Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

POTENSI WILAYAH ANTAR PULAU, KEARIFAN LOKAL DAN


KELEMBAGAAN PENGELOLAAN

Disusun Oleh :

Nama : LISNA. S. RAHARUSUN


Nim : 8720322004
Semester : II (GENAP)
Dosen Pengampun : Ode Kamarudin.S.Ei, M.Si
Mata Kuliah : PENDIDIKAN EKONOMI

SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP)


SERAM RAYA
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kekhadirat Allah yang telah memberikan hidayahNya

kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini.

Seiring dengan berakhirnya penyusunan makalah ini, sepantasnyalah penulis

mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah turut membantu penyusun

dalam penyusunan makalah ini.

Penyusun menyadari masih banyaknya kekurangan dalam penyusunan makalah ini,

oleh karena itu peyusun berharap adanya kritik dan saran yang membangun. Penyusun

berharap kiranya makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun maupun.


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH

BAB II PEMBAHASAN
A. POTENSI WILAYAH ANTAR PULAU
B. KEARIFAN LOKAL
C. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN

BAB III PENUTUP


KESIMPULAN
SARAN

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Laut di dalam kehidupan suatu negara mempunyai arti dan peranan yang penting sekali.
Laut terutama sekali merupakan jalan raya yang menghubungkan seluruh pelosok dunia. Melalui
laut, masyarakat dari berbagai bangsa mengadakan segala bentuk pertukaran dari komoditi
perdagangan sampai ilmu pengetahuan. Dalam sejarah, laut terbukti telah mempunyai pelbagai
fungsi, antara lain sebagai: sumber makanan bagi manusia, jalan raya perdagangan, sarana untuk
penaklukan, tempat pertempuran-pertempuran, tempat bersenang-senang dan pemisah atau
pemersatu bangsa. Laut juga mempunyai arti penting bagi riset mengingat 2/3 dari permukaan
bumi terdiri dari laut.
Ekosistem laut merupakan sistem akuatik yang terbesar di planet bumi. Lautan menutupi
lebih dari 80 persen belahan bumi selatan tetapi hanya menutupi 61 persen belahan bumi utara,
dimana terdapat sebagian besar daratan bumi. Indonesia sebagai Negara kepulauan terletak di
antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia dan mempunyai tatanan geografi yang rumit
dilihat dari topografi dasar lautnya. Dasar perairan Indonesia di beberapa tempat, terutama di
kawasan barat menunjukkan bentuk yang sederhana atau rata yang hampir seragam, tetapi di
tempat lain terutama kawasan timur menunjukkan bentuk-bentuk yang lebih majemuk, tidak
teratur dan rumit.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Potensi Wilayah Antar Pulau ?
2. Apa yang di maksud Kearifan Lokal ?
3. Apa itu Kelembagaan Pengelolaan ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. POTENSI WILAYAH ANTAR PULAU
Potensi Kelautan Indonesia
Negara Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas 5,8 juta km2 yang merupakan tiga per
empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut tersebut terdapat sekitar 17.500
lebih dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang
kedua di dunia setelah Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara
kepulauan dan maritim terbesar di dunia.
Selain peran geopolitik, wilayah laut kita juga memiliki peran geokonomi yang sangat
penting dan strategis bagi kejayaan dan kemakmuran bangsa Indonesia. Sebagai negara
kepulauan dan maritim terbesar di dunia, Indonesia diberkahi Tuhan YME dengan kekayaan laut
yang sangat besar dan beraneka-ragam, baik berupa sumberdaya alam terbarukan (seperti
perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumputlaut, dan produk-produk bioteknologi);
sumberdaya alam yang takterbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih
besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan sepertipasang-surut, gelombang, angin, dan
OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti
pariwisata bahari dan transportasi laut.
Oleh karena itu, pada makalah ini dibahas mengenai pentingnya pengembangan potensi
kelautan yang optimal bagi peningkatan kesejahteraan bangsa Indonesia. Pengembangan
kelautan tersebut diawali dengan adanya isu-isu permasalahan yang ada dan ditindaklanjuti
dengan upaya pengelolaan kelautan dengan menggunakan prinsip-prinsip pengelolaan yang
berkelanjutan, terpadu, desentralisasi pengelolaan, pemberdayaan masyarakat dan kerjasama
internasional.
A. Potensi Sumberdaya Kelautan
Potensi dan peluang pengembangan kelautan meliputi (1) perikanan tangkap, (2) perikanan
budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan dan
perikanan, (5) pengembangan pulau-pulau kecil, (6) pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan
Kapal Tenggelam, (7) deep sea water, (8) industri garam rakyat, (9) pengelolaan pasir laut, (10)
industri penunjang, (11) pengembangan kawasan industri perikanan terpadu, dan (12)
keanekaragaman hayati laut.
1. Perikanan
Laut Indonesia memiliki luas lebih kurang 5,8 juta km2 dengan garis pantai sepanjang
81.000 km, dengan potensi sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun yang
tersebar di perairan wilayah Indonesia dan perairan ZEEI (Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia),
yang terbagi dalam sembilan wilayah perairan utama Indonesia.
Di samping itu terdapat potensi pengembangan untuk (a) budidaya laut terdiri dari budidaya
ikan (antara lain kakap, kerapu, dan gobia), budidaya moluska (kerang-kerangan, mutiara, dan
teripang), dan budidaya rumput laut, dan (e) bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri
bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku untuk makanan, industri bahan pakan alami,
benih ikan dan udang, industri bahan pangan.
2. Pertambangan dan energy
Potensi sumberdaya mineral kelautan tersebar di seluruh perairan Indonesia. Sumberdaya
mineral tersebut diantaranya adalah minyak dan gas bumi, timah, emas dan perak, pasir kuarsa,
monazite dan zircon, pasir besi, agregat bahan konstruksi, posporit, nodul dan kerak mangan,
kromit, gas biogenic kelautan, dan mineral hydrothermal.
3. Perhubungan Laut
Transportasi laut berperan penting dalam dunia perdagangan internasional maupun
domestik. Transportasi laut juga membuka akses dan menghubungkan wilayah pulau, baik
daerah sudah yang maju maupun yang masih terisolasi. Sebagai negara kepulauan (archipelagic
state), Indonesia memang amat membutuhkan transportasi laut, namun, Indonesia ternyata
belum memiliki armada kapal yang memadai dari segi jumlah maupun kapasitasnya. Data tahun
2001 menunjukkan, kapasitas share armada nasional terhadap angkutan luar negeri yang
mencapai 345 juta ton hanya mencapai 5,6 persen. Adapun share armada nasional terhadap
angkutan dalam negeri yang mencapai 170 juta ton hanya mencapai 56,4 persen. Kondisi
semacam ini tentu sangat mengkhawatirkan terutama dalam menghadapi era perdagangan
bebas. Selain diperlukan suatu kebijakan yang kondusif untuk industri pelayaran, maka
Peningkatan kualitas SDM yang menangani transportasi sangatlah diperlukan.
Karena negara Indonesia adalah negara kepulauan maka keperluan sarana transportasi laut
dan transportasi udara diperlukan. Mengingat jumlah pulau kita yang 17 ribu buah lebih maka
sangatlah diperlukan industri maritim dan dirgantara yang bisa membantu memproduksi sarana
yang membantu kelancaran transportassi antar pulau tersebut. Potensi pengembangan industri
maritim Indonesia sangat besar, mengingat secara geografis Indonesia merupakan negara
kepulauan yang terdiri dari ribuan pulau. Untuk menjangkau dan meningkatkan assesbilitas pulau
dapat dihubungkan melalui peran dari sarana transportasi udara (pesawat kecil) dan sarana
transportasi laut (kapal, perahu, dan sebagainya).
4. Pariwisata Bahari
Indonesia memiliki potensi pariwisata bahari yang memiliki daya tarik bagi wisatawan.
Selain itu juga potensi tersebut didukung oleh kekayaan alam yang indah dan keanekaragaman
flora dan fauna. Misalnya, kawasan terumbu karang di seluruh Indonesia yang luasnya mencapai
7.500 km2 dan umumnya terdapat di wilayah taman laut. Selain itu juga didukung oleh 263 jenis
ikan hias di sekitar terumbu karang, biota langka dan dilindungi (ikan banggai cardinal fish, penyu,
dugong, dll), serta migratory species.
Potensi kekayaan maritim yang dapat dikembangkan menjadi komoditi pariwisata di laut
Indonesia antara lain: wisata bisnis (business tourism), wisata pantai (seaside tourism), wisata
budaya (culture tourism), wisata pesiar (cruise tourism), wisata alam (eco tourism) dan wisata
olah raga (sport tourism).
B. Upaya Pengelolaan yang Optimal
1. Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan merupakan salah satu amanat dari pertemuan Bumi (Earth
Summit) yang diselenggarakan tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Dalam forum global tersebut,
pemahaman tentang perlunya pembangunan berkelanjutan mulai disuarakan dengan
memberikan definisi sebagai pembangunan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi
sekarang dengan tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi
kebutuhannya.
Pengelolaan sumberdaya laut perlu diarahkan untuk mencapai tujuan pendayagunaan
potensi untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional dan
kesejahteraan pelaku pembangunan kelautan khususnya, sertauntuk tetap menjaga kelestarian
sumberdaya kelautan khususnya sumberdaya pulih dan kelestarian lingkungan.
2. Keterpaduan
Sifat keterpaduan dalam pembangunan kelautan menghendaki koordinasi yang mantap,
mulai tahapan perencanaan sampai kepada pelaksanaan dan pemantauan serta pengendaliannya.
Untuk itu , dibutuhkan visi, misi, strategi, kebijakan dan perencanaan program yang mantap dan
dinamis. Melalui koordinasi dan sinkronisasi dengan berbagai pihak baik lintas sektor maupun
subsektor, tentu dengan memperhatikan sasaran, tahapan dan keserasian antara rencanan
pembangunan kelautan nasional dengan regional, diharapkan diperolah keserasian dan
keterpaduan perencanaan dari bawah (bottom up) yang bersifat mendasar dengan perencanaan
dari atas ( top down) yang bersifat policy, sebagai suatu kombinasi dan sinkronisasi yang lebih
mantap.
Keterpaduan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan meliputi (1) keterpaduan sektoral
yang mensyaratkan adanya koordinasi antar sektor dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan, (2)
keterpaduan pemerintahan melalui integrasi antara penyelenggara pemerintahan antarlevel
dalam sebuah konteks pengelolaan kelautan tertentu, (3) keterpaduanspasial yang memberikan
arah pada integrasi ruang dalam sebuah pengelolaan kawasan laut, (4) keterpaduan ilmu dan
manajemen yang menitikberatkan pada integrasi antarilmu dan pengetahuan yang terkait dengan
pengelolaan kelautan, dan (5) keterpaduan internasional yang mensyaratkan adanya integrasi
pengelolaan pesisir dan laut yangmelibatkan dua atau lebih negara, seperti dalam konteks
Transboundary species, high migratory species maupun efek polusi antar ekosistem.
3. Desentralisasi Pengelolaan
Dari 400-an lebih kabupaten dan kota di Indonesia, maka 240-an lebih memiliki wilayah laut.
Memperhatikan hal ini maka dalam bagian kesungguhan mengelola kekayaan laut Diharapkan
stabilitas politik di negara kita dapat ditingkatkan, penegakan hukum dapat segera dilaksanakan
sehingga segala upaya dalam pembangunan SDM, pembangunan ekonomi dapat memperoleh
hasil yang optimal. Budaya negeri kita paternalistik, sehingga perilaku pemimpin nasional dan
daerah, perilaku pejabat pusat dan daerah akan menjadi refleksi masyarakat luas. Usaha
pemberian otonomi yang nyata dan bertanggung jawab dalam urusan pemerintahan dan
pembangunan merupakan isu pemerintahan yang lebih santer di masa-masa yang akan datang.
Proses perencanaan dan penentuan kebijaksanaan pembangunan yang sekarang masih nampak
sentralistis di pemerintahan pusat kiranya perlu didorong untuk mendesentralisasikan ke daerah-
daerah.
Selain itu, peranan daerah juga sangat besar dalam proses pemberdayaan masyarakat
untuk ikut serta secara aktif dalam proses pembangunan, termasuk di dalamnya pembangunan
wilayah pesisir dan lautan. Namun peran tersebut masih perlu ditingkatkan di masa mendatang
mengingat peranan sumberdaya pesisir dan lautan dalam pembangunan di masa mendatang
makin penting. Peranan daerah juga makin penting, terutama apabila dikaitkan dengan
pembinaan kawasan, baik yang berkaitan dengan pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya
alam maupun masyarakat di daerah, terutama yang berada di kawasan pesisir, yang
kehidupannya sangat tergantung pada lingkungan di sekitarnya (lingkungan pesisir dan lautan).
Daerah juga harus dapat meningkatkan peranannya melalui pembinaan dunia usaha di daerah
untuk mengembangkan usahanya di bidang kelautan. Artinya proses pemberdayaan bukan hanya
diperuntukkan bagi masyarakat pesisir atau masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada
sektor kelautan (nelayan), tetapi juga para usahawan (misalnya perikanan) mengantisipasi
potensi pasar dalam negeri maupun luar negeri yang cenderung meningkat. Di sektor lain,
misalnya budidaya laut juga merupakan potensi untuk mendorong pembangunan baik secara
nasional maupun untuk kepentingan masyarakat pesisir.
Secara empiris, trend menuju otonomisasi pengelolaan sumberdaya kelautan ini pun di
beberapa negara sudah teruji dengan baik. Contoh bagus dalam hal ini adalah Jepang. Dengan
panjang pantai kurang lebih 34.590 km dan 6.200 pulau besar kecil, Jepang menerapkan
pendekatan otonomi melalui mekanisme “coastal fishery right”-nya yang terkenal itu. Dalam
konteks ini, pemerintah pusat hanya memberikan “basic guidelines” dan kemudian kebijakan
lapangan diserahkan kepada provinsi atau kota melalui FCA (Fishebry Cooperative Association).
Dengan demikian, terdapat mozaik pengelolaan yang bersifat site-spesific menurut kondisi lokasi
di wilayah pengelolaan masing-masing.
4. Pengelolaan Berbasis Masyarakat
Pendekatan pembangunan termasuk dalam konteks sumberdaya kelautan, seringkali
meniadakan keberadaan organisasi lokal (local organization). Meningkatnya perhatian terhadap
berbagai variabel local menyebabkan pendekatan pembangunan dan pengelolaan beralih dari
sentralisasi ke desentralisasi yang salah satu turunannya adalah konsep otonomi pengelolaan
sumberdaya kelautan.
Dalam konteks ini pula, kemudian konsep CBM (community based management) dan CM
(Co-Management) muncul sebagai “policy badies” bagi semangat ”kebijakan dari bawah” (bottom
up policy) yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Hal ini diarahkan sesuai dengan
tujuan pengelolaan sumberdaya kelautan yang dilakukan untuk mencapai kesejahteraan bersama
sehingga orientasinya adalah pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat sehingga tidak hanya
menjadi objek, melainkan subjek pengelolaan.

B. KEARIFAN LOKAL
Pengertian Kearifan Lokal
Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu
kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan
kebijaksanaan. Dengan kata lain maka local wisdom dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan,
nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi
dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh
Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini
(Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga
cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut
mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri
(Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41)
mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji
kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.
Ciri-cirinya adalah:
1. mampu bertahan terhadap budaya luar,
2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar,
3. memunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli,
4. memunyai kemampuan mengendalikan,
5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
I Ketut Gobyah dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dalam mengatakan bahwa kearifan
lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.
Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang
ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi
geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara
terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meski pun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di
dalamnya dianggap sangat universal.
S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dalam Iun,secara
konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang
bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara
tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan
dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.
Dalam penjelasan tentang ‘urf, Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003 menjelaskan bahwa
tentang kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al- ‘addah al-ma’rifah), yang dilawankan
dengan al-‘addah al-jahiliyyah. Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari
pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama. Adat kebiasaan pada
dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan
tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu
tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara
terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau
mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh
penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan.
Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat
lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat
empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di
sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun
sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah
sehari-hari (daily problem solving).
Kearifan lokal merupakan sesuatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu
(budaya lokal) dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (masyarakat lokal).
Dengan kata lain, kearifan lokal bersemayam pada budaya lokal (local culture). Budaya lokal (juga
sering disebut budaya daerah) merupakan istilah yang biasanya digunakan untuk membedakan
suatu budaya dari budaya nasional (Indonesia) dan budaya global. Budaya lokal adalah budaya
yang dimiliki oleh masyarakat yang menempati lokalitas atau daerah tertentu yang berbeda dari
budaya yang dimiliki oleh masyarakat yang berada di tempat yang lain. Permendagri Nomor 39
Tahun 2007 pasal 1 mendefinisikan budaya daerah sebagai “suatu sistem nilai yang dianut oleh
komunitas atau kelompok masyarakat tertentu di daerah, yang diyakini akan dapat memenuhi
harapan-harapan warga masyarakatnya dan di dalamnya terdapat nilai-nilai, sikap tatacara
masyarakat yang diyakini dapat memenuhi kehidupan warga masyarakatnya”.
Di Indonesia istilah budaya lokal juga sering disepadankan dengan budaya etnik/ subetnik.
Setiap bangsa, etnik, dan sub etnik memiliki kebudayaan yang mencakup tujuh unsur, yaitu:
bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem
mata pencaharian, sistem religi, dan kesenian. Secara umum, kearifan lokal (dalam situs
Departemen Sosial RI) dianggap pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi
kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab
berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dengan pengertian-pengertian tersebut,
kearifan lokal bukan sekedar nilai tradisi atau ciri lokalitas semata melainkan nilai tradisi yang
mempunyai daya-guna untuk untuk mewujudkan harapan atau nilai-nilai kemapanan yang juga
secara universal yang didamba-damba oleh manusia.
Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah pengetahuan
yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka,
menjadikan pengetahuan itu sebagai bagian dari budaya dan memperkenalkan serta meneruskan
itu dari generasi ke generasi. Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat cerita-
cerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat.
Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi
sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan
mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal.
Jenis-jenis kearifan local, antara lain;
1. Tata kelola,berkaitan dengan kemasyarakatan yang mengatur kelompok sosial (kades).
2. Nilai-nilai adat, tata nilai yang dikembangkan masyarakat tradisional yang mengatur etika.
3. Tata cara dan prosedur, bercocok tanam sesuai dengan waktunya untuk melestarikan alam.
4. Pemilihan tempat dan ruang.
Kearifan lokal yang berwujud nyata, antara lain;
1. Tekstual, contohnya yang ada tertuang dalam kitab kono (primbon), kalinder.
2. Tangible, contohnya bangunan yang mencerminkan kearifan lokal.
3. Candi borobodur, batik.
Kearifan lokal yang tidak berwujud;
• Petuah yang secara verbal, berbentuk nyanyian seperti balamut.
Fungsi kearifan lokal, yaitu;
1. Pelestarian alam,seperti bercocok tanam.
2. Pengembangan pengetahuan.
3. Mengembangkan SDM.
Contuh kearifan lokal yang ada di daerah banjar adalah seperti Baayun Maulid. Contohnya
pada cerpen ”Anak Ibu yang Kembali” karya Benny Arnas, di sana pandangan punya anak lelaki
lebih baik daripada punya anak perempuan itu tidak dapat digolongkan dalam kearifan lokal
karena toh memang tidak mampu menjawab pertanyaan zaman. Kini, di kota-kota besar, para
orang tua lebih suka menginvestasikan hartanya untuk di masa tuanya nanti hidup leha-leha di
rumah jompo elit tanpa memikirkan kehidupan anak-anaknya. Demikian pula dengan cerpen Hari
Pasar karya Nenden Lilis yang bercerita tentang kehidupan seorang pedagang di sebuah pasar
yang punya banyak anak dan harus berhutang sana-sini untuk kehidupannya sehari-hari termasuk
untuk modal usahanya. Kehidupan semacam ini adalah gambaran yang nyata yang ada di sekitar
kita, dan kearifan yang ada di sana adalah kearifan universal di mana meskipun miskin, tetapi
pasangan orang tua di dalam cerpen itu mati-matian menyuruh anak-anaknya tetap sekolah.

C. KELEMBAGAAN PENGELOLAAN
Stakeholders dalam Pengelolaan DAS
Setiap unsur sumberdaya, baik fisik maupun biotik (termasuk manusia), yang ada di
permukaan bumi pasti berada dalam suatu DAS. Berbagai pihak, baik instansi pemerintah,
swasta, maupun masyarakat (perorangan atau kelompok), berkepentingan dalam pengelolaan
dan pemanfaatan DAS dengan tujuan yang berbeda-beda. Makin luas dan makin beragam
sumberdaya yang terdapat dalam suatu DAS, semakin banyak dan beragam pihak yang
berkepentingan dalam DAS tersebut.
Instansi pemerintah yang bekepentingan dalam pengelolaan sumberdaya dalam suatu DAS,
antara lain: Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan, Dinas
Pertambangan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Pekerjaan Umum, Badan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Balai Pengelolaan Sungai, dan Balai Pengelolaan DAS, dan
lainlain. Semua kegiatan yang dilakukan oleh instansi tersebut, pasti menimbulkan dampak
terhadap kondisi DAS, baik dampak yang positif maupun negatif.
Berbagai perusahaan swasta yang berkepentingan dengan eksploitasi dan pemanfaatan
sumberdaya dalam suatu DAS, antara lain: perusahaan perkebunan, perusahaan kehutanan,
perusahaan perikanan, perusahaan pertambangan, perusahaan pengolahan air, dan lain-lain.
Perusahaan yang memanfaatkan lahan yang relatif luas atau alih fungsi lahan tentu akan
memberikan dampak terhadap kualitas DAS. Bagi perusahaan yang dalam proses produksinya
tergantung pada ketersediaan air, misalnya produsen air dalam kemasan, perusahaan perikanan,
dan industri pengolahan lainnya, umumnya kurang peduli terhadap faktor yang mempengaruhi
ketersediaan air tersebut.
Pihak lainnya yang berkepentingan dengan pemanfaatan sumberdaya lahan adalah petani.
Petani kita umumnya, memiliki dan atau mengolah lahan yang relatif sempit serta belum
menerapkan kaidah konservasi tanah dan air dalam usaha taninya. Khusus di Provinsi Lampung,
sebagian besar petani merupakan petani lahan kering. Menurut Manik (2007), pertanian lahan
kering (tanaman semusim, tanaman tahunan, hortikultura) tanpa tindakan konservasi tanah dan
air akan meningkatkan laju aliran permukaan. Aliran permukaan yang tinggi akan meyebabkan
terjadinya erosi dan sedimentasi. Dampak erosi dan sedimentasi adalah menurunnya kesuburan
tanah, masuknya residu pupuk ke sungai (terjadi eutrofikasi), masuknya residu pestisida
(insektisida, fungisida, herbisida) ke sungai, pencemaran  air, serta pendangkalan sungai, waduk,
danau, dan atau laut. Dengan jumlah petani lahan kering (termasuk perambah hutan) yang cukup
banyak, maka dampak yang ditimbulkannya juga relatif besar.
Banyaknya stakeholders di sebuah DAS menyebabkan pengelolaan DAS menjadi semakin
rumit.  Ketidakpahaman atas implementasi prinsip keterkaitan sumberdaya alam dalam suatu
DAS dapat menimbulkan konflik antar stakeholders, terutama yang menyangkut alokasi dan
distribusi sumberdaya. Semakin terbatas suatu sumberdaya alam dibandingkan dengan
permintaan masyarakat, maka kompetisi untuk memperoleh sumberdaya alam tersebut semakin
tinggi dan peluang terjadinya konflik makin besar. Hal ini jelas terlihat pada konflik pemanfaatan
sumber daya air, hutan, dan lahan.
Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS
Seperti telah diuraikan sebelumnya, pengelolaan DAS melibatkan banyak pemangku
kepentingan (stakeholders) sehingga dalam pelaksanaan pengelolaan diperlukan koordinasi.
Untuk itu, diperlukan seperangkat aturan yang diterima dan dilaksanakan oleh seluruh
stakeholders.
Kelembagaan atau institusi merupakan suatu sistem yang kompleks, rumit, dan abstrak
yang mencakup ideologi, hukum, adat istiadat, aturan dan kebiasaan yang tidak terlepas dari
lingkungan. Kelembagaan mengatur apa yang dilarang dikerjakan oleh individu (perorangan atau
organisasi) atau dalam kondisi bagaimana individu dapat mengerjakan sesuatu. Dengan
demikian, kelembagaan merupakan instrumen yang mengatur hubungan antar individu. Menurut
Soekanto (1999), fungsi kelembagaan adalah: 1) sebagai pedoman bagi masyarakat untuk
bertingkah laku, 2) menjaga keutuhan masyarakat, dan 3) sebagai sistem pengendalian sosial
(social control), artinya sistem pengawasan dari masyarakat terhadap tingkah laku anggotanya.
Kelembagaan dapat diartikan sebagai seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat,
yang mendefinisikan kesempatankesempatan yang tersedia, bentukbentuk aktivitas yang dapat
dilakukan oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya, hak-hak istimewa yang telah diberikan, serta
tanggungjawab yang harus mereka lakukan. Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu
dan atau kelompok yang terlibat dalam kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam
tertentu (Schmid, 1987 dalam Kartodihardjo, 2000).
Kesempatan yang tersedia dalam lingkungan tergantung pada aturan main yang digunakan.
Aturan main tersebut merupakan bentuk kelembagaan yang menentukan hubungan
interdependensi antar individu atau kelompok masyarakat yang terlibat. Implikasi bentuk
interdependensi tersebut mengakibatkan “siapa berbuat apa mendapatkan apa”.
Hak-hak tersebut mengatur hubungan antar individu atau kelompok yang terlibat dalam
kaitannya dengan pemanfaatan sumberdaya alam tertentu. Hak bagi seseorang atau kelompok
merupakan kewajiban bagi orang atau kelompok yang lain. Hak-hak juga dapat mengatur
hubungan antara individu atau kelompok dengan sumberdaya alam. Dengan demikian untuk
mendapatkan hak dari sumberdaya alam, seseorang atau kelompok juga memiliki kewajiban
terhadap sumberdaya alam tersebut.
Menurut Kartodiharjo dkk (2000) kelembagaan juga dapat diartikan sebagai inovasi
manusia untuk mengatur atau mengontrol interdependensi antar manusia terhadap sesuatu,
kondisi atau situasi melalui inovasi dalam hak kepemilikan, aturan representasi atau batas
yurisdiksi.
Sebagaimana dikemukakan di atas, kelembagaan merupakan seperangkat ketentuan yang
mengatur hubungan antar individu atau kelompok dalam masyarakat. Oleh karena itu, respons
dan reaksi dari masyarakat yang dikenai ketentuan tersebut merupakan hal yang penting dan
merupakan ukuran efektivitas kelembagaan.
Kelembagaan dalam Pengelolaan DAS
Selama ini, kelembagaan  pemerintah dianggap mempunyai  peran sentral karena
merupakan  agen pembangunan yang  menentukan secara formal  perubahan yang diinginkan.
 Walaupun demikian, kinerja  instansi pemerintah sangat  tergantung pada kapasitas dan
 kapabilitas yang dimilikinya.  Sebagaimana telah dijelaskan,  kelembagaan adalah seperangkat
 aturan. Aturan tersebut tertuang  dalam bentuk peraturan  perundang-undangan serta  kebijakan-
kebijakan dan atau  kesepakatan antar stakeholders.  Landasan hukum pengelolaan DAS  secara
substansi terkandung dalam  Undang-Undang Dasar 1945 dan  beberapa Undang-undang serta
 Peraturan Pemerintah (Kaban, 2008).
Undang-Undang Dasar Negara  Republik Indonesia tahun 1945  pasal 33 ayat (3)
menyebutkan  bahwa bumi dan air dan kekayaan  alam yang terkandung di dalamnya  dikuasai
oleh negara dan  dipergunakan untuk sebesar-besar  kemakmuran rakyat. Dalam kaitan  ini,
pengelolaan DAS sebagai suatu  satuan ekosistem pada hakikatnya  ditujukan untuk memperoleh
 manfaat dari sumberdaya alam  terutama hutan, lahan, dan air  untuk kesejahteraan rakyat
 sekaligus menjaga kelestarian DAS itu sendiri.
Secara jelas dalam Undangundang  No 41 tahun 1999 tentang  Kehutanan, dinyatakan
bahwa  tujuan penyelenggaraan kehutanan  adalah untuk meningkatkan daya  dukung DAS dan
seluas 30 % dari  total luas DAS berupa kawasan  hutan. Sementara, pemanfaatan  kawasan pada
hutan lindung, hutan  konservasi, dan hutan produksi  harus dilakukan dengan kehatihatian.
 Demikian juga pemanfaatan  hasil hutan dan jasa lingkungan  pada semua fungsi kawasan hutan
 lindung harus dilakukan secara  lestari (berkelanjutan) tanpa  mengganggu kelestarian fungsi
 ekosistem hutan sehingga hutan  sebagai bagian dari DAS ikut meningkatkan daya dukung DAS.
Dalam UU No 7 tahun 2004  tentang Sumber Daya Air dan  peraturan turunannya seperti PP
 No 42 tahun 2008 tentang  Pengelolaan Sumberdaya Air dan  Perpres No 12 tahun 2008 tentang
 Dewan Sumberdaya Air, DAS  didefinisikan secara rinci dan DAS  menjadi bagian dari Wilyah
Sungai  (WS) yaitu kesatuan wilayah  pengelolaan sumberdaya air dalam  satu atau lebih DAS
dan/atau  pulau-pulau kecil yang luasnya  kurang dari atau sama dengan  2.000 km2. Undang-
undang sumber  daya air tersebut dan peraturan  turunannya lebih banyak mengatur  tentang
konservasi, pembangunan,  pendayagunaan/ pemanfaatan,  distribusi dan pengendalian daya
 rusak air serta kelembagaan  sumber daya air. Pusat  perhatiannya adalah pada  pengaturan air
di sungai dan badan  air (instream & water bodies)  termasuk tindakan konservasi air di  sekitar
sumber-sumber air, tetapi  kurang mengatur komponen DAS  lainnya seperti perilaku dan
 aktivitas orang dan makhluk hidup  lain yang saling berinteraksi di  dalam DAS atau dinamika
 penggunaan lahan. Demikian juga  untuk aspek kelembagaan,  penekanan hanya pada organisasi
 pengelola sumberdaya air  walaupun sifatnya koordinatif dari  nasional hingga kabupaten/kota
dan antar sektor.
Dalam UU No 26 tahun 2007  tentang Penataan Ruang,  disebutkan bahwa perencanaan
 penggunaan ruang/wilayah  berdasarkan fungsi lindung &  budidaya, daya dukung dan daya
 tampung kawasan, keterpaduan,  keterkaitan, keseimbangan, dan  keserasian antar sektor.
 Perencanaan tata ruang wilayah  (RTRW) dilakukan dalam batasbatas  wilayah administrasi
 nasional, provinsi, kabupaten/kota  sampai kecamatan, tetapi  pertimbangan DAS sebagai
 kesatuan ekosistem lintas wilayah  administrasi masih sangat kurang  diperhatikan walaupun
definisi DAS  (PP No 26 tahun 2008 tentang Tata  Ruang Wilayah Nasional)  sepenuhnya merujuk
UU No  7/2004 dan PP 42/2008 tentang sumberdaya air.
Berdasarkan kebutuhan dan  historis pelaksanaan kegiatan   pengelolaan DAS di Indonesia,
 telah disusun Pedoman  Penyelenggaraan Pengelolaan  DAS dan ditetapkan dengan Surat
 Keputusan Menteri Kehutanan No  52 tahun 2001 dan No 326 tahun  2005 tentang Kriteria
Penetapan  Prioritas DAS. Selanjutnya, PP No  38 tahun 2007 tentang Pembagian  Urusan
Pemerintahan antara  Pemerintah, Pemerintah Daerah  Provinsi dan Pemerintah Daerah
 Kabupaten/Kota, menyebutkan  bahwa Pemerintah mempunyai  kewenangan menetapkan pola
 umum, kriteria, prosedur dan  standar pengelolaan DAS  penyusunan rencana DAS Terpadu  dan
penetapan urutan DAS prioritas.
Pemerintah Provinsi berwenang  menyelenggarakan pengelolaan  DAS lintas
kabupaten/kota dan  Pemerintah Kabupaten/kota  menyelenggarakan pengelolaan  DAS skala
kabupaten/kota.  Berdasarkan PP No 38 tahun 2007,  pada tahun 2007/2008 Departemen
 Kehutanan telah menyusun Pola  Umum, Kriteria dan Standar  Pengelolaan DAS Terpadu.
 Diharapkan, penguatan dan taat  asas implementasi peraturan  perundang-undangan yang terkait
 dengan pengelolaan DAS oleh  semua pihak akan memperkuat implementasi Pola Umum
tersebut.
Sehubungan dengan semakin  meningkatnnya permasalahan DAS  yang harus diselesaikan
secara  terpadu dengan melibatkan  berbagai sektor dan wilayah  pemerintahan administrasi
serta  permintaan dari berbagai pihak  terkait, maka Departemen  Kehutanan telah berprakarsa
 menyusun Rancangan Undang-  Undang (RUU) tentang Konservasi  Tanah. Hal ini sangat
dibutuhkan  karena sampai saat ini banyak  pengunaaan tanah yang tidak  menerapkan kaidah-
kaidah  konservasi tanah dan air sehingga  menyebabkan kerusakan DAS.  Sejak tahun 2006
Departemen  Kehutanan menyusun Rancangan  Peraturan Pemerintah (RPP)  tentang
Pengelolaan DAS Terpadu. Dalam RPP tersebut dinyatakan  secara jelas, rinci, serta holistik dan
 komprehensif tentang pengelolaan  DAS sebagai satu unit analisis  dalam kesatuan wilayah
ekologis  dari hulu sampai hilir. Dalam hal  ini  segala aspek biogeofisik, sosial  ekonomi, dan
kelembagaan,  bahkan aspek pembiayaan sangat  dipertimbangkan dan diperhitungkan.
Walaupun telah demikian banyak  aturan dibuat dan diberlakukan  akan tetapi fakta
menunjukkan  bahwa kerusakan DAS semakin  meluas. Ini menunjukkan bahwa  seperangkat
aturan tersebut belum efektif.
Alternatif Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan DAS
Dalam menentukan dan  mengembangkan bentuk  kelembagaan pengelolaan DAS,  ada
beberapa pertimbangan yang  perlu diperhatikan. Pertimbangan  tersebut didasarkan pada
kekuatan  dan kelemahan yang ada pada  setiap bentuk kelembagaan tersebut (Kartodihadrjo,
2004).
Secara umum ada tiga bentuk kelembagaan yaitu (Yudono, 2008):
a. Bentuk kelembagaan Polycentric
Bentuk kelembagaan polycentric, yaitu kelembagaan  yang menganggap individu  sebagai
dasar dari unit analisis. Otoritas yang dimiliki seseorang  itulah yang diartikulasikan  kedalam
tindakan. Tidak ada  supremasi otoritas, otoritas  tergantung pada bagaimana  mempertemukan
kepentingan  dalam suatu struktur  pengambilan keputusan antar  pihak (Kartodihardja, 2004).
 Kelebihan dari sebuah sistem  polycentric yaitu masing-masing  wilayah dan masing-masing
 sektor berkedudukan setara,  salah satu ciri polycentric adalah  mampu untuk menangani sistem
yang kompleks dan sistem  biofisik yang dinamik. Kelemahan  dari sistem polycentric adalah
 belum adanya saling percaya  baik secara hierarki, maupun  scara horizontal, lemahnya asas
 timbal balik, kurangnya arahan  sentral dan permasalahan yang terlalu kompleks.
b. Bentuk kelembagaan Monocentric;
Dalam kelembagaan ini otoritas terpusat  di satu titik, hubungan antar  anggota tidak setara,
tetapi  dibawah komando dari pusat.  Kelebihan sistem ini adalah  bersifat sentralistik sehingga
 memungkinkan dilaksanakannya  konsep one river, one plan and  multi management. Ada arahan
 yang jelas dari pusat. Kelemahan  kelembagaan Monocentric,  antara lain pengelolaan DAS
 hanya sampai pada tataran  formal, kurang implementatif dan  mengurangi kewenangan wilayah
 administrasi, padahal yang  diinginkan adalah kerjasama dari mereka.
c. Bentuk kelembagaan  gabungan Polycentric dan Monocentric;
Kelembagaan ini merupakan kombinasi antara  bentuk lembaga Polycentric  dengan
Monocentric, artinya  masing-masing pihak  mempunyai kedudukan yang  setara, tetapi masih
ada  beberapa arahan dari pusat,  misalnya dalam hal kebijakan,  penyususnan pola perencanaan
 dan pedoman monitoring dan evaluasi.
Menurut Ekawati (2008),  berdasarkan hasil kajian terhadap  Sub DAS Cicatih, salah satu
 alternatif bentuk kelembagaan  dalam pengelolaan DAS adalah  kelembagaan bersama
 (colaborative), baik dengan  membentuk lembaga baru atau  memanfaatkan kelembagaan yang
 sudah ada. Bentuk kelembagaan  bersama (dalam bentuk  forum/badan koordinasi)  merupakan
salah satu alternatif  yang paling memungkinkan dalam  pembentukan kelembagaan
 pengelolaan DAS saat ini. Hal ini  didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut:
1. Sesuai dengan perundanganundangan  yang ada, yaitu UU No  7 tahun 2004 tentang
Pengelolaan Sumberdaya Air.
2. Kegiatan pengelolaan DAS  melibatkan banyak stakeholders,  lintas sektoral, multidisiplin
dan  lintas wilayah, oleh karena itu  kelembagaan yang disusun  hendaknya kelembagaan
yang  bersifat independen dan mewakili banyak pihak.
3. Permasalahan yang paling  menonjol dalam pengelolaan  DAS saat ini adalah koordinasi
 sehingga diperlukan suatu  wadah untuk mengikat,  menyatukan dan menselaraskan
 semua sektor dan wilayah agar  dapat mewujudkan pengelolaan DAS yang berkelanjutan.
Sesuai dengan ketentuan  perundang-perundangan yang ada,  nama kelembagaan
pengelolaan  DAS adalah PPTPA (Panitia  Pelaksana Tata Pengaturan Air).  PPTPA diharapkan
menjadi wadah  yang terstruktur dan independen  dari perwakilan para pihak yang  terlibat dalam
pengelolaan DAS  untuk saling berkomunikasi,  berkonsultasi dan berkoordinasi  dalam kegiatan
pengelolaan DAS.  Kedudukan PPTPA adalah sebagai  fasilitator antar para pihak yang  terlibat
dalam pengelolaan DAS.  Hubungan PPTPA dengan  stakeholders lain pada dasarnya  bersifat
konsultatif dan koordinatif.  Penetapan kebijakan tetap dilakukan pihak regulator.
Keanggotaan PPTPA juga harus  terwakili oleh pihak-pihak di atas.  Tugas pokok dari
PPTPA adalah  menyusun kebijakan, rencana,  koordinasi pelaksanaan, serta  memonitor dan
mengevaluasi  kegiatan pengelolaan DAS. Hasil  kerja PPTPA diserahkan kepada  pihak regulator
(Presiden,  Gubernur, Bupati/Walikota) sebagai  bahan pertimbangan dalam  pembuatan
keputusan yang terkait dalam kegiatan pengelolaan DAS.
Fungsi PPTPA adalah:
1. Menyusun rencana dan program  pengelolaan DAS secara kolaboratif
2. Mengkaji permasalahanpermasalahan  yang timbul akibat  kegiatan pengelolaan DAS,
 misalnya bencana alam dan sebagainya.
3. Memberi saran/pertimbangan  kepada regulator dalam kegiatan  yang terkait dalam
kegiatan  pengelolaan DAS, misalnya  pemberian ijin penambangan  galian dalam DAS,
 pengembangan dan  pemanfaatan sumberdaya air,  pengendalian bencana alam (longsor,
banjir dan sebagainya).
4. Memfasilitasi kegiatan koordinasi  dalam bentuk rapat-rapat seluruh stakeholders.
5. Melakukan pengawasan dalam  bentuk monitoring dan evaluasi  kegiatan pengelolaan
DAS oleh seluruh stakeholders.
Supratman (2008) mendeskripsikan  peran masing-masing stakeholders dalam suatu DAS
sebagai berikut:
1. Pemerintah Pusat
a. Pemerintah pusat, dalam hal  ini diwakili oleh Unit Pelaksana  Teknis Balai Pengelolaan
DAS  membuat Rencana Makro  Pengelolaan (rehabilitasi,  pemeliharaan, pembinaan,
 perlindungan, dan pengamanan),  yang mencakup kawasan hutan dan kawasan bukan
hutan.
b. Melakukan pembinaan,   monitoring, pengawasan, dan pengendalian pengelolaan DAS.
2. Pemerintah Provinsi
a. Mengkoordinasikan  keterkaitan antar kabupaten/ kota  dalam lingkup wilayah DAS
 melalui suatu sistem kelembagaan pengelolaan DAS.
b. Membuat pedoman-pedoman  dan aturan-aturan sistem  perencanaan dan pengelolaan
 DAS, serta aturan-aturan  hubungan antar kabupaten/kota dalam mengelola DAS.
c. Menfasilitasi dan  mengkoordinasikan anggaran  pengelolaan DAS, yang  mencakup
sumber-sumber  anggaran dan alokasi anggaran pada setiap kabupaten/kota.
d. Menfasilitasi penguatan  kelembagaan/organisasi  pengelolaan DAS sehingga  pedoman-
pedoman dan aturanaturan  sistem perencanaan dan  pengelolaan DAS yang dibuat
 pemerintah provinsi dipatuhi oleh pemerintah kabupaten/kota.
e. Menfasilitasi pelaksanaan  pembinaan, monitoring,  pengawasan, dan pengendalian
 kerjasama lintas kabupaten/kota dalam wilayah DAS.
3. Pemerintah Kabupaten/Kota
a. Menjabarkan Rencana Makro  DAS yang dibuat oleh  pemerintah pusat, kedalam
perencanaan kabupaten/kota.
b. Melakukan pengelolaan secara  umum (rehabilitasi,  pemeliharaan, pembinaan,
perlindungan, pengamanan).
c. Menfasilitasi pemerintah desa  menjabarkan perencanaan  pengelolaan DAS  kabupaten/
kota ke dalam perencanaan mikro desa.
d. Mengawasi dan  mengkoordinasikan pengelolaan  unit-unit lahan (building block)  yang
dilakukan oleh kelembagaan desa.
e. Mengkoordinasikan anggaran  rehabilitasi, pemeliharaan,  pembinaan, perlindungan, dan
 pengamanan DAS ke desa-desa dalam lingkup wilayahnya.
f. Membuat petunjuk teknis dan  aturan-aturan sistem  perencanaan dan pengelolaan  DAS,
serta aturan-aturan  hubungan antar desa di wilayah  kabupaten/kota dalam mengelola
DAS.
g. Menjabarkan anggaran  rehabilitasi, pemeliharaan,  pembinaan, perlindungan, dan
 pengamanan DAS kedalam anggaran desa.
h. Mengembangkan sistem  kelembagaan kehutanan pada tingkat desa.
i. Melakukan pembinaan,  monitoring, pengawasan, dan  pengendalian pelaku usaha di
dalam catchment area DAS.
4. Pemerintah Desa
a. Menjabarkan perencanaan  kabupaten/kota dalam bentuk  perencanaan mikro desa, yang
 difasilitasi oleh pemerintah kabupaten/kota.
b. Melaksanakan kegiatan  pengelolaan pada unit-unit lahan  (building block) yang ada di
desanya.
c. Pemerintah desa membuat  aturan-aturan agar kegiatan  rehabilitasi, pemeliharaan,
 pembinaan, perlindungan, dan  pengamanan DAS dalam wilayah  desanya dapat berjalan
dengan  baik, antara lain penentuan hak  dan kewajiban pelaku usaha  yang ada di dalam
catchment area DAS.
5. LSM
a. Mengembangkan kapasitas  masyarakat mengelola sumberdaya hutan
b. Membangun dan atau  memperkuat kelembagaan lokal masyarakat
c. Menfasilitasi terjalinnya  komunikasi yang intensif dan  produktif antara masyarakat
 dengan pihak-pihak yang terkait  seperti pemerintah, swasta, dan  perguruan
tinggi/kelembagaan  riset yang terkait, dalam rangka  pemberdayaan masyarakat.
d. Melakukan advokasi dan  sosialiasi kebijakan kepada  masyarakat untuk meningkatkan
 partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan
6. Perguruan Tinggi
Melakukan kajian-kajian teknisilmiah,  memberikan input pemikiran  konseptual serta
pertimbangan  teknis-ilmiah terhadap pelaksanaan pengelolaan DAS.
7. Swasta
Kelembagaan swasta diharapkan  selain mengolah dan memasarkan  hasil hutan juga
dapat menjadi  sumber dana alternatif rehabilitasi  hutan, serta membina masyarakat  mengelola
unit usaha kehutanan.  Dalam hal ini diperlukan kemitraan  antara kelembagaan swasta  dengan
kelembagaan lainnya mengelola catchment area DAS.
8. Masyarakat Setempat
a. Rumah tangga petani (house  hold) mengelola secara mandiri  kawasan hutan secara
individu  atau berkelompok dengan luasan yang sesuai dengan kemampuannya.
b. Status kepemilikan kawasan  hutan yang dikelola oleh rumah  tangga petani adalah
bersifat  kolektif (collective owner) oleh  kelembagaan desa, sedangkan  rumah tangga
petani hanya  diberi hak untuk memanfaatkan kawasan hutan (use right).
c. Rumah tangga petani berhak memindahtangankan  pengelolaan kawasan hutan  yang dia
kelola kepada pihak lain  (pemerintah, swasta, sesama  petani) sesuai aturan-aturan  yang
telah disepakati, tanpa  mengubah status hak terhadap kawasan hutan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kearifan lokal apabila diterjemahkan secara bebas dapat diartikan nilai-nilai budaya yang
baik yang ada di dalam suatu masyarakat. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal
di suatu wilayah maka kita harus bisa memahami nilai-nilai budaya yang baik yang ada di dalam
wilayah tersebut. Kalau mau jujur, sebenarnya nilai-nilai kearifan lokal ini sudah diajarkan secara
turun temurun oleh orang tua kita kepada kita selaku anak-anaknya. Budaya gotong royong,
saling menghormati dan tepa salira merupakan contoh kecil dari kearifan lokal. Sudah selayaknya,
kita sebagai generasi muda mencoba untuk menggali kembali nilai-nilai kearifan lokal yang ada
agar tidak hilang ditelan perkembangan jaman.
Pemanfaatan dan pengelolaan  DAS dilakukan oleh banyak pihak  (stakeholders) dengan
kepentingan  yang berbeda-beda. Berbagai  stakeholders dalam sebuah DAS  dapat menimbulkan
permasalahan  yang bersumber dari konflik  kepentingan terhadap sumberdaya  yang tersedia.
Ketentuan  perundang-undangan yang sudah  ada tampaknya belum mampu  mencegah atau
menekan  kerusakan DAS. Dari tahun ke  tahun luas DAS yang rusak  semakin bertambah
sehingga  bencana banjir dan longsor banyak terjadi di berbagai wilayah.
Untuk meningkatkan kualitas DAS  diperlukan kelembagaan (aturan  main) yang mengatur
hubungan  antar stakeholders dan antara  stakeholders dengan sumberdaya  alam. Aturan
tersebut harus  bersifat mengikat, memaksa, dan  mengarahkan setiap stakeholders  sehingga
dalam pemanfaatan  sumberdaya tidak menimbulkan  kerusakan DAS. Kelembagaan  harus
dilengkapi seperangkat  insentif atau reward yang  mendorong orang untuk berperilaku  positif
dan punishment yang  memberikan efek jera bagi yang  menimbulkan kerusakan. Sebagai
 pemangku kebijakan publik,  terbangun dan terealisasinya   kelembagaan dalam pengelolaan  
DAS sangat tergantung kepada Pemerintah.

SARAN
Makalah ini belum cukup memuat materi di atas, diharapkan kepada pembaca agar
mencari informasi dan referensi yang lain agar menambah wawasan dan pengetahuan tentang
materi yang di bahas diatas yang kurang sempurna
.
DAFTAR PUSTAKA
http://one-geo.blogspot.com/2010/01/potensi-kelautan-indonesia.html
http://ncofies.blogspot.com/2012/10/makalah-kearifan-lokal.html
https://kelembagaandas.wordpress.com/kelembagaan-pengelolaan-das/k-e-s-manik-dan-agus-
setiawan/

Anda mungkin juga menyukai