Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

ANCAMAN KE5RUSAKAN KAWASAN KONSERVASI DI PERAIRAN


BINTAN

Dosen Pengampu: Dr. Febrianti Lestari, S.Si., M.Si

Disusun oleh: Nama : Daulat Martua Hasibuan


Nim : 180254242010

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI
2021
A.Kawasan Konservasi
Kawasan Konservasi Laut (KKP) adalah alat manajemen penting untuk mendukung
ketahanan terumbu dengan menangani secara lokal ancaman.Suatu MPA didefinisikan sebagai
“ruang geografis yang terdefinisi dengan jelas, diakui, didedikasikan dan dikelola melalui cara
legal atau efektif lainnya, untuk mencapai konservasi alam jangka panjang dengan jasa
ekosistem dan nilai-nilai budaya yang terkait.” KKL dapat membantu untuk:
-Kelola penangkapan berlebihan (misalnya, herbivora)
-Mengontrol ancaman seperti sedimentasi dan polusi, dengan demikian membantu
mendukung kesehatan karang dan membuat karang lebih mampu mengatasi dampak perubahan
iklim KKL paling efektif jika dikombinasikan dengan kerangka kerja manajemen yang lebih
luas seperti pengelolaan zona pantai untuk mengatasi ancaman yang berasal dari luar batas
KKL (misalnya, ancaman berbasis lahan seperti polusi dan sedimentasi).Semakin
tangguh jaringan KKL sedang dilaksanakan untuk meningkatkan manfaat konservasi di
wilayah yang lebih luas dan untuk menyebarkan risiko hilangnya keanekaragaman hayati di
satu wilayah. Peningkatan dari masing-masing KKL ke jejaring KKL yang tangguh
memungkinkan perlindungan spesies dan habitat, di samping pemeliharaan proses, struktur,
dan fungsi ekologis.Baca tentang pendekatan pengelolaan bersama seperti kawasan laut yang
dikelola secara lokal serta perjanjian konservasi laut.

B.Kawasan Konservasi bintan


Rencana Penetapan Zonasi (RPZ), Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Balai
Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang mengikuti pembahasan draft
Rencana Penetapan Zonasi (RPZ) Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Bintan pada
melalui aplikasi Microsoft Teams. Kegiatan yang disenggarakan oleh Yayasan Ekologi
Kepulauan Riau diikuti oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Riau, Conservation
International Indonesia (CI) dan Tenaga Ahli.

Pada kesempatan tersebut, BPSPL Padang menyampaikan draft Rencana Penetapan


Zonasi (RPZ) Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Bintan diharapkan dapat
dilengkapi dengan zona lainnya berdasarkan saran dan masukan dari Direktorat Konservasi
dan Keanekaragaman Hayati Laut (Dit.KKHL) dan memuat aturan pemanfaatan ruang
masing-masing zona tersebut berdasarkan nomenklatur dengan target konservasi yang jelas
sebagai bahan evaluasi Dit. KKHL.
Pemilihan spesies target konservasi disesuaikan dengan tingkat kepentingan spesies
didalam ekosistem Kawasan Konservasi tersebut. Adapun penggambaran Peta KKPD harus
disesuaikan dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K)
Kepulauan Riau dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) terbaru.

Sementara itu, Fedi Sondita selaku Tenaga Ahli, menyampaikan terkait target sumberdaya
yang dikelola sebagai bahan pertimbangan penentuan zonasi harus memperhatikan ancaman
ancaman pada masing—masing wilayah KKPD baik ancaman transportasi, pencemaran dan
lain sebagainya.

Selanjutnya BPSPL Padang menyampaikan pelibatan kelompok kerja (pokja) menjadi


urgensi penting dalam setiap tahapan kegiatan sehingga dalam perencanaan sampai
pelaksanan kegiatan dapat sesuai dengan target.

Diharapkan terkait
pelibatan pokja, lebih lanjut
dapat dikomunikasikan oleh
Dinas Kelautan dan Perikanan
Provinsi Kepulauan Riau.
Mendukung percepatan usulan,
BPSPL Padang siap membantu
dalam proses pendelenasian
zona dan perbaikan dokumen
draft Rencana Zonasi dengan dukungan data dari DKP provinsi. (BPSPL Padang). KKPD
Kabupaten Bintan 01 meliputi Kecamatan Teluk Sebong, Kecamatan Gunung Kijang,
Kecamatan Bintan Pesisir, Kecamatan Mantang, memiliki luas 185.075,48 Hektar. Dalam
Berita Acara, disepakati juga beberapa perubahan alokasi zona inti dan peninjauan kembali
terhadap Daerah Perlindungan Laut Karan Busung Bujur di Desa Teluk Bakau untuk
ditetapkan sebagai zona inti.
C.Konservasi Terumbu Karang
Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting dan
memiliki peran strategis bagi pembangunan Indonesia saat ini dan dimasa mendatang.
Indonesia memiliki sekitar 50.000 km2 ekosistem terumbu karang yang tersebar di seluruh
wilayah pesisir dan lautan nusantara. Potensi lestari sumberdaya perikanan yang terkandung di
dalamnya diperkirakan sebesar 80.802 ton/km2 /tahun, meliputi berbagai jenis ikan karang,
udang. karang, alga, teripang, dan kerang mutiara. Terumbu karang yang masih utuh juga
memberikan nilai pemandangan yang sangat indah. Keindahan tersebut merupakan potensi
wisata bahari yang belum dimanfaatkan secara optimal (Dahuri et al., 1996). Kabupaten Bintan
merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau yang terdiri dari 240 pulau-pulau
kecil serta memiliki sumberdaya pesisir dan laut yang sangat potensial. Wilayah pesisir
Kabupaten Bintan memiliki ekosistem terumbu karang seluas 17.394,83 ha (DKP, 2007).
Ditemukan 14 famili dan 78 jenis karang dengan kondisi buruk sampai sedang (CRITC
COREMAP II-LIPI, 2007). Ekosistem terumbu karang di Kabupa-ten Bintan telah sejak lama
dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan ekonomi, seperti lokasi penangkapan ikan dan wisata
bahari dengan melibatkan banyak pemangku kepentingan (stakeholders). Pemanfaatan
ekosistem terumbu karang sebagai lokasi penangkapan ikan dan wisata bahari ini telah
berdampak positif terhadap ekonomi. Namun sayangnya dalam pemanfaatan sebagai lokasi
penangkapan ikan sering dilakukan secara destruktif. Sektor perikanan merupakan mata
pencaharian utama bagi sebagian besar masyarakat pesisir Bintan, dimana pada tahun 2007
tercatat sebanyak 8.243 RTP, sebagian besar (96,3%) bergerak di bidang penangkapan ikan
(BPS Kabupaten Bintan, 2007) Meningkatnya kegiatan pembangunan di pesisir Bintan Timur
ini telah meningkatkan tekanan terhadap sumberdaya perairan pesisir termasuk ekosistem
terumbu karang. Saat ini terdapat berbagai institusi, baik pemerintah, pemerintah daerah
maupun swasta yang mengelola bagian bagian wilayah pesisir Bintan Timur secara sendiri-
sendiri dengan mekanisme yang tumpang tindih. Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir dan
laut Bintan Timur ini meliputi kegiatan pertambangan, pariwisata (hotel dan restoran),
permukiman, dan pertanian, pelabuhan, dan transportasi laut, penangkapan ikan, dan
pariwisata bahari. Semua kegiatan pembangunan tersebut belum menunjukkan keterpaduan
sebagaimana persyaratan pembangunan wilayah pesisir sebagai suatu ekosistem yang
kompleks. Berdasarkan permasalahan di atas maka tujuan penelitian ini dilakukan adalah untuk
mengetahui kondisi terumbu karang dan kondisi kualitas lingkungan perairan serta faktor-
faktor yang mempengaruhinya.
D.Konservasi Terumbu Karang Bintan
Di perairan pesisir Bintan Timur yang menjadai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD)
terumbu karang berkembang dengan baik dan mencakup wilayah yang sangat luas hingga
sepanjang 35 km. Terumbu karang ini dapat dijumpai mulai dari Desa Malang Rapat hingga
Desa Kijang. Lebar rataan terumbu karang berkisar antara 100 m hingga 1000 m. Luasan total
terumbu karang yang berada di pesisir Bintan Timur termasuk Pulau Mapur dan pulau-pulau
kecil disekitarnya adalah seluas 6.066,76 ha (CRITC Coremap II – LIPI. Zonasi dengan
dukungan data dari DKP provinsi. (BPSPL Padang). KKPD Kabupaten Bintan 01 meliputi
Kecamatan Teluk Sebong, Kecamatan Gunung Kijang, Kecamatan Bintan Pesisir, Kecamatan
Mantang, memiliki luas 185.075,48 Hektar. Dalam Berita Acara, disepakati juga beberapa
perubahan alokasi zona inti dan peninjauan kembali terhadap Daerah Perlindungan Laut Karan
Busung Bujur di Desa Teluk Bakau untuk ditetapkan sebagai zona inti.

E.Peraturan Konservasi Terumbu Karang Bintan


PERATURAN BUPATI BINTAN NO 25 TAHUN 2010 : TENTANG RENCANA
ZONASI DAN RENCANA PENGOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DAtrRAH
(KKLD) KABUPATEN BINTAN

F Analisis Kerusakan Ekosistem Terumbu Karang Di kawasan Konservasi Di Bintan


Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai ribuan pulau dengan wilayah
pesisirnya yang memiliki beragam ekosistem pesisir. Pesisir sendiri merupakan daerah dimana
terjadi peralihan antar dua unsur alam yaitu daratan dan lautan yang terbentuk akibat proses
alami oleh ke dua unsur tersebut (Lizya, 2015). Sedangkan menurut Undang-Undang nomer 1
tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 27 tahun 2007, wilayah pesisir
adalah daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut dipengaruhi oleh perubahan di darat
dan laut. Dapat dikatakan bahwa wilayah pesisir merupakan daerah yang memiliki dua
ekosistem yang berbeda yaitu ekosistem darat dan ekosistem laut yang membentuk
kesimbangan antara daratan dan lautan.Salah satu wilayah yang memiliki ekosistem pesisir
yang beragam yaitu Provinsi Kepulauan Riau, Kabupaten Bintan salah satunya yaitu
Ekosistem Terumbu Karang. Namun Ekosistem Terumbu Karang dapat mengalami penurunan
kualitas, menurut Noson (2000) Kerusakan terumbu karang dapat disebabkan karena
kerentanan sosial, ekonomi dan lingkungan, Kerentanan Sosial yaitu bagaimana perilaku
penduduk dan sikap ataupun budaya masyarakat pesisir. Kerentanan Ekonomi yaitu meliputi
mata pencaharian dan pendapatan masyarakat pesisir. Ekosistem Terumbu karang
memiliki Kerentanan Lingkungan (Ekologi) yaitu kondisi Fisik alam seperti Suhu, kecerahan,
salinitas, dan kedalaman ekosistem terumbu karang, hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

 Suhu, Suhu Optimal perkembangan terumbu karang yaitu sekitar 25-30C. Terumbu
karang tidak ditemui di daerah ugahari (daerah sedang) apalagi di daerah dingin.
 Kecerahan dan Kedalaman, cahaya optimum yang diperlukan untuk melakukan proses
fotosintesis zooxanthella (alga simbiotik) harus 100% terpapar cahaya matahari. Dengan
kedalaman laut maksimal 40 m, apabila kedalaman lebih dari 40 m maka intensitas cahaya
matahari tidak dapat 100%.
 Salinitas, Terumbu karang sapat berkembang di salinitas air laut sekitar 27-40%.

Mengutip dari Koenawan 2008, Kabupaten Bintan memiliki Luas Wilayah 87.717,84 km2
dengan luas daratan 1.319,51 km2 dan luas lautan 86.398,33 km2 yang memiliki ekosistem
terumbu karang, padang lamun dan mangrove. Menurut Mosriula (2019) kepulauan bintan dan
kota batam memiliki luas area terumbu karang yaitu 4291,73 ha dengan luas terumbu karang
kepulauan Bintan 2558.39 ha. Kondisi ekosistem pesisir kepulauan Bintan umunya kepualauan
Riau mengalami penurunan kualitas lingkungan pesisir akibat kerusakan serta pencemaran
lingkungan di daerah pesisir (fauzi, 2004).Kerusakan Terumbu Karang di kepulauan bintan
juga terjadi karena kegiatan manusia, di Kepulauan Bintan Kerusakan Terumbu karang yaitu
terjadi karena kegiatan pengembangan infrastruktur maupun pengembangan ekonomi di
sekitar kawasan pesisir yang berdampak langsung terhadap kelestarian lingkungan pesisir
dikepulauan Bintan, termasuk Terumbu karang, kegiatan pengembangan tersebut berupa
penambangan pasir pantai, pembangungan jembatan, jalan dan infrastruktur lainnya (Fauzi
2004). Berdasarkan Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Mosriula pada tahun 2019, yaitu
Persentase Tutupan Karang Mati serta Nilai Indeks Mortalitas Karang Kepulauan Bintan
khususnya pantai Berakit didapatkan sebagai berikut :

Tabel 1. Presentase Terumbu Karang Mati dan Nilai Indeks Mortalitas Karang Kabupaten
Bintan Berdasarkan hasil penelitian diatas didapatkan nilai penutup karang mati yaitu 48,02%,
dikarenakan didominasi oleh karang mati yang ditumbuhi alga. Hal ini disebabkan oleh
kegiatan manusia yaitu akibat limbah rumah tangga maupun industri dan pembangunan
infrastruktur, serta penambangan atau pengerukan pasir pantai yang dapat menyebabkan
sedimentasi.Menurunnya kualitas pesisir di kepulauan Bintan dapat berpengaruh terhadap
kelestarian terumbu karang karena ekosistem terumbu karang merupakan bagian ekosistem laut
yang menjadi sumber kehidupan biota laut lainnya (Dahuri, 2000 dalam Koenawan 2008).
Serta dapat mengganggu fungsi ekologis terumbu karang yaitu, dapat menghilangkan habitat
tempat berkembangnya terumbu karang, larva, serta biota laut lainya, yang memiliki ekonomis
tinggi mencari makan dan hilangnya pemecah ombak untuk melindungi pulau dari kenaikan
permukaan air laut sehingga pantai dikepulauan bintan akan mengalami abrasi (Mahmudi,
2003).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mosriula pada tahun 2019, di Kepulauan Bintan,
Hasil parameter kualitas pesisir Kepulauan Bintan khususnya pantai Berakit didapatkan
sebagai berikut :

Table 2. Hasil Pengukuran Kualitas Pesisir pantai Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau

sumber : Mosriula, 2019


Berdasarkan tabel diatas dapat dikatakan kerentanan lingkungan suhunya melebihi 30C yaitu
selisih 0,01%, sedangkan kedalam terumbu karang sesuai yaitu dengan kedalaman 1-7 m, tidak
melebihi 40 m sehingga intensitas pencahayaan matahari dapat tersalurkan 100%. Serta
Salinitas dan pH air laut yang sesuai yaitu 29% dan Ph air laut yaitu 6. Berdasarkan hasil
tersebut dapat dikatakan bahwa Kerusakan Terumbu karang di kepulauan bintan bukan
dipengaruhi oleh kerentanan Lingkungan(Ekologi).
Dapat disimpulkan bahwa terumbu karang di kelurahan bintan mengalami kerusakan
akibat kegiatan Manusia yaitu melakukan pembangunan infrastruktur dan pengembangan
ekonomi di daerah pesisir pulau, limbah rumah tangga maupun industry serta pengerukan pasir
pantai sehingga menyebabkan terjadinya sedimentasi. Upaya yang dapat dilakukan untuk
menangani kerusakan terumbu karang yaitu memberikan pengetahuan kepada masyarakat
daerah pesisir kepulauan bintan bahwa pentingnya menjaga lingkungan sekitar dengan tidak
membuang limbah rumah tangga ke perairan pesisir agar tidak mencemari Terumbu karang
dan sebaiknya Pemerintah melakukan himbauan untuk masyarakat untuk tidak melakukan
penambangan pasir didaerah pesisir, serta mengurangi pembangunan yang dapat merusak
ekosistem terumbu karang, sebaiknya pembangunan dapat menerapkan prinsip Sustainable
Development.

Anda mungkin juga menyukai