Anda di halaman 1dari 53

Review Jurnal

Megawati Malle
Nasional
1. LAJU DAN PENYEBAB DEFORESTASI DI INDONESIA : PENELAAHAN
KERANCUAN DAN PENYELESAIANNYA

William D. Sunderlin dan Ida Aju Pradnja Resosudarmo


Occasional Paper No. 9 (I) Issn 0854-9818 Maret 1997
Center For International Forestry Research

Sudah ada beberapa penelitian utama mengenai laju dan penyebab deforestasi di
Indonesia akhir-akhir ini dan sudah banyak literatur yang berkaitan dengan hal tersebut,
namun masih belum ada konsensus dalam dunia penelitian mengenai masalah-masalah ini.
Makalah ini mengulas aspek-aspek ketidakpastian dan kerancuan yang ada, dan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab untuk mendapatkan pokok
permasalahan. Diantara pertanyaan-pertanyaan pokok adalah: (1) Bagaimanakah kita
mendefinisikan “hutan”, “deforestasi”dan “pelaku deforestasi” dalam konteks Indonesia?;
(2) Apakah ciri-ciri sosio-ekonomis dan bagaimanakah praktek penggunaan lahan berbagai
pelaku yang dikelompokkan begitu saja di bawah istilah “perladangan berpindah”?; (3)
Apakah hubungan antara naiknya kepadatan penduduk dan hilangnya tutupan hutan
merupakan hubungan sebab akibat atau hanya kebetulan?; (4) Mengapa beberapa
pemegang konsesi nampaknya mengelolakonsesinya dengan cukup baik, sedangkan
banyak pemegang konsesi lainnya tidak?; (5) Apakah pengaruh nyata restrukturisasi
ekonomi makro dan perubahan harga-harga komoditas sejak awal 1980-an pada tutupan
hutan? Diusulkan pedoman-pedoman untuk perbaikan penelitian mengenai laju dan
penyebab perubahan tutupan hutan. Makalah ini diakhiri dengan catatan akan perlunya
menghilangkan kecenderungan mencari penyebab tunggal. Penjelasan-penjelasan yang
meyakinkan tentu saja tidak sederhana, karena penyebab-penyebab deforestasi tertanam
dalam kekuatan-kekuatan sosio-ekonomis yang mapan dan luas jangkauannya. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan kajian literature per tiap aspek
yang akan dibahas.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah sampai tingkat tertentu deforestasi di
Indonesia memang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan produksi pangan yang
meningkat dan untuk kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan perkembangan
ekonomi. Pemerintah Indonesia telah menetapkan hutan konversi (kira-kira seperempat
dari keseluruhan lahan hutan) sebagai kawasan-kawasan yang tepat untuk deforestasi.
Namun demikian, deforestasi dan degradasi hutan telah beranjak lebih jauh dari perbatasan
hutan-hutan konversi, dan telah ada masalah-masalah yang patut dicatat mengenai
penentuan tata guna lahan yang kurang sesuai. Studi RePPProT(1990:36), misalnya,
menemukan bahwa 30,8 juta ha hutan produksi harus diklasifikasi ulang sebagai hutan
lindung. Agar dapat mengatasi masalah yang terjadi akibat hilangnya tutupan hutan yang
tidak seharusnya di Indonesia, perlu diketahui laju perubahan tutupan hutan dan
penyebabnya. Keraguan dan kerancuan fundamental mengenai laju dan penyebab
deforestasi di Indonesia harus diselesaikan. Pemahaman situasi secara lebih baik
merupakan prasyarat untuk merancang kebijakan-kebijakan baru dan menyesuaikan
kebijakan-kebijakan yang ada dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di
sekitar dan di dalam hutan dan konservasi serta pengelolaan hutan-hutan di Indonesia.

2. KONSESI KONSERVASI MELALUI KEBIJAKAN RESTORASI EKOSISTEM DI


HUTAN PRODUKSI
Sri Nurhayati Qodriyatun
Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI Jl. Gatot Subroto Senayan Jakarta
Terbit tahun 2016

Kebijakan restorasi ekosistem di hutan produksi adalah salah satu upaya pemerintah
untuk memperbaiki hutan produksi yang rusak dengan melibatkan swasta melalui
penerapan konsep konsesi konservasi. Konsesi konservasi adalah satu konsep baru dalam
pengelolaan hutan yang diharapkan dapat untuk menyelamatkan hutan di satu sisi, tetapi
tetap memberikan manfaat ekonomi dan sosial bagi masyarakat. Melalui konsesi
konservasi, aspek ekologi, ekonomi, dan sosial berjalan bersama dalam satu pengelolaan
hutan. Namun pelaksanaan restorasi ekosistem belum menerapkan keseluruhan prinsip
konsesi konservasi dan masih terdapat beberapa kelemahan, seperti proses perizinan yang
tidak dilakukan melalui mekanisme pasar, penerapan iuran yang diberlakukan sama antara
konsesi restorasi ekosistem dengan konsesi lainnya, tidak transparan, areal yang
dicadangkan tidak clean and clear, serta adanya aturan dimungkinkannya penebangan di
konsesi restorasi ekosistem. Untuk itu, ke depan pemerintah perlu menjamin lahan yang
dicadangkan bebas dari konflik tenurial, pengurangan besaran iuran yang dibebankan,
dihapuskannya aturan pemberian izin penebangan pada konsesi restorasi ekosistem, dan
memberikan insentif bagi konsesi yang berhasil merestorasi kawasan hutan produksi.
Metode dalam penelitian ini adalah analisis secara deskriptif. Analisis dilakukan secara
deskriptif dengan menggunakan konsep konsesi konservasi berdasarkan literatur yang ada
dan praktik restorasi ekosistem hutan produksi di Indonesia. Data praktik restorasi
ekosistem hutan produksi di Indonesia didapat dari hasil penelitian penulis yang berjudul
“Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi: Kontribusi terhadap Konservasi dan
Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan” pada tahun 2012.
3. PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN AKIBAT EKSPANSI PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT: DAMPAK SOSIAL, EKONOMI DAN EKOLOGI

Rizka Amalia, Arya Hadi Dharmawan, Lilik B. Prasetyo, Pablo Pacheco


Jurnal Ilmu Lingkungan Volume 17 Issue 1 (2019) :130-139 ISSN 1829-8907

Perkebunan kelapa sawit berdampak negatif pada aspek-aspek lingkungan, sosial


dan ekonomi komunitas lokal. Melalui peningkatan system tata kelola perkebunan kelapa
sawit maka dapat mengurangi dampak negatif tersebut. System tata kelola seperti
sertifikasi dan standar-standar keberlanjutan diinisiasi oleh produser, distributor,
pemerintah, akademisi, pasar internasional dan LSM. Sistem tata kelola ini dapat
mencakup skala global atau nasional. Indonesia telah mengimplementasikan system tata
kelola yang berskala global dan nasional namun belum semua perusahaan perkebunan
kelapa sawit dan smallholder mengimplementasikanya. Oleh karena itu, sistem tata kelola
tersebut belum berhasil menurunkan dampak negatif ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Konflik sosial masih sering terjadi akibat dari kebakaran hutan dan pencemaran
lingkungan. Di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia, ekspansi perkebunan
kelapa sawit terjadi secara cepat dimana ekspansi tersebut ada yang tidak menerapkan
sistem tata kelola perkebunan kelapa sawit. Menggunakan metode survey dan wawancara
mendalam, penelitian ini bertujuan mengukur dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit
pada kerentanan ekologi, sosial dan ekonomi. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa
(1) RSPO dan ISPO belum bisa menekan deforestasi akibat ekspansi perkebunan kelapa
sawit; (2) Walaupun RSPO dan ISPO diimplementasikan, masih tetap terjadi konflik
sosial, kerentanan ekologi dan ekonomi pada komunitas lokal.

4. INTERGOVERNMENTAL RELATIONS DALAM PEMBERIAN


KONSESI HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI RIAU

Zainal
Jurnal Teropong Aspirasi Politik Islam Vol 14, No 2 (2018)

Pemberian konsesi hutan tanaman industri di Provinsi Riau tidak hanya melibatkan aktor
lokal namun juga melibatkan aktor internasional.Perusahaan swasta seperti PT. RAPP
merupakan salah satu perusahaan yang memiliki konsesi hutan tanaman industri terluas di
Provinsi Riau saat ini, perusahaan tersebut dan beberapa perusahaan lainnya sudah
memiliki konsesi hutan tanaman industri sekitar 2,1 juta hekter di Provinsi Riau.Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa kebijakan sektor kehutanan kewenangan sepenuhnya
menjadi milik Pemerintah Pusat,Pemerintah Daerah Provinsi hanya memiliki kewenangan
pada tataran pemberian rekomendasi dan rekomendasi tersebut boleh dugunakan dan boleh
juga tidak digunakan oleh Pemerintah Pusat sebagai pertimbangan dalam pemberian
konsesi, untuk tingkatan Pemerintah Kabupaten/Kota setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah kewenangan sektor kehutanan sudah
dicabut dan bahkan dinas kehutanan sudah ditiadakan.Sehingga pada sektor kehutanan
kebijakan pemerintah saat dapat disimpulkan kembali menjadi sentralistik. Secara teori
intergovernmental relations yang digagas oleh Wrigh (1998) belum mampu menyentuh
seluruh aktor yang terlibat dalam pemberian konsesi oleh karena itu diperkuat dengan teori
intergovernmental relations yang digagas oleh Jones dan Royles (2012) yang
menambahkan international actor sebagai salah satu dimensinya. Adapun metode yang
digunakan dalam penelitian adalah kajian literature mengenai topik yang diteliti.

5. ANALISIS PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN AREAL KONSESSI TAMBANG PT


KALTIM PRIMA COAL
Benteng H. Sihombing

Salah satu cara untuk mengetahui perubahan tutupan lahan adalah melalui analisis citra
Landsat TM dari dua periode waktu berjalan. Diperlukan setidaknya 2 cakupan data
gambar untuk mendapatkan perubahan tutupan lahan. Area konsesi tambang PT Kaltim
Prima Coal adalah produk dari transfer fungsional area yang sebelumnya berupa Kawasan
Budidaya Hutan (KBK) ex IUPHHK PT Porodisa Ltd. ke dalam Penggunaan Area Lain
(APL) konsesi tambang PT Kaltim Prima Coal. Dalam rentang dua konsesi, perlu
diketahui apakah ada perubahan tutupan lahan selama periode transisi (periode 10 tahun).
Ini hanya dapat diketahui melalui analisis perubahan penggunaan lahan menggunakan
Landsat TM pada tahun 2002 dan 1012. Kecenderungan kualitas perubahan tutupan lahan
yang diketahui melalui analisis perubahan tutupan lahan ini dan pentingnya perubahan
tutupan, didasarkan pada informasi tentang bagaimana sejarah perubahan tutupan lahan
terjadi. Berdasarkan hasil analisis perubahan tutupan lahan pada 2 periode peliputan dapat
disimpulkan bahwa dalam 2 periode peliputan telah tejadi perubahan penutupan lahan
areal konsesi PT Kaltim Prima Coal yang mengarah kepada degdradasi kualitas
penutupan lahan. Perubahan kualitas penutupan lahan dominan pada Hutan sekunder (Hs)
dengah selisih 4.560,34 Ha/10 tahun atau ratarata -45,60 Ha/tahun dan Tanah terbuka
dengan rata-rata 36,99Ha/tahun.
6. KAJIAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN
METODE MULTI LAYER PERCEPTRON DAN LOGISTIC REGRESSION DI
TAMAN NASIONAL GUNUNG CIREMAI
Oleh Agus Rudi Darmawan, Nining Puspaningsih, Dan M. Buce Saleh
Media Konservasi Vol. 22 No. 3 Desember 2017: 252-261

Perkembangan perubahan tutupan lahan sangat penting untuk diketahui, agar pola
perubahan tutupan lahan dimasa datang dapat diprediksi sehingga perubahan penutupan
lahan yang bersifat negatif dapat dicegah atau dikurangi. Berbagai pendekatan pemodelan
telah banyak digunakan untuk menganalisis perubahan penutupan lahan. Metode
pemodelan yang sering digunakan untuk menganalisis perubahan penutupan lahan adalah
Multi-layer Perceptron (MLP) dan Logistic Regression (Logit). Penelitian ini dirancang
untuk mengetahui tingkat akurasi pemodelan perubahan penutupan lahan dengan metode
MLP dan Logit di Taman Nasional Gunung Ciremai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tingkat akurasi pada kedua metode menghasilkan prediksi yang sangat baik dengan nilai
kappa masing-masing sebesar 0,8991 dan 0,8989 untuk MLP dan Logit. Sehingga model
dapat diaplikasikan untuk memprediksi penutupan lahan di Taman Nasional Gunung
Ciremai pada masa yang akan datang.

7. KONFLIK LAHAN ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERUSAHAAN


Amin Soimin
Jurnal Demokrasi & Otonomi Daerah, Vol. 14, No. 3, September 2016, hlm. 157-236

Penelitian ini difokuskan pada konflik lahan di hutan produksi yang memiliki konsesi-IT
lisensi oleh Keputusan Menteri Nomor101 / Kpts-II/1996 tanggal 26 Desember 1996
tentang pemberian konsesi kepada kelompok-IT sebagian Hutan Produksi Terbatas (HPT)
Minas Siak Provinsi Riau seluas 51 950 ha An. PT. Riau Andalan Pulp and Paper (salah
satu perusahaan yang bergabung dengan April Group) dengan masyarakat di Saber
Kabupaten Provinsi Sungai Siak Riau 2006-2010. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis penyebab konflik lahan di kawasan hutan produksi dengan HPH
memungkinkan komunitas TI dengan PT. Riau Andalan Pulp and Paper di Saber
Kabupaten Sungai di 2006-2010 dan menawarkan resolusi untuk menyelesaikan sengketa
tanah di kawasan hutan produksi dengan HPH memungkinkan komunitas TI dengan PT.
Riau Andalan Pulp and Paper di Saber Kabupaten Sungai 2006-2010. Metode yang
digunakan adalah metode penelitian kualitatif, proses berpikir yang dimulai dari data yang
dikumpulkan kemudian diambil sebagai hasil conclusion. Hasil dari penelitian ini,
terungkap bahwa penyebab konflik antara lahan publik dengan PT. Riau Andalan Pulp and
Paper di Saber River District adalah dampak politik kehutanan di era Orde Baru Indonesia,
kurangnya kesepakatan antara kedua pihak, dan persepsi publik dan pemahaman negatif
terhadap perusahaan. Mengenai resolusi Diwarkan adalah kebutuhan untuk kembali
mediasi, mempromosikan nilai-nilai tradisional dan kearifan lokal, keseimbangan dalam
penanganan konflik.

8. KAJIAN PENGGUNAAN LAHAN HUTAN DAN PERUBAHANNYA


MENGGUNAKAN DATA CITRA SPOT LANDSAT DAN RADAR
Wesman Endom & Haryono
Jurnal penelitian hasil hutan Vol. 22 No. 2 Agustus 2004: 95–111

Untuk meningkatkan efektivitas evaluasi sumberdaya alam, penilaian kecenderungan


penggunaan lahan serta dampaknya sangat penting. Hal ini diperlukan mengingat wilayah
yang saling berinteraksi mencakup areal luas. Untuk itu kajian menggunakan citra
penginderaan jauh merupakan pilihan yang tepat. Pada kajian ini dilakukan evaluasi
penggunaan lahan secara manual melalui citra landsat, spot dan radar. Hasil kajian
memperoleh gambaran sebagai berikut. 1) Sampai dengan tahun 1980-an, areal kajian PT
Inhutani I yang berada di wilayah Long Nah, Kalimantan Timur, umumnya masih berupa
hutan dengan sedikit perkampungan kecil-kecil yang letaknya tersebar. 2) Hasil penafsiran
dari citra spot, citra landsat dan radar memperlihatkan masing-masing: (a) dari citra spot
64,7% benar dan 35,3% salah; (b) dari citra landsat yang benar 53,3% sedang yang salah
46,7%; (c) dari citra radar bulan Maret 1998 dan April 1998 yang benar 38,1% sedang
yang salah 61,9%. 3) Perubahan penggunaan lahan hutan pada periode tahun 1980-1998
terjadi konversi dari hutan tanah kering dan sebagian hutan rawa menjadi hutan tanaman
industri (HTI). Perubahan menjadi bentuk penggunaan lahan lainnya ditemukan sangat
kecil (< 3%) karena lapisan tanahnya sangat tipis dan masam, sehingga tidak cocok
menjadi kegiatan usaha pertanian. 4) Untuk mengurangi tingginya commision error, maka
sebaiknya pembuatan strata dalam penafsiran disesuaikan secukupnya, tidak usah terlalu
banyak.
9. VISUALISASI SPATIO - TEMPORAL DEGRADASI LAHAN GAMBUT
Lea Kristi Agustina
Electronic Theses & Dissertations (ETD) Gadjah Mada University

Meningkatnya kegiatan penggundulan hutan dan pengeringan lahan gambut dengan


dimulainya drainase terjadi dengan cepat menjadikan ketersediaan lahan gambut sebagai
penyimpan karbon semakin memprihatinkan. Kegiatan alih fungsi lahan gambut untuk
kebutuhan perkebunan kelapa sawit, lahan pertanian, perkebunan rakyat seperti karet, dan
lahan pertanian lainnya, mengalami peningkatan yang sangat cepat. Adanya alih fungsi
lahan gambut sangat mempengaruhi keseimbangan ekosistem hidrologinya. Alih fungsi
lahan gambut secara masif berakibat pada peningkatan pembangunan drainase untuk
kebutuhan budidaya lahan. Hal ini menjadikan kawasan kesatuan hidrologi gambut (KHG)
yang bersifat basah menjadi kering sehingga rawan terbakar dan mengalami penurunan
muka tanah. Pada umumnya penurunan lahan gambut yang berlebihan membuat lahan
gambut tidak dapat kembali ke kondisi semula. Identifikasi terjadinya penurunan muka
tanah pada lahan gambut dilakukan berdasarkan data tutupan lahan dan model permukaan
tanah lahan gambut 2014. Tujuan penelitian ini adalah menyajikan informasi secara spatio
temporal dan mengidentifikasi degradasi lahan gambut akibat dari aktivitas alih fungsi
lahan gambut. Analisis degradasi lahan gambut berupa pembangunan drainase dan
persebaran titik api dilakukan dengan metode tumpang susun terhadap kesesuaian terhadap
data Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau, Area Konsesi Hutan Tanaman
Industri (HTI), dan data tutupan lahan. Informasi degradasi lahan gambut disajikan dalam
visualisasi spatio temporal dengan menggunakan metode Space Time Cube (STC) dan
Web Based. Berdasarkan hasil visualisasi, dilakukan usabilitas agar mengetahui sejauh
mana visualisasi spatio temporal dapat digunakan oleh pengguna dalam mendapatkan
informasi degradasi lahan gambut dalam hal efektivitas, efisiensi dan kepuasan bagi
pengguna. Hasil analisis identifikasi penurunan permukaan lahan menunjukkan
ditemukannya pola perbedaan ketinggian pada lahan gambut budidaya. Pada daerah
penelitian ditemukan 3 (tiga) kubah sub KHG yang menjadi bagian dari KHG Sungai
Bunut Sungai Kiyap Provinsi Riau. Kerapatan drainase yang dibangun pada KHG semakin
besar setiap tahunnya dengan dengan klasifikasi indeks kerapatan sedang. Peningkatan
jumlah panjang drainase terjadi sebesar 119,4934 km per tahunnya dari tahun 2000 hingga
2008 dan 148,6954 km per tahunnya dari tahun 2008 hingga 2013. Berdasarkan
pengamatan dalam 15 tahun persebaran titik api mengalami peningkatan jumlah yang
signifikan pada bulan Februari. Pada bulan Mei hingga September persebaran titik api
mengalami peningkatan dengan rata-rata jumlah titk api mencapai 15 titik perbulan.
Terdapat 7 (tujuh) bidang tanah area konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang masuk
dalam KHG, dimana pembangunan drainase dan persebaran titik api dominan terjadi pada
area konsesi HTI dalam KHG. Terdapat 3 (tiga) area konsesi HTI yang masuk dalam
peruntukan kawasan lindung yang diatur dalam RTRW Provinsi Riau. Degradasi lahan
gambut disajikan dalam Visualisasi spatio temporal, dimana visualisasi ini sangat efektif,
cukup efisien, dan sangat memberikan kepuasan kepada pengguna dalam menampilkan
informasi degradasi lahan gambut dalam serial waktu.
10. KAJIAN HUKUM KRITIS : ALIH FUNGSI LAHAN HUTAN BERORIENTASI
KAPITALIS
Yanis Maladi
Jurnal Dinamika Hukum Vol 13, No. 1 Januari 2013

Berbagai ketimpangan Agraria yang terjadi hingga saat ini, khususnya berkaitan dengan
alih fungsi lahan untuk penanaman sawit mengakibatkan konflik ruang kawasan hutan
cukup tinggi. Fenomena semakin luasnya kerusakan hutan diakibatkan oleh kebijakan
negara yang menganut ideology pengelolaan hutan berbasis pada government-based forst
management yang mengedepankan aturan bercorak repressive law. Jika pemerintah tetap
menjadikan hutan sebagai sumber state revenue in the name of development yang
berorientasi kapitalis akan menimbulkan dampak negative perekonomian rakyat sehingga
banyak pihak yang menjadi victim of development. Untuk menanggulangi terjadinya
ketimpangan pemanfaatan hutan, perlu review peraturan perundang-undang yang
berorientasi eksploitasi (use-oriented) dengan menggunakan kajian critical legal studies.

11. KONFLIK LAHAN DI HUTAN GAMBUT RAWA TRIPA PROVINSI ACEH


Iswahyudi Iswahyudi
Jurnal Penelitian Agrosamudera Vol.3 No. 2 2016
Provinsi Aceh termasuk daerah yang sangat rawan akan terjadi konflik, terutama konflik
lahan yang melibatkan perusahaan dan masyarakat. Penyebab utama maraknya konflik ini
berkaitan dengan formulasi kebijakan mengenai pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA)
terutama perkebunan kelapa sawit. Hutan gambut Rawa Tripa sebagian besar lahannya
merupakan Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan kawasan strategis nasional,
namun pada saat ini telah dirambah untuk pembukaan perkebunan sawit oleh perusahaan-
perusahaan besar. Konflik lahan antara masyarakat dengan pihak perusahaan perkebunan
kelapa sawit di Hutan Gambut Rawa Tripa merupakan kondisi yang sengaja diciptakan.
Sebelum diterapkan kebijakan Otonomi Daerah, para aktor birokrat pusat (lokal) dan partai
politik berkolaborasi dengan pemilik modal dalam mengeksploitasi sumber daya
perkebunan kelapa sawit. Caranya adalah dengan menerapkan berbagai kebijakan
pembangunan yang menguntungkan pihak pemilik modal besar, birokrat dan para politisi
dalam memperebutkan lahan dan akses ke pembuat keputusan perizinan. Sementara itu,
para tokoh lokal tidak bisa berbuat banyak Disini memberikan suatu gambaran kepada kita
tentang lemahnya peran pemerintah dalam menyelesaikan konflik lahan. Peran aktif
pemerintah sangat diperlukan dalam mengawal berbagai masalah yang berkaitan dengan
tanah agar tidak terjadi perselisihan karena ada pihak-pihak yang merasa dirugikan atas
kebijakan yang dibuat.

12. IMPLIKASI PERIZINAN SEKTOR BERBASIS LAHAN TERHADAP KONDISI


KAWASAN HUTAN DI PROVINSI RIAU
Suprapto, San Afri Awang, Ahmad Maryudi, Wahyu Wardhana
EnviroScienteae Vol. 15 No. 1, April 2019 Halaman 95-106
ISSN 1978-8096 (print) ISSN 2302-3708 (online)

Sumber daya hutan dapat dimanfaatkan melalui berbagai kegiatan di sektor berbasis lahan,
termasuk kehutanan, perkebunan, dan pertambangan. Implikasi dari penerbitan berbagai
izin diindikasikan menyebabkan perubahan pada area hutan dan tutupan lahan. Makalah
ini bertujuan untuk menganalisis dan menjelaskan implikasi dari berbagai izin sektor
berbasis lahan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat pada
kondisi kawasan hutan di Provinsi Riau. Metode penelitian dilakukan dengan analisis
deskriptif kualitatif, melalui wawancara, analisis spasial, dan meninjau dan melacak
dokumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama periode 1986-2017 telah terjadi
perubahan luas areal hutan dan tutupan lahan. Perubahan terbesar di kawasan hutan terjadi
karena konversi kawasan hutan menjadi perkebunan, sedangkan perubahan tutupan lahan
terbesar di kelas berturut-turut adalah tutupan lahan untuk perkebunan (Pk), hutan tanaman
(Ht) dan pertambangan (Pn). Beberapa rekomendasi yang kami usulkan adalah
pemberhentian sementara izin di kawasan hutan Riau, penataan ulang semua lisensi yang
terkait dengan kawasan hutan, peningkatan integritas dan kemauan semua pihak di Riau
dan pemerintah pusat dalam pengelolaan hutan lestari.

13. IDENTIFIKASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA


LANDSAT MULTI-WAKTU DAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI
GEOGRAFIS (SIG) DI IUPHHK-HA PT. AUSTRAL BYNA KALIMANTAN
TENGAH
Gina Amalia
Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor 2013
(Skripsi)

Pemanfaatan hutan oleh Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau yang kini dikenal dengan
istilah Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Hasil Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA)
mendatangkan banyak manfaat tetapi juga membawa sisi buruk untuk kehutanan
Indonesia. Kegiatan ini telah meningkatkan perekonomian dan pembangunan daerah, akan
tetapi juga mendorong meningkatnya laju deforestasi, dan juga degradasi hutan. Pada
umumnya degradasi hutan yang terjadi pada hutan produksi mengakibatkan kerusakan atau
pengurangan luas hutan produktif terhadap keseluruhan luas kawasan hutan yang akan
mempengaruhi produktifitas. Dampak negatif dari deforestasi dan degradasi dapat
diminimalisir melalui upaya monitoring yang cepat dan efisien menggunakan
penginderaan jauh. Citra digital atau data penginderaan jauh merupakan salah satu data
dalam melakukan analisis permukaan bumi. Kementerian kehutanan menggunakan citra
Landsat sebagai salah satu alat bantu dalam memantau kondisi hutan Indonesia. Citra
Landsat yang dikombinasikan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG) memudahkan
dalam proses monitoring. Baik monitoring jangka panjang maupun monitoring jangka
pendek agar laju deforestasi dapat dikendalikan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kelas tutupan lahan serta perubahannya di dalam areal PT. Austral Byna
pada tahun 1997, 2005 dan 2012, serta menghitung laju degradasi dan reforestasi yang
timbul dari kegiatan pemanfaatan hutan dalam rentang waktu pengamatan. Penelitian
dilaksanakan dengan dua tahap, tahap lapangan pada bulan April-Mei 2012 di PT. Austral
Byna, dan pengolahan citra pada bulan Juni-November 2012 di Laboratorium Remote
Sensing dan GIS Departemen Manajemen Hutan Fahutan IPB. Data yang digunakan adalah
Citra Landsat TM dan ETM+ resolusi 30 m tahun liputan 1997, 2005 dan 2012 serta peta
digital pendukung lainnya. Alat yang digunakan berupa PC yang dilengkapi software
ArcView 3.2, ArcGis 9.1, Erdas 9.1, GPS, Kamera dan alat tulis. Hasil penelitian
menunjukan tutupan lahan yang berhasil diklasifikasikan baik secara digital maupun visual
terdiri atas hutan, ladang, semak belukar, perkebunan, tanah kosong, dan awan. Degradasi
tertinggi pada tahun 1997, 2005 dan 2012 terjadi pada kelas hutan yang berubah menjadi
semak belukar. Sedangkan reforestasi tertinggi terjadi pada kelas ladang dan semak belukar
yang berubah menjadi hutan.

14. KAJIAN EKONOMI POLITIK DEFORESTASI DAN DEGRADASI HUTAN DAN


LAHAN DI KABUPATEN PASER, KALIMANTAN TIMUR
Eddy Mangopo Angi, dan Catur Budi Wiati
JURNAL Penelitian Ekosistem Dipterokarpa Vol.3 No.2, Desember 2017: 63-80

Pemerintah Kalimantan Timur (Kaltim) mengeluarkan kebijakan dan program Kaltim


Green, Low Carbon Growth Strategy (LCGS), Strategi Rencana Aksi Provinsi Reducing
Emissions from Deforestation and Forest Degradation Plus (SRAP REDD+), dan Rencana
Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAD GRK). Kebijakan ini untuk memperbaiki tata kelola
hutan dan lahan (TKHL) untuk mendukung pemerintah menurunkan emisi GRK dunia
melalui rencana aksi (mitigasi) sebesar 26% dan 41% hingga tahun 2020. Tujuan studi ini
untuk menyampaikan hasil kajian sosial, ekonomi, budaya dan politik yang berkontribusi
terhadap deforestasi, degradasi hutan dan lahan. Termasuk relasi aktor formal dan non
formal dalam proses pengambilan kebijakan daerah serta isu-isu strategis TKHL terkait
perencanaan tata ruang, proses kebijakan tata ruang, perijinan, dan penganggaran.
Pengumpulan data dilaksanakan di Kabupaten Paser, Kaltim pada periode tahun 2012-
2013 dan dilanjutkan studi meja (desk study) tahun 2014. Metode pengumpulan data
dilakukan melalui wawancara mendalam (dept interview) terhadap 10 responden infoman
kunci dan studi literatur. Metode analisis data menggunakan analisis masalah (analisis
konteks dan kebijakan) dan analisis stakeholders (analisis aktor). Hasil studi menyebutkan
bahwa deforestasi terbesar disebabkan karena izin-izin di bidang kehutanan dan
perkebunan, sedangkan degradasi hutan dan lahan disumbangkan dari kegiatan
pertambangan. Hal tersebut didukung dari struktur politik, legislatif memberikan
kontribusi dukungan yang besar atas penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam bagi
eksekutif.

15. DAMPAK PERTAMBANGAN TERHADAP PERUBAHAN PENGGUNAAN


LAHAN DAN KESESUAIAN PERUNTUKAN RUANG (STUDI KASUS
KABUPATEN LUWU TIMUR, PROVINSI SULAWESI SELATAN)
Wahyu Hidayat 1, Ernan Rustiadi 2, Hariadi Kartodihardjo
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota vol.26, no.2, hlm. 130-146, Agustus 2015

Penelitian tentang perubahan tutupan/penggunaan lahan dan kesesuaian peruntukan ruang


sangat penting, karena perubahan tutupan/penggunaan lahan memiliki dampak terhadap
lingkungan fisik dan kesesuaian peruntukan ruang memiliki dampak terhadap peraturan
dan perundang-undangan yang mengatur tata ruang. Adapun tujuan artikel ini adalah
mengetahui perubahan tutupan/penggunaan lahan dengan menggunakan data citra satelit,
memprediksi tutupan/penggunaan lahan 10 tahun ke depan, dan mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi terjadinya perubahan tutupan/penggunaan lahan. Lokasi studi
penelitian adalah Kabupaten Luwu Timur. Metode penelitian yang digunakan yaitu Land
Change Modeler, CaMarkov, Enter dan Overlay. Hasil Analisis terhadap perubahan
tutupan/penggunaan lahan menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan tipe penggunaan
lahan tahun 2002 dan 2013. Penggunaan lahan terbuka yang disebabkan oleh perusahaan
tambang mengalami perubahan seluas 15. 375.93 ha. Kontribusi terbesar dari kelas lahan
terbuka berasal dari kelas lahan hutan. Hasil prediksi tutupan/penggunaan lahan tahun 2024
menunjukkan bahwa lahan pemukiman akan bertambah sebesar 23 172.63 ha diikuti oleh
lahan terbuka sebesar 19 947.56 ha. Faktor yang berpengaruh terhadap perubahan lahan
dari semua kelas tutupan/penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan hutan ke lahan
terbuka dan perubahan lahan hutan ke lahan terbangun/permukiman adalah alokasi RTRW
untuk kawasan, lokasi pertambangan dan lereng.

16. PENGENDALIAN PEMBERIAN HAK GUNA USAHA ATAS TANAH SEBAGAI


UPAYA PENCEGAHAN KERUSAKAN HUTAN KARENA PERAMBAHAN
KAWASAN HUTAN YANG DILAKUKAN OLEH PERKEBUNAN
Yusuf Saepul Zamil
Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015 [ISSN 2460-1543]
[e-ISSN 2442-9325]

Kasus kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau dan beberapa daerah di Indonesia
telah menjadi bencana nasional. Dampak dari kebakaran hutan tersebut menyebabkan
kabut asap yang merusak kesehatan, mengganggu akvitas masyarakat, rusaknya ekosistem
tumbuh-tumbuhan dan hewan, membahayakan penerbangan, protes dari negara tetangga
karena adanya kabut asap, dan kerugian-kerugian lainnya. Perambahan hutan juga
menyebabkan masyarakat adat dipaksa keluar dari tanah leluhur karena hutan tempat hidup
dan mencari penghidupan hangus terbakar. Hal ini adalah kejahatan kemanusiaan luar
biasa yang dilakukan oleh para penjarah hutan. Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) atas
tanah untuk perkebunan yang mengalihfungsikan kawasan hutan menjadi kawasan
perkebunan seharusnya terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, walaupun HGU yang dimohonkan berada pada
kawasan area penggunaan lainyang dikuasai oleh pemerintah daerah. Pengendalian izin
pengelolaan dan pemanfaatan lahan untuk perkebunan yang merambah kawasan hutan
dapat dilakukan, antara lain membuat Peraturan Daerah tentang Tata Ruang Wilayah
dengan menetapkan kawasan hutan dalam peraturan daerah tersebut,yang dak boleh
dialihfungsikan menjadi kawasan perkebunan atau kawasan lainnya, menetapkan hutan
abadi di beberapa wilayah di Indonesia dan kebijakan moratorium izin-izin usaha
perkebunan.
Internasional
17. UPAYA PENANGANAN KEJAHATAN LINGKUNGAN PEMBAKARAN HUTAN
DAN LAHAN GAMBUT DI SUMATERA 2004-2015
Muhammad Suryadi
Journal of International Relations, Volume 3, Nomor 2, Tahun 2017, 75-82

Forest fires in Sumatera which occurs almost every year has become a major problem for
Indonesia that need to be resolved. The forest fires is purposely caused by the corporates’
activities which use fires in their land clearing method. On one hand, Indonesia has tried
to overcome the problem by creating legal base as the policy to restrict fire utilization for
land clearing method done by the corporates. On the other hand, as the primary purpose of
corporates is under economic reason for gaining profit, the idea of extracting nature
sustainably without interfering ecological balance has not been completely understood.
This situation has become a concern regional by ASEAN as it has created serious effect
towards other member of states’ territory. In 2002 ASEAN established ASEAN Agreement
on Transboundary Haze Pollution (AATHP) as a environmental regime which its purposes
is to prevent and monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires
through concerted national efforts also intensified regional and international co-operation.
Using environmentalism perspective and negotiated environmental agreement, this
research shall analyze the problem faced by Indonesia’s government and give its
recommendation in the form of creating an environmental protection agreement among the
corporates and the civilians.

Terjemahan

Kebakaran hutan di Sumatera yang terjadi hampir setiap tahun telah menjadi masalah besar
bagi Indonesia yang perlu diselesaikan. Kebakaran hutan sengaja disebabkan oleh kegiatan
korporasi yang menggunakan api dalam metode pembukaan lahan mereka. Di satu sisi,
Indonesia telah berusaha mengatasi masalah tersebut dengan menciptakan dasar hukum
sebagai kebijakan untuk membatasi penggunaan api untuk metode pembukaan lahan yang
dilakukan oleh korporasi. Di sisi lain, karena tujuan utama korporasi adalah di bawah
alasan ekonomi untuk mendapatkan keuntungan, gagasan untuk mengekstraksi alam secara
berkelanjutan tanpa mengganggu keseimbangan ekologis belum sepenuhnya dipahami.
Situasi ini telah menjadi perhatian regional oleh ASEAN karena telah menciptakan efek
serius terhadap wilayah negara anggota lainnya. Pada tahun 2002 ASEAN membentuk
Perjanjian ASEAN tentang Polusi Asap Lintas Batas (AATHP) sebagai rezim lingkungan
yang tujuannya adalah untuk mencegah dan memantau polusi asap lintas batas sebagai
akibat kebakaran lahan dan / atau hutan melalui upaya nasional bersama juga
mengintensifkan kerjasama regional dan internasional. . Dengan menggunakan perspektif
lingkungan dan kesepakatan lingkungan yang dinegosiasikan, penelitian ini akan
menganalisis masalah yang dihadapi oleh pemerintah Indonesia dan memberikan
rekomendasinya dalam bentuk menciptakan perjanjian perlindungan lingkungan di antara
korporasi dan warga sipil.

18. PENGUASAAN DAERAH ATAS PERTAMBANGAN DALAM PERSPEKTIF


OTONOMI DAERAH (ANALISIS PENGELOLAAN POTENSI KONFLIK
TAMBANG EMAS RAKYATPOBOYA DI PALU)
Intam Kurnia
International Journal of Social and Local Economic Governance (IJLEG) Vol. 1, No. 1,
April 2015, pages61-67

Tujuan penelitian ini adalah menjawab pertanyaan tentang: 1)Bagaimanakah pembagian


urusan antar susunan pemerintahan dalam urusan pertambangan di Kota Palu; 2)
Bagaimanakah pengelolaan urusan pertambangan di Kota Palu; 3)Bagaimanakah konflik
yang terjadi antara pemerintah, pengusaha dan masyarakat lingkar tambang dalam
pengelolaan pertambangan di kota Palu; 4)Bagaimanakah alternatif penyelenggaraan
urusan pertambangan yang efektif dan efisien.Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan maksud untuk mengkaji beberapa fenomena yang berhubungan dengan
penyelenggaraan urusan pertambangan, konflik pertambangan dan alternatif
pemecahannya. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi dan
dokumentasi.Hasil penelitian menujukkan bahwa: 1) Penyelenggaraan urusan
pertambangan antar susunan pemerintahan terjadi tumpang tindih kewenangan, baik dari
aspek politik maupun administrasi. Dalam penyelenggaraan urusan pertambangan di
Poboya, aspek politik lebih dikedepankan ketimbang aspek administratif. Ini dibuktikan
dengan dominannya pendekatan hilir (penyelesaian konflik tambang Poboya) yang
dilakukan pemerintah kota, ketimbang pendekatan hulu (pembuatan kebijakan) yang
memberikan kepastian terhadap pengelolaan tambang rakyat di Poboya; 2) Kurangnya
peran serta stakeholders dalam proses perumusan kebijakan pertambangan, adanya
permasalahan kelembagaan, serta lemahnya partisipasi masyarakat dalam perumusan
program-program pertambangan; 3) Terkait kondisi ketidakpastian masyarakat maupun
pengusaha dalam pengelolaan pertambangan. Masing-masing merasa berhak mengatur
maupun mengeksploitasi areal pertambangan berdasarkan kewenangan yang dimilikinya
atas wilayah pertambangan Poboya. Penelitian ini merekomendasikan perlunya
penyelenggaraan urusan pertambangan yang mengacu pada pentingnya kejelasan
pengaturan antar susunan pemerintahan. Dari aspek politik menitikberatkan pada perlunya
perumusan melalui kerjasama, capaian kebijakan pertambangan sesuai kenyataan,
penjaringan aspirasi dan pembuatan aturan. Sedangkan aspek administrasi menitikberatkan
pada pelaksanaan program penertiban, koordinasi, penambangan yang baik dan ramah
lingkungan,adanya regulasi yang jelas serta kerjasama antar aktor yang terlibat dalam
penyelenggaraan urusan pertambangan di kota Palu.
19. RECONCILING FOREST CONSERVATION AND LOGGING IN INDONESIAN
BORNEO
David L. A. Gaveau , Mrigesh Kshatriya, Douglas Sheil, Sean Sloan, Elis Molidena, Arief
Wijaya, Serge Wich, Marc Ancrenaz, Matthew Hansen, Mark Broich, Manuel R.
Guariguata, Pablo Pacheco, Peter Potapov, Svetlana Turubanova, Erik Meijaard
PLoS ONE 8(8):e69887. doi:10.1371/journal.pone.0069887

Combining protected areas with natural forest timber concessions may sustain larger forest
landscapes than is possible via protected areas alone. However, the role of timber
concessions in maintaining natural forest remains poorly characterized. An estimated 57%
(303,525 km2) of Kalimantan's land area (532,100 km2) was covered by natural forest in
2000. About 14,212 km2 (4.7%) had been cleared by 2010. Forests in oil palm concessions
had been reduced by 5,600 km2 (14.1%), while the figures for timber concessions are 1,336
km2 (1.5%), and for protected forests are 1,122 km2 (1.2%). These deforestation rates
explain little about the relative performance of the different land use categories under
equivalent conversion risks due to the confounding effects of location. An estimated 25%
of lands allocated for timber harvesting in 2000 had their status changed to industrial
plantation concessions in 2010. Based on a sample of 3,391 forest plots (1×1 km; 100 ha),
and matching statistical analyses, 2000–2010 deforestation was on average 17.6 ha lower
(95% C.I.: −22.3 ha–−12.9 ha) in timber concession plots than in oil palm concession plots.
When location effects were accounted for, deforestation rates in timber concessions and
protected areas were not significantly different (Mean difference: 0.35 ha; 95% C.I.:
−0.002 ha–0.7 ha). Natural forest timber concessions in Kalimantan had similar ability as
protected areas to maintain forest cover during 2000–2010, provided the former were not
reclassified to industrial plantation concessions. Our study indicates the desirability of the
Government of Indonesia designating its natural forest timber concessions as protected
areas under the IUCN Protected Area Category VI to protect them from reclassification.

Terjemahan

Menggabungkan kawasan lindung dengan konsesi kayu hutan alam dapat mempertahankan
lanskap hutan yang lebih besar daripada yang dimungkinkan melalui kawasan lindung saja.
Namun, peran konsesi kayu dalam menjaga hutan alam masih kurang dicirikan.
Diperkirakan 57% (303.525 km2) dari luas lahan Kalimantan (532.100 km2) ditutupi oleh
hutan alam pada tahun 2000. Sekitar 14.212 km2 (4,7%) telah ditebangi pada tahun 2010.
Hutan dalam konsesi kelapa sawit telah berkurang 5.600 km2 (14.1 %), sedangkan angka
untuk konsesi kayu adalah 1.336 km2 (1,5%), dan untuk hutan lindung adalah 1.122 km2
(1,2%). Tingkat deforestasi ini menjelaskan sedikit tentang kinerja relatif dari berbagai
kategori penggunaan lahan di bawah risiko konversi yang setara karena efek perancu
lokasi. Diperkirakan 25% lahan yang dialokasikan untuk pemanenan kayu pada tahun 2000
statusnya berubah menjadi konsesi hutan tanaman industri pada tahun 2010. Berdasarkan
sampel 3.391 bidang hutan (1 × 1 km; 100 ha), dan analisis statistik yang sesuai, deforestasi
2000-2010 rata-rata 17,6 ha lebih rendah (95% CI: −22,3 ha –− 12,9 ha) di petak konsesi
kayu daripada di petak konsesi kelapa sawit. Ketika efek lokasi diperhitungkan, laju
deforestasi dalam konsesi kayu dan kawasan lindung tidak berbeda secara signifikan
(Perbedaan rata-rata: 0,35 ha; 95% C.I .: −0,002 ha-0,7 ha). Konsesi kayu hutan alam di
Kalimantan memiliki kemampuan yang sama dengan kawasan lindung untuk menjaga
tutupan hutan selama tahun 2000-2010, asalkan yang sebelumnya tidak direklasifikasi ke
konsesi hutan tanaman industri. Studi kami menunjukkan keinginan Pemerintah Indonesia
untuk menunjuk konsesi kayu hutan alam sebagai kawasan lindung di bawah Kawasan
Lindung Kategori VI IUCN untuk melindunginya dari klasifikasi ulang.

20. FOREST AND LAND FIRES, TOXIC HAZE AND LOCAL POLITICS IN
INDONESIA
H. Purnomo, B. Okarda, B. Shantiko, R. Achdiawan, A. Dermawan, H. Kartodihardjo
And A.A. Dewayani
International Forestry Review Vol.21(4), 2019
Forest and land fires are among the major catastrophic events that occur in Indonesia. They
are a major cause of deforestation and greenhouse gas emissions. Their multiple sources
are most diverse and root in nature and society. The immediate fire effects directly and the
long-term landscape ecosystem degradations indirectly cause major and persisting and
serious problems of public health and ecosystem service. Smoke haze from the forest and
land fires in Sumatra and Kalimantan in 2015 caused significant environmental and
economic losses in Indonesia, Singapore and Malaysia. We describe the different types of
land uses and land cover where fires and smoke haze took place, and how local politics
have affected fire use from 2001 to 2017. We calculated hot spots from satellite imageries
as proxies for fire occurrences and applied regression analysis to understand the link
between fire and local politics in Sumatra and Kalimantan. The results show that the
greatest frequency of hot spots occurred in wood and oil palm plantations and logging
concessions (47%), followed by conservation areas (31%) and community land (22%).
Local elections involve land transactions, and fires were used as a cheap way to increase
the land value. The use of fire as means of land clearing was strongly influenced by local
politics. Their frequency and abundance obviously increased about a year prior to local
elections. The reasons behind the correlation need to be understood so that appropriate
incentives and sanctions can be put in place and deter political leaders from using fire as
an incentive to their advantage.

Terjemahan

Kebakaran hutan dan lahan adalah salah satu peristiwa bencana besar yang terjadi di
Indonesia. Mereka adalah penyebab utama deforestasi dan emisi gas rumah kaca. Berbagai
sumber mereka paling beragam dan berakar pada alam dan masyarakat. Efek kebakaran
langsung dan degradasi ekosistem bentang alam jangka panjang secara tidak langsung
menyebabkan masalah kesehatan masyarakat dan jasa ekosistem yang besar dan bertahan
lama. Kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan di Sumatra dan Kalimantan pada tahun
2015 menyebabkan kerugian lingkungan dan ekonomi yang signifikan di Indonesia,
Singapura dan Malaysia. Kami menggambarkan berbagai jenis penggunaan lahan dan
tutupan lahan di mana kebakaran dan kabut asap terjadi, dan bagaimana politik lokal
mempengaruhi penggunaan api dari tahun 2001 hingga 2017. Kami menghitung hot spot
dari citra satelit sebagai proksi untuk kejadian kebakaran dan menerapkan analisis regresi
untuk memahami hubungan antara api dan politik lokal di Sumatra dan Kalimantan.
Hasilnya menunjukkan bahwa frekuensi titik panas terbesar terjadi di perkebunan kayu dan
kelapa sawit dan konsesi penebangan (47%), diikuti oleh kawasan konservasi (31%) dan
lahan masyarakat (22%). Pemilihan lokal melibatkan transaksi tanah, dan kebakaran
digunakan sebagai cara murah untuk meningkatkan nilai tanah. Penggunaan api sebagai
alat pembukaan lahan sangat dipengaruhi oleh politik lokal. Frekuensi dan kelimpahan
mereka jelas meningkat sekitar setahun sebelum pemilihan kepala daerah. Alasan di balik
korelasi perlu dipahami sehingga insentif dan sanksi yang tepat dapat diberlakukan dan
menghalangi para pemimpin politik dari menggunakan api sebagai insentif untuk
keuntungan mereka.

21. MINING AND THE CONFLICT OVER VALUES IN NUSA TENGGARA TIMUR
PROVINCE, EASTERN INDONESIA
Maribeth Erb
International Journal of Educational Research Elsevier
The Extractive Industries and Society
Volume 3, Issue 2, April 2016, Pages 370-382

Political reform in Indonesia, which began in 1999, opened up spaces for local
governments to make more decisions that would affect the economic development of their
districts. With the freedom to seek foreign investment, many district heads in Nusa
Tenggara Timur province began to allocate mining licenses for mineral exploration. This
proliferation of mining activity increasingly received a lot of resistance from environmental
NGOs, church organizations and various communities across the province, and became a
catalyst for people to rethink development strategies and values that are thought to be
associated with various livelihoods. In this paper I examine the conflict over various values,
such as justice, democracy, sustainability, environmental conservation and cultural
tradition, which I look at through a series of cases that trace the recent history of mining in
this eastern Indonesian province. Building on critiques of the simplistic contrast between
unsustainable versus sustainable development, focussing on reputed differences between
mining and tourism, I examine these two industries, following Büscher and Davidov,
(2014a, 2014b) as forming a type of “nexus”. This nexus I argue is what has instigated this
examination of values.
Terjemahan

Reformasi politik di Indonesia, yang dimulai pada tahun 1999, membuka ruang bagi
pemerintah daerah untuk membuat lebih banyak keputusan yang akan mempengaruhi
perkembangan ekonomi kabupaten mereka. Dengan kebebasan untuk mencari investasi
asing, banyak bupati di provinsi Nusa Tenggara Timur mulai mengalokasikan izin
pertambangan untuk eksplorasi mineral. Proliferasi kegiatan penambangan ini semakin
mendapat banyak perlawanan dari LSM lingkungan, organisasi gereja dan berbagai
komunitas di seluruh provinsi, dan menjadi katalis bagi masyarakat untuk memikirkan
kembali strategi dan nilai-nilai pembangunan yang dianggap terkait dengan berbagai mata
pencaharian. Dalam tulisan ini saya meneliti konflik atas berbagai nilai, seperti keadilan,
demokrasi, keberlanjutan, pelestarian lingkungan dan tradisi budaya, yang saya lihat
melalui serangkaian kasus yang menelusuri sejarah penambangan baru-baru ini di provinsi
Indonesia timur ini. Dibangun di atas kritik tentang perbedaan sederhana antara
pembangunan yang tidak berkelanjutan dan berkelanjutan, yang berfokus pada perbedaan
yang terkenal antara pertambangan dan pariwisata, saya memeriksa kedua industri ini,
mengikuti Büscher dan Davidov, (2014a, 2014b) sebagai membentuk sejenis “nexus”. Ini
nexus saya berpendapat adalah apa yang memicu pengujian nilai-nilai ini.

22. THE NEXUS BETWEEN LAND COVER CHANGES, POLITICS AND CONFLICT
IN EASTERN MAU FOREST COMPLEX, KENYA

R.M.Kweyu, T.Thenya, K.Kiemo, J.Emborg


International Journal of Educational Research Elsevier
Applied Geography

There is growing literature that links land cover changes to resource governance regimes.
Whereas natural resource degradation has been successfully linked to weak governance,
the reciprocal relationship between degradation and conflict has not been clearly
established especially in sub-Saharan region where natural resource conflicts are common.
This paper utilizes remote sensing and spatial techniques to examine land cover changes
and conflict in light of the changing Kenyan policy and political contexts. The paper draws
evidence from data collected through time series of satellite imagery for Eastern Mau forest
complex between 1976 and 2014 and qualitative data including key informant interviews
and observation through geo-coded transect walks. The changes in land cover and conflict
intractability were analyzed in light of post-independence land use policy history of Kenya
and related to conflict occurrences among Eastern Mau forest adjacent communities. The
study results show that between 1976 and 2014 over 40% of forest land was converted to
other uses. The study also documents both spatio-temporal drivers of conflict (e.g. forest
degradation) and drivers related to political practice and competition among ethnic
groupings. This paper concludes that to stem land cover changes there is need to pay greater
attention to the underlying factors to land cover changes such as conflict, policy and
politics.
Terjemahan

Ada literatur yang berkembang yang menghubungkan perubahan tutupan lahan dengan
rezim tata kelola sumber daya. Sementara degradasi sumber daya alam telah berhasil
dikaitkan dengan tata kelola yang lemah, hubungan timbal balik antara degradasi dan
konflik belum terjalin dengan jelas terutama di wilayah Sub-Sahara di mana konflik sumber
daya alam sering terjadi. Makalah ini menggunakan teknik penginderaan jauh dan spasial
untuk memeriksa perubahan tutupan lahan dan konflik sehubungan dengan perubahan
kebijakan dan konteks politik Kenya. Makalah ini mengambil bukti dari data yang
dikumpulkan melalui serangkaian waktu citra satelit untuk kompleks hutan Mau Timur
antara tahun 1976 dan 2014 dan data kualitatif termasuk wawancara informan kunci dan
observasi melalui transek transek geo-coded. Perubahan tutupan lahan dan kepraktisan
konflik dianalisis dengan mempertimbangkan sejarah kebijakan penggunaan lahan pasca-
kemerdekaan Kenya dan terkait dengan kejadian konflik di antara masyarakat yang
berdekatan dengan hutan Mau Timur. Hasil studi menunjukkan bahwa antara tahun 1976
dan 2014 lebih dari 40% lahan hutan dikonversi menjadi penggunaan lain. Studi ini juga
mendokumentasikan pendorong spatio-temporal dari konflik (mis. Degradasi hutan) dan
pendorong yang terkait dengan praktik politik dan persaingan di antara kelompok etnis.
Makalah ini menyimpulkan bahwa untuk membendung perubahan tutupan lahan perlu ada
perhatian yang lebih besar pada faktor-faktor yang mendasari perubahan tutupan lahan
seperti konflik, kebijakan dan politik.

23. FIRE ACTIVITY IN BORNEO DRIVEN BY INDUSTRIAL LAND CONVERSION


AND DROUGHT DURING EL NIÑO PERIODS, 1982–2010
SeanSloan, Bruno Locatelli, Martin J.Wooster, David L.A.Gaveau
International Journal of Educational Research Elsevier
Global Environmental Change
Volume 47, November 2017, Pages 95-109

Tropical rainforests, naturally resistant to fire when intact, are increasingly vulnerable to
burning due to ongoing forest perturbation and, possibly, climatic changes. Industrial-scale
forest degradation and conversion are increasing fire occurrence, and interactions with
climate anomalies such as El Niño induced droughts can magnify the extent and severity
of fire activity. The influences of these factors on fire frequency in tropical forests has not
been widely studied at large spatio-temporal scales at which feedbacks between fire
reoccurrence and forest degradation may develop. Linkages between fire activity,
industrial land use, and El Niño rainfall deficits are acute in Borneo, where the greatest
tropical fire events in recorded history have apparently occurred in recent decades. Here
we investigate how fire frequency in Borneo has been influenced by industrial-scale
agricultural development and logging during El Niño periods by integrating long-term
satellite observations between 1982 and 2010 – a period encompassing the onset,
development, and consolidation of its Borneo’s industrial forestry and agricultural
operations as well as the full diversity of El Niño events.
We record changes in fire frequency over this period by deriving the longest and most
comprehensive spatio-temporal record of fire activity across Borneo using AVHRR Global
Area Coverage (GAC) satellite data. Monthly fire frequency was derived from these data
and modelled at 0.04° resolution via a random-forest model, which explained 56% of the
monthly variation as a function of oil palm and timber plantation extent and proximity,
logging intensity and proximity, human settlement, climate, forest and peatland condition,
and time, observed using Landsat and similar satellite data. Oil-palm extent increased fire
frequency until covering 20% of a grid cell, signalling the significant influence of early
stages of plantation establishment. Heighted fire frequency was particularly acute within
10 km of oil palm, where both expanding plantation and smallholder agriculture are
believed to be contributing factors. Fire frequency increased abruptly and dramatically
when rainfall fell below 200 mm month−1, especially as landscape perturbation increased
(indicated by vegetation index data). Logging intensity had a negligible influence on fire
frequency, including on peatlands, suggesting a more complex response of logged forest
to burning than appreciated. Over time, the epicentres of high-frequency fires expanded
from East Kalimantan (1980’s) to Central and West Kalimantan (1990’s), coincidentally
but apparently slightly preceding oil-palm expansion, and high-frequency fires then waned
in East Kalimantan and occurred only in Central and West Kalimantan (2000’s). After
accounting for land-cover changes and climate, our model under-estimates observed fire
frequency during ca. 1990–2002 and over-estimates it thereafter, suggesting that a multi-
decadal shift to industrial forest conversion and forest landscapes may have diminished the
propensity for high-frequency fires in much of this globally significant tropical region since
ca. 2000.
Terjemahan

Hutan hujan tropis, yang secara alami tahan terhadap api ketika utuh, semakin rentan
terhadap pembakaran karena gangguan hutan yang sedang berlangsung dan, mungkin,
perubahan iklim. Degradasi dan konversi hutan berskala industri meningkatkan kejadian
kebakaran, dan interaksi dengan anomali iklim seperti kekeringan yang disebabkan oleh El
Niño dapat memperbesar luas dan parahnya aktivitas kebakaran. Pengaruh faktor-faktor ini
pada frekuensi kebakaran di hutan tropis belum banyak dipelajari pada skala spatio-
temporal besar di mana umpan balik antara kebakaran terjadi kembali dan degradasi hutan
dapat berkembang. Kaitan antara aktivitas kebakaran, penggunaan lahan industri, dan
defisit curah hujan El Niño sangat akut di Kalimantan, di mana peristiwa kebakaran tropis
terbesar dalam sejarah yang tercatat tampaknya terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Di
sini kami menyelidiki bagaimana frekuensi kebakaran di Kalimantan telah dipengaruhi
oleh pengembangan pertanian skala industri dan penebangan selama periode El Nino
dengan mengintegrasikan pengamatan satelit jangka panjang antara tahun 1982 dan 2010
- periode yang meliputi permulaan, pengembangan, dan konsolidasi kehutanan industri
Borneo. dan operasi pertanian serta keragaman penuh peristiwa El Nino.

Kami mencatat perubahan dalam frekuensi kebakaran selama periode ini dengan
memperoleh catatan aktivitas kebakaran spatio-temporal terpanjang dan terlengkap di
seluruh Kalimantan menggunakan data satelit AVHRR Global Area Coverage (GAC).
Frekuensi kebakaran bulanan diperoleh dari data ini dan dimodelkan pada resolusi 0,04 °
melalui model hutan acak, yang menjelaskan 56% variasi bulanan sebagai fungsi dari luas
dan jarak perkebunan kelapa sawit dan kayu, intensitas dan kedekatan penebangan,
pemukiman manusia, iklim, kondisi hutan dan lahan gambut, dan waktu, diamati
menggunakan Landsat dan data satelit serupa. Luas kelapa sawit meningkatkan frekuensi
kebakaran hingga meliputi 20% dari sel grid, menandakan pengaruh signifikan dari tahap
awal pendirian perkebunan. Frekuensi kebakaran yang tinggi terutama akut dalam 10 km
dari kelapa sawit, di mana perkebunan yang diperluas dan pertanian petani kecil diyakini
sebagai faktor yang berkontribusi. Frekuensi kebakaran meningkat secara tiba-tiba dan
dramatis ketika curah hujan turun di bawah 200 mm bulan − 1, terutama ketika
pertambahan lansekap meningkat (ditunjukkan oleh data indeks vegetasi). Intensitas
penebangan memiliki pengaruh yang kecil terhadap frekuensi kebakaran, termasuk di lahan
gambut, menunjukkan respons yang lebih kompleks dari hutan yang ditebang terhadap
pembakaran daripada yang dihargai. Seiring waktu, episentrum kebakaran berfrekuensi
tinggi meluas dari Kalimantan Timur (1980-an) ke Kalimantan Tengah dan Barat (1990-
an), secara kebetulan tetapi tampaknya sedikit mendahului ekspansi kelapa sawit, dan
kebakaran berfrekuensi tinggi kemudian memudar di Kalimantan Timur dan hanya terjadi
di Kalimantan Tengah dan Barat (2000-an). Setelah memperhitungkan perubahan tutupan
lahan dan iklim, model kami memperkirakan lebih rendah frekuensi kebakaran selama ca.
1990–2002 dan terlalu banyak memperkirakannya setelah itu, menunjukkan bahwa
pergeseran multi-decadal ke konversi hutan industri dan lanskap hutan mungkin telah
mengurangi kecenderungan kebakaran frekuensi tinggi di banyak wilayah tropis yang
signifikan secara global ini sejak ca. 2000.
24. FIRE ECONOMY AND ACTOR NETWORK OF FOREST AND LAND FIRES IN
INDONESIA
Herry Purnomo, Bayuni Shantiko, Soaduon Sitorus, Harris Gunawan, Ramadhani,
Achdiawan, Hariadi Kartodihardjo, Ade Ayu Dewayani

International Journal of Educational Research Elsevier


Forest Policy and Economics
Volume 78, May 2017, Pages 21-31

Forest and land fires are a recurrent phenomena in Indonesia and little progress has been
made in reducing their occurrence. The mineral and peat fire in 2015 burnt
2.6 million hectares, mostly in the provinces of Riau, South Sumatra, Jambi, Central
Kalimantan, West Kalimantan and Papua, and costed USD16.1 billion as estimated by the
World Bank in 2015. Although only 30% of the fire was on peatland area, it had a much
higher impact than that on mineral land because of its fire density. Fires in Indonesia are
caused by human both individually or collectively. Indonesian President Joko Widodo has
committed to reducing fire during his term of office. Government actions have focused on
fire suppression, biophysical and technological issues such as canal blocking and an early
warning system. Significant actions on the underlying causes of fires such as providing
economy incentives for land preparation without burning are rare. We conducted a political
economy study of fire and haze to provide policy makers with an understanding of the
economic, social and political causes of forest and land fires. The study focused on four
districts in Riau Province, which experienced fires and forest transition to palm oil
plantations. We collected social, policy and economy data from survey in ex post fire sites
and carried out focus group discussions with the key stakeholders. We implemented value
chain and social network analyses to the collected data. We found a diversity of actors were
involved and gaining benefits from fires. We found that farmer group organizers obtained
enormous benefits, as much as USD486 per hectare. These actors influence decision-
making processes through their patronage network for their own interests. The networks
provide power, support, protection and access to various resources. To effectively reduce
fire, governments need to disempower these farmer group organizers through law and
policy.

Kebakaran hutan dan lahan merupakan fenomena yang berulang di Indonesia dan sedikit
kemajuan yang telah dicapai dalam mengurangi kejadiannya. Kebakaran mineral dan
gambut pada tahun 2015 membakar 2,6 juta hektar, sebagian besar di provinsi Riau,
Sumatra Selatan, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Papua, dan menelan
biaya USD16,1 miliar seperti yang diperkirakan oleh Bank Dunia pada tahun 2015.
Meskipun hanya 30 % kebakaran terjadi di lahan gambut, memiliki dampak yang jauh lebih
tinggi daripada di lahan mineral karena kepadatan api. Kebakaran di Indonesia disebabkan
oleh manusia baik secara individu maupun kolektif. Presiden Indonesia Joko Widodo telah
berkomitmen untuk mengurangi kebakaran selama masa jabatannya. Tindakan pemerintah
telah difokuskan pada pemadaman kebakaran, masalah biofisik dan teknologi seperti
pemblokiran kanal dan sistem peringatan dini. Tindakan signifikan terhadap penyebab
kebakaran mendasar seperti memberikan insentif ekonomi untuk persiapan lahan tanpa
pembakaran jarang terjadi. Kami melakukan studi ekonomi politik kebakaran dan kabut
asap untuk memberikan pemahaman kepada pembuat kebijakan tentang penyebab
ekonomi, sosial dan politik dari kebakaran hutan dan lahan. Studi ini difokuskan pada
empat kabupaten di Provinsi Riau, yang mengalami kebakaran dan transisi hutan ke
perkebunan kelapa sawit. Kami mengumpulkan data sosial, kebijakan, dan ekonomi dari
survei di lokasi bekas kebakaran dan melakukan diskusi kelompok fokus dengan para
pemangku kepentingan utama. Kami menerapkan analisis rantai nilai dan jejaring sosial
untuk data yang dikumpulkan. Kami menemukan beragam aktor yang terlibat dan
mendapatkan manfaat dari kebakaran. Kami menemukan bahwa pengurus kelompok tani
memperoleh manfaat sangat besar, sebanyak USD486 per hektar. Aktor-aktor ini
memengaruhi proses pengambilan keputusan melalui jaringan patronase mereka untuk
kepentingan mereka sendiri. Jaringan menyediakan daya, dukungan, perlindungan, dan
akses ke berbagai sumber daya. Untuk mengurangi kebakaran secara efektif, pemerintah
perlu melemahkan penyelenggara kelompok tani ini melalui undang-undang dan kebijakan.

25. CONVERSION OF FORESTS INTO OIL PALM PLANTATIONS IN WEST


KALIMANTAN, INDONESIA: INSIGHTS FROM ACTORS' POWER AND ITS
DYNAMICS
Doni Prabowo, Ahmad Maryudi, Senawi, Muhammad A.Imron
International Journal of Educational Research Elsevier
Forest Policy and Economics
Volume 78, May 2017, Pages 32-39

Oil palm plantations have been touted as one of the main drivers of deforestation in
Indonesia. This paper aims to explain how oil palm companies accumulate power that
enables them to control forestland and convert it into oil palm. Specifically, this paper
identifies empirical evidence pointing to why oil palm companies emerge as powerful
actors in land use conflicts. This paper uses the case of forest lands claimed by different
actors – i.e. a timber plantation company, an oil palm company, and local communities –
in West Kalimantan, Indonesia. Before the decentralisation policy, the interests of timber
plantations were principally safeguarded by coercion from the forest ministry. The timber
company was also supported by local communities by promising financial incentives to
them. Following the decentralisation policy, additional actors get involved in the land use
conflicts leading to more complex power interplays. In fact, some forestlands licensed for
timber plantations are used by the oil palm company. Oil palm interests resonate with the
economic interests of local governments, who use their legal mandates on land use
allocation to facilitate the establishment of oil palm. The power of the oil palm company is
also enhanced by the support from local communities, to which it handed more financial
incentives than those of the timber plantation. It also used dominant information of
customary claims and land appropriation by the ministry of forestry, with which it
persuades local communities to pressurize government institutions to support oil palm
operations.

Terjemahan

Perkebunan kelapa sawit telah disebut-sebut sebagai salah satu pendorong utama
deforestasi di Indonesia. Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana perusahaan
kelapa sawit mengumpulkan kekuatan yang memungkinkan mereka untuk mengendalikan
hutan dan mengubahnya menjadi kelapa sawit. Secara khusus, makalah ini
mengidentifikasi bukti empiris yang menunjukkan mengapa perusahaan kelapa sawit
muncul sebagai aktor yang kuat dalam konflik penggunaan lahan. Makalah ini
menggunakan kasus lahan hutan yang diklaim oleh berbagai aktor - yaitu perusahaan
perkebunan kayu, perusahaan kelapa sawit, dan masyarakat lokal - di Kalimantan Barat,
Indonesia. Sebelum kebijakan desentralisasi, kepentingan hutan tanaman pada dasarnya
dilindungi oleh paksaan dari kementerian kehutanan. Perusahaan kayu juga didukung oleh
masyarakat setempat dengan menjanjikan insentif keuangan kepada mereka. Mengikuti
kebijakan desentralisasi, aktor-aktor tambahan terlibat dalam konflik penggunaan lahan
yang mengarah pada interplays kekuasaan yang lebih kompleks. Bahkan, beberapa hutan
yang dilisensikan untuk perkebunan kayu digunakan oleh perusahaan kelapa sawit.
Kepentingan kelapa sawit selaras dengan kepentingan ekonomi pemerintah daerah, yang
menggunakan mandat hukum mereka tentang alokasi penggunaan lahan untuk
memfasilitasi pembentukan kelapa sawit. Kekuatan perusahaan kelapa sawit juga
ditingkatkan dengan dukungan dari masyarakat setempat, yang memberikan lebih banyak
insentif keuangan daripada perkebunan kayu. Ia juga menggunakan informasi dominan
klaim adat dan perampasan tanah oleh kementerian kehutanan, yang mana ia membujuk
masyarakat lokal untuk menekan lembaga pemerintah untuk mendukung operasi kelapa
sawit.

26. BEYOND COMMITTEES: HYBRID FOREST GOVERNANCE FOR EQUITY


AND SUSTAINABILITY
Pushpendra Rana, Ashwini Chhatre
International Journal of Educational Research Elsevier
Forest Policy and Economics
Volume 78, May 2017, Pages 40-50

The overwhelming emphasis on ‘user committees’ under decentralized forestry


management in recent times may further reinforce the segmentation of forest governance
space regarding management strategies. This segmentation has appeared in the form of
artificial boundaries such as “state-managed,” “community-managed, “private
concessions” etc. Each of these governance modes, on its own, does not have all the
strengths and capabilities needed for effective forest governance, especially public forests.
These open access forests have multiple and overlapping uses, scale-determined
production of goods and services, and high costs of excluding free-riding individuals. The
paper shows that by selectively mixing useful elements from each of the modes of
governance, we can achieve equity and sustainability in forest governance to a greater
extent. These hybrid forms of governance mechanisms ensure accountable and transparent
decision-making, include diverse and local perspectives, and co-produce innovative ideas
to solve the complex and multi-scaler forestry problems. We demonstrate this through an
experiment in the Indian Himalayas, where the unique strengths of each mode - state
(authority, scientific expertise), community (local knowledge), elected governments
(democratic space and deliberations) - were selectively combined to address the principal
weaknesses of the existing policy for the distribution of subsidized timber trees from public
forests to local households. The paper calls for unpacking hybridity in forest governance
through greater conceptual exploration of relational spaces in which different actors
interact and negotiate environmental aspects, and co-produce innovative solutions to
complex, scaler and interdependent problems. The study is highly relevant in the context
that majority of forests in the developing world are state-owned and managed and any
introduction of elements of hybrid forms through state-mode can potentially improve social
and ecological outcomes.

Terjemahan

Penekanan besar pada 'komite pengguna' di bawah pengelolaan kehutanan terdesentralisasi


belakangan ini dapat semakin memperkuat segmentasi ruang tata kelola hutan terkait
dengan strategi pengelolaan. Segmentasi ini telah muncul dalam bentuk batas buatan
seperti "dikelola negara," "dikelola masyarakat," konsesi swasta "dll. Masing-masing mode
tata kelola ini, sendiri, tidak memiliki semua kekuatan dan kemampuan yang diperlukan
untuk efektif tata kelola hutan, terutama hutan publik. Hutan akses terbuka ini memiliki
banyak kegunaan dan tumpang tindih, skala produksi barang dan jasa yang ditentukan, dan
biaya tinggi untuk tidak termasuk individu yang naik bebas. Makalah ini menunjukkan
bahwa dengan secara selektif mencampurkan unsur-unsur yang bermanfaat dari masing-
masing mode tata kelola, kita dapat mencapai kesetaraan dan keberlanjutan dalam tata
kelola hutan secara lebih luas. Bentuk-bentuk hibrid dari mekanisme tata kelola ini
memastikan pengambilan keputusan yang akuntabel dan transparan, termasuk perspektif
yang beragam dan lokal, dan bersama-sama menghasilkan ide-ide inovatif untuk
memecahkan masalah kehutanan yang kompleks dan multi-scaler. Kami menunjukkan ini
melalui percobaan di Himalaya India, di mana kekuatan unik dari masing-masing mode -
negara (otoritas, keahlian ilmiah), komunitas (pengetahuan lokal), pemerintah terpilih
(ruang dan musyawarah demokratis) - secara selektif digabungkan untuk mengatasi
kelemahan utama dari kebijakan yang ada untuk distribusi pohon kayu bersubsidi dari
hutan publik ke rumah tangga lokal. Makalah ini menyerukan pembongkaran hibriditas
dalam tata kelola hutan melalui eksplorasi konseptual yang lebih besar dari ruang relasional
di mana berbagai pelaku berinteraksi dan menegosiasikan aspek lingkungan, dan bersama-
sama menghasilkan solusi inovatif untuk masalah yang kompleks, scaler, dan saling
tergantung. Studi ini sangat relevan dalam konteks bahwa mayoritas hutan di negara
berkembang dimiliki dan dikelola oleh negara dan setiap pengenalan elemen bentuk hibrida
melalui mode negara berpotensi meningkatkan hasil sosial dan ekologis.

27. AN EMPIRICAL ANALYSIS OF THE DRIVING FORCES OF FOREST COVER


CHANGE IN NORTHEAST CHINA
Miaoying Shi, Runsheng Yin, HongdiLv
International Journal of Educational Research Elsevier
Forest Policy and Economics
Volume 78, May 2017, Pages 78-87

In this paper, we investigate the interactions and feedbacks between the drivers of forest
cover and other land uses by building a novel longitudinal dataset and adopting alternative
modeling strategies. Our longitudinal dataset integrates land-use and land-cover change
(LULCC) information, derived by interpreting satellite imagery, with social-economic
statistics across eight counties in Heilongjiang over a period of 37 years. Employing both
instrument variable and system of equations methods, our models capture the inherent
endogeneity embedded in the land-use changes and the effects of such factors as
demographic change, economic development, and management transition on the forest
condition. To validate the robustness of our models, a series of identification, endogeneity,
and other tests are conducted. Our results demonstrate the dominant role of agricultural
expansion in forestland loss as well as the importance of considering the substitution
between forestland and wetland in analyzing the drivers of LULCC in general and
deforestation in particular. The significant coefficient of the Natural Forest Protection
Program implies that it has played a positive role in protecting local forests. The positive
coefficient of built-up area in the farmland equation suggests a strong link between farming
and residential/commercial construction; likewise, the negative coefficient of irrigation
indicates that wetland loss is adversely affected by the change in local cropping pattern. It
is hoped that these and other findings will improve our knowledge of the forest dynamics
and their socioecological drivers, leading to more effective policy making and
implementation and, ultimately, better resource conditions.

Terjemahan

Dalam makalah ini, kami menyelidiki interaksi dan umpan balik antara pendorong tutupan
hutan dan penggunaan lahan lainnya dengan membangun dataset longitudinal baru dan
mengadopsi strategi pemodelan alternatif. Kumpulan data longitudinal kami
mengintegrasikan informasi penggunaan lahan dan perubahan tutupan lahan (LULCC),
yang diperoleh dengan menginterpretasikan citra satelit, dengan statistik sosial-ekonomi di
delapan kabupaten di Heilongjiang selama 37 tahun. Dengan menggunakan variabel
instrumen dan metode sistem persamaan, model kami menangkap endogenitas yang
melekat yang tertanam dalam perubahan penggunaan lahan dan efek dari faktor-faktor
seperti perubahan demografis, pengembangan ekonomi, dan transisi manajemen pada
kondisi hutan. Untuk memvalidasi kekokohan model kami, serangkaian identifikasi,
endogenitas, dan tes lainnya dilakukan. Hasil kami menunjukkan peran dominan ekspansi
pertanian dalam hilangnya lahan hutan serta pentingnya mempertimbangkan substitusi
antara hutan dan lahan basah dalam menganalisis pendorong LULCC secara umum dan
deforestasi pada khususnya. Koefisien signifikan dari Program Perlindungan Hutan Alam
menyiratkan bahwa ia telah memainkan peran positif dalam melindungi hutan lokal.
Koefisien positif area terbangun dalam persamaan lahan pertanian menunjukkan adanya
hubungan yang kuat antara pertanian dan konstruksi perumahan / komersial; juga, koefisien
negatif irigasi menunjukkan bahwa kehilangan lahan basah dipengaruhi secara negatif oleh
perubahan pola tanam lokal. Diharapkan bahwa temuan-temuan ini dan lainnya akan
meningkatkan pengetahuan kita tentang dinamika hutan dan pendorong sosioekologisnya,
yang mengarah pada pembuatan kebijakan dan implementasi yang lebih efektif dan, pada
akhirnya, kondisi sumber daya yang lebih baik.

28. A REVIEW OF THE DRIVERS OF TROPICAL PEATLAND DEGRADATION IN


SOUTH-EAST ASIA
Alue Dohong, Ammar Abdul Aziz, Paul Dargusch
International Journal of Educational Research Elsevier
Land Use Policy
Volume 69, December 2017, Pages 349-360

The world’s largest area of tropical peatland ecosystems is found in South-East Asia. These
peatlands have globally significant carbon stocks and play an important role in regional
and global climate systems. Despite the valuable social and economic services and
ecosystem biodiversity these tropical peatlands provide, misguided land use policies have
resulted in widespread peatland degradation in the region during the past 20 years. This
paper reviews the drivers of peatland degradation in South-East Asia and confirms that
logging, conversion to industrial plantations, drainage, and recurrent fires are the principal
direct drivers of peatland degradation in South-East Asia, and that these drivers are
compounded by a complex mix of indirect socioeconomic, policy- and climate change-
related factors. The review concludes by noting that in order to address the problem of
peatland degradation, we first need to know more about how to design and assess
“successful” peatland restoration initiatives, and what regulatory and policy interventions
are likely to improve peatland conservation and restoration outcomes in the South-East
Asian region.
Terjemahan

Wilayah ekosistem gambut tropis terbesar di dunia ditemukan di Asia Tenggara. Lahan
gambut ini memiliki cadangan karbon yang signifikan secara global dan memainkan peran
penting dalam sistem iklim regional dan global. Terlepas dari jasa sosial dan ekonomi yang
berharga dan keanekaragaman hayati ekosistem yang disediakan oleh lahan gambut tropis
ini, kebijakan penggunaan lahan yang salah arah telah mengakibatkan degradasi lahan
gambut yang meluas di kawasan ini selama 20 tahun terakhir. Makalah ini mengulas
pendorong degradasi lahan gambut di Asia Tenggara dan menegaskan bahwa penebangan,
konversi ke hutan tanaman industri, drainase, dan kebakaran berulang adalah pendorong
langsung utama degradasi lahan gambut di Asia Tenggara, dan bahwa pendorong ini
diperparah oleh campuran kompleks dari faktor-faktor sosial ekonomi tidak langsung,
kebijakan-dan terkait perubahan iklim. Tinjauan ini diakhiri dengan mencatat bahwa untuk
mengatasi masalah degradasi lahan gambut, pertama-tama kita perlu tahu lebih banyak
tentang bagaimana merancang dan menilai inisiatif restorasi lahan gambut yang “berhasil”,
dan intervensi peraturan dan kebijakan apa yang cenderung meningkatkan hasil konservasi
dan restorasi lahan gambut di wilayah Asia Tenggara.

29. REDUCING FOREST AND LAND FIRES THROUGH GOOD PALM OIL
VALUE CHAIN GOVERNANCE
Herry Purnomo, Beni Okarda, Ade Ayu Dewayani, Made Ali, Ramadhani Achdiawan,
Hariadi Kartodihardjo, Pablo Pacheco, Kartika S.Juniwaty
International Journal of Educational Research Elsevier
Forest Policy and Economics
Volume 91, June 2018, Pages 94-106

United Nations' Sustainable Development Goals (SDGs) aim to protect the planet and
ensure prosperity. In reaching SDGs, Indonesia's palm oil industry represents a solution for
the economy but a problem for environment-related goals. Palm oil is a tremendous land-
based commodity that supports the subnational and national economies of Indonesia. With
11.4 million ha of plantations, palm oil has contributed USD 20.75 billion in 2015 to
Indonesia's export income. However, fire has been involved in the development and
replanting of palm oil plantations. Smoke haze from fires harm the economy, the
environment, and the health of millions of people. The research took a normative approach
to understand whether the current palm oil value chain governance comply with the
principle of good governance. The focus was on analyzing options to improve the current
governance towards good governance, which is able to reduce fire uses. We reviewed
previous investigations, and carried out focus group discussions, field interviews, and value
chain analysis. We found that the palm oil economy distributed enormous value added to
those participating in the chain. However, the fire uses in land preparation can be altered
by using coercion, dis(incentives) and dominant information that held by district and
central governments, growers and mil. The potential benefits from green products, a
strengthened growers' association, moving up scenarios can be used to compensate the
‘benefits’ of using fire. Lessons learnt from the palm oil commodity chain in Indonesia,
when the economy and the environment are contested, can be used by other countries to
reach towards their SDGs.

Terjemahan

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB (SDGs) bertujuan untuk melindungi planet ini
dan memastikan kesejahteraan. Dalam mencapai SDG, industri minyak sawit Indonesia
mewakili solusi untuk ekonomi tetapi masalah untuk tujuan yang berkaitan dengan
lingkungan. Minyak kelapa sawit adalah komoditas berbasis lahan yang luar biasa yang
mendukung perekonomian daerah dan nasional Indonesia. Dengan 11,4 juta ha
perkebunan, minyak sawit telah memberikan kontribusi USD 20,75 miliar pada 2015 untuk
pendapatan ekspor Indonesia. Namun, api telah terlibat dalam pengembangan dan
penanaman kembali perkebunan kelapa sawit. Kabut asap dari kebakaran membahayakan
ekonomi, lingkungan, dan kesehatan jutaan orang. Penelitian ini mengambil pendekatan
normatif untuk memahami apakah tata kelola rantai nilai minyak sawit saat ini mematuhi
prinsip tata kelola yang baik. Fokusnya adalah menganalisis opsi untuk meningkatkan tata
kelola saat ini menuju tata kelola yang baik, yang mampu mengurangi penggunaan api.
Kami meninjau investigasi sebelumnya, dan melakukan diskusi kelompok fokus,
wawancara lapangan, dan analisis rantai nilai. Kami menemukan bahwa ekonomi kelapa
sawit mendistribusikan nilai tambah yang sangat besar kepada mereka yang berpartisipasi
dalam rantai. Namun, penggunaan api dalam persiapan lahan dapat diubah dengan
menggunakan paksaan, dis (insentif) dan informasi dominan yang dipegang oleh
pemerintah kabupaten dan pusat, petani dan pekerja. Potensi manfaat dari produk hijau,
asosiasi petani yang diperkuat, skenario naik dapat digunakan untuk mengkompensasi
'manfaat' menggunakan api. Pelajaran dari rantai komoditas kelapa sawit di Indonesia,
ketika ekonomi dan lingkungan diperebutkan, dapat digunakan oleh negara-negara lain
untuk mencapai SDGs mereka.
30. CORPORATE–SOCIETY ENGAGEMENT IN PLANTATION FORESTRY IN
INDONESIA: EVOLVING APPROACHES AND THEIR IMPLICATIONS
Julia Szulecka, Krystof Obidzinski, Ahmad Dermawan
International Journal of Educational Research Elsevier
Forest Policy and Economics
Volume 62, January 2016, Pages 19-29

Forest plantations have been an important land-use pattern in Indonesia for centuries. Yet
the role of timber plantations, their specific goals, perceptions, actors involved, and
management systems had been redefined in the past and they continue to evolve today. It
is important to understand the driving forces and historical trends shaping timber
plantations in Indonesia in order to critically reflect on their changing roles in the forestry
sector. This article traces the development of Indonesian forest plantations through time by
categorizing them into paradigms. Proposed explanatory framework helps to see the
historical legacies in the Indonesian plantation sector. The identification of historical
plantation modes is based on a literature review while current approaches and specific
policy instruments are discussed based on exploratory empirical case-study material from
three Indonesian forest plantation estates (involving joint forest management, community
forest management and large private timber company). The historical review shows a range
of continuities and helps to explain the problems forest plantations in Indonesia face today.
It points to socially-oriented community forest management as highly praised by its
stakeholders, able to improve rural livelihoods and secure environmental benefits.

Terjemahan

Hutan tanaman telah menjadi pola penggunaan lahan yang penting di Indonesia selama
berabad-abad. Namun peran hutan tanaman, tujuan spesifik mereka, persepsi, aktor yang
terlibat, dan sistem manajemen telah didefinisikan ulang di masa lalu dan mereka terus
berkembang hari ini. Penting untuk memahami kekuatan pendorong dan tren historis yang
membentuk perkebunan kayu di Indonesia untuk secara kritis merefleksikan peran mereka
yang berubah di sektor kehutanan. Artikel ini melacak perkembangan hutan tanaman
Indonesia dari waktu ke waktu dengan mengategorikannya ke dalam paradigma. Kerangka
penjelasan yang diusulkan membantu untuk melihat warisan sejarah di sektor perkebunan
Indonesia. Identifikasi mode penanaman historis didasarkan pada tinjauan literatur
sementara pendekatan saat ini dan instrumen kebijakan spesifik dibahas berdasarkan bahan
studi kasus empiris eksplorasi dari tiga perkebunan hutan Indonesia (melibatkan
pengelolaan hutan bersama, pengelolaan hutan kemasyarakatan dan perusahaan kayu
swasta besar) . Tinjauan sejarah menunjukkan berbagai kontinuitas dan membantu
menjelaskan masalah yang dihadapi oleh hutan tanaman di Indonesia saat ini. Ini menunjuk
pada pengelolaan hutan rakyat yang berorientasi sosial yang sangat dipuji oleh para
pemangku kepentingannya, mampu meningkatkan mata pencaharian pedesaan dan
mengamankan manfaat lingkungan.

31. SPATIAL AND TEMPORAL PATTERNS OF LAND CLEARING DURING


POLICY CHANGE

Alexander Simmons, Elizabeth A.Law, Raymundo Marcos-Martinez, Brett A.Bryan, Clive


Mc Alpine, Kerrie A.Wilson
International Journal of Educational Research Elsevier
Land Use Policy
Volume 75, June 2018, Pages 399-410

Environmental policies and regulations have been instrumental in influencing deforestation


rates around theworld. Understanding how these policies change stakeholder behaviours is
critical for determining policy impact. In Queensland, Australia, changes in native
vegetation management policy seem to have influenced land clearing behaviour of land
holders. Periods of peak clearing rates have been associated with periods preceding the
introduction of stricter legislation. However, the characteristics of clearing patterns during
the last two decades are poorly understood. This study investigates the underlying spatio
temporal patterns in land clearing using a range of bio physical, climatic, and property
characteristics of clearing events. Principal component and hierarchical cluster analyses
were applied to identify dissimilarities between years along the political timeline.Overall,
aggregate land holders’clearing characteristics remain generally consistent over time,
though notice able deviations are observed at smaller regional and temporal scales. While
clearing patterns in some regions haveshifted to reflect the policy’s goals, others have
experienced minimal or contradictory changes following regulation.
Potential‘panic’or‘pre-emptive’effects are evident in the analysis, such as spikes in
clearing for pasture expansions, but differ across regions. Because different regions are
driven by different pressures, such as land availability and regulatory opportunity, it is
imperative that the varying spatial and temporal behavioural responses of land holders are
monitored to understand the influence of policy and its evolution. Future policy
amendments would benefit from monitoring these regional responses from land holders to
better assess the effectiveness of policy and the potential perversities of policy uncertainty.

Terjemahan

Kebijakan dan peraturan lingkungan telah berperan dalam mempengaruhi laju deforestasi
di seluruh dunia. Memahami bagaimana kebijakan ini mengubah perilaku pemangku
kepentingan sangat penting untuk menentukan dampak kebijakan. Di Queensland,
Australia, perubahan kebijakan pengelolaan vegetasi asli tampaknya telah memengaruhi
perilaku pembukaan lahan para pemilik lahan. Periode tingkat kliring puncak telah
dikaitkan dengan periode sebelum pengenalan undang-undang yang lebih ketat. Namun,
karakteristik pola kliring selama dua dekade terakhir kurang dipahami. Studi ini
menyelidiki pola temporal spatio yang mendasari dalam pembukaan lahan menggunakan
berbagai karakteristik fisik, iklim, dan properti dari peristiwa pembukaan. Komponen
utama dan analisis hierarki kluster diterapkan untuk mengidentifikasi perbedaan antara
tahun-tahun di sepanjang garis waktu politik. Secara keseluruhan, karakteristik
pembersihan pemegang tanah agregat secara umum tetap konsisten dari waktu ke waktu,
meskipun penyimpangan yang dapat diamati diamati pada skala regional dan temporal
yang lebih kecil. Sementara pola kliring di beberapa daerah berubah untuk mencerminkan
tujuan kebijakan, yang lain telah mengalami perubahan minimal atau kontradiktif
mengikuti peraturan. Potensi efek 'panic' atau 'pre-emptive' terbukti dalam analisis, seperti
lonjakan pembukaan untuk ekspansi padang rumput, tetapi berbeda di setiap wilayah.
Karena wilayah yang berbeda didorong oleh tekanan yang berbeda, seperti ketersediaan
lahan dan peluang peraturan, sangat penting bahwa berbagai respons perilaku spasial dan
temporal dari pemilik lahan dipantau untuk memahami pengaruh kebijakan dan evolusinya.
Amandemen kebijakan di masa depan akan mendapat manfaat dari pemantauan respons
regional ini dari pemilik lahan untuk menilai efektivitas kebijakan dengan lebih baik dan
potensi pelanggaran ketidakpastian kebijakan.

32. TIGHTENING CORPORATE GOVERNANCE


Duane Windsor
Journal of International Management
Volume 15, Issue 3, September 2009, Pages 306-316

Tightening corporate governance in multinational corporations (MNCs) is difficult because


of confusion over the proper conception of governance, competing pressures on and
complex attributes of MNCs, and the fact that many prescriptions are untested. This article
documents multiple pressures on MNCs and recommends how management should cope
with those pressures. Tightening governance directly concerns pressures from investors,
exchanges, and regulators for adoption of recommended standards and practices to increase
financial transparency and fiduciary accountability. MNCs also face pressures for
corporate social responsibility (CSR). Short-term financial performance and longer-term
financial viability may conflict with one another and also with the social and environmental
components of triple bottom line performance. MNCs are organizationally complex to
manage. Geographical diversity peculiarly means great variance in legal systems, other
non-market institutions, and MNC governance and CSR approaches across country units.
International standards for governance and reporting are not well established; and
enforcement occurs largely by stock exchanges and national jurisdictions.
Terjemahan

Pengetatan tata kelola perusahaan di perusahaan multinasional (MNC) sulit karena


kebingungan tentang konsepsi tata kelola yang tepat, tekanan yang bersaing dan atribut
kompleks MNC, dan fakta bahwa banyak resep tidak diuji. Artikel ini mendokumentasikan
beberapa tekanan pada perusahaan multinasional dan merekomendasikan bagaimana
manajemen harus mengatasi tekanan tersebut. Pengetatan tata kelola secara langsung
berkaitan dengan tekanan dari investor, pertukaran, dan regulator untuk penerapan standar
dan praktik yang direkomendasikan untuk meningkatkan transparansi keuangan dan
akuntabilitas fidusia. MNC juga menghadapi tekanan untuk tanggung jawab sosial
perusahaan (CSR). Kinerja keuangan jangka pendek dan kelayakan finansial jangka
panjang dapat saling bertentangan dan juga dengan komponen sosial dan lingkungan dari
kinerja triple bottom line. MNC kompleks secara organisasi untuk dikelola. Keragaman
geografis secara khusus berarti perbedaan besar dalam sistem hukum, lembaga non-pasar
lainnya, dan tata kelola MNC dan pendekatan CSR di seluruh unit negara. Standar
internasional untuk tata kelola dan pelaporan belum ditetapkan dengan baik; dan
penegakan sebagian besar terjadi oleh bursa efek dan yurisdiksi nasional.

33. INTERNATIONAL NGOS AS GLOBAL INSTITUTIONS: USING SOCIAL


CAPITAL TO IMPACT MULTINATIONAL ENTERPRISES AND
GOVERNMENTS
Hildy Teegen
Journal of International Management
Volume 9, Issue 3, 2003, Pages 271-285

Due to institutional power and prevalence at the national (or subnational) level, certain
global collective good exchanges do not comport well with a national institution model.
Examples of such globally relevant exchanges include those concerning the natural
environment and those pertaining to key human rights considerations such as health
care/disease prevention.

These global collective good exchanges entail the involvement of both multinational
enterprises (MNEs) and national governments. The allegiance of MNEs to any particular
country has been questioned; national governments are arguably driven by their
perceptions of their specific nation's interests. These global exchanges encounter formal
institutional failure due to the supranational venue of these exchanges, and concerns
regarding institutional legitimacy are furthered by incompatibilities between public sector
(national governments) and private sector (MNE) actors' interests.

In this institutional chasm, the governance and promotion of effective exchange relations
between and among these players is hampered. These market imperfections and resulting
high transaction costs associated with collective goods [J. Law Econ. 3 (1960) 1.] prevent
actors from efficiently engaging in exchange relations. It is in this context of formal
institutional failure that “third sector” entities—international nongovernmental
organizations (INGOs)—have emerged as informal institutions operating globally to
significantly change the context within which governments and MNEs interact.

A recent review of the concept of social capital by Adler and Kwon [Acad. Manage. Rev.
27 (2002) 17.] is used to theoretically support an empirically documented surge in activity
by INGOs at the global level as a response to heightened transactions costs in this venue. I
attempt to respond to the call by Leenders and Gabbay [CSC: an agenda for the future. In
R.Th.A.J. Leenders and S.M. Gabbay (Eds.), Corporate social capital and liability, pp. 483–
494, Boston: Kluwer, 1999.] to link this emerging global social structure (the rise of third
sector institutions—INGOs) to the concept of the social capital that INGOs inherently
possess as institutions that bridge and bond public and private sector actors. I provide an
illustrative example of an INGO that utilizes social capital in filling an informal
institutional role for global goods/services transactions: the Nature Conservancy and its
work in a prototype Joint Implementation (JI)/Clean Development Mechanism project in
Belize as called for under the Kyoto Protocol.

Terjemahan

Karena kekuatan kelembagaan dan prevalensi di tingkat nasional (atau subnasional),


pertukaran barang kolektif global tertentu tidak sesuai dengan model lembaga nasional.
Contoh dari pertukaran yang relevan secara global termasuk yang menyangkut lingkungan
alam dan yang berkaitan dengan pertimbangan hak asasi manusia utama seperti perawatan
kesehatan / pencegahan penyakit.
Pertukaran barang kolektif global ini melibatkan keterlibatan perusahaan multinasional
(MNE) dan pemerintah nasional. Kesetiaan MNE ke negara tertentu telah dipertanyakan;
pemerintah nasional bisa dibilang didorong oleh persepsi mereka tentang kepentingan
spesifik negara mereka. Pertukaran global ini mengalami kegagalan institusional formal
karena tempat supranasional dari pertukaran ini, dan kekhawatiran mengenai legitimasi
institusional lebih lanjut oleh ketidakcocokan antara kepentingan sektor publik (pemerintah
nasional) dan sektor swasta (MNE).
Dalam jurang kelembagaan ini, tata kelola dan promosi hubungan pertukaran yang efektif
antara dan di antara para pemain ini terhambat. Ketidaksempurnaan pasar ini dan
menghasilkan biaya transaksi tinggi yang terkait dengan barang kolektif [J. Econ Hukum.
3 (1960) 1.] mencegah aktor dari terlibat secara efisien dalam hubungan pertukaran. Dalam
konteks kegagalan institusional formal inilah entitas “sektor ketiga” - organisasi
nonpemerintah internasional (INGO) - telah muncul sebagai lembaga informal yang
beroperasi secara global untuk secara signifikan mengubah konteks di mana pemerintah
dan MNE berinteraksi.
Tinjauan baru-baru ini tentang konsep modal sosial oleh Adler dan Kwon [Acad.
Mengelola. Rev. 27 (2002) 17.] digunakan untuk secara teoritis mendukung lonjakan
aktivitas yang terdokumentasi secara empiris oleh INGO di tingkat global sebagai
tanggapan terhadap biaya transaksi yang meningkat di tempat ini. Saya berusaha untuk
menanggapi panggilan oleh Leenders and Gabbay [CSC: agenda untuk masa depan. Di
R.Th.A.J. Leender dan S.M. Gabbay (Eds.), Corporate social capital and liability, hlm.
483–494, Boston: Kluwer, 1999.] untuk menghubungkan struktur sosial global yang
sedang muncul ini (kebangkitan institusi sektor ketiga — INGOs) dengan konsep modal
sosial yang INGO secara inheren memiliki sebagai lembaga yang menjembatani dan
mengikat aktor sektor publik dan swasta. Saya memberikan contoh ilustratif dari INGO
yang menggunakan modal sosial dalam mengisi peran kelembagaan informal untuk
transaksi barang / jasa global: Konservasi Alam dan pekerjaannya dalam prototipe proyek
Implementasi Bersama (JI) / Mekanisme Pembangunan Bersih di Belize sebagaimana
disebut di bawah Protokol Kyoto.

34. AN INTEGRATED MICRO- AND MACROLEVEL DISCUSSION OF GLOBAL


GREEN ISSUES: “IT ISN'T EASY BEING GREEN”
Lyn SAmine
Journal of International Management
Volume 9, Issue 4, 2003, Pages 373-393

Two key issues arising from globalization of world markets are the impact of business
activities on the environment and threats to sustainable development. These issues are
usually referred to as “green” issues. This paper presents a detailed discussion of global
green issues in the context of a number of environments that include the socioeconomic,
political, technological, and competitive arenas. The discussion is based on an attempt to
integrate two conceptual models by Maslow (Maslow, A., 1954. Motivation and
Personality. Harper & Row, New York) and Cateora (Cateora, P.R., 1983. International
Marketing, 4th. ed. Irwin, Chicago, IL). The goal is to bring together both a microlevel
perspective of the individual consumer and a macrolevel perspective of business through
analysis in multiple environments that are affected by green issues. This integration is
viewed conceptually as a recursive system of mutually reinforcing causes and effects at the
micro- and macrolevels.
The leitmotiv throughout the paper is that “it isn't easy being green,” either for consumers,
activists, corporate leaders and managers, or public policymakers. Practical examples are
presented to support and illustrate the discussion. The main finding is that a new approach
is needed to business in general through a new dominant social paradigm (DSP) and to
international business in particular in order to achieve both sustainable development and
sustainable consumption. In conclusion, the importance of individual responsibility and
action by consumers and managers alike is underlined.
Terjemahan

Dua masalah utama yang timbul dari globalisasi pasar dunia adalah dampak dari kegiatan
bisnis terhadap lingkungan dan ancaman terhadap pembangunan berkelanjutan. Masalah-
masalah ini biasanya disebut sebagai masalah "hijau". Makalah ini menyajikan diskusi rinci
tentang isu-isu hijau global dalam konteks sejumlah lingkungan yang meliputi arena sosial
ekonomi, politik, teknologi, dan kompetitif. Diskusi didasarkan pada upaya untuk
mengintegrasikan dua model konseptual oleh Maslow (Maslow, A., 1954. Motivasi dan
Kepribadian. Harper & Row, New York) dan Cateora (Cateora, PR, 1983. Pemasaran
Internasional, ke-4. Edwin Irwin , Chicago, IL). Tujuannya adalah untuk menyatukan
perspektif tingkat mikro dari konsumen individu dan perspektif tingkat makro bisnis
melalui analisis di berbagai lingkungan yang dipengaruhi oleh masalah hijau. Integrasi ini
dipandang secara konseptual sebagai sistem rekursif penyebab dan efek yang saling
menguatkan di mikro dan makrolevel.
Leitmotiv di seluruh makalah ini adalah "tidak mudah menjadi hijau," baik untuk
konsumen, aktivis, pemimpin dan manajer perusahaan, atau pembuat kebijakan publik.
Contoh-contoh praktis disajikan untuk mendukung dan menggambarkan diskusi. Temuan
utama adalah bahwa pendekatan baru diperlukan untuk bisnis secara umum melalui
paradigma sosial dominan baru (DSP) dan untuk bisnis internasional khususnya untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan dan konsumsi berkelanjutan. Sebagai kesimpulan,
pentingnya tanggung jawab dan tindakan individu oleh konsumen dan manajer
digarisbawahi.

35. HOW INTERNATIONAL IS CORPORATE ENVIRONMENTAL


RESPONSIBILITY? A LITERATURE REVIEW
Dirk Holtbrügge
Journal of International Management
Volume 18, Issue 2, June 2012, Pages 180-195

In this paper we explore the current state of research on international aspects of corporate
environmental responsibility (CER). A Literature review of approximately 10,200 articles
in leading management journals published between 1997 and 2010 reveals 54 studies that
deal explicitly with CER. We provide answers regarding the emphasis, geographic focus,
research methods, theoretical focus, industries covered by CER research, and primary
study content. We find that although environmental aspects of management are often
international by their very nature, CER research does not have many international links as
significantly more single- than multi-country studies exist. We also derive several
implications for the internationalization of future CER research. Future studies should
further investigate cross-country effects and focus on the transferability of CER practices
across boarders.
Terjemahan

Dalam makalah ini kami mengeksplorasi keadaan penelitian saat ini pada aspek
internasional tanggung jawab lingkungan perusahaan (CER). Sebuah tinjauan literatur
tentang sekitar 10.200 artikel dalam jurnal manajemen terkemuka yang diterbitkan antara
tahun 1997 dan 2010 mengungkapkan 54 studi yang berhubungan secara eksplisit dengan
CER. Kami memberikan jawaban mengenai penekanan, fokus geografis, metode
penelitian, fokus teoretis, industri yang tercakup oleh penelitian CER, dan konten studi
utama. Kami menemukan bahwa meskipun aspek lingkungan dari manajemen sering
bersifat internasional, penelitian CER tidak memiliki banyak hubungan internasional
karena secara signifikan lebih banyak penelitian tunggal daripada negara yang ada. Kami
juga mendapatkan beberapa implikasi untuk internasionalisasi penelitian CER di masa
depan. Studi selanjutnya harus menyelidiki lebih lanjut efek lintas negara dan fokus pada
transferabilitas praktik CER di seluruh asrama

36. ANALYSIS OF THE DISTRIBUTION OF FOREST MANAGEMENT AREAS BY


THE FOREST ENVIRONMENTAL TAX IN ISHIKAWA PREFECTURE, JAPAN
Yuta Uchiyama and Ryo Kohsaka
International Journal of Forestry Research / 2016 / Article
Volume 2016 |Article ID 4701058 | 8 pages

Forest management approaches vary according to the needs of individual municipalities


with unique geographic conditions and local social contexts. Accordingly, there are two
types of subsidies: a unified national subsidy and a prefecture-level subsidy, mainly from
forest environmental taxes. The latter is a local tax. Our focus is on examining forest
management using these two types of taxes (i.e., central and prefecture-level) and their
correlations with social and natural environmental factors. In this paper, we examine the
spatial distribution of management areas using subsidies from the central government, the
Forestry Agency of Japan, and prefectural forest environmental taxes in Ishikawa. In
concrete terms, the spatial correlations of the management areas under two tax schemes are
compared with the natural hazard areas (as a natural environmental factor) and areas with
high aging rates (as a social factor). The results are tested to see whether the correlations
of areas with the two factors are significant, to examine whether the taxes are used for areas
with natural and social needs. From the result, positive correlations are identified between
the distribution of management areas and natural hazard areas and between the distribution
of management areas and areas with high aging rates.
Terjemahan

Pendekatan pengelolaan hutan bervariasi sesuai dengan kebutuhan masing-masing kota


dengan kondisi geografis yang unik dan konteks sosial lokal. Oleh karena itu, ada dua jenis
subsidi: subsidi nasional terpadu dan subsidi tingkat prefektur, terutama dari pajak
lingkungan hutan. Yang terakhir adalah pajak daerah. Fokus kami adalah meneliti
pengelolaan hutan menggunakan dua jenis pajak ini (yaitu, tingkat pusat dan prefektur) dan
korelasinya dengan faktor lingkungan sosial dan alam. Dalam makalah ini, kami menguji
distribusi spasial area manajemen menggunakan subsidi dari pemerintah pusat, Badan
Kehutanan Jepang, dan pajak lingkungan hutan prefektur di Ishikawa. Secara konkret,
korelasi spasial area pengelolaan di bawah dua skema pajak dibandingkan dengan area
bahaya alam (sebagai faktor lingkungan alami) dan area dengan tingkat penuaan yang
tinggi (sebagai faktor sosial). Hasilnya diuji untuk melihat apakah korelasi daerah dengan
kedua faktor tersebut signifikan, untuk memeriksa apakah pajak digunakan untuk daerah
dengan kebutuhan alam dan sosial. Dari hasilnya, korelasi positif diidentifikasi antara
distribusi area manajemen dan area bahaya alam dan antara distribusi area manajemen dan
area dengan tingkat penuaan yang tinggi.

37. STRUCTURAL EQUATION MODELING: THEORY AND APPLICATIONS IN


FOREST MANAGEMENT
Tzeng Yih Lam and Douglas A. Maguire
International Journal of Forestry Research / 2012 / Article
Volume 2012 |Article ID 263953 | 16 pages

Forest ecosystem dynamics are driven by a complex array of simultaneous cause-and-effect


relationships. Understanding this complex web requires specialized analytical techniques
such as Structural Equation Modeling (SEM). The SEM framework and implementation
steps are outlined in this study, and we then demonstrate the technique by application to
overstory-understory relationships in mature Douglas-fir forests in the northwestern USA.
A SEM model was formulated with (1) a path model representing the effects of
successively higher layers of vegetation on late-seral herbs through processes such as light
attenuation and (2) a measurement model accounting for measurement errors. The fitted
SEM model suggested a direct negative effect of light attenuation on late-seral herbs cover
but a direct positive effect of northern aspect. Moreover, many processes have indirect
effects mediated through midstory vegetation. SEM is recommended as a forest
management tool for designing silvicultural treatments and systems for attaining complex
arrays of management objectives.
Terjemahan

Dinamika ekosistem hutan didorong oleh serangkaian hubungan sebab dan akibat yang
simultan. Memahami web yang kompleks ini membutuhkan teknik analisis khusus seperti
Structural Equation Modeling (SEM). Kerangka kerja SEM dan langkah-langkah
implementasi diuraikan dalam penelitian ini, dan kami kemudian menunjukkan teknik
dengan aplikasi untuk hubungan overstory-understory di hutan Douglas-fir dewasa di barat
laut AS. Model SEM diformulasikan dengan (1) model jalur yang mewakili efek lapisan
vegetasi yang lebih tinggi secara berturut-turut pada tanaman jamu akhir melalui proses
seperti redaman cahaya dan (2) model pengukuran yang menghitung kesalahan
pengukuran. Model SEM yang dipasang menunjukkan efek negatif langsung dari redaman
cahaya pada penutup jamu akhir seral tetapi efek positif langsung dari aspek utara. Selain
itu, banyak proses memiliki efek tidak langsung yang dimediasi melalui vegetasi tingkat
menengah. SEM direkomendasikan sebagai alat pengelolaan hutan untuk merancang
perawatan dan sistem silvikultur untuk mencapai susunan tujuan pengelolaan yang
kompleks.

38. THEORIZING THE IMPLICATIONS OF GENDER ORDER FOR SUSTAINABLE


FOREST MANAGEMENT
Jeji Varghese and Maureen G. Reed
International Journal of Forestry Research / 2012 / Article
Volume 2012 |Article ID 257280 | 11 pages

Sustainable forest management is intended to draw attention to social, economic, and


ecological dimensions. The social dimension, in particular, is intended to advance the
effectiveness of institutions in accurately reflecting social values. Research demonstrates
that while women bring distinctive interests and values to forest management issues, their
nominal and effective participation is restricted by a gender order that marginalizes their
interests and potential contributions. The purpose of this paper is to explain how gender
order affects the attainment of sustainable forest management. We develop a theoretical
discussion to explain how women's involvement in three different models for
engagement—expert-based, stakeholder-based, and civic engagement—might be
advanced or constrained. By conducting a meta-analysis of previous research conducted in
Canada and internationally, we show how, in all three models, both nominal and effective
participation of women is constrained by several factors including rules of entry, divisions
of labour, social norms and perceptions and rules of practice, personal endowments and
attributes, as well as organizational cultures. Regardless of the model for engagement, these
factors are part of a masculine gender order that prevails in forestry and restricts
opportunities for inclusive and sustainable forest management.

Terjemahan

Pengelolaan hutan berkelanjutan dimaksudkan untuk menarik perhatian pada dimensi


sosial, ekonomi, dan ekologis. Dimensi sosial, khususnya, dimaksudkan untuk memajukan
efektivitas lembaga dalam mencerminkan nilai-nilai sosial secara akurat. Penelitian
menunjukkan bahwa walaupun perempuan membawa kepentingan dan nilai yang berbeda
pada isu-isu pengelolaan hutan, partisipasi mereka yang nominal dan efektif dibatasi oleh
tatanan gender yang memarginalkan kepentingan dan kontribusi potensial mereka. Tujuan
makalah ini adalah untuk menjelaskan bagaimana tatanan gender mempengaruhi
pencapaian pengelolaan hutan lestari. Kami mengembangkan diskusi teoretis untuk
menjelaskan bagaimana keterlibatan perempuan dalam tiga model berbeda untuk
keterlibatan — berbasiskan para ahli, berbasis pada pemangku kepentingan, dan
keterlibatan dalam masyarakat — dapat ditingkatkan atau dibatasi. Dengan melakukan
meta-analisis dari penelitian sebelumnya yang dilakukan di Kanada dan internasional, kami
menunjukkan bagaimana, dalam ketiga model, partisipasi nominal dan efektif perempuan
dibatasi oleh beberapa faktor termasuk aturan masuk, pembagian kerja, norma dan persepsi
sosial dan aturan praktik, endowmen dan atribut pribadi, serta budaya organisasi. Terlepas
dari model keterlibatan, faktor-faktor ini adalah bagian dari tatanan gender maskulin yang
berlaku di kehutanan dan membatasi peluang untuk pengelolaan hutan yang inklusif dan
berkelanjutan.

39. PUBLIC ACCEPTANCE OF DISTURBANCE-BASED FOREST MANAGEMENT:


FACTORS INFLUENCING SUPPORT
Christine S. Olsen, Angela L. Mallon, and Bruce A. Shindler
International Scholarly Research Notices / 2012 / Article
Volume 2012 |Article ID 594067 | 10 pages

Growing emphasis on ecosystem and landscape-level forest management across North


America has spurred an examination of alternative management strategies which focus on
emulating dynamic natural disturbance processes, particularly those associated with forest
fire regimes. This topic is the cornerstone of research in the Blue River Landscape Study
(BRLS) on the Willamette National Forest in the McKenzie River watershed of western
Oregon. As scientists and managers work to unravel the ecological and economic
implications of disturbance-based forest management, they must also consider public
acceptance for such an approach. In this study, citizen opinions from the local attentive
public in McKenzie River watershed communities are examined. Results suggest the
attentive public has moderate to low levels of knowledge about landscape-level disturbance
processes and terms. Further, public confidence in agencies and the information they
provide appears to be low, though respondents indicated a somewhat higher level of trust
for local agency personnel than agencies as institutions. Overall, respondents display
cautious support of disturbance-based management (DBM), but many are still undecided.
Findings also demonstrate support may be improved through transparent and inclusive
decision-making processes that demonstrate the use of sound science in project planning,
frank disclosure of risks and uncertainties, and clear management objectives.
In recent decades, federal forest management in the Pacific Northwest has shifted from a
focus on sustained-yield timber harvest through dispersed and aggregated patch
clearcutting to a system of management based on static land allocations laid out by the
1994 Northwest Forest Plan. However, growing emphasis on ecosystem and landscape
management has spurred interest in alternative management strategies that focus on
dynamic natural processes [1–3]. One such method is the use of historical disturbance as a
guide for ecosystem management, which involves applying information about past natural
disturbances to inform practices such as timber harvest, prescribed burning, or wildfire
suppression [4]. This coarse-filter approach to conservation—known variously as
disturbance-based management (DBM), emulation of natural disturbance, and
management guided by a historical range of variability—is based upon the principle that
plant and animal communities that evolved under dynamic ecosystem conditions will be
most resilient and productive under management scenarios which emulate natural
disturbance regimes [5, 6]
This research examined attitudes of the local attentive public toward disturbance-based
management and the agencies applying it. For purposes of this study, local attentive public
was defined as citizens in the McKenzie River watershed who had demonstrated past
interest in local forest issues to local land management agencies through attendance at
agency planning meetings, participation in field trips, submission of input during public
comment periods, or requested additional information from federal land management
agencies. The local attentive public was targeted with the expectation that knowledge of
and interest in ecosystem management would be higher in this cohort, an assumption
supported by previous research in the region [15, 16]. These individuals are often more
involved in citizen participation activities than the general public [17, 18] and thus are the
first to respond to these initiatives. They represent an important stakeholder group in that
they have a prominent role in social networks within the region.
This study encompassed three main objectives: (1) examine attentive public knowledge of
and acceptance for disturbance-based management and the forest agencies that implement
these practices, (2) explore public concerns pertaining to the risk and uncertainty inherent
to a disturbance-based approach, and (3) examine potential barriers to future
implementation of this approach.
Terjemahan

Penekanan yang semakin besar pada pengelolaan hutan tingkat ekosistem dan lanskap di
seluruh Amerika Utara telah mendorong dilakukannya pemeriksaan terhadap strategi
pengelolaan alternatif yang berfokus pada meniru proses gangguan alam yang dinamis,
khususnya yang terkait dengan rezim kebakaran hutan. Topik ini adalah landasan penelitian
dalam Studi Pemandangan Sungai Biru (BRLS) di Hutan Nasional Willamette di DAS
McKenzie di Oregon barat. Ketika para ilmuwan dan manajer bekerja untuk mengungkap
implikasi ekologis dan ekonomi dari pengelolaan hutan berbasis gangguan, mereka juga
harus mempertimbangkan penerimaan publik untuk pendekatan semacam itu. Dalam studi
ini, pendapat warga dari masyarakat lokal yang penuh perhatian di komunitas DAS Sungai
McKenzie diperiksa. Hasil menunjukkan bahwa publik yang penuh perhatian memiliki
pengetahuan tingkat sedang hingga rendah tentang proses dan istilah gangguan lanskap.
Lebih jauh, kepercayaan publik terhadap agensi dan informasi yang mereka berikan
tampaknya rendah, meskipun responden menunjukkan tingkat kepercayaan yang agak
lebih tinggi untuk personel agensi lokal daripada agensi sebagai institusi. Secara
keseluruhan, responden menunjukkan dukungan hati-hati terhadap manajemen berbasis
gangguan (DBM), tetapi banyak yang masih ragu-ragu. Temuan juga menunjukkan
dukungan dapat ditingkatkan melalui proses pengambilan keputusan yang transparan dan
inklusif yang menunjukkan penggunaan ilmu pengetahuan dalam perencanaan proyek,
pengungkapan risiko dan ketidakpastian secara terus terang, dan tujuan manajemen yang
jelas
Dalam beberapa dekade terakhir, pengelolaan hutan federal di Pacific Northwest telah
bergeser dari fokus pada pemanenan kayu hasil-berkelanjutan melalui tebang habis yang
disebar dan agregat menjadi sistem pengelolaan berdasarkan alokasi lahan statis yang
ditetapkan oleh Rencana Hutan Northwest 1994. Namun, semakin meningkatnya
penekanan pada pengelolaan ekosistem dan lanskap telah mendorong minat dalam strategi
manajemen alternatif yang berfokus pada proses alami yang dinamis [1-3]. Salah satu
metode tersebut adalah penggunaan gangguan historis sebagai panduan untuk pengelolaan
ekosistem, yang melibatkan penerapan informasi tentang gangguan alam masa lalu untuk
menginformasikan praktik-praktik seperti panen kayu, pembakaran yang ditentukan, atau
pemadaman kebakaran hutan [4]. Pendekatan filter kasar terhadap konservasi ini - yang
dikenal sebagai berbagai manajemen berbasis gangguan (DBM), persaingan gangguan
alami, dan manajemen yang dipandu oleh berbagai variasi sejarah - didasarkan pada prinsip
bahwa komunitas tumbuhan dan hewan yang berevolusi dalam kondisi ekosistem yang
dinamis akan menjadi paling tangguh dan produktif di bawah skenario manajemen yang
meniru rezim gangguan alam [5, 6]
Penelitian ini menguji sikap publik yang penuh perhatian lokal terhadap manajemen
berbasis gangguan dan lembaga yang menerapkannya. Untuk keperluan penelitian ini,
publik lokal yang penuh perhatian didefinisikan sebagai warga di DAS Sungai McKenzie
yang telah menunjukkan minat masa lalu dalam masalah hutan lokal kepada lembaga
pengelolaan lahan lokal melalui kehadiran di pertemuan perencanaan agensi, partisipasi
dalam kunjungan lapangan, pengajuan masukan selama komentar publik periode, atau
meminta informasi tambahan dari agen manajemen lahan federal. Publik lokal yang penuh
perhatian ditargetkan dengan harapan bahwa pengetahuan dan minat dalam pengelolaan
ekosistem akan lebih tinggi dalam kelompok ini, sebuah asumsi yang didukung oleh
penelitian sebelumnya di wilayah tersebut [15, 16]. Individu-individu ini sering lebih
terlibat dalam kegiatan partisipasi warga daripada masyarakat umum [17, 18] dan dengan
demikian adalah yang pertama menanggapi inisiatif ini. Mereka mewakili kelompok
pemangku kepentingan yang penting karena mereka memiliki peran penting dalam jejaring
sosial di kawasan ini.
Studi ini mencakup tiga tujuan utama: (1) menguji pengetahuan publik yang penuh
perhatian dan penerimaan untuk pengelolaan berbasis gangguan dan lembaga kehutanan
yang menerapkan praktik-praktik ini, (2) mengeksplorasi keprihatinan publik terkait risiko
dan ketidakpastian yang melekat pada pendekatan berbasis gangguan. , dan (3) menguji
hambatan potensial terhadap implementasi pendekatan ini di masa depan.

40. AN INTEGRATED CONCEPTUAL FRAMEWORK FOR ADAPTING FOREST


MANAGEMENT PRACTICES TO ALTERNATIVE FUTURES
Tony Prato and Travis B. Paveglio
International Journal of Forestry Research / 2014 / Article
Volume 2014 |Article ID 321345 | 13 pages

This paper proposes an integrated, conceptual framework that forest managers can use to
simulate the multiple objectives/indicators of sustainability for different spatial patterns of
forest management practices under alternative futures, rank feasible (affordable) treatment
patterns for forested areas, and determine if and when it is advantageous to adapt or change
the spatial pattern over time for each alternative future. The latter is defined in terms of
three drivers: economic growth; land use policy; and climate change. Four forest
management objectives are used to demonstrate the framework, minimizing wildfire risk
and water pollution and maximizing expected net return from timber sales and the extent
of potential wildlife habitat. The fuzzy technique for preference by similarity to the ideal
solution is used to rank the feasible spatial patterns for each subperiod in a planning horizon
and alternative future. The resulting rankings for subperiods are used in a passive adaptive
management procedure to determine if and when it is advantageous to adapt the spatial
pattern over subperiods. One of the objectives proposed for the conceptual framework is
simulated for the period 2010–2059, namely, wildfire risk, as measured by expected
residential losses from wildfire in the wildland-urban interface for Flathead County,
Montana.
Terjemahan

Makalah ini mengusulkan kerangka kerja konseptual terintegrasi yang dapat digunakan
oleh pengelola hutan untuk mensimulasikan berbagai tujuan / indikator keberlanjutan untuk
pola spasial yang berbeda dari praktik pengelolaan hutan di bawah berjangka alternatif,
menentukan peringkat pola pengobatan yang layak (terjangkau) untuk kawasan hutan, dan
menentukan apakah dan kapan itu menguntungkan untuk mengadaptasi atau mengubah
pola spasial dari waktu ke waktu untuk setiap alternatif masa depan. Yang terakhir ini
didefinisikan dalam tiga pendorong: pertumbuhan ekonomi; kebijakan penggunaan lahan;
dan perubahan iklim. Empat tujuan pengelolaan hutan digunakan untuk menunjukkan
kerangka kerja tersebut, meminimalkan risiko kebakaran dan pencemaran air dan
memaksimalkan laba bersih yang diharapkan dari penjualan kayu dan luasnya habitat satwa
liar yang potensial. Teknik fuzzy untuk preferensi dengan kemiripan dengan solusi ideal
digunakan untuk menentukan peringkat pola spasial yang layak untuk setiap sub-periode
dalam horizon perencanaan dan alternatif masa depan. Peringkat yang dihasilkan untuk
sub-periode digunakan dalam prosedur manajemen adaptif pasif untuk menentukan apakah
dan kapan menguntungkan untuk mengadaptasi pola spasial selama sub-periode. Salah satu
tujuan yang diusulkan untuk kerangka kerja konseptual disimulasikan untuk periode 2010-
2059, yaitu, risiko kebakaran, yang diukur dengan kerugian perumahan yang diperkirakan
dari kebakaran di antarmuka hutan-perkotaan untuk Flathead County, Montana.

41. LAND USE AND LAND COVER CHANGE, AND WOODY VEGETATION
DIVERSITY IN HUMAN DRIVEN LANDSCAPE OF GILGEL TEKEZE
CATCHMENT, NORTHERN ETHIOPIA
Samuale Tesfaye, Etefa Guyassa, Antony Joseph Raj, Emiru Birhane, and Gebeyehu Taye
Wondim
International Journal of Forestry Research / 2014 / Article
Volume 2014 |Article ID 614249 | 10 pages

Land use and land cover (LULC) change through inappropriate agricultural practices and
high human and livestock population pressure have led to severe land degradation in the
Ethiopian highlands. This has led to further degradation such as biodiversity loss,
deforestation, and soil erosion. The study examined woody vegetation diversity status and
the impact of drivers of change across different LULC types and agroecological zones in
Gilgel Tekeze catchment, northern Ethiopian highlands. LULC dynamics were assessed
using GIS techniques on 1976, 1986, and 2008 satellite images. Vegetation data were
collected from 135 sample plots (20 m × 20 m) from five LULC types, namely, forest,
shrub-bush, grazing, settlement, and cultivated land, in the three agroecological zones;
Kolla, Weyna-Dega, and Dega. Differences in vegetation structure and composition and
their relationship to agroecological zones were tested using two-way ANOVA and PCA
technique. The results show that vegetation structure and composition significantly
differed across all LULC types in different agroecological zones particularly in sapling
density, tree height, and shrub height and in each agroecological zone between forest land,
shrub-bush land, and settlement area. Overall, Weyna-Dega agroecological zone and the
shrub-bush land had more structural and compositional diversity than the other
agroecological zones and LULC types.

Terjemahan

Perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan (LULC) melalui praktik pertanian yang
tidak tepat dan tekanan populasi manusia dan ternak yang tinggi telah menyebabkan
degradasi lahan yang parah di dataran tinggi Ethiopia. Hal ini menyebabkan degradasi lebih
lanjut seperti hilangnya keanekaragaman hayati, deforestasi, dan erosi tanah. Studi ini
meneliti status keanekaragaman vegetasi kayu dan dampak pendorong perubahan di
berbagai jenis LULC dan zona agroekologi di DAS Gilgel Tekeze, dataran tinggi Ethiopia
utara. Dinamika LULC dinilai menggunakan teknik GIS pada 1976, 1986, dan 2008 citra
satelit. Data vegetasi dikumpulkan dari 135 plot sampel (20 m × 20 m) dari lima jenis
LULC, yaitu, hutan, semak semak, penggembalaan, pemukiman, dan lahan pertanian, di
tiga zona agroekologi; Kolla, Weyna-Dega, dan Dega. Perbedaan dalam struktur dan
komposisi vegetasi serta hubungannya dengan zona agroekologi diuji menggunakan teknik
ANOVA dua arah dan PCA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur dan komposisi
vegetasi berbeda secara signifikan di semua tipe LULC di zona agroekologi yang berbeda,
terutama dalam kerapatan anakan, tinggi pohon, dan tinggi semak dan di setiap zona
agroekologi antara lahan hutan, lahan semak semak, dan daerah pemukiman. Secara
keseluruhan, zona agroekologi Weyna-Dega dan tanah semak-semak memiliki lebih
banyak keanekaragaman struktural dan komposisi daripada zona agroekologi lainnya dan
tipe LULC

42. THE EFFECTS OF SELECTIVE LOGGING BEHAVIORS ON FOREST


FRAGMENTATION AND RECOVERY
Xanic J. Rondon, Graeme S. Cumming, Rosa E. Cossío, and Jane Southworth
International Journal of Forestry Research / 2012 / Article
Volume 2012 |Article ID 170974 | 10 pages

To study the impacts of selective logging behaviors on a forest landscape, we developed


an intermediate-scale spatial model to link cross-scale interactions of timber harvesting, a
fine-scale human activity, with coarse-scale landscape impacts. We used the Lotka-
Volterra predator-prey model with Holling’s functional response II to simulate selective
logging, coupled with a cellular automaton model to simulate logger mobility and forest
fragmentation. Three logging scenarios were simulated, each varying in timber harvesting
preference and logger mobility. We quantified forest resilience by evaluating (1) the spatial
patterns of forest fragmentation, (2) the time until the system crossed a threshold into a
deforested state, and (3) recovery time. Our simulations showed that logging behaviors
involving decisions made about harvesting timber and mobility can lead to different spatial
patterns of forest fragmentation. They can, together with forest management practices,
significantly delay or accelerate the transition of a forest landscape to a deforested state
and its return to a recovered state. Intermediate-scale models emerge as useful tools for
understanding cross-scale interactions between human activities and the spatial patterns
that are created by anthropogenic land use.
Terjemahan

Untuk mempelajari dampak perilaku penebangan selektif pada lanskap hutan, kami
mengembangkan model spasial skala menengah untuk menghubungkan interaksi lintas
skala dari pemanenan kayu, aktivitas manusia berskala besar, dengan dampak lanskap skala
kasar. Kami menggunakan model pemangsa-pemangsa Lotka-Volterra dengan respons
fungsional Holling II untuk mensimulasikan penebangan selektif, ditambah dengan model
otomat seluler untuk mensimulasikan mobilitas penebang dan fragmentasi hutan. Tiga
skenario penebangan disimulasikan, masing-masing bervariasi dalam preferensi
pemanenan kayu dan mobilitas penebang. Kami menghitung ketahanan hutan dengan
mengevaluasi (1) pola spasial fragmentasi hutan, (2) waktu sampai sistem melewati
ambang batas menjadi keadaan gundul, dan (3) waktu pemulihan. Simulasi kami
menunjukkan bahwa perilaku penebangan yang melibatkan keputusan yang diambil
tentang memanen kayu dan mobilitas dapat menyebabkan pola spasial yang berbeda dari
fragmentasi hutan. Mereka dapat, bersama-sama dengan praktik-praktik pengelolaan
hutan, secara signifikan menunda atau mempercepat transisi lanskap hutan ke kondisi
gundul dan kembali ke kondisi pulih. Model skala menengah muncul sebagai alat yang
berguna untuk memahami interaksi lintas skala antara aktivitas manusia dan pola spasial
yang diciptakan oleh penggunaan lahan antropogenik.

43. EVALUATION OF FOREST FIRE DANGER INDEXES FOR EUCALYPT


PLANTATIONS IN BAHIA, BRAZIL
Larissa Alves Secundo White, Benjamin Leonardo Alves White, and Genésio Tâmara
Ribeiro
International Journal of Forestry Research / 2015 / Article
Volume 2015 |Article ID 613736 | 6 pages

A Forest Fire Danger Index is a valuable tool in forest fire prevention and firefight because
it grades fire occurrence possibility on a daily basis. Six Fire Danger Indexes were tested
for accuracy based on forest fire occurrence in eucalyptus plantations of the north coast of
Bahia, Brazil. They are Angstron, Nesterov, Telicyn Logarithmic Index, Monte Alegre,
Rodríguez and Moretti, and Modified Monte Alegre. The results were analyzed using two
parameters of the Heidke Skill Score test: Skill Score index and Percentage of Success.
The Telicyn Logarithmic Index proved to be the most accurate for the study area.

Terjemahan

Indeks Bahaya Kebakaran Hutan adalah alat yang berharga dalam pencegahan kebakaran
dan kebakaran hutan karena menilai kemungkinan terjadinya kebakaran setiap hari. Enam
Indeks Bahaya Kebakaran diuji keakuratannya berdasarkan kejadian kebakaran hutan di
perkebunan kayu putih di pantai utara Bahia, Brasil. Mereka adalah Angstron, Nesterov,
Telicyn Logarithmic Index, Monte Alegre, Rodríguez dan Moretti, dan Modified Monte
Alegre. Hasilnya dianalisis dengan menggunakan dua parameter tes Skor Keterampilan
Heidke: Indeks Skor Keterampilan dan Persentase Keberhasilan. Telicyn Logarithmic
Index terbukti paling akurat untuk area studi.
44. TREE SPECIES DIVERSITY, RICHNESS, AND SIMILARITY IN INTACT AND
DEGRADED FOREST IN THE TROPICAL RAINFOREST OF THE CONGO
BASIN: CASE OF THE FOREST OF LIKOUALA IN THE REPUBLIC OF
CONGO
Suspense Averti Ifo, Jean-Marie Moutsambote, Félix Koubouana, Joseph Yoka, Saint
Fédriche Ndzai, Leslie Nucia Orcellie Bouetou-Kadilamio, Helischa Mampouya,
Charlotte Jourdain, Yannick Bocko, Alima Brigitte Mantota, Mackline Mbemba, Dulsaint
Mouanga-Sokath et al
International Journal of Forestry Research / 2016 / Article
Volume 2016 |Article ID 7593681 | 12 pages

Trees species diversity, richness, and similarity were studied in fifteen plots of the tropical
rainforests in the northeast of the Republic of Congo, based on trees inventories conducted
on fifteen 0.25 ha plots installed along different types of forests developed on terra firma,
seasonally flooded, and on flooded terra. In all of the plots installed, all trees with diameter
at breast height, DBH ≥ 5 cm, were measured. The Shannon diversity index, species
richness, equitability, and species dominance were computed to see the variation in tree
community among plots but also between primary forest and secondary forest. A total of
1611 trees representing 114 species and 35 families were recorded from a total area of
3.75 ha. Euphorbiaceae was the dominant family in the forest with 12 species, followed by
Fabaceae-Mimosoideae (10 species) and Phyllanthaceae (6 species) and Guttiferae (6
species). The biodiversity did not vary greatly from plot to plot on the whole of the study
area (3.75 ha). The low value of Shannon index was obtained in plot 11 () whereas the
highest value was obtained in plot 12 (). The values of this index vary from 0.23 to 0.95 in
plots P11 and P15, respectively. Results obtained revealed high biodiversity of trees of the
forest of Impfondo-Dongou. The information on tree species structure and function can
provide baseline information for conservation of the biodiversity of the tropical forest in
this area.

Terjemahan

Keanekaragaman jenis, kekayaan, dan kemiripan spesies pohon dipelajari di lima belas plot
hutan hujan tropis di timur laut Republik Kongo, berdasarkan inventarisasi pohon yang
dilakukan pada plot 15,25 ha yang dipasang di sepanjang berbagai jenis hutan yang
dikembangkan pada terra firma, banjir musiman, dan di terra banjir. Di semua plot yang
dipasang, semua pohon dengan diameter setinggi dada, DBH ≥ 5 cm, diukur. Indeks
keanekaragaman Shannon, kekayaan spesies, kesetaraan, dan dominasi spesies dihitung
untuk melihat variasi dalam komunitas pohon di antara plot tetapi juga antara hutan primer
dan hutan sekunder. Sebanyak 1611 pohon yang mewakili 114 spesies dan 35 famili dicatat
dari total area 3,75 ha. Euphorbiaceae adalah famili dominan di hutan dengan 12 spesies,
diikuti oleh Fabaceae-Mimosoideae (10 spesies) dan Phyllanthaceae (6 spesies) dan
Guttiferae (6 spesies). Keanekaragaman hayati tidak berbeda jauh dari plot ke plot di
seluruh wilayah studi (3,75 ha). Nilai indeks Shannon yang rendah diperoleh pada plot 11
() sedangkan nilai tertinggi diperoleh pada plot 12 (). Nilai indeks ini masing-masing
bervariasi dari 0,23 hingga 0,95 di plot P11 dan P15. Hasil yang diperoleh mengungkapkan
keanekaragaman hayati pohon-pohon hutan Impfondo-Dongou yang tinggi. Informasi
tentang struktur dan fungsi spesies pohon dapat memberikan informasi dasar untuk
konservasi keanekaragaman hayati hutan tropis di daerah ini.

45. LIVELIHOODS AND WELFARE IMPACTS OF FOREST COMANAGEMENT


Linda Chinangwa, Andrew S. Pullin, and Neal Hockley
International Journal of Forestry Research / 2016 / Article
Volume 2016 |Article ID 5847068 | 12 pages

Comanagement programmes are gaining popularity among governments as one way of


improving rural livelihoods. However, evidence of their effects on the livelihoods and
welfare remains unclear. We used the sustainable livelihoods framework and stated
preference techniques to assess the livelihoods and welfare impacts of forest
comanagement on 213 households in Zomba and Ntchisi districts. The results show that
approximately 63% of respondents perceive that, overall, comanagement has had no impact
on their livelihoods. However, the programme is enhancing financial capital by introducing
externally subsidised income generating activities and human and social capital among
some community members through training programmes. A majority of households (80%)
are willing to pay annual membership fees to participate in the programme (mean = 812
Malawi Kwacha), because of perceived potential future benefits. Education, gender of the
household head, a positive perception of current livelihoods benefits, and a position on the
committee increase household willingness to pay membership fees. However, the positive
willingness to pay despite the negative perception of overall livelihoods impacts may also
demonstrate the weaknesses of relying on stated preference surveys alone in estimating
welfare effects.

Terjemahan

Program pengelolaan semakin populer di kalangan pemerintah sebagai salah satu cara
meningkatkan mata pencaharian pedesaan. Namun, bukti pengaruhnya terhadap mata
pencaharian dan kesejahteraan masih belum jelas. Kami menggunakan kerangka mata
pencaharian yang berkelanjutan dan menyatakan teknik preferensi untuk menilai dampak
mata pencaharian dan kesejahteraan dari pengelolaan hutan pada 213 rumah tangga di
kabupaten Zomba dan Ntchisi. Hasilnya menunjukkan bahwa sekitar 63% responden
menganggap bahwa, secara keseluruhan, pengelolaan bersama tidak berdampak pada mata
pencaharian mereka. Namun, program ini meningkatkan modal keuangan dengan
memperkenalkan kegiatan yang menghasilkan pendapatan yang disubsidi secara eksternal
dan modal manusia dan sosial di antara beberapa anggota masyarakat melalui program
pelatihan. Mayoritas rumah tangga (80%) bersedia membayar biaya keanggotaan tahunan
untuk berpartisipasi dalam program (rata-rata = 812 Kwacha Malawi), karena potensi
manfaat yang dirasakan di masa depan. Pendidikan, gender kepala rumah tangga, persepsi
positif tentang manfaat mata pencaharian saat ini, dan posisi di komite meningkatkan
kesediaan rumah tangga untuk membayar biaya keanggotaan. Namun, kemauan positif
untuk membayar terlepas dari persepsi negatif tentang dampak keseluruhan mata
pencaharian juga dapat menunjukkan kelemahan mengandalkan survei preferensi yang
dinyatakan saja dalam memperkirakan dampak kesejahteraan

46. LIDAR FOREST INVENTORY WITH SINGLE-TREE, DOUBLE-, AND SINGLE-


PHASE PROCEDURES
Robert C. Parker, and David L. Evans
International Journal of Forestry Research / 2009 / Article
Volume 2009 |Article ID 864108 | 6 pages

Light Detection and Ranging (LiDAR) data at 0.5–2 m postings were used with double-
sample, stratified procedures involving single-tree relationships in mixed, and single
species stands to yield sampling errors ranging from % to %. LiDAR samples were selected
with focal filter procedures and heights computed from interpolated canopy and DEM
surfaces. Tree dbh and height data were obtained at various ratios of LiDAR, ground
samples for DGPS located ground plots. Dbh-height and ground-LiDAR height models
were used to predict dbh and compute Phase 2 estimates of basal area and volume. Phase
1 estimates were computed using the species probability distribution from ground plots in
each strata. Phase 2 estimates were computed by randomly assigning LiDAR heights to
species groups using a Monte Carlo simulation for each ground plot. There was no
statistical difference between volume estimates from 0.5 m and 1 m LiDAR densities.
Volume estimates from single-phase LiDAR procedures utilizing existing tree attributes
and height bias relationships were obtained with sampling errors of 1.8% to 5.5%.

Terjemahan

Data Light Detection and Ranging (LiDAR) pada posting 0,5-2 m digunakan dengan
sampel ganda, prosedur bertingkat yang melibatkan hubungan pohon tunggal dalam
campuran, dan spesies tunggal berdiri untuk menghasilkan kesalahan pengambilan sampel
mulai dari% hingga%. Sampel LiDAR dipilih dengan prosedur focal filter dan ketinggian
dihitung dari kanopi interpolasi dan permukaan DEM. Data dbh pohon dan tinggi diperoleh
pada berbagai rasio LiDAR, sampel tanah untuk plot tanah yang berlokasi di DGPS. Tinggi
model Dbh-tinggi dan tanah-LiDAR digunakan untuk memprediksi dbh dan menghitung
estimasi Fase 2 area basal dan volume. Perkiraan fase 1 dihitung menggunakan distribusi
probabilitas spesies dari plot tanah di setiap strata. Perkiraan fase 2 dihitung dengan secara
acak menetapkan ketinggian LiDAR ke kelompok spesies menggunakan simulasi Monte
Carlo untuk setiap plot tanah. Tidak ada perbedaan statistik antara perkiraan volume dari
0,5 m dan 1 m kepadatan LiDAR. Estimasi volume dari prosedur LiDAR fase tunggal
menggunakan atribut pohon yang ada dan hubungan bias tinggi diperoleh dengan
kesalahan pengambilan sampel 1,8% hingga 5,5%.

47. TERRESTRIAL LIMING AS A RESTORATION TECHNIQUE FOR ACIDIFIED


FOREST ECOSYSTEMS
Sarah E. Pabian, Shawn M. Rummel, William E. Sharpe, and Margaret C. Brittingham
International Journal of Forestry Research / 2012 / Article
Volume 2012 |Article ID 976809 | 10 pages

We studied the effects of liming on soils and forest songbirds as well as vegetation and
calcium-rich invertebrate prey variables that were predicted to link birds to changes in soil
conditions. We observed increases in soil pH, calcium, and magnesium, as well as in
songbird abundances in response to lime application, with continuing increases through
five years after liming. We observed an overall increase in snail abundance on limed sites,
but an initial peak of a 23 fold increase three years after liming was reduced to an 11 fold
increase five years after liming. We observed an increase in forb ground cover on limed
sites, but liming had no effect on millipede abundance or other vegetation measures. Of the
variables we measured, snail abundance was the most likely mechanism for the response
in bird abundances. Because we observed continued benefits of liming up to five years post
treatment, we concluded that liming is a very promising technique for restoring forest
ecosystems impacted by acidic deposition.

Terjemahan
Kami mempelajari efek dari pengapuran pada tanah dan burung penyanyi hutan serta
variabel vegetasi dan mangsa invertebrata yang kaya kalsium yang diperkirakan
menghubungkan burung dengan perubahan kondisi tanah. Kami mengamati peningkatan
pH tanah, kalsium, dan magnesium, serta kelimpahan burung penyanyi sebagai respons
terhadap aplikasi kapur, dengan peningkatan yang terus berlanjut hingga lima tahun setelah
pengapuran. Kami mengamati peningkatan keseluruhan dalam jumlah siput di situs limed,
tetapi puncak awal peningkatan 23 kali lipat tiga tahun setelah pengapuran dikurangi
menjadi peningkatan 11 kali lipat lima tahun setelah pengapuran. Kami mengamati
peningkatan penutupan tanah forb pada situs limed, tetapi pengapuran tidak berpengaruh
pada kelimpahan kaki seribu atau ukuran vegetasi lainnya. Dari variabel yang kami ukur,
kelimpahan siput adalah mekanisme yang paling mungkin untuk respons dalam
kelimpahan burung. Karena kami mengamati manfaat lanjutan dari pengapuran hingga
lima tahun pasca perawatan, kami menyimpulkan bahwa pengapuran adalah teknik yang
sangat menjanjikan untuk memulihkan ekosistem hutan yang dipengaruhi oleh
pengendapan asam.

48. LAND USE/COVER CHANGE DETECTION AND URBAN SPRAWL ANALYSIS


IN BANDAR ABBAS CITY, IRAN
Mohsen Dadras, Helmi Zulhaidi Mohd Shafri, Noordin Ahmad, Biswajeet Pradhan, and
Sahabeh Safarpou
The Scientific World Journal / 2014 / Article
Volume 2014 |Article ID 690872 | 12 pages

The process of land use change and urban sprawl has been considered as a prominent
characteristic of urban development. This study aims to investigate urban growth process
in Bandar Abbas city, Iran, focusing on urban sprawl and land use change during 1956–
2012. To calculate urban sprawl and land use changes, aerial photos and satellite images
are utilized in different time spans. The results demonstrate that urban region area has
changed from 403.77 to 4959.59 hectares between 1956 and 2012. Moreover, the
population has increased more than 30 times in last six decades. The major part of
population growth is related to migration from other parts the country to Bandar Abbas
city. Considering the speed of urban sprawl growth rate, the scale and the role of the city
have changed from medium and regional to large scale and transregional. Due to natural
and structural limitations, more than 80% of barren lands, stone cliffs, beach zone, and
agricultural lands are occupied by built-up areas. Our results revealed that the irregular
expansion of Bandar Abbas city must be controlled so that sustainable development could
be achieved.

Terjemahan
Proses perubahan penggunaan lahan dan urban sprawl telah dianggap sebagai karakteristik
utama pembangunan perkotaan. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki proses
pertumbuhan perkotaan di kota Bandar Abbas, Iran, dengan fokus pada penyebaran
perkotaan dan perubahan penggunaan lahan selama tahun 1956-2012. Untuk menghitung
penyebaran perkotaan dan perubahan penggunaan lahan, foto udara dan gambar satelit
digunakan dalam rentang waktu yang berbeda. Hasil menunjukkan bahwa wilayah wilayah
perkotaan telah berubah dari 403,77 menjadi 4959,59 hektar antara tahun 1956 dan 2012.
Selain itu, populasi telah meningkat lebih dari 30 kali dalam enam dekade terakhir. Bagian
utama dari pertumbuhan populasi terkait dengan migrasi dari bagian lain negara ke kota
Bandar Abbas. Mempertimbangkan kecepatan laju pertumbuhan urban sprawl, skala dan
peran kota telah berubah dari skala menengah dan regional menjadi skala besar dan
transregional. Karena keterbatasan alam dan struktural, lebih dari 80% lahan tandus, tebing
batu, zona pantai, dan lahan pertanian ditempati oleh daerah yang terbangun. Hasil kami
mengungkapkan bahwa perluasan kota Bandar Abbas yang tidak teratur harus dikontrol
sehingga pembangunan berkelanjutan dapat dicapai.

49. A DETAILED AND HIGH-RESOLUTION LAND USE AND LAND COVER


CHANGE ANALYSIS OVER THE PAST 16 YEARS IN THE HORQIN SANDY
LAND, INNER MONGOLIA
Xiulian Bai, Ram C. Sharma,Ryutaro Tateishi, Akihiko Kondoh, Bayaer Wuliangha, and
Gegen Tana
Mathematical Problems in Engineering / 2017 / Article
Volume 2017 |Article ID 1316505 | 13 pages

Land use and land cover (LULC) change plays a key role in the process of land degradation
and desertification in the Horqin Sandy Land, Inner Mongolia. This research presents a
detailed and high-resolution (30 m) LULC change analysis over the past 16 years in
Ongniud Banner, western part of the Horqin Sandy Land. The LULC classification was
performed by combining multiple features calculated from the Landsat Archive products
using the Support Vector Machine (SVM) based supervised classification approach. LULC
maps with 17 secondary classes were produced for the year of 2000, 2009, and 2015 in the
study area. The results showed that the multifeatures combination approach is crucial for
improving the accuracy of the secondary-level LULC classification. The LULC change
analyses over three different periods, 2000–2009, 2009–2015, and 2000–2015, identified
significant changes as well as different trends of the secondary-level LULC in study area.
Over the past 16 years, irrigated farming lands and salinized areas were expanded, whereas
the waterbodies and sandy lands decreased. This implies increasing demand of water and
indicates that the conservation of water resources is crucial for protecting the sensitive
ecological zones in the Horqin Sandy Land.

Terjemahan
Perubahan penggunaan lahan dan tutupan lahan (LULC) memainkan peran penting dalam
proses degradasi dan penggurunan lahan di Horqin Sandy Land, Mongolia Dalam.
Penelitian ini menyajikan analisis perubahan LULC yang terperinci dan beresolusi tinggi
(30 m) selama 16 tahun terakhir di Ongniud Banner, bagian barat Tanah Horqin Sandy.
Klasifikasi LULC dilakukan dengan menggabungkan beberapa fitur yang dihitung dari
produk Landsat Archive menggunakan pendekatan klasifikasi terbimbing yang didukung
oleh Mesin Vektor (SVM). Peta LULC dengan 17 kelas sekunder diproduksi untuk tahun
2000, 2009, dan 2015 di wilayah studi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendekatan
kombinasi multifeatures sangat penting untuk meningkatkan akurasi klasifikasi LULC
tingkat sekunder. Perubahan LULC menganalisis selama tiga periode yang berbeda, 2000-
2009, 2009-2015, dan 2000-2015, mengidentifikasi perubahan signifikan serta tren yang
berbeda dari LULC tingkat sekunder di wilayah studi. Selama 16 tahun terakhir, lahan
pertanian irigasi dan daerah salinisasi diperluas, sedangkan waterbodies dan tanah berpasir
menurun. Ini menyiratkan meningkatnya permintaan air dan menunjukkan bahwa
konservasi sumber daya air sangat penting untuk melindungi zona ekologis yang sensitif
di Tanah Berpasir Horqin.

50. PHYSICAL AND SOCIOECONOMIC DRIVING FORCES OF LAND-USE AND


LAND-COVER CHANGES: A CASE STUDY OF WUHAN CITY, CHINA
Xiangmei Li, Ying Wang, Jiang feng Li, and Bin Lei
Discrete Dynamics in Nature and Society / 2016 / Article
Volume 2016 |Article ID 8061069 | 11 pages

To investigate precise nexus between land-use and land-cover changes (LUCC) and driving
factors for rational urban management, we used remotely sensed images to map land use
and land cover (LULC) from 1990 to 2010 for four time periods using Wuhan city, China,
as a case study. Partial least squares (PLS) method was applied to analyze the relationships
between LUCC and the driving factors, mainly focusing on three types of LULC, that is,
arable land, built-up area, and water area. The results were as follows: during the past two
decades, the land-use pattern in Wuhan city showed dramatic change. Arable land is made
up of the largest part of the total area. The increased built-up land came mainly from the
conversion of arable land for the purpose of economic development. Based on the Variable
Importance in Projection (VIP), the joint effects of socioeconomic and physical factors on
LUCC were dominant, though annual temperature, especially annual precipitation, proved
to be less significant to LUCC. Population, tertiary industry proportion, and gross output
value of agriculture were the most significant factors for three major types of LULC. This
study could help us better understand the driving mechanism of urban LUCC and important
implications for urban management.
Terjemahan

Untuk menyelidiki hubungan yang tepat antara penggunaan lahan dan perubahan tutupan
lahan (lucc) dan faktor pendorong untuk pengelolaan kota yang rasional, kami
menggunakan gambar pengindraan jarak jauh untuk memetakan penggunaan lahan dan
penutupan lahan (lulc) dari 1990 hingga 2010 selama empat periode menggunakan kota
wuhan , cina, sebagai studi kasus. metode partial least square (pls) diterapkan untuk
menganalisis hubungan antara lucc dan faktor pendorong, terutama berfokus pada tiga jenis
lulc, yaitu, tanah yang subur, area terbangun, dan area air. hasilnya adalah sebagai berikut:
selama dua dekade terakhir, pola penggunaan lahan di kota wuhan menunjukkan perubahan
dramatis. tanah yang subur terdiri dari bagian terbesar dari total area. peningkatan lahan
yang dibangun terutama berasal dari konversi lahan yang subur untuk tujuan pembangunan
ekonomi. berdasarkan variable importance in projection (vip), efek gabungan dari faktor
sosial ekonomi dan fisik pada lucc dominan, meskipun suhu tahunan, terutama curah hujan
tahunan, terbukti kurang signifikan terhadap lucc. populasi, proporsi industri tersier, dan
nilai output kotor pertanian adalah faktor yang paling signifikan untuk tiga jenis utama lulc.
studi ini dapat membantu kita lebih memahami mekanisme penggerak lucc perkotaan dan
implikasi penting bagi manajemen perkotaan.

Anda mungkin juga menyukai