Anda di halaman 1dari 16

BELAJAR MENGELOLA HUTAN

DARI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU KAJANG

I Putu Karunia, ST.


(NPM : 1881103351010365)
Program Pascasarjana Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Lingkungan,
Universitas Mahasaraswati

ABSTRAK

Hutan Indonesia merupakan paru-paru dunia. Namun kini pengelolaanya sangat tidak
bijak. Hutan diekspoitasi dengan semena-mena demi kepentingan pribadi baik itu secara legal
maupun ilegal. Tujuan dari artikel ini adalah belajar mengenai nilai-nilai kearifan lokal yang
diterapkan oleh masyarakat suku Kajang dalam mengelola hutan. Metode yang digunakan dalam
artikel ini adalah deskriptif kualitatif dan analisis SWOT. Hasil yang diperoleh adalah nilai-nilai
kearifan lokal masyarakat suku Kajang berperan sangat besar dalam menjaga kelestarian hutan.
Salah satunya prinsip tallase kamase-mase yaitu berperilaku dan menjalankan hidup secara
sederhana dalam keseharian sehingga keinginan untuk hidup berlebih-lebihan dalam mengambil
hasil hutan dapat dihindari. Dari hasil analisa SWOT, diperoleh beberapa strategi utama untuk
menjaga kelestarian hutan suku Kajang yaitu pelestarian nilai-nilai kearifan lokal dan penetapan
hutan suku Kajang sebagai hutan konservasi pendidikan, pemberian tapal batas wilayah yang
jelas, pengelolaan sumber daya hutan yang bijak dan terencana, pengaturan zonasi, mitigasi
bencana, penegakan hukum, dan pembentukan kelompok masyarakat sadar konservasi.

Kata kunci : Hutan, Kearifan Lokal, Suku Kajang

PENDAHULUAN
Tidak ada yang bisa mengingkari kenyataan bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang sangat
kaya akan keanekaragaman budaya dan sumber daya alam yang terbentang dari sabang sampai
merauke. Selain itu juga bahwa Indonesia dikenal sebagai Negara yang bermulti etnik dan tentu
saja masing-masing etnik tersebut memiliki ciri khas dan adat istiadat yang berbeda-beda pula.

Salah satu wujud kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia adalah hutan yang
membentang sepanjang zamrud katulistiwa. Ini menjadikan hutan Indonesia sebagai salah satu
paru-paru dunia yang menopang keseimbangan dan kelangsungan hidup manusia di atas bumi.

Melihat realitas yang ada sekarang, dari tahun ke tahun salah satu paru-paru dunia itu ibarat
terkena kanker ganas. Ini akibat dari pada pengelolaan hutan yang sangat tidak bijak,
mengeksploitasi hutan dengan semena-mena demi kepentingan pribadi baik itu secara legal
maupun illegal. Hutan tidak dipandang lagi sebagai ibu pertiwi yang harus dijaga dan
dilestarikan melainkan menjadi suatu komoditi yang sangat menguntungkan bagi segelintir orang
yang sangat rakus akan kekayaan. Isu global warming pun menghantui dunia.
Di tengah maraknya eksploitasi hutan yang tidak bijak, berbagai usaha dilakukan untuk menjaga
alam kembali normal mulai dari reboisasi, larangan untuk menebang pohon di hutan tertentu, dan
lain sebagainya. Namun siapa sangka kalau suku-suku pedalaman negeri kita sudah memiliki
kearifan lokal untuk menjaga alam sekitarnya khususnya hutan jauh sebelum wacana tentang
global warming muncul.

Salah satu yang menarik adalah kearifan lokal suku Kajang di Kabupaten Bulukumba, Provinsi
Sulawesi Selatan. Nilai kearifan lokal yang masih dipegang teguh oleh masyarakat suku Kajang
memberikan secercah harapan akan suatu lingkungan yang lestari. Meskipun tanpa pengetahuan
formal, mereka tahu bagaimana cara berinteraksi dengan lingkungan hidup. Lingkungan
diperlakukannya tidak sebagai hal yang patut dieksploitasi, melainkan sebagai pendamping
hidup dalam kehidupan sehari-hari mereka. Oleh karenanya tidak mengherankan jika hutan yang
berada di sekitar areal tersebut hingga hari ini masih terjaga kelestariaannya. Melihat hal ini,
penulis tertarik untuk meneliti nilai-nilai kearifan lokal yang diterapkan oleh masyarakat suku
Kajang dalam mengelola sumber daya alam khususnya hutan serta melakukan analisis SWOT
sehingga ditemukan hal-hal yang menyebabkan terjaganya kelestarian hutan suku Kajang.

RUMUSAN MASALAH
1. Apa sajakah nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat suku Kajang dalam mengelola
sumber daya alam khususnya hutan dan bagaimanakah penerapannya?
2. Bagaimanakah Analisa SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities and Threat) penyebab
terjaganya kelestarian hutan suku Kajang?

TUJUAN
1. Untuk mengetahui nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat suku Kajang
dalam mengelola sumber daya alam khususnya hutan dan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari
2. Untuk melakukan analisa SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities and Threat)
penyebab terjaganya kelestarian hutan suku Kajang

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Pengumpulan data dilakukan dengan
melakukan review dari karya tulis maupun literatur lainnya yang telah ada sebelumnya, untuk
kemudian dianalisis dan disajikan kembali ke dalam bentuk artikel. Analisa SWOT dilakukan
dengan menarik kesimpulan dari data-data yang telah didapat dari hasil review karya tulis dan
literatur lainnya.

KAJIAN PUSTAKA
Hutan
Pengertian hutan dalam Undang-undang No.41 tahun 1999 tentang Kehutanan adalah:
“Suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak
dapat dipisahkan.”
Ada 4 undang-undang yang menyangkut kehutanan secara langsung, diantaranya:
 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan Menjadi Undang-Undang
 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan.
Secara umum, negara memandang hutan dari dua segi yakni status dan fungsinya. Status
merujuk pada status kepemilikan hutan. Dari sisi statusnya dapat diketahui kepemilikan dari
suatu kawasan hutan. Sedangkan fungsi hutan melihat hutan dari manfaat dan perannya bagi
kehidupan. Fungsi hutan ini lebih terkait dengan bagaimana hutan tersebut dikelola.

Kearifan Lokal
Secara etimologis, kearifan (wisdom) berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal
pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal, menunjukkan
ruang interaksi di mana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal
secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang
diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak dan berperilaku sehari-hari. Dengan
kata lain kearifan lokal adalah kemampuan menyikapi dan memberdayakan potensi nilai-nilai
luhur budaya setempat. Oleh karena itu, kearifan lokal merupakan entitas yang sangat
menentukan harkat dan martabat manusia dalam komunitasnya. Perilaku yang bersifat umum dan
berlaku di masyarakat secara meluas, turun temurun, akan berkembang menjadi nilai-nilai yang
dipegang teguh, yang selanjutnya disebut sebagai budaya. Kearifan lokal didefinisikan sebagai
kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal (local wisdom)
dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu
(Ridwan, 2007).

Suku Kajang
Menurut Suku Kajang yang merupakan salah satu warisan budaya Indonesia yang terletak di
Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, tepatnya sekitar 200 km arah Timur kota Makassar.
Suku ini juga dikenal sebagai masyarakat adat Ammatoa. Mereka memiliki desa dengan area
seluas kurang lebih 3000 hektar, dengan hutan lebat seluas 600 hektar. Didalamnya terdapat
sekitar 300 kepala keluarga, dengan jumlah penduduknya kira – kira 3.497 orang (Fahmi, 2014).
Untuk sehari – harinya mereka berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Konjo. Daerah
Kajang terbagi dalam 8 desa, dan 6 dusun. Namun perlu diketahui, kajang di bagi dua secara
geografis, yaitu Kajang Dalam (Suku Kajang, mereka disebut “tau kajang”) dan Kajang Luar
(orang-orang yang berdiam di sekitar Suku Kajang yang relative modern, mereka disebut “tau
lembang”). Masyarakat adat Ammatoa/Suku Kajang, mengelola sumberdaya hutan secara lestari,
meskipun secara geografis wilayahnya tidak jauh (sekitar 50 km) dari pusat kegiatan ekonomi
dan pemerintahan Kabupaten Bulukumba. Hal ini disebabkan oleh hubungan masyarakat adat
dengan lingkungan hutannya didasari atas pandangan hidup yang arif, yaitu memperlakukan
hutan seperti seorang ibu yang harus dihormati dan dilindungi (Disnawati, 2013).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Daerah suku Kajang ini secara wilayah berada di Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi
Selatan, Indonesia. Perjalanan dari Kota Makassar menempuh waktu kurang lebih 4 jam
melewati jalur Trans Sulawesi Gowa-Takalar-Jeneponto-Bantaeng-Bulukumba. Secara geografis
dan administratif, adat Kajang dibagi menjadi Kajang Dalam dan Kajang Luar. Di dalam
Masyarakat Adat tersebar di beberapa desa, seperti Desa Tana Toa, Bonto Baji, Malleleng,
Pattiroang, Batu Nilamung dan beberapa Desa Tambangan. Bagian dalam wilayah Masyarakat
Adat Kajang secara keseluruhan berbatasan dengan Tuli di utara, dengan Limba di Timur,
dengan Seppa di Selatan, dan dengan Doro di Barat. Sedangkan Kajang luar tersebar di sebagian
besar Kabupaten Kajang dan beberapa desa di Kabupaten Bulukumba, termasuk Desa Jojolo,
Desa Tibona, Desa Bonto Minasa, dan Desa Batu Lohe (Disnawati, 2013).

Namun, hanya mereka yang tinggal di wilayah Kajang yang dengan kuat menegakkan kebiasaan
Ammatoa. Mereka mempraktikkan cara hidup sederhana dengan menolak segala sesuatu yang
berbau teknologi. Bagi mereka, objek teknologi dapat memiliki dampak negatif pada kehidupan
mereka, karena mereka merusak pelestarian sumber daya alam. Komunitas yang selalu
mengenakan pakaian hitam inilah yang kemudian disebut sebagai masyarakat adat Ammatoa
(Disnawati, 2013).

Wilayah Suku
Kajang

Provinsi Sulawesi Selatan

Gambar 1. Peta Lokasi Kediaman Suku Kajang, Kabupaten Bulukumba,


Provinsi Sulawesi Selatan
Sumber : Google satellite Maps, 2019
Dalam melaksanakan ajarannya, masyarakat adat suku kajang berpegang pada pasang yang
diturunkan oleh Turiarakna (Tuhan). Terkait dengan kearifan Suku Kajang dalam menjaga
kelestarian hutan sampai hari ini tidak terlepas dengan prinsip tallase kamase-mase yang mereka
jalankan. Tallase kamase-mase sendiri adalah suatu pasang yang mengajarkan masyarakat adat
Ammatoa atau Suku Kajang untuk berperilaku dan menjalankan hidup secara sederhana dalam
kesehariannya sehingga keinginan untuk hidup berlebih-lebihan dalam mengambil hasil hutan
dapat dihindari.
Hidup sederhana bagi masyarakat Kajang adalah semacam ideologi yang berfungsi sebagai
pemandu dan rujukan nilai dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Secara lebih jelas tallase
kamase-mase ini tercermin dalam pasang sebagai berikut:
1. Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a’dakkako nu kamase-mase,
a’meako nu kamase-mase artinya; berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana,
melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana.
2. Anre kalumannyang kalupepeang, rie kamase-masea, angnganre na rie, care-care na rie,
pammalli juku na rie, koko na rie, bola situju-tuju. Artinya; tidak ada kekayaan yang kekal,
yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya, pakaian secukupnya, membeli ikan
secukupnya, kebun secukupnya, rumah seadanya.
3. Jagai lino lollong bonena, kammayatompa langika, rupa taua siagang boronga. Artinya;
Peliharalah dunia beserta isinya, demikian pula langit, manusia dan hutan.

Gambar 2. Salah Satu Potret Kesederhanaan Masyarakat Suku Kajang


Sumber : http://sayanusantara.blogspot.com/2016/04/suku-kajang-duta-keseimbangan-alam-
dan.html. Diakses Maret 2019
Selain ajaran tallase kamasa-mase, masyarakat adat Kajang juga memiliki mekanisme lain untuk
menjaga kelestarian hutan mereka, yaitu dengan cara menetapkan kawasan hutan menjadi tiga
bagian di mana setiap bagian memiliki fungsi dan makna yang berbeda bagi masyarakat adat.
Ketetapan ini langsung dibuat oleh Ammatoa.
Kawasan yang pertama adalah Borong Karamaka atau hutan keramat, yaitu kawasan hutan yang
terlarang untuk semua jenis kegiatan, kecuali upacara-upacara adat. Kawasan ini harus steril dari
kegiatan penebangan, pengukuran luas, penanaman pohon, pemanfaatan flora dan fauna yang
ada di dalamnya, ataupun kunjungan selain pelaksanaan upacara adat. Kawasan borong
karamaka ini begitu sakral bagi masyarakat Kajang karena adanya keyakinan bahwa hutan ini
adalah tempat tinggal para leluhur orang Kajang. Hal ini diungkapkan secara jelas dalam sebuah
pasang, yaitu: “Talakullei nisambei kajua, Iyato’ minjo kaju timboa. Talakullei nitambai
nanikurangi borong karamaka. Kasipalli tauwa a’lamung-lamung ri boronga, Nasaba’ se’re
wattu la rie’ tau angngakui bate lamunna” (Artinya: Tidak bisa diganti kayunya, itu saja kayu
yang tumbuh. Tidak bisa ditambah atau dikurangi hutan keramat itu. Orang dilarang menanam di
dalam hutan sebab suatu waktu akan ada orang yang mengakui bekas tanamannya.

Gambar 3. Signage (penanda) Kawasan Hutan Suku Kajang


Sumber : https://catperku.com/terios-7-wonders-diary-day-12-kajang-yang-menolak-teknologi/.
Diakses tanggal 15 Maret 2019

Kawasan yang kedua adalah Borong Batasayya atau hutan perbatasan. Hutan ini merupakan
hutan yang diperbolehkan diambil kayunya sepanjang persediaan kayu masih ada dan dengan
seizin dari Ammatoa selaku pemimpin adat. Jadi keputusan akhir boleh tidaknya masyarakat
mengambil kayu di hutan ini tergantung dari Ammatoa. Pun kayu yang ada dalam hutan ini
hanya diperbolehkan untuk membangun sarana umum, dan bagi komunitas Ammatoa yang tidak
mampu membangun rumah. Selain dari tujuan itu, tidak akan diizinkan. Namun, tidak semua
kayu boleh ditebang. Hanya beberapa jenis kayu saja yang boleh ditebang, yaitu kayu Asa,
Nyatoh, dan Pangi. Jumlah kayu yang ditebang pun harus sesuai dengan kebutuhan, sehingga
tidak jarang kayu yang ditebang akan dikurangi oleh Ammatoa. Syarat utama ketika orang ingin
menebang pohon adalah orang yang bersangkutan wajib menanam pohon sebagai penggantinya.
Kalau pohon itu sudah tumbuh dengan baik, maka penebangan pohon baru dapat dilakukan.
Menebang satu jenis pohon, maka orang yang bersangkutan wajib menanam dua pohon yang
sejenis di lokasi yang telah ditentukan oleh Ammatoa. Penebangan pohon itu juga hanya boleh
dilakukan dengan menggunakan alat tradisional berupa kampak atau parang. Cara mengeluarkan
kayu yang sudah ditebang juga harus dengan cara digotong atau dipanggul dan tidak boleh
ditarik karena dapat merusak tumbuhan lain yang berada di sekitarnya.
Dan kawasan yang ketiga adalah Borong Luara’ atau hutan rakyat. Hutan ini merupakan hutan
yang dapat dikelola oleh masyarakat. Meskipun kebanyakan hutan jenis ini dikuasai oleh rakyat,
namun aturan-aturan adat mengenai pengelolaan hutan di kawasan ini tetap masih berlaku.
Ammatoa melarang setiap praktek kesewenang-wenangan dalam memanfaatkan sumberdaya
yang terdapat dalam hutan rakyat ini. Agar ketiga kawasan hutan tersebut tetap mampu
memerankan fungsinya masing-masing, Ammatoa akan memberikan sangsi kepada siapapun
yang melanggar ketentuan yang telah dibuatnya itu. Sanksi yang diberikan tidaklah sama,
tergantung di kawasan hutan mana orang yang bersangkutan melakukan pelanggaran.
Pelanggaran yang dilakukan di hutan keramat akan mendapatkan sanksi yang paling berat.

Gambar 4. Gotong royong Suku Kajang saat mengambil hasil hutan


Sumber : https://komunitaspetabuta.blogspot.com/2013/11/hutan-kawasan-adat-ammatoa.html.
Diakses tanggal 15 Maret 2019
Menurut hasil wawancara dengan Bapak H. Mansyur, seorang warga Kajang yang rumahnya
tidak jauh dari pemukiman Suku Kajang (Fadil, 2013), mengatakan bahwa masyarakat Suku
Kajang selalu hidup dalam kesederhanaan. Di dalam setiap rumah warga Kajang, tidak ada kursi
ataupun kasur. Mereka juga tidak menggunakan satupun peralatan elektronik, seperti radio dan
televisi. Mereka menganggap, modernitas dapat menjauhkan suku Kajang dengan alam dan para
leluhur. Beliau juga mengatakan dalam kawasan adat Suku Kajang berlaku hukum adat yang
merupakan norma atau disebut pasang oleh masyarakat Ammatoa, Kajang. Ada 4 larangan yang
berlaku dalam hukum adat Ammatoa Kajang yakni:
1. Tabbang kaju, (kalau sudah menanam 20 pohon ada bukti, bisa menebang untuk membangun
rumah)
2. Rao doang, mengambil udang dan ikan sungai dalam kawasan
3. Rao bani, mengambil lebah dalam kawasan adat ammatoa
4. Mengambil rotan dalam kawasan hutan

Jika melanggar adat tersebut diatas maka akan dikenakan sanksi oleh Suku Kajang Dalam.
Melalui pasang, masyarakat Ammatoa menghayati bahwa keberadaan mereka merupakan
komponen dari suatu sistem yang saling terkait secara sistemis; Turiek Akrakna (Tuhan),
Pasang, Ammatoa (leluhur pertama), dan tanah yang telah diberikan oleh Turiek Akrakna kepada
leluhur mereka. Merawat hutan, bagi masyarakat Kajang merupakan bagian dari ajaran pasang,
karena hutan merupakan bagian dari tanah yang diberikan oleh Turiek Akrakna kepada leluhur
Suku Kajang.

Pasang secara eksplisit melarang setiap tindakan yang mengarah pada kemungkinan rusaknya
ekosistem hutan, seperti menebang kayu, memburu satwa, atau memungut hasil-hasil hutan. Bagi
siapa saja yang melanggar aturan-aturan yang telah ditentukan akan dikenai sanksi yang tegas.
Tentang bagaimana usaha agar warga masyarakat menaati aturan pelestarian hutan yang
berdasarkan atas pasang, maka di bawah kepemimpinan Ammatoa sebagai Kepala Adat
Keammatoaan mengadakan acara abborong (bermusyawarah) yang menetapkan bahwa
pelanggaran atas ketentuan pasang yang berhubungan dengan pelestarian hutan dikenakan denda
(apabila diketahui pelanggarnya) sebagai berikut:

Gambar 5. acara abborong (bermusyawarah)


Sumber : https://catperku.com/terios-7-wonders-diary-day-12-kajang-yang-menolak-teknologi/.
Diakses tanggal 15 Maret 2019

Pertama, Cappa Babala atau pelanggaran ringan. Cappa Babala diberlakukan terhadap
pelanggar yang menebang pohon dari koko atau kebun warga masyarakat adat Ammatoa.
Hukumannya berupa denda enam real atau menurut mata uang Indonesia kira-kira setara dengan
uang enam ratus ribu rupiah. Selain itu, pelanggar juga wajib memberikan satu gulung kain putih
kepada Ammatoa.
Kedua, Tangnga Babala atau pelanggaran sedang. Tangnga babala merupakan sangsi untuk
pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan hutan perbatasan atau Borong Batasayya.
Pengambilan kayu atau rotan atau apa saja dalam kawasan ini tanpa seizin Ammatoa berarti
melanggar aturan Tangnga babala. Ketika seseorang diizinkan oleh Ammatoa untuk mengambil
sebatang pohon kemudian ternyata mengambil lebih banyak dari yang diizinkan, maka orang
tersebut telah melanggar aturan Tangnga babala ini. Denda dari pelanggaran ini sebesar delapan
real atau sebanding dengan delapan ratus ribu rupiah dengan mata uang Indonesia ditambah satu
gulung kain putih.

Ketiga, Poko Babala atau pelanggaran berat. Poko babala diberlakukan kepada seluruh
masyarakat yang bernaung di bawah kepemimpinan Ammatoa jika melakukan pelanggaran berat
menurut adat. Poko babala diberlakukan jika masyarakat adat melakukan pelanggaran di Barong
Karamaka atau hutan keramat dalam bentuk mengambil hasil hutan baik kayu maupun non kayu
yang terdapat di dalamnya. Poko babala merupakan hukuman terberat dalam konsep aturan adat
masyarakat Ammatoa. Masyarakat adat yang melakukan pelanggaran berat dikenai sanksi berupa
denda dua belas real, atau dalam mata uang Indonesia setara dengan satu juta dua ratus ribu
rupiah, kain putih satu lembar, dan kayu yang diambil dikembalikan ke dalam hutan.

Di samping sanksi berupa denda, hukuman adat yang sangat mempengaruhi kelestarian hutan
adalah sanksi sosial berupa pengucilan. Hukuman ini bagi masyarakat adat Kajang lebih
menakutkan. Jika masyarakat melanggar Poko babala maka Ammatoa tidak akan menghadiri
setiap acara atau pesta yang dilangsungkannya. Ketika Ammatoa tidak hadir maka setiap acara
atau pesta yang berlangsung dianggap sia-sia. Bagi mereka yang telah melanggarnya, lebih baik
dipenjara seumur hidup daripada harus terkena Poko babala. Lebih menakutkan lagi karena
sanksi pengucilan ini berlaku juga bagi seluruh keluarga sampai tujuh turunan.

Gambar 6. Upacara ritual attunu panrolik (membakar linggis sampai merah karena panasnya)
Sumber : https://catperku.com/terios-7-wonders-diary-day-12-kajang-yang-menolak-teknologi/.
Diakses tanggal 15 Maret 2019
Apabila sebuah pelanggaran tidak diketahui siapa pelakunya, maka adat Ammatoa akan
melangsungkan upacara attunu panrolik (membakar linggis sampai merah karena panasnya).
Mendahului upacara tersebut dipukulah gendang di rumah Ammatoa dengan irama tertentu yang
langsung diketahui oleh warga masyarakat Keammatoaan, bahwa mereka dipanggil berkumpul
untuk menghadiri upacara attunu panrolik. Kepada setiap warga masyarakat Keammatoaan
dipersilakan memegang linggis yang sudah berwarna merah karena panasnya. Bagi orang yang
tangannya melepuh ketika memegang linggis tersebut, maka dialah pelakunya. Sedangkan bagi
yang bukan pelaku, tidak akan merasakan panasnya linggis tersebut. Sedangkan apabila sang
pelaku melarikan diri maka dilakukanlah attunu passauk yaitu Ammatoa membakar
dupa/kemenyan sambil membaca mantra yang dikirimkan kepada pelaku agar jatuh sakit dan
akhirnya meninggal dunia secara tidak wajar.

Setiap akhir tahun, masyarakat adat Suku Kajang melakukan ritual andingingi yang berarti
mendinginkan alam. Ini merupakan salah satu bentuk kesyukuran mereka atas kemurahan alam
dengan cara mendinginkannya. Waktu tersebut adalah saatnya alam untuk diistirahatkan setelah
dikelolah dan dinikmati hasilnya selama satu tahun.

Gambar 7. Ritual andingingi


Sumber : https://catperku.com/terios-7-wonders-diary-day-12-kajang-yang-menolak-teknologi/.
Diakses tanggal 15 Maret 2019

Masyarakat Suku Kajang selalu mengenakan sarung hitam (lipa’ le’leng) yang dibuat dengan
proses alamiah dan ditenun dari tangan-tangan terampil perempuan Kajang. Pakaian serba hitam
tersebut bermakna kebersahajaan, kesederhanaan, kesamaan atau kesetaraan seluruh
masyarakatnya. Pakaian hitam juga dimaksudkan agar mereka selalu ingat kematian atau dunia
akhir.
Gambar 8. Proses menenun sarung hitam (lipa’ le’leng)
Sumber : https://catperku.com/terios-7-wonders-diary-day-12-kajang-yang-menolak-teknologi/.
Diakses tanggal 15 Maret 2019

Makna kesetaraan tidak hanya dapat dilihat dari cara mereka berpakaian, akan tetapi juga dari
bentuk bangunan rumah yang ada di kawasan ini. Semua bentuk, ukuran serta warnanya
seragam, beratap rumbia serta berdinding papan. Kecuali rumah Ammatoa yang dindingnya
menggunakan bambu dan di sekitarnya semua pemukiman warga menghadap kearah kiblat.

Gambar 9. Rumah warga Suku Kajang


Sumber : https://catperku.com/terios-7-wonders-diary-day-12-kajang-yang-menolak-teknologi/.
Diakses tanggal 15 Maret 2019
Analisa SWOT Pengelolaan Hutan Suku Kajang
Dalam menjaga kelestarian hutan dapat kita lihat faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan
kelemahan menurut kekhasan alam yang dimiliki. Faktor-faktor tersebut diinterpretasikan
sebagai faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang masuk
dalam kategori kekuatan (strenght) dan kelemahan (weakness). Sedangkan faktor eksternal
adalah faktor-faktor yang masuk dalam kategori peluang (oppotunities) dan ancaman (threats).
Sebagai kekuatan, hutan suku Kajang memiliki kekayaan alam yang tinggi. Suku Kajang juga
memiliki nilai-nilai kearifan lokal dalam pemanfaatan hutan dalam prinsip kesederhanaan
Tallase kamase-mase dengan pembagian hutan menjadi 3 jenis, yaitu : Borong Karamaka atau
hutan keramat, Borong Batasayya atau hutan perbatasan, Borong Luara’ atau hutan rakyat. Suku
Kajang memiliki Pasang yang melarang setiap tindakan yang mengarah pada kemungkinan
rusaknya ekosistem hutan, mereka juga patuh kepada pemimpin (Ammatoa). Segala perkara
diputuskan dalam musyawarah (abborong), serta memiliki ritual andingingi yang merupakan
bentuk kesyukuran atas kemurahan alam. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang rendah
menjadi salah satu kelemahan. Hal ini ditunjukkan oleh tingkat pendidikan formal masih rendah.
Lahan warga masyarakat belum memiliki tanda batas yang jelas sehingga rawan akan terjadinya
konflik dan pelanggaran akibat ketidaktahuan batas lahan.
Sedangkan untuk faktor eksternal yang dapat berpengaruh terhadap kelestarian hutan suku
Kajang adalah adanya perhatian pemerintah terhadap kelestarian hutan, kemajuan teknologi yang
semakin maju, peraturan perundangan yang ada, adanya lembaga non-pemerintah di bidang
penelitian dan lingkungan serta kepedulian terhadap lingkungan yang meningkat akibat isu
global warming. Dan untuk hal yang menjadi ancaman bagi kelestarian hutan adalah kebutuhan
ekonomi yang meningkat mendorong eksploitasi hutan secara berlebih, perambahan hutan dari
penduduk luar, kemajuan teknologi yang memudahkan pembukaan lahan untuk pemukiman
ataupun sebagai usaha, serta ancaman bencana alam yang tidak dapat diduga seperti longsor.
Berdasarkan hasil identifikasi faktor internal dan faktor eksternal maka strategi-strategi yang
dapat diambil menurut identifikasi strategi S-O adalah pelestarian nilai-nilai kearifan lokal,
menetapkan hutan suku Kajang sebagai hutan konservasi pendidikan sehingga dapat dijadikan
tempat wisata pendidikan mengenai pentingnya hutan, pengelolaannya, dan pemanfaatannya,
serta mengekspose kehidupan suku Kajang yang sederhana sehingga bisa menjadi contoh bagi
masyarakat lainnya. Untuk strategi W-O yang dapat diambil yaitu memanfaatkan kerjasama
dengan instansi pemerintah, lembaga non-pemerintah, dan swasta untuk meningkatkan kualitas
SDM masyarakat suku Kajang, melakukan kerjasama dengan pemerintah terkait untuk
melakukan pemetaan kawasan dan pemberian tapal batas-batas lahan yang jelas. Sedangkan
strategi S-T yang dapat dilakukan adalah perlunya pengelolaan sumber daya hutan yang bijak
dan terencana dengan baik, perlu penerapan hukum yang lebih tegas kepada perambah hutan
yang tidak bisa hanya mengandalkan hukum adat setempat, pengaturan zonasi pemukiman dan
usaha yang jauh dari zona hutan, dan melakukan mitigasi bencana. Terakhir untuk strategi W-T,
langkah yang dapat diambil adalah memberikan pendidikan dan pelatihan SDM kepada
masyarakat suku Kajang, membentuk kelompok masyarakat sadar konservasi yang dapat
mendukung kelestarian hutan, meningkatkan kerjasama dengan instansi terkait untuk penindakan
pelanggaran dengan tegas, serta pelibatan masyarakat suku Kajang dalam penyusunan rencana
pengelolaan wilayah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :
Kekuatan (Strengths) Kelemahan (Weakness)
1. Memiliki kekayaan alam yang 1. Kualitas SDM yang masih rendah
berlimpah 2. Batas antar lahan, batas
INTERNAL 2. Prinsip kesederhanaan Tallase pembagian hutan, dan batas-
kamase-mase batas lahan antar desa masih
3. Pembagian hutan menjadi 3 jenis, belum jelas dan hanya
yaitu : Borong Karamaka atau menggunakan penanda alam
hutan keramat, Borong Batasayya yang mungkin hanya warga
atau hutan perbatasan, Borong setempat yang tahu
Luara’ atau hutan rakyat 3. Kondisi hutan yang rentan
4. Pasang yang melarang setiap bencana kekeringan/kebakaran
tindakan perusakan hutan
5. Kepatuhan terhadap pemimpin
(Ammatoa)
6. Segala perkara diputuskan dalam
EKSTERNAL musyawarah (abborong)
7. Memiliki ritual andingingi (bentuk
kesyukuran atas kemurahan
alam)

Peluang (Oppotunities) Strategi S-O Strategi W-O


1. Perhatian pemerintah 1. Pelestarian nilai-nilai kearifan 1. Memanfaatkan kerjasama
2. Kemajuan teknologi lokal dengan instansi pemerintah,
3. Perundang-undangan, peraturan 2. Menetapkan hutan suku Kajang lembaga non-pemerintah, dan
pemerintah, dan peraturan sebagai hutan konservasi swasta untuk meningkatkan
lainnya terkait kehutanan pendidikan sehingga dapat kualitas SDM masyarakat suku
4. Adanya lembaga non-pemerintah dijadikan tempat wisata Kajang
di bidang penelitian dan pendidikan mengenai pentingnya 2. Melakukan kerjasama dengan
lingkungan hutan, pengelolaannya, dan pemerintah terkait untuk
5. Kepedulian terhadap lingkungan pemanfaatannya melakukan pemetaan kawasan
yang meningkat akibat isu global 3. Mengekspose kehidupan suku dan penempatan batas-batas
warming Kajang yang sederhana sehingga lahan yang jelas
bisa menjadi contoh bagi 3. Melakukan mitigasi bencana
masyarakat lainnya.

Ancaman (Threats) Strategi S-T Strategi W-T


1. Kebutuhan ekonomi yang 1. Perlu pengelolaan sumber daya 1. Pendidikan dan pelatihan SDM
meningkat hutan yang bijak dan terencana masyarakat suku Kajang
2. Perambahan hutan dari dengan baik 2. Membentuk kelompok
penduduk luar 2. Perlu penerapan hukum yang masyarakat sadar konservasi
3. Kemajuan teknologi lebih tegas kepada perambah yang dapat mendukung
4. Pembukaan lahan untuk hutan, tidak bisa hanya kelestarian hutan
pemukiman mengandalkan hukum adat 3. Meningkatkan kerjasama dengan
5. Pembukaan lahan sebagai usaha setempat instansi terkait untuk penindakan
6. Ancaman bencana alam 3. Pengaturan zonasi pemukiman pelanggaran
dan usaha yang jauh dari zona 4. Melibatkan suku Kajang dalam
hutan penyusunan rencana
4. Melakukan mitigasi bencana pengelolaan wilayah

Tabel 1. Analisis SWOT strategi pengelolaan hutan Suku Kajang


Sumber : Analisa Pribadi, 2019
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Adapun nilai-nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Suku Kajang dalam
mengelola sumber daya alam khusunya hutan adalah :
 Prinsip Tallase kamase-mase yang merupakan norma untuk hidup secara sederhana
 Adanya Pasang yang melarang setiap tindakan yang mengarah pada kemungkinan
rusaknya ekosistem hutan
 Pembagian hutan menjadi 3 jenis, yaitu : Borong Karamaka atau hutan keramat, Borong
Batasayya atau hutan perbatasan, Borong Luara’ atau hutan rakyat.
Sedangkan untuk penerapannya dalam kehidupan sehari-hari dapat terlihat dari :
 Ketaatan masyarakat menjalani prinsip Tallase kamase-mase terlihat dari pakaian yang
serba hitam, rumah yang sederhana tanpa teknologi
 Adanya ritual andingingi yang merupakan bentuk kesyukuran atas kemurahan alam
 Adanya acara abborong (bermusyawarah) yang menetapkan tingkat pelanggaran warga
 Penerapan hukuman adat pada tiap tingkatan pelanggaran hingga yang paling berat
berupa pengucilan bakan sampai tujuh keturunan
2. Dari hasil analisa SWOT, diperoleh beberapa strategi utama untuk menjaga kelestarian hutan
suku Kajang yaitu pelestarian nilai-nilai kearifan lokal dan penetapan hutan suku Kajang
sebagai hutan konservasi pendidikan, pemberian tapal batas wilayah yang jelas, pengelolaan
sumber daya hutan yang bijak dan terencana, pengaturan zonasi, mitigasi bencana,
penegakan hukum, dan pembentukan kelompok masyarakat sadar konservasi.

SARAN
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti menyarankan :
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan observasi lapangan langsung dengan
variable-variabel yang lebih terukur sehingga analisa SWOT yang dilakukan terhadap
tingkat keberhasilan penerapan nilai-nilai kearifan lokal Suku Kajang dalam menunjang
kelestarian hutan menjadi lebih valid.
2. Perlu dilakukan analisa SWOT lanjutan untuk menghasilkan strategi-strategi yang lebih
akurat dalam menjaga kelestarian hutan suku Kajang sehingga dapat dijadikan referensi
untuk pengelolaan hutan di daerah lain.
3. Nilai-nilai kearifan lokal suku Kajang dalam menjaga kelestrian hutan harus dilestarikan.
4. Dengan mengetahui kebiasaan suku Kajang yang sangat sederhana, sebaiknya kita belajar
untuk ikut menerapkannya dan tidak boleh serakah dalam memanfaatkan sumber daya
alam khususnya hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Ammatoa (2018). Tana Toa Kajang Pewaris Bumi Penjaga Hutan Bulukumba.
https://ammatoa.com/tana-toa-kajang-pewaris-bumi-penjaga-hutan-bulukumba/311/.
Diakses tanggal 18 Maret 2019 Pk. 11.15 WITA.
Ammatoa. (2016). Penjelasan Lengkap Suku Kajang di Kabupaten Bulukumba.
https://ammatoa.com/penjelasan-lengkap-suku-kajang-di-kabupaten-bulukumba/111/.
Diakses tanggal 15 Maret 2019 Pk. 18.00 WITA.
Disnawati (2013). Penerapan Prinsip Hidup Kamase-Masea Masyarakat Adat Ammatoa Kajang,
Bulukumba Sulawesi Selatan Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Sabda. Vol. 8, 83-90.
Fahmi, Rijal (2014). Terios 7 Wonders : Diary Day 12, Kajang Yang Menolak Teknologi.
https://catperku.com/terios-7-wonders-diary-day-12-kajang-yang-menolak-teknologi/.
Diakses tanggal 15 Maret 2019 Pk. 19.00 WITA
Mangindara, Akbar. (2015). Belajar Melestarikan Alam Dari Kearifan Lokal Masyarakat Suku
Kajang, Bulukumba.
https://www.kompasiana.com/nurakbar/551f9e828133111d6e9de47a/belajar-melestarikan-
alam-dari-kearifan-lokal-masyarakat-suku-kajang-bulukumba?page=1. Diakses tanggal 18
Maret 2019 Pk. 10.00 WITA.
Ridwan, N.A. (2007). Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Jurnal Studi Islam dan Budaya.
Vol.5, (1), 27-38.
Sumendra, Wayan (2013). Kearifan Lokal (Budaya 3).
https://wayansumendra.wordpress.com/2013/08/25/kearifan-lokal-budaya-3/. Diakses
tanggal 18 Maret 2019 Pk. 11.15 WITA.
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutananeertz, 2007
Sharma
BIODATA PENULIS
Nama : I Putu Karunia, ST.
TTL : Denpasar, 12 Nopember 1988
Alamat : Jl. Sulatri Gg. II No. 1A, Desa Kesiman Petilan -
Denpasar
Pendidikan : Sarjana Teknik Arsitektur Universitas Udayana (2010)
Riwayat Pekerjaan :
1. PT. Citra Griya Mas, sebagai drafter (Januari 2010 - Mei 2010)
2. CV. Budi Dharma Putera, sebagai arsitek (Juni 2010 - Desember
2010)
3. Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali, sebagai staf teknis pada
Bidang Bimbingan Teknis (Januari 2011-Desember 2011)
4. Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Bali, sebagai staf teknis pada
Bidang Sumber Daya Air (Januari 2012-Desember 2016)
5. Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Bali, sebagai
staf teknis pada Bidang Cipta Karya (Januari 2017-sekarang), sebagai
pejabat pengadaan barang/jasa pemerintah pada Bidang Cipta Karya
dan Sekretariat, sebagai pejabat pengadaan barang/jasa pemerintah
pada Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BP3TKI) Denpasar serta sebagai Pengelola Teknis
Kegiatan (PTK) pada Dinas Pendidikan Provinsi Bali (Januari 2017-
sekarang).

Suriani, 2006
Aziz, 2008
Widyasmoro, 2006

Anda mungkin juga menyukai