net/publication/330988258
CITATIONS READS
0 5,512
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Indigenous people in managing natural resources - Papua & East Nusa Tenggara View project
Strengthening a Stakeholder Collaboration on Climate Change Mitigation in upstream Ciliwung Watershed, Bogor District, Indonesia View project
All content following this page was uploaded by Thomas Oni Veriasa on 09 February 2019.
PENGANTAR
Persoalan-persoalan di Hulu DAS Ciliwung saat ini sudah sangat mengkhawatirkan.
Peningkatan pembangunan pemukiman, perubahan dan alih fungsi kawasan hutan
masif serta masalah-masalah sosial, telah menyebabkan berbagai bencana. Selama
periode 1990-2010, terjadi perubahan besar tutupan lahan/hutan menjadi pemukiman
di hulu DAS Ciliwung. Pembangunan pemukiman telah meningkat drastis mencapai
245,73% dari 883,3 hektar di tahun 1990 menjadi 2.170,6 hektar di tahun 2010
(Rustiadi et al 2012). Pengembangan pemukiman telah memasuki kawasan yang bukan
peruntukannya di kawasan lindung sebesar (57,46%) dan memasuki kawasan budidaya
pertanian sebesar (22,65%) serta beberapa memasuki area yang rentan terhadap
bencana tanah (Kholil and Dewi 2015).
Fungsi utama kawasan hulu DAS Ciliwung adalah tangkapan air untuk melindungi
daerah dibawahnya, sangat sensitif terhadap perubahan debit air yang dapat
memberikan hasil banjir (Rustiadi et al 2012). Konsekuensi dari perubahan kawasan
telah meningkatkan potensi limpasan air menjadi banjir di wilayah hilir Jakarta (Kholil
and Dewi 2015). Fakta menunjukkan, telah terjadi banjir secara ekstrim ke wilayah
Jakarta dan sekitarnya pada Januari 1996, Februari 2002, Februari 2007, Januari 2013,
Januari and Februari 2014. Bencana banjir meluas 60% di wilayah Jakarta di Februari
2007 menyebabkab 80 korban jiwa, sekitar 190.000 orang terkait dengan penyakit
akibat banjir dan mengalami kerugian finansial US $ 453.000.000 (Akmalah dan Grigg
2011; Steinberg 2007 in Remondi et al. 2016).
Kajian P4W IPB bersama masyarakat pada bulan Maret 2018 telah
mengidentifikasikan lebih dari 55 lokasi longsor di area hulu Ciliwung terutama di desa
Tugu Utara dan desa Tugu Selatan. Di pertengahan Januari - Maret, telah terjadi 2 kali
banjir bandang di anak sungai Ciliwung yaitu sungai Citamiang di desa Tugu Utara
serta telah menyebabkan kerusakan pada jalan desa, infrastuktur jembatan dan
beberapa rumah warga.
Degradasi hutan dan tekanan perubahan yang cepat adalah isu serius yang perlu
ditangani bersama. Hal ini menunjukan bahwa pembangunan berkelanjutan di
kawasan Puncak adalah penting untuk melindungi kawasan tersebut. (Rustiadi et al
2012). Sebagai ekosistem yang rentan, hulu Ciliwung memerlukan model pengelolaan
wilayah berkelanjutan yang berorientasi pada fungsi kawasan hutan dan jasa
lingkungan dan mempertimbangkan daya dukung wilayah tersebut (Fauzi 2010;
Rustiadi 2011).
Berbagai upaya penanganan sebenarnya sudah dilakukan oleh berbagai pihak.
Mulai dari penertiban dan pembongkaran bangunan tidak berijin sampai upaya-upaya
penghijauan kembali di kawasan tersebut. Namun hasilnya belum menunjukan
perbaikan yang berarti. Selama ini, berbagai upaya penyelamatan masih dilakukan
sendiri-sendiri, tidak berkoordinasi dengan berbagai pihak, terjadi overlap kegiatan,
sampai pada misalnya aksi penanaman yang bersifat seremonial. Dibutuhkan
kerjasama dan kolaborasi berbagai pihak di dalam penanganan kawasan Puncak.
1
FWI-Forest Watch Indonesia; P4W IPB-Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah,
Institut Pertanian Bogor; ICCTF-Indonesia Climate Change Trust Fund
Kapitalisasi sumberdaya akan mampu menggerakan perubahan dengan lebih cepat dan
berkelanjutan.
Sejak Februari 2017 sampai Mei 2018, FWI/P4W IPB didukung oleh ICCTF, telah
mengembangkan program mitigasi berbasis lahan dengan meletakan kolaborasi
sebagai pondasi awal membangun sebuah inisiatif penanganan persoalan kawasan
Puncak. Berbagai upaya telah dilakukan dan telah menghasilkan beberapa capaian
yang signifikan untuk memastikan keberlanjutan upaya penyelamatan kawasan.
IMPLIKASI
1. Perbaikan hubungan diantara para pihak
Melalui intervensi proyek ini, hubungan diantara para pihak mulai membaik.
Komunikasi mulai terjalin dengan baik, koordinasi juga menjadi lebih baik. Proyek
ini telah membantu perbaikan komunikasi masyarakat kampung Cibulao dan
manajemen PT SSBP. Masyarakat kemudian diberikan ijin untuk berkegiatan
budidaya kopi dan mengembangkan wisata dan home stay di kampung. Bahkan, PT
SSBP memberikan ijin penanaman kopi dan kayu komersil di lahan rehabilitasinya
dengan skema bagi hasil dengan masyarakat. Beberapa, hasil signifikan adalah
dukungan perusahaan pada pengembangan wisata oleh masyarakat dengan
memberikan akses pintu masuk tersendiri bagi wisata-wisata yang dikelola
masyarakat. Ke depan, perusahaan akan melibatkan masyarakat dalam
pengembangan agrowisata yang akan dikembangkan PT SSBP di perkebunan teh
Ciliwung. Selanjutnya, kepastian akses lahan garapan masyarakat di kawasan PTPN
8 Gunung Mas dilegalkan dengan perjanjian kerjasama pada 4 kelompok tani di
desa Tugu Selatan. Selama ini, masyarakat masih menggarap secara diam-diam di
kawasan ini. Terakhir, konflik tata batas di kawasan HGU PT SSBP dan Perum
Perhutani akhirnya terselesaikan melalui kesepakatan pencadangan lahan yang
berkonflik untuk direstorasi bersama dan dikelola dengan masyarakat sekitar.
2. Kesepakatan Lahan Rehabilitasi.
Proyek ini secara signifikan menghasilkan kesepakatan untuk mengalokasikan
sejumlah lahan untuk direhabilitasi. Di lahan Perum Perhutani, seluas 30 ha di
alokasikan untuk budidaya kopi dan tanaman hutan dan seluas 2.500 m2
dialokasikan untuk kebun bibit dan sentra belajar kopi petani. Di lahan PT SSBP
seluas 35 ha lahan dicadangkan untuk budidaya kopi, tanaman kayu komersil dan
koridor hutan dengan skema bagi hasil bersama kelompok masyarakat. Di lahan
PTPN 8 Gunung Mas, seluas 152ha disepakati untuk direhabilitasi dengan tanaman
kopi, MPTS dan tanaman hutan. Seluas 5.700m2 kemudian disepakati untuk
dikembangkan sebagai sentra belajar petani dan pengembangan wisata pendidikan
di kawasan tersebut (FWI/P4W 2018).
3. One Map of Ecosystem Restoration. Dari proyek ini dihasilkan satu peta rencana
restorasi ekosistem yang disepakati bersama dengan target total 1152,9 ha, Kritis
374,1 ha, Potensi Kritis 778,8 ha. Melalui proyek ini, jumlah alokasi lahan yang
disepakati pada tahap awal luasnya lebih dari 200ha. Sejumlah 100ha kemudian
telah ditanami melalui aksi rehabilitasi bersama. Peta restorasi ini, telah
memberikan acuan bersama kegiatan rehabilitasi yang mungkin akan dilakukan
oleh pihak lain dari luar kawasan (Veriasa et al. 2018). Uji coba untuk mengarahkan
lokasi tanam dan proses rehabilitasi, telah dilakukan bersama PT PLN persero dalam
kegiatan PLN Sahabat Alam yang menanam pohon di lokasi yang sudah ditentukan
dalam Peta Restorasi.
4. Peningkatan ekonomi bagi masyarakat lokal. Kegiatan pengelolaan kopi dan wisata
telah menunjukan hasil yang signifikan. Dari pengelolaan kopi, terjadi peningkatan
pendapatan sebesar 16.55% atau Rp 248.333/hektar/bulan dari produk kopi basah
(Cherry) sampai 47,77% atau Rp 716.563/hektar/bulan dari produk beras kopi
(Green beans). Dari re-branding wisata downhill bike trails, masyarakat yang
terlibat, mendapatkan peningkatan pendapatan sebesar 32% atau Rp
480,000/orang/bulan (Veriasa et al. 2018). Belum lagi ditambah dengan wisata tour
kopi dan wisata alam Naringgul Telaga Warna serta home stay. Walaupun secara
pasti belum dihitung peningkatanya, namun kegiatan wisata telah memperluas
penerima manfaat dari kegiatan ini dengan pelibatan kaum perempuan pada
kegiatan home stay, penyiapan konsumsi, kegiatan sortir dan grading kopi.
5. Road Map PES yang disepakati. Dampak yang cukup menggembirakan dari proses
pengembangan pembiayaan program adalah komitmen pemerintah daerah
Kanupaten Bogor untuk mengadopsi Road Map PES menjadi agenda pengelolaan
CSR kabupaten dan memfokuskan kegiatannya pada restorasi kawasan Puncak.
Diskusi lanjutan akan segera dilakukan untuk membangun rencana detil dan
pengalokasi anggaran pemerintah daerah untuk mendukung upaya penyelamatan
kawasan tersebut.
PENUTUP
Apa yang telah bangun dalam pelaksanaan program ini, barulah awal dari sebuah
proses yang panjang untuk pemulihan ekosistem kawasan puncak yang merupakan
Hulu DAS Ciliwung. Proyek yang didukung ICCTF/USAID ini berusaha meletakan
pondasi proses agar ke depan kerja-kerja bersama para pihak agar lebih mudah
diwujudkan. Rencana-rencana program yang telah disusun bersama, setidaknya
memberikan panduan serta arahan penanganan yang sesuai kebutuhan bersama dan
memudahkan pihak-pihak lain yang peduli terhadap kawasan puncak - hulu DAS
Ciliwung untuk mengaktualisasikan diri dan terlibat bersama para pihak di tingkat
tapak.
Mengelola hulu DAS Ciliwung membutuhkan keterpaduan yang harmonis,
melintasi batas-batas administrasi, baik melalui kelembagaan yang telah ada ataupun
yang hendak di bentuk kemudian, dengan menyesuaikan atas kebutuhan dan sumber
daya yang tersedia. Berbagai inisiatif para pihak yang berkepentingan termasuk gerakan
komunitas perlu terus di dorong sehingga komitmen atas upaya pemulihan dan
perlindungan ekosistem hulu DAS Ciliwung menjadi komitmen bersama yang
mengakar kuat dari lapisan terbawah. Perlu upaya yang kuat untuk menumbuhkan
praktek-praktek terbaik pemulihan ekosistem kawasan melalui upaya rehabilitasi hutan
dan peningkatan produktivitas lahan kritis yang memberikan manfaat sosial dan
ekonomi masyarakat sebagai contoh model pengelolaan hulu DAS Ciliwung secara
terpadu, terintegrasi dan kolaboratif.
Terima kasih atas kesempatan yang diberikan. Semoga ikhtiar bersama ini tetap
bisa menjaga motivasi, semangat bergerak, dan daya juang bersama yang akan
membawa kebaikan pada kita semua.
REFERENSI
[1] Rustiadi E, Tarigan S, Nurholipah S, Pravitasari A E and Iman L S 2012 Towards
Sustainable Land Use in Asia [III] Land Use/Cover Changes in Puncak Area
(Upstream of Ciliwung River) and Its Potential Impact on Flood Dinamycs
(SLUASS Science Reports 2012 May 2012) ed Y Himiyama (Hokkaido:
Hokkaido Universityof Education) pp 163-171
[2] Kholil K and Dewi I K 2015 Evaluation of land use change in the upstream of
ciliwung watershed to ensure sustainability of water resources Asian Journal of
Water, Environment and Pollution 12 No. 1 pp. 11–19
[3] Remondi F, Burlando P, Vollmer D 2016 Exploring the hydrological impact of
increasing urbanisation on a tropical river catchment of the metropolitan
jakarta, indonesia Sustainable Cities and Society 20 pp 210-221 Doi:
10.1016/j.scs.2015.10.001
[4] Fauzi A 2010 Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama)
[5] Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju D R 2011 Perencanaan dan Pengembangan
Wilayah - Edisi kedua (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia)
[6] P4W IPB/FWI. 2018.Program Pemulihan Ekosistem di Hulu DAS Ciliwung:
Penguatan Kolaborasi Para Pihak Dalam Mitigasi Perubahan Iklim. P4W
IPB/FWI/ICCTF
[7] Veriasa TO, Oktaviani AR, Prayoga AP, Arifin M, Cantika FSP. 2018. Membangun
Inisiatif Pembayaran Jasa Ekosistem di Hulu Daerah Aliran Sungai Ciliwung
Kabupaten Bogor – Jawa Barat. Konsorsium Save Puncak, P4W IPB, FWI,
ICCTF. Bogor.
[8] Veriasa TO, Rustiadi E, Kinseng RA. 2013. Impact of Joint Community Forest
Management (PHBM) on Local Economy Improvement in Upperstream Of
Ciliwung Watershed, Bogor Regency-Indonesia. "6th International Conference of
JABODETABEK Study Forum: Urban-Rural and Upland-Coastal Connectivities
in Managing Sustainable Urbanizing World". IPB International Convention
Center, August 29-30, 2018.
[9] Rahman A and Veriasa TO. 2017. The Legal Framework to Address Tenurial
Conflict between Conservation Areas And Local People. “The 4th International
Wildlife Symposium: Promoting One Health Through Wildlife Conservation
and People’s Prosperity”. Banda Aceh, Indonesia. 23-25 October 2017.
University of Syah Kuala/WWF Indonesia/FAO.