Anda di halaman 1dari 8

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/355035132

Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertambangan dalam Hukum Lingkungan

Article · October 2021

CITATIONS READS

0 228

5 authors, including:

Imam Dzaki Hidayad Assidiqi


Universitas Sebelas Maret
2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Imam Dzaki Hidayad Assidiqi on 03 October 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Nama : Imam Dzaki Hidayad Assidiqi
NIM : E0019203
Kelas : Alternatif Penyelesaian Sengketa Kelas L
Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertambangan dalam Hukum Lingkungan
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang terletak di jalur katulistiwa. Dalam hal ini menjadikan
Indonesia dengan negara tropis yang memiliki kekayaan alam dari Sabang sampai Merauke.
Seiring perkembangan zaman, manusia selalu memanfaatkan kekayaan alam yang ada di
Indonesia baik itu dengan pertambangan, penebangan hutan untuk kepentingan Perusahaan
dan investasi ataupun pemanfaatan lahan. Di sisi lain, bencana di hutan dianggap sebagai
akibat dari sistem politik dan ekonomi yang korup1. Hal ini menganggap sumber daya alam,
terutama hutan sebagai sumber pendapatan yang dapat dimanfaatkan, baik untuk kepentingan
politik. atau keuntungan pribadi. Padahal, bencana ekologis bisa menimbulkan korban jiwa
manusia, kerusakan lingkungan, kerusakan harta benda dan dampak psikologis. Dalam hal
ini, bencana ekologis disebabkan oleh alih fungsi lahan hutan di dataran tinggi, hilangnya
hutan bakau (mangrove) dan erosi serta penyempitan sungai. Semua ini berasal dari tata
ruang yang tidak terkendali sehingga menyebabkan gangguan keseimbangan yang berdampak
pada ekosistem dan menimbulkan bencana alam2.
Dalam hal ini agar terciptanya keseimbangan dan kelestarian lingkungan sekitar
diperlukan upaya penegakan Hukum Lingkungan. Selain dari itu dalam prakteknya terdapat
beberapa kasus yang terjadi dalam hukum lingkungan yang menyebabkan kerugian kerusakan
lingkungan dan pencemaran air sungai contoh kasus yaitu kasus antara masyarakat Samawa
dengan PT. Newmont Nusa tenggara. Dari kasus diatas dapat diselesaikan melalui jalur
litigasi atau jalur non-litigasi. Alternatif penyelesaian sengketa dalam hukum lingkungan
menjadi salah satu solusi dalam menyelesaian sengketa di luar jalur litigasi dikarenakan
beberapa kekurangan melalui proses litigasi seperti proses yang berlarut-larut atau lama.

II. Rumusan Masalah


1. Bagaimana Pengelolaan Aktivitas Pertambangan di Hutan dalam upaya
menjaga lingkungan hidup berdasarkan Hukum di Indonesia?
2. Manfaat Alternatif Penyelesaian sengketa dengan Arbitrase dalam kasus
pertambangan?
III. Tujuan
1. Memahami pentingnya perlindungan hukum lingkungan dalam aktivitas
pertambangan
2. Memahami manfaat Alternatif Penyelesaian Sengketa non-litigasi dalam kasus
pertambangan

1
Alfian, Thought and Political Change Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1978).
2
Jack Rostron, Environmental Law for the Built Environment (London UK: Cavendish Publishing Limited, 2001).
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengelolaan Aktivitas Pertambangan di Hutan dalam upaya menjaga lingkungan
hidup berdasarkan Hukum Lingkungan di Indonesia
Aktivitas pertambangan di Indonesia perlu diperhatikan dalam pengelolaannya untuk
menjaga lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini Pemerintah memiliki andil dalam
memberikan perizinan dalam aktivitas pertambangan. Terlalu banyak izin pertambangan
yang menyebabkan degradasi di Indonesia sebenarnya berasal dari warisan korup sistem
politik dan ekonomi dan anggapan bahwa sumber daya alam, khususnya hutan
merupakan sumber pendapatan untuk dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk mengejar
keuntungan pribadi, terlepas dari keuntungannya. berpengaruh terhadap kelestarian
ekosistem hutan3. Oleh karena itu pengelolaan aktivitas pertambangan menjadi tidak
fokus untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup. Selain itu, pengelolaan hutan harus
dapat menjaga lingkungan yang tidak hanya ekosistem tumbuhan dan hewan, yang hidup
di dekatnya, tetapi juga sangat bergantung pada alam manusia4. Dalam Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999, paradigma pengelolaan hutan berbasis ekosistem dan kerakyatan
diterapkan dalam prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan mengembangkan kapasitas dan pemberdayaan masyarakat yang partisipatif,
wajar dan ramah lingkungan sehingga dapat menciptakan jaminan sosial, ekonomi dan
ketahanan akibat perubahan eksternal. Perhutanan sosial harus dapat mencakup segala
bentuk, cara dan skala peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan dalam koridor
yang menjamin kelestarian kelestarian sumber daya hutan yang dikelola5.
Kegiatan pertambangan yang sangat meluas di seluruh hutan Indonesia
mengakibatkan kerusakan lingkungan alam dan kondisi ini sangat parah. Hal ini telah
menciptakan lingkungan yang buruk bagi kesehatan, penurunan kualitas sumber daya
manusia, rusaknya infrastruktur, hilangnya hak tradisional, rusaknya pertanian,
kemiskinan, penyebab utama banjir yang tak berkesudahan dan masalah lingkungan yang
terus menerus buruk6
Hukum Lingkungan Hidup yang berbasis hukum progresif mengajarkan kesadaran
bahwa pengelolaan lingkungan hidup merupakan isu utama dari semua legalitas formal
yang berdampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Oleh karena itu, dalam
implementasi UU No. 4 Tahun 2009 harus mengedepankan hukum lingkungan sebagai
payung peraturan perundang-undangan lainnya. Kegiatan pertambangan di Indonesia
tidak mencerminkan penerapan hukum lingkungan yang berbasis progresif tetapi hanya

3
A. Asmeri, R., Alvionita, T. & Gunardi, “CSR Disclosures in the Mining Industry: Empirical Evidence from Listed
Mining Firms in Indonesia,” Indonesian Journal of Sustainability Accounting and Management 1, no. 1 (2017):
16–22.
4
R.P. Scott, D.R. & George, Forest Ecosystem Management (Central hardwood region, 1994).
5
D. Dudung, Concepts and Strategies in the Social Forestry Improvement Village Community Economic
Empowerment in and around Forest (Fundamentals of Thought). Papers Submitted Seminar on Strategy and
Improvement Empowerment Community Participation in Production Forest (Jakarta: Directorate general of
forest management department of forestry and agriculture, 2000).
6
I. Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani et al., “Environmental Management Strategy in Mining Activities in
Forest Area Accordance with the Based Justice in Indonesia,” Journal of Legal, Ethical and Regulatory Issues 21,
no. 2 (2018): 1–8.

2
memanfaatkan aspek kemanfaatan daerah seperti UU No.4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan tanpa mengaitkan dengan UU Pengelolaan Lingkungan, seperti UU 32
Tahun 2009, UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Khususnya pada Undang –
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tersebut juga memuat satu asas yang biasa disebut
dengan asas ultimum remedium, sebagai salah satu asas dalam hukum positif di
Indonesia7. Asas ultimum remedium dijelaskan pertama kali oleh Mr. Modderman yang
merupakan Menteri Kehakiman Belanda, dalam pemaparannya ia menjelaskan bahwa
asas ultimum remidium dapat digunakan apabila terdapat pelanggaran hukum seperti
pelanggaran hukum conditio sine que non dan pelanggaran hukum berat yang tidak dapat
diupayakan hukum administratif8. Asas ini menjelaskan bahwa hukum pidana merupakan
upaya alternatif atau upaya terakhir dalam suatu upaya penegakan hukum. Sehingga
penegakan hukum pidana di bidang lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum
remidium, namun pelaksanaan asas ultimum remedium ini dilakukan apabila dalam hal
sanksi administratif gagal memberikan efek jera kepada pelaku9.
Perusakan hutan dalam hal kegiatan pertambangan tanpa memperhatikan kelestarian
lingkungan telah menimbulkan kerugian bagi negara itu sendiri, rusaknya kehidupan
sosial budaya dan lingkungan serta meningkatnya pemanasan global telah menjadi isu
regional, nasional dan internasional10.
B. Upaya Alternatif Penyelesaian sengketa dan Arbitrase dalam kasus pertambangan
Kegiatan pertambangan hampir dipastikan akan menimbulkan dampak terhadap
lingkungan. Dampak negatif dari kegiatan pertambangan adalah terjadi gerakan tanah,
hilangnya daerah resapan air di daerah perbukitan, rusaknya bentang alam, pelumpuran
ke dalam sungai, peningkatan erosi di daerah perbukitan, jalan-jalan yang dilalui
kendaraan pengangkut bahan tambang menjadi rusak, mengganggu kondisi air tanah, dan
terjadinya kubangan-kubangan besar berisi air, serta mempengaruhi kehidupan sosial
penduduk di sekitar lokasi penambangan11. Penyelesaian melelui arbitrase menghasilkan
putusan. Hukum di Indonesia yang mengatur tentang arbitrase adalah Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
(selanjutnya disebut “Undang-undang Arbitrase”). Keuntungan dari menggunakan
arbitrase dalam kasus pertambangan diatas adalah banyak hal yang bersifat fleksibel dan
konsensual. Dalam konteks ini arbitrase tidak formal dan kaku. Proses penyelesaian
7
Reza Meilanda Lesmana, “Penerapan Asas Ultimum Remedium Pada Pelaku Volume 5 No. 1, Juli 2021 56
Tindak Pidana Pelanggaran Baku Mutu Limbah (Analisis Pasal 100 Uu 32 Tahun 2009),” Khazanah Multidisiplin
1, no. 1 (2020).
8
Dian Adriawan Dg. Tawang, “Penerapan Asas Ultimum Remedium Dalam Ketentuan Hukum Pidana
Lingkungan Di Indonesia,” Supremasi Hukum 16, no. 1 (2020).
9
Isya Anung Wicaksono dan Fatma Ulfatun Najicha, “Penerapan Asas Ultimum Remedium Dalam Penegakan
Hukum Di Bidang Lingkungan Hidup,” Pagaruyuang Law Journal 5, no. 1 (2021): 47–56.
10
A. Rokhmawati, A. dan Gunardi, “Is Going Green Good for Profit? Empirical Evidence from Listed
Manufacturing Firms in Indonesia,” International Journal of Energy Economics and Policy 7, no. 4 (2017): 181–
192.
11
Dominicus Mere, “Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Tambang Emas Melalui Arbitrase,” Refleksi Hukum:
Jurnal Ilmu Hukum 9, no. 2 (2015): 163.

3
sengketa pun dapat dirahasiakan dimana selain para pihak yang bersengketa dan para
arbiter tidak boleh diikuti oleh pihak ketiga. Penyelesaian sengketa melalui arbitrase
adalah penyelesaian yang jauh dari intervensi pemerintah dan menghasilkan putusan
akhir yang tidak dapat dibanding meski-pun dapat dilakukan upaya hukum berupa
pembatalan atau pelaksanaan putusan arbitrase di tolak. Sementara kekurangan dari
digunakannya penyelesaian sengketa melalui arbitrase di antaranya adalah mahal. Hal ini
disebabkan, para pihak yang bersengketa harus membiayai berbagai keperluan, mulai
dari honor arbiter yang menyelesaikan sengketa hingga biaya sewa ruangan, biaya
kesekretariatan, biaya fax dan telepon. Selain itu, arbitrase yang bersifat permanen tidak
dapat ditemukan secara mudah12. Berkaitan dengan sengketa pertambangan yang
menimbulkan kerusakan lingkungan contoh yang sudah terjadi yaitu kasus antara
masyarakat Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara. Keberadaan PT. Newmont
Nusa Tenggara dalam melakukan kegiatan eksplorasi, konstruksi dan eksploitasi di
wilayah kontrak karya Batu Hijau, Kabupaten Sumbawa Barat dan Elang Dodo,
Kabupaten Sumbawa telah dapat dirasakan manfaatnya baik bagi masyarakat setempat,
Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat. Namun demikian pelaksanaan kegiatan
eksplorasi maupun eksploitasi yang dilakukan oleh PT. Newmont Nusa Tenggara tidak
selamanya berjalan dengan baik. Karena banyaknya terjadi sengketa. Sengketa tersebut
adalah sengketa antara masyarakat etnis Samawa dengan PT. Newmont Nusa Tenggara
dan sengketa antara Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah dengan PT. Newmont Nusa
Tenggara.
Penyelesaian sengketa ini melalui arbitrase internasional merupakan cara pengakhiran
sengketa yang telah disepakati antara Pemerintah Indonesia dengan PT. Newmont Nusa
Tenggara. Kesepakatan ini telah dituangkan dalam dokumen kontrak karya PT. Newmont
Nusa Tenggara. Cara yang ditempuh untuk menyelesaikan sengketa itu adalah melalui
lembaga Arbitrase UNCITRAL di New York. Tujuan Pemerintah Indonesia mengaju- kan
gugatan melalui Arbitrase UNCITRAL di New York adalah menjaga iklim investasi dan
sikap menghormati kontrak. Gugatan Pemerintah Indonesia diajukan pada tanggal 3
Maret 2008, sedangkan default dilakukan 11 Februari 2008. PT. Newmont Nusa
Tenggara diberi kesempatan perpanjangan waktu dua kali, yaitu masing- masing tanggal
22 Februari 2008. Bertindak sebagai arbiter dalam gugatan perkara divestasi ini terdiri
dari 3 arbiter, yakni Dr. Robert Briner, Profesor M. Sonarajah dan Judge Stephen M.
Scwebel13. Sidang perdana telah dilakukan pada tanggal 10 Desember 2008 di Hotel JW
Marriot Jakarta. Pada tanggal 31 Maret 2009, sidang arbitrase internasional di bawah the
UNCITRALArbitration Rule 1976 telah menetapkan putusan sebagai berikut:
1) PT. Newmont Nusa Tenggara diwajibkan untuk menjamin bahwa saham yang
akan dialihkan/dijual kepada Pemerintah Indonesia sesuai dengan Pasal 24 ayat
(3) Kontrak Karya adalah bebas dari gadai.
2) Mewajibkan PT. Newmont Nusa Tenggara untuk melakukan divestasi saham:
a. 3% tahun 2006;

12
Hikmahanto Juwana, “Arbitrase Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa, Materi Workshop Arbitrase Sebagai
Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis” (Purwokerto, 2009).
13
H H S Salim and Idrus Abdullah, “Penyelesaian Sengketa Tambang: Studi Kasus Sengketa Antara Masyarakat
Samawa Dengan Pt. Newmont Nusa Tenggara,” Mimbar Hukum 24, no. 3 (2012): 476–488.

4
b. 7% tahun 2007
kepada Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa Barat
dan Kabu-paten Sumbawa.
3) Mewajibkan PT. Newmont Nusa Tenggara untuk mendivestasikan saham tahun 2008
sebesar 7% kepada Pemerintah Indonesia atau Pemerintah Daerah atau badan hukum
Indonesia.
4) PT. Newmont Nusa Tenggara diberikan waktu jangka waktu 180 hari, sejak putusan
untuk melakukan divestasi saham kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Dari hasil sidang arbitrase yang sudah dilaksanakan harapannya dengan hasil putusan
tersebut Pemerintah daerah mendapatkan pemasukan dari deviden saham yang didapatkan
dari PT. Newmont Nusa Tenggara untuk keperluang perbaikan lingkungan hidup di
lingkungan sekitar tambang tanpa merugikan masyarakat Samawa lagi terhadap kerusakan
lingkungan sekitar.

5
BAB III
PENUTUP

Dalam hukum lingkungan dalam lingkup aktivitas pertambangan di hutan menjadi salah
satu hal yang perlu diperhatikan ketika terjadi sengketa. Ketika Pertambangan dilakukan di
hutan, banyak aspek yang harus dipenuhi perusahaan tambang baik perizinan, pengolahan
limbah dan lain-lain. Terlebih lagi perusahaan harus memperhatikan dampak untuk
lingkungan hidup. Saat ini kegiatan pertambangan yang sangat meluas di seluruh hutan
Indonesia mengakibatkan kerusakan lingkungan alam dan kondisi ini sangat parah. Hal ini
tidak memungkiri bahwa terjadi sengketa dari perusahaan tambang. Perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum, hal ini sesuai dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. asas
ultimum remidium dapat digunakan apabila terdapat pelanggaran hukum seperti pelanggaran
hukum conditio sine que non dan pelanggaran hukum berat yang tidak dapat diupayakan
hukum administratif. Asas ini menjelaskan bahwa hukum pidana merupakan upaya alternatif
atau upaya terakhir dalam suatu upaya penegakan hukum.
Sengketa yang terjadi pada perusahaan tambang seringkali akan menimbulkan waktu yang
lama dan proses yang berbelit-belit ketika diproses secara litigasi. Oleh karena itu ada pilihan
alternatif penyelesaian sengketa ketika terjadi sengketa. Penyelesaian sengketa pertambangan
di hutan dapat dilakukan dengan cara arbitrase. Hukum di Indonesia yang mengatur tentang
arbitrase adalah Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Contoh kasus yaitu pada PT. Newmont Nusa Tenggara dengan
masyarakat Samawa karena permasalahan kontrak dari perusahaan dan perusahaan tidak
memenuhi kewajibannya untuk menjaga lingkungan sekitar sehingga hasil putusan dari hasil
sidang arbitrase yang sudah dilaksanakan harapannya dengan hasil putusan tersebut
Pemerintah daerah mendapatkan pemasukan dari deviden saham yang didapatkan dari PT.
Newmont Nusa Tenggara untuk keperluang perbaikan lingkungan hidup di lingkungan
sekitar tambang tanpa merugikan masyarakat Samawa lagi terhadap kerusakan lingkungan
sekitar.

6
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Alfian. Thought and Political Change Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1978.


Asmeri, R., Alvionita, T. & Gunardi, A. “CSR Disclosures in the Mining Industry: Empirical
Evidence from Listed Mining Firms in Indonesia.” Indonesian Journal of Sustainability
Accounting and Management 1, no. 1 (2017): 16–22.
Dominicus Mere. “Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak Tambang Emas Melalui
Arbitrase.” Refleksi Hukum: Jurnal Ilmu Hukum 9, no. 2 (2015): 163.
Dudung, D. Concepts and Strategies in the Social Forestry Improvement Village Community
Economic Empowerment in and around Forest (Fundamentals of Thought). Papers
Submitted Seminar on Strategy and Improvement Empowerment Community
Participation in Production Forest. Jakarta: Directorate general of forest management
department of forestry and agriculture, 2000.
Handayani, I. Gusti Ayu Ketut Rachmi, Adi Sulistiyono, Tommy Leonard, Ardi Gunardi, and
Fatma Ulfatun Najicha. “Environmental Management Strategy in Mining Activities in
Forest Area Accordance with the Based Justice in Indonesia.” Journal of Legal, Ethical
and Regulatory Issues 21, no. 2 (2018): 1–8.
Jack Rostron. Environmental Law for the Built Environment. London UK: Cavendish
Publishing Limited, 2001.
Juwana, Hikmahanto. “Arbitrase Sebagai Forum Penyelesaian Sengketa, Materi Workshop
Arbitrase Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis,” 2009.
Lesmana, Reza Meilanda. “Penerapan Asas Ultimum Remedium Pada Pelaku Volume 5 No.
1, Juli 2021 56 Tindak Pidana Pelanggaran Baku Mutu Limbah (Analisis Pasal 100 Uu
32 Tahun 2009).” Khazanah Multidisiplin 1, no. 1 (2020).
Najicha, Isya Anung Wicaksono dan Fatma Ulfatun. “Penerapan Asas Ultimum Remedium
Dalam Penegakan Hukum Di Bidang Lingkungan Hidup.” Pagaruyuang Law Journal 5,
no. 1 (2021): 47–56.
Rokhmawati, A. dan Gunardi, A. “Is Going Green Good for Profit? Empirical Evidence from
Listed Manufacturing Firms in Indonesia.” International Journal of Energy Economics
and Policy 7, no. 4 (2017): 181–192.
Salim, H H S, and Idrus Abdullah. “Penyelesaian Sengketa Tambang: Studi Kasus Sengketa
Antara Masyarakat Samawa Dengan Pt. Newmont Nusa Tenggara.” Mimbar Hukum 24,
no. 3 (2012): 476–488.
Scott, D.R. & George, R.P. Forest Ecosystem Management. Central hardwood region, 1994.
Tawang, Dian Adriawan Dg. “Penerapan Asas Ultimum Remedium Dalam Ketentuan
Hukum Pidana Lingkungan Di Indonesia.” Supremasi Hukum 16, no. 1 (2020).

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai