Anda di halaman 1dari 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/330988258

Lesson-learned: Proyek Penguatan Kolaborasi Para Pihak Dalam Mitigasi


Perubahan Iklim: Pembelajaran Mitigasi Berbasis Lahan di Hulu DAS Ciliwung

Research · February 2019


DOI: 10.13140/RG.2.2.29064.67840

CITATIONS READS

0 5,512

1 author:

Thomas Oni Veriasa


Bogor Agricultural University
25 PUBLICATIONS   12 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Indigenous people in managing natural resources - Papua & East Nusa Tenggara View project

Strengthening a Stakeholder Collaboration on Climate Change Mitigation in upstream Ciliwung Watershed, Bogor District, Indonesia View project

All content following this page was uploaded by Thomas Oni Veriasa on 09 February 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Penguatan Kolaborasi Para Pihak Dalam Mitigasi Perubahan Iklim:
Pembelajaran Mitigasi Berbasis Lahan di Hulu DAS Ciliwung

Thomas Oni Veriasa


Former Project Leader, FWI/P4W IPB/ICCTF/USAID1

PENGANTAR
Persoalan-persoalan di Hulu DAS Ciliwung saat ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Peningkatan pembangunan pemukiman, perubahan dan alih fungsi kawasan hutan
masif serta masalah-masalah sosial, telah menyebabkan berbagai bencana. Selama
periode 1990-2010, terjadi perubahan besar tutupan lahan/hutan menjadi pemukiman
di hulu DAS Ciliwung. Pembangunan pemukiman telah meningkat drastis mencapai
245,73% dari 883,3 hektar di tahun 1990 menjadi 2.170,6 hektar di tahun 2010
(Rustiadi et al 2012). Pengembangan pemukiman telah memasuki kawasan yang bukan
peruntukannya di kawasan lindung sebesar (57,46%) dan memasuki kawasan budidaya
pertanian sebesar (22,65%) serta beberapa memasuki area yang rentan terhadap
bencana tanah (Kholil and Dewi 2015).
Fungsi utama kawasan hulu DAS Ciliwung adalah tangkapan air untuk melindungi
daerah dibawahnya, sangat sensitif terhadap perubahan debit air yang dapat
memberikan hasil banjir (Rustiadi et al 2012). Konsekuensi dari perubahan kawasan
telah meningkatkan potensi limpasan air menjadi banjir di wilayah hilir Jakarta (Kholil
and Dewi 2015). Fakta menunjukkan, telah terjadi banjir secara ekstrim ke wilayah
Jakarta dan sekitarnya pada Januari 1996, Februari 2002, Februari 2007, Januari 2013,
Januari and Februari 2014. Bencana banjir meluas 60% di wilayah Jakarta di Februari
2007 menyebabkab 80 korban jiwa, sekitar 190.000 orang terkait dengan penyakit
akibat banjir dan mengalami kerugian finansial US $ 453.000.000 (Akmalah dan Grigg
2011; Steinberg 2007 in Remondi et al. 2016).
Kajian P4W IPB bersama masyarakat pada bulan Maret 2018 telah
mengidentifikasikan lebih dari 55 lokasi longsor di area hulu Ciliwung terutama di desa
Tugu Utara dan desa Tugu Selatan. Di pertengahan Januari - Maret, telah terjadi 2 kali
banjir bandang di anak sungai Ciliwung yaitu sungai Citamiang di desa Tugu Utara
serta telah menyebabkan kerusakan pada jalan desa, infrastuktur jembatan dan
beberapa rumah warga.
Degradasi hutan dan tekanan perubahan yang cepat adalah isu serius yang perlu
ditangani bersama. Hal ini menunjukan bahwa pembangunan berkelanjutan di
kawasan Puncak adalah penting untuk melindungi kawasan tersebut. (Rustiadi et al
2012). Sebagai ekosistem yang rentan, hulu Ciliwung memerlukan model pengelolaan
wilayah berkelanjutan yang berorientasi pada fungsi kawasan hutan dan jasa
lingkungan dan mempertimbangkan daya dukung wilayah tersebut (Fauzi 2010;
Rustiadi 2011).
Berbagai upaya penanganan sebenarnya sudah dilakukan oleh berbagai pihak.
Mulai dari penertiban dan pembongkaran bangunan tidak berijin sampai upaya-upaya
penghijauan kembali di kawasan tersebut. Namun hasilnya belum menunjukan
perbaikan yang berarti. Selama ini, berbagai upaya penyelamatan masih dilakukan
sendiri-sendiri, tidak berkoordinasi dengan berbagai pihak, terjadi overlap kegiatan,
sampai pada misalnya aksi penanaman yang bersifat seremonial. Dibutuhkan
kerjasama dan kolaborasi berbagai pihak di dalam penanganan kawasan Puncak.

1
FWI-Forest Watch Indonesia; P4W IPB-Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah,
Institut Pertanian Bogor; ICCTF-Indonesia Climate Change Trust Fund
Kapitalisasi sumberdaya akan mampu menggerakan perubahan dengan lebih cepat dan
berkelanjutan.
Sejak Februari 2017 sampai Mei 2018, FWI/P4W IPB didukung oleh ICCTF, telah
mengembangkan program mitigasi berbasis lahan dengan meletakan kolaborasi
sebagai pondasi awal membangun sebuah inisiatif penanganan persoalan kawasan
Puncak. Berbagai upaya telah dilakukan dan telah menghasilkan beberapa capaian
yang signifikan untuk memastikan keberlanjutan upaya penyelamatan kawasan.

PROSES MEMBANGUN KOLABORASI


Berdasarkan pengalaman kami, terdapat 4 (empat) isu kunci di dalam membangun
kolaborasi di kawasan puncak yaitu sebagai berikut:
1. Belum adanya pemahaman bersama terkait persoalan kawasan khususnya isu
perubahan iklim. Pemahaman bersama penting dibangun untuk mengembangakn
skema penyelesaian persoalan yang sistematik dan aplikatif yang disepakatu
bersama para pihak.
2. Kesepakatan kolaborasi hanya berujung pada komitmen. Mendorong komitmen
sampai pada legal agreement termasuk pembagian peran, reward and punishment
serta sharing models, sangat penting dilakukan untuk memberikan kepastian
kepada para pihak di dalam penyelesaian masalah kawasan.
3. Kurangnya contoh praktek-pratek dan model di dalam mitigasi berbasis lahan
secara kolaboratif di kawasan Puncak. Praktek mitigasi berbasis lahan seharusnya
mampu menyelesaikan konflik lahan di antara para pihak. Terutama, aktivitas
untuk meningkatkan produktivitas lahan dan pemulihan ekosistem. Model tersebut
seharusnya memberikan manfaat ekonomi yang signifikan agar terjadi peralihan
kegiatan yang lebih lestari (agroforestry, farming, ecotourism).
4. Tidak adanya media belajar bersama diantara stakeholder. Berbagi informasi,
pengetahuan dan pengalaman diantara para pihak adalah penting untuk signifikan
proses untuk mempengaruhi hasil mediasi. Proses Shared learning seharusnya
dikembangkan di seluruh tahapan dari penguatan para pihak termasuk monitoring
dan evaluasi.
Tahapan Proses Yang Dikembangkan FWI/P4W IPB.
Tahapan kunci didalam membangun kolaborasi adalah sebagai berikut.
1. Membangun pemahaman bersama terkait isu perubahan iklim dan mitigasi berbasis
lahan. Di dalam membangun pemahaman bersama terkait isu perubahan iklim,
sangat dibutuhkan data dan informasi yang akurat terkait perubahan-perubahan
yang telah terjadi pada tutupan lahan dan hutan, tipologi masalah dan gap
komunikasi diantara para pihak. Untuk itu, proyek ini kemudian melakukan
serangkaian riset aksi dan mengemasnya menjadi informasi yang mudah dipahami
oleh para pihak. Kegiatan kunci dalam membangun pemahaman bersama adalah
sebagai berikut:
a. Riset aksi partisipatif dan kajian-kajian teknokratik terkait analisa tutupan lahan
dan hutan, analisis lahan kritis dan kajian bersama para pihak seperti verifikasi
lahan kritis, identifikasi lahan garapan, identifikasi kebutuhan aksi penanaman
dan identifikasi alokasi lahan untuk kegiatan rehabilitasi.
b. Serial konsultasi dan negosiasi dengan Pemerintah, Perusahaan dan Masyarakat.
Kegiatan ini untuk membangun pemahaman bersama dan negosiasi-negosiasi
terkait konflik-konflik lahan yang terjadi di kawasan Puncak. Negosiasi dan
koordinasi mulai dari penggalangan dukungan setiap pihak untuk penanganan
masalah lahan melalui mitigasi lahan, jumlah alokasi lahan di tiap-tiap
perusahaan dan memperkuat kapasitas masyarakat dalam melakukan negosiasi
dengan pihak-pihak lain di kawasan Puncak.
c. Membangun komitmen para pihak dan mendorongnya menjadi perjanjian
kerjasama alokasi lahan rehabilitasi. Kolaborasi telah menjadi pilihan dalam aksi
mitigasi berbasis lahan termasuk juga didalam penyelesaian konflik-konflik yang
terjadi. Dalam proyek ini, upaya menegosiasikan alokasi lahan dari perusahaan
menjadi target utama karena sebagian besar lahan kritis dan konflik lahan terjadi
di kawasan atau areal yang di kelola perusahaan. Proyek ini kemudian
melakukan negosiasi-negosiasi sampai ke tingkat Direksi di masing-masing
perusahan.
2. Mengembangkan skema kolaborasi yang disepakati. Ketika proses pra kondisi para
pihak sudah mencapai pada tahap kesepakatan alokasi lahan maka diperlukan
sebuah rencana bersama untuk memperbaiki kondisi lahan tersebut, aksi-aksi
rehabilitasi bersama, membangun sistem monitoring bersama yang memberikan
stimulan pada aksi kolektif. Dalam peroses ini, kebutuhan untuk menjamin
keberlanjutan upaya rehabilitasi menjadi penting untuk dirancang skemanya.
Kegiatan kunci dalam membangun skema kolaborasi adalah sebagai berikut:
a. Perencanaan Kolaboratif Aksi Mitigasi Berbasis Lahan. Perencanaan ini
dilakkukan pada 29-30 Januari 2018 dan melibatkan semua pihak yang terkait.
Dari proses ini, disepakati untuk membentuk Kelompok Kerja Rehabilitasi Lahan
di Tingkat Desa yang beranggotakan para pihak terkait. Tujuannya adalah agar
proses komunikasi, koordinasi dan implementasi kegiatan rehabilitasi lebih
mudah dilakukan dan dikontrol.
b. Aksi Rehabilitasi Lahan. Aksi ini dilakukan bersama kelompok masyarakat
terpilih dan pihak perusahaan terkait di sejumlah kawasan yang sudah
diidentifikasikan sebagai lahan kritis. Di lahan-lahan yang sudah disepakati
bersama tersebut dilakukan upaya peningkatan produktivitas lahan dan
perbaikan kondisi lahan melalui penanaman jenis tanaman yang menghasilkan
seperti kopi dan MPTS; penanaman tanaman hutan dan penanaman jenis
tanaman bambu di sempadan sungai.
c. Membangun Sistem Pemantauan Lahan dan Hutan secara online. Sistem ini
sebenarnya menggabungkan teknologi dan pendekatan partisipatif. Basis data
dibangun dari hasil riset aksi yang sudah dilakukan sebelumnya. Sedangkan
proses masukan data dan informasi sangat bergantung pada peran aktif para
pihak untuk melakukannya. Informasi tentang rehabilitasi lahan yang sudah
dilakukan kemudian dimasukan ke sistem ini dan dapat diamati
perkembangannya melalui rekaman data dan informasi pemantauan yang
dilakukan oleh kelompok masyarakat pengelola dan para pihak yang terkait.
d. Peta jalan (Road map) untuk membangun inisiatif jasa pembayaran ekosistem.
Salah satu kebutuhan terkait dengan upaya restorasi ekosistem adalah
keberlanjutan program karena mitigasi berbasis lahan memerlukan biaya-biaya
yang tentunya tidak sedikit. Untuk itu, proyek ini berusaha mengembangkan
skema pembayaran jasa ekosistem bersama para pihak di tingkat kawasan dan
pemerintah daerah kabupaten Bogor. Dokumen peta jalan inisiatif pembayaran
jasa ekosistem kawasan puncak telah didiskusikan bersama dengan para pihak.
Terakhir, Pemerintah daerah kabupaten Bogor telah menyatakan komitmennya
untuk mengadopsi dokumen ini dan berfokus pada perbaikan kondisi lingkungan
di kawasan Puncak.
3. Aksi-aksi yang berfokus pada peningkatan ekonomi untuk menumbuhkan aksi
kolektif masyarkat. Salah satu persoalan mendasar mengapa tingkat keberhasilan
rehabilitasi lahan sangat rendah dikawasan Puncak adalah karena aksi tersebut
dilakukan secara seremonial saja, tidak ada monitoring dan aksi rehabilitasi tidak
memberikan manfaat secara langsung kepada masyarakat pengelola. Akibatnya
tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah dalam pemantauan dan tanaman
rehabilitasi tidak pernah tumbuh dengan baik. Untuk itu proyek ini menginisiasi
kegiatan berfokus pada ekonomi dan dilakukan di areal yang di rehabilitasi.
Kegiatan kunci dalam mengembangkan model ekonomi masyarakat adalah sebagai
berikut:
a. Pengembangan Sistem Agroforestri Kopi dengan metode multistrata plant. Pada
kegiatan ini, upaya membangun model dilakukan secara serius mulai dari
budidaya, pemanenan, pengolahan pasca panen, pengemasan sampai
membangun jaringan pasar. Tujuannya, agar nilai ekonomi yang dihasilkan dari
kegiatan percontohan ini secara signifikan menunjukan perbedaan dan mampu
memotivasi masyarakat untuk terlibat dalam pengembangannya. Proyek ini
mempersiapkan skema perluasan lahan sebesar 30 ha di lahan Perum Perhutani
dan 35 ha dilahan PT Sumber Sari Bumi Pakuan serta 15 ha di lahan PTPN 8
Gunung Mas.
b. Wisata Berkelanjutan di lahan rehabilitasi. Pada kegiatan ini, dilakukan
membangun site plan kawasan wisata dimanan potensi alam diintegrasikan
dengan potensi-potensi yang dapat dikembangkan di lahan-lahan rehabilitasi.
Kegiatan wisata yang telah dibangun seperti wisata tour kopi, wisata alam yang
dipadukan dengan kegiatan adopsi tanaman, pengembangan home stay dan re-
branding wisata downhill bike trails. Jaringan pasar telah dibangun bersama
hotel-hotel, resort di kawasan Puncak dan beberapa perusahan di Jabodetabek.
4. Shared learning program. Kegiatan ini merupakan upaya menciptakan media belajar
bersama diantara stakeholder. Berbagi informasi, pengetahuan dan pengalaman
diantara para pihak adalah penting untuk signifikan proses untuk mempengaruhi
hasil mediasi, meningkatkan koordinasi dan memperbaiki komunikasi diantara
stakeholder. Proses pengelolaan pengetahuan dilakukan agar mudah untuk
melakukan replikasi keberhasilan proyek di lokasi-lokasi lain di awasan Puncak.
Kegiatan kunci dalam membangun media belajar bersama adalah sebagai berikut:
a. Pengembangan "Sekolah Kebun". Sekolah kebun diselenggarakan secara berkala
dan sampai saat ini pun masih dilanjutkan. Model belajar yang dikembangkan
adalah dengan mendatangkan ahli di setiap topik belajar dan memperkaya
pengetahuan melalui berbagi pengalaman di antara para pihak yang terlibat.
Topik sekolah kebun di mulai dari konservasi tanah dan air, teknik-teknik
budidaya, pengolahan pasca panen dan pemasaran produk.
b. Shared learning. Merupakan kegiatan membagi pengalaman diantara petani
terutama untuk komoditas kopi. Petani di desa-desa sekitar kawasan Puncak dan
pihak perkebunan yang mengembangkan kopi juga turut serta dalam kegiatan ini.
Banyak hal yang didapat ketika berbagai pengetahuan dan pengalaman di
sintesiskan bersama. Beberapa kendala dapat dipecahkan bersama dan upaya
berjaringan pun bermunculan melalui kegiatan ini.

IMPLIKASI
1. Perbaikan hubungan diantara para pihak
Melalui intervensi proyek ini, hubungan diantara para pihak mulai membaik.
Komunikasi mulai terjalin dengan baik, koordinasi juga menjadi lebih baik. Proyek
ini telah membantu perbaikan komunikasi masyarakat kampung Cibulao dan
manajemen PT SSBP. Masyarakat kemudian diberikan ijin untuk berkegiatan
budidaya kopi dan mengembangkan wisata dan home stay di kampung. Bahkan, PT
SSBP memberikan ijin penanaman kopi dan kayu komersil di lahan rehabilitasinya
dengan skema bagi hasil dengan masyarakat. Beberapa, hasil signifikan adalah
dukungan perusahaan pada pengembangan wisata oleh masyarakat dengan
memberikan akses pintu masuk tersendiri bagi wisata-wisata yang dikelola
masyarakat. Ke depan, perusahaan akan melibatkan masyarakat dalam
pengembangan agrowisata yang akan dikembangkan PT SSBP di perkebunan teh
Ciliwung. Selanjutnya, kepastian akses lahan garapan masyarakat di kawasan PTPN
8 Gunung Mas dilegalkan dengan perjanjian kerjasama pada 4 kelompok tani di
desa Tugu Selatan. Selama ini, masyarakat masih menggarap secara diam-diam di
kawasan ini. Terakhir, konflik tata batas di kawasan HGU PT SSBP dan Perum
Perhutani akhirnya terselesaikan melalui kesepakatan pencadangan lahan yang
berkonflik untuk direstorasi bersama dan dikelola dengan masyarakat sekitar.
2. Kesepakatan Lahan Rehabilitasi.
Proyek ini secara signifikan menghasilkan kesepakatan untuk mengalokasikan
sejumlah lahan untuk direhabilitasi. Di lahan Perum Perhutani, seluas 30 ha di
alokasikan untuk budidaya kopi dan tanaman hutan dan seluas 2.500 m2
dialokasikan untuk kebun bibit dan sentra belajar kopi petani. Di lahan PT SSBP
seluas 35 ha lahan dicadangkan untuk budidaya kopi, tanaman kayu komersil dan
koridor hutan dengan skema bagi hasil bersama kelompok masyarakat. Di lahan
PTPN 8 Gunung Mas, seluas 152ha disepakati untuk direhabilitasi dengan tanaman
kopi, MPTS dan tanaman hutan. Seluas 5.700m2 kemudian disepakati untuk
dikembangkan sebagai sentra belajar petani dan pengembangan wisata pendidikan
di kawasan tersebut (FWI/P4W 2018).
3. One Map of Ecosystem Restoration. Dari proyek ini dihasilkan satu peta rencana
restorasi ekosistem yang disepakati bersama dengan target total 1152,9 ha, Kritis
374,1 ha, Potensi Kritis 778,8 ha. Melalui proyek ini, jumlah alokasi lahan yang
disepakati pada tahap awal luasnya lebih dari 200ha. Sejumlah 100ha kemudian
telah ditanami melalui aksi rehabilitasi bersama. Peta restorasi ini, telah
memberikan acuan bersama kegiatan rehabilitasi yang mungkin akan dilakukan
oleh pihak lain dari luar kawasan (Veriasa et al. 2018). Uji coba untuk mengarahkan
lokasi tanam dan proses rehabilitasi, telah dilakukan bersama PT PLN persero dalam
kegiatan PLN Sahabat Alam yang menanam pohon di lokasi yang sudah ditentukan
dalam Peta Restorasi.
4. Peningkatan ekonomi bagi masyarakat lokal. Kegiatan pengelolaan kopi dan wisata
telah menunjukan hasil yang signifikan. Dari pengelolaan kopi, terjadi peningkatan
pendapatan sebesar 16.55% atau Rp 248.333/hektar/bulan dari produk kopi basah
(Cherry) sampai 47,77% atau Rp 716.563/hektar/bulan dari produk beras kopi
(Green beans). Dari re-branding wisata downhill bike trails, masyarakat yang
terlibat, mendapatkan peningkatan pendapatan sebesar 32% atau Rp
480,000/orang/bulan (Veriasa et al. 2018). Belum lagi ditambah dengan wisata tour
kopi dan wisata alam Naringgul Telaga Warna serta home stay. Walaupun secara
pasti belum dihitung peningkatanya, namun kegiatan wisata telah memperluas
penerima manfaat dari kegiatan ini dengan pelibatan kaum perempuan pada
kegiatan home stay, penyiapan konsumsi, kegiatan sortir dan grading kopi.
5. Road Map PES yang disepakati. Dampak yang cukup menggembirakan dari proses
pengembangan pembiayaan program adalah komitmen pemerintah daerah
Kanupaten Bogor untuk mengadopsi Road Map PES menjadi agenda pengelolaan
CSR kabupaten dan memfokuskan kegiatannya pada restorasi kawasan Puncak.
Diskusi lanjutan akan segera dilakukan untuk membangun rencana detil dan
pengalokasi anggaran pemerintah daerah untuk mendukung upaya penyelamatan
kawasan tersebut.

HIKMAH DAN PELAJARAN


Pertama, pesoalan perubahan iklim di kawasan Puncak lebih banyak disebabkan oleh
degradasi lahan dan hutan. Hal ini disebabkan oleh okupasi lahan untuk pertanian dan
pembangunan villa-villa. Tidak adanya penegakan hukum membuat konflik lahan
menjadi berkepanjangan dan semakin rumit diselesaikan. Oleh karena itu, aksi mitigasi
berbasis lahan tidak akan pernah berhasil jika tidak terlibat dalam penyelesaian
konflik-konflik berbasis lahan.
Kedua, konflik berbasis lahan sangat mungkin terjadi karena pembiaran sehingga
menyebabkan meningkatnya eskalasi konflik. Gap komunikasi antar pihak semakin
jauh sehingga membuat masing-masing pihak tidak ada inisiatif untuk memulai
komunikasi dan membuka ruang diskusi. Dalam kasus Puncak, diperlukan pihak luar
yang cukup netral untuk menjembatani komunikasi. Proyek ini telah memberikan
kesempatan untuk membuka ruang diskusi antara PT SSBP dengan karyawannya yang
notabenenya masyarakat kampung Cibulao; menjembatani Perum Perhutani dan PT
SSBP untuk menemukan solusi atas konflik tata batas; membuka ruang diskusi dan
memberikan kepastian kepada 4 kelompok penggarap di PTPN 8 Gunung Mas, yang
notebenenya karyawannya sendiri.
Ketiga, terkadang sumber masalah yang menjadi konflik tidak jelas sehingga perlu
dilakukan kajian yang mendalam terhadap tipologi konflik, aktor dan modus-
modusnya. Pemahaman terhadap sumber konflik sangat penting untuk memudahkan
pencarian solusi atas konflik lahan. Dikarenakan tidak ada satu kebijakan yang terbaik
untuk segala kondisi/situasi di dalam penyelesaian konflik berbasis lahan maka resolusi
konflik harus disesuaikan dengan tipe konflik dan kedalaman/kerumitan konflik. Setiap
pilihan solusi seharusnya mengacu kepada aspek legal yang yang berlaku untuk
meminimalisir resiko (Rahman and Veriasa 2017).
Keempat, penting sekali ketika penyelesaiaan konflik dengan pendekatan
kolaborasi sudah di sepakati bersama, kemudian mendorongnya kepada perjanjian-
perjanjian yang memberikan kepastian kepada semua pihak. Hal ini dibutuhkan agar
aksi-aksi yang dilakukan sebagai bentuk dari implementasi rencana, dapat mencapai
hasil yang maksimal.
Kelima, penguatan terhadap masyarakat sasaran sangat perlu dilakukan agar
meningkatkan posisi tawar masyarakat di dalam ruang-ruang diskusi dan negosiasi.
Pembuktian tentang kemampuan dan keberhasilan masyarakat menjadi penting untuk
memberikan keyakinan kepada pihak lain (perusahaan) dalam memutuskan untuk
membangun kolaborasi dan kerjasama.
Keenam, aksi mitigasi berbasis lahan dalam hal ini kegiatan rehabilitasi seharusnya
mampu mengembangkan konsep rehabilitasi yang memberikan manfaat ekonomi
langsung kepada masyarakat sasaran. Hal ini sangat penting untuk mendorong aksi
kolektif masyarakat dan meningkatkan kesadaran masyarakat terkait isu-isu konservasi
kawasan.

PENUTUP
Apa yang telah bangun dalam pelaksanaan program ini, barulah awal dari sebuah
proses yang panjang untuk pemulihan ekosistem kawasan puncak yang merupakan
Hulu DAS Ciliwung. Proyek yang didukung ICCTF/USAID ini berusaha meletakan
pondasi proses agar ke depan kerja-kerja bersama para pihak agar lebih mudah
diwujudkan. Rencana-rencana program yang telah disusun bersama, setidaknya
memberikan panduan serta arahan penanganan yang sesuai kebutuhan bersama dan
memudahkan pihak-pihak lain yang peduli terhadap kawasan puncak - hulu DAS
Ciliwung untuk mengaktualisasikan diri dan terlibat bersama para pihak di tingkat
tapak.
Mengelola hulu DAS Ciliwung membutuhkan keterpaduan yang harmonis,
melintasi batas-batas administrasi, baik melalui kelembagaan yang telah ada ataupun
yang hendak di bentuk kemudian, dengan menyesuaikan atas kebutuhan dan sumber
daya yang tersedia. Berbagai inisiatif para pihak yang berkepentingan termasuk gerakan
komunitas perlu terus di dorong sehingga komitmen atas upaya pemulihan dan
perlindungan ekosistem hulu DAS Ciliwung menjadi komitmen bersama yang
mengakar kuat dari lapisan terbawah. Perlu upaya yang kuat untuk menumbuhkan
praktek-praktek terbaik pemulihan ekosistem kawasan melalui upaya rehabilitasi hutan
dan peningkatan produktivitas lahan kritis yang memberikan manfaat sosial dan
ekonomi masyarakat sebagai contoh model pengelolaan hulu DAS Ciliwung secara
terpadu, terintegrasi dan kolaboratif.
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Semoga ikhtiar bersama ini tetap
bisa menjaga motivasi, semangat bergerak, dan daya juang bersama yang akan
membawa kebaikan pada kita semua.

REFERENSI
[1] Rustiadi E, Tarigan S, Nurholipah S, Pravitasari A E and Iman L S 2012 Towards
Sustainable Land Use in Asia [III] Land Use/Cover Changes in Puncak Area
(Upstream of Ciliwung River) and Its Potential Impact on Flood Dinamycs
(SLUASS Science Reports 2012 May 2012) ed Y Himiyama (Hokkaido:
Hokkaido Universityof Education) pp 163-171
[2] Kholil K and Dewi I K 2015 Evaluation of land use change in the upstream of
ciliwung watershed to ensure sustainability of water resources Asian Journal of
Water, Environment and Pollution 12 No. 1 pp. 11–19
[3] Remondi F, Burlando P, Vollmer D 2016 Exploring the hydrological impact of
increasing urbanisation on a tropical river catchment of the metropolitan
jakarta, indonesia Sustainable Cities and Society 20 pp 210-221 Doi:
10.1016/j.scs.2015.10.001
[4] Fauzi A 2010 Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama)
[5] Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju D R 2011 Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah - Edisi kedua (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia)
[6] P4W IPB/FWI. 2018.Program Pemulihan Ekosistem di Hulu DAS Ciliwung:
Penguatan Kolaborasi Para Pihak Dalam Mitigasi Perubahan Iklim. P4W
IPB/FWI/ICCTF
[7] Veriasa TO, Oktaviani AR, Prayoga AP, Arifin M, Cantika FSP. 2018. Membangun
Inisiatif Pembayaran Jasa Ekosistem di Hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung
Kabupaten Bogor – Jawa Barat. Konsorsium Save Puncak, P4W IPB, FWI,
ICCTF. Bogor.
[8] Veriasa TO, Rustiadi E, Kinseng RA. 2013. Impact of Joint Community Forest
Management (PHBM) on Local Economy Improvement in Upperstream Of
Ciliwung Watershed, Bogor Regency-Indonesia. "6th International Conference of
JABODETABEK Study Forum: Urban-Rural and Upland-Coastal Connectivities
in Managing Sustainable Urbanizing World". IPB International Convention
Center, August 29-30, 2018.
[9] Rahman A and Veriasa TO. 2017. The Legal Framework to Address Tenurial
Conflict between Conservation Areas And Local People. “The 4th International
Wildlife Symposium: Promoting One Health Through Wildlife Conservation
and People’s Prosperity”. Banda Aceh, Indonesia. 23-25 October 2017.
University of Syah Kuala/WWF Indonesia/FAO.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai