Anda di halaman 1dari 14

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL 2019 / 2020

MATA KULIAH : KONSERVASI


HARI/TGL : 12-Desember 2019
JAM : TAKE HOME TEST
WAKTU : PENGEMPULAN MAKSIMAL JAM 16.00
PROGRAM STUDI : MAGISTER ILMU KELAUTAN
DOSEN PENGAMPU : Dr. Ir. Jusup Suprijanto, DEA
NAMA : Maria Kurniawati Lena Liwun
NIM : 26040119410001

TEMA :
Dengan melibatkan masyarakat lokal, pengelolaan laut melalui konsep kawasan konservasi laut
atau marine protected area (MPA) akan lebih efektif. Secara sosial budaya, sebagian besar warga
lokal sudah memiliki kearifan untuk menjaga lingkungan. Ketika bertemu konsep SESUAI

EXCECUTIVE SUMMARY: 1000 KATA


LATAR BELAKANG : 5000 KATA
PRINT OUT DISERAHKAN KE KAMPUS
FILE DIKIRIM LEWAT EMAIL KE Jusup.suprijanto@yahoo.co.id

IKUTI PENGETIKAN FORMAT DIBAWAH, NEW TIMES ROMANS 12 / 1 SPASI

KEARIFAN LOKAL “LILIFUK” MENDUKUNG PENGELOLAAN TAMAN


NASIONAL PERAIRAN LAUT SAWU BERBASIS MASYARAKAT

ABSTRAK
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi kepulauan yang terletak di
sebelah selatan wilayah Indonesia memiliki luas wilayah laut 200.000 km 2 (di luar ZEEI) di
dalamnya memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang dapat dikembangkan untuk
kepentingan masyarakat dan Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki terdiri
atas 3 (tiga) kelompok diantaranya sumberdaya dapat pulih (renewable resources);
sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources dan Jasa-jasa lingkungan (jasling).
Sumberdaya dapat pulih seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut
(alga), dan sumberdaya perikanan (ikan dan non ikan). Selain memiliki keanekaragaman
hayati yang tinggi seperti laut Sawu, namun termasuk juga dalam kawasan segitiga coral
dunia (coral triangle), Sumberdaya kelautan dan perikanan ini telah dimanfaatkan sebagai
sumber pertumbuhan ekonomi di NTT melalui kegiatan penangkapan ikan, dan budidaya
perikanan, dan dilanjutkan dengan kegiatan pengolahan hasil perikanan dan pemasaran.
Kegiatan-kegiatan ini sudah dilakukan sejak dulu dan sebagai sumber penghasilan bagi
masyarakat pesisir di NTT. Pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan terus
berlangsung, Akibat dari pola pemanfaatan yang tidak memperhatikan unsur kelestarian tentu
akan membawa dampak terhadap kerusakan sumberdaya dan lingkungan perairan.
Kawasan Konservasi Perairan Nasional Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu
ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia No. 5 tahun 2014 yang meliputi perairan Selat Sumba dan
Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek seluas 3.355.352,82 hektar di 10 Kabupaten Propinsi
Nusa Tenggara Timur. Tujuan penetapan Taman Nasional Perairan Laut Sawu adalah
mewujudkan kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya sebagai bagian wilayah ekologi
perairan laut Sunda Kecil (Lesser Sunda Marine Eco-Region), melindungi dan mengelola
ekosistem perairan Laut Sawu dan sekitarnya, sebagai platform pembangunan daerah (bidang
perikanan, pariwisata, masyarakat pesisir, pelayaran, ilmu pengetahuan dan konservasi) serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui mata pencaharian yang berkelanjutan
(sustainable livelihood).
Kebijakan pemerintah dalam mengatasi dan meminimalisir dampak yang terjadi
terhadap kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan terus dilakukan melalui program-
program seperti sosialisasi dan kampanye kesadaran lingkungan, pelatihan-pelatihan, bantuan
dana usaha serta melalui program konservasi. Salah satu contoh dengan menetapkan Laut
Sawu sebagai Kawasan Konservasi Perairan Nasional.
Kearifan lokal dalam tradisi, perilaku dan pengetahuan lokal memiliki nilai-nilai
ekologis dan prinsip pelestarian lingkungan pesisir sebagai bentuk kecerdasan ekologis
masyarakat perlu dipertahankan dalam rangka mendukung pengelolaan sumberdaya pesisir
dan laut secara berkelanjutan. Dengan adanya kawasan TNP Laut Sawu dapat mengakomodir
kearifan masyarakat lokal di Nusa Tenggara Timur dalam pengelolaan sumberdaya pesisir
dan laut berbasis masyarakat.
Kearifan lokal di TNP Laut Sawu yang sudah direvitaliasi adalah Lilifuk di Desa
Kuenheun Kabupaten Kupang. Upaya pelestarian kearifan ini sudah dilakukan dengan
menerbitkan Peraturan Desa Kuenheum tentang perlindungan sumberdaya laut di wilayah
Lilifuk. Dengan adanya peraturan ini dapat bermanfaat bagi upaya perlindungan, pelestarian
dan pemanfaatan sumberdaya pesisir di TNP Laut Sawu.
Upaya melegalisasi nilai-nilai tradisional dalam pemanfaatan dan pelestarian
sumberdaya pesisir telah dilakukan oleh lembaga pemerintahan desa melalui Peraturan Desa
Nomor 1 tahun 2012 tentang Perlindungan Sumberdaya Laut di Wilayah Lilifuk. Peraturan
ini dibuat berdasarkan pada nilai, norma dan prinsip yang dianut sejak turun-temurun oleh
masyarakat dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya pesisir. Peraturan ini sekaligus
menggambarkan adanya kemauan dan kegiatan pemerintahan desa, lembaga adat, dan
masyarakat untuk memunculkan kembali fungsi kearifan lokal dalam pelestarian sumberdaya
pesisir dan laut.
Lilifuk merupakan suatu upaya masyarakat untuk mendukung konservasi pesisir dan
laut yang terdiri dari penagkapan ikan dengan alat dan cara ramah lingkungan. Kearifan lokal
pengelolaan Lilifuk bermjla pada kebiasaan masyarakat yang mencadangkan suatu area
tertentu pada wilayah perairan desa yang hanya mengijinkan operasi penangkapan ikan 2
(dua) kali dalam satu tahun. Lilifuk adalah suatu kolam besar yang dipenuhi dengan rumput
halus yang menjadi pusat atau penuh dengan ikan lada dan ikan dusung yang berada di tepi
laut. Apabila air laut surut, maka kolam besar ini akan tampak dengan kedalam maksimum 5
meter dengan luas 20.000 m2. Lilifuk berada didalam penguasaan suku Baineo penduduk
kampung RT 14 Taunesi Desa Kuanheun.
Terbentuknya Lilifuk/ Nifu Loles yang di Prakarsai oleh salah satu Suku/ Klan adat di
Desa Kuanheun yakni Suku/ Klan Baineo, terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu , menurut
seorang Nara sumber yang juga adalah salah seorang Anak suku /Klan Baineo menuturkan
bahwa , Hak penuh Suku/Klan Baineo terhadap Lilifuk/ Nifu Loles diawali dengan Perang
antara Suku/ Klan Baineo ( Suku di Desa Kuanheun) dan Suku/ Klan Lai Kopan ( Suku di
Desa Bolok)memperebutkan Tiga gugusan Lokasi terhitung dari lokasi perairan pantai
(Tinmau) Nama Tinmau adalah sebuah kolam yang sederetan dengan Lilifuk/ Nifu Loles
,memiliki kedalaman lebih dari 15 Meter,berbentuk lingkaran yang berdiameter ± 500 Meter
dan dasar kolam tersebut terdiri dari populasi terumbu karang yang merupakan tempat
berkembangbiaknya ikan ,kondisi inilah yang menyebabkan daerah pantai Loles sangat
Strategis untuk dilestarikan sebagai sebuah Lilifuk. Sebuah padang yang saat ini dijadikan
lahan pertanian (Sel Baun) dan Oeli’i. yang menurut istilah adat Suku Baineo bahwa Oeli’i
adalah bagian Kepala Tanah, Sel Baun adalah Badan Tanah dan Tinmau adalah Kaki Tanah.
Dalam Peperangan tersebut terdengar Kalimat-kalimat umpatan yang dilontarkan oleh kedua
Kubu sehingga terdengar sebuah kata Umpatan (Maki) dalam bahasa Dawan yang ditujukan
suku/Klan Baineo kepada Suku/ Klan Laikopan Yang berbunyi HO LOEL MAN yang artinya
Kau punya Otak, bermaksud menghina cara berpikirnya suku/ Klan Laikopan. Sehingga
Sejak saat itu tempat / pantai dimana terjadi peperangan itu dinamakan Pantai Loles
(terjemahan dari kata Ho LoEL MAN). Dalam peprangan itu Suku / Klan Laikopan
mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Pulau Semau. Sehingga Suku/Klan Baineo
memiliki hak penuh terhadap ketiga Lokasi itu, Agar upaya pemanfaatan dan pelestarian
sumberdaya pesisir dapat dijalankan secara efektif dan optimal oleh masyarakat, maka perlu
keterlibatan kelembagaan lokal lembaga adat dan pemerintahan desa, memunculkan kembali
peran lembaga adat dalam kearifan lokal dan peningkatan peran dan partisipasi masyarakat
dalam upaya pemanfaatan dan perlindungan kawasan.
Salah satu tujuan pengembangan TNP Laut Sawu adalah pemberdayaan sosial
ekonomi masyarakat. Potensi kearifan lokal yang ada dimasyarakat dapat menjadi salah satu
faktor pendukung terlaksananya tujuan ini. Dengan merevitalisasi kearifan lokal, maka
masyarakat dapat ikut serta mendukung upaya perlindungan terhadap sumberdaya pesisir dan
laut yang ada di desa pesisir pada kawasan konservasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu.
TNP Laut Sawu terdiri dari empat Zona yaitu Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona
Pemanfaatan dan Zona Lainnya. Zona Kerifan Lokal adalah Zona Lainnya yang
diperuntukkan untuk melindungi daerah-daerah yang memiliki nilai-nilai budaya-tradisional
yang penting dan mengakomodir kearifan lokal masyarakat yang terdapat dan tersebar di
masing-masing daerah di dalam kawasan TNP Laut Sawu yang mempunyai keunikan dan
mendukung upaya konservasi.

Kata Kunci : Kearifan Lokal, Pengelolaan Wilayah Pesisir, Lilifuk

LATAR BELAKANG
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan provinsi kepulauan yang terletak di
sebelah selatan wilayah Indonesia memiliki luas wilayah laut 200.000 km 2 (di luar ZEEI) di
dalamnya memiliki sumberdaya kelautan dan perikanan yang dapat dikembangkan untuk
kepentingan masyarakat. Dengan melihat pada kontribusi sumberdaya pesisir dan laut di NTT
cukup besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi daerah, maka upaya untuk
mengoptimalisasikan pemanfaatan sumberdaya tersebut perlu digali dan diupayakan sebesar-
besarnya dengan tetap mempertahankan daya dukung lingkungan pesisir dan laut bagi
kepentingan masyarakat serta menambah devisa bagi daerah NTT.
Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki terdiri atas 3 (tiga)
kelompok diantaranya sumberdaya dapat pulih (renewable resources); sumberdaya tidak
dapat pulih (non-renewable resources dan Jasa-jasa lingkungan (jasling). Sumberdaya dapat
pulih seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun dan rumput laut (alga), dan
sumberdaya perikanan (ikan dan non ikan). Selain memiliki keanekaragaman hayati yang
tinggi seperti laut Sawu, namun termasuk juga dalam kawasan segitiga coral dunia (coral
triangle), Sumberdaya kelautan dan perikanan ini telah dimanfaatkan sebagai sumber
pertumbuhan ekonomi di NTT melalui kegiatan penangkapan ikan, dan budidaya perikanan,
dan dilanjutkan dengan kegiatan pengolahan hasil perikanan dan pemasaran. Kegiatan-
kegiatan ini sudah dilakukan sejak dulu dan sebagai sumber penghasilan bagi masyarakat
pesisir di NTT. Pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan terus berlangsung, Akibat
dari pola pemanfaatan yang tidak memperhatikan unsur kelestarian tentu akan membawa
dampak terhadap kerusakan sumberdaya dan lingkungan perairan.
Pengertian konservasi, khususnya konservasi sumberdaya ikan telahdipahami sebagai
upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasukekosistem,
jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya
dengantetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya
ikan (PP No. 60 Tahun 2007). Nyata bahwa konservasi bukan hanya upaya perlindungan
semata, namun juga secaraseimbang melestarikan dan memanfaatkan berkelanjutan
sumberdaya ikan yang pada akhirnya tentu sajauntuk kesejahteraan masyarakat. Upaya
Konservasi sumberdaya ikan ini mencakup konservasi ekosistem (salah satunya melalui
kawasan konservasi perairan), jenis dan genetik ikan.
Berdasarkan Pengertian Konservasi Sumberdaya Ikan yang dan Kawasan Konservasi
Perairanmenurut UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU No.
45 Tahun 2009) danPP No. 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, paling
tidakmemuat dua hal penting Yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi
Pertama, Pengelolaan Kawasan KonservasiPerairan diatur dengan sistem ZONASI.Paling
tidak, ada 4 (empat) pembagian zona yang dapatdikembangkan di dalam Kawasan
Konservasi Perairan, yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan,zona pemanfaatan dan
zona lainnya.Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalamregulasi
pengelolaan kawasan konservasi kawasan konservasi terdahulu baik menurut UU No. 5
tahun1990 dan PP No. 68 tahun 1998, Kedua, dalam hal Desentralisasi kewenangan
pengelolaan,yaknipengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan
pemerintah pusat saja,kini berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007, Lebih lanjut, pengaturan
mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga telah diatur
dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008 dan PP No. 60
Tahun 2007 serta Permen Men KP no Per.02/Men/2009.
Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di
wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah, sebagaimana telah diubahterakhir dengan UU No. 12 tahun 2008, khususnya terkait
pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi Pengaturan sistem zonasi dalam
pengelolaan kawasan konservasi serta perkembangandesentralisasi dalam pengelolaan
kawasan konservasi, jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagimasyarakat lokal,
khususnya nelayan.
Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam Kawasan
konservasi yaitu zoba perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, maupun zona lainnya
misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan
lain sebagainya
Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal
ini belum banyakdilakukan. Peran Pemerintah pusat dalam konteks ini, hanya memfasilitasi
dan menetapkan Kawasan konservasi, sedangkan proses inisiasi, identifikasi, pencadangan
maupun pengelolaannya secarakeseluruhan dilakukan dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah
daerah. Tentu bukan hal yang mudah bagi Kementerian Kelautan dan Perikanan selaku
pemegangmandat pengelolaan kawasan konservasi perairan menurut PP 60 Tahun 2007 untuk
mewujudkan pengelolaankawasan konservasi perairan yang berkelanjutan. Melekatnya
paradigma lama yang membingkai pengelolaan kawasan konservasi secara sentralistik &
tertutup telah menihilkan partisipasi masyarakatdalam konteks pemanfaatannya.Alhasil
manfaat sosial ekonomi kawasan konservasi perairan bagimasyarakat pun diakui atau tidak
masih sangat kurang.Hal tersebut mengakibatkan kurangnya respon positif dari masyarakat
terhadap pengelolaan kawasan konservasi Kebijakan pemerintah dalam mengatasi dan
meminimalisir dampak yang terjadi terhadap kerusakan sumberdaya kelautan dan perikanan
terus dilakukan melalui program-program seperti sosialisasi dan kampanye kesadaran
lingkungan, pelatihan-pelatihan, bantuan dana usaha serta melalui program konservasi. Salah
satu contoh dengan menetapkan Laut Sawu sebagai Kawawasn Konservasi Perairan
Nasional.
Kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau kecil memerlukan pendekatan
manajemenyang lebih spesifik, antara lain karena terkait dengan dinamika ekosistem perairan
yang senantiasa bergerak serta karakteristik biota perairan yang tidak mengenal pemisahan
wewenang maupun batas-bataswilayah administrasi pemerintahan. Di sisi lain, efektivitas
dan efisiensi pelaksanaan wewenang urusan-urusan pemerintahan di bidang konservasi
kawasan perairan dan konservasi jenis ikan berkaitan sangaterat dengan tugas pokok dan
fungsi serta kompetensi masing-masing instansi pelaksana mandat. Selainitu, menurut
undang-undang hukum laut internasional, laut merupakan sumber daya milik umum (public
property) sehingga pengelolaannya memerlukan fleksibilitas dalam penetapan hukum di
tingkat nasional. Dalam pelaksanaannya di lapangan, hal ini sering menimbulkan
ketidakefisienan dan ketidakefektifandalam proses penentuan arah kebijakan konservasi
sumber daya perairan. Jalan tengah yang perludilakukan adalah perumusan pembagian urusan
secara lebih jelas agar tercipta keselarasan kerja, baik pada tahap pembuatan kerangka
kebijakan dan pengaturan (policy and regulatory framework) maupun pada tahap
implementasinya.
NTT memiliki potensi sumberdaya ikan yang sangat beragam jenisnya. Pemanfaatan
sumberdaya ikan melalui kegiatan penangkapan ikan. Diketahui potensi lestari
(Maximum Sustainable Yield/MSY) sebesar 388,7 ton/tahun (Widodo, dkk, 2001 dalam DKP,
2009) dengan Jumlah tangkapan Yang Diperbolehkan (JTB) sebesar 292.800 tontahun.
komoditas unggulan yang dimiliki terdiri atas ikan pelagis baik pelagis besar maupun pelagis
kecil seperti tuna, cakalang, tenggiri, layang, selar, dan kembung, sedangkan ikan demersal
seperti kerapu, ekor kuning, kakap, bambangan, dan lain-lain, serta (3) komoditi non ikan
seperti lobster, cumi-cumi, kerang darah, dan lain-lain (Kupang (Antara News) 2012).
Hasil penelitian Risamasu, dkk (2011), telah mendata sumber pangan ikan yang
dikonsumsi masyarakat NTT khusus di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang melalui
wawancara dan pengamatan pada sejumlah pasar ikan di kota Kupang ditemukan beragam
jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat. Adapun Jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat
untuk ikan pelagis baik pelagis besar maupun kecil ada 42 spesies yang tergolong dalam 27
genus dan 12 famili, sedangkan ikan demersal terdata ada 62 spesies yang tergolong dalam 42
genus dan 25 famili. Selanjutnya untuk sumberdaya non ikan ditemukan pula berbagai jenis
moluska, kepiting, udang, dan cumi-cumi.
Data BPS NTT (2011, 2012), mengungkapkan armada yang digunakan dalam
kegiatan penangkapan ikan masih didominasi oleh jukung dan perahu papan, sedangkan alat
tangkap yang dominan digunakan nelayan untuk menangkap ikan yaitu jaring insang (gill
net). Selanjutnya perikanan budidaya laut memiliki luas lahan 51.879 ha, tersebar pada 16
Kabupaten/Kota. Luas lahan budidaya laut sebesar 5,870 ha diperuntukan untuk budidaya
rumput laut, mutiara, dan kerapu, dengan potensi produksi dapat mencapai 51.500 ton/tahun.
Budidaya air payau seluas 35,455 ha, khusus budidaya udang dan bandeng dengan potensi
produksi dapat mencapai 36.000 ton/tahun.
Budidaya air tawar seperti budidaya kolam seluas 8,375 ha, dengan potensi produksi
mencapai 1,297 ton/tahun dan mina padi seluas 85 ha, dengan potensi produksi mencapai 85
ton/tahun (Kupang (Antara News), 2012).
Luas lahan potensial untuk budidaya rumput laut di provinsi NTT sebesar 51.870 Ha
atau 5% dari panjang garis pantai, dengan potensi produksi sebesar, 250.000ton kering/tahun.
Walaupun potensi ini cukup besar namun lahan yang dimanfaatkan pada tahun 2010 baru
mencapai 5.205,70 Ha dengan produksi 1,7 juta ton rumput laut basah. Pengembangan usaha
budidaya rumput laut berpotensi ada pada semua Kabupaten/ Kota di provinsi NTT kecuali
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), karena kondisi perairannya tidak memenuhi syarat
bagi pengembangan budidaya ini.
Kabupaten di NTT yang mengembangkan usaha budidaya rumput lautnya antara lain:
Kabupaten Kupang, Sabu Raijua, Rote Ndao, Alor, Lembata, Flores Timur, Sikka, Sumba
Timur dan Kabupaten Manggarai Barat. Jenis rumput laut yang dibudidayakan
adalah Echeumacotonii, Eucheuma sp, dan Alga Merah (red algae) (Kupang (Antara News),
2012). Risamasu, dkk (2011), juga telah mendata beberapa jenis rumput laut yang sudah
dibudidayakan oleh masyarakat Kabupaten Kupang seperti Eucheuma spinosum, E. cottonii,
E. striatum (sakol) dan Codim sp. Perkembangan budidaya rumput laut cukup maju dan
sudah dipasarkan keluar daerah NTT maupun sampai manca negara.
Potret kondisi terumbu karang di NTT yang diambil dari beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang saat ini semakin menurun dan termasuk
kategori rendah sampai sedang. Hasil penelitian Rusydi, dkk (2010) yang melakukan
penelitian untuk mengamati kondisi terumbu karang di perairan Kecamatan Kupang Barat
pada 5 stasiun pengamatan ditemukan presentase penutupan karang berkisar antara 10,36 –
20,12% tergolong kategori sangat rendah – rendah, sedangkan di perairan Pulau Semau yang
diteliti pada 5 stasiun ditemukan presentase penutupan karang keras antara 0,20 -35,22%
tergolong kategori sangat rendah sampai sedang.
Menurut Ninef, dkk, (2010), kondisi terumbu karang pada 11 lokasi di perairan
Lembata termasuk kategori cukup baik / sedang dengan persentase penutupan karang keras
rata-rata sebesar 41,86 %. Sine (2012), melalui penelitiannya ditemukan jenis karang yang
berada di perairan Teluk Kupang pada 6 lokasi yang diamati sebanyak 28 genus dan 11
famili.
Perkembangan presentase tutupan karang hidup di perairan Teluk Kupang dari tahun
2002 – 2010 yang diambil dari beberapa hasil penelitian terdahulu pada 10 lokasi (desa)
ternyata rata-rata presentase tutupan karang di bawah 50% tergolong kategori cukup/sedang.
Namun Sine (2012), juga melakukan pengamatan kondisi terumbu karang di Teluk Kupang
pada 6 lokasi (Pertamina Bolok, Pelabuhan Tenau, Batu Kepala, Oesapa, Pulau Kera bagian
Timur dan bagian Selatan) ditemukan presentase penutupan karang keras antara 4,0 – 50 %
dengan rata-rata 33,33 % tergolong kategori sedang.
Hasil penelitian Undana (2009), mengungkapkan jenis karang yang ditemukan di
perairam Alor berjumlah 75 spesies karang dan famili yang dominan adalah Acroporidae.
Kondisi ekosistem terumbu karang pada beberapa lokasi penelitian seperti Bana (Pantar),
Kokar, Pulau Ternate, dan Pulau Buaya ternyata presentase penutupan karang keras rata-rata
antara cukup sampai bagus dan dominan dibawah 50 %, hanya di Pulau Ternate 52,60 %.
Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan WWF ((2011) mengungkapkan bahwa beberapa
perairan khusus perairan Wolwal dan Pura presentase penutupan karang keras berada dalam
kondisi sedang antara 25 – 49,9%. Sementara hasil penelitian WWF (2013) pada Kawasan
Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kabupaten di zona inti, zona perlindungan (buffer),
zona pemanfaatan (zona parawisata dan zona perikanan berkelanjutan) ternyata presentase
tutupan karang keras hidup rata-rata di bawah 50% (kondisi sedang).
Khusus zona inti rata-rata presentase penutupan karang dibawah 40 %, zona
perlindungan di bawah 40 %, zona pemanfaatan (zona parawisata dan zona perikanan
berkelanjutan) juga dibawah 40%. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi terumbu karang di
perairan Alor sudah berada dalam kodisi rusak dan perlu mendapat perhatian yang serius dari
pihak pemerintah Kabupaten Alor.
Nienef, dkk (2010), telah melakukan pengamatan jenis mangrove pada 10 lokasi di 5
kecamatan Lembata, ditemukan jenis mangrove ada 14 spesies (jenis). Nilai kerapatan jenis
mangrove tertinggi di Waekerong adalah Rhizophora mucronata dan R. apiculata, di dermaga
Ferry Lewoleba adalah Rhizophora apiculata, Sonneratia alba dan Lumnitzera racemosa, di
Waejarang adalah Rhizophora mucronata dan R. apiculata, di Lewoleba (Bandara)
adalah Pemphis acidula dan Rhizophora apiculata, di Jontana adalah R. mucronata, di
Watodiri adalah R. apiculata dan Avicennia marina dan Tapobaran adalahExcoecaria
agallocha dan Sonneratia caseolaris. Nilai Indeks Keragaman (H’) jenis mangrove pada
semua lokasi umumnya rendah, artinya komunitas mangrove berada pada kondisi tertekan.
Nai Ulu (2010), mengemukakan jenis mangrove yang ditemukan di Kelapa Lima,
Tanah Merah dan Oebelo, dimana di Kelapa Lima terdapat 2 jenis mangrove, di Tanah Merah
terdapat 12 jenis dan di Oebelo terdapat 4 jenis mangrove, dengan jenis mangrove
terbanyak terdapat di Tanah Merah. Kerapatan pohon tertinggi didominasi oleh
jenisAvicennia marina (Aviceniaceae) pada ketiga lokasi.
Nani (2011), mengemukakan jenis mangrove yang ditemukan di Pariti ada 5 jenis dan
di Oeteta ada 6 jienis. Jenis mangrove pada kedua lokasi ini yang memiliki keraparan pohon
tertinggi adalah Avicennia alba (Avicenniaceae). Selanjutnya Bait (2011), mengemukakan
jenis mangrove yang ditemukan di Bipolo ada 11 jenis dan jenis yang memiliki kerapatan
pohon tertinggi adalah Lumnitzera racemosa (Combretaceae). Hasil analisis indeks
keragaman (H’) pada tingkat pohon pada 6 stasiun pengamatan di desa Bipolo berada pada
kisaran 0,79 – 3,52 tergolong kategori sangat buruk, sedang sampai baik.
Rusydi, dkk (2011) mengemukakan jenis-jenis mangrove yang ditemukan pada lima
lokasi penelitian meliputi Tesabela terdapat 5 jenis mangrove dan jenis yang memiliki
kerapatan pohon tertinggi adalah Aegialitis annulata (Pumbaginacae). Tablolong terdapat 6
jenis mangrove dan jenis yang memiliki kerapatan pohon tertinggi adalahRhizophora
mucronata dan Bruquiera cylindrica (Rhizophoraceae), Pulau Kambing terdapat 3 jenis
mangrove dan jenis yang memiliki kerapatan pohon tertinggi adalah Sonneratia
alba (Sonneratiaceae). Sebelah Barat Kawasan Budidaya Mutiara di Semau terdapat 3 jenis
mangrove dan jenis yang memiliki kerapatan pohon tertinggi adalah Sonneratia
alba (Sonneratiaceae), sedangkan di Hansisi terdapat 7 jenis mangrove dan jenis yang
memiliki kerapatan pohon tertinggi adalah Rhizophora mucronate (Rhizophoraceae).
Hasil penelitian Pellu (2008), mengatakan bahwa jenis-jenis lamun yang ditemukan
di pesisir pantai desa Tablolong ada 6 jenis antara lain : Enhalus acoroides, Thalassia
hemprichii, Thalassiodendron ciliatum, Cymodocea rotundata, halodule uninervis,
Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis dan H. spinosa. Ninef, dkk (2010), telah
melakukan pengamatan terhadap ekosistem lamun yang berada pada 4 lokasi penelitian di
pantai Lembata ditemukan jenis mangrove sebanyak 8 spesies, dimana 4 spesies terdapat di
Dermaga Ferry Lewoleba dan Waipukang, sedangkan 2 spesies terdapat di Lewoleba
(Bandara) dan Jontana. Jenis lamun yang memiliki kerapatan tertinggi di Dermaga Ferry
Lewoleba adalah Thalassia hemprichii dan Cymodocea serrulata, di Lewoleba (Bandara)
adalah Thalassia hemprichii dan Cymodocea serrulata, di Waipukang adalah Thalassia
hemprichii dan di Jontana adalah Halodule pinifolia.
Indeks Keragaman (H’) tertinggi di Dermaga Ferry Lewoleba adalah Cymodocea
serrulata dan Halodule pinifolia, di Lewoleba (Bandara) adalah Enhalus
acoroides dan Halodule pinifolia, di Waipukang adalah Enhalus acoroides dan Halodule
pinifolia, serta di Jontona adalah Halodule pinifolia dan Halophyla ovalis. Nilai Indeks
Keragaman (H’) pada semua lokasi rendah artinya lamun di lokasi penelitian berada pada
kondisi tertekan.
Sementara Rusydi, dkk (2011), yang melakukan penelitian terhadap jenis-jenis lamun
pada tiga lokasi yaitu Dermaga PT Tom Bolok, Tesabela/Batubao dan Tablolong ditemukan
pada Dermaga PT Tom Bolok terdapat 8 spesies yang tergolong dalam 4 genus dan 2 famili
dimana dari famili Potamogetonaceae ada Cymodocea serrulata, C. rotundata, Halodule
uninervis, dan H. pinifolia , sedangkan dari famili Hydrocharitaceae ada Halophila
ovalis, H.decipiens, Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Kemudian Tablolong
terdapat 5 spesies yang tergolong dalam 4 genus dan 2 famili seperti famili
Potamogetonaceae ada Halodule uninervis dan H. pinifolia, sedangkan dari famili
Hydrocharitaceae ada Halophila ovalis, Enhalus acoroides, dan Thalassiodendron
ciliatum. Selanjutnya Tesabela/Batubao terdapat 4 spesies yang tergolong dalam 3 genus dan
2 famili, dimana dari famili Potamogetonaceae ada Halodule uninervis, H. pinifolia,
sedangkan dari famili Hydrocharitaceae ada Halophila ovalis dan Enhalus acoroides.
Jumini (2011), mengemukakan bahwa hasil analisis nilai Indeks Keragaman (H’) dari
3 jenis lamun (Enhalus acoroides, Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium) yang
diteliti di Tablolong nilai H’ berkisar antara 1,098 – 2,160. Begitu pula di Paradiso nilai
H”’dari Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium berada pada kisaran 1,280 –
1,506. Artinya keanekaragaman jenis lamun pada kedua lokasi berada pada kategori sedang,
produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, dan tekanan ekologis sedang.
Mas’ulah (2011), menemukan jenis lamun di desa Bolok terdiri atas Halodule
uninervis, H. pinifolia, Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium termasuk
familiPotamogetonaceae, dan Enhalus acoroides dari famili (Hydrocharitaceae). Jenis lamun
yang mempunyai kerapatan tertinggi adalah Halodule pinifolia dan Enhalus acoroides. Nilai
rata-rata indeks keragaman (H’) lamun sebesar 0,844. Nilai ini menunjukkan
keanekaragaman jenis lamun rendah, miskin, dan produktivitas rendah yang mengindikasikan
kondisi ekosistem lamun di desa Bolok berada dalam kondisi tertekan.
Hasil penelitian Ninef, dkk (2010) mengemukakan aktivitas manusia yang dapat
mengamcam padang lamun pada lokasi penelitian di Lembata yakni padang lamun digunakan
sebagai tempat pendaratan perahu, tempat budidaya, makameting dan pengerukan untuk
membuat pelabuhan. Hasil penelitian Jumini (2011), menemukan bahwa aktivitas manusia
yang dapat menjadi ancaman bagi padang lamun (seagrass) diTabolong yaitu penambatan
perahu nelayan, lalulintas petani pembudidaya rumput laut, parawisata dan limbah domestic,
Selanjutnya untuk Paradiso yaitu kegiatan makameting (pengambilan biota saat air surut,
penambatan perahu nelayan, doking perahu nelayan, parawisata, penambangan karang dan
limbah domestik.
Menurut Mas’ulah (2011), aktivitas manusia yang dapat menjadi ancaman bagi
padang lamun (seagrass) di desa Bolok yaitu kegiatan budidaya rumput laut, makam eting
dan tempat pendaratan perahu. Menurut YPPL (2011), beberapa ancaman yang dapat
merusak padang lamun akibat aktivitas manusia pada 11 kabupaten di NTT yaitu
penambangan karang, penambangan pasir pantai dan pembuangan limbah.
Ancaman utama terhadap sumberdaya ikan dimana nelayan masih menangkap ikan
menggunakan bom dan racun di terumbu karang mengakibat sumberdaya perikanan karang
menurun, praktek Illegal fishing masih terus berangsung, musim yang tidak menentu, konflik
kepentingan dan orientasi wilayah penangkapan terpusat di perairan pantai karena armada
penangkapan masih didominasi oleh perahu tanpa motor, Untuk budidaya ikan dan rumput
laut ancaman utamanya yaitu kualitas dan sumber bibit, lokasi budidaya, musim, hama dan
penyakit yang sering menyerang ikan dan rumput laut, serta harga jual produk rumput di
pasaran yang selalu berfluktuatif.
Menurut YPPL (2011), beberapa ancaman yang dapat merusak terumbu karang akibat
aktivitas manusia pada 11 kabupaten di NTT (Kota Kupang,Kupang, Manggarai, Manggarai
Barat, Rote Ndao, Sabu Raijua, Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah, Sumba
Timur dan TTS) yaitu penambangan karang, pembuangan limbah, pengeboman ikan,
penangkapan ikan dengan racun, dan pembangunan infrastruktur (jeti, hotel, seawall, resort,
dll).
Menurut Sine (2012), ancaman yang dapat merusak terumbu karang di Teluk Kupang
akibat aktivitas manusia yaitu pencemaran limbah domestik dan aktivitas makameting oleh
masyarakat pesisir. Tim Peneliti Undana (2009), mengemukaan ancaman yang dapat merusak
terumbu karang di perairan Alor yaitu penangkapan ikan menggunakan bom dan racun,
kematian secara alami, dan predator. WWF (2013), mengemukan beberapa ancaman yang
dapat merusak terumbu karang di Kabupaten Alor yaitu aktivitas penangkapan oleh nelayan
lokal, jalur pelayaran, kematian alami, pembangunan di wilayah pesisir, pengambilan pasir
laut, pelabuhan laut dan penebangan mangrove.
Menurut Dishut, NTT (1997), ancaman akibat aktivitas manusia yang menyebabkan
mangrove rusak pada lokasi penelitian di Flores dan Kepulauan Solor yaitu pengambilan
mangrove untuk kayu bakar, tiang konstruksi rumah, dan pembuatan tambak, sedangkan
ancaman alami disebabkan oleh tsunami dan pengendapan lumpur. Menurut Ninef, dkk
(2010), yang melakukan penelitian di Lembata ditemukan ancaman yang dapat merusak
ekosistem mangrove yaitu aktivitas manusia berupa perluasan lahan pantai untuk Dermaga
Ferry dan pelabuhan udara, masyarakat mengambil kayu mangrove untuk kayu bakar, tempat
pendaratan perahu, tambak garam dan kematian secara alami, Selanjutnya Nai Ulu (2010),
mengemukakan faktor-faktor penyebab rusaknya mangrove di Kelapa Lima, Tanah Merah
dan Oebelo karena dimanfaatkan masyarakat sebagai tempat rekreasi, mencari makanan
ternak, mengambil kayu bakar, tambak garam dan ikan, tempat penangkapan kepiting dan
hewan laut lainnya, Menurut Bait (2011), aktivitas manusia yang berdampak pada ekosistem
mangrove di desa Bipolo yaitu masyarakat memanfaatkan kayu mangrove untuk kayu bakar
dan bahan bangunan, sebagai tiap pancang sero sapu lidi, penyangga pancing kepiting dan
penyangga tali pengusir burung, tempat penambatan perahu serta konversi lahan untuk
tambak ikan, Selanjutnya Nani (2011), mengemukakan aktivitas manusia di Pariti yang
berdampak pada ekosistem mangrove yaitu penggunaan kayu mangrove sebagai kayu bakar,
kayu pagar, penggantung alat tangkap trammel net, penyangga sero waring, konversi lahan
mangrove untuk tambak ikan bandeng dan garam, sedangkan di Oeteta disebabkan oleh
penggunaan kayu mangrove sebagai kayu bakar, penyangga sero waring, dan konversi lahan
mangrove untuk tambak garam. YPPL (2011), beberapa ancaman yang dapat merusak
mangrove akibat aktivitas manusia pada 11 kabupaten di NTT yaitu penebangan hutan bakau,
penangkapan ikan dengan racun dan pembuangan limbah.
Pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan laut bertujuan untuk kelestarian
sumberdaya dan meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, aspek ekologi, sosial dan budaya masyarakat lokal dalam
pengelolaan wilayah pesisir dan laut harus diperhatikan dan dipertahan sebagai landasan
pengelolaan sumberdaya yang berkelanjutan. Aspek ekologi dalam fungsi-fungsi ekosistem
dan aspek sosial budaya seperti kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya yang tidak
merusak harus dipertahankan sebagai modal utama untuk mencapai kelestarian sumberdaya
dan kesejahteraan masyarakat pesisir.
Kearifan lokal atau tradisional menurut Keraf (2002) adalah semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang
menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Dijelaskan pula
bahwa kearifan lokal/tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan
juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan
bagaimana relasi di antara penghuni komunitas ekologis ini harus dibangun.
Indonesia masih terdapat berbagai bentuk kearifan lokal dari kelompok masyarakat
adat yang mempraktekkan cara tradisional untuk mengelola sumberdaya pesisir, seperti Sasi
di Papua dan Maluku, Awig-awig di Nusa Tenggara Barat. Akan tetapi sejalan dengan proses
dinamika kehidupan masyarakat, kearifan lokal terdegradasi dengan nilai-nilai dan norma
adat yang memudar, karena perkembangan dan tantangan kehidupan yang semakin kompleks.
Sejumlah substansi kearifan lokal yang pernah dianut dalam masyarakat tidak lagi menjadi
pedoman berperilaku. Kearifan lokal dalam pelestarian wilayah pesisir misalnya untuk
menjaga dan mengatur sistem penangkapan ramah lingkungan, saat ini sudah menghilang dan
digantikan dengan sistem eksploitasi berlebihan.
Seiring adanya perubahan rezim pemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi
mengubah sistem hukum Indonesia, termasuk di bidang kelautan dan perikanan. Bahwa
kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dan laut dapat melibatkan masyarakat lokal melalui
kemitraan dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan wilayah pesisir
dan laut. Keikutsertaan masyarakat lokal dan kearifan lokal diakui secara hukum dalam
peraturan perundang-undangan Indonesia. Pengakuan tersebut tercermin dalam kebijakan
tentang perlindungan SDA dan keterlibatan masyarakat, seperti UU No. 31 tahun 2004
tentang Perikanan jo UU No. 45 tahun 2009, UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jo UU No. 01 tahun 2014, dan PP 60 Tahun 2007
tentang Konservasi Sumberdaya Ikan. Berbagai upaya pengelolaan kawasan pesisir dan laut
yang berkelanjutan adalah dengan melakukan upaya konservasi yang berbasis masyarakat,
partisipatif dan kolaboratif.
Kawasan Konservasi Perairan Nasional Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu
ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Menteri Kelautan dan
Perikanan Republik Indonesia No. 5 tahun 2014 yang meliputi perairan Selat Sumba dan
Perairan Pulau Sabu-Rote-Timor-Batek seluas 3.355.352,82 hektar di 10 Kabupaten Propinsi
Nusa Tenggara Timur. Tujuan penetapan Taman Nasional Perairan Laut Sawu adalah
mewujudkan kelestarian sumberdaya ikan dan ekosistemnya sebagai bagian wilayah ekologi
perairan laut Sunda Kecil (Lesser Sunda Marine Eco-Region), melindungi dan mengelola
ekosistem perairan Laut Sawu dan sekitarnya, sebagai platform pembangunan daerah (bidang
perikanan, pariwisata, masyarakat pesisir, pelayaran, ilmu pengetahuan dan konservasi) serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui mata pencaharian yang berkelanjutan
(sustainable livelihood).
Dalam dokumen Rencana Pengelolaan dan Zonasi TNP Laut Sawu terdapat sekitar 20
kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat desa pesisir di TNP Laut Sawu.
Dari dekitar 20 kearifan lokal yang ada di TNP Laut Sawu Salah satu contohnya adalah
Lilifuk di Kabupaten Kupang tepatnya di Desa Kuanheum, Kecamatan Kupang Barat.
Kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut sudah terbukti dapat
menjamin keberlangsungan sumberdaya tersebut. Hal ini perlu diperhatikan untuk
memperkuat ataupun mengembalikan budaya yang sudah tidak dilaksanakan. Upaya untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap kearifan lokal untuk sumberdaya pesisir
dan laut perlu dilakukan, yaitu memperkuat kelembagaan masyarakat lokal, peningkatan
apresiasi budaya lokal dan menggali substansi kearifan lokal yang mulai memudar. TNP Laut
Sawu memiliki banyak kearifan lokal yang mendukung pengelolaan kawasan konservasi,
seperti budaya Lilifuk di Kabupaten kupang.
Lilifuk merupakan suatu upaya masyarakat untuk mendukung konservasi pesisir dan
laut yang terdiri dari penagkapan ikan dengan alat dan cara ramah lingkungan. Kearifan lokal
pengelolaan Lilifuk bermjla pada kebiasaan masyarakat yang mencadangkan suatu area
tertentu pada wilayah perairan desa yang hanya mengijinkan operasi penangkapan ikan 2
(dua) kali dalam satu tahun. Lilifuk adalah suatu kolam besar yang dipenuhi dengan rumput
halus yang menjadi pusat atau penuh dengan ikan lada dan ikan dusung yang berada di tepi
laut. Apabila air laut surut, maka kolam besar ini akan tampak dengan kedalam maksimum
5meter dengan luas 20.000 m2. Lilifuk berada didalam penguasaan suku Baineo penduduk
kampung RT 14 Taunesi Desa Kuanheun.
Lilifuk atau dengan kata lain menurut istilah Lokal Masyarakat Desa Kuanheun yakni
Nifu adalah; Daerah cekung pada permukaan dasar perairan Pantai yang menyebabkan
adanya genangan air laut pada saat surut tertinggi. Kondisi tergenangnya air laut pada saat
surut ini menyerupai Kolam besar di laut, sehingga masyarakat Desa Kuanheun menyebutnya
dengan istilah Nifu dalam bahasa Dawan yang artinya Kolam.
Terbentuknya Lilifuk/ Nifu Loles yang di Prakarsai oleh salah satu Suku/ Klan adat di
Desa Kuanheun yakni Suku/ Klan Baineo, terbentuk sejak ratusan tahun yang lalu , menurut
seorang Nara sumber yang juga adalah salah seorang Anak suku /Klan Baineo menuturkan
bahwa , Hak penuh Suku/Klan Baineo terhadap Lilifuk/ Nifu Loles diawali dengan Perang
antara Suku/ Klan Baineo ( Suku di Desa Kuanheun) dan Suku/ Klan Lai Kopan ( Suku di
Desa Bolok)memperebutkan Tiga gugusan Lokasi terhitung dari lokasi perairan pantai
(Tinmau) Nama Tinmau adalah sebuah kolam yang sederetan dengan Lilifuk/ Nifu Loles
,memiliki kedalaman lebih dari 15 Meter,berbentuk lingkaran yang berdiameter ± 500 Meter
dan dasar kolam tersebut terdiri dari populasi terumbu karang yang merupakan tempat
berkembangbiaknya ikan ,kondisi inilah yang menyebabkan daerah pantai Loles sangat
Strategis untuk dilestarikan sebagai sebuah Lilifuk. Sebuah padang yang saat ini dijadikan
lahan pertanian (Sel Baun) dan Oeli’i. yang menurut istilah adat Suku Baineo bahwa Oeli’i
adalah bagian Kepala Tanah, Sel Baun adalah Badan Tanah dan Tinmau adalah Kaki Tanah.
Dalam Peperangan tersebut terdengar Kalimat-kalimat umpatan yang dilontarkan oleh kedua
Kubu sehingga terdengar sebuah kata Umpatan (Maki) dalam bahasa Dawan yang ditujukan
suku/Klan Baineo kepada Suku/ Klan Laikopan Yang berbunyi HO LOEL MAN yang artinya
Kau punya Otak, bermaksud menghina cara berpikirnya suku/ Klan Laikopan. Sehingga
Sejak saat itu tempat / pantai dimana terjadi peperangan itu dinamakan Pantai Loles
(terjemahan dari kata Ho LoEL MAN). Dalam peprangan itu Suku / Klan Laikopan
mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Pulau Semau. Sehingga Suku/Klan Baineo
memiliki hak penuh terhadap ketiga Lokasi itu.
Sejak Suku Baineo menguasai Lilifuk maka pengelolaannya pun diatur berdasarkan
kesepakatan adat suku Baineo. Selain itu juga terdapat ragam larangan dalam pengelolaan
lilifuk ini antara lain: Bahwa setiap orang dilarang masuk dan mengambil ikan di dalam
Lilifuk/Nifu Loles sampai dengan batas waktu yang ditentukan, Masa panen Lilifuk/Nifu
Loles dilaksanakan satu kali dalam setahun, kebiasaan setahun sekali ini dikenal dengan
istilah TUT NIFU, namun yang sekarang menjadi wacana adalah panen Lilifuk dilakukan 2
tahun sekali yaitu pada bulan Juni dan bulan Desember, Pada saat panen Lilifuk/Nifu Loles
diharuskan memberi undangan kepada desadesa tetangga, Upeti/kontribusi bagi suku Baineo
selaku pemilik Lilifuk/Nifu Loles pada saat panen adalah beberapa ekor ikan yang diambil
dari hasil tangkapan setiap undangan yang datang dalam istilah adatnya adalah TANAIB IKA
artinya seikat ikan.
Semua larangan tersebut ditetapkan dalam sebuah upacara ritual yang dikenal dengan
istilah adat yakni TASAEB TALAS yang artinya mendirikan rambu-rambu. Sedangkan sanksi
yang dijatuhkan kepada pelanggar adalah, apabila ada oknum-oknum yang kedapatan
melanggar maka akan dikenakan sanksi barupa 1 (satu) ekor hewan (sapi, babi dan kambing)
dan berdasarkan peraturan tersebut maka bagi pelaku yang melakukan pencurian ikan di
Kolam Lilifuk pada masa penutupan akan dikenakan sanksi adat berupa babi 1 ekor dengan
beras 100 kg dan juga bagi pelaku yang menggunakan pukat garu yang dapat mengakibatkan
rusaknya lilifuk akan dikenakan sanksi adat berupa uang Rp.500.000,-.
Upaya melegalisasi nilai-nilai tradisional dalam pemanfaatan dan pelestarian
sumberdaya pesisir telah dilakukan oleh lembaga pemerintahan desa melalui Peraturan Desa
Nomor 1 tahun 2012 tentang Perlindungan Sumberdaya Laut di Wilayah Lilifuk. Peraturan
ini dibuat berdasarkan pada nilai, norma dan prinsip yang dianut sejak turun-temurun oleh
masyarakat dalam pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya pesisir. Peraturan ini sekaligus
menggambarkan adanya kemauan dan kegiatan pemerintahan desa, lembaga adat, dan
masyarakat untuk memunculkan kembali fungsi kearifan lokal dalam pelestarian sumberdaya
pesisir dan laut.
Perdes ini mengatur pengelolaan wilayah pesisir dalam kegiatan penangkapan ikan,
budidaya, pariwisata, dan pertambangan pasir laut. Juga mengatur fungsi dan peran
masyarakat dalam perlindungan sumberdaya laut dan pesisir, peran kelembagaan desa seperti
Pemerintah Desa, Badan Permusyaratan Desa, Linmas Desa, dan Kelompok Masyarakat
Pengawas. Selanjutnya Perdes ini mengatur mengenai pendanaan berkelanjutan bagi
pelestarian dan perlindungan sumberdaya pesisir, larangan dan sanksi bagi yang melanggar
Perdes.
Sejak Suku Baineo menguasai Lilifuk/Nifu Loles maka manajemen pengelolaannya
pun diatur berdasarkan kesepakatan Adat Suku Baineo pada saat itu. Larangan yang diatur
adalah sebagai berikut : Bahwa setiap orang dilarang masuk dan mengambil Ikan didalam
Lilifuk/ Nifu Loles sampai dengan batas waktu yang ditentukan, Masa Panen Lilifuk/ Nifu
Loles dilaksanakan satu kali dalam setahun, kebiasan setahun sekali ini dikenal dengan istilah
TUT NIFU, Pada saat Panen Lilifuk / Nifu Loles diharuskan memberi undangan kepada Desa
-desa tetangga, Upeti/ Kontribusi bagi Suku Baineo selaku pemilik Lilifuk/ Nifu Loles pada
saat panen adalah beberapa ekor Ikan yang diambil dari hasil tangkapan setiap undangan
yang datang yang dalam istilah Adatnya adalah TANAIB IKA artinya ; seikat Ikan
Semua larangan tersebut ditetapkan dalam sebuah upacara Ritual yang dikenal dengan
istilah Adat yakni TASAEB TALAS yang artinya mendirikan Rambu-rambu.
Dalam Peraturan Desa ini, terdapat 7 larangan yang disertai dengan 12 sanksi bagi
setiap pelanggar. Larangan dalam peraturan desa ini, antara lain setiap orang dilarang
menggunakan alat tangkap yang merusak biota laut, dilarang menangkap ikan di zona
kearifan lokal (Lilifuk) sebelum waktunya, dilarang merusak, mengambil penyu, dan terumbu
karang, dilarang melakukan pencurian, termasuk pasir dan batu laut, dilarang dilakukan
pencemaran laut, serta dilarang merusak tempat pengeringan garam.
Sanksi bagi pelanggar yang terbukti melakukan kegiatan yang dilarang oleh Perdes
yaitu sanksi adat, misalnya setiap orang yang menggunakan pukat garu dalam Lilifuk dikenai
sanksi adat berupa denda Rp 1 juta dan beras 100 kg, setiap orang yang menggunakan sorok
lingkar dikenakan sanksi Rp 500.000. Juga ada sanksi bagi setiap orang yang melakukan
penangkapan ikan dengan bubu, menangkap penyu, penggunaan bom dan racun ikan,
merusak terumbu karang, pencurian ikan di zona kearifan lokal, pencemaran perairan dan
pengrusakan tempat pengeringan garam.
Salah satu tujuan pengembangan TNP Laut Sawu adalah pemberdayaan sosial
ekonomi masyarakat. Potensi kearifan lokal yang ada dimasyarakat dapat menjadi salah satu
faktor pendukung terlaksananya tujuan ini. Dengan merevitalisasi kearifan lokal, maka
masyarakat dapat ikut serta mendukung upaya perlindungan terhadap sumberdaya pesisir dan
laut yang ada di desa pesisir pada kawasan konservasi Taman Nasional Perairan Laut Sawu.
TNP Laut Sawu terdiri dari empat Zona yaitu Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona
Pemanfaatan dan Zona Lainnya. Zona Kerifan Lokal adalah Zona Lainnya yang
diperuntukkan untuk melindungi daerah-daerah yang memiliki nilai-nilai budaya-tradisional
yang penting dan mengakomodir kearifan lokal masyarakat yang terdapat dan tersebar di
masing-masing daerah di dalam kawasan TNP Laut Sawu yang mempunyai keunikan dan
mendukung upaya konservasi.
Kegiatan yang diperbolehkan di zona kearifan lokal yaitu pariwisata dan rekreasi,
penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan, budidaya ramah lingkungan,
penelitian dan pengembangan, pendidikan dan alur pelayaran. Sementara kegiatan dilarang
adalah pembangunan infrastruktur pariwisata, menggunakan bahan beracun, kompresor dan
bom, penangkapan ikan dengan pukat, menangkap jenis yang dilindungi (penyu, lumba-
lumba, paus), dan merusak ekosistem penting (mangrove, terumbu karang dan lamun).
Kawasan konservasi perairan meupun Kawasan konservasi di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil yang berkembang di Indonesia tidak hanya terhenti dalam pencapaian
luasan semata, namun pengelolaan Kawasan konservasi secara berkelanjutan yang “efektif”
adalah harapan yang senantiasa terus digapai perwujudannya hingga pada akhirnya tercapai
kesejahteraan masyarakat sebagai benefit pengelolaan kawasan konservasi.
Pengelolaan kawasan konservasi sebaiknya dilakukan sesuai dengan kewenangannya,
melalui peranserta masyarakat secara partisipatif bagi peningkatan kesejahteraannya, Semoga
perwujudan pengelolaan kolaboratif kawasan konservasi perairan, pesisir dan pulau-pulau
kecil yang Efektif untuk mendukung perikanan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat
segera dapat tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Bait, N.M, 2011. Analisis Ekologis Mmangrove di Desa Bipolo Kecamatan Selamu
Kabupaten Kupang (Tesis). Program Pascasarjana Undana Kupang.
BPS NTT, 2012. NTT Dalam Angka 2013. Badan Pusat Statistik Provinsi NTT
Dahuri, R., S.P. Ginting, J. Rais, dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
DKP Provinsi NTT, 2009. Renstra Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2009 –
2013. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTT.
Dishut Provinsi NTT, 1997. Rencana Pengelolaan Hutan Bakau di Flores dan Kepulauan
Solor provinsi NTT. Kerjasama Dishut dan PPLH Lemlit IPB.
Jumini, 2011. Hubungan antara Struktur Komunitas Padang Lamun dengan
keanekaragaman Makrobentos di di perairan Tablolong dan Paradiso Kupang
(Tesis). Program Pascasarja Undana Kupang.
Keraf, A. Sony. 2002. Etika Lingkungan. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Yayasan
Pengembangan Pesisir dan Laut, 2010. Pemetaan Partisipatif Taman Nasional
Perairan Laut Sawu. Laporan untuk The Nature Conservancy. Kupang, Indonesia
Kupang (Antara News), 2012. NTT Terus Optimalkan Potensi Kelautan dan Perikanan.
Bkpm.go.id, Diunduh tanggal, 25 Juni 2014.
Mas’ulah, R, 2011. Keterkaitan antara Struktur Komunitas Lamun dan Struktur Populasi
Bulu Babi pada Zona Intertidal di Desa Bolok, Kabupaten Kupang (Tesis). Program
Pascasarjana Undana Kupang.
Nai Ulu, M.A, 2010. Analisis Faktor-faktor Penyebab Kerusakan Mangrove dan Upaya
Pengelolaannya di Teluk Kupang (Tesis). Program Pascasarjana Undana Kupang.
Nani, Y, 2011. Pengaruh Aktivitas Manusia pada Ekosistem Mangrove Terhadap Hasil
Tangkapan Udang dan Upaya Pengelolaannya di Pariti dan Oeteta Kecamatan
Sulamu, Kabupaten Kupang (Tesis). Program Pascasarjana Undana Kupang.
Ninef, J.S.R, J. Pello, F.J.L Risamasu, I. Sinu, A,. Kangkan dan A.Y Lukas, 2010.
Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Kabupaten (KKPK)
Lembata. Kerjasama Pusat Penelitian Perikanan dan Kelautan Lemlit Undana
dengan DKP Lembata. Pusat Penelitian Perikanan dan Kelautan Lemlit Undana
Kupang.
Pellu, Y.A.Y, 2008. Studi Struktur komunitas dan kerusakan Padang Lamun di Pesisir
Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang. (Tesis) Program Pascasarjana
Universitas Nusa Cendana.
Risamasu, F.J.L; A. Tjendanawangi, F, CH, Liufeto, J.S.R Ninef dan J. Jasmanindar, 2011.
Kajian Potensi Sumberdaya Ikan dan Non Ikan sebagai Sumber Pangan di
Kabupaten Kupang. Pusat Penelitian Perikanan dan Kelautan Lemlit Undana
Kupang.
Rusydi, Barhiman, A. Majid, F.J.L Risamasu, dan T. Da Cunha, 2010. Baseline Data
Kualitas Air dan Biota Perairan di Teluk Kupang Sebelum Pengoperasian PLTU di
Bolok Kecamatan Kupang Barat. Kerjasama Fakultas Perikanan UMK dan PT
TOM Kupang.
Sine, K.G, 2012. Fitoplankton sebagai Bioindikator Kondisi Terumbu Karang di Perairan
Teluk Kupang dan Sekitarnya (Tesis). Program Pascasarjana Undana, Kupang.
Tim Peneliti Undana, 2009. Laporan Hasil Studi Ekologi Kabupaten Alor. Kerjasama
dengan WWF, Tim PPKKLD dan Pemda Kabupaten Alor.
WWF, 2011. Survey Kesehatan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Perairan
(KKPD) Kabupaten Alor.
WWF, 2013. Survey Kesehatan Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Perairan
(KKPD) Kabupaten Alor.

Anda mungkin juga menyukai