Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Wawasan Lingkungan dan
Pertanian Industrial Dosen Pengampu Dr. Sri Wahyuningsih, SP,.MT
Disusun oleh: Didik Wahyudi 172303101028
PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS JEMBER 2020 KEARIFAN LOKAL
Kearifan lokal merupakan bagian dari masyarakat untuk bertahan hidup
sesuai dengan kondisi lingkungan, sesuai dengan kebutuhan, dan kepercayaan yang telah berakar dan sulit untuk dihilangkan, begitu pula Sumarmi dan Amirudin (2014) menjelaskan bahwa kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Fungsi kearifan lokal adalah sebagai berikut. Pertama, Sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, sebagai elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan. Ketiga, kearifan lokal memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas. Keempat, mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok dengan meletakkannya di atas common ground/ kebudayaan yang dimiliki. Kelima, mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir, bahkan merusak, solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi (Sumarmi dan Amirudin, 2014).
Berikut adalah beberapa kearifan lokal daerah yang dikembangkan dalam
upaya pelestarian lingkungan di daerah tersebut : 1. Bebie di Sumatera Selatan Bebie merupakan suuatu tradisi didalam menanam dan kemudian menanam padi secara bersama-sama, hal tersebut memiliki tujuan yaitu untuk agar suatu proses pemanenan dapat dengan cepat terselesaikan. Apabila panen tersebut telah selesai, maka akan ada perayaan yang menjadi suatu bentuk dari rasa syukur atas proses panen yang berhasil dan juga sukses. Kearifan local Bebie ini terdapat di Muara Enim, lebih tepatnya di Sumatera Selatan. 2. Maheso Suroan (Hutan Bambu) Hutan Bambu merupakan kawasan yang dikenal sebagai tempat konservasi berbagai jenis tanaman bambu dan juga beberapa satwa seperti kera dan kalong yang ada di Desa Sumber Mujur Kecamatan Candipuro Kabupaten Lumajang. Selain itu di Hutan Bambu terdapat mata air Sumber Deling yang merupakan salah satu penyuplai air bagi kehidupan masyarakat di Sumbermujur dan sekitarnya. Pada musim kemarau debit mata air ini antara 600-800 liter per detik sedangkan pada musim hujan mencapai 1.000 liter per detik. Sumber Deling yang ada di kawasan Hutan Bambu mengaliri 426 hektar sawah di Desa Sumbermujur dan 561 hektar sawah di Desa Pandanwangi Kecamatan Tempeh. Selain itu mata air ini juga mengaliri sawah di tiga desa lain seperti Desa Penganggal, Desa Tambakrejo, dan Desa Kloposawit yang totalnya kurang lebih 891 hektar. Untuk kebutuhan air minum, ribuan warga yang ada di desa-desa yang ada di lereng Semeru menggantungkan hidupnya pada mata air Sumber Deling ini. Melihat pentingnya keberadaan Hutan Bambu dan mata air Sumber Deling, warga Desa Sumbermujur membuat Peraturan Desa Nomor 6 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa kawasan Sumbermujur tidak boleh “disentuh” baik flora maupun faunanya. Jika ada yang melanggar, maka pelaku akan dikenai sanksi sesuai hukum lingkungan, yaitu hukuman badan atau denda Rp. 500.000.000,00. Setiap tanggal 1 Muharam atau 1 Suro, warga Desa Sumbermujur mengadakan ritual larung pendam sesaji atau Maheso Suroan di kawasan Hutan Bambu. Kegiatan Maheso Suroan ini dilakukan oleh warga secara turun temurun untuk melestarikan tradisi yang dari nenek moyang mereka. Selain itu tradisi ini dilakukan oleh warga sebagai rasa syukur terhadap hasil pertanian yang melimpah dan agar warga terhindar dari bencana. Biasanya dalam acara ini, warga mendatangkan kesenian kuda lumping atau reog ponorogo untuk menyemarakkan acara. Dalam melaksanakan tradisi ini, warga mengumpulkan berbagai macam sesaji yang berisi tumpeng nasi kuning, hasil perkebunan atau pertanian warga desa, serta satu kepala sapi atau kerbau dan dikumpulkan di Balai Desa Sumbermujur. Kemudian sesaji tersebut diarak beramai-ramai oleh warga dari balai desa ke mata air Sumber Deling di kawasan Hutan Bambu. Setelah sampai di sana, sesepuh desa membacakan doa untuk keselamatan warga lereng semeru, setelah sesepuh desa selesai membaca doa warga boleh mengambil sesaji yang tadi diarak dengan berebut beramai-ramai. Puncak dari ritual Maheso Suroan tersebut ditandai dengan menanam kepala sapi atau kerbau di atas mata air Sumber Deling. Alasan mereka memendam kepala sapi atau kerbau karena kerbau atau sapi adalah hewan yang memiliki air kencing banyak. Dengan mengubur kepala sapi atau kerbau di sekitar mata air, warga berharap Sumber Deling selalu mengalirkan air bening yang melimpah seperti kencing sapi atau kerbau. Dari sudut pandang geografi, dengan adanya kearifan lokal tersebut secara tidak langsung warga akan menjaga kawasan Hutan Bambu dan tidak menebangi pohon bambu yang ada di sana. Mereka akan menganggap bahwa daerah tersebut mempunyai nilai sakral sehingga mereka tidak berani untuk menebangi bambu secara sembarangan. Keberadaan bambu sangat erat kaitannya dengan mata air Sumber Deling yang ada di kawasan tersebut dan jika bambu di hutan itu ditebangi maka debit air di mata air akan mengecil. Hal ini akan berdampak buruk terhadap ribuan warga dan sawah yang menggantungkan hidupnya pada mata air tersebut. Pada tahun 1970-an, keadaan ekonomi Indonesia masih belum begitu bagus. Masyarakat Desa Sumbermujur pada umumnya bekerja sebagai pembuat gedek atau dinding dari anyaman bambu. Mereka mengambil bambu dari kawasan Hutan Bambu dan karena Hutan Bambu terletak di sekitar empat dusun, maka pembabatan bambu di daerah tersebut sangat cepat dan hanya tersisa satu rumpun bambu yang berisi 20 batang. Hal tersebut mengakibatkan debit air di mata air Sumber Deling menurun sampai 300 liter per detik. Menurunnya debit air di mata air Sumber Deling menyebabkan dampak yang begitu besar bagi masyarakat sekitar. Setiap malam warga harus mengantri untuk mendapatkan air bersih karena air yang mereka tamping pada siang hari tidak mencukupi kebutuhan mereka. Pada saat itu dilakukan penyaluran air secara bergilir ke setiap dusun dan dalam seminggu hanya tiga kali air mengalir ke satu dusun sehingga berakibat pada lahan pertanian warga. Minimnya air yang didapat oleh warga juga berdampak pada masalah sosial karena tidak jarang mereka bentrok dengan anggota warga lain untuk mendapatkan air bersih. Masyarakat akhirnya menyadari bahwa dampak yang ditimbulkan dari pembabatan hutan bambu sangat besar sehingga pada tahun 1975-1976 warga bekerja sama dengan Kelompok Pelestari Sumber Daya Alam (KPSA) mulai menanami kembali hutan tersebut dengan bambu. Sejak itu warga sangat mendukung sekali pelestarian hutan bambu, bahkan mereka bekerja sama membangun plengsengan pelindung mata air dan menata hutan bambu agar nyaman dikunjungi. Penggunaan bambu untuk menjaga sumber mata air memang sangat tepat karena bambu mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan jenis tanaman lain. Pohon bambu merupakan sumber tangkapan air yang sangat baik sehingga mampu meningkatkan aliran air bawah tanah. Selain itu pohon bambu mudah ditanam, tidak membutuhkan perawatan khusus, dapat tumbuh di semua jenis tanah (basah maupun kering), tidak membutuhkan investasi besar, pertumbuhannya cepat, dan memiliki toleransi tinggi terhadap gangguan alam dan kebakaran. Bambu juga memiliki kemampuan peredam suara yang baik dan menghasilkan banyak oksigen sehingga pengelolaan hutan bambu cocok untuk digunakan sebagai pembatas jalan.
3. Selametan Rebo Wekasan (Situs Buyut Cili)
Salah satu kearifan yang bisa ditemukan terkait dengan hubungannya dengan pelestarian lingkungan hidup adalah masyarakat adat Desa Kemiren. Tentang kepercayaannya terhadap situs Buyut Cili. Masyarakat percaya jika mereka tidak bersikap baik terhadap situs tersebut, maka Buyut Cili akan berkeliling mendatangi rumah warga (Sumarmi, 2015). Kemiren merupakan salah satu desa yang termasuk dalam wilayah kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi. Tepatnya desa ini berada 5 km sebelah barat dengan Kabupaten Banyuwangi, dan 3km dari Pusat Kecamatan. Mayoritas masyarakatnya adalah masyarakat Using, menurut informan masyarakat memiliki adat-istiadat Using yang masih kental. Using merupakan suatu nama bagi satu di antara lima culture area yang terdapat di Jawa Timur (Sariono, 2005). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Bappeda (2006) bahwa di Banyuwangi terdapat desa yang masyarakatnya masih dianggap memiliki budaya asli Using, yakni Desa Kemiren.
Kemiren merupakan wilayah desa wisata. Jika memasuki Desa Kemiren
maka akan disambut dengan gapura bertuliskan Selamat Datang di Kawasan Desa Wisata Using, serta ornamen yang menunjukkan beberapa kesenian Banyuwangi berasal dari desa ini. Berbagai jenis upacara adat dan kawasan situs termasuk dalam bagian dari wisata. Masyarakat sadar bahwa sektor wisata mampu mendatangkan penghasilan lain selain pekerjaan utama mereka, sehingga masyarakat bergotong royong untuk tetap menjaga kelestarian dan nuansa alami desa. Tanpa masyarakat sadari keadaan ini mampu menjaga kelestarian lingkungan dan alam tanpa harus mengeksploitasi alam secara berlebihan untuk menambah penghasilan. Pada masyarakat adat Desa Kemiren. Perbuatan untuk memanfaatkan lingkungan harus meminta izin terlebih dahulu, pada masyarakat adat Desa Kemiren terdapat larangan untuk menebang pohon/bambu pada lokasi tertentu. Hasil penelitian Munawaroh (2013) bahwa masyarakat mengadakan tradisi selametan rabo wekasan yang diadakan di sekitar situs pada hari Rabu setiap Minggu. Menurut informan tradisi ini dilakukan dengan latar belakang masyarakat harus saling tolong menolong. Seorang informan bercerita: walaupun beberapa warga/masyarakat tidak membawa berkat (nasi dan ayam pecel) namun semua orang boleh dan dianjurkan untuk mengikuti acara selamaten. Tradisi masyarakat selametan rabo wekasan dapat diartikan bahwa masyarakat harus saling membantu dan berbagi, saling tolong menolong. Rasa saling memiliki masyarakat dan bertanggung jawab bersama dengan lingkungan mereka diwujudkan dengan tradisi salematan rabo wekasan tersebut. Melalui kegiatan ini dapat dikatakan bahwa masyarakat adat Desa Kemiren memiliki rasa solidaritas yang baik antar warga, yaitu (1) sebagai saran pengendali sosial, sebagai ajang silaturahmi sehingga dapat mencegah konflik-konflik yang dapat timbul sewaktu-waktu pada masyarakat; (2) tradisi ritual tersebut dapat meningkatkan percaya diri masyarakat dalam mengarungi kehidupan yang akan datang (Sujarno, 2012).
Hubungan antara masyarakat adat Desa Kemiren dengan kearifan dalam
memanfaatkan lingkungan menjadi suatu kebiasaan, dengan pola pendekatan kepercayaan terhadap situs Buyut Cili. Melalui kepercayaan ini masyarakat kemudian melimiliki peran penting sebagai tindakan pencegahan kerusakan lingkungan. Hasil penelitian Sumarmi (2015) bahwa situs Buyut Cili juga menaungi sumber air yang disebut dengan belik lanang (khusus untuk laki-laki) dan belik wadon (khusus perempuan). Bahwasannya warga dilarang membuang sampah di sekitar mata air, dan kotoran untuk menjaga kebersihan mata air. Warga juga dilarang menebang pohon di sekitar sumber air supaya sumber mata air tetap terjaga kelestariannya. Dari komplek situs makam Buyut Cili ini kemudian muncul sebuah kearifan lokal. Sebuah kepercayaan masyarakat yang kemudian mampu menjaga kelestarian lingkungan hidup. Beberapa aspek penting dalam lingkungan tersebut termasuk sumber air, kesuburan tanah, ladang, sawah, dan keseimbangan ekosistem dapat dipertahankan kondisinya hingga saat ini.
4. Hutan Larang Adat di Riau
Kearifan local mempunyai suatu tujuan agar masyarakat yang berada disekitarnya dapat dengan bersama-sama melestarikan hutan yang berada disana. Seperti contohnya yaitu adanya suatu peraturan mengenai tak diperbolehkannya menebaang hutan secara sembarangan. Apabila hal terserbut dilakukan, maka pelakunya akan didenda yaitu sebesar 100 kg beras ataupun bisa berbentuk uang yang jumlahnya sebesar 6 juta rupiah.
5. Ropong Damar di Lampung Barat
Repong damar merupakan salah satu kearifak local yang sering disebut juga dengan hutan damar. Repong damar ini adalah model dari pengelolaan pada suatu lahan bekas lading didalam suatu bentuk watani yang kemudian dapat dikembangkan oleh masyarakat Lampung Barat di Krui. Tradisi ini menanami lahan bekas lading dengan berbagai macam jenis tanaman, contohnya seperti karet, damar, durian dan juga kopi. DAFTAR PUSTAKA
Irawati, Dahlia. 2011. Hitan Bambu, Menjaga Sumber Air, (Online),
(http://health.kompas.com/read/2011/09/23/0304276/Hutan.Bambu.Menjag a.Sumber.Air.), diakses pada 18 Januari 2012.
Burhani, Ruslan. 2011. Warga Lereng Semeru Gelar Tradisi 1 Muharam,
(Online), (http://www.antaranews.com/berita/286652/warga-lereng-semeru-gelar- tradisi-1-muharam), diakses pada 18 Januari 2012.
Putra, Laksana Agung. 2009. Meruwat Mata Air Kehidupan, (Online),
http://regional.kompas.com/read/2009/12/20/06194859/Meruwat.Mata.Air. Kehidupan), diakses pada 18 Januari 2012.