A. Introduksi
Tiap kebudayaaan yang hidup dalam suatu masyarakat, baik suatu komunitas desa, kota,
kelompok kekerabatan, atau lainnya, memiliki suatu corak yang khas, yang terutama tampak
oleh orang yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri. Salah satu aspek yang berkaitan erat
dengan kebudayaan adalah kearifan lokal. Kearifan lokal berhubungan secara spesifik dengan
budaya tertentu dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu. Dilansir dari buku
Manusia dalam Kebudayaan dan Masyarakat (2015) karya Eko A. Meinarno, Bambang
Widianto, dan Rizka Halida, kearifan lokal adalah cara dan praktik yang dikembangkan oleh
sekelompok masyarakat yang berasal dari pemahaman mendalam mereka akan lingkungan
setempat yang terbentuk dari tinggal di tempat tersebut secara turun-menurun. Kearifan lokal
muncul dari dalam masyarakat sendiri, disebarluaskan secara non-formal, dan dimiliki secara
Kearifan local masyarakat adat Maluku telah diterapkan jauh sebelum kedatangan bangsa
Eropa pada abad ke-16 untuk mencari dan menemukan daerah penghasil cengkeh dan pala.
Maluku yang dikenal dahulu dengan sebutan Hindia timur telah mengandalkan kearifan local
sebagai bagian teknik pertanian agar pala dan cengkeh dapat berproduksi dengan baik.
Mengingat pada masa itu ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian di dunia belum
menunjukan kemajuan yang berarti. Konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup juga
dilakukan bersama – sama dengan upaya budidaya tanaman, diantaranya dengan “ sasi cora-
cora” yang dilakukan untuk melindungi tanaman pertanian dari tindakan pengrusakan oleh
Masyarakat pulau – pulau Lease mengelola tanaman cengkeh dan pala dalam kawasan
pertanian yang disebut sebagai “ dusung cengkeh” untuk tanaman cengkeh dan “ dusung pala”
untuk tanaman pala. Demikian juga penamaan “ dusung” bagi tanaman lain sesuai dengan
jenis tanaman dominannya. Istilah dusung sering disamakan dengan DUSUN namun
Dusun adalah anak desa yang berada dalam suatu pemerintahan desa
Dusung/Dusong adalah lahan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok masyarakat
(marga) yang dikelola secara terpadu untuk tanaman semusim, tanaman tahunan,
Prof Hansz Joackhim Weidelt (1999) dari Gootingen University Germany dalam buku
Sylviculuture of Tropical Rain Forest menyatakan bahwa “Sistem dusung” di Maluku dapat
disamakan dengan “Agroforestry modern” sekarang ini, karena dalam suatu bentang lahan
terdapat tanaman kehutanan, tanaman pertanian, tanaman semusim, ternak ayam dan sapi.
Masyarakat secara tradisional membagi bentuk – bentuk dusung sesuai peruntukannya, yaitu :
1. Hak Kepemilikan
Dusung negeri
Dusung Raja
Dusung Pakter
Dusung Dati
Dusung pusaka
Dusung Perusah
Dusung Babaliang
Dusung Pengasihan
Dusung Atiting
Dusung Papeda
Dusung cengkeh
Dusung kelapa
Dusung Pala
Dusung Sagu
3. Umur tanaman
Dusung tua
Dusung muda
Dusung baru
4. Nama tempat
Dusung Hatuselamano
Dusung Apallo
Dusung Matilise
Pola pengelolaan dusung sesungguhnya telah sesuai dengan prinsip silvikultur modern.
Pembuatan dusung dimulai dengan cara mencari dan menentukan kawasan hutan yang sesuai
dengan keinginan petani.Apabila areal tersebut berada dalam areal milik hak petuanannya,
maka petani tinggal melaksanakan kegiatannya, tetapi kalau areal tersebut berada pada dusung
negeri maka petani harus mengajukan permohonan kepada Raja melalui kepala soa, saniri
Setelah mendapatkan persetujuan, maka petani akan menghubungi beberapa kerabat untuk
sama – sama menebang pohon dengan system masohi yaitu saling membantu mengerjakan
suatu pekerjaan besar dimana pemilik menanggung semua konsumsi yang diperlukan. Dalam
kegiatan ini tidak ada upah bagi pekerja sebab setiap pekerja akan mendapat perlakuan yang
Penebangan tidak dilakukan untuk semua pohon, tetapi pohon – pohon yang bernilai ekonomis
dan pohon pelindung tetap dipertahankan. Kawasan hutan yang sudah terbuka di tata dengan
cara membersihkan dari batang pohon, dahn dan ranting sebelum diakukan penanaman.
Penanaman biasanya diawali dengan tanaman semusim (palawija) untuk memnuhi kebutuhan
hidup mereka, sebab kesuburan tanah asih tinggi. Sebelum penanaman, pembersihan laha
dapat dilakukandengan 2 cara yaitubakar atau tidak bakar. Sistem bakar dapat dilakukan
apabila kesuburan tanah rendah. Sebaliknya jika kesuburan tanah tinggi, tidak dilakukan
pembakaran. Masyarakat memiliki kearifan dalam menentukan tingkat kesuburan tanah dengan
cara nanaku, yaitu menggunakan jenis tumbuhan indicator. Cara ini juga digunakan untuk
menentukan kesesuain tanah bagi jenis tanaman yang akan ditanam. Para ahli tanah harus
mengambil sampel tanah dan dianalisis di laboratorium kemudian dilakukan pengkajian dengan
membutuhkan biaya dan tim ahli, tetapi masyarakat dengan dengan pendidikan sekolah rakyat
Penanaman tanaman semusim diakukan 3-5 tahun, apabila tingkat produktivitas sudah
berkurang, maka lahan ditinggalkan tanpa perlakuan apapun dan dikenal sebagai aong. Masa
ini digunakan untuk pengembalian kesuburan tanah secara alami sekitar 5-10 tahun baru
Saat petani telah berpikir produktif, maka ewang dibuka dan langsung ditanami cengkeh dan
pala baru setelahnya diselingi dengan tanaman semusim serta tanaman buah-buahan dengan
tetap memelihara pohon kayu. Selain itu masyarakat juga membuat walang dalam dusung dan
memelihara berbagai jenis ternak seperti sapi, babi, ayam, kambing. KOmbinasi keragaman
jenis sumber daya dalam suatu dusung ini yang dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan
sebagai agro-sylvo-forestry
Tanda sasi cora-cora dibuat dengan cara membuat replica cora-cora menggunakan daun
tumbak kelapa, kemudian semua hasil hutan dan pertanian serta komoditi lainnya yang akan
disasi ditempatkan didalamnya, diatas para-para untuk mengetahui apa saja yang akan disasi.
Hasil penelitian Manuel Kaya (1999) dikatakan bahwa pada masa lalu semua sasi di Maluku
disebut sebagai sasi cora-cora tapi sekarang sebagian besar telah menyebutnya dengan sasi
besar. Hanya ada tiga negeri yang masih mengguakan tanda sasi cora-cora yaitu negeri
ihamahu, Noloth dan Ulath di pulau Saparua. Belum diketahui dengan jelas mengapa
Sasi cora-cora berlaku untuk seuruh negeri yaitu dari puncak gunung tertiggi sampai batas
lautan biru yang menjadi petuanan suatu negeri. Bagi beberapa negeri ada yang menerapkan
sasi besar tetapi hanya untuk daerah hutan, sedangkan dalam negeri tidak berlaku. Misalnya
sasi kelapa haya berlaku untuk kelapa di kebun dan hutan, sedangkan pohon kelapa yang
E. Tampa Karamat
Tampa keramat adalah tempat yang dilindungi dan tidak boleh dilakukan kegiatan yang
merusak. Bahkan ada lokasi yang sama sekali tidak boleh dimasuki oleh orang lain selain
suku yang memilikinya. Tempat Keramat ini banyak dijumpai di Pulau Buru baik di Kabupaten
Buru maupun Buru Selatan. Pulau Buru memiliki ekosistem yang agak berbeda dengan pulau
– pulau lainnya di Maluku karena di pulau ini terdapat dua ekosistem hutan yang cukup
berbeda yaitu hutan hujan tropis (tropical rain forest) yang didominasi oleh meranti (shorea
solenica) dan hutan kerangas yang didominasi oleh kayu putih (melaleuca lucadendron).
membendung pengrusakan hutan yagn dilakukan dengan penebangankayu ogs bagi industri
perkayuan. Gunung kupalat mada dan gunung kukusang adalah bebrapa tempat keramat yang