Anda di halaman 1dari 10

BUDAYA MANGGARAI DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI DAN

PELESTARIAN LINGKUNGAN
PENDAHULUAN

Wilayah kabupaten Manggarai merupakan wilayah pegunungan yang sebagian besar wilayah bagian
tengahnya berbatasan dengan kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Ruteng. TWA Ruteng
berada di ketinggian antara 500 2400 meter dpl terletak di Kabupaten Manggarai Pulau Flores.
Sebagian besar wilayahnya berbukit dengan beberapa gunung yang dipunyainya yaitu Gunung
Ranaka (2.200 m), Nambu (1.957), dan Munde (1.448 m). Pada bagian tengah TWA Ruteng dapat
ditemui Danau Ranamese, tempat rekreasi lokal masyarakat Ruteng.
Curah hujan di sekitar TWA Ruteng, utamanya sekitar Ranaka sangat tinggi. Wilayah ini setiap
tahunnya memiliki 7 9 bulan musim hari hujan atau berkisar 2 3 bulan musim kering.
Di sekitar wilayah TWA Ruteng terdapat 58 desa di dalam 9 kecamatan yang merupakan daerah
penyangga. Penduduk sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Masyarakat sekitar biasa
bertanam padi sawah, padi ladang dan hasil kebun utamanya kopi. Mereka juga memanfaatkan hasil
hutan berupa kayu bakar dan juga kayu bangunan, sudah sejak lama sebagai kebutuhan harian
mereka.
Masyarakat sekitar hutan TWA Ruteng adalah Masyarakat suku Manggarai dengan bahasa daerah
mereka yaitu bahasa Manggarai. Walaupun masyarakat sekitar TWA Ruteng mengakui sebagai satu
budaya namun bahasa mereka terbagi menjadi beberapa bahasa yaitu bahasa Manggarai Ruteng,
Bahasa Manus, Rembong, Rongga Koe. Mereka semua mengaku adalah orang Manggarai dan apabila
dua orang Manggarai dari bahasa yang berbeda bertemu maka bahasa yang dipakai adalah bahasa
manggarai Ruteng yang umum dipakai dan dikuasai oleh semua orang dalam logat atau dialek yang
berbeda.
Budaya masyarakat Manggarai mengenai konservasi dan pelestarian lingkungan telah lama dilakukan
oleh masyarakat sekitar hutan TWA Ruteng. Masyarakat adat umumnya mengerti mengenai
pentingnya memelihara pohon di sekitar mata air, mereka juga memiliki hutan larangan disebut
pong. Di pong ini pemanfaatan kayu untuk bangunan sama sekali tidak dilakukan sehingga hutan
larangan ini masih terjaga sampai saat ini. Penggunaan obat-obat tradisional yang diambil dari hutan
masih dilakukan hingga terutama di bagian wilayah terpencil yang jauh dari jangkauan medis.
Pemanfaatan kayu untuk rumah adat dilakukan melalui prosedur dan upacara yang rumit yang
membutuhkan biaya besar sehingga pemanfaatan kayu dapat terkontrol dengan baik. Pemanfaatan
dan pengelolaan lahan yang unik dan khas masih dilakukan hingga saat ini termasuk juga system
bera, membiarkan lahan untuk tidak dikelola dalam waktu tertentu.
Budaya yang dilakukan jauh sebelum ditetapkannya hutan lindung dan konservasi di wilayah ini
sebagian masih dilakukan. Budaya ini perlu untuk dipahami, bukannya diabaikan mengingat peran
yang nyata dari pemerintah serta diakomodirnya budaya setempat mungkin merupakan suatu upaya
yang baik dalam rangka menanamkan rasa tanggung jawab bersama antara pemerintah dan
masyarakat dalam hal konservasi dan pelestarian lingkungan. Hal ini dirasakan perlu mengingat
luasnya hutan yang menjadi tanggung jawab pengelolaan pemerintah tidaklah mungkin untuk
dipagar betis dalam artian selalu dijaga tanpa peran dari masyarakat lokal.
Melalui tulisan ini penulis berharap dapat memberikan informasi mengenai budaya tradisional
masyarakat Manggarai mengenai pemanfaatan hutan dan lahan di sekitarnya serta interaksi
masyarakat sekitar hutan terhadap hutan dan hasil-hasilnya yang mungkin berguna bagi pengelolaan
hutan lindung dan konervasi di wilayah Kabupaten Manggarai.
METODE
Wilayah studi dalam penulisan makalah ini adalah di desa-desa sekitar kawasan Taman Wisata Alam
Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores. (Gambar 1). Data sosial ekonomi dan budaya yang
dikumpulkan banyak didasarkan atas pengalaman penulis selama bekerja di wilayah Manggarai sejak
bulan Juli tahun 1999 sampai dengan Mei 2006 serta studi pustaka. Sumber informasi banyak berasal
dari wawancara dengan tokoh-tokoh atau fungsionaris adat mengenai tata cara tradisi yang
berhubungan dengan lingkungan sedangkan kondisi wilayah hutan dan sekitarnya diperoleh dari
pengalaman survey dan juga wawancara dengan masyarakat sekitar hutan.

HASIL DAN PEMBAHASAN


1.
Asal Muasal Orang Manggarai
Menurut Hadiwiyono (1985) suku di bagian timur nusa tenggara merupakan bagian dari suku-suku di
Indonesia bagian timur selain wilayah lainnya yaitu kepulauan sebelah timur pulau Lombok dan
kepulauan Maluku. Bagian ini merupakan suatu daerah peralihan dari Indonesia dan Melanesia dan
merupakan percampuran dari bermacam-macam unsur budaya dari daerah-daerah dengan berbagai
tingkatan di berbagai daerah. Percampuran ini juga termasuk ras yaitu ras Melanesia dan Weddoid.
Sedangkan penduduk pulau Flores secara umum dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok suku
yaitu:
- Flores barat yang terdiri dari suku Manggarai dan Riung
- Flores barat tengah yang terdiri dari suku Ngada atau Nada atau Ngadha
- Flores timur yaitu selain penduduk flores diatas ditambah dengan penduduk dari pulau Solor dan
Alor.
Menurut mitologi asal-usul manusia orang Manggarai, kehidupan dipahami sebagai hasil perkawinan
antara Ame Ema Eta (Bapa di atas/langit) berupa sinar matahari dan Ine Ende Wa (Ibu di
bawah/bumi). Sinar matahari memancar ke bumi, menimpa rumpun bambu di sebuah gunung dan
dua orang manusia, laki-laki dan perempuan muncul melalui rumpun bambu tersebut. Mereka
mengusahakan tanah dan tanah memberikan hasil setelah mereka mengorbankan anaknya dengan
cara mencincang dagingnya dan menanamnya di kebun dan kemudian darahnya disiramkan ke
seluruh kebun. Daging yang dicincang ini dipercaya kemudian yang mejadi hasil kebun mereka yang
tumbuh subur karena disiram oleh darah. Seturut dengan pemahaman diatas maka apabila kita
pelajari pemahaman ini akan terkandung dua makna, yaitu: kesatuan antara alam dan manusia dan
pengorbanan darah. (Raho, 2005)
Kesatuan antara alam dan manusia secara implisit terlihat dari kisah yang menyatakan bahwa
manusia berasal dari sinar matahari, bumi dan rumpun bambu. Hasil pertanian (padi, jagung, kopi,
kakao, kemiri, cengkeh) berasal dari daging anak manusia yang dicincang. Jadi menurut budaya
orang Manggarai tumbuh-tumbuhan dan manusia itu bersaudara. Dengan demikian alam tidak
dipandang sebagai sesuatu yang harus ditaklukkan.
Arti kedua yaitu pengorbanan darah dipahami bahwa kemakmuran dan kesejahteraan hidup hanya
bisa diperoleh melalui unsur darah. Itulah sebabnya dalam setiap ritual adat Manggarai selalu
melibatkan pengorbanan darah binatang.
Hampir dalam setiap ritus keagamaan hewan terutama ayam dan kerbau selalu dilibatkan sebagai
sesuatu yang penting. Kedua hewan tersebut menjadi sarana kando ndekok (penebusan dosa) dan
rekonsiliasi manusia dengan Allah Sang Pencipta. Menurut cerita adat Manggarai, ayam diciptakan
untuk menebus dosa manusia dan kerbau untuk membentengi agar manusia yang ditebus oleh ayam
tidak jatuh lagi ke dalam kuasa kejahatan. (Sujayanto, 2001)
Pusat Budaya Manggarai
Rumah Raja Manggarai di kampung Todo yang terletak 32 kilometer sebelah barat daya kota Ruteng
Flores merupakan bekas kebesaran Kerajaan Manggarai yang dibangun pada abad 17. Orang
Manggarai menyebut bangunan ini dengan Niang Mbowang Todo. Rumah tersebut merupakan
simbol peradaban suku Manggarai yang masih bertahan hingga saat ini. Meskipun kondisinya saat ini
menyedihkan namun masih tetap difungsikan sebagai prosesi liturgi yang dipercaya untuk meminta
bantuan gaib dari para leluhur. Para keturunan raja pada waktu tertentu masih bertemu di tempat ini
untuk membicarakan masalah yang berkaitan dengan kelahiran, perkawinan, sengketa, pelanggaran,
pertengkaran, perceraian, perdamaian, pembagian warisan sampai upacara kematian. Di bawah
pimpinan kepala suku yang dituakan semua permasalahan secara damai dibicarakan bersama.
Panggilan untuk seluruh warga berkomunikasi diawali dengan pemukulan bedug yang disebut mbaru
tembong. Tempat ini juga sebagai meditasi untuk menghubungkan antara dunia manusia dan alam
lainnya. Rumah selalu terbuka sebagai tanda mengundang tamu untuk masuk sambil berseru mai
ite dan mai hang yang berarti datanglah dan makanlah. Semua komponen rumah memiliki makna
filosofi yang tinggi dan masih relevan untuk pembinaan gaya dan cara hidup masa kini. (Suptandar,
2004)

Rumah adat ini hanyalah salah satu contoh dari ratusan rumah adat lainnya yang sampai saat ini
masih difungsikan oleh masyarakat Manggarai. Dari pengalaman penulis selama berada di
Manggarai, hampir segala sesuatu yang berhubungan dengan adat selalu dimulai dari rumah adat.
Dengan demikian keberadaan adat Manggarai hingga saat ini masih cukup kuat berada di wilayah
Manggarai.
Kondisi rumah-rumah adat ini saat ini memang cukup memprihatinkan dan menurut penulis
diperlukan upaya perhatian pemerintah ataupun lembaga-lembaga konservasi lainnya untuk renovasi
atau pembangunan kembali, untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat setempat. Perhatian
dalam hal bantuan rumah adat ini sangat perlu apabila menginginkan peran fungsionaris adat dalam
konservasi mengingat sifat orang manggarai yang masih kental terhadap adatnya dan masih
difungsikannya rumah adat.
Struktur Sosial Tradisional
Masyarakat Manggarai masih memiliki struktur sosial tradisional yang khas yang masih dijalankan
dalam kehidupan sehari-hari hingga saat ini. Struktur ini dapat dibedakan atas :
1. Beo atau Golo
Beo atau golo adalah sama dengan desa dalam sistem administrasi modern. Di dalam beo terdapat
beberapa kelompok suku, di dalam suku terdapat satu atau dua garis keturunan (panga)
2. Kepimimpinan Adat
Wilayah beo dipimpin oleh para ketua adat. Yang dapat disebut dengan para ketua adat adalah:
a. Tua gendang, pemimpin atas wilayah kekuasaan satu rumah gendang.
b. Tua golo (kepala beo) berperan dalam kepemimpinan beo dan juga penentu penyelesaian atas
berbagai permasalahan di beo.
c. Tua teno berperan dalam pembagian tanah dan penentu penyelesaian permasalahan yang
utamanya menyangkut masalah konflik batas tanah.
d. Tua panga atau wau, panga artinya suku jadi tua panga berarti kepala suku dalam satu keturunan.
Sistem Pemukiman Dan Budidaya
Sistem pemukiman sebagian masyarakatnya seperti layaknya masyarakat tradisional Manggarai,
berkelompok dan melingkar dan biasanya memilih puncak sebuah bukit sebagai pusat kampungnya.
Di pusat kampung yang selalu ditanam pohon beringin (Ficus benyamina) ini merupakan tempat
melaksanakan berbagai prosesi adat yang dilaksanakan di rumah pokok (rumah adat) yang
dinamakan rumah gendang. Dinamakan rumah gendang karena di tiang utamanya digantungkan
gendang 8 (delapan) buah pertanda arah angin yang dibunyikan saat upacara adat atau pengumpulan
massa.
Sistem pemukiman ini masih ada dan dilakukan bagi tiap-tiap suku keturunan di Manggarai
walaupun sebagian besar penduduk tidak berada di wilayah pemukiman ini, hanya para tokoh adat
dan sebagian keturunannya. Sebagian besar penduduknya tinggal di rumah-rumah modern yang
dibangun di sepanjang jalan dengan kebun di bagian samping atau belakang rumahnya.
Masyarakat umumnya hidup dari hasil kopi dan hasil kebun di belakang rumah. Sebagian dari mereka
hidup dengan bertani sawah bertanam padi, tadah hujan dan juga irigasi semi teknis.
Cara hidup subsisten masih terlihat dari jenis-jenis tanaman ynag ditanam terutama makanan pokok
tidak untuk dijual tetapi hanya cukup untuk kebutuhan makanan keluarga. Sedangkan untuk
kebutuhan uang didapatkan dari hasil tanaman perkebunan seperti kopi, cengkeh, vanili, kemiri,
coklat, jambu mete dan merica. Uang yang diperoleh dipakai untuk memenuhi kebutuhan sekolah
anak-anaknya.
Anak-anak meneruskan sekolah hingga ke perguruan tinggi di luar pulau Flores, kecuali anak bungsu
yang biasanya hanya sekedar bisa membaca dan menulis yang diharapkan meneruskan usaha
pertanian orang tuanya dan juga memelihara orang tua di masa tuanya.
Berbagai jenis tanaman yang diusahakan oleh masyarakat sekitar TWA Ruteng adalah:

1. Hasil Kebun
Kopi Arabica (Coffea arabica)
Kopi Robusta (Coffea robusta)
Kayu Manis (Cinnamomum burmanii)
Vanili (Vanilla planifolia)
Cengkeh (Eugenia aromatica)
Kemiri (Aleurites molucana)
Coklat (Theobroma cacao)
Merica (Piper betle)
Jambu mede (Anacardium occidentale)
Aren (Areca Catecu)
Pandan (Pandanus tectorius)
2. Memberikan naungan
Erythrina orientalis (Dadap)
Sengon (Albizia falcataria)
Kaliandra (Calliandra calothyrsus)
Rewak (Bischoffia sp)
Ara (Ficus variegate)
Redong (Trema orientalis)
Tangkal Bintenu (Melochia umbellata)
Gringging (Melia azedarach)
Rebak (Macaranga tanarius)
Ampupu (Eucalyptus urophyla)
3. Makanan
Padi (Oriza sativa)
(Family crop) Jagung (Zea mays)
Ubi kayu (Manihot esculenta)
Keladi (Colocasia)
Ubi jalar (Ipomoea batatas)
Kentang (Solanum tuberosum)
Uwi (Dioscorea alata)
Jahe (Zingiber sp)
4. Buah buahan
Pisang (Musa paradisiaca)
Advokat (Parsea americana)
Jeruk (Citrus sp)
Mangga (Mangifera indica)
Nangka (Artocarpus integra)
Jambu biji (Psidium guajava)
Nenas (Ananas comosus)
Pepaya (Carica papaya)
5. Makanan babi
Colocasia/Xanthosoma(Keladi/esculentum)
Manihot utilisima (Ubi kayu/esculentum)
Ubi jalar (Ipomoea batatas)
Pisang (Musa paradisiacal)
Sekam padi (Oryza sativa
Sumber: Data Primer, 2005.
5. Hutan Larangan dan Pemanfaatan Tradisional Hutan
Di desa-desa ada hutan adat atau yang disebut juga dengan pong yang dianggap keramat sehingga
tidak boleh dimasuki secara sembarangan. Memasuki pong secara sembarangan berarti bisa terkena
bala apalagi menebang pohon khususnya pohon langke (Ficus spp). Beberapa pong masih terjaga
hingga saat ini misalnya pong Inem Mbele dan pong Mano. Pembentukan pong ini selain karena
merupakan tanah adat milik suatu suku juga merupakan sumber mata air untuk mencukupi
kebutuhan air desa.

Pong memang relatif masih terjaga tetapi di wilayah hutan lain yaitu hutan konservasi dan hutan
lindung merupakan sumber untuk mendapatkan kayu bangunan, kayu api dan obat tradisional bagi
masyarakat desa. Bermacam-macam jenis kayu dipakai untuk konstruksi rumah. (Data jenis-jenis
kayu yang digunakan pada lampiran 2). Selain kayu masyarakat juga memanfaatkan bamboo untuk
rumah dan juga pagar rumah.
Kebutuhan kayu bakar setiap hari sebagian diambil dari hutan. Pengambilan kayu bakar ini semakin
hari semakin meningkat dengan kenaikan harga minyak tanah dan permintaan masyarakat untuk
membeli kayu bakar.
Obat-obatan tradisional masih sering digunakan. Biasanya dibuat dari daun, kulit kayu dan akarakaran tanaman hutan. Di kebanyakan tempat penggunaan obat tradisional merupakan pengetahuan
yang umum diketahui sebagian besar masyarakatnya. Namun sayang obat-obatan tradisional ini tidak
diusahakan untuk dibudidayakan di rumah sebagai obat keluarga. (Data jenis-jenis tanaman obat
pada lampiran 3)
Pembentukan Wilayah Dan Pengelolaan Lahan
Orang Manggarai telah memiliki struktur pemerintahan tersendiri disamping yang memiliki
kemiripan dengan sistem administrasi modern saat ini. Kerajaan Manggarai luasnya adalah sama
dengan dua kabupaten Manggarai dan Manggarai barat saat ini. Kecamatan disebut juga dengan
Kedaluan. Nama-nama Kedaluan ini masih dipakai sebagai nama kecamatan saat ini seperti misalnya
Kedaluan Ruteng, Satar mese, Poco Leok, Cibal. Sedangkan bagian lebih kecil dari kedaluan yang
mirip dengan desa adalah gelaran. Gelaran ini juga merupakan pusat kampung orang Manggarai.
Pembangunan rumah adat juga melalui prosesi upacara adat. Setelah dilakukan pemilihan pohon
yang akan ditebang untuk siri bongkok(tiang induk), akan dilakukan acara adat dengan membawa
satu ekor babi ke pohon tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk meminang pohon menjadi tiang induk.
Bila terjadi kerusakan rumah adat maka untuk merehabnya juga diadakan acara adat yang
dimaksudkan untuk memberitahu leluhur yang dahulunya membangun rumah tersebut. Gendang
kumba, satu rumah adat di kota Ruteng melakukan rehab kecil pada tahun 2001 dan rehab besar pada
tahun 2004.
Setelah pembangunan rumah adat dan pembagian lahan diadakan acara syukuran adat yang disebut
penti. Acara penti inilah yang saat ini diperingati oleh masyarakat Manggarai setiap tahun. Biasanya
dilakukan setiap antara bulan Juli sampai Agustus, menunggu setelah musim panen. Panen pada
bulan Oktober tidak diadakan penti. Kemudian mereka bersama-sama pergi ke pusat tanah adat
mempersembahkan satu ekor ayam di tempat itu, satu ekor ayam juga dipersembahkan ke mata air
yang tidak pernah kering yang disebut juga wae cemok, prosesi ke mata air itu disebut barong wae.
Pembagian lahan garapan tergolong cukup unik, yaitu dengan membentuk jaring laba-laba. Hal ini
disebabkan cara pembagian tanah yang khas, yaitu:

Tua Teno memberikan daftar catatannya kepada tua golo mengenai jumlah warga yang akan
menerima bagian tanah. Kemudian mereka secara bersama-sama pergi ke pusat tanah lingko

Di pusat lingko mereka menancapkan kayu yang disebut dengan kayu teno (Mellochia
umbellata). Kayu ini merupakan pertanda dimulainya pengukuran untuk pembagian tanah.

Tua teno menempelkan ibu jarinya di pusat tanah, kemudian ditarik garis lurus membentuk
segi tiga dari ibu jari tersebut sebanyak 2 kali, satu bagian untuk dia dan satu bagian lagi untuk tua
golo. Bagian ibu jari ini disebut dengan Moso Rembo.

Kemudian tua teno kembali menempelkan jari di pusat lingko yang kali ini adalah jari
telunjuk, kemudian ditarik garis lurus membentuk segi tiga. Bagian ini diperuntukkan tua panga.
Bagian telunjuk ini disebut dengan Moso Koe.

Kali berikutnya adalah jari tengah yang dimiringkan, bagian ini disebut juga Moso Iret. Iret
artinya belah karena jari tengah dimiringkan seperti membelah sesuatu, diperuntukkan anak-anak
dari tua teno dan juga bagi anak-anak tua golo.

Bagian paling akhir adalah jari manis yang dimiringkan (Moso Iret), yang diperuntukkan bagi
keturunan para pendatang.
Satu bagian tanah seperti irisan kue pissa ini disebut dengan lodok. Sehingga besarnya lodok
ditentukan oleh garis keturunan. Untuk tanda batas lodok biasanya ditanami dengan tanaman nao
(Cordyline terminalis). Sistem pembagian lahan yang unik ini konon katanya untuk mengatasi
banyaknya gangguan babi hutan yang merusak lahan, karena dengan sistem ini permukaan lahan
tertutup sehingga menyulitkan babi hutan untuk masuk.
Rumah Gendang dan lingko adalah bentuk dari ikatan sosial tradisional yang masih kuat untuk orang
Manggarai. Tua golo dan juga Tua gendang mempunyai hak sepenuhnya untuk tinggal di dalam
rumah gendang.
Mereka memiliki mata pencaharian pokok bercocok tanam di ladang pada tanah pertanian yang
diwariskan oleh leluhur yang dikenal dengan nama lingko yaitu tanah pertanian yang dari waktu ke
waktu terpecah ke dalam bagian-bagian yang semakin kecil menjadi hak milik atau untuk dimiliki
keluarga-keluarga baru yang jumlahnyapun terus bertambah dari waktu ke waktu. Karena itu lingko
disebut pula tanah adat milik keluarga.
Dalam bentuk penguasaan yang lebih luas tanah-tanah di Manggarai secara tradisional dikuasai
keluarga-keluarga besar di dalam klan/suku; dengan demikian di dalam sistem penguasaan tanah
yang semakin luas itu dikenal tanah milik atau lingko milik klan/suku.
Lingko adalah tanah pertanian yang sudah diakui hak miliknya baik secara komunal maupun secara
perorangan. Lingko juga dikenal sebagai tanah milik dari suatu kampung atau dusun. Lebih dari itu
lingko adalah bentuk ikatan garis keturunan yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Manggarai
hingga sekarang, bahkan semakin mengental seiring dengan perkembangan dibidang ekonomi, yang
turut berpengaruh kepada meningkatnya nilai ekonomi tanah.
Bentuk ikatan garis keturunan yang lebih tua adalah adanya ikatan emosi akan penguasaan lahan
pertanian dan tempat tinggal yang sudah lama ditinggalkan, yang dikenal dengan bangka. Bangka
adalah tempat-tempat yang pada masa lalu pernah menjadi tempat tinggal dan tempat berladang
nenek moyang. Tempat-tempat itu oleh generasi berikutnya dikenal sebagai bangka atau kampung
lama. Tempat-tempat itu ditinggalkan karena alasan-alasan tertentu, seperti:
- bencana alam tanah longsor,
- wilayah datar yang terlalu sempit,
- sulit berkomunikasi dengan masyarakat luar.
Tempat-tempat yang ditinggal pergi itu kemudian menghutan, dan sudah masuk dalam kawasankawasan lindung. Bangka sering menjadi sumber konflik antara pihak pemerintah dan masyarakat
adat, yang biasanya dimotori oleh para sarjana desa.
Semakin sempitnya lahan garapan memaksa masyarakat untuk kembali mengerjakan Tobok. Tobok
adalah tanah kosong, kritis dan biasanya terletak di punggung bukit diantara dua sungai kecil yang
sempit. Tobok tidak dimiliki oleh siapapun, tidak ada tua teno dan boleh dikerjakan oleh siapapun.
Tanah ini disebut pula tanah yang tidak terpakai dan terbuang karena tidak subur. Tobok bukan
tanah negara, bukan milik klan/suku tertentu, tetapi menjadi tanah bebas di luar tanah negara dan
tidak diatur oleh tua teno.
Lingko tidak hanya bermakna lurus sebagai penguasaan atas tanah, sebagai sumber kehidupan dan
tempat beranak pinak. Lingko dipertahankan dan diusahakan sebagai bagian kehidupan, menjadikan
kehidupan semakin makmur dan sejahtera, disamping sebagai penentu derajat sosial dari masing-

masing orang. Semakin banyak dan luas penguasaan atas lahan usaha tani potensial, semakin tinggi
derajat sosialnya.
Di dalam sistem budaya Manggarai tidak ditemukan atau diakui adanya istilah hutan. Hal ini terkait
dengan sistem kepemilikan lahan yaitu hutan bukan lingko dan di dalam hutan tidak ada lingko.
Hutan adalah kawasan yang tidak bertuan yang sejak turun temurun bebas untuk dirambah untuk
mendapatkan lahan pertanian, dan kayu-kayu berkualitas sebagai bahan bagunan rumah gendang.
Pengambilan kayu-kayu berkualitas untuk bahan bangunan rumah pada masa lalu jumlahnya
terbatas karena disamping kepadatan penduduk yang rendah, pola tinggal masih dalam satu rumah
besar, yang dikenal dengan rumah gendang, alat-alat untuk menebang pohonpun hanya berupa
parang, kampak dan gergaji tangan.
Saat ini pengambilan kayu dari dalam kawasan hutan terus meningkat seiring dengan pertambahan
penduduk, pergeseran pola hidup dari keluarga besar (dalam satu rumah adat) ke keluarga kecil, dan
penggunaan teknologi gergaji mesin memungkinkan orang dapat dengan mudah menebang pohonpohon besar di dalam hutan untuk mendapatkan balok dan papan.
Pengambilan kayu di dalam hutan untuk membuat rumah gendang dilakukan selektif dan hati-hati
yang disertai tata aturan upacara adat, yang konsekuensinya adalah membutuhkan waktu lama dan
banyak hewan korban pada setiap tahapan upacara. Hanya keluarga mampu atau keluarga bangsawan
yang bisa membuat rumah gendang. Keluarga-keluarga yang biasa atau masyarakat umumnya,
membuat rumah cukup dengan memanfaatkan kayu-kayu yang tumbuh di ladang dan pekarangan
rumah.
Kayu yang digunakan untuk membuat rumah gendang biasanya adalah dari jenis kayu lumu. Konon,
kayu ini dulu mudah untuk ditemukan dan cukup sulit untuk ditebang karena tajuknya yang tinggi
dan besar. Penebangan dilakukan secara bersama-sama di bawah pimpinan tokoh adat; dan
dilakukan oleh orang yang terampil dan berpengalaman. Penebanganpun baru akan dilakukan setelah
diselenggarakannya upacara adat. Upacara adat dimaksud, serta nilai dan norma yang terkandung di
dalamnya sulit untuk ditelusuri, karena sudah jarang dilakukan.
Di dalam kawasan TWA Ruteng, jenis kayu ini penyebarannya merata hampir di semua wilayah
hutan, tidak termasuk jenis dominan, baik pada tingkat pohon, tiang, pancang, maupun anakan. Jenis
ini terancam punah, sebagai akibat dari pengambilan yang dilakukan terus-menerus. Pengambilan
kayu di dalam hutan untuk dijual tidak lagi tunduk di bawah aturan-aturan adat istiadat yang amat
mengikat, seperti pada masa lalu.
Masyarakat desa di sekitar kawasan TWA Ruteng adalah masyarakat petani ladang berpindah, selalu
merambah hutan untuk mendapatkan lahan pertanian untuk usaha tani tanaman pangan, dan
selanjutnya dikonversikan dengan tanaman umur panjang seperti kopi dan cengkeh.
Kehidupan Sosial
1. Kepemilikan Tanah Adat
Tanah Adat (ulayat) dibagi menjadi tiga macam yaitu Lingko Rame, Lingko Bon dan neol. Lingko
rame adalah tanah adat yang berbentuk sarang laba-laba yang memiliki tempat pemujaan atau
mempersembahkan sesaji pada pusat atau di tengah-tengahnya. Lingko Bon bentuknya sama dengan
lingko rame, hanya tidak memiliki tempat pemujaan pada pusat tanahnya. Sedangkan lingko neol
tidak berbentuk sarang laba-laba.
Di dalam hukum tradisional wanita tidak dibenarkan mewarisi tanah lingko. Petak tanah (moso) di
dalam lingko rame hanya untuk diwariskan kepada anak laki-lakinya dan jika tidak punya anak lakilaki diberikan kepada kakak laki-laki dan anak laki-laki dari saudara laki-laki.
Di satu beo terdapat satu rumah adat yang disebut rumah gendang karena memiliki gendang yang
berfungsi untuk kegiatan adat. Pusat tanah (teno) berada di pusat rumah gendang dan pusat lingko.
Kedua pusat tersebut seperti rumah yang menyimbulkan suatu persatuan dari suku dan kampung
tradisional.
2. Upacara adat

Walaupun pengetahuan tentang kepercayaan setempat sudah berkurang keterikatan dengan nenek
moyangnya masih kuat. Dalam kepercayaan setempat nenek moyang dianggap sebagai kekuatan yang
membuat subur tanah pertanian.
3. Ikatan Perkawinan
Umumnya perkawinan mengikuti aturan adat dan disahkan oleh gereja. Biasanya ada mahar yang
disebut belis berupa kerbau, kuda dan juga uang tunai.
4. Pembagian Pekerjaan Dalam Rumah Tangga
Pria mempunyai tugas bekerja di kebun, mengumpulkan kayu bakar, membuat pagar, membangun
rumah, memelihara kuda dan kerbau, menjadi buruh bangunan pada proyek pembangunan jalan,
membawa hasil pertanian ke pasar atau melakukan transaksi dengan pembeli dan mengumpulkan
kayu api dari hutan
Wanita mempunyai tugas memasak, mengurus anak, memberi makan ternak, mengambil air,
mencuci pakaian dan bekerja di ladang, dan mencari kayu api dari ladang setiap hari. Anak-anak
mempunyai tugas membantu mengambil air, kayu api dan memberi makan ternak.
Pengaruh Perubahan
Masyarakat Manggarai terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangannya. Beberapa
perubahan tersebut meliputi:
1. Kepemimpinan
Pada umumnya di wilayah pedesaan terdapat dua macam pemerintahan yaitu desa dan beo. Di satu
desa terdapat beberapa beo. Kepala desa mewakili administrasi desa dan tua golo yang mewakili
organisasi tradisional. Para pemimpin tradisional biasanya tidak bersekolah sehingga tidak dapat
membuat laporan sebagai layaknya seorang kepala desa namun dalam penyelesaian suatu
permasalahan tua golo dan tua teno lebih berperan dari pada seorang kepala desa sehingga aparat
desa hanya berperan sebagai penulis laporan.
2. Pengelolaan Lingko
Lingko dahulunya ditanami tanaman budidaya tradisional yang tumbuh di ladang kering yaitu
jagung, padi, umbi-umbian seperti ketela dan ubi. Dengan adanya sistem pengairan, lingko mulai
berubah menjadi sawah terutama di daerah dengan sumber air besar atau dekat sungai. Beberapa
tempat lingko juga ditanami kopi, vanili dan tanaman perdagangan lainnya.
Perubahan lainnya adalah pada sistem rotasi atau sistem bera. Lingko tidak lagi diberakan selama 10
40 tahun untuk mengembalikan kesuburan tanahnya seperti yang dipraktekkan secara tradisional
dahulu melainkan hanya selama 3 5 tahun. Pemendekan masa bera ini berhubungan dengan makin
sempitnya kesediaan lahan pertanian.
3. Sistem Perkawinan
Perubahan karena masuknya Gereja Katolik dapat dilihat dari cara perkawinan. Perkawinan secara
adat harus dilanjutkan dengan pemberkatan oleh Gereja. Gereja melarang untuk hidup bersama
pasangan yang telah terikat adat tetapi belum mendapatkan pengesahan oleh gereja.
Sebelum adanya kendaraan bermotor orang melakukan perjalanan jauh dengan cara berjalan kaki
atau dengan menaiki kuda untuk pergi ke kota, ke desa atau ke pasar. Hal ini mempengaruhi juga pola
perkawinan, orang setempat mulai kawin dengan orang di luar desa.
4. Pemanfaatan Sumber Daya Hutan
Budaya tradisional konservasi yang umumnya dipengaruhi oleh sistem kepercayaan setempat dan
alam lingkungan semakin lama sudah semakin ditinggalkan. Meskipun generasi tua masih mengikuti
adat tradisional, tidaklah demikian dengan generasi mudanya. Sesuatu yang dahulunya dianggap tabu
sekarang sudah tidak lagi.
Pemanfaatan sumber daya hutan terus dilakukan tanpa mengikuti rambu-rambu adat. Pada waktu
musim kering atau menunggu hasil panen, masyarakat akan masuk hutan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Di wilayah-wilayah yang sudah terjangkau puskesmas dan obat modern,
penggunaan obat tradisional sudah mulai ditinggalkan.
KESIMPULAN

1.

Masyarakat Manggarai masih menggunakan adat dalam kehidupan sehari-hari yang berpusat
pada rumah gendang.

2. Sistem kepemilikan lahan di Manggarai masih terkait dengan adat sehingga kepemilikan
lahan disahkan tidak hanya secara hukum melalui sertifikat tetapi juga secara adat.
3. Hutan yang memiliki Surat Keputusan Menteri sebagai kekuatan hukum yang tetap tidak
menjamin kelestariannya dibandingkan dengan hutan adat yang disebut dengan Pong yang
dijamin dengan hukum adat setempat.
4. Organisasi sosial tradisional masih dijalankan oleh tua golo, tua teno dan tua panga sebagai
pimpinan adat yang berpusat pada rumah gendang, lebih berpengaruh dalam menggerakkan
masyarakat dibandingkan dengan kepala desa.
5.

Adanya pengaruh perubahan yang mempengaruhi pola kehidupan orang Manggarai mulai
dari sistem perkawinan, pengelolaan lingko, maupun pemanfaatan sumber daya hutan.
DAFTAR PUSTAKA

Hadiwiyono. 1985. Suku suku Murba di Indonesia. Ghalia . Jakarta


Tengko, P. Iswandono, E. Berchmans, Y. 1999. Laporan Survey Potensi Tumbuhan Obat di Wilayah
TWA Ruteng. (Tidak Diterbitkan)
Iswandono. E. 2005. Laporan Survey Potensi Sumber Daya Hayati Masyarakat Sekitar TWA Ruteng.
Ruteng (Tidak Diterbitkan)
PT Citra Permata Eka Pratama/LIPI (1994). Survey and Mapping of Biodiversity Conservation Project
in Ruteng. Inception Report.
Raho, B. 2005. Asal-usul Orang Manggarai. Majalah Bulanan Manggarai Edisi Maret 2005. Yayasan
Pendidikan XXXI. Jakarta
Sujayanto, G. 2001. Intisari On The Net. Malang. (Diakses dari Internet)
Sinu, I. dkk.1999. Pengkajian Dampak Sosial, Ekonomi Dan Budaya Sebagai Pendukung Pengelolaan
Taman Wisata Alam Ruteng, Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur. PPKAT Kerjasama Dengan
Undana Kupang.
Suptandar, P. 2004. Rumah Raja Manggarai Menanti Rekonstruksi. Kompas (Diakses dari Internet)

UCAPAN TERIMA KASIH


Atas terselesainya makalah ini saya mengucapkan terima kasih kepada
2. Teman-teman kantor asli Manggarai dan juga fungsionaris adat gendang kumba di tempat
saya tinggal, yang banyak menceritakan mengenai budaya Manggarai.
3. Para dosen mata kuliah Bio-Ekologi Konservasi Biodiversitas yang bersedia membimbing
penulisan makalah ini.
4. Isteriku tercinta dan anakku Elia Immanuel Iswandono yang selalu memberikan semangat
untuk menyelesaikan studi S-2 Kehutanan IPB.
5.

Teman-teman kuliah S-2 ku yang lain yang turut memberikan saran dan semangat untuk
menyelesaikan tulisan ini.

Anda mungkin juga menyukai