Anda di halaman 1dari 4

Manajemen Pengelolaan DAS Bedadung Kabupaten Jember Metode Interpretative

Structurall Modelling (ISM)

1.1 Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah wilayah daratan yang dibatasi oleh punggung-
punggung bukit dalam bentang topografis yang memiliki fungsi untuk menampung, menyimpan
dan kemudian dialirkan ke sistem sungai terdekat (Suprayogo, Widianto, Hairiah, & Nita, 2017).
(Juwono & Subagiyo, 2015) menyatakan kawasan DAS bagian hulu di fungsikan sebagai
daerah resapan reservoir alami dengan pemanfaatan lahan terbatas.DAS bagian tengah
merupakan daerah peralihan dengan pemanfaatan lahan lahan hutan rakyat, perkebunan, serta
permukiman kawasan DAS bagian hilir dengan pemanfaatan lahan kawasan budidya. Menurut
(Wasis Dan Erizal, 2013 Dalam Susanto , 2020) Terdapat 3 faktor yang mempengaruhi kondisi
DAS yakni pertumbuhan penduduk, kegiatan ekonomi dan pola hidup masyarakat. Perubahan
pergeseran ekonomi dari sektor pertanian menuju sektor industri, perdagangan dan jasa akan
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menuju lahan non pertanian.
Hampir semua DAS di Indonesia kondisi tidak ideal lagi karena banyak campur tangan manusia
yang merubah tutupan lahan alami. Desakan pada potensi ekonomi dan kemajuan teknologi
seringkali menjadi pendorong utama dalam menentukan pilihan penggunaan lahan yang diluar
batas potensinya. Perubahan pemanfaatan ruang di wilayah hulu berdapak pada perubahan
debit air di wilayah hilir. Dengan rusaknya ekosistem DAS maka akan berdampak pada resiko
timbulnya bencana alam seperti banjir di wilayah hilir dan longsor di wilayah hulu. Selain itu
permasalahan utama alam pengelolaan DAS yakni belum mantapnya institusi dan lemahnya
sistem perencanaan komprehensif (Sudaryono, 2013). Perencanaan lingkungan akan berekatif
ketika sudah terjadi bencana. Dengan kata lain di fokuskan untuk mencoba memperbaiki
permasalahan setelah terjadi banjir (Haight et all, 1997 dalam Lubis 2004).

Kebijakan pengeloaan DAS terbagi menjadi dua cara yakni struktural dan non
struktural. (Kodatie & Sjarief, 2010) menyatakan tindakan struktural dengan membangun
sebuah fasilitas pengendali air baik dari kualitas dan kuantitas air. Tindakan non struktural
merupakan pengelolaan air melalui sebuah program atau aktivitas yang tidak membutuhkan
fasilitas terbangun. Pengelolaan DAS terpadu merupakan penanganan integral semua
stakeholder dalam pengelolaan banir. Pengelolaan bencana banjir terpadu merupakan suatu
proses yang mengkoordinasikan pengembangan, pengelolaan banjir dan pengelolaan aspek
lainya. Dengan sebuah tujuan mengoptimalkan kepentingan ekonomi tanpa menggagu
kestabilan sebuah ekosistem. Saat ini banyak negara maju mengubah pola pengendalilan banjir
dengan mengutamakan metode nonstruktural yang kemudian di komplemenkan dengan
pendekatan struktural (Kodati & Sjarief, 2010). Dalam mewujudkan sebuah perencanaan
kolaboratif pengelolaan DAS masih bersifat sentralistik dan menunjukan kepentingan sebuah
birokrasi. Sehingga perencanaan pengelolaan DAS masih bersifat egosektoral (Suradisastra &
Pasandaran, 2012). (Maryono, 2002 dalam Lubis, 2004) menyatakan bahwa dalam pengelolaan
sungai di perlukan sebuah implementasi konsep one river and one management (ORPIM).
Yang artinya penanganan pada DAS bagian hulu, tengah dan hilir harus di tangani secara
integral secara bersama sama (Asdak, 2002 dalam Lubis, 2004). Dalam mewujudkan konsep
pengelolaan DAS terpadu dibutuhkan nya sebuah perencanaan kolaboratif.

Perencanaan kolaboratif adalah sebuah proses pembuatan keputusan dari berbagai


pemangku kepentingan dengan melihat sebuah permasalahan dari berbagai sudut pandang
menggali perbedaan secara konstruktif yang kemudian mencari sebagai solusi. Perencanaan
kolaboratif merupakan sebuah perencanaan yang berorientasi kepada para pemangku
kepentingan yang melibatkan Stakeholders yang tidak dibatasi oleh tempat dan waktu akan
tetapi didasari oleh konsep structuralist dari Gidden dan Communicative action dari Habermas
(1984). Akan tetapi perencanaan kolaboratif menjadi keraguan keefektifikan nya dan sulit di
terapkan. Johnston , (2010) menyakan bahwa proses kolaboratif sulit di terapkan karena
membutuhkan banyak waktu memberikan hasil yang memberikan kepastian rendah dan
kurangnya komitmen dari pemangku kepentingan. Keterkaitan kekuasan dan perencanaan
kolaboratif menurut innes dan booher, (200) menunjuan dalam perencanaan kolaboratif
kekuasaan membentuk suatu jejaring, Network Power. Dalam praktif perencanaan kolaboratif
dapat berbeda dengan pelaksanaan nya, namun tetap memiliki prinsip prinsip komunikasi dan
menghasilkan keputusan bersama. Menurut bertaina, (2006) tahapan perencanaan kolaboratif
sebagai berikut : 1.) memutuskan kapan kolaborasi di laksanakan, 2.) menyusun proses yang
berhasil, 3.) menentukan siapa yang akan berpartisipasi, 4.) mengatur proses. Teori
perencanaan kolaboratif sangat berpengaruh dalam sebuah manajemen Daerah aliran Sungai
yang memerlukan sebuah kerja sama dan koordinasi antar berbagai Stakeholders terkait.

Tindakan dalam pengamanan fungsi DAS telah banyak di lakukan namun manajemen
DAS sering kali tidak berhasil. Permasalahan utama yakni tindakan yang banyak di lakukan
masih ditekankan pada penanggulangan biofisik dan kurang memperhatikan aspek sosio-
ekonomi (Suprayogo, Widianto, Hairiah, & Nita, 2017). Tujuan akhir dalam manajemen DAS
adalah pemulihan fungsi DAS melalui terwujudnya kondisi sumberdaya vegetasi, tanah dan air
sehingga mampu memberi manfaat secara maksimal dan berkesinambungan. Untuk mencapai
tujuan dari manajemen DAS terdapat 4 pokok yakni manajemen lahan melalui usaha
konservasi , manajemen air melalui pengembangan sumber air, manajemen vegetasi dan
pembinaan kesadaran dan kemampuan manusia (Mangundikoro, 1985 dalam Suprayogo,
Widianto, Hairiah, & Nita, 2017). Ciri khas dari negara berkembang yakni adanya pendekatan
sektoral manajemen DAS baik dari instansi pemerintah Lembaga swasta atau Lembaga
swadaya masyarakat. Sehingga manajemen DAS yang efektif memerlukan suatu pemahaman,
identifikasi dan analisis peran atau aktor terkait manajemen DAS. Dalam penelitian
manajemen pengelolaan DAS sudah banyak di lakukan khususnya dalam membahas
terkait aktor yang terlibat dalam pengelolaan stakeholders. Metode yang digunakan
dalam manajemen pengelolaan DAS bersifat
kualitatif………………………………………………………….

DAS Bedadung sebagai DAS terbesar di Kabupaten Jember yang mempunyai fungsi
strategis sebagai sumber pasokan air bersih bagi masyarakat. Pemenuhan kebutuhan air bersih
Kabupaten Jember masih sangat kurang dari kapasitas produksi di hasilkan angka 1.555.200
liter/hari. Asumsi kebutuhan total kota Jember sebesar 24.434.100 liter/hari. Sehingga masih
terdapat selisih produksi yang harus diusahakan sebesar 22.878.900 liter/hari. Dalam
keputusan Mentri Kehutanan Nomor: SK. 328/Menhut-II/2009 tentang Penetapan Daerah Aliran
Sungai (DAS) Prioritas Dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
Tahun 2010-2014. DAS Bedadung termasuk dalam 108 DAS prioritas nasional dalam upaya
kegiatan rehabilitas hutan dan lahan termasuk penyelanggaran reboisasi, penghijauan dan
konservasi tanah. Rusak nya DAS Bedadung di akibatkan adanya alih fungsi lahan di wilayah
hulu Kabupaten Jember dalam kurun waktu 2011-2021 perubahan dari Hutan menjadi
perkebunan dengan luas 15,509 ha dan perubahan dari pertanian menjadi permukiman
berubah dalam kurun waktu 2011-2021 dengan luas 19,468 ha. Kondisi DAS di Kabupaten
Jember yang sudah mulai rusak dari tahun 1999 yang mengakibatkan bencana alam di
kawasan DAS Bedadung( Andriyani, 2019 dalam Wibisono, 2021). Dalam kurun tahun 2018-
2020 total kejadian bencana alam bencana banjir 102 kejadian bencana banjir (BPBD
Kabupaten Jember, 2021). Dalam penelitian Kuntano Wibisiono Minotoring Kinerja DAS
Bedadung didapatkan skor 105 termasuk kategori sedang. Hal ini di sebabkan masih adanya
ego sektoral dalam pengelolaan DAS Bedadung di Kabupaten Jember. Permasalahan adanya
egosektoral dalam penanganan DAS Bedadung sesuai dengan penelitian yang di lakukan oleh
Desy Lainufarnasari, 2018 tentang evaluasi kinerja DAS Bedadung Kabupaten Jember dengan
hasil bahwasan nya ada penurunan kondisi kinerja DAS Bedadung dari tahun 2001 sebesar
1,81 dan tahun 2017 menurun 1,69. Sehingga perlunya sebuah manajemen pengelolahan DAS
terpadu dengan melihat kajian antar stake holders terkait pengelolaan DAS Bedadung
Kabupaten Jember.

1.2 Pertanyaan Penelitian

1.3 Tujuan Penelitian

Terdapat 2 tujuan dalam peneltian ini dimana tujuan pertama mengetahui faktor
kendala, kebutuhan pengelolaan DAS Bedadung serta mengetahui stakeholders terkait dan
memodelkan pengelolaan DAS Bedadung Kabupaten Jember menggunakan metode
Interpretative Structurall Modelling.

1.4 Ruang Lingkup

1.4.1 Ruang Lingkup Lokasi

1.4.2 Ruang Lingkup Materi

1.4.3 Ruang Lingkup Temporal

1.5 Sistematika Penulisan

1.6 Kerangka Penelitian

Anda mungkin juga menyukai