Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH HUKUM LINGKUNGAN

DI SUSUN OLEH:

NAMA :ABETRI UYA OCTAVIANI DAMANIK


NIM :A1011191229

Dosen Mata Kuliah : Edy Suasono, SH,M.hum

Mata Kuliah : Hukum Lingkungan

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah ini
dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih terhadap
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran
maupun materinya. Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa
masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan
pengalaman Kami. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Pontianak, 10 Maret 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

Cover ...........................................................................................................................................i

Daftar Isi ................................................................................................................................... ii

Kata Pengantar ........................................................................................................................... 1

BAB I Pendahuluan ................................................................................................................... 4

Latar Belakang ........................................................................................................................... 4

Rumusan Masalah ...................................................................................................................... 5

Tujuan ........................................................................................................................................ 5

Manfaat ..................................................................................................................................... 6

BAB II Pembahasan ................................................................................................................... 6

BAB III Penutup ...................................................................................................................... 17

Kesimpulan .............................................................................................................................. 16

Saran……………………………………………………………………………………….......16

Daftar Pustaka ........................................................................................................................... 17


BAB I

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Latar Belakang pembuatan makalah ini adalah agar penegakan hukum pidana
lingkungan dapat diterapkan dan bisa juga untuk melindungi linkungan. Hal ini
disebabkan oleh adanya pelanggaran pidana yang dilakukan oleh orang – orang yang
tidak bertanggung jawab dan seenaknya dalam memanfaat lingkungan tanpa melihat
dampak yang ada di dalamnya.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, secara mendasar
diatur di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan hidup. Tujuan dan sasaran utama dari ketentuanketentuan yang
tertuang dalam Undang-undang dimaksud adalah pengelolaan secara terpadu dalam
pemanfaatan, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup. Tujuan dan sasaran
utama tersebut, sedikit banyak dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa, telah
terjadi eksplorasi dan eksploitasi tidak mengenal batas oleh manusia terhadap sumber
daya alam yang mengakibatkan rusak dan tercemarnya lingkungan hidup.
Kerusakan lingkungan hidup yang terjadi dalam skala nasional setidaknya dapat
dilihat pada angka deforestasi yang mencapai 2,84 juta hektar per tahun. Akibat
deforestasi, hutan di Indonesia sekarang diperkirakan hanya tinggal sekitar 55 (limapuluh
lima) juta hektar.2 Dalam skala lokal, salah satunya adalah pencemaran air Sungai
Balangan di Propinsi Kalimantan Selatan. Pencemaran sungai tersebut merupakan
dampak dari aktivitas pertambangan batubara PT ADARO Indonesia yang terjadi tidak
lama setelah Kementerian Lingkungan Hidup RI memberikan penghargaan kepada PT.
ADARO Indonesia dalam Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam
Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2009 dengan peringkat HIJAU.3
Kasus di atas hanyalah sedikit gambaran kerusakan dan pencemaran lingkungan
hidup yang terjadi di Indonesia. Jadi, sudah seyogyanyalah ditelaah kembali ketentuan-
ketentuan yang mengatur tentang penegakan hukum lingkungan hidup, khususnya
penegakan hukum lingkungan hidup dengan menggunakan sarana hukum pidana.
Penegakan hukum lingkungan hidup dengan menggunakan sarana hukum pidana selama
ini acapkali terkendala pada kesulitan pembuktian.
2. RUMUSAN MASALAH
a. Apa pengertian penegakan hukum pidana lingkungan?
b. Bagaimana penerapan hukum pidana terhadap pelanggaran hukum lingkungan?
c. Bagaimana ketergantungan hukum pidana pada hukum administrasi?
d. Uraikan rumusan delik dalam berbagai peraturan perundang – undangan lingkungan!

3. TUJUAN
a. Untuk mengetahui pengertian penegakan hukum pidana lingkungan.
b. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap pelanggaran hukum
lingkungan.
c. Untuk mengetahui keergantungan hukum pidana pada hukum administrasi.
d. Untuk mengtahui rumusan delik dalam berbagai peraturan perundang – undangan
lingkungan.

4. MANFAAT PENULISAN
Penulisan Disertasi ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan bagi:
1. Para pemerhati dan pengkaji alternatif penyelesaian konflik yang timbul akibat
terjadinya tindak pidana lingkungan hidup, khususnya dalam rangka pengembangan dan
pembaharuan hukum pidana.
2. Para pengambil kebijakan yang berkompeten, baik dalam menyusun konsep,
mengaplikasikan maupun menegakkan hukum pidana di bidang lingkungan hidup.
3. Masyarakat umum yang terlibat dalam konflik yang berkaitan dengan tindak pidana
lingkungan hidup
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Penegakan Hukum Lingkungan


Ruang Lingkup Hukum Pidana Lingkungan Hidup Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur tentang
tindak pidana dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 120. Disamping undang-undang ini,
ada pula perundang-undangan pidana lingkungan yang diatur dalam undangundang
sektoral, yaitu antara lain; Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok
Agraria, Undang-Undang Nomor 11 tahun 1962 tentang Hygiene Untuk Usaha-Usaha
Bagi Umum, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan, Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI),
UndangUndang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 9
Tahun 1985 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (disebut Undang-Undang
Konservasi Hayati), Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya,
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, Perda Provinsi dan
Kabupaten Kota yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
B. Penerapan Hukum Pidana Terhadap Pelanggaran Hukum Lingkungan

Sejak dikeluarkannya UUPPLH 2009 yang menggantikan UU No. 23 Tahun 1997


(selanjutnya disebut UUPPLH 1997), maka fungsi sebagai undang-undang induk umbrella
provisions melekat pada UUPPLH 2009. UUPPLH membawa perubahan mendasar dalam
pengaturan pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.6 Jika dicermati terdapat beberapa
perbedaan pengaturan antara UUPPLH 1997 dan UUPPLH 2009. Pertama, UUPPLH 1997
merumuskan tindak pidana sebagai tindakan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup (sebagaimana diatur dalam Pasal 41), sedangkan UUPPLH 2009
merumuskan tindak pi6 Edra Satmaidi, “Politik Hukum Pengelolaan Lingkungan Hidup Di
Indonesia Setelah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945”, Jurnal Konstitusi, Vol. 4 No. 1
Tahun 2011, FH Universitas Riau, hlm. 69-81 dana yaitu sebagai tindakan yang
mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut,
atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup (sebagaimana diatur dalam Pasal 98).
Kedua, UUPPLH 1997 merumuskan pidana dengan pidana maksimum, sedangkan
UUPPLH 2009 merumuskan pidana dengan minimum dan maksimum. Ketiga, UUPPLH
2009 mengatur mengenai hal-hal yang tidak di atur dalam UUPPLH 1997 yaitu di antaranya
pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu (sebagaimana diatur dalam Pasal 100), perluasan
alat bukti, keterpaduan penegakan hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi.
Penjelasan UUPPLH 2009 dijelaskan pula mengenai perbedaan mendasar dengan UUPPLH
1997 adalah adanya penguatan yang terdapat dalam Undang-Undang ini tentang prinsip-
prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang didasarkan pada tata kelola
pemerintahan yang baik karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrument
pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta penanggulangan dan
penegakan hukum wajib mengintegrasikan aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas, &
keadilan.

UUPPLH, dalam penjelasan umum, memandang hukum pidana sebagai upaya


terakhir (ultimum remedium) bagi tindak pidana formil tertentu, sementara untuk tindak
pidana lainnya yang diatur selain Pasal 100 UUPPLH, tidak berlaku asas ultimum remedium,
yang diberlakukan asas premium remedium (mendahulukan pelaksanaan penegakan hukum
pidana). Asas ultimum remedium menempatkan penegakan hukum pidana sebagai pilihan
hukum yang terakhir.7 Ketergantungan penerapan hukum pidana disandarkan pada keadaan
sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi, atau pelanggaran dilakukan lebih
dari satu kali.

Penegakan hukum pengelolaan lingkungan hidup saat ini masih sulit dilakukan oleh
karena sulitnya pembuktian dan menentukan kriteria baku kerusakan lingkungan.10 Upaya
penegakan hukum lingkungan hidup melalui hukum pidana adalah bagaimana tiga
permasalahan pokok dalam hukum pidana ini dituangkan dalam undang-undang yang sedikit
banyak mempunyai peran untuk melakukan rekayasa sosial (social engeneering) 11, yaitu
yang meliputi perumusan tindak pidana (criminal act), pertanggungjawaban pidana, dan
sanksi (sanction) baik pidana maupun tata-tertib.

Sesuai dengan tujuan yang tidak hanya sebagai alat ketertiban, hukum lingkungan
mengandung pula tujuan pembaharuan masyarakat (social engineering). Hukum sebagai alat
rekayasa sosial sangat penting dalam hukum lingkungan.12 8 Daud Silalahi, “Manusia
Kesehatan dan Lingkungan”, Jurnal Masalah Lingkungan Hidup, Mahkamah Agung RI,
1994, hlm. 1, 9 Dyah Adriantini Sintha Dewi, “Konsep Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Menuju Kemakmuran Masyarakat”, Jurnal Fakultas Hukum, Vol. 1 No. 1 Tahun 2012,
Universitas Muhammadiyah Magelang 10 Sutrisno, “Politik Hukum Perlindungan dan Pe-
ngelolaan Lingkungan Hidup”, Jurnal Hukum, No. 3 Vol. 18 Juli 2011, FH UII, hlm. 444-
464. 11 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Kapita Selekta Hukum Pidana, Semarang: Badan
Penerbit UNDIP, hlm. 253, 12 Helmi, “Hukum Lingkungan dalam Negara Hukum
Kesejahteraan Untuk Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan”, Inovatif;

Jurnal Ilmu Hukum, Vol 4. No. 5 Tahun 2011, hlm. 93-103 Tindak pidana lingkungan
hidup diatur dalam Bab XV, yang terdiri dari 23 pasal, dimulai dari Pasal 97 sampai dengan
Pasal 120 UUPPLH. Dalam Pasal 97 disebutkan, bahwa tindak pidana seba-gaimana
dimaksud pada Bab XV itu adalah kejahatan. Dengan demikian, mengenai kejahatan
terhadap lingkungan hidup diatur dalam bab tersebut. Di samping dalam UUPPLH, kejahatan
terhadap lingkungan hidup juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
misalnya dalam Pasal 187, Pasal 188, Pasal 202, Pasal 203, Pasal 502, dan Pasal 503 KUHP.
Kejahatan terhadap lingkungan hidup juga terdapat dalam peraturan perundangundangan di
luar KUHP dan diluar UUPLH. Misalnya (antara lain) dalam: Pasal 52 ayat (1) UU No. 5
Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria/UUPA; Pasal 31 UU No. 11
Tahun 1967 Tentang Pertambangan; Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1973 Tentang Landasan
Kontinen Indonesia; Pasal 15 UU No. 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan; Pasal 16 ayat (1)
UU No. 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia; Pasal 27 UU No. 5
Tahun 1984 Ten-tang Perindustrian; Pasal 24 UU No. 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan;
Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya; Pasal 78 UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan; dan Pasal 94 ayat (1)
dan (2) jo. Pasal 95 ayat (1) dan (2) UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
Kejahatan atau tindak pidana lingkungan hidup terdapat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan selain UUPLH dan KUHP.

Oleh karena itu, kecermatan dari para penegak hukum, terutama penyidik, penuntut
umum dan hakim sangat diperlukan dalam menemukan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan tindak pidana lingkungan hidup dalam berbagai macam peraturan
perundang-undangan itu. Dengan kata lain, peraturan perundangundangan mana yang akan
digunakan, tergantung pada terhadap sumber daya apa tindak pidana lingkungan hidup itu
dilakukan. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada hakikatnya adalah
penerapan prinsip–prinsip Kebijakan Hukum Pidana dalam Upaya Penegakan Hukum
Lingkungan Hidup 419 ekologi dalam kegiatan manusia terhadap dan atau yang berdimensi
lingkungan hidup.

C. Ketergantungan Hukum Pidana Pada Hukum Administrasi

Suatu perbuatan yang diatur dalam hukum pidana lingkungan untuk dapat dinyatakan
sebagai tindak pidana selalu dikaitkan dengan pengaturan lebih lanjut di dalam hukum
administrasi, oleh karena di dalam rumusan tindak pidana lingkungan, suatu perbuatan
dinyatakan sebagai suatu tindak pidana jika dilakukan bertentangan dengan persyaratan
administrasi (misalnya: syarat-syarat pemberian izin maupun kewajiban-kewajiban yang
harus dilaksanakan).

Adanya “ketergantungan administratif” pada hukum pidana lingkungan, terasa di


dalam praktek hukum, dan menimbulkan beberapa pertanyaan, diantaranya: 1. apakah hakim
(pidana) berhak menguji perbuatan hukum administratif (penguasa); (2) bagaimana ruang
lingkup/daya kerja suatu izin (lisensi) dalam tindak pidana lingkungan; (3) apakah izin
merupakan hal yang mengakibatkan „dimaafkannya‟ terhadap sifat dapat dipidananya suatu
perbuatan.

Peraturan perundang-undangan di bidang hukum lingkungan, sebagian besar


mengkaitkannya dengan perizinan. Mencemari dan/atau merusak lingkungan diperkenankan
karena telah didapatkan izin/lisensi administratif terlebih dahulu, artinya melakukan
pencemaran dan atau perusakan lingkungan (sebenarnya tanpa izin perbuatan tersebut
merupakan hal yang dilarang) diperbolehkan sepanjang hal tersebut dilakukan dengan cara-
cara sebagaimana dirinci dalam peraturan-peraturan tertentu ataupun dilakukan setelah
mendapatkan izin dari penguasa, karena dalam peraturan perundang-undangan hukum
lingkungan ada diatur syarat-syarat bagaimana pihak penguasa, melalui aturan-aturan umum
atau suatu sistem perizinan, dapat membiarkan atau membolehkan dilakukannya suatu tindak
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan tertentu.
Isu hukum yang perlu dijelaskan, yaitu apakah pencemaran dan atau perusakan
lingkungan yang terjadi karena melaksanakan izin yang diberikan, dapat diancam dengan
sanksi pidana?. Isu hukum tersebut dapat dijawab dengan melihat apakah telah terjadi
pelanggaran kewajiban-kewajiban administratif tertentu sebagaimana diatur di dalam
perundang-undangan lingkungan maupun yang tercantum dalam perizinan yang diberikan.

Selanjutnya, apakah izin yang dikeluarkan bertentangan dengan peraturan perundang-


undangan yang berlaku dan/atau tidak memenuhi persyaratan perizinan, izinnya dapat diuji
oleh hakim pidana?

Adanya ketergantungan hukum administrasi dari hukum pidana lingkungan,


menjadikan sifat dapat dipidananya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dibatasi
sedemikian rupa sehingga yang dikenakan sanksi atau yang dianggap sebagai tindak pidana
lingkungan yaitu melakukan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban.

Keterjalinan antara hukum pidana dengan hukum administrasi dalam hukum


lingkungan kepidanaan, delege lata, merupakan suatu fakta yang harus diterima
keberadaannya. Hakim (pidana) dalam mempertimbangkan sifat dapat dipidananya suatu
pencemaran dan atau perusakan lingkungan harus memeriksa pengaruh izin (lisensi) yang
diberikan, terutama karena izin ini merupakan salah satu faktor yang turut menentukan
apakah pencemaran tersebut merupakan tindak pidana atau bukan. Setelah itu, muncul lagi
suatu pertanyaaan penting, yaitu apakah hakim (pidana) dalam proses pemeriksaan
keabsahan perbuatan (hukum) administratif terikat pada dan harus tunduk terhadap hukum
administrasi ataukah ia (hakim pidana) berwenang secara otonom untuk menilai keabsahan
perbuatan hukum administrasi dari pemerintah yang berkaitan dengan pemberian izin?

Perlindungan terhadap obyek hukum lingkungan diberikan secara tidak langsung,


lingkungan hidup mendapat perlindungan hukum pidana, sepanjang terjadi suatu pelanggaran
terhadap kewajiban administrasi, artinya tidak semua tindak pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup dinyatakan sebagai tindak pidana. Tindak pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan dinyatakan sebagai tindak pidana apabila tindak tersebut pada saat yang sama
juga merupakan pelanggaran terhadap suatu aturan/ persyaratan (kewajiban-kewajiban)
hukum administrasi, seperti kewajiban-kewajiban yang dicantumkan dalam izin, atau
melakukan tindak tersebut dengan tidak memiliki izin.

D. Rumusan Delik Dalam Berbagai Perundang – Undangan Lingkungan Hidup.


a. UU NO 32 Tahun 2009
Delik materiel dalam ketentuan Undang Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat pada Pasal 98 dan Pasal 99, yaitu setiap
orang yang
dengan sengaja atau kelalaiannya melakukan:
auinya baku mutu udara ambien, baku mutu
air,
baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup

air,
baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dan mengakibatkan
orang
luka dan/atau bahaya kesehatan manusia

air,
baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup dan mengakibatkan
orang
luka berat atau mati
Delik materil juga terdapat dalam Pasal 112 UUPPLH 2009 yaitu Setiap pejabat
berwenang yang
dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab
usaha
dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran
dan/atau
kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia
Sedangkan perbutan yang dilarang yang masuk kategori delik formil dalam UU No
32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidupter dapat pada Pasal 100
s/d Pasal 111
dan Pasal 113 s/d Pasal 115 anyara lain:
h, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan;

hidup
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin lingkungan;

ghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan;

n/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan;

dengan
amdal atau UKL-UPL;
dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau
kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan;

informasi,
atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya
dengan
pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan
pengelolaan
lingkungan hidup;

pemerintah;
-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan
tugas
pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pegawai negeri sipil
b. UU NO 5 Tahun 1990
Delik dalam Undang-Undang ini, kualifikasi yuridis terdapat di Pasal 40 ayat 2
yang berbunyi: Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dan ayat (4) adalah pelanggaran.
1. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana pada Undang-Undang khusus ini terdapat
dalam Pasal 40 ayat 2 yang berbunyi:
“Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33
ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan
denda paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
Perumusan Pasal 40 ayat (2) di atas, tentang tindak pidana terhadap
hewan, pertanggungjawaban pidananya dikenakan kepada orang, hal ini
dapat dibuktikan dari Unsur Barangsiapa yang dimaksud Pasal 40 ayat (2)
yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah orang, hal ini
dipertegas dalam rumusan Pasal 59 KUHP bahwa dalam hal-hal di mana
karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota
badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan
pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan
pelanggaran tidak dipidana.
2. Masalah Pidana dan Pemidanaan
Dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 menganut sistem pidana
maksimal khusus dan jenis nya terdiri dari pidana penjara dan pidana denda
(menganut sistem perumusan ancaman pidana kumulatif menggunakan kata
“dan”, di mana hakim dalam manjatuhkan putusannya harus menjatuhkan
kedua sanksi pidana yang diatur dalam rumusan pasal yaitu pidana penjara
dan denda.
c. UU NO 5 Tahun 1992
Tindak Pidana atau delik yang diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42 Undang-
Undang 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup diklasifikasikan
sebagai Delik Materil (generic Crimes). 36 Ancaman hukuman bagi pelaku
pencemaran yang terkatagori Delik Materil ini adalah Pidana penjara paling lama 10
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 500.000.000,- jika dilakukan karena
kesengajaan. Sedangkan jika perbuatan tersebut menimbulkan kematian, ancaman
hukumannya adalah 15 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 750.000.000.-
Delik Meteril yang dilakukan karena kealpaan dapat diancam hukuman 3 tahun
penjara dan denda setinggi-tingginya Rp.100.000.000,-, dan bila perbuatan tersebut
menimbulkan kematian, pelakunya dapat diancam pidana penjara selamalamanya 5
tahun dan denda setinggi-tingginya Rp. 150.000.000.-. Ketentuan Hukum Pidana
dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baru sebagaimana
diuraikan di atas tidak hanya mengatur perbuatan pidana pencemaran dan perusakan
(generic crimes) atau delik materil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41-42, akan
tetapi mengatur juga perbuatan pidana pelepasan dan pembuangan zat atau komponen
lain yang berbahaya dan beracun serta menjalankan instalasi yang berbahaya dan
beracun atau delik formal sebagaimana diatur dalam Pasal 43-44.
d. Rancangan KUHP
Penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP)
menghilangkan ke-khas-an ketentuan pidana dalam UU 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). rumusan tindak
pidana lingkungan hidup jelas merupakan bentuk nyata upaya pelemahan penegakan
hukum pidana lingkungan. Hal mengabaikan perumusan sanksi pidana sebagai suatu
upaya untuk mencegah kerusakan sekaligus perlindungan terhadap lingkungan.
“Sistem perumusan sanksi pada tindak pidana lingkungan hidup jauh lebih longgar
dibandingkan yang dirumuskan UU PPLH, dimana ancaman pidana maksimal
diturunkan.
Selanjutnya, rumusan sanksi mempergunakan sistem alternatif, pidana penjara
atau denda, sedangkan pada UU PPLH ia dirumuskan secara kumulatif, sehingga
penjatuhan pidananya dilakukan secara sekaligus keduanya. Parahnya lagi, RKUHP
tidak lagi mempergunakan ukuran pemidanaan (strafmaat) dengan sistem minimal
khusus, yang berkonsekuensi penjatuhan pidana dengan ancaman pidana maksimal
khusus bisa dijatuhkan serendah-rendanhnya.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Penulis menyimpulkan bahwa dalam hal penegakan Hukum Pidana Lingkungan
haruslah diketahui terlebih dahulu pengertian penegakkan hukum pidana lingkungan ,
kemudian penerapan hukum pidana terhadap pelanggaran hukum lingkungan, dan
ketergantungan penegakan hukum pidana pada hukum administrasi. Serta yang harus di
ketahui adalah delik atau tindak pidana dalam berbagai Perundang-undangan lingkungan.
Setelah mengetahui apa yang menjadi rumusan masalahnya, maka selanjutnya adalah
menganalisa.
B. SARAN
Saya sebagai penulis, menyadari bahwa makalah ini banyak sekali kesalahan dan
sangat jauh dari kesempurnaan. Di harapkan kepada pembaca untuk bisa memberikan
saran dan kritikan yang membangun agar kedepannya bisa lebih baik lagi dan bisa
diterima di kalangan mahasiswa
DAFTAR PUSTAKA

1. Core.ac.uk.2020/TINDAK_PIDANA_LINGKUNGAN_HIDUP.pdf/di unduh tanggal


06/03/21
2. Media.neliti.com/kebijakan-hukum-pidana-sebagai-upaya-pen.pdf/ di unduh tanggal
06/03/21
3. So woong kim.2020/eprints.undip.ac.id/kebijkan-pidana.pdf/ di unduh tanggal 06/03/21
4. Wahana lingkungan hidup Indonesia.or.id/absurditas-tindak-pidana-lingkungan-hidup-
dalam-rkuhp/ di unduh tanggal 06/03/21
5. Training proper.com.2021/penegakan-hukum-lingkungan/di unduh tanggal 05/03/21
6. Alviprofdr.blogspot.com.2010/kesuksesan-membuat-orang-lain-sukses/di unduh tanggal
05/03/21
7. Dinamikahukum.fh.unsoed.ac.id.2020/kebijakan-hukum-pidana-dalam-upaya-
penegakan/di unduh tanggal 05/03/21

Anda mungkin juga menyukai