Anda di halaman 1dari 28

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KASEPUHAN CIPTAGELAR DALAM

PENGELOLAAN HUTAN
Hendra Samsuri1

1. PENDAHULUAN
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya
alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang
satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Permenhut No. 62 tahun 2013). Pada pasal 6
UU 41 tahun 1999, hutan mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi konservasi, fungsi lindung
dan fungsi produksi. Adanya tiga fungsi hutan tersebut maka hutan perlu dijaga dan
dikelola dengan baik agar hutan dapat lestari, dan tidak menimbulkan dampak buruk
terhadap lingkungan dan masyarak sekitar hutan.
Pengelolaan hutan saat ini banyak mengalami kegagalan. Terbukti dengan
banyaknya kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia, seperti penyalahgunaan fungsi
kawasan, kerusakan ekosistem akibat manusia, bencana alam dan masih banyak yang
lainnya. Kerusakan hutan disebabkan manusia masih mengedapankan sifat
antroposentris, dimana manusia masih mementingkan akan kebutuhan hidupnya sendiri
tanpa memperhatikan kondisi alam di sekitarnya. Kerusakan hutan ini tentu akan
berakibat buruk bagi lingkungan dan masyarakat sekitar hutan. Masyarakat sekitar hutan
merupakan elemen yang paling merasakan secara langsung dampak dari kerusakan
hutan. Selain itu, kerusakan hutan secara tidak langsung akan merubah kebudayaan
masyarkat sekitar hutan. Oleh karena itu, pengelolaan hutan sebaiknya melibatkan
masyarakat sekitar hutan sehingga pengelolaan hutan dapat lestari, karena masyarakat
sekitar hutan bersinggungan langsung terhadap hutan.
Pengelolaan hutan oleh masyarakat tentu mempunyai cara-cara tersendiri yang
berbeda dengan pengelolaan hutan oleh pemerintah, dan menjadi sistem budaya yang
melekat di masyarakat. Budaya masyarakat desa hutan terbentuk dari hubungan timbal
balik yang berkesinambungan dengan lingkungan sumber daya hutan. Norma-norma
yang belaku dimasyarakat dan ditaati oleh setiap elemen masyarakat dapat menjaga
kelestarian dan keseimbangan alam. Pengelolaan hutan oleh masyarakat dengan
menggunakan norma-norma tersebut tentu mempunyai nilai positif dan nilai negatif bagi
lingkungan. Nilai positifnya yaitu apabila pengelolaan hutan dilakukan dengan baik
maka hutan akan lestari dan kerusakan hutan dapat dihindari. Kebutuhan masyarakat
akan hutan dan hubungan timbal balik antara hutan dan masyarakat dapat terjalin dengan
baik. Sedangkan, nilai negatif dari pengelolaan hutan oleh masyarakat yaitu apabila
pengelolaan hutan tidak dilakukan dengan baik, tentu akan menimbulkan banyak
bencana seperti kerusakan hutan, penebangan liar, deforestasi, bencana alam, dan lain-
lain.
Norma-norma atau aturan-aturan tersebut disebut dengan kearifan lokal (local
wisdom). Norma-norma tersebut diakui dan ditaati oleh setiap elemen masyarakat,
sehingga norma-norma tersebut dapat menjaga stabilitas alam sekitar masyarakat dan
menjadi sesuatu kebudayaan yang melekat pada masyarakat tersebut. Kearifan lokal

1
menjadi sebuah penentu keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan
masyarakat.
Kearifan lokal dibangun dari nilai-nilai sosial dan berfungsi sebaggai pedoman,
aturan-aturan dalam berprilaku, serta berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Kearifan
lokal menjadi salah satu faktor penting dalam pengelolaan sumber daya alam yang baik
dan dapat meminimalisir kerusakan alam yang marak terjadi saat ini. Kearifan lokal
perlu dikaji lebih lanjut dan dilestarikan sebagai suatu bentuk kebudayaan bangsa dalam
suatu masyarakat guna menjaga kelestarian dan keseimbangan suatu sumber daya alam.
penelitian ini bermaksud untuk mengkaji kearifan lokal yang ada dalam masyarakat
terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, dampak kearifan lokal yang ada pada
masyarakat tersebut serta bentuk interaksi masyarakat terhadap alam sekitar.
Salah satu masyarakat yang masih menjaga dan menjalankan kearifan yang berlaku
di masyarakat yaitu Kasepuhan Ciptagelar, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat.
Hal ini dikarenakan menurut informasi yang didapat oleh peneliti di Kasepuhan
Ciptagelar terdapat kearifan lokal dalam pengelolaan hutan. Selain itu diindikasikan
bahwa daerah ini mempunyai bentuk kearifan lokal lain yang bertujuan untuk
menselaraskan antara manusia dengan alam. Sehingga alam dapat terjaga dengan baik
dan lestari.
Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui secara mendetail bentuk interaksi dan
kearifan lokal tersebut, sehingga dapat menjadi salah satu model pengelolaan hutan yang
dapat menjaga kelestarian alam secara kontinyu dan dapat dirasakan manfaatnya oleh
generasi selanjutnya serta mampu menjadi solusi bagi kerusakan hutan yang marak
terjadi akibat kurang baiknya pengelolaan hutan.
Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan di atas, ada beberapa hal yang menarik
untuk dikaji dalam kearifan lokal yang ada di Kasepuhan Ciptagelar, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat, yaitu:
1. Bagaimana bentuk kearifan lokal yang terdapat di Kasepuhan Ciptagelar,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat ?
2. Bantuk interaksi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar terhadap hutan ?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari kearifan lokal masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar terhadap hutan dan pengelola?

2. PEMBAHASAN
Kasepuhan Ciptagelar merupakan suatu kampung yang berada di Dusun Sukamulya,
Desa Sirnaresmi RT 02/RW 10, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi dengan
koordinat 6⁰48’07.72” LS dan 106⁰29’53.98” BT dengan suhu antara 200 hingga 260
Celsius. Kasepuhan Ciptagelar merupakan suatu perkampungan yang terletak di daerah
paling ujung dari Kecamatan Cisolok dan berbatasan langsung dengan Provinsi banten,
sehingga dapat disebut juga dengan kesatuan Kasepuhan Banten Kidul atau kasepuhan
banten yang berada di sebelah selatan (kidul).
Batas wilayah Desa Sirnaresmi yaitu:

2
 Sebelah utara berbatasan dengan Desa Sinargalih, Kecamatan Cibeber,
Kabupaten Lebak provinsi Banten.
 Sebelah timur berbatasan dengan Desa Cihamerang, Kecamatan Kelapanunggal,
Kabupaten Sukabumi.
 Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Sirnarasa, Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi.
 Sebelah barat berbatasan dengan Desa Cicadas Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi

Gambar 1. Peta Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok


Sumber: Desa Sirnaresmi, Cisolok, Sukabumi
Kasepuhan Ciptagelar merupakan suatu kampung yang berada di daerah perbukitan,
sehingga memiliki topografi bergelombang atau berbukit dengan ketinggian 1200 mdpl.
Kasepuhan Ciptagelar dikelilingi oleh tiga buah gunung. Bagian utara terdapat Gunung
Kadeng, bagian barat terdapat Gunung Halimun, bagian timur terdapat Gunung
Bongkok dengan kelerangan 40 % (agak curam).
Data mengenai jumlah penduduk di Kasepuhan Ciptagelar sangat minim dan tidak
adanya data resmi mengenai statistik Kasepuhan pertahunnya. Hal tersebut dikarenakan
perhitungan jumlah penduduk didasarkan pada perhitungan jumlah pemasok padi
kedalam lumbung (Leuit) dalam upacara Seren Taun yang dihitung berdasarkan jumlah
kepala keluarga, sehingga untuk menentukan jumlah atau statistik kependudukan
berdasarkan jenis kelamin sangat sulit didapatkan.
Penduduk Kasepuhan Ciptagelar terdiri dari sebagian besar penduduk asli
Kasepuhan Ciptagelar, dan hanya sebagian kecil penduduk yang berasal dari luar
Kasepuhan Ciptagelar. Menurut catatan tahun 2008-2010 Jumlah penduduk
berdasarkan jumlah pemasok padi di Kasepuhan Ciptagelar yaitu pada tahun 2008 yaitu
84 kepala keluarga terdiri dari 151 Laki-Laki dan 142 Perempuan. Pada tahun 2010
jumlah penduduk di Kasepuhan Ciptagelar mengalami peningkatan, yaitu sebanyak 109
kepala keluarga.
Hutan di Kasepuhan Ciptagelar termasuk kedalam kawasan Balai Taman Nasional
Gunung Halimun-Salak (BTNGHS) yang berada di Resort Gunung Bodas dengan sistem

3
pengelolaan zonasi. Sistem pengelolaan ini berupa pembagian hutan menurut
pemanfaatannya yaitu hutan garapan, hutan tutupan dan hutan titipan. Hutan memiliki
fungsi yang sangat besar bagi keberlangsungan hidup masyarakat Kasepuhan Ciptagelar,
yaitu sebagai pemenuhan kebutuhan akan kayu bakar, tempat penyerapan dan penyedia
sumber air, tempat hidup dan berkembangnya flora dan fauna, dan juga sebagai
penyeimbang lingkungan. Fungsi hutan sebagai tempat penyerapan, dan penyedia air
merupakan fungsi yang paling penting bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, karena
masyarakat membutuhkan air guna kehidupan sehari-hari dan pengairan sawah yang
merupakan hal tersakral dalam kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.
Hutan memiliki banyak manfaat bagi keberlangsungan hidup manusia karena hutan
menjadi penopang hidup manusia. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya
ketergantungan manusia terhadap hutan. Manfaat hutan bagi Kasepuhan Ciptagelar yaitu
sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari dan juga sebagai kawasan konservasi,
sehingga perlu dilakukan penjagaan dan pemanfaatan hutan secara lestari. Pemanfaatan
hutan secara lestari ini merupakan bentuk dari kearifan lokal masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar dalam turut menjaga kelestarian hutan sehingga mampu menopang kebutuhan
masyarakat akan sumber daya hutan baik sebagai pemenuhan kebutuhan akan kehidupan
sehari-hari, bahan konstruksi kayu maupun sebagai penyedia air bagi pertanian
masyarakat. Selain itu, kearifan lokal masyarakat terhadap hutan ini juga berfungsi
sebagai warisan kepada generasi selanjutnya agar mereka dapat memenuhi kebutuhan
hidup mereka akan hutan.

2.1. Sejarah Kasepuhan Ciptagelar

Berdasarkan hasil dari wawancara terhadap Sekretaris Desa yang bernama M.


Buchori dan kepala atau pemangku adat Kasepuhan Ciptagelar Abah Ugi Sukriana
Rakaswi, didapatkan sejarah tentang terbentuknya Kasepuhan Ciptagelar. Terbentuknya
Kasepuhan Ciptagelar berasal dari daerah Banten. Pada masa kepemimpinan Abah
Jasiun kasepuhan berada di Kampung Cisono, Banten. Pada tahun 1937 Abah Ahmad
Jasiun meninggal dan digantikan oleh anaknya yang bernama Amarusdi. Kasepuhan
dipindahkan ke dalam hutan di daerah Cicemet karena adanya serangan dari Belanda.
Pada tahun 1959 karena adanya Organisasi DI/TII yaitu suatu organisasi yang
menghendaki NKRI menjadi negara berbasiskan Agama Islam, Kasepuhan diserang
sehingga kasepuhan harus dipindahkan ke Cikaret. Pada tahun 1960 Amarusdi
meninggal dan dilanjutkan oleh Abah Arjo. Karena adanya perubahan dari Orde Lama
menjadi Orde Baru nama kasepuhan kemudian disahkan menjadi Kasepuhan Sinar
Resmi.
Pada tahun 1980 terjadi permasalahan antara kasepuhan dengan Penganut Agama
Islam. Hal tersebut dikarenakan adanya pendapat bahwa Kasepuhan Sinar Resmi
menganut aliran kepercayaan yang masih melakukan ritual. Adanya permasalahan
tersebut Abah Arjo memindahkan kasepuhan ke Sirna Rasa. Pada tahun 1982 kasepuhan
dipindahkan lagi ke Kampung Linggar Jati dan Abah Arjo meninggal disana.
Abah Arjo memilki enam orang istri dari istri pertama abah Arjo memilki tiga orang
anak yaitu Abah Uum Sukma Wijaya, Mak Titin dan Ujad Sujati. Sedangkan dari istri

4
kelima mempunyai tiga orang anak yaitu Abah Encup, Engkor dan Lia. Setelah
meninggalnya Abah Arjo, Abah Uum tidak mau melanjutkan tampu kepemimpinan adat,
sedangkan adiknya yang bernama Abah Ujad sedang menjabat menjadi kepala desa
sehingga tidah bisa menjadi pemimpin adat. Dari kesepakatan adat maka ditunjuklah
Abah Encup (Abah Anom) menjadi Pemimpin adat yang pada saat itu Abah Encup
(Anom) baru berumur 16 tahun.
Pada masa kepemimpinan Abah Anom, ia mendapatkan sebuah wangsit agar
memindahkan Kasepuhan dari Linggar Jati ke Kampung Ciptarasa pada tahun 1985,
pada saat ini pula Abah Ujad yang semula menjadi kepala desa telah selesai masa
jabatannya. Pada tahun 1985 ini terjadilah kesepakatan antara Abah Ujad dan Abah
Anom. Kesepakatan tersebut berisi pembagian kawasan menjadi dua, dimana Abah Ujad
menjadi Pemimpin Kasepuhan Sinar Resmi dan Abah Anom (Encup) menjadi pemimpin
di Kasepuhan Ciptarasa.
Pada tahun 2000-2001 Kasepuhan yang dipimpin oleh Abah Anom dipindahkan ke
Ciptagelar. Pada tahun 2002 Abah Ujad meninggal dan digantikan oleh anaknya yang
bernama Abah Asep. Abah Uum kemudian mendirikan Kasepuhan Ciptamulya dan
dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Abah Hendrik. Pada tahun 2008 Abah Anom
meninggal dan digantikan oleh Abah Ugi sebagai pemimpin Kasepuhan Ciptagelar
hingga sekarang. Struktur pemangku adat dan lokasi kasepuhan dapat dilihat dari table
berikut:

Tabel 1. Pemangku Adat Kasepuhan Ciptagelar


No Pemangku Adat Tahun Lokasi
1 Ki Buyut Martayuda - Guradog, Banten
2 Ki Buyut Maskara - Lebak Binong, Banten
3 Ki Buyut Ros 1381-1559 Cipatat, Bogor
4 Ki Buyut Gondok 1559-1729 Ciear, Bungkuk, Banten
5 Ki Buyut Kayon 1729-1797 Lebak Binong, Banten
6 Ki Buyut Santaiyu 1797-1832 Pasir Telaga, Pariangan
7 Kibuyut Arikin 1832-1895 Tegalumbu,Cingabeui, Banten
8 Ki Buyut A. Jasiun 1895-1937 Bojongsono, Banten
Cicemet, Sukabumi
9 Aki Buyut Rusdi 1937-1960 Cikaret, Sukabumi
10 Abah Arjo 1960-1972 Cikaret, Sukabumi
1972-1982 Sirnarasa, Sukabumi
1982 Linggar Jati, Sukabumi
11 Abah Encup 1982-1985 Linggarjati, Sukabumi
1985-2001 Ciptarasa, Sukabumi
2001-2008 Ciptagelar, Sukabumi
12 Abah Ugi 2008-sekarang Ciptagelar, Sukabumi
Sumber: Data primer

5
2.2. Interaksi Masyarakat Terhadap Hutan

Masyarakat desa hutan memiliki beberapa ciri dengan spesifikasi tingkat


homogenitas yang tinggi, mulai dari sistem mata pencaharian, sistem pengetahuan,
teknologi yang diterapkan, religi yang dianut, organisasi sosial, kesenian, maupun bahasa
daerah yang digunakan. Beragam ciri spesifik masyarakat desa hutan diyakini
mengandung nilai-nilai kearifan lokal tradisional yang mampu menciptakan stabilitas
kondisi sosial dan kehidupan harmonis. Nilai-nilai kearifan tradisional masyarakat desa
hutan terbentuk dari interakasi antara sesama anggota masyarakat dengan lingkungannya
yang terjadi secara berulang-ulang. Akibatnya, terbangunlah sistem tatanan sosial budaya
masyarakat desa hutan yang menyatu dengan ekosistem lingkungan. Hutan sebagai satu
kesatuan lingkungan budaya menjadi tumpuan hidup (staff of life) masyarakat desa hutan
untuk menopang sistem kehidupannya. Budaya masyarakat desa hutan terbentuk dari
hubungan timbal balik yang berkesinambungan dengan lingkungan sumber daya hutan
(Nugraha dan Murtijo, 2005).
Masyarakat manusia sebagai bagian dari mahluk hidup, memegang peranan yang
menentukan terhadap kelestarian dan keseimbangan ekosistem. Sebuah ekosistem
mencakup komponen mahluk hidup (manusia, hewan, jasad renik, tumbuh-tumbuhan)
dan lingkungan yang tidak hidup (udara, energi matahari, air, tanah, angin, panas,
cahaya, mineral dan sebagainya), yang keduanya saling berinteraksi dan berhubungan
timbal balik, juga antara sesama mahluk hidup tersebut. Baik ekosistem daratan maupun
ekosistem perairan berada dalam keseimbangan dinamis (Manan, 1998).
Kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar tidak dapat dipisahkan dari hutan,
karena menurut adat Kasepuhan Ciptagelar hutan merupakan instrumen penting dalam
menyangga kehidupan dan memenuhi keberlangsungan kehidupan masyarakat.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar meyakini bahwa hutan merupakan pusat dari
kehidupan manusia, sehingga kelestarianya harus dijaga dengan baik. Masyarakat setiap
harinya akan selalu berinteraksi terhadap hutan sebagai pemenuhan kebutuhan
kehidupan, baik dari bahan konstruksi, pemenuhan pangan, ketersediaan air dan
keberlangsungan kehidupan masyarakat hingga generasi berikutnya.
Adapun interaksi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar terhadap hutan adalah sebagai
berikut:

Tabel 2. Interaksi Masyarakat terhadap hutan dan manfaatnya


No Interaksi terhadap hutan Manfaat
1 Pemanfaatan kayu kering Persediaan kayu bakar
2 Pemanfaatan kayu Bahan bangunan (konstruksi) rumah
3 Pemanfaatan rotan Tali, kerajinan, dan lalapan
4 Pemanfaatan bamboo Bahan pembuatan dinding rumah
5 Pemanfatan lahan kehutanan Pemukiman, persawahan, dan perladangan
6 Penjagaan dan pemeliharan Penyangga ketersediaan air dan kelestarian hutan
hutan sebagai pemenuhan kehidupan masyarakat
Sumber: Data primer

6
1. Pemanfaatan kayu kering
Pemanfaatan kayu kering ini bertujuan untuk ketersediaan kayu bakar
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dalam memasak nasi. Hal ini dikarenakan aturan
adat yang ada di Kasepuhan Ciptagelar melarang masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
untuk memasak nasi menggunakan kompor, sebaga bentuk masyarakat mensakralkan
ritual memasak nasi. Penggunaan kayu bakar sendiri tidak diperbolehkan untuk
mengambil ranting dari pohon di hutan, namun hanya menggunakan ranting-ranting
yang telah kering dan jatuh di lantai hutan atau menggunakan kayu sisa dari
pembuatan rumah adat.

2. Pemanfaatan kayu guna konstruksi rumah


Pemanfaatan kayu guna konstruksi rumah ini dikarenakan rumah masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar masih menggunakan kayu sebagai bahan utama konstruksi
bangunan, sehingga dalam pemanfaatan kayu guna konstruksi bangunan ini terdapat
aturan-aturan khusus (aturan adat) dalam pemanfaatan kayu. Aturan tersebut yaitu
berupa larangan penggunaan kayu berlebihan, harus sesuai dengan kebutuhan dalam
pembuatan rumah. Sebelum proses pengambilan kayu ini pula masyarakat harus
mendapatkan izin dari kepala adat dan di haruskan melakukan penanaman kembali
setelah melakukan penebangan pohon.

3. Pemanfaatan rotan
Pemanfaatan rotan ini yaitu sebagai bahan pembuatan tali dan kerajinan
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sehingga dapat menunjang ekonomi masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar. Selain itu, pemanfaatan rotan lainya yaitu sebagai bahan
lalapan (humbut). Pemanfaatan guna lalapan ini yaitu dengan memanfaatkan bagian
pucuk rotan yang masih muda. Dalam pemanfaatan rotan tidak ada aturan adat
tertentu, karena masyarakat meyakini rotan dapat terus tumbuh tanpa perlu dilakukan
penanaman kembali.

4. Pemanfaatan bambu
Dalam pemanfaatan bambu ini yaitu sebagai bahan konstruksi pembuatan
rumah. Rumah adat Kasepuhan Ciptagelar diwajibkan menggunakan bambu sebagai
bahan dasar pembuatan dinding rumah. Dalam pemanfaatan bambu ini pula terdapat
aturan-aturan adat tersendiri. Aturan-aturan tersebut sama dengan aturan prosesi
penebangan kayu, namun apabila pengambilan bambu tersebut berada di areal
pekarangan rumah maka masyarakat tidak diwajibkan menanam kembali.

5. Pemanfaatan lahan guna pemenuhan kebutuhan sehari-hari


Pemanfaatan lahan ini yaitu berupa pemanfaatan lahan guna pemenuhan
kebutuhan sehari-hari, pemanfaatan ini berupa persawahan dan perladangan. Dalam
hal ini pemanfaatan kawasan hutan dibagi menjadi tiga zonasi yaitu hutan garapan,
hutan tutupan dan hutan titipan. Hutan garapan inilah yang dimanfaatkan masyarakat
sebagai kawasan perkampungan (pemukiman), persawahan, dan perladangan (huma).

7
6. Penjagaan dan pemeliharaan hutan
Penjagaan hutan yang dilakukan masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar yaitu
dengan tidak memperbolehkannya masyarakat untuk memasuki hutan titipan dan
melakukan ronda rutin. Masyarakat meyakini apabila memasuki hutan titipan ini
maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seperti tersesat. Dalam
pemeliharaanya masyarakat hanya memanfaatkan hutan sesuai dengan kebutuhan
sehari-hari. selain itu masyarakat juga diwajibkan untuk melakukan penanaman pasca
melakukan penebangan pohon dan bambu, sehingga kerusakan hutan dapat
diminimalisir.

2.3. Ragam Kearifan Lokal Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar

Menurut Fauzi (2011), kearifan lokal adalah sebuah tradisi atau adat dalam
suatu etnis. Dalam hal ini adalah adat yang terdapat dalam sistem budaya masyarakat
setempat. Perlu diketahui bahwa hampir setiap suku bangsa di Indonesia memiliki acuan
norma-norma yang bersumber dari kebudayaan masing-masing, yang dikenal dengan
kearifan budaya lokal (local wisdom). Kearifan lokal merupakan tata aturan yang
menjadi acuan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan, yakni: 1), Tata aturan
yang menyangkut hubungan antar sesama manusia, misalnya dalam interaksi sosial
antara individu maupun kelompok; 2), Tata aturan yang menyangkut hubungan manusia
dengan alam, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan yang lebih bertujuan pada upaya
konservasi alam; 3), Tata aturan yang menyangkut hubungan manusia dengan yang gaib,
seperti Tuhan dan roh gaib.
Kasepuhan Ciptagelar memiliki kearifan lokal yang beraneka ragam yang tetap
dijaga eksistensinya oleh masyarakat kasepuhan, dan diturunkan dari generasi kegenasi
selanjutnya agar kearifan tersebut dapat terjaga dalam kehidupan masyarakat kasepuhan.
Kearifan lokal tersebut tidak diturunkan melalui buku atau catatan-catatan, melainkan
diturunkan melalui nasihat-nasihat dari orang tua kepada anak. Bapak Luki sebagai
Kepala Seksi BTNGHS menyatakan mengakui adanya kearifan lokal yang ada di
Kasepuhan ciptagelar yang berada di Resort Gunung Bodas. Masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar menganggap hutan yang ada di TNGHS merupakan hutan milik adat maka
mereka mempunyai hak untuk melakukah penebangan di TNGHS yang notabene
merupakan hutan konservasi, sehingga BTNGHS menganggap masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar telah melakukan pengrusakan hutan.
Putusan MK Nomor 35/PUU-X/2012 menyatakan bahwa Hak-Hak masyarakat
hukum adat atas wilayah adatnya, mencakup;

a. Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah (untuk pemukiman, bercocok


tanam, dll), persediaan (pembuatan wilayah pemukiman/persawahan baru, dll),
dalam pemeliharaan hutan;
b. Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah
(memberikan hak tertentu kepada subjek tertentu);
c. Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-
perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah (jual-beli, warisan, dll);

8
Masyarakat hukum adat secara konstitusional diakui dan dihormati sebagai
penyandang hak yang dengan demikian tentunya dapat pula dibebani kewajiban. Dengan
demikian masyarakat hukum adat adalah subjek hukum. Sebagai subjek hukum di dalam
suatu masyarakat yang telah menegara maka masyarakat hukum adat haruslah mendapat
perhatian sebagaimana subjek hukum yang lain ketika hukum hendak mengatur,
terutama mengatur dalam rangka pengalokasian sumber-sumber kehidupan.
Ketentuan konstitusional sebagai dasar-dasar pengaturan dalam rangka
pengalokasian sumber-sumber kehidupan bangsa untuk kesejahteraan, termasuk di
dalamnya sumber daya alam, seperti hutan, terdapat hal penting dan fundamental, yaitu:

1. Penguasaan negara terhadap cabang produksi yang penting bagi negara dan
yang menguasai hajat hidup orang banyak.
2. Penguasaan negara terhadap bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya.
3. Penguasaan negara terhadap sumber daya tersebut, termasuk di dalamnya
sumber daya alam, dimaksudkan supaya negara dapat mengatur dalam rangka
pengelolaan terhadap sumber daya kehidupan tersebut untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat, baik rakyat secara individual maupun rakyat sebagai
anggota masyarakat hukum adat;
Menurut Saptomo (2009), masyarakat adat merupakan suatu kesatuan masyarakat
yang bersifat otonom, yaitu mereka mengatur sistem kehidupannya (hukum, politik,
ekonomi, dsb). Ia lahir dari, berkembang bersama, dan dijaga oleh masyarakat itu
sendiri. Dalam bukunya Hukum dan Kearifan Lokal (Revitalisasi Hukum Adat
Nusantara) Saptomo menjelaskan menurut Maria Sumardjono, ada atau tidaknya hak
ulayat dihubungkan dengan keberadaan masyarakat itu sendiri. Sementara indikator
keberadaan dimaksud adalah:
a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai
subyek hak ulayat;
b. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum (ruang
hidup) yang merupakan obyek hak ulayat;
c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-
tindakan yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain, serta
perbuatan-perbuatan hukum.
kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dapat dilihat dalam setiap aspek
kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Kearifan lokal tersebut dapat berupa
interaksi masyarakat terhadap hutan, pertanian, pembuatan rumah, bahkan dalam
memasak pun terdapat kearifan lokal yang tetap dijaga oleh masyarakat kasepuhan dari
dahulu hingga sekarang.

2.3.1. Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan

Menurut Sulistiyaningsih (2013), hutan merupakan salah satu SDA yang sangat
bermanfaat bagi kehidupan manusia. Keberadaan hutan yang selama ini diibaratkan
sebagai paru-paru dunia, diharapkan bisa memberi manfaat secara sosial, ekonomi dan

9
ekologi. Mengingat fungsi hutan yang banyak tersebut, maka hutan harus dilestarikan
demi kesejahteraan manusia.
Nababan (2002) menyatakan masyarakat adat sudah terbukti mampu menyangga
kehidupan dan keselamatan mereka sendiri sebagai komunitas dan sekaligus menyangga
layanan sosio-ekologis alam untuk kebutuhan seluruh mahluk. Dengan pranata sosial
yang bersahabat dengan alam, masyarakat adat memiliki kemampuan yang memadai
untuk melakukan rehabilitasi dan memulihkan kerusakan hutan di areal-areal bekas
konsesi HPH dan lahan-lahan hutan kritis (community-based reforestation and
rehabilitation) dengan pohon-pohon jenis asli komersial. Ada beberapa alasan betapa
pentingnya peran masyarakat adat dalam pengelolaan hutan di masa depan, yaitu bahwa:
1. Masyarakat adat memiliki motivasi yang kuat dan mendapatkan insentif yang
paling bernilai untuk melindungi hutan dibandingkan pihak-pihak lain karena
menyangkut keberlanjutan kehidupan mereka.
2. Masyarakat adat memiliki pengetahuan asli bagaimana memelihara dan
memanfaatkan sumberdaya hutan yang ada di dalam habitat mereka.
3. Masyarakat adat memiliki hukum adat yang ditegakkan.
4. Masyarakat adat memiliki kelembagaan adat yang mengatur interaksi
harmonis antara mereka dengan ekosistem hutannya.
Dalam pemanfaatan hutan dan pengelolaanya, hutan di Kasepuhan Ciptagelar dibagi
kedalam tiga zonasi. Pembagian zonasi tersebut bertujuan untuk menjaga kelestarian
hutan sebagai hal yang paling penting dalam kehidupan masyarakat kasepuhan. Selain
itu, dalam pemanfaatan hutan terdapat aturan-aturan adat yang mengikat dalam setiap
prosesi pelaksanaan pemanfaatan hutan tersebut.
Dalam pengelolaan hutan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar membagi kawasan
hutan menjadi tiga zona, yaitu:
1. Hutan Garapan
Hutan garapan ini yaitu berupa areal pemanfaatan kawasan hutan yang
diperuntukan untuk kawasan pemukiman, persawahan dan perladangan.
2. Hutan Tutupan
Hutan tutupan ini yaitu kawasan hutan yang memiliki fungsi sebagai
hutan penyangga kehidupan dan hutan lindung. Dalam pemanfaatnnya
masyarakat diperbolehkan untuk memanfaatkan hasil hutan baik kayu maupun
non kayu guna kebutuhan sehari-hari. Namun dalam pemanfaatannya terdapat
aturan-aturan adat yang harus patuhi oleh masyarakat.
3. Hutan Titipan
Yaitu berupa kawasan hutan yang dikeramatkan oleh masyarakat,
sehingga tidak diperbolehkan untuk melakukan pemanfaatan pada kawasan
hutan tersebut. Masyarakat kasepuhan adat meyakini apabila masuk atau bahkan
melakukan pemanfaatan hutan pada kawasan hutan titipan ini maka akan terjadi
sesuatu hal yang tidak diingiinkan, meskipun tidak ada sanksi atas pelanggaran
terhadap kawasan hutan titipan tersebut.
Pembagian kawasan hutan kedalam beberapa zona ini merupakan pembagian
kawasan hutan menurut pemanfaatannya, sehingga dalam pengelolaan nya tidak terjadi
kerusakan hutan akibat tingginya kebutuhan masyarakat akan kayu dan berdampak pada

10
penggundulan hutan secara besar-besaran tanpa adanya batasan-batasan dalam
pemanfaatan hutan.

Adapun skema pembagian hutan ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2. Peta Pembagian Kawasan Hutan.


Sumber: Olahan Peneliti

Peta di atas menunjukan pembagian kawasan hutan di Kasepuhaan Ciptagelar,


pada saat ini masyarakat hanya meyakini untuk hutan garapan yaitu hutan yang
dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari, hutan tutupan yaitu hutan yang berada
dibagian tepi dari hutan titipan. Hutan titipan merupakan hutan lindung dan memiliki
interaksi yang sangat sedikit sekali bahkan mungkin tidak pernah terjadi interaksi sama
sekali dengan masyarakat kasepuhan.
Hutan titipan tersebut merupakan hutan yang diyakini masyarakat dihuni oleh
mahluk gaib dan sebagai tempat tinggal roh para leluhur. Sedikitnya interaksi masyarakat
terhadap hutan titipan ini meyebabkan hutan titipan sebagai tempat hidup satwa-satwa
liar yang ada di Gunung Halimun. Kearifan lokal inilah yang menjaga kawasan hutan
tetap lestari hingga sekarang dan akan terus dipertahankan eksistensinya dari generasi ke
generasi selanjutnya.
Pembagian zonasi kawasan hutan di Kasepuhan Ciptagelar tidak memiliki
batasan secara tertulis maupun batas berupa pal-pal batas kawasan hutan. Batas-batas
zona pemanfaatan hutan di Kasepuhan Ciptagelar hanya menggunakan pohon palm botol
(Mascarena legeniculus) dan tanaman hanjuang (Cordyline fruiticosa syn) yang ditanam
sebagai batas antara hutan tutupan dan hutan titipan, sedangkan batas hutan tutupan
dengan hutan garapan yaitu berupa gundukan pematang sawah. Batas-batas tersebut
sudah ditetapkan selama berpuluh-puluh tahun bahkan beratus-ratus tahun silam sebagai
tanda pembatas kawasan zona pemanfaatan.
Hukum adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum
kebiasaan dan sebagian kecil Hukum Islam. Hukum adat itupun melingkupi hukum yang
berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan,
di mana ia memutuskan perkara. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia
menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya sendiri,

11
hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu
sendiri (Soepomo, 1997).
Kasepuhan Ciptagelar juga memiliki hukum adat atau aturan-aturan adat yang
dipatuhi oleh masyarakat kasepuhan adat. Aturan adat tersebut melekat dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat sebagai suatu norma tertentu yang dijalankan dan diwariskan
kegenerasi selanjutnya. Aturan-aturan adat dalam pengelolaan dan pemanfaaatan hutan
ini bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan itu sendiri.Aturan–aturan adat tersebut
antara lain:
a. Dalam pemanfaatan kayu guna konstruksi rumah adat
Dalam penebangan kayu terdapat aturan-aturan adat yang harus dilakukan oleh
masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dan penebangan tersebut hanya boleh
dilakukan pada kawasan hutan tutupan. Hal ini bertujuan untuk menjaga
kelestarian hutan itu sendiri, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh
masyarakat dari generasi kegenerasi selanjutnya. Adapun aturan-aturan adat
dalam prosesi penebangan pohon yaitu sebagai berikut:
 Sebelum melakukan penebangan pohon, masyarakat adat kasepuhan
diwajibkan untuk melakukan penanaman pohon terlebih dahulu. Setiap
melakukan penebangan satu pohon maka masyarakat diwajibkan untuk
menanam 50 bibit pohon. Penanaman bibit tersebut harus disaksikan oleh
masyarakat kasepuhan adat.
 Sebelum melakukan penebangan harus melakukan izin terhadap
pemangku adat terlebih dahulu.
 Penebangan tidak boleh dilakukan diareal-areal yang terdapat mata air.
Hal ini bertujuan untuk mejaga kelestarian sumberdaya air, mengingat
kebutuhan air akan persawahan, perladangan, dan kehidupan masyarakat
sangat besar.
 Penebangan tidak boleh dilakukan di areal-areal yang berpotensi terjadi
erosi, seperti areal-areal yang memiliki kelerengan yang curam. Hal ini
bertujuan untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan dari erosi itu
sendiri.
 Penebangan yang dilakukan yaitu dengan sistem penjarangan, yaitu
melakukan penebangan-penebangan pada areal-areal dengan kerapatan
yang besar sehingga tidak terjadi penggundulan kawasan hutan.
 Penebangan hanya boleh dilakukan guna pemenuhan kebutuhan akan
bahan konstruksi rumah. Tidak diperbolehkan melakukan penebangan
secara besar-besaran karena akan berdampak pada rusaknya kawasan
hutan.
 Hasil dari penebangan berupa kayu tidak boleh diperjual-belikan.
Penebangan hanya dilakukan untuk konsumsi pribadi sehingga tidak
terjadi penggundulan hutan secara besar-besaran.
b. Dalam pemanfaatan bambu guna konstruksi dinding rumah adat.
 Sebelum melakukan penebangan bambu harus meminta izin terlebih
dahulu kepada pemangku adat

12
 Penebangan bambu hanya sesuai dengan kebutuhan untuk pembuatan
dinding rumah adat Kasepuhan Ciptagelar.
 Setelah melakukan penebangan masyarakat diwajibkan melakukan
penanaman. Agar ketersedian bahan baku konstruksi tetap terjaga.
 Hasil dari penebangan tidak boleh diperjual-belikan. Hanya diperuntukan
kebutuhan pribadi saja.
 Aturan-aturan tersebut berlaku apabila penebangan bambu dilakukan di
kawasan hutan. Sedangkan, apabila penebangan dilakukan di areal
pekarangan rumah tidak diwajibkan melakukan ritual adat tersebut.

2.3.2. Kearifan Lokal Masyarakat Terhadap Pertanian.

Manurut Nugraha dan Murtijo (2005), manusia mengawali dan


mempertahankan hidupnya dengan cara berburu dan meramu yang dimulai sejak satu
juta tahun yang lalu. Pergeseran mata pencaharian hidup manusia dari berburu meramu
ke aktifitas bercocok tanam terjadi kira-kira sepuluh ribu tahun yang lalu dan menandai
terjadinya revolusi kebudayaan sejarah hidup manusia. Manusia diberi kesempatan
menikmati dan merengguk anugrah alam secara cuma-cuma tergantung dari kreatifitas
berpikir manusia untuk mengolah sumber daya alam. Sejarah pertanian telah mencatat
bahwa pola pertanian masyarakat dilakukan secara subsisten dan dilakukan secara
berpindah-pindah. Mereka menanam berbagai jenis tanaman pangan, antara lain padi,
gandum, jagung, ubi kayu, dan sayuran sebatas untuk memenuhi kebutuhan keluarga
sehari-hari. mereka belum mengenal sistem pemupukan untuk menyuburkan tanah,
sehingga ketika tanah dirasa tidak menghasilkan secara optimal mereka akan mencari
tempat lain.
Perkembangan kultur pertanian berpindah-pindah adalah terbentuknya komunitas-
komunitas kecil yang menyerupai desa dalam bentuk struktur yang lebih sederhana. Pola
pertaniannya masih berupa sistem ladang dan masyarakatnya tidak menetap mengikuti
ladang yang baru. Solidaritas diantara masyarakat peladang tampil dalam bentuk sistem
gotong-royong sebagai wujud kebersamaan dan wujud timbal balik saling membutuhkan.
Sistem pertanian ini belum mempunyai konsepsi pemilikan atas ladang secara individual,
tetapi menjadi kepemilikan bersama (Common property). Tiap individu anggota
kelompok berladang boleh mengerjakan suatu areal tanah dan mengambil hasil jerih
payahnya. Ketika ia mengerjakan suatu bagian tanah, maka tanah itu berada di bawah
kendali kekuasaannya. Apabila tanah tersebut berhenti dikerjakan, maka secara otomatis
tanah kembali di bawah kekuasaan kelompok.
Pertanian di Kasepuhan Ciptagelar merupakan suatu prosesi adat yang sangat
penting dan sakral, sehingga dalam proses pertanian terdapat aturan-aturan adat
tersendiri. Aturan-aturan adat tersebut menjadi suatu kearifan lokal yang melekat dalam
kehidupan masyarakat dan ditaati oleh setiap masyarakat. Kasepuhan Ciptagelar
memiliki dua pola pertanian yaitu pola pertanian persawahan dan perladangan. Setiap
pola pertanian ini memiliki kearifan lokal tersendiri yang hingga sekarang tetap
dijalankan oleh masayarakat kasepuhan.

13
Gambar 3. Areal Persawahan Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014
Sebelum melakukan penanaman pertanian masyarakat harus mengikuti perhitungan
penanggalan yang berpedoman pada pengamatan bintang (berguru ke bintang). Bintang
yang menjadi perhitungan penentuan waktu memulainya pertanian yaitu bintang kidang
dan bintang kerti. Pengamatan bintang ini dilakukan pada waktu subuh, karena pada
waktu ini bintang dapat dilihat dengan jelas.
Bintang Kidang yaitu bintang yang mengumpul pada satu titik pusat. Munculnya
bintang kidang menandakan bahwa masyarakat harus mulai mempersiapkan alat-alat
pertanian, seperti cangkul, golok, sabit dan lain-lain. Bintang Kerti yaitu bintang yang
berjajar lurus kemudian terdapat bintang yang berbentuk panah kecil yang mengarah ke
garis lurus bintang lainya. Munculnya bintang kerti menandakan bahwa pertanian boleh
mulai dilakukan pengolahan. Pada saat penanaman inilah biasanya masih masuk musim
kemarau, namun kepercayaan masyarakat meskipun masih musim kemarau namun
kondisi tanah sudah mulai bisa ditanami oleh tumbuh-tumbuhan. Apabila bintang kerti
ini sudah berada di ujung arah barat maka masyarakat sudah harus mulai melakukan
pemanenan, hal tersebut dikarenakan apabila bintang kerti sudah tenggelam maka akan
muncul hama-hama pengganggu dan perusak tanaman padi seperti wereng yang dapat
mengakibatkan hasil panen menurun bahkan bisa mengalami gagal panen.

2.3.2.1. Persawahan

persawahan merupakan salah satu jenis sistem pertanian di Kasepuhan


Ciptagelar. Persawahan ini berada terletak pada areal datar yang lebih luas dibandingkan
dengan ladang. Persawahan di Kasepuhan Ciptagelar ini merupakan suatu bentuk
adaptasi masyarakat terhadap peraturan pemerintah mengenai tata batas pembukaan areal
yang telah dibuka sebaga areal perladangan dialih fungsikan menjadi areal persawahan
dengan sistem sawah tadah hujan dan sawah irigasi.
Persawahan di Kasepuhan Ciptagelar dilakukan dalam satu tahun satu kali. Hal ini
dikarenakan pertanian dilandaskan pada filsafat hidup yang diterapkan oleh masyarakat
kasepuhan “Pertanian itu dipelihara bukan di tuhankan, manusia saja melahirkan satu
tahun sekali”. Dalam hal ini memberikan pengertian kepada masyarakat bahwa pertanian
itu hanya untuk pemenuhan kebutuhan saja, bukan untuk dituhankan atau diagung-
agungkan sehingga manusia lupa akan sang pencipta.

14
Pengelolaan persawahan di Kasepuah Ciptagelar terdapat aturan-aturan adat yang
harus ditaati oleh masyarakat kasepuhan. Aturan-aturan tersebut yaitu sebelum
melakukan penanaman harus meminta izin kepada orang tua terlebih dahulu untuk
mendapatkan do’a restu, kemudian dilanjutkan dengan prosesi meminta izin dan do’a
dari pemangku adat agar pelaksanaan penanaman tidak ada kendala sesuatu apapun.
Setelah mendapatkan izin dari kepala adat maka dilakukan selamatan dirumah pada
malam sebelum melakukan penanaman padi.
Penggemburan tanah di Kasepuhan Ciptagelar tidak diperbolehkan menggunakan
alat-alat modern seperti traktor, tetapi menggunakan bajak kerbau. Pada saat akan
melakukan penanaman sesepuh adat harus melakukan penanaman terlebih dahulu,
setelah itu masyarakat baru diperbolehkan untuk menanam padi. Satu minggu setelah
padi ditanam, pada saat itu padi sudah mulai tumbuh dilakukan selamatan kembali. Hal
ini bertujuan agar padi dapat tumbuh dengan baik.
Pemeliharaan padi tidak diperbolehkan menggunakan bahan-bahan kimia, seperti
pestisida dan insektisida. Setelah umur 3-4 bulan padi sudah mulai berisi, kemudian
dilakukan selamatan kembali dengan tujuan agar panen padi dapat menghasilkan padi
yang maksimal. Pada saat prosesi pemanenan, padi diikat pocong (ikatan pada tangkai
padi) dan dilakukan penjemuran. Penjemuran dilakukan dimana saja selama 1 bulan.
Setelah padi kering, padi dimasukkan ke Leuit (lumbung padi) dengan aturan padi yang
sudah berda di lumbung lebih lama diletakan dibagian atas, sedangkan padi baru
diletakkan di bawah. Hal ini bertujuan agar pada selalu terjaga kualitasnya.
Pembagian hasil panen padi mengikuti sistem bagi hasil yang berlaku di masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar. Sistem bagi hasil tersebut dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
 Sistem liliuran, yaitu sistem yang berdasarkan saling tolong-menolong.
Apabila ada masyarakat A kemudian ditolong oleh orang lain (tetangganya)
dalam menggarap lahan, maka masyarakat A tersebut memiliki kewajiban
untuk menolong tetangganya dalam penggarapan lahan pula.
 Sistem nyandul, yaitu sistem pengupahan yang dilakukan oleh pemilik lahan
kepada pekerja yang hendak menggarap lahan. Sistem pengupahan ini
dibedakan kedalam dua kategori. Kategori pertama yaitu pengupahan dengan
disertai memberikan makan kepada penggarap lahan, sedangkan kategori
kedua yaitu pengupahan penuh dengan jumlah upahan yang lebih besar
dibandingkan kategori pertama namun tanpa memberikan makan kepada
penggarap lahan.
 Sistem ngabayur, yaitu penggarapan lahan yang dilakukan selama tiga kali
penggarapan, dengan dua kali pembayaran biaya penggarapan lahan
dibayarkan kepada penggarap lahan dan satu kali biaya penggarapan diberikan
kepada pemilik lahan.
 Sistem maro, yaitu sistem penggarapan dengan membagi dua keuntungan
bersih yang diterima selama proses penggarapan setelah dikurangi dengan
biaya penggarapan. Keuntungan yang diperoleh dibagi dua kepada pemilik
lahan dan penggarap.

15
 Sistem ngepak, yaitu sistem penggarapan lahan dimana pemilik lahan
menggarap sendiri lahanya, namun pada saat pemanenan padi di bantu oleh
tetangga. Hasil dari panen tersebut kemudian dibagi 6, 5 untuk pemilik lahan
dan 1 untuk tetangga yang turut membantu dalam pemanenan padi. Tetangga
yang boleh memanen padi yaitu tetangga yang ikut dalam proses pemupukan
dan penanaman padi.
Padi yang dimasukkan kedalam lumbung padi tidak boleh dimakan terlebih dahulu
sebelum melakukan prosesi adat Nutu Pare Anyar (menumbuk padi baru). Prosesi ini
yaitu penumbukan padi menjadi beras yang dilakukan secara bersama-sama dengan
warga sekitar rumah. Saat melakukan penumbukan padi terdapat larangan padi tercecer
dari tempat penumbukan padi (lisung), oleh karena itu pada saat menumbuk padi
terkadang satu kaki menjaga agar padi tidak keluar dari lisung. Selain itu, terdapat
larangan bagi wanita agar tidak melangkahi lisung.
Setelah padi tersebut ditumbuk dan menjadi beras, kemudian dilakukan prosesi
Nanak Pare Anyar (memasak padi/beras baru). Dalam prosesi ini beras yang dimasak
tidak boleh menggunakan kompor, tetapi harus menggunakan tungku.

Gambar 4. Tungku Pemasakan Nasi


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014
Setelah prosesi memasak nasi, dilanjutkan dengan syukuran atas keberhasilan
pemanenan. Beras hasil pertanian ini tidak boleh diperjual-belikan, hanya digunakan
untuk konsumsi pribadi.

2.3.2.2. Perladangan atau Huma

Perladangan di Kasepuhan Ciptagelar merupakan areal pertanian yang sudah


dua tahun ditinggalkan sebelumnya sehingga menjadi semak belukar, kemudian areal ini
diolah kembali menjadi lahan produktif. Kegiatan perladangan di Kasepuhan Ciptagelar
didahului dengan melakukan pembukan lahan. Dalam proses pembukaan lahan-lahan
tersebut terdapat tahapan-tahapan pembukaan lahan yang didasari pada tradisi adat di
Kasepuhan Ciptagelar. Tahapan-tahapan tersebut meliputi pembukaan lahan yang akan
dijadikan sebagai lahan perladangan yang disebut dengan nerawas, kemudian dilanjutkan
dengan meminta do’a restu kepada pemangku adat agar diperbolehkan untuk melakukan
pembukaan lahan. Setelah meminta do’a restu kepada pemangku adat dilanjutkan dengan
penandaan lahan, penandaan lahan ini berupa pemasangan pancang atau batang pohon

16
yang diikatkan disemak-semak. Penandaan lahan ini bertujuan gara masyarakat
mengetahui bahwa lahan tersebut akan digarap.
Proses selanjutnya setelah melakukan pemasangan pancang yaitu meminta do’a
restu kepada masyarkat dan selanjutnya dilakukan pemotongan ranting pohon yang
mengganggu tumbuhnya padi. Pemotongan ranting ini dilakukan dengan tanpa
menebang pohon, hal tersebut karena pembebasan ranting tersebut hanya bertujuan untuk
memaksimalkan pencahayaan terhadap tanaman padi, pemotongan ranting ini dilakukan
dengan bantuan warga sekitar atau kerabat. Setelah melakukan pemotongan ranting
dilanjutkan dengan syukuran makan bersama, prosesi ini diikuti oleh seluruh kerabat atau
warga yang turut membantu dalam prosesi pemotongan ranting.
Prosesi selanjutnya yaitu pembersihan lahan dengan membakar ranting dan daun
dari prosesi pemotongan ranting, dan setelah prosesi pembakaran ranting ini kemudian
dibiarkan selama sepuluh hari hingga lahan tersebut ditumbuhi rumput. Proses
pembibitan pada perladangan dilakukan bersamaan dengan proses pembukaan lahan.
Benih yang digunakan terlebih dahulu disimpan didalam bangsal (tempat penyimpanan
benih), hal ini bertujuan agar kualitas benih tetap terjaga. Setelah pengolahan lahan
selesai kemudian dilanjutkan dengan proses penanaman, dalam proses penanaman ini
terdapat beberapa tahapan-tahapan yang harus dilakukan, tahapan-tahapan tersebut yaitu:
 Pembuatan lubang menggunakan cangkul sebagai tempat penanaman bibit dan
kemudian ditutup dengan tanah. Pembuatan lubang ini dilakukan oleh laki-
laki, sedangkan proses penutupan tanah pada lubang dilakukan oleh
perempuan.
 proses selanjutnya yaitu proses pembersihan rumput disekitar padi. Proses ini
dilakukan selama dua kali, yaitu setelah padi berumur seminggu dan setelah
padi berumur satu bulan.
 Proses pemupukan dalam perladangan di Kasepuhan Ciptagelar masih
menggunakan pupuk alami dari hewan ternak (organik).
 Pembersihan pematang dari tanaman penganggu seperti gulma dan melakukan
pembenahan pematang.
 Proses selanjutnya yaitu pemotongan padi saat padi sudah memasuki umur
siap panen.
 Setelah proses pemanenan, dilanjutkan dengan proses pengikatan padi
(dipocong). Proses pengikatan padi ini dilakukan dengan menggunakan tali
yang terbuat dari bambu dengan ukuran setiap ikatanya sekitar 4-5 kg.
 Prosesi yang terakhir yaitu prosesi penjemuran padi yang dilakukan di tepi
ladang atau di pinggir jalan. Penjemuran ini dilakukan dengan meletakkan
padi yang telah diikat pada bambu yang disusun secara horizontal.

2.3.3. Kearifan Lokal Masyarakat Terhadap Pemukiman

Suwandono (1984) menyatakan manusia sebagai mahluk sosial dan selalu


hidup dalam kelompok. Kelompok itu mula-mula hanya kecil, dalam perkembangan
selanjutnya kelompok itu semakin membesar. Demikian juga wilayah pemukimannya
semakin luas. Pemukiman terjadi disebabkan kelompok penduduk yang bersangkutan

17
mampu mempertahankan hidupnya dengan bertopang pada sumber daya yang tersedia di
lingkungannya, baik di tepi perairan maupun di tengah daratan. Keberhasilan kelompok
kecil itu mungkin dapat menarik lebih banyak orang yang ke sana
Pemukiman merupakan wujud dari kebudayaan manusia, sehingga pemukiman
biasanya menyesuaikan dengan kebudayaan yang ada dalam suatu daerah tertentu.
Karakteristik atau ciri-ciri dari pemukiman disesuaikan dengan kondisi lapangan yang
akan dibangun pemukiman dan tujuan pembanguna pemukiman itu sendiri. Pemukiman
selain berfungsi sebagai tempat berlindung dan beristirahat juga memiliki fungsi sebagai
tempat diadakannya prosesi-prosesi adat sebagai suatu bentuk kebudayaan suatu
pemukiman tertentu. Menurut Koestoro (2012), perkampungan didirikan tidak hanya
sebagai hunian, tetapi juga dilengkapi dengan bangunan-bangunan lain yang
diperuntukkan bagi organisasi masyarakatnya. Pendirian bangunan maupun
perkampungan sering dipengaruhi konsep religi yang dianut oleh masyarakatnya.
Pemukiman masyarakat di Kasepuhan Ciptagelar mengikuti pola pemukiman
Masyarakat Sunda yang memiliki pola pemukiman memusat dan mengelilingi alun-alun
atau lapangan yang luas. Pemukiman di Kasepuhan Ciptagelar berbentuk panggung
dengan tinggi sekitar 0,5-1 meter, hal ini bertujuan untuk mengurangi efek gempa karena
mengingat daerah di sekitar Kasepuhan Ciptagelar merupakan perbukitan dan
pegunungan. Tujuan lain dari pembuatan rumah panggung ini juga dapat dilihat dari
minimnya kerusakan tanah yang ditimbulkan dari pembangunan rumah. Rumah di
Kasepuhan Ciptagelar hanya menempel pada permukaan tanah dengan batu yang
diletakkan dibagian bawah tiang rumah sebagai pondasi, sehingga pemadatan tanah
dapat diminimalisir.
Bangunan-bangunan di Kasepuhan Ciptagelar masih mempertahankan bentuk
bangunan Masyarakat Sunda kuno, karena masih menggunakan bahan-bahan konstruksi
dari alam. Hal tersebut dapat dilihat dari bentuk bangunan rumah yang masih terbuat dari
kayu, bambu dan ijuk. Ketetapan bentuk rumah ini harus dipatuhi oleh setiap masyarakat
adat. Menurut keyakinan masyarakat bahwa apabila melanggar aturan tersebut maka
akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sepeti celaka, ketidak mujuran, dan masih
banyak hal-hal negatif lainya.
Masyarakat kasepuhan menggunakan ijuk sebagai atap bangunan, sehingga tidak
menggunakan genting. Hal tersebut merupakan bentuk penghormatan masyarakat
kasepuhan terhadap bumi. Keyakinan tersebut merupakan filosofi dari adanya
penghormatan terhadap ibu dan bapak yang tidak mengandung yaitu indung bumi bapak
langit. Keyakinan ini meyakini apabila masyarakat menggunakan genting sebagai
atapnya maka telah melakukan penyiksaan kepada ibu yang tidak mengandung, karena
telah melakukan pembakaran kepada tanah dalam pembakaaran genting.
Pemukiman di Kasepuahn Ciptagelar terdapat beberapa bangunan adat yang erat
kaitannya dengan kearifan lokal masyarakat. Bangunan-bangunan tersebut dapat berupa
fasilitas umum, perumahan, lumbung padi dan lain-lain. Adapun bangunan-bangun
tersebut yaitu Imah Gede, Imah Rurukan, Imah Warga, Leuit, Leuit Si Jimat, dan
Podium.

18
a. Imah Gede (rumah besar)
yaitu sebuah bangunan non permanen dengan ukuran cukup besar dan
berbentuk siku dan menghadap ke utara. Bangunan ini berbahan baku kayu,
berdinding bambu dan beratap ijuk. Kayu yang biasanya digunakan untuk konstruksi
bangunan yaitu kayu Huru atau Medang. Bangunan ini berukuran cukup besar dan
digunakan untuk melakukan berbagai aktivitas adat dan sebagai tempat menginap
tamu yang berkunjung ke kasepuhan dengan berbagai tujuan tertentu.

Gambar 5. bangunan rumah besar (Imah Gede).


Sumber: Dokumentasi pribad, 2014

b. Imah Rurukan atau Tihang Awi


Yaitu sebuah bangunan yang diperuntukkan bagi pemangku adat beserta
keluarganya. Bangunan ini terbuat dari kayu, bambu dan ijuk serta memiliki aturan
yang sangat ketat, seperti apabila ingin berkunjung ke tempat tersebut harus
menggunakan ikat kepala. Bangunan ini selain digunakan sebagai tempat tinggal
pemangku adat juga digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda pusaka.
Bangunan ini terletak menghadap lapangan kosong sehingga pemangku adat dapat
melihat aktivitas adat masyarakat kasepuhan.
c. Imah Warga
Yaitu bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal warga desa. Bangunan
ini pula terbuat dari kayu, bambu dan ijuk dengan luasan tertentu. Luasan rumah
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi masyarakat kasepuhan. Dalam
pembangunan rumah ini ditentukan berdasarkan hari kelahiran pemilik rumah yang
berjenis kelamin laki-laki.

Gambar 6. rumah warga Kasepuhan Ciptagelar


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014

19
d. Leuit
Leuit atau lumbung padi yaitu bangunan yang berfungsi sebagai tempat
menyimpan padi hasil panen warga. Lumbung padi ini terbuat dari kayu, bambu dan
ijuk. Bangunan ini memiliki bentuk yang menyerupai rumah panggung seperti pada
umumnya, namun bangunan ini hanya memilki satu pintu yang bersekatan dengan
atap bangunan dan berfungsi sebagai tempat untuk memasukkan padi hasil panen.

Gambar 7. Lumbung padi Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014
e. Leuit Si Jimat
Leuit Si Jimat yaitu merupakan bangunan lumbung keramat dan merupakan
lumbung padi tertua yang ada di Kasepuhan Ciptagelar. Bangunan lumbung ini
merupakan lumbung padi yang dibawa langsung dari Ciptarasa saat masyarakat
kasepuhan berpindah ke Ciptagelar berdasarkan wangsit yang diterima oleh
pemangku adat.
Bangunan ini mempunyai fungsi yang sama dengan bangunan lumbung padi
lainya, namun memiliki ukuran yang lebih besar. Lumbung ini merupakan tempat
menyimpan padi guna sebagai cadangan warga selama kurun waktu tertentu.
Lumbung ini biasanya diisi pada acara pesta rakyat Seren Tahun.

Gambar 8. Leuit Si Jimat (Lumbung Padi Keramat)


Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014

f. Podium
merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat sambutan, peresmian
dan beberapa nasehat pemangku adat saat acara-acara adat bersekala besar seperti
pesta rakyat Seren Tahun. Bangunan ini terbuat dari bahan yang sama dengan
bangunan lainya yaitu terbuat dari kayu, bambu dan ijuk, bangunan ini berada
diantara Imah Gede dan Leuit Si Jimat.

20
Gambar 9. Podium Adat Kasepuhan Ciptagelar.
Sumber: Dokumentasi pribadi, 2014

2.4. Dampak Kearifan Lokal Terhadap Pengelolan Hutan

Menurut Gunawan, Thamrin, dan Suhendar (1998), hutan bukanlah semata-


mata sekumpulan flora dan fauna. Hutan merupakan salah satu landasan ekosistem yang
sangat besar perannya dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Hutan menyerap,
menyimpan, dan mengeluarkan air. Hutan merupakan paru-paru dunia yang menyerap
karbondioksida dan mengeluarkan oksigen. Hutan menjaga dan meilindungi tanah dari
gerusan air dan sapuan angin. Hutan pun menyediakan bahan makanan, obat-obatan,
bahan bakar, bahan bangunan, dan (lebih dari itu) memberikan kehidupan bagi seluruh
manusia di muka bumi ini. Pendeknya seluruh fungsi dan kegunaan hutan tidak terbatas
dan bernilai bagi kelangsungan hidup manusia
Dari pengertian diatas dikatakan hutan memiliki banyak fungsi yang sangat penting
bagi keberlangsungan hidup manusia. Manfaat dari hutan tersebut tentu akan dapat
dirasakan apabila kelestarian hutan tetap terjaga, salah satu bentuk menjaga kelestarian
hutan yaitu dengan memanfaatkan hutan secara arif dan bijaksana. Memanfaatkan hutan
secara bijak dan arif tersebut merupakan suatu kearifan lokal tersendiri dari suatu etnis
atau budaya tertentu, sehingga dengan adanya pemanfaatan secara arif dan bijak tersebut
tentu akan memberikan dampak bagi keberlangsungan hidup manusia.
Pemanfaatan hutan secara arif tersebut telah banyak dilakukan oleh masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar dan memberikan dampak yang besar bagi masyarakat kasepuhan
ciptagelar. Masyarakat Ciptagelar meyakini bahwa hutan merupakan faktor penting
dalam menyangga kehidupan. Dampak dari kearifan lokal yang dilakukan masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar yaitu berupa ketersediaan sumber daya air. Sumber daya air
merupakan hal yang paling penting bagi kebutuhan mineral manusia dan kebutuhan
mineral bagi tanaman.
Kebutuhan air yang sangat besar ini tentu dapat terpenuhi apabila manusia dapat
hidup selaras dengan alam tanpa merusak alam. Kasepuhan Ciptagelar memiliki aturan
adat mengenai ketersediaan air itu sendiri. Aturan tersebut yaitu berupa larangan untuk
melakukan penebangan di kawasan mata air, hal ini berkaitan dengan fungsi akar pohon.
Akar pohon berfungsi sebagai penyerap dan penyimpan air, dengan adanya akar pohon
ini mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan air dapat tercukupi. Aturan adat yang lain

21
yaitu berupa larangan untuk menebang pohon melebihi kebutuhan dan larangan untuk
memperjual belikan hasil hutan kayu. Aturan tersebut tentu berdampak pada kelestarian
hutan sebagai penyedia kebutuhan masyarakat akan kayu.
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar bergantung pada hutan guna pemenuhan
kebutuhan konstruksi rumah dan kayu bakar, dengan menjaga kelestarian hutan tentu
akan menyediakan kebutuhan masyarakat akan kayu tersebut dari generasi ke generasi
selanjutnya. Kebutuhan tersebut tentu merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi
keberlangsungan masyarakat, hal tersebut berhubungan dengan kebutuhan penting dari
manusia itu sendiri yaitu sandang, pangan, dan papan.
Kearifan masyarakat tentang pengelolaan hutan yaitu pembagian zona pemanfaatan
hutan. Pembagian zona pemanfaatan hutan ini bertujuan sebagai batasan pemanfaatan
hutan, tanpa adanya batasan pemanfaatan tersebut dikhawatirkan dapat terjadi kerusakan
penggundulan hutan secara besar-besaran. Kerusakan tersebut dapat terjadi akibat dari
terus meningkatnya jumlah penduduk di Indonesia sehingga kebutuhan masyarakat akan
kayu meningkat.
Kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar selain berdampak pada
pengelolaan hutan juga berdampak pada mata pencaharian masyarakat dan pemukiman
masyarakat. Dampak tersebut dapat dilihat dari peranan hutan dalam pemenuhan
kebutuhan air untuk pengairan persawahan dan pemenuhan kebutuhaan bahan konstruksi
kayu guna membangun pemukiman, sehingga apabila kearifan lokal terhadap
pengelolaan hutan terus dijaga eksistensinya maka matapencaharian dan kebutuhan
masyarakat akan bahan konstruksi bangunan akan dapat terus terjaga.
Relasi pengaruh kearifan lokal terhadap hutan, persawahan dan pemukiman tersebut
dapat dilihat dari gambar berikut:

HUTAN

LAHAN LAHAN

AIR KAYU DAN BAMBU


KEARIFAN
LOKAL

LUASAN LAHAN

PERTANIAN PEMUKIMAN
BENTUK BANGUNAN

Gambar 10. Relasi antara kearifan lokal, hutan, pertanian dan pemukiman.
Sumber: Hasil wawancara dan divisualkan Oleh Peneliti 2014

Gambar relasi antara kearifan lokal, hutan, pertanian dan pemukiman di atas
menunjukan betapa pentingnya mejaga kawasan hutan, karena kawasan hutan
22
berpengaruh terhadap pertanian dan pemukiman. Apabila terjadi gangguan atau
kerusakan pada salah satu aspek, baik dari aspek pertanian, aspek hutan, aspek
pemukiman, atau aspek kearifan lokal maka akan berdampak pada aspek lain.
Relasi antara kearifan lokal, hutan, pertanian dan pemukiman yaitu:
 Relasi antara kearifan lokal dengan hutan, kearifan lokal dengan pertanian, dan
kearifan lokal dengan pemukiman yaitu berarti adanya pengaruh antara
kearifan lokal terhadap kelestarian hutan, pengaruh kearifan lokal terhadap
jenis pertanian dan pola pemukiman.
 Relasi antara hutan dengan pertanian menunjukan bahwa keberhasilan
pertanian dipengaruhi oleh kondisi hutan disekitarnya, karena hutan
merupakan sumber air bagi tanaman pertanian.
 Relasi antara hutan dan pemukiman menunjukan bahwa pemukiman di
Kasepuhan Ciptagelar bergantung pada ketersediaan sumber bahan konstruksi
bangunan dari hutan.

Tabel 3. Dampak dan Relasi Kearifan Lokal Terhadap Pengelolaan Hutan.


No Jenis kearifan lokal Dampak kearifan lokal terhadap hutan
dan pengelolaannya
1 Hutan titipan, tutupan dan garapan
Pembagian zonasi hutan Pembagian zonasi kawasan hutan ini
bermanfaat untuk menjaga hutan dari
kerusakan. Kerusakan hutan ini merupakan
akibat pemanfaatan kawasan hutan yang
melebihi batas kemampuan hutan dalam
mengadakan kebutuhan masyarakat
Kewajiban menjaga dan Kewajiban menjaga dan memelihara hutan
memelihara hutan. ini berdampak pada terjaganya kelestarian
hutan. Hal tersebut berkaitan dengan
filosofi masyarakat kasepuhan mengenai
hutan sebagai sumber kehidupan.
2 Hutan Titipan
Larangan untuk tidak melakukan Hutan tetap terjaga lestari tanpa adanya
interaksi terhadap hutan titipan interaksi dari manusia, sehingga satwa-
satwa yang ada di area tersebut dapat
terjaga dengan baik.
3 Hutan Tutupan
Larangan menebang pohon Larangan ini berdampak pada terjaganya
melebihi kebutuhan dan pasokan sumber daya alam berupa kayu
memperjual belikan hasil hutan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat
kayu akan kayu, seperti kayu bakar dan kayu
pertukangan.
Sistem penebangan penjarangan Sistem penebangan penjarangan ini
berdampak pada pemerataan jumlah

23
No Jenis kearifan lokal Dampak kearifan lokal terhadap hutan
dan pengelolaannya
tegakan disetiap areal. Karena apabila
terjadi penebangan pada areal tertentu
dikhawatirkan terjadi penggundulan hutan
yang dapat menyebabkan kerusakan
kawasan hutan.
Kewajiban melakukan Kewajiban melakukan penanaman pasca
penanaman pasca melakukan penebangan ini berdampak pada terjaganya
penebangan pohon dan ekosistem hutan akibat pemanfaatan hutan
melakukan penanaman setiap oleh masyarakat dengan kemampuan hutan
tahun. untuk tumbuh membutuhkan waktu yang
sangat lama. Apabila tidak dilakukan
penanaman maka dapat mengurangi
ketersediaan kayu di hutan.
Larangan menebang pohon pada Larangan-larangan ini bermanfaat
kawasan mata air, hulu sungai, mengurangi potensi bencana yang terjadi
dan areal-areal yang berpotensi di Kasepuhan Ciptagelar. Dilihat dari
terjadi erosi. sedikitnya kawasan-kawasan yang terjadi
erosi. Selain itu, larangan penebangan pada
mata air dan hulu sungai berdampak pada
ketersediaan sumber daya air masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar. Ketersediaan air ini
menjadi faktor penting dalam keberhasilan
hasil panen pertanian masyarakat.
4 Hutan Garapan
Dilarang menebang pohon saat Larangan menebang pohon saat melakukan
melakukan persiapan lahan persiapan lahan pertanian berdampak pada
pertanian. terjaganya luasan kawasan hutan tutupan.
Sehingga luasan pemanfaatan hutan tidak
mengalami perubahan.
Sumber: Data Primer.

Dampak kearifan lokal tersebut di atas seperti larangan menebang pohon


melebihi kebutuhan dan larangan memperjual-belikan hasil hutan, dapat dilihat dari
kerapatan tajuk hutan yang ada di Kasepuhan Ciptagelar. Kerapatan tajuk ini
mengindikasikan besaran jumlah tegakan (standing stock) yang ada dalam kawasan
hutan tersebut. Selain itu kearifan lokal terhadap larangan melakukan penebangan pohon
pada area-area yang berpotensi terjadi erosi dapat dilihat dari jumlah kawasan yang
mengalami erosi di Desa Sirnaresmi. Menurut data yang diperoleh dari data monografi
dan demografi Desa Sirnaresmi, diketahui kawasan yang tidak terjadi erosi yaitu sebesar
4898 ha, kawasan dengan erosi ringan sebesar 13 ha, kawasan dengan tingkat erosi
sedang yaitu sebesar 2 ha, dan kawasan dengan tingkat erosi berat yaitu sebesar 4 ha.

24
Kearifan lokal dalam penjagaan hutan di Kasepuhan Ciptagelar terbukti dari
kegiatan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang melakukan ronda runtin yang dilakukan
oleh masyarakat kasepuhan guna mengurangi terjadinya pencurian kayu oleh
masyarakat-masyarakat dari luar kasepuhan. Ronda rutin ini dilakukan satu minggu
sekali dengan sistem giliran, ronda dalam penjagaan hutan ini dikenal dengan istilah
ngaraksak leuweung. Bentuk pelestarian masyarakat terhadap kelestarian hutan yaitu
dengan menaati aturan-aturan adat Kasepuhan Ciptagelar dalam melestarikan hutan.

Gambar 11. Kondisi Hutan Kasepuhan Ciptagelar


Sumber : dokumentasi pribadi 2014
Kearifan lokal masyarakat dalam larangan menebang pohon pada daerah mata
air dan hulu sungai terbukti dengan tercukupinya kebutuhan masyarakat akan sumber
daya air sebagai pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari tingkat
keberhasilan panen masyarakat akan persawahan yang masih menggunakan sistem
pengairan tradisional, pengairan persawahan tersebut masih menggunakan perairan
sungai. Dari informasi yang didapat oleh peneliti, hasil panen masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar tidak pernah mengalami gagal panen. Keberhasilan panen tersebut selain
dikarenakan mengikuti perhitungan bintang, juga dikarenakan kebutuhan tanaman akan
air tercukupi.
Uraian diatas menjelaskan bahwa pemeliharaan hutan akan sangat berdampak pada
kondisi air yang ada di suatu kawasan tertentu. Djuwadi (1980), menyatakan bahwa
hutan, tanah, dan air merupakan tritunggal yang tidak dapat dipisahkan, dan justru hutan,
tanah dan air inilah komponen-komponen penyusun ekosistem yang dapat dipengaruhi
oleh daya manusia.
Kearifan-kearifan lokal tersebut diatas tetap dipegang teguh oleh masyarakat
Kasepuhan Ciptagelar dalam kehidupan sehari-hari. Kearifan lokal tersebut diturunkan
dari generasi ke generasi melalui nasihat-nasihat oleh orang tua kepada anaknya. Adapun
nasihat-nasihat tersebut yaitu diantaranya:

Tabel 4. Nasihat-Nasihat dalam Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar


No Nasihat (petuah) Maksud dari petuah
1 Nyaur diukur nyabda Maksud dari tetuah tersebut yaitu dalam
diunggang, milih bekas berbicara tidak boleh sembarangan, karena
nyalahan ucapan tidak dapat ditarik kembali.
2 Nitip amit nyala mentak, Maksud dari nasihat tersebut yaitu melakukan
nganggak suci mangan halal segala sesuatu baik terhadap manusia maupun

25
terhadap alam harus meminta izin terlebih
dahulu, sehingga hasil yang diperoleh baik dan
halal.
3 Ulah nyalarik ngala ngaji, Nasihat tersebut merupakan sebuah larangan
ngadu dadu main kartu, untuk mencari kesalahan orang lain, main dadu
zinah tanpa walima dan kartu, dan larangan untuk menghalalkan
yang haram.
4 Singgumati urang mlihara Maksud dari nasihat tersebut yaitu kewajiban
bulu dalam memelihara hutan.
5 Leuweung garapan anu sak Maksud dari nasihat tersebut yaitu hutan
digarap, leuweung tutupan garapan merupakan hutan yang boleh digarap,
yang nutupan kabutuh, hutan tutupan yaitu hutan yang menjadi
leuweung titipan ditipken penyangga kebutuhan manusia, sedangkan hutan
ulah hariganing dituar, titipan yaitu hutan yang dititipkan sehingga
dipincuk oge ulah, upami tidak boleh ditebang, mendatangi kawasan
entek ayak izin ti pemangku tersebut pun tidak diperbolehkan tanpa ada izin
adat. dari pemangku adat kasepuhan.

Sumber: Data Primer

3. KESIMPULAN
Bentuk interaksi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar terhadap hutan yaitu:
pemanfaatan hutan untuk kayu bakar, pemanfaatan kayu dan bambu untuk bahan
konstruksi kayu, pemanfaatan rotan untuk tali dan lalapan, pemanfaatan lahan kehutan
untuk kawasan pemukiman, pertanian dan kehutanan, dan penjagaan kawasan hutan guna
ketersediaan air sebagai sumber kehidupan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar.
Ragam kearifan lokal masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dalam pengelolaan hutan
yaitu: pembagian zonasi hutan, larangan menebang pohon melebihi kebutuhan, larangan
menjual belikan hasil hutan kayu, sistem penebangan penjarangan, kewajiban melakukan
penanaman pasca melakukan penebangan pohon, larangan menebang pohon saat
melakukan persiapan lahan pertanian, kewajiban menjaga dan memelihara hutan,
melakukan penanaman pohon setiap tahun, larangan menebang pohon pada kawasan
mata air dan hulu sungai, dan larangan menebang pohon pada areal-areal yang rawan
terjadi erosi.
Dampak kearifan lokal terhadap pengelolaan hutan yaitu terjaganya kelestarian
hutan, terjaganya sumberdaya air sebagai sumber kehidupan masyarakat, terjaganya
cadangan kayu guna kebutuhan bahan konstruksi bangunan, dan masyarakat dapat hidup
selaras dengan alam.

26
4. DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1999. UU RI No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Tentang Kehutanan.
Anonim. 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia . P.49/Menhut-II/2011.
Tentang Rencana Kehutanan Tingkat Nasional (RKTN) Tahun 2011-2030.
Anonim. 2012. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.
Anonim. 2013. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia P.62/Menhut-II/2013.
Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.41/MENHUT-
II/2012 Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan.
Anshari, Gusti. 2005. Aturan-Aturan Tradisional: Basis Pengelolaan Taman Nasional
Danau Sentarum. Wana Aksara. Banten.
Arief, Arifin. 1994. Hutan, Hakikat dan Pengaruhnya Terhadap Lingkungan. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Awang, San Afri. 2002. Etnoekologi Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press.
Yogjakara.
Barth, Fredrik. 1988. Kelompok Etnik dan Batasanya. Universitas Indonesia (Ui-Press).
Jakarta.
Djuwadi. 1980. Politik Hutan. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta.
Fuzi, Romzan. 2011. Menguak Makna Kearifan Lokal Masyarakat Multikultural. Robar
Bersama. Semarang.
Gunawan, Rimbo., Thamri, Juni., Suhendar, Endang. 1998. Industrialisasi Kehutanan
dan Dampaknya Terhadap Masyarakat Adat: Kasus Kalimantan Timur. Akatiga.
Bandung.
HM, Jagiyanto. 2008. Pedoman Survei Kuesioner: Mengembangkan Kuesioner,
Mengatasi Bias, Meningkatkan Respon. BPFEE-Yogyakarta. Yogyakarta.
Koentjaraningrat.2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta.
Koestoro, Locas P. 2012. Arkeologi dan Karakter Bangsa. Balai Arkeologi. Medan.
Manan, Syafii. 1998. Hutan Rimbawan dan Masyarakat. IPB Perss. Bogor.
Nababan, A. 2002. Revitalisasi Hukum Adat Untuk Menghentikan Penebangan Hutan
Secara Illegal di Indonesia.Disajikan dalam seminar dan lokakarya Multi-Pihak
“Illegal logging Suatu Tantagan dalam Upaya Penyelamatan Hutan Sumatera
“Yayasan Hakiki. Departemen Kehutanan dan MFD-DFID tanggal 7-9 Oktober
2002. Di Hotel Mutiara Pekanbaru.
Nazir, Moh. 1983. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.
Nugraha, Agung dan Murtijo.2005. Antropologi Kehutanan. Wana Aksara. Banten.
Nugraha, Agung. 2005. Rindu Ladang, Perspektif Perubahan Masyrakat Desa Hutan.
Wana Aksara. Banten.
Saptomo, Ade. 2009. Hukum dan Kearifan Lokal, Revitalisasi Hukum Adat Nusantara.
Gramedia. Jakarta.
Sardjono, M.A. 2004. Mosaik Sosiologi Kehutanan : Masyarakat Lokal, Politik dan
Kelestarian Sumberdaya Hutan. Debut Press. Yogyakarta.
Sarosa, Samiaji. 2012. Penelitian Kualitatif Dasar-Dasar. Indeks. Jakarta.
Soepomo, R. 1987. Bab-Bab Tentang Hukum Adat. Pradnya Paramita. Jakarta.

27
Sulistyaningsih. 2013. Perlawanan Petani Hutan, Studi Atas Resistensi Berbasis
Pengetahuan Lokal. Kreasi Wacana. Yogyakarta.
Suwandono, Bambang. 1984. Pola Pemukiman Daerah Pedesaan Kalimantan
Tengah.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Jakarta.
Syamsudin, M. 1998. Hukum Adat dan Modernisasi Hukum. Fakultas Hukum UII.
Yogyakarta.

28

Anda mungkin juga menyukai