Anda di halaman 1dari 7

Paper

Pengeolaan DAS Terpadu A

Berbagai Permasalahan Sosial-Ekonomi Pada DAS Dan Upaya Mengatasinya

Disusun Oleh :
1. Cikal Putri Aisyah (G011191196)
2. Denada Idaswati (G011191267)
3. Fatimah tul ilyin (G011191310)
4. Muhammad Hasyim (G011191234)
5. Mutiara Nengsy L (G011191244)
6. Nurul Azizah Sarkun (G011191280)
7. Rosdiana (G011191239)
8. Vira Safitri (G011191264)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


DEPARTEMEN ILMU TANAH
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
Daerah aliran sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang dibatasi oleh
pemisah topografi berupa punggung bukit, yang menerima air hujan dan
mengalirkannya pada sungai utama ke laut. Dapat juga dikatakan sebagai suatu
daerah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga, merupakan
kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam
fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya
dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utamanya . DAS memiliki fungsi
menyimpan, menampung dan mengalirkan air secara alamiah dari curah hujan ke
danau atau laut. Batas DAS di darat merupakan pemisah topografis, sedangkan
batasnya di laut hingga daerah perairan yang masih terpengaruh oleh aktivitas daratan

Pendekatan menyeluruh pengelolaan DAS secara terpadu menuntut suatu


manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antara
lembaga terkait. Pendekatan terpadu juga memandang pentingnya peranan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan DAS, mulai dari perencanaan, perumusan kebijakan,
pelaksanaan dan pemungutan manfaat.

Kerusakan DAS disebabkan oleh pemanfaatan sumber daya alam yang


berlebihan akibat dari tekanan jumlah penduduk dan kebijakan pemanfaatan yang
tidak berkelanjutan. Selain itu, kerusakan DAS juga dapat disebabkan oleh:
kemiskinan karena keterbatasan sumber daya manusia, mata pencaharian dan sumber
daya alam, pelayanan kelembagaan yang kurang bagi para petani di hulu/hutan dan
kebijakan yang tidak membatasi kepemilikan atau penggunaan lahan. Peningkatan
aktivitas pembangunan ekonomi, pertumbuhan penduduk dan perubahan tata guna
lahan mengakibatkan tingginya tekanan pada lingkungan sungai.

Kelestarian sebuah DAS dipengaruhi oleh keadaan sosial-ekonomi, pola


perilaku dan tingkat pengelolaan yang berkaitan erat dengan pengaturan
kelembagaan. Berkaitan dengan hal itu, diperlukan sebuah sistem perencanaan
pengelolaan DAS yang rasional dan objektif agar manfaat yang dapat diperoleh
menjadi optimal dan berkelanjutan. Perencanaan pengelolaan DAS bersifat dinamis,
karena proses-proses yang terjadi terus berkembang baik itu proses alam, sosial
ekonomi kelembagaan, politik, maupun teknologi. Dengan demikian bila ada
bencana, apakah itu banjir maupun kekeringan, penanggulangannya dapat dilakukan
secara menyeluruh yang meliputi DAS mulai dari daerah hulu sampai hilir.
Aspek sosial-ekonomi antara lain meliputi sebagai berikut:

1. Kepadatan penduduk

Kepadatan penduduk yang sangat tinggi dapat meningkatkan tekanan


penduduk terhadap lahan di sekitar DAS. Tingginya kepadatan penduduk dapat
mengakibatkan beban polutan meningkat, kualitas air memburuk dan ekosistem
menjadi terdegradasi. Peningkatan pertumbuhan dan kepadatan penduduk akan
meningkatkan perubahan alih fungsi lahan yang berakibat pada kerusakan DAS.

Keadaan DAS di Indonesia banyak menjadi daerah padat penduduk yang di


dominasi dengan kemiskinan. Salah satu contohnya ialah keadaan di DAS sungai
ciliwung Jakarta, keadaan daerah ini 80% merupakan wilayah kumuh dengan
bangunan rumah-rumah yang saling berdempetan satu sama lain. Jalan-jalan di antara
rumah merupakan jalan yang relatif sempit yaitu berkisar antara 1-2 meter

2. Budaya

Parameter budaya berupa perilaku konservasi dan hukum adat menunjukkan


tingkat pengetahuan dan pelembagaan konservasi di masyarakat. Upaya konservasi
sungai yang ditelaah mencakup kebiasaan membuang sampah rumah tangga.

Konservasi sungai secara turun-temurun biasanya di atur dengan adanya hukum adat.
Hukum adat merupakan hukum asli bangsa Indonesia yang pada umumnya berbentuk
tidak tertulis. Hukum adat tumbuh dan berkembang serta tetap dipertahankan oleh
masyarakat adat, dan berpangkal dari kehendak nenek moyang yang mana hukum
adat itu berpegang erat dalam kebudayaan tradisional, sesuai dengan fitrahnya
sendiri, terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu
sendiri. Selain itu hukum adat dapat juga di artikan sebagai kebiasaan atau
kebudayaan masyarakat setempat di suatu daerah. Hukum adat adalah aturan
kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat, yang pada intinya bermula dari nilai-
nilai yang tumbuh, berkembang dan diterima oleh masyarakat.

Salah satu contoh hukum adat untuk mengelola dan melindungi daerah sungai
yang di pegang oleh masyarakat di sekitar aliran sungai adalah hukum adat
masyarakat yang tinggal di sungai Tapung, desa Petapahan provinsi Riau. Masyarakat
Petapahan hidup dan berkembang tidak terlepas dari kebermanfaatan sungai Tapung.
Sebelum jalur darat di buka, satu satunya akses bagi masyarakat adat Petapahan untuk
bisa keluar dari kampung (desa) adalah dengan jalur perairan. Selain sebagai sarana
transportasi masyarakat Petapahan memanfaatkan sungai Tapung sebagai tempat
mata pencaharian, sebagian masyarakat menjadi nelayan. Sistem penangkapan ikan
masyarakat Petapahan ini menggunakan pancing, jala, tombak, pukek (alat tangkap
ikan tradisional khas Petapahan yang terbuat dari rotan) atau bahkan dengan
menggunakan tuba yang biasa di sebut manubo. manubo (bahasa daerah dari kata
menuba asal kata tuba) merupakan aktifitas menangkap
ikan secara bersama-sama oleh masyarakat asli Petapahan.

Manubo merupakan tradisi masyarakat Petapahan yang sudah turun temurun.


Aktifitas manubo dilakukan dengan menggunakan racun yang berasal dari getah akar
pohon karet. Aktifitas menangkap ikan dengan menggunakan racun sudah dilarang
oleh Negara, hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Hanya
saja aktifitas manubo yang dilakukan oleh masyarakat Petapahan adalah dengan
menggunakan racun alami (getah akar pohon karet) bukan menggunakan zat-zat
kimiawi yang dapat merusak lingkungan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Terhadap hasil pantauan yang dilakukan pemerintah, selama ini aktifitas manubo
yang dilakukan oleh masyarakat Petapahan masih dalam batas wajar dan tidak
menggunakan bahan beracun ataupun bahan berbahaya, sehingga tidak mencemar
ataupun merusak lingkungan sungai Tapung.

3. Nilai tradisional

Nilai tradisional atau kearifan lokal (local wisdom) pada dasarnya terkait
dengan pengetahuan dan pemahaman praktik manusia dengan alam dan hubungan
seluruh penghuni komunitas ekologi. Kearifan lokal sangat berharga dan memiliki
manfaat dalam kehidupan masyarakat. Kearifan lokal banyak memberikan
keberhasilan dalam mengonservasi atau mengelola sumber daya alam melalui
pengetahuan, pemahaman dan kebiasaan yang dimiliki, sehingga mampu mencegah
kerusakan fungsi lingkungan. Akan tetapi pada zaman sekarang sudah tidak ada nilai
tradisional atau kearifan lokal yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari yang
turuntemurun diajarkan, dilaksanakan dan dilestarikan. Ketiadaan nilai tersebut
mengakibatkan masyarakat tidak lagi memiliki pengatur perilaku, sehingga
masyarakat tidak merasa bersalah secara moral saat melakukan tindakan yang
merusak.

Masyarakat sekitar daerah DAS sangat bergantung dengan keberadaan sungai


hampir semua kegiatan di lakukan di sungai mulai dari kegiatan sehari-hari seperti
mandi, mencuci, untuk minum, dan lain-lain, bahkan juga dimanfaatkan sebagai
sarana transportasi air, perikanan dan perdagangan. Salah satu kearifan lokal budaya
di Indonesia ialah perdagangan air atau biasa di sebut pasar terapung. Salah satu
daerah yang terkenal akan kebudayaan pasar terapung nya ialah kota Banjarmasin
tepatnya di sungai Barito.

Pasar terapung di Kuin Utara-Alalak yang berlangsung di atas sungai Barito


merupakan tradisi turun temurun sebagai bentuk adaptasi masyarakat yang hidup di
pinggiran sungai. Segala aktivitas berlangsung di sungai. Berbagai kebutuhan
masyarakat dapat terpenuhi dengan aktivitas di sungai, seperti transportasi dan
perdagangan. Aktivitas sungai memberikan manfaat besar bagi masyarakat karena
menjadi tonggak perekonomian masyarat Banjar, sehingga pasar terapung tetap
berlangsung hingga saat ini. Pengetahuan tentang cara berdagang di atas air,
penggunaan sistem barter, cara mengendalikan jukung/perahu dan menjadi budaya
masyarakat pedagang pasar terapung dari jaman ke jaman ini diistilahkan dengan
tradisi dan kearifan lokal (tradition and local wisdom/ indigenous knowledge).

Pasar terapung yang merupakan salah satu tradisi dan kearifan lokal masyarakat
Banjar saat ini sedikit demi sedikit tergerus oleh perubahan sosial baik secara
structural maupun fungsional. Perubahan pada satu aspek dalam masyarakat akan
berpengaruh pada aspek lainnya. Perubahan sosial terjadi sebagai konsekuensi dari
aktivitas manusia, inovasi, kemajuan sains dan teknologi

4. Tingkat Pendidikan

Sebuah penelitian menemukan bahwa tingkat pendidikan masyarakat


merupakan salah satu aspek yang menentukan sejauh mana masyarakat memiliki
kepedulian lingkungan pada skala yang lebih luas daripada lingkungan tempat
tinggalnya. Dalam kasus DAS ini, hal yang perlu dicermati adalah seberapa jauh
masyarakat menyadari bahwa tindakan di satu wilayah sungai dapat memberi akibat
di wilayah lainnya dari sungai yang sama.

Terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan, sikap, dan


praktik pengelolaan lahan yang dimiliki oleh masyarakat dengan tingkat kerusakan
lahan di lingkungannya. Sehingga, tingkat pendidikan sangat diperhatikan mengenai
keadaan sosial ekonomi terkait dengan kerusakan lahan. Contoh keadaan masyarakat
yang tinggal di DAS yaitu masyarakat kali ciliwung dimana sebagian besar penduduk
yang bermukim di sekitar daerah sekitar aliran sungai Ciliwung mengeyam
pendidikan hanya sampai tingkat SD dengan pekerjaan sebagian besar sebagai
pedagang pasar.  Hal ini tentunya terkait dengan kurangnya pemahaman masyarakat
terhadap pentingnya upaya pemeliharaan sungai.
Berdasarkan uraian di atas dapat rekomendasikan beberapa saran untuk
memperbaiki permasalahan sosial ekonomi masyarakat yang berkaitan dengan DAS,
yaitu :

1. Ke depannya perlu di bangun suatu norma sosial tentang konservasi tanah


berikut sanksi-sanksi bagi yang melanggarnya. Dengan adanya sanksi dalam norma
tersebut diharapkan masyarakat akan menghargai, menghormati dan mematuhinya
sehingga pengaturan DAS dapat menjadi lebih baik.

2. Konflik terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di DAS perlu


penyelesaian dari beberapa pihak terkait, tidak bisa diselesaikan oleh masyarakat itu
sendiri. Mediasi oleh pemerintah sangat diharapkan untuk penyelesaian konflik
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Firmanda, H. (2017). Hukum Adat Masyarakat Petapahan dalam Pengelolaan


Lingkungan sebagai Upaya Pemenuhan Hak Masyarakat Adat. Fikri: Jurnal
Kajian Agama, Sosial dan Budaya, 2(1), 1-26.

Jariyah, N. A. (2019). Evaluasi kinerja sosial ekonomi DAS Brantas berdasarkan


penerapan P61/Menhut-II/2014. Jurnal Penelitian Sosial Dan Ekonomi
Kehutanan, 16(9), 95-114.

Prasetyo, K., Prayoga, G., Azhar, A. R., Permadi, T., & Pratiwi, D. (2020).
Kerentanan DAS Kali Bekasi ditinjau dari aspek sosial-ekonomi-
kelembagaan. Jurnal Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan (Journal of
Environmental Sustainability Management), 576-591.

Putra, T. P., Adyatma, S., & Normlenai, E. (2016). Analisis perilaku masyarakat
bantaran sungai martapura dalam aktivitas membuang sampah rumah tangga di
kelurahan Basirih kecamatan Banjarmasin Barat. JPG (Jurnal Pendidikan
Geografi), 3(6).

Sakdiah, H. (2016). Peran Pedagang Perempuan Pasar Terapung Dalam Melestarikan


Tradisi dan Kearifan Lokal di Kalimantan Selatan (Perspektif Teori Perubahan
Sosial Talcott Parsons). : in International Conference On Social And
Intellectual Transformation of the contemporary banjajarese. 09-11 Agustus
2016. Banjarmasin

Salminah, M., Alviya, I., Arifanti, V. B., & Maryani, R. (2014). Karakteristik ekologi
dan sosial ekonomi lanskap hutan pada DAS kritis dan tidak kritis: studi kasus
di DAS Baturusa dan DAS Cidanau. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi
Kehutanan, 11(2), 29112.

Suganda, E., Atmodiwirjo, P., & Yatmo, Y. A. (2011). Pengelolaan lingkungan dan
kondisi masyarakat pada wilayah hilir sungai. Hubs-Asia, 10(1).

Anda mungkin juga menyukai