Anda di halaman 1dari 14

KEARIFAN LOKAL AWIG-AWIG DALAM PENGELOLAAN WILAYAH

PESISIR DI BALI

Oleh:
DEWA GEDE MAHARDANA

NRP : 52165111612

PROGRAM DIPLOMA IV

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURUSAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN

SEKOLAH TINGGI PERIKANAN

2019
KEARIFAN LOKAL AWIG-AWIG DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DI
BALI

PAPER II
Tugas ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian semester V

di Sekolah Tinggi Perikanan

Oleh:
DEWA GEDE MAHARDANA

NRP : 52165111612

PROGRAM DIPLOMA IV

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURUSAN TEKNOLOGI PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERAIRAN

SEKOLAH TINGGI PERIKANAN

2019
KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DI BALI

LOCAL WISDOM IN MANAGMENT COASTAL AREAS IN BALI

DEWA GEDE MAHARDANA


Sekolah Tinggi Perikanan
Jl. AUP, Jati Padang, Pasar Minggu, RT.1/RW.9, Jati Padang,
Ps. Minggu, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12520, (021) 7806874
E-mail: dodemahardana@yahoo.co.id

Diterima tanggal: 24 Januari 2019, diterima setelah perbaikan: 25 Januari 2019,


disetujui tanggal: 1 Februari 2019

ABSTRAK

Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi isu yang sangat penting untuk diperhatikan. Pemanfaatan sumberdaya
pesisir dan laut lebih bersifat merusak demi memperoleh keuntungan sesaat yang lebih besar tanpa memperhatikan
aspek konservasi dan keseimbangan ekosistem. Kearifan lokal memungkinkan pengembangan teknologi lokal yang bisa
diterima oleh masyarakat. Di banyak tempat atau daerah di Indonesia terdapat adat istiadat yang selalu dan terus
menunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal atau tradisional dan ternyata cocok dan efektif dalam menjaga
keberlangsungan kehidupan sumber daya alam pesisir. Sebagai contoh kearifan lokal Awig-awig dan Nyepi Segare
yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir di daerah Bali. Kearifan lokal tersebut memuat aturan adat yang harus
dipenuhi setiap warga masyarakat di Bali, dan sebagai pedoman dalam bersikap dan bertindak terutama dalam
berinteraksi dan mengelola sumberdaya alam & lingkungan.

Kata kunci: Pengelolaan, Wilayah Pesisir, Kearifan Lokal

ABSTRACT

Management of coastal and marine resources is crucial issue to consider. The utilization of coastal and marine
resources is more destructive in exchange to obtain greater momentary benefits without regard to conservation aspects
and ecosystem balance. Local wisdom allows the development of local technology that can be accepted by the
community. In various places or regions in Indonesia there are customs that always uphold and continue the values of
local or traditional wisdom. Those local wisdom found to be suitable and effective in maintaining the sustainability of
the life of coastal natural resources. As an example the local wisdom of Awig-awig and Nyepi Segare regulates the
management of coastal areas in Bali. Local wisdom contains customary rules that must be fulfilled by The Balinese,
and as a guideline in behaving and acting particularly in interacting and managing natural resources & the
environment.

Keywords: Management, Coastal Area, Local Wisdom


daya laut. Perikanan Indonesia juga mengalami
PENDAHULUAN ancaman klasik penangkapan ikan ilegal,
peralatan ilegal, dan nelayan asing dengan kapal
Indonesia memiliki luas wilayah laut mencakup penangkap ikan besar (Solihin dkk., 2013).
70 persen dari total luas wilayah Indonesia (Badan Kearifan lokal memungkinkan pengembangan
Pusat Statistik Indonesia, 2015). Indonesia juga teknologi lokal yang bisa diterima oleh
merupakan salah satu negera kepulauan terbesar masyarakat. Di banyak tempat atau daerah di
di dunia yangmenempati urutan kedua dengan Indonesia terdapat adat istiadat yang selalu dan
panjang garis pantai 81.000 km (Kementerian terus menunjung tinggi nilai-nilai kearifan lokal
Kelautan dan Perikanan Indonesia, 2017). atau tradisional dan ternyata cocok dan efektif
Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut menjadi dalam menjaga keberlangsungan kehidupan
isu yang sangat penting untuk diperhatikan. sumber daya alam pesisir. Pada aspek yang lain,
Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut lebih kearifan lokal merupakan hak-hak kepemilikan
bersifat merusak demi memperoleh keuntungan (property rights) yang tidak hanya diartikan
sesaat yang lebih besar tanpa memperhatikan sebagai penguasaan terhadap suatu kawasan, akan
aspek konservasi dan keseimbangan ekosistem. tetapi juga sebagai salah satu bentuk strategi
Pengelolaan sumber daya ikan saat ini masih dalam melindungi sumber daya dari kegiatan
diprioritaskan pada pengendalian upaya perikanan yang dapat merusak (destructive
penangkapan, pemahaman dinamika perikanan fishing) dan berlebihan dalam mengambil sumber
serta pengelolaan nelayan, sedangkan konsep daya (over exploited) (Wahyono, 2010). Tradisi
pengelolaan berbasis masyarakat dan co- dan kearifan lokal merupakan bukti adanya ikatan
management ditempatkan sebagai pelengkap antara manusia dengan lingkungan sekitar.
(Banon & Nugroho, 2011). Sumberdaya pesisir
dan laut merupakan suatu potensi yang cukup Wilayah Pesisir
menjanjikan untuk mendukung tingkat
perekonomian masyarakat terutama bagi nelayan. Menurut kesepakatan internasional, wilayah
Konsekuensi logis dari sumberdaya pesisir dan pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan
laut sebagai sumberdaya milik bersama (common antara daratan, ke arah darat mencakup daerah
property) dan terbuka untuk umum (open acces) yang masih terpengaruh percikan air laut atau
maka pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah
dewasa ini semakin meningkat hampir semua paparan benua. Menurut Dahuri et al. (2004),
wilayah. Kearifan lokal pada suatu masyarakat hingga saat ini belum ada definisi pesisir yang
tradisional dapat dijadikan salah satu contoh cara baku. Namun demikian, terdapat kesepakatan di
berpikir dan bertindak dalam menjaga dan dunia bahwa wilayah pesisir adalah suatu wilayah
mengelola sumber daya perikanan agar potensinya peralihan antara daratan dan lautan. Sesuai dengan
yang berlimpah dapat dimanfaatkan secara UU No.27 tahun 2007, wilayah pesisir telah
berkelanjutan (Zulkarnain, 2011). didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara
ekosistem daratan dan laut yang ditentukan oleh
Wilayah pesisir yang panjang disertai 12 mil batas wilayah ke arah perairan dan batas
keanekaragaman suku menyebabkan hampir kabupaten/kota kearah pedalaman. Masyarakat
disetiap pesisir Indonesia memiliki adat istiadat pesisir terutama nelayan kecil, masih terbelit oleh
yang variatif. Kondisi ini tentunya akan membuat persoalan kemiskinan dan keterbelakangan.
masyarakat saling berinteraksi, baik dengan Terdapat persoalan tertentu terkait dengan aspek
sesamanya maupun dengan alam, sehingga biologis, sosial, dan ekonomi sehingga
melahirkan budaya dan kearifan lokal masyarakat pesisir masih tertinggal (Hanson,
(Mujiburrahaman, 2015:1). Prijono (2000) 1984).
menyatakan bahwa di Indonesia masih terdapat
Pengelolaan Sumber Daya Alam Pesisir
berbagai bentuk kearifan lokal dari kelompok
masyarakat adat yang mempraktekan cara
tradisional untuk mengelola sumberdaya pesisir. Menurut Afiati (1999), pengelolaan sumberdaya
Kearifan lokal masyarakat pesisir sangat penting alam adalah usaha manusia dalam mengubah
peranannya dalam mencegah eksploitasi sumber ekosistem untuk memperoleh manfaat maksimal,
dengan mengupayakan kesinambungan produksi
dan menjamin kelestarian sumberdaya tersebut. pengaruh yang cukup besar bagi keberlangsungan
Undang-Undang no 27 tahun 2007 tentang hidup masyarakat local (Coremap, 2005).
pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil telah
mempertimbangkan keberadaan masyarakat adat
dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan pulau- METODE
pulau kecil. Menurut Sumardjono (2008),
masyarakat adat adalah sekelompok masyarakat Metode yang digunakan dalam penelitian ini
pesisir yang secara turun-temurun bermukin di adalah metode deskriptif. Metode deskriptif
wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan adalah metode yang digunakan untuk membuat
pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang gambaran mengenai situasi atau kejadian yang
kuat dengan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau dikaji pada waktu terbatas dan tempat tertentu .
kecil serta adanya sistem nilai yang menentukan Hasilnya kemudian dibandingkan dengan hasil –
pranata ekonomi, politik, sosial dan hukum. hasil penelitian di daerah atau tempat lain untuk
Dalam pasal 12 UU No. 27/2007 dijelaskan mengetahui seberapa besar perbedaannya. Dalam
bahwa masyarakat adat diberikan hak untuk hal ini metode penelitian deskriptif yang
memilki Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP- dilakukan dengan mencari data-data mengenai
3). Menurut Nikijuluw (1994) dalam Stanis aturan kearifan lokal awig-awig di wilayah pesisir
(2007), pengelolaan berbasis masyarakat atau Bali.
biasa disebut Community Based Management
merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya
alam yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran HASIL DAN PEMBAHASAN
lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar
pengelolaannya. Pengertian Kearifan Lokal

Kearifan Lokal Kearifan lokal (local wisdom) sendiri dalam


kamus terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom)
Prijono (2000) menyatakan bahwa di Indonesia dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia,
masih terdapat berbagai bentuk kearifan lokal dari local berarti setempat, sedangkan wisdom
kelompok masyarakat adat yang mempraktekan (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Istilah
cara tradisional untuk mengelola sumberdaya kearifan lokal pertama kali dikenalkan oleh HG.
pesisir. Pengertian keraifan lokal (tradisional) Quaritch Wales yang menyebut kearifan lokal
menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk sebagai “local genius” yang berarti sejumlah ciri
pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau kebudayaan yang dimiliki bersama oleh suatu
wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang masyarakat sebagai suatu akibat pengalamannya
menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di di masa lalu. pembangunan karakter bangsa.
dalam komunitas ekologis. Sedangkan menurut Menurut Munazir dkk (2017) dan Ibrahim (2014)
Ataupah (2004), mengatakan bahwa kerarifan secara umum maka local wisdom (kearifan
lokal bersifat histories tetapi positif. Nilai-nilai setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-
diambil oleh leluhur dan kemudian diwariskan gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana,
secara lisan kepada generasi berikutnya. Substansi penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan
kearifan lokal adalah berlakunya nilai-nilai yang diikuti oleh anggota masyarakatnya. Yunus (2012)
diyakini kebenarannya oleh suatu masyarakat dan mengartikan kearifan lokal sebagai budaya yang
mewarnai perilaku hidup masyarakat tersebut dimiliki oleh masyarakat tertentu dan ditempat-
(Utina, 2006). Menurut Wibowo (2011) bahwa tempat tertentu yang dianggap mampu bertahan
fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu: Berfungsi dalam menghadapi arus globalisasi, karena
untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya kearifan lokal tersebut mengandung nilai-nilai
alam, berfungsi untuk pengembangan sumberdaya yang dapat dijadikan sebagai sarana. Fajarini
manusia, berfungsi untuk pengembangan (2014) mengartikan kearifan lokal sebagai
kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Identifikasi pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta
kearifan lokal masyarakat nelayan harus lebih berbagai strategi kehidupan yang berwujud
difokuskan kepada permasalahan yang aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal
menyangkut isu global dan sekaligus mempunyai dalam menjawab berbagai masalah dalam
pemenuhan kebutuhan mereka.
Menurut Ridwan (2007) dan Sartini (2004), terjemahan dari bahasa Inggris, sea tenure.
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom Seorang pakar kelautan, Laundsgaarde
dapat dipahami sebagai usaha manusia dengan menyebutkan bahwa istilah sea tenure mengacu
menggunakan akal budinya (kognisi) untuk kepada seperangkat hak dan kewajiban timbal
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu serta balik yang muncul dalam hubungannya dengan
kebenaran yang telah mentradisi dalam suatu kepemilikan wilayah laut. Selanjutnya Sudo
daerah yang terbentuk sebagai keunggulan (1983) mengatakan bahwa sea tanure merupakan
budaya. Kearifan lokal juga bisa dikonsepsikan suatu sistem, di mana beberapa orang atau
sebagai kebijaksanaan setempat (local wisdom) kelompok sosial memanfaatkan wilayah laut,
atau kecerdasan setempat (local genius), mengatur tingkat eksploitasinya termasuk
pandangan hidup, ilmu pengetahuan, dan berbagai melindunginya dari eksploitasi yang berlebihan
strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang (over exploitation). Oleh karena itu melengkapi
dilakukan oleh masyarakat setempat dalam batasan Sudo, Akimido (1991) mengatakan bahwa
menjawab berbagai masalah dalam memenuhi hak-hak kepemilikan (property rights),
kebutuhan mereka (Adillah, 2013). Sedangkan mempunyai konotasi sebagai memiliki (to own),
Keraf (2010) dan Negara (2011) Kearifan lokal memasuki (to acces), dan memanfaatkan (to use).
juga disebut sebagai semua bentuk pengetahuan,
keyakinan, pemahaman atau etika yang menuntun Fungsi Kearifan Lokal
prilaku manusia dalam kehidupan didalam
komunitas ekologis serta menyangkut Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun
pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
tentang manusia, alam, dan bagaimana relasi Lingkungan pada Pasal 1 ayat 30, “kearifan lokal
diantara semua, dimana seluruh pengetahuan itu adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata
dihayati, dipraktikkan, diajarkan, dan diwariskan kehidupan masyarakat untuk antara lain
dari satu generasi ke generasi. Bentuk-bentuk melindungi dan mengelola lingkungan hidup
kearifan lokal yang ada di masyarakat menurut secara lestari. Kearifan lokal sangat banyak
Aulia dan Dharmawan (2010) dapat berupa nilai, fungsinya. Seperti yang dituliskan Sartini (2006),
norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. bahwa fungsi kearifan lokal adalah sebagai
Kearifan lokal merupakan suatu peraturan adat berikut:
yang sederhana untuk pelestarian sumberdaya
perairan (Saam, 2013). 1. Berfungsi untuk konservasi dan
pelestarian sumber daya alam.
Konsep Kearifan Lokal 2. Berfungsi untuk pengembangan sumber
daya manusia.
Konsep kearifan lokal muncul melalui proses 3. Berfungsi untuk pengembangan
internalisasi yang panjang dan berlangsung turun- kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
temurun sebagai akibat interaksi antara manusia 4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan,
dengan lingkungannya (Marfai, 2012). Menurut sastra dan pantangan.
Sulaiman (2010) mendefinisikan pengetahuan 5. Bermakna sosial misalnya upacara
lokal secara lebih detil sebagai “pengetahuan yang integrasi komunal/kerabat.
yang dibangun oleh kelompok komunitas secara 6. Bermakna etika dan moral.
turun temurun terkait hubungannya dengan alam 7. Bermakna politik, misalnya upacara
dan sumberdaya alam”. Kearifan lokal bertujuan ngangkuk merana dan kekuasaan patron
untuk peningkatan kesejahteraan dan menciptakan client
kedamaian (Sibarani, 2013:22). Kearifan lokal
digali dari produk kultural yang menyangkut Peraturan - Peraturan Mengenai Kearifan
hidup dan kehidupan komunitas pemiliknya, Lokal
misalnya sistem nilai, kepercayaan dan agama,
etos kerja, bahkan bagaimana dinamika itu Implementasi kearifan lokal memiliki peran
berlangsung (Pudentia, 2003:1; Sibarani, 2013:21- penting dalam pemanfaatan pengelolaan sumber
22). Secara konsepsional kearifan lokal yang daya kelautan dan perikanan yang dilakukan oleh
berkembang di Indonesia atau yang lebih dikenal masyarakat setempat. Hingga saat ini, pemerintah
dengan Hak Ulayat Laut (HUL) merupakan
telah memberlakukan beberapa peraturan Bali antara lain: Kabupaten Badung, Kabupaten
perundang-undangan yang mengatur mengenai Gianyar, Kabupaten Klungkung, Kabupaten
pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan Bangli, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Buleleng,
(seperti dalam UU No.45 Th.2009 jo. UU No.31 Kabupaten Karangasem,Kabupaten Jembrana dan
Th.2004 tentang Perikanan, UU No.32 Th.2014 Kotamadya Denpasar. Bali merupakan salah satu
tentang Kelautan, UU No.1 Th.2014 jo. UU No.27 pulau di negara kepulauan Indonesia yang
Th.2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan tentunya memilki kawasan pesisir, dengan
Pulau-Pulau Kecil). Bersamaan dengan hal panjang garis pantai mencapai 430 km (Wardana,
tersebut, di banyak daerah, terdapat kearifan lokal 2012). Wilayah pesisir Bali selain memilki nilai
yang telah diterapkan dalam pengelolaan sumber ekologi yang tinggi, juga memiliki nilai ekonomi
daya kelautan dan perikanan. yang tinggi.

Jika melihat pada materi UU No.1 Th.2014 jo. Awig-Awig memuat aturan adat yang harus
UU No.27 Th.2007 tentang Pengelolaan Wilayah dipenuhi setiap warga masyarakat di Bali, dan
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dapat dilihat sebagai pedoman dalam bersikap dan bertindak
adanya pengaturan mengenai kearifan lokal. Hal terutama dalam berinteraksi dan mengelola
ini dapat dilihat pada masyarakat hukum adat sumberdaya alam & lingkungan. Menurut
adalah sekelompok orang yang secara turun- Nikijuluw (1994) dalam Stanis dkk. (2007),
temurun bermukim di wilayah geografis tertentu pengelolaan berbasis masyarakat atau biasa
di negara kesatuan republik Indonesia karena disebut Community Based Management
adanya ikatan pada asal usul leluhur, hubungan merupakan pendekatan pengelolaan sumberdaya
yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran
alam, memiliki pranata pemerintahan adat, dan lingkungan masyarakat lokal sebagai dasar
tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai pengelolaannya. Selain itu mereka juga memiliki
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akar budaya yang kuat dan biasanya tergabung
(Pasal 1 butir 33); kemudian, kearifan lokal adalah dalam kepercayaannya (religion). Pengelolaan
nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata berbasis masyarakat adalah suatu strategi untuk
kehidupan masyarakat (Pasal 1 butir 36); dan mencapai pembangunan yang berpusat pada
terkait dengan pemanfaatan ruang dan sumber manusia, di mana pusat pengambilan keputusan
daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau mengenai pemanfaatan sumberdaya secara
kecil pada wilayah masyarakat hukum adat oleh berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan
masyarakat hukum adat menjadi kewenangan organisasi-organisasi dalam masyarakat daerah
masyarakat hukum adat setempat (pasal 21 ayat tersebut.
(1).
Kearifan Lokal Awig-Awig
Berdasarkan pada 3 (tiga) Undang-Undang yang
telah dibahas (UU No.45 Th.2009, UU No.32 a. Pengertian
Th.2014, dan UU No.1 Th.2014), kearifan lokal
telah menjadi bagian yang diserap dalam materi Pengertian awig-awig adalah aturan yang dibuat
muatan peraturan perundang-undangan, dan berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk
penyerapan kearifan lokal ini jika dilihat lebih mengatur masalah tertentu dengan maksud
mendalam terutama terkait dalam upaya memelihara ketertiban dan keamanan dalam
melibatkan masyarakat sebagai salah satu pelaku kehidupan masyarakat. Awig-awig ini mengatur
utama dalam pengelolaan sumber daya kelautan perbuatan yang boleh dan yang dilarang, sanksi
dan perikanan berkelanjutan. serta orang atau lembaga yang diberi wewenang
oleh masyarakat untuk menjatuhkan sanksi. Awig-
Kearifan Lokal Pesisir Bali awig sebagai salah satu bentuk dari hukum adat,
merupakan hukum yang hidup yang dibuat oleh
Bali merupakan sebuah pulau kesatuan wilayah masyarakat adat sebagai pedoman bertingkah laku
dari Pemerintah Propinsi yang mempunyai luas dalam pergaulan hidup bermasyarakat (Astiti et al.
daratan ± 5.632,86 Km². Bali dibagi menjadi 8 2011). Awig-awig mempunyai landasan filosofis
kabupaten dan 1 Kota madya dengan ibukota Tri Hita Karana yaitu ajaran pada agama hindu
Denpasar. Kabupaten–kabupaten yang berada di yang pada intinya mengajarkan tentang
keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, awig-awig mengacu pada perangkat aturan yang
manusia dengan manusia dan manusia dengan disepakati suatu satuan komunitas untuk mengatur
lingkungannya. Awig-awig berisi sekumpulan perilaku sosial mereka. Hasani (2014),
aturan baik tertulis maupun tidak tertulis beserta menyebutkan bahwa awig-awig pada mulanya
sanksi dan aturan pelaksanaannya. Kelembagaan berbentuk kesepakatan yang dibuat oleh
lokal yang terdapat dalam wilayah pesisir tersebut masyarakat untuk kehidupan dalam komunitas
berguna agar tidak terjadi penyelewengan atau tertentu (kampung atau gubug), yang dituangkan
pelanggaran yang dapat merusak sumber daya dalam piagampiagam, atau ditulis dalam lontar
alam. Aturan-aturan yang terdapat pada dan diwujudkan dalam tanda-tanda berupa
kelembagaan lokal merujuk pada kearifan lokal tancapan kayu yang diberi ikatan dari
yang dimiliki masyarakat. Awig-awig berasal dari pelepah/daun tertentu yang ditempatkan di tengah
kata wig yang artinya rusak sedangkan awig sawah atau ladang sebagai simbol larangan
artinya tidak rusak atau baik. Awig-awig artinya pengembangan atau memasuki daerah yang
adalah sesuatu yang menjadi baik. Awig-awig bersangkutan.
berisi aturan-aturan, baik tertulis maupun tidak
tertulis yang dibuat oleh masyarakat dengan c. Peranan Awig-awig
tujuan mengatur tata tertib kehidupan sehari-hari
(Husni 2002 dalam Saba 2003). Secara singkat Menurut Widyastini, T. (2013), Awig-awig dalam
awig-awig menurut Hasani (2014) merupakan pengaturan penangkapan ikan yang berlaku bagi
kombinasi antara konsepsi 'teritorialiti' nelayan yang melaut di Desa Kedonganan terdiri
pendefinisian wilayah kelola, dan pengaturan dari tujuh aturan. Berikut rincian lebih jelas
pengelolaan yang diberlakukan di dalamnya. mengenai isi dari aturan lokal Awig-awig tersebut
Munculnya awig-awig yang berlaku semakin kuat :
seiring dengan hadirnya UU No.22/1999 tentang
Pemerintah Daerah. 1. Awig-awig nomor 1: Dilarang
menangkap ikan menggunakan bom,
b. Latar Belakang Munculnya Awig- potasium, racun, pukat harimau dan
awig bahan kimia berbahaya lainnya.
Aturan ini dibuat dengan tujuan agar
Istilah awig-awig mulai memasyarakat di Bali tidak merusak biota laut dan tetap
tahun 1986 sejak dikeluarkannya Peraturan terjaga kelestariannya.
Daerah Provinsi Bali Nomor 6 Tahun 1986 2. Awig-awig nomor 2: Dilarang
tentang Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa merusak terumbu karang secara
Pakraman sebagai Kesatuan Hukum Adat dalam sengaja. Aturan tersebut meliputi
Provinsi Daerah Tingkat I Bali. Sebelumnya, larangan mengambil terumbu karang,
istilah yang digunakan bermacam-macam, antara membuang limbah secara sengaja ke
lain pengeling-eling, paswara, geguat, awig, wilayah yang banyak terumbu karang
perarem, gama, dresta, cara, tunggul, kerta, dan membuang jangkar di sekitar
palakerta, dan sima (Sudantra dkk., 2011). Untuk terumbu karang.
mengatur perilaku nelayan, maka diberlakukan 3. Awig-awig nomor 3: Dilarang
Awig-awig mengenai pengaturan kehidupan mengambil biota laut yang dilindungi.
masyarakat nelayan khususnya dalam pengaturan Biota laut yang dilindungi meliputi
penangkapan ikan. Awig-awig yang dibuat atas lumba-lumba, penyu belimbing,
kesepakatan tokoh masyarakat, ketua nelayan dan penyu hijau, penyu pipih, penyu ridel,
beberapa nelayan setempat ini sudah ada sejak penyu sisik, penyu tempayan, pelagic
dulu namun ada yang mengalami beberapa thresher (hiu monyet, tikusan, cucut
perubahan karena menyesuaikan dengan pedang), bigeye thresher (hiu lancur,
perkembangan zaman. hiu lutung, hiu tikus, paitan) dan hiu
common thresher.
Menurut Tantra (1999), istilah awig-awig berasal 4. Awig-awig nomor 4: Dilarang melaut
dari Bali yang diduga diadopsi orang Lombok pada saat Hari Raya Nyepi. Aturan
setelah Raja Karang Asem di Bali menguasai tersebut tidak hanya berlaku bagi
wilayah ini pada abad ke 8. Secara harfiah, konsep nelayan melainkan berlaku bagi
seluruh masyarakat Bali baik yang manusia. Ketiga sanksi tersebut mengacu pada
beragama Hindu maupun beragama hubungan keharmonisan antara manusia dengan
lain. Tuhan serta manusia dengan manusia. Berbeda
5. Awig-awig nomor 5: Dilarang melaut dengan sanksi pangucilan dan dipecat sebagai
di sekitar Pantai Kedonganan pada krama. Keduanya tergolong sanksi yang berkaitan
saat dilaksanakan upacara desa dengan hubungan manusia dan manusia namun
setempat. Aturan tersebut melarang tidak mencerminkan adanya keharmonisan karena
nelayan untuk melaut di sekitar Pantai bersifat menjauhkan seseorang atau sekelompok
Kedonganan pada saat warga dari warga lain. Aturan-aturan dalam
berlangsungnya upacara keagamaan Awig-awig tersebut dapat ditambah dan
desa setempat yang dilakukan di dikurangi. Itu berarti Awig-awig dapat diubah
sekitar pantai atau di Pura Segara untuk disempurnakan.
yang letaknya berada di pinggir Pantai
Kedonganan. Sanksi yang berlaku berbeda-beda dalam setiap
6. Awig-awig nomor 6: Dilarang aturan. Berikut sanksi dari setiap aturan yang
membuang sampah disekitar pantai berlaku :
dan pesisir Kedonganan. Aturan
mengenai larangan membuang 1. Sanksi pelanggaran Awig-awig nomor
sampah di laut meliputi limbah, 1: Pembakaran jukung (perahu) dan
sampah organik maupun sampah non- tidak diperkenankan melaut di sekitar
organik. laut Kedonganan.
7. Awig-awig nomor 7: Dilarang melaut 2. Sanksi pelanggaran Awig-awig nomor
pada saat angin musim barat. Aturan 2: Penyitaan kapal selama beberapa
mengenai larangan melaut pada angin hari dan pembayaran sejumlah denda.
musim barat ini bertujuan untuk 3. Sanksi pelanggaran Awig-awig nomor
menjaga keselamatan nelayan selama 3: Penyitaan kapal selama beberapa
melaut. Angin musim barat biasanya hari dan pembayaran sejumlah denda.
berlangsung pada bulan Desember 4. Sanksi pelanggaran Awig-awig nomor
sampai Februari. Angin musim barat 4: Membayar sejumlah denda dan
adalah angin yang mengalir dari mendapat hukuman bersih-bersih
Benua Asia menuju Benua Australia. lingkungan desa.
Pada saat angin musim barat, angin 5. Sanksi pelanggaran Awig-awig nomor
bertiup sangat kencang, curah hujan 5: Sanksi berupa teguran namun bila
tinggi dan gelombang laut menjadi sudah sangat menganggu
tinggi. kekhidmatan beribadah maka akan
mendapat hukuman membayar
d. Sanksi Awig-awig sejumlah denda atau hukuman bersih-
bersih lingkungan pantai.
Menurut Astiti et al. (2011), Awig-awig yang 6. Sanksi pelanggaran Awig-awig nomor
berisi sekumpulan aturan tersebut mempunyai 6: Sanksi berupa teguran namun bila
sanksi-sanksi bagi yang melanggar. Sanksi membuang sampah dengan jumlah
tersebut ada beberapa jenis antara lain sanksi yang sangat banyak maka akan
melaksanakan kewajiban (ayahan), membayar dikenakan hukuman membayar
sejumlah uang (danda), minta maaf (pangampura), denda.
membuat upacara, pangucilan (kasepekang) dan 7. Sanksi pelanggaran Awig-awig nomor
dipecat sebagai krama. Jika ditinjau dari filosofi 7: Sanksi hanya berupa teguran
Tri Hita Karana, maka penerapan sanksi-sanksi karena aturan ini dibuat untuk
tersebut terkait dengan tiga keseimbangan yang melindungi keselamatan nelayan dari
diajarkan dalam Tri Hita Karana. Sanksi berupa musibah akibat gelombang tinggi dan
pelaksanaan upacara itu berkaitan dengan unsur cuaca buruk.
hubungan manusia dengan Tuhan. Sanksi
permintaan maaf dan ayahan dapat dikatakan
terkait dengan unsur hubungan manusia dengan
Kearifan Lokal Nyepi Segare hening, sipeng, di pesisir pantai, laut, pasih.
Landasan Filosofi Nyepi Segara di Desa Ped
Menurut Adnyani, N. K. S. (2014) Nyepi Segara merupakan bentuk penghormatan kepada Dewa
merupakan salah satu nilai luhur yang dimiliki Baruna yang diyakini sebagai penguasa laut dan
masyarakat Nusa Penida dalam sebuah visi mulia samudera. Pada saat Nyepi Segara itu adalah
dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. saatnya dewa Baruna melakukan Tapa Yoga
Pelaksanaan Nyepi Segara yang jatuh pada Semedi, diyakini oleh masyarakat kalau saat itu
Purnama sasih kapat atau purnama keempat diganggu maka akan terjadi bencana. Karma
berdasarkan penanggalan Bali. Kegiatan ini telah hindu melakukan sujud bakti terhadap Sang
dilakukan oleh masyarakat Kepulauan Nusa Hyang Baruna, sebagai ucapan terima kasih atas
Penida yang terdiri atas Nusa Penida, Nusa karunianya dan memohon keselamatan. Proses
Lembongan dan Nusa Ceningan sejak 1600 atau pelaksanaan Nyepi Segara yaitu: pertama dari
saat masa pemerintahan Raja Dalem upacara ngusaba Desa yang sekaligus
Waturenggong. Seluruh aktivitas laut di kawasan merampungkan upacara Butha Yadya dengan
Pulau Nusa Penida dihentikan selama sehari upacara ngaturan pakelem di laut. Pelaksanaan
terkait pelaksanaan Nyepi Segara. Ritual Nyepi Nyepi Segara di Desa Ped, yang pelaksanaannya
Segara ini tidak hanya berlaku bagi aktivitas jatuh pada Purnama sasih kapat berdasarkan
nelayan semata, tetapi berlaku pula terhadap penanggalan Bali, telah dilakukan sejak tahun
aktivitas transportasi laut dari dan menuju Pulau 1600 M atau saat masa pemerintahan Raja Dalem
Nusa Penida. Termasuk seluruh aktivitas Waturenggong. Peranan Nyepi Segara di Desa
pariwisata di kawasan Pulau Nusa Penida. Ped dalam upaya menjaga pelestarian alam
Pelaksanaan Nyepi Segara merupakan bentuk lingkungan dan nilai sosial budaya dengan
penghormatan kepada Dewa Baruna yang adalah berdasarkan Tri Hita Karana meliputi: (a)
penguasa laut dan samudera dan sebagai wujud Hubungan harmonis antara manusia dengan Sang
bentuk menjaga hubungan antara manusia dan Hyang Widhi Wasa, (b) Hubungan harmonis
alam sekitarnya. antara manusia dengan manusia, (c) Hubungan
harmonis antara manusia dengan alam.
Sedangkan menurut Nindyarini, C., &
Abdurrahman, H. (2016) Nyepi Segare adalah
aturan tradisi yang berlangsung selama berhari- PENUTUP
hari dan satu malam yang diadakan di Purnama
Sasih Kapat atau di bulan purnama keempat Kesimpulan
berdasarkan kalender Bali (sekitar Oktober) untuk
menghilangkan semua kegiatan di laut. Kegiatan Kearifan lokal Awig-awig dan Nyepi Segare yang
laut termasuk kegiatan pariwisata, transportasi dan mengatur pengelolaan wilayah pesisir di daerah
eksploitasi laut produk. Dalam implementasi Bali memuat aturan adat yang harus dipenuhi
Nyepi Segare akan dilakukan setelah Pengusaba. setiap warga masyarakat di Bali, dan sebagai
Upacara diadakan oleh semua orang di Nusa pedoman dalam bersikap dan bertindak terutama
Penida. Nyepi Segare memberikan manfaat dalam dalam berinteraksi dan mengelola sumberdaya
pengetatan sosial jika dijalankan bersama penuh alam & lingkungan. Adapun fungsi kearifan lokal
kesungguhan. Keberadaan Nyepi Segare yang adalah berfungsi untuk konservasi dan pelestarian
masih ada saat ini, menunjukkan kepada kita sumber daya alam, untuk pengembangan sumber
bahwa Pemahaman masih relevan dalam situasi daya manusia, untuk pengembangan kebudayaan
saat ini. Itu terlihat dari zonasi kawasan dan ilmu pengetahuan, sebagai petuah,
konservasi laut yang ditugaskan ke Keputusan kepercayaan, sastra dan pantangan, bermakna
Menteri Perikanan No.24 / 2014. sosial misalnya upacara integrasi
komunal/kerabat, bermakna etika dan moral.
Penjelasan lebih lanjut menurut Widiana (2013) bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk
Nyepi Segara berawal dari kata Nyepi berarti merana dan kekuasaan patron client.
sunyi, sepi , hening, sipeng, sedangkan Segara
berarti pesisir pantai, laut, pasih. Jadi Nyepi
Segara adalah tidak ada aktivitas, sunyi, sepi,
Kritik dan Saran Fajarini, U. 2014. Peranan Kearifan Lokal dalam
Pendidikan Karakter. Sosio Didaktika 1(2): 123-
130.
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan
Hanson, Arthur J. 1984. Coastal Community :
dalam penyusunan paper ini akan tetapi pada International Perspective. Makalah pada The
kenyataannya masih banyak kekurangan yang 26th Annual Meeting of the Canadian
perlu penulis perbaiki. Hal ini dikarenakan masih Commission for UNESCO, St John’s
minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena itu Newfoundland, 6th June 1984.
kritik dan saran yang membangun dari para Hasani, Q. 2014. "Konservasi Sumberdaya Perikanan
pembaca sangat penulis harapkan sebagai bahan Berbasis Masyarakat, Implementasi Nilai Luhur
evaluasi untuk kedepannya. Budaya Indonesia Dalam Pengelolaan
Sumberdaya Alam”. Jurnal Ilmu Perikanan dan
Sumberdaya Perairan. Universitas Lampung,
DAFTAR PUSTAKA
Bandar Lampung, 10 hlm
Ibrahim, M. 2014. Inovasi Pembelajaran Sains
Berbasis Kearifan Lokal. Makalah Disampaikan
Adillah, Giska. (2013). Enhacing Local Wisdom pada Seminar Nasional FPMIPA IKIP
Through Local Content of Elementary School in MATARAM 2014. Makalah Prosiding hal.xv –
Java, Indonesia. Proceeding of the Global xxiv.
Summit on Education 2013 (e-ISBN 978-967- Indonesia. (2009). Undang-undang Republik Indonesia
11768-0- 1)11-12 March 2013, Kuala Lumpur. Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Adnyani, N. K. S. (2014). Nyepi Segara sebagai dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kearifan Lokal Masyarakat Nusa Penida dalam Petromindo. Com.
Pelestarian Lingkungan Laut. Jurnal Ilmu Sosial Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia
dan Humaniora, 3(1). tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Afiati N. 1999. Aspek Hayati Teknik Pengendalian Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. UU
Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Pesisir. RI No.45 Th.2009. LN Th.2009 No.154 TLN
Semarang (ID): Bapedalda. No.5073.
Astiti TIP, Windia W, Sudantra IK, Wijaatmaja IGM, Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia
Dewi AAIAA. 2011. Implementasi Ajaran Tri tentang Kelautan. UU RI No.32 Th.2014. LN
Hita Karana. [jurnal]. Denpasar (ID): Th.2014 No.294 TLN No.5603.
Universitas Udayana. Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia
Ataupah, 2004, Peluang Pemberdayaan Kearifan Lokal tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Dalam Pembangunan Kehutanan, Kupang. Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Aulia, T.O.S; A.H., Dharmawan. 2010. Kearifan Lokal Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. UU RI
dalam Pengelolaan Sumberdaya Air di No.1 Th.2014. LN Th.2014 No.2 TLN No.5490.
Kampung Kuta. Sodality: Jurnal Transdisiplin Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia,
Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia. 4 ”Langkah Indonesia Menjadi Poros Maritim
(3): 345-355. Dunia Demi Impian RI”, http://kkp.go.id/,
Badan Pusat Statistik Indonesia, “Luas Daerah dan diakses pada Sabtu, 21 Oktober 2017 pukul
Jumlah Pulau Menurut Provinsi,2002-2015”, 12.27 WIB.
https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1 Keraf, A. Sony. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit
366, diakses pada Senin, 28 Agustus 2017 pukul Buku Kompas. Jakarta.
22.22 WIB. Keraf, A.S. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta:
Banon, S.A & Nugroho, N. (2011). Upaya-upaya Buku Kompas.
pengelolaan sumber daya ikan yang Ketut Sudantra, dkk, 2011, Penuntun Penyuratan
berkelanjutan di Indonesia. J.Kebijak.Perik.Ind. Awig-awig. Contoh Awig-awig Tertulis Desa
3(2), 101-113. Pakraman Tanah Aron Kabupaten Karangasem,
COREMAP II. 2005. Kajian Kearifan Lokal Udayana University Press, Denpasar.
masyarakat di Desa Sabang Mawang, Sededap Marfai, 2012. Pengantar Etika Lingkungan Dan
dan Pulau Tiga Kecamatan Bunguran Barat Kearifan Lokal |. Gadjah Mada University
Kabupaten Natuna, Propinsi Kepulauan Riau. Press, Yogyakarta.
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Mujiburrahaman. (2015). Perkembangan Panglima
Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2004. Laôt Dan Peranannya Dalam Kehidupan
Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Masyarakat Nelayan Di Kecamatan Kembang
Secara Terpadu. Jakarta (ID): PT Pramadya Tanjong Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh (1990-
Pramita. 2007). Tesis Pada Jurusan Ilmu Sejarah Pasca
Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.
Munazir, R., Yusuf, Z., Mujiburrahman, M., & Nur, M. MARITIM PESISIR YANG
(2017, October). STRATEGI LEMBAGA BERKELANJUTAN DI KABUPATEN PIDIE.
ADAT PANGLIMA LAOT DALAM In Prosiding Seminar Nasional USM (Vol. 1,
MENJAGA KELESTARIAN LINGKUNGAN No. 1).

Negara, P.D. 2011. Rekonstruksi Kebijakan Penge- EMPOWERING THE COMMUNAL


lolaan Kawasan Konservasi Berbasis Kearifan WISDOM IN LEMBATA REGENCY, EAST
Lokal sebagai Kontribusi Menuju Pengelolaan NUSA TENGGARA PROVINCE. Jurnal Pasir
Sumber Daya Alam yang Indonesia. Jurnal Laut, 2(2), 67-82.
Konstitusi. IV(2): 91-138. Sulaiman. 2010. Model Alternatif Pengelolaan
Nindyarini, C., & Abdurrahman, H. (2016). LOCAL Perikanan Berbasis Hukum Adat Lhaot di
WISDOM FOR SUSTAINABLE COASTAL Kabupaten Aceh Jaya Menuju Keberlanjutan
RESOURCES MANAGEMENT IN Lingkungnaan yang Berorientasi
INDONESIA: CASE STUDY OF NUSA Kesejahteraan Masyarakat. Universitas
PENIDA, BALI INDONESIA. ADVANCING Diponegoro. Semarang.
INCLUSIVE RURAL DEVELOPMENT AND Sumardjono MS. 2008. Tanah dalam Perspektif Hak
TRANSFORMATION IN A CHALLENGING Ekonomi, Sosial, Budaya. Jakarta (ID): Penerbit
ENVIRONMENT, 132. Buku Kompas.
Prijono, S.N. 2000a. Laporan Pendukung No 1: Sejarah Tahir, B.A. 2006. “Sistem Sosial Budaya Masyarakat
dan Latar Belakang Proyek. Pesisir” Journal Fakultas Ushuludin dan
Prijono, S.N. 2000b. Memanfaatkan Satwa dan Puspa Dakwah IAIN Ambon, 9 hlm.
Secara Berkelanjutan. Warta Kehati. Oktober- Tantra, I. 1999. “Bentuk Pengelolaan Sumberdaya Ikan
November 14-15. Berbasis Masyarakat di Propinsi Nusa Tenggara
Ridwan, Nurma A. 2007. Landasan Keilmuan Barat (Paper Awigawig)”. Bahan Laporan ke
Kearifan Lokal. Jurnal STAIN Purwokerto. Direktorat Jendral Sumberdaya Hayati.
Purwokerto. Undang-Undang RI No.27 Tahun 2007 tentang
Saam, Z. (2013). KEARIFAN LOKAL LUBUK Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
LARANGAN SEBAGAI UPAYA Kecil
PELESTARIAN SUMBERDAYA PERAIRAN Utina R 2006 Kecerdasan Ekologis Dalam Kearifan
DI DESA PANGKALAN INDARUNG Lokal Masyarakat Bajo Desa Torosiaje Provinsi
KABUPATEN KUANTAN SINGINGI. Jurnal Gorontalo Prosiding Konferensi dan Seminar
Kajian Lingkungan, 1(01), 35-45. Nasional Pusat Studi Lingkungan Hidup
Saba ES. 2003. Penguatan Makna dan Peran Awig- Indonesia Ke-21 13-15 September 2012 di
awig Dalam Pengelolaan Sumberdaya Mataram 14-20
Perikanan. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Wahyono, (2010). Pemberdayaan Masyarakat Nelayan.
Bogor. Yogyakarta: Media Presindo.
Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Wardana, Agung. 2012. Layakkah Bali sebagai
Sebuah Kajian Filsafati. [jurnal]. [internet]. Provinsi Hijau. Bali Post. Senin, 04 Oktober
[diunduh 1 Maret 2013]. 2012, hal 6.
Sartini. 2006. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Wibowo. 2011. Manajemen Kinerja. Jakarta: PT. Raja
Sebuah kajian Filsafati. Grafindo Persada.
Sibarani, Robert. 2012. “Foklore sebagai Media dan Widiana, I. K. (2013). Eksistensi Nyepi Segara Dalam
Sumber Pendidikan: Sebua Ancangan Upaya Menjaga Pelestarian Alam Lingkungan
Kurikulum dalam Pembentukan Karakter Siswa Dan Nilai Sosial Budaya Di Desa Ped,
Berbasis Nilai Budaya Batak” dalam Kearifan Kecamatan Nusa Penida, Kabupaten
Lokal. Hakekat, Peran, dan Metode Tradisi Klungkung. Jurnal Pendidikan
Lisan (Endraswara Suwardi ed.) Jogyakarta: Kewarganegaraan Undiksha, 1(1).
Penerbit Lontar Widyastini, T. (2013). Efektivitas Awig-Awig dalam
Solihin, A., Ephraim B., & Arifsyah M. N. (2013). Pengaturan Kehidupan Masyarakat Nelayan di
Laut Indonesia Dalam Krisis. Greenpeace Pantai Kedonganan Bali.
Southeast Asia. Diakses tanggal 15 Maret 2017. Yunus, R. 2012. Nilai-Nilai Kearifan Lokal (Local
Stanis, S., Supriharyono, S., & Nur Bambang, A. Genius) sebagai Penguat Karakter Bangsa:
(2007). PENGELOLAAN SUMBERDAYA Studi Empiris tentang Huyula. Yogyakarta: CV.
PESISIR DAN LAUT MELALUI Budi Utama.
PEMBERDAYAAN KEARIFAN LOKAL DI Zulkarnain.2011. Model Komunikasi Pembangunan
KABUPATEN LEMBATA PROPINSI NUSA Perikanan Dalam Pemberdayaan Komunitas
TENGGARA TIMUR COASTAL AND Nelayan Suku Duano di Provinsi Riau. Berkala
MARINE RESOURCES MANAGEMENT BY perikanan terubuk.

Anda mungkin juga menyukai