Anda di halaman 1dari 5

Focus Group Disscussion (FGD)

PENATAAN RUANG DALAM PENGELOLAAN PESISIR LAUT


PULAU-PULAU KECIL DAN POLA PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN
BERBASIS KOMUNITAS YANG BERKELANJUTAN

LATAR PIJAK

Seperti yang diketahui bersama bahwasannya krisis iklim saat ini merupakan ancaman nyata.
Perlu upaya bersama dalam rancang bangun strategi mitigasi adaptasinya. Keterlibatan publik
sangat penting untuk itu.

Sebagai wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil di timur Indonesia, Maluku Utara dinilai
rentan terhadap dampak krisis iklim global. Perubahan pola cuaca ekstrem dan kenaikan suhu
rata-rata dalam waktu yang cukup panjang—seperti apa yang dilaporkan Stasiun Metereologi
Kelas I Sultan Baabullah Ternate per 2020—berdampak langsung terhadap sektor produktifitas
masyarakat tempatan, pertanian dan perikanan. Tentu saja dalam konteks kebencanaan perlu
dipikirkan secara serius seperti apa pendekatan strategi mitigasi adaptasi sebuah wilayah
dengan karakter dan pola produksi pemukim yang hidup di pesisir dan pulau-pulau kecil seperti
Maluku Utara.

Sebagian masyarakat di Maluku Utara telah memiliki praktik pengelolaan pada sektor land
based sustainability sehingga dapat dijadikan bagian dari pendekatan strategi mitigasi adaptasi.
Perlu diakomodir ke dalam program-program pembangunan berkelanjutan yang telah
dicanangkan oleh Pemerintah Daerah agar tercipta sinergisitas.

Upaya-upaya semacam itu mesti didorong paling tidak dapat memberi stimulasi kesadaran
secara sistematis dan pada akhirnya terciptanya aksi iklim pada arus bawah. Langkah semacam
ini sangat baik dalam konteks preventif. Dalam rangka itulah, kegiatan literasi ekologi perlu
terus digelar pada level komunitas warga yang mengarah pada terbangunnya rencana tindak
lanjut yang sesuai.

Perkumpulan Pakativa memandang strategi pembangunan berkelanjutan tidak hanya ditujukan


untuk menjawab permasalahan lingkungan hidup berupa upaya-upaya pengendalian emisi dan
polusi namun juga berkorelasi erat dengan soal resiliensi pangan. Bagaimana upaya menjaga
dan mempertahankan pola subsistensi masyarakat di perkampungan tetap berkesinambungan
dan itu terintegrasi dengan mode pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan pada
ekosistem setempat adalah tugas bersama semua pihak.

Misalnya pemanfaatan ruang untuk pengembangan lahan pertanian namun abai dengan
perlunya merawat fungsi hutan di sekitarnya sebagai area penyangga dan resapan air adalah
kesalahan besar dan bertentangan dengan kaidah berkelanjutan. Atau juga mencanangkan
suatu kawasan eko wisata namun dalam implementasinya mengurangi jasa layanan alam
setempat menjadi lingkungan artifisial dengan menebang pohon di lokasi tersebut secara massif
untuk kebutuhan estetika dan sarana wisata adalah kekeliruan mendasar yang sifatnya
primordial dalam relasi kehidupan.
Konsepsi pembangunan berkelanjutan dapat dilacak akarnya merupakan hasil dari kritik
ekologis dari gerakan lingkungan hidup yang cukup banyak dipengaruhi oleh berbagai studi
komparasi antara tatanan yang disebut sebagai modern dan kebudayaan grup-grup pemetik-
peramu berbasis alam.

Praktik sosial orang-orang berbasiskan alam tidak memaksa bumi untuk memproduksi pada
level maksimum dan juga tidak mengadakan penyusunan ulang ritme alam dan tampilan fisik
bumi secara total. Sebuah komitmen untuk keberlanjutan ekologi merupakan dasar dari
kemunculan manusia, dan hidup yang berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dari jalinan dengan
partisipasi penuh dalam kehidupan sosial, pengambilan keputusan yang demokratis, harga diri
bagi perempuan dan laki-laki, makanan bermutu, serta populasi yang stabil. 1

Ditambah lagi, orang-orang berbasiskan alam akan pindah ketika sumber daya yang ada
mencapai batasnya, dan itu tidak pernah batas maksimum dari wilayah tersebut. Sebuah daur
hidup yang memberi pelajaran terkait pola konsumsi (SDA maupun ruang) yang selaras dengan
cita-cita keadilan ekologis.

Budaya berbasiskan alam mengerti bahwa membiarkan lebih banyak pohon berdiri, binatang
berlari-lari bebas, buah-buahan jatuh ke tanah, sayuran memenuhi perputaran mereka, dan
lebih banyak ikan berenang-renang berarti menghargai kelengkapan alam. Hidup dalam cara ini
berarti berpartisipasi dalam perputaran besar dari kehidupan alami untuk mempertinggi
keberlimpahan bumi dan, pada saat yang sama, untuk memastikan keberlanjutan, keberadaan,
dan kewarasan dari komunitas manusia.

Sains modern menjelaskan bahwsannya keragaman biologis merupakan titik ukur utama dalam
menentukan kesehatan suatu ekosistem. Semakin beragam jenis mahkluk yang menghuni suatu
komunitas biologis merupakan pertanda banyak terjadinya pembuahan gen yang baik bagi
kelangsungan mahkluk hidup.

Kabar baiknya, sebagian praktik sosial dari budaya-budaya berbasiskan alam di atas masih
dapat kita jumpai dalam beberapa perkampungan di Maluku Utara meski pada tataran yang
berbeda. Kebijakan transmigrasi sebagian orang Kalaodi ke Oba oleh Sultan Tidore dan
berdasarkan musyawarah mufakat masyarakat setempat di era 1970-an berlandaskan pada
perhitungan beban populasi dengan topografi kewilayahan yang bertujuan untuk menghindari
konsumsi lahan skala besar di hulu yang dapat berdampak pada perkampungan pesisir. Selain
itu masih dipertahankannya pola perladangan hortikultura yang berpindah-pindah di sana, ini
merupakan contoh praktik pertanian ramah humus dalam semangat ekologis, mengistirahatkan
tanah untuk proses pemulihan unsur hara.

Di Pulau Ternate, masih kita jumpai wisata alam yang dikelola berbasis komunitas bernama
Pulo Tareba, sebuah area yang berlokasi sekira 900meter ke selatan dari garis pantai Kelurahan
Takome, Ternate Barat, dengan ketinggian relatif pada 80-115 mdpl, dan merupakan sebagian
titik vegetasi hutan primer dan hutan campuran tanaman budidaya pada kawasan danau Tolire.

Berbeda dengan banyak industri eko wisata di Maluku Utara, Lokasi wisata alam Pulo Tareba
dikelola oleh komunitas pemuda dan warga tempatan tanpa mengurangi jasa layanan alam
pada ekosistem hutan sekitar danau Tolire. Kawasan ini terdapat spesies burung Kakatua,
1
Uncivilized, A Primer on Civilization, Domestication, and Anarchy;
Rangkong atau Burung Taon, dan Maleu Kaki Merah, serta Nuri Ternate, Kakatua ijo, dan Nuru
Bayan juga ada di sini.
Kawasan ini masih terdapat pepohonan besar seperti Canarium sp., Ficus sp., dan Shore asp.,
dan merupakan habitat banyak spesies terutama burung, karenanya kegiatan seperti
birdwatching dan jelajah satwa juga menjadi bagian dari layanan wisata alam Pulo Tareba.
Upaya-upaya konservasi perlu dioptimalkan agar dapat mempertahankan kelimpahan dan
keanekaragaman satwa yang ada. Pemerintah Daerah, masyarakat, dan komunitas pengelola
yang sering berinteraksi dalam lingkungan setempat perlu membangun satu konsep terpadu
pengelolaan jasa lingkungan yang adil dan berklenjutan. Seperti yang tertuang dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan
hutan serta pemanfaatan hutan.

Tata kelola wisata alam yang adil dan lestari mesti ditujukan untuk tetap mempertahankan dan
memperkaya keanekaragaman hayati dan tak mengubah fungsi lingkungan yang telah
disediakan alam namun tak membatasi akses masyarakat dalam pemanfaatannya. Hal ini
merupakan tantangan tersendiri. Upaya-upaya literasi ekologi perlu digiatkan bersama,
sekaligus secara aspiratif dapat mempengaruhi pengambilan keputusan Pemerintah Daerah
dalam konteks rezim pemanfaatan ruang saat ini.

Sehingga itulah mengapa sinergisitas rancang bangun penataan kawasan dan


pengelolaan/pemanfaatan pada sektor berbasis lahan yang berkelanjutan juga menjadi concern
isu Perkumpulan Pakativa. Sebagai langkah awal, dipandang perlu membangun forum
komunikasi dan audiensi para pihak sebagai bagian dari langkah-langkah korektif dan integrasi
data, dengan harapan dapat melahirkan tindakan kolektif dan peran serta yang konstruktif.

TUJUAN

Penguatan kelembagaan dan sumberdaya manusia (empowering), terutama kelompok


masyarakat, kelompok pengelola jasa lingkungan, dan kaum muda di Kota Ternate agar dapat
sadar isu untuk mewujudkan keadilan ekologis dalam konteks Pengelolaan Pesisir & Pulau-Pulau
Kecil.

Bentuk Kegiatan

Kegiatan ini berbentuk Focus Group Discussion dengan tema “Penataan Kawasan dalam
Pengelolaan Peisisir Laut Pulau-Pulau Kecil dan Pola Pemanfaatan Jasa Lingkungan Berbasis
Komunitas yang Berkelanjutan.”

Waktu dan Tempat

Hari/Tanggal : Selasa 23 Agustus 2022;

Tempat/Jam : Lokasi Wisata Alam Pulo Tareba, pukul 15.00-sampai dengan selesai;
Narasumber dan Kepesertaan

Narasumber

Diskusi grup terfokus ini akan di bantu oleh 3 narasumber yang memiliki kompetensi di
bidangnya antara lain:

1. Akhmad David Kurnia Putra (staf fungsional-Polhut Balai Taman Nasional Aketajawe
Lolobata, dan fotografer satwa liar).
Bincang soal pelestarian hutan tersisa sebagai kawasan penyangga dan habitat dari
keragaman spesies burung serta ritual tahunan migrasi burung di Pulau-Pulau Kecil
Maluku Utara;

2. Faisal Ratuela (Direktur Eksekutif Daerah Walhi Maluku Utara)


Bincang tentang tata ruang di pulau-pulau kecil dan konsepsi lingkungan buatan
berkelanjutan tinjauan arsitektur, sejarah, & kosmologi lokal; hubungan simbiosis, alam
dan cagar budaya sebagai karakter tapak, penataan lansekap yang menguatkan
orientasi pengunjung terhadap cagar budaya dan timbal balik, cagar budaya yang
mampu hadir secara kuat di mana dapat membentuk suasana kontemplatif bagi
masyarakat untuk tergerak menjaga alam;

3. Pengelola wisata alam Pulo Tareba.


Berbagi informasi terkait pengalaman obeservasi pada ekosistem di sekitar lokasi Pulo
Tareba serta inisiatif pengelolan wisata alam berbasis komunitas baik dari aspek
kebudayaan, adat istiadat, dan kearifan lokal;

Peserta

1. Komunitas Pencinta Alam Estuaria;


2. Pemuda dan warga Kel. Takome
3. Media Lokal
4. NGO di Kota Ternate

Penutup

Demikian kerangka acuan ini disusun untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya. Kehadiran
dan partiisipasi dari para pihak sangat diharapkan. Atas perhatiannya kami haturkan terima
kasih.

Ternate, 17 Agustus 2022


Kantor Perkumpulan Pakativa

Anda mungkin juga menyukai