Anda di halaman 1dari 66

METODOLOGI PENYUSUNAN TATA

RUANG WILAYAH
1. Metoda Penyusunan Revisi RTRW
Penyusunan RTRW Kabupaten berpedoman pada Peraturan Menteri Agraria
dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2018 Tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Muatan RTRW Kabupaten:
1. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten
2. Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten
3. Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten
4. Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten
5. Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten
6. Ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten

1
Gambar 1 Tata Cara Penyusunan RTRW Kabupaten

Sumber : Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota

2
2. Metoda Analisis Penyusunan Revisi RTRW
Tahap analisis bertujuan meramu seluruh data/informasi dan mencari solusi
untuk mencapai tujuan penataan ruang yang diinginkan. Secara garis besar data-
data atau informasi wilayah perencanaan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga),
yaitu :
 Data terkait kebijakan tata ruang
 Data terkait kondisi wilayah perencanaan
 Data terkait kelembagaan

2.1. Analisis Kebijakan Spasial dan Sektoral


Perumusan kebijakan dan strategi pembangunan wilayah perencanaan
disusun dengan melihat potensi, permasalahan, tantangan serta kebijakan pada
tataran nasional maupun regional yang tertuang dalam RTRWN, RTRWP, RTRW
Kab/ Kota, RTR Metropolitan, RPJMD, RPJPD, dan bentuk-bentuk rencana penataan
ruang lainnya dalam rangka memahami dan mengadopsi arahan kebijakan dan
strategi pembangunan yang sesuai untuk wilayah kota serta untuk mengantisipasi
dan mengakomodasi program-program pembangunan sektoral. Jika sebelumnya
sudah pernah ada RTR, maka perlu melihat hasil review untuk mendapatkan
pembelajaran. Salah satu metode analaisis ini yaitu analaisis SWOT.
Analisis SWOT adalah metode perencanaan strategis yang digunakan untuk
mengevaluasi kekuatan (strengths), kelemahan (weaknesses), peluang
(opportunities), dan ancaman (threats). Proses ini melibatkan penentuan tujuan
yang spesifik dan mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang mendukung
dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut. Analisis SWOT dapat diterapkan
dengan cara menganalisis dan memilah berbagai hal yang mempengaruhi keempat
faktornya, kemudian menerapkannya dalam gambar matrik SWOT, dimana
aplikasinya adalah bagaimana kekuatan (strengths) mampu mengambil keuntungan
(advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, bagaimana cara mengatasi
kelemahan (weaknesses) yang mencegah keuntungan (advantage) dari peluang
(opportunities) yang ada, selanjutnya bagaimana kekuatan (strengths) mampu
mengahdapi ancaman (threats) yang ada, dan terakhir adalah bagaimana cara

3
mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mempu membuat ancaman (threats)
menjadi nyata atau menciptakan sebuah ancaman baru.
Metode analisis SWOT bisa dianggap sebagai metode analisis yang paling
dasar, yang bermanfaat untuk melihat suatu topik ataupun suatu permasalahan dari
4 (empat) sisi yang berbeda. Hasil dari analisa biasanya berupa arahan ataupun
rekomendasi untuk mempertahankan kekuatan dan untuk menambah keuntungan
dari segi peluang yang ada, sambil mengurangi kekurangan dan juga menghindari
ancaman. Jika digunakan dengan benar, analisis ini akan membantu untuk melihat
sisi-sisi yang terlupakan atau tidak terlihat selama ini. Dari pembahasan di atas tadi,
analsis SWOT merupakan instrument yang bermanfaat dalam melakukan analisis
strategi. Analisis ini berperan sebagai alat untuk meminimalisasi kelemahan yang
terdapat dalam suatu perusahaan atau organisasi serta menekan dampak ancaman
yang timbul dan harus dihadapi.

Gambar 2 Matriks Analisis SWOT

4
2.2. Analisis Kedudukan dan Peran Kabupaten dalam Wilayah yang Lebih Luas
Analisis wilayah perencanaan pada wilayah yang lebih luas (analisis regional),
dilakukan untuk memahami kedudukan dan keterkaitan wilayah perencanaan
dalam sistem regional yang lebih luas dalam aspek sosial, ekonomi, lingkungan,
sumber daya buatan/system prasarana, budaya, pertahanan, dan keamanan. Sistem
regional tersebut dapat berupa sistem kota, wilayah lainnya, kabupaten/kota yang
berbatasan, pulau, dimana wilayah perencanaan tersebut dapat berperan dalam
perkembangan regional.
Oleh karena itu, dalam analisis regional ini dilakukan analisis pada aspek
berikut:
1. Kedudukan dan keterkaitan sosial-budaya dan demografi wilayah perencanaan
pada wilayah yang lebih luas.
2. Kedudukan dan keterkaitan ekonomi wilayah perencanaan pada wilayah yang
lebih luas.
3. Kedudukan dan keterkaitan sistem prasarana wilayah perencanaan dengan
wilayah yang lebih luas. Sistem prasarana yang diperhatikan dalam analisis ini
adalah sistem prasarana kabupaten/kota dan wilayah.
4. Kedudukan dan keterkaitan aspek lingkungan (pengelolaan fisik dan SDA)
wilayah perencanaan pada wilayah yang lebih luas.
5. Kedudukan dan keterkaitan aspek pertahanan dan keamanan wilayah
perencanaan pada wilayah yang lebih luas.
6. Kedudukan dan keterkaitan aspek pendanaan wilayah perencanaan pada wilayah
yang lebih luas.
Keluaran dari analisis regional, meliputi:
 Struktur dan pola ruang wilayah perencanaan dalam sistem kota/wilayah yang
berbatasan.
 Gambaran fungsi dan peran wilayah perencanaan pada wilayah yang lebih luas
(wilayah kabupaten/kota berdekatan secara sistemik).
 Gambaran potensi dan permasalahan pembangunan terkait penataan ruang pada
wilayah yang lebih luas terkait dengan kedudukan dan keterkaitan wilayah
perencanaan pada wilayah yang lebih luas, mencakup permasalahan disparitas
pembangunan antar wilayah perencanaan.

5
 Gambaran peluang dan tantangan pembangunan wilayah perencanaan dalam
wilayah yang lebih luas yang ditunjukkan oleh sektor unggulan.
Keluaran analisis regional digunakan sebagai pertimbangan dalam:
• Penetapan fungsi dan peran wilayah perencanaan dalam wilayah yang lebih luas
yang akan mempengaruhi pada pembentukan struktur ruang wilayah
perencanaan, terutama pada distribusi dan pemusatan penduduk, serta
penetapan sistem jaringan prasarana terutama yang lintas sub wilayah /lintas
kawasan atau yang mengemban fungsi layanan dengan skala yang lebih luas dari
wilayah kabupaten/kota.
• Pembentukan pola ruang wilayah perencanaan yang serasi dengan kawasan
berdekatan terutama pada wilayah perbatasan agar terjadi sinkronisasi dan
harmonisasi dalam pemanfaatan ruang antar kawasan dalam rangka perwujudan
tujuan penataan ruang.

2.3. Analisis Fisik Wilayah


Analisis dilakukan untuk memberikan gambaran kerangka fisik
pengembangan wilayah serta batasan dan potensi alam wilayah perencanaan
dengan mengenali karakteristik sumber daya alam, menelaah kemampuan dan
kesesuaian lahan agar pemanfaatan lahan dalam pengembangan wilayah dapat
dilakukan secara optimal dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem
dan meminimalkan kerugian akibat bencana.
Secara umum analisis fisik/lingkungan dan SDA ini, memiliki keluaran sebagai
berikut:
 Gambaran daya dukung lingkungan fisik dalam menampung kegiatan yang ada
maupun yang akan dikembangkan sampai akhir masa berlakunya RTR.
 Gambaran daya dukung maksimum (daya tampung) ruang/lingkungan hidup
dalam menampung kegiatan sampai waktu yang melebihi masa berlakunya
RTR,
 Gambaran kesesuaian lahan untuk pemanfaatan ruang di masa datang
berdasarkan kondisi fisik/lingkungannya.
 Gambaran potensi dan hambatan pembangunan keruangan dari aspek fisik.

6
 Gambaran alternatif-alternatif upaya mengatasi hambatan fisik/lingkungan
yang ada di wilayah perencanaan.
Keluaran analisis fisik/lingkungan wilayah kota ini digunakan sebagai bahan
dalam sintesa analisis holistik dalam melihat potensi-masalah-peluang penataan
ruang wilayah perencanaan dari aspek fisik/lingkungan. Analisis sumber daya alam
dan fisik/lingkungan wilayah yang perlu dilakukan mencakup beberapa analisis
berikut:
1. Analisis klimatologi dan meteorologi
Digunakan dalam mengidentifikasi potensi dan permasalahan pengembangan
wilayah perencanaan berdasarkan kesesuaian iklim setempat. Analisis ini
menjadi bahan rekomendasi bagi kesesuaian peruntukan pengembangan
kegiatan budidaya.
2. Analisis sumber daya air
Dilakukan untuk memahami bentuk dan pola kewenangan, pola pemanfaatan,
dan pola kerjasama pemanfaatan sumber daya air yang ada maupun yang
sebaiknya dikembangkan di dalam wilayah perencanaan. Khususnya
terhadap sumber air baku serta air permukaan (sungai dan/atau danau) yang
mengalir dalam wilayah perencanaan yang memiliki potensi untuk
mendukung pengembangan dan/atau memiliki kesesuaian untuk
dikembangkan bagi kegiatan tertentu yang sangat membutuhkan sumber
daya air. Analisis ini menjadi dasar dalam menetapkan kebijakan yang
mengatur sumber – sumber air tersebut
3. Analisis sumber daya tanah
Digunakan dalam mengidentifikasi potensi dan permasalahan pengembangan
wilayah perencanaan berdasarkan kesesuaian tanah serta kawasan rawan
bencana. Analisis ini menghasilkan rekomendasi bagi peruntukan kawasan
budidaya dan kawasan lindung.
4. Analisis sumber daya udara
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui bentuk dan pola kewenangan, pola
pemanfaatan, pola kerjasama pemanfaatan sumber daya udara, dan
kesesuaian pemanfaatan sumberdaya udara dalam rangka pengembangan

7
kawasan sekaligus menjaga kualitas udara regional dan/atau dalam sistem
internal wilayah perencanaan.
5. Analisis topografi dan kelerengan
Analisis topografi dan kelerengan dilakukan untuk potensi dan permasalahan
pengembangan wilayah perencanaan berdasarkan ketinggian dan kemiringan
lahan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui daya dukung serta kesesuaian
lahan bagi peruntukkan kawasan budidaya dan lindung.
6. Analisis geologi lingkungan
Analisis ini dilakukan untuk mengidentifikasi potensi dan pengembangan
wilayah perencanaan berdasarkan potensi dan kendala dari aspek geologi
lingkungan. Analisis ini menjadi rekomendasi bagi peruntukan kawasan
rawan bencana, kawasan lindung geologi, dan kawasan pertambangan.
7. Analisis klimatologi
Digunakan dalam mengidentifikasi potensi dan permasalahan pengembangan
wilayah perencanaan berdasarkan kesesuaian iklim setempat. Analisis ini
menjadi bahan rekomendasi bagi kesesuaian peruntukan pengembangan
kegiatan budidaya.
8. Analisis sumber daya alam hayati alami dan budidaya (termasuk hutan)
Dilakukan untuk mengetahui daya dukung/ kemampuan wilayah
perencanaan dalam menunjang fungsi hutan/ sumberdaya alam hayati
lainnya, baik untuk perlindungan maupun kegiatan produksi. Selain itu,
analisis ini dimaksudkan untuk menilai kesesuaian lahan bagi penggunaan
hutan produksi tetap dan terbatas, hutan yang dapat dikonversi, hutan
lindung, dan kesesuaian fungsi hutan lainnya.
9. Analisis sumber daya alam dan fisik wilayah lainnya
Selain analisis tersebut diatas, perlu juga dilakukan analisis terhadap sumber
daya alam lainnya sesuai dengan karakteristik wilayah perencanaan yang akan
direncanakan, untuk mengetahui kewenangan, pola pemanfaatan, maupun
pola kerjasama pemanfaatan sumber daya tersebut. Misalnya: analisis sumber
daya laut yang diperlukan bagi wilayah kota yang berbentuk kepulauan.

8
2.4. Analisis Kependudukan
Analisis dilakukan untuk mengkaji kondisi sosial budaya masyarakat yang
mempengaruhi pengembangan wilayah perencanaan seperti elemen-elemen kota
yang memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi (urban heritage, langgam
arsitektur, landmark kota) serta modal sosial dan budaya yang melekat pada
masyarakat (adat istiadat) yang mungkin menghambat ataupun mendukung
pembangunan, tingkat partisipasi/peran serta masyarakat dalam pembangunan,
kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, dan pergeseran nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat setempat.
Analisis ini akan digunakan sebagai bahan masukan dalam penentuan tema,
preferensi pengembangan wilayah perencanaan, serta strategi komunikasi
pembangunan kota.
a) Analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan mendapatkan proyeksi
perubahan demografi seperti pertumbuhan dan komposisi jumlah penduduk
serta kondisi social kependudukan dalam memberikan gambaran struktur dan
karakteristik penduduk. Hal ini berhubungan erat dengan potensi dan kualitas
penduduk, mobilisasi, tingkat pelayanan dan penyediaan kebutuhan sektoral
(sarana, prasarana maupun utilitas).
b) Selain itu analisis terhadap sebaran dan perpindahan penduduk dari daerah
perdesaan ke daerah perkotaan memberikan gambaran dan arahan kendala serta
potensi sumberdaya manusia untuk keberlanjutan pengembangan, interaksi, dan
integrasi dengan daerah di luar wilayah perencanaan.
c) Analisis dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi demografi terhadap
batasan daya dukung dan daya tampung wilayah perencanaan dalam jangka
waktu rencana

2.5. Analisis Ekonomi Wilayah


A. Analisis Pertumbuhan (Growth Analysis)
Untuk melakukan analisis keunggulan kompetitif suatu
komoditas/sektor/wilayah, dilakukan dengan analisis pertumbuhan. Metode
analisis pertumbuhan menggunakan data sekunder deret waktu (time series)

9
dari berbagai komoditas/sektor/wilayah, kemudian dilakukan pemodelan
untuk melihat pertumbuhan objek yang bersangkutan.

B. Analisis Shift Share


Analisis Shift share merupakan teknik dalam menganalisis pertumbuhan
ekonomi suatu daerah sebagai perubahan atau peningkatan suatu indikator
pertumbuhan perekonomian suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu.
Tujuan analisis ini adalah untuk menentukan kinerja atau produktifitas kerja
perekonomian daerah dibandingkan dengan perekonomian di tingkat regional
atau nasional.
Analisis Shift share ini membagi pertumbuhan sebagai perubahan (D) suatu
variabel daerah, seperti jumlah tenaga kerja, nilai tambah, pendapatan atau
output selama waktu tertentu menjadi pengaruh‐pengaruh pertumbuhan
nasional (N), bauran industri/ industry mix (M) dan keunggulan kompetitif (C).
Pengaruh pertumbuhan nasional disebut proposional shift atau bauran
komposisi, dan pengaruh keunggulan kompetitif dinamakan differential shift
atau regional share (Soepono, 1993).
Persamaan dan komponen‐komponen dalam analisis shift share sebagai
berikut:
Dij = Nij + Mij + Cij
Dalam penelitian ini variabel‐variabel yang digunakan adalah:
Dij = Eij – Eij
Nij = Eij . rn
Mij = Eij (rin – rn)
Cij = Eij (rij – rn)
dimana: rij, rin, dan rn mewakili laju pertumbuhan wilayah kabupaten dan laju
pertumbuhan wilayah provinsi yang masing‐masing didefinisikan sebagai
berikut:

10
Keterangan; Eij adalah pendapatan sektor i di wilayah j (kabupaten), Ein
adalah pendapatan sektor i di wilayah n (provinsi), En adalah pendapatan
wilayah n (provinsi), Eij adalah pendapatan tahun terakhir, rij adalah laju
pertumbuhan sektor i di wilayah j (kabupaten), rin adalah laju pertumbuhan
sektor i di wilayah n (provinsi), rn adalah laju pertumbuhan pendapatan di
wilayah n (provinsi) Sehingga didapat persamaan Shift share untuk sektor i
di wilayah j (Soepono, 1993) sebagai berikut:
Dij=Eij.rn+Eij(rin‐rn)+Eij(rij‐rin)
Keterangan; Dij adalah perubahan variabel output sektor i di wilayah j, Nij
adalah pertumbuhan ekonomi nasional, Mij adalah bauran industri sektor i
di wilayah j, Cij adalah keunggulan kompetitif sektor i di wilayah j, Eij adalah
pendapatan sektor i di wilayah j, Adapun dari rumus di atas diketahui ada
2 indikator dari hasil perhitungan Shift share dalam perekonomian suatu
daerah, yaitu:
a. Jika nilai dari komponen pergeseran proporsional dari sektor > 0, maka
sektor yang bersangkutan mengalami pertumbuhan yang cepat dan
memberikan pengaruh yang positif kepada perekonomian daerah, begitu
juga sebaliknya.
b. Jika nilai komponen pergeseran diferensial suatu sektor < 0, maka
keunggulan komparatif dari sektor tersebut meningkat dalam
perekonomian yang lebih tinggi, begitu juga sebaliknya.

C. Analisis Location Quotient (LQ)


Analisis LQ merupakan suatu alat analisis untuk menunjukkan basis ekonomi
suatu wilayah terutama dari kriteria kontribusi. Alat analisis ini juga dipakai
untuk mengukur konsentrasi dari suatu kegiatan (industri) dalam suatu

11
daerah itu dengan peranan kegiatan atau industri sejenis dalam
perekonomian regional atau nasional. Perhitungan basis tersebut
menggunakan variabel PDRB wilayah atas suatu kegiatan dalam struktur
ekonomi wilayah. Rumus menghitung LQ (Arsyad, 1999) adalah:

Keterangan: LQ adalah koefisien Location Quotient, vi adalah pendapatan


sektor i di suatu daerah, vt adalah pendapatan total daerah tersebut, Vi adalah
pendapatan sektor i secara regional/nasional, Vt adalah pendapatan total
regional/nasional. Dari rumus di atas ada 3 kategori hasil perhitungan
Location Quotient (LQ) dalam perekonomian daerah, yaitu:
a. Jika nilai LQ > 1, maka sektor yang bersangkutan di wilayah studi lebih
berspesialisasi dibandingkan dengan wilayah referensi. Artinya, sektor
tersebut dalam perekonomian daerah di wilayah studi memiliki keunggulan
komparatif dan dikategorikan sebagai sektor basis.
b. Jika nilai LQ < 1, maka sektor yang bersangkutan di wilayah studi kurang
berspesialisasi dibandingkan dengan wilayah referensi. Sektor tersebut
dikategorikan sebagai sektor nonbasis.
c. Jika nilai LQ = 1, maka sektor yang bersangkutan baik di wilayah studi
maupun di wilayah referensi memiliki peningkatan.

D. Analisis Model Rasio Pertumbuhan (MRP)


Analisis MRP merupakan alat analisis untuk melihat deskripsi kegiatan atau
sektor ekonomi yang potensial berdasarkan pada kriteria pertumbuhan
struktur ekonomi wilayah baik eksternal maupun internal (Yusuf, 1999).
Model analisis ini diturunkan dari persamaan awal komponen utama dalam
analisis Shift and Share yaitu Differential Shift dan Proportionality Shift.
Secara matematis Differential Shift dapat ditulis sebagai berikut:

12
dan Propotionality Shift dapat ditulis secara matematis sebagai berikut:

Sehingga dari persamaan di atas diperoleh rumus‐rumus perhitungan


sebagai berikut:

Keterangan; ΔEij adalah perubahan pendapatan kegiatan i di wilayah studi


pada periode waktu t dan t+n; ΔEIR adalah perubahan pendapatan kegiatan
i di wilayah referensi; ΔER adalah perubahan PDRB di wilayah referensi; Eij
adalah pendapatan kegiatan i di wilayah studi; EIR adalah pendapatan
kegiatan i di wilayah referensi; ER adalah PDRB di wilayah referensi, t+n
adalah tahun antara dua periode.
Pendekatan analisis MRP ini dibagi menjadi dua rasio, yaitu: (1) rasio
pertumbuhan wilayah referensi (RPR) dan (2) rasio pertumbuhan wilayah
studi (RPS).
(1) Rasio Pertumbuhan Wilayah Referensi
(RPR). RPR adalah perbandingan antara laju pertumbuhan pendapatan
kegiatan i di wilayah referensi dengan laju pertumbuhan total kegiatan
(PDRB) wilayah referensi.

Keterangan; ΔEiR adalah perubahan pendapatan kegiatan i di wilayah


referensi, EiR(t) adalah pendapatan kegiatan i awal periode penelitian di
wilayah referensi, ΔER adalah perubahan PDRB di wilayah referensi; ER(t)
adalah PDRB pada awal penelitian wilayah referensi.
 Jika nilai RPR > 1 Þ positif (+), artinya menunjukkan bahwa pertumbuhan
suatu sektor tertentu dalam wilayah referensi lebih tinggi dari pertumbuhan
PDRB total wilayah referensi.

13
 Jika nilai RPR < 1 Þ negatif (‐), artinya menunjukkan bahwa pertumbuhan
suatu sektor tertentu dalam wilayah referensi lebih kecil dari pertumbuhan
PDRB total wilayah referensi.

(2) Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPS).


RPS adalah perbandingan antara laju pertumbuhan kegiatan i wilayah studi
dengan laju pertumbuhan kegiatan i wilayah referensi.

Keterangan; ΔEij adalah perubahan pendapatan kegiatan i di wilayah studi,


Eij(t) adalah pendapatan kegiatan i pada awal periode penelitian wilayah
studi, ΔEiR adalah perubahan pendapatan kegiatan i di wilayah referensi,
EiR(t) adalah pendapatan kegiatan i awal periode penelitian di wilayah
referensi.
Jika nilai RPs >1 Þ positif (+), artinya menunjukkan bahwa pertumbuhan
sektor pada tingkat wilayah studi lebih tinggi dibandingkan dengan
pertumbuhan sektor pada wilayah referensi.
Jika nilai RPs <1 Þ negatif (‐), artinya pertumbuhan suatu sektor pada tingkat
wilayah studi lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan sektor
tersebut pada wilayah referensi.

Hasil dari analisis MRP ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut:


Klasifikasi 1, yaitu nilai RPR (+) dan RPS (+) berarti kegiatan tersebut pada
tingkat provinsi mempunyai pertumbuhan yang menonjol dan
demikian pula pada tingkat kabupaten.Kegiatan ini selanjutnya
disebut dominan pertumbuhan.
Klasifikasi 2, yaitu nilai RPR (+) dan RPS (‐) berarti kegiatan tersebut pada
tingkat provinsi mempunyai pertumbuhan menonjol, namun
pada tingkat kabupaten belum menonjol.
Klasifikasi 3, yaitu nilai RPR (‐) dan RPS (+) berarti kegiatan tersebut pada
tingkat provinsi mempunyai pertumbuhan tidak menonjol
sementara pada tingkat kabupaten termasuk menonjol.

14
Klasifikasi 4, yaitu nilai RPR (‐) dan RPS (‐) berarti kegiatan tersebut pada
tingkat provinsi dan pada tingkat kabupaten mempunyai
pertumbuhan rendah.

E. Analisis Klassen Typology


Analisis Klassen Typology digunakan untuk melihat gambaran tentang pola
dan struktur pertumbuhan masing‐masing sektor ekonomi. Gambaran
tentang pola dan struktur pertumbuhan daerah ini, dapat dipergunakan
untuk memperkirakan prospek pertumbuhan ekonomi daerah pada masa
mendatang. Selain itu, hal tersebut juga dapat dipergunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam menentukan kebijaksanaan pembangunan daerah.
Menurut Tipologi daerah, daerah dibagi menjadi 4 klasifikasi, yaitu:
Daerah cepat maju dan cepat tumbuh adalah daerah yang memiliki laju
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang lebih tinggi dari rata‐
rata wilayah.
Daerah maju tapi tertekan adalah daerah yang memiliki pendapatan
perkapita yang lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih
rendah dari rata‐rata.
Daerah berkembang cepat adalah daerah yang memiliki tingkat
pertumbuhan, tetapi tingkat perkapita lebih rendah dari rata‐rata.
Daerah Relatif tertinggal adalah daerah yang memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita yang rendah. Dalam
analisis terdapat empat klasifikasi sektor‐sektor ekonomi yang mempunyai
karakteristik yang berbeda yaitu, sektor tumbuh cepat (rapid growth sector),
sektor tertekan (retarded sector), sektor sedang tumbuh (growing sector),
sektor relatif tertinggal (relatively backward sector) yang dapat dilihat pada
Tabel dibawah ini.

15
Tabel 1 Klasifikasi Sektor Ekonomi menurut Klassen Typology
yi > y yi < y
ri > r Sektor maju dan tumbuh Sektor berkembang
cepat cepat
ri < r Sektor maju tetapi tertekan Sektor relatif
tertinggal
Sumber: Syafrizal (1997)

Keterangan: ri adalah laju pertumbuhan sektor i, r adalah laju pertumbuhan


PDRB, yi adalah kontribusi sektor i terhadap PDRB, y adalah kontribusi rata‐
rata sektor terhadap PDRB.

2.6. Analisis Sebaran Ketersediaan dan Kebutuhan Sarana dan Prasarana


Analisis kebutuhan sarana dan prasarana dilakukan untuk mengetahui :
 Kondisi dan pelayanan sarana dan prasarana kawasan;
 Potensi dan kendala peningkatan pelayanan.
Sarana dan prasarana yang dimaksudkan di sini adalah: transportasi,
telekomunikasi, energi, pengairan, dan prasana pengelolaan lingkungan. Seluruh
kebutuhan sarana dan prasarana ini disesuaikan dengan kebutuhan perkembangan
kawasan untuk masa 5 tahun ke depan menurut hasil proyeksi penduduk. Alur
analisis sarana dan prasarana.
Pada dasarnya analisis kebutuhan sarana dan prasarana akan terkait erat
dengan beberapa hal yaitu: jumlah penduduk dan hasil proyeksinya, standar jumlah
minimal kebutuhan akan fasilitas yang dimaksud, dan standard kebutuhan ruang
untuk masing-masing sarana/prasarana. Pada kajian ini ditampilkan beberapa
contoh teknik perhitungan kebutuhan sarana dan prasarana kawasan.

16
Gambar 3 Alur Analisis Sarana Prasarana

A. Sistem Penyediaan Air Bersih


Salah satu contoh formula perhitungan kebutuhan sarana dan prasarana
wilayah adalah kebutuhan akan air bersih pada suatu wilayah. Analisis
kebutuhan air bersih dilakukan dengan menghitung tingkat ketersediaan
sumber air bersih dengan proyeksi kebutuhan akan air bersih untuk jangka
waktu 5 tahun ke depan. Tingkat ketersediaan air bersih didekati dari sisi
jumlah sumber mata air, danau, dan keberadaan badan air (sungai dan atau
anak sungai) dengan asumsi sungai tersebut kondisinya masih layak untuk
dijadikan sebagai sumber air bersih. Debit ketersediaan air bersih dari
sumber air didekati dengan perhitungan :
Qtot = (n1 A1 V1) + (n2 A2 V2) +(n3 A3 V3) +…..+ (nn An Vn)

Dengan :
Qtot = debit air total dari semua sumber air yang ada;
nn = jumlah sumber air yang ada untuk satu sumber (mis sungai,
danau dll);
AnVn = debit air untuk masing-masing sumber air.
Sedangkan proyeksi kebutuhan akan air bersih dihitung berdasarkan hasil
proyeksi penduduk, dengan rincian kebutuhan untuk fasilitas umum dan

17
kebutuhan domestik. Besaran perkiraan kebutuhan air dilakukan dengan
menghitung jumlah konsumen (masyarakat, perkantoran, fasilitas ibadah,
fasilitas pendidikan, perdagangan dll) dikalikan dengan standar kebutuhan
air bersih untuk masing-masing konsumen.
Perkiraan Kebutuhan air bersih = (Kf+Kd)

Dengan :
Kf = proyeksi kebutuhan air bersih untuk berbagai fasilitas yang
didapat dengan cara mengalikan standard kebutuhan (antara
80 L/hr/orang – 120 L/hr/orang) dengan banyaknya fasilitas
dan banyaknya orang yang terdapat pada fasilitas tersebut.
Kd = proyeksi kebutuhan air domestik untuk rumah tangga.
Diperoleh dengan cara mengalikan standar kebutuhan (antara
60 L/hr/orang – 80 L/hr/orang) dengan besarnya jumlah
penduduk pada suatu peruntukan tertentu.
Penilaian cakupan pelayanan (CP) dan kebutuhan pengembangan system.

(jumlah SR x jiwa/rumah) + (jumlah HU x jiwa/HU)


CP = x 100
Jumlah penduduk
Perhitungan kebutuhan air didasarkan kepada :
 Jumlah penduduk dan proyeksi di daerah bersangkutan;
 Jenis kawasan dan luasnya;
 Rencana cakupan pelayanan dan jenis sambungan berdasarkan minat
dan kemampuan penduduk daerah pelayanan;
 Kebutuhan per orang per hari;
 Jumlah jiwa/rumah;
 Target cakupan yang akan dipenuhi;
 Kebutuhan khusus kawasan potensial.

18
B. Sistem Pengelolaan Air Limbah
Penilaian Cakupan Pelayanan (CP).
Jumlah Prasarana (i) Jumlah Pemakai /Prasarana
CP = x 10
Jumlah Penduduk

C. Sistem Pengelolaan Persampahan


Penilaian Cakupan Pelayanan.
Volume sampah terangkut (m3)
CP = x 100%
Volume timbulan sampah (m3)

D. Model Pemenuhan Pelayanan Fasilitas


Perkiraan kebutuhan fasilitas sosial dan ekonomi kota dilakukan dengan
melihat skala pelayanan faslilitas dengan proyeksi jumlah penduduk
kawasan. Selisih antara perkiraan kebutuhan fasilitas dengan kondisi
eksisting merupakan rencana penambahan fasilitas sosial dan ekonomi kota.
Standar-standar yang dipergunakan untuk memperkirakan kebutuhan
fasilitas sosial dan ekonomi adalah :

Gambar 4 Model Pemenuhan Pelayanan Fasilitas

Tingkat pelayanan fasilitas umum diukur dengan cara mengkaji kemampuan


suatu jenis fasilitas dalam melayani kebutuhan penduduknya. Dalam hal ini,

19
fasilitas umum yang memiliki tingkat pelayanan 100% mengandung arti
bahwa fasilitas tersebut memiliki kemampuan pelayanan yang sama dengan
kebutuhan penduduknya. Untuk mengetahui kelengkapan fasilitas umum
suatu bagian wilayah, dihitung tingkat pelayanannya dengan menggunakan
rumus :

d ij b j
TP  X 100 %
Cis

dimana :
 TP = tingkat pelayanan fasilitas i di kawasan j
 dij = jumlah fasilitas i di kawasan j
 bij = jumlah penduduk di kawasan j
 Cis = jumlah fasilitas i persatuan penduduk menurut standar
penentuan fasilitas untuk kawasan

Dengan perhitungan ini, dapat diketahui tingkat pelayanan setiap fasilitas,


kecuali untuk fasilitas peribadatan, dimana perbedaan terletak pada jumlah
penduduk pada kawasan yang diamati, yaitu bj diganti oleh jumlah penduduk
menurut agama.

2.7. Analisis Penguasaan Tanah


Analisis penggunaan lahan dilakukan untuk mengetahui bentuk-bentuk
penguasaan, penggunaan, dan kesesuaian pemanfaatan lahan untuk kegiatan budi
daya dan lindung yang merujuk pada kebijakan-kebijakan terkait serta daya dukung
sarana dan prasarana serta utilitas.
Dari hasil analisis ini dapat diketahui besaran fluktuasi intensitas kegiatan di
suatu kawasan, perubahan dan perluasan fungsi kawasan, okupansi kegiatan tertentu
terhadap kawasan, benturan kepentingan lintas kabupaten/kota maupun
kepentingan sektoral dalam pemanfaatan ruang, kenderungan pola perkembangan
kawasan budi daya, dan pengaruhnya terhadap perkembangan kegiatan sosial
ekonomi serta kelestarian lingkungan.

20
Analisis yang berdasarkan kondisi fisik dan lingkungan ini bertujuan untuk
mengenali karakteristik sumber daya alam, dengan menelaah kemampuan dan
kesesuaian lahan, agar penggunaan lahan dalam pengembangan wilayah dapat
dilakukan secara optimal degan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem.
Analisis kemampuan lahan diperoleh dari analisis Satuan Kemampuan Lahan
(SKL) yang bersumber dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
20/PRT/M/2007 tentang Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi
serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang.
Analisis Kesesuaian Lahan sendiri mengacu kepada hasil analisis
kemampuan lahan, Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Budidaya, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya.
Untuk menghasilkan analisis kemampuan dan kesesuaian lahan, digunakan teknik
overlay / superimpose peta, yaitu yang sering dan baik digunakan dalam
perencanaan tata guna lahan / landscape. Teknik ini dibentuk melalui pengunaan
secara secara tumpang tindih (seri) suatu peta yang masing-masing mewakili faktor
penting lingkungan atau lahan. Pendekatan teknik overlay efektif digunakan untuk
seleksi dan identifikasi dari berbagai jenis dampak yang muncul. Kekurangan dari
teknik ini adalah ketidakmampuan dalam kuantifikasi serta identifikasi dampak
(relasi) pada tingkat sekunder dan tersier. Perkembangan teknik overlay saat ini
mengarah pada teknik komputerisasi melalui berbagai software baik yang sifatnya
open source seperti QGis ataupun ArcGIS.

21
Gambar 5 Visualisasi Overlaying Maps Menggunakan GIS

2.8. Analisis sitem pusat-pusat permukiman


Untuk melihat kondisi dan tingkat pelayanan prasarana dan sarana bagi
kebutuhan aktivitas penduduk dalam menunjang fungsi dan peran kawasan di wilayah
perkotaan, dilakukan analisis terhadap jenis dan kapasitas sarana prasarana wilayah
perencanaan dalam memberikan pelayanan, jangkauan dan tingkat skala
pelayanannya.
Dengan informasi tersebut, diharapkan dapat diformulasikan kondisi kawasan
terutama menyangkut interaksi, keserasian dan keterpaduan pengembangan kawasan
perkotaan, antara pengembangan pusat kota dan pusat-pusat aktivitas maupun
wilayah pengaruhnya. Formulasi kondisi kawasan tersebut mencakup permasalahan,
potensi, peluang, serta tantangan yang ada maupun kecenderungan yang akan datang.
A. Analisis Sistem Permukiman
Analisis sistem permukiman bertujuan memahami kondisi, jumlah, jenis,
letak, ukuran, dan keterkaitan antar pusat-pusat permukiman di kawasan
perencanaan. Penggambaran sistem permukiman dapat berupa hirarki dan
fungsi kawasan permukiman.
Analisis lainnya adalah analisis kecenderungan pertumbuhan pusat
permukiman. Analisis ini untuk mengidentifikasi pertumbuhan pusat

22
permukiman yang cepat perkembangannya, dan kaitannya dengan
pemanfaatan lahan. Untuk itu akan dilakukan analisis terhadap hirarki pusat-
pusat permukiman. Ada 3 (tiga) parameter yang digunakan yaitu faktor
lokasi, rangking pusat permukiman dan kelengkapan sarana dan prasarana.
Faktor lokasi dianalisis secara deskriptif kualitatif. Rangking pusat
permukiman akan dianalisis dengan menggunakan perumusan Rank Size :
Po
n =
Pn
 Po = Pusat permukiman dengan jumlah penduduk tertinggi
 Pn = Pusat permukiman dengan jumlah penduduk ke n
 n = rank pusat permukiman

B. Metode Skalogram Guttman


Metode Skalogram Guttman merupakan perangkat grafis dan non statistik
yang menyusun fungsi pusat-pusat berdasarkan frekuensi keberadaan fungsi
dan urutan kompleksitas fungsi pusat dalam sebuah matriks. Informasi/data
yang dibutuhkan untuk membuat skalogram ini adalah :
 Hasil analisis identifikasi sentra-sentra permukiman,
 Jumlah penduduk setiap pusat yang teridentifikasi,
 Peta yang menggambarkan lokasi pusat-pusat tersebut,
 Inventarisasi data yang menunjukkan ada atau tidaknya fungsi-fungsi
(jasa pelayanan, organisasi, fasilitas umum, infrastruktur, aktivitas
ekonomi) pada setiap pusat.

C. Model Aksesibilitas
Model ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mengukur tingkat aksesibilitas
penduduk di berbagai zona di dalam wilayah perencanaan terhadap fungsi
tertentu. Selanjutnya model ini akan dipergunakan pula untuk meng strategi
investasi untuk meningkatkan akses fisik, baik dengan meningkatkan
pelayanan transportasi maupun menempatkan fungsi-fungsi tersebut di
tempat yang baru. Prosedur penerapan model ini adalah sebagai berikut :
 mengidentifikasi zona-zona dan pusatnya,

23
 mengidentifikasi rute transpor antar pusat zona,
 menghitung jarak / waktu tempuh setiap rute,
 menghitung indeks kemudahan perjalanan dengan rumus :
Aij = ( Nkj / Tik )
di mana :
Nkj = jumlah fungsi j di zona k,
Tik = jarak/waktu tempuh dari zona i ke zona k.
 berikan bobot fungsi sesuai dengan tingkat kepentingannya,
 hitung bobot penduduk, dengan asumsi bahwa lokasi fungsi yang
menjangkau lebih banyak penduduk, lebih baik daripada yang
menjangkau lebih sedikit penduduk,
 indeks aksebilitas total, Ai untuk setiap zona dihitung dengan rumus :
Ai ij * Wj )
 menghitung indeks aksebilitas, A(P)i, untuk setiap zona dan fungsi
dengan rumus :
A(P)i = Ai * Pj = E (Aij * Wj * Pj )

2.9. Analisis Lingkungan Hidup


Urutan muatan dimulai dari inventarisasi potensi, identifikasi peran, dan
perhitungan nilai ekonomi untuk meng-assess potensi ekonomi dan resiko.

24
Gambar 6 Kerangka Metodologi

Nilai Total Ekonomi (Total Economic Value/TEV) merupakan kerangka


penilaian yang biasa digunakan untuk nilai utilitarian ekosistem. Use value
merupakan nilai jasa ekosistem yang digunakan oleh manusia untuk tujuan
konsumsi atau produksi. Jasa ini terdiri dari jasa ekosistem yang terlihat
(tangible) maupun tidak (intangible) yang digunakan secara langsung atau pun
tidak langsung, serta jasa yang berpotensi akan memiliki use value di masa
depan. Non-use value dikenal sebagai nilai keberadaan, dimana manusia
memberikan nilai untuk mengetahui keberadaan suatu sumberdaya walaupun
mereka tidak menggunakan sumberdaya tersebut secara langsung.

25
Gambar 7 Kerangka Penilaian

1. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)


𝐻′ = ∑ 𝑃𝑖 (𝐿𝑛 𝑃𝑖)
H’: Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
Pi : Jumlah individu spesiesn dibagi total individu seluruh spesies

26
2. Perhitungan daya dukung penyediaan pangan
1. Proyeksikan jumlah penduduk hingga 20 tahun dari tahun baseline dengan
menggunakan metode proyeksi eksponensial
2. Hitung ketersediaan beras
𝐾𝑒𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠
= 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 + 𝑝𝑟𝑎𝑘𝑖𝑟𝑎𝑎𝑛 𝑐𝑎𝑑𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 + 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑟𝑎𝑠𝑡𝑟𝑎
+ 𝑛𝑒𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑜𝑟𝑡
3. Hitung indikator kinerja, asusmsikan yang dapat digunakan adalah 70% dari
total ketersediaan beras
𝐼𝑛𝑑𝑖𝑘𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑖𝑛𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 = 70% ∗ 𝐾𝑒𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠
4. Hitung kebutuhan beras perbulan dengan cara mengalikan jumlah penduduk
dengan kebutuhan beras/kap/bulan
5. Bandingkan jumlah indikator kinerja total masing-masing kecamatan dengan
total kebutuhan beras masing-masing kecamatan untuk mengetahui daya
dukung pangan tersebut
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑘𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑖𝑛𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛𝑛
𝐷𝐷𝐷𝑇 = 𝑥100%
𝑘𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑏𝑢𝑎𝑛𝑙𝑎𝑛𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛𝑛

6. Analisis kondisi hasil perhitungan DDDT

7. Penghitungan Biomassa Tegakan Pohon


Alometri untuk hutan/lahan yang didominasi pohon (Chave et al., 2005),
berdasarkan curah hujan daerah studi

27
Alometri untuk jenis tumbuhan khusus (Hairiah et al., 2011)

Biomassa dan Simpanan Karbon

8. Daya Dukung Air


Keberhasilan pelayanan air bersih sangat tergantung pada keandalan sumber air
baku baik kualitas air maupun Kontinuitas sumber air, hal ini Karena data hujan
dan data debit berkarakteristik acak (random variabel) sehingga dalam

28
menentukan ketersediaan air di sungai diperlukan serangkaian analisa
hidrologi.

Gambar 8 Fenomena Acak Dan Stokastik Komponen Siklus Hidrologi

Gambar 9 Diagram Penentuan Daya Dukung Air

9. Daya Tampung Air


Klasifikasi mutu air berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 pasal 8 ayat 1 diterapkan
menjadi 4 (empat) kelas yaitu sebagai berikut :
1. Kelas satu, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk air baku air minum,
dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan
kegunaan tersebut.
2. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana atau
prasarana rekreasi air, pembudidayaan ikan tawar, peternakan, air untuk
mengairi tanaman dan peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut.

29
3. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan
air tawar, peternakan, air untuk mengairi tanaman dan peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
4. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakana untuk mengairi
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut.

INDEKS PENCEMARAN (IP)


Sumitomo dan Nemerow (1970), Universitas Texas, A.S., mengusulkan suatu
indeks yang berkaitan dengan senyawa pencemar yang bermakna untuk
suatu peruntukan. Indeks ini dinyatakan sebagai Indeks Pencemaran
(Pollution Index) yang digunakan untuk menentukan tingkat pencemaran
relatif terhadap parameter kualitas air yang diizinkan (Nemerow, 1974).
Pengelolaan kualitas air atas dasar Indeks Pencemaran (IP) ini dapat
memberi masukan pada pengambil keputusan agar dapat menilai kualitas
badan air untuk suatu peruntukan serta melakukan tindakan untuk
memperbaiki kualitas jika terjadi penurunan kualitas akibat kehadiran
senyawa pencemar.
PIj = (C1/L1j, C2/L2j, ……Ci/Lij)
Jika Lij menyatakan konsentrasi parameter kualitas air yang dicantumkan
dalam Baku Peruntukan Air (j),
Dan Ci menyatakan konsentrasi parameter kualitas air (i) yang diperoleh
dari hasil analisis cuplikan air pada suatu lokasi pengambilan cuplikan dari
suatu alur sungai,
Maka PIj adalah Indeks Pencemaran bagi peruntukan (j) yang merupakan
fungsi dari Ci/Lij.

 Tiap nilai Ci/Lij menunjukkan pencemaran relatif yang diakibatkan


oleh parameter kualitas air. Nisbah ini tidak mempunyai satuan.
 Nilai Ci/Lij = 1,0 adalah nilai yang kritik, karena nilai ini diharapkan
untuk dipenuhi bagi suatu Baku Mutu Peruntukan Air.

30
 Jika Ci/Lij >1,0 untuk suatu parameter, maka konsentrasi parameter
ini harus dikurangi atau disisihkan, kalau badan air digunakan untuk
peruntukan (j).

Evaluasi terhadap nilai PI adalah :

0 ≤ PIj ≤ 1,0 : memenuhi baku mutu (kondisi baik)


1,0 < PIj ≤ 5,0 : cemar ringan
5,0 < PIj ≤ 10 : cemar sedang
PIj > 10 : cemar berat

2.10. Analisis Pengurangan Risiko Bencana


Kajian risiko bencana (risk) didasarkan pada analisis terhadap variabel
bahaya (hazard), variabel kerentanan (vulnerability), dan variabel kapasitas
(capacity). Interaksi dari variabel-variabel tersebut dapat menempatkan suatu
wilayah dan masyarakat di dalamnya pada satu tingkatan risiko yang berbeda-beda.
Hubungan ketiga variabel tersebut dituliskan dalam persamaan sebagai berikut:
𝑩𝒂𝒉𝒂𝒚𝒂 𝒙 𝑲𝒆𝒓𝒆𝒏𝒕𝒂𝒏𝒂𝒏
𝑹𝒊𝒔𝒊𝒌𝒐 =
𝑲𝒂𝒑𝒂𝒔𝒊𝒕𝒂𝒔
Dari persamaan itu dapat dibaca bahwa risiko bencana alam adalah faktor-
faktor bahaya yang sifatnya niscaya dan di luar kontrol manusia bertemu dengan
faktor-faktor kerentanan yang merupakan manifestasi dari aktivitas manusia.

31
Risiko bencana dapat dikurangi dengan cara meningkatkan kapasitas baik yang
bersifat fisik (rekayasa tata ruang kawasan, pembangunan struktur/bangunan yang
mengurangi dampak atau yang adaptif terhadap bahaya geologi, dan lain
sebagainya) maupun non-fisik (masyarakat yang teredukasi, aparat yang kompeten,
dan lain-lain).

Analisis Overlay
Analisis overlay merupakan metode umum yang digunakan untuk seluruh analisis,
baik itu analisis kerawanan, analisis kerentanan maupun analisis risiko bencana.
Analisis ini menggunakan beberapa parameter secara bersamaan.

Pembobotan dan Skoring


Karena setiap parameter memiliki tingkat pengaruh
yang berbeda-beda dalam suatu proses, maka
dilakukan terlebih dahulu pembobotan dan skoring.
Pembobotan dapat dilakukan secara objektif dengan
melakukan perhitungan statistik (misalnya dengan
menggunakan metode berpasangan atau analityc
hierarchy process) atau bisa pula secara subyektif
dengan menetapkan bobot berdasarkan pertimbangan
tertentu yang dilandasi pemahaman mengenai
seberapa signifikan suatu parameter memberikan
pengaruh terhadap sebuah proses.

Skoring adalah pemberian angka terhadap tiap-tiap


kelas pada suatu parameter. Pemberian skor
didasarkan pada pengaruh kelas tersebut terhadap
kejadian. Pemberian nilai pada setiap parameter
berkisar antara 1 sampai dengan 5.

Penentuan Interval Klasifikasi


Penentuan interval untuk klasifikasi hasil analisis bisa menggunakan metode equal
interval atau standar deviasi. Untuk metode equal interval, maka penentuan kelas
adalah sama dengan skor total dibagi rata ke dalam 5 bagian yang sama. Sementara
untuk metode standar deviasi digunakan klasifikasi sebagaimana berikut:

32
Kelas Hasil Analisis Kriteria
3
Sangat Tinggi > 𝑥̅ + 𝛿𝑥
2
1 3
Tinggi 𝑥̅ + 𝛿𝑥 s/d 𝑥̅ + 𝛿𝑥
2 2
1 1
Sedang 𝑥̅ − 𝛿𝑥 s/d 𝑥̅ + 𝛿𝑥
2 2
3 1
Rendah 𝑥̅ − 𝛿𝑥 s/d 𝑥̅ − 𝛿𝑥
2 2
3
Sangat Rendah < 𝑥̅ − 𝛿𝑥
2

Di mana: 𝑥̅ = Rata-rata skor total


𝛿𝑥 = Standar deviasi

A. Analisis Bahaya/Kerawanan
Variabel Bahaya adalah berbagai informasi terkait dengan lokasi-lokasi
potensial bahaya atau ancaman yang berada di wilayah Kabupaten. Berdasarkan
catatan BNPB, maka di Kabupaten terdapat 7 tipe bahaya yang pernah dan
berpotensi untuk terjadi, yaitu: Banjir, Tanah Longsor, Gelombang Pasang/Abrasi,
Puting Beliung, Kekeringan, Gempa Bumi, dan Tsunami.
1. Analisis Rawan Banjir
Banjir adalah proses penggenangan air pada permukaan tanah yang biasanya
kering. Beberapa faktor penyebab banjir, antara lain:
 Kondisi meteorologis (intensitas dan distribusi curah hujan serta frekuensi dan
lamanya hujan);
 Karakteristik fisik wilayah, yang terdiri dari: topografi, kemiringan lereng, tingkat
kerapatan sungai, tekstur tanah dan tutupan lahan.
Untuk menentukan zona rawan banjir di wilayah perencanaan ditetapkan 5 (lima)
parameter dengan bobot dan nilai masing-masing sesuai dengan tingkat signifikansi
pengaruhnya terhadap peluang keterjadian banjir, yaitu sebagai berikut:
a. Curah Hujan; yaitu jumlah air presipitasi yang turun pada suatu daerah dalam
kurun waktu tertentu. Semakin tinggi curah hujannya maka semakin besar
peluang terjadinya banjir, begitu pula sebaliknya. Data curah hujan yang
digunakan adalah rata-rata hujan bulanan atau tahunan yang dibagi ke dalam 3
atau 5 kelas. Curah hujan diasumsikan sebagai faktor yang paling menentukan
dalam keterjadian banjir, sehingga diberikan bobot paling besar.

33
b. Kemiringan Lereng; merupakan perbandingan persentase antara jarak vertikal
(tinggi lahan) dengan jarak horizontal (panjang lahan datar). Semakin landai
kemiringan lereng suatu wilayah maka semakin tinggi peluang terjadinya banjir.
Kemiringan lereng dibagi ke dalam 5 (lima) kelas mengacu pada
pengklasifikasian yang dimuat dalam Pedoman Penyusunan Pola Rehabilitasi
Lahan dan Konservasi Tanah, 1986.
c. Tingkat Kerapatan Sungai; kerapatan aliran adalah panjang aliran sungai per-
kilometer persegi luas DAS. Semakin besar nilai Dd semakin baik sistem
pengaliran (drainase) di daerah tersebut. Artinya, semakin besar jumlah air
larian total (semakin kecil infiltrasi) dan semakin kecil air tanah yang tersimpan
di daerah tersebut (Matondang, J.P., 2013).
Dd = ΣLn /A
Dd : kerapatan aliran (km/km2)
Ln : panjang sungai (km)
A : luas DAS (km2)
Lynsley (1975) menyatakan bahwa jika nilai kerapatan aliran lebih kecil dari 1
mile/ mile2 (0,62 Km/ Km2), DAS akan mengalami penggenangan, sedangkan
jika nilai kerapatan aliran lebih besar dari 5 mile/mile2 (3,10 Km/ Km2), DAS
sering mengalami kekeringan.
d. Tekstur Tanah; jenis tanah pada suatu daerah sangat berpengaruh dalam
proses penyerapan air atau proses infiltrasi. Semakin besar daya serap atau
infiltrasinya terhadap air maka tingkat kerawanan banjirnya akan semakin kecil.
Begitu pula sebaliknya, semakin kecil daya serap atau infiltrasinya terhadap air
maka semakin besar potensi kerawanan banjirnya (Matondang, J.P., 2013).
Secara garis besar, tekstur tanah berpasir akan lebih mudah menyerap air
dibandingkan tanah dengan besar butir yang lebih halus, khususnya lempung
yang cenderung kedap air.
e. Tutupan Lahan; tutupan lahan berperan pada tingkat air limpasan yang
dihasilkan hujan. Pada lahan yang dipenuhi oleh vegetasi maka air hujan akan
lebih banyak terinfiltrasi serta lebih banyak waktu yang dibutuhkan oleh air
limpasan untuk sampai ke sungai. Dengan demikian peluang terjadinya banjir
lebih kecil daripada daerah yang kurang vegetasi.

34
Tabel 2 Parameter Pembentuk Bahaya Banjir
No Parameter Bobot Variabel
1 Curah Hujan 30% Sangat Lebat
Lebat
Sedang
Ringan
Sangat Ringan
2 Kemiringan Lereng 10% Mendatar
Landai
Agak Curam
Curam
Terjal
3 Tingkat Kerapatan Sungai 15% < 0,62
0,62 – 1,44
1,44 – 2,27
2,27 – 3,10
> 3,10
4 Tekstur Tanah 20% Lempung
Pasir Lempungan
Pasir
5 Tutupan Lahan 25% Permukiman
Tubuh air, sawah
Ladang, kebun, tegalan
Lahan terbuka, semak belukar
Hutan

2. Analisis Rawan Tanah Longsor


Bahaya tanah longsor dibuat berdasarkan pengklasifikasian zona kerentanan
gerakan tanah yang dikeluarkan oleh PVMBG dan dikoreksi dengan kemiringan
lereng di atas 15%. Bagi wilayah kabupaten/kota yang belum memiliki zona
kerentanan gerakan tanah, bahaya tanah longsor dibuat dengan mengacu pada RSNI
Penyusunan dan Penentuan Zona Kerentanan Gerakan Tanah yang dikeluarkan oleh
PVMBG (2015).

35
Gambar 10 Diagram alir proses analisis rawan tanah longsor

Zona Kerentanan
DEM
Gerakan Tanah

Analisis Kemiringan
Penilaian Kelas
Lereng

Delineasi Daerah
Bahaya

Nilai Kelas/Nilai
Kelas Max.

Indeks Bahaya

(Sumber: Buku Risiko Bencana Indonesia BNPB, 2017)

Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 22 Tahun 2007, longsor


didefinisikan sebagai suatu proses perpindahan massa tanah/batuan dengan arah
miring dari kedudukan semula, sehingga terpisah dari massa yang mantap, karena
pengaruh gravitasi, dengan jenis gerakan berbentuk rotasi dan translasi. Masih
dalam peraturan yang sama disebutkan pula bahwa pada umumnya kawasan rawan
bencana longsor merupakan kawasan dengan curah hujan rata-rata yang tinggi (di
atas 2500 mm/tahun), kemiringan lereng yang curam (lebih dari 40%), dan/atau
kawasan rawan gempa.
Dalam peraturan tersebut juga daerah rawan longsor dibagi ke dalam 3 zonasi.
Zonasi tersebut adalah daerah/kawasan yang rawan terhadap bencana longsor
dengan kondisi terrain dan kondisi geologi yang sangat peka terhadap gangguan
luar, baik yang bersifat alami maupun aktivitas manusia sebagai faktor pemicu
gerakan tanah, sehingga berpotensi terjadinya longsor.
a. Zona Tipe A; Zona berpotensi longsor pada daerah lereng gunung, lereng
pegunungan, lereng bukit, lereng perbukitan, dan tebing sungai dengan
kemiringan lereng lebih dari 40%, dengan ketinggian di atas 2000 meter di atas
permukaan laut. Tanah penutup bersifat lolos air (permeable) dengan ketebalan

36
lebih dari 2 meter dengan batuan dasar keras (tipe batuan beku atau produk
gunung api).
b. Zona Tipe B; Zona berpotensi longsor pada daerah kaki gunung, kaki
pegunungan, kaki bukit, kaki perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan
lereng berkisar antara 21% sampai dengan 40%, dengan ketinggian 500 meter
sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut. Kondisi tanah (atau batuan)
penyusun lereng umumnya merupakan lereng yang tersusun dari tanah
lempung yang mudah mengembang apabila jenuh air.
c. Zona Tipe C; Zona berpotensi longsor pada daerah dataran tinggi, dataran
rendah, dataran, tebing sungai, atau lembah sungai dengan kemiringan lereng
berkisar antara 0% sampai dengan 20%, dengan ketinggian 0 sampai dengan
500 meter di atas permukaan laut.
Gambar 11 Tipologi Zona Berpotensi Longsor Berdasarkan Hasil Kajian
Hidrogeomorfologi

(Sumber: Permen PU No. 22 Tahun 2007)

Dari pengertian-pengertian tersebut bisa ditarik kesimpulan, beberapa faktor yang


mendorong terjadinya tanah longsor, antara lain: curah hujan; kemiringan lereng,
kegempaan, kondisi tanah dan batuan, serta penggunaan lahan.

Tabel 3Parameter Penyusun Peta Bahaya Tanah Longsor


Parameter Kelas Bobot Parameter Kelas Bobot

15 - 30 % Aluvial
Kemiringan 30 - 50 % Tipe Batuan Sedimen 20
30
Lereng 50 - 70 % Vulkanik/Malihan
> 70% > 400 m 5

37
Parameter Kelas Bobot Parameter Kelas Bobot

Jarak 300 - 400 m > 90 cm


terhadap 200 - 300 m < 2000 mm
Curah Hujan
Patahan 100 - 200 m 2000 - 3000 mm 20
Tahunan
Aktif 0 - 100 m > 3000 mm
Berpasir Permukiman
Tekstur
Berliat - Berpasir 10 Lahan terbuka, tambang
Tanah Tutupan
Berliat Ladang, sawah, tegalan 10
Lahan
< 30 cm Kebun, Semak Belukar
Ketebalan
30 - 60 cm 5 Hutan
Tanah
60 - 90 cm

3. Analisis Gempa Bumi


Pemetaan bahaya gempabumi dibuat berdasarkan nilai percepatan getaran
tanah maksimum (peak ground acceleration/PGA) yaitu nilai terbesar percepatan
tanah pada suatu tempat akibat getaran gempa bumi dalam periode waktu tertentu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya nilai percepatan tanah pada suatu
tempat, antara lain adalah magnitudo gempa, kedalaman hiposenter, jarak episenter
dan kondisi tanah. Nilai percepatan tanah dapat diketahui melalui dua cara yaitu
pengukuran menggunakan alat ukur percepatan tanah atau akselerograf dan
pendekatan secara empiris (Linkemer, 2008). Beberapa metode yang biasa dipakai
untuk menghitung nilai percepatan tanah secara empiris yaitu metode McGuire,
Fukushima-Tanaka, Donovan, dan Esteva (Edwiza dan Novita, 2008).
Metode Fukushima-Tanaka diperoleh menggunakan 1.372 komponen percepatan
tanah maksimum horizontal dari 28 gempa di Jepang dan 15 gempa yang terjadi di
Amerika. Metode ini banyak diterapkan di wilayah Jepang dengan persamaan
sebagai berikut.
𝒍𝒐𝒈(𝑷𝑮𝑨) = 𝟎, 𝟒𝟏𝑴𝒔 − 𝒍𝒐𝒈( 𝑹 + 𝟎, 𝟎𝟑𝟐 × 𝟏𝟎𝟎,𝟒𝟐𝑴𝒔 − 𝟎, 𝟎𝟎𝟑𝟒𝑹 + 𝟏, 𝟑𝟎
Di mana PGA merupakan nilai percepatan tanah maksimum (gal), M S adalah
Magnitudo permukaan, dan R adalah jarak hiposenter (km).
Data magnitudo gempa dihimpun dari situs USGS untuk rentang waktu sampai
dengan seratus 100 tahun di sekitar wilayah perencanaan. Untuk membatasi data,
maka kriteria data yang dihimpun adalah yang nilai magnitudonya 4,5 ke atas.
Selanjutnya data tersebut diplotkan pada peta, sehingga menghasilkan peta sebaran
historis kejadian gempa. Kemudian dibuat grid per-interval jarak tertentu (misal

4
1x1 km atau per-30 menit) pada wilayah perencanaan. Jarak antara koordinat
episenter ke masing- masing koordinat titik grid dihitung menggunakan persamaan.
∆𝟐 = (𝑿𝟐 − 𝑿𝟏 )𝟐 + (𝒀𝟐 − 𝒀𝟏 )𝟐
Di manaΔ adalah jarak episenter ke koordinat daerah perhitungan (km), X adalah
lintang daerah perhitungan (derajat), dan Y merupakan bujur daerah perhitungan
(derajat). Jarak hiposenter dari setiap titik grid ke sumber gempa dihitung dengan
persamaan.
𝑹 = ∆𝟐 + 𝒉
Di mana R adalah jarak hiposenter (km), Δ adalah jarak episenter ke koordinat
daerah perhitungan (km), dan h adalah kedalaman gempa (km).
Nilai PGA dapat dikonversi ke dalam skala Modified Mercalli Intensity (MMI)
menggunakan persamaan.

MMI = 2,86 log(PGA) +1,24


Untuk klasifikasi tingkat bahaya gempa mengacu pada Perka BNPB No. 2 Tahun
2012.
KELAS TINGKAT RISIKO
Rendah Sedang Tinggi
PGA < 0,2501g 0,2501g < PGA < 0,70g PGA > 0,701g

B. Analisis Kerentanan
Dalam Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia
atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau
ancaman. Kerentanan ini dapat berupa:
1. Kerentanan Fisik
Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya tahan
fisik lingkungan menghadapi bahaya tertentu, misalnya: tingkat ketahanan
bangunan rumah bagi masyarakat yang berada di daerah rawan gempa,
ketersediaan tanggul pengaman banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran
sungai dan sebagainya.

39
Kerentanan fisik terdiri dari parameter rumah, fasilitas umum dan fasilitas kritis.
Jumlah nilai rupiah rumah, fasilitas umum, dan fasilitas kritis dihitung berdasarkan
kelas bahaya di area yang terdampak.

Tabel 4 Parameter Penyusun dan Skoring Kerentanan Fisik


Bobot Kelas
Parameter Skor
(%) Rendah Sedang Tinggi
Rumah 40 <400 jt 400 – 800 jt >800 jt
Fasilitas
30 <500 jt 500 jt – 1 M >1 M Kelas/Nilai
Umum
Max Kelas
Fasilitas
30 <500 jt 500 jt – 1 M >1 M
Kritis
(Sumber: Perka BNPB No. 2 Tahun 2012)

Distribusi spasial nilai rupiah untuk parameter rumah dan fasilitas umum dianalisis
berdasarkan sebaran wilayah pemukiman seperti yang dilakukan untuk
analisis kerentanan sosial. Masing-masing parameter dianalisis dengan
menggunakan metode skoring sesuai Perka BNPB No. 2 Tahun 2012 untuk
memperoleh nilai skor kerentanan fisik.

Gambar 12 Diagram alir proses pemetaan kerentanan fisik

Jumlah unit Batas


Sebaran
parameter Administrasi
Permukiman
per-Desa Desa

Analisisis sebaran jumlah unit Analisis sebaran


parameter fisik di wilayah permukiman per-
permukiman per-Desa Desa

Justifikasi nilai
rupiah setiap unit
fisik Skor Kerentanan
Fisik

Skoring parameter

(Sumber: Buku Risiko Bencana Indonesia BNPB, 2017)

40
2. Kerentanan Ekonomi
Kerentanan ekonomi terdiri dari parameter konstribusi PDRB dan lahan produktif.
Nilai rupiah lahan produktif dihitung berdasarkan nilai konstribusi PDRB pada
sektor yang berhubungan dengan lahan produktif (seperti sektor pertanian) yang
dapat diklasifikasikan berdasarkan data penggunaan lahan. Nilai rupiah untuk
parameter ekonomi dihitung berdasarkan persamaan berikut:
𝑃𝐿𝑃𝑡𝑜𝑡−𝑖
𝑅𝐿𝑃𝑖 = × 𝐿𝐿𝑃𝑑𝑒𝑠𝑎−𝑖 ... (1)
𝐿𝐿𝑃𝑡𝑜𝑡−𝑖
𝑅𝑃𝑃𝐾𝐾
𝑅𝑃𝑃𝑑𝑒𝑠𝑎−𝑖 = × 𝐿𝐷𝑖 ... (2)
𝐿𝐾𝐾

Di mana:
RLPi : nilai rupiah lahan produktif kelas penggunaan lahan ke-i di tingkat
Desa/Kelurahan
PLPtot-i : nilai total rupiah lahan produktif berdasarkan nilai rupiah sektor ke-i di
tingkat Kabupaten/Kota
LLPtot-i : luas total lahan produktif ke-i di tingkat Kabupaten/Kota
LLPdesa-i : luas lahan produktif ke-i di tingkat Desa/Kelurahan
RPPdesa-i : nilai rupiah PDRB sektor di desa ke-i
RPPKK : nilai rupiah PDRB sektor di tingkat Kabupaten/Kota
LKK : luas wilayah Kabupaten/Kota
LDi : luas Desa/Kelurahan ke-i
Masing-masing parameter dianalisis dengan menggunakan metode skoring sesuai
Perka BNPB No. 2 Tahun 2012 untuk memperoleh nilai skor kerentanan ekonomi.
Tabel 5 Parameter Penyusun dan Skoring Kerentanan Ekonomi
Bobot Kelas
Parameter Skor
(%) Rendah Sedang Tinggi
Lahan
60 <50 jt 50 – 200 jt >200 jt Kelas/Nilai
produktif
Max Kelas
PDRB 40 <100 jt 100 – 300 jt >300 jt
(Sumber: Perka BNPB No. 2 Tahun 2012)

41
Gambar 13 Diagram alir proses pemetaan kerentanan ekonomi
Wilayah
Kelas Penggunaa
Administrasi Data PDRB
Bahaya (x) n Lahan
Desa

Reklasifikasi Lahan
Produktif

Justifikasi nilai Estimasi nilai


rupiah lahan rupiah di tingkat
produktif Desa

Overlay
Skoring Skoring
Skor x Bobot

Skor Kerentanan
Ekonomi

(Sumber: Buku Risiko Bencana Indonesia BNPB, 2017)

3. Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap
ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang risiko
bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian pula tingkat
kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan tingginya kerentanan
terhadap bahaya.
Mengacu pada Perka BNPB No. 2 Tahun 2012 Indikator yang digunakan untuk
kerentanan sosial adalah kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio
kemiskinan, rasio orang cacat dan rasio kelompok umur. Indeks kerentanan sosial
diperoleh dari rata-rata bobot kepadatan penduduk (60%), kelompok rentan (40%)
yang terdiri dari rasio jenis kelamin (10%), rasio kemiskinan (10%), rasio orang
cacat (10%) dan kelompok umur (10%).
Pendistribusian nilai parameter sosial dapat dilakukan dengan menggunakan
persamaan berikut (Khomaruddin et al, 2010):
𝑋𝑑 = ∑𝑛𝑖=1 𝑃𝑖 ... (1)
𝑃𝑖 = ∑𝑛𝑖=1 𝑃𝑖𝑗 ... (2)
𝑆𝑖𝑗
𝑃𝑖𝑗 = ∑𝑘 × 𝑋𝑑 ... (3)
𝑖,𝑗=1 𝑆𝑖𝑗

42
Di mana:
Xd : jumlah populasi di dalam unit administrasi;
Pi : jumlah populasi di dalam pemukiman ke-i;
Pij : jumlah populasi di polygon ke-j di dalam pemukiman ke-i;
Sij : polygon ke-j di dalam pemukiman ke-i di dalam unit administrasi;
n : jumlah polygon di dalam pemukiman di dalam unit administrasi

Tabel 6 Parameter Penyusun dan Skoring Kerentanan Sosial


Bobot Kelas
Parameter
(%) Rendah Sedang Tinggi
1 Kepadatan Penduduk (jiwa/ha) 60 <5 05-Oct > 10
2 Kelompok Rentan
a. Rasio Jenis Kelamin (10%) > 40 20 - 40 < 20
b. Rasio Kelompok Umur Rentan (10%)
c. Rasio Penduduk Miskin (10%) 40
< 20 20 - 40 > 40
d. Rasio Penduduk Cacat (10%)
(Sumber: Perka BNPB No. 2 Tahun 2012)

Secara spasial, masing-masing nilai parameter didistribusikan di wilayah


pemukiman per-desa/kelurahan dalam bentuk grid raster (piksel) berdasarkan
acuan data WorldPop atau metode dasimetrik yang telah berkembang. Setiap piksel
merepresentasikan nilai parameter sosial (jumlah jiwa) di seluruh wilayah
pemukiman.

Gambar 14 Diagram alir proses pemetaan kerentanan sosial

Data Batas
Sebaran
jumlah jiwa Administrasi
Permukiman
per-Desa Desa

Analisa sebaran Analisa sebaran


jumlah jiwa di wilayah permukiman per-
permukiman per-Desa Desa

Analisa sebaran Skor Kerentanan


permukiman per- Sosial
Desa

(Sumber: Buku Risiko Bencana Indonesia BNPB, 2017)

43
4. Kerentanan Lingkungan
Kerentanan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor ekologis yang
menunjang kelestarian lingkungan hidup. Merujuk pada Perka BNPB No. 2 Tahun
2012, indikator yang digunakan untuk kerentanan lingkungan adalah tipe tutupan
lahan yang berupa hutan lindung, hutan alam, hutan bakau/mangrove, rawa dan
semak belukar.

Tabel 7 Parameter Penyusun dan Skoring Kerentanan Lingkungan


Bobot Kelas
Parameter Skor
(%) Rendah Sedang Tinggi
Hutan Lindung <20 ha 20 – 50 ha >50 ha
Hutan Alam Disesuaikan <25 ha 25 – 75 ha >75 ha
Kelas/Nilai
Hutan dengan tipe
<10 ha 10 – 30 ha >30 ha Max Kelas
Bakau/Mangrove bahaya
Semak Belukar <10 ha 10 – 30 ha >30 ha
(Sumber: Perka BNPB No. 2 Tahun 2012)

Gambar 15 Diagram alir proses pemetaan kerentanan lingkungan

Administrasi
Kelas Tutupan
Wilayah
Bahaya (x) Lahan
(Desa)

Reklasifikasi dan
Kategorisasi Parameter
Lingkungan

Justifikasi Luas Parameter


Lingkungan di Tingkat
Desa

Skor Kerentanan
Skoring Parameter Lingkungan

(Sumber: Buku Risiko Bencana Indonesia BNPB, 2017)

C. Indeks Kerentanan
Dalam Buku Risiko Bencana Indonesia (BNPB, 2017), indeks kerentanan
masing-masing ancaman diperoleh dari hasil penggabungan skor kerentanan sosial,

44
fisik, dan ekonomi dengan menggunakan bobot masing-masing komponen
kerentanan sebagai berikut:
Gempabumi : IKG=(IKS x 40%)+(IKF x 30%)+(IKE x 30%)
Tsunami : IKT=(IKS x 40%)+(IKF x 25%)+(IKE x 25%)+(IKL x 10%)
Gunungapi : IKLGA=(IKS x 40%)+(IKF x 25%)+(IKE x 25%)+(IKL x 10%)
Banjir : IKB=(IKS x 40%)+(IKF x 25%)+(IKE x 25%)+(IKL x 10%)
Tanah Longsor : IKTL=(IKS x 40%)+(IKF x 25%)+(IKE x 25%)+(IKL x 10%)
Kekeringan : IKK=(IKS x 50%)+(IKE x 40%)+(IKL x 10%)
KarlaHut : IKKLH=(IKE x 40%)+(IKL x 60%)
Cuaca Ekstrim : IKCE=(IKS x 40%)+(IKF x 30%)+(IKE x 30%)
Gel. Ekstrim & Abrasi : IKGEA=(IKS x 40%)+(IKF x 25%)+(IKE x 25%)+(IKL x 10%)
Banjir Bandang : IKBB=(IKS x 40%)+(IKF x 25%)+(IKE x 25%)+(IKL x 10%)

Di mana:
IKG = Indeks Kerentanan Gempabumi
IKT = Indeks Kerentanan Tsunami
IKLGA = Indeks Kerentanan Letusan Gunungapi
IKB = Indeks Kerentanan Banjir
IKTL = Indeks Kerentanan Tanah Longsor
IKK = Indeks Kerentanan Kekeringan
IKKLH = Indeks Kerentanan Kebakaran Lahan & Hutan
IKCE = Indeks Kerentanan Cuaca Ekstrim
IKGEA = Indeks Kerentanan Gel. Ekstrim & Abrasi
IKBB = Indeks Kerentanan Banjir Bandang
IKS = Indeks Kerentanan Sosial
IKF = Indeks Kerentanan Fisik
IKE = Indeks Kerentanan Ekonomi
IKL = Indeks Kerentanan Lingkungan

D. Analisis Kapasitas
Yang dimaksud dengan kapasitas meliputi sumber daya manusia, sumber daya
keuangan, sumber daya fisik, sumber daya sosial dan kelembagaan.
Sedikitnya ada 5 (lima) indikator yang dapat dijadikan ukuran kapasitas, yaitu:
1. Aturan dan kelembagaan;
2. Sumber daya finansial;

45
3. Sistem peringatan dini, jalur dan tempat evakuasi;
4. Kelompok sosial dan relawan terlatih;
5. Pembangunan kesiapsiagaan telah ada pada setiap lini.
Dalam Buku Juknis Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (Dirjen Cipta
Karya Kemen-terian Pekerjaan Umum, 2013) analisis kapasitas menggunakan basis
kelurahan/desa karena sumber daya yang ada bisa dimobilisasi untuk upaya
pengurangan risiko bencana. Berdasarkan pengukuran indikator pencapaian
ketahanan atau kapasitas suatu daerah maka dapat dibagi tingkat kapasitas ke
dalam 5 tingkatan, yaitu:
1. Level 1 (kapasitas sangat rendah)
Kelurahan/Daerah telah memiliki pencapaian-pencapaian kecil dalam upaya
PRB dengan melaksanakan beberapa tindakan maju dalam rencana-rencana
atau kebijakan upaya PRB.
2. Level 2 (kapasitas rendah)
Kelurahan/Daerah telah melaksanakan beberapa tindakan PRB dengan
pencapaian-pencapaian yang masih bersifat sporadis yang disebabkan belum
adanya komitmen kelembagaan dan/atau kebijakan sistematis.
3. Level 3 (kapasitas sedang)
Komitmen pemerintah dan beberapa kelompok/organisasi tekait PRB di suatu
daerah telah tercapai dan didukung dengan kebijakan sistematis, namun capaian
yang diperoleh dengan komitmen dan kebijakan tersebut dinilai belum
menyeluruh hingga masih belum cukup berarti untuk mengurangi dampak
negatif dari bencana.
4. Level 4 (kapasitas tinggi)
Dengan dukungan komitmen serta kebijakan yang menyeluruh dalam PRB
disuatu daerah telah memperoleh capaian-capaian yang berhasil, namun diakui
ada masih keterbatasan dalam komitmen, sumberdaya finansial ataupun
kapasitas operasional dalam pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana di
daerah tersebut.
5. Level 5 (kapasitas sangat tinggi)
Capaian komprehensif telah dicapai dengan komitmen dan sumberdaya yang
memadai disemua tingkat komunitas dan jenjang pemerintahan.

46
E. Analisis Risiko Bencana
Analisis risiko bencana dilakukan dengan teknik superimpose, yakni dengan
cara meng-overlay atau menampalkan peta-peta bahaya dengan peta-peta
kerentanan, sebagaimana diilustrasikan dalam bagan berikut.

Gambar 16 Alur Pembuatan Peta Risiko Bencana dengan Teknik Superimposed

(Sumber: University of Twente, 2014)

2.11. Analisis Kemampuan Keuangan Daerah


A. Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi merupakan bagian penting dari terselenggaranya
pembangunan nasional mengingat kondisi daerah yang beraneka ragam.
Desentralisasi diwujudkan dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang
diberikan pemerintah kepada daerah otonom1. Analisis yang digunakan
untuk mengukur derajat otonomi fiskal daerah adalah apa yang dinamakan
dengan “administrative independency ratio” yaitu rasio antara PAD dengan
total penerimaan APBD. Derajat desentralisasi fiskal adalah kemampuan

1
Mega Sistiana & M. Hadi Makmur, Derajat Desentralisasi Fiskal Daerah Kabupaten/Kota, Jurnal Ilmu
Administrasi Negara, Volume 12, Nomor 4, Januari 2014.

47
pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli daerah
guna membiayai pembangunan.

𝑃𝐴𝐷
𝐷𝑒𝑟𝑎𝑗𝑎𝑡 𝐷𝑒𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝐹𝑖𝑠𝑘𝑎𝑙 = × 100%
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ

Menurut hasil temuan tim KKPFE UGM (dalam Hanafi,dkk. 2009), untuk
menentukan tolak ukur Derajat Desentralisasi Fiskal Daerah dapat dilihat
dari Tabel di bawah ini.

Tabel 8 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal


Derajat Desentralisasi Fiskal
No. Keterangan
DDF (%)
1 0,00 – 10,00% Sangat kurang
2 10,01 – 20,00% Kurang
3 20,01 - 30,00% Sedang
4 30,01 - 40,00% Cukup
5 40,01 – 50,01% Baik
6 >50,00% Sangat baik
Sumber : Sumber: Tim Litbang Depdagri – Fisipol UGM, 1991.

Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal menggambarkan besarnya campur


tangan pemerintah pusat dalam pembangunan daerah yang menunjukkan
tingkat kesiapan pemerintah daerah dalam melaksanakan otonomi daerah.
Semakin tinggi rasio Derajat Desentralisasi Fiskal, maka semakin tinggi pula
kemampuan keuangan daerah dalam mendukung otonomi daerah.
Menurut Bisma (2010) disebutkan bahwa tingkat Desentralisasi Fiskal
adalah ukuran untuk menunjukkan tingkat kewenangan dan tanggung jawab
yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk
melaksanakan pembangunan.

B. Rasio Ketergantungan Keuangan Daerah


Rasio ketergantungan keuangan daerah dihitung dengan cara
membandingkan jumlah pendapatan transfer yang diterima oleh
penerimaan daerah dengan total penerimaan daerah. Semakin tinggi rasio ini

48
maka semakin besar tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap
pemerintah pusat atau pemerintahan provinsi . Rasio ini dirumuskan sebagai
berikut :
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑓𝑒𝑟
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐾𝑒𝑡𝑒𝑟𝑔𝑎𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 = × 100%
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ

Berikut ini kriteria rasio ketergantungan keuangan daerah berdasarkan Tim


Litbang Depdagri–Fisipol UGM, 1991.

Tabel 9 Kriteria Penilaian Ketergantungan Keuangan Daerah


Kriteria Penilaian
No. Keterangan
(Skala Inverval)
1 0,00 – 10,00% Sangat Rendah
2 10,01 – 20,00% Rendah
3 20,01 - 30,00% Sedang
4 30,01 - 40,00% Cukup
5 40,01 – 50,01% Tinggi
6 >50,00% Sangat Tinggi
Sumber : Sumber: Tim Litbang Depdagri – Fisipol UGM, 1991.

C. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah


Rasio Kemandirian Keuangan Daerah menunjukkan tingkat kemampuan
suatu daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintah, pembangunan
dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi
sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian
ditunjukkan oleh besarnya pendapatan asli daerah dibandingkan
dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber lain
(pihak ekstern) antara lain : Bagi hasil pajak, Bagi hasil Bukan Pajak Sumber
Daya Alam, Dana Pusat Alokasi Umum dan Dana Pusat Alokasi Khusus, Dana
Pusat Darurat dan Dana Pusat Pinjaman (Widodo, 2001 : 262).
𝑃𝐴𝐷
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐾𝑒𝑚𝑎𝑛𝑑𝑖𝑟𝑖𝑎𝑛 = × 100%
(𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑓𝑒𝑟 𝑃𝑢𝑠𝑎𝑡 + 𝑃𝑟𝑜𝑣𝑖𝑛𝑠𝑖 + 𝑃𝑖𝑛𝑗𝑎𝑚𝑎𝑛)
Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap
sumber Dana Pusat ekstern. Semakin tinggi resiko kemandirian mengandung
arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak ekstern
semakin rendah dan demikian pula sebaliknya. Rasio kemandirian juga

49
menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan
daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi
masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan
komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat
membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa tingkat
kesejahteraan masyarakat semakin tinggi. Berikut ini kriteria rasio
kemandirian keuangan daerah berdasarkan Tim Litbang Depdagri–Fisipol
UGM.
Tabel 10 Kriteria Penilaian Kemandirian Keuangan Daerah
No. Skala Interval (%) Keterangan
1 0,00 – 10,00% Sangat kurang
2 10,01 – 20,00% Kurang
3 20,01 - 30,00% Sedang
4 30,01 - 40,00% Cukup
5 40,01 – 50,01% Baik
6 >50,00% Sangat baik
Sumber : Sumber: Tim Litbang Depdagri – Fisipol UGM, 1991.

D. Analisis Pendapatan Daerah Perkapita


Pendapatan daerah per kapita ditampilkan dalam bentuk rasio yang
menunjukkan ukuran riil dari besarnya pendapatan daerah dibagi dengan
jumlah penduduk yang harus dilayani oleh Pemerintah daerah. Semakin
besar jumlah penduduk, maka semakin besar pula beban yang harus
ditanggung oleh pemerintah daerah. Adapun rumus dalam menghitung
pendapatan daerah per kapita adalah sebagai berikut :

E. Analisis Rasio Pajak (Tax Ratio)


Kebijakan pajak daerah yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009
mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menerapkan pendekatan
closed list untuk jenis pajak daerah yang dapat dikelola oleh pemerintah
provinsi dan pemerintah kabupaten dan kota. Dalam hal ini, pemerintah
kabupaten dan kota diberi kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak.
Salah satu kebijakan baru dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah adanya

50
PBB-P2 dan BPHTB dari pusat ke daerah. Dengan adanya pengalihan
kewenangan pemungutan kedua pajak tersebut kepada daerah, diharapkan
akan menambah peluang bagi daerah untuk melakukan pemungutan secara
lebih optimal.
Rasio pajak merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan jumlah
penerimaan pajak daerah dengan PDRB suatu wilayah dalam satu tahun.
Rasio pajak dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat
dalam :
1. Membayar pajak;
2. Mengukur kinerja perpajakan;
3. Melihat potensi pajak yang dimiliki.
PDRB sangat erat kaitannya dengan pajak daerah karena dapat
menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi
daerah baik, tentunya akan menjadi potensi penerimaan pajak di wilayah
tersebut. PDRB yang akan digunakan dalam analisis ini adalah PDRB atas
dasar harga berlaku yang merupakan nilai tambah barang dan jasa yang
dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun. Nilai PDRB ini pada
umumnya digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi yang
terjadi di suatu wilayah.Adapun rumus yang digunakan dalam menghitung
rasio pajak tersebut adalah :

F. Analisis Pajak Per Kapita (Tax per Capita)


Pajak per kapita (tax per capita) memang belum banyak digunakan dalam
menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai sumber Pendapatan Daerah.
Namun, pajak per kapita dapat digunakan sebagai alternatif alat hitung
efektifitas pemungutan pajak daerah.
Pajak per kapita merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak
yang dihasilkan suatu daerah dengan jumlah penduduknya, yang berarti pula
menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada pajak daerah. Adapun rumus
dari perhitungan pajak per kapita adalah sebagai berikut :

51
G. Ruang Fiskal (Fiscal Space)
Ruang fiskal (fiscal space) merupakan konsep untuk mengukur fleksibilitas
yang dimiliki Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan APBD untuk
membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang
fiskal yang dimiliki suatu daerah, maka akan semakin besar pula fleksibilitas
yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan belanjanya
pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah, misal: pembangunan
infrastruktur daerah.
Stephen S. Heller (IMF Policy Discussion Paper, 2005) mengemukakan bahwa
Ruang Fiskal dapat didefinisikan sebagai ketersediaan ruang yang cukup
pada anggaran pemerintah untuk menyediakan sumber daya tertentu dalam
rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengancam kesinambungan posisi
keuangan pemerintah.
Ruang fiskal daerah diperoleh dengan menghitung total pendapatan daerah
dikurangi dengan pendapatan hibah, pendapatan yang sudah ditentukan
penggunaannya (earmarked) yaitu DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana
Penyesuaian serta Dana Darurat, dan belanja yang sifatnya mengikat, yaitu
Belanja Pegawai dan Belanja Bunga, dan selanjutnya dibagi dengan total
pendapatannya.
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar
anggaran digunakan untuk belanja rutin (Belanja Pegawai). Idealnya porsi
belanja rutin lebih kecil dari Belanja Modal. Memperbesar ruang fiskal
daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi stimulus
perekonomian daerah. Pemerintah Daerah diharapkan dapat membuat
kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif.
Selain itu, efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran di daerah juga dapat
mendukung terciptanya ruang fiskal. Dengan ruang fiskal yang tersedia,
diharapkan pemerintah daerah dapat mengalokasikan belanjanya pada

52
kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah dan mempunyai daya
ungkit (leverage) yang tinggi bagi perekonomian daerahnya.

3. Analisis Struktur Ruang dan Pola Ruang


A. Analisis Struktur Ruang
Setiap wilayah memiliki berbagai upaya perencanaan tersendiri guna
memenuhi kebutuhan masyarakatnya, termasuk dalam penyediaan sarana
penunjang hidup mereka.Struktur ruang eksisting dianalisis dengan tahap-tahap
sebagai berikut:
1. Analisis Rank Size Rule
Analisis Rank Size Rule digunakan untuk mengetahui tingkat atau ranking pada
suatu keadaan di suatu wilayah. Tahapan analisis adalah sebagai berikut:
- Menetapkan rank kecamatan berdasarkan jumlah penduduk dari
yang terbesar hingga yang terkecil
- Menentukan interval dengan rumus sebagai berikut:

Pn =
Keterangan:
Pn : Jumlah penduduk yang ingin diketahui sesuai dengan
ranknya
P1 : Jumlah penduduk terbanyak
N : Rank kecamatan yang ditetapkan
2. Analisis Skalogram (Guttman) dan Indeks Sentralitas (Marshall)
Penentuan hirarki pelayanan dapat dilakukan dengan menggunakan
metode analisis Skalogram, yaitu dengan menggunakan unsur fasilitas
pelayanan seperti: pendidikan, peribadatan, kesehataan, jasa, dan
fasilitas lainnya.
Skalogram diperoleh dengan cara membuat suatu tabel yang
mengurutkan keberadaan fasilitas suatu wilayah yang diidentifikasi
sebagai pusat pelayanan. Prosedur pengerjaan metode Skalogram adalah
sebagai berikut (Pardede, 2008): a. Membuat urutan fasilitas yang
ditemukan berdasarkan frekuensi yang ditemukan

53
a) Membuat garis baris dan kolom sehingga lembar kerja tersebut membentuk
matriks yang menampilkan fasilitas yang ada pada masing-masing pusat pelayanan
atau kota.
b) Menggunakan tanda (1) pada sel yang menyatakan keberadaan suatu fasilitas, dan
tanda (0) pada sel yang menyatakan ketiadaan suatu fasilitas.
c) Menyusun ulang baris dan kolom berdasarkan frekuensi keberadaan fasilitas,
semakin banyak fasilitas yang didapati pada suatu pemukiman maka pemukiman
tersebut berada pada urutan atas.
d) Mengidentifikasi peringkat atau hirarki pemukiman yang dapat diinterpretasikan
berdasarkan prosentase keberadaan fasilitas pada suatu pemukiman. Semakin
tinggi prosentasenya, maka hierarki pemukiman tersebut akan semakin tinggi.
Rumus yang digunakan dalam penghitungan pembobotan dalam
skalogram adalah:

C=
Keterangan:
C = nilai bobot dari fungsi
t = nilai indeks tertinggi standar
T = banyaknya fasilitas yang tersedia di suatu wilayah

Tabel 11 Matriks Analisis Skalogram


Indeks
Fasilitas
No. Kecamatan
1 2 3 4

1 X 1 1 0 1
2 Y 1 1 1 0
3 Z 1 1 0 0
Jumlah 3 3 1 1
Sentralitas 100 100 100 100
Bobot

54
Analisis indeks sentralitas dilakukan untuk mengetahui hirarki pelayanan
berdasarkan hasil analisis skalogram. Hirarki ditentukan berdasarkan total indeks
sentralitas setelah sebelumnya dibuat rentang (range) dengan menggunakan rumus
Sturgess. Dari hasil total indeks sentralitas yang telah direntang, diperoleh hirarki
tiap kecamatan yaitu Hirarki I (primer), Hirarki II (sekunder) dan Hirarki III
(tersier), yang akan menghasilkan Peta Struktur Ruang Eksisting.

3. Perbandingan dengan Rencana Struktur Ruang Kabupaten


Peta Struktur Ruang eksisting dibandingkan dengan Peta Rencana Struktur
Ruang Kabupaten untuk menemukan potensi dan masalah terkait.
4. Pemetaan struktur ruang wilayah kabupaten mengikuti
ketentuan sebagai berikut:
a) Rencana struktur ruang wilayah kabupaten harus menggambarkan rencana
struktur ruang wilayah nasional dan wilayah provinsi yang ada di wilayah
kabupaten;
b) Sistem perkotaan dan sistem prasarana utama digambarkan pada satu lembar
peta wilayah kabupaten secara utuh;
c) Sistem prasarana wilayah lainnya digambarkan pada satu lembar peta wilayah
kabupaten secara utuh atau dapat digambarkan pada peta tersendiri;
d) Sistem perkotaan yang terdiri atas PKN, PKW, PKL, PKSN, PPK, dan PPL
digambarkan dengan simbol.
e) Sistem jaringan prasarana jalan harus digambarkan mengikuti terase jalan
yang sebenarnya;
f) Notasi penggambaran rencana struktur ruang wilayah kabupaten harus
mengikuti RTRWN dan peraturan perundangan-undangan terkait pemetaan
rencana tata ruang.

B. Analisis Pola Ruang

Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk

55
fungsi budi daya. Pada analisis pola ruang ini bertujuan untuk mengetahui apakah
kawasan tersebut termasuk kedalam kawasan fungsi lindung atau budidaya
sehingga dalam pengembangannya dapat sesuai dengan fungsi yang ada dan tidak
melanggar perundang-undangan yang telah ditetapkan.
Dalam rencana pola ruang mengacu pada klasifikasi pola ruang wilayah
kabupaten yang terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagai
berikut:
1) Kawasan lindung , yang terdiri atas:
a) Kawasan hutan lindung;
b) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya, kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya
meliputi:
c) Kawasan suaka alam
d) Kawasan rawan bencana alam
e) Kawasan lindung geologi, meliputi: kawasan cagar alam geologi,
f) Kawasan rawan bencana alam geologi, dan kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap air tanah; dan
2) Kawasan lindung lainnya
3) Kawasan budidaya yang terdiri atas:
a. Kawasan peruntukan hutan produksi
b. Kawasan hutan rakyat.
c. Kawasan peruntukan pertanian
d. Kawasan peruntukan perkebunan
e. Kawasan peruntukan perikanan
f. Kawasan peruntukan pertambangan
g. Kawasan peruntukan industri
h. Kawasan peruntukan pariwisata
i. Kawasan peruntukan permukiman

56
4) Ketentuan pemetaan pola ruang wilayah kabupaten sebagai
berikut:
1. Rencana pola ruang wilayah kabupaten harus menggambarkan
rencana pola ruang wilayah nasional dan rencana pola ruang wilayah
provinsi yang ada di wilayah kabupaten;
2. Rencana pola ruang wilayah kabupaten harus menggambarkan
delineasi arahan peruntukan ruang pemetaan rencana pola ruang
wilayah kabupaten harus mengikuti ketentuan sistem informasi
geografis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang;
3. Pemetaan rencana pola ruang wilayah kabupaten perlu memuat
sistem jaringan prasarana utama (jalan) dan sungai;
4. Deliniasi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang dipetakan
dalam rencana pola ruang kabupaten dirinci sesuai dengan kawasan
peruntukannya;
5. Rencana pola ruang wilayah kabupaten meliputi wilayah
administrasi kabupaten
6. Notasi penggambaran rencana pola ruang wilayah kabupaten harus
mengikuti RTRWN dan peraturan perundangan-undangan terkait
dengan pemetaan rencana tata ruang

C. Perumusan Konsep dan Strategi


Dalam penyusunan konsep dan strategi dalam analisis wilayah
menggunakan tahapan sebagai berikut:
1. Penyusunan Dasar Pertimbangan
Analisis dasar pertimbangan diperoleh dengan mempertimbangkan
kebijakan,
teori pengembangan wilayah dan potensi masalah. Hasil analisis ini akan
menjadi dasar pertimbangan untuk merumuskan konsep dan strategi
pengembangan.
2. Tujuan Pengembangan Wilayah
Analisis tujuan yang diperoleh dengan cara mempertimbangkan isu

57
pengembangan serta kebijakan terkait. Tujuan yang dianalisis akan menjadi
acuan dalam penyusunan konsep dan strategi pengembangan Kabupaten
Cianjur Bagian Tengah.
3. Kebijakan Pengembangan Wilayah
Kebijakan penataan ruang wilayah merupakan arah tindakan yang
harus
ditetapkan untuk mencapai tujuan penataan ruang wilayah.
4. Penyusunan Konsep dan Strategi
Penyusunan konsep dan strategi pengembangan wilayah mengacu
pada tujuan dan kebijakan pengembangan wilayah dengan melihat dasar
pertimbangan wilayah.
Arahan Perumusan Konsep Dan Strategi Pengembangan

1 Rumuskan permasalahan yang ditemui melalui analisisi hubungan antara :


Struktur - Pola Ruang – Tingkat Perkembangan Wilayah (TINGKAT
PERKEMBANGAN WILAYAH DIPENGARUHI OLEH STRUKTUR DAN POLA
RUANG EKSISTING)
2 Rumuskan kesimpulan :
a. Bagaimana hubungan antara perkembangan wilayah dengan struktur
dan pola ruang eksisting
Tingkat perkembangan Struktur ruang Pola Ruang
wilayah

b. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan wilayah :


 Struktur ruang : konsentrasi penduduk, sarana dan prasarana
serta transportasi-sistem kota-kota (hirarki dan fungsi)dan
sistem prasarana
 Pola ruang : fisik, penggunaan lahan dan ekonomi

Gunakan peta overlay antara tingkat perkembangan wilayah, struktur dan


pola ruang

c. Untuk meningkatkan perkembangan wilayah maka harus dilakukan


perbaikan terhadap struktur dan pola ruang melalui KONSEP DAN
STRATEGI PENGEMBANGAN (lihat pedoman)

58
3. Rumuskan keterkaitan

No Permasalahan Tujuan Rumusan Konsep Rumusan Strategi


Perkembangan Wilayah Pengembangan Pengembangan Ruang Pengembangan
dan Faktor yang (memecahkan (mewujudkan tujuan (pendetilan konsep
Mempengaruhi permasalahan pengembangan wilayah) pengembangan
(termasuk juga struktur pengembangan) ruang)
dan pola ruang nya)
Ketidakmerataan ? Mewujudkan A. Konsep Struktur Ruang Strategi
pemerataan ?? Konsep Struktur Ruang Pengembangan
Eksternal : Struktur
Konsep struktur ruang Ruang :
internal a. Sistem Kota-
Perkembangan wilayah Mewujudkan a. Pengembangan sistem Kota
yang rendah ? pertumbuhan kota-kota (termasuk b. Sistem
perkembangan pembagian WP) Infrastruktur
wilayah ? b. Pengembangan sistem
Dipengaruhi oleh : infrastruktur Strategi
Belum maksimalnya Pengembangan Pola
fungsi sistem kota : B. Konsep Pola Ruang : Ruang
Keterbatasan keterkatian Pengembangan kawasan
sistem kota2 ?? lindung dan budidaya
Keterbatasan fungsi
kota-kota ?
Keterbatasan sarana dan
prasarana ???

Hasilkan peta konsep struktur ruang (eksternal dan internal) dan pola ruang

4. Rencana Kerja Penyusunan Revisi RTRW


Rencana kerja disusun untuk dapat melaksanakan rangkaian kegiatan dengan
baik guna pencapaian sasaran yang tepat serta untuk mendapatkan hasil
pelaksanaan pekerjaan dengan mutu yang baik dengan mengacu pada KAK yang
telah ditetapkan di dalam pekerjaan, maka diperlukan jadwal pelaksanaan
pekerjaan yang tepat. Dengan penyusunan jadwal rencana kerja ini selain sebagai
acuan dalam melaksanakan kegiatan juga sebagai fungsi kontrol jika terjadi deviasi
dalam pelaksanaan kegiatan sehingga dengan cepat dapat dicari penyebab dan
solusi pemecahannya.

59
Tahap persiapan merupakan tahap awal yang dilakukan dalam pelaksanaan
pekerjaan, baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Adapun tahap persiapan
yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Perumusan metodologi pelaksanaan pekerjaan, rencana pelaksanaan
pekerjaan, serta rencana pengumpulan data dan dokumen yang diperlukan;
2. Melakukan kajian awal terhadap konsep berdasarkan kajian literatur yang
ada serta kajian terhadap karakteristik Kawasan;
3. Melakukan inventarisasi objek pemantauan;
4. Menyiapkan dokumen persuratan dan administratif dalam rangka
koordinasi dengan stakeholder/pemangku kepentingan di pusat dan daerah;
dan
5. Menyiapkan perangkat lunak atau program yang berbasis Sistem Informasi
Geografis (SIG)/ Peta .

A. Koordinasi
Koordinasi dilakukan dengan pihak terkait dalam proses pengumpulan data dan
informasi, terutama dengan pihak Pemerintah Daerah. Koordinasi dengan
Pemerintah Daerah dengan menjelaskan data dan informasi yang dibutuhkan
terdiri atas :
1. Dokumen rencana tata ruang dan peta rencana tata ruang yang sudah
disahkan oleh peraturan pemerintah atau peraturan daerah mulai dari
tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Dokumen tersebut meliputi:
Rencana Umum (RTRW) dan Rencana rinci (RDTR dan Peraturan Zonasi)
yang disesuaikan dengan kebutuhan pada masing-masing jenjang
pemerintahan;
2. Dokumen Tata Ruang lainnya;
3. Peta Tata Ruang;

B. Survey dan Pengumpulan Data


Tahap survey dan pengumpulan data dilakukan dalam rangka proses pemantauan
langsung kepada objek yang bersangkutan, yaitu :

60
1. Melakukan pengumpulan data sekunder dari instansi dan/atau pemangku
kepentingan terkait;
2. Melakukan pengumpulan data primer melalui survey lapangan dan
konsultasi dengan perangkat daerah yang terkait;
3. Melakukan pemantauan yang berbasis peta.

C. Analisis
Setelah data dan informasi terkumpul, selanjutnya dilakukan analisa dalam
penyusunan RTRW Kabupaten yang bertujuan untuk dapat memberi arahan bagi
pengembangan kabupaten, sesuai dengan karakteristik dan fungsi yang
ditetapkannya, untuk mendukung terwujudnya tata ruang berkelanjutan dan
mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
D. Diskusi
Kegiatan diskusi dilakukan dalam rangka penguatan kegiatan untuk menggali
materi / data lebih dalam serta forum penyepakatan atas materi yang telah disusun.
Kegiatan diskusi meliputi penyelenggaraan rapat koordinasi didaerah dengan
perangkat daerah terkait, dalam rangka menjaring saran dan masukan serta
klarifikasi terhadap hasil.

61
Tabel 12 Waktu Penyelesaian Pekerjaan RTRW Kabupaten
BULAN 1 BULAN 2 BULAN 3 BULAN 4 BULAN 5 BULAN 6
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
No Kegiatan
ke- ke- ke- ke- ke- ke-
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 TAHAP PERSIAPAN
a Koordinasi dan mobilisasi
b penyusunan rencana kerja
c Penyusunan metodologi pelaksanaan pekerjaan
d Penyusunan jadwal pelaksanaan kegiatan
e Kajian literatur
f FGD 1 Kabupaten (Konfirmasi dan Klarifikasi Data)
g Penyerahan rencana mutu kontrak
h Pembahasan dan penyerahan laporan pendahuluan
2 TAHAP PENGUMPULAN DATA
a Pengumpulan Data Primer
- Aspirasi masyarakat
- Kondisi fisik Wilayah
- Kondisi social dan Kependudukan
- Kondisi perekonomian
b Pengumpulan Data Sekunder
- Peta dasar dan peta tematik

57
BULAN 1 BULAN 2 BULAN 3 BULAN 4 BULAN 5 BULAN 6
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
No Kegiatan
ke- ke- ke- ke- ke- ke-
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
- Dokumen kebijakan
- Dokumen mengenai kondisi wilayah
c FGD di daerah
FGD 2 Kecamatan (Menjaring Informasi dari Berbagai Stakeholder)
FGD 3 Kecamatan (Menjaring Informasi dari Berbagai Stakeholder)
FGD 4 Kecamatan (Menjaring Informasi dari Berbagai Stakeholder)
3 TAHAP ANALISIS
a Analisis tentang kondisi wilayah perencanaan
1. Isu strategis pengembangan wilayahkabupaten
2. Potensi dan masalah penataan ruang wilayah kabupaten
3. Peluang dan tantangan penataan ruang wilayah kabupaten
4. Kecenderungan pengembangan dan kesesuaian kebijakan kabupaten
5. Perkiraan kebutuhan pengembangan wilayah kabupaten
6. Daya dukung dan daya tampung ruang
7. Distribusi penduduk perkotaan dan perdesaan
8. Disparitas antar wilayah, kluster ekonomi dan pusat pertumbuhan
ekonomi
b FGD 5 Kabupaten (Hasil Analisis dan Pemilihan Alternatif Rencana)
c FGD 6 Kabupaten (Hasil Analisis dan Pemilihan Alternatif Rencana)

58
BULAN 1 BULAN 2 BULAN 3 BULAN 4 BULAN 5 BULAN 6
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
No Kegiatan
ke- ke- ke- ke- ke- ke-
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
d Konsultasi Publik 1
e Pembahasan dan penyerahan laporan antara
4 TAHAP PENYUSUNAN KONSEP RTRW KABUPATEN
a Penyusunan Materi Teknis RTRW Kabupaten
1. Penyusunan alternative konsep rencana
2. Pemilihan konsep rencana
3. Perumusan rencana terpilih menjadi muatan RTRW Kabupaten
b Konsultasi Publik 2
c FGD 7 Kabupaten (Konsep Akhir RTRW Kabupaten)
d Dokumen Fakta Analisis
e Dokumen Materi Teknis
f Proses Persub RTRW Kabupaten
1. pengajuan rancangan Perda tentang rencana tata ruang
2. evaluasi materi muatan teknis rancangan Perda tentang rencana tata
ruang
3. Pembahasan lintas sektor
4. persetujuan substansi rancangan perda tentang rencana tata ruang
5 TAHAP PENYUSUNAN PETA
a Penyusunan album peta

59
BULAN 1 BULAN 2 BULAN 3 BULAN 4 BULAN 5 BULAN 6
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
No Kegiatan
ke- ke- ke- ke- ke- ke-
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
- Konsultasi ke BIG
6 TAHAP PENYUSUNAN KLHS
a Penyusunan dokumen KLHS dan Proses Rekomendasi
1. Persiapan (Pembentukan Pokja dan Penyusunan KAK)
2. FGD Penjaringan isu strategis (identifikasi isu pembangunan
berkelanjutan, isu PB paling strategis dan isu PB prioritas)
3. Identifikasi materi muatan KRP berdampak terhadap LH
4. Kajian pengaruh KRP terhadap 6 muatan KLHS
5. Perumusan alternative dan rekomendasi
6. Penjaminan kualitas
b Dokumen KLHS
7 PELAPORAN
Penyusunan proceeding dan buku luxury
Penyerahan draft laporan akhir
Pembahasan dan penyerahan laporan akhir
Album Peta

60
61

Anda mungkin juga menyukai