Anda di halaman 1dari 5

TUGAS MANAJEMEN PENGELOLAAN BENCANA

BIDANG KESEHATAN LINGKUNGAN

“Kearifan Lokal yang Berkaitan dengan Mitigasi Bencana”

Oleh :

INSANI TUPAHIL SATINDO

181210665

Dosen Pembimbing :

Muchsin Riviwanto, SKM, M.kes

PRODI SARJANA TERAPAN SANITASI LINGKUNGAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN PADANG

2020
Kearifan Lokal Yang Berkaitan Dengan Mitigasi Bencana

1. Hutan Larang Adat di Riau


Kearifan lokal mempunyai suatu tujuan agar masyarakat yang berada
disekitarnya dapat dengan bersama-sama melestarikan hutan yang berada disana.
Seperti contohnya yaitu adanya suatu peraturan mengenai tak diperbolehkannya
menebang hutan secara sembarangan. Apabila hal tersebut dilakukan, maka pelakunya
akan dikenakan denda yaitu sebesar 100 kg beras ataupun bisa berbentuk uang yang
jumlahnya sebesar Rp 6.000.000

2. Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Melestarikan Batang Aie Lunang di


Kenagarian Lunang Kecamatan Lunang Kabupaten Pesisirselatan.
Berdasarkan observasi awal peneliti pada tanggal 20 Juni 2015, peneliti melihat
bahwa kelestarian batang aie Lunang masih terjaga dengan baik. Salah satu bentuk
bahwa batang aie Lunang masih terjaga kelestariannya adalah terlihat dari kondisi
airnya yang masih jernih, tidak adanya wilayah batang aie yang dijadikan sebagai area
penambangan, masih baiknya vegetasi yang tumbuh disekitar batang aie serta tidak
terlihatnya sampah-sampah yang dapat mengotori batang aie. Kearifan lokal ini salah
satu bentuk mitigasi terhadap bencana banjir.
Kondisi batang aie Lunang yang masih baik tidak terlepas dari pengaruh
budaya lokal yang telah berlangsung secara turun temurun di Lunang. Kearifan lokal
masyarakat Lunang dalam menjaga batang aie Lunang terlihat dalam prilaku
masyarakat yang tidak menangkap ikan dengan racun ikan, tidak membuang sampah
disekitar batang aie, serta tidak berlaku kurang baik, mandi telanjang, berkata kotor
dan takabur ketika beraktivitas disekitar batang aie karena masyarakat sangat meyakini
bahwa batang aie adalah sesuatu yang sakral, apabila masyarakat melanggar maka
akan ada sanksi dan petaka yang didapatkan.
Sanksi yang ada berupa denda uang dan makanan yang kemudian diberikan
kemesjid bagi masyarakat yang menangkap ikan dengan racun ikan dan membuang
sampah. Adapun petaka yang pernah terjadi di batang aie Lunang adalah peristiwa
dimakan buaya penunggu batang aie Lunang yang terjadi pada beberapa masyarakat
yang berlaku tidak baik, mandi telanjang dan berbicara kotor

3. Bentuk Kearifan Lokal pada Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Menghadapi


Gempa Bumi

Pada hari Sabtu Wage tanggal 27 Mei 2006 terjadi peristiwa gempa bumi
berkekuatan 5,9 pada Skala Richter, sekitar pukul 05.53, berlangsung selama 57 detik.
Peristiwa tersebut melanda wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten
Klaten di Jawa Tengah.

Fakta menunjukkan bahwa komunitas mengembangkan suatu pengetahuan


untuk mengerti cara kerja alam, dan kemudian mengikutinya, serta berupaya
menghindari apa yang dapat mengancam keselamatan.Pengetahuan tentang bagaimana
membangun rumah dan rumah tangga; Pengetahuan tentang bercocok tanam, atau
tradisi perladangan dengan aturan pemilihan lokasi ladang (huma), waktu berladang,
tata cara membuka dan membakar lahan, serta menghindarkan dari bahaya longsor,
dan kebakaran

Pengetahuan masyarakat lokal mengenai perilaku alam, hewan dan pergerakan


konstruksi alam tertentu dipahami sebagai bentuk-bentuk perilaku alam yang
memberikan sinyal bagi masyarakat lokal bahwa akan terjadinya bencana dan hal-hal
tersebut lebih dipercaya dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat setempat bila
dibandingkan dengan menggunakan peralatan canggih sebagai alat peringatan bencana.

Gambaran tersebut menjelaskan bahwa apa yang disebut sebagai kearifan


setempat merupakan sistem pengetahuan setempat yang tersimpan dalam ingatan
komunitas dan akan langsung bekerja ketika keadaan yang mensyaratkannya untuk
bekerja telah datang. Peristiwa gempa bumi 27 Mei 2006, yang meluluhlantakkan
bangunan dan berbagai prosedur formal, menjadi saksi nyata dari kehadiran kearifan
setempat yang secara otomatis hadir dan bekerja
4. Kearifan Lokal Pahomba di Nusa Tenggara Timur
Pahomba atau yang biasa disebut juga dengan gugus hutan merupakan suatu
tempat yang dilarang keras untuk dimasuki, terlebih lagi dengan niatan untuk
mengambil hasil hutannya. Dan pada hakikatnya, pohon-pohon di tiap pahomba
tersebut memiliki fungsi menjadi pohon-pohon induk yang bisa menyebarkan benih
kedalam padang rumput yang cukup luas,
Oleh sebab itu, Apabila api tak menghangus dan mematikan anakan dari
pepohonan tersebut, proses dari perluasan hutan yang secara alamiah bisa berlangsung.
Pepohonan yang ada dipahomba dan disekitaran batang sungai memiliki fungsi
menjadi suatu filter terhadap materi erosi agar tidak menyebabkan tanah longsor dan
juga secara sekaligus menjadi sempadan alamiah sungan yang berguna untuk
pelestarian air sungai.

5. Kearifan Lokal Sakai Melestarikan Lingkungan


Masyarakat Sakai mempunyai kearifan lokal mengubah hasil pertanian dengan
cara-cara yang sederhana sehingga teknologi yang digunakan tidak merusak
lingkungan.Salah satu cara yang dipakai untuk menjaga ekologi hutan adalah dengan
menerapkan zonifikasi lahan yang ketat.
Hutan ulayat masyarakat sakai dibagi dalam beberapa kategori yaitu hutan adat,
hutan larangan dan hutan perladangan. Hutan adat hanya boleh diambil rotannya,
damar dan madu lebah, tetapi pohon-pohon utamanya tidak boleh ditebang. Sedangkan
hutan larangan, yang biasanya berada di bantaran sungai, sama sekali tidak boleh
diusik. Hutan perladangan boleh ditebang untuk ladang dengan sistem rotasi.Dalam
membuka ladang, warga Sakai dari dulu hinggga sekarang masih menggunakan
teknologi sederhana. Kesederhanaan teknologi sebagai perlambang kearifan
lingkungan.
Sistem nilai sederhana yang dianut memberikan kebaikan kepada lingkungan.
Efektif atau tidak kearifan lokal ini bagi masyarakat dapat dilihat dari hutan adat Suku
Sakai yang berada di Desa Kesumbo Ampai, Kecamatan Mandau masih terlihat asri,
kaya akan keanekaragaman hayati baik flora maupun fauna. Sementara sungai yang
berada di areal hutan adat Sakai ini masih alami, jernih dan airnya bisa diminum
langsung oleh masyarakat Sakai.

6. Cingcowong (Sunda/Jawa Barat) merupakan upacara untuk meminta hujan


Tradisi Cingcowong ini dilakukan turun temurun oleh masyarakat Luragung guna
untuk melestarikan budaya serta menunjukan bagaimana suatu permintaan kepada yang
Maha Kuasa apabila tanpa adanya patuh terhadap perintahnya.
Peristiwa yang melatarbelakangi diselenggarakannya upacara ini adalah terjadinya
kemarau panjang yang mengakibatkan kekeringan sehingga berdampak kepada
penghasilan masyarakat yang mayoritas adalah petani.
Hal ini sesuai dengan cerita yang dituturkan Nawita dan cerita lisan masyarakat
Luragung pada umumnya bahwa kehadiran Cingcowong disebabkan oleh suatu keadaan
yang mendesak dan darurat. Pada masa lalu di daerah Luragung terjadi kemarau yang
panjang sehingga para petani menjadi resah. Sawah dan ladang para petanibanyak yang
gagal panen akibat dilanda kekeringan. Pada situasi sulit tersebut, Rantasih yang
merupakan leluhur Nawita mengajak kepada masyarakat sekitar untuk berusaha
mengatasi keadaan yang dialami. Ia kemudian mengajak masyarakat untuk mencari
sumber mata air, tetapi usahanya gagal karena masyarakat yang sudah terlanjur putus asa
tidak bersedia memenuhi ajakannya. Upaya tersebut ternyata cukup berhasil.

Anda mungkin juga menyukai