RUANG WILAYAH
1. Metoda Penyusunan Revisi RTRW
Penyusunan RTRW Kabupaten berpedoman pada Peraturan Menteri Agraria
dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2018 Tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota.
Muatan RTRW Kabupaten:
1. Tujuan, Kebijakan, dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten
2. Rencana Struktur Ruang Wilayah Kabupaten
3. Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten
4. Penetapan Kawasan Strategis Kabupaten
5. Arahan Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten
6. Ketentuan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah Kabupaten
1
Gambar 1 Tata Cara Penyusunan RTRW Kabupaten
Sumber : Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota
2
2. Metoda Analisis Penyusunan Revisi RTRW
Tahap analisis bertujuan meramu seluruh data/informasi dan mencari solusi
untuk mencapai tujuan penataan ruang yang diinginkan. Secara garis besar data-
data atau informasi wilayah perencanaan dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga),
yaitu :
Data terkait kebijakan tata ruang
Data terkait kondisi wilayah perencanaan
Data terkait kelembagaan
3
mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mempu membuat ancaman (threats)
menjadi nyata atau menciptakan sebuah ancaman baru.
Metode analisis SWOT bisa dianggap sebagai metode analisis yang paling
dasar, yang bermanfaat untuk melihat suatu topik ataupun suatu permasalahan dari
4 (empat) sisi yang berbeda. Hasil dari analisa biasanya berupa arahan ataupun
rekomendasi untuk mempertahankan kekuatan dan untuk menambah keuntungan
dari segi peluang yang ada, sambil mengurangi kekurangan dan juga menghindari
ancaman. Jika digunakan dengan benar, analisis ini akan membantu untuk melihat
sisi-sisi yang terlupakan atau tidak terlihat selama ini. Dari pembahasan di atas tadi,
analsis SWOT merupakan instrument yang bermanfaat dalam melakukan analisis
strategi. Analisis ini berperan sebagai alat untuk meminimalisasi kelemahan yang
terdapat dalam suatu perusahaan atau organisasi serta menekan dampak ancaman
yang timbul dan harus dihadapi.
4
2.2. Analisis Kedudukan dan Peran Kabupaten dalam Wilayah yang Lebih Luas
Analisis wilayah perencanaan pada wilayah yang lebih luas (analisis regional),
dilakukan untuk memahami kedudukan dan keterkaitan wilayah perencanaan
dalam sistem regional yang lebih luas dalam aspek sosial, ekonomi, lingkungan,
sumber daya buatan/system prasarana, budaya, pertahanan, dan keamanan. Sistem
regional tersebut dapat berupa sistem kota, wilayah lainnya, kabupaten/kota yang
berbatasan, pulau, dimana wilayah perencanaan tersebut dapat berperan dalam
perkembangan regional.
Oleh karena itu, dalam analisis regional ini dilakukan analisis pada aspek
berikut:
1. Kedudukan dan keterkaitan sosial-budaya dan demografi wilayah perencanaan
pada wilayah yang lebih luas.
2. Kedudukan dan keterkaitan ekonomi wilayah perencanaan pada wilayah yang
lebih luas.
3. Kedudukan dan keterkaitan sistem prasarana wilayah perencanaan dengan
wilayah yang lebih luas. Sistem prasarana yang diperhatikan dalam analisis ini
adalah sistem prasarana kabupaten/kota dan wilayah.
4. Kedudukan dan keterkaitan aspek lingkungan (pengelolaan fisik dan SDA)
wilayah perencanaan pada wilayah yang lebih luas.
5. Kedudukan dan keterkaitan aspek pertahanan dan keamanan wilayah
perencanaan pada wilayah yang lebih luas.
6. Kedudukan dan keterkaitan aspek pendanaan wilayah perencanaan pada wilayah
yang lebih luas.
Keluaran dari analisis regional, meliputi:
Struktur dan pola ruang wilayah perencanaan dalam sistem kota/wilayah yang
berbatasan.
Gambaran fungsi dan peran wilayah perencanaan pada wilayah yang lebih luas
(wilayah kabupaten/kota berdekatan secara sistemik).
Gambaran potensi dan permasalahan pembangunan terkait penataan ruang pada
wilayah yang lebih luas terkait dengan kedudukan dan keterkaitan wilayah
perencanaan pada wilayah yang lebih luas, mencakup permasalahan disparitas
pembangunan antar wilayah perencanaan.
5
Gambaran peluang dan tantangan pembangunan wilayah perencanaan dalam
wilayah yang lebih luas yang ditunjukkan oleh sektor unggulan.
Keluaran analisis regional digunakan sebagai pertimbangan dalam:
• Penetapan fungsi dan peran wilayah perencanaan dalam wilayah yang lebih luas
yang akan mempengaruhi pada pembentukan struktur ruang wilayah
perencanaan, terutama pada distribusi dan pemusatan penduduk, serta
penetapan sistem jaringan prasarana terutama yang lintas sub wilayah /lintas
kawasan atau yang mengemban fungsi layanan dengan skala yang lebih luas dari
wilayah kabupaten/kota.
• Pembentukan pola ruang wilayah perencanaan yang serasi dengan kawasan
berdekatan terutama pada wilayah perbatasan agar terjadi sinkronisasi dan
harmonisasi dalam pemanfaatan ruang antar kawasan dalam rangka perwujudan
tujuan penataan ruang.
6
Gambaran alternatif-alternatif upaya mengatasi hambatan fisik/lingkungan
yang ada di wilayah perencanaan.
Keluaran analisis fisik/lingkungan wilayah kota ini digunakan sebagai bahan
dalam sintesa analisis holistik dalam melihat potensi-masalah-peluang penataan
ruang wilayah perencanaan dari aspek fisik/lingkungan. Analisis sumber daya alam
dan fisik/lingkungan wilayah yang perlu dilakukan mencakup beberapa analisis
berikut:
1. Analisis klimatologi dan meteorologi
Digunakan dalam mengidentifikasi potensi dan permasalahan pengembangan
wilayah perencanaan berdasarkan kesesuaian iklim setempat. Analisis ini
menjadi bahan rekomendasi bagi kesesuaian peruntukan pengembangan
kegiatan budidaya.
2. Analisis sumber daya air
Dilakukan untuk memahami bentuk dan pola kewenangan, pola pemanfaatan,
dan pola kerjasama pemanfaatan sumber daya air yang ada maupun yang
sebaiknya dikembangkan di dalam wilayah perencanaan. Khususnya
terhadap sumber air baku serta air permukaan (sungai dan/atau danau) yang
mengalir dalam wilayah perencanaan yang memiliki potensi untuk
mendukung pengembangan dan/atau memiliki kesesuaian untuk
dikembangkan bagi kegiatan tertentu yang sangat membutuhkan sumber
daya air. Analisis ini menjadi dasar dalam menetapkan kebijakan yang
mengatur sumber – sumber air tersebut
3. Analisis sumber daya tanah
Digunakan dalam mengidentifikasi potensi dan permasalahan pengembangan
wilayah perencanaan berdasarkan kesesuaian tanah serta kawasan rawan
bencana. Analisis ini menghasilkan rekomendasi bagi peruntukan kawasan
budidaya dan kawasan lindung.
4. Analisis sumber daya udara
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui bentuk dan pola kewenangan, pola
pemanfaatan, pola kerjasama pemanfaatan sumber daya udara, dan
kesesuaian pemanfaatan sumberdaya udara dalam rangka pengembangan
7
kawasan sekaligus menjaga kualitas udara regional dan/atau dalam sistem
internal wilayah perencanaan.
5. Analisis topografi dan kelerengan
Analisis topografi dan kelerengan dilakukan untuk potensi dan permasalahan
pengembangan wilayah perencanaan berdasarkan ketinggian dan kemiringan
lahan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui daya dukung serta kesesuaian
lahan bagi peruntukkan kawasan budidaya dan lindung.
6. Analisis geologi lingkungan
Analisis ini dilakukan untuk mengidentifikasi potensi dan pengembangan
wilayah perencanaan berdasarkan potensi dan kendala dari aspek geologi
lingkungan. Analisis ini menjadi rekomendasi bagi peruntukan kawasan
rawan bencana, kawasan lindung geologi, dan kawasan pertambangan.
7. Analisis klimatologi
Digunakan dalam mengidentifikasi potensi dan permasalahan pengembangan
wilayah perencanaan berdasarkan kesesuaian iklim setempat. Analisis ini
menjadi bahan rekomendasi bagi kesesuaian peruntukan pengembangan
kegiatan budidaya.
8. Analisis sumber daya alam hayati alami dan budidaya (termasuk hutan)
Dilakukan untuk mengetahui daya dukung/ kemampuan wilayah
perencanaan dalam menunjang fungsi hutan/ sumberdaya alam hayati
lainnya, baik untuk perlindungan maupun kegiatan produksi. Selain itu,
analisis ini dimaksudkan untuk menilai kesesuaian lahan bagi penggunaan
hutan produksi tetap dan terbatas, hutan yang dapat dikonversi, hutan
lindung, dan kesesuaian fungsi hutan lainnya.
9. Analisis sumber daya alam dan fisik wilayah lainnya
Selain analisis tersebut diatas, perlu juga dilakukan analisis terhadap sumber
daya alam lainnya sesuai dengan karakteristik wilayah perencanaan yang akan
direncanakan, untuk mengetahui kewenangan, pola pemanfaatan, maupun
pola kerjasama pemanfaatan sumber daya tersebut. Misalnya: analisis sumber
daya laut yang diperlukan bagi wilayah kota yang berbentuk kepulauan.
8
2.4. Analisis Kependudukan
Analisis dilakukan untuk mengkaji kondisi sosial budaya masyarakat yang
mempengaruhi pengembangan wilayah perencanaan seperti elemen-elemen kota
yang memiliki nilai historis dan budaya yang tinggi (urban heritage, langgam
arsitektur, landmark kota) serta modal sosial dan budaya yang melekat pada
masyarakat (adat istiadat) yang mungkin menghambat ataupun mendukung
pembangunan, tingkat partisipasi/peran serta masyarakat dalam pembangunan,
kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, dan pergeseran nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat setempat.
Analisis ini akan digunakan sebagai bahan masukan dalam penentuan tema,
preferensi pengembangan wilayah perencanaan, serta strategi komunikasi
pembangunan kota.
a) Analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi dan mendapatkan proyeksi
perubahan demografi seperti pertumbuhan dan komposisi jumlah penduduk
serta kondisi social kependudukan dalam memberikan gambaran struktur dan
karakteristik penduduk. Hal ini berhubungan erat dengan potensi dan kualitas
penduduk, mobilisasi, tingkat pelayanan dan penyediaan kebutuhan sektoral
(sarana, prasarana maupun utilitas).
b) Selain itu analisis terhadap sebaran dan perpindahan penduduk dari daerah
perdesaan ke daerah perkotaan memberikan gambaran dan arahan kendala serta
potensi sumberdaya manusia untuk keberlanjutan pengembangan, interaksi, dan
integrasi dengan daerah di luar wilayah perencanaan.
c) Analisis dilakukan dengan mempertimbangkan proyeksi demografi terhadap
batasan daya dukung dan daya tampung wilayah perencanaan dalam jangka
waktu rencana
9
dari berbagai komoditas/sektor/wilayah, kemudian dilakukan pemodelan
untuk melihat pertumbuhan objek yang bersangkutan.
10
Keterangan; Eij adalah pendapatan sektor i di wilayah j (kabupaten), Ein
adalah pendapatan sektor i di wilayah n (provinsi), En adalah pendapatan
wilayah n (provinsi), Eij adalah pendapatan tahun terakhir, rij adalah laju
pertumbuhan sektor i di wilayah j (kabupaten), rin adalah laju pertumbuhan
sektor i di wilayah n (provinsi), rn adalah laju pertumbuhan pendapatan di
wilayah n (provinsi) Sehingga didapat persamaan Shift share untuk sektor i
di wilayah j (Soepono, 1993) sebagai berikut:
Dij=Eij.rn+Eij(rin‐rn)+Eij(rij‐rin)
Keterangan; Dij adalah perubahan variabel output sektor i di wilayah j, Nij
adalah pertumbuhan ekonomi nasional, Mij adalah bauran industri sektor i
di wilayah j, Cij adalah keunggulan kompetitif sektor i di wilayah j, Eij adalah
pendapatan sektor i di wilayah j, Adapun dari rumus di atas diketahui ada
2 indikator dari hasil perhitungan Shift share dalam perekonomian suatu
daerah, yaitu:
a. Jika nilai dari komponen pergeseran proporsional dari sektor > 0, maka
sektor yang bersangkutan mengalami pertumbuhan yang cepat dan
memberikan pengaruh yang positif kepada perekonomian daerah, begitu
juga sebaliknya.
b. Jika nilai komponen pergeseran diferensial suatu sektor < 0, maka
keunggulan komparatif dari sektor tersebut meningkat dalam
perekonomian yang lebih tinggi, begitu juga sebaliknya.
11
daerah itu dengan peranan kegiatan atau industri sejenis dalam
perekonomian regional atau nasional. Perhitungan basis tersebut
menggunakan variabel PDRB wilayah atas suatu kegiatan dalam struktur
ekonomi wilayah. Rumus menghitung LQ (Arsyad, 1999) adalah:
12
dan Propotionality Shift dapat ditulis secara matematis sebagai berikut:
13
Jika nilai RPR < 1 Þ negatif (‐), artinya menunjukkan bahwa pertumbuhan
suatu sektor tertentu dalam wilayah referensi lebih kecil dari pertumbuhan
PDRB total wilayah referensi.
14
Klasifikasi 4, yaitu nilai RPR (‐) dan RPS (‐) berarti kegiatan tersebut pada
tingkat provinsi dan pada tingkat kabupaten mempunyai
pertumbuhan rendah.
15
Tabel 1 Klasifikasi Sektor Ekonomi menurut Klassen Typology
yi > y yi < y
ri > r Sektor maju dan tumbuh Sektor berkembang
cepat cepat
ri < r Sektor maju tetapi tertekan Sektor relatif
tertinggal
Sumber: Syafrizal (1997)
16
Gambar 3 Alur Analisis Sarana Prasarana
Dengan :
Qtot = debit air total dari semua sumber air yang ada;
nn = jumlah sumber air yang ada untuk satu sumber (mis sungai,
danau dll);
AnVn = debit air untuk masing-masing sumber air.
Sedangkan proyeksi kebutuhan akan air bersih dihitung berdasarkan hasil
proyeksi penduduk, dengan rincian kebutuhan untuk fasilitas umum dan
17
kebutuhan domestik. Besaran perkiraan kebutuhan air dilakukan dengan
menghitung jumlah konsumen (masyarakat, perkantoran, fasilitas ibadah,
fasilitas pendidikan, perdagangan dll) dikalikan dengan standar kebutuhan
air bersih untuk masing-masing konsumen.
Perkiraan Kebutuhan air bersih = (Kf+Kd)
Dengan :
Kf = proyeksi kebutuhan air bersih untuk berbagai fasilitas yang
didapat dengan cara mengalikan standard kebutuhan (antara
80 L/hr/orang – 120 L/hr/orang) dengan banyaknya fasilitas
dan banyaknya orang yang terdapat pada fasilitas tersebut.
Kd = proyeksi kebutuhan air domestik untuk rumah tangga.
Diperoleh dengan cara mengalikan standar kebutuhan (antara
60 L/hr/orang – 80 L/hr/orang) dengan besarnya jumlah
penduduk pada suatu peruntukan tertentu.
Penilaian cakupan pelayanan (CP) dan kebutuhan pengembangan system.
18
B. Sistem Pengelolaan Air Limbah
Penilaian Cakupan Pelayanan (CP).
Jumlah Prasarana (i) Jumlah Pemakai /Prasarana
CP = x 10
Jumlah Penduduk
19
fasilitas umum yang memiliki tingkat pelayanan 100% mengandung arti
bahwa fasilitas tersebut memiliki kemampuan pelayanan yang sama dengan
kebutuhan penduduknya. Untuk mengetahui kelengkapan fasilitas umum
suatu bagian wilayah, dihitung tingkat pelayanannya dengan menggunakan
rumus :
d ij b j
TP X 100 %
Cis
dimana :
TP = tingkat pelayanan fasilitas i di kawasan j
dij = jumlah fasilitas i di kawasan j
bij = jumlah penduduk di kawasan j
Cis = jumlah fasilitas i persatuan penduduk menurut standar
penentuan fasilitas untuk kawasan
20
Analisis yang berdasarkan kondisi fisik dan lingkungan ini bertujuan untuk
mengenali karakteristik sumber daya alam, dengan menelaah kemampuan dan
kesesuaian lahan, agar penggunaan lahan dalam pengembangan wilayah dapat
dilakukan secara optimal degan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem.
Analisis kemampuan lahan diperoleh dari analisis Satuan Kemampuan Lahan
(SKL) yang bersumber dari Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
20/PRT/M/2007 tentang Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi
serta Sosial Budaya Dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang.
Analisis Kesesuaian Lahan sendiri mengacu kepada hasil analisis
kemampuan lahan, Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Budidaya, dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor
41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budi Daya.
Untuk menghasilkan analisis kemampuan dan kesesuaian lahan, digunakan teknik
overlay / superimpose peta, yaitu yang sering dan baik digunakan dalam
perencanaan tata guna lahan / landscape. Teknik ini dibentuk melalui pengunaan
secara secara tumpang tindih (seri) suatu peta yang masing-masing mewakili faktor
penting lingkungan atau lahan. Pendekatan teknik overlay efektif digunakan untuk
seleksi dan identifikasi dari berbagai jenis dampak yang muncul. Kekurangan dari
teknik ini adalah ketidakmampuan dalam kuantifikasi serta identifikasi dampak
(relasi) pada tingkat sekunder dan tersier. Perkembangan teknik overlay saat ini
mengarah pada teknik komputerisasi melalui berbagai software baik yang sifatnya
open source seperti QGis ataupun ArcGIS.
21
Gambar 5 Visualisasi Overlaying Maps Menggunakan GIS
22
permukiman yang cepat perkembangannya, dan kaitannya dengan
pemanfaatan lahan. Untuk itu akan dilakukan analisis terhadap hirarki pusat-
pusat permukiman. Ada 3 (tiga) parameter yang digunakan yaitu faktor
lokasi, rangking pusat permukiman dan kelengkapan sarana dan prasarana.
Faktor lokasi dianalisis secara deskriptif kualitatif. Rangking pusat
permukiman akan dianalisis dengan menggunakan perumusan Rank Size :
Po
n =
Pn
Po = Pusat permukiman dengan jumlah penduduk tertinggi
Pn = Pusat permukiman dengan jumlah penduduk ke n
n = rank pusat permukiman
C. Model Aksesibilitas
Model ini pada dasarnya dimaksudkan untuk mengukur tingkat aksesibilitas
penduduk di berbagai zona di dalam wilayah perencanaan terhadap fungsi
tertentu. Selanjutnya model ini akan dipergunakan pula untuk meng strategi
investasi untuk meningkatkan akses fisik, baik dengan meningkatkan
pelayanan transportasi maupun menempatkan fungsi-fungsi tersebut di
tempat yang baru. Prosedur penerapan model ini adalah sebagai berikut :
mengidentifikasi zona-zona dan pusatnya,
23
mengidentifikasi rute transpor antar pusat zona,
menghitung jarak / waktu tempuh setiap rute,
menghitung indeks kemudahan perjalanan dengan rumus :
Aij = ( Nkj / Tik )
di mana :
Nkj = jumlah fungsi j di zona k,
Tik = jarak/waktu tempuh dari zona i ke zona k.
berikan bobot fungsi sesuai dengan tingkat kepentingannya,
hitung bobot penduduk, dengan asumsi bahwa lokasi fungsi yang
menjangkau lebih banyak penduduk, lebih baik daripada yang
menjangkau lebih sedikit penduduk,
indeks aksebilitas total, Ai untuk setiap zona dihitung dengan rumus :
Ai ij * Wj )
menghitung indeks aksebilitas, A(P)i, untuk setiap zona dan fungsi
dengan rumus :
A(P)i = Ai * Pj = E (Aij * Wj * Pj )
24
Gambar 6 Kerangka Metodologi
25
Gambar 7 Kerangka Penilaian
26
2. Perhitungan daya dukung penyediaan pangan
1. Proyeksikan jumlah penduduk hingga 20 tahun dari tahun baseline dengan
menggunakan metode proyeksi eksponensial
2. Hitung ketersediaan beras
𝐾𝑒𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠
= 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑠𝑖 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 + 𝑝𝑟𝑎𝑘𝑖𝑟𝑎𝑎𝑛 𝑐𝑎𝑑𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 + 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑎𝑙𝑢𝑟𝑎𝑛 𝑟𝑎𝑠𝑡𝑟𝑎
+ 𝑛𝑒𝑡 𝑒𝑘𝑠𝑝𝑜𝑟𝑡
3. Hitung indikator kinerja, asusmsikan yang dapat digunakan adalah 70% dari
total ketersediaan beras
𝐼𝑛𝑑𝑖𝑘𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑖𝑛𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑝𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 = 70% ∗ 𝐾𝑒𝑡𝑒𝑟𝑠𝑒𝑑𝑖𝑎𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠
4. Hitung kebutuhan beras perbulan dengan cara mengalikan jumlah penduduk
dengan kebutuhan beras/kap/bulan
5. Bandingkan jumlah indikator kinerja total masing-masing kecamatan dengan
total kebutuhan beras masing-masing kecamatan untuk mengetahui daya
dukung pangan tersebut
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑘𝑎𝑡𝑜𝑟 𝑘𝑖𝑛𝑒𝑟𝑗𝑎 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛𝑛
𝐷𝐷𝐷𝑇 = 𝑥100%
𝑘𝑒𝑏𝑢𝑡𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑠 𝑝𝑒𝑟𝑏𝑢𝑎𝑛𝑙𝑎𝑛𝑘𝑒𝑐𝑎𝑚𝑎𝑡𝑎𝑛𝑛
27
Alometri untuk jenis tumbuhan khusus (Hairiah et al., 2011)
28
menentukan ketersediaan air di sungai diperlukan serangkaian analisa
hidrologi.
29
3. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan
air tawar, peternakan, air untuk mengairi tanaman dan peruntukan lain yang
mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut.
4. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakana untuk mengairi
pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang
sama dengan kegunaan tersebut.
30
Jika Ci/Lij >1,0 untuk suatu parameter, maka konsentrasi parameter
ini harus dikurangi atau disisihkan, kalau badan air digunakan untuk
peruntukan (j).
31
Risiko bencana dapat dikurangi dengan cara meningkatkan kapasitas baik yang
bersifat fisik (rekayasa tata ruang kawasan, pembangunan struktur/bangunan yang
mengurangi dampak atau yang adaptif terhadap bahaya geologi, dan lain
sebagainya) maupun non-fisik (masyarakat yang teredukasi, aparat yang kompeten,
dan lain-lain).
Analisis Overlay
Analisis overlay merupakan metode umum yang digunakan untuk seluruh analisis,
baik itu analisis kerawanan, analisis kerentanan maupun analisis risiko bencana.
Analisis ini menggunakan beberapa parameter secara bersamaan.
32
Kelas Hasil Analisis Kriteria
3
Sangat Tinggi > 𝑥̅ + 𝛿𝑥
2
1 3
Tinggi 𝑥̅ + 𝛿𝑥 s/d 𝑥̅ + 𝛿𝑥
2 2
1 1
Sedang 𝑥̅ − 𝛿𝑥 s/d 𝑥̅ + 𝛿𝑥
2 2
3 1
Rendah 𝑥̅ − 𝛿𝑥 s/d 𝑥̅ − 𝛿𝑥
2 2
3
Sangat Rendah < 𝑥̅ − 𝛿𝑥
2
A. Analisis Bahaya/Kerawanan
Variabel Bahaya adalah berbagai informasi terkait dengan lokasi-lokasi
potensial bahaya atau ancaman yang berada di wilayah Kabupaten. Berdasarkan
catatan BNPB, maka di Kabupaten terdapat 7 tipe bahaya yang pernah dan
berpotensi untuk terjadi, yaitu: Banjir, Tanah Longsor, Gelombang Pasang/Abrasi,
Puting Beliung, Kekeringan, Gempa Bumi, dan Tsunami.
1. Analisis Rawan Banjir
Banjir adalah proses penggenangan air pada permukaan tanah yang biasanya
kering. Beberapa faktor penyebab banjir, antara lain:
Kondisi meteorologis (intensitas dan distribusi curah hujan serta frekuensi dan
lamanya hujan);
Karakteristik fisik wilayah, yang terdiri dari: topografi, kemiringan lereng, tingkat
kerapatan sungai, tekstur tanah dan tutupan lahan.
Untuk menentukan zona rawan banjir di wilayah perencanaan ditetapkan 5 (lima)
parameter dengan bobot dan nilai masing-masing sesuai dengan tingkat signifikansi
pengaruhnya terhadap peluang keterjadian banjir, yaitu sebagai berikut:
a. Curah Hujan; yaitu jumlah air presipitasi yang turun pada suatu daerah dalam
kurun waktu tertentu. Semakin tinggi curah hujannya maka semakin besar
peluang terjadinya banjir, begitu pula sebaliknya. Data curah hujan yang
digunakan adalah rata-rata hujan bulanan atau tahunan yang dibagi ke dalam 3
atau 5 kelas. Curah hujan diasumsikan sebagai faktor yang paling menentukan
dalam keterjadian banjir, sehingga diberikan bobot paling besar.
33
b. Kemiringan Lereng; merupakan perbandingan persentase antara jarak vertikal
(tinggi lahan) dengan jarak horizontal (panjang lahan datar). Semakin landai
kemiringan lereng suatu wilayah maka semakin tinggi peluang terjadinya banjir.
Kemiringan lereng dibagi ke dalam 5 (lima) kelas mengacu pada
pengklasifikasian yang dimuat dalam Pedoman Penyusunan Pola Rehabilitasi
Lahan dan Konservasi Tanah, 1986.
c. Tingkat Kerapatan Sungai; kerapatan aliran adalah panjang aliran sungai per-
kilometer persegi luas DAS. Semakin besar nilai Dd semakin baik sistem
pengaliran (drainase) di daerah tersebut. Artinya, semakin besar jumlah air
larian total (semakin kecil infiltrasi) dan semakin kecil air tanah yang tersimpan
di daerah tersebut (Matondang, J.P., 2013).
Dd = ΣLn /A
Dd : kerapatan aliran (km/km2)
Ln : panjang sungai (km)
A : luas DAS (km2)
Lynsley (1975) menyatakan bahwa jika nilai kerapatan aliran lebih kecil dari 1
mile/ mile2 (0,62 Km/ Km2), DAS akan mengalami penggenangan, sedangkan
jika nilai kerapatan aliran lebih besar dari 5 mile/mile2 (3,10 Km/ Km2), DAS
sering mengalami kekeringan.
d. Tekstur Tanah; jenis tanah pada suatu daerah sangat berpengaruh dalam
proses penyerapan air atau proses infiltrasi. Semakin besar daya serap atau
infiltrasinya terhadap air maka tingkat kerawanan banjirnya akan semakin kecil.
Begitu pula sebaliknya, semakin kecil daya serap atau infiltrasinya terhadap air
maka semakin besar potensi kerawanan banjirnya (Matondang, J.P., 2013).
Secara garis besar, tekstur tanah berpasir akan lebih mudah menyerap air
dibandingkan tanah dengan besar butir yang lebih halus, khususnya lempung
yang cenderung kedap air.
e. Tutupan Lahan; tutupan lahan berperan pada tingkat air limpasan yang
dihasilkan hujan. Pada lahan yang dipenuhi oleh vegetasi maka air hujan akan
lebih banyak terinfiltrasi serta lebih banyak waktu yang dibutuhkan oleh air
limpasan untuk sampai ke sungai. Dengan demikian peluang terjadinya banjir
lebih kecil daripada daerah yang kurang vegetasi.
34
Tabel 2 Parameter Pembentuk Bahaya Banjir
No Parameter Bobot Variabel
1 Curah Hujan 30% Sangat Lebat
Lebat
Sedang
Ringan
Sangat Ringan
2 Kemiringan Lereng 10% Mendatar
Landai
Agak Curam
Curam
Terjal
3 Tingkat Kerapatan Sungai 15% < 0,62
0,62 – 1,44
1,44 – 2,27
2,27 – 3,10
> 3,10
4 Tekstur Tanah 20% Lempung
Pasir Lempungan
Pasir
5 Tutupan Lahan 25% Permukiman
Tubuh air, sawah
Ladang, kebun, tegalan
Lahan terbuka, semak belukar
Hutan
35
Gambar 10 Diagram alir proses analisis rawan tanah longsor
Zona Kerentanan
DEM
Gerakan Tanah
Analisis Kemiringan
Penilaian Kelas
Lereng
Delineasi Daerah
Bahaya
Nilai Kelas/Nilai
Kelas Max.
Indeks Bahaya
36
lebih dari 2 meter dengan batuan dasar keras (tipe batuan beku atau produk
gunung api).
b. Zona Tipe B; Zona berpotensi longsor pada daerah kaki gunung, kaki
pegunungan, kaki bukit, kaki perbukitan, dan tebing sungai dengan kemiringan
lereng berkisar antara 21% sampai dengan 40%, dengan ketinggian 500 meter
sampai dengan 2000 meter di atas permukaan laut. Kondisi tanah (atau batuan)
penyusun lereng umumnya merupakan lereng yang tersusun dari tanah
lempung yang mudah mengembang apabila jenuh air.
c. Zona Tipe C; Zona berpotensi longsor pada daerah dataran tinggi, dataran
rendah, dataran, tebing sungai, atau lembah sungai dengan kemiringan lereng
berkisar antara 0% sampai dengan 20%, dengan ketinggian 0 sampai dengan
500 meter di atas permukaan laut.
Gambar 11 Tipologi Zona Berpotensi Longsor Berdasarkan Hasil Kajian
Hidrogeomorfologi
15 - 30 % Aluvial
Kemiringan 30 - 50 % Tipe Batuan Sedimen 20
30
Lereng 50 - 70 % Vulkanik/Malihan
> 70% > 400 m 5
37
Parameter Kelas Bobot Parameter Kelas Bobot
4
1x1 km atau per-30 menit) pada wilayah perencanaan. Jarak antara koordinat
episenter ke masing- masing koordinat titik grid dihitung menggunakan persamaan.
∆𝟐 = (𝑿𝟐 − 𝑿𝟏 )𝟐 + (𝒀𝟐 − 𝒀𝟏 )𝟐
Di manaΔ adalah jarak episenter ke koordinat daerah perhitungan (km), X adalah
lintang daerah perhitungan (derajat), dan Y merupakan bujur daerah perhitungan
(derajat). Jarak hiposenter dari setiap titik grid ke sumber gempa dihitung dengan
persamaan.
𝑹 = ∆𝟐 + 𝒉
Di mana R adalah jarak hiposenter (km), Δ adalah jarak episenter ke koordinat
daerah perhitungan (km), dan h adalah kedalaman gempa (km).
Nilai PGA dapat dikonversi ke dalam skala Modified Mercalli Intensity (MMI)
menggunakan persamaan.
B. Analisis Kerentanan
Dalam Kerentanan (vulnerability) adalah keadaan atau sifat/perilaku manusia
atau masyarakat yang menyebabkan ketidakmampuan menghadapi bahaya atau
ancaman. Kerentanan ini dapat berupa:
1. Kerentanan Fisik
Secara fisik bentuk kerentanan yang dimiliki masyarakat berupa daya tahan
fisik lingkungan menghadapi bahaya tertentu, misalnya: tingkat ketahanan
bangunan rumah bagi masyarakat yang berada di daerah rawan gempa,
ketersediaan tanggul pengaman banjir bagi masyarakat yang tinggal di bantaran
sungai dan sebagainya.
39
Kerentanan fisik terdiri dari parameter rumah, fasilitas umum dan fasilitas kritis.
Jumlah nilai rupiah rumah, fasilitas umum, dan fasilitas kritis dihitung berdasarkan
kelas bahaya di area yang terdampak.
Distribusi spasial nilai rupiah untuk parameter rumah dan fasilitas umum dianalisis
berdasarkan sebaran wilayah pemukiman seperti yang dilakukan untuk
analisis kerentanan sosial. Masing-masing parameter dianalisis dengan
menggunakan metode skoring sesuai Perka BNPB No. 2 Tahun 2012 untuk
memperoleh nilai skor kerentanan fisik.
Justifikasi nilai
rupiah setiap unit
fisik Skor Kerentanan
Fisik
Skoring parameter
40
2. Kerentanan Ekonomi
Kerentanan ekonomi terdiri dari parameter konstribusi PDRB dan lahan produktif.
Nilai rupiah lahan produktif dihitung berdasarkan nilai konstribusi PDRB pada
sektor yang berhubungan dengan lahan produktif (seperti sektor pertanian) yang
dapat diklasifikasikan berdasarkan data penggunaan lahan. Nilai rupiah untuk
parameter ekonomi dihitung berdasarkan persamaan berikut:
𝑃𝐿𝑃𝑡𝑜𝑡−𝑖
𝑅𝐿𝑃𝑖 = × 𝐿𝐿𝑃𝑑𝑒𝑠𝑎−𝑖 ... (1)
𝐿𝐿𝑃𝑡𝑜𝑡−𝑖
𝑅𝑃𝑃𝐾𝐾
𝑅𝑃𝑃𝑑𝑒𝑠𝑎−𝑖 = × 𝐿𝐷𝑖 ... (2)
𝐿𝐾𝐾
Di mana:
RLPi : nilai rupiah lahan produktif kelas penggunaan lahan ke-i di tingkat
Desa/Kelurahan
PLPtot-i : nilai total rupiah lahan produktif berdasarkan nilai rupiah sektor ke-i di
tingkat Kabupaten/Kota
LLPtot-i : luas total lahan produktif ke-i di tingkat Kabupaten/Kota
LLPdesa-i : luas lahan produktif ke-i di tingkat Desa/Kelurahan
RPPdesa-i : nilai rupiah PDRB sektor di desa ke-i
RPPKK : nilai rupiah PDRB sektor di tingkat Kabupaten/Kota
LKK : luas wilayah Kabupaten/Kota
LDi : luas Desa/Kelurahan ke-i
Masing-masing parameter dianalisis dengan menggunakan metode skoring sesuai
Perka BNPB No. 2 Tahun 2012 untuk memperoleh nilai skor kerentanan ekonomi.
Tabel 5 Parameter Penyusun dan Skoring Kerentanan Ekonomi
Bobot Kelas
Parameter Skor
(%) Rendah Sedang Tinggi
Lahan
60 <50 jt 50 – 200 jt >200 jt Kelas/Nilai
produktif
Max Kelas
PDRB 40 <100 jt 100 – 300 jt >300 jt
(Sumber: Perka BNPB No. 2 Tahun 2012)
41
Gambar 13 Diagram alir proses pemetaan kerentanan ekonomi
Wilayah
Kelas Penggunaa
Administrasi Data PDRB
Bahaya (x) n Lahan
Desa
Reklasifikasi Lahan
Produktif
Overlay
Skoring Skoring
Skor x Bobot
Skor Kerentanan
Ekonomi
3. Kerentanan Sosial
Kondisi sosial masyarakat juga mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap
ancaman bahaya. Dari segi pendidikan, kekurangan pengetahuan tentang risiko
bahaya dan bencana akan mempertinggi tingkat kerentanan, demikian pula tingkat
kesehatan masyarakat yang rendah juga mengakibatkan tingginya kerentanan
terhadap bahaya.
Mengacu pada Perka BNPB No. 2 Tahun 2012 Indikator yang digunakan untuk
kerentanan sosial adalah kepadatan penduduk, rasio jenis kelamin, rasio
kemiskinan, rasio orang cacat dan rasio kelompok umur. Indeks kerentanan sosial
diperoleh dari rata-rata bobot kepadatan penduduk (60%), kelompok rentan (40%)
yang terdiri dari rasio jenis kelamin (10%), rasio kemiskinan (10%), rasio orang
cacat (10%) dan kelompok umur (10%).
Pendistribusian nilai parameter sosial dapat dilakukan dengan menggunakan
persamaan berikut (Khomaruddin et al, 2010):
𝑋𝑑 = ∑𝑛𝑖=1 𝑃𝑖 ... (1)
𝑃𝑖 = ∑𝑛𝑖=1 𝑃𝑖𝑗 ... (2)
𝑆𝑖𝑗
𝑃𝑖𝑗 = ∑𝑘 × 𝑋𝑑 ... (3)
𝑖,𝑗=1 𝑆𝑖𝑗
42
Di mana:
Xd : jumlah populasi di dalam unit administrasi;
Pi : jumlah populasi di dalam pemukiman ke-i;
Pij : jumlah populasi di polygon ke-j di dalam pemukiman ke-i;
Sij : polygon ke-j di dalam pemukiman ke-i di dalam unit administrasi;
n : jumlah polygon di dalam pemukiman di dalam unit administrasi
Data Batas
Sebaran
jumlah jiwa Administrasi
Permukiman
per-Desa Desa
43
4. Kerentanan Lingkungan
Kerentanan lingkungan berkenaan dengan faktor-faktor ekologis yang
menunjang kelestarian lingkungan hidup. Merujuk pada Perka BNPB No. 2 Tahun
2012, indikator yang digunakan untuk kerentanan lingkungan adalah tipe tutupan
lahan yang berupa hutan lindung, hutan alam, hutan bakau/mangrove, rawa dan
semak belukar.
Administrasi
Kelas Tutupan
Wilayah
Bahaya (x) Lahan
(Desa)
Reklasifikasi dan
Kategorisasi Parameter
Lingkungan
Skor Kerentanan
Skoring Parameter Lingkungan
C. Indeks Kerentanan
Dalam Buku Risiko Bencana Indonesia (BNPB, 2017), indeks kerentanan
masing-masing ancaman diperoleh dari hasil penggabungan skor kerentanan sosial,
44
fisik, dan ekonomi dengan menggunakan bobot masing-masing komponen
kerentanan sebagai berikut:
Gempabumi : IKG=(IKS x 40%)+(IKF x 30%)+(IKE x 30%)
Tsunami : IKT=(IKS x 40%)+(IKF x 25%)+(IKE x 25%)+(IKL x 10%)
Gunungapi : IKLGA=(IKS x 40%)+(IKF x 25%)+(IKE x 25%)+(IKL x 10%)
Banjir : IKB=(IKS x 40%)+(IKF x 25%)+(IKE x 25%)+(IKL x 10%)
Tanah Longsor : IKTL=(IKS x 40%)+(IKF x 25%)+(IKE x 25%)+(IKL x 10%)
Kekeringan : IKK=(IKS x 50%)+(IKE x 40%)+(IKL x 10%)
KarlaHut : IKKLH=(IKE x 40%)+(IKL x 60%)
Cuaca Ekstrim : IKCE=(IKS x 40%)+(IKF x 30%)+(IKE x 30%)
Gel. Ekstrim & Abrasi : IKGEA=(IKS x 40%)+(IKF x 25%)+(IKE x 25%)+(IKL x 10%)
Banjir Bandang : IKBB=(IKS x 40%)+(IKF x 25%)+(IKE x 25%)+(IKL x 10%)
Di mana:
IKG = Indeks Kerentanan Gempabumi
IKT = Indeks Kerentanan Tsunami
IKLGA = Indeks Kerentanan Letusan Gunungapi
IKB = Indeks Kerentanan Banjir
IKTL = Indeks Kerentanan Tanah Longsor
IKK = Indeks Kerentanan Kekeringan
IKKLH = Indeks Kerentanan Kebakaran Lahan & Hutan
IKCE = Indeks Kerentanan Cuaca Ekstrim
IKGEA = Indeks Kerentanan Gel. Ekstrim & Abrasi
IKBB = Indeks Kerentanan Banjir Bandang
IKS = Indeks Kerentanan Sosial
IKF = Indeks Kerentanan Fisik
IKE = Indeks Kerentanan Ekonomi
IKL = Indeks Kerentanan Lingkungan
D. Analisis Kapasitas
Yang dimaksud dengan kapasitas meliputi sumber daya manusia, sumber daya
keuangan, sumber daya fisik, sumber daya sosial dan kelembagaan.
Sedikitnya ada 5 (lima) indikator yang dapat dijadikan ukuran kapasitas, yaitu:
1. Aturan dan kelembagaan;
2. Sumber daya finansial;
45
3. Sistem peringatan dini, jalur dan tempat evakuasi;
4. Kelompok sosial dan relawan terlatih;
5. Pembangunan kesiapsiagaan telah ada pada setiap lini.
Dalam Buku Juknis Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (Dirjen Cipta
Karya Kemen-terian Pekerjaan Umum, 2013) analisis kapasitas menggunakan basis
kelurahan/desa karena sumber daya yang ada bisa dimobilisasi untuk upaya
pengurangan risiko bencana. Berdasarkan pengukuran indikator pencapaian
ketahanan atau kapasitas suatu daerah maka dapat dibagi tingkat kapasitas ke
dalam 5 tingkatan, yaitu:
1. Level 1 (kapasitas sangat rendah)
Kelurahan/Daerah telah memiliki pencapaian-pencapaian kecil dalam upaya
PRB dengan melaksanakan beberapa tindakan maju dalam rencana-rencana
atau kebijakan upaya PRB.
2. Level 2 (kapasitas rendah)
Kelurahan/Daerah telah melaksanakan beberapa tindakan PRB dengan
pencapaian-pencapaian yang masih bersifat sporadis yang disebabkan belum
adanya komitmen kelembagaan dan/atau kebijakan sistematis.
3. Level 3 (kapasitas sedang)
Komitmen pemerintah dan beberapa kelompok/organisasi tekait PRB di suatu
daerah telah tercapai dan didukung dengan kebijakan sistematis, namun capaian
yang diperoleh dengan komitmen dan kebijakan tersebut dinilai belum
menyeluruh hingga masih belum cukup berarti untuk mengurangi dampak
negatif dari bencana.
4. Level 4 (kapasitas tinggi)
Dengan dukungan komitmen serta kebijakan yang menyeluruh dalam PRB
disuatu daerah telah memperoleh capaian-capaian yang berhasil, namun diakui
ada masih keterbatasan dalam komitmen, sumberdaya finansial ataupun
kapasitas operasional dalam pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana di
daerah tersebut.
5. Level 5 (kapasitas sangat tinggi)
Capaian komprehensif telah dicapai dengan komitmen dan sumberdaya yang
memadai disemua tingkat komunitas dan jenjang pemerintahan.
46
E. Analisis Risiko Bencana
Analisis risiko bencana dilakukan dengan teknik superimpose, yakni dengan
cara meng-overlay atau menampalkan peta-peta bahaya dengan peta-peta
kerentanan, sebagaimana diilustrasikan dalam bagan berikut.
1
Mega Sistiana & M. Hadi Makmur, Derajat Desentralisasi Fiskal Daerah Kabupaten/Kota, Jurnal Ilmu
Administrasi Negara, Volume 12, Nomor 4, Januari 2014.
47
pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan Pendapatan Asli daerah
guna membiayai pembangunan.
𝑃𝐴𝐷
𝐷𝑒𝑟𝑎𝑗𝑎𝑡 𝐷𝑒𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑙𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝐹𝑖𝑠𝑘𝑎𝑙 = × 100%
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
Menurut hasil temuan tim KKPFE UGM (dalam Hanafi,dkk. 2009), untuk
menentukan tolak ukur Derajat Desentralisasi Fiskal Daerah dapat dilihat
dari Tabel di bawah ini.
48
maka semakin besar tingkat ketergantungan pemerintah daerah terhadap
pemerintah pusat atau pemerintahan provinsi . Rasio ini dirumuskan sebagai
berikut :
𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑓𝑒𝑟
𝑅𝑎𝑠𝑖𝑜 𝐾𝑒𝑡𝑒𝑟𝑔𝑎𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔𝑎𝑛 = × 100%
𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑃𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝐷𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ
49
menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan
daerah. Semakin tinggi rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi
masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan
komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi masyarakat
membayar pajak dan retribusi daerah menggambarkan bahwa tingkat
kesejahteraan masyarakat semakin tinggi. Berikut ini kriteria rasio
kemandirian keuangan daerah berdasarkan Tim Litbang Depdagri–Fisipol
UGM.
Tabel 10 Kriteria Penilaian Kemandirian Keuangan Daerah
No. Skala Interval (%) Keterangan
1 0,00 – 10,00% Sangat kurang
2 10,01 – 20,00% Kurang
3 20,01 - 30,00% Sedang
4 30,01 - 40,00% Cukup
5 40,01 – 50,01% Baik
6 >50,00% Sangat baik
Sumber : Sumber: Tim Litbang Depdagri – Fisipol UGM, 1991.
50
PBB-P2 dan BPHTB dari pusat ke daerah. Dengan adanya pengalihan
kewenangan pemungutan kedua pajak tersebut kepada daerah, diharapkan
akan menambah peluang bagi daerah untuk melakukan pemungutan secara
lebih optimal.
Rasio pajak merupakan rasio yang menggambarkan perbandingan jumlah
penerimaan pajak daerah dengan PDRB suatu wilayah dalam satu tahun.
Rasio pajak dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat
dalam :
1. Membayar pajak;
2. Mengukur kinerja perpajakan;
3. Melihat potensi pajak yang dimiliki.
PDRB sangat erat kaitannya dengan pajak daerah karena dapat
menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi
daerah baik, tentunya akan menjadi potensi penerimaan pajak di wilayah
tersebut. PDRB yang akan digunakan dalam analisis ini adalah PDRB atas
dasar harga berlaku yang merupakan nilai tambah barang dan jasa yang
dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun. Nilai PDRB ini pada
umumnya digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi yang
terjadi di suatu wilayah.Adapun rumus yang digunakan dalam menghitung
rasio pajak tersebut adalah :
51
G. Ruang Fiskal (Fiscal Space)
Ruang fiskal (fiscal space) merupakan konsep untuk mengukur fleksibilitas
yang dimiliki Pemerintah Daerah dalam mengalokasikan APBD untuk
membiayai kegiatan yang menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang
fiskal yang dimiliki suatu daerah, maka akan semakin besar pula fleksibilitas
yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan belanjanya
pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah, misal: pembangunan
infrastruktur daerah.
Stephen S. Heller (IMF Policy Discussion Paper, 2005) mengemukakan bahwa
Ruang Fiskal dapat didefinisikan sebagai ketersediaan ruang yang cukup
pada anggaran pemerintah untuk menyediakan sumber daya tertentu dalam
rangka mencapai suatu tujuan tanpa mengancam kesinambungan posisi
keuangan pemerintah.
Ruang fiskal daerah diperoleh dengan menghitung total pendapatan daerah
dikurangi dengan pendapatan hibah, pendapatan yang sudah ditentukan
penggunaannya (earmarked) yaitu DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana
Penyesuaian serta Dana Darurat, dan belanja yang sifatnya mengikat, yaitu
Belanja Pegawai dan Belanja Bunga, dan selanjutnya dibagi dengan total
pendapatannya.
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar
anggaran digunakan untuk belanja rutin (Belanja Pegawai). Idealnya porsi
belanja rutin lebih kecil dari Belanja Modal. Memperbesar ruang fiskal
daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi stimulus
perekonomian daerah. Pemerintah Daerah diharapkan dapat membuat
kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian yang kondusif.
Selain itu, efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran di daerah juga dapat
mendukung terciptanya ruang fiskal. Dengan ruang fiskal yang tersedia,
diharapkan pemerintah daerah dapat mengalokasikan belanjanya pada
52
kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah dan mempunyai daya
ungkit (leverage) yang tinggi bagi perekonomian daerahnya.
Pn =
Keterangan:
Pn : Jumlah penduduk yang ingin diketahui sesuai dengan
ranknya
P1 : Jumlah penduduk terbanyak
N : Rank kecamatan yang ditetapkan
2. Analisis Skalogram (Guttman) dan Indeks Sentralitas (Marshall)
Penentuan hirarki pelayanan dapat dilakukan dengan menggunakan
metode analisis Skalogram, yaitu dengan menggunakan unsur fasilitas
pelayanan seperti: pendidikan, peribadatan, kesehataan, jasa, dan
fasilitas lainnya.
Skalogram diperoleh dengan cara membuat suatu tabel yang
mengurutkan keberadaan fasilitas suatu wilayah yang diidentifikasi
sebagai pusat pelayanan. Prosedur pengerjaan metode Skalogram adalah
sebagai berikut (Pardede, 2008): a. Membuat urutan fasilitas yang
ditemukan berdasarkan frekuensi yang ditemukan
53
a) Membuat garis baris dan kolom sehingga lembar kerja tersebut membentuk
matriks yang menampilkan fasilitas yang ada pada masing-masing pusat pelayanan
atau kota.
b) Menggunakan tanda (1) pada sel yang menyatakan keberadaan suatu fasilitas, dan
tanda (0) pada sel yang menyatakan ketiadaan suatu fasilitas.
c) Menyusun ulang baris dan kolom berdasarkan frekuensi keberadaan fasilitas,
semakin banyak fasilitas yang didapati pada suatu pemukiman maka pemukiman
tersebut berada pada urutan atas.
d) Mengidentifikasi peringkat atau hirarki pemukiman yang dapat diinterpretasikan
berdasarkan prosentase keberadaan fasilitas pada suatu pemukiman. Semakin
tinggi prosentasenya, maka hierarki pemukiman tersebut akan semakin tinggi.
Rumus yang digunakan dalam penghitungan pembobotan dalam
skalogram adalah:
C=
Keterangan:
C = nilai bobot dari fungsi
t = nilai indeks tertinggi standar
T = banyaknya fasilitas yang tersedia di suatu wilayah
1 X 1 1 0 1
2 Y 1 1 1 0
3 Z 1 1 0 0
Jumlah 3 3 1 1
Sentralitas 100 100 100 100
Bobot
54
Analisis indeks sentralitas dilakukan untuk mengetahui hirarki pelayanan
berdasarkan hasil analisis skalogram. Hirarki ditentukan berdasarkan total indeks
sentralitas setelah sebelumnya dibuat rentang (range) dengan menggunakan rumus
Sturgess. Dari hasil total indeks sentralitas yang telah direntang, diperoleh hirarki
tiap kecamatan yaitu Hirarki I (primer), Hirarki II (sekunder) dan Hirarki III
(tersier), yang akan menghasilkan Peta Struktur Ruang Eksisting.
Pola Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk
55
fungsi budi daya. Pada analisis pola ruang ini bertujuan untuk mengetahui apakah
kawasan tersebut termasuk kedalam kawasan fungsi lindung atau budidaya
sehingga dalam pengembangannya dapat sesuai dengan fungsi yang ada dan tidak
melanggar perundang-undangan yang telah ditetapkan.
Dalam rencana pola ruang mengacu pada klasifikasi pola ruang wilayah
kabupaten yang terdiri atas kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagai
berikut:
1) Kawasan lindung , yang terdiri atas:
a) Kawasan hutan lindung;
b) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan
bawahannya, kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya
meliputi:
c) Kawasan suaka alam
d) Kawasan rawan bencana alam
e) Kawasan lindung geologi, meliputi: kawasan cagar alam geologi,
f) Kawasan rawan bencana alam geologi, dan kawasan yang memberikan
perlindungan terhadap air tanah; dan
2) Kawasan lindung lainnya
3) Kawasan budidaya yang terdiri atas:
a. Kawasan peruntukan hutan produksi
b. Kawasan hutan rakyat.
c. Kawasan peruntukan pertanian
d. Kawasan peruntukan perkebunan
e. Kawasan peruntukan perikanan
f. Kawasan peruntukan pertambangan
g. Kawasan peruntukan industri
h. Kawasan peruntukan pariwisata
i. Kawasan peruntukan permukiman
56
4) Ketentuan pemetaan pola ruang wilayah kabupaten sebagai
berikut:
1. Rencana pola ruang wilayah kabupaten harus menggambarkan
rencana pola ruang wilayah nasional dan rencana pola ruang wilayah
provinsi yang ada di wilayah kabupaten;
2. Rencana pola ruang wilayah kabupaten harus menggambarkan
delineasi arahan peruntukan ruang pemetaan rencana pola ruang
wilayah kabupaten harus mengikuti ketentuan sistem informasi
geografis yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang;
3. Pemetaan rencana pola ruang wilayah kabupaten perlu memuat
sistem jaringan prasarana utama (jalan) dan sungai;
4. Deliniasi kawasan lindung dan kawasan budi daya yang dipetakan
dalam rencana pola ruang kabupaten dirinci sesuai dengan kawasan
peruntukannya;
5. Rencana pola ruang wilayah kabupaten meliputi wilayah
administrasi kabupaten
6. Notasi penggambaran rencana pola ruang wilayah kabupaten harus
mengikuti RTRWN dan peraturan perundangan-undangan terkait
dengan pemetaan rencana tata ruang
57
pengembangan serta kebijakan terkait. Tujuan yang dianalisis akan menjadi
acuan dalam penyusunan konsep dan strategi pengembangan Kabupaten
Cianjur Bagian Tengah.
3. Kebijakan Pengembangan Wilayah
Kebijakan penataan ruang wilayah merupakan arah tindakan yang
harus
ditetapkan untuk mencapai tujuan penataan ruang wilayah.
4. Penyusunan Konsep dan Strategi
Penyusunan konsep dan strategi pengembangan wilayah mengacu
pada tujuan dan kebijakan pengembangan wilayah dengan melihat dasar
pertimbangan wilayah.
Arahan Perumusan Konsep Dan Strategi Pengembangan
58
3. Rumuskan keterkaitan
Hasilkan peta konsep struktur ruang (eksternal dan internal) dan pola ruang
59
Tahap persiapan merupakan tahap awal yang dilakukan dalam pelaksanaan
pekerjaan, baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Adapun tahap persiapan
yang akan dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Perumusan metodologi pelaksanaan pekerjaan, rencana pelaksanaan
pekerjaan, serta rencana pengumpulan data dan dokumen yang diperlukan;
2. Melakukan kajian awal terhadap konsep berdasarkan kajian literatur yang
ada serta kajian terhadap karakteristik Kawasan;
3. Melakukan inventarisasi objek pemantauan;
4. Menyiapkan dokumen persuratan dan administratif dalam rangka
koordinasi dengan stakeholder/pemangku kepentingan di pusat dan daerah;
dan
5. Menyiapkan perangkat lunak atau program yang berbasis Sistem Informasi
Geografis (SIG)/ Peta .
A. Koordinasi
Koordinasi dilakukan dengan pihak terkait dalam proses pengumpulan data dan
informasi, terutama dengan pihak Pemerintah Daerah. Koordinasi dengan
Pemerintah Daerah dengan menjelaskan data dan informasi yang dibutuhkan
terdiri atas :
1. Dokumen rencana tata ruang dan peta rencana tata ruang yang sudah
disahkan oleh peraturan pemerintah atau peraturan daerah mulai dari
tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota. Dokumen tersebut meliputi:
Rencana Umum (RTRW) dan Rencana rinci (RDTR dan Peraturan Zonasi)
yang disesuaikan dengan kebutuhan pada masing-masing jenjang
pemerintahan;
2. Dokumen Tata Ruang lainnya;
3. Peta Tata Ruang;
60
1. Melakukan pengumpulan data sekunder dari instansi dan/atau pemangku
kepentingan terkait;
2. Melakukan pengumpulan data primer melalui survey lapangan dan
konsultasi dengan perangkat daerah yang terkait;
3. Melakukan pemantauan yang berbasis peta.
C. Analisis
Setelah data dan informasi terkumpul, selanjutnya dilakukan analisa dalam
penyusunan RTRW Kabupaten yang bertujuan untuk dapat memberi arahan bagi
pengembangan kabupaten, sesuai dengan karakteristik dan fungsi yang
ditetapkannya, untuk mendukung terwujudnya tata ruang berkelanjutan dan
mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
D. Diskusi
Kegiatan diskusi dilakukan dalam rangka penguatan kegiatan untuk menggali
materi / data lebih dalam serta forum penyepakatan atas materi yang telah disusun.
Kegiatan diskusi meliputi penyelenggaraan rapat koordinasi didaerah dengan
perangkat daerah terkait, dalam rangka menjaring saran dan masukan serta
klarifikasi terhadap hasil.
61
Tabel 12 Waktu Penyelesaian Pekerjaan RTRW Kabupaten
BULAN 1 BULAN 2 BULAN 3 BULAN 4 BULAN 5 BULAN 6
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
No Kegiatan
ke- ke- ke- ke- ke- ke-
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 TAHAP PERSIAPAN
a Koordinasi dan mobilisasi
b penyusunan rencana kerja
c Penyusunan metodologi pelaksanaan pekerjaan
d Penyusunan jadwal pelaksanaan kegiatan
e Kajian literatur
f FGD 1 Kabupaten (Konfirmasi dan Klarifikasi Data)
g Penyerahan rencana mutu kontrak
h Pembahasan dan penyerahan laporan pendahuluan
2 TAHAP PENGUMPULAN DATA
a Pengumpulan Data Primer
- Aspirasi masyarakat
- Kondisi fisik Wilayah
- Kondisi social dan Kependudukan
- Kondisi perekonomian
b Pengumpulan Data Sekunder
- Peta dasar dan peta tematik
57
BULAN 1 BULAN 2 BULAN 3 BULAN 4 BULAN 5 BULAN 6
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
No Kegiatan
ke- ke- ke- ke- ke- ke-
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
- Dokumen kebijakan
- Dokumen mengenai kondisi wilayah
c FGD di daerah
FGD 2 Kecamatan (Menjaring Informasi dari Berbagai Stakeholder)
FGD 3 Kecamatan (Menjaring Informasi dari Berbagai Stakeholder)
FGD 4 Kecamatan (Menjaring Informasi dari Berbagai Stakeholder)
3 TAHAP ANALISIS
a Analisis tentang kondisi wilayah perencanaan
1. Isu strategis pengembangan wilayahkabupaten
2. Potensi dan masalah penataan ruang wilayah kabupaten
3. Peluang dan tantangan penataan ruang wilayah kabupaten
4. Kecenderungan pengembangan dan kesesuaian kebijakan kabupaten
5. Perkiraan kebutuhan pengembangan wilayah kabupaten
6. Daya dukung dan daya tampung ruang
7. Distribusi penduduk perkotaan dan perdesaan
8. Disparitas antar wilayah, kluster ekonomi dan pusat pertumbuhan
ekonomi
b FGD 5 Kabupaten (Hasil Analisis dan Pemilihan Alternatif Rencana)
c FGD 6 Kabupaten (Hasil Analisis dan Pemilihan Alternatif Rencana)
58
BULAN 1 BULAN 2 BULAN 3 BULAN 4 BULAN 5 BULAN 6
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
No Kegiatan
ke- ke- ke- ke- ke- ke-
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
d Konsultasi Publik 1
e Pembahasan dan penyerahan laporan antara
4 TAHAP PENYUSUNAN KONSEP RTRW KABUPATEN
a Penyusunan Materi Teknis RTRW Kabupaten
1. Penyusunan alternative konsep rencana
2. Pemilihan konsep rencana
3. Perumusan rencana terpilih menjadi muatan RTRW Kabupaten
b Konsultasi Publik 2
c FGD 7 Kabupaten (Konsep Akhir RTRW Kabupaten)
d Dokumen Fakta Analisis
e Dokumen Materi Teknis
f Proses Persub RTRW Kabupaten
1. pengajuan rancangan Perda tentang rencana tata ruang
2. evaluasi materi muatan teknis rancangan Perda tentang rencana tata
ruang
3. Pembahasan lintas sektor
4. persetujuan substansi rancangan perda tentang rencana tata ruang
5 TAHAP PENYUSUNAN PETA
a Penyusunan album peta
59
BULAN 1 BULAN 2 BULAN 3 BULAN 4 BULAN 5 BULAN 6
Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu Minggu
No Kegiatan
ke- ke- ke- ke- ke- ke-
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
- Konsultasi ke BIG
6 TAHAP PENYUSUNAN KLHS
a Penyusunan dokumen KLHS dan Proses Rekomendasi
1. Persiapan (Pembentukan Pokja dan Penyusunan KAK)
2. FGD Penjaringan isu strategis (identifikasi isu pembangunan
berkelanjutan, isu PB paling strategis dan isu PB prioritas)
3. Identifikasi materi muatan KRP berdampak terhadap LH
4. Kajian pengaruh KRP terhadap 6 muatan KLHS
5. Perumusan alternative dan rekomendasi
6. Penjaminan kualitas
b Dokumen KLHS
7 PELAPORAN
Penyusunan proceeding dan buku luxury
Penyerahan draft laporan akhir
Pembahasan dan penyerahan laporan akhir
Album Peta
60
61