Anda di halaman 1dari 3

Term of Reference

Focus Group Discussion

“Perspektif, Perencanaan, dan Tantangan Implementasi


Pembangunan Berkelanjutan Pesisir laut dan Pulau Pulau Kecil”
Rancang Bangun Strategi Mitigasi Adaptasi di Maluku Utara

Latar Pijak

Sejauh ini, sebagian besar porsi pengurangan emisi dalam Nationally Determined Contributions
(NDC) dikaitkan dengan hutan yang memiliki fungsi menyerap karbon di udara, potensi emitan
lain yang mampu menyerap karbon setara atau bahkan lebih besar dari hutan daratan belum
menjadi perhatian serius dalam konteks mitigasi adaptasi perubahan iklim.

Padahal dalam konteks isu iklim, ekosistem pesisir diidentifikasi mampu mengurangi emisi gas
rumah kaca dibanding hutan daratan, meliputi hutan mangrove, rawa payau, dan padang
lamun, menjadi faktor penting yang diidentifikasi sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.
Karena itu perencanaan pembangunan rendah karbon di daerah mesti selaras dengan
perspektif kewilayahan yang integratif.

Seperti yang diketahui bersama bahwasannya krisis iklim saat ini merupakan ancaman nyata.
Perlu upaya bersama dalam rancang bangun strategi mitigasi adaptasinya. Keterlibatan publik
sangat penting untuk itu.

Sebagian masyarakat di Maluku Utara telah memiliki landbase atau dasar pengelolaan yang
berkelanjutan. Hal ini dapat dikonseptualkan sebagai bagian dari pendekatan strategi mitigasi
adaptasi perubahan iklim. Perlu diakomodir ke dalam program-program pembangunan
berkelanjutan yang telah dicanangkan oleh Pemerintah Daerah agar tercipta sinergisitas.
Upaya-upaya semacam itu mesti didorong paling tidak untuk meminimalisir dampak.

Sebagai wilayah pulau-pulau kecil dan pesisir laut di timur Indonesia, Maluku Utara dinilai
rentan terhadap dampak dari krisis iklim global. Perubahan pola cuaca ekstrem dan kenaikan
suhu rata-rata dalam waktu yang cukup panjang—seperti apa yang dilaporkan Stasiun
Metereologi Kelas I Sultan Baabullah Ternate per 2020—berdampak langsung terhadap sektor
produktifitas masyarakat tempatan, pertanian dan perikanan. Tentu saja dalam konteks
kebencanaan perlu dipikirkan secara serius seperti apa pendekatan strategi mitigasi adaptasinya
sebuah wilayah dengan karakter dan pola produksi pemukim yang hidup di pesisir dan pulau-
pulau kecil seperti Maluku Utara.

Karenanya Perkumpulan Pakativa memandang strategi pembangunan berkelanjutan tidak hanya


ditujukan untuk menjawab permasalahan lingkungan hidup berupa upaya-upaya pengendalian
emisi dan polusi namun juga berkorelasi erat dengan soal resiliensi pangan. Bagaimana upaya
menjaga dan merawat daya subsistensi masyarakat di perkampungan tetap berlanjut di tengah
ancaman iklim dan faktor ‘mengakselerasi’ terjadinya bencana iklim itu.
Dalam situasi demikian tentunya diperlukan upaya bersama antar pihak untuk meminimalisir
kerentanan dari apa yang disebut sebagai bencana iklim salah satunya dapat dimulai dengan
membangun forum komunikasi dan audiensi para pihak sebagai bagian dari langkah-langkah
korektif dan integrasi data, dengan harapan dapat melahirkan tindakan kolektif dan peran serta
yang konstruktif.

Rumusan Masalah

1. Sejauh mana implementasi pembangunan rendah karbon dan ketahanan terhadap


perubahan iklim melalui restorasi, pengelolaan dan pemulihan ekosistem pesisir,
rehabilitasi hutan dan lahan serta pengurangan laju deforestasi;
2. Perlukah mengubah arah pengelolaan hutan yang semula berfokus pada pengelolaan
kayu ke arah pengelolaan berdasarkan ekosistem sumber daya hutan dan berbasis
masyarakat yang memiliki landbase yang berkelanjutan;
3. Bagaimana persepsi dan respon daerah atas kebijakan pengelolaan hutan berbasis
masyarakat dengan memberikan akses kelola hutan kepada masyarakat yang
berkeadilan dan berkelanjutan melalui perhutanan sosial dan kemitraan konservasi;
4. Perlukah strategi pembangunan berkelanjutan mempertimbangkan pendekatan berbasis
penyelesaian konflik yang terkait dengan kasus tenurial kehutanan, perikanan
berkelanjutan, dan memberikan aset legal lahan bagi masyarakat;
5. Sejauh mana proses internalisasi prinsip-prinsip daya dukung dan daya tampung
lingkungan diakomodir ke dalam penyusunan KLHS yang kemudian menjadi acuan revisi
RTRW sebagai arahan spasial makro pembangunan kehutanan tahun 2011-2030 dari
KLHK;
6. Sejauh mana tindakan preventif daerah dalam konteks meminimalisir kehilangan
keanekaragaman hayati dan kerusakan ekosistem melalui upaya-upaya konservasi
kawasan serta perlindungan keanekaragaman hayati yang terancam punah baik di darat
maupun pesisir laut;
7. Adakah kalkulasi skala risiko yang dihadapi ke depan ketika maraknya ‘izin polusi’
diberikan kepada industri pertambangan/smelting dalam satu kawasan berhutan di
Maluku Utara;
8. Bagaimana strategi intervensi pengendalian emisi yang dihasilkan dari aktivitas industri
padat karbon di daerah;

Tujuan

Terbangunnya forum komunikasi penyelarasan data dan informasi faktual antar pihak terkait
dengan srategi pembangunan berkelanjutan di daerah, untuk meningkatkan pemahaman dan
partisipasi publik di Maluku Utara sebagai bagian dari langkah perwujudan keadilan iklim antar
generasi.
Bentuk Kegiatan

Kegiatan ini berbentuk Focus Group Discussion dengan tema “Perspektif, Perencanaan, dan
Tantangan Implementasi Pembangunan Berkelanjutan Pesisir laut dan Pulau Pulau
Kecil”.

Waktu dan tempat

Hari/Tanggal : Kamis, 21 Juli 2022;

Tempat/Jam : Meeting Room, Muara Hotel, pukul 15.00;

Narasumber dan Peserta

Peserta dalam kegiatan FGD ini melibatkan instansi Pemerintah Daerah, komunitas, CSO, dan
Media.

Pemantik:

1. BAPPEDA;
2. KKP;
3. Dinas Kehutanan Provinsi Maluku Utara;
4. DPRD Provinsi Maluku Utara;
5. Akademisi;

Penutup

Demikian kerangka acuan ini disusun untuk dapat digunakan sebagaimana mestinya. Kehadiran
dan partiisipasi dari para pihak sangat diharapkan. Atas perhatiannya kami haturkan terima
kasih.

Ternate, 19 Juli 2022

Anda mungkin juga menyukai