Anda di halaman 1dari 4

REVIEW JURNAL

“MODEL PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR


DALAM RANGKA PELESTARIAN HUTAN MANGROVE”

OLEH :
EKA DAHLIA PAHARRANI
DESMONDA SITOMPUL
NURMILA
KONDRADUS KAGAYEMU

MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUSAMUS
2020
MODEL PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR
DALAM RANGKA PELESTARIAN HUTAN MANGROVE

1. Latar Belakang

Wilayah pesisir memiliki nilai strategis karena merupakan wilayah peralihan


antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan sumberdaya tersebut menimbulkan daya tarik
berbagai pihak untuk memanfaatkan sumberdayanya dan berbagai instansi untuk
meregulasi pemanfaatannya. Kekayaan sumberdaya pesisir di Indonesia meliputi pulau-
pulau besar dan kecil sekitar 17.500 pulau, yang dikelilingi ekosistem pesisir tropis,
seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut sumberdaya hayati dan
non-hayati yang terkandung di dalamnya. Akan tetapi kekayaan sumberdaya pesisir
tersebut mulai mengalami kerusakan. Sejak awal tahun 1990-an phenomena degradasi
biogeofisik sumberdaya pesisir semakin berkembang dan meluas. Laju kerusakan
sumberdaya pesisir telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada
ekosistem mangrove, terumbu karang dan estuari (muara sungai).

2. Metode Penelitian
Penelitian ini berlokasi di wilayah pesisir kabupaten Bolmong Utara. Propinsi
Sulawesi Utara. Penelitian dilaksanakan mulai bulan April s.d Desember 2011.
Pemilihan lokasi ini didasarkan karena laju kerusakan sumberdaya pesisir mencapai
tingkat yang mengkhawatirkan, terutama pada ekosistem mangrove dan terumbu
karang. Pembukaan lahan-lahan Mangrove untuk pertambakan dan pemukiman semakin
tidak terkendali.
Teknik pengambilan sampel dilakukan secara nonprobablity sampling melalui
teknik multi stage purposive random sampling. Informan terpilih adalah masyarakat
yang bermukim diwilayah pesisir, pemerintah desa, NGO dan pemerintah daerah yang
terkait dengan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir. Target Informan berjumlah 30
orang. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dengan menggunakan
kuisioner dan Focus Group Discussion (FGD). Kuisioner dimaksudkan untuk
memperoleh informasi mengenai: kondisi sosial - demografi pengelolaan wilayah
pesisir dan hutan mangrove. Informasi melalui FGD terutama untuk memperoleh
tanggapan mengenai kondisi pengelolaan wilayah pesisir.Kuisioner diberikan kepada
informan diwilayah pesisir

3. Hasil dan Pembahasan


Kondisi eksisting pengelolaan wilayah pesisir di Kabupaten Bolaang
Mongondow Utara sebelum dan setelah pemekaran tahun 2007 masih bersifat parsial,
tanggungjawab pengelolaanya ada pada Dinas Kehutanan. Keterbatasan sumberdaya
dan anggaran untuk pengelolaan menyebabkan sulitnya pemerintah daerah mengelola
dan mengawasi potensi sumberdaya wilayah pesisir. Hutan mangrove yang semakin
terbuka akibat usaha pertambakan dan pemukiman menyebabkan makin menurunnya
kualitas lingkungan wilayah pesisir. Konflik dan erosi menjadi permasalahan yang
sering dihadapi akibat kerusakan hutan mangrove dan wilayah pesisir.
Pengelolaan mangrove secara terpadu adalah suatu proses perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan dan pengendalian sumberdaya mangrove antar sektor, antara
pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu
pengetahuan dan manajemen untuk memenuhi kebutuhan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Dalam konteks ini, keterpaduan mengandung tiga dimensi,
yaitu sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis. Keterpaduan secara sektoral
berarti bahwa perlu ada koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antar sektor
atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (integrasi horizontal) dan
antar tingkat pemerintahan dari mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi,
sampai tingkat pusat (integrasi vertikal). Adapun keterpaduan dari sudut pandang
keilmuan mensyaratkan bahwa di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya
dilaksanakan atas dasar pendekatan interdisiplin ilmu, yang melibatkan bidang ilmu
ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang relevan. Ini disebabkan
karena wilayah pesisir pada dasarnya terdiri dari sisitem sosial dan sistem ekologi yang
terjalin secara kompleks dan dinamis.
Penelitian ini masih sangat jauh dari harapan dan perlu terus disempurnakan, hal
ini merupakan keterbatasan peneliti dalam melakukan analisa yang lebih tajam karena
diperlukan kemampuan berbagai macam disiplin ilmu dalam mengembangkan model
pengelolaan wilayah pesisir dalam rangka pelestarian hutan mangrove, keterbatasan
lainya adalah pemahaman serta pengetahuan responden yang terpilih dalam hal hutan
mangrove sangat rendah, sehingga untuk melakukan wawancara serta pengisian
kuisioner tidak bisa dilaksanakan secara maksimal.

4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis data dan temuan penelitian maka dirumuskan
beberapa kesimpulan yakni: Pertama, bahwa potensi yang dimiliki oleh wilayah pesisir
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara dapat dikembangkan model pengelolaan kearah
yang lebih baik. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa hasil simulasi model
melalui sistem dinamik menunjukan bahwa adanya perubahan signifikan terhadap
kondisi hutan mangrove, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat di wilayah pesisir
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara. Meskipun demikian faktor-faktor pertumbuhan
penduduk dan desakan pembukaan lahan dan kebutuhan pemukiman penduduk menjadi
bagian yang perlu diperhatikan. Kedua, untuk mendukung dilaksanakannya model
pengelolaan hutan mangrove maka perlu diperhatikan aspek legalitas, kapasitas dan
infrastrukur kelembagaan. Pembentukan kelembagaan ini dapat diinsiasi oleh pihak
pemerintah, masyarakat atau perguruan tinggi. Penginsiatif dapat melakukan sosialisasi,
studi-studi kelayakan agar memperoleh dukungan dan kesepakatan bersama.
Kesepakatan sebaiknya dituangkan dalam bentuk peraturan yang mengikat

Anda mungkin juga menyukai