi teknologi yang telah ada ke dalam desain dan produksi barang-barang
yang baru sama sekali, yang belum ada di pasaran; (3) pengembangan teknologi lebih lanjut; dan (4)
penelitian dasar secara besar-besaran untuk transformasi teknologi dan industri.
Disiplin ilmu yang diprioritaskan adalah yang diperhitungkan akan memiliki peluang untuk unggul dalam
mempercepat laju pembangunan bioteknologi, teknologi kedokteran, teknologi hasil pertanian, rancang
bangun, ilmu bahan, ilmu kimia dan proses, teknologi energi, elektronika dan informatika, dan teknologi
perlindungan lingkungan. Kegiatan penelitian dan pengembangan hendaknya berlanjut pada kegiatan industri
sampai ke pengguna industri, sehingga tercipta jaringan kerja lembaga litbang, lembaga pengkajian dan
penerapan teknologi, industri, dan pengguna teknologi.
Strategi Penerapan Teknologi, adalah pengembangan sumber daya manusia yang menguasai iptek,
bekerja produktif, efisien dan efektif, dan inovatif, serta mampu mengembangkan kemampuan dirinya
menghadapi berbagai bentuk persaingan di era globalisasi. Pengembangan sarana dan prasarana iptek,
antara lain lembaga ristek/litbang, puspiptek (dirgantara, antariksa, kelautan, dan multidisiplin ilmu), diklat,
science center, science based industrial park, dan technopark. Peningkatan pembiayaan kegiatan
pengembangan ipte1</ristek, dari 0,3% PDB menjadi 2% PDB pada akhir PJP II, dan peningkatan pendanaan
swasta dalam kegiatan ipteklristek dari 10-20% menjadi 70-80% pada akhir PJP II. Pemantapan kebijaksanaan
pembangunan bidang iptek: kebijaksanaan satu pintu, RUT, RUTI, RUK, Rusnas, Hibah Bersaing, DAPATI,
dan lain-lain.
Meningkatkan kegiatan pemasyarakatan dan penyebarluasan iptek serta pembudayaan iptek.
Meningkatkan jaringan kerjasama antar lembaga yang bergerak dalam kegiatan iptek/ristek. Melaksanakan
empat tahap strategi transformasi industri dan teknologi dan mempercepat pelaksanaannya pada Sembilan
Wahana Transformasi lndustri dan Teknologi: industri penerbangan dan kedirgantaraan, maritim dan perkapalan,
transportasi darat, telekomunikasi, energi, rekayasa, alat dan mesin pertanian, pertahanan keamanan, dan
wahana kesembilan (industri jasa, perumahan, konstruksi, pembuatan komponen, obat-obatan, kesehatan,
makanan dan minuman, agroindustri dan agribisnis, dan lain-lain).
Tolok Ukur PPT, PPT pada kegiatan-kegiatan teknik produksi, pengembangan teknologi, ilmu
pengetahuan terapan, ilmu pengetahuan dasar, kelembagaan, sistem informasi, dan statistik, menggunakan
tolok ukur: memecahkan masalah nyata, menambah keahlian, menghasilkan nilai tambah yang tinggi, dan
mendukung pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Koordinasi, lntegrasi, dan Sikronisasi,
diperlukan dalam meningkatkan kegiatan PPT secara lebih terarah dan terpadu.
Renstra PPT perlu disusun mengacu pada kegiatan-kegiatan teknik produksi, pengembangan teknologi,
ilmu pengtahuan terapan, ilmu pengetahuan dasar, kelembagaan, sarana dan prasarana, pengembangan
sumber daya manusia, sistem informasi, dan statistik; meliputi kedirgantaraan, kelautan, transportasi, energi,
elektronika, telekomunikasi dan komputasi, bioteknologi, ilmu bahan, teknologi proses, rekayasa dan rancang
bangun, pengembangan wilayah, pengelolaan dan perlindungan lingkungan, dan pertahanan keamanan;
diarahkan untuk menyeimbangkan pembangunan perkotaan dan perdesaan, pembangunan Kawasan Timur
Indonesia dan Kawasan Barat Indonesia, memacu pembangunan wilayah strategis, mengembangkan sumber
daya manusia, memanfaatkan sumber daya alam, dan mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan.

408
Penerapan dan Pemanfaatan Teknologi
Penerapan Teknologi dilakukan pada berbagai pembangunan, yaitu: ekonomi (industri, pertanian, .
tenaga kerja, perdagangan, transportasi, pertambangan, kehutanan, usaha nasional, pariwisata, pos dan
telekomunikasi, koperasi, pembangunan daerah, kelautan, kedirgantaraan, keuangan, transmigrasi, energi,
dan lingkungan hidup), Kesejahteraan Rakyat, Pendidikan dan Kebudayaan (kesejahteraan sosial, pendidikan,
kebudayaan, kesehatan, keluarga sejahtera, kependudukan, anak dan remaja, pemuda, peranan wanita,
perumahan dan permukiman, dan olah raga), Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pembangunan iptek mencakup teknik produksi, teknologi, ilmu pengetahuan terapan, ilmu pengetahuan
dasar, dan kelembagaan, juga diterapkan dalam Bidang Hukum (materi hukum, aparatur hukum, sarana dan
prasarana hukum), Politik, Aparatur Negara, Penerangan, Komunikasi dan Media Massa (politik dalam negeri,
hubungan luar negeri, aparatur negara, penerangan, komunikasi dan media massa), Pertahanan Keamanan
(rakyat terlatih dan perlindungan masyarakat, ABRI, pendukung).
Dikaitkan dengan Gerakan Nasional Desa Cerdas Teknologi, maka perlu makin dipacu kegiatan
Teknologi Masuk Desa dan lndustrialisasi Perdesaan. Program Gerakan Kembali ke Desa (GKD) di Jawa
Timur (Satu Desa Satu Produk Unggulan, Usaha Desa, Pasar Desa, Teknologi Masuk Desa, lndustrialisasi
Perdesaan), Proyek Tamyamsang {Tambak, Ayam, Pisang) di Lamongan, Gerakan Terobosan Pengembangan
Desa (Gerbos·Bangdes) dan Gerakan Mandiri Pengembangan Desa (Gema Bangdes) di Sulawesi Tengah,
dan Marsipature Hutanabe di Sumatera Utara, seperti Program di Oita Prefecture, Jepang, dengan motto
"One Village, One Producf' yang dipromosikan oleh Gubernurnya, Morihiko Hiramatsu, merupakan contoh
nyata dalam membangun Desa Cerdas Teknologi.
Dalam membangun daerah perdesaan, permasalahan yang muncul antara lain mayoritas penduduknya
dengan tingkat pendidikan dan ketrampilan yang terbatas, masih bergantung pada sektor pertanian (55-60%
angkatan kerja), pemilikan lahan pertanian semakin menurun, perubahan lahan pertanian produktif menjadi
lahan non-pertanian (0,23%/tahun di Pulau Jawa, 1%/tahun di Jawa Barat), dan lapangan kerja menyempit
sehingga mengakibatkan adanya peningkatan migrasi desa-kota angkatan kerja usia produktif. lndustrialisasi
perdesaan, merupakan alternatif dalam memacu pembangunan perdesaan.
lndustrialisasi perdesaan berbasis pada hasil sumber daya alam (pertanian, perikanan, hasil hutan,
pertambangan dan/atau ketrampilan tradisional sumber daya manusia setempat berupa hasil kerajinan
rumahtangga), teknologi yang diterapkan sangat sederhana (industri rumahtangga) sampai teknologi sedang,
bersifat padat karya, tenaga kerja dari desa setempat dan sekitarnya, pemasaran lokal sampai ekspor skala
kecil, berdiri sendiri (industri rumahtangga) sampai ada hubungan kemitraan dengan industri menengah dan
besar (sub-kontrak, bapak-anak angkat), modal terbatas, dan manajemen masih lemah. Sasaran industrialisasi
perdesaan adalah (a) pengembangan industri kecil dan menengah yang sudah ada, berupa penerapan dan
pengembangan teknologi untuk peningkatan produktivitas dan daya saing produk, serta pengembangan
sumber daya manusia untuk peningkatan efisiensi dan produktivitas kerja dan melayani teknologi yang
digunakan, dan (b) pendirian industri baru untuk menunjang industri kecil dan menengah yang sudah ada,
berupa penerapan dan pengembangan teknologi untuk peningkatan nilai tambah atau penghematan devisa.
Penerapan Teknologi Perdesaan, merupakan rangkaian kegiatan (umumnya mendapat dukungan dari
luar desa), berkesinambungan dan bersifat pemicu pembangunan swadaya masyarakat dan kemandirian,
perlu ditunjang akar yang kuat dan kondisi lingkungan yang mendukung (antara lain komitmen pemerintah
daerah dan adanya kesiapan masyarakat).
Dalam menerapkan teknologi perdesaan, dibutuhkan pemanfaatan sumber daya lokal dan kontribusi
masyarakat (motivasi, evaluasi diri, percaya diri, pengalaman positif, kreativitas, dan kemandirian masyarakat
setempat). Penerapan dan pengembangan teknologi perdesaan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
dapat dilihat dalam bentuk "pohon kesinambungan" yang mengandung "tujuh elemen".
Pertama, lklim Yang Mendukung stabilitas, kondisi sosial ekonomi yang menguntungkan, peraturan
yang mendukung (paling tidak, pada tingkat desa dan kecamatan). Kedua, Dukungan Dari Luar Desa:
bantuan keuangan, teknis, supervisi, diklat, penyuluhan, bimbingan, pendampingan, kesemuanya merupakan
"pupuk" yang menyuburkan penerapan dan pengembangan teknologi perdesaan.

409
Ketiga, Pemanfaatan Sumber Day a Lokal: pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya alam
semaksimal mungkin, dan menumbuhkan kegiatan perekonomian perdesaan. Keempat, Kontribusi Masyarakat
Yang Kuat: keswadayaan, peran serta dan partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan perdesaan.
Kelima, Mempunyai Akar Yang Kuat: motivasi, evaluasi diri dan percaya diri, motivasi dan inovasi, kreatif dan
mandiri. Keenam, Berkelanjutan Dan Berwawasan Lingkungan: penerapan teknologi tepat guna di perdesaan
haruslah dapat dipertanggungjawabkan secara lingkungan hidup, "berkelanjutan dan berwawasan lingkungan"
yang selalu berusaha mewujudkan "pelestarian lingkungan hidup". Ketujuh, Memperhatikan Enam Cabang
Pohon Kesinambungan, yaitu:
Orientasi Pada Masyarakat Kelompok Sasaran: penerapan teknologi harus merupakan bagian dari
kehidupan sehari-hari, kehidupan sosial-ekonomi dan sosial-budaya masyarakat. Kemampuan Berorganisasi:
penerapan teknologi dikelola oleh organisasi lokal desa yang mengerahkan sumber daya manusia yang ada
(kelembagaan tingkat desa). BIAYA DAN KEUNTUNGAN MEMADAI: biaya operasi dan perawatan serta
biaya-biaya lainnya tidak memberatkan atau mengakibatkan kerugian.
Penyesuaian Dan Ketepatan Teknologi: teknologi yang diterapkan, secara sosial/material cocok
dengan kondisi setempat, secara ekonomis layak, secara politis menguntungkan, dan secara ekonomis bisa
dipertanggungjawabkan. Penyesuaian Dengan Kebijaksanaan Pembangunan: penerapan teknologi perdesaan
harus sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan dan strategi pembangunan desa, kecamatan, kabupaten,
propinsi, dan nasional. PERUMUSAN PROGRAM YANG REALISTIS: program penerapan teknologi harus
direncanakan dengan tepat, baik pada konsep awal maupun tahap pelaksanaan, adanya peran serta dan
partisipasi masyarakat secara aktif, serta dilakukannya pemantauan, evaluasi, pengendalian dan pengawasan
secara reguler dan terus menerus.

Menuju GN DESTEK
Gerakan Nasional Desa Cerdas Teknologi (GN Destek) atau GN-DCT adalah suatu gerakan secara
nasional yang dilakukan secara terarah dan terpadu dalam memacu kegiatan penerapan teknologi di
perdesaan dan mendorong industrialisasi perdesaan untuk membangun warga desa sehingga menjadi warga
yang cerdas dalam penguasaan, pengembangan, dan pemanfaatan teknologi untuk kesejahteraan masyarakat.
lnstransi yang terlibat, yaitu Depkok & PPK, Depdagri, Deptan, Deperindag, Dephut, BPPT, LIPI, dan lnstansi
terkait lainnya. Contoh sejenis, GN OTA, Gerakan Jiwa Kewirausahaan, Gerakan Disiplin Nasional, Gerakan
IDT, Gerakan Pembangunan Keluarga Sejahtera.
Melalui GN Destek, diharapkan migrasi desa-kota bisa ditekan, migrasi kota-desa ditumbuhkan, usaha
desa dan pasar desa tumbuh, dan gerakan kembali ke desa makin memasyarakat. Gerakan Nasional ini perlu
dibarengi dengan koordinasi secara terarah dan terpadu mulai tingkat Pusat sampai ke tingkat Daerah. GN
DESTEK harus sampai pada temuan produk unggulan suatu desa (one village, one product).
Contoh produk di kabupaten-kabupaten di Jawa Timur yang dapat dikembangkan dan berpeluang
menjadi produk unggulan, yaitu sepatu, batik, ikan, krupuk ikan, bandeng asap, udang, teri nasi, ikan hias,
susu sapi, pisang Agung dan pisang nangka, tempe, kripik tempe, kripik nangka, melon, emping belinjo,
mangga, jeruk, kelapa, nenas, bawang merah, meubel rotan, tenun sutera, kopi racik, pisang Cavendish,
madu, kodak, ayam buras, tenun Gedog, kerajinan kerang, sambel pecel, krupuk lempeng, kacang, terasi,
tasbeh, peci/songkok, bubut kayu, kerajinan kulit, sarang burung, cor logam, batu onyx, brem, batu permata,
marmer, dan jati.
Jayakarta, 29 Desember 1997

410
Menumbuhkan Partisipasi Swasta dalam
Pembangunan Kota
lnfrastruktur perkotaan makin penting artinya bagi .masyarakat, baik dalam bentuk penyediaan,
pengoperasian, pelayanan, dan pemeliharaan. Sebagai contoh, jaringan transportasi, penyediaan air bersih,
drainase perkotaan, jaringan listrik, pembangunan perumahan, dan pengelolaan persampahan. Partisipasi
swasta dan 01asyarakat dalam pengelolaan jasa infrastruktur perkotaan, baik pada tahap perencanaan,
pelaksanaan pembangunan, pengawasan, evaluasi, dan pemantauan, memberikan sumbangan yang berarti
bagi upaya perwujudan manajemen perkotaan yang efektif.
Pembangunan yang partisipatif mempertimbangkan peranan tokoh masyarakat (stakeholders) pada
tingkat komunitas (rumahtangga, organisasi berbasis komunitas, pemimpin masyarakat, peran wanita dan
generasi muda), tingkat menengah atau intermediary seperti LSM, Yayasan, dan berbagai Organisasi
Kemasyarakatan, dan keteladanan aparatur pemerintah (Pusat, Daerah, BUMN/BUMD, serta berbagai
Organisasi lnternasional dan Nasional).
Partisipasi mengandung implikasi bahwa masyarakat perkotaan berpartisipasi dan berperanserta
dalam pembangunan kotanya, dalam proses pengambilan keputusan (pada tahap perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan atau pengendalian), baik secara sendiri-sendiri maupun kelompok, didorong ataupun atas
kesadaran sendiri, dalam bentuk dana atau pemikiran, untuk inencapai tujuan tertentu pada bidang tertentu
dari pelayanan jasa perkotaan.
Lingkup partisipasi bisa diwujudkan melalui pendekatan pembangunan berbasis komunitas (skala
rumahtangga, kelompok masyarakat, RT/RW, Lingkungan Tertentu), berbasis wilayah (Kelurahan, Kecamatan,
Kabupaten/Kotamadya, atau Propinsi/Daerah Khusus/Daerah lstimewa), berbasis fungsi dan peran (tokoh
agama, tokoh olahraga, tokoh penggerak masyarakat), atau berbasis proses pembangunan (tahap perencanaan,
pelaksanaan, pengendalian). Karakteristik penting dari setiap pendekatan tersebut adalah pendefinisian
partisipasi dan sejauh mana keterkaitan antara pelaku dan unsur pemerintah dalam berbagi peran, baik pada
tingkat komunitas maupun struktur pemerintahan.

Mitra Pembangunan Partisipatif


Pelaku utama mitra pemerintah dalam pembangunan partisipatif adalah organisasi berbasis komunitas
(Community-Based Organization, CBO), lembaga swadaya masyarakat atau LSM (Non-Governmental
Organization, NGO), aktor sektor swasta, dan otoritas pemerintahan lokal. Wanita sering lebih berperan
dalam bermitra pada tingkat CBO, antara lain melalui organisasi sosial kemasyarakatan, PKK, yayasan, dan
arisan.
LSM berperan memberdayakan peranserta masyarakat dan menumbuhkan ekonomi rakyat. Sektor
swasta pengusaha menengah, kecil, dan informal lebih berperan dalam memberdayakan masyarakat,
misalnya dalam pengumpulan sampah di kampung-kampung, pengusaha industri kecil, industri kerajinan dan
rumahtangga, dan pengusaha kecil bidang jasa.
Pemerintahan lokal (kecamatan, kelurahan) berperan memberikan masukan dalam penentuan
pengoperasian peralatan sampah yang cocok (appropriate, reliable), meminimumkan ongkos atau pembiayaan
(penggunaan tenaga kerja lokal pasukan kuning dalam pengelolaan sampah), dan penerapan prinsip
pengambilan modal/biaya (adequate cost-recovery).
Apa yang dimaksud dengan "partisipasi"? Partisipasi dalam pengelolaan infrastruktur adalah proses
dimana anggota masyarakat, sebagai konsumen dan produsen jasa pelayanan infrastruktur, dan sebagai
penduduk setempat, mempengaruhi aliran dan kualitas pelayanan jasa untuk masyarakat.
Participation in infrastructure management is a process whereby people-as consumers and producers
of infrastructure services, and as citizen - influence the flow and quality of infrastructure service available to

411
them. Partisipasi tidak hanya terjadi pada proyek pembangunan, tetapi pada seluruh kegiatan kehidupan
manusia. Fungsi-fungsi manajemen pembangunan dapat dilihat sebagai siklus kegiatan formulasi tujuan dan
sasaran, perencanaan jangka panjang, perencanaan dan investasi jangka menengah, pelaksanaan program,
pengoperasian dan pemeliharaan, pemantauan dan evaluasi, dan pengawasan atau pengendalian.
Strategi partisipasi dalam manajemen pembangunan, mencakup strategi berbasis komunitas (mendukung,
memacu, memberdayakan kelompok komunitas dalam proses pembangunan: proses belajar, kemandirian
berorganisasi, dan pemberdayaan potensi lokal); strategi berbasis wilayah (kelurahan, kecamatan, dan yang
di atasnya), strategi berbasis fungsionalitas (kolaborasi unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat), strategi
berbasis proses (sentralisasi, desentralisasi, pemberian kewenangan, privatisasi swasta).
Walaupun partisipasi masyarakat dalam pembangunan terus didorong, pada kenyataannya masih
diijumpai banyak hambatan. Aotara lain kendala birokrasi pemerintahan, kendala kualitas sumber daya
manusia, peraturan perundang-undangan, pengaturan, dan teknis. Contoh-contoh antara lain, SEBESB di
Sao Paulo Brazil menghadapi masalah pengaturan dalam menyediakan air bersih untuk orang miskin
(favelas), Sindh Katchi Abadi Authority atau SKAA di Pakistan menghadapi banyak hambatan dalam
membangun perumahan murah untuk warga permukiman kumuh (katchi abadi), program perbaikan kampung
atau Kampung Improvement Programme, KIP, di Jakarta dan Surabaya menghadapi banyak tantangan pada
saat awal diperkenalkan.
Beberapa elemen perencanaan pembangunan perlu diperhatikan dalam memacu partisipasi masyarakat,
yaitu penyempurnaan metoda perencanaan, prosedur manajemen proyek, model yang aplikatif dan praktis,
perumusan kembali tujuan dan sasaran, pelayanan infrastruktur berbasis kebutuhan (menerapkan prinsip
komersial dan bisnis, kompetisi sehat, pelayanan infrastruktur yang sesuai kebutuhan masyarakat), dan
menumbuhkan kemitraan (pemerintah, swasta, dan masyarakat).
Beberapa contoh antara lain, pembangunan perumahan bertumpu pada kemandirian masyarakat,
privatisasi pelayanan infrastruktur perkotaan (sampah, air bersih), pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan
jiwa kewirausahaan, menerapkan model kontrak dan sub-kontrak pada pengusaha menengah dan kecil, dan
mobilisasi potensi masyarakat.

Belajar dari Pengalaman


Siapa saja yang berpartisipasi (participants) dalam pembangunan? Partisipan dapat dikelompokkan
·atas pengguna infrastruktur perkotaan, komunitas, organisasi berbasis komunitas, wan ita dan gender dalam
pembangunan tingkat lokal, LSM, pengusaha menengah dan kecil, dan individual.
lsu-isu penting partisipasi masyarakat adalah tingkat akses pelayanan, reliabilitas dan kualitas
pelayanan yang tersedia, keterjangkauan (affordabilitas), nilai pemilikan (properti), keamanan pemilikan,
kepemimpinan, organisasi komunitas, bimbingan dan penyuluhan, uji coba dan percontohan, kontribusi
masyarakat, peran mediator, manajer, dan konsultan lokal, kondisi kerja, pengoperasian peralatan biaya
rendah, keuntungan yang memadai, tingkat pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, kualitas hidup, dan
berpikir global bertindak lokal (think globaly, act localy).
Partisipasi yang dapat dilihat dari sisi konteks (cakupannya luas), proses (terus menerus), aktor (tidak
terbatas), dan relasi (komunikasi timbal balik), mendorong pemberdayaan masyarakat (empowerment),
Participation is based on voluntary relationship between various actors, which may include government
institutions, individual infrastructure users, community-based organizations, individual infrastructure users,
organizations, user groups, private enterprises, and non-governmental organization.
Dari pengalaman melaksanakan pembangunan untuk memberdayakan masyarakat di berbagai negara,
Bank Dunia menyimpulkan enam fungsi manajemen pelayanan infrastruktur, yaitu formulasi tujuan dan
sasaran, perencanaan jangka panjang, perencanaan investasi, pelaksanaan, pengoperasian dan pemeliharaan,
serta pemantauan dan evaluasi. Tujuan partisipasi adalah membangun landasan manajemen infrastruktur
partisipatif yang memungkinkan pembagian peran seimbang dalam pembangunan.
Partisipasi membutuhkan dukungan pendekatan berbasis komunitas, pendekatan berbasis wilayah,
pendekatan berbasis fungsional (kolaborasi antar berbagai pelaku), pendekatan desentralisasi berbasis

412
proses, menggunakan kriteria yang tepat dan akurat, mewujudkan efisiensi dan efektivitas pengembangan
infrastruktur melalui formulasi yang tepat, menumbuhkan kemandirian atau kegotongroyongan informal
(informal self-help), keterkaitan sektor formal dan informal, memperhatikan standarisasi dan inovasi, mobilisasi
potensi masyarakat, mudah dalam pengoperasian, berorientasi kebutuhan nyata, mengutamakan
pengembangan wilayah di atas kepentingan sektoral, menggunakan dan memanfaatkan potensi daerah
(equity), didukung komunikasi dua arah, dan dilaksanakan dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan.
Akhir dari pembangunan infrastruktur yang partisipatif adalah meningkatnya kualitas hidup masyarakat, ·
produktivitas dan efisiensi berbagai unsur pemerintahan, memberikan dampak positif pembangunan
(meningkatkan kesejahteraan, efisiensi, efektivitas, dan mewujudkan sustainabilitas), berorientasi pada
kebutuhan nyata, didukung pengembangan institusi, menumbuhkan kemitraan dan partisipasi pengguna,
menerapkan prinsip belajar dari pengalaman, berpandangan ke depan (reorientasi administrasi, penerapan
sistem manajemen modern berorientasi dan berpandangan ke luar, outward atau forward looking,
menyederhanakan birokrasi, menata peraturan perundang-undangan, dan mewujudkan pembangunan
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Jayakarta, 20 Nopember 1997

Peringatan Habitat Sedunia 1997:

Seminar Nasional Perumahan dan Permukiman


Menyongsong Abad 21
Perumahan makin penting perana:nnya dalam pembangunan. Kebijaksanaan Umum, Tata Ruang, dan
Pertanahan, merupakan issu strategis, disusul kebijaksanaan moneter dan sistem pembiayaan. lssu-issu
penting lainnya, peran Pemerintah dan Swasta dalam pembangunan perumahan dan permukiman skala
besar dan pembangunan perumahan bertumpu pada komunitas.
Pembiayaan, Komitmen Pemerintah, dan Kelembagaan, juga merupakan aspek penting yang mendukung
keberhasilan pembangunan perumahan dan permukiman. Menyongsong Pelita VII pada PJP II, diharapkan
dapat dirumuskan Kebijaksanaan dan Strategi Pembangunan Perumahan dan Permukiman yang dapat
mengakomodasikan kepentingan berbagai kelompok masyarakat.
Sejak Konperensi Habitat 1976 di Vancouver Kanada, tiap tahun diperingati Hari Habitat Sedunia
dengan memilih tema tertentu. Tema Hari Habitat Sedunia Tahun 1997 adalah Menyongsong Perkotaan
Masa Depan dengan sub-sub tema Papan Yang Layak Untuk Semua, P~rmukiman Yang Berkelanjutan,
Peningkatan Kualitas Kehidupan, serta Pemberdayaan dan Kemitraan. Penyelenggaraan Seminar Nasional
Peru mahan dan Permukiman Menyongsong Abad 21, merupakan salah satu kegiatan dalam mengisi
peringatan Hari Habitat Sedunia 1997.

Kebijaksanaan Umum dan lssu Strategis


Akbar Tanjung (1997) menegaskan lima tujuan penyelenggaraan seminar, yaitu untuk memperingati
dan memasyarakatkan Hari Habitat Sedunia 1997, merefleksikan sekaligus mengkaji berbagai peran unsur
dan pihak yang mendukung keberhasilan pembangunan perumahan dan permukiman, menggali bahan-
bahan masukan untuk GBHN 1998 sektor perumahan dan permukiman, mengkaji ·sekaligus memprediksi
masukan-masukan menyongsong abad 21, serta menggalang dan meningkatkan kepedulian berbagai pihak
dan memantapkan kemitraan dalam mewujudkan perumahan dan permukiman yang layak bagi semua
lapisan masyarakat.

413
Seminar ini merupakan kelanjutan Konperensi Habitat II di Istanbul, 3-14 Juni 1996, dengan tema
tempat tinggal yang layak bagi semua dan pembangunan permukiman berkelanjutan (lestari) dalam dunia
yang meng-kota. lni mengandung dua makna. Pertama, penduduk dunia kekurangan rumah serta prasarana
dan sarana lingkungan belum memadai. Kedua, pembangunan perumahan dan permukiman memadukan
aspek sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan bagian dari hak asasi manusia.
Penduduk perkotaan yang akan mendekati 60% penduduk Indonesia pada akhir PJP II dan globalisasi,
menuntut penyediaan rumah, kantor, fasilitas perdagangan dan berbagai fasilitas umum lainnya dalam
konteks pembangunan perkotaan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Akbar Tanjung menegaskan
bahwa kunci keberhasilan menyongsong era globalisasi adalah sejauh mana pemerintah kota menjalankan
prinsip pemerintahan yang baik (good governance: tanggungjawab yang tinggi, efisien, efektif, manajemen
modern, pelayanan yang baik, pemerintah berperan sebagai fasilitator dan enabler serta mewujudkan
kemitraan) dan konsisten dalam·misi untuk mewujudkan keadilan, lingkungan yang bersih, kesejahteraan dan
pemerataan.
Kebijaksanaan pembangunan perumahan dan permukiman pada Pelita VI yang secara tegas
menargetkan pembangunan 500.000 unit Rumah Sederhana (RS) dan Rumah Sangat Sederhana (RSS)
mengandung elemen-elemen: penyelenggaraan pembangunan yang terjangkau oleh masyarakat luas,
penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan,
peningkatan peran serta masyarakat dalam penyediaan pelayanan perumahan dan permukiman,
pengembangan sistem pendanaan perumahan dan permukiman terutama yang dapat membantu masyarakat
berpenghasilan rendah, pemantapan pengelolaan pembangunan perumahan dan permukiman secara terarah
dan terpadu, pengembangan perangkat peraturan perundang-undangan sebagai pendukung pembangunan
perumahan dan permukiman.
Berbagai usaha yang telah ditempuh antara lain pemantapan kebijaksanaan, penyelenggaraan
pembangunan, pembiayaan dan pendanaan, kelembagaan dan peraturan perundang-undangan, teknis
teknologis dan pengaturan. Rincian butir-butir pelaksanaannya adalah sebagai berikut.
Pertama, SKB Tiga Menteri Tahun 1992 (Menpera, Men-PU, dan Mendagri tentang Pedoman
Pembangunan Peru mahan dan Permukiman Dengan Lingkungan Hun ian Berimbang 1:3:6), disusul Juklak
yang dikeluarkan oleh Menpera. Kedua, pengendalian harga tanah untuk menahan harga jual rumah pada
harga yang terjangkau oleh masyarakat luas. Ketiga, penyelenggaraan pembangunan perumahan dan
permukiman skala besar melalui KASIBA (kawasan siap bangun) dan LISIBA (lingkungan siap bangun), yang
masih menunggu Peraturan Pemerintahnya. Dari ijin lokasi perumahan seluas 121.629 hektar lahan di
Botabek, baru 71.784 hektar (59%) yang dibebaskan.
Kelima, bantuan, bimbingan dan penyuluhan, serta pelatihan bagi masyarakat perdesaan melalui
Pembangunan Perumahan dan Lingkungan Desa Secara Terpadu (P2LDT). Keenam, perbaikan kampung
dan peremajaan permukiman kumuh (lnpres 5 Tahun 1990 tentang Peremajaan Permukiman Kumuh yang
berada di atas tanah Negara). Ketujuh, pemerintah mendorong pembangunan perumahan dan permukiman
bagi masyarakat berpenghasilan rendah, semula di Depok, Bekasi, dan Karawaci Tangerang, sekarang
dikembangkan 9.000 hektar di Maja (perbatasan Kabupaten Tangerang, Bogor, dan Lebak).
Kedelapan, memantapkan aspek pembiayaan dan pendanaan, antara lain melalui Tabungan Perumahan
PNS (Taperum PNS), mobilisasi tabungan masyarakat untuk perumahan, subsidi silang, menyiapkan pasar
hipotik sekunder, dana bank dan non-bank, dan dana Jamsostek. Kesembilan, memfokuskan pembangunan
perumahan dan permukiman di sembilan wilayah nasional, yaitu Medan, Pakanbaru dan Batam, DKI Jakarta,
Bandung, Semarang, Yogya-Solo, Surabaya, Ujung Pandang, dan Balikpapan-Samarinda.
Kesepuluh, memantapkan aspek kelembagaan, yaitu memfungsikan BKP4N (Badan Kebijaksanaan
dan Pengendalian Pembangunan Perumahan dan Permukiman Nasional) dibantu BP4D (Badan Pengendalian
Pembangunan Perumahan dan Permukiman Daerah) yang ditetapkan melalui Keppres 37/1994 sebagai
pengganti BKPN (Badan Kebijaksanaan Perumahan Nasional).
Kesebelas, mendorong pembangunan peru mahan dan permukiman bertumpu pada kelompok masyarakat
atau komunitas (P2BPK). Keduabelas, memantapkan Sistem lnformasi Nasional Perumahan dan Permukiman.

414
Ketigabelas, memperhatikan aspek teknis teknologis dan hasil-hasil penelitian di bidang perumahan dan
Permukiman. Keempatbelas, menegakkan aspek pengaturan, antara lain tentang rumah susun, penataan
ruang, rumah negara, penghunian rumah oleh bukan pemilik, pemilikan satuan rumah susun oleh orang
asing. Menyongsong abad 21, kita harus siap untuk menyediakan rumah yang Iayak untuk semua dalam
lingkungan yang sehat.
Dalam rangka memberdayakan masyarakat, pembangunan perumahan dan permukiman melalui
penataan ruang, diperlukan tiga upaya, yaitu (1) dalam rencana rinci tata ruang kawasan perumahan dan
permukiman perlu ditetapkan secara jelas dan tegas lokasi-lokasi lahan yang diperuntukkan bagi pembangunan
perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah, (2) dalam pengalokasian lahan perumahan RS dan
RSS pada rencana rinci tata ruang, perlu dipertimbangkan daerah-daerah yang mempunyai akses yang baik
bagi buruh dan penghuni dalam mencapai fasilitas sosial, ekonomi, dan kegiatan pekerjaannya, dan .(3)
pemberdayaan masyarakat berpenghasilan rendah perlu dilakukan melalui pemberian kemudahan dalam
perijinan, permodalan, perkreditan, dan layanan umum, dalam konteks pola pembangunan bertumpu pada
masyarakat (community based development). Rencana tata ruang hendaknya tidak hanya dilihat sebagai
aspek prosedural dalam penyelenggaraan pembangunan peru mahan, tetapi juga sebagai pencipta kemudahan
pembangunan perumahan (Ginanjar Kartasasmita, 1997). ·
Dari aspek pertanahan, Soni Harsono menekankan pentingnya pembangunan kota masa depan yang
memperhatikan kondisi fisik lingkungan, teknologi, dan sosio-kultural. Di bidang perumahan dan permukiman,
telah ditempuh berbagai kebijaksanaan, yaitu kebijaksanaan tata ruang/tata guna tanah, RTRW Kota untuk
pembangunan peru mahan dan permukiman, pengaturan hak-hak atas tanah, dan pelayanan dalam penyediaan
tanah untuk pembangunan perumahan dan permukiman.
Beberapa kebijaksanaan mengenai pengaturan hak-hak atas tanah yang relatif baru dan pelayanan
dalam penyediaan tanah, antara lain: UU 16/1985 tentang Rumah Susun dan PP 4/1988 tentang Rumah
Susun, UU 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman, UU 4/1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
dan Benda-benda yang ada di atasnya, PP 40/1996 tentang Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, dan Hak
Pakai, PP 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggai/Hunian Atas Orang Asing yang Berkedudukan
di Indonesia, PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, Keppres 97/1993 tentang Penanaman Modal (Pakto
93), berbagai pengaturan tentang KASIBA, LISIBA, pembangunan skala besar, konsolidasi tanah, pengendalian
ijin lokasi, penyediaan tanah untuk perumahan para pekerja industri, penyediaan tanah untuk RS/RSS, hak
milik atas tanah untuk pemilik RS/RSS, dan reklamasi pantai.
Dari aspek pembiayaan (Mansjurdin Nurdin, 1997), terus diupayakan agar swasta mau berkiprah
dalam pembiayaan perumahan. Bank Indonesia tetap berperan dalam mendukung kelancaran pembangunan
perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, antara lain melalui KLBI dan penciptaan iklim kondusif
(berusaha menjaga keseimbangan ekonomi makro melalui kebijakan fiskal dan moneter yang berhati-hati dan
konsisten, agar permintaan domestik tumbuh dalam batas-batas yang aman sesuai daya dukung kapasitas
nasional).
Pembiayaan jangka panjang, diupayakan melalui pasar modal (penjualan saham dan obligasi) dan
dengan menggunakan pasar atau fasilitas hipotik sekunder (secondary mortgage facility, SMF). Peran
Pemerintah Daerah dalam pembangunan perumahan dan permukiman, dibahas oleh Walikota Balikpapan
yang berhasil memacu pembangunan perumahan dan permukiman di wilayahnya. Dimulai dari pemantapan
kebijaksanaan dan program pembangunan perumahan dan permukiman, Pemda Kotamadya Balikpapan
berusaha berperan nyata dalam menyediakan rumah, memperbaiki dan memugar, meremajakan dan
merelokasi, serta mengawasi dan mengendalikan pembangunan perumahan dan permukiman.
Beberapa kegiatannya antara lain, membangun 1.067 unit RS dan RSS untuk pegawai negeri
golongan I dan II, membangun rumah dinas untuk golongan IV, mempercepat proses pemberian persetujuan
prinsip, memberikan keringanan pembiayaan investasi, memberikan berbagai kemudahan proses pembangunan,
semenisasi gang dan parit, memperbaiki lingkungan permukiman kumuh seluas 10-30 hektar, menyediakan
air bersih, mengelola dan menata persampahan (meraih Adipura Kencana) dan sanitasi, meremajakan
permukiman kumuh Gunungsari llir, normalisasi Sungai Klandasan Kecil dengan membangun rumah sewa
bangunan bertingkat, pembuatan turap kiri-kanan sungai, pembuatan badan jalan inspeksi, perbaikan rumah

415
kumuh, pemantapan dana bergulir, relokasi keluarga pengrajin tahu-tempe di Somber, memfungsikan BP4D,
mendorong pengelolaan prasarana permukiman mandiri, dan memberdayakan masyarakat.
Ciputra menyorot pembangunan perumahan dan permukiman skala besar dengan melihat kebutuhan
versus daya beli, kesenjangan kota-desa, kota baru sebagai alternatif (kota superblok, kota dalam kota, kota
satelit, kota mandiri), kota kediaman, kota industri, kota pelabuhan, dan pentingnya kemitraan (unsur
pemerintah, pengusaha, dan masyarakat). Lima faktor perlu diperhatikan dalam membangun perumahan dan
permukiman skala besar, yaitu pasar, konsep, tanah, perijinan, dan keuangan. Jfka kita teliti, pembangunan
perumahan dan permukiman skala besar merupakan perluasan dari pembangunan melalui KASIBA dan
LISIBA. Perbedaannya tampak pada pengelola dan siapa yang memperoleh manfaat dari pembangunan
model tersebut.
Andy Siswanto menyorot pembangunan perumahan dan permukiman melalui pembangunan komunitas,
dari aspek teoritis dan praktis. Peristilahan yang muncul dalam konsep ini, yaitu social learning, building
capacity, cost-recovery, sustainable, pemberdayaan masyarakat (enabling community), AKKU (aspirasi,
kepentingan, kemampuan, dan upaya masyarakat), pemberdayaan pasar (enabling market), kemitraan, serta ·
pembangunan lingkungan dan komunitas (neighbourhood development).
Pande Radja Silalahi mengangkat persoalan dan tantangan yang dihadapi pembangunan perumahan
dan permukiman, yaitu dengan melihat permintaan efektif dan permintaan pote·nsial, perlu kehati-hatian dalam
membangun perumahan, sulitnya pengadaan tanah untuk membangun perumahan dan permukiman.
Kelembagaan pembangunan perumahan dibahas Kristiadi (1997), dengan menyodorkan sepuluh resep, yaitu
(1) pemerntah harus lebih mengutamakan pelayanan, pembinaan dan pengendalian, (2) peran serta
masyarakat harus ditingkatkan, (3) pemerintah harus menumbuhkan persaingan dalam pelayanan umum, (4)
pemerintah harus mempunyai missi dalam memacu tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan, (5)
birokrasi harus berorientasi pada prestasi, (6) profesionalisme aparatur pemerintah perlu ditingkatkan, (7)
pemerintah harus berjiwa wirausaha, (8) pemerintah harus berorientasi masa depan yang antisipatif, (9)
desentralisasi pemerintahan dari sistem hierarki ke sistem partisipasif, dan (1 0) pemerintahan harus bersifat
market oriented. Perlu ditingkatkan koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi kelembagaan perumahan di Tingkat
Pusat, Tingkat Daerah (Tingkat I dan II), BUMN, BUMD, Lembaga Keuangan, serta peran serta masyarakat,
swasta, dan koperasi.
Menyongsong Pelita VII, perlu ditingkatkan upaya pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan
perumahan dan permukiman, dalam rangka menciptakan bangsa yang maju dan mandiri di mana tiap orang
mendiami unit hunian yang layak dalam lingkungan peru mahan dan permukiman yang lestari. Memperhatikan
Agenda Habitat, sepuluh butir perlu diperhatikan, yaitu: permukiman yang berkeadilan, pemberantasan
kemiskinan, pembangunan yang berkelanjutan, mutu kehidupan semua orang, penguatan keluarga, hak
yang sama bagi setiap orang dalam memperoleh perumahan yang layak, kemitraan, solidaritas kaya-miskin,
pemberdayaan lingkungan perumahan dan permukiman, serta kesehatan dan kualitas hidup manusia.
Beberapa butir penting dapat dicatat dari pengarahan Presiden Soeharto pada saat meresmikan
pembukaan Seminar di lstana Negara. Pertama, apabila kurang perhatian terhadap pembangunan perkotaan
dan perdesaan, maka kondisi lingkungan kota-kota di abad 21 akan menurun. Kedua, penduduk kota di
Indonesia, masih banyak yang terpaksa harus tinggal di permukiman kumuh dan rumah-rumah yang tidak
layak huni, sehingga kota menjadi kumuh dan rawan. Ketiga, perlu diberikan perhatian yang besar untuk
membangun rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur. Keempat, dalam
Pelita VI telah dibangun 600.000 unit (dari target 500.000 unit). Walaupun demikian, kita masih harus
membangun lebih banyak lagi perumahan.
Kelima, perumahan yang layak harus dibangun bersamaan dengan pembangunan permukiman yang
tidak merusak lingkungan. Untuk itu perlu dikembangkan lembaga yang dapat beroperasi secara efektif dan
efisien mulai di tingkat daerah sampai ke tingkat pusat. Keenam, kita harus membangun perumahan yang
ada dan sekaligus meningkatkan efisiensi penggunaan tanah. Caranya dengan meremajakan perumahan
kumuh menjadi rumah susun yang modern dan layak huni.
Ketujuh, pembuatan buku Pembangunan Perumahan Untuk Kesejahteraan dan Pemerataan serta

416
Pemberian Tanda Penghargaan Adhikara Grahatama bagi penyelenggara pembangunan perumahan dan
permukiman (Pemda Kodya Balikpapan, Kodya Bengkulu, Kodya Medan, Kodya Semarang, Kabupaten
Sidoardjo), Adhidharma Grahatama bagi pemberdayaan pembangunan perumahan dan permukiman (AI
Soewondo, lkah Atikah, dan Hasan Poerbo), dan Adhiyasa Grahatama bagi pelaku pembangunan perumahan
dan permukiman (Perum Perumnas Cabang Ill, DPD Real Estat Jawa Timur, BTN Cabang Surabaya, Pusat
Koperasi Karyawan Riau, dan Koperasi Swadaya Pembangunan Perumahan Rakyat (KSPPR) Darek Praya
Lombok Tengah), diharapkan makin mendorong pembangunan perumahan dan permukiman.

Beberapa Kesimpulan Sementara


Dari pembahasan di atas, beberapa butir penting dapat dijadikan masukan kebijaksanaan perumahan
dan permukiman. Kebutuhan perumahan makin tinggi, terutama di perkotaan. Karena itu, berbagai elemen
kebijaksanaan perlu diterapkan, yaitu penataan ruang, pengaturan tanah, pemantapan sistem pembiayaan
dan kelembagaan, pembangunan rumah susun berbagai tipe dan jenis, rumah sewa, RS dan RSS, rumah
toko, rumah kantor, rumah kost dan berbagai fasilitas umum bagi penduduk perkotaan lainnya.
Butir-butir penting Agenda Habitat di Istanbul (1966) perlu dipelajari dan diterapkan disesuaikan
dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Lima Rancangan Peraturan Pemerintah yang menindaklanjuti UU 4/
1992 tentang Perumahan dan Permukiman perlu segera diselesaikan. Elemen kebijaksanaan seperti
KASIBA, LISIBA, kemitraan, pembangunan bertumpu pada kelompok!komunitas, peremajaan permukiman
kumuh, rumah sehat, dan target pembangunan sejuta rumah pada Pelita VII, perlu membumi, artinya segera
diwujudkan dalam kegiatan pembangunan perumahan dan permukiman.
Beberapa catatan yang diperoleh dari Agenda Habitat dan Deklarasi Istanbul untuk dijadikan acuan
dalam pembangunan perumahan dan permukiman di Indonesia adalah sebagai berikut. Pertama, Limabelas
Butir Deklarasi: tujuan umum untuk menyediakan rumah bagi semua orang, kesadaran adanya penurunan
kondisi perumahan dan permukiman akibat kota berkembang pesat; komitmen terhadap perumahan yang
lebih baik; upaya yang konprehensif; pembangunan lebih intensif dan kerjasama antar berbagai aktor
pembangunan; keterkaitan pembangunan perkotaan dan perdesaan; kebutuhan lingkungan permukiman
yang aman, nyaman, dan sehat bagi semua orang; komitmen pada penyediaan perumahan secara progresif;
penyediaan perumahan yang layak secara besar-besaran; keterkaitan antarsektor pembangunan perkotaan
didukung manajemen perkotaan yang efektif; konservasi dan rehabilitasi bangunan perkotaan; strategi
pemberdayaan masyarakat; mobilisasi sumber pembiayaan, pendefinisian yang tepat (berpikir global, bertindak
lokal); dan kesepakatan era baru kerjasama dan era budaya solidaritas. ·
Kedua, Agenda Aksi: kecukupan rumah untuk semua orang, pembangunan peru mahan dan permukiman
berkelanjutan dalam dunia yang terus berkembang, pengembangan kapasitas dan institusi 'koordinasi dan
kerjasama internasional serta implementasi dan tindak lanjut Agenda Habitat II (adequate shelter for all dan
sustainable human settlements development in an urbanizing world).
Apa yang dibahas dalam seminar dan yang dituliskan pada kesimpulan sementara, tidak terlepas dari
hasil rumusan prioritas penanganan tindak lanjut. Deklarasi Istanbul yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu
tujuh prioritas penanganan dan sembilan tujuan/prinsip. Pemecahan Tujuh Prioritas: ketidakberlanjutan pola
konsumsi dan produksi khususnya di negara-negara industri; ketidakberlanjutan perubahan penduduk yang
pesat; mengurangi jumlah orang yang tidak memiliki rumah (homeless) termasuk rumah kumuh dan liar
(slums and squatters settlements); mengurangi pengangguran; ketidakcukupan infrastruktur dan pelayanan
umum; ketidaksamaan pandangan dan kebringasan; dan ketidakpastian dan ketidakpercayaan diri yang
dapat membahayakan.
S::mbilan Tujuan/Prinsip komitmen Habitat, yaitu keseimbangan perumahan di mana semua orang
berhak atas kesamaan perolehan rumah, ruang terbuka, pelayanan pendidikan dan kesehatan; perigentasan
kemiskinan dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan; pentingnya
kualitas hidup (perkotaan besar, menengah, kecil, dan perdesaan); kebutuhan penekanan keluarga sebagai
unit dasar kehidupan bermasyarakat; hak asasi manusia dan keseimbangan hak dan kewajiban; kemitraan
antar negara dan antar aktor/pelaku pembangunan perumahan dan permukiman; solidaritas terhadap
kelompok masyarakat yang tidak berkesempatan dan tidak siap; peningkatan sumber-sumber pembiayaan;

417
dan pelayanan kesehatan, termasuk reproduktif dan pelayanan yang terkait dengan upaya peningkatan
kualitas hidup.
Jayakarta, 19 Desember 1997

Perumahan Rakyat Untuk Kesejahteraan dan


Pemerataan
Kebijsksanaan dan Strategi (Jakstra) Pembangunan Perumahan dan Permukiman, pola kemitraan,
peranan Pemerintah Daerah, peran serta pelaku pembangunan perumahan, keberhasilan, permasalahan
yang dihadapi, kerjasama dan hubungan internasional, merupakan instrumen dan kenyataan dalam
pembangunan perumahan dan permukiman dalam upaya mewujudkan kesejahteraan dan pemerataan. Untuk
mencapai tujuan tersebut, perlu diperhatikan aspek-aspek tata ruang nasional, kota baru, perkembangan
kota, peremajaan perumahan dan permukiman kota, lingkungan, ijin lokasi, sosial-budaya, permukiman
bergerak, kelembagaan, dan upaya pemberdayaan masyarakat.
Pembangunan perumahan dan permukiman sangat penting bagi kehidupan rakyat. Bersama sandang
dan pangan, papan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi setiap manusia. Rumah bukan hanya
sekedar tempat tinggal, namun merupakan tempat pembentukan watak dan jiwa melalui kehidupan keluarga
(Presiden Soeharto, Pidato Kenegaraan RUU APBN 1995/1996). Selanjutnya ditegaskan pula, sektor
perumahan dan permukiman akan memperoleh anggaran lebih dari Rp. 1,5 trilliun, ditambah lagi dengan
dana Jamsostek untuk memacu pembangunan rumah sangat sederhana.
Jakstra Nasional Perumahan telah disusun oleh Kantor Menpera melalui Badan Kebijaksanaan
Perumahan Nasional (BKPN) yang sekarang telah ditingkatkan fungsinya menjadi Badan Kebijaksanaan dan
Pengendalian Pembangunan Perumahan Nasional (BKP4N) melalui Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun
1994. Khususnya untuk masyarakat berpenghasilan rendah telah ditempuh berbagai upaya, antara lain
penyediaan kapling tanah matang, rumah struktur beratap, rumah inti, rumah sederhana, rumah sangat
sederhana, perbaikan kampung, pemugaran perumahan perdesaan, rumah sewa, rumah untuk para nelayan,
dan peremajaan permukiman kumuh. Sejalan dengan itu pendanaan diupayakan melalui berbagai sumber,
antara lain KPR-BTN, Taperum PNS, dan sekarang segera diperkenalkan dana Jamsostek.

Pembangunan Perumahan sampai dengan Pelita VI


Pelita I merupakan persiapan program pembangunan perumahan, disusul Pelita II (pengembangan
program pembangunan perumahan), Pelita Ill (peningkatan program dan koordinasi pembangunan antar para
penyelenggara pembangunan perumahan), Pelita IV (penyiapan tinggal landas pembangunan perumahan),
Pelita V (babakan terakhir dari pembangunan jangka panjang tahap pertama), Pelita VI (memasuki era tinggal
landas), dan Pelita VII (siap menghadapi perdagangan bebas Asean 2003). Aspek-aspek kebijaksanaan
umum, pertanahan, pendanaan dan pembiayaan, kelembagaan dan peraturan perundang-undangan, serta
sistem informasi perumahan dan permukiman makin diperhatikan. Strategi pencapaian, memperhatikan
aspek-aspek keterjangkauan, pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, peran serta masyarakat
dan dunia usaha, kemudahan penyediaan lahan, pemantapan sistem pendanaan, kelembagaan, pola
pengelolaan pembangunan secara terarah dan terpadu, dan penataan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pelita VI, Pemerintah telah menetapkan Arah, Sasaran, dan Kebijaksanaan Pembangunan
Perumahan dan Permukiman, antara lain pengadaan 500.000 unit rumah inti, rumah sangat sederhana, dan
rumah sederhana, pembangunan kawasan siap bangun (KASIBA) di 3000 desa, perbaikan kawasan kumuh

418
seluas 21.250 hektar di 125 kota dengan kepadatan penduduk tinggi, peremajaan kawasan kumuh seluas
750 hektar, pemugaran perumahan dan permukiman di 20.000 desa tertinggal, pembangunan prasarana air
bersih, penyehatan lingkungan permukiman, serta penataan kota dan bangunan.
·Keberhasilan pembangunan perumahan dan permukiman dalam Pelita VI, dipengaruhi oleh sejauh
mana perwujudan kemitraan pembangunan perumahan (pemerintah-swasta-masyarakat, didukung iklim yang
kondusif), peran nyata Pemerintah Daerah dalam pembangunan perumahan dan permukiman, peranserta
para pelaku pembangunan perumahan, kesiapan semua pihak dalam membangun perumahan baru atau
memperbaiki rumah tua yang sudah tidak layak huni, peran BTN. dan lembaga perbankan lainnya serta
peluang lembaga non-bank dalam mendukung penyediaan dana pembangunan perumahan dan permukiman,
kemudahan proses penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman, penataan ruang yang
dinamis dan pengadaan tanah yang tidak membutuhkan waktu lama dan tidak menyedot biaya yang besar,
serta terbinanya hubungari dengan berbagai kelembagaan internasional yang terkait dengan perumahan dan
permukiman. Pada era perdagangan bebas Asean 2003 dan Apec 2020 yang didahului perdagangan bebas
anggota maju Apec tahun 2010, sektor perumahan dan perm1,1kiman akan memainkan peran cukup penting,
karena menyangkut tenaga kerja, kualitas sumber daya manusia, perdagangan (ekspor-impor), penggunaan
bahan bangunan, komponen dan elemen bangunan, dalam lingkup penyediaan sarana dan prasarana
perkotaan, perdesaan, dan lingkungan.

Dampak Terhadap Kesejahteraan dan Pemerataan


Budhy Tjahjati S. Soegijoko membahas Kotabaru dan Tata Ruang Nasional. Kotabaru Generasi
Pertama dibangun sebelum PO II, Kotabaru Generasi Kedua dibangun pada dekade 1950-an, dan Kotabaru
Generasi Ketiga dibangun sejak Repelita IV. Lokasi pembangunan kota baru harus mengacu pada rencana
tata ruang wilayah dan nasional. Pembangunan permukiman skala besar atau kotabaru perlu dikaitkan dan
mengacu pada rencana tata ruang wilayah dan nasional.
Dengan demikian dapat dikembangkan keuntungan timbal balik antara kotabaru dengan kota yang
telah berkembang sebelumnya. Perlu ditemukenali di setiap wilayah (propinsi atau kabupaten), wilayah yang
berpeluang menjadi kotabaru. Sejalan dengan itu, temukenali pula aspek pendukung, keterkaitan dengan
wilayah sekitar, kelembagaan, pembiayaan, dan pengelolaan kota.
Secara keseluruhan, hasil-hasil yang telah dicapai oleh pembangunan nasional kita telah memberikan
dimensi baru pada cakrawala lingkungan hidup bangsa Indonesia (Danisworo, 1997). Ketidakseimbangan
antara kebijaksanaan pembangunan yang tepat yang dapat mengarahkan serta mengendalikan tekanan
pembangunan dan kecepatan tekanan pembangunan itu sendiri, telah mengakibatkan pertumbuhan nngkungan
perkotaan yang makin semrawut. Adanya p!Jblic concerns di masyarakat (intelektual) mengenai pentingnya
makna identitas atau jati diri bagi tempat mereka bermukim merupakan hal yang menggembirakan.
Perubahan fungsi guna tanah, seperti dari fungsi hunian menjadi fungsi komersial atau industri, telah
mengakibatkan terjadinya kekacauan baik dari segi organisasi tata ruang kota, maupun penampilan visualnya.
Lingkungan binaan di masa yang akan datang sedang atau akan dibentuk oleh serentetan keputusan yang
diambil para pelaku pembangunan hari ini. Dari uraian tersebut, disimpulkan perlunya panduan rancang kota
(urban design) yang jelas.
Peremajaan Perumahan dan Permukiman Kota sangat disarankan oleh Johan Silas (1997). Beberapa
konsep kota yang diangkat, antara lain kota menjadi multifacet, kompak dan polisentrik, kegiatan tumpang
tindih, menuju ke ecocity (Sir Richard Rodgers), fungsi tarsier kota (jasa) menurut Peter Hall dan informalisasi
(Castel), perlunya humanisme yang kuat (Celine Sachs-Jeantet), dan membaiknya kondisi perumahan dan
permukiman, di mana tiap orang menempati rumah yang layak serta permukiman yang berwawasan
lingkungan dan lestari, dengan mendorong peningkatan potensi dan kemandirian masyarakat (Kantor
Menpera, 1997). Dari pengalamannya, Johan Silas mencatat: masyarakat lapis bawah bersedia dan mampu
hidup di rumah susun tanpa kesulitan berarti, melepas pemukiman di kawasan kumuh dari stigma yang
memisahkan mereka dari masyarakat biasa di manapun, dapat dilakukan dengan biaya tidak perlu besar,
dalam keadaan tertentu dapat meraih kembali investasi lebih besar dari KIP, mendorong mobilitas sosial-
ekonomi penghuni dalam waktu relatif singkat dan tidak selalu tergantung dari pemerintah, meningkatkan

419
kohesif bermasyarakat bila perancangan mampu memperhatikan pola hidup masyarakatnya, membuka
peluang untuk melibatkan sektor swasta menanamkan modal guna membentuk sinergi baru yang kuat,
meningkatkan lebih tinggi perbaikan mutu lingkungan dan dapat melibatkan masyarakat dalam proses dan
perawatannya.
Strategi yang disarankan adalah persaingan ketat antar pelaku pembangunan perkotaan, komodititikasi
berbagai kehidupan masyarakat, perebutan ruang kota, perebutan peluang ekonomi, prioritas berlebihan
mengakibatkan ketimpangan, perlu restrukturisasi ekonomi yang transparan, dan hindari pemisahan unsur-
unsur pembangunan. Lakukan pendekatan John FC Turner, yaitu what it does dan what it is, keberlanjutan,
jaminan keterkaitan, dan mendasarkan pada komonitas, perlunya persiapan masyarakat, peremajaan kawasan,
dan keberpihakan pada si kecil.
Tulisan singkat Eko Budihardjo menyarankan agar setiap orang berperan nyata untuk menjadikan
lingkungan perumahan dan permukiman kota di Indonesia sebagai titik masuk guna kehidupan masyarakat.
Pesatnya pembangunan kota dan kekuatan merusak dari kota yang luar biasa perkasanya itu, tentunya dapat
didayagunakan menjadi daya yang kreatif, dinamik, dan sinergik untuk menyembuhkan luka yang telah
terjadi. ·
Kota mestinya berfungsi optimal sebagai instrumen pembangunan manusia yang sejahtera, aman,
nyaman, dan bahagia, menciptakan kemakmuran yang adil sekaligus keadilan yang makmur. Perlu sharing
and caring, perwujudan konsep perumahan dan permukiman hunian berimbang, perhatian yang besar pada
kaum marjinal, ruang publik untuk bertemu dan bercampur menghindari keterpencilan, dan lenyapkan bentuk-
bentuk eksklusivitas menuju pada berbagai fasilitas kota dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat warga kota.
Perijinan yang berkaitan dengan pertanahan, menyangkut tiga hal, yaitu pemberian ijin lokasi,
pemberian hak atas tanah, dan persertifikatan tanah (Maria Sumardjono, 1997). Terbatasnya dana atau
bunga pinjaman bank yang relatif tinggi untuk proyek properti, masalah profesionalisme pengusaha, dan
manajemen perusahaan maupun hambatan yang dialami setelah perolehan surat keputusan ijin lokasi dalam
perolehan tanah, dapat membawa akibat adanya proyek-proyek pembangunan perumahan yang tersendat,
perumahan dengan mutu di bawah standar atau bahkan adanya proyek fiktif. Pembentukan lembaga bank
tanah sampai saat ini belum dapat direalisasikan karena permasalahan dana yang besar harus disediakan
oleh Pemerintah. lnventarisasi penguasaan tanah oleh badan hukum/perorangan dilakukan, karena dalam
kenyataannya diketahui banyak terdapat bidang tanah yang dikuasai berdasarkan pencadangan tanah/ijin
lokasi belum dimanfaatkan sebagaimana mestinya, sehingga tampak tanah diterlantarkan.
Pengusaha diwajibkan melaporkan rencana peruntukan dan pemanfaatan tanah, permohonan hak atas
tanah, beserta pensertifikatan tanah, termasuk perkembangannya. Tindakan penghentian pemberian ijin
lokasi, dilihat dari pihak pemerintah sebagai pembuat kebijaksanaan dapat dibenarkan karena didukung data
yang akurat. Bagi pengembang yang tidak melaporkan kemajuan perolehan tanah secara kontinyu akan
diberi peringatan, namun menurut kenyataannya, surat peringatan itu sebagian besar tidak memperoleh
tanggapan.
Maria Sumardjono menyarankan peningkatan koordinasi, kualitas sumber daya manusia, tersedianya
dana yang memadai, dan penerapan sanksi secara konsekuen dan konsisten terhadap pelanggaran yang
berkaitan dengan proses perijinan lokasi. Diperlukan kriteria yang jelas tentang kemampuan pengusaha
sebagai bahan pertimbangan perpanjangan ijin lokasi. Perlu peraturan perundang-undangan dan ketentuan
yang jelas tentang persyaratan pengembang perumahan, perlu transparansi Tata Ruang Wilayah untuk
mencegah spekulasi tanah, perlu dibentuk bank tanah untuk mengendalikan harga tanah, dan perlu dibuat
peraturan tentang penerbitan dan pendayagunaan tanah terlantar agar tanah dapat dimantaatkan secara
optimal.
Tinjauan aspek sosial budaya dalam pembangunan permukiman baru, disampaikan oleh Paulus
Wirutomo. Masa depan bangsa modern termasuk bangsa Indonesia ada di kota-kota, jadi kesalahan dalam
menata dan membangun kota adalah kesalahan masa depan bangsa. Salah satu masalah besar adalah jarak
permukaan permukiman baru dengan tempat kerja mereka (contohnya di Jakarta dan sekitarnya) yang
diperburuk dengan kemacetan yang amat berat, sehingga keluarga mereka diancam krisis komunikasi karena

420
para anggota keluarganya lebih banyak berada di luar rumah. Kota-kota baru sama sekali belum dapat
dikatakan benar-benar mandiri, karena kota-kota baru ini belum dapat menyediakan tempat kerja yang
memadai bagi seluruh warganya seperti layaknya suatu kota. Prinsip permukiman berimbang 1:3:6 yang
bertujuan memelihara integrasi sosial antara berbagai lapisan sosial cenderung diakali, sehingga tujuan tidak
tercapai. Kawasan Jabotabek harus menjadi model pengembangan secara nasional, segala pemikiran baru
harus dimulai di sana, kesalahan-kesa:lahan jangan direplikasi di daerah lain.
Kita pun dapat dengan sengaja mempercepat terjadinya permukiman, dan sinergik untuk menyembuhkan
luka yang telah terjadi. Kota mestinya berfungsi optimal sebagai instrumen pembangunan manusia yang
sejahtera, aman, nyaman dan bahagia, menciptakan kemakmuran yang adil sekaligus keadilan yang makmur.
Perlu sharing and caring, perwujudan konsep perumahan dan permukiman hunian berimbang, perhatian yang
besar para kaum marjinal, ruang publik untuk bertemu dan bercampur menghindari keterpencilan, dan
lenyapkan bentuk-bentuk ek.sklusivitas menuju pada berbagai fasilitas kota dapat dinikmati oleh seluruh
masyarakat warga kota. Perijinan yang berkaitan dengan pertanahan, menyangkut tiga hal, yaitu pemberian
ijin lokasi, pemberian hak atas tanah, dan persertifikatan tanah (Maria Sumardjono, 1997). Terbatasnya dana
atau bunga pinjaman bank yang relatif tinggi untuk proyek properti, masalah profesionalisme pengusaha, dan
manajemen perusahaan maupun hambatan yang dialami setelah perolehan tanah, dapat membawa akibat
adanya proyek-proyek pembangunan perumahan yang tersendat, perumahan dengan mutu di bawah standar
atau bahkan adanya proyek fiktif.
Perlu peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang jelas tentang asas pembagian tugas dan
asas fungsionalisasi. Keberhasilan pembangunan perumahan dan permukiman akan memberikan sumbangan
yang besar dalam rangka peningkatan ketahanan nasional khususnya dalam aspek sosial budaya dan
ekonomi. Kehidupan masyarakat modern mengharuskan kompetisi yang makin lama makin ketat dan tajam,
tetapi di lain pihak juga mengharuskan dikembangkannya kerja sama di antara berbagai pihak yang
spesialisasinya berbeda tetapi berkaitan.
Kehidupan dan pembangunan bangsa dalam abad 21 nanti akan berbeda di tangan dunia usaha dan
rakyat sendiri, tidak lagi berada di tangan pemerintah. Agar pembangunan nasional dapat memberikan
kesejahteraan rakyat lahir batin yang setinggi-tingginya, penyelenggaraannya perlu menerapkan nilai-nilai
ilmu pengetahuan teknologi, serta mendorong permasalahan pengembangan dan penguasaannya secara
seksama dan bertanggung jawab dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan nilai luhur budaya bangsa.
Aparatur negara masa depan adalah aparatur negara yang bersih, bertanggung jawab, penuh
pengabdian dan profesional. Organisasi aparatur diharapkan menjadi Smaller but Stronger atau Work better
and more efficient, but cost less, atau menurut Sarwono Kusumaatmadja, Hemat Struktur, Kaya Fungsi.
Menurut Pakar pembangunan wilayah dan lingkungan hidup, Herman Haeruman, pembangunan bertumpu
pada kekuatan masyarakat adalah pembangunan yang bersifat mengembangkan kemampuan masyarakat
dan mengalihkan peran masyarakat sebagai obyek pembangunan menjadi subyek pembangunan. Konsep
pemberdayaan masyarakat bertujuan memberi peluang tumbuh dan berkembangnya kekuatan inherent yang
ada dalam masyarakat, melepaskan masyarakat khususnya yang paling lemah dan paling tertinggal dari
belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, dan memperkuat posisi masyarakat khususnya yang lemah dan
tertinggal tadi dalam struktur dan mekanisme pembangunan sehingga memperkuat bargaining position
dengan pihak-pihak lain yang lebih kuat.
Strategi pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan perumahan dan permukiman, harus dapat
memutus lingkaran kemiskinan, ketertinggalan dan ketidakberdayaan masyarakat, dengan meningkatkan
kekuatan internal masyarakat (peningkatan pendapatan, penguasaan teknologi, status sosial-ekonomi dan
sosial-budaya), menghilangkan berbagai hambatan dari luar (birokrasi, sulitnya perijinan, hambatan fiskal,
dan terbatasnya akses kepada informasi dan pasar).
Pemberdayaan masyarakat harus sampai pada upaya meningkatkan kemampuan masyarakat,
memperluas dan melindungi peluang usaha, mendorong pembentukan dan pengembangan kelompok
masyarakat, besarnya perhatian atau pemihakan terhadap kelompok masyarakat yang berpenghasilan
rendah, menghilangkan berbagai hambatan dan kendala dan mengembangkan kawasan perumahan dan
permukiman yang terarah dan terpadu. lnstrumen yang diperlukan dalam pemberdayaan masyarakat adalah

421
pengembangan sistem informasi perumahan, akses pendanaan (menuju pada secondary mortgage financing),
pemantapan kelembagaan, tersedianya peraturan perundang-undangan yang cocok, meningkatkan keterkaitan
antar sektor pembangunan, dan penyelenggaraan forum komunikasi perumahan dan permukiman.
Pakar perumahan dan pakar KASIBA, Soeyono, menyorot butir-butir panting Undang-Undang 4/1992
tentang Perumahan dan Permukiman dan GBHN 1993 yang terkait dengan perumahan. Masyarakat adalah
pelaku utama pembangunan dan pemerintah berkewajiban untuk mengarahkan, membimbing, serta
menciptakan suasana yang menunjang. Keberhasilan pembangunan perumahan dan permukiman haruslah
merupakan penyebab dan sekaligus akibat dari bangsa yang maju dan mandiri dalam sektor perumahan dan
permukiman. Strategi, diartikan sebagai suatu rencana global yang memberikan gambaran akan arah tujuan
jangka panjang dan langkah-langkah yang perlu dilakukan serta prioritas alokasi sumberdaya. Sasaran utama
strategi pemberdayaan masyarakat sektor perumahan dan permukiman diarahkan kepada strata masyarakat
berpenghasilan rendah yang paela umumnya lemah secara sosial-ekonomi atau bahkan masih tertinggal. ·
Strategi ini dapat dirumuskan sebagai rencana global untuk menjadikan masyarakat maju dan mandiri
dalam bidang perumahan dan permukiman, di mana tiap orang akan mendiami rumah yang layak daiam
lingkungan permukiman yang lestari melalui upaya-upaya pemberdayaan masyarakat yang tertinggal. Dari
pengalaman uji coba penyelenggaraan pembangunan perumahan yang bertumpu kepada kelompok, diperoleh
masukan bahwa pendamping harus mendapatkan suatu pengakuan sehingga masyarakat yang memanfaatkan
jasanya dapat terlindungi.
Cara pembangunan bertumpu pada kelompok, dapat dilakukan oleh warga masyarakat secara
perorangan, secara kelompok, atau melalui badan usaha dan koperasi, didukung kredit triguna, yaitu
pengadaan tanah dan atau pematangan tanah, pembangunan rumah dan prasarana lingkungan (konstruksi),
dan modal usaha dalam rangka meningkatkan pendapatan.
Soeyono menyarankan duabelas langkah dalam pembangunan perumahan bertumpu pada kelompok
(P2BPK), yaitu: pengorganisasian peserta dan pembentukan organisasi, penyusunan dan kesepakatan
aturan main antar peserta dan antara peserta dengan pihak ketiga/mitra pembangunan (antara lain konsultan ·
pembangunan), penyusunan dan kesepakatan rencana tindak serta mulai dengan akumulasi dana khususnya
untuk dana mitra, survai swadaya dan penentuan lokasi, penyusunan usulan awal proyek perumahan,
negosiasi dan kesepakatan awal dengan mitra pembangunan (antara lain dengan bank pemberi kredit),
penyusunan dan kesepakatan usulan proyek pembangunan perumahan, negosiasi dengan berbagai mitra
pembangunan, akad kredit, realisasi kredit dan pembangunan rumah, penghunian rumah, dan pembinaan
lanjut serta pembayaran kembali.

Catatan Penutup
Tujuan pembangunan nasional dalam PJP II adalah mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri dan
sejahtera lahir dan batin. Di bidang pembangunan perumahan dan permukiman, tujuan ini diartikan sebagai
(1) membaiknya kondisi perumahan dan permukiman di mana setiap orang menempati rumah yang layak
dalam lingkungan permukiman yang lestari, dan (2) kedaulatan dalam pembangunan perumahan dan
permukiman harus berada di tangan rakyat, dengan kata lain, rakyatlah pelaku utama pembangunan
perumahan dan permukiman.
Dengan target 500.000 unit rumah terbangun pada Pelita VI dan ternyata sudah terlaksana 600.000
unit, maka selayaknyalah jika pada Pelita VII diberikan perhatian yang besar pada upaya meningkatkan
kemampuan masyarakat, memperluas dan melindungi peluang usaha, mendorong pembentukan dan
pengembangan kelompok masyarakat, besarnya perhatian atau pemihakan terhadap kelompok masyarakat
yang berpenghasilan rendah, menghilangkan berbagai hambatan dan kendala dan mengembangkan kawasan
perumahan dan permukiman yang terarah dan terpadu. lnstrumen yang diperlukan dalam pemberdayaan
masyarakat adalah a) pengembangan sistem informasi perumahan, b) akses pendanaan (menuju pada
secondary mortage market, perumahan yang sehat, aman, serasi, dan terarur, c) memberi arah pada
pertumbuhan wilayah dan persebaran penduduk yang rasional; dan d) menunjang pembangunan bidang
ekonomi, sosial, budaya dan bidang-bidang lain.
Jayakarta, 6 Januari 1998

422
PERPUSTAKAAN

Kembaliktm huku ini sehelum tllau tanggttlya11g


tertera dibawah ini.

lt -~------1----------

Anda mungkin juga menyukai