Anda di halaman 1dari 13

ANALISIS TENURIAL DALAM PENGEMBANGAN

KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH): STUDI KASUS


KPH GEDONG WANI, PROVINSI LAMPUNG

Dosen Penanggung Jawab :


Afifuddin Dalimunthe SP., MP.

Oleh :
1. Diazdo Meilu Purba 211201250
2. Elica Arnita Ginting 211201194
3. Erliani Simatupang 211202081
4. Fauzan Farid 211201078
5. Ghevira Jenetri 211201100
6. Salsa Chairani 211201095
7. Tiara Sari Siregar 211201092
8. Yosua Tampubolon 211201176
Kelompok 6
HUT 3D

PROGRAM STUDI KEHUTANAN


FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2022
DAFTAR ISI

Halaman

PENDAHULUAN ....................................................................................... i
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................2
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................2
PEMBAHASAN
2.1 Masalah pokok dalam pengelolaan kawasan hutan ...........................6
2.2 Dampak pemanfaatan kawasan KPH ................................................7
2.3 Pendekatan Analisis model Turnial di KPH .......................................8
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan .............................................................................................10
Saran .......................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA

i
PENDAHULUAN

Pengelolaan kawasan hutan tidak terlepas dari persoalan atau konflik lahan
yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ekonomi, sosial, ekologi dan
kebutuhan lahan pertanian. Konflik lahan dapat terjadi antara penduduk pendatang
dan penduduk asli. Tujuan kajian ini adalah: 1) menguraikan sejarah kawasan KPH;
2) mengkaji perkembangan penggunaan dan pemanfaatan kawasan dan 3)
menganalisis dampak penggunaan dan pemanfaatan kawasan. Metode penelitian
menggunakan Analisis Historis atau Analisis Runtut Kejadian melalui beberapa
tahapan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian kawasan yang telah
ditunjuk sebagai KPH sudah diokupasi oleh masyarakat, baik sebagai lahan
garapan, pemukiman, bangunan kantor desa, maupun menjadi pusat perbelanjaan
berupa toko serba ada dan pasar tradisional.
Ketidakpastian dalam penguasaan kawasan hutan dapat menghambat
efektivitas pengelolaan hutan. Permasalahan ini dapat menimpa masyarakat lokal
yang bermukim dan memanfaatkan lahan di dalam kawasan hutan, termasuk pihak
swasta dan pemerintah. Tumpang-tindih hak atas kawasan hutan terjadi akibat
sistem perijinan yang kurang terpadu dan penguraian persoalan atas klaim lahan
yang kurang memadai.
Dalam konteks konflik tenurial (penguasaan atas lahan dan sumber daya
alam) di dalam kawasan hutan, rentang jarak yang jauh antara aspek de jure dan de
facto patut mendapatkan pencermatan yang mendalam oleh berbagai pihak. Di satu
sisi sistem penguasaan yang diatur oleh hukum negara sangat lemah dalam
operasionalnya, sementara sistem yang diatur secara tradisional (adat) tidak
terdokumentasi dengan baik sehingga kurang mendapat dukungan secara hukum.
Hal ini mempengaruhi kepastian hak atas lahan tersebut. Konflik penguasaan tanah
muncul dari persepsi dan interpretasi yang berbeda yang dimiliki antar pihak
terhadap hak mereka atas tanah dan sumber daya hutan (Safitri , et al 2012).
Konflik dalam kawasan hutan biasanya terjadi akibat tidak jelasnya hak-hak
atau hukum yang berhubungan dengan sistem tenurial. Hal ini dapat terjadi antara
perorangan, masyarakat, badan/ instansi pemerintah atau sektor swasta. Batas-batas
kawasan hutan yang belum disepakati bersama oleh masyarakat dan pemerintah
juga memicu terjadinya konflik. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa lahan
2

di kawasan hutan sudah dimanfaatkan oleh masyarakat atau penduduk sekitar, baik
pendatang maupun penduduk lokal namun keberadaan masyarakat tersebut belum
diakomodir terutama dalam perencanaan pembangunan kehutanan.
Peran strategis KPH merupakan peluang untuk resolusi konflik dengan
pertimbangan KPH dibangun secara lokal spesifik sehingga dapat lebih
mengakomodasi kepentingan masyarakat sekitar serta merespon inspirasi para
pihak terkait (Emila, 2010). Konflik yang terjadi di KPH Gedong Wani Provinsi
Lampung meliputi: 1) lahan relokasi pemekaran kota yang belum mendapat ijin
prinsip dari Kehutanan, 2) tumpang-tindih lahan dengan perkebunan nusantara, 3)
adanya penerbitan sertifikat oleh Pemerintah Daerah di dalam kawasan, 4) ada desa
definitif dalam kawasan hutan, 5) ada areal persawahan milik masyarakat dalam
kawasan (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2012). Oleh karena itu kajian
analisis tenurial yang menguraikan tentang permasalahan tenurial dan solusi konflik
dalam satu unit manajemen KPH sangat diperlukan. Tujuan kajian ini adalah: 1)
menguraikan sejarah kawasan KPH; 2) mengkaji perkembangan penggunaan dan
pemanfaatan kawasan dan 3) menganalisis dampak penggunaan dan pemanfaatan
kawasan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah masalah pokok dalam pengelolaan kawasan hutan yang


berada di kawasan provinsi lampung ?
2. Bagaimanakah dampak dan pemanfaatan kawasan KPH?
3. Bagaimanakah pendekatan analisis model terunial di KPH?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui masalah pokok dalam pengelolaan kawasan hutan


yang berada di kawasan provinsi lampung
2. Untuk mengetahui apa saja dampak dan pemanfaatan kawasan KPH
3. Untuk mengetahui pendekatan analisis dan model terunial di KPH
TINJAUAN PUSTAKA

Hutan merupakan sumber daya alam yang mempunyai peranan penting bagi
kehidupan manusia karena mampu menghasilkan barang dan jasa serta dapat
menciptakan kesetabilan lingkungan. Sejalan dengan waktu, hutan yang semula
dianggap tidak akan habis berangsur-angsur mulai berkurang. Banyak lahan hutan
digunakan untuk kepentingan lain, seperti pertanian, perkebunan, pemukiman,
industri dan penggunaan lainnya. Permasalahan konversi hutan ini berakar dari
pertambahan penduduk yang terus meningkat. Pertambahan penduduk menuntut
tercukupinya kebutuhan pangan, kebutuhan kayu bakar, kebutuhan kayu
pertukangan, dan tempat pemukiman. Di lain pihak lahan pertanian sebagai
penghasil pangan luasannya bisa di bilang sangat terbatas, sehingga alternatif utama
untuk pemenuhan kebutuhan pangan adalah mengkonversi lahan hutan menjadi
lahan pertanian. Selain itu, lahan hutan umumnya memiliki tingkat kesuburan tanah
yang relatif tinggi. Tekanan yang terus menerus terhadap kawaan hutan membuat
pemerintah khawatir terhadap kondisi hutan yang ada. Akhirnya pada tahun 1967
pemerintah mengelompokkan hutan di Indonesia menjadi hutan lindung, hutan
konservasi, dan hutan produksi (Senoaji, 2013).
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang hasilnya bisa dipakai atau
diambil, baik dalam bentuk kayu maupun non-kayu. Pemanfaatan hutan produksi
contohnya sebagai lahan untuk membangun kawasan tertentu atau sebagai sumber
hasil hutan yang bisadiperdagangkan. Manfaat hutan produksi adalah untuk
kebutuhan masyarakat yang memiliki izin untuk mengelolanya. Supaya
penggunaannya dilakukan secara bertanggung jawab, ada yang disebut Pengelolaan
Hutan Produksi Lestari. Salah satunya, pengelola hutan produksi, baik pemerintah
daerah maupun perusahaan swasta, harus memiliki izin usaha. Di Indonesia,
penyebaran hutan tergolong heterogen. Dari Sabang hingga Merauke, hutan
lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi tersebar secara merata. Di antara
ketiganya, hutan produksi bisa dibilang paling luas, yaitu sekitar 72 hektare dari
seluruh luas hutan di Indonesia. Sebagian besar hutan produksi merupakan hutan
alam berada di Pulau Kalimantan. Berdasarkan jenisnya, hutan produksi dibagi
dalam dua kelompok, yaitu hutan rimba dan hutan budidaya (Amu et al., 2021).
4

Ketidakpastian dalam penguasaan kawasan hutan dapat menghambat


efektivitas pengelolaan hutan. Permasalahan ini dapat menimpa masyarakat lokal
yang bermukim dan memanfaatkan lahan di dalam kawasan hutan, termasuk pihak
swasta dan pemerintah. Tumpang-tindih hak atas kawasan hutan terjadi akibat
sistem perijinan yang kurang terpadu, penguraian persoalan atas klaim lahan yang
kurang memadai. Dalam konteks konflik tenurial (penguasaan atas lahan dan
sumber daya alam) di dalam kawasan hutan, rentang jarak yang jauh antara aspek
de jure dan de facto patut mendapatkan pencermatan yang mendalam oleh berbagai
pihak. Di satu sisi sistem penguasaan yang diatur oleh hukum negara sangat lemah
dalam operasionalnya, sementara sistem yang diatur secara tradisional (adat) tidak
terdokumentasi dengan baik sehingga kurang mendapat dukungan secara hukum.
Hal ini mempengaruhi kepastian hak atas lahan tersebut. Konflik penguasaan tanah
muncul dari persepsi dan interpretasi yang berbeda yang dimiliki antar pihak
terhadap hak mereka atas tanah dan sumber daya hutan (Sylviani et al., 2014).
Konflik dalam kawasan hutan biasanya terjadi akibat tidak jelasnya hak-hak
atau hukum yang berhubungan dengan sistem tenurial. Hal ini dapat terjadi antara
perorangan, masyarakat, badan/ instansi pemerintah atau sektor swasta. Batas-batas
kawasan hutan yang belum disepakati oleh masyarakat dan pemerintah juga
memicu terjadinya konflik yang memicu perselisihan paham. Kenyataan di
lapangan menunjukkan bahwa lahan di kawasan hutan sudah dimanfaatkan oleh
masyarakat atau penduduk sekitar, baik pendatang maupun penduduk lokal namun
keberadaan masyarakat tersebut belum diakomodir terutama dalam perencanaan
pembangunan terkhususnya di daerah kehutanan (Sylviani et al., 2014).
Pemanfaatan dan penggunanan lahan dari kawasan hutan dipengaruhi oleh
beberapa faktor, antara lain ekonomi, sosial, ekologi dan politik hukum. Faktor
ekonomi ditentukan oleh jenis kegiatan yang menguntungan seperti di bidang
industri, perdagangan, kehutanan, pertambangan dan lain-lain. Faktor sosial
ditentukan oleh aspek kependudukan, kesehatan masyarakat, pendidikan dan
lembaga desa. Faktor ekologi ditentukan oleh aspek lingkungan, sumber daya alam,
sumber daya air dan lain-lain. Faktor politik dan hukum ditentukan oleh kebijakan
dan peraturanperaturan, baik pusat maupun daerah. Persentase pengembangan
faktor-faktor tersebut ditentukan oleh kondisi dan situasi daerah masing-masing.
5

Misalnya di suatu daerah lebih mengutamakan pembangunan bidang ekonomi,


maka kawasan hutan lebih banyak ditujukan (Paksi, et al., 2017).
Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang ditetapkan pemerintah
untuk memproduksi hasil hutan tanpa menimbulkan dampak sosial, ekonomi, dan
ekologi. Penetapan sempadan sungai sebagai kawasan perlindungan setempat
(KPS) ditujukan untuk meningkatkan fungsi lindung dalam hutan produksi tersebut.
Sempadan sungai berfungsi sebagai ruang penyangga antara ekosistem sungai dan
daratan, agar fungsi sungai dan kegiatan manusia tidak saling terganggu (Republik
Indonesia, 2011). Oleh karena itu, pengelolaannya harus berdasarkan pada
prinsip-prinsip sustainable (sustainable based principle) dari semua manfaat
yang bisa diperoleh dari hutan sebagai sumberdaya sekaligus sebagai ekosistem
yang dapat di olah dan di jaga (Riyanto et al., 2019).

Penanaman pohon dalam pembangunan hutan jelas merupakan salah


satu usaha penyerapan CCh yang dapat mengurangi ERK. Penanaman dengan
jenis cepat tumbuh dan dalam daur tertentu dipanen dan ditanami kembali,
apalagi jika produk hasil kayu yang diperoleh digunakan untuk barang awet
(polywood, kayu konstruksi,dan kayu serpih),maka penyerapan dan
penyimpanan CCh akan berlipat lebih tinggi dibandingkan hutan alam, karena
hutan alam yang sudah klimaks tidak banyak menyerap CO2 lagi. Mekanisme
ini hendaknya juga dapat menjadi salah satu mekanisme fleksibel dalam
perdagangan karbon. Hutan tersebut masih banyak yang di tumbuhi semak-semak,
namun dengan seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk lahan
pertanian mulai berkurang sehingga masyarakat di desa Senanggalih kecamatan
Sambelia memanfaatkannya sebagai lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan,
masyarakat mulai memanfaatkan lahan hutan pada tahun 2007 sampai sekarang,
yang dikelola oleh masyarakat setempat dengan nama Kelompok Pengelolaan
Hutan Produksi (KPHP), untuk menunjang kesejahteraan hidup karena masih
banyak masyarakat tidak memeiliki lahan pertanian, namun menurut pengamatan
peneliti permasalahan yang terjadi dilapangan masih kurang maksimalnya hasi
pemanfaatan hutan produksi untuk pertanian oleh masyarakat (Kusmana 2012).
PEMBAHASAN

2.1 Masalah pokok dalam pengelolaan kawasan hutan

Salah satu masalah pokok dalam pengelolaan kawasan hutan di Provinsi


Lampung adalah lemahnya pengawasan di lapangan karena tidak ada pemangku
kawasan hutan. Pembentukan unit pengelolaan hutan dalam bentuk KPH
dimaksudkan untuk menjawab berbagai persoalan dan tantangan pembangunan
hutan ke depan. Pembentukan KPH bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan
hutan yang efisien dan lestari, yang dilaksanakan untuk tingkat provinsi, kabupaten/
kota dan unit pengelolaan. Ketidakpastian dalam penguasaan kawasan hutan dapat
menghambat efektivitas pengelolaan hutan. Permasalahan ini dapat menimpa
masyarakat lokal yang bermukim dan memanfaatkan lahan di dalam kawasan
hutan, termasuk pihak swasta dan pemerintah. Tumpang-tindih hak atas kawasan
hutan terjadi akibat sistem perijinan yang kurang terpadu dan penguraian persoalan
atas klaim lahan yang kurang memadai. Dalam konteks konflik tenurial
(penguasaan atas lahan dan sumber daya alam) di dalam kawasan hutan, rentang
jarak yang jauh antara aspek de jure 309 Analisis Tenurial dalam Pengembangan
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). (Sylviani & Ismatul Hakim) dan de facto patut
mendapatkan pencermatan yang mendalam oleh berbagai pihak. Di satu sisi sistem
penguasaan yang diatur oleh hukum negara sangat lemah dalam operasionalnya,
sementara sistem yang diatur secara tradisional (adat) tidak terdokumentasi dengan
baik sehingga kurang mendapat dukungan secara hukum. Hal ini mempengaruhi
kepastian hak atas lahan tersebut. Konflik penguasaan tanah muncul dari persepsi
dan interpretasi yang berbeda yang dimiliki antar pihak terhadap hak mereka atas
tanah dan sumber daya hutan.
Konflik dalam kawasan hutan biasanya terjadi akibat tidak jelasnya hak-hak
atau hukum yang berhubungan dengan sistem tenurial. Hal ini dapat terjadi antara
perorangan, masyarakat, badan/ instansi pemerintah atau sektor swasta. Batas-batas
kawasan hutan yang belum disepakati bersama oleh masyarakat dan pemerintah
juga memicu terjadinya konflik. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa lahan
di kawasan hutan sudah dimanfaatkan oleh masyarakat atau penduduk sekitar, baik
7

pen- datang maupun penduduk lokal namun ke- beradaan masyarakat tersebut
belum diakomodir terutama dalam perencanaan pembangunan kehutanan.
2.2 Dampak pemanfaatan kawasan KPH
Pengelolaan kawasan hutan tidak lepas dari pengaruh sosial masyarakat
yang berada di desa-desa sekitar kawasan hutan. Tinggi-rendahnya tekanan
terhadap kawasan hutan dapat diindikasikan dengan kondisi sosial budaya dan
ekonomi masyarakat yang berada di desa sekitar hutan tersebut. Ridell (1987)
menyatakan bahwa dalam pemanfaatan lahan terkait dengan sistem tenurial
merupakan sekumpulan atau serangkaian hak-hak (a bundle of right) untuk
memanfaatkan sumber-sumber agraria yang terdapat pada suatu masyarakat yang
secara bersama juga memunculkan sejumlah batasan-batasan tertentu dalam proses
pemanfaatan itu.
Peran strategis KPH merupakan peluang untuk resolusi konflik dengan
pertimbangan KPH dibangun secara lokal spesifik sehingga dapat lebih
mengakomodasi kepentingan masyarakat sekitar serta merespon inspirasi para
pihak terkait (Emila, 2010). Konflik yang terjadi di KPH Gedong Wani Provinsi
Lampung meliputi: 1) lahan relokasi pemekaran kota yang belum mendapat ijin
prinsip dari Kehutanan, 2) tumpang-tindih lahan dengan perkebunan nusantara, 3)
adanya penerbitan sertifikat oleh Pemerintah Daerah di dalam kawasan, 4) ada desa
definitif dalam kawasan hutan, 5) ada areal persawahan milik masyarakat dalam
kawasan (Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, 2012). Oleh karena itu kajian
analisis tenurial yang menguraikan tentang permasalahan tenurial dan solusi konflik
dalam satu unit manajemen KPH sangat diperlukan.
Pemanfaatan lahan dalam kawasan KPH sangat beragam, baik yang
mendapat ijin dari pemerintah daerah maupun yang ilegal. Hal ini merupakan
tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan KPH. Bagaimana menjadikan
suatu unit manajemen dan satuan wilayah bagi semua aktivitas pembangunan
kehutanan yang sebagian kawasannya sudah digunakan untuk kegiatan non
kehutanan. Pemanfaatan lahan lainnya pada KPH Gedong Wani adalah bangunan
permanen milik pemerintah daerah berupa balai desa, kantor kecamatan dan kebun
garapan masyarakat.
8

2.3 Pendekatan analisis model turnial di KPH


Secara istilah tenurial berasal dari kata tenure, dalam bahasa Latin tenere
yang mencakup arti: memelihara, memegang dan memiliki. Land tenure berarti
sesuatu yang dipegang, dalam hal ini termasuk hak dan kewajiban pemangku lahan
(holding or possessing = pemangkuan atau penguasaan). Land tenure adalah istilah
legal untuk hak pemangkuan lahan, bukan hanya sekedar fakta pemangkuan lahan.
Seseorang mungkin me- mangku lahan (property right), tetapi ia tidak selalu
mempunyai hak untuk menguasai (access right). Teori tenurial digambarkan
sebagai bundle of rights yaitu sekumpulan hak atas tanah yang disederhana- kan
sebagai berikut (FAO, 2010).
Penggunaan model Forest Tenurial Assessment Model (FORTAM)
dibangun atas dasar permasalahan krusial tenurial di Provinsi Lampung yang sudah
terlalu lama karena adanya pembiaran terhadap kawasan hutan, sehingga sudah
terlalu banyak instansi yang terlibat seperti pungutan PBB (Pajak Bumi dan
Bangunan) oleh Dispenda, Kepala Desa, Camat dan Pemda Lampung Selatan yang
sudah memasukkannya dalam proyeksi rencana pengembangan infra-
strukturpembangunanfisikdaerah.Analisisini lebih menampilkan aspek historis
risalah kawasan hutan, peran instansi terkait di lapangan (pusat dan daerah) dan
aturan perundangan/kebijakan. Berkaitan dengan masalah tenurial yang terjadi di
KPH Gedong Wani, maka model analisis ini diterapkan melalui beberapa tahapan,
dari mengidentifikasi sejarah kawasan hingga pemanfaatan kawasan. Pendekatan
dilakukan dengan metode survei observasi di lapangan, wawancara dengan tokoh-
tokoh masyarakat setempat, dan FGD di tingkat desa dan kabupaten.
Tahapan yang dapat dilakukan untuk mengurai masalah tenurial dalam suatu unit
manajemen KPH meliputi:
1. Identifikasi sejarah konflik kawasan (antara masyarakat dengan Kemenhut,
Kementerian Transmigrasi dengan Kemenhut).
2. Kepentingan para pihak pada wilayah KPH (Kemenhut, BPN, Kanwil
Kementerian Transmigrasi, Pemda Provinsi/Kabupaten, pemegang ijin dan
masyarakat adat).
3. Identifikasi status kawasan (tata kuasa, tata kelola dan perijinan).
4. Analisis peluang para pihak.
9

Sebagai hasil dari studi penerapan ini, ada beberapa alternatif kebijakan yang dapat
dikembangkan, yaitu:
1. Mengembangkan konsep Hutan Desa (HD),
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) atau Hutan Kemasyarakatan (HKm), disarankan
agar areal konflik tersebut menerapkan pola agroforestry atau pola
agrosylvopasture untuk menampung atau mengakomodasi kegiatan masyarakat
yang sudah berkembang di lapangan dan diajukan oleh Pemda.
2. Mengembangkan kebijakan konsep desa hutan sebagai alternatif yang melibatkan
pihak instansi pemerintah seperti Kepala Desa, Camat, Pemda, BPN, Kemendagri
dan Kemenhut. Desa hutan dibangun dengan ciri yang unik, berbeda dengan desa
lain yang biasa disebut sebagai Desa Hijau atau Desa Konservasi yang menerapkan
konsep agroforestry, misalnya desa yang lahan usahataninya berupa kawasan hutan,
70% atau 60% komponen pepohonan dan 30% atau 40% komponen tanaman buah-
buahan, tanaman perkebunan atau tanaman pangan. Konsep desa hutan ini
sebaiknya dipayungi oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Kemenhut,
Kemendagri dan BPN.
3. Model analisis tenurial ini dapat digunakan sebagai dasar dalam mengidentifikasi
konflik lahan dengan menguraikan secara rinci, mulai dari sejarah kawasan,
penggunaan kawasan hingga dampak pemanfaatan kawasan.
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
1. Hutan merupakan sumber daya alam yang mempunyai peranan penting bagi
kehidupan manusia karena mampu menghasilkan barang dan jasa serta
dapat menciptakan kesetabilan lingkungan.
2. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang hasilnya bisa dipakai atau
diambil, baik dalam bentuk kayu maupun non-kayu. Pemanfaatan hutan
produksi contohnya sebagai lahan untuk membangun kawasan tertentu atau
sebagai sumber hasil hutan yang bisadiperdagangkan.
3. Konflik dalam kawasan hutan biasanya terjadi akibat tidak jelasnya hak-hak
atau hukum yang berhubungan dengan sistem tenurial. Hal ini dapat terjadi
antara perorangan, masyarakat, badan/ instansi pemerintah atau sektor
swasta.
4. Pengelolaan kawasan hutan tidak lepas dari pengaruh sosial masyarakat
yang berada di desa-desa sekitar kawasan hutan. Tinggi-rendahnya tekanan
terhadap kawasan hutan dapat diindikasikan dengan kondisi sosial budaya
dan ekonomi masyarakat yang berada di desa sekitar hutan tersebut.
5. Pemanfaatan lahan dalam kawasan KPH sangat beragam, baik yang
mendapat ijin dari pemerintah daerah maupun yang ilegal. Hal ini
merupakan tantangan yang harus dihadapi dalam pembangunan KPH.

SARAN

Sebaiknya praktikan lebih memperhatikan materi yang sedang dipelajari


agar tidak terjadi kendala saat pengerjaan tugas dan sebaiknya praktikan membaca
materi terlebih dahulu sebelum memulai praktikum.
DAFTAR PUSTAKA

Amu SY, Harijanto H, Sudhartono A, Labiro E. 2021. POTENSI ROTAN


KAWASAN HUTAN PRODUKSI DI DESA UEKULI KECAMATAN
TOJO KABUPATEN TOJO UNA-UNA. Jurnal Warta Rimba, 9(3):145-
151.

Kusmana C 2012. PENERAPAN MULTISISTEM SILVIKULTUR PADA UNIT


PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI : TINJAUAN ASPEK EKOLOGI.
Jurnal Pengelolaan Sumbardaya Alam. 1(1):47-54.

Paksi TFM, Suteki S, Setiawati TW. 2017. REKONSTRUKSI KEBIJAKAN


PUBLIK TENTANG IZIN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN YANG
BERBASIS SUSTAINABLE DEVELOPMENT. Diponegoro Law
Journal, 6(3):1-21.

Riyanti DH, Nugroho WA. 2019. STUDI INTENSITAS CAHAYA DI


SEMPADAN SUNGAI HUTAN PRODUKSI JATI KHDTK CEMORO
MODANG. Jurnal WASIAN. 7(1):15-24

Senoaji G. 2019. Kontribusi Hutan Lindung Terhadap Pendapatan Masyarakat Desa


Di Sekitarnya: Studi Kasus Di Desa Air Lanang Bengkulu (Contribution of
Protected Forest on Income People in the Village Surroundings: Case Study
in Air Lanang, Bengkulu, Sumatera, Indonesia). Jurnal manusia dan
lingkungan, 16(1):12-22.

Suroso SM. 2017. KAJIAN PENGELOLAAN HUTAN PRODUKSI DESA


SENANGGALIH KECAMATAN SAMBELIA KABUPATEN LOMBOK
TIMUR TAHUN 2017. Jurnal Geodika 2(1):29-36

Titien M 2012. PREFERENSI MASYARAKAT TERHADAP PEMILIHAN


JENIS POHON DALAM PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS
MASYARAKAT : Studi Kasus di Desa Paramasan Bawah, Kabupaten
Banjar, Kalimantan Selatan. Jurnal Hutan Tropis 12(31):123-131.

Anda mungkin juga menyukai