Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

Ilmu sosial adalah Ilmu yang sudah berkembang sejak sejak lama,
yaitu semenjak zaman yunani sudah muncul ahli-ahli yang
mengembangkan teori ideal tentang manusia yang terkait dengan
interaksi sosialnya baik dalam hal ekonomi, sosial dan politik. Dari
perkembangan tersebut memunculkan teori-teori yang mampu
mendominasi dan menjadi rujukan. Namun teori-teori yang dikembangkan
oleh ilmuwan sosial tersebut tidak dapat dikatakan sebagai teori yang
netral. Setiap teori yang mampu mendominasi praktik ilmu sosial adalah
teori yang mampu merepresentasikan kepentingan yang dominan dari
sebuah kelompok masyarakat.
Teori sosial di indonesia yang berkembang saat ini sangatlah
banyak. Di balik banyakya teori sosial yang berkembang di indonesia saat
ini juga di iringi dengan problematika di indonesia yang semakin
kompleks. Teori sosial di indonesia harunya bisa di gunakan untuk
menyelesaikan problematika yang berkembang di indonesia tetapi
kenyataanya tidak demikian. Hal tersebut terjadi dikarenakan indonesia
terlalu sering mengadopsi ilmu barat yang kenyataanya pengadopsian
ilmu tersebut tidak sesuai dengan kondisi permasalahan di indonesia.
Ilmu sosial adalah Semua ilmu pengetahuan yang mempelajari
aspek-aspek kehidupan manusia dimasyarakat. Aspek-aspek tersebut
meliputi: interaksi sosial (sosiologi), budaya (anthropologi), kebutuhan
materi (ilmu ekonomi), pendidikan (ilmu pendidikan), norma & hukum (ilmu
hukum), perilaku (psikologi), dan lain-lain.
Tujuan mempelajari teori teori sosial adalah menjelaskan hubungan
agama, ilmu dan perubahan social. Menjelaskan Prespektif studi ilmu
sosial, teori-teori sosial, paradigma sosial, perubahan sosial dan gerakan
sosialsosiologi adalah menjelaskan batasan yang disebut teori dan teori
sosiologi, serta bagaimana mempergunakan teori sosiologi tersebut di
dalam usaha memahami atau menganalisa kenyataan sosial.
Manfaat dari mempelajari teori sosial adalah memecahkan problema
teoritis.menggunakan teori sosiologi dalam usaha memahami dan
menganalisa kenyataan sosial.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Ilmu Sosial

Ilmu sosial pada dasarnya merupakan ilmu yang mempelajari


perilaku dan aktivitas manusia dalam kehidupan bersama. Dengan
demikian ilmu sosial mempelajari hubungan manusia dengan
lingkungannya. Perbedaan utama antara ilmu sosial dengan ilmu alam
adalah obyeknya. Obyek ilmu alam adalah fisik, sedangkan obyek ilmu
sosial adalah manusia dan hubungannya dengan lingkungannya.
Lingkungan ini dapat berarti manusia lain atau obyek fisik di sekitar
manusia.(1)

Ilmu sosial mengkaji perilaku manusia yang bermacam-macam,


misalnya

1.    Perilaku manusia dalam hubungannya dengan manusia lain baik


pribadi atau kelompok  yang nantinya melahirkan ilmu sosiologi.

2.    Perilaku manusia pada masa lalu melahirkan ilmu sejarah.

3.    Perilaku manusia kaitannya dengan kejiwaannya melahirkan ilmu


psikologi.

4.    Perilaku manusia kaitannya dengan pemenuhan kebutuhannya


melahirkan ilmu ekonomi, dan sebagainya.

Semua perilaku tersebut merupakan gejala sosial yang menjadi


wilayah kajian utama ilmu-ilmu sosial. Inilah yang membedakan ilmu-ilmu
alam dan ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu alam berhubungan dengan gejala-
gejala alam yang bersifat fisik, konstan dan bisa diamati dengan kasat
mata dan untuk memahaminya tidak sesulit gejala sosial. Gejala alam
mudah dipilah-pilah dan bisa diukur serta pola peristiwanya senantiasa
tetap. Misalnya, pola mengenai gejala gunung meletus atau gejala
tsunami sejak dahulu kala hingga sekarang tidak banyak berubah.
Sedangkan gejala atau peristiwa sosial terikat dengan variabel tempat,
waktu, perilaku, dan setting sehingga lebih kompleks. Misalnya revolusi
yang terjadi di Inggris, Perancis, Amerika, dan Revolusi Kemerdekaan
Indonesia memiliki perbedaan yang tidak konstan.
Empat tipe ilmu sosial ini yang merupakan perluasan konsep empat
tipe   sosiologi   yang   diperkenalkan   oleh   Burawoy   (2004), yaitu ilmu
sosial profesional, ilmu social publik, ilmu social kebijakan, dan ilmu sosial
kritis. Perkembangan ilmu sosial yang sehat di suatu Negara ditandai oleh
keseimbangan yang saling melengkapi antar keempat tipe ilmu sosial
tersebut. Keseimbangan ini diperlukan untuk mencegah terjadinya
perkembangan berlebihan salah satu tipe dan mengorbankan tipe ilmu
sosial yang lain.(2)
Karena gejala sosial sangat kompleks, maka untuk memahaminya
tidak cukup dengan satu sudut pandang atau satu disiplin ilmu, sehingga
dikatakan bahwa ilmu sosial memiliki gejala sangat kompleks. (3)

B. Teori Sosial
1. Teori Sosial Menurut Emile Durkheim
Teori sosial menurut Emile Durkheim adalah bahwa ketika kita
ingin melihat suatu kebudayaan, maka dapat dilihat pula institusi dan
norma yang ada dalam kebudayaan tersebut. Sebab masyarakat
terbentuk dari institusi dan norma-norma tersebut.
Norma dan dan institusi berawal dari masyarakat melalui
kesepakatan bersama. Namun, dalam perjalananya institusi dan
norma tersebut tumbuh dengan sendirinya secara mandiri. Hal ini
yang disebut Emile Durkheim sebagai realitas suie generis, dalam
artian masyarakat memliliki eksistensnya sendiri.
Contoh dari teori sosial ini misalnya sebuah institusi yang terjadi
di masyarakat ketika terjadi kebobrokan, seperti halnya korupsi.
Walaupun dari sudut pandang sosial bahwa persoalan tersebut terjadi
karena sistem atau faktor individu, tetapi menurut pandangan sui
generis bahwa sistem tidak lain sebagai makhluk yang terus menerus
hidup dan berkembang di luar realitas individu. Walaupun sistem itu
awalnya dibentuk oleh individu-individu, pada perkembangannya
sistem itu bergerak menemukan pola sendiri di luar yang digariska
oleh kesepakatan individu.

2. Teori Sosial Menurut Max Weber


Menurut Max weber individu manusia dalam masyarakat
merupakan aktor yang kreatif dan realitas sosial bukan merupakan
alat yang setatis dari pada paksaan fakta sosial. Artinya, tindakan
manusia tidak sepenuhnya di tentukan oleh norma, kebiasaan,nilai,
dan sebagainya yang mencakup di dalam konsep fakta sosial.
Walaupun pada akhirnya weber mengakui bahwa dalam masyarakat
terdapat setruktural sosisal dan pranata sosial. Dikatakan bahwa
setruktur sosial dan pranta sosial merupakan dua konsep yang saling
berkaitan dalam membentuk tindakan sosial.
Tindakan sosial terjadi ketika individu melekatkan makna
subjektif pada tindakan mereka. Hubungan sosial menurut Weber 
yaitu suatu tindakan dimana beberapa aktor yang berbeda-beda,
sejauh tindakan itu mengandung makna dihubungkan serta diarahkan
kepada tindakan orang lain. Masing-masing individu berinteraksi dan
saling menanggapi.
Weber juga membicarakan bentuk-bentuk empiris tindakan
sosial dan antar-hubungan sosial tersebut. Weber membedakan dua
jenis dasar dari pemahaman yang bersifat tafsiran dari arti, dari tiap
jenis pemahaman ini bisa dibagi sesuai dengan masing-masing
pertaliannya, dengan menggunakan tindakan rasional ataupun
emosional. Jenis pertama adalah pemahaman langsung yaitu
memahami suatu tindakan dengan pengamatan langsung. Kedua,
pemahaman bersifat penjelasan. Dalam tindakan ini tindakan khusus
aktor ditempatkan pada suatu urutan motivasi yang bisa dimengerti,
dan pemahamannya bisa dianggap sebagai suatu penjelasan dari
kenyataan berlangsungnya perilaku.
Max Weber dalam (J Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto,
2006:18) mengklasifikasikan empat jenis tindakan sosial yang
mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakat yaitu;
1. Rasionalitas instrumental
Yaitu tindakan sosial yang dilakukan seseorang didasarkan atas
pertimbangan dan pilihan sadar yang berhubungan dengan tujuan
tindakan itu dan ketersediaan alat yang dipergunakan untuk
mencapainya.
2. Rasionalitas yang berorientasi nilai
Alat-alat yang ada hanya merupakan pertimbangan dan
perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya sudah ada
didalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat
absolut.
3. Tindakan tradisional
Seseorang memperlihatkan perilaku tertentu karena kebiasaan
yang diperoleh dari nenek moyang, tanpa refleksi yang sadar atau
perencanaan.
4. Tindakan afektif
Tindakan ini didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi
intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif bersifat
spontan, tidak rasional dan merupakan refleksi emosional dari
individu.
Dari keempat tindakan tersebut sulit diwujudkan dalam kenyataan,
namun apapun wujudnya hanya dapat dimengerti menurut arti
subjektif dan pola-pola motivasional yang berkaitan dengan itu.
Sebuah interaksi sosial akan kacau bilamana antara pihak-pihak
yang berinteraksi tidak saling memahami motivasi dan makna
tindakan sosial yang mereka lakukan.

3. Teori Sosial Karl Marx


Teori Karl Marx menjelaskan tentang teori struktural fungsional.
Menurut Karl Marx, stratifikasi yang berbeda-beda itu mempunyai
fungsi tersendiri. Karl Marx melahirkan suatu aliran, yaitu aliran
komunisme. Agama adalah candu yang terdapat didalam masyarakat.
Dalam prakteknya seperti orang katolik. Fungsi tersebut didalamnya
terdapat suatu konflik. Adanya pembagian masyarakat itu memicu
terjadinya suatu konflik. Mark juga menjelaskan tentang suatu revolusi
karena menurutnya kita sebagai masyarakat haruslah mengambil alih
secara cepat dalam berbagai bidang apapun. masyarakat juga tidak
mempunyai stratifikasi kelas karena memiliki suatu alat, dalam artian
sama rata. Karl Marx mempunyai semboyan yang sangat khas, yaitu
“sama rata sama rasa”. Menurut Karl Marx, agama itu tidak boleh
karena menimbulkan suatu konflik. Tetapi jika agama dilarang, maka
kita tidak akan mempunyai suatu pedoman untuk hidup didalam dunia
ini. Karl Marx juga menjelaskan tentang konsep kapitalisme.
Paradigma yang dianut oleh Karl Marx adalah paradigma fakta sosial.
Jadi semakin miskin seseorang sebagai rakyat maka semakin miskin
juga seseorang dalam hal apapun. Tetapi semakin kaya seseorang
maka semakin kaya juga seseorang tersebut dalam hal apapun. Marx
juga berpendapat bahwa kolektifitas selalu menimbulkan suatu
perbedaan. Sedangkan yang mendorong adanya suatu kesadaran itu
adalah setiap materi-materi yang diberikan dan dipahami.

4. Teori Sosial A. Auguste Comte dan Pitirim Sorokin


Comte untuk menjelaskan kemajuan evolusioner umat manusia dari
masa primitif sampai ke peradaban Prancis abad kesembilan belas
yang sangat maju. hukum ini menyatakan bahwa masyarakat-
masyarakat (umat manusia) berkembang melalui tiga tahap utama.
Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan:
teologis, metafisik dan positif. Comte menjelaskan hukum tiga tahap
sebagai berikut:
Bahwa setiap konsepsi kita yang paling maju, setiap cabang
pengetahuan kita, berturut-turut melewati tiga kondisi teoretis yang
berbeda: teologis atau fiktif; metafisik atau abstrak; ilmiah atau positif.
Dengan kata lain, pikiran manusia pada dasarnya dalam
perkembangannya, menggunakan tiga metode berfilsafat yang
karakternya sangat berbeda malah bertentangan. Yang pertama
merupakan titik tolak yang harus ada dalam pemahaman manusia;
yang kedua hanya suatu keadaan peralihan; dan yang ketiga adalah
pemahaman keadaannya yang pasti dan tak tergoyahkan.
Pitirim Sorokin
Kalau Comte mengusulkan suatu model linear yang berkulminasi
pada munculnya masyarakat positivis, Sorokin mengembangkan
model siklus perubahan sosial, artinya dia yakin bahwa tahap-tahap
sejarah cenderung berulang dalam kaitannya dengan mentalitas
budaya yang dominan, tanpa membayangkan suatu tahap akhir yang
final. Tetapi siklus-siklus ini tidak sekedar pelipat gandaan saja, 
sebaliknya ada banyak variasi dalam bentuk-bentuknya yang khusus,
dimana tema-tema budaya yang luas dinyatakan.
Setiap tahap sejarah masyarakat memperlihatkan beberapa unsur
yang kembali berulang (artinya, pengulangan tahap yang terdahulu)
dan ada beberapa daripadanya yang unik. Sorokin mengacu pada
pola-pola perubahan budaya jangka panjang yang bersifat “berulang-
berubah”. Penekanan Sorokin pada berulangnya tema-tema dasar
dimaksudkan untuk menolak gagasan bahwa perubahan sejarah
dapat dilihat sebagai suatu proses linear yang meliputi gerak dalam
satu arah saja. Dalam hal ini Sorokin berbeda dari Comte yang
percaya akan kemajuan yang mantap dalam perkembangan
intelektual manusia.

5. Teori Sosial William F Ogburn


Perubahan sosial adalah perubahan yang mencakup unsur-
unsur kebudayaan baik material maupun immaterial yang
menekankan adanya pengaruh  besar  dari  unsur-unsur  kebudayaan 
material  terhadap  unsur-unsur immateriil. Konsep ini mengacu pada
kecenderungan dari kebiasaan-kebiasaan sosial dan pola-pola
organisasi sosial yang tertinggal di belakang (lag behind) perubahan
dalam kebudayaan materil. Akibatnya adalah bahwa perubahan sosial
selalu ditandai oleh ketegangan antara kebudayaan materil dan
nonmateril.
Hal ini bertentangan dengan Comte dan Sorokin. Bagi Ogburn,
segi yang paling penting dari perubahan sosial adalah kemajuan
dalam kebudayaan materil, termasuk penemuan-penemuan dan
perkembangan teknologi; sedangkan Comte dan Sorokin menekankan
perubahan dalam bentuk-bentuk pengetahuan atau pandangan dunia
sebagai rangsangan utama untuk perubahan sosial, di mana
perubahan dalam kebudayaan materil mencerminkan perubahan
dalam aspek-aspek kebudayaan.

C. Ruang Lingkup Ilmu Sosial

Menurut Wallerstein (1977) ruang lingkup ilmu sosial terdiri dari


Sosiologi, antropologi, geografi, ekonomi, sejarah, psikologi, hukum, dan
ilmu politik. Sedangkan  Brown membagi ilmu sosial dalam sosiologi,
antropologi, ekonomi, sejarah, psikologi, hukum, dan ilm politik.
Perbedaan keduanya bahwa Wallerstein memasukkan ilmu geografi
dalam ilmu sosial, sedangkan Brown tidak memasukkan geografi dalam
ilmu sosial.[4]
Cabang-cabang ilmu sosial berdasarkan pendapat Wallerstein dan
Brown diantaranya[5]:
1.    Antropologi, merupakan ilmu sosial yang mempelajari manusia pada
umumnya, dan khususnya antropologi budaya, yang mempelajari segi
kebudayaan masyarakat. Contohnya, ilmu antropologi digunakan
untuk menghadapi tantangan yang kian berat dengan adanya
permasalahan seperti multikulturalisme, kemiskinan struktural, korupsi
tanpa henti, konflik-konflik kepentingan golongan, kesenjangan sosial
ekonomi, ketidakpastian pelaksanaan hukum, dan jurang generasi. 
2.    Ekonomi, merupakan ilmu sosial yang mempelajari produksi dan
pembagian kekayaan dalam masyarakat, atau ilmu sosial yang
mempelajari bagaimana manusia memenuhi kebutuhannya.
Contohnya kegiatan jual beli sebagai upaya untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari.
3.    Geografi, merupakan ilmu sosial yang mempelajari lokasi dan variasi
keruangan atas fenomena fisik dan manusi di atas permukaan bumi.
Karena kaitannya dengan hal fisik inilah, sebagian ilmuwan tidak
memasukkannya dalam ilmu sosial tetapi dalam ilmu alam.
Contohnya, geografi diperlukan dalam memahami atau memecahkan
suatu masalah di dalam negeri, seperti: urbanisasi, kelebihan
penduduk, penipisan sumber daya alam, hutan-hutan yang semakin
gundul.[6]
4.    Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas
rangkaian kekuasaan kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan
kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan masyarakat dalam
berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam
hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam
hukum pidana, hukum pidana yang berupayakan cara negara dapat
menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan kerangka kerja
bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan
memperluas kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka
yang akan dipilih.
5.    Linguistik, merupakan ilmu sosial yang mempelajari aspek kognitif
dan sosial dari bahasa. Linguistik tidak mempelajari tentang
bagaimana penggunaan bahasa, melainkan bagaimana bahasa
digunakan dan unsur-unsur apa yang ada di dalamnya. Misalnya
penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional.
6.    Pendidikan, merupakan ilmu sosial yang mempelajari masalah yang
berkaitan dengan belajar, pembelajaran, serta pembentukan karakter
dan moral. Misalnya kegiatan belajar formal maupun non formal.
7.    Politik, merupakan ilmu sosial yang mempelajari pemerintahan
sekelompok manusia (termasuk negara). Selain itu menurut Roger F.
Soltau, politik merupakan kajian tentang negara, tujuan-tujuan negara,
dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan tujuan-tujuan itu;
hubungan antara negara dengan warga negaranya serta dengan
negara-negara lain. Misalnya hubungan dalam bidang ekonomi, militer
dan bidang lainnya antara Indonesia dengan Australia.
8.    Psikologi, merupakan ilmu sosial yang mempelajari tingkah laku dan
proses mental manusia. Bidang khusus yang terdapat di dalamnya
sanngat beraneka ragam, termasuk psikologi eksperimental, psikologi
fisiologi, psikologi perkembangan, psikologi sosial, psikologi
kepribadian, psikologi klinis dan penyuluhan, psikologi sekolah dan
pendidikan, serta psikologi industri dan permesinan. Dengan
demikian, psikologi merupakan salah satu bagian dari ilmu perilaku
atau ilmu sosial.[7] Misalnya cara memahami perilaku seseorang
individu.
9.    Sejarah, merupakan ilmu sosial yang mempelajari masa lalu (sejak
manusia ada hingga masa sekarang) yang berhubungan dengan umat
manusia. Sementara menurut Depdiknas sejarah merupakan mata
pelajaran yang menanamkan pengetahuan dan nilai-nilai mengenai
proses perubahan dan perkembangan mayarakat Indonesia dan dunia
dari masa lampau hingga kini. Namun, yang jelas kata kuncinya
bahwa sejarah merupakan suatu penggambaran ataupun rekonstruksi
peristiwa, kisah maupun cerita, yang benar-benar terjadi pada masa
lalu.  Misalnya tentang sejarah indonesia.
10.   Sosiologi, merupakan ilmu sosial yang mempelajari masyarakat dan
hubungan antar manusia di dalamnya. Banyak para ahli yang
berpendapat tentang sosiologi salah satunya, Piritim Sorokin
mengemukakan bahwa sosiologi merupakan suatu ilmu tantang
hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-
gejala sosial. Sementara, ahli dari Indonesia yaitu Selo Soemardjan
dan Soelaeman Soemardi berpendapat bahwa sosiologi merupakan
ilmu tentang struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk
perubahan sosial. Dengan pernyataan para ahli tersebut dapat
disimpulkan bahwa sosilogi merupkan disiplin ilmu tentang interaksi
sosial, kelompok sosial gejala-gejala sosial, organisasi sosial, struktur
sosial, proses sosial, maupun perubahan sosial. Misalnya tingkatan
kelas sosial dalam masyarakat.
Ilmu sosial juga dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari tentang
masyarakat. Masyarakat yang dimaksud adalah suatu siatem dari
kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antara berbagai
kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta
kebiasaan-kebiasaan manusia. Masyarakat merupakan jalinan hubungan
sosial, dan masyarakat selalu berubah.[8]

D.  Perkembangan Ilmu Sosial

Menurut Wallerstein, perkembangan Ilmu sosial dimulai sejak masa


Yunani dan Romawi Kuno, di mana proses institusionalisasi pada Abad 19
terdapat di lima kota besar dan menunjukkan progress yang cukup tinggi,
dari lima kota tersebut yakni Inggris, Prancis, Jerman, Italia dan Amerika
Serikat. [9]Disiplin Ilmu sosial pertama yang mencapai eksistensi
institusional otonom adalah Ilmu sejarah, walaupun banyak sejarawan
secara antusias menolak label Ilmu sosial. Ilmu sejarah memang suatu
praktik yang sudah berlangsung lama, dan terminologi sejarah juga
sangatlah kuno.
Dilanjut Ilmu ekonomi juga baru secara formal disebut sebagai
disiplin Ilmu  pada abad 19, ketika pemberlakuan teori-teori ekonomi
liberal pada abad ke 19, para ekonom beragumentasi bahwa perilaku
ekonomi lebih merupakan cermin suatu Psikologi individualistik universal
daripada institusi-institusi yang dikonstruksikan secara sosial.  Ketika Ilmu
ekonomi menjadi sebuah disiplin ilmu yang matang di beberapa perguruan
tinggi di Eropa.
Bersamaan dengan itu pada abad ke 19 juga berkembang muncul
disiplin ilmu sosiologi. Auguste Comte berkeyakinan bahwa ilmu tersebut
harus menjadi “ ratu ilmu-ilmu”, sosiologi merupakan hasil asosiasi-
asosiasi reformasi sosial yang agenda utamanya berkaitan dengan
berbagai ketidakpuasan yang disebabkan oleh kekacauan  populasi kelas
pekerja perkotaan yang semakin besar jumlahnya seiring dengan
berjalannya Revolusi Industri.[10]
Fase selanjutnya berkembang ilmu politik. Kemunculannya bukan
karena subject matter-nya negara kontemporer dan perpolitikannya, juga
bukan karena kurang menyetujui analisis nomotetis, tetapi karena
resistensi fakultas-fakultas hukum untuk merebut monopoli kekuasaan.
Begitulah empat serangkai (Sejarah, ekonomi, sosiologi dan politik) telah
berhasil menjadi disiplin-disiplin ilmu sosial di Universitas-universitas di
Eropa abad ke 19,  Pada akhir abad ke 19 Geografi berhasil
merekonstruksikan dirinya sebagai sebuah disiplin ilmu baru, terutama di
beberapa Universitas di Jerman.
Psikologi pada mulanya merupakan bagian integral dari
filsafat,  pada abad 19 psikologi mulai menunjukkan jati dirinya, terutama
dengan kepeloporan Saint Agustint, dengan minatnya dalam melakukan
intropeksi dan keingintahuannya dan fenomena psikologis. Pada abad 19
terdapat dua teori psikologi yang saling bersaing, yakni Psikologi
kemampuan dan Psycology asosiasi yang lahir karena timbulnya
penafsiran kemampuan khusus pada otak berbeda-beda. Pada 1879
lahirlah laboratorium Psikologi pertama di Jerman.
Dalam perkembangannya psikologi sering berada pada dua tempat
yakni disiplin Ilmu sosial dan ilmu alam. Hal ini bertalian erat dengan
kedekatan psikologi dengan arena medis, sehingga banyak psikolog yang
menyeberang psikologi dari ilmu sosial ke ilmu biologi/alam. Istilah
Psikologi sosial merupakan penguatan bahwa Psikologi masih
menempatkan kakinya pada ranah  Ilmu sosial.[11]

E. Perkembangan Ilmu Sosial di Indonesia

Dalam dunia ilmu pengetahuan baik ilmu pengetahuan sosial


maupun pengetahuan alam memang selalu mengalami perkembangan,
baik perkembangan secara cepat atau secara lambat.  Perkembangan
ilmu sosial di Indonesia sendiri dapat dikatakan sangat cepat yang mana
akan menghasilkan pandangan-pandangan baru mengenai
permasalahan-permasalahan sosial yang ada. Perkembangan tersebut
tidak hanya di pengaruhi oleh zamanya saja melainkan juga pemikiran-
pemikiranya juga.Sementara itu menurut Meztika Zed (2006:56), secara
historis perkembangan ilmu sosial dapat dibagi menjadi 3 fase, yakni fase
embrionik sejak zaman kolonial, fase developmentalis sejak 1950 sampai
orde baru, dan fase kontemporer. Dengan membagi fase perkembangan
ilmu sosial tersebut membuat perkembangan ilmu sosial di Indonesia
menjadi lebih runut dan mudah untuk di pahami.

Berikut tiga fase perkembangan ilmu sosial,

1.    Fase Embrionik (Kolonial/Indologi)


Fase ini sering disebut dengan istilah Indologie atau ilmu sosial
kolonial. Hal tersebut dikarenakan, ilmu sosial yang berkembang
pada  masa tersebut lebih condong untuk kepentingan penjajah terutama
untuk membantu pemerintah Hinda Belanda melaksanakan administrasi
dan kebijakan pemerintahannya. Keadaan itu makin dipertegas, pada
tahun 1842 pemerintah Hinda Belanda menyiapkan secara khusus untuk
memperkenalkan Indologie, yakni bagian ilmu oriental yang
dikembangkan untuk menyiapkan calon pegawai yang akan bertugas di
Hindia Belanda.
Perkembangan indologi di Belanda memang cukup pesat, terbukti
pada tahun 1864 telah berdiri di berbagai universitas jurusan ilmu sosial.
Bahkan pada tahun 1891 indologi menjadi salah satu jurusan di
Universitas Leiden. Pengaruh indologi memang sangat besar di Indonesia
pada abad ke 20. Namun, sampai tahun 1950 masih belum signifikan
perkembangannya.
Ciri umum perkembangan ilmu sosial di Indonesia pada masa
kolonial yaitu sebagai ilmu sosial yang sangat dipengaruhi oleh para
ilmuan Belanda, yang memiliki kepentingan kolonial dan para ilmuan
tersebut belum memiliki spesifikasi dalam bidang indologi tersebut. Selain
itu, ciri umum perkembangan ilmu sosial pada masa kolonial yaitu sangat
erat kaitannya dengan upaya untuk memecahkan permasalahan daerah
jajahan dan mempertahankan status quo.
Ilmu sosial awalnya merupakan corpus yang telah melembaga
dimana di bentuk di Leiden yang dimana di lembaga tersebut menyiapkan
para pegawai administrasi yang kemudian akan dikirim di Negara hindia
belanda(sekarang Indonesia). Zeitgeist (iklim intelektual) yang melatar
belakangi ini ialah proses pasifikasi daerah jajahan di hindia belanda
(Nasiwan Y. S., 2016). Penjajah yang telah merebut daerah jajahanya
mereka juga membutuhkan ilmu pengetahui tentang masayarakat di
daerah jajahan tersebut untuk menguasai masyarakat tersebut sehingga
mudah untuk di kendalikan. Untuk itu didirikan nya Universitas Leiden dan
dengan semangat orientalisme masuk ke Indonesia melaui lembaga
colonial di luar institusi. Pada tahun 1920-an didirikanlah dua perguruan
tinggi terkait ilmu sosial yaitu Sekolah Tinggi Hukum (Rechsthogeschool,
RHS) dan Fakultas Sastra dan Filsafat ( Fasulteit der Letteren en
Wijsbegeerte) yang dimana kedua lembaga perguruan tinggi tersebut
berkembanglah ilmu-ilmu sosial versi indilogie. Beberapa ciri umum dalam
perkembangan Ilmu sosial Kolonial/Indilogi:
- Rezim colonial belanda datang ke Indonesia tidak hanya membawa
perangkat birokrasi colonial, melainkan juga rezim ilmu sosial
(Nasiwan Y. S., 2016, p. 20) berarti dalam hal tersebut dapat kita
ketahui bahwa colonial Belanda datang ke Indonesia membawa ilmu-
ilmu campuran. Ilmu campuran disitu ialah mereka bukan ahli dalam
satu bidang melainkan banyak bidang. Jadi kendati terdapat keahlian
bidang-bidang keahlian dalam akademi indilogie seperti geografi
sosial, antropologi, sosiologi, etnologi, filosofi, studi islam, hukum
adat dan linguistic, pada masa nya seorang indolog menguasai
banyak bidang sedang mata kuliah sejarah masih bergabung dalam
semua mata kuliah tersebut sebelum mendirikan jurusan sejarah dan
filsafat tahun 1940 (Nasiwan Y. S., 2016).
- Sesuai dengan sifatnya ilmu sosial versi indilogie knoeledge is power
mana kala kelompok disiplin ilmu itu kian identic dengan ilmu Negara
yang mengabdikan dirinya untuk kepentingan kekuasaan dan jika
perlu harus masuk kedalam birokrasi pemerintah colonial.
- Ilmu sosial Indonesia generasi pertama ini hampir terdiri dari para
ilmuan sarjana belanda yang ilmunya sampai saat ini masih
berpengaruh seperti J.H Boeke ( teori ekonomi ganda) Van
Volenhoven (hukum teori adat) dan lain sebaginya.

Bagaimana pun perkembangan indilogie merupakan tonggak awal


perkembangan ilmu pengetahuan sosial yang membangun sebuah
aspirasi, proposisi dan pencarian legitimasi. Aspirasi yang di maksudkan
adalah untuk mengatahui kehidupan masyarakat indonesia khususnya
ketika zaman penjajahan. Kemenangan kemerdekaan indonesia
sebernarnya bukan karena kemenangan di medan perang melainkan juga
karena perkembangan ilmu pengetahuan.
2.    Perkembangan Ilmu Sosial Developmentalis
Semenjak terjadinya perang dunia ke II peradaban ilmu indonesia
yang berkiblat indilogie menjadi berkiblat ke AS. Ketika indonesia setelah
di jajah banyak sekali perubahan khususnya di bidang politik. Salah
satunya adanya penggusuran masyarakat belanda dimana pihak- pihak
belanda yang berada di indonesia di lakukan sterilisasi dari pihak-pihak
belanda tak lain masyarakat belanda yang bekerja di perguruan tinggi di
indonesia mereka melakukan pemberhentian. Terputusnya hubungan
antara belanda dengan indonesia membuat banyak terjadi peerubahan
khususnya di bidang peradaban ilmu. Peradaban ilmu saat itu menjadi
berkiblat ke AS karena setelah perang dunia I AS adalah Negara adidaya.
Berkembangnya kawasan studi sebagai salah satu strategi penting dalam
perkembangan ilmu-ilmu sosial meskipuntak lain didalamnya juga terdapat
kepentingan- kepentingan ideologi global. Di indonesia sendiri karena
pengarug The Social Science Research Council yang di bentuk oleh AS
setelah perang dunia ke II membuka jalan kerjasama antara kedua
Negara tersebut dengan melakukan pertukaran mahasiswa.
Studi di kawasan Asia Tenggara khusunya indonesia mendapat
perhatian khusus terhadap AS sebab tidak ada Negara di kawasan Asia
Tenggara selain Indonesia yang oleh AS banyak sekali menggelontorkan
dana. Dana tersebut tidak hanya di gunakan untuk pembangunan
melainkan digunakan untuk pertukaran dibidang pendidikan kemudian
untuk tujuan riset. Dibidang pendidikan AS dengan Indonesia melakukan
pembiayaan mengenai bagi para doctoral yang kemudian membuat
disertasi dan tidak hanya sebatas itu saja melainkan juga nantinya
menerbitkan buku yang di Indonesia digunakan sebgai rujukan.
Dengan demikian ilmu sosial di indonesia secara lambat tahun tetapi
pasti mulai bergeser dari tradisi indilogie yang berorientasi eurosentrisme
ke ilmu sosial developmentalis ,yang berorientasi AS (Nasiwan Y. S.,
2016, p. 23). Erat kaitannya dengan butir di atas, studi kawasan (dalam
hal ini Asia Tenggara, khususnya Indonesia) merupakan unit kajian yang
dapat ditarik ke dalam orbit akademik dan sekaligus ideologi politik AS. Di
situ ilmuwan sosial bekerja secara bersama-sama menangani masalah-
masalah pembangunan ekonomi secara komprehensif, terutama dengan
mengadopsi teori-teori modernisasi sebagai maisntreamnya. Konsep-
konsep utama dalam teori modernisasi mempertegas pembagian dua
dunia. Kalau pra PD II hanya ada dua dunia: penjajah dan rakyat jajahan,
dikotomi baru berasal dari teori modernisasi ialah: dunia tradisional-
modern, yang berakar pada konsep-konsep klasik sosilogi seperti
gemeinschaft- geselschaft (Tonnies), solidaritas mekanis-solidaritas
organik (Durkheim), folk-urban (Redfield), agraris dan industrial, maju dan
terkebelakang(Gunder Frank)dan seterusnya (Zed, 2014). Konsepkonsep
tersebut menjadi alat analisis yang digemari, tetapi sekaligus juga
mencerminkan titik perhatian mereka terhadap masalah-masalah
pembangunan‘ di negara Dunia Ketiga (Belakangan citra hierarkhis dari
“Dunia Ketiga diubah sedemikian rupa menjadi lebih egaliter: Tiga Dunia”).
Menurut Utrecht, 1973; Wertheim, 1984 dalam (Zed, 2014) Kalangan ilmu
sosial Marxist umumnya sudah lama mencurigai teori-teori modernisasi,
termasuk yang dikembangkan AS di Indonesia sebagai ilmu borjuis‘ dan
ahistoris .
Pertengahan 1960-an, ilmu sosial yang ada di Indonesia tak lain ialah
ilmu sosial yang diperkenalkan oleh sarjana Amerika di universitas-
universitas di negerinya dan dibawa ke Indonesia dalam kerangka kerja
sama riset dan pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Termasuk ke
dalam jaringan ini antara lain ialah didirikannya pusat- pusat pelatihan ilmu
sosial di beberapa tempat di Jawa dan luar Jawa. Implikasi teoretis-
metodologis dari kecenderungan ini amatlah besar pengaruhnya terhadap
perkembangan selanjutnya. Pendidikan lanjutan yang mereka peroleh,
seperti juga pergaulan akademik internasional mereka pada periode yang
lebih kemudian, membuat watak indologie semakin menghilang, dan sejak
itu digantikan oleh mainstream ilmu sosial developmentalis yang mejadi
pusat gravitasi baru dalam khazanah pengembangan ilmu sosial
Indonesia (Zed, 2014).
Apabila perkembangan ilmu sosial pada masa Indologie lebih
berpusat pada Eurosentris maka pada tahun 1950 sampai 1960 an
menjadi titik balik perkembangan ilmu sosial di Indonesia dengan lebih
berkiblat pada Amerika Serikat. Perang dingin yang terjadi pasca perang
dunia II membuat negara-negara adikuasa berupaya untuk menanamkan
pengaruhnya di Indonesia, salah satunya melalui ilmu sosial. Tidak
mengherankan Amerika Serikat misalnya berusaha menanamkan
pengaruhnya melalui ilmu sosial yang sedang berkembang di Indonesia.
Pada masa ini perkembangan ilmu sosial dikatakan sebagai ilmu
sosial developmentalis, hal itu dikarenakan idiologi yang berkembang
dalam ilmu-ilmu sosial pada masa tersebut yang sangat berhubungan
dengan negara-negara yang baru merdeka. Developmentalis bermakna
pembangunan yang berarti ilmu sosial menekankan pada penggunaanya
sebagai alat bantu  untuk pemecahan masalah pembangunan ekonomi di
Indonesia. Bung Hatta menjelaskan bahwa pertumbuhan ilmu sosial tidak
lepas dari penemuan dan sekaligus masalah sosial yang dihasilkan ilmu-
ilmu alam. Dalam kesempatan tersebut Bung Hatta juga menjelaskan
bahwa ilmu sosial memiliki tugas istimewa kejurusan pembangunan
Negara dan masyarakat.
3.    Perkembangan Ilmu Sosial Kontemporer
Pada 1970an hingga 1980an semakin banyak ilmuan dari lulusan
ilmu sosial dari berbagai dunia. Lompatan besar ilmuan sosial di Indonesia
ini berpengaruh pada perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Secara
kuantitas dapat dilihat dengan munculnya berbagai perguruan tinggi yang
membuka jurusan atau program studi ilmu sosial.  Pada awal 1970an
setidaknya terdapat 74 fakultas ilmu sosial dan kebudayaan.
Perkembangan jumlah institusi akademik ini tentu sangat berpengaruh
terhadap perkembangan penelitian dan penerapan ilmu-ilmu sosial di
Indonesia. Berbagai lembaga pemerintah maupun non pemerintah yang
menjadi pusat pengkajian ilmu sosial mula berkembang dengan mantap
pada awal 1970an seperti lembaga pendidikan, penelitian dan
pengembangan ekonomi sosial sangat penting peranannya dalam
perkembangan ilmu sosial di Indonesia.
Penggunaan istilah kotemporer hanyalah di gunakan atau merujuk
perkembangan dan kemajuan ilmu sosial pada saat orde baru dan
sesudahnya. Pada pertengahan pertama 1960-an belum bisa berbicara
tentang statistik perkembangan ilmu sosial Indonesia, baik mengenai
profesi ataupun komunitas ilmuwan sosialnya, maupun lembaga penelitian
dan pendidikan ilmu-ilmu sosial yang lebih profesional. Namun sejak awal
Orde Baru, memasuki tahun 1970an sejalan dengan pulangnya sejumlah
sarjana ilmu sosial yang menyelesaikan studi mereka di luar negeri,
tampaknya hal-hal penting. Menurut (Zed, 2014) perkembangan ilmu
sosial pada tahun 1980-an yaitu:
“Mengamati perkembangan ilmu sosial sampai tahun 1980-an, orang
pada umumnya berpendapat bahwa tingkat dukungan dan minat
pemerintah terhadap ilmu sosial di Indonesia melebihi negara mana pun
di Asia Tenggara. Peluang ini dalam satu dan lain haljelas merupakan
buah yang telah disemaikan sejak tahun 1950- an, ketika ilmu sosial
developmentalis makin mengikis tradisi ilmu sosial kolonial alias indologi.”

Berikut beberapa hal menarik pada masa perkembangan ilmu sosial


kotemporer:
- Semakin banyaknya minat sarjarana luar negeri yang semakin tertarik
mempelajari indonesia. Pertama di awali oleh AS, Australia, Ingris,
Prancis, jerman dan belakangan ini juga di Swedia dan Jepang.
Bersamaan dengan kecenderungan di atas, ada dua gejala unik
yang perlu dicatat: pertama masuknya kembali generasi baru peneliti
Belanda yang sudah tercerahkan‘ dalam paradigma baru dalam
werkgroep Indonesich studies dengan sejumlah bidang studi
(vakgroep) di berbagai universitas Belanda, menggantikan mantel
lama, indologie (Zed, 2014) Dengan hal tersebut tercipntanya
hubungangan antara kawasan Asia Tenggara karena pada satat
sebelum PD II belum mengenal kerjasama tersebut.
- Tingginya kadar ‘parokhial’ antardisiplin ilmu yang terorgaisasi dalam
lmbaga atau rumpun ilmu sosial, baik ke luar mau ke dalam. Ke luar,
maksudnya klaim keabsahan pembagian ilmu pengetahuan modern
ke dalam tiga locus yang secara instrinsik dianggap berbeda: rumpun
ilmu alam, ilmu sosial dan ilmu kemanusiaan (humaniora). Di lembaga
pendidikan tinggi, masing-masing cenderung melihat diri mereka
sebagai berbeda dan membuat sekat-sekat yang tinggi satu sama lain
(Zed, 2014).
Ke dalam maksudnya perbedaan di antara rumpun displin ilmu-
ilmu sosial (dalam bentuk jamak). Keduaduanya sama parahnya
karena masing-masing saling mengabaikan dan bahkan melecehkan
satu sama lain, sehingga terjadi apa yang digambarkan oleh Burke
(2005) sebagai dialog ‘si tuli’, suatu fenomena klasik yang rupanya
juga terjadi Barat. Lebih celaka lagi, kelompok yang satu cenderung
memandang rendah yang lain, atau kalau bukan demikian, yang satu
merasa lebih hebat dari yang lain. Ahli sejarah atau mahasiswa
sejarah, misalnya, seringkali dilecehkan dengan mengaggap
pekerjaan mereka hanyalah sebagai tukang kumpul fakta-fakta (facts-
collector), mengurus manusia yang telah mati; pekerja ilmu amatiran
yang rabun, karena tidak mempunyai teori. Ini mengingatkan kita pada
ejekan Herbert Spencer yang mengatakan bahwa sejarawan hanyalah
tukang angkat batu (fakta) yang akan digunakan sosiologiwan untuk
membuat bangunan. Sebaliknya banyak sejarawan yang memandang
ilmuwan sosial sebagai orang yang suka menggunakan jargon-jargon
yang kabur untuk menyatakan hal-hal yang sudah jelas; tidak memiliki
sense waktu dan tempat, membenamkan individu ke dalam kategori-
kategori umum yang kaku. Maka untuk menutup semua ini, mereka
menyebut kegiatan mereka sebagai hal yang ‘ilmiah’. Dibeberapa
tempat di Indonesia, para dosen dan mahasiswa fakultas tertentu
ramairamai ikut mendesak agar pindah ke atau bergabung dengan
fakultas lain karena beberapa alasan praktis, tiak nayaman di rumah
yang lama, antara lain merasa ijazah cap fakultas mereka yang lama
kurang ‘bonafide’ atau kurang dihargai oleh pemerintah atau biro
pelayanan tenaga kerja. Jadi berkaitan dengan masalah praktis dari
segi kelembagaan atau organisasi ilmu pengetahuan (Nasiwan Y. S.,
2016).
- Erat kaitannya dengan butir di atas, ialah kecenderungan ahistoris
ilmuwan sosial Indonesia kontemporer seperti yang disinyalir oleh Arif
Budiman beberapa tahun lalu.1 Ciri ini jelas merupakan
penyimpangan atau bahkan kemersotan dua tipologi ilmu sosial
sebelumnya, baik indologi maupun ilmu sosial developmentalis sejak
semula sangat kuat dalam apresiasi sejarah mereka. Ini tidak hanya
berlaku di kalangan para perintis seperti Geerzts dan Ben Anderson
dan lain-lain, tetapi juga di kalangan generasi pertama ilmuwan sosial
Indonesia sendiri seperti Selo Soemardjan dan juniornya Harsja
Bachtiar (sosiologi), Sayogyo (sosiologi pertanian), Kuntjaraningrat
(antropologi), Sumitro Djojohadikusumo (ekonomi), dan tentu saja
juga Soekmono (arkeologi) untuk menyebut beberapa di antaranya
(Zed, 2014).
- Perangkap ideologi dalam kajian ilmu sosial kontemporer. Para
ilmuwan sosial di negara-negara Dunia Ketiga, yang notabene adalah
bekas negeri jajahan seperti Indonesia lambat laun mulai sadar dan
merasa malu bahwa mereka terlalu lama hidup sebagai sarjana
imitasi‘ (Ignas, 1987).
Dengan demikian, pengalaman-pengalaman baru dalam
pembangunan (modernisasi) dan praktek ilmu sosial developmentalis,
menimbulkan ketidakpuasan intelektual yang baru pula. Dalam situasi
yang paradoks seperti itu, di manakah sesungguhnya tempat ilmuilmu
sosial (dalam bentuk jamak) Indonesia, khsususnya di tengah
perkisaran sejarah bangsa yang dilanda krisis multidimensi
berkepanjangan dewasa ini, yang notabene berada pada pergantian
zaman: pergantian abad, pergantian melinium, pergantian rejim,
pergantian paradigma dan seterusnya. Atas dasar itu, maka kiranya
tidak mudah untuk mengidentifikasi gambaran monolitik tentang ilmu
sosial Indonesia hari ini, yang masih sedang berlangsung dan tengah
mencari legitimasi-legitimasi baru, seperti yang tampak dari wacana
‘indigenisasi’ ilmu sosial Indonesia akhir-akhir ini (Zed, 2014).
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Perkembangan ilmu sosial yang kian pesat menjadikan


pengklasifikasian dalam ilmu sosial itu sendiri, mulai dari sejarah, geografi,
sosiologi, ilmu hukum dan lain sebagainya. Tujuan dari pengklasifikasian
tersebut adalah untuk mempermudah dalam pengamatan dan penelitian
mengenai pengimplementasian ilmu sosial dalam permasalahan sosial.
Perkembangan ilmu social tersebut tidak hanya terjadi pada negara-
negara besar dunia, tetapi juga terjadi di Indonesia yang mana banyak
dari ilmuan Indonesia yang belajar di berbagai penjuru dunia. Sehingga
perkembangan ilmu sosial di Indonesia sangat dipengaruhi oleh
pemikiran ala barat. Perkembangan ilmu sosial di Indonesia sendiri dibagi
dalam tiga fase, mulai fase embrionik yaitu pada masa kolonial, lalu fase
ilmu sosial developmentalis, dan fase kontemporer.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dadang Supardan. Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan


Struktural. 2009. Jakarta: Bumi Aksara
2. Daldjoeni. 2014. Pengantar Geografi. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Hal
27.
3. Supardi. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Sosial. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Hal 21.
4. Jurnal Masyarakat dan Budaya. Ilmu Sosial di Indonesia: Peluang,
Persoalan, dan Tantangan. Edisi Khusus. 2010. http://jmb-
lipi.or.id/index.php/jmb/article/viewFile/157/137.diakses pada 29 Desember
2019 pukul 06.00
5. http://rushdiezhepa.blogspot.com/2012/08/perkembangan-ilmu-
sosial.html.diakses pada 29 Desember 2019 pukul 21.00
6. Supardi, Dasar-Dasar Ilmu Sosial, 2011, Hal 22.
7. Supardan Dadang, Pengantar Ilmu Sosia Sebuah Kajian Pendekatan
Struktural, 2008, Hal 425
8. Supardi, Dasar-Dasar Ilmu Sosial, 2011, Hal 24-25
9.  Dadang supardan, Pengantar Ilmu Sosial: Sebuah Kajian Pendekatan
Struktural. 2009, hal 35.
10. Teori Sosial Max Weber. http://ahmadtaufiq102.blogspot.com
/2014/03/makalah-teori-sosial-max-weber.html. Diakses pada 29 Desember
2019 pukul 21.00.
11. Bagus wirawan, Teori-Teori Sosial dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial,
Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial). 2012. Jakarta : Kencana.
12. Zed, M. (2014). Kontruksi Historis Ilmu Sosial Indonesia dalam Perspektif
Komparatif Menggali Ilmu Sosial Bercorak Keindonesiaan.
www.academia.edu, 7.
13. Nasiwan, Y. S. (2016). Seri Teori-Teori Sosial Indonesia. Yogyakarta:
UNY Press.

Anda mungkin juga menyukai