Anda di halaman 1dari 22

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah Hukum Lingkungan


yang diampu oleh Ibu Eko Yuliastuti, S.H., M.H

Oleh :

KRISNA ANANTA HARI PRATAMA


NIM. 23107714005

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM BALITAR
BLITAR
2023

i
RINGKASAN

Andre Kurniawan, Marsel Agustian Sembiring, Mikhael Joshua Nababan,


Muhammad Jordan Edison. Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia.

Penegakan hukum lingkungan adalah aspek penting dalam menjaga


keberlanjutan lingkungan hidup, yang terkait dengan aspek administratif, pidana,
dan perdata. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menjadi landasan
hukum untuk penegakan hukum lingkungan, terutama dalam konteks pidana.
Jenis metode penelitian dalam penulisan ini ialah kualitatif dengan jenis dokumen.
Penelitian kualitatif merupakan jenis penelitian yang hasilnya bukan didasarkan
pada angka statistic atau perhitungan lainnya. Penegakan hukum lingkungan
administratif mencakup pengawasan dan sanksi, namun masih menghadapi
tantangan dalam implementasi. Penegakan hukum pidana berfokus pada
investigasi dan penuntutan tindakan pencemaran lingkungan, tetapi memerlukan
bukti yang kuat. Sementara itu, penegakan hukum perdata melibatkan
penyelesaian sengketa lingkungan melalui jalur hukum perdata, dengan prinsip
tanggung jawab mutlak. Kendati demikian, penegakan hukum lingkungan di
Indonesia masih menghadapi hambatan, termasuk kompleksitas dalam
penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan. Perbaikan lebih lanjut
diperlukan untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum lingkungan guna
menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.

Kata Kunci: Hukum Lingkungan, Penegakan Hukum, UUPPLH

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu

tanpa ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan. Ucapan terima kasih

saya sampaikan kepada Ibu Eko Yuliastuti, S.H., M.H sebagai dosen mata kuliah

Mata Kuliah Hukum Lingkungan yang telah membantu memberikan arahan dan

pemahaman dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak

kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat

mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa

yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ....................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii

DAFTAR ISI ....................................................................................................... iv

BAB I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 3
1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................. 3
1.4 Manfaat ................................................................................................. 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5

2.1 Hukum .................................................................................................. 5


2.2 Penegakan Hukum ................................................................................ 5
2.3 Hukum Lingkungan ............................................................................... 6

BAB III. METODE PENELITIAN.......................................................................... 8

3.1 Jenis Penelitian ..................................................................................... 8


3.2 Jenis dan Sumber Data ......................................................................... 8

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 9

4.1 Penegakan Hukum Lingkungan ............................................................ 9


4.2 Penerapan Hukum Administratif dalam Penegakan Hukum Lingkungan...
10
4.3 Penerapan Hukum Pidana dalam Penegakan Hukum Lingkungan...... 11
4.4 Penerapan Hukum Perdata dalam Penegakan Hukum Lingkungan .... 13

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 17

5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 17


5.2 Saran .................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................... 18

iv
BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Permasalahan lingkungan merupakan topik yang kompleks dan menarik

untuk dipelajari lebih dalam, terutama karena meningkatnya krisis lingkungan.

Mattias Finger menyatakan bahwa krisis lingkungan global saat ini disebabkan

oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan yang tidak tepat, teknologi yang tidak

efisien dan bahkan merusak lingkungan, kurangnya komitmen politik, gagasan,

dan ideologi yang pada akhirnya merugikan lingkungan, serta tindakan dan

perilaku yang tidak sesuai dari aktor-aktor negara, termasuk perluasannya

korporasi transnasional yang mempromosikan pola kebudayaan seperti

konsumerisme dan individualisme, serta individu yang tidak mendapatkan arahan

yang baik.

Latar belakang kelahiran Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) adalah

meningkatnya masalah lingkungan yang semakin memprihatinkan, salah satunya

terkait masalah di hutan. Tingginya jumlah kasus kebakaran hutan dan pencurian

kayu di hutan Indonesia yang lebih dikenal sebagai kasus illegal logging yang tidak

tertangani dengan baik menunjukkan bahwa undang-undang yang seharusnya

menjadi alat pemerintah untuk merawat dan melindungi lingkungan tidak berfungsi

efektif. Oleh karena itu, UU PPLH yang lebih fokus pada penegakan hukum,

terutama dalam konteks pidana lingkungan, diharapkan dapat mengatasi

permasalahan yang selama ini menjadi perhatian publik terkait

ketidaksempurnaan penyelesaian konflik lingkungan hidup.

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

1
Pengelolaan Lingkungan Hidup, dijelaskan bahwa pengelolaan dan perlindungan

lingkungan hidup merujuk pada upaya yang terencana dan terpadu untuk menjaga

fungsi lingkungan hidup serta mencegah terjadinya pencemaran dan/atau

kerusakan lingkungan hidup. Ini mencakup berbagai aspek seperti perencanaan,

penggunaan, kontrol, pemeliharaan, pemantauan, dan penegakan hukum.

Pengelolaan lingkungan hidup mencakup tindakan pencegahan, penanganan

kerusakan dan pencemaran, serta pemulihan kualitas lingkungan, yang

memerlukan pengembangan berbagai kebijakan, program, dan kegiatan yang

didukung oleh berbagai sistem pendukung pengelolaan lingkungan lainnya.

Sistem ini mencakup elemenelemen seperti struktur kelembagaan yang stabil,

sumber daya manusia yang berkualitas, dan kemitraan dengan pihak-pihak yang

peduli terhadap lingkungan. Ini juga melibatkan kerangka kerja hukum dan

peraturan, ketersediaan informasi yang relevan, dan pembiayaan yang cukup.

Penting untuk diingat bahwa lingkungan hidup memiliki sifat yang saling

terkait dan holistik, yang berarti pengelolaan lingkungan dan sistem pendukungnya

tidak dapat berdiri sendiri, tetapi harus terintegrasi dengan pelaksanaan

pembangunan di berbagai sektor, baik di tingkat pusat maupun daerah. Sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, penggunaan sumber daya alam harus dilakukan

secara seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Oleh karena itu, kebijakan,

rencana, dan program pembangunan harus mencerminkan komitmen untuk

melestarikan lingkungan hidup dan mencapai tujuan pembangunan yang

berkelanjutan. Banyaknya kasus hukum lingkungan, termasuk kerusakan dan

pencemaran lingkungan di Indonesia, menuntut penegakan hukum lingkungan

yang serius.

Penegakan hukum lingkungan, baik secara administratif, pidana, maupun

2
perdata, belum memberikan dampak yang signifikan dalam perlindungan

lingkungan. Fakta bahwa Indonesia mencatatkan tingkat kerusakan hutan tercepat

di dunia, dengan kehilangan lahan hutan sekitar 2% setiap tahun atau sekitar 1,8

juta hektar per tahun antara tahun 2000 hingga 2005, adalah prestasi memalukan

bagi negara ini. Hal ini juga mengindikasikan bahwa Indonesia belum mampu

menjaga kelestarian hutan yang seharusnya menjadi inti kehidupan

manusia.”Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan judul “Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia”,

dalam penulisan ini nantinya akan membahas mengenai penegakan aturan

lingkungan hidup di Indonesia dilihat dari implementasi hukum administrasi, hukum

pidana, dan aturan keperdataan tentang UUPPLH.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka perumusan masalah penelitian

sebagai berikut:

1. Bagaimana Penegakan Hukum Lingkungan?

2. Bagaimana Penerapan Hukum Administratif dalam Penegakan Hukum

Lingkungan?

3. Bagaimana Penerapan Hukum Pidana dalam Penegakan Hukum

Lingkungan?

4. Bagaimana Penerapan Hukum Perdata dalam Penegakan Hukum

Lingkungan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini yakni sebagai berikut:

1. Mengetahui Penegakan Hukum Lingkungan

3
2. Mengetahui Penerapan Hukum Administratif dalam Penegakan Hukum

Lingkungan

3. Mengetahui Penerapan Hukum Pidana dalam Penegakan Hukum

Lingkungan

4. Mengetahui Penerapan Hukum Perdata dalam Penegakan Hukum

Lingkungan

1.4 Manfaat

Manfaat yang dapat diharapkan pada penelitian ini yakni sebagai berikut:

1. Menambah wawasan dan pegetahuan terkait penjelasan mengenai

penegakan hukum lingkungan, penerapan hukum administratif dalam

penegakan hukum lingkungan, penerapan hukum pidana dalam penegakan

hukum lingkungan, penerapan hukum perdata dalam penegakan hukum

lingkungan. Hasil makalah ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi dalam

perkuliahan khususnya di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Islam

Balitar

2. Memberikan informasi kepada pembaca sebagai bahan acuan dan

pertimbangan mengenai pentingnya penegakan hukum lingkungan di

Indonesia.

4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hukum

Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yang dibuat oleh penguasa

negara atau pemerintah secara resmi melalui lembaga atau intuisi hukum untuk

mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, bersifat memaksa, dan

memiliki sanksi yang harus dipenuhi oleh masyarakat. Hukum adalah sistem yang

terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Bentuk

penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam

berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan sosial

antar masyarakat terhadap kriminalisasidalam hukum pidana, hukum pidana yang

berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam, kons titusi hukum

menyediakan kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi

manusia dan memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan mereka yang

akan di pilih.

2.2 Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau

berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam

lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan

oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum

oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses

penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan

hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukan sesuatu

atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan

5
hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.

Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan

sebagai upaya aparatur penegak hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan

bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam

memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum

diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.

Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya,

yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna

yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-

nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai

keadilan yang hidup dalam masyarakat. Akan tetapi, dalam arti sempit, penegakan

hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja.

Oleh karena itu, penerjemahan perkataan law enforcement'ke dalam Bahasa

Indonesia dalam menggunakan perkataan penegakan hukum'dalam arti luas dan

dapat pula digunakan istilah 'penegakan peraturan' dalam arti sempit.

2.3 Hukum Lingkungan

Hukum Lingkungan merupakan salah satu bidang ilmu hukum yang masih

muda, yang perkembangannya baru terjadi pada dua dasarwarsa terakhir ini.

Namun demikian, perkembangan sangat cepat sejalan dengan semakin banyak

permasalahan lingkungan hidup baik dalam lingkup nasional maupun global. Hal

ini diikuti pula dengan semakin berkembangnya instrumen hukum ling kungan,

baik regulasi maupun institusi hukum dalam rangka mengatasi dan menyelesaikan

permasalahan lingkungan hidup.

Menurut Drupsteen, dalam Koesnadi Harjasoemantri,ʻ hukum lingkungan

(melieurecht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam

6
(natuurlijk melieu) dalam arti luas. Ruang hukum lingkungan berkaitan de ngan

ruang lingkup pengelolaan lingkungan. Dengan demikian bahwa Hukum

lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan yang

dilakukan oleh pemerintah (bestuursrechttelijk melieurecht) yang dibentuk baik

oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah maupun badan internasional. Selain itu

dikenal pula hukum lingkungan perdata (privaat-rechtelijk melieurecht), Hukum

lingkungan ketatanegaraan (staatrechtstelijk melieurecht), dan hukum lingkungan

kepidanaan (strafrechtelijk melieurecht) sepanjang terkait dengan pengelolaan

lingkungan hidup Hukum lingkungan pemerintah meliputi hukum kesehatan

lingkungan yang terdiri dari: 1) kebijakan di bidang kesehatan lingkungan; 2)

pemeliharaan kondisi air, tanah dan udara; 3) pencegahan kebisingan yang semua

karena perbuatan manusia.

7
BAB III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif.

Penelitian deskriptif merupakan jenis penelitian yang bertujuan menyajikan

tentang gambaran yang lengkap terkait setting sosial atau penelitian yang

dilakukan untuk mengeksplorasi dan mengklarifikasi mengenai suatu fenomena

atau kejadian sosial. Peneliti menggunakan metode deskriptif dengan sumber

kajian pustaka dengan mengkaji penelitian-penelitian sebelumnya. Kelebihan dari

penelitian deskriptif yakni dapat digunakan untuk dikombinasikan antara penelitian

kuantitatif maupun kualitatif (Roosinda et al., 2021).

3.2 Jenis dan Sumber Data

Sumber data merupakan bagian dari penelitian, dan jika terdapat sumber

data maka penelitian berjalan dengan baik. Sumber data yang digunakan dalam

penilitian ini yaitu studi pustaka. Studi pustaka yaitu menggunakan sumber

kepustakaan untuk memperoleh data penelitian tanpa melakukan kerja lapangan

8
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Penegakan Hukum Lingkungan

Penegakan hukum lingkungan adalah komponen integral dari "kerangka

legislatif" dan merupakan langkah terakhir dalam "rantai regulasi". Tema

penegakan hukum lingkungan telah menarik perhatian publik dan menjadi topik

utama dalam "Konferensi Internasional Kelima tentang Kepatuhan dan Penegakan

Hukum Lingkungan" di Monterey, California, Amerika Serikat (AS), pada tanggal

16-20 November 1998. Konferensi ini bertujuan untuk memberikan pemahaman

dasar tentang penegakan hukum lingkungan dan mengembangkannya melalui

kerja sama antar bangsa, terutama dalam masalah "kepatuhan lintas batas". Istilah

"penegakan hukum lingkungan" ("environmental law enforcement" atau

"handhaving van milieurecht") memiliki pengertian yang mencakup karakteristik

hukum yang berhubungan dengan berbagai aspek ilmu hukum. G.A. Biezeveld

memberikan definisi sebagai berikut: Penegakan hukum lingkungan dapat

didefinisikan sebagai penerapan kekuatan hukum pemerintah untuk memastikan

kepatuhan terhadap peraturan lingkungan dengan cara berikut:

1. Pengawasan administratif terhadap kepatuhan terhadap peraturan

lingkungan (pemeriksaan) (kegiatan terutama bersifat pencegahan);

2. Tindakan administratif atau sanksi dalam kasus ketidakpatuhan (aktivitas

korektif);

3. Penyelidikan pidana dalam kasus dugaan pelanggaran (aktivitas

represif);

4. Tindakan atau sanksi pidana jika terjadi pelanggaran (aktivitas represif);

5. Tindakan hukum perdata (gugatan) dalam hal (ancaman)

9
ketidakpatuhan (aktivitas preventif atau korektif).

Penegakan hukum lingkungan untuk mengendalikan pencemaran

lingkungan dapat dikelompokkan menjadi tiga aspek: (i) “penegakan hukum

lingkungan oleh pemerintah dalam konteks administratif, (ii) penegakan hukum

lingkungan dalam konteks pidana yang melibatkan prosedur peradilan, dan (iii)

penegakan hukum lingkungan dalam konteks perdata serta penyelesaian

sengketa lingkungan yang dapat dilakukan melalui proses litigasi maupun

nonlitigasi. Pembagian penegakan hukum lingkungan menjadi tiga cabang disiplin

hukum ini adalah hasil alur logis dari posisi hukum lingkungan sebagai mata

pelajaran hukum fungsional. Penegakan hukum lingkungan dalam konteks

pengendalian pencemaran lingkungan berarti memanfaatkan alat-alat hukum yang

ada dalam kerangka penegakan hukum lingkungan administratif, hukum pidana,

dan hukum perdata (penyelesaian sengketa lingkungan) untuk melindungi hukum

dan memastikan kualitas lingkungan yang bersih dan berkelanjutan.

4.2 Penerapan Hukum Administratif dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Penegakan hukum lingkungan administratif bertujuan untuk menghentikan

pencemaran lingkungan dari sumbernya dengan menerapkan pengawasan dan

sanksi administrasi. Pengawasan periodik dilakukan pada aktivitas yang memiliki

izin lingkungan untuk memastikan bahwa persyaratan izin diikuti dengan benar.

Dasar hukum pengawasan dalam pengendalian pencemaran lingkungan di

Indonesia terdapat dalam Pasal 71-75 UU PPLH, dengan Pasal 74 (1) UUPPLH

memberikan wewenang kepada pengawas untuk melakukan pemantauan,

meminta keterangan, membuat salinan dokumen, memasuki tempat tertentu, dan

melakukan tindakan lain yang diperlukan. Namun, sarana pengawasan di bidang

pengendalian pencemaran lingkungan belum diatur secara menyeluruh, yang

menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan administratif sebagai cara

10
preventif belum berjalan dengan efektif. Terdapat juga pemahaman yang beragam

dan keliru tentang substansi dan mekanisme pengawasan persyaratan perizinan

lingkungan.

Sanksi administrasi merupakan bagian penting dari tindakan pengawasan

yang melibatkan pemaksaan pemerintah, uang paksa, penutupan tempat usaha,

penghentian kegiatan, atau pencabutan izin lingkungan. Dasar hukum utama

penerapan sanksi administrasi di bidang pengendalian pencemaran lingkungan

diatur dalam Pasal 76-83 UU PPLH. Jenis sanksi administrasi termasuk teguran

tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izinlingkungan, atau pencabutan izin

lingkungan. Sanksi ini harus setidaknya setara dengan nilai ekonomi yang

diperoleh oleh pelanggar selama melanggar persyaratan izin lingkungan

(Rahmadi, 1988). Penerapan sanksi administrasi dalam pengendalian

pencemaran lingkungan belum seragam dan tidak selalu terkait dengan

pelanggaran persyaratan perizinan lingkungan. Terdapat variasi dalam jenis

sanksi administrasi yang diberlakukan oleh instansi yang mengeluarkan izin

lingkungan, seperti teguran, peringatan, penyegelan, pemanggilan, dan lain

sebagainya. Kesimpulannya, penegakan hukum lingkungan administratif di

Indonesia menghadapi tantangan dalam penerapan pengawasan dan sanksi

administrasi untuk mengendalikan pencemaran lingkungan. Meskipun ada dasar

hukum yang mengatur pengawasan dan sanksi, pelaksanaannya masih terbatas

dan tidak selalu efektif. Kejadian seperti kebakaran hutan tahun 1997

menunjukkan perlunya penegakan hukum lingkungan yang lebih efektif dan terkait

erat dengan undang-undang yang ada.

4.3 Penerapan Hukum Pidana dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Investigasi untuk menentukan apakah suatu perbuatan mencemarkan atau

merusak lingkungan memerlukan perumusan "delik lingkungan (pencemaran

11
lingkungan)" berdasarkan prinsip "nullum delictum nulla poena sine praevia lege

poenali," yang mengacu pada Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP). Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup (UUPPLH) mengatur ketentuan pidana dalam Pasal 97-120, tetapi tidak

memberikan definisi yang jelas untuk "delik lingkungan" (milieudelicten). Untuk

merumuskan delik lingkungan pencemaran lingkungan, perlu memahami makna

yuridis pencemaran lingkungan dan sanksi pidana. Dengan mengacu pada Pasal

1 angka 14 UUPPLH dan Pasal 97-120 UUPPLH, definisi delik lingkungan

pencemaran lingkungan adalah perbuatan yang disengaja atau karena kelalaian

yang menghasilkan masuknya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain

ke dalam lingkungan hidup oleh manusia, melebihi baku mutu lingkungan hidup

yang telah ditetapkan.

Secara singkat, delik lingkungan pencemaran lingkungan adalah tindakan

yang mengakibatkan pencemaran lingkungan dengan sengaja atau karena

kelalaian. Delik ini memiliki dua elemen dasar, yaitu perbuatan dan akibat yang

ditimbulkan. Perumusan delik lingkungan dapat bersifat "materiil," berfokus pada

akibat yang ditimbulkan, atau "formal," menekankan pada perbuatan itu sendiri.

Pemilihan antara delik materiil dan formal berdampak pada tuntutan pembuktian

dan kausalitas antara perbuatan pencemar dan pencemaran lingkungan. Delik

materiil membutuhkan pembuktian yang lebih rumit daripada delik formal, yang

tidak memerlukan pembuktian akibat dari perbuatan pencemar (Siti Sundari,

2000). Investigasi dan penuntutan delik lingkungan mencemari lingkungan sangat

penting karena melibatkan fakta ilmiah, terutama dalam kasus pencemaran

lingkungan perkotaan yang terjadi secara kumulatif. Konsep "presumption of

causation" dapat digunakan untuk mengatasi tantangan pembuktian kausalitas

dalam delik lingkungan. Hal ini penting dalam penyusunan undang-undang pidana

12
yang memungkinkan pemidanaan tanpa perlu bukti yang meyakinkan

(Schaffmeister, 1995). Pemidanaan dalam kasus pencemaran lingkungan adalah

upaya untuk melindungi kualitas lingkungan bagi masyarakat. “Sanksi pidana

dapat dikenakan pada individu dan badan hukum yang melakukan delik

lingkungan. Pertanggungjawaban pidana terhadap badan hukum sejalan dengan

konsep badan hukum sebagai subyek hukum. Pasal 1 angka 32 UU PPLH

mengenali badan hukum sebagai subyek hukum (Helmi, 2021). Dalam UU PPLH,

tindak pidana lingkungan hidup diatur dalam Bab XV, yang mencakup Pasal 97

sampai dengan Pasal 120. Namun, kejahatan terhadap lingkungan hidup juga

diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam beberapa pasal

seperti Pasal 187, Pasal 188, Pasal 202, Pasal 203, Pasal 502, dan Pasal 503

4.4 Penerapan Hukum Perdata dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Dalam upaya penegakan hukum lingkungan melalui pendekatan perdata, hal

ini terjadi karena pihak yang mengajukan gugatan tidak hanya mengalami kerugian

finansial, tetapi juga dapat mengalami kerugian akibat kerusakan lingkungan hidup

di sekitar tempat tinggal mereka. Beberapa putusan perdata yang terkait dengan

lingkungan hidup telah membawa perkembangan hukum yang baru di Indonesia

dalam konteks lingkungan. Dalam konteks hak gugat, Pengadilan Negeri

Samarinda telah mengakomodir hak gugat warga negara, yang juga dikenal

sebagai tindakan populer (citizen lawsuit). Jika gugatan diajukan oleh pemerintah

melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), maka hal ini

mengarah pada prinsip pro natura, di mana pihak KLHK sebagai penggugat tidak

perlu membuktikan kesalahan pihak tergugat. Namun, tidak semua putusan ini

diikuti oleh hukuman untuk memulihkan lingkungan yang rusak atau tercemar.

Pasal 88 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

(UUPPLH) mengatur tentang tanggung jawab mutlak (strict liability) bagi setiap

13
orang yang melakukan tindakan, usaha, atau kegiatan yang menggunakan bahan

berbahaya dan beracun (B3), menghasilkan atau mengelola limbah B3, atau

menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup.” Dalam hal ini,

tanggung jawab mutlak berarti bahwa pihak yang bertanggung jawab atas

kerugian yang terjadi tidak perlu membuktikan unsur kesalahannya. Pasal ini

merupakan ketentuan khusus dalam gugatan terkait pelanggaran hukum pada

umumnya. Besarnya ganti rugi yang dapat dikenakan kepada pencemar atau

perusak lingkungan hidup dapat ditetapkan hingga batas tertentu. "Sampai batas

waktu tertentu" mengacu pada ketentuan peraturan yang mengharuskan asuransi

untuk usaha atau kegiatan yang bersangkutan atau ketersediaan dana untuk

lingkungan hidup.

Ketentuan tentang tanggung jawab mutlak ini merupakan hal yang baru dan

berbeda dari ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(KUHPerdata) atau Burgerlijk Wetboek (BW) yang mengatur perbuatan melanggar

hukum (onrechtmatige daad). Ketika kegiatan atau usaha yang berlaku strict

liability yang melibatkan bahan berbahaya dan beracun, dan terjadi kerusakan

atau pencemaran lingkungan di luar hal tersebut, maka ketentuan yang diterapkan

adalah Pasal 1365 KUHPerdata yang mengharuskan bukti adanya kesalahan

(schuld) (Helmi, 2021). Menurut Mas Achmad Santosa, “dalam penyelesaian

sengketa lingkungan melalui proses hukum perdata, penting untuk membuktikan

tanggung jawab individu atau entitas hukum terkait dengan kerugian yang

disebabkan oleh pencemaran atau perusakan lingkungan. Dalam hal ini, pihak

yang mengajukan gugatan harus dapat membuktikan bahwa pencemaran telah

terjadi dan bahwa ada hubungan langsung antara pencemaran tersebut dan

kerugian yang mereka alami. Tindakan membuktikan ini memiliki tujuan untuk

memberikan keyakinan kepada hakim mengenai kebenaran dari peristiwa konkret

14
yang menjadi subjek perselisihan.” (Sentosa, 2001).

Di Indonesia, proses penyelesaian sengketa lingkungan diatur dalam Bagian

XIII UndangUndang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

Ini dibagi menjadi dua cara, yaitu penyelesaian sengketa lingkungan di luar

pengadilan dan penyelesaian sengketa lingkungan melalui pengadilan. Pihak

dapat mengajukan gugatan lingkungan ke pengadilan hanya jika upaya

penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan tidak berhasil. Proses

penegakan hukum lingkungan melalui jalur hukum perdata di Indonesia kurang

populer karena seringkali mengakibatkan proses yang panjang di pengadilan.

Hampir semua kasus perdata cenderung berakhir di pengadilan tertinggi, seperti

kasasi, dan seringkali berlanjut ke peninjauan kembali. Bahkan setelah ada

putusan, seringkali sulit untuk melaksanakannya. Pasal 84 UUPPLH memberikan

pilihan kepada pihak yang terlibat dalam sengketa lingkungan hidup untuk memilih

antara menyelesaikan sengketa secara sukarela di luar pengadilan atau melalui

pengadilan. Jika upaya penyelesaian di luar pengadilan tidak berhasil, maka salah

satu atau semua pihak dapat memilih untuk melanjutkan sengketa tersebut ke

pengadilan.

Dalam Penjelasan Pasal 88 UUPPLH dijelaskan bahwa “tanggung jawab

mutlak atau strict liability adalah kondisi di mana pihak penggugat tidak perlu

membuktikan unsur kesalahan sebagai dasar untuk mendapatkan kompensasi.

Ketentuan ini merupakan ketentuan khusus yang berlaku dalam kasus gugatan

terkait pelanggaran hukum lingkungan dan berbeda dari gugatan perdata pada

umumnya. UUPPLH menetapkan bahwa entitas yang memiliki wewenang untuk

mengajukan gugatan ganti rugi terkait pencemaran atau perusakan lingkungan

adalah Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Organisasi Lingkungan

Hidup. Ada dua metode yang dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa

15
lingkungan hidup. Pertama, melalui mekanisme penyelesaian sengketa di luar

pengadilan. Kedua, melalui pengadilan. Setiap pihak memiliki kebebasan untuk

memilih apakah mereka ingin menyelesaikan sengketa di luar pengadilan atau

melalui pengadilan. Jika pihak yang bersengketa memilih penyelesaian di luar

pengadilan, mereka tidak dapat beralih ke pengadilan kecuali jika salah satu pihak

menyatakan bahwa upaya penyelesaian di luar pengadilan tidak berhasil. Perlu

dicatat bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak dapat digunakan

untuk menyelesaikan kasus pidana lingkungan.

16
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan Penegakan hukum

lingkungan adalah elemen kunci dalam perlindungan lingkungan hidup. Ini

mencakup aspek administratif, pidana, dan perdata dalam kerangka legislasi yang

kompleks. Penegakan hukum lingkungan didefinisikan dalam berbagai konferensi

internasional. Ini terbagi menjadi tiga aspek utama: administratif, pidana, dan

perdata, mencerminkan peran pentingnya dalam menjaga lingkungan yang bersih

dan berkelanjutan. Namun, masih ada tantangan dalam implementasinya,

termasuk kesulitan dalam membuktikan pelanggaran dan menjalankan putusan

pengadilan. Diperlukan upaya lebih lanjut untuk meningkatkan efektivitas

penegakan hukum lingkungan untuk melindungi kualitas lingkungan yang

berkelanjutan.

5.2 Saran

Demikian pembahasan dari makalah ini, kami berharap semoga

pembahasan dalam makalah ini dapat membantu dan bermamfaat bagi pembaca.

Kami pun berharap pula kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan dalam

tugas kami selanjutnya. Sekian dan Terima kasih.

17
DAFTAR PUSTAKA

Bashrowi, S. (2008). Mengetahui Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rhineka Cipta.

ETIK, I. K. (2020). J. PENGERTIAN HUKUM. ETIKA PROFESI DAN ASPEK

HUKUM BIDANG KESEHATAN, 4, 11.

Helmi. (2021). Hukum Lingkungan dalam Negara Hukum Kese jahteraan Untuk

Mewujudkan Pembangunan Berkelan- jutan. Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 04 No.

5, 93-103.

Kurniawan, A., Sembiring, M. A., Nababan, M. J., & Edison, M. J. (2023).

Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia. MOTEKAR: Jurnal Multidisiplin

Teknologi dan Arsitektur, 1(2), 398-403.

Rahmadi, T. (1988). Pengaturan Hukum Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya

dan Beracun di Indonesia. Surabaya: Disertasi, Program Pascasarjana,.

Schaffmeister, M. K. (1995). Hukum Pidana Editor J.E. Sahetapy. Yogyakarta:

Liberty.

Sentosa, M. A. (2001). Good Governance Hukum Lingkungan,. Jakarta: ICEL.

Siti Sundari, e. a. (2000). Implementasi UUPLH Tentang Pengawasan dan Sanksi

Administrasi Dalam Pengelolaan Lingkungan di Daerah, Proyek

Pendayagunaan Sistem dan Pelaksanaan Pengawasan Kantor Menteri

Negara Lingkungan Hidup dan PPLH Lembaga Penelitian Universitas

Airlangga. Jakarta: Universitas Airlangga.

Sood, M. (2021). Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika.

Utama, A. S. (2019). Kepercayaan Masyarakat terhadap Penegakan Hukum di

Indonesia. Jurnal Ensiklopedia Social Review, 1(3), 306-313.

18

Anda mungkin juga menyukai