Anda di halaman 1dari 11

JAWABAN TUGAS HUKUM KRIMINOLOGI

Nama : Abetri Uya Octaviani Damanik

Nim : A1011191229

Kelas : A Reguler

Makul : Kriminologi

Tanggal : 10 Maret 2021

1. istilah Anomie diperkenalkan Emile Durkheim yang diartikan sebagai suatu keadaan
tanpa norma (the concept of anomie referred to onabsence of social regulation
normlessness).

Kemudian dalam buku The Division of Labor in Society (1893) Emile Durkheim
mempergunakan istilah anomie untuk mendeskripsikan keadaan “deregulation” di dalam
masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat pada
masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain dan keadaan
ini menyebabkan deviasi.

Menurut Emile Durkheim, teori anomie terdiri dari tiga perspektif, yaitu :

1. Manusia adalah mahluk sosial (man is social animal).


2. Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial (human being is a social animal).
3. Manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan keberadaannya sangat
tergantung pada masyarakat tersebut sebagai koloni (tending to live incolonies, and
his/her survival dependent upon moral conextions).

pada tahun 1938, Robert K. Merton mengadopsi konsep anomie Emile Durkheim
untuk menjelaskan deviasi di Amerika. Konsepsi Merton ini sebenarnya dipengaruhi
intelectual heritage (kondisi intelektual) Pitirin A.Sorokin (1928) dalam bukunya
Contemporary Sociological Theories dan Talcot Parsons (1937) dalam buku The
Structure of Social Action. Menurut Robert K. Merton, konsep anomie diredefinisi
sebagai ketidaksesuaian atau timbulnya diskrepansi/perbedaan antara cultural goals dan
institutional means sebagai akibat cara masyarakat diatur (struktur masyarakat) karena
adanya pembagian kelas. Karena itu, menurut John Hagan, teori anomie Robert K.
Merton berorientasi pada kelas.

2. Teori anomi dapat digunakan sebagai alat analisis untuk mencari penyebab orang
melakukan kejahatan siber (cyber crime). Teori anomi beranggapan bahwa kejahatan
muncul karena dalam masyarakat tidak ada norma yang mengatur suatu aktivitas tersebut
(normlesness). Berdasarkan uraian Agus Rahardjo, dalam praktik ada sekelompok orang
yang menolak kehadiran hukum untuk mengatur kegiatan di dunia maya (virtual).
Menurut kelompok ini, dunia virtual adalah ruang yang bebas sehingga pemerintah tidak
mempunyai kewenangan campur tangan dalam aktivitas tersebut, termasuk Hardianto
Djanggih dan Nurul Qamar, Penerapan Teori-Teori Kriminologi dalam Penanggulangan
Kejahatan... 21   mengatur dengan sarana hukum. Landasan pemikiran ini diilhami
oleh Declaration ofltidepence of Cyberspace dari John Perry Ballow dan Hacker
Manifesto dari Loyd Blankeship atau The Mentor. (Rahardjo, 1976:220). Selanjutnya
dijelaskan bahwa pendapat pro dan kontra tentang ada atau tidak adanya hukum yang
dapat mengatur kejahatan siber (cyber crime) tersebut berpangkal pada kesenjangan
antara karakteristik kejahatan dengan hukum pidana konvensional. Karakteristik
penggunaan internet sebagai basis kegiatan bersifat lintas batas sehingga sulit untuk
diketahui yurisdiksinya, padahal hukum pidana konvensnional yang berlaku di Indonesia
banyak yang bertumpu pada batasan-batasan tentorial. Ketentuan hukum pidana
konvensional tersebut temyata tidak dapat menyelesaikan kasus dalam aktivitas dan
internet secara optimal (Rahardjo, 1976:220). Namun demikian, karena saat ini sudah
banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang cyber crime, maka
sebenarnya anomi (yang diartikan sebagai ketiadaan norma secara objektif) tidak menjadi
dasar rasionalitas pelaku kejahatan siber (cyber crime). Tetapi, jika anomi diartikan
sebagai “anggapan” individu bahwa tidak ada norma (secara subjektif) tentang kejahatan
siber (cyber crime) di Indonesia maka teori dan anggapan tersebut dapat dipahami.
3. Kekurangan teori anomi ini adalah bisa disalah artikan oleh masyarakat berupa adanya
tanggapan yang berkaitan dengan anarki sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang
terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain
dan keadaan ini menyebabkan deviasi , yang mengalami kekacauan karena tidak adanya
aturan-aturan yang diakui bersama yang eksplisit ataupun implisit mengenai perilaku
yang baik, atau, lebih parah lagi, terhadap aturan-aturan yang berkuasa dalam
meningkatkan isolasi atau bahkan saling memangsa dan bukan kerja sama. essness, suatu
keadaan yang disebut anomie. Tingkat anomie semakin tinggi yang dialami oleh
individu, suatu kelompok atau komunitas akan dengan mudah menjurus pada tindakan
destruktif. Tindakan ini merupakan bentuk pelampiasan rasa tidak puas yang memuncak
yang merupakan salah satu manifestasi dari anomie itu sendiri. Tindakan destruktif yang
paling gawat adalah amuk massa yang meluas, yang dapat mengarah pada revolusi sosial
atau perubahan sosial.
Kelebihannya adalah Secara metodologis pendekatan konsep
anomie sebagai salah satu cara untuk memahami dan memecahkan
masalah sosial sebenamya sudah berkembang cukup jauh. Kelompok
penelitian anomie dari Swiss Institute of Development misalnya telah
mengembangkan seperangkat instrumen yang teruji melalui penelitian
di berbagai negara guna mengukur tingkat anomie. Sementara itu tindakan represif
sekalipun mendapatkan pembenaran secara yuridis dan legal tidaklah akan clapat
memberi penyelesaian yang langgeng terhadap masalah yang timbul sebagai reaksi
terenggutnya apa-apa yang dianggap masyarakat sebagai hak asasinya. Cara yang paling
arif untuk mengatasi masalah sosial adalah menghilangkan penyebab ketidakpuasan itu,
yang antara lain dengan cara mengembalikan kepada masyarakat segala sesuatu yang
sewajamya menjadi hak mereka.
4. Fenomena perilaku menyimpang dalam kehidupan bermasyarakat memang menarik
untuk dibicarakan. Penyimpangan social terhadap norma-norma atau nilai-nilai
masyarakat disebut deviasi (deviation), sedangkan pelaku atau individu yang melakukan
penyimpangan disebut devian (deviant). Penyimpangan sosial yang bersifat negatif
yangterjadi di dalam masyarakat bisa terjadi di sebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
longgarnya nilai dan norma dalam suatu masyarakat, sosialisasi yang tidak sempurna, dan
sosialisasi sub kebudayaan yang menyimpang atau lingkungan bermain. Di Kabupaten
Bintan, Kepulauan Riau juga tidak terlepas dari praktek prostitusi, hal ini di buktikan
dengan terdapatnya beberapa lokasi protitusi di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau baik
yang secara legal maupun illegal, kawasan prostitusi secara legal yakni berada di lokasi
lain di Jl. Tanjung Uban Km. 13, Desa Lancangkuning, Kecamatan Bintan Utara, Bintan
yang biasa di sebut dengan Bukit Senyum, sedangkan prostitusi secara illegal berada di
lokasi KM 24 kecamatan Toapaya Bintan, Kp. Lengkuas, kelurahan kijang kota,
kecamatan Bintan timur, dan Sungai Datuk, Kelurahan Kijang Kota, Kecamatan Bintan
Timur, serta di café-café malam yang tersebar di wilayah Bintan.( Wawancara Ketua RT
01 Sungai Datuk : Jum’at, 31 Desember 2015 : 10.25 WIB ) Pertumbuhan industri yang
mampu menyerap pekerja dalam jumlah banyak seharusnya menjadi sesuatu yang
menguntungkan bagi masyarakat karena tersedianya lapangan kerja yang memadai
dengan kebudayaan yang beragam dan membuka peluang bagi masyarakat untuk
berkembang karena kehadiran pendatang akan membutuhan sarana dan pra sarana untuk
tinggal dan menetap di daerah mereka seperti tempat tinggal, keperluan makan dan
minum yang akan menjadi peluang kerja baru bagi masyarakat. Namun pada
kenyataannya pertumbuhan penduduk yang cepat dengan adanya para pekerja pendatang
dari luar tidak sepenuhnya membawa dampak yang positif bagi masyarakat, masuknya
kebudayaan dan nilai-nilai baru pada masyarakat yang belum siap menerima akan
perubahan membuat nilai-nilai dan norma yang ada pada masyarakat menjadi pudar dan
bahkan menimbulkan gejala-gejala sosial yang timbul pada masyarakat Sungai Datuk,
Kelurahan Kijang kota, Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, Berdasarkan
pengamatan peneliti di lapangan atas fenomena yang terjadi, penulis tertarik mengangkat
masalah ini karena tempat prostitusi terletak dekat dengan pemukiman warga masyarakat,
serta praktek prostitusi sudah sering kali di bongkar namun praktek ini masih muncul lagi
dan lagi bahkan praktek prostitusi ini sudah sangat lama berdiri dikawasan
ini.Berdasarkan gejala-gejala sosial yang ditemui dilapangan dan melalui pengamatan,
maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: “ANOMIE (Studi Kasus
Praktik Prostitusi di Kawasan Sungai Datuk, Kelurahan Kijang kota, Kecamatan Bintan
Timur, Kabupaten Bintan).”
Kondisi ini kemudian menimbulkan suatu pilihan dari para warga masyarakat teersebut
untuk menyesuaikan diri tunduk kepada kenyataan atau menolak salah satu antara tujuan
dan cara yang terseda di dalam masyarakat yang bersangkutan. Robert K Merthon
mengemukakan lima model alternative penyesuaian diri terhadap keadaan anomie yaitu :
a. Conformity (Konformitas), yaitu suatu keeadaan dimana warga masyarakat tetap
menerima tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat karena adanya
tekanan moral.
b. Innovation (Inovasi), yaitu keadaan dimana tujuan yang terdapat di masyarakat di akui
dan di pelihara tetapi mereka mengubah sarana-sarana yang di pergunakan untuk
mencapai tujuan tersebut.
c. Ritualism (Ritualisme), yakni keadaan dimana wwarga masyarakat menolak tujuan
yang telah ddi tetapkan dan memilih sarana-sarana yang telah ddi tentukan.
d. Retreatism (Penarikan diri), yakni keadaan dimana warga masyarakat menolak tujuan
dan sarana sarana yang telah tersedia dalam masyarakat.
e. Rebellion (Pemberontakan), yakni suatu keadaan dimana tujuan dan sarana-sarana
yang terdapat dalam masyarakat di tolak dan berusaha untuk mengganti atau mengubah
seluruhnya.
Faktor Individu Sebagai makhluk sosial yang hidup bermasyarakat, seorang
individu harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Tidak semua
individu yang tinggal di tengah-tengah masyarakat bisa menyesuaikan diri dengan nilai
yang ada di lingkungan sosialnya, individu yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosialnya inilah yang akhirnya melakukan tindakan/perilaku yang
menyimpang yang dalam hal ini yakni menjadi pekerja seks komersial, perilaku
menyimpang yang bisa di sebabkan oleh faktor internal seperti kekecewaan dan faktor
eksternal seperti lingkungan, keluarga, dan pergaulan teman. Adanya dorongan untuk
memenuhi kebutuhan hidup, sebagai cara mengekspresikan rasa kesal, rasa penasaran
untuk mencoba, keinginan untuk mengikuti gaya hidup yang tinggi yang tidak sebanding
dengan kemampuan ekonomi yang dimiliki dan akhirnya memilih jalan tercepat dan
mudah untuk mendapatkan semuanya. Hal ini seperti yang di ungkapkan oleh informan
penelitian yang menjelaskan bahwa informan memilih bekerja sebagai pekerjaan seks
komersial di karenakan rasa kecewa karena sempat akan di janjikan akan di nikahin oleh
pacarnya, akan tetapi pacar informan malah kabur dengan perempuan lain dan membawa
kabur uang informan, dari sinilah informan merasa sakit hati dan mau menjajakan diri
karena informan ingin perempuan lain juga merasakan apa yang dia rasakan. Berbeda
halnya dengan informan sebelumnya, salah satu informan penelitian memilih pekerjaan
sebagai pekerja seks komersial di sebabkan oleh hasrat seksual yang tinggi, informan
mengakui bahwa ia sudah sering melakukan hubungan seksual bersama pacar maupun
teman informan sendiri, hal ini di lakukan informan sejak berusia 14 tahun, informan
yang memang memiliki banyak teman laki-laki dan sering ikut berkumpul dengan teman-
laki-lakinya di ajak menonton film bokep di rumah teman perempuannya. Meskipun
awalnya menolak informan mengaku bahwa ada keinginan yang tinggi yang membuat
informan mau melakukan hubungan seksual itu. Kebutuhan untuk memenuhi hasrat
seksualitas yang berlelebihan oleh informan disebabkan oleh kebiasaan individu
melakukan hubungan badan yang menyebabkan ketagihan, Seks merupakan salah satu
dari kebutuhan dasar manusia. Hasrat seksualitas timbul ini memotivasi manusia untuk
menanggulangi kebutuhan tersebut dengan ara mencari pelampiasan dalan hal kebutuhan
biologisnya. Namun pemenuhan hasrat seksualitas yang legal hanya dilakukan dengan
pasangan dalam sebuah ikatan pernikahan, sedangkan bagi individu yang belum/sudah
tidak terikat dalam ikatan pernikahan tentu menghambat penyaluran hasrat seksualitas
sehingga sebagian masyarakat memilih bekerja sebagai pekerja seks komersial untuk
memenuhi hasrat biologis seperti yang tertuang dalam buku screet of better seks, Joel D.
Block, PH. D, menekankan bahwa rasa ketagihan selalu membekas setelah berhubungan
seksual. Dari penjelasan informan dapat diketahui bahwa terjadi proses penarikan budaya
yang tidak sesuai dengan tujuan budaya pada masyarakat tersebut dan informan
penelitian ini juga memilih jalan yang tidak sesuai dengan nilai dan norma dan budaya
yang di anut oleh masyarakat dengan cara menjajakan diri mereka. Hal ini sejalan dengan
konsep yang ditawarkan oleh Robert K Merton yakni Retreatism (Penarikan diri) yakni
keadaan ketika individu atau warga masyarakat menolak baik tujuan kebudayaan maupun
cara-cara yang telah tersedia dalam masyarakat (Jalaludin, 2004:149). Dalam hal ini
pekerja seks komersial ini mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan tidak sesuai
dengan nilai dan norma dalam masyarakat namun mereka tetap memilih jalan tersebut
untuk memenuhi hasrat yang ada di dalam diri mereka seperti melampiaskan rasa kecewa
terhadap pasangan.
Faktor Ekonomi Kebutuhan ekonomi mampu memaksa individu untuk melakukan
cara apapun dalam mendapatkan materi meski dengan cara-cara yang menyimpang
seperti bekerja sebagai pekerja seks komersial. Hal ini akibat dari pemenuhan kebutuhan
yang tidak terlepas dari tujuan buadaya dalam masyarakat yang di ukur dari segi materi.
Helen Buckingham dalam Sutrisno (2005: 343), perempuan menghargai dirinya sendiri
dan menolong dirinya sendiri dengan bekerja untuk dirinya sendiri, nampak pada
profesinya sebagai pelacur. Sebagai pelacur merupakan tempat untuk pertama kalinya
seorang perempuan memperoleh penghasilan yang modalnya adalah tubuhnya sendiri,
menjual dirinya sendiri dalam kedudukan ekonomi yang sulit. Lanjut dikatakan pula
bahwa perempuan memanfaatkan tubuhnya untuk meraup lembaran uang, sehingga
mendapatkan julukan penjaja seks oleh masyarakat. Predikat yang dimiliki perempuan
sebagai penjaja seks tidak semakin membatasi ruang gerak privat dariperempuan, bahkan
semakin mantap melangkah menekuni pekerjaan sebagai penjaja seks. Berdasarkan
wawancara dari informan kita bisa mengetahui bahwa informan penelitian memilih
bekerja sebagai pekerja seks komersial untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan
keluarganya, meskipun harus menggunakan tubuh mereka sebagai sarana mencari uang.
Pemilihan pekerjaan sebagai pekerja seks komersial sebagai bentuk inovasi. Hal ini
sesuai dengan konsep yang di tawarkan oleh Robert K Merton Inovasi, yaitu kedaan
ketika individu atau warga masyarakat menerima tujuan kebudayaan masyarakatnya
tetapi dalam hal mencapai tujuan tersebut mereka tidak menggunakan cara-cara yang
telah melembaga tetapi menggunakan cara-cara lain yang tidak legal (Jalaludin,
2004:149).Dalam proses inovasi individu menerima tujuan budaya yang ada dalam
masyarakat namun mereka memilih cara-cara yang tidak sesuai dengan nilai dan norma
yang ada dalam masyarakat, dalam hal ini yaitu bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial.
Adanya tujuan dalam suatu budaya masyarakat sebagai ukuran dalam penghargaan
kepada individu serta terbatasnya kesempatan untuk menapai tujuan dari masyarakat
membuat individu lebih jeli dalam melihat peluang untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Peranan individu yang tidak sesuai dengan peran yang seharusnya dianggap
sebagai suatu penyimpangan. Definisi tentang perilaku menyimpang bersifat relatif,
tergantung dari masyarakat yang mendefenisikannya, nilai-nilai budaya dari suatu
masyarakat, dan masa, zaman, atau kurun waktu tertentu (Narwoko, 2010:102).
Prostitusi merupakan salah satu perilaku menyimpang yang memiliki makna
melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan yang bukan istri atau
suaminya yang pada umumnya mereka mendapatkan uang setelah melakukan hubungan
badan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di kawasan Sungai Datuk kelurahan
Kijang Kota, dapat disimpulkan bahwa praktek prostitusi yang terjadi di kawasan Sungai
Datuk di sebabkan oleh beberapa faktor, baik dari segi faktor internal maupun faktor
eksternal yaitu gaya hidup hedonisme, faktor individu yang disebabkan rasa kecewa dan
kelainan seks (Hypersex), faktor ekonomi, serta aturan yang longgar. Ketiga faktor
tersebut didukung oleh faktor yang terakhir yakni aturan yang ada di Sungai Datuk
kelurahan Kijang Kota yang longgar baik dari masyarakat setempat maupun apparat
pemerintahan sehingga praktek prostitusi ini masih bertahan hingga saat ini. 2. Saran
Berdasarkan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan dalam rangka memahami
penyebab prostitusi, peneliti memberikan saran beberapa hal sebagai berikut: a. Kepada
Pekerja Seks Komersial (PSK) yang berada dikawasan Sungai Datuk kelutahan Kijang
Kota, perlu diberikan pemahaman yang lebih luas dan mendalam dan pendekatan secara
individual kepada pekerja seks komersial tentang prinsip kemandirian b. Kepada
Pemerintah yang bersangkutan, sebagai tanggung jawab sosial, pemerintah untuk
melakukan program pendidikan dan pemberdayaan secara sunggunh -sungguh bukan
hanya bersifat sementara.. c. Kepada masyarakat Sagar lebih peduli kepada lingkungan
social dan membantu pemerintah dalam bentuk pengawasan, menjalin kerja sama yang
baik antara masyarakat dan perintah guna terwujudnya keharminisan dan kenyamanan
bersama.
5. Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan
termasuk bidang kebijakan kriminal. Kebijakan kriminal ini pun tidak terlepas dari
kebijakan yang lebih luas, yaitu 29 kebijakan sosial yang terdiri dari kebijakan atau
upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial dan kebijakan atau upaya-upaya untuk
perlindungan masyarakat. (Barda Nawawi Arief (2007:77) Kebijakan penanggulangan
kejahatan dilakukan dengan menggunakan sarana ”penal” (hukum pidana), maka
kebijakan hukum pidana khususnya pada tahap kebijakan yudikatif harus memperhatikan
dan mengarah pada tercapainya tujuan dari kebijakan social itu berupa ”social welfare”
dan “social defence”. (Barda Nawawi Arief (2007:77) Lain halnya menurut Baharuddin
Lopa (2001:16) bahwa “upaya dalam menanggulangi kejahatan dapat diambil beberapa
langkah-langkah terpadu, meliputi langkah penindakan (represif) disamping langkah
pencegahan (preventif).”
Langkah-langkah preventif menurut Baharuddin Lopa, (2001:16-17) itu meliputi :
a) Peningkatan kesejahteraan rakyat untuk mengurangi pengangguran, yang dengan
sendirinya akan mengurangi kejahatan.
b) Memperbaiki sistem administrasi dan pengawasan untuk mencegah terjadinya
penyimpangan-penyimpangan.
c) Peningkatan penyuluhan hukum untuk memeratakan kesadaran hukum rakyat.
d) Menambah personil kepolisian dan personil penegak hukum lainnya untuk lebih
meningkatkan tindakan represif maupun preventif.
e) Meningkatan ketangguhan moral serta profesionalisme bagi para pelaksana penegak
hukum.
Penanggulangan kejahatan adalah mencakup kegiatan mencegah sebelum terjadi dan
memperbaiki pelaku yang dinyatakan bersalah dan dihukum di penjara atau lembaga
permasyarakatan. Tetapi menurut Pery bahwa efektifitas kejahatan hanya mungkin dapat
dicapai dengan memulai keikutsertaan masyarakat secara meluas meliputi kesadaran dan
ketertiban yang nyata. Dalam penanggulangan kejahatan ini, ada upaya yang dapat
ditempuh untuk menyelesaikannya yaitu:
1) Pre-Emtif Yang dimaksud dengan upaya Pre-Emtif adalah upaya-upaya awal yang
dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjaginya tindak pidan. Usaha-usaha
yang dilakukan dalam penanggulangan kejahatan pre-entif adalah menanamkan nilai-
nilai/ norma-norma yang baik sehingga norma-norma tersebut tersebut terinternalisasi
dalam diri seseorang. Meskipun ada kesempatan untuk melakukan 31
pelanggaran/kejahatan tapi tidak ada niatnya untuk melakukan hal tersebut maka tidak
adakn terjadi kajahatan. Jadi dalam usaha pre entif faktor niat menjadi hilang meskipun
ada kesempatan. Cara pencegah ini berasal dari teori NKK, yaitu; niat + kesempatan
terjadi kejahatan. Contohnya : ditengah malam pada saat lampu merah lalu lintas menyala
maka pengemudi itu akan berhenti dan mematuhi aturan lalu lintas tersebut meskipun
pada waktu itu tidak ada polisi yang berjaga. Hal ini selalu terjadi dibanyak negara
seperti singapura, sydney, kota besar lainnya di dunia, jadi dalam upaya pre-entif faktor
NIAT tidak terjadi.
2) Preventif Upaya-upaya preventif ini adalah merupakan tindak lanjut dari upaya pre-
entif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan. Dalam upaya
preventif yang ditekankan adalah menghilangkan kesempatan untuk melakukan
kejahatan. Solusi preventif adalah berupa cara-cara yang cenderung mencegah kejahatan.
Solusi supresif adalah cara-cara yang cenderung menghentikan kejahatan sudah mulai,
kejahatan sedang berlangsung tetapi belum sepenuhnya sehingga kejahatan dapat
dicegah. Solusi yang memuaskan terdiri dari pemulihan atau pemberian ganti kerugian
bagi mereka yang menderita akibat kejahatan. Sedangkan solusi 32 pidana atau hukuman
juga berguna, sebab setelah kejahatan dihentikan pihak yang dirugikan sudah mendapat
ganti rugi, kejahatan serupa masih perlu dicegah entah dipihak pelaku yang sama atau
pelaku lainnya. Menghilangkan kecendrungan untuk mengulangi tindakan adalah suatu
reformasi. Solusi yang berlangsung kerena rasa takut disebut hukuman. Entah
mengakibatkan ketidakmampuan fisik atau tidak, itu tergantung pada bentuk
hukumannya. Hal tersebut terkait dengan pandangan Jeremy Bentham (2006:307) bahwa
yang mengemukakan bahwa “Tujuan hukuman adalah mencegah terjadinya kejahatan
serupa, dalam hal ini dapat memberi efek jera kepada pelaku dan individu lain pun untuk
berbuat kejahatan”. Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana
masyarakat itu ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu
berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun. Segala
daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan atau menguranagi
meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar dapat kembali sebagai
warga masyarakat yang baik. Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan,
tidaklah sekedar mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat,
tapi harus diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi yang 33 menguntungkan
bagi kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi
dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi kejahatan. Hal
itu menjadi tugas dari setiap kita, karena kita adaIah bagian dari masyarakat. Contohnya :
ada orang ingin mencuri motor tetapi kesempatan itu dihilangkan karena motor-motor
yang ada ditempatkan di tempat tidak terjadi kejahatan, jadi dalam upaya preventif
KESEMPATAN di tutup.
3) Represif Upaya ini dilakukan telah terjadi tindak pidana/kejahatan yang tindakannya
berupa penegakan hukum (law enforcemenet) dengan menjatuhkan hukuman pada
pelaku.

Anda mungkin juga menyukai