Sosiologi pertama kali di cetuskan oleh Auguste Comte yaitu seorang berkewarga
negaraan Prancis, ia menyatakan bahwa sosiologi merupakan A General Social Science
atau dapat disebut ilmu pengetahuan kemasyarakatan yang bersifat umum atau ilmu
pengetahuan yang mempelajari masyarakat dengan segenap aspeknya. Pengertian ini
menempatkan sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang dapat mempelajari apa pun tentang
kehidupan masyarakat, baik aspek yang bersifat fisik, ekonomi, psikologi, sosial, ataupun
budaya.
Adapun pengertian kriminalitas sendiri atau tindak kriminal adalah segala sesuatu
yang melanggar hukum atau tindak kejahatan. Pelaku kriminalitas yang disebut seorang
kriminal (orang-orang yang bertindak diluar aturan yang menimbulkan korban). Selama
kesalahan seorang kriminal belum ditetapkan oleh hakim, orang tersebut disebut seorang
terdakwa, seseorang tidak bersalah sebelum kesalahannya terbukti. Sementara itu, pelaku
1
Ende Hasbi, 2016, Kriminologi, CV Pustaka Setia, Bandung. Hlm 166.
tindak kriminal yang dinyatakan bersalah sebelum dinyatakan bersalah oleh pengadilan dan
harus menjalani hukuman, disebut sebagai terpidana atau narapidana.
Menurut W.A Bonger (1983), kejahatan dipandang dari sebagai sosiologis. Kejahatan
adalah salah satu jenis gejala sosial, yaitu kelakuan yang asocial dan amoral yang tidak
dikehendaki oleh kelompok pergaulan dan secara sadar ditentang oleh pemerintah.
Berdasarkan pengertian sosiologi dan kriminalitas maka dapat disimpulkan bahwa sosiologi
kriminalitas adalah disiplin ilmu cabang sosiologi yang mempelajari keterkaitan antara
aspek-aspek sosial yang menyangkut jaringan hubungan antarmanusia, dan perilaku
melanggar budaya, nilai dan norma sosial yang merugikan pihak lain, atau melahirkan
penderitaan pada pihak lain.
Dalam beberapa pandangan perbuatan jahat dapat sebagai dikatakan kejahatan adalah
sebagai berikut :
22
Ende Hasbi, 2016, Kriminologi, CV Pustaka Setia, Bandung. Hlm 167
Sifat Perbuatan Kejahatan dalam Pandangan Sosiolog
a. Teori Strain
Menurut Emile Durkheim, cara mempelajari masyarakat adalah dengan
melihat bagian-bagian komponennya untuk mengetahui bagian-bagian komponen
tersebut berhubung satu dengan yang lainnya. Dapat dikatakan apabila
masyarakatnya stabil, bagian-bagiannya beroperasi secara lancar sehingga susunan-
susunan sosial berfungsi. Masyarakat seperti itu ditandai dengan keterpaduan, kerja
sama, dan kesepakatan. Tetapi apa bila bagian-bagian komponennya tertata dalam
keadaan membahayakan keteraturan/ketertiban sosial, susunan masyarakat tersebut
disfungtional (tidak berfungsi).3
b. Teori Penyimpangan budaya (Cultural Deviance Theories)
Teori ini memandang kejahatan sebagai seperangkat nilai yang khas pada
lower class (kelas bawah). Adapun teori dari cultural deviance theories ini dibagi
kedalam tiga bagian yaitu:
3
Ende Hasbi, 2016, Kriminologi, CV Pustaka Setia, Bandung. Hlm 169-171.
Teori ini memfokuskan diri pada perkembangan area-area yang angka
kejahatannya tinggi berkaitan dengan disintegrasi nilai-nilai konvensional yang
disebabkan industrialisasi terlalu cepat, peningkatan imigrasi dan urbanisasi.
Pada ketiga teori ini menjelaskan bahwa penjahat dan delinquent kenyataannya
tidak menyesuiankan diri pada nilai konvensional, tetap pada norma-norma yang
menyimpang dari nilai-nilai kelompok dominan.
Tokoh yang mengembangkan teori ini ialah Howard S. Becker dan Edwin
Lemert. Pembahasan teori label menekankan pada dua hal, yaitu4:
Adapun yang menjadi permasalahan teori label adalah reaksi dari masyarakat.
Seseorang diberi label akan merasa bahwa orang-orang disekelilingnya telah
mengetahui perbuatannya, dan hal ini sering menyebabkan si penerima label merasa
selalu diawasi. Reaksi dari pemberian label kepada seseorang akan berbeda antara
orang yang satu dengan yang lainnya. Setiap orang mempunyai perasaaan yang
berbeda-beda terhadap label yang diterimannya, ada kemungkinan seseorang itu akan
merealisasikan label yang melekat pada dirinya dikarenakan sikap pasrah atas label
yang diterimanya ia akan selalu beranggapan bahwa status yang melekatnya itu sudah
tidak dapat diubah lagi maka dari itu ia akan dengan mudah merealisasikan kembali
perbuatan jahatnya itu.
4
Anang Prianto, 2012, Kriminologi, Yogyakarta, Ombak dua. Hlm 28-29
Teori label diklasifikasikan sebagai teori mikro, karena hanya memusatkan
perhatiannya pada efek reaksi sosial terhadap tingkah laku seseorang.
e. Teori Anomie
Teori anomie dikemukakan oleh Robert. K. Merton teori ini berorientasi pada
kelas konsep anomi sendiri diperkenalkan oleh sorang sosiolog perancis yaitu Emile
Durkheim yang mendefinisikan keadaan tanpa norma (deregulasi/deregulation)
dalam masyarakat, dari keadaan ini akan menimbulkan deviasi atau penyimpangan.
Oleh K. Merton konsep ini diformulasikan untuk menjelaskan keterkaitan
anatara kelas sosial dengan kecenderungan adaptasi sikap dan perilaku kelompok.
Kata anomie sendiri digunakan dalam suatu masyarakat yang mengalami kekacauan
karena ketiadaan aturan yang diakui bersama maka dari itu secara eksplisit karena
ketiadaan aturan ini menimbulkan perilaku masyarakat yang isolasi atau bahkan
saling memangsa dan bukan kerja sama.
Dalam teorinya Merton melihat bahwa tahap-tahap tertentu dari struktur
sosial akan meningkatkan keadaan dimana pelanggaran terhadap aturan-aturan
masyarakat akan menghasilkan tanggapan yang normal. Merton menunjukan
bahwa beberapa struktur sosial dalam kenyataannya telah membuat orang-orang
tertentu dimasyarakat untuk bertindak menyimpang daripada mematuhi norma-norma
sosial.
Merton mengemukakan bahwa dalam setiap masyarakat terdapat tujuan-
tujuan tertentu yang ditanamkan kepada seluruh warganya. Untuk mencapai tujuan
tersebut terdapat sarana-sarana yang dapat dipergunakan, tetapi dalam kenyataannya
tidak setiap orang dapat mempergunakan sarana-sarana yang tersedia. Hal ini
menyebabkan penggunaan cara yang tidak sah dalam mencapai tujuan. Namun dalam
perkembangannya Merton tidak lagi menekankan pada tidak meratanya sarana-sarana
serta perbedaan struktur kesempatan. Tidak meratanya sarana-sarana yang tersedia,
tetapi lebih pada perbedaan struktur kesempatan akan menimbulkan frudtasi
dikalangan warga yang yang tidak mempunyai kesempatan dalam mencapai tujuan,
sehingga menimbulkan konflik, ketidak puasan, frustasi dan penyimpangan-
penyimpangan yang berakibat pad timbulnya keadaan dimana para warga tidak lagi
mempunyai ikatan yang kuat terhdap tujuan serta sarana-sarana atau kesempatan-
kesempatan yang terdapat dalam masyarakat, dan hal ini dinamakan anomi.
Kemudian Merton mengemukakan lima cara untuk mengatasi keadaan anomi.
Ketatan (conformation), yaitu suatu keadaan dimana warga masyarakat
tetap menerima tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam
masyarakat karena adanya tekanan moral.
Inovasi (innovation), yaitu suatu keadaan dimana tujuan yang terdapat
dalam masyarakat diakui dan dipelihara, tetapi mereka mengubah
sarana-sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Ritualisme (ritualism), yaitu suatu keadaan dimana masyarakat menolak
tujuan yang telah ditetapkan dan memilih sarana-sarana yang telah
ditentukan.
Penarikan diri (self-withdrawal), yaitu keadaan dimana para warga
menolak tujuan dan sarana-sarana yang telah tersedia dalam
masyarakat.
Pemberontakan (rebellion), adalah suatu keadaan dimana tujuan dan
sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat ditolak dan berusaha
untuk mengubah seluruhnya .5
5
Anang Prianto, 2012, Kriminologi, Yogyakarta, Ombak dua. Hlm 22-25
terhadap perbedaan, tetapi sangat takut terhadap konflik sosial. Meskipun demikian
dunia modern tidak menginginkan adanya penyimpangan diantara mereka.
Kata imitasi berasal dari bahasa inggris to imitate yang berarti mencontoh,
mengikuti suatu pola, istilah imitasi ini secara populer di artikan secara meniru.
Menurut Tarde masyarakat tidak lain dari pengelompokan manusia. Di mana
individu mengimitasi individu yang lain dan sebaliknya. Pendapat Tarde tersebut
lebih memandang bahwa suatu factor yang memegang peranan penting pergaulan
sosial antara lain manusia dan lingkungannya.
Selain itu, adanya proses imitasi dalam interaksi sosial dapat menimbulkan
kebiasaan di mana orang mengimitasi sesuatu tanpa kritik, seperti yang berlangsung
juga pada faktor sugesti. Dengan kata lain, adanya peranan imitasi dalam interaksi
sosial dapat memajukan gejala-gejala kebiasaan malas berpikir kritis pada individu
manusia yang mendangkalkan kehidupannya.
1. Tindakan Kriminal/Kejahatan
Menurut Kartini Kartono, kriminalitas atau kejahatan bukan merupakan peristiwa
herediter (bawaan sejak lahir, warisan) bukan juga warisan biologis. Tingkah laku
kriminalitas itu dapat dilakukan oleh siapapun juga baik wanita atau pria, dapat berlangsung
pada usia anak, dewasa, ataupun lanjut usia.
6
Bambang Poernomo,Asas-asas Hukum Pidana,Ghalia Indonesia, Jakarta, 1993. Hlm 41-42
Tindakan kejahatan dapat dilakukan secara sadar, misalnya didorong oleh implus-
implus yang hebat dorongan paksaan yang sangat kuat (kompulsi) dan obsesi-obsesi.
Kejahatan dapat juga dilakukan secara tidak sadar sama sekali. Misalnya, karena terpaksa
untuk mempertahankan hidupnya, seseorang harus melawan dan terpaksa membalas
menyerang sehingga terjadi peristiwa pembunuhan.
7
W.M.E. Noach, 1992, Kriminologi Suatu Pengantar, Bandung, Citra Aditya Bakti. Hlm. 66.
(a) Penjahat bukan sebenarnya (psudo criminal)
(b) Penjahat karena kebiasaan
(c) Kriminoloid
Penyebab kejahatan dalam pandangan sosiologi terbagi atas tiga kelompok pendapat,
yaitu:
Menurut W.A Bonger, bakat merupakan hal yang konstan atau tetap dan lingkungan
adalah faktor variabelnya. Penyebabnya yaitu sebagai berikut.8
8
Ende Hasbi, 2016, Kriminologi, CV Pustaka Setia, Bandung. Hlm 184.
dilakukan oleh anggota masyarakat yang sudah dewasa, tetapi juga dilakukan
oleh anggota masyarakat masih anak-anak atau yang biasa kita sebut sebagai
kejahatan anak atau perilaku jahat anak.
d. Fakta menunjukan bahwa semua tipe kejahatan anak itu semakin bertambah
jumlahnya dengan semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi.
e. Kejahatan dalam segala usia termasuk remaja dan anak-anak dalam dasawarsa
lalu belum menjadi masalah yang terlalu serius untuk dipikirkan, baik oleh
pemerintah maupun kriminologi, penegak hukum, praktisi sosial, maupun
masyarakat umumnya.
f. Perilaku jahat anak-anak dan remaja merupakan gejala sakit (patologis) secara
sosial pada anak-anak yang disebabkan oleh salah satu bentuk pengabaian sosial
sehingga mereka mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
g. Anak-anak dan remaja yang melakukan kejahatn itu pada umumnya kurang
memiliki control diri tersebut, dan suka menegakan standar tingkah laku sendiri,
selain meremehkan keberadaan orang lain.
Adapun motif yang mendorong mereka melakukan tindak kejahatan, menurut W.A Bonger
yaitu :
Menurut Soerjono soekamto, masalah sosial adalah suatu ketidak sesuaian antar
unsur-unsur kebudayaan atau masyarakat, yang membahayakan kehidupan kelompok sosial.
Unsur-unsur yang ada dalam masyarakat dapat meinimbulkan gangguan terhadap hubungan
sosial jika mengalami gesekan atau bentrokan, akibatnya kehidaupan suatu masyarakat atau
kelompok akan goyah.
Kejahatan adalah tingkah laku yang melanggar hukum dan norma-norma sosial,
sehingga masyarakat menentangnya. Masyarakat modern yang sangat kompleks
menumbuhkan keinginan materil tinggi, dan sering disertai ambisi sosial yang tidak sehat.
Dambaan pemenuhan kebutuhan yang berlebihan tanpa didukung oleh kemampuan
untuk mencapainya secara wajar akan mendorong individu untuk melakukan tindak kriminal.
Oleh karena itu, diperlukan lebih lanjut kajian tentang pengertian dan penyebab terjadinya
kejahatan sehingga pada akhirnya kita dapat mengetahui dampak dan solusi terhadap
kriminalitas, agar norma sosial dan kepentinga masyarakat tetap tejaga.
Dari aspek sosiologi, kejahatan adalah salah satu persoalan yang paling serius dalam
hal timbulnya disorganisaisi sosial, karena penjahat itu melakukan perbuatan yang
mengancam dasar pemerintah, hukum, ketertiban, dan kesejahteraaan umum.
Dalam culture conflik teori Thomas Sellin, dinyatakan bahwa setiap kelompok
memiliki conduct form-nya sendiri dan coduct norm dari suatu kelompok lain seorang
individu yang mengikuti norma kelompoknya mungkin saja dipandang telah melakukan
suatu kejahatan apabila norma norma dari masyarakat dominan.9
Perkembangan Kejahatan
9
Ende Hasbi, 2016, Kriminologi, CV Pustaka Setia, Bandung. Hlm 188.
Menurut Romli Atmasasmita, masyarakat selalu mengalami perkembangan sejalan dengan
hasil budi daya akalnya. Hal ini berakibat pada perbahan struktur masyarakat dan system
nilai yang dibangun dan di jalankan dalam kehidupan, yaitu seperti :
Perkembangan crime violence yang terjadi pada akhri-akhir ini mengalami peningkatan
menuju pada epidemic kejahatan. Kekerasan terjadi disemua tingkat, baik masyarakat
lower class, upper class, maupun high class. Selain itu kekerasan melanda dunia
pendidikan/ akademisi bahkan pada symbol-simbol atau lembaga negara. kadang-kadang
causes bersifat sederhana, yang dapat diselesaikan dengan cara non kekerasan.10
10
Ende Hasbi, 2016, Kriminologi, CV Pustaka Setia, Bandung. Hlm 189
Daftar Pustaka