Anda di halaman 1dari 12

KEARIFAN EKOLOGIS BUDAYA LOKAL PADA MASYARAKAT

BATAK TOBA DALAM MEMELIHARA EKOSISTEM DANAU TOBA

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ecopedagogy dalam Pembelajaran


Sejarah yang diampu oleh Prof. Nana Supriatna, M.Ed., Iing Yulianti, S,Pd.,
M.Pd., & Nurdiani Fathiraini, S,IP., M.A.

Disusun Oleh:
Muhammad Galih Syahbana 1902935
Riki Ardian 1906248
Sofi Auliya Ramadhina 1908006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2022
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kawasan Danau Toba adalah kekayaan alam yang diberikan Tuhan yang
Maha Kuasa kepada umat manusia khususnya Indonesia. Pelestarian kawasan
Danau Toba sudah dilakukan sejak lama, bahkan menjadi perhatian dunia
internasional dengan menjadikan Danau Toba termasuk dalam warisan dunia.
Danau Toba adalah danau kaldera terbesar di dunia yang terletak di Provinsi
Sumatera Utara, berjarak 176 km ke arah Barat Kota Medan sebagai ibu kota
provinsi. Danau Toba (2,88o N – 98,5o 2E dan 2,35o N – 99,1o E) adalah danau
terluas di Indonesia (90 x 30 km2) dan juga merupakan sebuah kaldera volkano-
tektonik (kawah gunung api raksasa) Kuarter terbesar di dunia. Sebagai danau
volcano tektonik terbesar di dunia, Danau Toba mempunyai ukuran panjang 87
km berarah Baratlaut-Tenggara dengan lebar 27 km dengan ketinggian 904 meter
dpl dan kedalaman danau yang terdalam 505 meter.
Jumlah penduduk di kawasan Danau Toba Tahun 2013 lebih kurang
951.711 Jiwa yang tersebar di 8 Kabupaten dan 61 Kecamatan. Jumlah penduduk
tertinggi berada di Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi dengan jumlah 47.272
jiwa dan terendah berada di Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara dengan
jumlah 1.355 jiwa. Kepadatan rata-rata penduduk di kawasan Danau Toba Tahun
2013 adalah 110 jiwa/km2. Kepadatan tertinggi berada di Kecamatan Sidikalang,
Kabupaten Dairi yaitu 669 jiwa/km2, sedangkan kepadatan penduduk terendah
berada di Kecamatan Muara, Kabupaten Tapanuli Utara yaitu 17 jiwa/km2
(Lubis, 2019, hlm. 1234-1235).
Saat ini kawasan Danau Toba telah ditetapkan sebagai kawasan strategis
nasional dan objek pariwisata nasional. Namun dibalik penetapan ini, telah terjadi
penyusutan luas hutan yang dialihfungsikan menjadi ladang, sawah, alang-alang,
semak, dan pemukiman, serta pencemaran lingkungan dari kegiatan pertanian dan
industri rumah tangga (BLH Provinsi Sumatera Utara, 2011). Demikian juga
dengan kegiatan masyarakat dan pengusaha yang membakar alang-alang dengan
tujuan untuk mendapatkan rumput-rumput muda sebagai makanan ternak,
pemanfaatan sumber daya alam Danau Toba seperti pemukiman penduduk,
peternakan, perikanan (keramba jarring apung), pertanian, pariwisata, pasar, hotel
dan restoran serta transportasi air yang mengakibatkan pencemaran air. Dampak
seluruh kegiatan tersebut adalah produksi sampah dan limbah domestik yang
secara langsung maupun tidak langsung akan masuk kedalam perairan danau.
Masalah pencemaran dan kerusakan ekosistem Danau Toba sudah sangat lama,
tetapi sampai sekarang belum ada solusi untuk mengatasi masalah tersebut. Untuk
itu tulisan ini bertujuan untuk menganalisis kearifan lokal dalam rangka
pelestarian Danau Toba dan lingkungan sekitar Danau Toba.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan kearifan lokal ?
2. Kearifan lokal apa saja yang ada pada masyarakat Batak Toba?
3. Bagaimana Hubungan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Hukum Adat Batak
Toba dalam melindungi kawasan Danau Toba?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan kearifan lokal
2. Mengetahui berbagai kearifan lokal yang ada pada masyarakat Batak Toba
3. Menganalisis keterkaitan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Hukum Adat
Batak Toba dalam melindungi kawasan Danau Toba

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal merupakan salah satu bidang kajian mengenai ekologi
manusia. Kearifan lokal adalah gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana,
penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota
masyarakatnya. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Sementara
dalam (Rohaedi, 1986, hlm. 40-41) menyatakan bahwa unsur budaya daerah
potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan
sampai sekarang. Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut: (1)
mampu bertahan terhadap budaya luar, (2) memiliki kemampuan mengakomodasi
unsur-unsur budaya luar, (3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur
budaya luar kedalam budaya asli, (4) mempunyai kemampuan mengendalikan, (5)
mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Kearifan lokal merupakan kearifan lingkungan dalam bentuk tata nilai atau
perilaku hidup dalam bermasyarakat di suatu tempat atau daerah, baik
antarsesama masyarakat maupun dalam berinteraksi dengan lingkungan mereka
(Suhartini, 2009). Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan,
pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun
perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Semua bentuk
kearifan lokal ini dihayati, diprakikkan, diajarkan, dan diwariskan dari generasi ke
generasi sekaligus membentuk pola perilaku manusia terhadap sesama manusia,
alam, ataupun gaib (Keraf, 2002). Kearifan lokal berkaitan dengan budaya lokal.
Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian
menyatu dengan system kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan
dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.
Dari pengertian-pengertian tersebut, dapat dilihat bahwa kearifan lokal
tidak sama pada tempat, waktu, dan suku (kelompok masyarakat tradisional) yang
berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidup yang
berbeda-beda sehingga pengalaman dalam memenuhi kebutuhan hidup
memunculkan berbagai sistem pengetahuan yang berhubungan dengan lingkungan
maupun kondisi sosial. Dengan kata lain, pengetahuan lokal didasarkan atas
pengalaman dan telah diuji selama berabad-abad uutuk kemudian terintegrasi
dalam budaya dan lingkungan setempat (lokal) (Situmorang & Simanjuntak,
2015, hlm. 146).
2.2 Kearifan lokal yang ada pada masyarakat Batak Toba
Masyarakat batak toba merupakan penduduk suku batak yang tinggal di
sekitar wilayah perairan danau toba, Sumater Utara. Suku batak sendiri
merupakan salah satu suku yang berasal dari kelompok proto melayu atau melayu
tua. Artinya bahwa suku batak sendiri salah satu suku yang sudah sejak lama ada
di wilayah Indonesia. Pada masyarakat batak toba sendiri memiliki kearifan lokal
yang bertujuan untuk menjaga lingkungan secara tradisional terutama guna
menjaga ekosistem danau toba yang tentunya sudah sejak lama diwariskan secara
turun-temurun oleh leluhur masyarakat batak toba. Danau toba merupakan salah
satu perairan daratan yang memiliki peran multi sektoral, baik kepentingan yang
melibatkan masyarakat lokal itu sendiri ataupun kepentingan yang bersifat
nasional, bahkan mungkin internasional. Beberapa masyarakat batak toba sendiri
yang terdapat di beberapa wilayah sekitar danau toba, memiliki kearifan lokalnya
masing-masing dalam menjaga ekosistem danau toba dan sekitarnya.

Kearifan Tradisional Masyarakat Desa Harian Dalam Menjaga Hutan


Hutan berperan penting dalam menjaga ekositem Danau Toba. Hutan
berfungsi dalam siklus hidrologi danau. Menurut kearifan masyarakat Desa
Harian, hutan dikuasai oleh mahluk gaib. Oleh sebab itu sebelum pohon yang
diinginkan ditebang di hutan ada beberapa hal yang dilakukan yaitu
berkomunikasi dengan roh (Huhuasi). Lalu mereka menancapkan kampak (tekke)
ke kulit pohon sebagai pertanda mereka telah memilih pohon tersebut. Bila
keesokan harinya kampak (tekke) masih ada di pohon tersebut maka mereka boleh
menebang pohon tersebut. Selanjutnya kayu yang sudah ditebang disambut di
desa dan dililitkan kain (ulos) dan tikar. Tujuan kegiatan ini agar kayu tersebut
tidak mencelakakan penggunanya. Etika menebang dijaga dengan ketat. Para
pekerja diawasi pengetua desa. Pekerja harus memperhatikan arah mana pohon
roboh. Tujuannya untuk meminimalkan pohon kecil menjadi korban dan
mengurangi resiko pohon yang ditebang tidak patah.

Ritual Hahomion Horja Bius


Ritual Hahomion atau upacara yang dilakukan untuk memberikan sesajen
kepada roh nenek moyang terdahulu. Roh nenek moyang yang berada di danau
merupakan kakek (opung) penjaga danau. Upacara di danau merupakan
perwujudan harmonisasi manusia dengan alam. Alam dipercaya selain dihuni oleh
manusia, hewan dan tumbuhan juga tempat bersemayamnya mahluk supranatural.
Mahluk tersebut mendatangkan kebaikan dan keburukan kepada manusia. Atas
kesadaran itulah, manusia membuat upacara memohon keselamatan, menghormati
maupun ucapan terima kasih kepada mahluk supranatural yang disebut “Penunggu
Danau”. Tradisi ini secara rutin dilakukan oleh masyarakat di desa sekitar Danau
Toba.
Upacara hahomion horja bius ini dilakukan saat agama leluhur yang
disebut Parmalim masih dianut masyarakat Batak di sekitar Danau Toba. Sejak
masuknya agama Kristen Protestan, tradisi yang berkembang luas dalam
kepercayaan Parmalim ini mulai ditinggalkan. Kalaupun ritual ini dilakukan
adalah dalam rangka atraksi wisata. Tujuan ritual Hahomion untuk memohon agar
roh dan kekuatan kekuatan gaib tetap memantau kehidupan warga dan memohon
kepada Tuhan (Mulajadi Na Bolon) agar senantiasa memelihara, mendatangkan
kemakmuran, dan ketentraman hidup warga. Upacara adat horjabius ini dilakukan
untuk sekedar mengenang ritual yang dilakukan nenek moyang Batak Toba yang
terdahulu dan disamping itu mereka hendak melestarikan budaya yang mereka
miliki untuk menarik wisatawan ke kawasan Danau Toba. Mereka percaya jika
mereka memberikan sesajen ini kepada kakek (opung) penjaga danau, kakek
(opung) tersebut akan memberi mereka keberkahan. Kepercayaan ini untuk
menjaga danau agar tetap bersih karena mereka takut dengan kakek (opung)
penjaga danau tersebut.

Kearifan Lokal Pada Masyarakat Silahisabungan Dalam Melestarikan


Kawasan Danau Toba
Kearifan lokal pada masyarakat Silahisabungan yang masih dipercayai
untuk melestarikan kawasan Danau Toba adalah tempat yang sakral nauli basa,
batu partonunan (liang namora), seluruh area Danau Toba yang disebut Tao
Silalahi yang dikuasai oleh Namboru Deang Namora yang disucikan, kepercayaan
terhadap Simanappang yaitu penjaga Desa Silalahi sebelah Utara.
Beberapa bentuk kearifan lokal pada masyarakat Kecamatan
Silahisabungan dalam melestarikan kawasan Danau Toba adalah adanya tempat
yang sakral yaitu nauli basa, batu partonunan (liang namora) dan seluruh area
Danau Toba yang terdapat di wilayah Silahisabungan yang disebut Tao Silalahi
yang dikuasai oleh Namboru Deang Namora. Batu Parnamoraon atau Siliang
Namora adalah tempat Namboru Deang Namora tinggal semasa sisa hidupnya.
Kisahnya di tempat itulah namboru menenun. Tempat ini disakralkan, yaitu tidak
boleh meludah ataupun membuang kotoran. Tao Silalahi adalah wilayah danau
yang dianggap suci sehingga dilarang meludah, buang kotoran, memakai
perhiasan, berkata kotor di pinggiran danau, berbuat asusila serta kalau mau
mandi harus minta ijin dulu sama nenek (opung) penjaga danau, tidak boleh
mandi di atas jam 6 sore, tidak boleh membawa dan makan daging babi atau
anjing di pinggiran Danau Toba, tidak boleh mandi telanjang di danau, dan
dilarang tertawa-tawa sampai terbahak-bahak, serta bagi kaum perempuan jika
ada yang berambut panjang tidak boleh digerai tetapi harus diikat.

2.3 Hubungan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Hukum Adat Batak


Toba dalam melindungi kawasan Danau Toba
Masyarakat batak toba merupakan penduduk suku batak yang tinggal di
sekitar wilayah perairan danau toba, Sumater Utara. Suku batak sendiri
merupakan salah satu suku yang berasal dari kelompok proto melayu atau melayu
tua. Artinya bahwa suku batak sendiri salah satu suku yang sudah sejak lama ada
di wilayah Indonesia. Pada masyarakat batak toba sendiri memiliki kearifan lokal
yang bertujuan untuk menjaga lingkungan secara tradisional terutama guna
menjaga ekosistem danau toba yang tentunya sudah sejak lama diwariskan secara
turun-temurun oleh leluhur masyarakat batak toba. Danau toba merupakan salah
satu perairan daratan yang memiliki peran multi sektoral, baik kepentingan yang
melibatkan masyarakat lokal itu sendiri ataupun kepentingan yang bersifat
nasional, bahkan mungkin internasional. Pada saat ini kawasan danau toba,
menjadi kawasan strategis nasional dan objek pariwisata nasional. Banyak sekali
pemanfaatan sumber daya alam Danau Toba sehingga menimbulkan masalah
pencemaran dan kerusakan ekosistem Danau Toba sudah sangat lama, tetapi
sampai sekarang belum ada solusi untuk mengatasi masalah tersebut.
Berbicara mengenai solusi guna mengurangi pencemaran yang terjadi di
kawasan sekitar danau toba tentu sangat dibutuhkan peran serta kesadaran dari
masyarakat sekitar danau toba atau bisa disebut juga sebagai masyarakat batak
toba salah satunya melalui kearifan lokal yang berkaitan dengan ekologis. Salah
satu bidang kajian ekologi manusia yaitu tentang kearifan lokal. Kearifan lokal
merupakan gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan,
bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Pada
disiplin ilmu antropologi dikenal istilah local genius.
Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah
sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan. norma, dan budaya serta
diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama
(Harahap. 2020, hlm. 2). Beberapa masyarakat batak toba sendiri yang terdapat di
beberapa wilayah sekitar danau toba, memiliki kearifan lokalnya masing-masing
dalam menjaga ekosistem danau toba dan sekitarnya. Salah satunya yaitu kearifan
lokal pada masyarakat desa harian yang berkaitan dengan menjaga hutan.
Menurut kearifan masyarakat Desa Harian, hutan dikuasai oleh mahluk gaib oleh
sebab itu sebelum pohon yang diinginkan ditebang di hutan ada beberapa hal yang
dilakukan yaitu berkomunikasi dengan roh (Huhuasi). Lalu mereka menancapkan
kampak (tekke) ke kulit pohon sebagai pertanda mereka telah memilih pohon
tersebut. Bila keesokan harinya kampak (tekke) masih ada di pohon tersebut maka
mereka boleh menebang pohon tersebut. Selanjutnya kayu yang sudah ditebang
disambut di desa dan dililitkan kain (ulos) dan tikar. Hutan berfungsi dalam
menjaga siklus hidrologi danau.
Selanjutnya yaitu dilarang buang sampah di Danau Toba. Masyarakat Batak
Toba yang tinggal di Harian dilarang mengucapkan kata-kata sembarangan
(bahasa yang tidak sopan) dan juga tidak boleh membuang sampah di danau
karena penjaga danau bisa marah dan murka. Bila malanggar larangan tersebut
maka ombak di danau menjadi ganas dan akan menenggelamkan kapal dan bisa
menimbulkan korban jiwa serta pertanian akan gagal panen (tanaman diserang
hama). Namun akhir-akhir ini kearifan ini mulai hilang dari masyarakat di
Kecamatan Harian. Lalu ada ritual Hahomion Horja Bius, Ritual Hahomion atau
upacara yang dilakukan untuk memberikan sesajen kepada roh nenek moyang
terdahulu. Roh nenek moyang yang berada di danau merupakan kakek (opung)
penjaga danau. Upacara di danau merupakan bukti perwujudan harmonisasi antara
manusia dengan alam. Alam dipercaya selain dihuni oleh manusia, hewan dan
tumbuhan juga tempat bersemayamnya mahluk supranatural. Tujuan ritual ini
yaitu memelihara, mendatangkan kemakmuran, dan ketentraman hidup warga.
Secara turun-temurun dan secara tradisional kearifan lokal masyarakat batak
toba tersebut sudah ada tentunya unutk mencegah akses yang terlalu terbuka
dengan konsekuensi merusak.

Daftar Pustaka:
Ayat, Rohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Jakarta:
Pustaka Jaya.
Keraf, A.S. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas
Suhartini. 2009. Kajian Kearifan Lokal Masyarakat dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional Penelitian,
Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri
Yogyakarta. Nomor B206–B218. (http://staff. uny.ac.id/ sites/default/ files/
penelitian/ Ir.%20Suhartini,%20MS./Shtn%20Semnas%20MIPA%20
09%20Kearifan%20Lokal.pdf, diakses pada tanggal 5 November 2022).
Muhammad Ansori Lubis. 2019. Revitalisasi Nilai-Nilai Kearifan Lokal
Masyarakat Hukum Adat Batak Toba Dalam Melindungi Eksitensi Toba Di Mata
Dunia (Kajian Hukum Progresif). Jurnal Darma Agung, 23(3). 1234-1244.
Harahap, H, R. (2020). Kearifan Tradisional Batak Toba Dalam Memelihara
Ekosistem Danau Toba. Jurnal: Prosiding Seminar Nasional Pendidikan
Antropologi (SENASPA). Vol.1. Hal 1-18.

Anda mungkin juga menyukai