Sementara itu, Fedi Sondita selaku Tenaga Ahli, menyampaikan terkait target sumberdaya
yang dikelola sebagai bahan pertimbangan penentuan zonasi harus memperhatikan ancaman
ancaman pada masing—masing wilayah KKPD baik ancaman transportasi, pencemaran dan
lain sebagainya.
Diharapkan terkait
pelibatan pokja, lebih lanjut
dapat dikomunikasikan oleh
Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Kepulauan Riau.
Mendukung percepatan usulan,
BPSPL Padang siap membantu
dalam proses pendelenasian
zona dan perbaikan dokumen
draft Rencana Zonasi dengan dukungan data dari DKP provinsi. (BPSPL Padang). KKPD
Kabupaten Bintan 01 meliputi Kecamatan Teluk Sebong, Kecamatan Gunung Kijang,
Kecamatan Bintan Pesisir, Kecamatan Mantang, memiliki luas 185.075,48 Hektar. Dalam
Berita Acara, disepakati juga beberapa perubahan alokasi zona inti dan peninjauan kembali
terhadap Daerah Perlindungan Laut Karan Busung Bujur di Desa Teluk Bakau untuk
ditetapkan sebagai zona inti.
C.Konservasi Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan
memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang.
Indonesia memiliki sekitar 50.000 km2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di seluruh
wilayah pesisir dan lautan nusantara. Potensi lestari sumberdaya perikanan yang terkandung di
dalamnya diperkirakan sebesar 80.802 ton/km2 /tahun, meliputi berbagai jenis ikan karang,
udang. karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Terumbu karang yang masih utuh juga
memberikan nilai pemandangan yang sangat indah. Keindahan tersebut merupakan potensi
wisata bahari yang belum dimanfaatkan secara optimal (Dahuri et al., 1996). Kabupaten Bintan
merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau yang terdiri dari 240 pulau-pulau
kecil serta memiliki sumberdaya pesisir dan laut yang sangat potensial. Wilayah pesisir
Kabupaten Bintan memiliki ekosistem terumbu karang seluas 17.394,83 ha (DKP, 2007).
Ditemukan 14 famili dan 78 jenis karang dengan kondisi buruk sampai sedang (CRITC
COREMAP II-LIPI, 2007). Ekosistem terumbu karang di Kabupa-ten Bintan telah sejak lama
dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan ekonomi, seperti lokasi penangkapan ikan dan wisata
bahari dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholders). Pemanfaatan
ekosistem terumbu karang sebagai lokasi penangkapan ikan dan wisata bahari ini telah
berdampak positif terhadap ekonomi. Namun sayangnya dalam pemanfaatan sebagai lokasi
penangkapan ikan sering dilakukan secara destruktif. Sektor perikanan merupakan mata
pencaharian utama bagi sebagian besar masyarakat pesisir Bintan, dimana pada tahun 2007
tercatat sebanyak 8.243 RTP, sebagian besar (96,3%) bergerak di bidang penangkapan ikan
(BPS Kabupaten Bintan, 2007) Meningkatnya kegiatan pembangunan di pesisir Bintan Timur
ini telah meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya perairan pesisir termasuk ekosistem
terumbu karang. Saat ini terdapat berbagai institusi, baik pemerintah, pemerintah daerah
maupun swasta yang mengelola bagian bagian wilayah pesisir Bintan Timur secara sendiri-
sendiri dengan mekanisme yang tumpang tindih. Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan
laut Bintan Timur ini meliputi kegiatan pertambangan, pariwisata (hotel dan restoran),
permukiman, dan pertanian, pelabuhan, dan transportasi laut, penangkapan ikan, dan
pariwisata bahari. Semua kegiatan pembangunan tersebut belum menunjukkan keterpaduan
sebagaimana persyaratan pembangunan wilayah pesisir sebagai suatu ekosistem yang
kompleks. Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk
mengetahui kondisi terumbu karang dan kondisi kualitas lingkungan perairan serta faktor-
faktor yang mempengaruhinya.
D.Konservasi Terumbu Karang Bintan
Di perairan pesisir Bintan Timur yang menjadai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)
terumbu karang berkembang dengan baik dan mencakup wilayah yang sangat luas hingga
sepanjang 35 km. Terumbu karang ini dapat dijumpai mulai dari Desa Malang Rapat hingga
Desa Kijang. Lebar rataan terumbu karang berkisar antara 100 m hingga 1000 m. Luasan total
terumbu karang yang berada di pesisir Bintan Timur termasuk Pulau Mapur dan pulau-pulau
kecil disekitarnya adalah seluas 6.066,76 ha (CRITC Coremap II – LIPI. Zonasi dengan
dukungan data dari DKP provinsi. (BPSPL Padang). KKPD Kabupaten Bintan 01 meliputi
Kecamatan Teluk Sebong, Kecamatan Gunung Kijang, Kecamatan Bintan Pesisir, Kecamatan
Mantang, memiliki luas 185.075,48 Hektar. Dalam Berita Acara, disepakati juga beberapa
perubahan alokasi zona inti dan peninjauan kembali terhadap Daerah Perlindungan Laut Karan
Busung Bujur di Desa Teluk Bakau untuk ditetapkan sebagai zona inti.
Suhu, Suhu Optimal perkembangan terumbu karang yaitu sekitar 25-30C. Terumbu
karang tidak ditemui di daerah ugahari (daerah sedang) apalagi di daerah dingin.
Kecerahan dan Kedalaman, cahaya optimum yang diperlukan untuk melakukan proses
fotosintesis zooxanthella (alga simbiotik) harus 100% terpapar cahaya matahari. Dengan
kedalaman laut maksimal 40 m, apabila kedalaman lebih dari 40 m maka intensitas cahaya
matahari tidak dapat 100%.
Salinitas, Terumbu karang sapat berkembang di salinitas air laut sekitar 27-40%.
Mengutip dari Koenawan 2008, Kabupaten Bintan memiliki Luas Wilayah 87.717,84 km2
dengan luas daratan 1.319,51 km2 dan luas lautan 86.398,33 km2 yang memiliki ekosistem
terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Menurut Mosriula (2019) kepulauan bintan dan
kota batam memiliki luas area terumbu karang yaitu 4291,73 ha dengan luas terumbu karang
kepulauan Bintan 2558.39 ha. Kondisi ekosistem pesisir kepulauan Bintan umunya kepualauan
Riau mengalami penurunan kualitas lingkungan pesisir akibat kerusakan serta pencemaran
lingkungan di daerah pesisir (fauzi, 2004).Kerusakan Terumbu Karang di kepulauan bintan
juga terjadi karena kegiatan manusia, di Kepulauan Bintan Kerusakan Terumbu karang yaitu
terjadi karena kegiatan pengembangan infrastruktur maupun pengembangan ekonomi di
sekitar kawasan pesisir yang berdampak langsung terhadap kelestarian lingkungan pesisir
dikepulauan Bintan, termasuk Terumbu karang, kegiatan pengembangan tersebut berupa
penambangan pasir pantai, pembangungan jembatan, jalan dan infrastruktur lainnya (Fauzi
2004). Berdasarkan Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Mosriula pada tahun 2019, yaitu
Persentase Tutupan Karang Mati serta Nilai Indeks Mortalitas Karang Kepulauan Bintan
khususnya pantai Berakit didapatkan sebagai berikut :
Tabel 1. Presentase Terumbu Karang Mati dan Nilai Indeks Mortalitas Karang Kabupaten
Bintan Berdasarkan hasil penelitian diatas didapatkan nilai penutup karang mati yaitu 48,02%,
dikarenakan didominasi oleh karang mati yang ditumbuhi alga. Hal ini disebabkan oleh
kegiatan manusia yaitu akibat limbah rumah tangga maupun industri dan pembangunan
infrastruktur, serta penambangan atau pengerukan pasir pantai yang dapat menyebabkan
sedimentasi.Menurunnya kualitas pesisir di kepulauan Bintan dapat berpengaruh terhadap
kelestarian terumbu karang karena ekosistem terumbu karang merupakan bagian ekosistem laut
yang menjadi sumber kehidupan biota laut lainnya (Dahuri, 2000 dalam Koenawan 2008).
Serta dapat mengganggu fungsi ekologis terumbu karang yaitu, dapat menghilangkan habitat
tempat berkembangnya terumbu karang, larva, serta biota laut lainya, yang memiliki ekonomis
tinggi mencari makan dan hilangnya pemecah ombak untuk melindungi pulau dari kenaikan
permukaan air laut sehingga pantai dikepulauan bintan akan mengalami abrasi (Mahmudi,
2003).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mosriula pada tahun 2019, di Kepulauan Bintan,
Hasil parameter kualitas pesisir Kepulauan Bintan khususnya pantai Berakit didapatkan
sebagai berikut :
Table 2. Hasil Pengukuran Kualitas Pesisir pantai Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau