Anda di halaman 1dari 11

RESUME BUKU PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT

KALIMANTAN TIMUR

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Pesisir


Dosen Pengampu:
Dr. Dra. Kismartini, M.Si.
Dr. Hartuti Purnaweni, MPA

Disusun oleh:
Giosia Jeff Gracendrei
14020120140143
Kelas 01

PROGRAM STUDI ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2022
Indonesia terletak di antara dua benua (Asia dan Australia), dan dua
samudera (Samudera Pasifik dan Hindia), sehingga kaya akan potensi sumber
daya kelautan. Luas wilayah lautnya mencapai 6,4 juta kilometer persegi, terbagi
menjadi 0,3 juta kilometer persegi laut teritorial, 2,95 juta kilometer persegi
perairan kepulauan dan 2,55 juta kilometer persegi dengan garis pantai terpanjang
81.000 kilometer. Indonesia dikenal sebagai negara maritim dengan total 17.504
pulau (13.466 diantaranya terdaftar di PBB), sehingga berpotensi memiliki
sumber daya pesisir yang kaya dan beragam, baik biotik maupun non hayati.
Sumber daya pesisir di Indonesia digunakan oleh masyarakat untuk makanan,
kayu bakar, pakan ternak, tempat tinggal dan banyak manfaat lainnya. Seiring
waktu, wilayah pesisir telah berkembang menjadi wilayah dengan pertumbuhan
yang cepat, karena wilayah pesisir menyediakan ruang dengan aksesibilitas yang
besar dan relatif lebih murah daripada ruang berbasis darat. Provinsi Kalimantan
Timur memiliki potensi sumber daya laut dan pesisir yang beragam, bernilai
ekonomis, sehingga sangat potensial untuk dikelola secara optimal, efektif, efisien
dan berkelanjutan.
Provinsi Kalimantan Timur telah ditetapkan sebagai pusat regional untuk
program universitas mitra maritim. Pengelolaan wilayah pesisir dan laut di
Kalimantan Timur dan pemanfaatan sumber daya pesisir termasuk sumber daya
hayati, sumber daya nonhayati, sumber daya buatan dan jasa lingkungan, pada
saat dilaksanakan, mematuhi peraturan perundang-undangan. Pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya pesisir merupakan isu yang krusial. Munculnya konflik
kepentingan internal antara masyarakat dengan pemerintah, membuat pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya pesisir semakin kompleks. Kompleksitas persoalan
dan dinamika lingkungan di wilayah pesisir lebih tinggi daripada di pedalaman,
karena interaksi antar ekosistem, interaksi antar komunitas di wilayah pesisir, dan
interaksi antar komunitas, dan ekosistem pesisir. Kondisi tersebut membuat
wilayah pesisir rentan terhadap konflik pengelolaan, baik dari segi pemanfaatan
(antar pemangku kepentingan) maupun yurisdiksi pengelolaan. Iptek kelautan dan
perikanan memegang peranan yang sangat penting dalam mendukung pengelolaan
pesisir dan kelautan. Pembangunan kelautan dan perikanan ke depan diharapkan
dapat menjadi industri penting yang menopang perekonomian nasional. Peran
iptek perlu dioptimalkan dan diorientasikan agar dapat diadopsi oleh masyarakat
luas khususnya pelaku usaha di bidang industri dan masyarakat pesisir pada
umumnya. Perencanaan dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut yang
berkelanjutan sangat penting untuk mengembangkan potensi sumber daya
perikanan.
Pengelolaan pemanfaatan sumber daya alam dan jasa lingkungan
(environmental services) di wilayah pesisir yang berkelanjutan memerlukan
pemahaman yang mendalam tentang definisi dan karakteristik wilayah laut dan
pesisir. Lautan didefinisikan sebagai badan air di Bumi yang menghubungkan
daratan dengan bentuk alam lainnya. Laut adalah entitas geografis dan ekologis
dengan semua elemen yang relevan yang batas sistemnya ditentukan oleh
peraturan hukum dan hukum internasional. Nomor wilayah pesisir menurut Pasal
1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mendefinisikan daerah
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang terkena dampak perubahan darat
dan laut. Sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil terdiri dari sumber daya
biotik (ikan, terumbu karang, rumput laut, mangrove dan biota lainnya), sumber
daya abiotik (air laut, pasir, mineral dasar laut) dan sumber daya buatan
(infrastruktur kelautan yang terkait dengan laut dan perikanan) dan jasa
lingkungan (keindahan alam permukaan dasar laut, di mana aset bawah laut
dikaitkan dengan kegiatan kelautan dan perikanan, dan energi di wilayah pesisir).
Wilayah pesisir merupakan titik pertemuan karakteristik darat-darat dan
karakteristik laut dengan laut, sehingga sangat berpengaruh terhadap pembentukan
karakteristik wilayah pesisir yang lebih khas dan beragam. Karakteristik wilayah
pesisir tidak hanya berkaitan dengan sumber daya alam, tetapi juga dengan
sumber daya manusia dan kelembagaan yang ada di sekitarnya. Keanekaragaman
hayati dan tingginya endemisme wilayah pesisir memiliki daya tarik tersendiri
sehingga menjadi sasaran utama pembangunan, terutama di sektor ekonomi
(seperti industri dan pertanian), pariwisata dan pemukiman.
Wilayah pesisir Indonesia kaya akan ekosistem laut tropis seperti muara,
hutan bakau, terumbu karang, padang lamun, alga, dan ekosistem pulau-pulau
kecil yang menjadi habitat berbagai jenis flora dan fauna. Keempat ekosistem ini
menyediakan produk dan jasa lingkungan yang sangat penting dan berharga,
terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Muara adalah badan air
pantai semi tertutup yang memiliki hubungan bebas dengan laut lepas dan
menerima air tawar dari daratan. Ekosistem muara merupakan rumah bagi spesies
tumbuhan dan hewan. Fauna muara meliputi fauna laut, fauna air tawar dan fauna
air payau. Tanaman yang memiliki kemampuan tumbuh dan berkembang dengan
baik adalah tanaman lengket. Ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang di
wilayah pesisir memelihara hubungan yang erat, saling berinteraksi, dan
memberikan dukungan fisik dan biologis bagi setiap ekosistem. Mangrove
mendominasi ekosistem pesisir dan merupakan habitat heterogen di zona intertidal
dan merupakan ciri alami garis pantai di semua wilayah tropis dan subtropis di
dunia. Lamun adalah ekosistem laut dangkal yang memainkan peran penting
dalam kelangsungan hidup berbagai populasi kehidupan laut dan menempati
peringkat di antara ekosistem yang paling produktif. Lamun biasanya hidup di
perairan yang dangkal, jernih, dan bersirkulasi dengan baik. Ekologi terumbu
karang adalah daya dukung sumber daya laut dan pesisir yang memiliki fungsi
ekologis sebagai nutrisi bagi populasi laut, tempat pemijahan, perlindungan fisik
(terhadap ombak) dan tempat berkembang biaknya populasi laut, serta sekaligus
memiliki fungsi ekonomi sebagai habitat ikan karang. , udang karang, rumput
laut, kerang mutiara, siput dan echinodermata (anemon, teripang, bulu babi,
bintang laut dan lili air).
Provinsi Kalimantan Timur memiliki perencanaan wilayah strategis yang
didasarkan pada manfaat fungsi lingkungan dan daya dukung beban berbasis air
serta potensi wilayah pesisir dan laut yang menjanjikan termasuk potensi sumber
daya air, produk, jasa pelayaran dan wisata bahari. Sumber daya pesisir dan
sumber daya laut menurut sifatnya dibagi menjadi dua jenis, yaitu: sumber daya
terbarukan seperti perikanan, terumbu karang, hutan bakau, alga dan sumber daya
genetik lainnya dan sumber daya tidak terbarukan seperti bahan baku yang dapat
diekstraksi (minyak, gas, mineral) dan jasa lingkungan (jasa lingkungan). ;
bepergian; energi kelautan (Ocean Thermal Energy Conversion), mitigasi
bencana, dan sebagai tempat penyimpanan atau sekuestrasi karbon yang berperan
dalam mitigasi dampak perubahan iklim).
Wilayah pesisir, selain menyimpan potensi sumberdaya pesisir yang
melimpah, menarik pihak untuk memanfaatkan, namun rentan terhadap bencana
alam dan aktivitas manusia, maka kebijakan terkait perlindungan pesisir menjadi
penting. Kebijakan pengelolaan pesisir bertujuan untuk konservasi melalui
interaksi pemerintah, sektor swasta dan masyarakat lokal. Peran pemerintah
meliputi akuntabilitas, perencana, pengambil keputusan, dan pembuat peraturan
atau kebijakan. Ketentuan yang diatur dalam kebijakan pengelolaan pesisir dan
laut dapat berupa: a) keterbatasan dalam penggunaan sumber daya yang tersedia;
(b) memberikan peluang untuk mengoptimalkan pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan secara terpadu; c) pengorganisasian dan perencanaan pemanfaatan sumber
daya potensial; dan d) pengendalian dalam mengoptimalkan potensi sumber daya
laut untuk kesejahteraan masyarakat guna menjamin kelangsungan fungsi
keseimbangan lingkungan. Mengoptimalkan berarti mencapai tingkat
kesejahteraan yang sesuai dan menyelaraskan dengan aspek kelestarian
lingkungan dan sosial budaya.
Optimalisasi pengelolaan pesisir dan laut dapat ditempuh melalui model-
model pembangunan yang tepat dan dapat diterapkan untuk membantu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan maksud dan tujuan
program pembangunan yang ditetapkan Negara. Tujuan pembangunan pesisir dan
kelautan meliputi penyelarasan kegiatan pembangunan sektor dan wilayah untuk
pemanfaatan ruang dan sumber daya yang tersedia secara optimal. Konsep
pembangunan kelautan wilayah diwujudkan dengan pendekatan dan sistem
pengelolaan wilayah yang menerapkan prinsip keterpaduan, kualitas dan
akselerasi tinggi. Model pembangunan pesisir dan kelautan terus diupayakan,
mengingat laut dan wilayah pesisir dengan segala karakteristiknya sebagai potensi
yang perlu dipertahankan dan dikembangkan, terutama sumber daya
perekonomian daerah, sehingga berdampak pada kesejahteraan. masyarakat dan
berharap dapat memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa.
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut sangat penting untuk
mengembangkan potensi berbagai sumber daya air. Konsep pengelolaan wilayah
pesisir merupakan kombinasi dari pengembangan sistem adaptif, terpadu,
lingkungan, ekonomi dan sosial. Tujuan pengelolaan wilayah pesisir antara lain:
1) melindungi, memulihkan, melestarikan, menggunakan dan memperkaya
sumber daya pesisir dan sistem ekologinya secara berkelanjutan; 2) menciptakan
sinergi dan keselarasan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah; 3)
memperkuat peran serta masyarakat dan organisasi pemerintah serta mendorong
prakarsa masyarakat dalam pengelolaan sumber daya pesisir guna mencapai
pemerataan, keseimbangan, dan keberlanjutan; dan 4) meningkatkan nilai
ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Strategi pengelolaan pesisir dapat
ditempuh melalui beberapa pendekatan, antara lain penerapan tata ruang,
pengelolaan masyarakat, dan penerapan pendekatan pengelolaan bersama dan
integratif, namun pada dasarnya pendekatan-pendekatan tersebut saling terkait dan
saling bergantung. Konsep pengelolaan wilayah pesisir cenderung mewakili
pendekatan pengelolaan secara keseluruhan yaitu integrasi sistem. Pengelolaan
kawasan pesisir terpadu merupakan pendekatan yang banyak diterapkan di banyak
negara di dunia dan dikenal di forum internasional. Direkomendasikan untuk
menerapkan konsep ICZM dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut serta
kegiatan kelautan lainnya. Tingkat keberhasilan negara-negara yang mengadopsi
konsep ICZM sangat tinggi, sehingga diharapkan Indonesia, khususnya di
Provinsi Kalimantan Timur, dapat mengadopsi konsep ini sebagai salah satu
alternatif untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam pengelolaan
sumber daya laut dan pesisir. serta kegiatan lainnya di bidang kelautan. Integrasi
yang dimaksud antara lain: a) keterpaduan antar sektor; b) keterpaduan antara
pemerintah pusat dan daerah; c) integrasi antar pemerintah daerah; d) integrasi
antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha; (e) keterpaduan antara ekosistem
darat dan laut; dan (f) keterpaduan antara ilmu pengetahuan, teknologi dan
prinsip-prinsip manajemen.
Konsep pengelolaan kawasan pesisir yang strategis telah dikenal luas,
namun pada kenyataannya masih terdapat kawasan pesisir yang mengalami
kerusakan dan degradasi lingkungan. Penyebab tidak berhasilnya pengelolaan
wilayah pesisir antara lain: 1) Data dan informasi yang tepat tentang sumber daya
pesisir tidak lengkap; 2) perencanaan tata guna lahan kawasan pesisir dengan
kebutuhan masyarakat seringkali tidak sinkron; 3) kegiatan pembangunan yang
tidak ditentukan oleh daya dukung lingkungan; 4) pemahaman tentang interaksi
antar komponen yang berbeda dari sistem di wilayah pesisir masih kurang; dan 5)
munculnya konflik kepentingan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah,
kontraktor dan masyarakat. Kebijakan otonomi daerah membuka peluang
desentralisasi pengelolaan sumber daya pesisir dan laut. Pembangunan
perekonomian daerah, terutama yang didasarkan pada sumberdaya wilayah pesisir
dan laut dapat dilakukan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan,
sehingga diperoleh konsep pembangunan yang berkelanjutan, yaitu: pembangunan
yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan
generasi yang akan datang.
Pemerintah yang terkait dengan pengelolaan lingkungan telah menetapkan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan wilayah pesisir dan laut, baik oleh pemerintah pusat maupun daerah
tentang pemanfaatan sumber daya alam. Kebijakan nasional terkait pengelolaan
pesisir dan laut antara lain: 1. Pengembangan ekonomi masyarakat pesisir
berdasarkan potensi lokal dan kondisi sosial budaya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir secara
optimal dan berkelanjutan. Kesejahteraan masyarakat pesisir adalah kunci untuk
mengurangi tekanan pada ekosistem laut dan pesisir karena penggunaan sumber
daya yang tidak terkendali; 2. Regenerasi Kawasan Lindung Fungsional termasuk
kawasan lindung lepas pantai dan kawasan pesisir untuk menjaga kualitas
lingkungan sekaligus mengamankan kawasan pesisir dari ancaman bencana alam.
Hilangnya fungsi kawasan lindung, pendangkalan perairan pesisir, rusaknya
padang lamun dan rusaknya terumbu karang (coral bleaching) merupakan faktor
penyebab berbagai permasalahan di wilayah laut dan pesisir; dan 3. Meningkatkan
layanan jaringan infrastruktur wilayah untuk mendukung pembangunan ekonomi
pesisir dan kelautan. Jaringan infrastruktur pesisir yang memadai akan
mendukung pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut secara optimal serta
mendukung fungsi pesisir.
Wilayah pesisir selain menyimpan potensi sumber daya pesisir yang
melimpah, juga rentan terhadap bencana alam dan aktivitas manusia, sehingga
perlu adanya kebijakan yang tepat terkait perlindungan pesisir. Kebijakan
pengelolaan pesisir fokus pada konservasi dengan interaksi pemerintah, sektor
swasta dan masyarakat lokal. Himpunan norma hukum yang mengatur perairan
pesisir, yang mengatur peruntukan, pengusahaan, pengelolaan, pemilikan,
penggunaan dan pemanfaatannya merupakan pengertian hukum air di wilayah
pesisir secara umum. Peraturan yang mengatur sumber daya laut dan pesisir
sangat banyak, terkadang menyebabkan tumpang tindih dalam penerapan dan
kecenderungan untuk disalahgunakan, tidak efektif dan tidak berkelanjutan.
Ambiguitas atas kepemilikan dan penguasaan sumber daya, ketidakpastian hukum
dan konflik pengelolaan merupakan faktor yang menyebabkan pengelolaan
sumber daya pesisir tidak efisien dan dengan demikian membuka peluang bagi
para pemangku kepentingan dalam eksploitasi sumber daya pesisir dan laut.
Kondisi ini tidak lepas dari peran pemerintah daerah dalam merumuskan dan
melaksanakan peraturan daerah untuk kepentingan peningkatan pendapatan
daerah. Perbedaan tujuan, sasaran dan rencana dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya pesisir akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Konservasi laut adalah pengelolaan sumber daya alam hayati laut yang
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin ketersediaan yang
berkesinambungan dengan tetap menjaga dan meningkatkan keanekaragaman dan
nilainya, serta memulihkan sumber daya alam yang rusak akibat kelautan. Fungsi
cagar alam antara lain: a) sebagai kawasan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim;
b) membantu meningkatkan ketahanan ekosistem sekitar terhadap perubahan
iklim dengan mengurangi faktor-faktor lain yang dapat mengancam ekosistem,
sehingga menempatkan ekosistem pada posisi yang lebih baik untuk mengatasi
perubahan iklim; dan c) mempromosikan ekosistem dengan fungsi penyerapan
karbon yang lebih kuat dengan memelihara dan meningkatkan hutan bakau,
padang lamun, lahan basah, dan perlindungan satwa liar utama dalam siklus
karbon yang terjadi di ekosistem pesisir. Divisi Kawasan Lindung memiliki fungsi
yang berbeda-beda, namun pada hakikatnya memiliki tujuan yang sama, yaitu
sebagai upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem laut secara berkelanjutan.
Pengelolaan wilayah pesisir dan laut pada dasarnya saling bergantung,
termasuk penegakan zonasi dan pengelolaan masyarakat. Mereformasi dan
membuka kerangka kelembagaan yang ada memberikan peluang untuk
mengembangkan pendekatan pengelolaan berbasis komunitas (masyarakat).
Pengelolaan kawasan berbasis masyarakat dapat didefinisikan sebagai suatu
sistem pengelolaan sumber daya alam di suatu kawasan atau lokasi dimana
masyarakat setempat terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumber daya
alam di sana. Pengelolaan pesisir berbasis masyarakat telah diakui secara global
sebagai ciri pengelolaan terpadu. Pengelolaan kawasan yang berbasis masyarakat
di Indonesia pada dasarnya diatur dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, yang
menyatakan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di sana dikuasai oleh
negara” dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya. kebaikan rakyat". Peraturan
tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa pelaksanaan penguasaan negara atas
sumber daya alam, khususnya sumber daya pesisir dan laut, ditujukan untuk
mencapai manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan harus mencapai
keadilan dan pemerataan serta meningkatkan taraf hidup masyarakat. . . Peran
serta masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir diatur dalam undang-undang
no. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
undang-undang no. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor: 27
2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan 40/PERMEN-KP/2014 terkait peran serta dan
pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau,
serta peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan 23/PERMEN-KP/2016 tentang
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Pembangunan yang berkelanjutan juga mengusahakan agar hasil
pembangunan terbagi secara merata dan adil pada berbagai kelompok dan lapisan
masyarakat serta antar generasi karena pembangunan berkelanjutan harus
berwawasan lingkungan. Keberlanjutan dalam strategi pengelolaan wilayah
pesisir bermakna bahwa kegiatan pembangunan/pengelolaan secara ekonomis,
ekologis dan sosial politik bersifat terus menerus dan memberikan dampak yang
baik terhadap kelestarian lingkungan serta sumber daya yang ada didalamnya.
Keberlanjutan pada aspek ekonomi bermakna bahwa suatu kegiatan pembangunan
ekonomi harus dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi, capital maintenance,
penggunaan sumber daya secara efisien dan investasi yang efisien. Berkelanjutan
secara ekologis bermakna bahwa kegiatan pengelolaan yang dilakukan harus
dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung
lingkungan, dan konservasi SDA termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity).
Keberlanjutan secara sosial politik bermakna bahwa suatu kegiatan pembangunan
diupayakan untuk dapat menciptakan pemerataan hasil pembangunan, mobilitas
sosial, partisipasi masyarakat, kohesi sosial, pemberdayaan masyarakat
(dekratisasi), identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan.

Identifikasi Buku
Judul : Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Kalimantan Timur
Pengarang : Dr. Ir. Abdunnur, M.Si., IPU.
Penerbit : Rajawali Press
Tebal Buku : 122 halaman
Cetakan : Cetakan Kedua, Tahun 2021

Analisis :
Dari buku Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Kalimantan Timur ini
dapat diketahui bahwa seiring berjalannya waktu, wilayah pesisir berkembang
menjadi wilayah yang perkembangannya cukup pesat, karena wilayah pesisir
menyediakan ruang dengan aksesibilitas yang besar dan relatif lebih murah
daripada ruang daratan. Provinsi Kalimantan Timur telah ditetapkan sebagai pusat
regional untuk program universitas mitra maritim. Potensi sumberdaya perikanan
yang ada, lalu lintas bahari dan wisata bahari memberikan peluang bagi industri
bahari untuk berkembang. Di era globalisasi, pengelolaan sumber daya laut dan
pesisir harus mampu mentransformasikan secara global dan mengintegrasikan
seluruh upaya masyarakat pesisir, terutama menuju perdagangan dan kebebasan,
swasembada pasokan. Potensi sumber daya kelautan dan pesisir khususnya
perikanan di Provinsi Kalimantan Timur memiliki peluang pasar yang besar untuk
terus berkembang, sehingga diperlukan transformasi pasar yang menyeluruh dan
terpadu agar potensi tersebut dapat terwujud, dimanfaatkan secara efisien dan
berdampak besar bagi perekonomian, khususnya kesejahteraan rakyat.
Pendekatan holistik dan terpadu berarti bahwa tangkapan diwujudkan
sebagai suatu sistem yang terdiri dari komponen yang beragam dan saling
bergantung, seperti: 1. Sumber daya perairan, khususnya sumber daya laut, pesisir
dan air tawar, sumber daya manusia dan buatan; 2. Produksi akuatik meliputi
kegiatan perikanan dan budidaya, baik besar maupun kecil; 3. Sarana dan
prasarana produksi meliputi perencanaan dan penyediaan prasarana perikanan
seperti pelabuhan, tempat berlabuh perikanan, cold storage, pabrik es, prasarana
pusat industri dan pemasaran, menyediakan dan mendistribusikan sarana produksi
(benih, alat tangkap, mesin, bahan bakar minyak), dan sistem informasi yang
terkait dengan sistem manajemen bisnis yang lebih efisien dan pengenalan
teknologi baru yang sesuai; 4. Pengolahan hasil perikanan, mulai dari penerapan
teknologi pengolahan sederhana yang dilakukan oleh nelayan dan masyarakat
sekitar (skala dalam negeri dan usaha kecil menengah) hingga penerapan
teknologi maju (skala industri), skala industri) termasuk penanganan pasca panen
sampai dengan pengolahan hasil perikanan. produk sudah siap. pasar; 5.
Pemasaran hasil perairan, meliputi sistem distribusi, kemampuan memenuhi
permintaan pasar, pengembangan pasar dan pengembangan produk; dan 6.
Pelaksanaan pelatihan meliputi pembinaan kelembagaan, pengembangan sumber
daya manusia, lingkungan bisnis yang kondusif, lingkungan politik, sosial dan
budaya yang kondusif, legislasi dan kepemimpinan yang kondusif, dengan baik
sehingga setiap operasional yang dilakukan dapat dilakukan secara optimal.
Konsep pengelolaan kawasan pesisir yang strategis telah dikenal luas,
namun pada kenyataannya masih terdapat kawasan pesisir yang mengalami
kerusakan dan degradasi lingkungan. Penyebab tidak berhasilnya pengelolaan
wilayah pesisir antara lain: 1) Belum tersedianya data dan informasi yang akurat
tentang sumber daya pesisir; 2) perencanaan tata guna lahan kawasan pesisir
dengan kebutuhan masyarakat seringkali tidak sinkron; 3) kegiatan pembangunan
yang tidak ditentukan oleh daya dukung lingkungan; 4) pemahaman tentang
interaksi antar komponen sistem yang berbeda di wilayah pesisir masih kurang;
dan 5) munculnya konflik kepentingan antara pemerintah pusat, pemerintah
daerah, kontraktor dan masyarakat. Kebijakan otonomi daerah membuka peluang
desentralisasi pengelolaan sumber daya pesisir dan laut. Pembangunan ekonomi
daerah, khususnya pembangunan yang berbasis sumber daya kelautan dan pesisir,
dapat mencapai kelestarian lingkungan, untuk mencapai konsep pembangunan
berkelanjutan, yaitu pembangunan yang memenuhi kebutuhan lingkungan hidup
saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang. Pembangunan
berkelanjutan juga bertujuan untuk memastikan bahwa hasil pembangunan
didistribusikan secara adil dan merata di antara kelompok dan lapisan masyarakat
serta antar generasi, karena pembangunan berkelanjutan harus menghormati
lingkungan.
Kelebihan Buku :
1. Gaya dan tata bahasa yang digunakan pada buku ini dapat membantu
pembaca untuk memahami isi buku yang ditargetkan pada pembaca yang
memiliki minat untuk dapat mempelajari pengelolaan wilayah pesisir
dengan studi kasus yang terperinci;
2. Penulis melalui buku ini dapat menyampaikan urgensi pengelolaan
wilayah pesisir dan membangkitkan perhatian pembaca akan peranan
wilayah pesisir yang masih banyak belum dipahami oleh banyak individu;
3. Penjelasan informasi yang dituangkan dalam penulisan buku ini juga
disertai ilustrasi gambar dan diagram yang membantu pembaca lebih
memahami dalam berbagai pola bahasan;
4. Referensi yang cukup lengkap dan terperinci membantu pembaca untuk
dapat menyelami studi pengelolaan wilayah pesisir.
Kekurangan Buku :
1. Masih ada beberapa kesalahan dalam penulisan, pengetikan dan tanda baca
buku yang membuat beberapa kalimat berpotensi menimbulkan
kesalahpahaman;
2. Buku ini terlalu fokus pada lokus yang terjadi yaitu wilayah pesisir di
Kalimantan Timur, sehingga kurang memberikan landasan teori sebagai
dasar pengetahuan untuk memahami pengelolaan wilayah pesisir.

Lampiran :
Cover Buku
Daftar Isi

Anda mungkin juga menyukai