Anda di halaman 1dari 15

KRIMINOLOGI DALAM PRESFEKTIF SOSIOLOGI

Disusun sebagai tugas mandiri mata kuliah Kriminologi

Oleh : Dendi Hidayat

Definisi Sosiologi Kriminalitas

Sosiologi pertama kali di cetuskan oleh Auguste Comte yaitu seorang berkewarga
negaraan Prancis, ia menyatakan bahwa sosiologi merupakan A General Social Science
atau dapat disebut ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang bersifat umum atau ilmu
pengetahuan yang mempelajari masyarakat dengan segenap aspeknya. Pengertian ini
menempatkan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang dapat mempelajari apa pun tentang
kehidupan masyarakat, baik aspek yang bersifat fisik, ekonomi, psikologi, sosial, ataupun
budaya.

Menurut menurut David Barry, berpendapat bahwa dengan mempelajari sosiologi


berarti mempelajari masyarakat, kelompok, ataupun kolektivitas secara utuh karena
kolektivitas sosial merupakan fenomena yang berdiri sendiri, memiliki pola keteraturan
sendiri yang berbedadengan fenomena individual.1

Adapun pengertian kriminalitas sendiri atau tindak kriminal adalah segala sesuatu
yang melanggar hukum atau tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas yang disebut seorang
kriminal (orang-orang yang bertindak diluar aturan yang menimbulkan korban). Selama
kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh hakim, orang tersebut disebut seorang
terdakwa, seseorang tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti. Sementara itu, pelaku

1
Ende Hasbi, 2016, Kriminologi, CV Pustaka Setia, Bandung. Hlm 166.
tindak kriminal yang dinyatakan bersalah sebelum dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan
harus menjalani hukuman, disebut sebagai terpidana atau narapidana.

Menurut W.A Bonger (1983), kejahatan dipandang dari sebagai sosiologis. Kejahatan
adalah salah satu jenis gejala sosial, yaitu kelakuan yang asocial dan amoral yang tidak
dikehendaki oleh kelompok pergaulan dan secara sadar ditentang oleh pemerintah.
Berdasarkan pengertian sosiologi dan kriminalitas maka dapat disimpulkan bahwa sosiologi
kriminalitas adalah disiplin ilmu cabang sosiologi yang mempelajari keterkaitan antara
aspek-aspek sosial yang menyangkut jaringan hubungan antarmanusia, dan perilaku
melanggar budaya, nilai dan norma sosial yang merugikan pihak lain, atau melahirkan
penderitaan pada pihak lain.

Klasifikasi Perbuatan kejahatan

Dalam beberapa pandangan perbuatan jahat dapat sebagai dikatakan kejahatan adalah
sebagai berikut :

a. Secara sosiologis, kejahatan merupakan pola tingkah laku yang merugikan


masyarakat (korban) dan pola perilaku yang mendapatkan reaksi sosial dari
masyarakat, yang dapat berupa reaksi formal maupun informal, dan reaksi informal.
b. Secara yuridis, kejahatan merupakan tindakan atau pola perilaku manusia yang
melanggar undang-undang atau ketentuan yang berlaku dan diakui.
c. Secara kriminologi, kejahatan merupakan setiap tindakan perbuatan tertentu yang
tidak disetujui oleh masyarakat. Maka dari itu setiap perbuatan yang anti sosial,
merugikan, serta menjengkelkan masyarakat, secara kriminologi dapat dikatakan
sebagai kejahatan.2

22
Ende Hasbi, 2016, Kriminologi, CV Pustaka Setia, Bandung. Hlm 167
Sifat Perbuatan Kejahatan dalam Pandangan Sosiolog

Menurut G. Peter Hoefnagels ia mengemukakan bahwa kejahatan bersifat relative,


menurutnya Tingkah laku didefinikan sebagai kejahatan oleh manusia-manusia yang tidak
mengkualifikasikan diri sebagai penjahat jadi dapatlah dijelaskan bahwa dalam konteks ini
kejahatan adalah bersifat abstrak yang tidak terlihat dan tidak dapat diraba namun akibatnya
dapat dirasakan.

Teori Kejahatan dalam Prespektif sosiologis

a. Teori Strain
Menurut Emile Durkheim, cara mempelajari masyarakat adalah dengan
melihat bagian-bagian komponennya untuk mengetahui bagian-bagian komponen
tersebut berhubung satu dengan yang lainnya. Dapat dikatakan apabila
masyarakatnya stabil, bagian-bagiannya beroperasi secara lancar sehingga susunan-
susunan sosial berfungsi. Masyarakat seperti itu ditandai dengan keterpaduan, kerja
sama, dan kesepakatan. Tetapi apa bila bagian-bagian komponennya tertata dalam
keadaan membahayakan keteraturan/ketertiban sosial, susunan masyarakat tersebut
disfungtional (tidak berfungsi).3
b. Teori Penyimpangan budaya (Cultural Deviance Theories)
Teori ini memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai yang khas pada
lower class (kelas bawah). Adapun teori dari cultural deviance theories ini dibagi
kedalam tiga bagian yaitu:

1) Theory Sosial Disorganization

3
Ende Hasbi, 2016, Kriminologi, CV Pustaka Setia, Bandung. Hlm 169-171.
Teori ini memfokuskan diri pada perkembangan area-area yang angka
kejahatannya tinggi berkaitan dengan disintegrasi nilai-nilai konvensional yang
disebabkan industrialisasi terlalu cepat, peningkatan imigrasi dan urbanisasi.

2) Theory Differential Association


Teori ini menyatakan bahwa orang belajar melakukan kejahatan sebagai
akibat hubungan dengan nilai dan sikap anti sosial, serta pola-pola tingkah laku.

3) Theory Culture Conflict


Teori ini menegaskan bahwa kelompok yang berlainan belajar aturan yang
mengatur tingkah laku yang berbeda, yang mungkin berbenturan dengan aturan
konvensional kelas menengah.

Pada ketiga teori ini menjelaskan bahwa penjahat dan delinquent kenyataannya
tidak menyesuiankan diri pada nilai konvensional, tetap pada norma-norma yang
menyimpang dari nilai-nilai kelompok dominan.

c. Teori Kontrol Sosial

Menurut teori ini penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan control


atau pengendalian sosial. Teori ini dibuat atas dasar pandangan bahwa setiap manusia
cenderung untuk tidak patuh pada hukum. Maka dari itu para ahli teori ini menilai
perilaku manyimpang sebagai konsekuensi logis dari kegagalan seseorang untuk
menaati hukum.

Teori kontrol sosial mempunyai pendekatan berdasarkan asumsi bahwa


motivasi melakukan kejahatan merupakan bagain dari umat manusia, sebagai
konsekuensinya, teori control sosial mencoba menemukan jawaban mengapa orang
tidak melakukan kejahatan. Teori-teori control sosial mengkaji kemampuan
kelompok dan lembaga sosial membuat aturan yang efektif.
d. Teori Label

Tokoh yang mengembangkan teori ini ialah Howard S. Becker dan Edwin
Lemert. Pembahasan teori label menekankan pada dua hal, yaitu4:

Menjelaskan permasalahan mengapa dann bagaimana orang-orang


tertentu diberi Label.
Pengaruh dari label tersebut sebagai suatu konsekuensi dari perbuatan
yang telah dilakukan.

Menurut Becker, bahwa kejahatan terbentuk karena aturan-aturan lingkungan,


sifat individual, dan reaksi mayarakat terhadap kejahatan. Para penganut teori label
sepakat bahwa proses pemberian label merupakan penyebab seseorang untuk menjadi
jahat. Dalam teori label ini ada dua hal yang perlu diperhatikan yaitu :

Adanya label akan menimbulkan perhatian masyarakat terhadap orang-


orang yang diberi label.
Adanya label mungkin akan diterima oleh individu tersebut dan beusaha
untuk menjalani sebagaimana label yang dilekatkan dirinya.

Adapun yang menjadi permasalahan teori label adalah reaksi dari masyarakat.
Seseorang diberi label akan merasa bahwa orang-orang disekelilingnya telah
mengetahui perbuatannya, dan hal ini sering menyebabkan si penerima label merasa
selalu diawasi. Reaksi dari pemberian label kepada seseorang akan berbeda antara
orang yang satu dengan yang lainnya. Setiap orang mempunyai perasaaan yang
berbeda-beda terhadap label yang diterimannya, ada kemungkinan seseorang itu akan
merealisasikan label yang melekat pada dirinya dikarenakan sikap pasrah atas label
yang diterimanya ia akan selalu beranggapan bahwa status yang melekatnya itu sudah
tidak dapat diubah lagi maka dari itu ia akan dengan mudah merealisasikan kembali
perbuatan jahatnya itu.

4
Anang Prianto, 2012, Kriminologi, Yogyakarta, Ombak dua. Hlm 28-29
Teori label diklasifikasikan sebagai teori mikro, karena hanya memusatkan
perhatiannya pada efek reaksi sosial terhadap tingkah laku seseorang.

e. Teori Anomie
Teori anomie dikemukakan oleh Robert. K. Merton teori ini berorientasi pada
kelas konsep anomi sendiri diperkenalkan oleh sorang sosiolog perancis yaitu Emile
Durkheim yang mendefinisikan keadaan tanpa norma (deregulasi/deregulation)
dalam masyarakat, dari keadaan ini akan menimbulkan deviasi atau penyimpangan.
Oleh K. Merton konsep ini diformulasikan untuk menjelaskan keterkaitan
anatara kelas sosial dengan kecenderungan adaptasi sikap dan perilaku kelompok.
Kata anomie sendiri digunakan dalam suatu masyarakat yang mengalami kekacauan
karena ketiadaan aturan yang diakui bersama maka dari itu secara eksplisit karena
ketiadaan aturan ini menimbulkan perilaku masyarakat yang isolasi atau bahkan
saling memangsa dan bukan kerja sama.
Dalam teorinya Merton melihat bahwa tahap-tahap tertentu dari struktur
sosial akan meningkatkan keadaan dimana pelanggaran terhadap aturan-aturan
masyarakat akan menghasilkan tanggapan yang normal. Merton menunjukan
bahwa beberapa struktur sosial dalam kenyataannya telah membuat orang-orang
tertentu dimasyarakat untuk bertindak menyimpang daripada mematuhi norma-norma
sosial.
Merton mengemukakan bahwa dalam setiap masyarakat terdapat tujuan-
tujuan tertentu yang ditanamkan kepada seluruh warganya. Untuk mencapai tujuan
tersebut terdapat sarana-sarana yang dapat dipergunakan, tetapi dalam kenyataannya
tidak setiap orang dapat mempergunakan sarana-sarana yang tersedia. Hal ini
menyebabkan penggunaan cara yang tidak sah dalam mencapai tujuan. Namun dalam
perkembangannya Merton tidak lagi menekankan pada tidak meratanya sarana-sarana
serta perbedaan struktur kesempatan. Tidak meratanya sarana-sarana yang tersedia,
tetapi lebih pada perbedaan struktur kesempatan akan menimbulkan frudtasi
dikalangan warga yang yang tidak mempunyai kesempatan dalam mencapai tujuan,
sehingga menimbulkan konflik, ketidak puasan, frustasi dan penyimpangan-
penyimpangan yang berakibat pad timbulnya keadaan dimana para warga tidak lagi
mempunyai ikatan yang kuat terhdap tujuan serta sarana-sarana atau kesempatan-
kesempatan yang terdapat dalam masyarakat, dan hal ini dinamakan anomi.
Kemudian Merton mengemukakan lima cara untuk mengatasi keadaan anomi.
Ketatan (conformation), yaitu suatu keadaan dimana warga masyarakat
tetap menerima tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam
masyarakat karena adanya tekanan moral.
Inovasi (innovation), yaitu suatu keadaan dimana tujuan yang terdapat
dalam masyarakat diakui dan dipelihara, tetapi mereka mengubah
sarana-sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Ritualisme (ritualism), yaitu suatu keadaan dimana masyarakat menolak
tujuan yang telah ditetapkan dan memilih sarana-sarana yang telah
ditentukan.
Penarikan diri (self-withdrawal), yaitu keadaan dimana para warga
menolak tujuan dan sarana-sarana yang telah tersedia dalam
masyarakat.
Pemberontakan (rebellion), adalah suatu keadaan dimana tujuan dan
sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat ditolak dan berusaha
untuk mengubah seluruhnya .5

f. Teori Power Conflict


Teori ini didasarkan atas pandangan Marx, teori ini melihat adanya manifestsi
power dalam suatu institusi yang menyebabkan terjadinya penyimpangan, dan intitusi
tersebut memiliki kemampuan untuk mengubah norma, status, kesejahteraaan, dan
lain sebagainya yang kemudian berkonflik dengan individu. Marx menulis mengenai
alienasi, dan ia menyatakan bahwa dunia modern dapat dikatakan sangat toleran

5
Anang Prianto, 2012, Kriminologi, Yogyakarta, Ombak dua. Hlm 22-25
terhadap perbedaan, tetapi sangat takut terhadap konflik sosial. Meskipun demikian
dunia modern tidak menginginkan adanya penyimpangan diantara mereka.

g. Teori Imitasi (Peniruan)

Gabriel Tarde (1843-1904) seorang ahli hukum dan sosiologi menurut


pendapatnya kejahatan bukan suatu jejak yang antropologis tapi sosiologis yang
seperti kejadian-kejadian masyarakat lainnya yang dikuasai oleh faktor imitasi.

Kata imitasi berasal dari bahasa inggris to imitate yang berarti mencontoh,
mengikuti suatu pola, istilah imitasi ini secara populer di artikan secara meniru.
Menurut Tarde masyarakat tidak lain dari pengelompokan manusia. Di mana
individu mengimitasi individu yang lain dan sebaliknya. Pendapat Tarde tersebut
lebih memandang bahwa suatu factor yang memegang peranan penting pergaulan
sosial antara lain manusia dan lingkungannya.

Gabriel Tarde beranggapan bahwa seluruh kehidupan sosial sebenarnya


berdasarkan faktor imitasi. Walaupun pendapat ini ternyata berat sebelah, peranan
imitasi dalam interaksi sosial itu tidak kecil. Misalnya bagaimana seorang anak
belajar berbicara. Mula-mula ia mengimitasi dirinya sendiri kemudian ia
mengimitasi kata-kata orang lain. Ia mengartikan kata-kata juga karena
mendengarnya dan mengimitasi penggunaannya dari orang lain. Lebih jauh, tidak
hanya berbicara yang merupakan alat komunikasi yang terpenting, tetapi juga cara-
cara lainnya untuk menyatakan dirinya dipelajarinya melalui proses imitasi.
Misalnya, tingkah laku tertentu, cara memberikan hormat, cara menyatakan terima
kasih, cara-cara memberikan isyarat tanpa bicara, dan lain-lain.

Selain itu, pada lapangan pendidikan dan perkembangan kepribadian individu,


imitasi mempunyai peranannya, sebab mengikuti suatu contoh yang baik itu dapat
merangsang perkembangan watak seseorang. Imitasi dapat mendorong individu
atau kelompok untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik.
Peranan imitasi dalam interaksi social juga mempunyai segi-segi yang negatif.
Yaitu, apabila hal-hal yang diimitasi itu mungkinlah salah atau secara moral dan
yuridis harus ditolak. Apabila contoh demikian diimitasi orang banyak, proses imitasi
itu dapat menimbulkan terjadinya kesalahan kolektif yang meliputi jumlah serba
besar.

Selain itu, adanya proses imitasi dalam interaksi sosial dapat menimbulkan
kebiasaan di mana orang mengimitasi sesuatu tanpa kritik, seperti yang berlangsung
juga pada faktor sugesti. Dengan kata lain, adanya peranan imitasi dalam interaksi
sosial dapat memajukan gejala-gejala kebiasaan malas berpikir kritis pada individu
manusia yang mendangkalkan kehidupannya.

Menurut pendapatnya bahwa yang menjadi sebab kejahatan bukalah dicari


pada orangnnya, akan tetapi pada lingkungan (milieu) yang buruk, keadaan
masyarakat disekitarnya yang mempengaruhi terjadinya kejahatan, misalnya
kemiskinan, kepadatan penduduk dan sebagainya. Dalam aliran ini G. Tarde
mengajarkan bahwa kejadian-kejadian didalam masyarakat itu dipengaruhi oleh
hukum peniruan (lois de Iimitation) dan W.A Bonger yang mengajarkan bahwa
pengaruh lingkungan yang terpentin adalah keadaan ekonomi menjadi sebab
timbulnya kejahatan. 6

Tindakan dan Jenis Kejahatan dalam Pandangan Sosiologi

1. Tindakan Kriminal/Kejahatan
Menurut Kartini Kartono, kriminalitas atau kejahatan bukan merupakan peristiwa
herediter (bawaan sejak lahir, warisan) bukan juga warisan biologis. Tingkah laku
kriminalitas itu dapat dilakukan oleh siapapun juga baik wanita atau pria, dapat berlangsung
pada usia anak, dewasa, ataupun lanjut usia.

6
Bambang Poernomo,Asas-asas Hukum Pidana,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993. Hlm 41-42
Tindakan kejahatan dapat dilakukan secara sadar, misalnya didorong oleh implus-
implus yang hebat dorongan paksaan yang sangat kuat (kompulsi) dan obsesi-obsesi.
Kejahatan dapat juga dilakukan secara tidak sadar sama sekali. Misalnya, karena terpaksa
untuk mempertahankan hidupnya, seseorang harus melawan dan terpaksa membalas
menyerang sehingga terjadi peristiwa pembunuhan.

Noach melihat kriminalitas dari dua sisi berikut :7


a. Sisi Perbuatannya
Dilihat dari perbuatannya, kriminalitas dapat dikelompokan dalam dua kelompok
yaitu:
1) Cara perbuatan ini ,dilakukan.
(a) Perbuatan dilakukan dengan cara si korban mengetahui baik perbuatannya
maupun pelakunya. Tidak menjadi maslah apakah si korban sadar bahwa
itu adalah suatu tindak pidana atau bukan.
(b) Perbuatan dilakukan dengan menggunakan sarana seperti bahan kimia,
perlengkapan, dan sebagainya atau tanpa sasaran.
(c) Perbuatan dilakukan dengan menggunakan kekerasan atau dilakukan
dengan biasa.
2) Benda hukum yang dikenai atau menjadi objek delik, misalnya kejahatan
terhadapnyawa, kejahatan terhadap kekuasaan umum dan sebagainya.
b. Sisi Pelakunya
Dilihat dari sisi pelakunya, kriminalitas dapat dibagi menurut motif si pelaku,
alasan melakukan kejahatan dan sifat dari sipelaku sendiri. Lambroso
mengklasifikasi penjahat sebagai berikut :
1) Penjahat bawaan (born criminal)
2) Penjahat karena sakit jiwa
3) Penjahat karena hati panas (passion)
4) Penjahat karena kesempatan, yang dapat dibagi lagi menjadi tiga jenis yaitu :

7
W.M.E. Noach, 1992, Kriminologi Suatu Pengantar, Bandung, Citra Aditya Bakti. Hlm. 66.
(a) Penjahat bukan sebenarnya (psudo criminal)
(b) Penjahat karena kebiasaan
(c) Kriminoloid

Penyebab Kejahatan dalam Pandangan Sosiologi

Penyebab kejahatan dalam pandangan sosiologi terbagi atas tiga kelompok pendapat,
yaitu:

a. Kriminalitas itu disebabkan pengaruh yang terdapat di luar diri pelaku


b. Kriminalitas merupakan akibat dari bakat jahat yang terdapat di dalam diri pelaku
sendiri.
c. Kriminalitas itu disebabkan, baik karena pengaruh di luar pelaku maupun karena
sifat atau bakat sipelaku.

Menurut W.A Bonger, bakat merupakan hal yang konstan atau tetap dan lingkungan
adalah faktor variabelnya. Penyebabnya yaitu sebagai berikut.8

a. Hubungan langsung antara keadaan ekonomi dan kriminalitas mendasarkan pada


perbandingan masyarakat modern yang serba kompleks sebagai produk kemajuan
teknologi, mekanisasi, industrialisasi, dan urbanisasi sehingga memunculkan
banyak masalah sosial.
b. Dalam perkembangannya masyarakat seperti ini, pengaruh budaya di luar system
masyarakat sengat memngaruhi perilaku anggota masyarakat itu sendiri, terutama
anak-anak. Lingkungan, khususnya lingkungan sosial mempunyai peranan yang
sangat bersar terhadap pembentukan perilaku anak-anak termasuk perilaku jahat
yang dilakukan oleh anak-anak.
c. Dari berbagai media massa, baik elektronik maupun cetak, kita mendengar dan
mengetahui adanya kejahatan atau perilaku jahat yang dilakukan oleh anggota
masyarakat. Pelaku kejahatan pelaku perilaku kejahat dimasyarakat tidak hanya

8
Ende Hasbi, 2016, Kriminologi, CV Pustaka Setia, Bandung. Hlm 184.
dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan
oleh anggota masyarakat masih anak-anak atau yang biasa kita sebut sebagai
kejahatan anak atau perilaku jahat anak.
d. Fakta menunjukan bahwa semua tipe kejahatan anak itu semakin bertambah
jumlahnya dengan semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi.
e. Kejahatan dalam segala usia termasuk remaja dan anak-anak dalam dasawarsa
lalu belum menjadi masalah yang terlalu serius untuk dipikirkan, baik oleh
pemerintah maupun kriminologi, penegak hukum, praktisi sosial, maupun
masyarakat umumnya.
f. Perilaku jahat anak-anak dan remaja merupakan gejala sakit (patologis) secara
sosial pada anak-anak yang disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian sosial
sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
g. Anak-anak dan remaja yang melakukan kejahatn itu pada umumnya kurang
memiliki control diri tersebut, dan suka menegakan standar tingkah laku sendiri,
selain meremehkan keberadaan orang lain.

Adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindak kejahatan, menurut W.A Bonger
yaitu :

a. Memuaskan kecendrungan keserakahan


b. Meningkatkan agersivitas dan dorongan seksual
c. Salah asuh dan salah didik orang tua, sehingga anak tersebut menjadi manja dan
lemah mental
d. Hasrat untuk berkumpul dengan kawan senasib dan sebayanya, serta kesukaan
untuk meniru-niru.
e. Konflik batin sendiri dan kemudian menggunakan mekasnisme pelarian diri serta
pembelaan diri yang irrasional.
Kejahatan Dilihat dari Aspek Sosiologis

Menurut Soerjono soekamto, masalah sosial adalah suatu ketidak sesuaian antar
unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial.
Unsur-unsur yang ada dalam masyarakat dapat meinimbulkan gangguan terhadap hubungan
sosial jika mengalami gesekan atau bentrokan, akibatnya kehidaupan suatu masyarakat atau
kelompok akan goyah.
Kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan norma-norma sosial,
sehingga masyarakat menentangnya. Masyarakat modern yang sangat kompleks
menumbuhkan keinginan materil tinggi, dan sering disertai ambisi sosial yang tidak sehat.
Dambaan pemenuhan kebutuhan yang berlebihan tanpa didukung oleh kemampuan
untuk mencapainya secara wajar akan mendorong individu untuk melakukan tindak kriminal.
Oleh karena itu, diperlukan lebih lanjut kajian tentang pengertian dan penyebab terjadinya
kejahatan sehingga pada akhirnya kita dapat mengetahui dampak dan solusi terhadap
kriminalitas, agar norma sosial dan kepentinga masyarakat tetap tejaga.
Dari aspek sosiologi, kejahatan adalah salah satu persoalan yang paling serius dalam
hal timbulnya disorganisaisi sosial, karena penjahat itu melakukan perbuatan yang
mengancam dasar pemerintah, hukum, ketertiban, dan kesejahteraaan umum.
Dalam culture conflik teori Thomas Sellin, dinyatakan bahwa setiap kelompok
memiliki conduct form-nya sendiri dan coduct norm dari suatu kelompok lain seorang
individu yang mengikuti norma kelompoknya mungkin saja dipandang telah melakukan
suatu kejahatan apabila norma norma dari masyarakat dominan.9

Perkembangan Kejahatan

Kejahan selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman, setiap perkembangan


zaman akan melahirkan bentuk kejahatan baru,munculnya berbagai inovasi-inovasi baru
sepertihalnya teknologi akan mempermudah terciptamya jenis kejahatan baru.

9
Ende Hasbi, 2016, Kriminologi, CV Pustaka Setia, Bandung. Hlm 188.
Menurut Romli Atmasasmita, masyarakat selalu mengalami perkembangan sejalan dengan
hasil budi daya akalnya. Hal ini berakibat pada perbahan struktur masyarakat dan system
nilai yang dibangun dan di jalankan dalam kehidupan, yaitu seperti :

a. Perubahan negative terjadi deregulasi yang berbentuk penyimpangan perilaku


(deviant behavior) individu sebagai anggota masyarakat. Sebagai petunjuknya adalah
terdapat hubungan yang erat antara struktur masyarakat dan penyimpangan individu.
b. Pembangunan yang dilakukan oleh negara dalam rangka menyejahterakan
masyarakat, salah satunya mengakibatkan ketimpangan ekonomi. Ketimpangan
ekonomi dapat menyebabkan perilaku yang menyimpang.
c. Perilaku bunuh diri (suicide) di masyarakat, sebagai salah satu penyimpangan
berdasarkan riset Durkheim, menurut romli berasal dari kondisi sosial yang menekan
yaitu (1) deregulasi kebutuhan, (2) regulasi yang keterlaluan (fatalism), (3) kurangnya
integrase structural (egoism) dan (4) sosialisai individu pada nilai budaya (altruistic).
d. Masyarakat memiliki tujuan (goal) dalam kehidupannya yang biasanya diukur oleh
harkat, martabat, dan harta yang dimiliki.

Perkembangan crime violence yang terjadi pada akhri-akhir ini mengalami peningkatan
menuju pada epidemic kejahatan. Kekerasan terjadi disemua tingkat, baik masyarakat
lower class, upper class, maupun high class. Selain itu kekerasan melanda dunia
pendidikan/ akademisi bahkan pada symbol-simbol atau lembaga negara. kadang-kadang
causes bersifat sederhana, yang dapat diselesaikan dengan cara non kekerasan.10

10
Ende Hasbi, 2016, Kriminologi, CV Pustaka Setia, Bandung. Hlm 189
Daftar Pustaka

- Ende Hasbi, 2016, Kriminologi, , Bandung, CV Pustaka Setia.


- Anang Prianto, 2012, Kriminologi, Yogyakarta, Ombak dua.
- W.M.E. Noach, 1992, Kriminologi Suatu Pengantar, Bandung, Citra Aditya Bakti
- Bambang Poernomo, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta,Ghalia Indonesia

Anda mungkin juga menyukai