Anda di halaman 1dari 4

KEARIFAN LOKAL DALAM BUDAYA

NASIONAL INDONESIA
DEFINISI KEARIFAN LOKAL

Kearifan lokal ( local wisdom )  adalah tata nilai atau perilaku hidup
masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan tempatnya
secara arif. Pada dasarnya kearifan lokal berkaitan dengan nilai - nilai
dalam masyarakat dan keseimbangan alam. Beberapa pengertian
kearifan lokal :
 Semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan
serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia
dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis ( keraf ).
 Kepandaian dan strategi - strategi pengelolaan alam semesta
dalam menjaga keseimbangan ekologis yang sudah berabad - abad
teruji oleh berbagai bencana dan kendala serta keteledoran
manusia. ( Francis Wahono )
 Nilai - nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat
untuk antara lain melindungi d an mengelola lingkungan hidup
secara lestari. ( UU No.32 Tahun 2009 ) 

" intinya, kearifan lokal itu gimana caranya


masyarakat menjaga alam dan tata
kehidupannya melalui aturan - aturan adat "
FUNGSI KEARIFAN LOKAL

 Sebagai bentuk konservasi dan pelestarian terhadap sumber daya


alam.
 Untuk mengembangkan sumber daya manusia.
 Pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
 Sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
 Bermakna sosial, sebagai penguat solidaritas masyarakat. 

BENTUK KEARIFAN LOKAL INDONESIA

BIDANG PEMANFAATAN SUMBER DAYA ALAM 


 Konservasi laut Orang Bajo di Togean ( Sulawesi Tengah ) :
Mereka mempunyai keyakinan bahwa penguasa laut memberikan
hasil laut yang melimpah kepada mereka. Sebagai timbal balik,
setelah mereka menangkap ikan, setidaknya dua ekor ikan dilepas
kembali sebagai bentuk terima kasih kepada laut. 
 Kepercayaan terhadap alam di Papua :   te aro neweak lako ( alam
adalah aku ) adalah kepercayaan bahwa tanah merupakan bagian
dari hidup manusia, seperti Gunung Erstberg dan Grasberg
dipercaya sebagai kepala mama ( ibu ). 
 Tradisi Tana' Ulen suku Dayak Kenyah ( Kalimantan Timur ) :
konsep konservasi lingkungan dengan melarang menebang pohon,
membakar hutan, membuat ladang, dan melakukan aktivitas -
aktivitas lain yang merusak hutan. Hasil hutan yang dapat diambil
adalah rotan, kayu manis, buah - buahan, ikan dan binatang.

BIDANG FALSAFAH, TRADISI DAN KEPERCAYAAN


 Suku Mentawai ( Sumatera Barat ) : hasil alam adalah milik
bersama, yang harus dilestarikan. Sebelum pembukaan ladang,
dilakukan upacara untuk meminta izin roh - roh penjaga hutan.
Dalam kegiatan perladangan, tidak dikenal sistem tebas bakar
karena mereka percaya akan menimbulkan kemarahan roh penjaga
hutan.
 Suku Baduy ( Banten ) : penghormatan terhadap alam dengan tidak
mengeksploitasi alam secara berlebihan. Pembagian wilayah dalam
pemanfaatan air sungai memperhatikan sistem daya pulih air.
Tempat untuk mandi, mencuci, buang air dan konsumsi dibagi ke
dalam tempat yang berbeda. Oleh karena itu, masyarakat
memperoleh air yang berkualitas. Permukiman suku Baduy juga
mengikuti kontur tanah, mereka tidak mengubah, atau menggali
tanah dan pembangunan rumah. 
 Pela Gandong (Maluku): hubungan saudara antar satu daerah dan
daerah lain.

BIDANG PERTANIAN      
 Subak ( Bali ) : organisasi masyarakat adat yang mengelola irigasi
untuk sistem pertanian. 
 Dharma Tirta ( Jawa Tengah ), Mitracai ( Jawa Barat ), Tolai
(Sulawesi Tengah ), merupakan sistem pengairan ramah lingkungan.
 Pranoto Mongso ( Jawa ) :  waktu musim yang digunakan oleh para
petani untuk mengolah pertanian dengan cara perhitungan
kalender Jawa, dan melihat tanda - tanda alam. Oleh karena itu,
tanah mendapatkan waktu yang cukup untuk memproduksi unsur
hara yang seimbang, serta mencegah tanah kehilangan unsur yang
sama. 
 Terasering : membuat teras - teras sawah yang mengikuti kontur
gunung ( contour planting ). Dibeberapa wilayah, sistem pertanian
ini memiliki penamaan tersendiri, seperti Ngais Gunung ( Jawa
Barat ), Nyabuk Gunung ( Jawa Tengah ), Sengkedan ( Bali ).
 Masyarakat Unda Mau di Kalimantan Barat : penataan ruang
permukiman, klasifikasi hutan dan pemanfaatannya. Aturan adat
pada masyarakata Unda Mau mengharuskan untuk meminta izin
pada ketua adat dalam  membuka hutan ( rimbo ).  Dalam mengolah
lahan pertanian, masyarakat mengenal sistem Bera, yaitu lahan
pertanian yang telah terpakai dibiarkan hingga mencapai kurang
lebih 7 - 10 tahun. Hal ini bertujuan agar tanah menjadi subur
kembali. 
 Leuweung Kolot ( Leuweung Geledegan atau hutan tua) : hutan yang
masih lebat ditumbuhi berbagai jenis pohon dengan kerapatan
yang tinggi, dan masih banyak ditemukan binatang liar hidup di
dalamnya. Hutan ini masih ada di sekitar kawasan Taman Nasional
Gunung Halimun.
 Leuweung Titipan ( hutan keramat ) : Hutan ini tidak boleh
dimasuki apalagi dieksploitasi oleh siapa pun, kecuali ada izin dari
Abah Anom. Hutan ini akan dimasuki apabila Abah Anom menerima
wangsit atau ilapat dari nenek moyang yang memerlukan sesuatu
dari kawasan gunung tersebut. Kawasan hutan keramat adalah
kawasan Gunung Ciwitali dan Gunung Girang Cibareno.
 Leuweung Sampalan ( Leuweung bukaan ) : hutan yang dapat
digunakan dan dieksploitasi serta dibuka oleh warga Kasepuhan.
Warga boleh membuka ladang, kebun sawah, menggembala ternak,
mengambil kayu bakar dan hasil hutan lainnya yang ada. Termasuk
lahan bukaan adalah lahan di sekitar tempat pemukiman penduduk.
 Talun ( Jawa Barat ) : hutan buatan yang meurpakan bekas ladang
ataupun sawah yang sudah dipanen lalu ditanami dengan tanaman
musiman dan tanaman keras.   Tanaman buah-buahan sering
digunakan seperti duren, rambutan, atau tanaman lainnya seperti
petai, cengkeh, dan sebagainya.  

Anda mungkin juga menyukai