Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH GEOGRAFI EKONOMI

PEMANFAATAN ALAM OLEH MANUSIA SEBAGAI PENGARUH AKTIVITAS


MANUSIA DALAM RUANG
(SUMBERDAYA HUTAN DI TAMAN NASIONAL LORE LINDU, PROVINSI
SULAWESI TENGAH)

Untuk memenuhi mata kuliah Geografi Ekonomi


Diampu oleh Roni Alim B K, M.Pd

OLEH
KELOMPOK 3

Maria Dolorosa J Maran (160401050048)


Selviana Abong (160401050059)
Naomi Beljeur (160401050079)

UNIVERSITAS KANJURUHAN MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
MARET 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan yang maha esa karena berkat rahmat
dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini.Makalah ini berjudul
“Pemanfaatan Alam Oleh Manusia Sebagai Pengaruh Aktivitas Manusia Dalam
Ruang, (Sumberdaya Hutan Di Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi
Tengah)” yang disusun dari berbagai sumber tulisan.Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Geografi Ekonomi.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah
membantu selesainya penyusunan makalah ini.Penulis menyadari bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan.Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari segala pihak terutama bapak dosen. Namun, besar harapan penulis semoga
makalah ini berguna bagi penulis dan segala pihak yang membacanya.

Malang ,Maret 2019


DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................
DAFTAR ISI………………………………………………………............................................
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………………
A. Latar Belakang……………………………………………………………………...
B. Rumusan Masalah………………………………………………………………….
C. Tujuan Kegiatan…………………………………………………………………....
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………………
A. Pengertian……………………………………………………………………………
B. Landasan Teori………………………………………………………………………
C. Hipotesis………………………………………………………………………………

BAB III PENUTUP…………………………………………………………………………….


Kesimpulan……………………………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai salah satu negara yang kaya akan sumberdaya alam termasuk
hutan yang memiliki keanekaragaman hayati tidak terlepas dari konflik. Menurut
Widiyanto (2013), konflik kehutanan menjadi konflik yang paling sering terjadi di
Indonesia bahkan melampaui konflik pertanahan atau agraria non kawasan hutan dan
kebun1. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wulan et all (2004) bahwa konflik
kehutanan tersebut terjadi karena adanya pertentangan kepentingan dalam pemanfaatan
sumberdaya alam suatu kawasan hutan termasuk di kawasan konservasi sehingga
kepentingan masyarakat dalam pengelolaan hutan tidak terakomodir. Hal ini
menunjukkan adanya ketimpangan penguasaan lahan dan pertentangan klaim yang
berkepanjangan mengenai siapa yang berhak atas akses pada sumberdaya alam yang
bergerak dalam bidang konservasi (Rachman, 2013) yang mengakibatkan merosotnya
legitimasi masyarakat terhadap pemerintah. Pada akhirnya, masyarakat berupaya
merevitalisasi dan mereposisi perannya dalam interaksi dengan kawasan hutan meskipun
tidak memiliki legalitas secara hukum dan tidak mengikuti kaedah pelestarian yang
ditandai dengan maraknya aktivitas perambahan.

Salah satu kawasan taman nasional yang telah dirambah bahkan telah diokupasi
oleh masyarakat adalah Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi. Perambahan
tersebut dilakukan oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Lore Lindu sesudah
penetapan taman 1 Pada Tahun 2012 saja telah terjadi 72 kasus yang berlangsung di 17
propinsi dengan luas area konflik mencapai 1,2 juta hektar lebih. Konflik tersebut berada
di Jawa Tengah 19 kasus, Banten 13 kasus, Jawa Barat 7 kasus, Kalimantan Tengah 7
kasus, Kalimantan Barat 6 kasus, Sumatera Barat 4 kasus, Sumatera Utara 2 kasus, Riau
2 kasus, Sumatera Selatan 2 kasus, Jawa Timur 2 kasus, Sulawesi Tengah 2 kasus, Aceh
1 kasus, Jambi 1 kasus, Lampung 1 kasus, Kalimantan Timur 1 kasus, Sulawesi Selatan 1
kasus dan Sulawesi Tenggara 1 kasus. 2 nasional yang merupakan areal pembukaan baru
(kebun baru).

Menurut Yayasan Bantuan Hukum Rakyat (2001), Li dan Sangadji (2003) dalam
Adiwibowo (2005) dan Djiloy (2006), menyatakan bahwa mendesaknya kebutuhan hidup
terutama lahan perkebunan dan lahan pertanian untuk bercocok tanam bagi masyarakat
yang berada di Dataran Palolo yaitu Desa Kamarora A, Kamarora B, Kadidia dan
Rahmat2 disebabkan oleh laju pertambahan penduduk yang tidak seimbang dengan
ketersediaan lahan yang ada, sehingga masyarakat di keempat desa tersebut berusaha
untuk mencari lahan pengganti. Prokontra terhadap adanya perambahan kawasan hutan
tersebut menimbulkan polemik yang berkepanjangan sejak Juli 2001 hingga saat ini
(Laban, 2002). Berdasarkan amanah Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, maka penggunaan kawasan hutan secara tidak sah
seperti perambahan di Dongi-dongi merupakan tindak pidana di bidang kehutanan karena
menimbulkan perubahan tutupan lahan, rusaknya habitat satwa, perubahan iklim mikro
dan penurunan suplai air.

Namun bagi masyarakat yang merambah, hal tersebut merupakan hak hidup
bahkan terus menuntut adanya suatu pengakuan keberadaan mereka di Dongi-dongi agar
masuk ke dalam wilayah administrasi desa definitif. Kenyataan ini bersesuaian dengan
apa yang dinyatakan oleh Peluso dan Ribot (2003) dalam Antoro (2013) bahwa jika hak
kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of rights), maka akses
dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of powers). Kekuasaan lebih
berperan daripada klaim dalam pengambilan manfaat atas suatu sumberdaya.
Sekelompok orang mungkin tidak mempunyai hak menurut hukum yang
2 Merupakan transmigran lokal hasil resettlement project Tahun 1979.berlaku, namun
kekuasaan yang melekat padanya memungkinkannya untuk mengakses sumberdaya,
bahkan membuat klaim kepemilikan atau menentukan struktur penguasaan atas
sumberdaya (legitimasi secara sosial).
Oleh sebab itu, meskipun pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu bertujuan
untuk mewujudkan visi pengelolaan yaitu optimalisasi pengelolaan Taman Nasional Lore
Lindu

dalam upaya mewujudkan hutan lestari untuk kesejahteraan masyarakat yang


berkeadilan3, namun dalam implementasinya menurut Hiariej dan Djalong (2013)
kehadiran masyarakat belum sepenuhnya diposisikan sebagai mitra utama yang memiliki
sense of ownership karena hanya sebagai faktor eksternalitas terhadap kelestarian
kawasan hutan (unlegitimate). Konflik pengelolaan ini menjadi menarik, karena sampai
saat ini belum ada solusi yang tepat dan memuaskan semua pihak, walaupun telah
diupayakan beberapa alternatif pemecahan permasalahan di sana. Persoalan utama yang
mendasari hal ini adalah perbedaan cara pandang antara masyarakat di Dongi-dongi,
Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu dan Pemerintah Daerah (Propinsi Sulawesi
Tengah, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Poso).

Oleh karena itu, maka diperlukan suatu resolusi konflik yang adaptif yang dapat
digunakan dalam penanganan perambahan kawasan hutan tersebut karena membiarkan
masyarakat untuk terus melakukan perambahan tersebut akan secara langsung berakibat
buruk bagi kelestarian kawasan hutan dan keanekaragaman hayati di dalamnya.
Berdasarkan hal tersebut, penulis memfokuskan penelitian pada resolusi konflik
perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi Propinsi Sulawesi Tengah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut sebelumnya, maka yang menjadi perumusan masalah ini
adalah:
1. Apa tawaran resolusi konflik yang dapat digunakan dalam penyelesaian konflik
perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi?
2. Apa manfaat dan tantangan resolusi konflik tersebut terhadap pengelolaan Taman
Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi?
C. Tujuaan Kegiatan
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan:
1. Menganalisis suatu resolusi konflik yang dapat digunakan dalam penyelesaian konflik
perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi.
2. Untuk mengetahui manfaat dan tantangan suatu resolusi konflik yang dapat digunakan
dalam penyelesaian konflik perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi.
Sedangkan signifikansinya yaitu bahwa perambahan Taman Nasional Lore Lindu di
Dongi-dongi telah berlangsung lama sejak Tahun 2001 sehingga menimbulkan suatu
konflik yang rumit untuk diselesaikan karena belum adanya sinergitas antara kebutuhan
masyarakat yang berinteraksi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan dengan
pengelolaan hutan konservasi tersebut.
Selain itu, konflik tersebut bukan hanya bersifat struktural-vertikal yaitu konflik
antara masyarakat di Dongi-dongi dengan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu selaku
Unit Pelaksana Teknis Pusat Kementerian Kehutanan, namun juga bersifat horizontal yaitu
konflik antara masyarakat di Dongi-dongi dengan pemerintah daerah baik di Propinsi
Sulawesi Tengah, Kabupaten Sigi maupun Kabupaten Poso yang menuntut untuk
menempatkan dirinya sebagai model dalam pemerintahan desa.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian

Hutan merupakan sumberdaya alam yang memberikan manfaat besar bagi


kesejahteraan manusia, baik yang dirasakan secara langsung (tangible), maupun tidak langsung
(intangible). Manfaat langsung seperti produk hasil hutan, bahan makanan, bahan baku obat-
obatan dan rekreasi. Sedangkan manfaat tidak langsung seperti manfaat pengendalian erosi dan
banjir, penyediaan sumber air, siklus nutrisi, pendukung kehidupan global berupa penyerapan
karbon (polutan) dan stok karbon guna pengendalian perubahan iklim. Keberadaan hutan yang
merupakan daya dukung terhadap segala aspek kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan sangat
ditentukan pada tinggi rendahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan dalam pemanfaatan
dan pengelolaan hutan. Hutan menjadi media hubungan timbal balik antara manusia dan
makhluk hidup lainnya dengan faktor-faktor alam yang terdiri dari proses ekologi dan
merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan (Reksohadiprojo, 2000).

Hutan sebagaimana yang termaktub baik dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan maupun Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan merupakan suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam komunitas alam lingkungannya, yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan
lainnya. Dari definisi tersebut terdapat unsur-unsur yang meliputi:
1) Suatu kesatuan ekosistem,
2) Berupa hamparan lahan,
3) Berisi sumberdaya alam hayati beserta alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lainnya,
4) Mampu memberi manfaat secara lestari.
Keempat unsur pokok yang dimiliki suatu wilayah yang dinamakan hutan merupakan rangkaian
kesatuan komponen yang utuh dan saling ketergantungan terhadap fungsi ekosistem di bumi.

Sedangkan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah untuk
dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap (Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 18
Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan). Dari definisi dan
penjelasan tentang kawasan hutan, terdapat unsur-unsur yang meliputi:
1) Suatu wilayah tertentu,
2) Terdapat hutan atau tidak terdapat hutan,
3) Ditetapkan pemerintah (menteri) sebagai kawasan hutan,
4) Didasarkan pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat.
Unsur pokok yang terkandung di dalam definisi kawasan hutan, dijadikan dasar pertimbangan
ditetapkannya wilayah-wilayah tertentu sebagai kawasan hutan. Kemudian, untuk menjamin
diperolehnya manfaat yang sebesar-besarnya dari hutan dan berdasarkan kebutuhan sosial
ekonomi masyarakat serta berbagai faktor pertimbangan fisik, hidrologi dan ekosistem, maka
luas wilayah yang minimal harus dipertahankan sebagai kawasan hutan adalah 30% dari luas
daratan dengan sebaran yang proporsional.

Adapun kerusakan hutan pada umumnya disebabkan oleh semakin renggangnya


hubungan antara manusia terhadap hutan itu sendiri baik dari segi paradigma berfikir maupun
dari segi kebutuhan manusia akan hidup yang tergantung dari hasil hutan kayu dan bukan kayu
yang bernilai ekonomis. Dengan kata lain, kelestarian hutan hanya dapat diwujudkan ketika
masih terdapat harmonisasi antara manusia itu sendiri dan hutan dengan segala problematikanya.
Dikarenakan perambahan hutan kini sudah menjadi masalah yang kompleks bahkan bagi dunia
internasional, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui resolusi 61/193 telah
mencanangkan Tahun 2011 sebagai Tahun Kehutanan Internasional sebagai upaya untuk
meningkatkan kesadaran para pihak dalam pengelolaan hutan yang lestari untuk kepentingan
generasi sekarang maupun yang akan datang. Pemerintah pun mempertegas hal tersebut dengan
mengundangkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan.

B. Landasan Teori

Berkenaan dengan hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan Fisher et all (2001),
maka perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi akan digambarkan dengan
menggunakan alat bantu analisis konflik yaitu pohon konflik agar dapat diketahui apa saja yang
menjadi isu-isu konflik, masalah inti dan efek dalam suatu konflik, guna membantu dalam
mengambil keputusan tentang prioritas untuk mengatasi berbagai isu konflik, dan untuk
menghubungkan berbagai sebab dan efek satu sama lain.
Disamping itu, pemetaan konflik yang merupakan teknik visual dapat digunakan untuk
menggambarkan konflik secara grafis yang menghubungkan berbagai pihak yang mengalami
konflik. Pemetaan konflik merupakan alat bantu analisis konflik lainnya yang tujuannya antara
lain untuk lebih memahami situasi dengan baik, melihat hubungan diantara berbagai pihak
secara lebih jelas, memeriksa keseimbangan masing-masing reaksi, mengidentifikasi mulainya
intervensi atau tindakan dan untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan dalam penanganan
dan pengelolaan konflik.
Untuk mengetahui dinamika konflik atas ketidaksesuaian kepentingan, tujuan dan
nilai-nilai yang dihadapi, maka siklus konflik dari Kriesberg (1982) dapat digunakan.
Didalam siklus konflik tersebut, perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi
secara bertahap dimulai dari sumber konflik, munculnya konflik, pemicu awal konflik, eskalasi
konflik, deeskalasi konflik, terminasi konflik, hasil (outcome) konflik, dan konsekuensi
konflik.
Dikarenakan konflik ini sarat dengan kepentingan para pihak yang berkonflik, maka alat
untuk menganalisisnya dapat dipergunakan salah satu model resolusi konflik dari Furlong
(2005) yaitu model batas (boundary) sehingga kita bisa memberikan resolusi konflik
perambahan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi. Konflik perambahan tersebut terjadi
karena batas (aturan) dan norma-norma yang telah ada ditantang, terancam atau
dielakkan/diabaikan sehingga membutuhkan intervensi untuk mengatasinya (lembaga atau
orang yang memiliki kewenangan sesuai yuridiksi).
Dalam hal ini, resolusi konflik merupakan upaya penanganan sebab-sebab konflik
tersebut dan berusaha membangun hubungan baru yang bisa bertahan lama antar kelompok
kelompok yang bertikai atau bermusuhan. Oleh karena itu, kepentingan para pihak yang
berkonflik harus dapat diakomodir sebagaimana yang dinyatakan oleh Krott (2005) dimana
pembuatan kebijakan merupakan proses tawar-menawar sosial untuk mengatur konflik
kepentingan dalam pemanfaatan dan perlindungan hutan sesuai dengan program dari sektor
kehutanan.
Berdasarkan hal tersebut, maka hal yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana
governance dalam pengelolaan taman nasional yang merupakan suatu mekanisme praktek dan
tata cara pemerintah dan masyarakat mengatur sumberdaya dan memecahkan masalahmasalah
publik karena governing as conflict management (Zartman, 1997). Bahkan Sumarto (2003)
dalam Siswoko (2009) menambahkan bahwa dalam konsep governance, pemerintah hanya
menjadi salah satu faktor dan tidak selalu menjadi aktor yang paling menentukan. Governance
menuntut redefinisi peran negara, dan itu berarti adanya redefinisi pula pada peran warga.
Didalam pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu di Dongi-dongi perbedaan
kepentingan sangat berpotensi untuk menimbulkan konflik sehingga hak, kewajiban, peran dan
tanggung jawab berbagai pihak harus didefinisikan secara jelas dari awal dalam mekanisme
good forest governance. Menurut Aliadi et all (2006) dan Morison (2007) dalam Siswoko
(2009), good forest governance merupakan proses membangun kesepahaman dan kepercayaan
antar stakeholder berkenaan dengan berbagai keputusan dan tindakan yang mampu
menghilangkan kendala atau hambatan, dan proses penetapan kebijakan serta sistem
kelembagaan yang mendorong keberhasilan pengelolaan hutan di tingkat lokal.
Kesemua hal tersebut menunjukkan pentingnya suatu pengelolaan adaptif yang
merupakan proses mengadaptasi perubahan yang terjadi dalam lingkungan mereka dengan terus
menerus menilai efektivitas perencanaan kebijakan sumberdaya dan implementasinya secara
bersama-sama (Kusumanto et all, 2006).

C. Hipotesis

Penelitian ini bermula dari suatu Bases of Explanation yaitu dikarenakan adanya
perspektif yang berbeda dalam pengelolaan Kawasan Hutan Dongi-dongi di Taman Nasional
Lore Lindu, maka Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu yang memiliki kewenangan
sesuai yurisdiksinya dapat mengupayakan suatu alternatif resolusi konflik dengan melakukan
revisi zonasi sebagai penegakkan batas (boundary). Proses revisi zonasi tersebut dapat
dikolaborasikan dalam mekanisme good forest governance sehingga menghasilkan aturan yang
adaptif, jelas dan dapat mensinergikan kebutuhan masyarakat akan lahan dengan kebutuhan
konservasi.

Dengan adanya revisi zonasi tersebut, maka masyarakat di Dongi-dongi dapat


ditempatkan sebagai bagian dari pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu melalui penetapan
zona lainnya yaitu zona khusus, meskipun harus didahului dengan kajian-kajian komprehensif
dengan pendekatan riset akademik (scientific) termasuk aspek legal formal sebagai konsekuensi
dari adanya perubahan zonasi tersebut.
BAB III

KESIMPULAN

Jadi perambahan hutan merupakan suatu kegiatan pembukaan kawasan hutan secara
illegal dengan tujuan untuk mengolah, memanfaatkan dan menguasainya tanpa melihat dan
memperhatikan fungsi pokok yang merupakan daya dukung suatu kawasan hutan. Sebenarnya
pengelolaan dan pemanfaatan hutan harus dilaksanakan secara bijaksana dalam arti tidak hanya
berupaya untuk mengambil manfaat sebesar-besarnya dari hasil hutan namun juga harus
memperhatikan aspek pemeliharaan dan pengawetan potensi hutan itu sendiri. Berdasarkan Pasal
6 dan Pasal 7 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa pada umumnya
semua hutan mempunyai fungsi konservasi, lindung dan produksi karena setiap wilayah hutan
mempunyai kondisi yang berbeda-beda sesuai dengan keadaan fisik, topografi, flora dan fauna,
serta keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.

Perusakan hutan seperti perambahan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan perorangan
atau individu maupun kelompok dalam jumlah kecil maupun besar yang menduduki suatu
kawasan hutan untuk dijadikan sebagai areal lain seperti perkebunan maupun pertanian baik
yang bersifat sementara ataupun dalam waktu yang cukup lama pada dengan mempertimbangkan
bahwa Indonesia merupakan negara tropis yang sebagian besar mempunyai curah dan intensitas
hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit, dan
bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi,
serta kekurangan air. Berdasarkan pertimbangan tersebut, bagi propinsi dan kabupaten/kota yang
luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh persen), tidak boleh secara bebas mengurangi
luas kawasan hutannya dari luas yang telah ditetapkan. Oleh sebab itu, luas minimal tidak boleh
dijadikan dalih untuk mengkonversi hutan yang ada, melainkan sebagai peringatan kewaspadaan
akan pentingnya hutan bagi kualitas hidup masyarakat. Sebaliknya, bagi propinsi dan
kabupaten/kota yang luas kawasan hutannya kurang dari 30% (tiga puluh persen), perlu
menambah luas hutannya.

Hutan konservasi itu sendiri merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang
mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Salah satu hutan konservasi tersebut adalah taman nasional yang merupakan bagian dari
kawasan pelestarian alam yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Menurut undang undang ini, taman
nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan
sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.
DAFTAR PUSTAKA

BBTNLL, 2004, Rencana Pengelolaan Taman Nasional Lore Lindu 2004-2009, Palu:
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Balai Besar Taman Nasional Lore
Lindu, The Nature Conservancy.

BBTNLL, 2013, Statistik Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu Tahun 2012, Palu.

Diantoro, T.D., 2011, Perambahan Kawasan Hutan pada Konservasi Taman Nasional
(Studi Kasus Taman Nasional Tesso Nilo, Riau), Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta, Volume 23 Nomor 3, Oktober 2011.

Djiloy, Rudolf., 2006, Peran Pemerintah Daerah dalam Resolusi Konflik atas Pengelolaan
Sumberdaya Alam Kawasan Taman Nasional Lore Lindu, Tesis, Sekolah Pasca Sarjana Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Fisher, S., Abdi, D.I., Ludin, J., Smith, R., Williams, S., dan Williams, S., 2001,
Mengelola Konflik, Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak, Jakarta, Indonesia: The British
Council.

Furlong, Garry. T., 2005, The Conflict Resolution Toolbox: Models and Maps for
Analyzing, Diagnosing, and Resolving Conflict, Ontario: John Wiley & Sons Canada, Ltd.

Galtung, J., 1996, Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and
Civilization. Oslo: Prio.

Hartono, 2008, Taman Nasional Mandiri; Telaah Singkat Kemungkinan


Pembentukannya, Makalah pada Reuni Akbar dan Seminar Lustrum IX Fakultas Kehutanan
Universitas Gadjah Mada pada Tanggal 6 – 8 Nopember 2008, Yogyakarta. 24 h.

Anda mungkin juga menyukai