Anda di halaman 1dari 30

Working Paper

Sains Komunikasi dan


Pengembangan Masyarakat

No. 4, Vol. I, 2012

DESA SANTRI DALAM NAUNGAN POHON JATI:


SEBUAH AUTO-ETHNOGRAPHY TENTANG
EKOLOGI MANUSIA

Oleh Mohammad Shohibuddin

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat


Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor

http://skpm.fema.ipb.ac.id
Working Paper
Sains Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat

No. 4, Vol. I, 2012

DESA SANTRI DALAM NAUNGAN POHON JATI:


SEBUAH AUTO-ETHNOGRAPHY
TENTANG EKOLOGI MANUSIA

Oleh Mohammad Shohibuddin

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat


Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
Editor in-chief
Dr. Ivanovich Agusta, SP, MSi

Editor
Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Sjafri Hubeis
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS
Prof. Dr. Drs. Endriatmo Soetarto, MA
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS

© Working Paper Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

ISSN 2301-6388 (online)


ISSN 2301-637X (print)
Daftar Isi

ABSTRACT 1
1 LATAR 3
2 PERJUMPAAN 5
3 BENTURAN 11
4 TANTANGAN TEOLOGI INDUKTIF 17
5 PENUTUP 21
RIWAYAT HIDUP 23
PUBLIKASI WORKING PAPER 25
ABSTRACT

By conducting an auto-Ethnography, this paper is constructed as a reflection on


experience of living in a pesantren village in East Java during 1980's, that are ecologically
highly influenced by surrounding teak forest ecosystems. Two points are raised, which
can be termed as agrarian and environmental justice agenda. These two agendas
intertwined each other and the condition is more precarious today. Unfortunately, the
two agendas—due to historical trauma—tend to be avoided by pesantren community.

Keywords: agrarian justice, environmental justice, teak forest ecosystem, pesantren

1
2
LATAR1

Senori, desa kelahiranku, dan desa tetangganya tempat orang tuaku kemudian
bermukim, Bangilan, merupakan daerah berkapur di Kabupaten Tuban yang hampir seluruh
wilayahnya dikelilingi oleh hutan-hutan jati. Selain itu, Senori sejak lama juga dikenal
sebagai desa santri. Banyak pondok pesantren terdapat di desa ini, satu sama lain diikat oleh
hubungan kekerabatan di antara para pengasuhnya; suatu pola yang umum menandai jaringan
pesantren kalangan Nahdliyyin. Karena itulah dapat dikatakan bahwa jika secara kultural
Senori adalah “desa santri”, maka secara ekologis desa ini dan desa-desa sekelilingnya adalah
“desa jati”.
Geografi daerah ini memang merupakan bagian dari Pegunungan Kendeng Utara
yang didominasi batuan gamping atau karst yang cocok sebagai habitat pohon jati. Kawasan
karst ini membentang sepanjang garis pantura, meliputi Kabupaten Pati (bagian selatan),
Grobogan (bagian utara), Rembang, Blora, Tuban, Bojonegoro (bagian utara) dan Lamongan
(bagian barat). Air permukaan sangat minim di kawasan ini akibat sifat batuan kapur yang
mudah meloloskan air. Tingginya tingkat porositas (lolosan) air, dan sifat batuan kapur yang
mudah larut oleh air hujan, menciptakan banyak sekali rekahan alami yang membentuk gua-
gua alam dengan stalaktit dan stalakmit yang menakjubkan. Proses alam yang sama juga
telah menghasilkan jaringan sungai bawah tanah yang rumit dan unik di daerah ini.
Dari segi struktur tanah, daerah ini didominasi oleh tanah kapur yang terbentuk dari
proses panjang pelapukan batuan gamping. Tepatnya, jenis tanah di daerah ini adalah
mediteran yang merupakan campuran dari proses pelapukan batuan gamping dan batuan
sedimen. Warna tanah jenis ini adalah kemerahan sampai coklat. Renzina adalah jenis tanah
kapur lainnya yang berwarna hitam dan miskin zat hara, seperti dijumpai di daerah Gunung
Kidul (DIY). Meski tanah mediteran kurang subur untuk pertanian, namun jenis ini amat
cocok untuk tanaman-tanaman tertentu seperti palawija, tembakau, jambu mete dan, termasuk
juga, pohon jati.

1
Tulisan ini merupakan refleksi atas pengalaman hidup penulis selama mondok di sebuah desa santri di Jawa
Timur di era 1980-an yang secara ekologis sangat dipengaruhi oleh ekosistem hutan jati di sekitarnya. Mengenai
auto-ethnography sebagai sebuah metodologi kualitatif, lihat Carolyn S. Ellis and Arthur Bochner
"Autoethnography, Personal Narrative, Reflexivity: Researcher as Subject" dalam Norman Denzin and Yvonna
Lincoln (eds) The Handbook of Qualitative Research. Sage: 2000, hlm. 733-768.

3
Pohon jati, atau tectona grandis sp. dalam istilah latin, tumbuh dengan ideal pada
tanah yang mengandung banyak kapur dan fosfor, memiliki kadar keasaman rendah (basa),
dan tidak banyak tergenang air. Semua syarat itu ditemukan dengan baik di Senori dan desa-
desa sekitarnya, sehingga pohon yang bernilai ekonomi tinggi ini dapat tumbuh subur dan
mendominasi lanskap perbukitan setempat. Seperti disinggung di atas, kondisi inilah yang
menyebabkan daerah ini dapat disebut sebagai “desa jati”.
“Di bawah naungan pohon jati”, dengan demikian, adalah perumpamaan yang tepat
untuk menggambarkan besarnya pengaruh ekologi hutan jati terhadap kehidupan sosial-
ekonomi masyarakat daerah ini, sebagaimana perumpamaan “di bawah naungan kitab
kuning” menggambarkan kuatnya pengaruh tradisi pesantren terhadap kehidupan sosial-
budaya mereka. Berada di bawah dua “naungan” ini, pertanyaan yang selalu menggoda
adalah bagaimanakah kedua faktor ini (agro-ekologis dan kultural-ideologis) saling
berinteraksi satu sama lain di daerah ini? Ini merupakan pertanyaan besar tersendiri yang
patut ditelaah lebih dalam, dan catatan pendek berikut ini hanya akan menyinggungnya
sepintas lalu.

4
2. PERJUMPAAN

Terkecuali para santri kalong, yakni mereka yang tetap tinggal di rumah orang
tuanya di sekitar pesantren, kebanyakan santri menetap di kompleks pemondokan pesantren
yang cukup banyak terdapat di Kecamatan Senori. Mereka tinggal berhimpitan di bilik-bilik
kecil yang disebut gothakan, terikat dengan berbagai aturan hak dan kewajiban santri,
mengikuti rutinitas pengajian di ndalem kyai dan sekolah di Madrasah, dan sebagainya.
Namun para santri di Senori tidak pernah terkucil dari kehidupan luarnya. Sebagai
misal, sebagian santri terutama yang berasal dari luar daerah harus mencari nafkah dengan
bekerja pada warga desa sekitar. Mereka juga harus mengurus sendiri kebutuhan dapurnya
dengan pergi berbelanja ke pasar Senori yang hanya buka tiap hari Pon dan Kliwon dalam
penanggalan Jawa. Tak kurang pentingnya, mereka pun berpartisipasi dalam kegiatan sosial
dan keagamaan desa. Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk interaksi sosial para santri
dengan warga di luar pesantren. Lagi pula, para santri juga tidak pernah mau ketinggalan jika
ada layar tancap di lapangan Sendang atau Wanglu Kulon; dan bilamana putaran kompetisi
bulu tangkis atau sepak bola sedang berlangsung, atau Mike Tyson bertanding tinju, maka
rumah-rumah warga desa yang memiliki televisi akan dipadati oleh para santri yang berjubel
menonton.
Maka mondok di pesantren tidak membuat para santrinya berada di luar “naungan
pohon jati” sama sekali. Pesantren adalah satu rumah tangga juga (atau tepatnya himpunan
rumah tangga), sebagaimana halnya rumah tangga warga desa pada umumnya. Dan banyak
sekali kebutuhan rumah tangga di daerah ini dipenuhi dari hutan jati sekitar, baik yang terkait
dengan kebutuhan pangan, papan atau energi. Rumah tangga pesantren-pesantren di Senori
juga tidak terlepas dari situasi ini, meski lokasinya berada di pusat kota kecamatan dan tidak
berbatasan langsung dengan kawasan hutan jati. Pesantren-pesantren itu turut pula menjadi
situs dari sirkulasi aneka barang yang berasal dari hutan jati, berikut aneka gagasan, regulasi
dan agensi yang menyertainya. Dengan demikian, perjumpaan dengan hutan jati dalam aneka
manifestasinya turut membentuk kehidupan sehari-hari para santri; dan dalam arti itu, maka
ia merupakan sebuah kenyataan rutin ketimbang perkecualian.
Bahwa bangunan pesantren dan Madrasah, demikian pula meja, kursi dan papan
tulis, kebanyakan atau semuanya terbuat dari kayu jati, barangkali hal itu dianggap given oleh
para santri. Semua benda itu sudah ada sebelum mereka datang ke pesantren, dan diterima

5
sebagaimana adanya. Namun, tentulah tidak demikian halnya dengan hal-hal yang terkait
dengan kebutuhan subsistensi mereka, yakni kebutuhan makan mereka sehari-hari. Pada saat
saya mondok di Senori paroh akhir 1980-an, hampir semua tahapan dalam penyiapan
makanan tak terlepas dari interaksi dengan benda-benda yang berasal dari hutan jati, mulai
dari bahan masakan, proses memasaknya, hingga ketika makanan dihidangkan dan siap
dikonsumsi.
Daun jati adalah bungkus semua jenis makanan yang amat populer di daerah ini,
bahkan hingga saat ini. Dalam kondisi masih segar (basah), daun jati bukan hanya berfungsi
sebagai pembungkus, melainkan juga sebagai pemberi aroma dan penambah rasa yang khas
pada masakan. Sayur gulai (atau disebut becek dalam istilah setempat) akan memiliki rasa
dan aroma yang lebih nikmat jika dituangkan panas-panas pada nasi yang ditaruh di atas daun
jati. Demikian pula sayuran lodeh, nasi rames, nasi pecel, dan banyak masakan lain terutama
yang bahannya menggunakan santan. Para santri, yang anggaran belanjanya selalu terbatas,
akan mengoptimalkan kiat ini untuk bisa makan enak (lihat kotak 1).
Bukan hanya barang-barang dari hutan jati yang mendatangi pesantren, namun juga
orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Teman santri saya yang berasal dari Jatirogo dan
Parengan berasal dari desa di pinggir kawasan hutan jati. Dan keduanya tidak sendirian. Ada
kawan dari Pamotan, Rembang yang juga merupakan desa yang berbatasan langsung dengan
hutan jati. Beberapa kawan dari Bojonegoro juga berasal dari desa dengan ciri serupa. Dan
masih banyak lagi. Mereka ini berasal dari desa-desa yang interaksinya dengan hutan jati
amat erat karena berbatasan langsung dengan hutan jati, berbeda dengan pusat Kecamatan
Senori (yakni, Jatisari, tempat pesantren kami berada) yang agak jauh dari kawasan hutan jati.
Sebagai anak kecil (saya mondok saat usia 11 tahun dan keluar pada usia 15 tahun),
saya belum begitu maklum mengenai masalah pelik yang terjadi di desa-desa semacam itu,
selain berita sayup-sayup yang kerap saya dengar mengenai “pencurian” kayu jati oleh
para blandong. Baru beberapa tahun kemudian, setelah meninggalkan kampung halaman
untuk melanjutkan sekolah di luar, saya baru menangkap apa yang kemudian saya pahami
sebagai konflik agraria kronis yang mewarnai desa-desa sekeliling hutan jati itu—yang
ternyata sudah berusia panjang sejak era kolonial.
Demikianlah, ilustrasi mengenai barang-barang dan orang-orang dari kawasan
hutan jati yang datang ke pesantren. Dan dalam contoh terakhir, apa yang datang itu juga
mewujud sebagai regulasi dan ideologi: bahwa ada hukum tertentu yang mengatur kawasan
hutan jati, dan mengambil kayunya dapat dianggap sebagai tindakan “mencuri”.

6
Kotak 1. Pohon Jati dalam Ritual Makan Santri

Ritual makan di pesantren sewaktu saya mondok melibatkan


tahapan berikut ini. Ketika kelompok masak saya pada satu ketika
bermaksud untuk memasak sayur lodeh, yakni sayur yang berbahan
santan, maka anggota kelompok pun segera berbagi tugas. Ada anggota
yang pergi ke pasar membeli cikalan (kelapa tua yang sudah
dikupaskan) dan sayuran, ada yang membersihkan panci dan mencuci
beras (mususi), dan ada yang pergi ke sungai di belakang pesantren
untuk mencari serpihan kayu jati dan ranting bambu sebagai bahan bakar
memasak. Syukur jika si pencari bahan bakar itu berhasil pula
menemukan jamur liar yang akan menambah menu masakan.
Setelah semua anggota kelompok berkumpul lagi untuk memulai
kegiatan memasak, berikut inilah pernik-pernik bagian hutan jati yang
dipergunakan dan mengalami perubahan wujud (konversi) selama proses
memasak para santri. Tidak mampu membeli rencek, yakni kayu jati
yang sudah dikampak menjadi potongan-potongan kayu kecil untuk
bahan bakar, serpihan kayu jati yang dipungut dari pinggiran sungai
digunakan sebagai bahan bakar utama memasak. Untuk menyalakannya,
kadangkala minyak tanah dipergunakan sebagai pemicu awal. Namun
minyak tanah saat itu adalah bahan energi utama untuk penerangan di
malam hari, dan santri yang hemat akan memilih memanfaatkan daun-
daun jati kering dan ranting bambu untuk memulai pembakaran.
Bagian terseru dalam ritual makan di pesantren adalah saat
kegiatan memasak usai. Ke atas nampan yang ditaruh begitu saja di
tanah, nasi dan sayur mayurnya pun ditumpahkan. Sebelum itu,
bilamana sayuran berbahan santan, maka nampan tersebut akan dialasi
dengan susunan daun-daun jati segar terlebih dulu untuk menambah
aroma dan cita rasa masakan. Setelah itu, semua anggota kelompok pun
segera duduk mengelilingi nampan, dan tanpa aba-aba mereka langsung
berlomba menyantap hidangan yang masih lumayan panas itu.
Satu tambahan lain: cara para santri memasak sayur lodeh saat itu
cukup menggelikan. Setelah kelapa diparut dan kemudian diperas untuk
diambil santannya, maka ampasnya tidak dibuang. Bersama santannya,
ampas itu turut dimasukkan sekalian ke dalam kuali dan turut menjadi
bahan sayur itu sendiri.

Perjumpaan pesantren dan hutan jati tidak hanya bersifat satu arah. “Arus balik”
juga terjadi, dalam arti para santrilah yang pergi mengunjungi hutan jati, baik sekedar sebagai
“perlintasan” maupun sebagai “tujuan”. Dalam arti paling sederhana, mendatangi hutan jati
sebagai perlintasan adalah sekedar melewati hutan jati dalam suatu perjalanan. Tidak ada
yang istimewa dari hal ini karena ke arah manapun seseorang meninggalkan desa Senori dari
titik perempatan jalan di pusat kotanya, perjalanannya itu pasti akan melewati pinggiran
hutan jati. Toh, cuma melewati hutan jati tidaklah tanpa makna sama sekali. Hutan jati di

7
Nglirip yang teduh dan senyap di jalur menuju kota Tuban misalnya—yang menjadi lokasi
shoting salah satu film Rhoma Irama—selalu menciptakan rasa syahdu pada siapapun yang
melintasinya. Saya juga selalu senang jika diajak Mbah Yik mengambil uang pensiun di
kantor pos Jatirogo karena kami akan naik kereta api melewati hutan jati yang cukup panjang
(bahkan monyet-monyet liar yang berlompatan di pohon bisa saya saksikan dari balik jendela
kereta api saat itu).
Salah satu penyakit yang biasa dialami para santri pada masa itu adalah penyakit
kulit, mulai dari gatal-gatal sampai korengan. “Belum sah seseorang mondok kalau belum
pernah mengalami penyakit kulit,” demikian pameo yang biasa diujarkan. Tidak jarang
penyakit kulit ini berjangkit seperti wabah, dan hampir semua santri menderitanya pada saat
bersamaan. Pengobatan yang biasa dilakukan para santri adalah pergi ke nganget, yakni
pemandian air panas alami yang mengandung belerang. Lokasi nganget yang terkenal di
Kabupaten Tuban berada di Desa Nganget, Kecamatan Parengan. Di tempat ini terdapat pusat
perawatan penderita kusta yang sudah berdiri sejak jaman Belanda. Namun, Bapak saya
biasanya tidak membawa saya berobat ke tempat yang sudah tersyohor itu, melainkan ke
nganget terdekat yang berada di Kecamatan Bangilan, tepatnya di Mojo, desa Sidorejo.
Kedua nganget ini, baik yang terkenal di Parengan maupun yang di Bangilan, berada di
dalam kawasan hutan jati.
Selama saya mondok di Senori, sudah beberapa kali saya terjangkit penyakit kulit
ini. Jika diajak berobat ke nganget Mojo, Bapak akan memboncengkan saya naik sepeda,
melewati Sambong Lombok di mana pemerintah kolonial dulu membangun bendungan
irigasi (yang tetap bertahan kuat sampai sekarang, meskipun airnya sudah tidak ada lagi),
sampai kemudian perjalanan bersepeda berakhir saat tiba di stasiun kereta api Mojo. Di sini
sepeda harus kami titipkan karena perjalanan selanjutnya hanya bisa ditempuh dengan
berjalan kaki melewati jalur setapak dalam kawasan hutan jati. Ada dua kolam air panas
di nganget Mojo ini yang berbeda tingkat kepanasannya, yakni nganget lanang dan nganget
wadon, tetapi saya sudah lupa manakah di antara dua nganget itu yang lebih panas. Saya
ingat bagaimana antusiasme saya saat menempuh perjalanan kaki ke nganget Mojo karena
inilah pertama kali saya masuk dan berjalan di tengah hutan. Dalam kesempatan lain ketika
datang kembali ke tempat ini, juga bersama Bapak, kami berpapasan dengan beberapa orang
yang bergegas lari meninggalkan hutan. Ternyata hari itu mantri hutan sedang melakukan
operasi, meskipun kami sendiri tidak berjumpa dengan para petugas tersebut sepanjang hari
itu.

8
Bila digambarkan dalam sebuah peringkat, maka pengobatan ke nganget hanyalah
tangga terbawah dalam tujuan santri mendatangi hutan jati. Dalam pendakian menuju tangga
yang lebih tinggi, maka tujuan itu lebih bersifat spiritual untuk penyucian diri, atau paling
tidak terkait dengan kegiatan religius. Bagi mereka yang pernah mengecap dunia pesantren,
tradisi menyepi (khalwat) tentulah pernah didengar dan bukan sesuatu yang dianggap aneh.
Salah seorang santri senior di pondok saya dulu sering pergi malam-malam ke kompleks
pekuburan di belakang pesantren dengan hanya berbekal lampu teplok sebagai alat
penerangan. Ia menyepi untuk menghafalkan Alfiyah, yakni kaidah gramatikal bahasa Arab
berbentuk sajak berlagu dengan jumlah bait sebanyak 1000 buah.
Bentuk menyepi lain adalah yang memang bertujuan laku tirakat, mendekatkan diri
pada Tuhan. Saya tidak tahu tempat-tempat khusus di kawasan hutan jati yang biasa dipakai
ber-khalwat untuk tujuan ini. Yang jelas, dalam persepsi kultural orang Jawa, hutan selalu
dianggap sebagai tempat menyepi dan menempa diri untuk memperoleh entah “kesaktian”
atau “kesucian diri” (tergantung niat yang bersangkutan). Satu hal yang saya tahu pasti,
makam beberapa ulama terkenal yang sering diziarahi masyarakat berada di pinggiran hutan
jati. Salah satunya adalah makam Mbah Jabbar Nglirip, Jojogan. Pada bulan-bulan tertentu,
makam Mbah Jabbar ini banyak dikunjungi oleh para penziarah yang datang dari berbagai
daerah, sementara acara haul (peringatan hari wafat) beliau juga selalu ramai dipadati
oleh pengunjung. Tentunya, termasuk para santri Senori yang tidak akan melewatkan acara
penting ini.
Demikianlah, ada “keakraban” dalam perjumpaan pesantren dengan hutan jati. Suatu
keakraban yang dibentuk mulai dari rutinitas harian di mana barang-barang dari hutan jati
mendatangi pesantren, hingga sebaliknya, para santri penghuni pesantren itu sendiri yang
mengunjungi hutan jati, baik dalam arti fisik maupun spiritual.

9
10
3. BENTURAN

Dari rumah saya menuju stasiun kereta api Bangilan, ada dua tempat terkait hutan
jati yang akan dilewati jika mengikuti rute jalan setapak yang merupakan jalan tembus, dan
bukan melalui jalan raya yang lebih memutar. Kedua tempat itu menimbulkan reaksi yang
berbeda pada diri saya semasa masih anak-anak. Tempat pertama adalah bangunan
perkantoran yang papan namanya berwarna hijau tua dihiasi logo akar pohon jati, namun
yang tulisannya menunjukkan urutan hirarki yang selalu mengherankan saya pada masa itu.
Pasalnya, urutan itu tidak sesuai dengan tingkatan desa, kecamatan, kabupaten dan provinsi
yang saya hapal baik. Sebagai kanak-kanak, saya pernah membubuhkan alamat demikian
pada buku tulis saya: “Desa Bangilan Kecamatan Bangilan Kabupaten Tuban Provinsi Jawa
Timur Indonesia ASEAN PBB Bumi” (seolah-olah urutan itu berada dalam satu kategori).
Tetapi apa yang tertulis di papan nama itu berbeda dari urutan hirarki yang saya kenal itu
sehingga selalu menimbulkan reaksi rasa heran setiap kali saya lewat dan membacanya.
Saat kecil saya memang tidak peduli kantor apakah itu. Yang saya peduli adalah,
teman baru saya di sekolah tinggal di sebuah rumah dalam kompleks kantor itu, dan kalau
saya main ke rumahnya saya bisa memetik pohon arbei di halaman belakang, dan mencicipi
abon sapi dan saos tomat botolan yang untuk pertama kali saya lihat sewaktu di rumahnya itu.
Saya juga dapat membawa pulang tumpukan kertas-bekas yang diambilkan dari kantor ayah
kawan saya itu, antara lain yang saya masih ingat berupa buku ukuran folio yang penuh
dengan tabel-tabel isian. Saya menyesal tidak hapal lagi nama teman itu, tetapi saya tetap
ingat pekerjaan ayahnya: sinder. Sayang, tidak lama kemudian ayahnya dipindahtugaskan,
dan kepergiannya ke tempat dinas baru itu diantarkan oleh banyak tetangga, termasuk orang
tua saya. Setelah kepergian ayah teman saya itu, sepanjang ingatan saya tidak pernah lagi
terdapat keakraban serupa antara pegawai di kantor itu dengan masyarakat sekitar.
Tempat kedua yang akan dilewati adalah bangunan yang tepat berada di seberang
stasiun, dipisahkan oleh beberapa jalur lintasan kereta api, selokan lebar, dan hamparan tanah
yang dipenuhi tanaman liar. Kami mengenalnya dengan sebutan TPK, dan seiring
pertambahan usia saya kemudian mengerti kepanjangannya: Tempat Penyimpanan Kayu.
Yang kini saya bisa kenang dari tempat itu adalah bangunan yang tinggi dan panjang tanpa
dinding, di dalamnya penuh tumpukan kayu-kayu jati besar, sebagian tampak berusia sangat
tua. Di sekeliling bangunan itu berdiri kokoh pohon-pohon besar yang rerimbun kanopinya

11
membuat bangunan TPK itu terlihat gelap dan menakutkan. Perasaan angker adalah reaksi
yang saya alami semasa kecil setiap kali melewati bangunan besar itu. Jadi, meski saat kecil
itu saya sering bermain di lingkungan stasiun (antara lain untuk melindaskan paku di rel
menjelang kereta lewat sehingga menghasilkan bentuk parang mini), namun saya tidak
pernah berani mendekati bangunan TPK yang terlihat menyeramkan itu.
Saat menginjak sekolah menengah saya mulai paham bahwa kedua tempat itu saling
berkaitan, yakni sama-sama milik Perhutani. Dan bahwa hutan jati yang biasa saya datangi
kalau berobat ke nganget itu ternyata Perhutani-lah yang menjadi pemiliknya. Dan bahwa apa
yang saya anggap sebagai urutan hirarki yang aneh pada papan hijau tua itu adalah hirarki
pemangkuan hutan dalam rangka Perhutani menjaga hutan kepunyaannya itu. Saya kemudian
menjadi paham apa makna “pencurian” kayu oleh blandong.
Meskipun saat itu penalaran saya belum sampai pada tahap mempertanyakan klaim
“kepemilikan” hutan jati oleh Perhutani, toh secara intuitif saya merasa bahwa apa yang
dituduhkan sebagai “pencurian” kayu itu dalam arti tertentu bisa dibenarkan, atau setidaknya
dapat dimaklumi. Secara jlentreh, saya tentu saja belum mampu merumuskan sikap peraguan
semacam itu, namun barangkali dapat dibahasakan dalam bentuk sejumlah pertanyaan yang
kurang lebih sebagai berikut. Apabila masyarakat demikian kuat ketergantungannya pada
hutan jati seperti yang tercermin pada contoh-contoh di atas, bagaimana mungkin hutan itu
tidak boleh mereka manfaatkan? Dari manakah masyarakat memenuhi kebetuhan terkait
pangan, papan, dan energi selain mengandalkan bahan-bahan yang dapat diperoleh dari hutan
jati? Apakah semua kegiatan masyarakat memenuhi semua kebutuhan itu dari hutan jati dapat
disebut “pencurian”?
Pertanyaan-pertanyaan demikian menunjukkan bahwa makna “perjumpaan” seperti
yang dipaparkan di atas tidak hanya terwujud dalam bentuk keakraban, namun
juga benturan! Itulah benturan ideologi yang terwujud, misalnya, dalam ambigunya definisi
“pencurian” yang secara samar-samar dan masih terpendam mulai saya ragukan waktu itu.
Apakah “pencurian” pada hutan jati oleh masyarakat sama artinya dengan definisi pencurian
yang hukumnya haram seperti kami pelajari di pesantren—dan yang pada masa Nabi harus
dihukum potong tangan itu? Tetapi jika begitu, mengapakah saya saksikan beberapa keluarga
yang saya kenal, termasuk keluarga kyai, membeli kayu dari blandong untuk bahan
membangun rumahnya? Mengapakah pula gamping dibeli untuk adonan bahan bangunan
atau untuk nglabur (mengecat) dinding dan pagar, padahal ia ditambang dari areal kawasan
hutan milik Perhutani? Dan bukankah kayu bakar yang dibeli dari pedagang rencek juga
diambil dari hutan jati dengan cara yang sama dan dapat dianggap sebagai “pencurian” juga?
12
Bukan hanya secara ideologi, benturan itu juga hadir dan mewujud secara material.
Benda-benda yang berasal dari hutan jati dan mendatangi pesantren ternyata tidak semuanya
berupa barang-barang yang berguna (goods), tetapi juga yang menimbulkan kerugian (bads).
Salah satunya berwujud banjir bandang yang melanda sungai di belakang pesantren kami.
Seperti satu ketika pernah saya saksikan semasa mondok dulu, hujan deras di daerah hulu
telah menggelontorkan jutaan kubik air bercampur lumpur yang memenuhi badan sungai, dan
bersamanya turut hanyut pula gelondongan kayu jati, bekas tebangan dan cabang pohon jati,
rumpun pohon bambu yang tergerus dari tebing sungai, dan puluhan macam benda-benda
lainnya. Banjir bandang itu, berikut benda-benda dari hutan jati yang dihanyutkannya,
memberi petunjuk mengenai sejauh mana eksploitasi yang telah berlangsung di sana.
Padahal di hari-hari normal, dasar sungai yang cukup lebar itu hanya sedikit saja
yang digenangi air, yakni pada alur-alur kecil yang dialiri gemericik air dangkal; menyisakan
lebih banyak lagi gundukan tanah yang tak terendam air. Bagian yang tak terendam itu
banyak dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk berbagai kegunaan. Ia menjadi sumber
nafkah bagi para penggali pasir jika kebetulan memiliki kandungan pasir yang cukup banyak.
Jika tidak, dan lebih banyak mengandung tanah subur, maka penduduk akan menanaminya
dengan tanaman musiman seperti jagung atau ubi-ubian. Sementara aliran airnya
dimanfaatkan oleh penduduk untuk mencuci pakaian dan buang hajat besar, namun bukan
untuk mandi. Khusus untuk keperluan terakhir ini mereka melakukannya di sungai yang
sama, namun dengan cara yang berbeda seperti akan diuraikan di bawah nanti.
Bagi para santri, sungai ini juga memiliki fungsi yang amat penting. Di atas telah
disiratkan bagaimana melalui sungai ini para santri terhubung ke hutan jati untuk
memperoleh serpihan kayu jati yang mengapung-apung mengikuti arus air atau yang
terdampar di pinggiran sungai. Apabila sungai ini belum lama sebelumnya mengalami banjir,
meski tak selalu sebesar seperti digambarkan di atas, maka potongan-potongan kayu itu
banyak ditemukan tersangkut di tebing-tebing sungai sehingga dapat diambil lebih mudah
tanpa harus turun ke dasar sungai. Melalui cara itulah para santri memenuhi kebutuhan
mereka akan kayu bakar. Ada satu cerita yang pernah saya dengar bahwa seorang santri
pernah mengambil potongan-potongan kecil kayu bekas nisan yang hancur dimakan rayap
dan banyak tercecer di lokasi pekuburan, dan lantas menggunakannya untuk kayu bakar. Tak
lama setelahnya ia pun jatuh sakit tanpa bisa diketahui jenis penyakitnya. Para santri
kemudian mengaitkan penyakit aneh itu dengan ulah yang bersangkutan memunguti dan
membakar kayu bekas nisan. Karena cerita itulah kami memilih untuk bersusah payah

13
mencari serpihan kayu-kayu jati di sungai ketimbang memungut potongan-potongan kayu
bekas nisan di pekuburan.
Ada fungsi lain dari sungai ini bagi santri, yaitu sebagai tempat mandi. Di pesantren
tentu sudah disediakan beberapa bilik kecil untuk tempat mandi. Tetapi jumlahnya tidak
mencukupi untuk semua santri, terutama di pagi atau sore hari saat banyak orang ingin
membersihkan diri pada waktu bersamaan. Bagi santri yang tidak kebagian tempat atau yang
giliran antrinya terlalu lama, maka alternatifnya adalah pergi mandi di sungai. Hal yang sama
bahkan menjadi pilihan utama pada saat kemarau panjang, dan sumur di pondok mengalami
kekeringan. Pada kondisi demikian, maka air yang cuma tersedia terbatas di sumur akan
diprioritaskan untuk kebutuhan minum dan masak.
Mandi di sungai adalah satu pengalaman yang tak terlupakan bagi saya. Bahkan, ada
nuansa “eksotisme” tersendiri di sana. Bayangkan, mandi bugil di sungai terbuka, kadang
berdampingan berdua, tanpa seorang pun memiliki pretensi apa-apa dengan aktivitas itu—ya,
tentunya selain mandi itu sendiri, yakni membersihkan dan menyegarkan badan. Bukan
hanya santri, namun penduduk sekitar juga melakukan hal yang sama. Hanya orang yang
berpikiran jorok saja yang akan menganggap aktivitas itu sebagai pornografi!
Selain eksotis, mandi di sungai adalah satu seni sendiri. Mengapa begitu? Sebab, hal
itu tidak dilakukan di bagian aliran sungainya, melainkan di bagian yang tidak terendam air
dan berpasir. Di tempat itulah digali sumur-sumur kecil dengan kedalaman hanya setengah
sampai satu meter. Air akan segera keluar deras dari lubang sedangkal itu karena perbedaan
level permukaan air dengan bagian sungai yang digenangi/dialiri air. Sumur mini itu perlu
terlebih dulu dilindungi dengan tumpukan batu-batu sebesar kepalan tangan untuk menjaga
agar pasirnya tidak melorot dan menutupi kembali lubang yang sudah digali. Selanjutnya, air
yang masih keruh (karena teraduk begitu rupa saat melakukan penggalian) harus dikuras
terlebih dulu hingga beberapa kali sampai air yang muncul kemudian adalah air bening
karena tersaring oleh pasir dan batu di sekeliling dinding sumur. Dengan begitu, selesailah
pembuatan sumur kecil itu dan menjadi apa yang dalam bahasa setempat disebut belik.
Di belik inilah kegiatan mandi dilakukan dengan cara berjongkok agak menjauh dari pinggir
bibir belik.
Meskipun orang yang membuat belik berhak untuk terus menggunakannya selama
sumur kecil itu masih ia rawat, namun ia tidak punya hak eksklusif terhadapnya. Jika ia tidak
sedang menggunakannya, maka orang lain boleh menggunakan belik tersebut. Terkadang,
dua-tiga orang mandi bersama dari belik yang sama. Bagi santri, di sinilah terletak seni mandi
di belik. Mereka telah belajar di pesantren mengenai perbedaan antara air yang suci dan bisa
14
mensucikan, air suci namun tidak bisa mensucikan, dan air yang terkena najis. Salah satu
yang membuat air suci tidak bisa mensucikan adalah kalau dia sudah pernah dipakai (air
bekas), alias air musta'mal. Oleh karena itu, santri yang mandi di belik akan berusaha keras
untuk tidak membuat guyurannya terpercik kembali ke dalam belik, apalagi sampai bekas air
yang dipakai mengalir ke arah belik. Dan di sinilah seninya! Maka mandi di belik menjadi
sebuah ritual yang penuh kehati-hatian bagi santri: dengan gayung yang berlengan panjang
dia menyendok air dari belik dengan hati-hati, dan kemudian mengguyurkannya ke anggota
tubuh dengan pelan-pelan. Dilakukan dengan cara berbeda, maka air dalam belik itu akan
menjadi air musta'mal karena volume belik yang kecil, yakni memuat air kurang dari ukuran
dua qulah (setara 270 liter) sebagai batas yang akan membuat percikan semacam itu dapat
ditoleransi. Dengan kehati-hatian itu, maka orang yang melihat dari atas tebing sungai sudah
bisa membedakan apakah orang yang mandi di belik itu mengikuti ketentuan Fathul
Qarib (kitab standar ilmu fiqh yang dipelajari di pesantren) ataukah tidak.
Kembali ke banjir bandang tadi, gelontoran air bercampur lumpur yang membawa
serta berbagai macam benda yang diterjangnya sepanjang perjalanan membuat semua fungsi
sungai di atas lenyap seketika. Para penggali pasir kehilangan mata pencahariannya.
Tanaman musiman yang diusahakan penduduk di dasar sungai yang tidak tergenang air
lenyap tanpa sisa. Demikian pula, belik-belik turut musnah dihantam terjangan arus air.
Bahkan setelah banjir surut, dan dasar sungai muncul kembali, butuh waktu beberapa lama
untuk bisa menghasilkan belik dengan air yang jernih seperti semula. Sebab, lumpur yang
mengendap di dasar sungai kadangkala cukup tebal dan tidak akan lenyap dalam waktu
singkat, dan hal itu akan membuat air belik berwarna keruh.
Lebih parah lagi, banjir bandang besar yang pernah saya saksikan selama mondok itu
juga membuat beberapa bagian tebing sungai runtuh karena erosi, membawa hanyut semua
yang ada di atasnya. Yang menyedihkan, beberapa makam yang berada di pinggir tebing
sungai saat itu turut runtuh dan lenyap tanpa bekas. Dalam masyarakat di mana tradisi ziarah
ke makam para leluhur dan ulama demikian kuat, bisa bayangkan kehampaan rohaniah dari
keluarga-keluarga yang makam leluhurnya tiba-tiba lenyap itu. Selain itu, beberapa kilometer
ke arah hilir, banjir yang sama juga menyebabkan longsor dan amblesnya satu ruas jalan raya
di pertigaan lapangan Wanglu Kulon. Ruas jalan raya itu tepat berada di titik kelok badan
sungai. Terkena terjangan lurus arus banjir bandang, tebing sungai di titik kelokan itu pun
runtuh dan memicu longsor pinggiran sungai dalam jarak yang cukup luas.

15
16
4. TANTANGAN TEOLOGI INDUKTIF

Pengalaman perjumpaan dengan hutan jati sebagaimana terperi di atas merupakan


kenyataan rutin yang dialami oleh komunitas pesantren di Senori—yang secara ekologis
memang berada di bawah “naungan pohon jati”. Pengalaman perjumpaan itu adalah nyata,
tak bisa diingkari, melibatkan baik “keakraban” maupun “benturan” pada berbagai tingkatan:
mulai dari sirkulasi barang dan ideologi hingga interaksi antar pelaku. Ia juga menghasilkan
tidak hanya goods, tetapi juga bads. Pertanyaannya kemudian, sejauh manakah pengalaman
riil itu secara sadar dijadikan komunitas pesantren sebagai basis empiris untuk sebuah refleksi
teologis? Dengan kata lain, sejauh mana pengalaman konkret itu dijadikan titik tolak untuk
sungguh-sungguh bisa menghasilkan respon keagamaan yang otentik?
Pertanyaan semacam ini tentu tidak dapat dijawab dengan mudah dan singkat, dan
butuh serangkaian tulisan tersendiri untuk merefleksikannya. Namun sebagai santri yang
selama mondok mengalami ketegangan berbagai perjumpaan di atas, ada dua poin pemikiran
yang tidak ada salahnya jika saya bagi di sini. Dengan harapan, hal itu kiranya dapat
dianggap sebagai satu tantangan untuk memicu refleksi teologis sebagaimana dimaksud di
atas.
Pertama, ambiguitas makna “pencurian” sebagaimana terungkap dalam benturan
ideologis yang diuraikan di atas. Bagi saya, ambiguitas semacam itu menunjukkan
pentingnya pengembangan sebuah “fiqh agraria” yang baru. Sebuah fiqh yang menyadari
bahwa dalam konteks daerah tropis tanah itu sendiri yang bernilai pada dirinya sendiri, dan
tanah itulah yang memungkinkan penghidupan sejumlah besar smallholders. Konteks
semacam ini tentu berbeda dari daerah arid di Timur Tengah di mana penguasan atas air atau
oase atau aflaj yang menjadi penentu nilai suatu hamparan tanah. Bagaimanakah nalar dasar
dari “fiqh agraria” yang kental dengan symptom daerah arid ini dapat ditafsir ulang sehingga
relevan dan kontekstual untuk daerah tropis? Sebagai misal, tidakkah absennya upaya
rekontekstualisasi semacam ini yang agaknya membuat Pengurus Syuriyah PBNU pada tahun
1961 pernah mengharamkan land reform (tepat pada tahun yang sama ketika program ini
dicanangkan pelaksanaannya oleh pemerintah) karena secara naif dianggap
melanggar himayatul mal (melindungi property) yang menjadi salah satu tujuan Syariah?
Apabila logika keputusan ini secara formal diikuti, maka—kembali ke kasus hutan
jati di atas—mengambil benda-benda dari hutan jati untuk memenuhi kebutuhan rumah

17
tangga sehari-hari juga haram hukumnya karena melanggar hak milik pihak lain. Namun
secara faktual hal ini berlawanan dari kenyataan sehari-hari yang saya saksikan dan alami.
Praktik pembelian ramuan rumah berupa kayu, papan dan gamping, demikian pula kayu
bakar untuk memasak, ternyata dilakukan secara luas dan tidak pernah dilarang sebagai
perbuatan haram. Padahal semua benda itu berasal dari kawasan hutan jati, dan
pengambilannya melibatkan cara-cara yang bisa dianggap “mencuri” dan “melanggar hak
milik” dalam penalaran formal di atas.
Apa yang raib dari penalaran formal semacam itu adalah kepekaan untuk historizing
property relations, yakni memahami dan mempersoalkan relasi-relasi kepemilikan itu dalam
konteks sejarah pembentukannya. Dalam pemahaman demikian, relasi-relasi kepemilikan
yang ada pada satu momen tertentu tidaklah diterima begitu saja sebagai sesuatu yang given
atau bersifat alamiah, melainkan harus dilihat sebagai memiliki asal-usul sejarah
pembentukannya sendiri. Dan seringkali, asal-usul itu berupa sejarah ketidakadilan dan
perampasan (enclosure). Konsekuensinya, tampilan struktur kepemilikan tertentu pada satu
titik waktu sama sekali bukanlah merupakan kenyataan yang alamiah (apalagi Ilahiah) yang
tidak dapat digugat dan dipersoalkan (terlebih jika ia mencederai prinsip-prinsip keadilan);
dan bahwa upaya untuk memperbarui relasi kepemilikan itu agar strukturnya lebih adil secara
fundamental tidak bisa diidentikkan dengan tindakan merebut hak kepemilikan.
Dalam kasus kawasan hutan jati di Jawa, struktur ketidakadilan agraria itu terjadi
akibat warisan kebijakan kolonial yang menjadikan Perhutani “tuan tanah” di pulau yang
amat padat penduduk. Perhutani menguasai bukan saja tanah jutaan hektar, namun juga
seluruh tanaman dan sumberdaya di atasnya. Dengan begitu, ia dengan leluasa dapat
menentukan hubungan-hubungan produksi yang lazimnya amat merugikan warga desa-desa
di sekitarnya. Apabila etos dasar agama Islam adalah rahmatan lil 'alamin, membawa rahmat
bagi segenap alam, maka bukankah mengupayakan “keadilan agraria” pada konteks struktur
ketidakadilan semacam itu seharusnya menjadi bagian yang tak bisa dilepaskan dari
pengertian rahmat itu?
Kedua, kejadian banjir bandang besar akibat kerusakan ekologis di daerah hulu yang
saya saksikan dulu bukanlah yang terakhir dan bisa terulang lagi, bahkan dalam frekuensi dan
intensitas yang lebih tinggi sehubungan dengan pengaruh pemanasan global dewasa ini.
Perubahan iklim global ini akan menciptakan ketidakpastian iklim pada tingkat lokal
sehingga pergantian musim tidak bisa diprediksi lagi secara ajek, dan bencana banjir dan
kekeringan pun akan menjadi ancaman nyata. Daerah berkapur seperti wilayah Tuban, yang

18
sangat sedikit memiliki air permukaan, tentunya akan menderita dampak yang buruk dari
perubahan iklim semacam ini.
Sudah lama sebenarnya ancaman kekeringan telah menjadi kenyataan yang dialami
masyarakat daerah ini. Sungai irigasi pertanian yang membentang melewati Kecamatan
Senori dan Bangilan airnya dulu cukup berlimpah dan sering saya gunakan
untuk bluron (mandi di sungai) bersama teman-teman sebaya. Saat ini sungai itu tak ubahnya
seperti selokan yang berbadan lebar karena airnya sudah tidak mengalir lagi. Desa Sendang,
sesuai namanya, dulu merupakan daerah jujukan (tempat yang dituju) desa-desa lain jika
terjadi kemarau panjang. Rumah Bibi saya di desa ini halamannya dulu penuh dengan kolam
ikan karena persediaan air yang mencukupi sepanjang tahun. Namun kondisi desa ini
sekarang tidak jauh berbeda dari desa-desa lainnya. Dan bendungan Sambong Lombok
bikinan pemerintah kolonial itu, begitu pula bendungan di perbatasan Kecamatan Bangilan
dan Senori, kini menyerupai monumen gigantik belaka karena sudah tidak ada airnya. Semua
perubahan ini praktis mengubah siklus pertanian di daerah ini karena tidak semua areal sawah
dapat diairi secara cukup. Akibatnya, sebagian besar areal sawah berubah menjadi sawah
tadah hujan. Sementara itu, kebakaran hutan jati yang dulu kerap terjadi di masa kemarau
(dan kalau malam hari menjadi tontonan jarak jauh yang menarik bagi saya) barangkali akan
lebih sering lagi terjadi di masa depan dengan aneka konsekuensinya.
Berbagai manifestasi perubahan alam ini, yang di Senori dan daerah sekitarnya
dialami secara nyata oleh masyarakat (dan bukan sekedar dilihat di layar televisi), bagi saya
menuntut kalangan pesantren untuk dapat mengembangkan cabang ilmu keislaman yang
baru. Kalau dulu saat di pesantren saya belajar kitab Ta'limul Muta'allim mengenai etika
belajar santri, atau kitab Ayyuhal Walad mengenai etika menuntut ilmu, atau kitab-kitab
akhlak lainnya (seperti Akhlaq lil Banin untuk santri putra dan Akhlaq lil Banat untuk
santri putri), maka agaknya kini diperlukan juga ilmu akhlak yang memedulikan secara
khusus soal air ini, misalnya. Sebagai ilustrasi, kembali ke kasus belik di atas, jika ajaran
pesantren demikian peduli dengan percikan air mandi yang dapat menodai belik dan
akan menjadikan airnya musta'mal, maka mengapakah ia tidak harus peduli dengan
ancaman gelontoran banjir bandang yang bukan saja akan menodai belik namun bahkan
melenyapkannya sama sekali?
Dengan demikian, pembahasan mengenai air tidak lagi hanya menjadi bagian dari
Kitabut Thoharoh (bab bersuci) dalam literatur fiqh, namun harus dikembangkan menjadi
satu ulasan buku tersendiri, dan bahkan menjadi satu sub disiplin sendiri dalam tradisi
keilmuan pesantren. Misalnya saja, “ilmu akhlak air” atau water ethics, yakni akhlak

19
pengelolaan, pengalokasian, penggunaan, dan distribusi air yang lestari dan adil. Dalam
literatur Islam klasik, bahan yang dapat diolah untuk mengembangkan water ethics ini
sangatlah berlimpah. Ingat saja kisah seorang pelacur yang masuk surga “hanya” gara-gara
dia memberi minum anjing yang hampir mati kehausan (sementara di Senori, kalau ada
anjing nyasar masuk kampung pasti akan dibunuh ramai-ramai secara kejam). Namun,
seperti diilustrasikan oleh contoh pemberian air untuk mengobati rasa haus, kebanyakan
literatur itu momot dengan symptom daerah arid padang pasir yang berbeda sama sekali
dengan kondisi tropis di Indonesia. Hal ini menuntut pesantren untuk gigih menafsir
ulang literatur klasik itu dan mengupayakan bentuk-bentuk rekontekstualisasinya bagi
kondisi alam di Indonesia.
Sebagai perbandingan, dalam literatur resource management dan environmental
science yang berkembang dewasa ini, perbincangan mengenai kontribusi ajaran dan nilai-
nilai Islam dalam pengembangan water ethics ini sudah mulai mengemuka. Beberapa artikel
di jurnal internasional membicarakan hal ini dalam kaitan dengan relevansi prinsip-prinsip
Islam terhadap “water management”, “groundwater management”, “water quality”, bahkan
juga “waste water reuse”, “greywater use”, dan “water demand management”. Sebuah
konferensi internasional mengenai “Water Management in the Islamic Countries” belum lama
ini juga diselenggarakan di Iran (tahun 2007). Namun, lagi-lagi, kebanyakan konteksnya
adalah daerah arid atau semi-arid, sementara kontribusi dari kesarjanaan Islam Indonesia
yang berasal dari dan merefleksikan kondisi daerah tropis masih sangat sumir.

20
5. PENUTUP

Dua poin kegelisahan yang saya kemukakan di atas secara ringkas dapat diistilahkan
sebagai agenda “keadilan agraria” dan “keadilan lingkungan” (agrarian and environmental
justice); dua agenda yang saling berjalin-berkelindan satu sama lain dan yang kondisinya
makin genting untuk dijalankan dewasa ini. Memang dengan sedih harus dikatakan bahwa
dua agenda inilah yang, akibat satu trauma sejarah nasional yang pahit di era 1960-an,
cenderung dicoba untuk dihindari oleh kalangan pesantren.
Bagaimanapun, dua agenda ini harus dihadapi dan digulati jika masyarakat Senori
dan sekitarnya dikehendaki berada tidak hanya di bawah “naungan pohon jati”, namun juga
di bawah “naungan kitab kuning” dalam arti yang sebenarnya. Jika tidak, maka jangan
salahkan jika mereka yang berada di bawah “naungan pohon jati” dari segi sosial-ekonomi itu
akan mencari “naungan” lain di luar “kitab kuning” untuk perlindungan ideologis dan
ruhaniahnya.

Amsterdam, Autumn 2011

21
22
RIWAYAT HIDUP

M. Shohibuddin adalah peneliti pada Sajogyo Institute (SAINS) dan staf pengajar pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia
IPB, saat ini menjadi mahasiswa doktoral pada University of Amsterdam, Belanda.Email:
shohib@gmail.com.

23
24
PUBLIKASI WORKING PAPER
SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

Vol.I No. 1 Filsafat Partisipasi untuk Pembangunan Masyarakat Pedesaan


Vol. I No. 2 Sketsa Perkembangan Reforma Agraria dan Studi Agraria: Sebuah
Pemetaan Awal
Vol. I No. 3 Gender Issues and the Needs for Extension Services in the Implementation
of Reward for Environmental Services Program

25
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor

Gedung FEMA Wing 1 Level 5


Jl. Kamper, Kampus IPB Darmaga
Bogor, Jawa Barat, Indonesia

Phone +62-251-8627793, +62-251-8425252


Fax +62-251-8627793
E-mail: dept.skpm.ipb@gmail.com
Website http://skpm.fema.ipb.ac.id

(Online) (Print)

Anda mungkin juga menyukai