Anda di halaman 1dari 6

Tugas Pertemuan ke-9

Konservasi Sumber Daya Alam


Dosen Pengampu Eva Kristinawati Putri, S.Pd., M.Si.
Selasa, 31 Maret 2020
Kelas : S1 Pendidikan Matematika 2019 U
Nama Anggota :
a. Afni Molita (19030174002)
b. Kurrotul Hasanah (19030174059)
c. Muhammad Asyam Izzah Khowarizmi (19030174098)

Review Artikel Kearifan Lokal


Panglima Uteun pada Masyarakat Nagan Raya di Aceh

A. Deskripsi Kearifan Lokal Panglima Uteun


Panglima Uteun merupakan suatu kearifan lokal di Kabupaten Nagan Raya,
Provinsi Aceh, Indonesia. Panglima Uteun adalah sebutan lain dari nama pemimpin
hutan Uteun. Inti tugas dari Panglima Uteun adalah mengelola hutan Uteun sesuai
adat tradisi yang dilakukan secara bijaksana dan luhur. Serta tujuan dari Panglima
Uteun adalah untuk menjaga dan melestarikan keberadaan hutan. Kearifan lokal ini
menganggap bahwa apabila perilaku manusia serakah dan merusak keseimbangan
alam, maka dalam wujud gempa bumi, gunung meletus, wabah penyakit, badai,
banjir, kekeringan, angin topan dan tanah longsor merupakan pengejawatan dari
kemarahan roh-roh penjaga alam.
Kearifan lokal ini berkaitan dengan pengelolaan hutan yang arif dan bijaksana
yang telah dipraktikkan secara turun temurun dalam masyarakat Aceh melalui
lembaga adat uteun yang dipimpin oleh panglima uteun. Pada hakikatnya khazanah
adat budaya ini harus melekat dalam kehidupan masyarakat Aceh sebagai sebuah
kearifan lokal yang menjunjung tinggi nilai-nilai keberlanjutan ekologis.
Berikut merupakan wewenang yang dimiliki oleh Pangeran Uteun :
1. Memimpin pengelolahan hutan serta memberikan nasihat dalam
pengelolahannya (adat glee).
2. Mengawasi dan menerapkan larangan adat glee.
3. Memunggut hasil pemanfaatan hutan (Wase glee).
4. Menjadi Hakim dalam permasalahan di adat glee.
5. Memberi larangan khusus untuk keselematan masyarakat.
Contohnya memberi larangan karena ada hewan buas atau cuaca
buruk.
6. Memberi larangan khusus pada hari-hari yang dianggap sakral.
Berdasarkan tujuan dari Pangeran Uteun, kearifan lokal ini memiliki manfaat
menjunjung nilai-nilai ekologis di daerah hutan tersebut. Sedangkan, menurut sudut
pandang religius, kearifan lokal ini memiliki manfaat untuk tetap menjaga
keseimbangan struktur, mekanisme, dan irama alam dari sifat keserakahan manusia
sehingga apabila manusia serakah akan sumber daya alam maka akan terjadi
berbagai musibah.
Dengan demikian membuktikan bahwa tindakan terhadap hutan pada
masyarakat Aceh telah diatur dengan sangat arif dan memiliki hubungan yang
harmonis dalam wujud kearifan lokal adat peulara uteun yang dipimpin oleh
panglima uteun.

B. Keberadaan Kearifan Lokal Panglima Uteun


Berdasarkan artikel, kearifan lokal ini mulai memudar di kalangan masyarakat
modern seperti sekarang ini. Hal ini disebabkan oleh kearifan lokal tersebut
dihadapkan oleh beberapa tantangan masa kini, seperti:
(1) Pergeseran Pemaknaan dan Pemahaman Terhadap Hutan
Pergeseran pemaknaan dan pemahaman terhadap hutan ini bisa ditinjau
dari beberapa aspek, di antaranya yaitu :
(a) Aspek Sosial Budaya
Pertama, pemaknaan dan pemahaman terhadap roh gaib. Kepercayaan
terhadap leluhur memiliki nilai kosmologi yang tinggi seperti adanya roh
gaib. Adanya roh-roh gaib di hutan lahir dari kepercayaan turun temurun.
Kepercayaan ini dibangun oleh interpretasi masyarakat setempat. Temuan
dalam penelitian ini adalah masyarakat percaya bahwa di hutan juga terdapat
makhluk lain, namun kepercayaan ini ada ketika kondisi hutan masih lebat
yang dianggap masih sakral dan bernilai mistis. Saat ini mereka tidak
mempercayainya lagi dikarenakan kondisi hutan yang sudah terang.
Kedua, pemaknaan dan pemahaman terhadap ritual-ritual dan mitos-
mitos mengenai hutan. Ketika mereka percaya akan mitos dan melalui wujud
ritual penghormatan itu akan muncul. Ritual-ritual ini disebut juga dengan
aturan perilaku ketika berada di hutan. Pada umumnya seseorang akan
mengikuti ritual (peusijuk uteun) dikarenakan kepercayaannya terhadap hal-
hal gaib ataupun mitos-mitos lain.
Ketiga, pemaknaan dan pemahaman terhadap peran panglima uteun.
Melalui ilmunya panglima uteun dipercaya paham akan seluk beluk hutan
dan mengetahui boleh bahkan tidak boleh dilakukan ketika berada di hutan.
Dahulu panglima uteun sering ditemui dan masih berfungsi secara baik.
Namun sekarang sudah tidak pernah terlihat lagi panglima uteun
menjalankan tugasnya. Dengan demikian panglima uteun sudah meredup
eksistensinya dibandingkan panglima laot.
(b) Aspek Ekonomi
Sumber daya yang dimiliki oleh hutan senantiasa ingin dimanfaatkan
ataupun diolah oleh manusia. Hutan dianggap sebagai sumber kehidupan
bagi manusia yang memiliki peluang untuk mencari nafkah dan menjadi
lapangan usaha masyarakat. Dahulu masyarakat memiliki pemahaman
beraktivitas di hutan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
bukan untuk memperkaya diri. Namun ketika masyarakat sekitarnya mulai
memanfaatkan hutan untuk kepentingan ekonomi masing-masing, maka
seseorang juga akan memposisikan dirinya untuk mengusai hutan tersebut.
Hal ini dikarenakan manusia memiliki kecenderungan ingin menjadi objek
yang juga harus diperhatikan.
(c) Aspek Kepentingan Lingkungan
Hutan merupakan suatu kawasan tempat hidup beragam jenis satwa.
Hutan memiliki banyak manfaat baik bagi tumbuhan, hewan, maupun
manusia. Selain itu, hutan merupakan sumber kehidupan semua makhluk
hidup dan menyediakan jasa lingkungan yang tak ternilai harganya.
Kepentingan lingkungan ini dapat dilihat pada kegiatan-kegiatan manusia
terhadap hutan dengan tetap mengutamakan nasib lingkungan. Pemaknaan
dan pemahaman terhadap hutan mengenai kepentingan lingkungan dahulu
dan sekarang terjadi perbedaan. Dahulu pada saat pembukaan lahan
menggunakan cara menebang kemudian dikumpulkan dan dibiarkan sampai
membusuk, cara ini berguna untuk proses penyuburan alami tanah. Namun
kini menggunakan cara membakar, tanah jadi gembur dan proses penanaman
lebih cepat. Selain lebih instan, proses ini juga menghemat biaya dan waktu.
Jika dilihat dalam kaca mata keberlangsungan lingkungan, proses ini
menyebabkan punahnya binatang-binatang maupun tumbuhan-tumbuhan
kecil penyeimbang lingkungan.
(2) Perubahan Jenis Tanaman yang Ditanam
Perubahan jenis yang ditanam dahulu dan sekarang merubah tindakan
seseorang terhadap hutan. Perubahan tanaman ini pada akhirnya merubah nilai
mereka terhadap hutan. Nilai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah nilai
ekonomi. Dahulu Masyarakat Nagan Raya menanam tanaman seperti jagung,
kacang-kacangan, timun, pisang dan padi yang tidak boleh memiliki lebih dari 3
hektar. Namun sekarang mereka telah beralih pada sawit dengan lahan rata-rata
sekitar 5 sampai dengan 10 hektar.
Perubahan nilai ini dikuatkan oleh pandangan terhadap tanaman kelapa
sawit memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Perubahan jenis tanaman ini juga
diakibatkan oleh perubahan nilai masyarakat yang memandang hutan bukan lagi
berladang untuk kebutuhan sehari-hari, diproduksi serta dikonsumsi sendiri.
Kini mereka memandang hutan untuk kepentingan ekonomi dikarenakan
mayoritas masyarakat Nagan Raya berpenghasilan di hutan. Hal ini melahirkan
kondisi masyarakat yang berlomba-lomba untuk menambah lahan dan menanam
sawit.
(3) Perubahan Makna Mengenai Kepercayaan Leluhur terhadap Hutan
Perubahan makna terlihat ketika semua orang sudah tidak lagi
melaksanakan kepercayaan-kepercayaan leluhur terhadap hutan. Mitos-mitos
yang dibangun oleh para leluhur terbukti dapat menjadi pengendali aktivitas
masyarakat terhadap hutan. Aktivitas yang telah melembaga pada masyarakat
dulu mampu melayani kehendak alam dengan lebih baik, sekalipun
mengandalkan corak berpikir tradisional, mereka sangat menghormati alam
lewat kearifan-kearifan ekologis yang tidak lebih sebagai hidup yang mereka
geluti sehari-hari.
(4) Perubahan Kondisi Lingkungan
Dengan adanya berbagai perubahan kondisi dan kualitas lingkungan
tentunya akan berpengaruh buruk terhadap manusia maupun makhluk hidup
lainnya. Beragam bentuk kerusakan lingkungan seperti kebakaran hutan,
pencemaran air dan menurunnya kualitas lingkungan mengakibatkan seringnya
terjadi banjir atau bahkan kekeringan. Perubahan kondisi lingkungan ini pada
akhirnya menguatkan seseorang untuk merubah tindakannya terhadap hutan.
Sebenarnya Masyarakat Nagan Raya telah mengetahui dampak negatif
akibat aktivitas pembukaan lahan kelapa sawit secara berlebihan dan
pengelolaan dengan cara yang tidak tepat. Dampak negatif tersebut adalah jika
musim hujan mereka akan cepat banjir dan jika musim kemarau mereka akan
merasakan kekeringan. Namun dikarenakan banyak masyarakat yang membuka
lahan sawit, merekapun mengikutinya. Dengan demikian berubahnya tindakan
mereka yang dulunya bernilai sosial budaya (kearifan lokal) terhadap hutan
dipengaruhi oleh pengalaman dalam hal untung rugi terhadap mereka.

C. Kajian Kearifan Lokal Panglima Uteun


Oleh karena keberadaan kearifan lokal ini dihadapkan dengan tantangan-
tantangan masa kini, maka perlu tindak lanjut untuk melestarikan kearifan lokal
Panglima Uteun ini dengan beberapa solusi yang dapat diterapkan diantaranya:
1. Melakukan sosialisasi akan pentingnya nilai hutan di era modern ini seperti
melalui digitalisasi, seminar, dan cara-cara yang efektif digunakan di era
modern ini.
2. Melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap hutan untuk kenghindari
penebangan hutan liar.
3. Melakukan pelestarian jenis tanaman di hutan.
4. Pembatasan dan pemilihan wilayah industilisasi yang aman agar tidak
memberikan dampak buruk pada hutan.
5. Mereboisasi hutan yang gundul atau rusak.
6. Menerapkan sikap peduli lingkungan termasuk pada hutan.
7. Memberikan edukasi mengenai cara-cara memelihara dan melestarikan
lingkungan serta cara-cara menghindari etika yang dapat merusak
lingkungan.

Dengan adanya penerapan dari beberapa solusi yang kami telah berikan, diharapkan
kearifan Panglima Uteun dapat dilaksanakan dan dilestarikan kembali di daerah
Kabupaten Nagan Raya.

Anda mungkin juga menyukai