Penulis:
Moch Saad, S.Pi., M.Si
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar......................................................................................v
Daftar Isi...............................................................................................vii
Daftar Gambar......................................................................................xi
Daftar Tabel..........................................................................................xiii
Tabel 5.1: Panjang Garis Pantai, Luas Wilayah serta Rangking Penghasil
Ikan Beberapa Negara di Dunia
.............................................................................................
40
Tabel 6.1: Daftar bencana Tsunami yang mengakibatkan korban jiwa lebih
dari 100 jiwa
.............................................................................................
60
Tabel 8.1: Kualitas Fisika-Kimia Air Laut.............................................81
Tabel 9.1: Jenis-jenis fauna di kawasan pesisir.......................................107
Tabel 10.1: Klasifikasi membran berdasarkan proses..............................121
Tabel 10.2: Kandungan mikroalga dan sumber pangan konvensional......123
Tabel 10.3: Jenis Pupuk yang dapat digunakan sebagai DS....................126
Tabel 10.4: Pemanfaatan FO pada bidang pangan, air, dan energi..........128
xiv Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan Nasional
Bab 1
Mangrove Sebagai Green Belt
Wilayah Pesisir
1.1 Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara maritim, karena luas daratan dan lautan
3:1, yang berarti indonesia mempunyai luas 70% wilayah lautan. Ruang
lingkup wilayah pesisir meliputi ruang lautan yang masih terjadi pengaruh
aktivitas daratan, dan ruang daratan dipengaruhi oleh aktivitas di lautan.
Sumber daya laut dan pesisir perlu dikelola dengan bijak, sehingga menjadi
tumpuan sektor pembangunan dan pertumbuhan ekonomi secara
berkelanjutan (Masfufah and Yazid, 2015). Sehingga diperlukan instrumen
arah pemanfaatan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, dan dapat
mengatasi terjadinya konflik pemanfataan sumberdaya yang dihadapi oleh
masyarakat pesisir.
Hutan mangrove merupakan hutan pantai yang masih terpengaruh oleh pasang
surut tetapi tidak dipengaruhi oleh unsur iklim. Tercatat pada tahun 1982,
mangrove di indonesia terdiri dari 4,25 juta ha, sedangkan pada tahun
2003 menjadi 3,06 juta ha (FAO, 2005). Hutan mangrove diperkirakan terus
menurun keberadaannya diseluruh dunia. Di mana karakterisktik habitat
hutan mangrove tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya
berlumpur, berlempung dan
2 Manajemen Pengelolaan Wilayah Perairan Pesisir
terhadap keberlangsungan hidup. Semua itu tidak terlepas dari tanggung jawab
kita terhadap masa depan dalam pengelolaan lingkungan. Pentingnya
pelestarian sumber daya alam hayati merupakan salah satu strategi
pengembangan dan pemulihan wilayah pesisir, melalui:
1. Pengendalian dan penanganan lingkungan fisik dari berbagai faktor
yang ditimbulkan.
2. Pemulihan ekologi habitat dan kehidupan suatu ekosistem.
3. Pendidikan sosial kemasyarakatan sebagai bentuk peran lingkungan
sosial terhadap pengelolaan lingkungan dan bertanggung jawab
dalam mempertahankan kelestarian.
1.4 Penutup
Berbagai faktor kelebihan dan kekurangan hutan mangrove, mitigasi bencana
berbasis alam yang dilakukan di wilayah pesisir menjadi bukti bahwa
mitigasi bencana dapat berjalan beriringan dengan upaya pelestarian
lingkungan, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan potensi lainnya.
Berdasarkan tinjauan pemanfaatan secara ekologis dan fungsi, bahwa
mangrove tidak hanya sekedar bagi penanggulangan risiko bencana tetapi
juga dapat meningkatkan kesejahteraan kehidupan masyaarakat pesisir
menjadi lebih baik.
Namun demikian, pertahanan wilayah pesisir tetap harus dilestarikan dari
aktivitas pembangunan, agar dapat mempertahankan ekosistem mangrove dan
ekosistem pesisir lainnya. Oleh karena itu, dalam mempertahankan
ekosistem mangrove diperlukan pola pengelolaan wilayah pesisir yang
baik dengan
8 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
2.1 Pendahuluan
Indonesia merupakan negara di Kawasan Asia Tenggara dengan garis
pantai terpanjang nomor 2 di dunia setelah kanada. Panjang garis pantainya
mencapai
±52.000 km. Selain itu Indonesia memiliki jumlah pulau mencapai 13.466
pulau dengan 92 pulau di antaranya sebagai pulau terluar. Selain itu
terdapat pulau-pulau kecil yang jumlahnya lebih dari 50% sendiri dari
jumlah pulau yang ada di Indonesia. Jumlah penduduk yang tinggal di
wilayah pesisir mencapai 60%, dengan mata pencaharian yang
mengandalkan dari sumber daya kelautan dan perikanan.
Undang-undang No.1 Tahun 2014 menyebutkan bahwa wilayah pesisir adalah
daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubaahan di darat dan laut. Pulau kecil adalah daerah dengan luas lebih kecil
atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilo meter persegi) beserta
kesatuan ekosistemnya. Pulau-pulau kecil masuk dalam Kawasan
pesisir. Contoh
10 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
Sisi lain dari hal ini adalah kenyataan bahwa kerang akan menyisakan
cangkang. Cangkang kerang biasanya simetri bilateral, mempunyai sebuah
mantel yang berbentuk seperti daun teling atau cuping dan cangkang
setangkup. Kulit kerang merupakan bahan yang memiliki kandungan
mineral dan pada umumnya berasal dari hewan laut yang telah mengalami
penggilingan dan mempunyai karbonat tinggi. Kandungan kalsium dalam
Kulit kerang adalah mencapai 38%. Hasil panen kerang per hektar untuk
tiap tahunnya bisa mencapai 200-300 ton kerang utuh yang menghasilkan
daging kerang 60 -100 ton. Jika limbah cangkang kerang dibuang terus
menerus tanpa adanya pengolahan yang tepat, dapat menimbulkan
gangguan keseimbangan yang dengan demikian menyebabkan lingkungan
tidak berfungsi seperti semula dalam arti kesehatan, kesejahteraan, dan
keselamatan hayati (Umam et al., 2019).
Selama ini cangkang kerang hanya dimanfaatkan sebagai hiasan dinding,
sehingga nilai ekonomis yang didapatkan relatif kecil. Berbagai upaya
telah dilakukan untuk meningkatkan nilai fungsi dan nilai ekonomis dari
cangkang kerang, salah satunya sebagai agregat konstruksi. Pemanfaatan
cangkang kerang sebagai bahan material telah dilakukan oleh beberapa
peneliti. Limbah cangkang kerang dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pengisi alami pada pembuatan papan partikel sehingga meningkatkan sifat
lentur dan mekanis papan partikel dengan nilai kuat lentur dan kompresi
tertinggi masing-masing adalah 118,26 kgf/cm2 dan 547 kgf/cm2.(Umam et
al., 2019).
Serbuk cangkang kerang jenis kerang dara dapat digunakan sebagai pengganti
semen pada pembuatan campuran beton sehingga menambah kuat tekan,
meningkatkan kuat tarik dan menurunkan resapan air. (Fauziah et al.,
2019). Selain itu, penggunaan cangkang kerang jenis kerang dara dengan
komposisi 15% dan 25% masih dapat menghasilkan campuran beton
untuk bangunan struktur dengan kuat tekan masing-masing mencapai
25.35 MPa and 23.87 MPa, sementara penggunaan di atas 50% cangkang
kerang dara hanya menghasilkan mutu beton untuk konstruksi yang ringan
(E. Ngii et al., 2020).
Cangkang kerang memilik kandungan CaO yang merupakan katalis heterogen
yang mampu bertahan dari korosi. Oleh karenanya penggunaan cangkang
kerang dalam campuran beton dapat menghasilkan beton tahan air laut.
Penelitian yang dilakukan oleh (Novansyah, 2019) menggunakan cangkang
kerang darah yang memiliki kandungan CaO sebesar 36,25 % dengan
faktor air semen 0,45, telah menghasilkan campuran beton tahan air laut
dengan mutu sebesar 21,15 MPa pada penggunaan 10% kerang darah
Bab 2 Potensi Material Alternatif untuk Infrastruktur 13
Berkelanjutan
dengan gradasi 2,45
14 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
Pada wilayah pesisir dan kepulauan, pasir sungai sulit diperoleh sehingga
penggunaan pasir laut menjadi alternative dalam menunjang proses
pembangunan di wilayah tersebut. Pasir laut umumnya berbutir halus dan
bulat karenagesekan. Pasir ini merupakan pasir yang paling jelek karena
kandungan garam-garamnya. Garam ini menyerap air dari udara dan ini
menyebabkan pasir selalu agak basah dan menyebabkan pengembangan
bila sudah menjadi bangunan (Kandi et al., 2012). Walaupun terdapat
aturan yang melarang penggunaan pasir laut sebagai material bangunan,
namun beberapa hasil penelitian terkini telah memperlihatkan prilaku fisik
dan mekanis yang memungkinkan penggunaan pasir laut sebagai material
alternatif dalam menunjang pembangunan infrastruktur berkelanjutan di
wilayah pesisir dan kelautan.
Studi membandingkan penggunaan pasir pantai dan pasir sungai untuk
mencapai mutu beton yang sama yaitu K-225, telah dilakukan dan
diperoleh hasil yang memuaskan pada kuat tekan dari kedua beton tersebut.
Kuat tekan beton yang menggunakan pasir pantai sebesar 227,41 Kg/cm3,
sedangkan pada beton yang menggunakan pasir sungai di dapat kuat tekan
sebesar 260,74 Kg/cm3(Wahyudi, 2013).
Studi lainnya dilakukan oleh (Wahyudi, 2013), yang membandingkan
penggunaan pasir pantai dan pasir sungai pada campuran mortar. Penelitian ini
merekomendasikan bahwa pemakaian pasir pantai untuk bahan bangunan
seperti mortar dapat dilakukan dengan komposisi 1 Semen PC : 3 Pasir
yang tersusun atas 20% pasir pantai dan 80% pasir sungai. Kuat tekan
rata-rata mortar tersebut umur 14 hari lebih tinggi 1,7% daripada mortar
dengan pasir sungai. Berat jenis pasir pantai lebih tinggi daripada pasir
sungai, tetapi berdiamater lebih kecil daripada pasir sungai. Penyerapan air,
berat jenis, kadar lumpur, ukuran diameter, kekasaran permukaan, kadar air
semen, jenis semen, dan berpengaruh pada kuat tekan mortar, selain itu
diperhatikan juga kandungan unsur kimia dalam butiran pasir.
2.4 Penutup
Untuk mewujudkan pembangunan infrastruktur berkelanjutan di wilayah
pesisir dan kelautan di Indonesia, maka dibutuhkan inovasi-inovasi baru
dalam memanfaatkan potensi lokal yang ada dikawasan tersebut. Inovasi
baru dalam bidang material perlu dikembangkan dalam upaya
meningkatkan taraf hidup
Bab 2 Potensi Material Alternatif untuk Infrastruktur 17
Berkelanjutan
a) Tsunami
Tsunami adalah suatu proses perpindahan badan air secara besar-besaran yang
disebakan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba dan
disertai dengan ombak yang keras ketika sampai ke daratan. Perubahan
permukaan laut tersebut dapat dipicu oleh terjadinya gempa bumi yang
berpusat di bawah laut, letusan gunung api bawah laut, longsor bawah
laut, atau hantaman meteor di laut. Sementara itu, tsunami yang terjadi
karena longsoran bawah laut pernah terjadi pada tahun 1998 di sebelah
utara Papua New Guinea (Pesisir et al., 2018) serta kejadian baru ini
terjadi dan cukup memberikan dampak kerugian yang sangat besar adalah
tsunami Palu (2018) (Gambar 3.1)
Kawasan pesisir dari pulau-pulau yang menghadap ke Samudera Pasifik
dan Samudera Hindia. Potensi sumber kejadian tsunami yang utama di
kawasan- kawasan itu adalah sistem penunjaman yang ada di hadapan
kawasan-kawasan pesisir itu. Kawasan pesisir dari pulau-pulau di kawasan
Laut Banda. Di kawasan ini, tsunami dapat berasal dari kawasan Busur
Banda maupun berasal dari Samudera Pasifik atau Samudera Hindia yang
masuk ke kawasan itu. Kawasan pesisir pulau-pulau yang berhadapan
dengan gunung api bawah laut, seperti kawasan pesisir di kedua sisi Selat
Sunda yang mengelilingi Gunung Krakatau. Garis besar kawasan pesisir
Indonesia yang sangat berpotensi terkena tsunami adalah (Pesisir et al.,
2018)
Bab 3 Mitigasi Bencana Wilayah 23
Pesisir
b) Gelombang Badai
Banjir pasang surut adalah kondisi naiknya air laut kedaratan dikarenakan
kondisi pasang surut tertinggi. Ancaman kerawanan ini sangat dipengaruhi
oleh kondisi pasang surut serta morfologi perairan dan daratan dari suatu
lokasi. Wilyah-daerah yang tumbuh di daerah pesisir memiliki potensi
besar terpapar banjir pasang surut, terlebih apabila kondisi kantong-
kantong pemukiman, penggunaan lahan budidaya dan lainnya, serta
jaringan infrastrukturnya tidak memadai lagi. Contoh daerah yang kerap
mengalami banjir pasang surut ini adalah Jakarta dan Semarang.
Belakangan ini catatan kejadian banjir pasang surut terjadi di kawasan
pesisir utara Jawa Tengah seperti Kabupaten Tegal, Pemalang,
Pekalongan, dan Demak yang timbul akibat permasalahan pengelolaan
daerah pesisir terutama perencanaan pemanfaatan lahan (Pesisir et al.,
2018).
d) Erosi Pantai
e) Sedimentasi
materi yang akan ditimbulkan, maka mitigasi itu sendiri perlu rencanakan
mulai dari tahap sebelum terjadinya bencana (prabencana), yaitu terutama
kegiatan penjikanan atau peredaman atau dikenal dengan istilah mitigasi.
Mitigasi pada prinsipnya harus didesain untuk multibencana, baik yang
termasuk ke dalam bencana alam (natural disaster) maupun bencana
sebagai akibat dari perbuatan manusia (man-made disaster). Dengan
adanya hasil identifikasi potensi bencana daerah pesisir yang telah dijelaskan
sebelumanya, maka penanganan yang dapat dilakukan untuk
menyelesaikan isu strategis tersebut yaitu menerapkan konsep mitigasi
bencana yang sesuai dengan potensi bencana yang sering terjadi di suatu
daerah (membuat skala prioritas).
Beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam mitigasi bencana di daerah
pesisir yaitu: (Pesisir et al., 2018) Upaya struktural dalam menangani
masalah bencana tsunami merupakan upaya teknis yang bertujuan untuk
meredam/mengurangi kuatnya gelombang tsunami yang akan sampai dan
menyapu kawasan pantai serta mencegah adanya korban. Adapun upaya
struktural yaitu: Reklamasi pesisir pantai untuk pembuatan buffer zone dengan
konsep waterfrontcity (zona penyangga), di mana zona tersebut
diperuntukan untuk jalur hijau, saluran drainase, sarana prasarana
pendukung, serta zona komersial (bangunan bertingkat tahan
bencana/minimal 3 lantai, ketinggian tiap lantai minimal 5 meter).
Pembuatan tembok penahan tsunami dan pemecah ombak. Rencana
Mitigasi Secara Non Struktural Berikut merupakan rumusan peneliti terkait
dengan mitigasi non struktural yang kiranya dapat dipertimbangkan untuk
kawasan pesisir pantai ialah: Adanya kajian di daerah yang merumuskan
perda mengatur tentang mitigasi bencana alam secara umum dan mitigasi
bencana tsunami secara khusus. Pengembangan sistem peringatan dini
adanya bahaya tsunami dengan salah-satu cara penyebaran informasi
menggunakan alat komunikasi yang terhubung setiap saat dan terintegrasi
sedini mungkin. Pembentukan unit penanganan bencana di tiap desa.
Berdasarkan pemahaman potensi bencana alam yang mungkin terjadi,
maka diperlukan langkah preventif proaktif dan kesiapsiagaan sebelum
terjadinya bencana, serta sistem penanggulangan ketika terjadi bencana.
Langkah pemulihan setelah terjadi bencana berupa rehabilitasi dapat
dimasukkan dalam rumusan kebijakan pengembangan daerah tersebut. Sejauh
ini, pertimbangan potensi bencana alam di daerah pesisir belum mendasari
kebijakan secara komprehensif.
Mitigasi struktural meliputi upaya fisik yang dilakukan untuk mengurangi
risiko bencana, antara lain sistem peringatan dini, pembangunan pemecah
ombak, peredam abrasi, penahan sedimentasi (groin), pembangunan
Bab 3 Mitigasi Bencana Wilayah 27
Pesisir
4.1 Pendahuluan
Indonesia memiliki potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang sangat
besar, dilihat dari garis pantai sepanjang 81.000 km (berkurang setelah Timor
Timur) serta luas lautan sekitar 3,1 jt km2 (0,3 jt km2 perairan territorial dan
2,8 jt km2 perairan kepulauan). Sektor perikanan termasuk salah satu
penyumbang devisa negara non migas yang cukup besar selain sektor
kehutanan dan perkebunan. Dalam rancangan UU Pengelolaan Wilayah
Pesisir mendefinisikan bahwa wilayah pesisir merupakan kawasan peralihan
yang menghubungkan ekosistem darat dan ekosistem laut.
Transisi antara lautan dan daratan pada wilayah pesisir telah membentuk
ekosistem yang beragam sehingga dapat memberikan nilai ekonomi dan
peningkatan kegiatan pembangunan sosial-ekonomi di wilayah pesisir.
Sumberdaya ini merupakan suatu potensi yang cukup menjanjikan bagi
perekonomian masyarakat terutama nelayan, oleh karena itu pemanfaatan
30 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
tinggi; (b) faktor keamanan; (c) keadaan cuaca yang tidak menentu; (d)
dan adanya wabah penyakit di sekitar tambak.
4.4.2 Mangrove
Mangrove memiliki peran sangat penting untuk ketahanan lingkungan
terhadap kegiatan budidaya tambak. Hal ini dikarenakan, hutan bakau
melindungi tambak udang dari gelombang pasang air laut ke darat,
menyediakan penghalang aktif untuk siklon dan mengurangi energi
gelombang. Mangrove dianggap mampu melindungi dari efek siklon, erosi
pantai, serta banjir. Salah satu kemampuan mangrove ialah untuk
menyerap energi gelombang dan menstabilkan tanah pesisir (Baird et al.,
2009; Duarte et al., 2013).
Wilayah pesisir yang berdekatan dengan hutan bakau dapat dimanfaatkan
untuk kegiatan budidaya hal ini dikarenakan aliran air bisa mendapatkan
nutrisi dikarenakan, hutan bakau mampu menjaga kualitas air di sekitarnya
dengan menyaring mineral, nutrisi, polutan, dan sedimen (Satheeshkumar
and Khan, 2012; Gillis et al., 2014). Hutan bakau dapat terancam oleh
adanya perubahan iklim global termasuk kenaikan permukaan laut (Alongi,
2015). Perubahan iklim memiliki efek mendalam pada ekosistem, spesies
dan populasi perairan. Topan dengan gelombang pasang tinggi sering
merusak struktur habitat perairan. Perubahan habitat, adanya jenis polutan,
banjir, perubahan salinitas, perubahan suhu serta perubahan iklim dapat
mengurangi kelimpahan spesies ikan (Agrawala et al, 2003; Ahmed et al.,
2013; Barletta et al., 2005; Islam and Haque, 2004; Sims et al., 2004),
populasi perikanan berdampak paling tinggi dengan adanya perubahan
habitat sehingga mengganggu migrasi, pemijahan ikan, dan ketersediaan
ikan dan udang (Sims et al., 2004; Ahmed, Occhipinti- Ambrogi and Muir,
2013). Pada akhirnya, perubahan iklim dengan disertai kerusakan hutan
bakau telah menjadi masalah serius pada terjadinya tangkapan ikan. Menurut
J. MacKinnon (1986), penggundulan hutan bakau seluas satu hektar di
dekat wilayah perikanan pesisir dapat mengakibatkan adanya kerugian
mencapai 480 kg ikan setiap tahun.
Tumbuhan bakau banyak juga diaplikasikan dalam bidang farmasi dan sanitasi
lingkungan. Beberapa senyawa aktif yang terdapat pada tumbuhan bakau ialah
diterpenoid, triterpenoid, flavonoid, alkaloid, antrakuinon, fitosterol, fixed oil,
tanin, phorbole esters, anthraquinone, asam amino bebas, lendir, glikosida,
karbohidrat, dan ligninb(Zou et al., 2006). Bioaktivitas lain dari senyawa
aktif yang terkandung adalah anti ulkus, anti-diabetes, kekebalan non-
spesifik, resistensi penyakit, obat penenang, mencegah gangguan pencernaan,
Bab 4 Potensi Budidaya Perikanan di Wilayah 33
Pesisir
anti alergi
34 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
dan anti hiperglikemik (Chan, 2018). Salah satu tumbuhan bakau yang banyak
ditemukan di wilayah Asia Tropis, termasuk di Indonesia, Australia, dan
pasifik selatan ialah mangrove Excoecaria agallocha L. Tanaman ini biasanya
banyak tumbuh di daerah wilayah pesisir atau tambak-tambang udang.
Tanaman ini sendiri memiliki peranan ekologi dan nilai ekonomi yang
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai sumber bahan obat alami.
Metode scoring merupakan analisa penilaian yang relatif mudah dan dapat
dilakukan secara konvensional. Ada 3 variabel berdasarkan skala prioritasnya,
yaitu :
a. Variabel Primer
rumput laut di laut, metode ini juga dapat digunakan pada penanaman
rumput laut yang dilakukan di tambak. Flowchart pengaruh budidaya rumput
laut pada perbaikan lingkungan di perairan budidaya laut (Gambar 4.1).
2. Metode penginderaan jarak jauh
Metode penginderaan jarak jauh ialah memperoleh data tanpa kontak langsung
terhadap objek, daerah, atau wilayah yang dikaji, sehingga kita bisa
menggunakan satelit atau instrument lainnya. Salah satu upaya untuk
memperoleh data tentang bagaimana potensi sumberdaya di wilayah
tersebut adalah dengan penggunaan teknologi penginderaan jauh dan sistem
informasi geografis (SIG). Aplikasi ini memberikan informasi data mengenai
zona potensi penangkapan ikan (ZPPI), kesesuaian lahan yang akan
digunakan dalam budidaya laut, wisata bahari laut, identifikasi potensi
terumbu karang, lamun, hutan bakau dan lain-lain), analisa potensi
ekonomi di wilayah tersebut termasuk pulau-pulau kecil, zonasi kawasan
konservasi, pencemaran lingkungan perairan, perubahan garis pantai, dan
lain-lain.
4.5 Penutup
Meskipun banyak pendekatan budidaya berbasis mikro dan makro, sistem
ini tetap terbatas pada wilayah pesisir. Ketercapaian sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang berkualitas tidak hanya berfokus pada nilai-nilai
ekonomi, pembangunan dan politik, tetapi harus berefek pada pengelolaan
dan pemanfaatan wilayah pesisir secara berkelanjutan. Sistem budidaya
tertutup adalah salah satu prasyarat untuk dapat melakukan produksi ikan,
udang dan rumput laut dalam skala besar yang layak secara ekonomi,
berkelanjutan dan berkualitas. Dengan menyederhanakan kebutuhan,
pengelolaan dan kerusakan yang terjadi budidaya tertutup yang inovatif
perlu dikembangkan. Sistem ini menggabungkan kemampuan beradaptasi
dan pengelolaan dengan pertumbuhan yang serupa atau lebih baik. Selain
itu mind set individu merupakan salah satu proses penting dalam
melakukan proses perubahan. Faktor dari keberhasilan dalam pengelolaan
dan pengembangan potensi budidaya di wilayah pesisir selain
meningkatkan sumber daya manusia yang berkualitas, kita juga harus
memiliki team work, organisasi yang memiliki visi dan misi yang sama
untuk mencapai suatu tujuan, oleh karena itu demi menciptakan
pemerataan ekonomi maka pemberdayaan masyarakat pesisir harus
dilakukan untuk dapat mengoptimalkan sumber daya alam dan sumber
daya manusia yang ada untuk masa depan yang lebih baik dan berkualitas.
38 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan Nasional
Bab 5
Pembangunan Transportasi
Berbasis Maritim
5.1 Pendahuluan
Sejak zaman dahulu kala, Indonesia dikenal dengan nama “Nusantara”
yang memiliki makna sebagai sebuah kawasan atau sebuah Negara yang
disatukan dan terdiri atas banyak pulau yang mengantarainya. Jumlah
pulau-pulau di Indonesia adalah 17.508 pulau, yang terdiri dari pulau-pulau
besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua) serta ribuan pulau
kecil yang terletak di antara pulau-pulau besar tersebut. Kondisi ini
menjadikan Indonesia sebagai Negara kepulauan atau Negara maritim
terbesar di dunia (Lasabuda, 2013).
Indonesia sebagai sebuah Negara kepulauan memiliki garis pantai yang sangat
panjang dengan panjang 95.161 km (Suwandi and Budiyawan, 2019).
Indonesia menempati posisi kedua sebagai Negara dengan garis pantai
terpanjang di dunia, di bawah Negara Kanada (Rizqiqa et al., 2020)dan
(Nastiti, 2016) dengan panjang garis pantai 202.800 km (Lihat tabel 1),
sedangkan posisi atau rangking penghasil ikan di dunia masih ditempai
oleh Cina dan India. Tabel 1 menunjukkan bahwa dengan garis pantai yang
sangat panjang, Indonesia belum mampu menempati posisi pertama sebagai
negara dengan penghasil ikan di
40 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
dunia, dan hanya menempati peringkat ketiga di bawah Negara Cina dan
India, di samping itu dengan luasan kawasan perairan yang ada, maka
Indonesia juga merupakan surga bagi para pencuri ikan yang berasal dari
Negara lainnya (Sari, 2018).
Tabel 5.1: Panjang Garis Pantai, Luas Wilayah serta Rangking Penghasil
Ikan Beberapa Negara di Dunia
Luas Panjang Rangking
No Nama Negara Wilaya Garis Pantai Penghasil
h (Km) Ikan
(Km2)
1 Kanada 9.984.670 202.800 -
2 Indonesia 1.904.569 95.181 3
3 Greenland 2.166.086 44.087 -
4 Rusia 17.098.242 37.653 10
5 Filipina 300.000 36.289 8
6 Jepang 377.915 29.751 7
7 Australia 7.741.220 25.760 -
8 Norwegia 323.802 25.148 11
9 Amerika Serikat 9.826.675 19.924 5
10 Selandia Baru 267.710 15.134 -
30000
Biaya/ton km kapal
25000 Biaya/ton km Truk
Biaya/ton km Kereta Api
20000
15000
10000
5000
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
Gambar 5.2: Perbandingan Biaya/ton.km Untuk Truk, Kereta Api dan Kapal
Laut (Fitriah, Idrus and Chaerunnisa, 2018).
42 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
Fitriah, Idrus and Chaerunnisa, (2018) dalam penelitian mereka yang dapat
dilihat pada Gambar 5.2 bahwa pergantian moda transportasi darat ke
moda transportasi kereta api yang berbasis rel untuk pendistribusian peti
kemas terjadi pada jarak 50 km. Pada jarak 150 km, pendistribusian peti
kemas dengan menggunakan truk bias dialihkan ke kapal laut, sedangkan
pada jarak 250 km, pendistribusian peti kemas dengan memakai kereta api
dapat dialihkan ke moda kapal laut.
Interaksi pergerakan masyarakat dengan masyarakat lainnya atau
pergerakan orang, barang ataupun kendaraan dari suatu tempat ke tempat
lainnya dalam ruang geografi, khususnya bagi masyarakat pesisir dan
pulau-pulau (besar maupun kecil) di Indonesia umumnya menggunakan
kapal penumpang dengan ukuran besar, sedang maupun kecil, diusahakan
oleh negara melalui kapal-kapal Pelni (untuk angkutan penumpang),
diusahakan oleh pihak swasta maupun yang diusahakan oleh orang-
perorang. Hingga saat kini terdapat 26 kapal yang diusahakan oleh
maskapai pelayaran nasional Indonesia (Pelni) yang bergerak di bidang jasa
angkutan penumpang, barang (Tol Laut), ternak, dan Perintis dengan
trayek tetap. Selain ke 26 kapal tersebut juga dioperasikan sewaktu- waktu
sebagai kapal cadangan dan carter sebanyak 3 buah kapal.
Kapal-kapal yang diusahakan oleh rakyat, biasa disebut dengan Pelayaran
Rakyat (Pelra) yang sifatnya relatif sederhana dan tradisional dan bahkan
didesain dan dibangun oleh masyarakat yang memiliki keterampilan membuat
kapal secara turun-temurun. Tipikal kapal rakyat ini dapat berupa kapal
layar, kapal layar bermotor dan atau kapal motor sederhana. Kapal Phinisi
merupakan salah satu tipikal kapal rakyat yang sudah sangat melegenda
dan dikenal luas karena kemampuannya untuk mengarungi samudera luas.
d Penetapan lokasi dan fungsi ruang laut untuk kegiatan yang bernilai
strategis nasional;
e Perencanaan zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
f Perencanaan zonasi kawasan laut; dan
g Arahan dalam pemberian izin lokasi perairan dan izin pengelolaan
perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta di laut.
9. Pengembangan kawasan ekowisata maritim akan memberikan
peluang peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir sekaligus
mendorong masyarakat untuk mencintai dan melestarikan
sumberdaya alam dan lingkungan perairan mereka.
10. Penyediaan BBM bersubsidi untuk nelayan akan memudahkan
masyarakat nelayan pergi melaut dan mencari ikan karena kebutuhan
bahan bakar minyak mereka mudah untuk diakses dan harganya
sangat terjangkau ; dan
11. Pemberdayaan masyarakat pesisir untuk mengeliminasi kemiskinan
masyarakat pesisir.
dan berjubel atau factor muat (load factor) moda tersebut cukup tinggi
sehingga mengorbankan faktor kenyamanan yang ingin dirasakan.
Aksesibilitas adalah ukuran kemudahan yang meliputi waktu, biaya, dan usaha
dalam melakukan perpindahan antara tempat-tempat atau kawasan dari sebuah
sistem (Magribi, 1999). Fasilitas pelayanan yang lebih aksesibel (baik
jumlahnya, tarif perjalanannya, waktu tempuhnya maupun pelayanannya),
akan menjadikan orang-orang atau masyarakat dapat lebih meningkatkan
standar kehidupan mereka. Ada hubungan yang kuat antara aksesibilitas
dan tingkat pendapatan (Suhardjo, 2004). Jika aksesibilitas ditingkatkan
hal itu berarti berarti bahwa potensi untuk meningkatkan pendapatan
individu juga meningkat. Peningkatan akses berarti penghematan waktu
dan konsekuensinya lebih banyak waktu dimanfaatkan untuk menekuni
kegiatan-kegiatan ekonomi (Magribi and Suhardjo, 2004).
Kurangnya sejumlah pilihan terhadap sebuah moda angkutan
mengakibatkan pelaku perjalanan kaptif atau koersi (terpaksa memilih)
terhadap pilihannya tersebut. Seorang pelaku perjalanan, khususnya
masyarakat yang tinggal pada wilayah-wilayah kepulauan (yang terpencil)
dihadapkan pada dua hal dalam melakukan perjalanan, yakni antara
“memilih” atau “terpaksa”.
f Biaya buruh bongkar muat yang relatif tinggi per ton beban
logistik.
5.4 Penutup
1. Pembangunan sistem transportasi laut, baik untuk angkutan
penumpang dan barang merupakan salah satu strategi penting dalam
pembangunan Indonesia sebagai negara maritim di dunia.
2. Pilihan pada sebuah moda angkutan laut antar pulau adalah biaya
perjalanan, waktu perjalanan dan frekuensi keberangkatan dan
kedatangan moda angkutan.
3. factor-faktor yang sulit dikuantifikasikan adalah keamanan
perjalanan, ketepatan waktu kedatangan dan keberangkatan kapal
(punctuality), kenyamanan dan terjadwal dengan baik (regularity)
4. Pembangunan system transportasi laut berbasis maritim akan dapat
mendorong percepatan pemerataan hasil-hasil pembangunan di
Indonesia.
5. Untuk mewujudkan percepatan pembangunan di Indonesia, maka
strategi pembangunan transportasi yang berwawasan kemaritiman
harus pula mempertimbangkan hal-hal berikut ini:
a. Peningkatan kualitas pelabuhan agar dapat disinggahi oleh
kapal- kapal dengan bobot besar khususnya pada pelabuhan-
pelabuhan utama yang menjadi jalur tol laut;
b. Peningkatan infrastruktur bongkar muat barang di pelabuhan.
c. Peningkatan konektivitas pada akses dan egress, dari daerah
asal logistik ke pelabuhan asal atau dari daerah pelabuhan
tujuan ke tempat tujuan akhir logistik;
d. Percepatan pembangunan pada kawasan timur Indonesia,
khususnya pada sektor-sektor industri yang mendukung
pengolahan bahan baku menjadi bahan industri yang siap
dipasarkan secara regional maupun internasional sehingga
efektivitas pergerakan logistik pada jalur tol laut dapat tercapai
seperti yang diharapkan.
56 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan Nasional
Bab 6
Pembangunan Wilayah
Pesisir dan Laut dalam
Kerangka Infrastruktur
Peringatan Dini Gempa
Bumi dan Tsunami
6.1 Pendahuluan
Salah satu kekuatan pendorong dalam pembangunan wilayah pesisir dan
laut adalah pemanfaatan sumber daya alam di laut ataupun di wilayah
pesisir. Pembangunan wilayah pesisir dan laut tidak terlepas dari aspek
atau dimensi ruang dan lingkungan. Kondisi lingkungan memperlihatkan
fungsi dari wilayah pesisir yang secara umum telah dimanfaatkan bagi
berbagai kegiatan perekonomian dan pemukiman, dari sisi lain wilayah ini
merupakan wilayah yang rapuh dan sulit untuk diperbaiki serta
dikembalikan seperti semula. Untuk itu sangat diperlukan pembangunan
wilayah pesisir dan laut dengan pengelolaan sumber dayanya secara terpadu.
Dalam hasil kajian Dahuri and Dutton (2000), pengelolaan pesisir laut dan
laut terpadu (ICMM) jelas sangat penting di negara kepulauan seperti
Indonesia, mengingat Indonesia memliki kawasan laut yang
58 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
begitu beragam, tradisi budaya yang mapan dalam eksploitasi sumberdaya laut
dan ketergantungan ekonomi yang signifikan terhadap sumberdaya pesisir dan
laut.
Pentingnya perencanaan wilayah pesisir dan luat terpadu menjadi sangat
menarik untuk pembangunan suatu wilayah pesisir dan laut, dan tidak
terlepas dari beberapa unsur terutama perencanaan tataruang, pengelolaan
sumber daya alam, pengendalian polusi, dan pengendalian pembangunan
pesisir belum diimplementasikan dengan baik. Akibatnya, ketika tsunami
Samudra Hindia 2004 melanda, Indonesia adalah negara yang paling
terpukul dalam hal kerusakan fisik, kerugian sosial-ekonomi dan korban
manusia. Dalam penelitian Sridhar (2006) salah satu tantangan dalam
pembangunan wilayah pesisir dan laut adalah gempa bumi dan Tsunami.
Integrasi pembangunan wilayah pesisir dan laut harus didukung oleh sistem
peringatan dini gempa bumi dan tsunami.
Tabel 6.1: Daftar bencana Tsunami yang mengakibatkan korban jiwa lebih
dari 100 jiwa (BMKG, 2019b).
Secara umum, dampak kerusakan gempa bumi dan Tsunami di wilayah pesisir
sangat berbahaya, seperti pada gambar 6.2.
Gambar 6.6: Integrasi Sirene di pesisir laut dan Ina-TEWS (BMKG, 2017)
64 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
7.1 Pendahuluan
Indonesia terdiri atas 17.508 pulau (Kyrylych, 2013). Wilayah Indonesia
seluas 1,92 juta km2 yang merupakan perairan kepulauan, terdapat laut
teritorial sebesar 12 mil seluas 3,1 juta km2, dan terdapat pula Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) 200 mil (Rochwulaningsih et al., 2019). Indonesia memiliki
garis pantai terpanjang yakni 81.000 km2. Sebagai negara maritim,
pemerintah Indonesia menyadari bahwa sektor perikanan memegang
peran penting dalam memperkuat perekonomian Indonesia. Secara
signifikan Indonesia dari tahun 1951 hingga saat ini menangkap 324.000
metrik ton hingga 1.000.000 metrik ton/ tahun. Peningkatan tersebut
menunjukkan Indonesia merupakan produsen ikan terbesar kedua di dunia
setelah China, dan yang pertama di antara Negara- negara ASEAN
(Rochwulaningsih et al., 2019).
Wilayah pesisir dapat disebut daerah peralihan antara laut dan dataran.
Wilayah pesisir mencakup kurang dari 20% atas wilayah daratan secara
global. Terdapat interaksi yang intens menjadi salah satu ciri zona pesisir,
yang mana pada zona ini terdapat proses interaksi antara daratan dan lautan.
Zona pesisir terdiri dari
68 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
sektor perikanan. Kondisi alam, pasang surut air yang tidak menentu
menjadikan perekonomian mereka pun tak menentu. Sehingga telah
menjadi persepsi umum, bahwa masyarakat pesisir cenderung mempunyai
tingkat pendapatan yang rendah bahkan kurang (Kristiyanti, 2016).
a. Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir
Setiap individu memiliki cara dan perilaku berinteraksi yang berbeda terhadap
lingkungan sekitarnya. Pengelolaan lingkungan secara baik dan tidak
merusak ekosistem yang ada, merupakan salah satu pemenuhan dasar hidup
masyarakat tanpa merusak dan menurunkan kemampuan regenerasinya
untuk kebutuhan yang akan datang (Pinto, 2016). Kondisi lingkungan
permukiman wilayah pesisir, cenderung belum tertata dengan baik dan bisa
dikatakan kumuh. Kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang
cenderung rendah menyebabkan kondisi wilayah mereka pun tak tertata.
Kondisi ini tentu tak baik untuk ditinggali, namun apa daya, keadaan yang
memaksa mereka untuk mendiami wilayah tersebut karena tak ada tempat
berteduh lainnya.
Bab 7 Inovasi Usaha Masyarakat Pesisir Dalam Mendukung Ketahanan 71
Pangan
Nelayan bisa bertahan jika didorong semangat hidup yang kuat. Nelayan
tradisional berjuang keras melawan terpaan ombak laut yang dasyat hanya
untuk mencari ikan agar dapur mereka dapat tetap mengepul dan keluarga
tidak kelaparan. Karakteristik nelayan berbeda dengan masyarakat petani
dalam mencari nafkah. Nelayan selalu dihadapkan pada sumber daya alam
yang tidak terkontrol (cuaca, musim, dan sebagainya), di mana kapan saja
hasil tangkapan bisa saja berkurang, dan mau tidak mau nelayan tersebut
harus mencari lahan lain untuk mencari penghasilan bagi keluarganya.
a. Strategi Pengembangan Masyarakat Pesisir
oleh masyarakat pesisir. Jika hasil melimpah rumput laut juga dapat dikirim ke
luar negeri dan menjadi komoditas ekspor.
3) Usaha Budidaya Kerang Mutiara
Beda hal nya dengan kerang konsumsi, jenis kerang mutiara ini bernilai
ekonomis cukup tinggi. Pasalnya kerang ini mampu memberikan nilai tambah
berupa mutiara indah yang biasanya dapat digunakan menjadi perhiasan
dan para kaum wanita sangat menyukainya. Budidaya kerang mutiara
terbilang susah-susah gampang, dikarenakan kerang ini dapat bertahan hidup
di perairan yang belum tercemar, dan dibutuhkan waktu serta ketelatenan.
4) Usaha Budidaya Ikan dan Udang Laut
Budidaya ikan dan udang laut merupakan salah satu cara untuk
memperoleh pendapatan lebih bagi masyarakat wilayah pesisir. Ikan dan
Udang Laut contohnya seperti lobster laut atau ikan kerapu mempunyai nilai
ekonomis yang tinggi. Tidak harus memelihara hingga ratusan ekor, karena
harga satuan ikan dan udang tersebut terbilang tinggi. Dengan budidaya
sistem keramba budidaya dapat dilakukan diatas jaring-jaring di tengah
lautan. Selain digemari masyarakat, lobster dan kerapu merupakan
komoditas ekspor dengan nilai jual tinggi.
5) Usaha Tambak Garam
Pada wilayah pesisir tak jarang ditemui berbagai macam hewan laut di
bagian bibir pantai, salah satunya adalah cangkang-cangkang hewan laut
maupun patahan batu karang yang unik dengan berbagai bentuk.
Masyarakat pesisir dapat memanfaatkannya sebagai aksesoris yang dapat
dibentuk menjadi berbagai macam hiasan seperti figura foto, asbak, meja,
hiasan cermin, dengan dikombinasikan dengan aksesoris lainnya, sehingga
menambah nilai jual dari
76 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
Potensi dan peluang usaha yang dapat dilirik adalah menyewakan perahu
dan peralatan untuk memancing, menyelam, berselancar dan banyak
lainnya. Wilayah pesisir identik dengan pariwisata yang mana biasanya para
wisatawan datang untuk menikmati keindahan pantai dan panorama laut
lepas. Dengan menyewakan perahu, pengunjung dapat berkeliling dan
menikmati keindahan laut secara maksimal, ditambah adanya penyewaan alat
pancing, atau alat untuk snorkeling menjadi nilai tambah tersendiri dalam
mendapatkan penghasilan.
8) Rekreasi Pariwisata
7.4 Penutup
Mengelola sumberdaya alam pesisir merupakan tanggung jawab kita
bersama dalam rangka mencapai ketahanan pangan nasional secara
berkelanjutan. Hal ini tentu juga membantu masyarakat wilayah pesisir
dalam memperoleh tambahan penghasilan dan pendapatan. Pembangunan
perekonomian wilayah pesisir diharap mampu merubah paradigma
masyarakat terhadap wilayah pesisir yang cenderung kumuh, kotor, dengan
tingkat perekonomian yang rendah. Inovasi harus dilakukan agar usaha yang
dilakukan mempunyai daya saing dan nilai lebih bagi produk yang
dihasilkan. Inovasi merupakan sesuatu hal yang unik dan menarik, barang
siapa mampu dan mau melihat peluang usaha yang ada, pasti akan
memperoleh keuntungan dari hal tersebut.
78 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan Nasional
Bab 8
Dampak Pencemaran
dan Kerusakan
Ekosistem di Kawasan
Pesisir dan Laut
8.1 Pendahuluan
Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah, salah satunya dari
kawasan perairan pesisir dan laut. Kekayaan alam ini terdiri dari miyak dan
gas, mineral, perikanan, terumbu karang dan mangrove. Banyaknya kekayaan
alam tersebut sayangnya belum ada perhatian serius dari berbagai kalangan
sebagaimana halnya wilayah daratan. Beberapa kasus yang ditemukan pada
kawasan perairan pesisir dan laut tersebut seperti kasus pencemaran,
kerusakan lingkungan, pencurian sumberdaya laut oleh pihak asing dan juga
masih banyak kemiskinan masyarakat (Pramudyanto, 2014).
Kerusakan lingkungan hidup di Indonesia semakin buruk dan tidak ada
pengelolaan yang baik, ekploitasi alam yang tidak bertanggung jawab
sering sekali terjadi dan membuat kondisi semakin memprihatinkan
(Primyastanto, Dewi and Susilo, 2010). Kawasan perairan pesisir dan laut
merupakan kawasan padat penduduk, 50-70% jumlah penduduk dunia
hidup di daerah pesisir.
80 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
8.2.1 Suhu
Distribusi dan penyebaran temporal dari parameter suhu, DO (Dissolved
Oxygen), dan salinitas adalah suatu gambarano seanografi dari perairan laut.
82 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
Salah satu parameter yang cukup penting adalah suhu, berbagai aspek
distribusi parameter seperti reaksi kimia dan proses biologi merupakan fungsi
dari suhu, sehingga suhu ini menjadi suatu variabel yang menentukan (Patty,
2013).
Suhu juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pertumbuhan biota
air, faktor waktu, musim, sirkulasi angin, kedalaman air dan juga adanya
penutupan awan sangat memengaruhi suhu pada perairan. Suhu perairan
berperan dalam mengatur ekosistem organisme air (Hamuna et al., 2018).
Menurut Kusumaningtyas et al. (2014) suhu pada perairan dapat naik dan
menjadikan adanya penyebaran pada beberapa lapisan perairan dengan
adanya pengadukan, sehingga dengan adanya pelapisan air tersebut di
lapisan dasar tidak menjadi anaerob. Perubahan suhu permukaan dapat
berpengaruh terhadap proses fisika, biologi dan kimia di perairan tersebut.
8.2.3 pH
pH (power of Hidrogen) atau derajat keasaman adalah salah satu tolak
ukur kualitas perairan yang penting untuk mengetahui kestabilan suatu
82 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
perairan.
Bab 8 Dampak Pencemaran dan Kerusakan Ekosistem di Kawasan Pesisir dan Laut
83
8.2.6 Nitrat
Pada suatu perairan laut ada beberapa parameter kunci untuk menunjang
kehidupan dua di antaranya adalah Nitrogen dan Fosfor. Nitrogen dalam suatu
perairan ada di dalam beberapa bentuk, tetapi hanya beberapa yang bisa
Bab 8 Dampak Pencemaran dan Kerusakan Ekosistem di Kawasan Pesisir dan Laut
85
digunakan oleh organisme yaitu nitrat dan nitrit (Mira et al., 2015). Nitrat
merupakan salah satu unsur hara yang penting bagi fitoplankton dan
organisme akuatik lainnya. Nitrat merupakan salah satu sumber nitrogen
anorganik. Pada perairan laut, nitrogen merupakan unsur pembatas bagi
produktivitas primer di laut. Nitrogen yang dimanfaatkan oleh fitoplankton
adalah dalam bentuk nitrat(Saraswati et al., 2017).
Nitrogen dan fosfor walaupun diperlukan di suatu perairan, namun apabila
konsentrasinya sangat besar dan melebihi nilai ambang batas maka akan
terjadi eutrofikasi (pengayaan zat hara) yang ditandai dengan terjadinya
blooming fitoplankton dan akan menyebabkan kematian berbagai jenis biota
laut. Sumber utama zat hara fosfat dan nitrat berasal dari proses
dekomposisi tumbuh- tumbuhan dan sisa-sisa organisme mati. Limbah
industri yang mengandung senyawa organik juga bisa menjadi sumber utama
tingginya kedua zat tersebut disuatu perairan (Patty, Arfah and Abdul, 2015).
8.2.7 Salinitas
Salinitas merupakan faktor oseanografi yang berperan penting dalam
proses- proses fisika, kimia dan biologis di perairan laut, seperti dalam
proses percampuran, konsentrasi oksigen terlarut dan persebaran
organisme laut (Kalangi et al., 2013). Salinitas berperan penting untuk
kehidupan organisme perairan. Kadar salinitas di perairan laut bervariasi
terhadap geografis dan waktu, di mana peningkatan salinitas disebabkan
oleh adanya evaporasi dan hasil dari pembekuan es laut. Perubahan salinitas
juga dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya adalah musim (Saraswati
et al., 2017).
8.3.2 Sampah
Pencemaran oleh sampah merupakan masalah bagi masyarakat di seluruh
dunia, baik sampah yang masuk dari daratan maupun lautan. Salah satu jenis
sampah yang paling banyak terdapat di wilayah daratan dan lautan adalah
sampah plastik (Dewi, Budiarsa and Ritonga, 2015). Menurut Eriksen et al.
(2014), lebih dari 250.000 ton sampah plastik telah terapung di lautan, ada
4 ukuran plastic yang telah diidentifikasi yakni: nano, mikro, meso, dan
makro-plastik yang masuk dari kegiatan memancing dan kegiatan lainnya.
Mikroplastik adalah jenis sampah plastik yang memiliki ukuran kurang dari
5 mm dan dikategorikan menjadi 2 kelompok yaitu mikroplastik primer
dan sekunder (Hiwari et al., 2019). Mikroplastik primer merupakan jenis
plastik yang memang sengaja dibuat dalam bentuk mikro, contoh dari
produk mikroplastik primer ini yakni microbeads pada produk perawatan
kulit yang tidak sengaja keluar dan masuk ke saluran pembuangan air dan
kemudian masuk ke perairan. Sedangkan, yang disebut sebagai
mikroplastik sekunder
88 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
adalah fragmentasi atau pecahan dari jenis plastik yang lebih luas
ukurannya (Zhang et al., 2017).
Saat ini kehidupan manusia sangat bergantung dengan material plastik. Plastik
digunakan oleh manusia karena memiliki kelebihan antara lain: memiliki sifat
yang kuat, elastis, tahan lama, dan murah. Penggunaan material plastik
melampaui sebagian besar materi buatan manusia lainnya. Sejak awal
tahun 1950 ±8,3 miliar ton plastik telah diproduksi secara massal oleh
industri. Pada saat ini laut dan pesisir telah diperkirakan sudah ada 150 juta
ton sampah plastik yang masuk dan 250 ribu tonnya terpecah menjadi 5
triliun potongan kecil (Prasetiawan, 2018).
Menurut Jambeck et al. (2015), Indonesia dikategorikan sebagai salah satu
Negara terbesar penyumbang sampah ke laut, bahkan masuk nomer 2
terbesar di dunia setelah Tiongkok, dengan estimasi ±0.48 - 1.29 juta
metrik ton per tahun. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menetapkan
Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk mengelola sampah plastik di laut
2017-2025. Dengan adanya RAN diharapkan dapat mendorong pemerintah
daerah dalam menyusun kebijakan untuk mengelola sampah plastik di laut.
Sasaran yang ingin dicapai dari program RAN adalah:
1. Adanya peningkatan pemahaman masyarakat di kota, kawasan pesisir
dan sungai terkait dampak sampah plastik;
2. Terdorongnya kesadaran masyarakat terkait penggunaan jenis plastik
yang aman dan mudah didaur ulang;
3. Terdorongnya manajemen sampah zero bagi pemanfaatan sampah di
lingkungan industri;
4. Terselenggaranya pelatihan pemilahan dan pemanfaatan sampah
plastik;
5. Terselenggaranya sekolah pantai Indonesia;
6. Terselenggaranya kampanye peduli sampah plastik dilaut secara
masif;
7. Pemberian penghargaan untuk dunia usaha, media massa, kelompok
masyarakat dan tokoh agama atau masyarakat terkait inovasi dan/atau
kepeloporan dalam pengelolaan sampah plastik.
Bab 8 Dampak Pencemaran dan Kerusakan Ekosistem di Kawasan Pesisir dan Laut
89
dalam Gambar 8.1 tentang Mekanisme logam berat masuk dan merusak
ekosistem perairan
Gambar 8.1: Mekanisme logam berat masuk dan merusak ekosistem perairan
Upaya pengendalian pencemaran pesisir dan laut tidak bisa serta merta
dilakukan oleh salah satu pihak saja. Harus ada kerjasama antara pemerintah
dan masyarakat wilayah pesisir. Menurut Primyastanto, Dewi and Susilo
(2010), harus ada upaya dan peran serta pemerintah untuk mewujudkan
lingkungan perairan khususnya wilayah pesisir tetap terjaga kekayaan
sumberdaya lautnya, antara lain meliputi;
1. Melakukan pembinaan dimasyarakat,
2. Memberikan penyuluhan terhadap masyarakat,
3. Menyampaikan informasi tentang pentingnya menjaga lingkungan
wilayah pesisir,
4. Memberikan alat tangkap yang ramah lingkungan agar sumberdaya
laut tetap ada sampai anak cucu kita kelak.
5. Menggerakkan kesadaran peran serta dari masyarakat setempat
tentang pentingnya menjaga lingkungan wilayah pesisir dan
pengelolaan sumberdaya laut yang ramah lingkungan tanpa merusak,
melalui pendidikan dan penyuluhan;
6. Menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kesadaran akan
hak dan tanggung jawab masyarakat dalam mengelola lingkungan
hidup khususnya wilayah pesisir dan diharapkan dengan diadakan
kegiatan tersebut masyarakat dapat lebih mengetahui peranan penting
lingkungan khususnya wilayah pesisir.
8.5 Penutup
Pencemaran terjadi karena adanya beberapa bahan atau kompenen yang
masuk akibat adanya kegiatan manusia hingga perairan tersebut di bawah atau
di atas ambang baku mutu. Bahan atau komponen pencemar yang masuk ke
perairan wilayah pesisir dan laut dapat berasal dari berbagai macam cara
dan sumber. Setiap bahan pencemar yang memasuki perairan pesisir akibat
aktivitas manusia yang kompleks berpotensi menyebabkan penurunan
kualitas perairan yang akan mengurangi fungsi biologis dan ekologis dari
ekosistem. Padahal wilayah pesisir merupakan satu dari sekian sumber
pangan yang paling banyak masyarakat Indonesia ambil.
Standar baku mutu kualitas air laut dan pesisir yang digunakan untuk
organisme haruslah ideal dan baik bagi kehidupannya, baik secara fisik,
biologi, maupun kimia. Jika nilai dari kualitas perairan laut dan pesisir
melampaui dari ambang batas maksimal untuk organisme maka perairan
tersebut digolongkan sebagai perairan tercemar. Perairan yang tercemar
tersebut akan menyebabkan pertumbuhan biota terganggu dan bisa
mengurangi tingkat kelulus hidupan dan tingkat reproduksi biota-biota
dalam perairan tersebut. Sehingga, akan berpengaruh pada densitas dan
diversitas biota disuatu perairan.
Untuk mengatasi masalah pencemaran perairan perlu adanya suatu upaya
dan peran serta pemerintah dan masyarakat. Keberhasilan dalam
pembangunan yang berkelanjutan dipengaruhi oleh keterpaduan
antarsektor, keterpaduan
Bab 8 Dampak Pencemaran dan Kerusakan Ekosistem di Kawasan Pesisir dan Laut
95
Raptor seperti Elang laut memangsa mamalia seperti monyet dan tupai di
hutan magrove. Burung air adalah predator ikan, amfibi, reptil dan
berbagai invertebrata air. Mereka mengendalikan populasi dan
menyeimbangkan ekosistem. Selain itu, mereka juga merupakan sumber
makanan penting bagi hewan lain seperti ular, kadal, ikan, dan buaya
(Faridah-Hanum et al., 2014).
Gambar 9.3: Spesies burung liar yang mencari dedaunan dan beristirahat
di kawasan mangrove. (Faridah-Hanum et al., 2014)
Kawasan mangrove adalah habitat yang ideal untuk fauna reptil, yaitu
ular, penyu, buaya dan alligator. Penyu yang ditemukan hidup di kawasan
pesisir Indonesia adalah Penyu tempayan (Caretta caretta) dan Penyu hijau
(Chelonia mydas). Spesies penyu ini memanfaatkan area pesisir, muara dan
anak sungai
102 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
a b c
Gambar 9.4: (a) Buaya muara (Crocodylus prorosus) di perairan hutan
mangrove, (b) Buaya (Crocodylus palustris) di kawasan berlumpur
mangrove, (c) Lizard (kadal) Varanus indicus
(Faridah-Hanum et al., 2014)
Bab 9 Satwa Liar dan Medik Konservasi untuk Wilayah 103
Pesisir
a b c
Gambar 9.5 (a) Malaysian Monitor Lizard (Varanus salvator), berisitirahat di
area hijau kawasan mangrove, (b) Katak raksasa (Bufo marinus), (c) Katak
mangrove (Fejervarya cancrivora)
(Faridah-Hanum et al., 2014)
Spesies mamalia banyak yang menempati kawasan mangrove, di antaranya
rusa (Odocoileus virginianus), harimau (Panthera tigris), Leopard (Panthera
pardus), rusa tutul (Axis axis), kera ekor panjang (Macaca fascicularis),
White-faced monkey (Cebus capucinus), babi hutan (Sus scrofa), kancil
(Tragulus sp.), kelelawar (Macroglossus minimus), kelinci hutan (Sylvilagus
palustrias), tikus rawa (Oryzomys palustris). Sebagai tambahan lumba-
lumba (Delphinus delphis), sering diamati berenang di pesisir pantai, dan
peraiaran lain dekat hutan mangrove. Mamalia kecil adalah sumber makanan
utama untuk berbagai hewan seperti burung raptor, ular, buaya, dan
komponen penting ekosistem bakau. Mamalia pemakan buah, seperti
monyet, tupai, dan kelelawar juga penting sebagai penyebaran benih
tumbuhan di hutan tersebut.
a c
Gambar 9.6: (a) Kera ekor panjang (Macaca fascicularis), (b) Nasalis
larvatus (Faridah-Hanum et al., 2014)
104 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
Gambar 9.8: Kepiting bakau (Uca burgersi) dan Bivalvia (kerang) (Faridah-
Hanum et al., 2014)
hewan lain seperti monyet, burung, ular, ikan, dan bahkan untuk manusia
seperti tiram dan kerang (Macintosh dan Ashton 2002).
Daerah bakau kaya akan fauna ikan. Ikan di hutan ini memakan
amphipoda, isopoda, kepiting, siput, serangga, laba-laba, copepoda,
udang, dan bahan organik. Banyak ilmuwan telah melaporkan bahwa
serangkaian spesies ikan secara luas menggunakan area bakau sebagai
tempat berkembang biak. Ini disebabkan oleh kelimpahan dan kekayaan
sumber makanan seperti invertebrata dan kekayaan fauna bentik. Ikan
menggunakan berbagai habitat perairan seperti air tawar, air payau dan air
garam. Fauna ikan di daerah pesisir termasuk ikan kerapu, ikan lumpur,
ikan bersirip, ikan sarden, ikan mullet, ikan hilsa, kakap, dan bandeng.
Distribusi spesies ikan dapat bervariasi dari satu daerah ke daerah lainnya
tergantung pada kualitas air, struktur dan komposisi vegetasi perairan,
kekayaan sumber daya makanan, yaitu invertebrata, vertebrata dan bahan
nabati, kesesuaian tempat berkembang biak, konektivitas habitat dan laju
pemangsaan.
Terjadinya keanekaragaman spesies ikan yang lebih tinggi di kawasan
pesisir mungkin disebabkan oleh kekayaan dan keanekaragaman sumber
makanan. Alasan lain dapat disebabkan oleh sistem akar yang kompleks
dan luas yang mengurangi risiko pemangsaan dan menyediakan tempat
pembibitan yang aman, sehingga ikan bertelur di akar pohon mangrove
yang luas, dan setelah menetas mereka memakan detritus dan sumber
makanan lainnya yang mudah tersedia di daerah pesisir (Naik et al. 2013).
a b
Bab 9 Satwa Liar dan Medik Konservasi untuk Wilayah 107
Pesisir
c d
Gambar 9.10: (a) Ikan kakap (Lutjanus sp.), (b) Ikan kerapu (Epinephelus
erythrurus), (c) Ikan kakap merah bakau (Lutjanus sp.), (d) Garfish
(Hemiramphus).
Tabel 9.1: Jenis-jenis fauna di kawasan pesisir
Komponen hayati dan non hayati dari suatu wilayah pesisir membentuk
suatu ekosistem yang kompleks. Keadaan ini disebabkan oleh kondisi
lingkungan yang anti mainstream dengan komposisi unik yang tersusun
oleh berbagai ragam proses biologi dan fisika dari wilayah daratan dan
lautan. Faktor-faktor lingkungan (seperti udara, angin, gelombang perairan,
pasang surut, suhu, dan pH air) di pesisir sangat bervariasi.
Sifat alam yang beraneka ragam ditinjau dari lokasi dan habitatnya dapat
membentuk pola perbedaan jenis dan keragaman flora maupun fauna yang
hidup di lokasi tersebut. Keseimbangan ekologi lingkungan perairan pantai
akan
110 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
Gambar 2.13: Telur Rhabdias sp. (A) dan larva stage 1 (lv) dalam proses
menetas (B) pada telur yang sama dari inang ular (sumber : Albab, 2014).
112 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
Gambar 2.14: Morfologi parasit yang ditemukan pada ikan (Wiyatno et.al.
2012)
Gambar 2.15: Mikroskopis Trichodina Sp. pada benih ikan nilem dengan
perbesaran 1000x. A. T. acuta, B. T. heterodentata, C. T. Nobilis
(Riwidiharso et al., 2019)
Bab 9 Satwa Liar dan Medik Konservasi untuk Wilayah 113
Pesisir
2016).
Gambar 2.17: Scanning Electron Microscope / SEM Apisoma sp. pada
permukaan insang udang (Mehlhorn, 2008)
terhadap hak asasi alam, yaitu: hak untuk hidup sehat dan sejahtera. Tidak
ada solusi sederhana untuk mengatasi masalah global masalah lingkungan.
Strategi multi-cabang ilmu adalah hal krusial yang dibutuhkan saat ini.
Dengan mempelajari medik konservasi dan memantau masalah kesehatan
ekologis, dokter hewan dan dokter umum, serta pakar kesehatan yang
lainnya siap memenuhi peran penting dalam mempertahankan kesehatan
global (Aguirre & Gómez, 2009).
118 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan Nasional
Bab 10
Pemanfaatan
Teknologi Membran dalam
Mendukung Ketahanan
Pangan, Air, dan
Energi
10.1 Pendahuluan
Jumlah penduduk Indonesia besar, perlu diikuti dengan produksi pangan
yang cukup dan merata untuk menjaga ketahanan pangan nasional. Perluasan
lahan pertanian dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan-lahan marjinal,
seperti tanah masam, tanah di lahan pasang surut. Luasan lahan pasang
surut di Indonesia diperkirakan 20,10 juta hektar. Sekitar 20-30% berpotensi
digunakan sebagai lahan pertanian (Suriadikarta and Sutriadi, 2007). Namun,
pertumbuhan padi di lahan pasang surut memiliki kendala seperti
kesuburan tanah rendah; reaksi tanah masam (pH rendah); tingginya
salinitas dan asam organik; senyawa toksik berupa Fe, Al, Mn dengan
konsentrasi tinggi; serta rendahnya kadar Ca, K, dan Mg (Arsyad, Saidi and
Enrizal, 2014).
Indonesia memiliki 12.857 (15,3%) desa atau kelurahan yang terletak di tepi
laut atau berada di wilayah pesisir (Badan Pusat Statistik, 2020). Selain itu,
banyak kota besar yang berkembang di wilayah pesisir seperti Jakarta,
Surabaya, Semarang, Medan, Makassar, Denpasar, Balikpapan, Batam,
dll. Untuk
120 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
Membran berbasis selulosa memiliki fluks yang tinggi namun lebih rentan
terhadap fouling. Sedangkan membran berbasis non-selulosa memiliki
stabilitas yang lebih baik. Misalnya membran UF terbuat dari polimer
polyimide toleran terhadap pelarut organik seperti heksana, benzena,
metanol, aseton, ataupun hidrokarbon terklorinasi (Hankins and Singh,
2016).
2. Membran inorganik
10.3 Mikroalga
Peningkatan kebutuhan pangan, energi, dan air bersih menimbulkan dilema
dalam pemenuhan dan keterkaitan antara kebutuhan pangan-energi-air bersih.
Adanya irisan dalam kebutuhan makanan dengan bioenergi serta irisan
antara kebutuhan air untuk irigasi terhadap kebutuhan air bersih mendorong
perlunya transformasi teknologi dalam menghadapi tantangan tersebut.
Salah satu teknologi yang dapat mengatasinya adalah teknologi membran
(Wibisono et al., 2019).
Mikroalga merupakan makhluk hidup yang mengandung lemak dan dapat
tumbuh dengan cepat yang berpotensi untuk menghasilkan bioenergi. Salah
satu kendala dalam pemanfaatan mikroalga adalah pada tahap kultivasi.
Densitas yang kecil menyebabkan mikroalga sulit dipisahkan dari media
kultivasinya.
Bab 10 Pemanfaatan Teknologi 123
Membran
Salah satu teknik yang sering digunakan adalah dengan cara presipitasi.
Namun metode tersebut memiliki kekurangan seperti perlu biaya untuk
bahan kimia dan kurang ramah lingkungan.
tekanan osmosis yang menarik molekul air dari air salin (Phuntsho et al.,
2013). Perbedaan antara RO dan FO dapat dilihat pada Gambar 10.1.
Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja FO di antaranya: tekanan
osmotik larutan yang dipengaruhi konsentrasi molar, fluks, polarisasi
konsentrasi berbentuk polarisasi konsentrasi eksternal dan polarisasi
konsentrasi internal(Johnson et al., 2018).
NH4NO3, NH4Cl,
NaNO3,
Ca(NO3)2,
CO(NH2)2
10.6 Penutup
Wilayah pesisir yang merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan
laut memiliki peranan penting. Pesatnya perkembangan wilayah pesisir
menjadi wilayah perkotaan serta pedesaan mendorong perlunya perananan
teknologi membran untuk memenuhi kebutuhan pangan, air dan energi.
Daerah ini ideal untuk pengembangan pemenuhan pangan dan energi
melalui kultivasi, pemanenan, dan biorefinery mikroalga. Kombinasi dengan
sistem fertigasi pada pertanian di kawasan pesisir memberikan manfaat
yang lebih dengan memanfaatkan teknologi FO. Dengan sistem yang
terintegrasi tersebut diharapkan pemenuhan kebutuhan pangan air, dan
energi dapat tercapai.
Daftar Pustaka
https://doi.org/10.1016/j.cej.2015.05.080.
Al Syahrin, M. N. (2018) ‘Kebijakan Poros Maritim Jokowi dan
Sinergitas Strategi Ekonomi dan Keamanan Laut Indonesia’,
Indonesian Perspective. Universitas Diponegoro, 3(1), pp. 1–17.
Albab, Ulil. 2014. Eksplorasi cacing endoparasit saluran pencernaan satwa
di kebun binatang Semarang. Institut Pertanian Bogor.
Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Bogor. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Pusat Antar Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor.
Alongi, D. M. (2015) ‘The Impact of Climate Change on Mangrove
Forests’, Current Climate Change Reports, 1(1), pp. 30–39. doi:
10.1007/s40641- 015-0002-x.
Amri, K., Muchlizar, M. and Ma’mun, A. (2018) ‘Variasi Bulanan Salinitas,
Ph, Dan Oksigen Terlarut Di Perairan Estuari Bengkalis’, Majalah
Ilmiah Globe, 20(2), p. 58. doi: 10.24895/mig.2018.20-2.645.
Andry, M. A. and Yuliani, F. (2014) ‘Implementasi kebijakan keselamatan
pelayaran’, Jurnal Administrasi Pembangunan, 2(3), pp. 259–264.
Anh, P. T. et al. (2010) ‘Water pollution by intensive brackish shrimp
farming in south-east Vietnam: Causes and options for control’,
Agricultural Water Management, 97(6), pp. 872–882. doi:
10.1016/j.agwat.2010.01.018.
Arbi, U. Y. (2008). Burung Pantai Pemangsa Krustasea. Oseana, 33(2), 1–8.
Arif, A. (2019) Keberagaman Hayati dan Budaya: Kunci Kedaulatan
Pangan
Nusantara. Pela Mampang, Jakarta: Yayasan Keanekaragaman Hayati
Indonesia. Available at: www.kehati.or.id.
Armeyn, A., & Gusrianto, R. (2017). The effect of addition of solid
limestone stone as a fine aggregate in the strength of normal concrete
pressure. Jurnal Teknik Sipil ITP,
3(2).
https://ejournal.itp.ac.id/index.php/tsipil/article/view/825/556
Arsyad, D. M., Saidi, B. B. and Enrizal (2014) ‘Pengembangan Inovasi
Pertanian di Lahan Rawa Pasang Surut Mendukung Kedaulatan Pangan’,
Jurnal Pengembangan Inovasi Pertanian, 7(4), pp. 169–176.
132 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
Assael, H. (1995) ‘Consumer behavior and marketing action’. South-
Western College Publishing Cincinnati, OH.
Daftar Pustaka 133
10.1016/j.aquaculture.2010.10.022.
M. Ghufran H. Kordi K. (2012). Ekosistem Mangrove : Potensi, Fungsi
dan Pengelolaan.
Ma, Z. et al. (2013) ‘A modified water quality index for intensive shrimp
ponds of Litopenaeus vannamei’, Ecological Indicators, 24, pp. 287–
293. doi: 10.1016/j.ecolind.2012.06.024.
Ma'ruf, B. (2014) ‘Strategi Pengembangan Industri Kapal Nasional
Berbasis Teknologi Produksi dan Pasar Domestik’, Orasi Pengukuhan
Profesor Riset Bidang Teknik Maritim, Badan Pengkajian Dan
Penerapan Teknologi Jakarta, 17.
Ma’ruf, B. and MM, M. (2014) ‘Inovasi Teknologi untuk Mendukung
Program Tol Laut dan Daya Saing Industri Kapal Nasional’, in
Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan II, pp. 1–19.
Magribi, L. O. M. and Suhardjo, A. (2004) ‘Aksesibilitas dan
pengaruhnya terhadap pembangunan di perdesaan: Konsep model
sustaiinable accessibility pada kawasan perdesaan di propinsi
sulawesi tenggara’, Jurnal Transportasi, 4(2), pp. 149–160.
Magribi, L. O. M. and Tahir, M. A. (2015) ‘The Probability of Selection
of Ocean Freight the Competition between Night Ship and Quick Ship
Route Kendari – Raha’, Procedia - Social and Behavioral Sciences.
Elsevier, 211, pp. 696–703. doi: 10.1016/J.SBSPRO.2015.11.105.
Magribi, M. (1999) ‘Geografi Transportasi’, Yogyakarta: Fakultas Pasca
Sarjana. UGM.
Mainassy, M. C. (2017) ‘The Effect of Physical and Chemical Parameters
on the Presence of Lompa Fish (Thryssa baelama Forsskål) in the
Apui Coastal Waters of Central Maluku District’, Jurnal Perikanan
Universitas Gadjah Mada, 19(2), p. 61. doi: 10.22146/jfs.28346.
Makahaube, M. et al. (2018) ‘Implementasi Tol Laut Terhadap
Pengembangan Pelabuhan Strategis pada Pelabuhan (New Port)
Makassar dan Baubau’, Venus, 6(12), pp. 130–151.
Malau, R. et al. (2018) ‘Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) Pada Air,
Sedimen, Dan Rumput Laut Sargassum sp. Di Perairan Teluk Awur,
Jepara’, Jurnal Kelautan Tropis, 21(2), p. 155. doi:
10.14710/jkt.v21i2.3010.
Daftar Pustaka 143
Rahman, R. F., Bakrie, M., Hambal, M., Wardani, E., Aliza, D., & Budiman,
H. (2017). 6. Identification of Parasites on Squid (Loligo spp.) in The
Fish Auction Site (FAS) Lampulo Banda Aceh. 6. Identification of
Parasites on Squid (Loligo Spp.) in The Fish Auction Site (FAS)
Lampulo Banda Aceh, 11(1), 35–38.
https://doi.org/10.21157/j.med.vet..v11i1.4063
Rahmayanti, H. (2006) ‘Pencemaran Laut Oleh Minyak (Henita
Rahmayanti, Dosen Jurusan Teknik Sipil, FT- UNJ)’, MENARA,
Jurnal Teknik Sipil, 1(1), pp. 63–74.
Red Mangrove. 2014. SpeedTree.com. Diakses 9 Agustus 2014
Retnowati, T. H., Mardapi, D., & Kartowagiran, B. (2018). Kinerja Dosen
Di Bidang Penelitian dan Publikasi Ilmiah. Jurnal Akuntabilitas
Manajemen Pendidikan, 6(2), 215–225.
https://doi.org/10.3969/j.issn.1672-
4623.2018.01.
Riwidiharso, E., Alfarisi, B., & Rokhmani. (2019). Morfologi dan
intensitas Trichodina spp . pada benih ikan nilem ( Osteochilus hasselti
) milik Balai Benih Ikan Kutasari Purbalingga , Jawa Tengah.
Masyarakat Biodiversitas Indonesia, 5, 316–323.
https://doi.org/10.13057/psnmbi/m050231
Rizqiqa, G. Y. et al. (2020) ‘Optimalisasi Pelayanan Bagi Pejalan Kaki’,
Lomba Karya Tulis Ilmiah, 1(1), pp. 121–133.
Robbin, S. P., And Coulter, M. A. (2018) Management, 14th edition.
Rochwulaningsih, Y. et al. (2019) ‘Marine policy basis of Indonesia as a
maritime state: The importance of integrated economy’, Marine
Policy, 108, p. 103602. doi: 10.1016/j.marpol.2019.103602.
Rodrigue, J.-P. (2016) The geography of transport systems. Taylor & Francis.
Rösch, C., Roßmann, M. and Weickert, S. (2019) ‘Microalgae for
integrated food and fuel production’, GCB Bioenergy, 11(1), pp.
326–334. doi: 10.1111/gcbb.12579.
Rosyida, I. et al. (2019) ‘Adapting livelihoods to the impacts of tin mining
in Indonesia: options and constraints’, The Extractive Industries and
Society, 6(4), pp. 1302–1313. doi: 10.1016/j.exis.2019.10.018.
Rukminasari, N., Nadiarti, N. and Awaluddin, K. (2014) ‘Pengaruh
Derajat Keasaman (Ph) Air Laut Terhadap Konsentrasi Kalsium Dan
148 Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Terpadu untuk Ketahanan
Nasional
Laju Pertumbuhan H a L I M E D a Sp’, Jurnal Administrasi dan
Kebijakan
Daftar Pustaka 149
hewan praktisi dan peneliti laboratorium. Saat ini penulis aktif sebagai anggota
APARVI (Asosisasi Parasitologi Veteriner Indonesia) dan P4I
(Perkumpulan Pemberantas Penyakit Parasitik Indonesia). Penulis bisa
dihubungi melalui alamat surat elektronik : rezayesica@ub.ac.id